Anda di halaman 1dari 24

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218102 / Mei 2020


** Pembimbing / dr. Ameria Paramitha, Sp.M. MARS

TRAUMA KIMIA PADA MATA

Disusun Oleh :
Yessica Destiana

Dosen Pembimbing :
dr. Ameria Paramitha, Sp.M. MARS

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
i

HALAMAN PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)
TRAUMA KIMIA PADA MATA

Disusun Oleh :
Yessica Destiana
G1A218102

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian/SMF Ilmu Penyakit THT RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Mei 2020

Pembimbing

dr. Ameria Paramitha, Sp.M. MARS


2

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat Clinical Science Session (CSS) yang berjudul
“Trauma Kimia Pada Mata” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Anastesi di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Ameria Paramitha, Sp.M.
MARS, yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing
penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu penyakit Mata
di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekerangan pada referat Clinical
Science Session (CSS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan referat ini. Penulis mengharapkan semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Mei 2020

Yessica Destiana
3

BAB I
PENDAHULUAN

Mata merupakan organ yang keberadaannya berhubungan langsung dengan


lingkungan luar sehingga sering menyebabkan mata terkena dampak dari posisi
anatominya tersebut. Mata sering terpapar dengan keadaan lingkungan sekitar
seperti udara, debu, benda asing dan suatu trauma yang dapat langsung mengenai
mata. Trauma pada mata meliputi trauma tumpul, trauma tajam, trauma kimia, dan
trauma radiasi.1,2
Trauma kimia pada mata merupakan salah satu keadaan kedaruratan
oftalmologi karena dapat menyebabkan cedera pada mata, baik ringan, berat bahkan
sampai kehilangan penglihatan.Trauma kimia pada mata merupakan trauma yang
mengenai bola mata akibat terpaparnya bahan kimia baik yang bersifat asam atau
basa yang dapat merusak struktur bola mata tersebut.1,2
Berdasarkan data CDC tahun 2000 sekitar 1 juta orang di Amerika Serikat
mengalami gangguan penglihatan akibat trauma.75% dari kelompok tersebut buta
pada satu mata, dan sekitar 50.000 menderita cedera serius yang mengancam
penglihatan setiap tahunnya.Setiap hari lebih dari 2000 pekerja di amerika Serikat
menerima pengobatan medis karena trauma mata pada saat bekerja.Lebih dari
800.000 kasus trauma mata yang berhubungan dengan pekerjaan terjadi setiap
tahunnya.Dibandingkan dengan wanita, laki-laki memiliki rasio terkena trauma
mata 4 kali lebih besar. Dari data WHO tahun 1998 trauma okular berakibat
kebutaan unilateral sebanyak 19 juta orang, 2,3 juta mengalami penurunan visus
bilateral, dan 1,6 juta mengalami kebutaan bilateral akibat cedera mata. Sebagian
besar (84%) merupakan trauma kimia. Rasio frekuensi bervariasi trauma asam:basa
antara 1:1 sampai 1:4. Secara international, 80% dari trauma kimiawi dikarenakan
oleh pajanan karena pekerjaan. Menurut United States Eye Injury Registry
(USEIR), frekuensi di Amerika Serikat mencapai 16 % dan meningkat di lokasi
kerja dibandingkan dengan di rumah. Lebih banyak pada laki-laki (93 %) dengan
umur rata-rata 31 tahun. 1,2,3
4

Mekanisme cedera antara trauma asam dan trauma basa sedikit


berbeda.Trauma yang disebabkan oleh bahan basa lebih cepat merusak dan
menembus kornea dibandingkan bahan asam.Dampak yang ditimbulkan dari
trauma kimia pada mata sangat tergantung pada tingkat pH, kecepatan, dan jumlah
bahan kimia yang mencapai mata. Walaupun demikian, setiap bahan kimia yang
masuk ke dalam mata perlu diwaspadai agar tidak meningkatkan morbiditas dan
mengganggu fungsi penglihatan dari organ ini. Trauma pada mata memerlukan
penanganan yang tepat untuk mencegah kerusakan yang lebih berat agar tidak
berujung pada kebutaan.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi
Trauma kimia mata merupakan trauma pada mata yang disebabkan
substansi dengan pH yang tinggi (basa) atau yang rendah (asam). Trauma kimia
biasanya disebabkan bahan-bahan yang tersemprot atau terpercik pada
wajah.Bahan kimia dikatakan bersifat asam bila mempunyai pH < 7 dan dikatakan
bersifat basa bila mempunyai pH > 7.4

2.2 Etiologi
Substansi kimia yang biasanya menyebabkan trauma pada mata digolongkan
menjadi 2 kelompok.4
1. Alkali/basa
Bahan alkali yang biasanya menyebabkan trauma kimia adalah:
 Amonia (NH3), zat ini banyak ditemukan pada bahan pembersih
rumah tangga, zat pendingin, dan pupuk.
 NaOH, sering ditemukan pada pembersih pipa.
 Potassium hydroxide (KOH), seperti caustic potash
 Magnesium Hydroxide (Mg(OH)2) seperti pada kembang api
 Lime(Ca(OH)2), seperti pada perekat, mortar, semen dan kapur.
2. Acid/asam
Bahan asam yang menyebabkan trauma adalah:
 Sulfuric acid (H2SO4), contohnya aki mobil, bahan pembersih (industry).
 Sulfurous acid (H2SO3), pada pengawet sayur dan buah.
 Hydrofluoric acid (HF), efeknya sama bahayanya dengan trauma alkali.
Ditemukan pada pembersih karat, pengilat aluminium, penggosok kaca.
 Acetic acid (CH3COOH), pada cuka.
 Hydrochloric acid (HCl) 31-38%, zat pembersih.
6

2.3 Epidemiologi
Berdasarkan data CDC tahun 2000 sekitar 1 juta orang di Amerika Serikat
mengalami gangguan penglihatan akibat trauma. 75% dari kelompok tersebut buta
pada satu mata, dan sekitar 50.000 menderita cedera serius yang mengancam
penglihatan setiap tahunnya. Setiap hari lebih dari 2000 pekerja di amerika Serikat
menerima pengobatan medis karena trauma mata pada saat bekerja. Lebih dari
800.000 kasus trauma mata yang berhubungan dengan pekerjaan terjadi setiap
tahunnya, dibandingkan dengan wanita, laki-laki memiliki rasio terkena trauma
mata 4 kali lebih besar. Dari data WHO tahun 1998 trauma okular berakibat
kebutaan unilateral sebanyak 19 juta orang, 2,3 juta mengalami penurunan visus
bilateral, dan 1,6 juta mengalami kebutaan bilateral akibat cedera mata. Sebagian
besar (84%) merupakan trauma kimia. Rasio frekuensi bervariasi trauma asam:basa
antara 1:1 sampai 1:4. Secara international, 80% dari trauma kimiawi dikarenakan
oleh pajanan karena pekerjaan. Menurut United States Eye Injury Registry
(USEIR), frekuensi di Amerika Serikat mencapai 16 % dan meningkat di lokasi
kerja dibandingkan dengan di rumah. Lebih banyak pada laki-laki (93 %) dengan
umur rata-rata 31 tahun.5,6

2.4 Klasifikasi7
- Trauma Asam
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik. organik
(asetat, forniat), dan organik anhidrat (asetat). Bila bahan asam mengenai
mata maka akan segera terjadi pengendapan ataupun peng- gumpalan
protein permukaan sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan
bersifat destruktif seperti trauma alkali. Biasanya akan terjadi kerusakan
hanya pada bagian superfisial saja. Bahan asam dengan konsentrasi tinggi
dapat bereaksi seperti terhadap trauma basa sehingga kerusakan yang
diakibatkannya akan lebih dalam. Pengobatan dilakukan dengan irngasi
jaringan yang terkena secepat- nya dan selama mungkin untuk
mengnilangkan dan melarutkan bahan yang mengakibatkan trauma.
Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali, sehingga tajam
penglihatan tidak banyak terganggu.
7

- Trauma basa atau alkali


Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat gawat
pada mata. Alkali akan menembus dengan cepat kornea. bilik mata depan,
dan sampai pada jaringan retina. Pada trauma basa akan terjadi
penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia alkali hersifat
koagulasi sel dan terjadi proses persabunan, disertai dengan dehidrasi.
Bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam
waktu 7 detik, nada trauma aikali akan terbentuk kolagenase yang akan
menam- bah bertambah kerusakan kolagen kornea. Alkali yang menembus
ke dalam bola mata akan merusak retina sehingga akan berakhir dengan
kebutaan penderita.

Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan dalam:


 Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
 Derajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilang epitel kornea
 Derajat 3: hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya
epitel kornea
 Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%.
Tindakan bila terjadi trauma basa adalah dengan secepatnya mela-
kukan irigasi dengan garam fisiologik. Sebaiknya irigasi dilakukan selama
mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan paling sedikit 60 menit segera
setelah trauma. Penderita diberi sikloplegia, antibiotika, EDTA untuk
mengikat basa. Edta diberikan setelah 1 minggu trauma alkali diperlukan
untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ke tujuh. Penyulit
yang dapat timbul trauma alkali adalah simblefaron, keke- ruhan kornea,
edema dan neovaskularisasi kornea, katarak, diserna dengan terjadi ftisis
bola mata.

2.5 Patofisiologi4
 Trauma asam
Trauma asam dipisahkan dalam dua mekanisme, yaitu ion hidrogen dan
anion dalam kornea. Molekul hidrogen merusak permukaan okular dengan
mengubah pH, sementara anion merusak dengan cara denaturasi protein, presipitasi
8

dan koagulasi. Koagulasi protein umumnya mencegah penetrasi yang lebih lanjut
dari zat asam, dan menyebabkan tampilan ground glass dari stroma korneal yang
mengikuti trauma akibat asam.Sehingga trauma pada mata yang disebabkan oleh
zat kimia asam cenderung lebih ringan daripada trauma yang diakibatkan oleh zat
kimia basa.
Asam hidroflorida adalah satu pengecualian.Asam lemah ini secara cepat
melewati membran sel, seperti alkali.Ion fluoride dilepaskan ke dalam sel, dan
memungkinkan menghambat enzim glikolitik dan bergabung dengan kalsium dan
magnesium membentuk insoluble complexes.Nyeri local yang ekstrim bisa terjadi
sebagai hasil dari immobilisasi ion kalsium, yang berujung pada stimulasi saraf
dengan pemindahan ion potassium.
Bahan kimia asam yang mengenai jaringan akan mengadakan denaturasi
dan presipitasi dengan jaringan protein disekitarnya, karena adanya daya buffer dari
jaringan terhadap bahan asam serta adanya presipitasi protein maka kerusakannya
cenderung terlokalisir. Bahan asam yang mengenai kornea juga mengadakan
presipitasi sehingga terjadi koagulasi, kadang-kadang seluruh epitel kornea
terlepas.Bahan asam tidak menyebabkan hilangnya bahan proteoglikan di kornea.
Bila trauma diakibatkan asam keras maka reaksinya mirip dengan trauma basa.Bila
bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi koagulasi protein epitel
kornea yang mengakibatkan kekeruhan pada kornea, sehingga bila konsentrasi
tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif seperti trauma alkali. Biasanya
kerusakan hanya pada bagian superfisial saja. Koagulasi protein ini terbatas pada
daerah kontak bahan asam dengan jaringan. Koagulasi protein ini dapat mengenai
jaringan yang lebih dalam.

Bila mata terkena trauma suatu bahan asam maka akan terjadi peristiwa
berikut:
a. Pada minggu pertama:
 Terjadi koagulasi protein epitel kornea yang mengakibatkan kekeruhan
pada kornea, demikian pula terjadi koagulasi protein konjungtiva bulbi.
Koagulasi protein ini terbatas pada daerah kontak asam dengan jaringan.
 Akibat koagulasi protein ini kadang-kadang seluruh kornea terkelupas
9

 Koagulasi protein ini dapat mengenai jaringan yang lebih dalam seperti
stroma kornea, keratosit dan endotel kornea
 Bila terjadi penetrasi jaringan yang lebih dalam akan terjadi edem kornea,
iritis, dan katarak
 Bila trauma disebabkan asam lemah maka regenerasi epitel akan terjadi
dalam beberapa hari dan kemudian sembuh
 Bila trauma disebabkan asam kuat maka stroma kornea akan berwarna
kelabu infiltrasi sel radang ke dalamnya. Infiltrasi sel ke dalam stroma oleh
bahan asam terjadi dalam waktu 24 jam
 Beberapa menit atau beberapa jam sesudah trauma asam konjungtiva bulbi
menjadi hiperemis dan kemotik. Kadang-kadang terdapat perdarahan pada
konjungtiva bulbi.
 Tekanan bola mata akan meninggi pada hari pertama, yang kemudian
dapat menjadi normal atau merendah.
b. Trauma asam pada minggu 1-3:
 Umumnya trauma asam mulai sembuh pada minggu kesatu sampai ketiga
ini
 Pada trauma asam yang berat akan terbentuk ulkus kornea dengan
vaskularisasi yang bersifat progresif
 Keadaan terburuk akibat trauma asam pada saat ini ialah berupa
vaskularisasi berat pada kornea
c. Trauma asam sesudah 3 minggu:
 Trauma asam yang tidak sangat berat akan sembuh sesudah 3 minggu
 Pada endotel dapat terbentuk membran fibrosa yang merupakan bentuk
penyembuhan kerusakan endotel

Gambar trauma Asam


10

 Trauma basa
Basa terdisosiasi menjadi ion hidroksil dan kation di permukaan bola mata.
Ion hidroksil membuat reaksi saponifikasi pada membran sel asam lemak,
sedangkan kation berinteraksi dengan kolagen stroma dan glikosaminoglikan.
Jaringan yang rusak ini menstimulasi respon inflamasi, yang merangsang pelepasan
enzim proteolitik, sehingga memperberat kerusakan jaringan. Interaksi ini
menyebabkan penetrasi lebih dalam melalui kornea dan segmen anterior. Hidrasi
lanjut dari glikosaminoglikan menyebabkan kekeruhan kornea.Kolagenase yang
terbentuk akan menambah kerusakan kolagen kornea.Berlanjutnya aktivitas
kolagenase menyebabkan terjadinya perlunakan kornea.
Hidrasi kolagen menyebabkan distorsi dan pemendekan fibril sehingga
terjadi perubahan pada jalinan trabekulum yang selanjutnya dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intraokular. Mediator inflamasi yang dikeluarkan pada proses
ini merangsang pelepasan prostaglandin yang juga dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intraokular. Basa yang menembus dalam bola mata akan dapat merusak
retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita.
Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat
gawat pada mata. Basa akan menembus dengan cepat ke kornea, bilik mata depan
dan sampai pada jaringan retina. Proses yang terjadi disebut nekrosis liquefactive.
Bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7
detik.
Penyulit yang dapat ditimbulkan oleh trauma basa adalah simblefaron,
kekeruhan kornea, edema dan neovaskularisasi kornea, katarak, disertai dengan
terjadi ftisis bola mata.Penyulit jangka panjang dari luka bakar kimia adalah
glaukoma sudut tertutup, pembentukan jaringan parut kornea, simblefaron,
entropion, dan keratitis sika.
Trauma basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena bahanbahan
basa memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat secara cepat
untuk penetrasi sel membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina.
Trauma basa akan memberikan iritasi ringan pada mata apabila dilihat dari luar.
Namun, apabila dilihat pada bagian dalam mata, trauma basa ini mengakibatkan
suatu kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea, kamera okuli anterior
11

sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. Pada trauma basa
akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa bersifat
koagulasi sel dan terjadi proses safonifikasi, disertai dengan dehidrasi.
Bahan alkali atau basa akan mengakibatkan pecah atau rusaknya sel
jaringan. Pada pH yang tinggi alkali akan mengakibatkan safonifikasi disertai
dengan disosiasi asam lemak membrane sel. Akibat safonifikasi membran sel akan
mempermudah penetrasi lebih lanjut zat alkali. Mukopolisakarida jaringan oleh
basa akan menghilang dan terjadi penggumpalan sel kornea atau keratosis. Serat
kolagen kornea akan bengkak dan stroma kornea akan mati. Akibat edema kornea
akan terdapat serbukan sel polimorfonuklear ke dalam stroma kornea. Serbukan sel
ini cenderung disertai dengan pembentukan pembuluh darah baru atau
neovaskularisasi. Akibat membran sel basal epitel kornea rusak akan memudahkan
sel epitel diatasnya lepas. Sel epitel yang baru terbentuk akan berhubungan
langsung dengan stroma dibawahnya melalui plasminogen aktivator. Bersamaan
dengan dilepaskan plasminogen aktivator dilepas juga kolagenase yang akan
merusak kolagen kornea. Akibatnya akan terjadi gangguan penyembuhan epitel
yang berkelanjutan dengan ulkus kornea dan dapat terjadi perforasi kornea.
Kolagenase ini mulai dibentuk 9 jam sesudah trauma dan puncaknya terdapat pada
hari ke 12-21. Biasanya ulkus pada kornea mulai terbentuk 2 minggu setelah
trauma kimia. Pembentukan ulkus berhenti hanya bila terjadi epitelisasi lengkap
atau vaskularisasi telah menutup dataran depan kornea. Bila alkali sudah masuk ke
dalam bilik mata depan maka akan terjadi gangguan fungsi badan siliar.

Gambar trauma Basa


12

2.6 Klasifikasi derajat keparahan


Trauma kimia pada mata dapat diklasifikasikan sesuai dengan derajat
keparahan yang ditimbulkan akibat bahan kimia penyebab trauma.Klasifikasi ini
juga bertujuan untuk penatalaksaan yang sesuai dengan kerusakan yang muncul
serta indikasi penentuan prognosis.Klasifikasi ditetapkan berdasarkan tingkat
kejernihan kornea dan keparahan iskemik limbus. Selain itu klasifikasi ini juga
untuk menilai patensi dari pembuluh darah limbus (superfisial dan profunda).

Klasifikasi yang biasa digunakan untuk menilai gejala klinis dan prognosis
adalah:8
1. Hughes’s Classification Of Ocular Chemical Injury
a. Ringan : Erosi epitel kornea, kornea sedikit kabur, tidak ada nekrosis
iskemik konjungtiva atau sclera.
b. Sedang : Opasitas kornea mengaburkan detail iris, nekrosis iskemik yang
minimal di konjungtiva dan sclera.
c. Berat : Garis pupil kabur, iskemik nekrosis konjungtiva atau sclera yang
signifikan.

2. Thoft’s Classification Of Ocular Chemical Injury


a. Grade 1 : Kerusakan epitel kornea, tidak ada iskemik
b. Grade 2 : Kornea kabur, tapi iris masih bias terlihat, iskemik kecil dari 1/3
limbus
c. Grade 3 : Epitel kornea hilang total, stroma kabur sehingga iris juga terlihat
kabur, iskemik sepertiga sampai setengah limbus
d. Grade 4 : Kornea opak, iskemik lebih dari setengah limbus

2.7 Gejala klinis


Terdapat gejala klinis utama yang muncul pada trauma kimia yaitu, epifora,
blefarospasme, dan nyeri berat. Trauma akibat bahan yang bersifat asam biasanya
dapat segera terjadi penurunan penglihatan akibat nekrosis superfisial kornea.
Sedangkan pada trauma basa, kehilangan penglihatan sering bermanifestasi
beberapa hari sesudah kejadian. Namun sebenarnya kerusakan yang terjadi pada
trauma basa lebih berat dibanding trauma asam. 9
13

2.8 Diagnosis5,9,10
a. Anamnesis
Pada anamnesis sering sekali pasien menceritakan telah tersiram cairan atau
tersemprot gas pada mata atau partikel-partikelnya masuk ke dalam mata. Perlu
diketahui apa persisnya zat kimia dan bagaimana terjadinya trauma tersebut
(misalnya tersiram sekali atau akibat ledakan dengan kecepatan tinggi) serta kapan
terjadinya trauma tersebut. Perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah
cedera atau saat cedera terjadi. Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara
progresif atau terjadi secara tiba tiba. Nyeri, lakrimasi, dan pandangan kabur
merupakan gambaran umum trauma. Dan harus dicurigai adanya benda asing
intraokular apabila terdapat riwayat salah satunya apabila trauma terjadi akibat
ledakan.

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang seksama sebaiknya ditunda sampai mata yang terkena zat
kimia sudah terigasi dengan air dan pH permukaan bola mata sudah netral. Obat
anestesi topikal atau local sangat membantu agar pasien tenang, lebih nyaman dan
kooperatif sebelum dilakukan pemeriksaan. Setelah dilakukan irigasi, pemeriksaan
dilakukan dengan perhatian khusus untuk memeriksa kejernihan dan keutuhan
kornea, derajat iskemik limbus, tekanan intra okular, konjungtivalisasi pada kornea,
neovaskularisasi, peradangan kronik dan defek epitel yang menetap dan berulang.

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam kasus trauma kimia mata adalah
pemeriksaan pH bola mata secara berkala dengan kertas lakmus. Irigasi pada mata
harus dilakukan sampai tercapai pH normal. Pemeriksaan bagian anterior mata
dengan lup atau slit lamp bertujuan untuk mengetahui lokasi luka. Pemeriksaan
oftalmoskopi direk dan indirek juga dapat dilakukan. Selain itu dapat pula
dilakukan pemeriksaan tonometri untuk mengetahui tekanan intraokular.

2.9 Tatalaksana
2.9.1 Tatalaksana Emergensi12
Trauma kimia merupakan trauma mata yang membutuhkan tatalaksana
sesegera mungkin. Tujuan dari terapi ini adalah menekan inflamasi, nyeri dan
14

risiko inflamasi. Sedangkan pada trauma kimia berat, pemberian obat-obatan


bertujuan untuk mengurangi inflamasi, membantu regenerasi epitel dan mencegah
terjadinya ulkus kornea..

Tatalaksana emergensi, dapat diberikan:


1. Irigasi mata, sebaiknya menggunakan larutan Salin atau Ringer laktat selama
minimal 30 menit. Jika hanya tersedia air non steril, maka air tersebut dapat
digunakan. Larutan asam tidak boleh digunakan untuk menetralisasi trauma
basa. Spekulum kelopak mata dan anestetik topikal dapat digunakan sebelum
dilakukan irigasi. Tarik kelopak mata bawah dan eversi kelopak mata atas
untuk dapat mengirigasi fornices.
2. Lima sampai sepuluh menit setelah irigasi dihentikan, ukurlah pH dengan
menggunakan kertas lakmus. Irigasi diteruskan hingga mencapai pH netral
(pH=7.0)
3. Jika pH masih tetap tinggi, konjungtiva fornices diswab dengan menggunakan
moistened cotton-tipped applicator atau glass rod. Penggunaan Desmarres
eyelid retractor dapat membantu dalam pembersihan partikel dari fornix
dalam.
DERAJAT RINGAN
Selanjutnya, tatalaksana untuk trauma kimia derajat ringan hingga sedang meliputi:
a. Fornices diswab dengan menggunakan moistened cotton-tipped applicator
atau glass rod untuk membersihkan partikel, konjungtiva dan kornea yang
nekrosis yang mungkin masih mengandung bahan kimia. Partikel kalsium
hidroksida lebih mudah dibersihkan dengan menambahkan EDTA.
b. Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) dapat diberikan untuk mencegah
spasme silier dan memiliki efek menstabilisasi permeabilitas pembuluh darah
dan mengurangi inf lamasi.
c. Antibiotik topikal spektrum luas sebagai profilaksis untuk infeksi. (tobramisin,
gentamisin, ciprofloxacin, norfloxacin, basitrasin, eritromisin)
d. Analgesik oral, seperti acetaminofen dapat diberikan untuk mengatasi nyeri.
e. Jika terjadi peningkatan tekanan intraokular > 30 mmHg dapat diberikan
Acetazolamid (4x250 mg atau 2x500 mg ,oral), betablocker (Timolol 0,5%
atau Levobunolol 0,5%).
15

f. Dapat diberikan air mata artifisial (jika tidak dilakukan pressure patch).

DERAJAT BERAT
Tatalaksana untuk trauma kimia derajat berat setelah dilakukan irigasi, meliputi:
a. Rujuk ke rumah sakit untuk dilakukan monitor secara intensif mengenai
tekanan intraokular dan penyembuhan kornea.
b. Debridement jaringan nekrotik yang mengandung bahan asing
c. Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) diberikan 3-4 kali sehari.
d. Antibiotik topikal (Trimetoprim/polymixin-Polytrim 4 kali sehari; eritromisin
2-4 kali sehari)
e. Steroid topikal ( Prednisolon acetate 1%; dexametasone 0,1% 4-9 kali per hari).
Steroid dapat mengurangi inflamasi dan infiltrasi netrofil yang menghambat
reepitelisasi. Hanya boleh digunakan selama 7-10 hari pertama karena jika
lebih lama dapat menghambat sintesis kolagen dan migrasi fibroblas sehingga
proses penyembuhan terhambat, selain itu juga meningkatkan risiko untuk
terjadinya lisis kornea (keratolisis). Dapat diganti dengan non-steroid anti
inflammatory agent.
f. Medikasi antiglaukoma jika terjadi peningkatan intraocular. Peningkatan
tekanan intraocular bisa terjadi sebagai komplikasi lanjut akibat blockade
jaringan trabekulum oleh debris inflamasi.
g. Diberikan pressure patch di setelah diberikan obat tetes atau salep mata
h. Dapat diberikan air mata artifisial Selain pengobatan tersebut diatas, pemberian
obat-obatan lain juga bermanfaat dalam menurunkan proses inflamasi,
meningkatkan regenerasi epitel dan mencegah ulserasi kornea. Obat tambahan
yang biasa diberikan:
a. Asam askorbat : berfungsi untuk meningkatkan produksi kolagen,
diberikan secara topikal dan sistemik. Beberapa riset menunjukkan
pemberian topikal asam askorbat 10% terbukti dapat menekan perforasi
kornea. Akan tetapi, tatalaksana ini baru digunakan pada tahap
eksperimental (asam askorbat topikal 10%, setiap 2 jam dan sistemik 4x 2
g per hari).
16

b. Asam sitrat : merupakan inhibitor kuat terhadap aktivitas neutrofil.


Pemberian topikal 10 % setiap 2 jam selama 10 hari.
b. Tetrasiklin : membantu menghambat proses kolagenase, menghambat
neutrofil dan mengurangi ulserasi. Biasanya pemberian secara topikal dan
sistemik (doksisiklin 2 x 100 mg)
c. Untuk tatalaksana trauma oleh asam hidrofluorat, medikasi yang optimum
masih belum di lakukan. Beberapa studi menggunakan 1% calcium
gluconate sebagai media irigasi atau untuk tetes mata. Bahan – bahan
mengandung Magnesium juga digunakan pada kasus ini. Sayangnya,
masih sedikit penelitian yang mendukung efektifitas terapi – terapi
tersebut. Irigasi mengunakan magnesium klorida terbukti tidak bersifat
toksik terhadap mata. Efek positif dari terapi ini dilaporkan masih dapat
ditemukan walaupun pada pemberian 24 jam setelah cedera, dimana
medikasi lainnya sudah tidak berguna. Beberapa penulis
merekomendasikan penggunaan sebagai tetes mata setiap 2 – 3 jam atas
pertimbangan irigasi dapat mengiritasi mata dan menimbulkan ulserasi
kornea.Injeksi subkonjungtival kalsium glukonat dan kalsium klorida
tidak direkomendasikan karena terbukti tidak bermanfaat dalam terapi.
d. Terapi bedah dini penting untuk revaskularisasi limbus, restorasi populasi
sel limbus dan membentuk fornises. Sedangkan terapi bedah lanjutan
meliputi graft konjungtiva atau membran mukosa, koreksi deformitas
kelopak mata, keratoplasti, serta keratoprostheses.

2.9.2 Medikamentosa9
a. Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun
pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan
menurunkan sintesis kolagen dan menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu
steroid hanya diberikan secara inisial dan ditappering off setelah 7-10 hari.
Dexametason 0,1% ED dan Prednisolon 0,1% ED diberikan setiap 2 jam.
Bila diperlukan dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg
b. Sikloplegik untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia
posterior. Atropin 1% ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
17

c. Asam askorbat mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan


meningkatkan penyembuhan luka dengan membantu pembentukan kolagen
matur oleh fibroblas kornea. Natrium askorbat 10 % topikal diberikan setiap
2 jam. Untuk dosis sitemik dapat diberikan sampai dosis 2 gr.
d. Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor untuk menurunkan tekanan intra
okular dan mengurangi resiko terjadinya glaukoma sekunder. Diberikan
secara oral asetazolamid (diamox)500 mg.
e. Antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis.
Tetrasiklin efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas
netrofil dan mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan
antara topikal dan sistemik (doksisiklin 100 mg).

2.9.3 Tatalaksna berdasarkan Fase4


Penatalaksanaan berdasarkan fase lamanya trauma kimia dapat dibagi
menjadi :
a. Fase kejadian (immediate)
Tujuan tindakan pada fase ini adalah untuk menghilangkan materi penyebab
sebersih mungkin.Tindakan ini merupakan tindakan yang utama dan harus
dilakukan sesegera mungkin, sebaiknya pasien langsung mencuci matanya di
rumah sesaat setelah kejadian. Tindakan yang dilakukan adalah irigasi bahan
kimia meliputi pembilasan yang dilakukan segera dengan anestesi topikal
terlebih dahulu.Pembilasan dilakukan dengan larutan steril sampai pH air mata
kembali normal.Jika ada benda asing dan jaringan bola mata yang nekrosis
harus dibuang. Bila diduga telah terjadi penetrasi bahan kimia kedalam bilik
mata depan maka dilakukan irigasi bilik mata depan dengan larutan RL.
Teknik irigasi:
1. Jelaskan kepada pasien apa yang akan dilakukan.
2. Gunakan anestesi lokal jika diperlukan
3. Buka kelopak mata secara hati-hati dengan penekanan di tulang, bukan di
bola mata
4. Bilas kornea dan forniks secara lembut menggunakan larutan steril 30
cm di atas mata
18

5. Bersihkan semua partikel dengan menggunakan kapas aplikator atau


dengan forceps
6. Lakukan pembilasan juga pada konjungtiva palpebral dengan
mengeversi kelopak mata.
b. Fase akut (sampai hari ke 7)
Tujuan tindakan pada fase ini adalah mencegah terjadinya penyulit dengan
prinsip sebagai berikut :
 Mempercepat proses reepitelisasi kornea Untuk perbaikan kolagen bisa
digunakan asam askorbat.Disamping itu juga diperlukan pemberian air
mata buatan untuk mengatasi pengurangan sekresi air mata karena hal ini
juga berpengaruh pada epitelisasi.
 Mengontrol tingkat peradangan
1. Mencegah infiltrasi sel-sel radang
2. Mencegah pembentukan enzim kolagenase.
Mediator inflamasi dapat menyebabkan nekrosis jaringan dan dapat
menghambat reepitelisasi sehingga perlu diberikan topikal steroid.Tapi
pemberian kortikosteroid ini baru diberikan pada fase pemulihan dini.
 Mencegah infeksi sekuder
 Mencegah peningkatan TIO
 Suplemen/antioksidan
 Tindakan pembedahan
c. Fase pemulihan dini (hari ke 7-21)
Tujuan tindakan pada fase ini adalah membatasi penyulit lanjut setelah fase
akut. Yang menjadi masalah adalah :
 Hambatan reepitelisasi kornea
 Gangguan fungsi kelopak mata
 Hilangnya sel goblet
 Ulserasi stroma yang dapat menjadi perforasi kornea
d. Fase pemulihan akhir (setelah hari ke21)
Tujuan pada fase ini adalah rehabilitasi fungsi penglihatan dengan prinsip:
 Optimalisasi fungsi jaringan mata (kornea, lensa dan seterusnya)
untuk penglihatan.
19

 Pembedahan
Jika sampai fase pemulihan akhir reepitelisasi tidak juga sukses,
maka sangat penting untuk dilakukan operasi.

2.9.4 Pembedahan5,11
a. Pembedahan Segera:
sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus, mengembalikan
populasi sel limbus dan mengembalikan kedudukan forniks. Prosedur berikut dapat
digunakan untuk pembedahan: 1. Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan
limbus bertujuan untuk mengembalikan vaskularisasi limbus juga mencegah
perkembangan ulkus kornea. 2. Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang
lain (autograft) atau dar donor (allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel
kornea menjadi normal. 3. Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan
menekan fibrosis
b. Pembedahan Lanjut:
Pada tahap lanjut dapat menggunakan metode berikut:
 Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands dan
simblefaron.
 Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva.
 Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata.
 Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik, hal ini
untuk memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.
 Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat
dikarenakan hasildari graft konvensional sangat buruk.

2.10 Komplikasi5
Komplikasi dari trauma mata juga bergantung pada berat ringannya
trauma, dan jenis trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus
trauma basa pada mata antaralain :
a. Simblefaron, adalah gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus,
sehingga kornea dan penglihatan terganggu.
b. Kornea keruh, edema, neovaskuler
20

c. Sindroma mata kering


d. Katarak traumatik, trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan
katarak. Komponen basa yang mengenai mata menyebabkan peningkatan pH
cairan akuos dan menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi
akut ataupun perlahanlahan. Trauma kimia asam sukar masuk ke bagian dalam
mata maka jarang terjadi katarak traumatik.
e. Glaukoma sudut tertutup
f. Entropion dan phthisis bulbi

2.11 Prognosis11
Prognosis trauma kimia pada mata sangat ditentukan oleh bahan penyebab
trauma tersebut. Derajat iskemik pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva
merupakan salah satu indikator keparahan trauma dan prognosis penyembuhan.
Iskemik yang paling luas pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva
memberikan prognosa yang buruk. Bentuk paling berat pada trauma kimia
ditunjukkan dengan gambaran “cooked fish eye” dimana prognosisnya adalah yang
paling buruk, dapat terjadi kebutaan.

Gambar Cooked fish Eye

Menunjukkan gambaran “cooked fish eye” Trauma kimia sedang samapai


berat pada konjungtiva bulbi dan palpebra dapat menyebabkan simblefaron (adhesi
anatara palpebra dan konjungtiva bulbi). Reaksi inflamasi pada kamera okuli
anterior dapat menyebabkan terjadinya glaukoma sekunder.
21

BAB III
KESIMPULAN

Trauma kimia pada mata merupakan salah satu keadaan kedaruratan


oftalmologi.Trauma kimia pada mata merupakan trauma yang mengenai bola mata
akibat terpaparnya bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat
merusak struktur bola mata tersebut.
Mekanisme cedera antara trauma asam dan trauma basa sedikit
berbeda.Trauma yang disebabkan oleh bahan basa lebih cepat merusak dan
menembus kornea dibandingkan bahan asam. Trauma basa biasanya memberikan
dampak yang lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki
dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat masuk secara cepat untuk
penetrasi sel membran dan masuk ke sudut mata depan, bahkan sampai retina.
Sementara trauma asam akan menimbulkan koagulasi protein permukaan, dimana
merupakan suatu barier pelindung sehingga zat asam tidak penetrasi lebih dalam
lagi. Gejala utama yang muncul pada trauma mata adalah epifora, blefarospasme
dan nyeri yang hebat yang disertai dengan penurunan fungsi penglihatan.
Penatalaksanaan yang terpenting pada trauma kimia adalah irigasi mata
dengan segera sampai pH mata kembali normal dan diikuti dengan pemberian obat
terutama antibiotik, multivitamin, antiglaukoma, dan lain lain. Terapi pembedahan
merupakan pilihan terakhir pada kasus gawat darurat dan gagal dengan terapi
nonoperatif.
22

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG. Taylor A. Paul RE. Oftalmologi Umum.Widya medika. Jakarta.


2000.
2. Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008.
3.
Radosavljević A, Kalezić, T, Golubović S. The Frequency of Chemical
Injuries of the Eye in a Tertiary Referral Centre. School of Medicine,
University of Belgrade, Belgrade, Serbia. 2013;141(9-10):592-596
4. Lubis, RR. Trauma Kimia. Departemen ilmu kesehatan Mata. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra Utara. 2014.
5. Vaughan DG, Taylor A, and Paul RE. Oftalmologi Umum.Widya medika.
Jakarta. 2000.
6. Centers for Disease Control and Prevention. Work-related Eye Injuries
diunduh pada tanggal 2 Agustus 2011.
http://www.cdc.gov/features/dsworkPlaceEye/
7. Ilyas S. Yulianti SR. Ilmu penyakit mata edisi kelima. Badan penerbit Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia. 2015
8. Trudo EW. Rimm W. Management chemical injuries of the eye. In Chapter 7.
2014
9. Dua, H. S., King, A.J., Joseph, A. 2001 New classification for ocular surface
burns, 85:1379-1383, British Journal of Ophthalmology. Diakses 24
September 2014, dari
http://bjo.bmj.com/content/85/11/1379.full.pdfnewclassification.
10. Cohlmia Eye Center. Chemical Eye Burns Emergency Care. Diunduh pada
tanggal 18 Maret 2015 dari http://www.samcohlmia.com/wichita-chemical-
eyeburns.php
11. American College of Emergency Phycisians. Management of Ocular
Complaints. Diunduh tanggal 24 September 2014 dari
http://www.acep.org/content.aspx?id=26712
23

12. Rhee DJ, Pyfer MF, editors. The Wills Eye Manual: office and emergency
room diagnosis and treatment of eye disease. 3rdedition. Philadelphia:
Lippincott Williams&Wilkins;1999.p.19-22.

Anda mungkin juga menyukai