Anda di halaman 1dari 49

Case Report Session (CRS)

*Program Studi Profesi Dokter/ G1A218100/ 2020

**Pembimbing/ dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE

LUKA BAKAR LISTRIK

Oleh :

Luciana Lorenza, S.Ked

Dosen Pembimbing : dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN BEDAH ILMU BEDAH RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020
LEMBAR PENGESAHAN
Case Report Session (CRS)

LUKA BAKAR LISTRIK

Oleh:

Luciana Lorenza, S.Ked


G1A218100

Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan Universitas Jambi
RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi
2020

Jambi, Januari 2020


Pembimbing,

dr. Pritha Hadi, Sp.BP-RE

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Case Report Session (CRS) yang berjudul “LUKA BAKAR LISTRIK”. Dalam
kesempatan ini saya juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Pritha Hadi,
Sp.BP-RE selaku dosen pembimbing yang memberikan banyak ilmu selama di
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah.
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, penulis juga
dalam tahap pembelajaran, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar
lebih baik kedepannya.

Akhir kata, saya berharap semoga case report session (CRS) ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi dan pengetahuan kita.

Jambi, Januari 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS ........................................................................ 3
2.1 Identitas Pasien .............................................................................. 3
2.2 Anamnesis ...................................................................................... 3
2.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 4
2.4 Status Lokalisata ............................................................................ 6
2.5 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 9
2.6 Diagnosis ...................................................................................... 10
2.7 Penatalaksanaan ........................................................................... 10
2.8 Rencana Tindakan ........................................................................ 11
2.9 Prognosis ...................................................................................... 11
2.10 Follow Up Pasien ......................................................................... 12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 14
3.1 Anatomi Kulit .............................................................................. 14
3.2 Luka Bakar Listrik ....................................................................... 16
3.2.1 Definisi .............................................................................. 16
3.2.2 Etiologi .............................................................................. 17
3.2.3 Patofisiologi ...................................................................... 18
3.2.4 Derajat dan Luas Luka Bakar............................................ 20
3.2.4.1 Derajat Luka Bakar ............................................... 20
3.2.4.2 Luas Area Luka Bakar .......................................... 22
3.2.5 Pembagian Zona Kerusakan Jaringan ............................... 25
3.2.6 Fase Penyembuhan Luka .................................................. 26

iv
3.2.7 Diagnosa............................................................................ 28
3.2.7.1 Anamnesis ............................................................. 28
3.2.7.2 Pemeriksaan Fisik ................................................. 29
3.2.7.3 Pemeriksaan Penunjang ........................................ 29
3.2.8 Tatalaksana ....................................................................... 29
3.2.9 Komplikasi ........................................................................ 38
3.2.10 Prognosis ........................................................................... 39
BAB IV ANALISA KASUS....................................................................... 40
BAB V KESIMPULAN ............................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 44

v
BAB I
PENDAHULUAN

Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak


langsung atau terpapar dengan sumber panas (thermal), listrik (electric), zat kimia
(chemical), atau radiasi (radiation).1 Luka bakar masih merupakan tantangan bagi
para tenaga kesehatan dan juga salah satu krisis kesehatan utama bagi masyarakat
secara global dimana berdampak kepada gangguan permanen pada penampilan
dan fungsi diikuti oleh ketergantungan pasien, kehilangan pekerjaan dan
ketidakpastian akan masa depan. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya
pun tinggi.2
Menurut WHO, sekitar 90 persen luka bakar terjadi pada social ekonomi
rendah di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah dan daerah yang
pada umumnya tidak memiliki infrastruktur yang dibutuhkan untuk mengurangi
insiden luka bakar.3 Berdasarkan data American Burn Association (ABA) pada
tahun 2012, diperkirakan lebih dari 1,1 juta orang menderita luka bakar tiap
tahunnya di Amerika Serikat, dengan 50.000 kasus perlu dirawat di rumah sakit
dan lebih dari 4500 di antaranya meninggal karena komplikasi dari luka bakar.
Angka mortalitas penderita luka bakar di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu
27,6% (2012) di RSCM dan 26,41% (2012) di RS Dr. Soetomo.2,4
Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh
kedalaman luka bakar. Beratnya luka tergantung pada kedalaman, luas, dan letak
luka. Selain itu, waktu atau lamanya terpapar, umur dan keadaan kesehatan
penderita sebelumnya menjadi faktor yang sangat mempengaruhi prognosis. Oleh
karena itu diagnosis luka bakar ditegakkan berdasarkan kedalaman, luas,
penyebab dan lokasinya.1
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar resusitasi pada trauma dan
penerapannya pada saat yang tepat diharapkan akan dapat menurunkan sekecil
mungkin angka morbiditas dan mortalitas akibat luka bakar. Prinsip-prinsip dasar
tersebut meliputi mempertahankan primary survey (Airway, Breathing,
Circulation, Disability, Exposure) yang merupakan prioritas utama pada setiap

1
kasus trauma, mempertahankan hemodinamik dalam batas normal dengan
resusitasi cairan, mengetahui dan mengobati penyulit-penyulit yang mungkin
terjadi akibat trauma listrik, misalnya rhabdomiolisis dan disritmia jantung.3

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


 Nama : Tn. A
 Umur : 25 tahun
 Jenis Kelamin: Laki-laki
 Pekerjaan : Swasta
 Status Pernikahan: Menikah
 Alamat : Pulau Raman RT 05 Kec. Pemayung
 Agama : Islam
 Tanggal MRS: 02/01/2020
 RM : 938148

2.2 Anamnesis
 Keluhan utama : Luka bakar pada kedua tangan, kedua paha bagian
dalam, dan bokong.
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan dari RSUD H. Abdurrahman Sayoeti dengan diagnosa luka
bakar listrik.
Sejak ± 3 jam SMRS pasien tersengat listrik saat sedang bekerja
memasang tenda untuk acara pengajian di depan masjid. Pasien
mengatakan ada kabel telkom yang mengenai tenda, sehingga ketika
pasien ingin memasang besi pada atap tenda, pasien tersengat listrik. Saat
itu pasien dalam posisi duduk diatas besi dan kedua tangannya memegang
besi lain yang akan dipasang. Kejadian terjadi saat hujan turun. Lokasi
kejadian pada tempat terbuka. Pasien tetap sadar setelah kejadian dan
pasien merasa panas dan kaku diseluruh tubuhnya. Keluhan juga disertai
dengan nyeri pada kedua tangan, kedua paha bagian dalam, dan bokong.

3
Sesak nafas (-), nyeri kepala (-), pusing (-), mual dan muntah (-), suara
menjadi serak (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus (-)
- Riwayat Alergi (-)
- Riwayat Operasi (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes Mellitus (-)
 Riwayat Sosial Ekonomi : Pasien bekerja sebagai pemasang tenda dan
dekor.

2.3 Pemeriksaan Fisik


 Primary Survey
Airway : clear, pasien dapat bicara lancar, suara mengorok (-), suara
berkumur (-), suara parau (-)
Breathing : Frekuensi Nafas = 22 x/ menit, tipe torakoabdominal
Circulation : Frekuensi nadi = 72 x/ menit, reguler, isian cukup,
Tekanan darah = 120/80 mmHg
Disability : GCS 15 E4M6V5, pupil isokor, refleks cahaya (+/+),
Exposure : Suhu = 36,7°C

 Secondary Survey
 Status Generalisata
- Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
- Kesadaran: Compos Mentis
- Vital Sign:
Tekanan Darah: 120/80 mmHg
Nadi: 72 x/menit
Pernapasan: 22 x/menit

4
Suhu: 36,7°C
Saturasi Oksigen: 99%
- Status gizi :
BB = 55 kg
TB = 167 cm
IMT = 19,72 (baik)
 Pemeriksaan Kepala dan Leher :
- Kepala: Normocephal
- Mata : Refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-), jejas (-)
- THT :
 Telinga : Sekret (-/-), Nyeri tekan tragus (-)
 Hidung : Sekret (-), bulu hidung terbakar (-), jelaga (-),
deviasi septum (-), nafas cuping hidung (-)
 Mulut : Mukosa bibir kering (-), pucat (-), sianosis (-),
jelaga (-), faring hiperemis (-)
- Leher: Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
 Pemeriksaan Thoraks
Paru :
- Inspeksi : Bentuk dada normal, gerakan dinding dada simetris,
penggunaan otot-otot bantu pernapasan (-), sela iga melebar (-),
jejas (-), bekas operasi (-)
- Palpasi : Fremitus taktil kanan sama dengan kiri, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor pada kedua paru
- Auskultasi : Vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : Pulsasi ictus kordis terlihat di ICS V linea
midklavikularis sinistra
- Palpasi : Pulsasi ictus kordis teraba di ICS V linea midklavikularis
sinistra
- Perkusi :

5
o Batas Kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
o Batas Kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
o Atas : ICS II linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
 Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : Datar, jejas (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans
muscular (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
ginjal tidak teraba, turgor kulit baik.
- Perkusi : Timpani
 Pemeriksaan Ekstremitas:
- Superior: Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (+/+)
- Inferior: Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)

2.4 Status Lokalisata


 Regio Manus Dextra et Sinistra
- Inspeksi: Tampak luka bakar grade III, edema (+), eskar (+) circular,
bulla (+). Luas luka bakar: 2% + 2% = 4%.
- Palpasi: Nyeri (+), akral hangat, CRT < 2 detik
 Regio Femoralis Dextra et Sinistra
- Inspeksi: Tampak luka bakar grade IIB-III, eskar (+) sedikit, bulla (-),
edema (-). Luas luka bakar: 0,5% + 3,5% = 4%.
- Palpasi: Nyeri (+)
 Regio Gluteal
- Inspeksi: Tampak luka bakar grade IIB-III, eskar (+) sedikit, bulla (-),
edema (-). Luas luka bakar: 1%
- Palpasi: Nyeri (+)

6
 Regio Manus Dextra

 Regio Manus Sinistra

7
 Regio Femoralis Dextra et Sinistra

 Regio Gluteal

Gambar 2.1 Foto klinis tanggal 03 Januari 2020

8
2.5 Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium (02/01/2020)
Pemeriksaan Nilai Nilai Rujukan

Darah Rutin

WBC 24,44 x 109/L 4-10 109/L

RBC 6,2 x 1012/L 3,5-5,5 1012/L

HGB 12,3 g/dL 11-16 g/dl

HCT 42,5% 35-50 %

PLT 285 x 109/L 100-300 x 109/L

MCV 68,6 fl 80,0-99,0 fl

MCH 19,8 pg 26,0-32,0 pg

MCHC 289 g/L 320-360 g/L

GDS 150 mg/dl

Elektrolit

Natrium 145,47 mmol/L 135-148 mmol/L

Kalium 3,41 mmol/L 3,5-5,3 mmol/L

Chlorida 110,13 mmol/L 98-110 mmol/L

Calcium 1,23 mmol/L 1,19-1,23 mmol/L

Faal Ginjal

Ureum 23 mg/dl 15-39 mg/dl

Kreatinin 0,8 mg/dl 0,9-1,3 mg/dl

9
 Radiologi

Kesan: Cor dan Pulmo dalam batas normal

2.6 Diagnosis
Luka Bakar Grade IIB-III luas 9% TBSA ec Listrik

2.7 Penatalaksanaan
- IVFD RL 1000 cc dalam 8 jam pertama, 1000 cc dalam 16 jam berikutnya
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
- Inj. Tetagam 250 IU
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
- Pemasangan Kateter

10
2.8 Rencana Tindakan
Fasciotomi (sudah dilakukan pada tanggal 03/01/2010)

Gambar 2.2 Fasciotomi

2.9 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam

11
FOLLOW UP PASIEN

Tgl S O A P
06-01- Nyeri pada TD : 120/70 Luka Bakar - IVFD RL
2020 luka (+) mmHg Grade IIB-III - Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
HR : 78 x/i luas 9% TBSA - Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
T : 36,7oC ec Listrik post op - Perawatan luka bakar
RR : 18x/i fasciotomi H+3

Gambar 2.3 Hasil GV post op fasciotomi H+3

12
07-01- Nyeri pada TD : 110/80 Luka Bakar - IVFD RL
2020 luka (+) mmHg Grade IIB-III - Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
HR : 82 x/i luas 9% TBSA - Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
T : 37,1oC ec Listrik post - Perawatan luka bakar
RR : 20x/i op fasciotomi
H+4
08-01- Nyeri pada TD : 130/80 Luka Bakar - IVFD RL
2020 luka (+), mmHg Grade IIB-III - Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
demam (+) HR : 89 x/i luas 9% TBSA - Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
T : 37,8oC ec Listrik post - PO: Paracetamol 3 x 500
RR : 20x/i op fasciotomi mg
H+4 - Perawatan luka bakar
09-01- Nyeri pada TD : 120/80 Luka Bakar - IVFD RL
2020 luka (+), mmHg Grade IIB-III - Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
demam (+) HR : 87 x/i luas 9% TBSA - Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
T : 38,0oC ec Listrik post - PO: Paracetamol 3 x 500
RR:22x/menit op fasciotomi mg
H+4 - Perawatan luka bakar
Lab:
WBC: 14,65
RBC: 5,24
HGB: 10,3
HCT: 35,4
PLT: 188

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Kulit


Kulit merupakan organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai
peranan dalam homeostasis. Kulit terdiri dari lapisan sel di permukaan yang
disebut dengan epidermis, dan lapisan jaringan ikat yang lebih dalam, dikenal
sebagai dermis. Kulit berguna untuk:4
1. Perlindungan terhadap cedera dan kehilangan cairan, misalnya pada luka
bakar ringan.
2. Pengaturan suhu tubuh melalui kelenjar keringat dan pembuluh darah.
3. Sensasi melalui saraf kulit dan ujung akhirnya yang bersifat sensoris,
misalnya untuk rasa sakit.
Secara mikroskopis kulit dibagi menjadi 3 lapisan, yaitu epidermis,
dermis, dan lemak subkutan.

Gambar 3.1 Anatomi Kulit

14
1. Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Epidermis
terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam):
- Stratum korneum adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas
beberapa lapisan sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya
telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).4
- Stratum lusidum merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan
protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin.4
- Stratum granulosum merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan
sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini
terdiri atas keratohialin.4
- Stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal
yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya
jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti terletak ditengah-tengah.
Di antara sel-sel stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan antar sel yang
terdiri atas protoplasma dan tonofibril yang memegang peranan penting untuk
mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Di antara
sel-sel spinosum terdapat pula sel Langerhans.4
- Stratum basale (stratum germinativum) terdiri atas dua jenis sel yaitu sel-sel
yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar
yang dihubungkan satu dengan lain oleh jembatan antar sel, dan sel
pembentuk melanin atau clear cell yang merupakan sel-sel berwarna muda
dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap serta mengandung butir pigmen
(melanosomes). Sel-sel basal ini mengalami mitosis dan bertanggung jawab
dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan.4

2. Dermis
Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis dan fibrosa padat dengan elemen-
elemen selular dan folikel rambut.5 Dermis terdiri atas 2 lapisan dengan batas
yang tidak nyata, stratum papilare di sebelah luar dan stratum retikular yang lebih
dalam.

15
a. Stratum papilare, terdiri atas jaringan ikat longgar, fibroblas dan sel jaringan
ikat lainnya seperti sel mast dan makrofag. Dari lapisan ini, serabut lapisan
kolagen khusus menyelip ke dalam lamina basalis dan meluas ke dalam
dermis. Serabut kolagen tersebut mengikat dermis pada epidermis dan disebut
serabut penambat.5
b. Stratum retikular, terdiri atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama kolagen
tipe I), dan oleh karena itu memiliki lebih banyak serat dan lebih sedikit sel
daripada stratum papilar.5
Dermis kaya dengan jaringan-jaringan pembuluh darah dan limfa. Di
daerah kulit tertentu, darah dapat langsung mengalir dari arteri ke dalam vena
melalui anastomosis atau pirau arteriovenosa. Pirau ini berperan sangat penting
pada pengaturan suhu. Selain komponen tersebut, dermis mengandung beberapa
turunan epidermis, yaitu folikel rambut kelenjar keringat dan kelenjar sebasea.5

3. Subkutis
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari
lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat longgar yang mengikat kulit
secara longgar pada organ-organ di bawahnya, yang memungkinkan kulit bergeser
di atasnya. Hipodermis sering mengandung sel-sel lemak yang jumlahnya
bervariasi sesuai daerah tubuh dan ukuran yang bervariasi sesuai dengan status
gizi yang bersangkutan. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk
regenerasi.5

3.2 Luka Bakar Listrik


3.2.1 Definisi
Luka bakar listrik adalah luka yang disebabkan oleh trauma listrik, yang
merupakan jenis trauma yang di sebabkan oleh adanya persentuhan dengan benda
yang memiliki arus listrik, demikian bisa menimbulkan luka bakar sebagai akibat
berubahnya energi listrik menjadi energi panas.6

16
3.2.2 Etiologi
Trauma listrik terjadi saat seseorang menjadi bagian dari sebuah perputaran
aliran listrik atau bisa disebabkan pada saat berada dekat dengan sumber listrik.
Klasifikasi penyebab yang paling sering untuk membagi trauma karena listrik
adalah karena petir, aliran listrik tegangan rendah arus bolak balik (AC), aliran
listrik tegangan tinggi arus bolak balik (AC), dan arus searah.6
1. Petir
Petir/lightening adalah muatan listrik statis dalam awan dengan voltase
sampai 10 mega volt dan kekuatan arus listrik sampai seratus ribu ampere
yang dalam waktu 1/1000-1 detik dilepaskan kebumi. Luka karena petir
biasanya terjadi saat seseorang menjadi bagian atau bearada dekat dengan
terjadinya petir, secara umum, biasanya pasien menjadi objek yang paling
tinggi dibandingkan sekitarnya atau berada dekat dengan objek yang tinggi
misalnya pohon.6
2. Listrik tegangan Tinggi AC
Pada kasus ini tegangan listrik lebih dari 600 volt. Luka listrik karena
tegangan tinggi sering terjadi pada saat terdapat objek yang bersifat konduktif
disentuh yang tersambung dengan sumber listrik bertegangan tinggi.6
3. Listrik tegangan rendah AC
Tegangan rendah adalah 600 volt atau kurang dari 600 volt. Secara
umum, ada 2 tipe luka listrik tegangan rendah dengan arus bolak-balik yang
memungkinkan: Anak yang menggigit kawat listrik yang bisa menyebabkan
luka berat pada bibir, wajah, dan lidah, kemudian anak-anak atau orang
dewasa yang terjatuh saat menyentuh objek yang dialiri energi listrik.6
4. Arus searah (DC)
Luka listrik karena arus searah (DC) kurang berbahaya dibanding arus
bolak-balik (AC); arus dari 50-80 mA AC dapat mematikan dalam hitungan
detik, dimana 250 mA DC dalam waktu yang sama sering dapat selamat.
Arus bolak-balik adalah 4-6 kali menyebabkan kematian, sebagian karena
efek bertahan, yang merupakan hasil dari spasme otot tetanoid dan mencegah
korban lepas dari konduktor hidup.6

17
3.2.3 Patofisiologi
Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m2 pada anak
baru lahir dan 1 m2 pada orang dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan suhu
tinggi, pembuluh kapiler di bawahnya, area sekitarnya dan area yang jauh
sekalipun akan rusak dan menyebabkan permeabilitasnya meningkat. Terjadilah
kebocoran cairan intrakapiler ke interstisial sehingga tetrjadi edema dan bula yang
mengandung banyak elektrolit. Rusaknya kulit akibat luka bakar akan
mengakibatkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan penguapan.7
Kedua penyebab di atas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan
intravaskular. Pada luka bakar yang luas kurang dari 20%, mekanisme
kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. bila kulit yang terbakar luas (lebih
dari 20%), dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejala yang khas, seperti
gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun,
dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan, maksimal terjadi
setelah delapan jam.7
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas
meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehinga dapat terjadi
anemia. Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat
terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, atau uap panas yang
terhirup. Edema laring yang ditimbulkan dapat menyebabkan hambatan jalan
napas dengan gejala sesak napas, takipneu, stridor, suara parau, dan dahak
berwarna gelap akibat jelaga.7
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya.
Karbonmonoksida sangat kuat terikat dengan hemoglobin, sehingga hemoglobin
tidak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan yaitu lemas,
bingung, pusing, mual, dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma.8
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi
serta penyerapan kembali cairan dari ruang intertisial ke pembuluh darah yang
ditandai dengan meningkatnya diuresis.7
Luka bakar umumnya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah

18
infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh
kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem
pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain
berasal dari kulit penderita sendiri, juga kontaminasi dari kuman saluran nafas
atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial
biasnya sangat berbahaya karena kumanya banyak yang Sudah resisten terhadap
berbagai antibiotik.7
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat dua dapat
sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Luka bakar derajat dua yang
dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku, dan
secara ekstetik sangat jelek. Luka bakar derajat tiga yang dibiarkan sembuh sendiri
akan mengalami kontraktur. Bila ini terjadi di persendian; fungsi sendi dapat
berkurang atau hilang.7

Gambar 3.2 Patofisiologi Luka Bakar

19
3.2.4 Derajat dan Luas Luka Bakar
3.2.4.1 Derajat Luka Bakar
a. Berdasarkan Kedalaman Luka Bakar
Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh
kedalaman luka bakar. Walaupun demikian, beratnya luka bergantung pada
dalam, luas dan letak luka.3
- Luka bakar derajat I
 Kerusakan terbatas pada bagian superficial epidermis
 Kulit kering, hiperemik memberikan efloresensi berupa eritema
 Tidak dijumpai bula
 Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi
 Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari
 Contohnya adalah luka bakar akibat sengatan matahari.
- Luka bakar derajat II:
 Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi
inflamasi akut disertai proses eksudasi
 Dijumpai bula
 Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di
atas permukaan kulit normal
 Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
 Dibedakan menjadi dua:
1. Derajat II dangkal (superficial)
- Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis
- Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea masih utuh.
- Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari.
2. Derajat II dalam (deep)
- Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis
- Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea sebagian masih utuh.

20
- Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit
yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih
dari satu bulan.
- Luka bakar derajat III:
 Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih
dalam
 Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea mengalami kerusakan
 Tidak dijumpai bula
 Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Kering, letaknya
lebih rendah dibandingkan kulit sekitar akibat koagulasi protein pada
lapisan epidermis dan dermis (dikenal dengan sebuah eskar).
 Tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung
serabut saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.
 Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses efitelisasi spontan
baik dari dasar luka, tepi luka, maupun apendises kulit.

Untuk lebih mudahnya, klasifikasi dari derajat kedalaman luka bakar dapat
terlihat pada tabel berikut.8
Tabel 3.1 Derajat Kedalaman Luka Bakar

21
b. Berdasarkan berat/ringan luka bakar, menurut American Burn Association:2
1. Luka bakar berat/ kritis (major burn)
- Derajat II-III > 20% pada pasien berusia dibawah 10 tahun atau di atas
usia 50 tahun
- Derajat II-III >25% pada kelompok usia setelah disebutkan pada butir
pertama.
- Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum.
- Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa
memperhitungkan luas luka bakar.
- Luka bakar listrik tegangan tinggi
- Disertai trauma lainnya
- Pasien-pasien dengan risiko tinggi.
2. Luka bakar sedang (moderate burn)
- Luka bakar dengan luas 15-25% pada dewasa, dengan luka bakar
derajat tiga kurang dari 10%
- Luka bakar dengan luas 10-20% pada anak usia <10 tahun atau dewasa
> 40 tahun, dengan luka bakar derajat tiga kurang dari 10%
- Luka bakar dengan derajat tiga <10% pada anak maupun dewasa yang
tidak mengenai muka, tangan, kaki dan perineum.
3. Luka bakar ringan
- Luka bakar dengan luas <15% pada dewasa
- Luka bakar dengan luas <10% pada anak dan usia lanjut
- Luka bakar dengan luas <2% pada segala usia, tidak mengenai muka,
tangan, kaki dan perineum.

3.2.4.2 Luas Area Luka Bakar


Ada 3 metode yang biasa digunakan dalam menilai area luka bakar. Perlu
diketahui untuk menghindari overestimasi, area eritem tidak perlu dimasukkan
kedalam perhitungan, dengan cara menunggu sampai eritem tersebut hilang.9

22
a. Metode Palmar Surface
Metode untuk mengestimasi luka bakar yang kecil adalah dengan
menggunakan permukaan telapak tangan dari tangan pasien, yang diperkirakan
1% dari luas permukaan tubuh (total body surface area). Dapat digunakan untuk
menghitung luka bakar kecil (< 15%) atau luka bakar besar (> 85%). Tidak
berguna untuk luka bakar menengah.8,9

Gambar 3.3 Metode Palmar Surface

b. Metode Wallace Rules of Nine


Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh.
Pada orang dewasa digunakan rumus 9, yaitu luas kepala dan leher, dada,
punggung, perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas
kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri
masing-masing 9%, sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu
menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.8
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas permukaan relatif
kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena
alasan inilah digunakan Pediatric Rule of Nines. Pada metode ini, perhitungan
dimodifikasi pada berbagai kelompok usia untuk memperoleh akurasi perhitungan

23
luas permukaan tubuh, terutama pada kepala dan ekstremitas bawah. Untuk setiap
tambahan tahun usia kehidupan, 1% dikurangi dari kepala dan didistribusikan rata
pada ekstremitas bawah. Mulai usia 9 tahun, perhitungan dewasa mulai
diterapkan, termasuk luas 1 % untuk perineum.8

Gambar 3.4 Metode Rule of Nines

c. Metode Lund and Browder Chart


Metode ini jika digunakan secara tepat maka merupakan metode yang paling
efektif. Cara Lund and Browner ini mengikuti variasi bentuk tubuh manusia dan
juga akurat bagi anak-anak. Jadi, total nilai untuk keseluruhan bagian tubuh bila
dijumlahkan menjadi 100%.

24
Gambar 3.5 Lund and Browder Chart

3.2.5 Pembagian Zona Kerusakan Jaringan


Luka bakar dikelompokkan menjadi tiga zona berdasarkan derajat
kerusakan jaringan dan perubahan pada aliran darah. Pada bagian pusat atau
tengah luka disebut sebagai zona koagulasi, yaitu zona yang paling banyak
terpapar panas dan mengalami kerusakan terberat. Protein akan mengalami
denaturasi pada suhu diatas 41oC, sehingga panas yang berlebih pada tempat luka
akan mengakibatkan denaturasi protein, degradasi, dan koagulasi yang mampu
menyebakan nekrosis jaringan. Diluar zona koagulasi terdapat zona stasis atau
zona iskemik yang ditandai dengan menurunnya perfusi jaringan. Zona stasis
merupakan zona yang berpotensi untuk dilakukan penyelamatan jaringan.10

25
Pada zona stasis, hipoksia dan iskemik dapat menyebabkan nekrosis
jaringan dalam 48 jam bila tidak dilakukan pertolongan. Penjelasan mengenai
terjadinya mekanisme apoptosis dan nekrosis yang terjadi belum dapat dijelaskan
secara detail, tetapi proses autofagus akan terjadi dalam 24 jam pertama luka dan
apoptosis onset lambat pada 24 hingga 48 jam pasca trauma luka bakar. Pada
daerah paling luar luka yaitu zona hiperemis, merupakan zona yang menerima
peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi inflamasi.10
Zona-zona ini adalah lingkungan yang dinamis. Di daerah dangkal dan di
sekitar tepinya, proses perbaikan yang biasa terjadi (pertumbuhan dalam
kapiler dan fibroblast diikuti oleh pembentukan jaringan granulasi dan bekas
luka). Setelah 3–4 hari, hilangnya viabilitas jaringan di zona stasis (misalnya,
karena tertunda atau manajemen yang kurang optimal) akan menyebabkan
membakar luka menjadi lebih dalam dan lebih lebar.10

Gambar 3.6 Zona Kerusakan Jaringan

3.2.6 Fase Penyembukan Luka


Tubuh secara normal akan merespon terhadap luka melalui proses
peradangan yang dikarakteristikan dengan lima tanda utama yaitu bengkak,
kemerahan, panas, nyeri dan kerusakan fungsi. Proses penyembuhannya
mencakup beberapa fase yaitu:
a. Fase Inflamatori

26
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses
utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis
(penghentian perdarahan) akibat vasokonstriksi pembuluh darah besar di
daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan
jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Scab (keropeng)
juga dibentuk dipermukaan luka. Scab membantu hemostasis dan mencegah
kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel
berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel membantu sebagai barier antara tubuh
dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Suplai darah
yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang
diperlukan pada proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama
sel berpindah lekosit (terutama neutrofil) berpindah ke daerah interstitial.
Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih
kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme
dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga
mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan
ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama
mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting
bagi proses penyembuhan.
Respon segera setelah terjadi injuri akan terjadi pembekuan darah untuk
mencegah kehilangan darah. Karakteristik fase ini adalah tumor, rubor, dolor,
calor, functio laesa. Lama fase ini bisa singkat jika tidak terjadi infeksi.1
b. Fase Proliferasi
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke–21.
Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh
darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid.
Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah
luka mulai 24 jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan mensintesis
kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah
terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan

27
permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan
permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi dan
epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang
memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.1
c. Fase Maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus
mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam struktur
yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan
meninggalkan garis putih. Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang
merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang
berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen yang baru yang
mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan. Terbentuk
jaringan parut 50–80% sama kuatnya dengan jaringan sebelumnya. Kemudian
terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas selular dan vaskularisasi
jaringan yang mengalami perbaikan.1

3.2.7 Diagnosa
3.2.7.1 Anamnesis
Anamnesa riwayat trauma sangat penting dalam penanganan luka bakar.
Sewaktu menyelamatkan diri dari tempat kebakaran, akan mungkin terjadi cedera
penyerta. Ledakan dapat melemparkan penderita, yang mengakibatkan misalnya
cedera otak, jantung, paru-paru, trauma abdomen dan fraktur. Catat waktu
terjadinya trauma. Luka bakar yang terjadi di ruangan tertutup harus dicurigai
terjadinya trauma inhalasi.9
Anamnesa dari penderita sendiri atau keluarga, hendaknya juga mencakup
riwayat singkat penyakit yang diderita sekarang, misalnya diabetes, hipertensi,
jantung, paru-paru dan atau ginjal serta obat-obatan yang sedang dipakai untuk
terapi. Penting juga diketahui riwayat alergi atau status imunisasi tetanus.1

28
3.2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Untuk dapat merencanakan dan menangani penderita dengan baik, yaitu
tentukan luas dan dalamnya luka bakar, periksa apakah ada cedera ikutan, dan
timbang berat badan penderita.1
3.2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaaan penunjang yang dilakukan pada luka bakar adalah :
a. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
b. Ureum dan elektrolit
c. Jika curiga trauma inhalasi: rontgen toraks, gas darah arteri, perkiraan CO.
d. Golongan darah dan cross match.
e. EKG/enzim jantung dengan luka bakar listrik
f.
Pada anak-anak lakukan cek gula darah secara berkala untuk menghindari
hipoglikemi.9

3.2.8 Tatalaksana
Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera sehingga
penatalaksanaannya secara umum sesuai dengan penatalaksanaan cedera yang
diterapkan menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS) secara khusus
menurut Advanced Burn Life Support (ABLS) dijabarkan sebagai berikut:
A. Primary Survey
1. Airway maintenance dengan kontrol tulang belakang servikal
Penilaian jalan nafas harus diperhatikan sejak awal pasien diterima
dan harus dipastikan bahwa tidak ada hambatan jalan napas. Manuver chin
lift, jaw thrust, pemasangan oropharingeal tube pada pasien tidak sadar
atau pertimbangan pemasangan endotrakeal tube dapat dilakukan untuk
pembebasan jalan napas. Memposisikan pasien dalam posisi in-line
dengan proteksi servikal juga harus dilakukan sebelum melakukan
tindakan yang lain. Perhatian utama status pernafasan pasien yang
berhubungan dengan dan atau asap/sisa pembakaran yang terhisap ialah
cedera inhalasi, hal ini dapat dicurigai jika didapati tanda klinis seperti :
 Luka bakar yang mengenai wajah dan atau leher

29
 Terbakarnya alis mata dan rambut hidung
 Dijumpainya deposit karbon pada mulut dan atau hidung dan pada
sputum (Carbonaceous sputum)
 Terdapat tanda-tanda radang akut daerah orofaring, seperti eritema
 Suara serak
 Ledakan yang disertai api yang mengenai kepala dan badan
 Kadar dari carboxyhemoglobin lebih dari 10 % pada pasien luka bakar
 Adanya penurunan kesadaran pada pasien
Informasi awal yang harus diperoleh adalah ada tidaknya
abnormalitas jalan nafas sebelumnya, cedera jalan nafas yang ada
sekarang, dan tanda-tanda obstruksi jalan nafas. Meskipun jalan nafas
pasien tampak normal, perlu dipertimbangkan untuk melakukan intubasi
endotrakeal terutama jika ditemukan tanda-tanda cedera inhalasi. Indikasi
pemasangan intubasi dengan segera ketika dijumpai stridor dan luka bakar
yang mengenai sekeliling leher karena dapat menyebabkan pembengkakan
di jaringan jalan napas.10

2. Breathing and ventilation dengan pemberian oksigen


Ventilasi membutuhkan paru, dinding dada, dan diafragma dalam
keadaan yang fungsional dan harus dievaluasi pada survey primer.
 Inspeksi, palpasi, dan auskultasi dada
 Periksa cepat pernapasan, kedalaman, asimetri, dan usaha pernapasan
 Pasang pulse oxymetry
 Memberikan terapi oksigen high flow 15 L pada setiap pasien dengan
menggunakan masker non-rebreathing
Gangguan mekanisme bernapas harus lebih diperhatikan pada kasus-
kasus seperti:
 Hipoksia yang mungkin berhubungan dengan trauma inhalasi, adanya
skar melingkar di dinding dada dan atau adanya cedera toraks (misal
pneumotoraks, hematoraks, fraktur tulang iga) yang menyebabkan

30
ventilasi tidak adekuat. Adanya luka bakar pada anterior atau lateral
dada yang menyebabkan restriksi pergerakan dada tindakan
escharotomy mungkin dibutuhkan.
 Keracunan karbon monosida terutama pada pasien yang terbakar pada
ruangan tertutup. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan kadarcarboxyhemoglobin (HbCO) pasien dengan kadar HbCO
dibawah 20% masih belum menunjukkan gejala klinis dan tanda warna
kulit berwarna cherry-red sangat jarang ditemukan hanya dapat
ditemukan saat pasien hampir mati.
 Cedera inhalasi asap. Terinhalasinya bahan pembakar termasuk partikel
karbon dan uap toksik dapat menyebabkan inflamasi (capillary leakage)
sehingga terjadi gangguan difusi oksigen.
Pada pasien dengan kondisi hemodinamik yang stabil dan tidak
terdapatnya cedera spinal dapat dilakukan peninggian kepala dan dada
setinggi 30o untuk mengurangi edema pada leher dan dada.10

3. Circulation dengan kontrol perdarahan


Fungsi memantau sirkulasi perifer pada pasien dengan luka bakar
adalah untuk mencegah terjadinya sindrom kompartemen. Sindrom
komparemen disebabkan oleh peningkatan tekanan didalam kompartemen
yang mempengaruhi perfusi pada jaringan-jaringan didalam kompartemen
tersebut. Pada ekstremitas, perfusi pada otot di dalam kompartemen adalah
perhatian utama. Tekanan kompartemen lebih dari 30 mmHg dapat
menyebabkan nekrosis otot. Jika pulsasi nadi pada daerah ekstremitas telah
hilang, akan sulit untuk mencegah terjadinya nekrosis otot. Karena itu,
pemeriksa harus mengetahui tanda-tanda sindrom kompartemen, yaitu
meningkatnya nyeri pada gerakan pasif dan melemahnya pulsasi distal
atau gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal
dengan 5 P:
1. Pain (nyeri)
2. Pallor (pucat)

31
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4. Parestesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis
Jika diduga terjadi sindrom kompartemen, ukur tekanan
kompartemen dengan memasukkan jarum yang dihubungkan dengan
monitor tekanan arteri atau sentral ke dalam kompartemen. Jika tekanan >
30 mmHg, maka perlu dilakukan escharatomy.10
Selain itu, penting untuk menilai status sirkulasi distal, periksa
apakah ada sianosis, CRT yang memanjang, dan gejala-gejala neurologis,
seperti parestesia. Penilaian pulsasi perifer pada pasien dengan luka bakar
paling baik dilakukan dengan Doppler Ultrasonic flow meter.10
Perhatian utama pada adanya manifestasi klinis syok hipovolemik
intravaskular dan syok selular yang timbul pada luka bakar (yaitu:
gangguan kesadaran, pucat, takikardia, nadi cepat dan tidak teratur,
disertai pengisian kapilar yang tidak adekuat atau uji pengisian kapilar >2
detik, suhu tubuh turun naik).10
Adanya disritmia jantung mungkin tanda awal dari hipoksia,
gangguan elektrolit ataupun gangguan asam-basa sehingga pemasangan
elektrokardiogram (EKG) harus dipantau. Pada kasus luka bakar listrik
gangguan aritmia jantung dapat terjadi akibat listrik yang mengalir
sehingga dibutuhkan monitoring terhadap EKG jantung. Adanya kontraksi
otot secara paksa akibat aliran listrik dapat menyebabkan kerusakan pada
otot, tulang bahkan termasuk tulang vetebra. Mioglobin yang terlepas
akibat rabdomiolisis dapat menyebabkan gagal ginjal akut yang ditandai
dengan urin yang berwarna kemerahan ataupun gelap.10

4. Disability
 Tentukan tingkat kesadaran menggunakan:
1. Skala AVPU:
A – Alert (sadar)
V – Respon terhadap rangsang Verbal (suara)

32
P – Respon terhadap stimuli nyeri (Pain)
U – Unresponsive (tidak merespon)
2. Glasgow Coma Scale (GCS):

 Periksa pupil untuk mencari tanda lokalisasi. Apakah salah satu pupil
terdilatasi? Hal ini dapat mengindikasikan kelainan intracranial atau
trauma mata.
 Periksa respon pupil terhadap cahaya.8

5. Exposure
 Lepaskan semua pakaian dan perhiasan pasien.
 Log roll pasien untuk melihat permukaan posterior.
 Pastikan pasien tetap hangat.
 Estimasi area yang terbakar dengan menggunakan metode “Rule of
Nines” atau “Palmar surface”.8

33
B. Resusitasi Cairan
Dikenal dua regimen yang banyak dianut beberapa tahun terakhir, yaitu
regimen (formula) Evans-Brooke dan regimen (formula) Baxter/Parkland.
1. Formula Evans-Brooke
Evans dan Brooke menggunakan larutan fisiologik, koloid dan glukosa
dalam resusitasi. Ketiga jenis cairan ini diberikan dalam waktu dua puluh
empat jam pertama. Dasar pemikirannya adalah, bahwa pada luka bakar
dijumpai inefektivitas hemoglobin dalam menyelenggarakan proses
oksigenasi. Disamping itu terjadi kehilangan energi yang memengaruhi
proses penyembuhan. Untuk itu diperlukan darah yang efektif dan asupan
energi dalam bentuk glukosa. Jumlah cairan diberikan dengan
memperhitungkan luas permukaan luka bakar dan berat badan pasien
(dalam kilogram). Hari pertama, separuh jumlah kebutuhan cairan
diberikan dalam delapan jam pertama, sisanya diberikan dalam enam belas
jam sisa. Jumlah cairan yang dibutuhkan pada hari pertama adalah
sebagaimana tercantum dalam tabel berikut.

Pada hari kedua, diberikan separuh jumlah kebutuhan koloid (darah) dan
larutan saline ditambah 2000 ml glukosa; pemberian secara merata dalam
24 jam.2
2. Formula Baxter / Parkland
Parkland berpendapat, bahwa syok yang terjadi pada kasus luka bakar
adalah jenis hipovolemia, yang hanya membutuhkan penggantian cairan
(yaitu kristaloid). Menurut Baxter dan Parkland, pada kondisi syok
hipovolemia yang dibutuhkan adalah mengganti cairan; dalam hal ini
cairan yang diperlukan adalah larutan fisiologik (mengandung elektrolit).

34
Oleh karenanya mereka yang sepaham dengan kelompok Parkland dan
Baxter hanya mengandalkan larutan kristaloid (Ringer’s Lactate, RL)
untuk resusitasi. Dan ternyata pemberian cairan RL ini sudah mencukupi,
bahkan mengurangi kebutuhan transfusi. Penurunan efektivitas
hemoglobin yang terjadi disebabkan perlekatan eritrosit, trombosit,
leukosit dan komponen sel lainnya pada dinding pembuluh darah
(endotel). Jumlah cairan yang diperlukan pada hari pertama adalah sesuai
dengan perhitungan Baxter (3-4 ml/kgBB), sehingga kebutuhan cairan
resusitasi menurut Parkland adalah:

Dengan pemantauan jumlah diuresis antara 0,5-1ml/kgBBjam.


Pada hari kedua, jumlah cairan diberikan secara merata dalam dua puluh
empat jam. Kebutuhan maintenance dipenuhi dengan pemberian dekstrose
5% 2000 mL dibagi merata dalam 24 jam, atau sesuai kebutuhan.2
3. Resusitasi cairan pada syok
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada kondisi syok resusitasi cairan
tidak berpedoman pada regimen resusitasi cairan berdasarkan formula
yang ada. Syok merupakan suatu kondisi klinik dimana terjadi gangguan
sirkulasi, yang menyebabkan gangguan perfusi dan oksigenasi sel /
jaringan. Jumlah cairan yang hilang pada kondisi syok diperkirakan lebih
dari 25% volume cairan tubuh; bila seorang dengan berat badan 70kg
jumlah cairan tubuhnya adalah 4.200 mL mengalami kehilangan 25%
volume tersebut (kurang lebih 1.050 mL), maka timbul manifestasi syok.

C. Secondary Survey
Komponen utama secondary survey adalah anamnesis, pemeriksaan
fisik ulang, dokumentasi, pemeriksaan laboratorium dan radiologi,
pemeliharaan sirkulasi perifer pada daerah yang terbakar, pemasangan NGT,
kontrol infeksi dan penanganan nyeri, pengaturan nutrisi dan perawatan
luka.11

35
1. Anamnesis8
Hal-hal yang perlu ditanyakan berupa:
A: Alergi
M: Medikasi (obat yang sedang diminum saat ini)
P: Past illness (penyakit dahulu)
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Events & circumstances related to injury (kejadian dan lingkungan
yang berhubungan dengan trauma)
Yang penting ditanyakan untuk mengetahui mekanisme cedera:
 Kapan saat kejadian terjadi?
 Bagaimana kejadiannya dapat terjadi?
 Apakah sempat tidak sadarkan diri dan berapa lama?
 Apakah anda lupa dengan kejadiannya?
 Durasi terpapar
 Ruangan terbuka/tertutup?
 Jenis pakaian yang digunakan
 Voltase dan arus listrik (AC atau DC) pada luka bakar listrik
 Penilaian adekuat atau tidaknya pertolongan pertama
2. Pemeriksaan Fisik Head to Toe
Untuk menentukan rencana pengobatan pasien selanjutnya, pemeriksa
harus dapat menentukan derajat keparahan dan kedalaman luka bakar,
memeriksa adanya trauma lain, dan melakukan pengukuran berat badan
pasien.11
3. Pemeriksaan Penunjang
Ambil contoh darah untuk pemeriksaan darah lengkap, golongan darah
dan crossmatch, kadar karboksihemoglobin, gula darah, elektrolit, analisa
gas darah. Pemeriksaan foto toraks dapat dilakukan beberapa kali jika
diperlukan.11
4. Pemasangan NGT
Melakukan pemasangan NGT dan bila perlu dengan suction apabila pasien
mengalami mual, muntah, atau distensi abdomen, atau jika terdapat luka

36
bakar lebih dari 20% total BSA. Dalam hal merujuk pasien, NGT perlu
dipasang untuk mencegah terjadinya aspirasi.11
5. Kontrol Infeksi dan Penanganan Nyeri
Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi.
Antibiotik topikal tidak dibutuhkan dalam luka bakar kecil dan luka bakar
derajat I. Namun pada luka bakar derajat lebih dari II dan luka bakar yang
dalam, dibutuhkan pemberian antibiotik sesegera mungkin sambil
menunggu hasil kultur. Ada beberapa jenis obat yang dianjurkan seperti
golongan silver sulfadiazine dan yang terbaru MEBO (moist exposure
burn ointment). Krim silver sulfadiazine 1% sangat berguna karena
bersifat bakteriostatik, mempunyai daya tembus yang cukup, efektif
terhadap semua kuman, tidak menimbulkan resistensi, dan aman. Krim ini
dioleskan tanpa pembalut, dan dapat dibersihkan dan diganti setiap hari.
Untuk mengatasi nyeri, paling baik diberikan opiat melalui
intavena dalam dosis serendah mungkin yang menghasilkan analgesia
yang adekuat namun tanpa disertai hipotensi.
Selanjutnya, diberikan pencegahan tetanus berupa ATS dan atau
toksoid.11
6. Nutrisi
Nutrisi harus diberikan cukup untuk menutup kebutuhan kalori dan
keseimbangan nitrogen yang negatif pada fase katabolisme, yaitu
sebanyak 2500-3000 kalori sehari dengan kadar protein tinggi. Pada masa
kini, tiap unit luka bakar sudah menerapkan pemberian dini nutrisi enteral
melalui selang nasogastrik untuk mencegah terjadinya ulkus Curling dan
memenuhi kebutuhan status hipermetabolisme yang tarjadi pada fase akut
luka bakar. Nutrisi enteral ini diberikan melalui selang nasogastrik yang
sekaligus berfungsi untuk mendekompresi lambung. Penderita yang sudah
mulai stabil keadaanya memerlukan fisioterapi untuk memperlancar
peredaran darah dan mecegah kekakuan sendi.9

37
7. Tindakan Pembedahan
a. Eskarotomi
Saat cairan edema terakumulasi, iskemia dapat berkembang di bawah
eskar yang menyempit jika luka bakar ketebalan penuh melingkar.
Insisi eskarotomi melalui eskar anestesi dapat menyelamatkan
kehidupan dan anggota tubuh.11
b. Fasciotomi
Fasciotomi merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan
fascia dalam di atas otot yang dibuka untuk memperkenankan otot
yang membengkak membesar dengan bebas dan mengurangi tekanan
kompartemen dalam dan mengembalikan perfusi otot. Insisi
fasciotomy harus ditutup dengan dressing alginate hemostatic atau
kasa Vaselin dan dressing luar sekunder secara longgar dipasang
untuk mencegah konstriksi eksternal.8
Fasciotomi merupakan bagian dari pengobatan cedera listrik
tegangan tinggi yang berkaitan dengan kerusakan otot. Adanya
hemokromogenuria mengindikasikan adanya kerusakan otot dalam,
dan setelah dilakukan fasciotomi, otot yang baru saja terperfusi akan
melepaskan myoglobin lebih banyak dan produk penghancuran
hemoglobin ke dalam aliran darah.8

3.2.9 Komplikasi
Setelah sembuh dari luka, masalah berikutnya adalah jaringan parut yang
dapat berkembang menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapat mengganggu fungsi
dan menyebabkan kekakuan sendi atau menimbulkan cacat estetik yang buruk
sekali sehingga diperlukan juga ahli ilmu jiwa untuk mengembalikan kepercayaan
diri. Permasalahan-permasalahan yang ditakuti pada luka bakar, antara lain:8
- Infeksi
- Sepsis
- Gangguan elektrolit
- Kongesti paru

38
-
Kecacatan
-
Sindrom Kompartemen
-
Skar dan jaringan parut

3.2.10 Prognosis
Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas
permukaan badan yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi, dan
kecepatan pengobatan medikamentosa. Luka bakar minor dapat sembuh 5-10 hari
tanpa adanya jaringan parut. Luka bakar moderat dapat sembuh dalam 10-14 hari
dan mungkin menimbulkan luka parut. Luka bakar mayor membutuhkan lebih
dari 14 hari untuk sembuh dan akan membentuk jaringan parut. Jaringan parut
akan membatasi gerakan dan fungsi. Dalam beberapa kasus, pembedahan
diperlukan untuk membuang jaringan parut.12

39
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien Tn.A berumur 25 tahun datang dengan keluhan luka bakar pada
kedua tangan, kedua paha bagian dalam, dan bokong sejak ± 3 jam SMRS setelah
tersengat listrik saat sedang bekerja memasang tenda untuk acara pengajian di
depan masjid. Pasien dalam posisi duduk diatas besi dan kedua tangannya
memegang besi lain yang akan dipasang. Kejadian terjadi saat hujan turun. Lokasi
kejadian pada tempat terbuka. Pasien tetap sadar setelah kejadian dan pasien
merasa panas dan kaku diseluruh tubuhnya. Keluhan juga disertai dengan nyeri
pada kedua tangan, kedua paha bagian dalam, dan bokong. Sesak nafas (-), nyeri
kepala (-), pusing (-), mual dan muntah (-), suara menjadi serak (-), BAB dan
BAK tidak ada keluhan. Pasien dibawa ke RSUD H. Abdurrahman Sayoeti dan
mendapatkan pengobatan berupa O2 sungkup 8 L/menit, IVFD RL, Inj.
Ceftriaxone 1 x 2 gram, Inj. Ranitidin 1 ampul, Inj. Tetagam 250 IU, dan salep
silver sulfadiazine, kemudian pasien dirujuk ke RSUD Raden Mattaher.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan primary survey; Airway: clear, pasien
dapat bicara lancar, suara mengorok (-), suara berkumur (-), suara parau (-);
Breathing: Frekuensi Nafas = 22 x/ menit, tipe torakoabdominal; Circulation:
Frekuensi nadi = 72 x/ menit, reguler, isian cukup, Tekanan darah = 120/80
mmHg; Disability: GCS 15 E4M6V5, pupil isokor, refleks cahaya (+/+);
Exposure: Suhu = 36,7°C
 Regio Manus Dextra et Sinistra
- Inspeksi: Tampak luka bakar grade III, edema (+), eskar (+) circular, bulla
(+). Luas luka bakar: 2% + 2% = 4%
- Palpasi: Nyeri (-), terasa kebas (+)
 Regio Femoralis Dextra et Sinistra
- Inspeksi: Tampak luka bakar grade IIB-III, eskar (+) sedikit, bulla (-),
edema (-). Luas luka bakar: 0,5% + 3,5% = 4%
- Palpasi: Nyeri (+)
 Regio Gluteal

40
- Inspeksi: Tampak luka bakar grade IIB-III, eskar (+) sedikit, bulla (-),
edema (-). Luas luka bakar: 1%
- Palpasi: Nyeri (+)
Dari pemeriksaan laboratorium pada tanggal 02/01/2020 didapatkan
peningkatan leukosit yaitu 24,44 x 109/L yang menandakan terjadinya
leukositosis. Pada pemeriksaan fungsi ginjal, didapatkan Ureum 23 mg/dl dan
Kreatinin: 0,8 mg/dL dengan kesan normal. Pada pemeriksaan elektrolit dengan
kesan normal.
Pasien mendapatkan tatalaksana:
- IVFD RL 1000 cc dalam 8 jam pertama, 1000 cc dalam 16 jam berikutnya
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
- Inj. Tetagam 250 IU
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
- Pemasangan Kateter
Penatalaksanaan pasien di IGD ini menggunakan rumus baxter dimana
rumusnya adalah:

Kebutuhan cairan 24 jam pertama= 4 ml x 55 kg x 9% = 1980 cc RL


Dan untuk hari ke 2 dengan jumlah cairan ½ hari pertama
Dari total cairan yang harus diberikan dalam 24 jam pertama, dibagi dalam
dua pemberian yaitu cairan pada 8 jam pertama dan 16 jam kedua. Cairan yang
digunakan yaitu Ringer Laktat (RL). Hal yang dimonitor selama resusitasi yaitu
output urin 0,5 – 1 mL/kg BB/jam dan tanda-tanda vital.
Setelah itu dilakukan rencana tindakan fasciotomi yaitu membuka fascia
dalam di atas otot untuk memperkenankan otot yang membengkak membesar
dengan bebas dan mengurangi tekanan kompartemen dalam dan mengembalikan
perfusi otot sehingga otot yang cedera tidak semakin meluas. Untuk menutup
luka, digunakan kasa Vaselin dan ditutup dengan menggunakan slayer dan soft
gips.
Diberikan antibiotik berspektrum luas yaitu Ceftriaxone 1 x 2 gram (IV)
karena luka bakar yang tidak steril diakibatkan oleh kontaminasi pada kulit mati,

41
yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan
mempermudah infeksi. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal
dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan
kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Selain pemberian antibiotik,
pasien juga diberikan analgetik golongan NSAID untuk mengurangi nyeri yang
dirasakan oleh pasien yaitu berupa Ketorolac 3 x 30 mg. Pada pasien juga
diberikan pencegahan tetanus berupa Tetanus Immunoglobulin (TIG) yaitu
Tetagam 250 IU (IV).
Dilakukan juga pemasangan kateter untuk menilai balance cairan, dimana
nilai normal untuk output urin adalah 0,5–1 mL/kgBB/jam. Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini didapatkan
diagnosa Luka Bakar Grade IIB-III luas 9% TSBA ec Listrik dan dilakukan
penatalaksanaan yang tepat sesuai dengan teori yang ada.

42
BAB V
KESIMPULAN

Luka bakar listrik adalah luka yang disebabkan oleh trauma listrik, yang
merupakan jenis trauma yang di sebabkan oleh adanya persentuhan dengan benda
yang memiliki arus listrik, demikian bisa menimbulkan luka bakar sebagai akibat
berubahnya energi listrik menjadi energi panas.
Trauma listrik terjadi saat seseorang menjadi bagian dari sebuah
perputaran aliran listrik atau bisa disebabkan pada saat berada dekat dengan
sumber listrik. Klasifikasi penyebab yang paling sering untuk membagi trauma
karena listrik adalah karena petir, aliran listrik tegangan rendah arus bolak balik
(AC), aliran listrik tegangan tinggi arus bolak balik (AC), dan arus searah.
Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, antara lain
klasifikasi berdasarkan derajat dan kedalaman luka bakar dibagi menjadi
kelompok yaitu luka bakar grade I, IIA (superficial), IIB (deep), dan III.
Klasifikasi berdasarkan berat/ringan luka dibagi menjadi 3 yaitu luka bakar
ringan, sedang dan berat. Untuk menilai luas luka bakar tersering menggunakan
metode “Rule of Nine” berdasarkan TBSA (Total Body Surface Area).
Luka bakar dikelompokkan menjadi tiga zona berdasarkan derajat
kerusakan jaringan dan perubahan pada aliran darah yaitu zona koagulasi, zona
statsis, dan zona hiperemis. Fase penyembuhan luka ada 3 yaitu fase inflamasi,
fase proliferasi, dan fase maturasi.
Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera sehingga
penatalaksanaannya secara umum sesuai dengan penatalaksanaan cedera yang
diterapkan menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS) secara khusus
menurut Advanced Burn Life Support (ABLS) yaitu dengan Primary survey
(Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) dan Secondary Survey
(Anamnesis, Pemeriksaan fisik head to toe, Pemeriksaan Penunjang).

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R, De Jong, Wim, Bab 3 : Luka, Luka Bakar dalam Buku


Ajar Ilmu Bedah, Jakarta : EGC, 2005.
2. Moenadjat, Yefta. Luka Bakar: Pengetahuan Klinis Praktis. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005.
3. Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors. 2014. Edisi 9.
Jakarta: IKABI.
4. Moore, K.L. dan AMR. Agur. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta.
2002.
5. Junqueira, L.C. dan J. Carneiro. 2007. Histologi Dasar Teks & Atlas. 10th
ed. Jakarta: EGC.
6. Ramdhani M., Konsep Rangkaian Listrik. [online] [cited on 2008 April 5
th] available at : http://www.bsn.or.id/files/sni/SNI04- 6267.446-2003.pdf
7. Grace, P.A., R.B. Neil. At a Glance: Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta.
Erlangga. 2005.
8. ANZBA. Emergency Management of Severe Burns (ESMB). Edisi 18.
2016. Australian-New Zealand Burn Association (ANZBA).
9. Sudjatmiko, G. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi, Ed. III.
Jakarta : Yayasan Khazanah Kebajikan. 2013.
10. Nisanci M, Eski M, Sahin I, Ilgan S, Isik S. Saving the zone of stasis in
burns with activated protein C: an experimental study in rats. Burns. 2010.
36:397–402.
11. American Burn Association. Advanced Burn Life Support Course. 2007.
12. Tintinalli JE. Emergency medicine: a comprehensive study guide. New
York: McGraw-Hill Companies. 2010.

44

Anda mungkin juga menyukai