Modul Umum Pendamping Desa 2017 FNL
Modul Umum Pendamping Desa 2017 FNL
PELATIHAN PRATUGAS
PENDAMPING DESA
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG
NOMOR 6 TAHUN 2014
TENTANG DESA
Modul PelatihanPratugas
Pendamping Desa
Modul PelatihanPratugas
Pendamping Desa
Implementasi
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
TIM PENULIS : Roni Budi Sulistyo, Nurahman Joko Wiryanu, Hasan Rofiki, Harbit
Manika, Mohamad Zaini, Nurul Hadi, Mohammad Arwani, Mulus Budianto, Mohammad
Sabri, Panji Pradana, Hasim Adnan, Wahyu Hananto Pribadi, Dindin Abdullah A, Nur
Kholid, Muflihun, Wahjudin Sumpeno.
Diterbitkan oleh:
KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL,
DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
Jl. TMP. Kalibata No. 17 Pasar Minggu Jakarta Selatan 12740
Telp. (021) 79172244, Fax. (021) 7972242
Web: www.kemendesa.go.id
1. DESA adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. KEWENANGAN DESA adalah kewenangan yang dimiliki Desa meliputi
kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan
Masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat
Desa.
3. PEMERINTAHAN DESA adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4. PEMERINTAH DESA adalah kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain
dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
5. BADAN PERMUSYAWARATAN DESA atau yang disebut dengan nama lain
adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya
merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokratis.
6. LEMBAGA KEMASYARAKATAN adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat
sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah dalam
memberdayakan masyarakat.
7. MUSYAWARAH DESA atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah
antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat
yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal
yang bersifat strategis.
8. MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA atau yang disebut
dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa,
Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Desa untuk menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan
Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa,
swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.
9. KESEPAKATAN MUSYAWARAH DESA adalah suatu hasil keputusan dari
Musyawarah Desa dalam bentuk kesepakatan yang dituangkan dalam Berita
Acara kesepakatan Musyawarah Desa yang ditandatangani oleh Ketua Badan
Permusyawaratan Desa dan Kepala Desa.
Pokok Bahasan 1
DINAMIKA KELOMPOK DAN
PENGORGANISASIAN PESERTA
Tujuan
Pre test dilakukan dengan tujuan:
1. Sebagai masukan bagi fasilitator dalam memandu forum;
2. Tolok ukur dalam mengukur keberhasilan pelatihan;
Waktu
-
Metode
Tes tertulis
Media
Lembar pertanyaan
Lembar jawaban
Alat Bantu
-
Proses Penyajian
1. Pre test diselenggarakan sebelum rangkaian kegiatan pembukaan.
2. Setiap peserta mendapatkan lembar pertanyaan dan lembar jawaban saat
check in; pembagian lembar pertanyaan dan lembar jawaban dilakukan
secara langsung kepada tiap peserta tanpa menunggu seluruh peserta
lengkap.
3. Berikan instruksi dengan jelas bahwa lembar jawaban yang sudah diisi harus
dikembalikan pada panitia saat peserta masuk ke ruang acara pembukaan.
4. Seluruh lembar jawaban yang telah diisi direkapitulasi dan hasilnya
diserahkan kepada fasilitator.
Rencana Pembelajaran
SPB
1.2 Perkenalan
Tujuan
Setelah sesi ini peserta diharapkan dapat:
1. Mengatasi hambatan berkomunikasi;
2. Saling mengenal antar peserta, dengan fasilitator dan panitia.
Waktu
40 menit
Metode
Permainan
Media
Lembar permainan
Proses Penyajian
1. Jelaskan tujuan, hasil, dan proses yang diharapkan dari subpokok bahasan
“Perkenalan”.
2. Mintalah setiap peserta menuliskan usia masing-masing pada metaplan
dengan angka yang besar agar bisa dilihat dari jarak jauh oleh pelatih dan
peserta lainnya. Minta juga agar semua buku catatan ditutup dan alat tulis
yang lain diletakkan (untuk mencegah peserta mencatat nama-nama peserta
lain yang tengah bicara).
3. Mintalah semua peserta berdiri dengan mengacungkan tulisan angka usia
masing-masing, membentuk lingkaran “U” dengan urutan dari yang tertua
s/d yang termuda searah jarum jam.
4. Lakukanlah perkenalan dimulai dari peserta pertama (tertua) dengan
menyebutkan nama panggilan dirinya dengan keras agar terdengar oleh
semua peserta: “BUDI...!”
5. Perkenalan dilanjutkan oleh peserta kedua dengan terlebih dahulu
menyebutkan nama peserta pertama (BUDI) kemudian disusul dengan
menyebutkan nama panggilan dirinya. Demikian seterusnya, setiap peserta
menyebutkan nama panggilan satu orang peserta sebelumnya sebelum
meneriakkan nama dirinya.
6. Setelah semua peserta mendapatkan giliran perkenalan, maka lakukanlah uji
petik secara acak. Tunjuklah salah satu peserta agar menyebutkan nama
peserta lainnya secara acak, ke samping kiri atau ke samping kanan.
7. Terakhir, secara sukarela mintalah satu atau dua peserta yang dapat
menghafal/menyebutkan semua nama peserta dari yang tertua sampai yang
termuda.
Catatan:
Permainan lain dapat digunakan disesuaikan dengan situasi kelas.
Rencana Pembelajaran
SPB
1.3 Ungkapan Harapan Peserta
Tujuan
Setelah sesi ini peserta diharapkan dapat:
1. Menuliskan kebutuhan dan harapan yang akan diwujudkan selama
pelatihan;
2. Menuliskan bentuk kontribusi yang akan diberikan dalam mewujudkan
harapan tersebut.
Waktu
25 menit
Metode
Curah pendapat, menyusun pohon harapan
Media
Metaplan
Proses Penyajian
1. Sampaikan tujuan sesi ini kepada peserta, dan tegaskan bahwa keseluruhan
proses yang akan dilalui peserta dalam keseluruhan pelatihan pratugas ini
menggunakan metode Pembelajaran Orang Dewasa (POD). Sebab itu hasil
dan keberhasilan proses pelatihan ini turut ditentukan oleh partisipasi aktif
peserta.
2. Bagikanlah kertas metaplan masing-masing 1 (satu) lembar kepada setiap
peserta.
3. Minta peserta agar menuliskan SATU harapan mereka dari pelatihan ini secara
landscape dan dengan huruf kapital.
4. Minta peserta untuk menempelkan kertas harapan mereka pada kertas
plano/papan tulis yang tersedia di depan kelas.
5. Mintalah salah seorang peserta untuk menyusun kertas harapan yang telah
tertempel di depan kedalam bentuk pohon. Pilah antara harapan yang paling
mendasar (sebagai akar), batang harapan, dan daun-daun harapan.
6. Fasilitator menegaskan harapan peserta secara singkat, dengan menekankan
harapan peserta yang paling mendasar. Ingatkan kembali prinsip orang
dewasa yang harus dijaga sepanjang pelatihan demi terpenuhinya harapan-
harapan tersebut.
Rencana Pembelajaran
SPB
1.4 Tujuan Dan Alur Pelatihan
Tujuan
Setelah sesi ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan tujuan pelatihan;
2. Menjelaskan alur pelatihan.
Waktu
15 menit
Metode
Paparan
Media
Bahan tayang alur pelatihan
Proses Penyajian
1. Sampaikan kepada peserta tentang tujuan sesi ini. Ingatkan kepada peserta
tentang prinsip Pembelajaran Orang Dewasa yang digunakan dalam proses
pelatihan sepanjang beberapa hari ke depan.
2. Berikan penjelasan dengan mengacu pada media tayang tentang Tujuan Dan
Alur Pelatihan dan kaitannya dengan tugas dan fungsi Pendamping Desa.
3. Jelaskan dengan menggunakan media tayang tentang alur pelatihan yang
akan diikuti oleh Peserta.
4. Bila masih tersisa waktu, berikan kesempatan pada peserta untuk
mengkonfirmasi atau bertanya.
Rencana Pembelajaran
SPB
1.5 Aturan Main Pelatihan
Tujuan
Setelah sesi ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan hal-hal yang dapat mendukung kelancaran proses
pelatihan;
2. Menjelaskan hal-hal yang perlu diatur selama proses pelatihan.
Waktu
10 menit
Metode
Curah pendapat
Media
Metaplan
Proses Penyajian
1. Tegaskan bahwa dalam pelatihan ini ada banyak unsur yang terlibat, mulai
Panitia, fasilitator, supervisor, dan unsur KPW.
2. Bagikan satu lembar kertas metaplan kepada setiap peserta. Mintalah mereka
untuk menuliskan aturan yang akan diberlakukan sepanjang pelatihan.
3. Minta peserta untuk menempelkan usulan mereka di kertas plano/papan tulis
yang tersedia di depan.
4. Pelatih mensortir (bila ada isian yang sama) dan mengklasifikasi setiap usulan.
Setelah itu bacakan usulan yang telah disortir dan diklasifikasi tersebut.
5. Pelatih menambahkan aturan yang belum tercakup dalam usulan peserta.
6. Sebelum sesi ditutup, lakukan review atas seluruh proses yang telah dilewati
dalam sesi-sesi di Pokok Bahasan 1 ini. Tegaskan tentang:
a) Komunikasi yang baik antar peserta, peserta dengan pelatih dan dengan
panitia;
b) Memegang teguh prinsip pembelajaran orang dewasa dan pentingnya
bagi mewujudkan harapan dalam pelatihan;
c) Tujuan pelatihan;
d) Komitmen bersama untuk mentaati aturan main pelatihan.
Pokok Bahasan 2
PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG DESA
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan Visi Undang-Undang desa;
2. Menjelaskan perbedaan mendasar antara desa lama dengan desa
baru sesuai semangat UU Desa.
Waktu
30 menit
Metode
Pemaparan dan Curah Pendapat
Media
Media Tayang
Alat Bantu
Spidol, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Jelaskan tujuan, proses dan hasil yang diharapkan dari sesi “Perubahan
Mendasar Desa”.
2. Ajaklah peserta untuk merefleksikan kondisi desa saat ini melalui pertanyaan;
Bagaimana kondisi Desa saat ini dan apa akibatnya bagi masyarakat Desa?
Apa yang dilakukan oleh Pemerintah untuk memperbaiki kondisi Desa?
Apa yang Anda ketahui tentang Visi Undang-Undang Desa?
3. Berikan tanggapan atas pendapat peserta kemudian lakukan pemaparan
tentang (i) pokok-pokok pikiran tentang visi dan perspektif atas Desa
menurut semangat undang-undang desa, (ii) perbedaan desa di bawah
regulasi desa lama dan di bawah undang-undang desa dengan mengacu
pada media tayang tentang Perubahan Mendasar Desa.
4. Berikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya dan lakukan penegasan.
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan azas dalam konteks Undang-Undang Desa;
2. Menguraikan definisi desa berdasarkan Undang-Undang Desa.
Waktu
20 menit
Metode
Pemaparan, Tanya Jawab, dan Curah Pendapat
Media
Media Tayang
Alat Bantu
Spidol, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Berikan penjelasan tentang tujuan, hasil, dan proses yang diharapkan dari
sesi “Azas dan Definisi Desa”.
2. Tanyakan kepada peserta pengertian tentang Desa dan azas apa saja yang
ada di dalam UU Desa.
3. Berikan tanggapan singkat terhadap jawaban peserta dan jelaskan
pengertian desa dan azas-azas yang ada di dalam UU Desa dengan mengacu
pada media tayang tentang Azas dan Definisi Desa.
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan kewenangan berdasarkan hak asal usul;
2. Menjelaskan kewenangan lokal berskala desa.
Waktu
20 menit
Metode
Pemaparan, Tanya Jawab, dan Curah Pendapat,.
Media
Media Tayang
Video Kewenangan Desa
Alat Bantu
Spidol, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Jelaskan kepada peserta tujuan yang hendak dicapai dalam sesi
“Kewenangan Desa”. Kemudian berikan pertanyaan tentang apa yang peserta
ketahui mengenai:
kewenangan berdasarkan hak asal-usul desa;
kewenangan berskala lokal desa;
perbedaan antara dua jenis kewenangan tersebut.
2. Berikan tanggapan dan penjelasan tentang kewenangan berdasarkan hak
asal-usul, kewenangan berskala lokal desa, perbedaan di antara kedua
kewenangan tersebut dengan mengacu pada media tayang tentang
Kewenangan Desa.
3. Beri kesempatan bagi satu atau dua peserta untuk berpendapat/bertanya.
Berikan tanggapan dan kemudian lakukan penegasan sebagai berikut:
kewenangan berdasarkan hak asal-usul desa dan kewenangan berskala
lokal desa sebagai pengakuan atas keberadaan desa sebagai komunitas
(masyarakat) berpemerintahan (self governing community).
Peran pendamping dalam mewujudkan kewenangan desa adalah
memfasilitasi penyusunan peraturan desa mengenai kewenangan desa
berdasarkan Perda/ Perbup/ Wali kota.
4. Akhiri sesi dengan menayangkan video Kewenangan Desa.
Rencana Pembelajaran
SPB
Tri Matra
2.4
Pembangunan Desa
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan pengertian tri matrapembangunan desa;
2. Menjelaskan kerangka kebijakan tri matra pembangunan desa.
Waktu
20 menit
Metode
Pemaparan, Tanya Jawab, dan speed reading
Media
Media Tayang
Lembar Kerja:
Lembar Informasi:
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Berikan penjelasan tentang tujuan dari sesi “Tri Matra Pembangunan Desa”.
2. Mintalah peserta untuk membaca dengan cepat (speed reading) bahan bacaan
yang telah disediakan tentang Tri Matra Pembangunan Desa selama lima
menit.
3. Berikan kesempatan kepada beberapa peserta untuk memberikan pendapat
tentang Tri Matra Pembangunan Desa. Berikan tanggapan tentang kedudukan
Tri Matra Pembangunan Desa sebagai program unggulan Kementerian Desa
dalam pengimplementasian UU Desa dengan mengacu pada media tayang
tentang Tri Matra Pembangunan Desa.
4. Jelaskan dengan menggunakan media tayang yang sama, mengenai:
Jaring Komunitas Wiradesa atau “JAMU DESA”
Lumbung Ekonomi Desa atau “BUMI DESA”
Lingkar Budaya Desa atau “KARYA DESA”
5. Berikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya dan mengajukan
pendapat;
6. Buatlah kesimpulan dan penegasan tentang tri matra pembangunan desa;
PB Bahan Bacaan
2 Perspektif UU Desa
1. Latar Belakang
Sejak kemerdekaan 1945, Republik Indonesia tidak pernah memiliki kebijakan dan
regulasi tentang desa yang kokoh, legitimate dan berkelanjutan. Perdebatan akademik
yang tidak selesai, tarik menarik politik yang keras, kepentingan ekonomi politik yang
menghambat, dan hasrat proyek merupakan rangkaian penyebabnya. Prof. Selo
Soemardjan, Bapak Sosiologi Indonesia dan sekaligus promotor otonomi desa,
berulangkali sejak 1956 menegaskan bahwa sikap politik pemerintah terhadap desa
tidak pernah jelas.
Perdebatan yang berlangsung di sepanjang hayat selalu berkutat pada dua hal.
Pertama, debat tentang hakekat, makna dan visi negara atas desa. Sederet masalah
konkret (kemiskinan, ketertinggalan, keterbelakangan, ketergantungan) yang melekat
pada desa, senantiasa menghadirkan pertanyaan: desa mau dibawa kemana? Apa
hakekat desa? Apa makna dan manfaat desa bagi negara dan masyarakat? Apa
manfaat desa yang hakiki jika desa hanya menjadi tempat bermukim dan hanya unit
administratif yang disuruh mengeluarkan berbagai surat keterangan?
Kedua, debat politik-hukum tentang frasa kesatuan masyarakat hukum adat dalam
UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) serta kedudukan desa dalam tata negara Republik
Indonesia. Satu pihak mengatakan bahwa desa bukanlah kesatuan masyarakat hukum
adat, melainkan sebagai struktur pemerintahan yang paling bawah. Pihak lain
mengatakan berbeda, bahwa yang disebut kesatuan masyarakat hukum adat adalah
desa atau sebutan lain seperti nagari, gampong, marga, kampung, negeri dan lain-lain
yang telah ada jauh sebelum NKRI lahir. Debat yang lain mempertanyakan status dan
bentuk desa. Apakah desa merupakan pemerintahan atau organisasi masyarakat?
Apakah desa merupakan local self government atau self governing community? Apakah
desa merupakan sebuah organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem
pemerintahan kabupaten/kota?
Dua Undang-undang yang lahir di era reformasi, yakni UU No. 22/1999 dan UU No.
32/2004, ternyata tidak mampu menjawab pertanyaan tentang hakekat, makna, visi,
dan kedudukan desa. Meskipun frasa “kesatuan masyarakat hukum” dan adat melekat
pada definisi desa, serta mengedepankan asas keragaman, tetapi cita rasa
“pemerintahan desa” yang diwariskan oleh UU No. 5/1979 masih sangat dominan.
Secara garis besar perubahan ditunjukkan dengan pembalikan paradigma dalam
memandang desa, pemerintahan dan pembangunan yang selama ini telah mengakar di
Indonesia. Pembalikan itu membuahkan perspektif “desa lama” yang berubah menjadi
“desa baru” sebagaimana tersaji dalam tabel berikut:
Dasar konstitusi UUD 1945 Pasal 18 ayat 7 UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 dan
Pasal 18 ayat 7
Delivery kewenangan dan Target: pemerintah menentukan Mandat: negara memberi mandat
program target-target kuantitatif dalam kewenangan, prakarsa dan
memnangun desa pembangunan
Politik tempat Lokasi: Desa sebagai lokasi Arena: Desa sebagai arena bagi
proyek dari atas orang desa untuk
menyelenggarakan
pemerintahan, pembangunan,
pemberdayaan dan
kemasyarakatan
Desa asli genealogis yang dibentuk oleh kombinasi antara adat dan struktur
kekerabatan secara homogen cenderung awet dan harmonis meskipun sangat
eksklusif (cenderung berorientasi ke dalam dan mengabaikan orang lain yang
berbeda). Masalah baru kemudian muncul kearifan lokal semakin memudar,
sementara pengaruh negara tidak berdampak signifikan. Pengaruh kearifan lokal
dan pengaruh negara lebih kecil ketimbang pengaruh kekerabatan dan keagamaan.
Pengaruh agama dan/atau pengaruh kekerabatan membuat desa-desa asli berubah
menjadi desa parokhial: ada yang parokhialisme kekerabatan dan ada yang
parokhialisme kegamaan. Karakter parokhial kekerabatan memang merupakan
warisan sejarah masa lalu, dimana ikatanikatan kekerabatan menjadi social bonding
bagi masyarakat, atau yang sering disebut dengan desa genealogis. Pemilihan
kepala desa secara langsung selalu menjadi arena kontestasi politik antar kerabat
(klan), dan kepala desa yang berkuasa selalu membangun emporium kecil yang
dilingkari oleh jaringan kekerabatan. Kepala desa sangat dominan menentukan
orang-orang yang duduk di BPD dan lembaga-lembaga lain yang berasal dari
kerabatnya. Mereka juga mempunyai keyakinan bahwa“aliran sumberdaya
mengikuti aliran darah”, karena itu kepala desa mendistribusikan bantuan uang dari
pemerintah hanya kepada lingkaran kerabatnya. Hubungan antara kepala desa dan
BPD tidak bersifat konfliktual, dan tidak ada juga mekanisme check and balances,
melainkan terjadi hubungan kolutif dua institusi pemerintahan desa itu.
Jika pengaruh agama lebih kuat daripada pengaruh kekerabatan, desa akan tumbuh
menjadi desa parokial berbasis agama. Desa seperti ini merupakan desa religius,
yang lebih mengutamakan ketuhanan, keimanan, dan kegiatan-kegiatan keagamaan
ketimbang kegiatan publik. Banyak kelompok kegamaan yang hadir dalam desa ini.
Umat desa ini lebih banyak membicarakan Tuhan, agama dan surga di akherat
ketimbang membicarakan masalah-masalah kesehatan, pendidikan, dan neraka di
dunia. Ukuran keberhasilan pembangunan desa parokhial berbasis agama adalah
keberadaan rumah-rumah ibadah, banyaknya ritual-ritual keagamaan, rendahnya
kemaksiatan.
Desa parokhial yang bercorak kekerabatan mengusung semangat “aliran
sumberdaya mengikuti aliran darah”, sehingga setiap alokasi sumberdaya selalu
menjadi arena pertarungan antarkeluarga. Struktur politik desa didominasi oleh
kartel elite berbasis kekerabatan. Akibatnya warga yang tidak masuk dalam jaringan
politik kekerabatan itu akan selalu marginal, tidak memperolah akses ekonomi
politik dengan baik. Sedangkan desa parokhial keagamaanmenghasilkan desa
religius. Desa semacam ini selalu membicarakan dan mengutamakan Tuhan, akherat
dan sederet kegiatan keagamaan ketimbang memperhatikan isu-isu publik seperti
kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan kemiskinan. Jika desa korporatis
memperlihatkan cerita sukses pembangunan dengan infrastruktur fisik, sementara
para pemimpin dan umat di desa parokhial religius menjadikan tempat ibadah yang
besar dan bagus sebagai ukuran keberhasilan yang paling utama, meskipun
bersandingan dengan infrastruktur dan pelayanan publik yang buruk.
3. Paradoks dan Involusi Pembangunan Desa
Di aras desa, pembangunan menjadi sebuah fungsi dan menu yang disantap setiap
hari oleh para pemuka desa. Pembangunan, menurut pemahaman awam, adalah
upaya untuk menciptakan atau memperbaiki kondisi fisik dan nonfisik atau material
dan spiritual. Jika mengikuti kebebijakan pemerintah di masa lalu, pembangunan
desa mempunyai dimensi yang sangat luas: membangun sarana dan prasarana fisik,
ekonomi dan sosial; meningkatkan pendapatan masyarakat, menanggulangi
kemiskinan, dan masih banyak lagi. Tetapi tradisi yang terjadi, pembangunan di desa
adalah pembangunan sarana fisik (yang terlihat hasilnya seperti jalan, irigasi, pasar,
tempat ibadah, kantor desa, dan lain-lain), yang diyakini bisa mempermudah
transportasi dan arus transaksi ekonomi.
Urusan pemerintahan yang sudah ada Kewenangan berdasarkan hak asal usul
berdasarkan hak asal-usul desa
Urusan pemerintahan lainnya yang oleh Kewenangan lain yang ditugaskan oleh
peraturan perundangperundangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau
diserahkan kepada desa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
Kewenangan desa sebenarnya tidak hanya mencakup empat butir besar tersebut.
Ada satu jenis kewenangan lagi yang dimiliki oleh desa, yaitu kewenangan melekat
atau sering disebut sebagai kewenangan atributif yang tidak tersurat dalam UU No.
6/2014. Sebagai organisasi pemerintahan, desa memiliki sejumlah kewenangan
melekat (atributif) tanpa harus disebutkan secara tersurat (eksplisit) dalam daftar
kewenangan desa. Ada sejumlah kewenangan melekat milik desa yang sudah
dimandatkan oleh UU No. 6/2014, yakni: (1) Memilih kepala desa dan
menyelenggarakan pemilihan kepala desa. (2) Membentuk dan menetapkan
susunan dan personil perangkat desa. (3) Menyelenggarakan musyawarah desa. (4)
Menyusun dan menetapkan perencanaan desa.Menyusun, menetapkan dan
melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. (5) Menyusun, menetapkan
dan melaksanakan peraturan desa. (6) Membentuk dan membina lembaga-lembaga
kemasyarakatan maupun lembaga adat. (7) Membentuk dan menjalankan Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes)
5. Kewenangan lokal berskala desa.
Kewenangan lokal terkait dengan kepentingan masyarakat setempat yang sudah
dijalankan oleh desa atau mampu dijalankan oleh desa, karena muncul dari prakarsa
masyarakat. Dengan kalimat lain, kewenangan lokal adalah kewenangan yang lahir
karena prakarsa dari desa sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan kondisi lokal
desa. Kewenangan yang terkait dengan kepentingan masyarakat ini mempunyai
cakupan yang relatif kecil dalam lingkup desa, yang berkaitan sangat dekat dengan
kebutuhan hidup sehari-hari warga desa, dan tidak mempunyai dampak keluar
(eksternalitas) dan kebijakan makro yang luas. Jenis kewenangan lokal berskala desa
ini merupakan turunan dari konsep subsidiaritas, yang berarti bahwa baik masalah
maupun urusan berskala lokal yang sangat dekat dengan masyarakat sebaik
mungkin diputuskan dan diselesaikan oleh organisasi lokal (dalam hal ini adalah
desa), tanpa harus ditangani oleh organisasi yang lebih tinggi. Menutut konsep
subsidiaritas, urusan yang terkait dengan kepentingan masyarakat setempat atas
prakarsa desa dan masyarakat setempat, disebut sebagai kewenangan lokal berskala
desa.
Tabel Daftar positif kewenangan lokal berskala desa
No Mandat Pembangunan Daftar Kewenangan Lokal
1 Pelayanan dasar Posyandu, penyediaan air bersih, sanggar belajar dan seni,
perpustakaan desa, poliklinik desa.
2 Sarana dan prasarana Jalan desa, jalan usaha tani, embung desa, rumah ibadah,
sanitasi dan drainase, irigasi tersier, dan lainlain.
3 Ekonomi lokal Pasar desa, usaha kecil berbasis desa, karamba ikan, lumbung
pangan, tambatan perahu, wisata desa, kios, rumah potong
hewan dan tempat pelelangan ikan desa, dan lain-lain.
4 SDA dan lingkungan Hutan dan kebun rakyat, hutan bakau, dll.
Daftar positif kewenangan desa juga bisa dijabarkan secara sektoral. Kewenangan lokal desa
secara sektoral ini meliputi dimensi kelembagaan, infastruktur, komoditas, modal dan
pengembangan. Pada sektor pertanian misalnya, desa mempunyai kewenangan
mengembangkan dan membina kelompok tani, pelatihan bagi petani, menyediakan
infrastruktur pertanian berskala desa, penyediaan anggaran untuk modal, pengembangan
benih, konsolidasi lahan, pemilihan bibit unggul, sistem tanam, pengembangan teknologi
tepat guna, maupun diversifikasi usaha tani[.]
Bahan Bacaan
SPB
Tri Matra Pembangunan
2.4
Desa
1945.Yaitu amanat untuk melakukan pengorganisasian kegiatan ekonomi berdasar atas asas
kekeluargaan, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta penggunaan kekayaan alam untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Lumbung Ekonomi Desa diarahkan untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk
mewujudkan kedaulatan pangan, ketahanan energi dan kemandirian ekonomi desa.Sebagai
basis kegiatan pertanian dan perikanan, desa diharapkan mampu memenuhi kebutuhan
pangan di wilayahnya sendiri dan di wilayah lain, tanpa melupakan penumbuhan aktivitas
ekonomi produktif di sektor hilir.Optimalisasi sumberdaya desa juga mesti tercermin dalam
kesanggupan desa memenuhi kebutuhan energi yang juga merupakan kebutuhan pokok
masyarakat desa.Kemandirian ekonomi desa tercermin dari berjalannya aktivitas ekonomi yang
dinamis dan menghasilkan penciptaan lapangan kerja secara berkelanjutan di
perdesaan.Termasuk mendorong kemampuan masyarakat desa mengorganisir sumber daya
finansial di desa melalui sistem bagi hasil guna mendukung berlangsungnya kegiatan ekonomi
yang berkeadilan.
Aktor utama Lumbung Ekonomi Desa dititikberatkan pada komunitas, tanpa
mengesampingkan peran individu sebagai aktor penting kegiatan ekonomi desa.Hal ini berarti
bahwa kegiatan ekonomi di desa utamanya mesti dijalankan secara kolektif berdasarkan
prinsip gotong royong yang menjadi ciri khas sosio-kultural masyarakat Indonesia pada
umumnya, dan masyarakat desa pada khususnya.Dari aspek ini, organisasi ekonomi di desa
berperan penting dalam memikul beban untuk menggerakkan aktivitas ekonomi di desa yang
memiliki semangat kolektivitas, pemerataan, dan solidaritas sosial.Organisasi ekonomi itu
dapat berupa koperasi, Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa), lembaga keuangan mikro, usaha
bersama, atau yang lainnya.Selain itu dan tidak kalang pentingnya, lembaga-lembaga ekonomi
ini haruslah memiliki kecakapan dan keterbukaan dalam menjalankan usaha perekonomian di
desa. Dalam konteks pelaksanaan UU Desa misalnya, pembentukan BUMDesa yang kuat
mensyaratkan pengelolaan oleh orang-orang Desa yang teruji secara nilai dan moral, serta
memiliki modal sosial yang kuat, serta mampu mengembangkan kreasi dan daya untuk
menjangkau modal, jaringan dan informasi.
Pokok soal yang utama adalah membekali masyarakat dengan aset produktif yang memadai
sehingga akses terhadap sumber daya ekonomi menjadi lebih besar. Sumber daya ekonomi
harus sedapat mungkin ditahan di desa dan hanya keluar melalui proses penciptaan nilai
tambah. Di sinilah letak pentingnya intervensi inovasi dan adopsi teknologi serta dukungan
sarana dan prasarana agar proses penciptaan nilai tambah dari kegiatan ekonomi di desa
berjalan secara baik. Paradigma lama yang menempatkan desa sebagai pusat eksploitasi
sumberdaya alam dan tenaga tenaga kerja tidak terampil (unskill labour) telah menyebabkan
terus meluasnya persoalan bangsa, mulai dari: tingginya angka kemiskinan dan pengangguran,
tersingkirnya pengetahuan dan kearifan lokal warga, terabaikannya peran strategis
perempuan, rendahnya daya saing, hingga meluasnya kerusakan lingkungan. Desa harus
menjadi sentra inovasi, baik secara sosial, ekonomi, dan teknologi.Inovasi secara sosial
dimaksudkan untuk meningkatkan soliditas dan solidaritas antarwarga dengan memegang
kuat nilai-nilai dan budaya luhur di masing-masing desa. Inovasi secara sosial ini nantinya
diharapkan dapat meningkatkan daya-lenting warga (resilience) dalam menghadapi berbagai
tantangan di depan. Inovasi secara ekonomi dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas dan
kapabilitas warga untuk menggeser model ekonomi eksploitatif ke arah ekonomi inovatif yang
alat ukur keberhasilannya diantaranya: terbukanya lapangan pekerjaan di desa, meningkatnya
nilai tambah produk, serta berkurang tekanan terhadap eksploitasi sumberdaya alam secara
berlebihan. Sedang inovasi secara teknologi adalah sebuah kesadaran untuk mengembangkan
teknologi tepat guna berbasis sumberdaya alam lokal, teknologi lokal, dan sumberdaya
manusia lokal.
Pokok Bahasan 3
TATA KELOLA DESA
Rencana Pembelajaran
SPB
3.1 Kelembagaan Desa
Tujuan
Setelah pelatihan sessi ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan pengertian dan peran utama Kelembagaan Pemerintahan Desa;
2. Menjelaskan hubungan kerja antar Lembaga Pemerintahan Desa.
Waktu
45 menit (1 JP)
Metode
Pemaparan, curah pendapat
Media
Media tayang
Alat Bantu
Spidol, Kertas Plano, LCD
Proses Penyajian
1. Jelaskan jelaskan tujuan hasil dan proses yang diharapkan dari subpokok
bahasan “Kelembagaan Desa”.
2. Ajukan pertanyaan terkait pemahaman peserta tentang kelembagaan desa:
Apa yang peserta ketahui tentang Kelembagaan Desa?
Apa saja yang termasuk dalam kelembagaan Desa dan fungsi utamanya?
Bagaimana hubungan kerja antar lembaga tersebut?
3. Berikan tanggapan terhadap pendapat peserta dan penjelasan dengan
menggunakan media tayang Kelembagaan Desa mengenai:
Kelembagaan Desa dan unsurnya.
Fungsi utama unsur-unsur Kelembagaan Desa
Hubungan kerja antar unsur Kelembagaan Desa
4. Sebelum sesi ditutup, tegaskan pentingnya Pendamping Desamemahami
tugas dan fungsi utama unsur-unsur Kelembagaan Desa sebagai dasar untuk
menjalankan tugas pendampingan
Rencana Pembelajaran
SPB Musyawarah Desa Sebagai
3.2 Penggerak Demokratisasi
Desa
Tujuan
Setelah pelatihan sessi ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan hakikat Musyawarah Desa;
2. Menyebutkan peserta Musyawarah Desa;
3. Menjelaskan hak dan kewajiban masyarakat dalam Musyawarah Desa;
4. Menguraikan mekanisme pengambilan keputusan dalam Musyawarah
Desa;
5. Menyebutkan cakupan materi yang harus dibahas dalam Musyawarah
Desa.
Waktu
2 JP (90 menit)
Metode
Curah pendapat, Penugasan Kelompok, Diskusi
Media
Media tayang, bahan bacaan
Alat Bantu
Spidol, Kertas Plano, Bahan Presentasi, Film, dan LCD
Proses Penyajian
1. Jelaskan tujuan hasil dan proses yang diharapkan dari subpokok
bahasan“Musyawarah Desa Sebagai Penggerak demokratisasi Desa”.
2. Tanyakan kepada peserta apakah ada yang pernah terlibat dalam
musyawarah desa dan apa yang bisa dijelaskan tentang musyawarah desa,
siapa saja yang terlibat, apa saja yang dibahas, bagaimana keterlibatan
masyarakat, dan bagaimana proses pengambilan keputusan.
3. Berikan tanggapan terhadap pendapat peserta dan berikan penegasan
dengan mengunakan media tayang tentang Musyawarah Desa, dengan
memberikan kesempatan tanya jawab.
4. Menonton film pendek tentang musyawarah desa, dengan meminta peserta
untuk memberikan pengamatan terhadap praktek musyawarah desa
tersebut.
5. Membagi peserta ke dalam 3-4 kelompok, mendiskusikan hal positif dan hal
yang perlu ditingkatkan dari praktek musyawarah desa dalam film tersebut
terkait dengan :
Keterwakilan peserta
Agenda yang dibahas
Keterlibatan masyarakat di dalam pengambilan keputusan
Proses pengambilan keputusan
6. Minta satu atau dua kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi dan
kemudian kelompok lain untuk memberikan tanggapan
7. Pelatih memberikan tanggapan dan penegasan mengenai peran
Pendamping Desa dalam Musyawarah Desa.
Rencana Pembelajaran
SPB
3.3 Prinsip Tata Kelola Desa:
Transparansi, Partisipasi, Dan
Akuntabilitas
Tujuan
Setelah pelatihan sessi ini peserta dapat:
1. Menyebutkan prinsip-prinsip tata kelola pembangunan (partisipatif,
transparansi, dan akuntabilitas);
2. Menjelaskan pengertian setiap prinsip-prinsip tata kelola tersebut di atas;
3. Menguraikan dengan contoh-contoh bagaimana prinsip-prinsip tata kelola
diterapkan di lapangan.
Waktu
1 JP (45 menit)
Metode
Curah pendapat, Penugasan Kelompok, Diskusi
Media
Media tayang, Video Tata Kelola Desa, Bahan Bacaan
Alat Bantu
Spidol, Kertas Plano, LCD
Proses Penyajian
1. Jelaskan tujuan, hasil dan proses yang diharapkan dari subpokok
bahasan“Prinsip Tata Kelola Desa”.
2. Tayangkan video tentang Tata Kelola Desa.
3. Berikan kesempatan kepada peserta untuk mengapresiasi tayangan video
dan apa yang mereka ketahui tentang Tata Kelola Desa dan prinsip-
prinsipnya.
4. Berikan tanggapan terhadap jawaban peserta dan penegasan dengan
menggunakan media tayang tentang Prinsip Tata Kelola Desa
(transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas). Tekankan bahwa prinsip-prinsip
tersebut merupakan amanat UU No. 6/2014 tentang Desa yang wajib
dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan ditumbuhkan di dalam masyarakat
desa.
5. Berikan contoh penerapan prinsip Tata Kelola Desa (transparansi, partisipasi,
dan akuntabilitas) yang baik dan yang buruk.
6. Sebelum sesi ditutup, tegaskan kembali prinsip-prinsip Tata Kelola Desa:
Transparansi (keterbukaan informasi pembanguan dan penganggaran
desa).
Partisipasi (pelibatan sebanyak mungkin perwakilan kelompok
masyarakat termasuk kelompok-kelompok marjinal dan penyandang
disabilitas).
Akuntabilitas (kegiatan dan dana dapat dipertanggungjawabkan).
Kelembagaan Desa1
Kepala desa/desa Adat sebagaimana UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, berkedudukan
sebagai kepala Pemerintah Desa/Desa Adat dan sebagai pemimpin masyarakat.Meskipun
Kepala desa memperoleh banyak penugasan dari pemerintah, tetapi harus ditegaskan bahwa
ia bukanlah petugas atau pesuruh pemerintah. Kepala desa adalah pemimpin
masyarakat.Artinya kepala desa memperoleh mandat dari rakyat, yang harus mengakar dekat
dengan masyarakat, sekaligus melindungi, mengayomi dan melayani warga masyarakat.Kepala
desa berbeda dengan camat maupun lurah.Camat merupakan pejabat administratif yang
berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota.Bupati/Walikota yang
berwenang mengangat dan memberhentikan Camat.
UU Desa mengkonstruksikan pemerintahan Desa sebagai gabungan fungsi masyarakat
berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self
government).Dalam rangka self governing community Kepala Desa (Kades) sebagai pemimpin
masyarakat bukan bawahan bupati, posisi bupati adalah pembinaan dan pengawasan tetapi
tidak memerintah.Sedangkan dalam rangka local self government Kades merupakan kepala
pemerintahan organisasi pemerintahan paling kecil dan paling bawah dalam pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masa jabatan kepala Desa diatur dalam Pasal 39 UU No. 6/2014 yakni;
(1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
(2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga)
kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Perangkat Desa
• Perangkat Desa terdiri atas sekretariat Desa; pelaksana kewilayahan; dan pelaksana teknis.
• Perangkat desa bertugas membantu dan bertanggungjawab kepada Kepala Desa.
• Perangkat desa diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas
nama Bupati/Walikota.
• Persyaratan pengangkatan perangkat desa:
– berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat;
– berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun;
– terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu)
tahun sebelum pendaftaran; dan
– syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
1
Diolah dari Buku Tanya Jawab Seputar UU Desa, Kemendesa PDTT, 2015.
Sebagaimana syarat perangkat desa diatas, rentang umur antara 20 tahun hingga 42 tahun
bukanlah masa jabatan perangkat desa, melainkan syarat atau batasan umur bagi seseorang
yang melamar menjadi perangkat desa. Artinya seseorang yang boleh melamar menjadi
perangkat desa ketika berumur antara 20 tahun hingga 42 tahun. Seseorang yang masih
berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 42 tahun, maka yang bersangkutan tidak boleh
mendaftar atau melamar menjadi perangkat desa.
BPD dan Musyawarah Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan institusi demokrasi perwakilan desa, meskipun
ia bukanlah parlemen atau lembaga legislatif seperti DPR. Ada pergeseran (perubahan)
kedudukan BPD dari UU No. 32/2004 ke UU No. 6/2014 (Tabel 1).Menurut UU No. 32/2004
BPD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa bersama pemerintah desa, yang
berarti BPD ikut mengatur dan mengambil keputusan desa.Ini artinya fungsi hukum (legislasi)
BPD relatif kuat.Namun UU No. 6/2014 mengeluarkan (eksklusi) BPD dari unsur penyelenggara
pemerintahan dan melemahkan fungsi legislasi BPD.BPD menjadi lembaga desa yang
melaksanakan fungsi pemerintahan, sekaligus juga menjalankan fungsi menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat desa; melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa serta
menyelenggarakan musyawarah desa.Ini berarti bahwa eksklusi BPD dan pelemahan fungsi
hukum BPD digantikan dengan penguatan fungsi politik (representasi, kontrol dan deliberasi).
Secara politik musyawarah desa merupakan perluasan BPD. Pada UU No. 6/2014 tentang Desa,
dalam Pasal 1 (ayat 5) disebutkan bahwa Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama
lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur
masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal
yang bersifat strategis. Pengertian tersebut memberi makna betapa pentingnya kedudukan
BPD untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, terutama mengawal berlangsungnya forum
permusyawaratan dalam musyawarah desa.
Tabel 1
Kedudukan dan fungsi BPD menurut UU 32/2004 dan UU 6/2014
3. Fungsi hukum Menetapkan peraturan desa bersama Membahas dan menyepakati Rancangan
Kepala Desa Peraturan Desa bersama Kepala Desa,
4. Fungsi politik BPD sebagai kanal (penyambung) menampung dan menyalurkan aspirasi
aspirasi masyarakat dan melakukan masyarakat Desa;
pengawasan terhadap pelaksanaan
melakukan pengawasan kinerja Kepala
Peraturan Desa (Perdes) dan
Desa
Peraturan Kepala Desa
Menyelenggarakan musyawarah desa
Kepala Desa dan perangkat desa merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa yang
bekerja setiap hari nonstop dan penuh waktu (full time).Karena itu mereka memperoleh
penghasilan tetap.Sedangkan BPD berbeda dengan DPRD.BPD bersifat semi-relawan yang
tidak bekerja penuh waktu (full time) seperti Pemerintah Desa, sehingga hak yang diterima
adalah tunjangan.
dll.Tokoh merujuk pada individu yang memiliki pandangan yang perlu diperhatikan demi
kemajuan desa seperti tokoh pendidikan, tokoh keagamaan, tokoh adat, kader pemberdayaan
desa dll.Dengan pengertian di atas, memang ada resiko bahwa musyawarah desa akhirnya
dapat dibajak oleh kelompok elit desa.
Karena itu, adalah tugas BPD dan fasilitator pendamping desa untuk menjamin kelompok
masyarakat miskin dan terpinggirkan secara sosial dan budaya, seperti perempuan, anak-anak
dan berkebutuhan khusus tidak tertampung kepentingannya dalam musyarawah desa. Ada
dua cara untuk menjamin ini terjadi. Pertama, melibatkan kelompok masyarakat miskin dan
terpinggirkan dalam musyawarah desa, baik dalam penilaian kebutuhan maupun dalam proses
pengambilan keputusan dalam tahap pelaksanaan musyawarah. Kedua, kalau ada keterbatasan
kelompok miskin terlibat dalam proses –karena keterbatasan akses, kapasitas dan apatisme-
maka BPD dan faslitator harus memperjuangkan kepentingan peningkatan kesejahteraan
kelompok miskin dan terpinggirkan. Ini dapat memanfaatkan serangkaian metode dan alat
untuk menjadikan prioritas belanja lebih berpihak pada peningkatan kesejahteraan kelompok
miskin dan terpinggirkan[. ]
1) Pimpinan Musyawarah
Pimpinan Musyawarah Desa menjaga agar permusyawaratan Desa berjalan
sesuai dengan ketentuan dalam peraturan tentang Tata Tertib Musyawarah
Desa.
2) Pendamping Desa
Pimpinan Musyawarah Desa dapat meminta pendamping Desa yang berasal
dari satuan kerja prangkat daerah kabupaten/kota, pendamping profesional
dan/atau pihak ketiga untuk membantu memfasilitasi jalannya Musyawarah
Desa.
Pendamping Desa tidak memiliki hak untuk berbicara yang bersifat
memutuskan sebuah kebijakan publik terkait hal strategis yang sedang
dimusyawarahkan.Pendamping Desa melakukan tugas sebagai berikut:
(1) Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang pokok
pembicaraan;
(2) Mengklarifikasi arah pembicaraan dalam musyawarah desa yang sudah
menyimpang dari pokok pembicaraan;
(3) Membantu mencarikan jalan keluar; dan
(4) Mencegah terjadinya konflik dan pertentangan antarpeserta yang dapat
berakibat pada tindakan melawan hukum.
3) Undangan, Peninjau dan Wartawan
Undangan Musyawarah Desa terdiri dari:
(1) Mereka yang bukan warga Desa yang hadir dalam Musyawarah Desa atas
undangan Ketua Badan Permusyawaratan Desa; dan
(2) Anggota masyarakat Desa yang hadir dalam Musyawarah Desa atas
undangan tidak resmi tetapi tidak mendaftar diri kepada panitia.
Undangan dapat berbicara dalam Musyawarah Desa atas persetujuan
pimpinan Musyawarah Desa, tetapi tidak mempunyai hak suara dalam
pengambilan keputusan Musyawarah Desa.Undangan disediakan tempat
tersendiri.Undangan harus menaati tata tertib Musyawarah Desa.
Peninjau dan wartawan adalah mereka yang hadir dalam Musyawarah Desa
tanpa undangan Ketua Badan Permusyawaratan Desa.
4) Pengaturan Pembicaraan
Pembicara dalam mengajukan aspirasinya tidak boleh menyimpang dari pokok
pembicaraan tentang hal yang bersifat strategis.Apabila peserta menurut
pendapat pimpinan Musyawarah Desa menyimpang dari pokok pembicaraan,
kepada yang bersangkutan oleh pimpinan Musyawarah Desa diberi peringatan
dan diminta supaya pembicara kembali kepada pokok pembicaraan.
5) Pelanggaran Tata Tertib Musyawarah
Pimpinan Musyawarah Desa menjaga agar ketentuan tata tertib musyawarah
tetap dipatuhi oleh undangan, peninjau dan wartawan. Pimpinan Musyawarah
Desa dapat meminta agar undangan, peninjau, dan/atau wartawan yang
mengganggu ketertiban Musyawarah Desa meninggalkan ruang musyawarah
dan apabila permintaan itu tidak diindahkan, yang bersangkutan dikeluarkan
dengan paksa dari ruang musyawarah atas perintah pimpinan Musyawarah
Desa.
Pokok Bahasan 4
PEMBANGUNAN DESA
Rencana Pembelajaran
SPB
4.1 Dimensi pembangunan Desa
(TTG,PSD,Teknik,PED,PP,PMD)
Tujuan
Setelah sesi ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan makna hakiki pembangunan desa;
2. Menyebutkan berbagai dimensi pembangunan desa (modal sosial,
kesehatan, pendidikan, permukiman, ekologi dan ekonomi);
3. Menguraikan dengan contoh-contoh program dalam
mengimplementasikan berbagai dimensi tersebut.
Waktu
2 JP (90 menit)
Metode
Ceramah, curah pendapat, penugasan kelompok, presentasi.
Media
Bahan tayang, cerita kasus
Alat Bantu
Spidol, laptop, dan LCD
Proses Penyajian
1. Jelaskan tujuan, hasil, dan proses yang diharapkan dari subpokok
bahasan“Dimensi Pembangunan desa”.
2. Ajak bebarapa peserta untuk berbagi cerita (sharing) tentang pengalaman
atau pengamatan peserta dalam perencanaan pembangunan desa.
Pertanyaan berikut bisa dijadikan panduan berbagi cerita.
Apakah perencanaan tersebut sudah sesuai dengan tujuan pembanguan
desa?
Dimensi apa saja yang belum mendapat perhatian di dalam rencana
pembangunan desa?
Rencana Pembelajaran
SPB
4.2 Evaluasi Perencanaan Dan
Penganggaran Pembangunan
Desa (RPJM Des, RKP Des, APBDes)
Tujuan
Setelah sesi ini peserta diharapkan dapat:
1. Menguraikan berbagai isu yang muncul dalam perencanaan dan
penganggaran pembangunan desa;
2. Menjelaskan berbagai tantangan/ hambatan dalam perencanaan desa
(RPJM Desa dan RKP Desa);
3. Menjelaskan berbagai tantangan/ hambatan dalam penganggaran
desa (APBDes);
4. Memfasilitasi Tim Kecamatan (CAMAT) dalam melakukan evaluasi
perencanaan pembangunan desa.
Waktu
12 JP (540 menit)
Metode
Curah pendapat, penugasan kelompok, testimoni, simulasi
Media
Format evaluasi dokumen perencanaan dan penganggaran, Lembar kerja,
media fasilitasi.
Alat Bantu
Dokumen-dokumen RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa, Spidol, laptop, dan
LCD.
Proses Penyajian
Kegiatan 1 : Pembukaan
1. Menjelaskan mengenai tujuan sub pokok bahasan yang akan disampaikan;
Kegiatan 2: Curah pendapat menguraikan Isu-isu Perencanaan dan
Penganggaran
2. Minta peserta mengungkapkan pendapatnya tentang perencanaan dan
penganggaran pembangunan Desa;
3. Bagikan kertas metaplan kepada setiap peserta. Minta peserta menuliskan
isu-isu yang muncul dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan
Desa;
4. Pandu peserta mengelompokkan isu-isu yang muncul;
5. Berikan penegasan.
Kegiatan 3: Curah pendapat tentang prinsip-prinsip perencanaan
6. Minta peserta mengungkapkan pendapatnya tentang prinsip-prinsip
perencanaan pembangunan Desa;
7. Pandu peserta merumuskan prinsip-prinsip perencanaan pembangunan Desa
(Media Fasilitasi 4.2.1);
Kegiatan 4: Curah pendapat tentang dokumen Perencanaan
8. Minta peserta menjelaskan tentang dokumen perencanaan;
9. Berikan penegasan.
Kegiatan 5: Diskusi kelompok tentang tahap Penyusunan Perencanaan
10. Bagi peserta menjadi beberapa kelompok;
11. Bagikan Lembar Kerja 4.2.1 dan minta kepada setiap kelompok
mendiskusikannya;
12. Minta salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusinya dan kelompok
lain menanggapi;
13. Berikan penegasan (Media Fasilitasi 4.2.2).
Kegiatan 6: Diskusi kelompok tentang identifikasi tantangan dan hambatan
dalam perencanaan dan penganggaran.
14. Minta kelompok sebelumnya untuk berdiskusi (gunakan Lembar Kerja
4.2.2);
15. Minta salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusinya dan kelompok
lain menanggapi;
16. Berikan penegasan.
Kegiatan 7: Curah pendapat peran Kecamatan
17. Minta peserta menjelaskan tentang peran Kecamatan dalam proses
penyusunan perencanaan pembangunan desa;
18. Berikan penegasan tentang peran Kecamatan;
Kegiatan 8: Penugasan kelompok evaluasi dokumen
19. Bagi peserta menjadi beberapa kelompok;
20. Bagikan dokumen RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa kepada setiap
kelompok;
MEDIA FASILITASI
Media Fasilitasi 4.2.1
1.3. Maksud Dan Jelas/Rancu antara Maksud Menegaskan rumusan Maksud dan
dan tujuan penyusunan Tujuan dari Penyusunan dokumen
Tujuan
dokumen RPJM Desa RPJM Desa
dengan Maksud dan
tujuan RPJM Desa
1.4. Proses Sudah/Belum Menegaskan pencantuman
mencantumkan Ketentuan langkah/tahap:
Penyusunan
dan langkah-tahap Persiapan (Pembentukan Tim
kegiatan Penyusun)
PKD
Penyusunan naskah
Rancangan
Musdes
2 II 2.1. Sejarah Desa Sudah/Belum Menambahkan/mencantumkan
KONDISI UMUM mencantumkan peristiwa- informasi tentang peristiwa-
DESA peristiwa penting yang peristiwa penting yang pernah
pernah terjadi terjadi
2 Naskah Bab I
Bab II
LEMBAR KERJA
3. APB Desa
PB Bahan Bacaan
4 PEMBANGUNAN DESA
Pemerintah Desa menyusun RKP Desa sebagai penjabaran RPJM Desa. RKP Desa disusun oleh
Pemerintah Desa sesuai dengan informasi dari pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan
dengan pagu indikatif Desa dan rencana kegiatan Pemerintah, pemerintah daerah provinsi,
dan pemerintah daerah kabupaten/kota. RKP Desa mulai disusun oleh pemerintah Desa pada
bulan Juli tahun berjalan. RKP Desa ditetapkan dengan peraturan Desa paling lambat akhir
bulan September tahun berjalan. RKP Desa menjadi dasar penetapan APB Desa.
Kegiatan Penyusunan RKPDesa
Kepala Desa menyusun RKP Desa dengan mengikutsertakan masyarakat Desa, dilakukan
dengan kegiatan yang meliputi:
a. penyusunan perencanaan pembangunan Desa melalui musyawarah Desa;
b. pembentukan tim penyusun RKP Desa;
c. pencermatan pagu indikatif Desa dan penyelarasan program/kegiatan masuk ke Desa;
d. pencermatan ulang dokumen RPJM Desa;
e. penyusunan rancangan RKP Desa;
f. penyusunan RKP Desa melalui musyawarah perencanaan pembangunan Desa;
g. penetapan RKP Desa;
h. perubahan RKP Desa; dan
i. pengajuan daftar usulan RKP Desa.
Penyusunan
Penyusunan Perencanaan Pembangunan Desa melalui Musyawarah Desa. Musyawarah Desa
dalam rangka penyusunan rencana pembangunan Desa, melaksanakan kegiatan sebagai beri-
kut:
a. mencermati ulang dokumen RPJM Desa;
b. menyepakati hasil pencermatan ulang dokumen RPJM Desa; dan
c. membentuk tim verifikasi sesuai dengan jenis kegiatan dan keahlian yang dibutuhkan.
Tim Penyusun
Kepala Desa membentuk tim penyusun RKP Desa, terdiri dari:
a. kepala Desa selaku pembina;
b. sekretaris Desa selaku ketua;
Tim penyusun RKP Desa menyusun usulan prioritas program dan kegiatan. Usulan prioritas
program dan kegiatan dituangkan dalam rancangan daftar usulan RKP Desa. Rancangan
daftar usulan RKP Desa menjadi lampiran berita acara laporan tim penyusun rancangan
RKP Desa. Tim penyusun RKP Desa membuat berita acara tentang hasil penyusunan
rancangan RKP Desa yang dilampiri dokumen rancangan RKP Desa dan rancangan daftar
usulan RKP Desa.Berita acara disampaikan oleh tim penyusun RKP Desa kepada kepala
Desa.
Rancangan RKP Desa memuat rencana penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Rancangan RKP Desa, berisi prioritas program dan kegiatan yang didanai:
a. pagu indikatif Desa;
b. pendapatan asli Desa;
c. swadaya masyarakat Desa;
d. bantuan keuangan dari pihak ketiga; dan
e. bantuan keuangan dari pemerintah daerah provinsi, dan/atau pemerintah daerah
kabupaten/kota.
d. Perubahan RKP Desa
RKP Desa dapat diubah dalam hal:
a. terjadi peristiwa khusus, seperti bencana alam, krisis politik, krisis ekonomi,
dan/atau kerusuhan sosial yang berkepanjangan; atau
b. terdapat perubahan mendasar atas kebijakan Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota.
Kepala Desa menyelenggarakan musyawarah perencanaan pembangunan Desa yang
diadakan secara khusus untuk kepentingan pembahasan dan penyepakatan perubahan
RKP Desa. Penyelenggaraan musyawarah perencanaan pembangunan Desa disesuaikan
dengan terjadinya peristiwa khusus dan/atau terjadinya perubahan mendasar.
Hasil kesepakatan dalam musyawarah perencanaan pembangunan Desa ditetapkan
dengan peraturan Desa tentang RKP Desa perubahan sebagai dasar dalam penyusunan
perubahan APB Desa.
e. Pengajuan Daftar Usulan RKP Desa
Kepala Desa menyampaikan daftar usulan RKP Desa kepada bupati/walikota melalui camat.
Penyampaian daftar usulan RKP Desa aling lambat 31 Desember tahun berjalan. Daftar
usulan RKP Desa menjadi materi pembahasan di dalam musyawarah perencanaan
pembangunan kecamatan dan kabupaten/kota.
Bupati/walikota menginformasikan kepada pemerintah Desa tentang hasil pembahasan
daftar usulan RKP Desa. Informasi tentang hasil pembahasan daftar usulan RKP Desa
diterima oleh pemerintah Desa setelah diselenggarakannya musyawarah perencanaan
pembangunan di kecamatan pada tahun anggaran berikutnya.Informasi diterima
pemerintah desa paling lambat bulan Juli tahun anggaran berikutnya
Rancangan RPJM Desa memuat visi dan misi kepala Desa, arah kebijakan pembangunan Desa,
serta rencana kegiatan yang meliputi bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa.
Langkah-Langkah Penyusunan RPJM Desa
Kepala Desa menyelenggarakan penyusunan RPJM Desa dengan mengikutsertakan unsur
masyarakat Desa. Penyusunan RPJM Desa dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi
objektif Desa dan prioritas program dan kegiatan kabupaten/kota.
Penyusunan RPJM Desa, dilakukan dengan kegiatan yang meliputi:
pembentukan tim penyusun RPJM Desa;
penyelarasan arah kebijakan perencanaan pembangunan kabupaten/kota;
pengkajian keadaan Desa;
penyusunan rencana pembangunan Desa melalui musyawarah Desa;
penyusunan rancangan RPJM Desa;
penyusunan rencana pembangunan Desa melalui musyawarah perencanaan pembangunan
Desa; dan
penetapan RPJM Desa.
1. Pembentukan Tim Penyusun RPJM Desa
Kepala Desa membentuk tim penyusun RPJM Desa, yang terdiri dari:
kepala Desa selaku pembina;
sekretaris Desa selaku ketua;
ketua lembaga pemberdayaan masyarakat selaku sekretaris; dan
anggota yang berasal dari perangkat Desa, lembaga pemberdayaan masyarakat, kader
pemberdayaan masyarakat Desa, dan unsur masyarakat lainnya. Jumlah anggota tim
penyusun RPJM Des, paling sedikit 7 (tujuh) orang dan paling banyak 11 (sebelas)
orang.Tim penyusun RPJM Des, harus mengikutsertakan perempuan. Tim penyusun RPJM
Des ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. Tim penyusun RPJM Desa melaksanakan
kegiatan sebagai berikut: penyelarasan arah kebijakan pembangunan Kabupaten/ Kota;
pengkajian keadaan Desa; penyusunan rancangan RPJM Desa; danpenyempurnaan
rancangan RPJM Desa.
2. Penyelarasan Arah Kebijakan Pembangunan Kabupaten/Kota
Tim penyusun RPJM Desa kemudian melakukan penyelarasan arah kebijakan pembangunan
kabupaten/ kota untuk mengintegrasikan program dan kegiatan pembangunan
Kabupaten/Kota dengan pembangunan Desa. Penyelarasan arah kebijakan pembangunan
kabupaten/kota dilakukan dengan mengikuti sosialisasi dan/atau mendapatkan informasi
tentang arah kebijakan pembangunan kabupaten/kota. Informasi arah kebijakan
pembangunan kabupaten/kota sekurang-kurangnya meliputi:
rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten/kota;
rencana strategis satuan kerja perangkat daerah;
rencana umum tata ruang wilayah kabupaten/kota;
rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota; dan
rencana pembangunan kawasan perdesaan.
Pokok Bahasan 5
PERATURAN BERSAMA
KEPALA DESA
Rencana Pembelajaran
SPB
5.1 Pokok-Pokok Kerjasama
Antar Desa
Tujuan
Setelah sesi ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan pokok-pokok kebijakan kerjasama antar Desa;
2. Menguraikan langkah-langkah membangun kerjasama antar Desa.
Waktu
45 menit (1 JP)
Metode
Ceramah, curah pendapat
Media
Bahan tayang
Proses Penyajian
Tujuan
Setelah sesi ini, peserta dapat:
1. Menyusun strategi fasilitasi penyusunan peraturan bersama kepala Desa;
2. Mempraktikkan penyusunan peraturan bersama kepala Desa.
Waktu
180 menit (4 JP)
Metode
Curah pendapat, simulasi, umpan balik, studi kasus
Media
Lembar simulasi, lembar umpan balik, lembar kasus.
Proses Penyajian
Kegiatan 1: Strategi Fasilitasi Penyusunan Peraturan Bersama Kepala
Desa (30 menit)
1. Jelaskan tujuan, hasil, dan proses yang diharapkan dari Sub Pokok Bahasan
“Teknik Fasilitasi Peraturan Bersama Kepala Desa”. Sampaikan kepada peserta
proses yang akan dilalui dalam sesi ini terdiri dari dua bagian, yaitu (i) strategi
fasilitasi penyusunan Peraturan Bersama Kepala Desa, dan (ii) praktek/simulasi
Penyusunan Peraturan Bersama Kepala Desa.
2. Tanyakan apakah di antara peserta ada yang memiliki pengalaman terlibat
dalam proses penyusunan peraturan bersama kepala Desa. Apabila ada,
persilahkan salah seorang di antara mereka untuk membagi pengalaman
secara singkat mengenai:
a. Bagaimana tahapan penyusunan Peraturan Bersama Kepala Desa?
b. Apa saja yang harus dipersiapkan dalam setiap tahap penyusunan
tersebut? Dan siapa saja yang terlibat dalam persiapan setiap tahap
penyusunan?
3. Berikan tanggapan singkat terhadap pendapat peserta dan kemudian berikan
penjelasan singkat dengan menggunakan media tayang tentang kelengkapan
dan tahapan penyusunan Peraturan Bersama Kepala Desa.
Kegiatan 2: Simulasi Praktik Penyusunan Peraturan Bersama Kepala
Desa (150 menit) – perlu ada lembar informasi tentang peraturan
bersama yang akan dibuat, peran yang akan dimainkan;
pemberitahuan simulasi disampaikan sejak di perkenalan.
4. Jelaskan kegiatan yang akan disimulasikan dari setiap tahapan penyusunan
Peraturan Bersama Kepala Desa berdasarkan pembagian tugas tim,
sebagaimana telah diinformasikan sebelumnya.
Tahap Perencanaan akan disimulasikan melalui kegiatan Musyawarah
Desa untuk mendapatkan rekomendasi masyarakat untuk penyusunan
rancangan Peraturan Bersama.
Tahap Penyusunan disimulasikan melalui dua kegiatan, (i)
mengkonsultasikan rancangan Peraturan Bersama kepada masyarakat, (ii)
mengkonsultasikan rancangan Peraturan Bersama kepada Camat.
5. Beri kesempatan setiap kelompok untuk melakukan simulasi selama masing-
masing 30 menit.
6. Setelah masing-masing kelompok selesai praktik simulasi, lakukan refleksi
bersama terkait apa yang sudah baik dan apa yang harus ditingkatkan dari
simulasi tadi.
7. Berikan penegasan tentang titik-titik kritis dari setiap tahapan dalam
penyusunan peraturan bersama kepala Desa yang harus diantisipasi oleh
Pendamping Desa dalam fasilitasi penyusunan peraturan bersama kepala
Desa.
Bahan Bacaan
PB
Peraturan Bersama Kepala
5
Desa
Pengantar
Sebagaimana berlaku bagi manusia, kerjasama antar-Desa tidak terelakkan. Setiap pakaian
yang dikenakan seseorang, kendaraan, makanan, dan keperluan hidup yang lain umumnya
dibuat oleh orang lain. Bilapun seseorang mampu menciptakan sesuatu, tidak akan semua hal
dapat ia penuhi sendiri. Demikian pula dengan Desa. Disadari atau tidak, Desa selalu terkait
dengan Desa lain. Terkadang satu sumber kehidupan, air misalnya, yang terletak di sebuah
Desa juga dikonsumsi oleh penduduk Desa tetangganya. Irigasi yang mengaliri sawah ke
sebuah Desa melintasi sawah Desa-desa tetangganya. Dan seterusnya.
Keterkaitan-keterkaitan tersebut merupakan potensi objek kerjasama antar-Desa. UU No.
6/2014 tentang Desa telah memastikan peraturan perundangan tentang kerjasama antar Desa
yang telah diatur sebelumnya. Kerjasama antar-Desa diatur lebih lanjut dalam PP No. 43/2014
dan PP No. 47/2015, Permendesa PDTT No. 2/2015. Untuk memberi jaminan dan perlindungan
hukum, kerjasama antar-Desa selanjutnya perlu diatur melalui Peraturan Bersama Kepala Desa
yang teknis penyusunannya diatur melalui Permendagri No. 111/2014.
Melalui kerjasama antar-DesaMelalui UU Desa, dipastikan bahwa orientasi atau tujuan dasar
dari kerjasama antar-Desa adalah untuk mengangkat kesejahteraan dan kemandirian Desa
menjadi kesejahteraan dan kemandirian kawasan perdesaan. Kesejahteraan dan kemandirian
tersebut, diperuntukkan bagi seluruh penduduk di lingkungan perdesaan.
Mengapa Kerjasama?
Menurut seorang sosiolog, kerjasama dapat dimengerti sebagai suatu usaha bersama antara
orang perorangan atau sekelompok manusia untuk mencapai tujuan bersama (Soekanto,
1990). Kerjasama dapat melibatkan unsur-unsur perorangan maupun masyarakat,
sebagaimana Desa. Selain pelaku yang terlibat dalam kerjasama, aspek penting dalam
kerjasama adalah tujuan kerjasama. Artinya, sebuah kerjasama dilakukan untuk mencapai
tujuan tertentu yang hendak dicapai bersama oleh beberapa desa.
Selain pelaku dan tujuan, aspek penting dalam kerjasama adalah objek yang dikerjasamakan.
Kerjasama menyangkut beberapa objek, di antaranya:
Pengembangan usaha bersama; misalnya pembentukan BUM Desa, pendayagunaan
sumber-sumber daya alam dan lingkungan, pengembangan pasar antar-Desa,
pengembangan sarana prasarana ekonomi antar-Desa, pengembangan komoditas
unggulan Desa.
Kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan antar-Desa;
pengembangan kapasitas Pemerintah Desa, BPD, kelembagaan kemasyarakatan Desa,
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pengembangan seni budaya.
Sabtu, 29 Agustus 2015. Diskusi berbagi pengalaman antar Desa Melung dan Desa Candinata
Kabupaten Banyumas mengenai potensi yang dimiliki merupakan salah satu upaya untuk
membangun desa. Desa Melung yang terkenal sebagai “Desa Id atau Desa Internet” dengan berbagai
komoditas membagikan pengalaman mengenai tahapan menjaadikan desa yang berbasis internet
kepada pihak perangkat desa Candinata. Perangkat Desa Melung menjelaskan pula kondisi awal
sebelum adanya internet dan pasca desa internet. Kemajuan pesat diberbagai sektor sangat terbantu
dengan adanya internet di desa Melung. Selain itu, teknologi berbasis komputer juga sangat
membatu perangkat desa dalam pengolahan data sehingga kinerja perangkat desa lebih maksimal.
Manfaat lain dari desa berbasis internet yaitu dapat mempromosikan komoditas yang ada di desa.
Kemudian dengan teknologi internet masyarakat juga dapat lebih bebas memperoleh informasi lebih
luas dari dunia luar.
Desa Melung yang sedang menggali potensi penderes gula dengan dibantu Tim KKN Pertanian
Terpadu Unsoed telah berhasil mendirikan kelompok penderes dengan nama “Suko Maju”. Kelompok
yang masih baru tentu saja membutuhkan informasi lebih dari berbagai sumber, salah satunya yaitu
pemaparan mengenai kelompok penderes di Desa Candinata. Diskusi hangat ini tentu saja menjadi
pintu emas bagi kedua desa saling bertukar informasi demi membangun desa yang mandiri dengan
komoditas dan karakter masing-masing.
Acara diskusi berlangsung sangat interaktif dengan ditambah pemaparan materi dari desa Candinata
mengenai potensi “Penderes Gula” yang ada. Desa Candinata yang terkenal sebagai produsen gula
kelapa membagikan informasi mengenai perkembangan penderes dan kondisi umum mereka.
Kemudian dijelaskan pula pentingnya Kelompok Usaha Bersama (KUB) bagi penderes agar dapat lebih
maju. Adanya KUB sangat membatu penderes, hal ini dikarenakan KUB sebagai lembaga legal dapat
menjadi fasilitatir dan memberikan pembinaan terhadap penderes sehingga menunjang kesejahteraan
penderes dari sisi ekonomi dan sosial. KUB juga berperan aktif dalam proses pemasaran, pemantauan
dan perkembangan penderes. Berbagi informasi dan saling membuka jaringan adalah salah satu
upaya untuk meningkatkan dan memajukan potensi desa yang ada[. ]
Sumber http://melung.desa.id/belajar-antar-desa/
Secara umum, kerjasama memiliki manfaat dan nilai penting, di antaranya sebagai berikut:
Mengembangkan solidaritas dan kohesifitas sosial antar masyarakat desa yang terlibat
dalam kerjasama;
Memberikan proyeksi kemajuan di lingkungan kawasan perdesaan, khususnya di antara
desa yang terlibat dalam kerjasama.
Sebagai antisipasi dan solusi bagi potensi konflik antar-Desa.
Peraturan Bersama Kepala Desa
Peraturan Bersama Kepala Desa merupakan salah satu jenis peraturan Desa. Peraturan ini
memiliki kekuatan hukum mengikat atas desa-desa yang terlibat dalam kerjasama. Ketentuan
UU Desa mengatakan bahwa Peraturan Bersama Kepala Desa merupakan perpaduan dari
kepentingan-kepentingan Desa. Melalui peraturan ini, kepentingan-kepentingan yang ber
beda antara Desa diikat dan diproyeksikan ke dalam tujuan yang sama. Manfaat adanya
Peraturan Bersama ini adalah memastikan status hukum, tugas dan tanggung jawab, hak dan
kewajiban masing-masing desa atas sebuah objek.
Sebagai contoh adalah Peraturan Bersama Kepala Desa di Kecamatan Wagir, Kabupaten
Malang, Jawa Timurtentang Kerja Sama Antar Desa Pengelolaan Aset Dana Bergulir Hasil
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan Dan Program
Pengembangan Kecamatan, yang diterbitkan pada tahun 2015 dan melibatkan 12 desa di
Kecamatan Wagir. Tujuan Peraturan Bersama tersebut adalah untuk melakukan usaha
bersama antar desa-desa yang melakukan kerja sama dalam pemeliharaan, pengembangan
aset dana bergulir hasil kegiatan PNPM-MPd dan PPK. Melalui pengaturan bersama tersebut
setiap desa yang terlibat dalam kerjasama tersebut memiliki pijakan hukum yang jelas atas hak
dan kewajiban mereka atas aset dana bergulir hasil program PNPM-MPd dan PPK.
Dalam kerjanya, kerjasama antar-Desa dilaksanakan oleh BKAD (Badan Kerjasama Antar Desa)
yang dibentuk melalui kesepakatan dalam Musyawarah Antar Desa. Anggota-anggota BKAD
berasal dari delegasi desa-desa yang bersepakat melakukan kerjasama. Delegasi tersebut
meliputi:
a) Perangkat Desa;
b) Anggota Badan Permusyawaratan Desa;
c) Lembaga Kemasyarakatan Desa;
d) Lembaga Desa lainnya;
e) Tokoh Masyarakat dengan mempertimbangkan keadilan gender.
Secara lebih terinci, proses penyusunan Peraturan Bersama Kepala Desa diatur dalam
Permendagri No. 111/2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa, khususnya di Bab V. Di
situ diatur tahapan-tahapan dalam penyusunan Peraturan yang harus dimengerti oleh
Pemerintah Desa, dan dalam konteks ini juga oleh Pendamping Desa.
Titik Kritis
Proses penyusunan Peraturan Bersama Kepala Desa memiliki beberapa aspek yang harus
dipantau secara sungguh-sungguh oleh Pendamping Desa dan masyarakat pada umumnya.
Aspek tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
a) Proses musyawarah Desa yang melahirkan rekomendasi kerjasama antar-Desa;
b) Penyelenggaraan Musyawarah Antar Desa (MAD);
c) Pembahasan draft rancangan Peraturan Bersama;
d) Proses penyebarluasan atau sosialisasi Peraturan Bersama;
Aspek tersebut sangat menentukan dalam menjamin kualitas Peraturan Bersama, selain
menentukan efektifitas dari Peraturan itu sendiri dalam implementasinya di lapangan. Kinerja
Badan Kerja Sama Antar Desa yang memiliki mandat sebagai pelaksana Peraturan Bersama
tersebut juga penting untuk dicermati.
Beberapa hal yang perlu dicermati dalam aspek-aspek di atas ialah terkait:
Keterserapan aspiras dan tingkat partisipasi masyarakat baik dalam Musyawarah Desa
maupun Musyawarah Antar Desa. Harus dipastikan apakah rekomendasi yang dibawa
dalam kerjasama antar-Desa telah sesuai dengan hasil Musyawarah Desa atau tidak.
Harus dipastikan pula apakah penyelenggaraan Musyawarah Antar Desa telah
mencerminkan perwakilan dan kepentingan seluruh desa yang terlibat dalam
kerjasama.
Dalam pembahasan draft rancangan Peraturan Bersama, harus dipantau proses
pembicaraannya. Objek yang akan diatur melalui Peraturan Bersama pada dasarnya
merupakan objek vital bagi kehidupan masyarakat antar-Desa. Sebab itu pembicaraan
pengaturan tersebut harus berjalan baik, proporsional, dan memenuhi asas keadilan.
Harus dipastikan bahwa penyebarluasan hasil ketetapan Peraturan Desa yang telah
dicatat dalam Berita Desa tersampaikan pada masyarakat Desa seluas-luasnya. Seluruh
masyarakat desa berhak dan wajib mengetahui keberadaan Peraturan tersebut, agar
Peraturan tersebut dapat berjalan dengan baik.
Peraturan Bersama Kepala Desa bermaksud untuk memberi pijakan legal kepada desa-desa
yang melakukan kerjasama. Bila kita lihat ke belakang, kerjasama antar-Desa itu sendiri
sesungguhnya bukan hal baru bagi kehidupan Desa. Saat ini, kerjasama tersebut diarahkan
untuk diresmikan melalui pengaturan yang jelas, sesuai dengan semangat demokrasi dan
kemandirian masyarakat yang diamanatkan UU Desa[.]
Pokok Bahasan 6
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA
Rencana Pembelajaran
SPB
6.1 Hakekat Pemberdayaan
Masyarakat
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menguraikan faktor-faktor ketidakberdayaan masyarakat (secara
historis, kultural, dan struktural);
2. Menjelaskan hakekat pemberdayaan masyarakat;
3. Menyebutkan ciri-ciri masyarakat berdaya;
4. Menyebutkan contoh-contoh cara membangun kesadaran kritis warga
menuju masyarakat berdaya.
Waktu
2 JP (90 menit)
Metode
Curah pendapat, diskusi kelompok, paparan
Media
Lembar Tayang dan Bahan Bacaan
Alat Bantu
Spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Menjelaskan tujuan, hasil, dan proses yang diharapkan dari subpokok
bahasan“Hakekat Pemberdayaan Masyarakat”.
2. Tayangkan VIDEO tentang kondisi ketidakberdayaan masyarakat Desa.
Setelah tayangan tanyakan kepada peserta apa yang menyebabkan
masyarakat Desa tidak berdaya.
3. Bagi peserta kedalam empat kelompok. Mintalah mereka untuk
mendiskusikan hal-hal berikut:
Faktor-faktor penyebab ketidakberdayaan masyarakat (secara historis,
kultural, dan struktural);
Strategi pemberdayaan masyarakat;
Contoh-contoh kegiatan membangun kesadaran kritis menuju masyarakat
berdaya.
4. Beri kesempatan kepada satu atau dua kelompok untuk mempresentasikan
hasil diskusi kelompoknya, dan minta kelompok lain memberikan tanggapan.
5. Berikan tanggapan atas hasil diskusi kelompok, kemudian jelaskan tentang
faktor-faktor penyebab ketidak berdayaan masyarakat, ciri-ciri masyarakat
berdaya, dan strategi pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan
media tayang Hakikat Pemberdayaan Masyarakat.
Rencana Pembelajaran
SPB
6.2 Bentuk-Bentuk
Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat menguraikan bentuk
atau upaya pemberdayaan dengan contoh-contoh nyata.
Waktu
30 menit
Metode
Curah pendapat, paparan
Media
Lembar Tayang dan Bahan Bacaan
Alat Bantu
Spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Menjelaskan tujuan, hasil, dan proses yang diharapkan dari subpokok
bahasan“Bentuk-Bentuk Pemberdayaan Masyarakat”.
2. Mintalah setiap peserta untuk menyebutkan satu bentuk kegiatan
pemberdayaan yang mereka ketahui. Minta mereka menuliskan jawabannya
di lembar kertas metaplan.
3. Fasilitator menempelkan lima kertas plano yang masing-masing berisi satu
bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Plano I : Bantuan Sosial
Plano II : Pengembangan Kapasitas dan Aksesibilitas
Plano III : Pengorganisasian Masyarakat
Plano IV : Advokasi
Plano V : Pengendalian oleh Masyarakat (Social Control)
4. Selanjutnya minta peserta untuk meletakkan kertas metaplan di kertas plano
yang sesuai dengan bentuk-bentuk kegiatan pemberdayaan.
5. Fasilitator menjelaskan tentang pengertian masing-masing bentuk
pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan media tayang. Kemudian,
minta peserta untuk memeriksa kembali dan menempatkan kertas metaplan
di plano (kelompok) yang sesuai.
Rencana Pembelajaran
SPB
6.3 Penguatan Kader
Pemberdayaan Masyarakat
Desa
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan alasan mendasar mengapa perlu penguatan kader
pemberdayaan masyarakat desa;
2. Menguraikan strategi penguatan KPMD;
3. Menjelaskan bentuk-bentuk kongkrit dalam penguatan KPMD.
Waktu
60 menit
Metode
Curah pendapat, paparan
Media
Lembar Tayang dan Bahan Bacaan
Alat Bantu
Spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Jelaskan tujuan, hasil, dan proses yang diharapkan dari subpokok
bahasan“Penguatan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa”.
2. Minta kepada peserta untuk menyampaikan pendapat tentang:
Pengertian kader dan kaderisasi;
Mengapa diperlukan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD).
3. Berikan tanggapan terhadap jawaban peserta, kemudian jelaskan dengan
menggunakan media tayang tentang pengertian KPMD dan mengapa
diperlukan.
4. Bagi peserta kedalam empat kelompok dan mintalah mereka untuk
mendiskusikan tentang:
Strategi penguatan KPMD;
Bentuk-bentuk kongkrit penguatan KPMD
5. Persilahkan satu kelompok untuk memberikan presentasi dan beri waktu
kelompok lain memberikan tanggapan secara singkat.
6. Berikan penegasan bahwa Pendamping Desa mempunyai kewajiban untuk
menumbuhkan dan menguatkan kapasitas KPMD sesuai dengan kebutuhan
Desa.
Rencana Pembelajaran
SPB
6.4 Badan Kerjasama Antar Desa
(BKAD)
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan pengertian BKAD;
2. Menguraikan pokok-pokok kebijakan dalam pengembangan BKAD;
3. Mengidentifikasi langkah-langkah pengembangan kelembagaan BKAD
untuk pemberdayaan masyarakat desa.
Waktu
1 JP (45 menit)
Metode
Curah pendapat, paparan
Media
Media Tayang dan Bahan Bacaan
Alat Bantu
Spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Menjelaskan tujuan, hasil, dan proses yang diharapkan dari subpokok
bahasan“Badan Kerjasama Antar Desa”.
2. Minta peserta untuk menyampaikan pendapat mereka tentang:
Apa yang dimaksud dengan Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD)?
Apa saja yang dilakukan oleh BKAD?
3. Berikan tanggapan terhadap jawaban peserta dan sampaikan penjelasan
menggunakan media tayang tentang pengertian BKAD.
4. Bagi peserta ke dalam empat kelompok, dan tugaskan untuk melakukan
speed reading (15 menit) tentang BKAD dan diskusikan hal-hal sebagai
berikut:
Pokok-pokok kebijakan yang mengatur tentang BKAD;
Seberapa penting BKAD dalam pelaksanaan UU Desa;
Tugas Pokok dan fungsi BKAD;
Langkah-langkah pengembangan BKAD untuk pemberdayaan masyarakat
Desa.
5. Mintalah setiap kelompok untuk menyampaikan hasil tugas kelompoknya
dan berikan kesempatan kelompok lain untuk memberikan tanggapan. Tugas
kelompok disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut:
Kelompok I tentang Pokok-pokok kebijakan yang mengatur tentang
BKAD;
Kelompok II tentang Seberapa penting BKAD dalam pelaksanaan UU
Desa;
Kelompok III tentang Tugas Pokok dan fungsi BKAD;
Kelompok IV tentang Langkah-langkah pengembangan BKAD untuk
pemberdayaan masyarakat Desa.
Bahan Bacaan
PB
PEMBERDAYAAN
6
MASYARAKAT DESA
HAKIKAT PEMBERDAYAAN
Pada hakikatnya pemberdayaan dapat dibedakan dalam dua hal. Pertama, pemberdayaan
sebagai upaya memberikan kekuatan dan kemampuan pada individu atau kelompok agar
lebih berdaya. Ada unsur luar (baik dalam bentuk lembaga atau individu) yang memberikan
kekuatan pada yang lemah (power to powerless) sehingga punya kekuatan untuk dapat
mengambil peran yang berharga bagi lingkungannya. Kedua, memunculkan kekuatan dan
kemampuan individu dan kelompok yang selama ini masih terpendam melalui stimulasi dan
motivasi sehingga menumbuhkan kepercayaan pada dirinya akan kemampuan yang dimiliki
KONSEPSI KADER DESA
“Kader” adalah orang yang dibentuk untuk memegang peran penting (orang kunci) dan
memiliki komitmen dan dedikasi kuat untuk menggerakan organisasi mewujudkan visi misinya.
Dalam konteks desa, Kader Desa adalah “Orang Kunci “ yang mengorganisir dan memimpin
rakyat desa bergerak menuju pencapaian cita-cita bersama. Kader Desa terlibat aktif dalam
proses belajar sosial yangdilaksanakan oleh seluruh lapiran masyarakat desa.
Kader-kader Desa hadir di dalam pengelolaan urusan desa melalui perannya sebagai kepala
desa, anggota BPD, Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), tokoh adat; tokoh gama;
tokoh masyarakat; tokoh pendidikan; pengurus/anggota kelompok tani; pengurus/anggota
kelompok nelayan; pengurus/anggota kelompok perajin;pengurus/anggota kelompok
perempuan. Kader Desadapat berasal dari kaum perempuan dan laki-laki dalam kedudukannya
yang sejajar, mencakup warga desa dengan usia tua, kaum muda maupun anak-
anak.Konsisten dengan mandat UU Desa, keberadaan kader desa yang berasal dari warga desa
itu sendiri berkewajiban untuk melakukan “upaya mengembangkan kemandirian dan
kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku,
kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan,
program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas
kebutuhanmasyarakat Desa”.
Fokus pendamping desa adalah memperkuat proses kaderisasi bagi Kader Pemberdayaan
Masyarakat Desa (KPMD), dengan tidak tertutup peluang untuk melakukan kaderisasi terhadap
komponen masyarakat lainnya. Legalitas KPMD tertuang dalam ketentuan dalam Pasal4
Permendesa PDTT No. 3/2015 tentang PendampinganDesa. Pasal tersebut menetapkan bahwa
pendampinganDesa dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas: a.tenaga pendamping
profesional; b. Kader PemberdayaanMasyarakat Desa (KPMD); dan/atau c. pihak ketiga.
Dengan demikian, KPMD merupakan pendamping desayang dipilih dari warga desa setempat,
untuk bekerjamendampingi beragam kegiatan di desanya secara mandiri.
Selain itu dalam ketentuan PP Desa maupun Permendesadisebutkan bahwa KPMD dipilih dari
masyarakat setempatoleh pemerintah Desa melalui Musyawarah Desa untukditetapkan
dengan keputusan kepada Desa. Maknanyasemakin terang bahwa KPMD merupakan individu-
individuyang dipersiapkan sebagai kader yang akan melanjutkankerja pemberdayaan di
Kehadiran KPMD sebagai penggerak warga desa untuk berpartisipasi dan berswadaya gotong
royong dalam pengelolaan urusan desa sudah barang tentu merupakan lompatan baru. Sebab,
selama puluhan tahun dalam kerangka kerja kontrol dan mobilisasi-partisipasi, desa
cenderung ditempatkan sebagai organisasi bentukan supradesa (desa korporatis). Tidak hanya
desa yang bersifat korporatis, lembaga-lembaga masyarakat pun bersifat korporatis (PKK,
Karang Taruna, RT, RW dan sebagainya).
Dalam ranah kaderisasi desa, KPMD bergerak untuk mengubah orgasisasi korporatis menjadi
kekuatan baru yang mendorong desa tampil sebagai pilar bangsa dan negara dalam
mewujdukan kesejahteraan masyarakat di desa-desa Indonesia. Secara horisontal, KPMD
bersamasamadengan warga melakukan pembelajaran, musyawarah mufakat (deliberasi), dan
membangun kesadaran kolektif dalam diri warga desa untuk melaksanakan pembangunan
desa. Secara vertikal, KPMD memfasilitasi para pemimpinDesa untuk berpihak kepada
masyarakat desa, memfasilitasifungsi representasi dalam Musrenbang dan Musyawarah Desa,
memfasilitasi pelayanan publik yang berkeadilanbagi masyarakat desa, memfasilitasi
pengelolaan APBDesasecara berkeadilan untuk kesejahteraan masyarakat desa (pembiayaan
Posyandu, dukungan untuk ketahanan pangan, penyediaan air bersih, dan lain-lain).
ORIENTASI BARU KPMD
KPMD mengorganisasikan pembangunan Desa melalui pengembangan kapasitas
teknokratis dan pendidikan politik.
KPMD melakukan pengorganisasian pembangunanDesa dalam proses teknokratis mencakup
pengembanganpengetahuan dan keterampilan terhadap para pelakudesa dalam hal
pengelolaan perencanaan, penganggaran,keuangan, administrasi, sistem informasi dan
sebagainya.KPMD melakukan pendidikan politik yang berorientasipada penguatan active and
critical citizen, yakni wargadesa yang aktif, kritis, peduli, berdaulat dan bermartabat.Hal ini
antara lain merupakan kaderisasi yang melahirkankader-kader baru KPMD yang militan
sebagai penggerakpembangunan desa dan demokratisasi.
Kaderisasi tidak identik dengan pendidikan dan pelatihan, namun juga membuka
ruang-ruang publik politik dan mengakses pada forum musyawarah desa, yang
membicarakan dan memperjuangkan kepentingan warga.
Kepemimpinan lokal yang berbasis masyarakat, demokratis dan visioner bisa dilahirkan melalui
kaderisasi ini, sekaligus emansipasi para kader dalam kehidupan berdesa.
Pendampingan yang dilakukan KPMD tidak boleh bersifat apolitik, tetapi harus
berorientasi politik. Pendampingan apolitik oleh KPMD hadir dalam bentuk pengembangan
kapasitas teknokratis dalam pembangunan desa, termasuk pembentukan keterampilan
berusaha, tanpa menyentuh penguatan Tradisi Berdesa (hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di Desa) dan penguatan kekuasaan, hak dan kepentingan warga. Kapasitas
teknokratis yang diemban oleh KPMD sangat penting tetapi tidak cukup untuk memperkuat
desa. Karena itu pendampingan oleh KPMD harus bersifat politik. Politik dalam konteks ini
bukan dalam pengertian keterlibatan KPMD dalam perebutan kekuasaan di Desa, melainkan
kerja fasilitasi untuk memperkuat pengetahuan dan kesadaran anggota masyarakat desa
tentang posisi dirinya sebagai warga desa yang sekaligus warga negara Republik Indonesia
(100% warga desa, 100% warga negara). Dalam kerangka kerja politik, KPMD mendorong
tumbuhnya sikap sukarela dalam diri warga desa untuk terlibat aktif dalam urusan desanya.
Dengan demikian, kerja politik KPMD dimaknai sebagai upaya menegakkan hak dan kewajiban
desa sekaligus upaya menumbuhkan dan menegakkan hak dan kewajiban warga desa.
Pendekatan pendampingan oleh KPMD yang berorientasi politik ini akan memperkuat kuasa
rakyat sekaligus membuat sistem desa menjadi lebih demokratis dalam bingkai kedaulatan
NKRI.
Para kader yang tergabung dalam KPMD bukan hanya memfasilitasi pembelajaran dan
pengembangan kapasitas, tetapi juga mengisi “ruang-ruang kosong” baik secara vertikal
maupun horizontal.
KPMD memiliki orientasi untuk mengisi ruang kosong yang identik dengan membangun
“jembatan sosial” (social bridging) dan jembatan politik (political bridging). Pada ranah desa,
ruang kosong vertikal adalah kekosongan interaksi dinamis (disengagement) antara warga,
pemerintah desa dan lembaga-lembaga desa lainnya. Pada ranah yang lebih luas, ruang
kosong vertikal adalah kekosongan interaksi antara desa dengan pemerintah supra desa.
Karena itu kader-kader KPMD adalah aktor yang membangun jembatan atau memfasilitasi
engagement baik antara warga dengan lembaga-lembaga desa maupun pemerintah desa, agar
tercipta bangunan desa yang kolektif, inklusif dan demokratis. Engagement antara desa
dengan supradesa juga perlu dibangun untuk memperkuat akses desa ke atas, sekaligus
memperkuat kemandirian dan kedaulatan desa. Ruang kosong horizontal biasanya berbentuk
densitas sosial yang terlalu jauh antara kelompok-kelompok masyarakat yang terikat (social
bonding) berdasarkan jalinan parokhial (agama, suku, kekerabatan, golongan dan sebagainya).
Ikatan sosial berbasis parokhial ini umumnya melemahkan kohesivitas sosial (bermasyarakat),
mengurangi perhatian warga pada isu-isu publik, dan melemahkan tradisi berdesa. Karena itu
ruang kosong horizontal itu perlu dirajut oleh para kader KPMD agar Tradisi Berdesa bisa
tumbuh dan desa bisa bertenaga secara sosial.
Pendampingan desa secara fasilitatif dari luar tidak cukup dilakukan oleh aparat negara
dan para pelaku pendampingan profesional, tetapi juga perlu melibatkan “pendamping
pihak ketiga” (unsur organisasi masyarakat sipil seperti NGOs lokal, perguruan tinggi,
lembaga-lembaga internasional dan perusahaan).
Pemerintah melakukan contracting out pada perusahaan untuk mengelola fasilitator, atau
mengandalkan aparat birokrasi, sehingga Kader Desa selama ini hanya merupakan “individu
dan organisasi” bentukan berbasis project. Tak jarang dijumpai bahwa kader-kader Desa lebih
kaya metodologi pendampingan ketimbang pendamping profesional. Selain itu, pendamping
profesional mungkin mampu mengembangkan kapasitas teknokratis, tetapi mengalami
keterbatasan dalam melakukan kaderisasi terhadap Kader Desa. Oleh karenanya, kader-kader
desa dalam KPMD harus direkognisi sebagai aktor pendampingan yang tepat untuk
melakukan kaderisasi. Dengan berpijak pada prinsip “negara yang padat” (congested state),
pemerintah dan pemda harus memfasilitasi dan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi
kader-kader KPMD untuk berjaringan dan bekerjasama dengan unsur-unsur organisasi
masyarakat sipil dan perusahaan. KPMD sudah saatnya berkolaborasi dengan NGOs lokal,
yang mempunyai tradisi dan jaringan dengan NGOs nasional dan lembagalembaga
internasional, agar KPMD semakin mempunyai tradisi yang kuat dalam menerapkan
pendekatan politik dalam pendampingan.
Pendampingan yang lebih kokoh dan berkelanjutan jika dilakukan dari dalam secara
emansipatif oleh kader-kader desa (KPMD).
Pendampingan secara fasilitatif oleh pendamping profesional maupun pihak ketiga
dibutuhkan untuk katalisasi dan akselerasi. Namun proses ini harus berbatas, tidak boleh
berlangsung berkelanjutan bertahun-tahun, sebab akan menimbulkan ketergantungan yang
tidak produktif bagi
KPMD. Selama proses pendampingan, pendekatan fasilitatif oleh pendamping profesional dan
pihak ketiga harus mampu menumbuhkan kader-kader desa yaitu KPMD yang piawai tentang
ihwal desa, dan kader-kader KPMD lah yang akan melanjutkan pendampingan secara
emansipatoris. Lebih lanjut, KPMD akan menyebarkan jiwa dan watak kader ke seluruh warga
desa. KPMD memiliki spirit voluntaris. Tetapi sebagai bentuk apreseasi, tidak ada salahnya
kalau Desa mengalokasikan insentif untuk para KPMD.
Pendampingan oleh KPMD melakukan intervensi secara utuh untuk memperkuat village
driven development dan mewujudkan desa sebagai self governing community yang
maju, kuat, mandiri dan demokratis.
KPMD serta isu-isu pemerintahan dan pembangunan desa bukanlah segmentasi yang berdiri
sendiri (cerai berai), tetapi semuanya terikat dan terkonsolidasi dalam sistem desa. Sistem desa
yang dimaksud adalah kewenangan desa, tata pemerintahan desa, serta perencanaan dan
penganggaran desa yang semuanya mengarah pada pembangunan desa untuk kesejahteraan
warga. Baik kepentingan, tema pembangunan, aset lokal, dan KPMD diarahkan dan diikat
dalam sistem desa itu. Dengan kalimat lain, desa menjadi basis bermasyarakat, berpolitik,
berpemerintahan, berdemokrasi dan berpembangunan. Pola ini akan mengarah pada
pembangunan yang digerakkan oleh desa (village driven development), yang bersifat kolektif,
inklusif, partisipatif, transparan dan akuntabel.
Pendampingan tidak bersifat seragam dan kaku tetapi harus lentur dan kontekstual.
Indonesia sudah berpengalaman dalam pendampingan, sebagaimana dilakukan oleh PNPM
Mandiri Perdesaan. Namun pendampingan ala PNPM Mandiri cenderung seragam dan kaku
yang dikendalikan secara ketat dengan Petunjuk Teknis Operasional (PTO). Pendampingan
tentu harus lentur dan kontekstual, yakni tergantung pada kondisi dan kebutuhan lokal. Untuk
menjaga kelenturan dan kontektualitas itu, PTO yang diciptakan secara desentralistik di
kabupaten/ kota tidak boleh memberikan instruksi dan petunjuk apa yang harus dan boleh
dilakukan seperti gaya birokrasi,
melainkan memberi negative list atau memberi larangan apa yang tidak boleh dilakukan.
Dengan kalimat lain PTO itu tidak mewajibkan pendamping dengan prinsip “tidak boleh
melakukan sesuatu kecuali yang diperintah” melainkan memberikan keleluasaan pendamping
untuk bertindak sesuai dengan prinsip “bebas melakukan apapun kecuali yang dilarang”. Saat
ini kita semua perlu memaknai keragaman pendampingan paralel yang selama ini sudah
dilakukan melalui program-program “pemberdayaan masyarakat” agar masuk dalam sistem
pendampingan Desa pasca terbitnya UU Desa. Perbedaan mendasar model pendampingan
paska ditetapkannya UU Desa adalah ada tuntutan terhadap para Pendamping Desa untuk
mampu melakukan transformasi sosial dengan mengubah secara mendasar pendekatan
“kontrol dan mobilisasi” pemerintah terhadap desa, menjadi pendekatan “pemberdayaan
masyarakat desa”. Masyarakat desa dan pemerintah desa sebagai satu kesatuan self governing
community diberdayakan untuk mampu hadir sebagai komunitas mandiri. Dengan demikian,
desadesa didorong menjadi subyek penggerak pembangunan
Indonesia dari pinggiran, sehingga mampu merealisasikan salah satu agenda strategis prioritas
Pemerintahan Jokowi-JK yaitu “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat
Daerah-Daerah dan Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan”. Peran pendamping desa yang
berkedudukan di kecamatan (Fasilitator Kecamatan misalnya) mempunyai tugas yang
diamanatkan oleh Permendesa No. 3/2015 tentang Pendampingan Desa untuk melakukan
peningkatan kapasitas bagi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa dan mendorong terciptanya
kader-kader pembangunan Desa yang baru.
PENGEMBANGAN KAPASITAS KADER DESA
Untuk mengembangkan kapasitas Kader Desa,Pemerintah Desa dapat membentuk beragam
lembaga kemasyarakatan sebagai wadah bagi warga mengaktualisasikan dirinya sebagai
warga Desa. Lembaga-lembaga tersebut dapat ditetapkan dengan peraturan desa dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Sebagaimana selama ini, di Desa banyak
model-model lembaga kemasyarakatan, antara lain seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga,
karang taruna, lembaga pemberdayaan masyarakat, dan sejenisnya. Lembaga kemasyarakatan
yang banyak terdapat di Desa
itu idealnya harus bisa menjadi arena masyarakat Desa untuk mengembangkan diri menjadi
Kader Desa yang mampu berperan untuk membangun desa. Lembaga-lembaga tersebut bisa
menjadi ruang bagi warga Desa merumuskan dan mengusung aspirasi mereka
danberpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan mengawal pembangunan Desa.
Bagi Kader Desa, lembaga-lembaga itu bisa menjadi arena pembelajaran untuk
mengembangkan kapasitas mereka menjadi kader-kader pemberdayaan masyarakat. Selain
bentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut, salah satunya misalnya bisa juga dibentuk
suatu lembaga yang menjadi pusat kegiatan kemasyarakatan (community center) yang
difungsikan sebagai pusat informasi, pusat kegiatan dan pendampingan atau pusat advokasi
masyarakat. Para pendamping desa semestinya dapat melakukan fasilitasi pembentukan
lembaga-lembaga semacam ini sebagai arena pusat pembelajaran masyaraka dan
pembelajaran bagi kader desa[.]
Pokok Bahasan 7
PENGARUSUTAMAAN
INKLUSI SOSIAL
Rencana Pembelajaran
SPB
7.1 Konsep Dasar Dan Indikator
Inklusi Sosial
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan konsep dasar inklusi sosial dalam pembangunan desa;
2. Menguraikan indikator inklusi sosial.
Waktu
2 JP ( 90 menit)
Metode
Permainan “Inklusi sosial”, refleksi permainan, curah pendapat, tanya
jawab
Media
Lembar permainan, bahan bacaan, video Dewi dan Putri.
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Menjelaskan tujuan, proses dan hasil yang diharapkandari sub pokok bahasan
“Konsep Dasar dan Indikator Inklusi Sosial”.
2. Tayangkan video mengenai inklusi sosial dengan judul “Dewi dan Putri” yang
mengisahkan ketimpangan di Indonesia. Kemudian ajaklah peserta
merefleksikan apa yang dialami kedua tokoh dalam cerita terjadi dan
mengapa kondisi tersebut terjadi?
3. Bagi kelompok menjadi dua. Jika terlalu besar bagi menjadi 3 (tiga kelompok)
dengan masing-masing kelompok beranggota maksimal 15 orang, dan
lakukan hal-hal sebagai berikut:
Masing-masing peserta akan diberikan kertas label pertama berisi status sosial
warisan (ascribed status), misalnya: „anak kepala desa‟, „anak penganggur‟, „anak
petani‟, „anak buruh‟, „keturunan keraton‟, „keturunan pempimpin adat‟,dll.
Minta peserta untuk membuat barisan sesuai urutan dimulai dari yang paling
berpengaruh/bergengsi sampai yang paling pinggir. Setelah barisan terbentuk,
minta salah seorang peserta di masing-masing kelompok untuk mencatat urutan
dalam barisan tersebut berdasar status sosial masing-masing.
Masih dalam barisan, setiap peserta mendapat kertas label kedua yang berisi
status berdsar tingkat pendidikan dan keahlian. Misalnya “lulusan Perguruan
Tinggi”, “lulusan SD”, “lulusan SMP”, “lulusan SMA”, “penjahit”, “tukang kayu”,
“arsitek”, “pemain bola”, dst. Dengan label kedua ini, setiap peserta memiliki
kombinasi dua label.
Minta peserta untuk kembali membentuk formasi barisan sesuai dengan
kombinasi label yang mereka terima. Minta salah seorang peserta untuk
mencatat formasi barisan tersebut berdasarkan kombinasi label yang diterima.
Masih dalam barisan, beri setiap peserta kertas label ketiga yang
menggambarkan statusnya saat ini. Misalnya “bapak/ibu rumah tangga”, “aktivis
LSM”, “tokoh agama”, “keturunan pemimpin adat”, “keturunan etnik pendatang”,
“keturunan etnik pribumi”, dlsb. Dengan kombinasi tiga label yang setiap
peserta miliki, minta mereka untuk membentuk barisan dari yang paling
berpengaruh sampai yang paling pinggir. Minta salah seorang peserta mencatat
susunan barisan berdasar kombinasi tiga label tersebut.
5. Berdasar jawaban dari peserta, jelaskan secara singkat tentang (1) bagaimana
umumnya seseorang diperlakukan secara sosial, keterlibatan dalam proses
pengambilan keputusan, dan dalam mengakses layanan dasar. (2) Pengertian
kelompok marjinal atau kelompok yang terkucil (kelompok tereksklusi) dalam
masyarakat beserta contoh-contoh aktual dan berdasar permainan; dan (3)
pengertian inklusi sosial yakni konsep pendekatan yang memungkinkan
seluruh komponen masyarakat, baik yang paling berpengaruh maupun yang
paling termarjinalkan berpartisipasi dalam pembangunan.
6. Berdasarkan pengalaman dalam permainan dan penjelasan singkat, minta
peserta untuk menyebut indikator inklusif sosial.
7. Berikan tanggapan atas jawaban peserta dan beri penegasan dengan
menggunakan menggunakan media tayang mengenai Konsep Dasar dan
Indikator Inklusi.
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menguraikan contoh-contoh implementasi inklusi sosial di lingkungan
masyarakat dan desa
2. Mengidentifikasi pembelajaran kunci dalam penerapan inklusi sosial di
Desa
3. Menjelaskan faktor-faktor sukses dalam penerapan inklusi sosial di
Desa
Waktu
1 JP ( 45 menit)
Metode
Paparan, curah pendapat
Media
Lembar tayang
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Menjelaskan tujuan, proses dan hasil yang diharapkan dari sub pokok
bahasan “Bentuk-Bentuk Nyata Inklusi Sosial di Desa”, dan hubungannya
dengan topik sebelumnya.
2. Fasilitator membagi peserta kedalam tiga kelompok untuk membahas
pendekatan inklusi sosial di masyarakat terhadapa isu berikut: (1)
perempuan, (2) penyandang disabilitas atau difabel, dan (3) masyarakat
miskin. Setiap kelompok membahas satu isue yang berbeda dengan
mengeksplorasi jawaban atas pertanyaan berikut:
Bagaimana posisi tiga subjek di atas (perempuan, penyandang disabilitas, dan
masyarakat miskin) dalam konteks pembangunan dan ruang publik selama ini?
Apa yang dapat diupayakan oleh masyarakat sehingga tiga subjek tersebut dapat
memiliki peran dan penerimaan yang lebih besar diterima kehadirannya di ruang
publik?
Bagaimana upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, termasuk juga
pemerintah desa, dalam menginklusi ketiga subjek di atas?
Apa langkah-langkah strategis yang bisa Anda lakukan sebagai pendamping desa
dalam meningkatkan inklusi sosial? Berikan contoh-contoh konkrit.?
Apa saja manfaat yang dapat dirasakan ketika pembangunan bersifat inklusif?
Rencana Pembelajaran
SPB
7.3 Strategi Pemberdayaan
Perempuan, Kelompok Miskin,
Dan Berkebutuhan Khusus
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
Menerapkan faktor-faktor kunci penerapan inklusi sosial dalam
perumusan strategis pemberdayaan/inklusi sosial.
Waktu
2 JP ( 90 menit)
Metode
Paparan, curah pendapat, role play
Media
Lembar tayang, lembar peran
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Fasilitator menjelaskan tujuan, proses dan hasil yang diharapkan dari sub
Pokok Bahasan “Strategi Pemberdayaan Perempuan, Kelompok Miskin dan
Berkebutuhan Khusus”
2. Fasilitasi Role play (lembar role play terlampir) dengan melakukan langkah-
langkah sebagai berikut:
Bagi kelas secara merata kedalam kelompok – kelompok kecil dengan peran
sebagai berikut: (a) perangkat desa, (b) pemuka adat, (c) petani miskin, (d) ibu-
ibu istri petani miskin, (e) penyandang disabilitas/difabel, (f) pendamping desa.
Bagikan lembaran kertas untuk masing-masing peserta berdasarkan peran (lihat
di lampiran). Minta agar masing-masing kelompok tidak memberitahukan
perannya kepada kelompok lain dan arahkan agar duduk terpisah. Tempatkan
kelompok perangkat desa di tengah-tengah kelompok lain.
Minta peserta untuk membaca peran dan berdiskusi dalam kelompok masing-
masing tentang kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi. Berikan batasan
waktu 5 menit.
Secara terpisah, minta kelompok pendamping desa untuk berinteraksi dengan
masing-masing kelompok dan menjadi penghubung dengan perangkat desa.
Berikan waktu (15 – 20 menit) ke peserta untuk memerankan perannya sesuai
didalam petunjuk di kartu. Pastikan agar setiap kelompok paham dengan
perannya.
3. Lakukan releksi atas role play dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
Kelompok mana saja yang tidak mendapatkan akses dari pengambilan
keputusan? Faktor-faktor apa saja yang membatasi?
Bagaimana peran pendamping dalam meningkatkan inklusi sosial?
Tantangan-tantangan apa saja yang mungkin dihadapi pendamping dalam
usaha tersebut?
Potonglah kartu-kartu peran ini dan bagikan ke masing-masing kelompok berdasarkan peran
yang dimainkan. Minta peserta untuk tidak memberitahu kelompok lain siapa mereka dan
peran-peran apa saja yang tertulis.
Perangkat Desa Tahun ini desa Anda mendapatkan sekitar 800 juta dari DD dan
ADD. Kelompok Anda sedang melaksanakan Musyawarah Desa
untuk menyusun RPKPDes tahun ini. Kelompok Anda berfikir
bahwa kebutuhan infrastruktur untuk jalan dan jembatan masih
belum memadai. Disamping itu, kebutuhan penganggaran untuk
pembiayaan operasional perangkat desa, terutama untuk gaji
bulanan, perlu ditambah karena adanya beban kerja yang
meningkat. Saat ini pendukung utama kelompok Anda adalah
pemuka Adat dan kelompok Anda ingin mendapatkan dukungan
dari mereka supaya tidak ada kecemburuan dan kecurigaan
ditingkat masyarakat. Kelompok Anda akan menyetujui apa yang
diusulkan pemuka masyarakat. Sesuai peraturan, kelompok Anda
harus menentukan kelompok siapa saja yang harus diundang
untuk berdiskusi dan pada nantinya akan merumuskan prioritas-
prioritas pembangunan tahun ini.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Pemuka Adat Kelompok Anda memiliki kedekatan inter-personal dengan
perangkat desa karena selama ini dukungan diberikan untuk
pembangunan sarana pertemuan adat. Prioritas tahun ini adalah
menyelenggarakan festival adat sebagai bagian dari
perencanaan kedepan untuk menjadikan desa Anda sekarang
sebagai desa Adat supaya kedudukan kelompok Anda menjadi
lebih penting. Kebutuhan dana diperkirakan sekitar 200 juta.
Anda berfikir bahwa festival ini merupakan kesempatan yang
strategis untuk memperkenalkan tradisi adat dan budaya ke
masyarakat yang lebih luas untuk mendapatkan pengakuan.
Anda juga ingin membujuk kelompok petani, perempuan dan
penyandang kebutuhan khusus untuk mendukung prioritas
kelompok Anda.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Petani miskin Kelompok Anda mendengar bahwa desa Anda mendapat dana
desa sebesar 800 juta. Selama ini kelompok Anda hanya bisa
bertanam padi sekali setahun karena tidak ada saluran irigasi.
Ketika musim kering, petani hanya bisa menanam palawija pada
bulan-bulan tertentu tetapi harus menghabiskan banyak waktu
untuk mengambil air dari sungai terdekat. Di samping itu,
beberapa tahun ini, kebutuhan pupuk tidak terpenuhi karena
ada kelangkaan persediaan dan Anda ingin mengembangkan
pupuk kompos dari sampah dan kotoran ternak. Akan tetapi,
proposal yang kelompok Anda sampaikan ke Dinas Pertanian
belum mendapat jawaban. Dengan adanya dana desa, kelompok
Anda berharap agar pemerintah desa akan mengalokasikan dana
untuk kebutuhan irigasi dan fasilitas kompos tahun ini. Tetapi
tidak ada dari anggota kelompok Anda yang memiliki kedekatan
dengan perangkat desa.
Ibu-Ibu istri petani miskin Selama ini Kelompok Anda bertanggung jawab untuk mengurus
Bahan Bacaan
PB
7 Pengarusutamaan
Inklusi Sosial
Inklusi sosial adalah puncak untuk mengakhiri kemiskinan yang ekstrim dan upaya
mewujudkan kemakmuran bersama.
Inklusi sosial adalah hasil, sekaligus proses peningkatan keterlibatan individu dalam
kehidupan bermasyarakat
Kemiskinan adalah salah satu permasalahan utama dalam pembangunan Indonesia. Namun,
kemiskinan bukanlah label utama dari ketidakberdayaan seseorang/kelompok masyarakat. Ras,
etnis, jenis kelamin, agama, tempat tinggal (isolasi geografis), status disable, usia, status
HIVAIDS, orientasi seksual atau penanda stigma lainnya, bisa menyebabkan seseorang atau
sekelompok masyarakat terkucilkan (tereksklusi) dari berbagai proses dan peluang. Eksklusi ini
bisa terjadi pada tataran sosial, politik maupun ekonomi.
Eksklusi ini terjadi secara terus-menerus antar generasi sehingga pihak-pihak yang
mengeksklusi seringkali tidak menyadari dan menganggap sebagai kewajaran. Misalnya
menganggap wajar seorang Suku Anak Dalam (SAD) tidak memiliki KTP dengan alasan mereka
hidup berpindah-pindah, wajar seorang waria dianiaya karena dianggap sebagai sampah
masyarakat; atau sudah semestinya seorang yang terinveksi HIV/AIDS tidak terlayani
kesehatan karena sepadan dengan perilakunya yang dianggap menyimpang, wajar seorang
tuna rungu tidak naik kelas karena keterbatasan fisik yang dimiliki, bukan karena ketiadaan
fasilitas dan seterusnya. Stigma itu melekat pada seseorang sehingga kebutuhan dasar mereka
sebagai warga negara terabaikan.
Silver menegaskan dalam hasil studinya bahwa kelompok-kelompok di atas umumnya adalah
kelompok yang paling miskin dalam masyarakat. Miskin secara ekonomi, politik dan sosial.
Program penanggulangan kemiskinan akan berhasil jika menargetkan kelompok tereksklusi ini
sebagai sasaran utama program.
Program PNPM Mandiri Perdesaan memiliki capaian-capaian positifnya tersendiri yang hendak
dimajukan lebih jauh melalui program Pendampingan Desa. Melalui Pendampingan Desa
pengarusutamaan inklusi sosial dilakukan lebih jauh dengan secara langsung mendekati
masyarakat yang selama ini tereksklusi atau terpinggirkan. Kelompok miskin, penyandang
disabilitas, perempuan, masyarakat adat, dan individu atau kelompok sosial yang selama ini
tersisih/terpinggirkan dilibatkan secara langsung untuk merangkai dan menyusun program
dan kegiatan pembangunan dan pemberdayaan.
Namun harus dicatat bahwa pelibatan tersebut bukan dilakukan atas dasar motifasi belas
kasihan (charity). Pelibatan masyarakat terpinggir melalui agenda inklusi sosial dalam
Pendampingan Desa dilakukan sebagai bentuk pengakuan (rekognisi) terhadap mereka yang
terpinggir itus atas hak dan kewajiban mereka selaku warga Negara dan warga masyarakat
Desa. Aspirasi mereka dalam musyawarah Desa, akses dalam memanfaatkan pelayanan dasar
di Desa, pekerjaan yang layak, jaminan rasa aman, akses terhadap fasilitas publik, adalah hak
mereka dan menjadi kewajiban Pemerintah Desa untuk menunaikannya.
Dengan kata lain inklusi sosial merupakan upaya menempatkan martabat dan kemandirian
individu sebagai modal utama untuk mencapai kualitas hidup yang ideal. Pendekatan inklusi
sosial mendorong agar seluruh elemen masyarakat mendapat perlakuan yang setara dan
memperoleh kesempatan yang sama sebagai warga negara, terlepas dari perbedaan apapun:
agama, etnis, kondisi fisik, jenis kelamin, tingkat kesejahteraan ekonomi, dan lain-lain. Inklusi
sosial merangkul semua warga negara Indonesia yang mengalami stigma dan marjinalisasi,
dengan mengajak masyarakat luas untuk bertindak inklusif dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi Pendamping Desa, upaya ini mestinya bukan ikhwal sederhana. Para Pendamping yang
bertugas di tingkat Kecamatan sendiri harus memahami pijakan konstitusi, terkait Hak dan
Kewajiban warga Negara Indonesia yang telah menjadi ketentuan dalam UUD maupun
peraturan perundangan yang mengatur hak dan kewajiban warga Negara secara sektoral.
Selain pemahaman, kesadaran sosial Penamping Desa harus jauh lebih maju dalam
penerimaan terhadap kelompok-kelompok atau individu yang tersisih tersebut. Kesadaran
tersebut mesti tampil dalam sikap, yakni dalam berinteraksi dengan pihak yang selama ini
tersisih. Kesadaran ini dibutuhkan agar agenda inklusi tidak semata-mata bersifat formal dan
artifisal (bersifat permukaan) belaka, melainkan tampil sebagai hal yang memang penting dan
harus dilakukan.
Inklusi sosial memerlukan pemahaman bahwa “yang di dalam” harus berhenti mengucilkan
mereka yang selama ini terpinggir. Seorang warga Desa tidak dapat dikucilkan dari
Musyawarah Desa, program dan kegiatan Desa karena keadaannya. Penyandang disabilitas
mesti mendapat jaminan untuk mampu mengakses fasilitas publik dan memperoleh pelayanan
dasar. Melalui agenda inklusi sosial, dorongan untuk berhenti mengucilkan tersebut justru
harus dilakukan lebih jauh dengan penerbitan kebijakan atau peraturan Desa yang melindungi
dan menarik ke dalam mereka yang selama ini terpinggir.
Kesadaran dan perhatian khusus untuk mendorong partisipasi kelompok marjinal seperti kaum
miskin, lansia dan difabel masih rendah bagi banyak pemerintah desa. Alasan yang sering
diungkapkan adalah aspirasi kaum marjinal tersebut secara otomatis sudah tercermin dalam
usulan-usulan yang dibawa oleh para wakil dan tokoh yang hadir dalam musyawarah desa. Di
kasus yang lain, walaupun terdapat kehadiran kaum marjinal dalam musyawarah desa,
kehadiran mereka lebih untuk memenuhi daftar absensi saja. Pemerintah desa mengaku sudah
memberikan kesempatan kepada mereka untuk bicara dalam forum musyawarah, namun
kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan. Dalam hal keterlibatan perempuan, biasanya
kelompok perempuan hadir dalam musyawarah desa mewakili lembaga PKK atau
perkumpulan keagamaan. Meskipun demikian kualitas keterlibatan mereka masih dinilai
kurang dalam proses musyawarah dan wakil perempuan terbatas pada elit-elit desa dan tidak
aktif bersuara. DI tempat lain, walaupun terdapat wadah pertemuan rutin perempuan yang
terpisah dengan laki-laki, penampungan aspirasi umumnya diwakili kepala keluarga laki-laki
(Studi Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa - Laporan Baseline - the
SMERU Research Institute Maret 2016)
Tingkat partisipasi masyarakat cenderung lebih tinggi apabila pertemuan dan aktifitas
diadakan dibawah level desa, yaitu di dusun, RW atau RT. Hal ini karena selain disebabkan oleh
akses juga secara kebiasaan forum-forum tingkat tersebut dianggap lebih familiar dan akrab.
Artinya bila kegiatan diadakan pada level desa, partisipasi warga akan menciut. Hal yang sama
juga terjadi bagi kegiatan pembangunan dimana keterlibatan masyarakat akan lebih tinggi
apabila lokasi pembangunan berada di lokasi disekitar tempat tinggal mereka.
“Di Desa Kelok Sungai Besar terdapat satu RT, yaitu RT 15, yang letaknya jauh dari
pusat pemerintahan Desa. Untuk sampai ke RT 15, harus melewati jalan
perusahaan perkebunan dan wilayah Desa Belanti Jaya, desa bentukan baru yang
berasal dari permukiman Transmigrasi. RT yang jumlah warganya kini sekitar 20-
an KK ini, menghadapi permasalahan yang sejak dulu belum pernah terselesaikan,
yaitu kondisi jalan tanah merah yang merupakan akses keluar masuk wilayah
tersebut rusak berat, apalagi saat hujan. Aliran listrik PLN pun belum masuk ke RT
ini. Usulan kepada desa sudah sering disampaikan, namun selalu tidak mendapat
prioritas.
Kepala Desa bukan tidak menyadari kondisi ini. Namun terbatasnya anggaran dan
letak yang terpisah membuat niat untuk memperbaiki jalan masih terkendala.
“Beberapa kali Musrenbangdes memang sudah direncanakan, sejak Kades Pak Tar,
terus kito. Pak RT boleh buka dokumen perencanaan desa, semuanya ada. Tapi
terkendala duitnya ndak ado, yang ngabulkannya ndak ado. Disamping itu kendala
yang lain karena jalannya melalui jalan perusahaan perkebunan. Mudah-mudahan
dengan adanya UU Desa ini, dutinya sudah lebih 1 milyar, di sini bisa kebagian,”
(Wawancara, laki-laki, 37, kepala desa, Kecamatan Mersam - Kabupaten
Batanghari, 17 Oktober 2015).
(Dicuplik dari Studi Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Laporan Baseline - the SMERU Research Institute Maret 2016)
Dalam penyusunan dokumen RPJMDes dan RKPDes, sebagian besar desa yang pernah di kaji
oleh SMERU (Sentinel Village 2016) sudah melaksanakan rangkaian musyawarah yang diatur
dalam Permendagri No. 66/2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa. Akan tetapi
pertemuan ditingkat RT hanya digunakan untuk penggalian usulan-usulan sebagai masukan
penyusunan RPJMDes. Sedangkan dalam proses RKPDes, proses penetapan prioritas
pembangunan untuk berlangsung elitis dengan melibatkan beberapa orang sebagai tim
penyusun dan tidak melibatkan masyarakat. Hal yang serupa juga dijumpai dalam
penyusunan APBDes yang biasanya dikerjakan oleh aparat desa, antara lain Kepala Desa, Kaur
Pembangunan, Bendahara Desa, Sekdes dan Kaur Umum. Seringkali penyusunan anggaran
tersebut hanya melibatkan segelintir orang yang dianggap pemerintah desa sebagai orang
yang kooperatif. Walaupun hal ini tidak menyalahi aturan karena Permendagri No.113 tahun
2015 hanya mensyaratkan bahwa pembahasan dilakukan antara pemerintah desa dengan BPD,
tidak ikut sertanya warga masyarakat berpotensi terjadinya kasus penyalahgunaan wewenang.
Secara umum, pemerintah desa belum memfasilitasi proses dan pendekatan yang lebih
partisipatif.Proses penetapan prioritas ini berdampak pada penundaan atau tidak
dilaksanakannya kegiatan pembangunan yang menurut masyarakat dianggap sangat
dibutuhkan.
“Masyarakat kan tidak tau, awam, (jadi) kita lah yang mikirnya. Oh di situ perlu
jalan rabat beton, di situ jalan rabat beton. Mana yang perlu, ada anggaran, kasih.
Dari masyarakat tidak ada mikir, usul (juga) tidak ada, yang penting makan."
(Wawancara, laki-laki, 36, kaur umum, Kecamatan Sungai Manau - Kabupaten
Batanghari, 17 November 2015)
Situasi seperti ini diamini oleh salah seorang tokoh masyarakat dari unsur guru
yang menyatakan bahwa pemerintah desa tidak secara murni melakukan
penggalian gagasan. Menurutnya, ini menjadi faktor lain yang menyebabkan
Musrenbangdes tidak dihadiri oleh warga, yaitu selain dianggap tidak punya hasil
(usulannya itu-itu saja), juga karena tidak diakomodirnya usulan warga bila
bertentangan dengan apa yang telah dirancang oleh Pemerintah Desa.
“Kebanyakan warga setuju-setuju saja. Seharusnya kita tahu dulu dananya berapa,
diminta usulannya apa, dan kebutuhannya apa. (Tapi yang terjadi) Kades sudah
merancang terlebih dahulu (usulan kegiatannya) baru minta pendapat ke
masyarakat. Di musyawarah, keputusan (seolah-olah) sudah ada. Ada yang beda
pendapat, tapi kalo kades sudah ngomong itu dan sudah banyak yang setuju,
pendapatnya jadi tidak diterima. Kalau pun ada perdebatan itu pasti di belakang,
kan gak ada hasilnya. Depan setuju-setuju, di belakang (baru bilang) tidak setuju.”
(Wawancara, laki-laki, guru, Kecamatan Sungai Manau - Kabupaten Merangin, 20
November 2015).”
Ketentuan terkait inklusi lebih eksplisit lagi diatur di Pasal 117 ayat (3) PP No. 43 tahun 2014.
Di situ daitur bahwa RPJMDesa disusun dengan mempertimbangkan “kondisi objektif Desa”
dan prioritas pembangunan Kabupaten/Kota. Dalam PP tersebut ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan “kondisi objektif Desa” adalah “kondisi yang menggambarkan situasi yang
ada di Desa, baik mengenai sumber daya manusia, sumber daya alam, maupun sumber daya
lainnya, serta dengan mempertimbangkan, antara lain, keadilan gender, perlindungan terhadap
anak, pemberdayaan keluarga, keadilan bagi masyarakat miskin, warga disabilitas dan
marginal, pelestarian lingkungan hidup, pendayagunaan teknologi tepat guna dan sumber daya
lokal, pengarusutamaan perdamaian, serta kearifan lokal.”
Agenda pemberdayaan Desa bahkan mendorong agar agenda inklusi sosial masuk ke dalam
proses perencanaan dan penganggaran. Ketentuan tersebut termaktub di Pasal 127 PP 43
tahun 2014. Di situ diatur bahwa pemberdayaan masyarakat Desa dilakukan dengan
“menyusun perencanaan dan penganggaran yang berpihak kepada kepentingan warga miskin,
warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal”. Dengan mengacu pada perintah
undang-undang di atas, maka mau tidak mau agenda inklusi sosial harus menjadi perhatian
serius baik bagi Pemerintah Desa, Kecamatan, dan khususnya Pendamping Desa sebagai
pemberdaya masyarakat Desa.
Pada dasarnya, inklusi sosial tertuju bagi penguatan masyarakat Desa. Masyarakat Desa yang
hendak dicapai oleh UU Desa merupakan kesatuan utuh dari seluruh individu warga Desa yang
memiliki kompetensi, kesadaran utuh sebagai subjek, dan berdiri secara setara. Kemandirian
dan kesejahteraan Desa merupakan hasil atau resultante dari kemampuan seluruh individu
warga Desa. Di samping itu, inklusi sosial juga memiliki dimensi tujuan yang lebih besar, di
antaranya:
Pemenuhan Hak Asasi Manusia yang universal
Tujuan di atas jelas bukan agenda sederhana yang dapat dicapai dengan mudah dan cepat.
Pemahaman konstitusi dan kesadaran Pendamping Desa sangat menentukan, khususnya
dalam peran dan fungsi Pendamping Desa sebagai supervisor bagi Pendamping Lokal Desa.
Inklusi sosial harus dipahami sebagai agenda panjang yang membutuhkan perencanaan
sistematik, terukur, namun sekaligus harus terbuka bagi perbaikan. Untuk mencapai
keberhasilan stakeholder baik di tingkat Pemerintah Desa, Kecamatan, maupun SKPD terkait
harus memiliki kesamaan pemahaman terkait inklusi. Selain itu, penggangan jaringan dan
dukungan dari kalangan di luar pemerintah juga akan sangat menentukan.
Selain itu, masyarakat Desa dan komunikasi dengan individu atau kelompok yang terpinggir
merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dengan serius. Masyarakat atau warga Desa
secara umum harus mendapatkan informasi serta sosialisasi yang benar mengenai hak-hak
dasar setiap warga Desa. Agenda ini tidak melulu harus dilakukan secara formal, karena bagi
masyarakat Desa, individu atau kelompok yang terpinggir sesungguhnya adalah tetangga
mereka sendiri. Komunikasi dengan interaksi dengan kelompok yang terpinggir juga harus
dilakukan dengan serius, hati-hati, dan menjaga agar jangan sampai memunculkan efek
psikologis yang negatif.
Secara umum, alat analisis dan langkah inklusi dapat digambarkan sebagai berikut.
PEMETAAN WILAYAH
PROFIL SOSIAL
KEBIJAKAN/PERATURAN
KOMUNIKASI & INTERAKSI
DESA
MENGGALANG
DUKUNGAN
Format tabel berikut ini dapat membantu untuk memetakan individu dan kelompok yang
tereksklusi.
MENYUSUN PROFIL SOSIAL; hasil pemetaan wilayah database dilengkapi dengan penjelasan
akar masalah yang menyebabkan marjinalisasi. Penjelasan tersebut dapat dibuat sebagai
narasi yang disertai dengan kata kunci utama, dan dapat pula disusun dalam bentuk pohon
permasalahan (problem tree). Profil sosial ini akan sangat membantu bagi langkah-langkah
selanjutnya, khususnya dalam membangun komunikasi dengan kelompok marjinal dan
merumuskan jalan keluar.
KEBIJAKAN/PERATURAN DESA. Langkah yang paling strategis dari siklus inklusi sosial
sesungguhnya adalah perlindungan kebijakan Desa. Desa inklusif pada dasarnya bukan
semata-mata desa yang secara sosio-kultural telah berjalan secara inklusif, melainkan
kehidupan di dalamnya dinaungi secara politik melalui payung kebijakan. Payung kebijakan ini
harus ada bukan untuk fungsi simbolik, melainkan untuk memberikan perlindungan dan
jaminan dari proses inklusi dan keadaan inklusif[.]
Pokok Bahasan 8
MANAJEMEN PENDAMPINGAN DESA
Rencana Pembelajaran
SPB
Jati Diri Tenaga
8.1
Pendamping Profesional
P3MD dan Kode Etik
Pendamping
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan dan memahami tugas pokok fungsi yang harus dilakukan
seorang tenaga pendamping profesional P3MD dalam melaksanakan tugas
pendampingan desa;
2. Menjelaskan dan memahami perilaku, sikap dan jati diri yang harus di miliki
sebagai seorang tenaga pendamping profesional P3MD;
3. Mengetahui dan dapat menyebutkan kode etik tenaga pendamping
profesional serta sanksi yang harus ditanggung seorang pendamping
profesional P3MD jika melanggar kode etik.
4. Mampu menjaga dan menegakkan kode etik pendamping profesional
P3MD.
Waktu
2 JP ( 90 menit)
Metode
Pemaparan, Membaca Cepat, Curah Pendapat, Diskusi Kelompok, dan Pleno.
Media
Media Tayang 8.1.1;
Lembar Kerja 8.1.1: Matrik Diskusi Tupoksi TAPM
Lembar Kerja 8.1.2 : Kode Etik Tanaga Pendamping Profesional
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
Kegiatan 1: Memahami tugas pokok fungsi tenaga pendamping profesional
P3MD
1. Menjelaskan tentang tujuan, proses, dan hasil yang diharapkan dari
subpokok bahasan tentang Jati Diri Pendamping Profesional P3MD dan
Kode Etik Pendamping;
2. Berikan kesempatan kepada peserta untuk membaca cepat tupoksi PD
sesuai posisi jabatannya dari SOP
3. Lakukan curah pendapat tentang tugas, pokok fungsi PD dengan
mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
a. Apa yang Anda pahami tentang tupoksi TAPM?
b. Bagaimana peluang dan tantangan tupoksi dijalankan?
4. Berikan kesempatan kepada peserta untuk memberikan tanggapan,
bertanya, berpendapat dan masukan;
5. Buatlah catatan berupa pokok-pokok pikiran atau rumusan gagasan
utama dari hasil pembahasan yang dilakukan dengan menuliskan dalam
kartu, kertas plano atau whiteboard;
6. Selanjutnya bagi peserta kedalam kelompok (4 sd 5 orang per
kelompok), pandulah peserta untuk diskusi kelompok terkait
menganalisis tentang titik kritis pelasaksanaan tupoksi dan strategi
fasilitasi dengan menggunakan Lembar Kerja 3.1.1;
7. Selanjutnya pleno hasil kelompok, berikan sessi perwakilan kelompok
untuk memaparkan hasil rumusan kelompok. Umpan balikkan.
8. Pada akhir kegiatan ini, pelatih memberikan penegasan dan
kesimpulan tentang materi dibantu dengan pemaparan media
tanyang yang telah disediakan.
10. Rangkumlah jawaban para peserta dalam kerangka pemahaman yang benar.
Jelaskan bahwa sikap merupakan bagian dari sifat seseorang yang bisa
dibentuk. Kaitkan penjelasan itu dengan pentingnya pendidikan karakter
yang bertujuan membangun integritas atau sikap-sikap ideal seseorang;
11. Jelaskan juga bahwa pendampingan pemberdayaan masyarakat desa
merupakan proses pendidikan bagi pendamping desa untuk belajar
membangun integritas atau sikap ideal dalam menjalankan perannya sebagai
pendamping;
12. Bagilah selembar kertas kosong pada setiap peserta. Mintalah menjawab
pertanyaan berikut secara tertulis. Masing-masing peserta cukup
memberikan satu jawaban untuk setiap pertanyaan.
a. Peran penting apa saja yang bisa dilakukan TAPM dalam pemberdayaan
masyarakat desa?
b. Sikap ideal seperti apa yang seharusnya dimiliki TAPM dalam menjalankan
peran dan tanggungjawabnya sebagai pendamping desa?
13. Berikan kesempatan kepada setiap peserta untuk membacakan jawabannya.
14. Pada akhir kegiatan ini, pelatih memberikan penegasan dan kesimpulan
tentang materi dibantu dengan pemaparan media tanyang yang telah
disediakan.
Catatan:
(1) Format di atas hanya sebagai panduan diskusi saja, kelompok dapat memberikan
tambahan atau menyesuaikan sesuai kebutuhan;
(2) Memberikan kesempatan kepada peserta untuk analisis Tupoksi dan mengidentifikasi
rumusan strtaegi fasilitasinya;
(3) Hasilnya dicatat dan dipaparkan dalam pleno.
Lembar Informasi
SPB
Jati Diri Tenaga Pendamping
8.1.1 Profesional P3MD dan Kode
Etik Pendamping
Latar Belakang
Pembangunan tidak hanya menyisakan kemiskinan di perkotaan. Data Badan Pusat
Statistik tahun 2014 menunjukan jumlah penduduk miskin di Indonesia kebanyakan adalah
penduduk yang bermata pencaharian petani. Artinya data tersebut bisa dibaca bahwa
kemiskinan lebih banyak dijumpai di pedesaan yang nota bene masih merupakan sektor
penyerap tenaga kerja terbanyak. Kondisi tersebut boleh dikatakan belum pernah mengalami
perubahan berarti dari waktu ke waktu. Ironis, desa sebagai sumber daya utama negeri agraris
justru hidup dalam kemiskinan. Sejarah desa adalah sejarah kemiskinan petani di atas
tanahnya sendiri yang kaya. Kemiskinan pedesaan merupakan kemiskinan struktural, yaitu
kemiskinan akibat dari sistem tata kelola dan kebijakan yang tidak adil. Kemiskinan struktural
di pedesaan sudah dimulai dari sejak pemerintah kolonial memberikan secara berlebihan hak
penguasaan tanah kepada pengusaha-pengusaha swasta melalui Undang-undang Agraria
(Agrarische Wet) tahun 1870. Di masa kemerdekaan produk hukum dan peraturan yang
menyakut tata kelola pedesaan banyak dipengaruhi peraturan yang diproduksi pemerintah
kolonial. Ambil contoh, makna desentralisasi desa yang menjadi amanat UU No.1 Tahun 1945
tidak berbeda dengan desentralisasi desa yang dimaksud dalam peraturan perundangan yang
diberlakukan pemerintah kolonial. UU No. 18 Tahun 1965 yang mendudukan desa sebagai
daerah yang memiliki kekuasaan hukum, politik dan pemerintahan otonom. Posisi desa
menjadi semakin kuat ketika pemerintah menetapkan Undang-undang No.19 Tahun 1965
tentang Desa Swapraja. Amanat Undang-undang ini menghadirkan semangat untuk
menjunjung nilai-niali demokrasi, kemandirian dan kemerdekaan desa. Namun sayang,
implementasi amanat Undang-undang belum sempat terwujud Orde Baru sudah mengambil
alih kekuasaan. Kepemimpinan Orde Baru segera membekukan Undang-undang tersebut
melalui ketetapan Undang-undang No. 6 Tahun 1969 yang menyabut pemberlakukan seluruh
Undang-undang tentang desa. Sementara belum ada peraturan perundangan tentang desa
yang menggantikan. Akibatnya banyak tanah-tanah desa yang dikuasai oleh elit desa dan
pemilik modal.
Produk perundangan Orde Baru lain yang melemahkan keberadaan desa adalah UU
No.5 Tahun 1979. Undang-undang ini jelas menunjukkan karakter kekuasaan otoritarian
pemerintah pusat yang memberangus kewenangan desa untuk bisa mengatur dan menguasai.
Salah satu amanatnya adalah menyeragamkan bentuk dan susunan desa. Akibatnya desa
kehilangan karakter social budayanya. Kebijakan Orde Baru lain yang menambah beban
kemiskinan desa adalah kebijakan ditetapkannya industrialisasi pertanian melalui revolusi
hijau. Dalam jangka pendek kebijakan revolusi hijau memang terbukti mampu meningkatkan
produksi pertanian secara nasional. Namun dalam jangka panjang industrialisasi pertanian
menyisakan penderitaan berkepanjangan. Kearifan budaya yang menyertai siklus tanam
sampai panen tergerus oleh sikap pragmatis petani yang lebih mengandalkan teknologi dari
pada keterlibatan sosial masyarakat desa. Pengetahuan dan keterampilan perempuan tani
tidak lagi diperhitungkan. Kebiasaan memanfaatkan pestisida dan teknologi pengolahan tanah
menggerus tingkat kesuburan ternak.
Memasuki era reformasi banyak pihak berharap akan ada angin kebijakan pembangunan yang
segar yang juga menghentikan pemiskinan desa. Namun harapan tinggal harapan.
Pemerintahan semasa reformasi masih belum menunjukkan kesungguhan niat politik untuk
melakukan perubahan desa. Dua produk hukum, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun
2004 belum mampu menjawab hakekat kedudukan desa. Desa masih didudukkan sebagai
pemerintahan terkecil bagian dari pemerintahan di atasnya. Posisi desa adalah obyek yang
tidak memiliki kewenangan mengatur kehidupannya sendiri.
Karakter berikutnya adalah partisipatif, yaitu menyertakan keterlibatan aktif masyarakat untuk
menggagas, merencanakan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan proses
pembangunan. Dalam UU Desa karakter ini jelas dan tegas terlihat pada azas pengaturan desa
(Pasal 3). Di samping itu karakter partisipatif juga sejalan dengan kearifan desa yang
menghormati musyawarah desa sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi desa.
Berikutnya pemberdayaan memiliki karakter memampukan (empowering) masyarakat yang
terlibat dalam aktivitas pembangunan. Sejalan dengan karakter ini maka bisa dipahami kalau
amanat pasal pemberdayaan dalam UU Desa disertai dengan Peraturan Pemerintah yang
menegaskan perlunya para pihak, utamanya pemerintah untuk melakukan pendampingan
terhadap masyarakat dan aparatus desa (Psl 128, PP No. 43 Tahun 2014). Tujuan
pendampingan adalah untuk meningkatkan kapasitas pendamping dalam rangka
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa (Psl 129 at 1 C, PP. No 43 Tahun
2014).
Di samping itu pemberdayaan merupakan model pembangunan yang berkarakter
berkelanjutan (sustainable). Karakter ini mendorong pelaku pembangunan untuk tidak
bersikap pragmatis (aji mumpung) dalam merencanakan dan melakukan pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang menuntut kemampuan visioner,
kemampuan melihat manfaat pembangunan tidak saja untuk kebutuhan saat ini, tetapi
mampu terus menerus memenuhi kebutuhan jangka panjang. Di samping itu kerberlanjutan
juga berarti sifat pembangunan yang memperhatikan dampak kehancuran lingkungan. Artinya
perencanaan pembangunan perlu disertai dengan upaya menjaga keberlangsungan ketahanan
sumber daya alam dan lingkungan.
Karakter-karakter tersebut juga menegaskan bahwa pemberdayaan merupakan sebuah
konsep gerakan budaya, yaitu sebuah gerakan yang dilakukan secara sadar dilakukan terus
menerus untuk menghormati martabat manusia dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
asasi dan menjaga lingkungan tempat manusia berada. Dalam kerangka implementasi
Undang-undang Desa pemberdayaan merupakan sebuah konsep pembangunan yang
menjujung tinggi nilai kedaulatan masyarakat desa sebagai subyek, kesatuan masyarkat
hukum yang memiliki hak dan kewenangan. Karena itu keberhasilan pemberdayaan
masyarakat desa tidak hanya diukur secara materialistik, terpenuhinya sarana dan prasarana
fisik, tetapi juga diukur dari tingkat pemerataan kesejahteraan. Di atas itu semua ukuran yang
terpenting adalah perubahan sikap dan perilaku masyarakat. Pemberdayaan merupakan wujud
lain dari pendidikan karakter yang mendorong masyarakat tidak hanya semakin mampu atau
terampil, tetapi juga berkembang menjadi masyarakat yang memiliki integritas sosial.
Dalam rangka menjaga perilaku Pendamping Profesional, sesuai norma moral maka secara
khusus ditetapkan standar normatif perilaku Pendamping Profesional yang meliputi: Tata
Perilaku dan Etika Profesi sebagai aturan nornatif sesuai prinsip- prinsip moral yang ada
pada Bangsa Indonesia. Tata Perilaku merupakan nilai-nilai normatif yang diatur dalam SPK;
sedangkan Etika Profesi merupakan nilai-nilai normatif umum yang melekat dalam diri
seorang profesional.
Aturan Normatif ini merupakan alat kendali diri (self control) bagi Pendamping Profesional
berunjuk kerja secara profesional sebagai pendamping masyarakat. Acuan standarisasi
perilaku Pendamping Profesional yang diberlakukan adalah Tata Perilaku dan Etika Profesi
yang akan disebut di bawah ini, sehingga pada saat dibutuhkan aturan normatif ini akan
difungsikan sebagai alat untuk jadi panduan penyelesaian terhadap segala tindakan yang
secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari etika. Rincian Standar
Normatif Perilaku Pendamping Profesional adalah sebagai berikut:
Data pribadi Pendamping Profesional yang diberikan kepada Satker/Pemerintah harus benar
dan dijamin kebenarannya sehingga secara yuridis tidak merugikan Satker/Pemerintah
sebagai Pihak Pemberi Kerja.
Setiap Pendamping Profesional, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, harus
selalu berpedoman pada panduan yang digariskan serta melakukan koordinasi dengan pihak-
pihak terkait. Konflik kepentingan pribadi baik yang menyangkut keuangan maupun proses
pelaksanaan tugas harus dihindarkan.
d) Menerima Imbalan
Setiap Pendamping Profesional harus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya serta
berada di lokasi tugas secara purna waktu, sehingga tidak ada keluhan dari masyarakat atau
pihak terkait tentang sulitnya melakukan pertemuan dan koordinasi.
f) Laporan dan Akurasi Data
g) Jabatan Publik
Setiap Pendamping Profesional harus menghindarkan diri dari penyebaran fitnah, hasutan,
propaganda dan tindakan-tindakan tersembunyi yang bertendensi negatif dan merugikan
kepentingan Satker/Pemerintah dan program.
6) Tidak bertindak sebagai suplier bahan dan alat, menunjuk salah satu suplier atau
berfungsi sebagai perantara;
7) Tidak bertindak sebagai juru bayar, menerima titipan uang, atau merekayasa
pembayaran atau administrasi atas pemerintah desa;
10) Tidak Menjadi pengurus partai politik manapun dan/atau terlibat dalam kegiatan
partai politik yang dapat mengganggu kinerja
11) Tidak Terlibat kontrak dengan institusi lain, baik pemerintah maupun swasta yang
13) Tidak Melakukan perbuatan amoral yang dapat merugikan dan meresahkan
masyarakat;
Rencana Pembelajaran
SPB
Struktur, SOP
8.2 Pendampingan
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta dapat:
1 Mengetahui sistem organisasi dan pengelolaan pendampingan beserta
berbagai perangkat Standar operating Prosedur yang ada;
2 Mengetahui sistem koordinasi yang harus dilakukan sebagai pendamping Desa
3 Mengetahui berbagai perangkat Standar operating Prosedur (SOP) yang ada
dalam pelaksanaan kegiatan Pendampingan P3MD
4 Mengetahui cara kerja dalam Standar operating Prosedur (SOP)
5 Mampu Melaksanakan Standar operating Prosedur (SOP) dalam melaksanakan
kegiatan Pendampingan P3MD
Waktu
2 JP ( 90 menit)
Metode
Pemaparan, Membaca Cepat, Diskusi Kelompok, dan Pleno.
Media
Media Tayang 3.2.1;
Alat Bantu
Flipt Chart, kertas plano, spidol, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
Kegiatan 1: sistem organisasi dan pengelolaan pendampingan
1. Menjelaskan tentang tujuan, proses, dan hasil yang diharapkan dari kegiatan
pembelajaran tentang sistem organisasi dan pengelolaan pendampingan;
2. Pelatih meminta peserta melakukan pembacaan SOP Pembinaan dan
Pengendalian Tenaga Pendamping Profesional secara cepat
3. Pelatih Memaparkan bahan Tayang Standar Operating Prosedur (SOP)
Pembinaan dan Pengendalian Tenaga Pendamping Profesional
4. Pelatih membuka sesi Tanya Jawab, umpan balikkan;
Kegiatan 2 : Pendalaman SOP Pembinaan dan Pengendalian Tenaga
Pendamping Profesional
5. Pelatih membagi peserta kedalam 3 kelompok besar ( 1 kelompok terdiri
dari 10-13 orang) dan meminta kepada masing-masing kelompok untuk
memilih salah satu orang sebagaii ketua kelompok
6. Ketua kelompok diminta untuk membagi kelompoknya kedalam 3 sub
kelompok dan membagi bab yang ada dalam SOP kepada setiap sub
kelompok untuk membahas dan mendiskusikan
7. Hasil dari pembahasan dan diskusi sub kelompok dijadikan satu dan
merupakan produk kelompok yang akan dipresentasikan dalam Pleno.
8. Kelompok memaparkan Hasil pembahasan dan diskusi dalam Pleno;
9. Berikan kesempatan kepada peserta untuk memberikan tanggapan, bertanya,
berpendapat dan masukan;
10. Buatlah catatan berupa pokok-pokok pikiran atau rumusan gagasan utama
dari hasil pembahasan yang dilakukan dengan menuliskan dalam kartu,
kertas plano atau whiteboard;
11. Pada akhir sesi, pelatih memberikan penegasan dan kesimpulan tentang
materi yang telah dibahas dan mengkaitkan dengan subpokok bahasan
selanjutnya.
Catatan:
(1) Format di atas hanya sebagai panduan diskusi saja, masing-masing kelompok dapat
memberikan tambahan atau menyesuaikan sesuai kebutuhan;
(2) Hasilnya dicatat dan dipaparkan dalam pleno.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015 – 2019 dan Rencana Kerja Pemerintah 2016
mengamanatkan bahwa percepatan pembangunan desa akan dilaksanakan melalui
implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dalam rangka menjalankan urusan di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
desa maka dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2015 tentang Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang mengamanatkan Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemen Desa DPTT) untuk melaksanakan
tugas dan fungsi tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari amanat tersebut, maka Kemen Desa PDTT akan melaksanakan
kegiatan pendampingan melalui penyediaan tenaga pendamping profesional. Pasal 129 PP 43
Tahun 2014 sebagaimana sudah diubah dengan PP 47 Tahun 2015 menyatakan bahwa tenaga
tenaga pendamping profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 Ayat (2) terdiri atas:
(a) tenaga pendamping lokal desa yang bertugas di desa untuk mendampingi desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa, kerja sama desa, pengembangan BUM Desa, dan
pembangunan yang berskala lokal desa; (b) tenaga pendamping desa yang bertugas di
kecamatan untuk mendampingi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, kerjasama
desa, pengembangan BUM Desa, dan pembangunan yang berskala lokal desa; (c) tenaga
pendamping teknis yang bertugas di kecamatan untuk mendampingi desa dalam pelaksanaan
program dan kegiatan sektoral; dan (d) tenaga ahli pemberdayaan masyarakat yang bertugas
meningkatkan kapasitas tenaga pendamping dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan
masyarakat
C. LANDASAN HUKUM
Seluruh kerja Pendamping Profesional harus mengacu dan berpijak pada regulasi dan
kebijakan Pemerintah, khususnya yang terkait dengan pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat desa. Regulasi regulasi pokok yang menjadi rujukan utama dalam pelaksanaan
pendampingan desa antara lain adalah sebagai berikut :
1. Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
2. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan ke dua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa,
Pembangunan daerah Tertinggal dan Transmigrasi;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah;
7. Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 Tentang
Pendampingan Desa;
8. Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi;
9. Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Nomor 01 Tahun 2016 tentang
Organisasi dan tata Kerja Sekretariat Nasional Pendampingan Masyarakat Direktorat
Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, tahun 2016 dan aturan
perubahannya;
10. Permendesa No 8 Tahun 2016 tentang Dekon
11. Surat Ditjen PPMD Nomor 330/DPPMD.6/VII/2016 Tanggal 22 Juli 2016 tentang
Penetapan SOP HAP Tahun 2016
12. Kerangka Acuan Kerja / TOR PPA Konsultan Nasional Pengembangan Program (KN-
PP);
13. Kerangka Acuan Kerja / ToR PPA Konsultan Nasional Pengendalian Pembangunan
Desa ( KN-PPD);
14. Kerangka Acuan Kerja / ToR PPA Konsultan Nasional Pengembangan Kapasitas
Masyarakat Desa ( KN-PKMD);
15. Kerangka Acuan Kerja / ToR Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Desa (TAPM);
16. Kerangka Acuan Kerja / ToR Pendamping Desa Pemberdayaan ( PDP );
17. Kerangka Acuan Kerja / ToR Pendampng Desa Teknik Infrastruktur (PD-TI);
18. Kerangka Acuan Kerja / ToR Pendamping Lokal Desa.
2. SEKRETARIAT PROGRAM
Sekretariat Program yang selanjutnya disebut (Sekpro), yang dipimpin oleh seorang Kepala
Sekretariat dibantu oleh beberapa Deputy, Tenaga Ahli, Staf Teknis dan staf administrasi,
yang mengkoordinasikan Konsultan Nasional dan Konsultan Pendampingan Program
Provinsi.
Dalam rangka menjalankan tugasnya Satker P3MD Provinsi khususnya Pejabat Pembuat
Komitmen akan didukung oleh Sekretariat Satker P3MD Provinsi yang beranggotakan Staf
Dinas PMD/Nama lain Provinsi serta dibantu oleh staf teknis dan administrasi.
6. CAMAT
Camat sebagai pemangku wilayah kecamatan yang dalam pelaksanaan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat dibantu oleh kepala seksi yang membidangi pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat desa bertugas untuk mengkoordinasikan pendamping
profesional dengan stakeholder di wilayahnya.
7. KEPALA DESA
Kepala Desa/Nama Lain sebagai pemangku wilayah Desa dalam pelaksanaan pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat, melakukan koordinasi dengan semua pihak termasuk
pendamping profesional di Desa dengan stakeholder lainnya
E. PENDAMPING PROFESIONAL
TA PID akan dikoordinatori oleh 1 (satu) Koordinator Program (Program Leader) yang
bertugas memastikan bahwa semua TA PID mampu mengelola pengembangan kapasitas
masyarakat desa. Program Leader akan mensupervisi fungsi-fungsi dan kinerja setiap TA
PID maupun manajemen TA PID secara keseluruhan. Dalam menjalankan tugasnya Program
Leader TA PID akan dibantu oleh tenaga-tenaga ahli yang memiliki bidang keahlian yang
dibutuhkan.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi, serta memastikan pengendalian program
dikelola dengan baik, maka organisasi TA PID terdiri dari beberapa bidang kerja, serta
tenta-tenaga ahli di masing-masing bidang kerja, sebagai berikut:
Komposisi tenaga ahli program di tingkat provinsi, berada dalam satu struktur manajemen
kerja antara TA P3MD dan TA PID. Posisi dan jumlah TAPP, sebagai berikut:
1. TAPP P3MD
a. Koordinator Program : 33 orang
b. TA Madya Infrastruktur Desa : 33 orang
c. TA Madya Pengembangan Kapasitas dan Kaderisasi : 33 orang
d. TA Madya Pengelolaan SDM : 33 orang
e. TA Madya Pengelolaan Keuangan Desa dan Pengembangan Ekonomi Lokal : 33
orang
f. TA Madya Penanganan Pengaduan dan Masalah : 33 orang
g. TA Madya Pelayanan Sosial Dasar : 33 orang
h. TA Madya Pengelolaan Sistem Informasi, Pendataan dan Komunikasi : 33 orang
2. TAPP PID:
a. TA Madya Pengembangan Kapasitas PID : 33 orang
b. TA Madya MIS PID : 33 orang
c. TA MAdya Pengelolaan Pengetahuan PID : 33 orang
Komposisi tenaga ahli program di tingkat Kabupaten, berada dalam satu struktur manajemen
kerja antara TA P3MD dan TA PID. Posisi dan jumlah TAPP, sebagai berikut:
1. TA P3MD
Sesuai dengan tugas dan fungsinya Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM P3MD),
dibedakan atas:
a. Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Desa (TA-PMD);
b. Tenaga Ahli Infrastruktur Desa (TA-ID);
c. Tenaga Ahli Pembangunan Partisipatif (TA-PP);
d. Tenaga Ahli Pengembangan Ekonomi Desa (TA-PED);
e. Tenaga Ahli Pengembangan Teknologi Tepat Guna (TA-TTG);
f. Tenaga Ahli Pelayanan Sosial Dasar (TA-PSD).
1. Koordinator PID
2. TA Madya Bidang Pengelolaan Informasi dan Media
b. Tenaga Pendukung PID Kabupaten/Kota:
e. Pendamping Desa
Pembinaan, pengelolaan dan pengendalian PDP dilaksanakan oleh Satker P3MD Provinsi
melalui mekanisme dekonsentrasi.
BAB II TUPOKSI
A. PENDAMPING DESA (PD)
musyawarah antardesa
b) Masyarakat desa
berpartisipasi aktif
dalam musyawarah
desa.
b) Masyarakat desa
berpartisipasi aktif
dalam penyusunan
produk hukum di desa
dan/atau antardesa.
c) Terfasilitasinya peran
BPD dalam proses
penyusunan produk
hukum desa
b) Terfasilitasinya
kerjasama antardesa
dan dengan pihak
ketiga dalam rangka
pembangunan dan
pemberdayaan
masyarakat desa.
terbentuk;
c) Pelatihan Tim
Penyusun RPJM Desa
dan RKPDesa;
d) Adanya dokumen
proses penyusunan
RPJM Desa dan
RKPDesa dan
memastikan dokumen
tersebut diperdeskan;
e) Terlaksananya
evaluasi dan
monitoring oleh
pemerintah dan
masyarakat desa;
f) Terselenggaranya
pelatihan peningkatan
kapasitas kinerja BPD.
b) Tersedianya jadwal
pelaksanaan kegiatan
pembangunan sarana
dan prasarana desa.
C. TUGAS ADMINSTRATIF
Rencana Pembelajaran
SPB
Pembimbingan,
8.3
Pengendalian, dan Penilaian
Kinerja Pendamping Lokal
Desa
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelasakan pembimbingan dan pengendalian kinerja;
2. Menjelaskan konsep penilaian kinerja Pendamping Lokal Desa;
3. Mengidentifikasi indikator penilaian kinerja Pendamping Lokal Desa;
4. Merumuskan rencana peningkatan kinerja Pendamping Lokal Desa.
Waktu
2 JP ( 90 menit)
Metode
Curah Pendapat, Diskusi Kelompok dan Paparan.
Media
Media Tayang
Bahan Bacaan
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
Kegiatan 1: pebimbingan dan pengendalian kinerja
1. Menjelaskan tentang tujuan, proses, dan hasil yang diharapkan dari
subpokok bahasan tentang Pengendalian Kinerja Pendamping Desa
dikaitkan dengan pembelajaran sebelumnya;
2. Lakukan curah pendapat tentang teknik supervisi Pendamping Desa dengan
mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
a. Apa yang Anda pahami tentang pembimbingan & pengendalian kinerja
Pendamping Lokal Desa?
b. Mengapa perlu PD perlu melakukan pembimbingan & pengendalian
kinerja kepada Pendamping Desa?
c. Hal-hal apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan
pembimbingan kinerja kepada Pendamping Lokal Desa?
3. Berikan kesempatan kepada peserta untuk memberikan tanggapan, bertanya,
berpendapat dan masukan;
4. Buatlah catatan dari proses curah pendapat yang telah dilakukan, jika
diperlukan beberapa pokok pikiran penting dapat dituliskan di kertas plano
atau whiteboard;
5. Pelatih disarankan memberikan penjelasan awal tentang pembimbingan
kinerja, salah satunya dengan menggunakan cara pengarahan (Coaching)
yaitu fasilitasi melalui bertanya, memberikan feedback dan berperan sebagai
seorang ahli dalam proses atau struktur tentang bagaimana seseorang
mengelola cara kerja otaknya sehingga mampu menghasilkan performa yang
lebih efektif, mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, mampu menjadi
manusia pembelajar, mampu menyesuaikan dengan kondisi sekarang untuk
terus berkembang dan tumbuh, mampu mengakualisasi-kan ide dan
pemikirannya, bukan karena ketergantungan pada orang lain, namun dengan
melalui proses coaching menjadi mampu mengendalikan diri sendiri untuk
menghasilkan keputusan dan tindakan yang lebih baik lagi.
6. Buatlah catatan berupa pokok-pokok pikiran atau rumusan gagasan utama
dari hasil pembahasan dalam pleno dengan menuliskan dalam kartu, kertas
plano atau whiteboard;
7. Pada akhir sesi, pelatih memberikan penegasan dan kesimpulan tentang
materi yang telah dibahas.
Kegiatan 2 : penilaian kinerja Pendamping Lokal Desa
8. Lakukan curah pendapat tentang teknik Evkin Pendamping Lokal Desa
dengan mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
a. Apa yang Anda pahami tentang penilaian kinerja Pendamping Lokal
Desa?
b. Mengapa perlu PD perlu melakukan penilaian kinerja Pendamping Desa?
c. Hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian
kinerja Pendamping Lokal Desa?
9. Berikan kesempatan kepada peserta untuk memberikan tanggapan, bertanya,
berpendapat dan masukan;
10. Buatlah catatan dari proses curah pendapat yang telah dilakukan, jika
diperlukan beberapa pokok pikiran penting tentang koneps penilaian kinerja
dapat dituliskan di kertas plano atau whiteboard;
KINERJA PEMBIBINGAN
Melakukan kunjungan efektif ke desa-desa di wilayah
1 -
tugasnya
2 Mengisi buku bimbingan di desa dengan lengkap & jelas -
Mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan kelembagaan
3 -
yang ada di desa
Menyusun kurikulum dan sistem pembelajaran utk kegiatan
4 -
pelatihan
Menyusun materi pelatihan yang dibutuhkan utk
5 -
peningkatan kapasitas
6 Memberikan pelatihan kepada Perangkat Desa, Kader Desa -
7 Memberi OJT dan IST kepada Kader Desa & lembaga terkait -
8 Memastikan safeguards diterapkan oleh desa -
Melakukan kaderisasi masyarakat desa dlm rangka
9 -
implementasi UU Desa
1 Membantu penanganan masalah terkait implementasi UU
-
0 Desa
KINERJA KOORDINASI -
1 Tingkat kehadiran dalam melaksanakan tugas -
2 Koordinasi/menjalin hubungan baik dengan supervisor -
Koordinasi/menjalin hubungan baik dengan
3 -
pemdes/birokrasi dan tokoh masyarakat
4 Bisa bekerja sama dalam satu tim kerja yang efektif -
KINERJA ADMINSTRASI
1 Membuat laporan akurat dan tepat waktu -
2 Laporan up date sesuai kondisi lapangan -
3 Mengirim semua data yang diminta supervisor -
Melaporkan semua masalah yang timbul dan upaya
4 -
penanganannya
5 Aktif menulis pengalaman lapangan / Good Practices -
##
Nilai Rata-rata
#
Tanggal Penilaian :
Tanda tangan penilai : ________________________
ama Jelas Penilai :
Jabatan Penilai :
Rencana Pembelajaran
SPB
SOP Penilaian Kinerja
8.3.1
Pendamping Profesional
A. Pendahuluan
Pendampingan Desa yang dilaksanakan dalam rangka implementasi Undang-undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa akan dinilai kinerjanya secara rutin. Evaluasi kinerja pendamping
Desa Profesional merupakan bagian dari rangkaian manajemen pengelolaan pendampingan
Desa. Mengingat kondisi rentang manajemen (span of management), Kementerian Desa, PDT
dan Transmigrasi selaku pemberi kerja melalui Satker Provinsi tidak dapat secara terus-
menerus mengawasi kinerja pendamping profesional dikarenakan lokasi tugas antara kedua
pihak saling berjauhan.
Penilaian kinerja secara reguler yang dilakukan setiap smester merupakan sarana untuk
menilai unjuk kerja pendamping profesional dalam memenuhi tugas dan tanggung jawabnya.
Hasil evaluasi kinerja adalah simpul pendapat pemberi pekerjaan tentang kelayakan terhadap
kontrak kerja pendamping professional untuk dipertahankan, atau sebagai masukan untuk
mengambil langkah koreksi dan perbaikan implementasi kebijakan. Penilaian akan dilakukan
terhadap pendamping profesional agar dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan TOR.
B. Tujuan
Penilaian kinerja pendamping profesional dilakukan dengan menggunakan data faktual yang
diperoleh dari beberapa sumber agar memberikan hasil penilaian yang objektif sesuai dengan
TOR. Penilaian kinerja ditujukan untuk menilai tingkat pencapaian kinerja, menentukan
kemampuan dan kelayakan yang dicapai sebagai pendamping profesional. Hasil penilaian
kinerja ini diharapkan juga akan memberikan umpan balik (feed back) sebagai masukan untuk
pembimbingan dan peningkatan kapasitas pendamping profesional.
Tujuan penilaian kinerja pendamping profesional, adalah:
1. Menilai kinerja pendamping profesional berdasarkan tugas pokok dan fungsinya
(Tupoksi);
2. Menjadi alat ukur peningkatan kinerja dan menjadi bagian dari analisis kebutuhan
pelatihan pendamping;
3. Menjadi alat menegakkan aturan pekerjaan;
4. Menjadi dasar yang objektif untuk mempromosikan pendamping tingkat Desa,
Kecamatan, dan Kabupaten ke jenjang yang lebih tinggi;
5. Menjadi dasar objektif untuk pemberian peringatan, prasyarat melanjutkan kontrak, dan
atau pemutusan hubungan kerja (PHK).
2. Aspek Penilaian
Aspek penilaian dalam evaluasi kinerja pendamping profesional mencakup 4 (empat) aspek
utama yaitu: kinerja pendampingan, kinerja supervisi, kinerja koordinasi, dan kinerja
administrasi.
a. Kinerja Pendampingan
1) Kewajiban Pendampingan.
Kinerja pendampingan adalah unjuk kerja pendamping profesional dalam bekerja
sesuai Tupoksi. Untuk itu, pendamping profesional berkewajiban memenuhi
pelaksanaan Tupoksi dengan mengacu pada:
Etika profesi sebagai pendamping profesional;
Norma kebijakan yang secara substansial terkandung dalam asas-asas
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yakni, rekognisi,
2) Indikator Penilaian
Kinerja supervisi oleh pendamping profesional dinilai berdasarkan pencapaian output
sesuai dengan Tupoksi sebagai supervisor untuk setiap individu dengan rincian indikator
penilaian sebagai berikut:
Kemampuan pendamping profesional dalam melakukan pelatihan dan peningkatan
kapasitas masyarakat;
Kemampuan pendamping profesional dalam memberikan bimbingan kerja dan
umpan balik;
Kemampuan pendamping profesional dalam memantau pelaksanaan kegiatan;
Jumlah kunjungan lapangan dalam rangka supervisi pendampingan sesuai wilayah
tugasnya.
c. Kinerja Koordinasi
1) Kewajiban Koordinasi
2) Indikator Penilaian
Pendamping profesional dinilai kinerjanya terkait kualitas koordinasi dan kerjasama
dengan pihak lain berdasarkan indikator penilaian sebagai berikut:
Kemampuan pendamping profesional dalam kerjasama dengan SKPD
Kabupaten/Kota, Camat, Kepala Desa, pendamping profesional lainnya serta
pemangku kepentingan terkait;
Kemampuan pendamping profesional memanfaatkan peluang kerjasama dan
koordinasi secara optimal;
Kemampuan pendamping profesional untuk bekerja secara sistematis dan terkontrol
sesuai standar pelayanan maupun prosedur kerja sehingga pihak-pihak yang
berkoordinasi dapat bekerja sama secara baik;
Kemampuan pendamping profesional dalam memfasilitasi kerjasama Desa dengan
SKPD Kabupaten/Kota dan kerjasama Desa dengan pihak lain;
Kepemimpinan pendamping profesional dalam pengelolaan pekerjaan secara
kolektif.
d. Kinerja Administrasi
1) Kewajiban Administrasi
Pendamping profesional berkewajiban memenuhi tanggung jawab administrasi yang
meliputi:
Lembar Waktu Kerja (LWK) sebagai bukti kehadiran di lokasi tugas
Laporan Individu (Rencana dan Realisasi Kegiatan Bulanan)
Form Kunjungan Lapangan
Laporan Kegiatan.
Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL)
SPPD dan laporan hasil kunjungan (jika ada kegiatan kunjungan lapangan)
2) Indikator Penilaian
Indikator kinerja administrasi, meliputi:
Kepatuhan pendamping profesional pada standar pelayanan maupun prosedur
kerja;
Ketaatan dan kedisiplinan dari pendamping profesional dalam menyusun dan
menyampaikan laporan, dokumen dan bukti-bukti administrasi kepada Satker
Provinsi melalui supervisor secara reguler;
Kemampuan pendamping profesional untuk menyusun laporan, dokumen dan
bukti-bukti administrasi secara benar sesuai dengan format yang berlaku;
Akurasi pendamping profesional dalam pembuatan laporan, dokumen administrasi
secara lengkap sesuai ketentuan yang ditetapkan;
maupun pihak SKPD Kabupaten/Kota yang membidangi pendampingan dan Satker P3MD
Provinsi dalam satu tabel (Rekapitulasi Evaluasi Kinerja Kecamatan, Kabupaten/Kota maupun
Provinsi). Hasil penilaian akhir rata-rata akan digunakan untuk menentukan kelayakan
pendamping; misalnya layak untuk dilanjutkan, layak untuk dipromosikan, atau kurang layak
untuk dilanjutkan. Hasil „penilaian akhir rata-rata akan berupa nilai “A” sampai “D”. Tingkat
kehadiran kurang dari 25% (akumulatif selama 1 periode kinerja) akan mendapatkan nilai D.
Nilai A, B, C, atau D ditentukan dengan skala skor sebagai berikut:
Nilai A = 3,50 s.d. 5,00
Nilai B = 2,50 s.d. 3,49
Nilai C = 1,50 s.d. 2,49
Nilai D = 0,00 s.d. 1,49
Penilaian tingkat pencapaian kinerja dilakukan dengan sistem scoring yang diuraikan
dalam format peniaian (terlampir). Untuk menghitung nilai rata-rata, nilai yang diisi dalam
angket dijumlahkan dan kemudian dibagi oleh jumlah indikator yang dinilai (kecuali yang
diberitanda X).
Mengingat kondisi lapangan yang bervariasi antar Provinsi, Kabupaten/Kota dan lokasi-
lokasi kegiatan, maka pelaksanaan sistem penilaian kinerja ini harus disesuaikan dengan
keadaan daerah masing-masing. Oleh karena itu, panduan ini hanya menguraikan dan
menjelaskan kewajiban dan prosedur dasar yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem ini.
Namun, dalam pelaksanaannya TL Provinsi, TA Provinsi dan para TA Kabupaten/Kota serta PD
dapat mengatur metode dan jadwal sesuai situasi dan kondisi di lokasi masing-masing.
Masukan/penilaian dari masyarakat dituangkan dalam “Berita Acara Forum Konsultasi
Masyarakat”. Jika ada masukan dari masyarakat yang perlu perhatian khusus maka supervisor
segera menindaklanjuti atas masukan tersebut dengan mengacu pada SOP pendampingan.
H. Penutup
Standar Operasional Prosedur (SOP) evaluasi kinerja pendamping profesional ini merupakan
dokumen yang ditetapkan oleh Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi sebagai dokumen
Pemerintah Republik Indonesia. Dan SOP ini merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan dari
pengelolaan program secara umum, oleh karenanya semua pihak yang berkepentingan harus
menggunakan SOP ini dalam melakukan evaluasi kinerja terhadap pendamping profesional.
Rencana Pembelajaran
SPB
Pelaporan Kinerja Tenaga
8.4
Pendamping Profesional
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan prosedur dan mekanisme pelaporan kinerja tenaga pendamping
professional;
2. Menerapkan pelaporan kinerja dalam rangka pelaksanaan P3MD.
Waktu
2 JP ( 90 menit)
Metode
Curah Pendapat, Diskusi Kelompok dan Paparan.
Media
Media Tayang 8.4.1;
Lembar Kerja 8.4.1: Matrik Diskusi;
Lembar Informasi 8.4.1: SOP Pelaporan Kinerja Pendamping Desa.
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Menjelaskan tentang tujuan, proses, dan hasil yang diharapkan dari
subpokok bahasan tentang pelaporan kinerja Pendamping Desa;
2. Pelatih memaparkan SOP tentang pelaporan kinerja, bagaimana prosedur,
mekanisme pelaporan;
3. Lakukan curah pendapat tentang SOP pelaporan kinerja;
4. Berikan kesempatan kepada peserta untuk memberikan tanggapan,
bertanya, berpendapat dan masukan;
5. Buatlah catatan dari proses curah pendapat yang telah dilakukan, jika
diperlukan beberapa pokok pikiran penting dapat dituliskan di kertas plano
atau whiteboard;
6. Mintalah peserta membentuk kelompok untuk mendiskusikan tentang
kerangka kerja pelaporan
7. Berikan kesempatan kepada masing-masing kelompok untuk
mendiskusikannya. Hasilnya dituliskan dalam kertas plano untuk dipaparkan
dalam pleno;
8. Setelah selesai mintalah beberapa kelompok untuk memaparkan hasil
diskusinya. Berikan kesempatan kepada kelompok lain untuk menanggapi,
bertanya dan memberikan masukan;
9. Buatlah catatan berupa pokok-pokok pikiran atau rumusan gagasan utama
dari hasil pembahasan setiap kelompok dalam pleno dengan menuliskan
dalam kartu, kertas plano atau whiteboard;
10. Pada akhir sesi, pelatih memberikan penegasan dan kesimpulan tentang
materi yang telah dibahas.
Lembar Informasi
SPB
SOP Laporan Kinerja
8.4
Pendamping Desa
A. PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengatur bahwa pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat Desa ditempuh melalui upaya pendampingan. Pendampingan
menjadi salah satu langkah penting yang harus dilakukan untuk percepatan pencapaian
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dapat
dicapai diantaranya melalui peningkatan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku,
kemampuan, kesadaran serta memanfaatkan sumber daya sesuai dengan esensi masalah dan
prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
Bahwa untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan pendampingan desa ini, perlu adanya
standart pelaporan yang akurat, tepat dan cepat, berjenang sesuai tingkatannya.
B. JENIS PELAPORAN
Salah satu kewajiban Pendamping Profesional yang sudah dikontrak oleh Satker P3MD
Provinsi adalah membuat Laporan, pengabaian terhadap laporan dapat dikenakan sanksi
penundaan pembayaran homorarium dan biaya operasioonal, sampai pada PHK. Dalam
pelaksanaan pendampingan desa yang dilakukan oleh Pendamping Profesional dalam hal ini
Pendamping Lokal Desa, Pendamping Desa, Tenaga Ahli Kabupaten, maupun yang dilakukan
oleh Konsultan Provinsi dan Konsultan Nasional, dibagi dalam beberapa jenis laporan yakni :
1. Laporan Bulanan Individual, baik pendamping professional maupun konsultan dalam
melaksanakan tugas pendampingannya terikat kontrak individual dengan Satker Provinsi
maupun PPA, maka sebagai pertanggungjawaban administrasi harus membuat laporan
bulanan individual yang memuat beberapa hal sebagai berikut :
a. Surat Pengantar Laporan
b. Narasi Laporan yang singkat padat dan akurat.
c. Lembar Waktu Kerja
d. Realisasi Kerja Bulan Berjalan
e. Rencana Kerja Bulan Yang Akan Datang
f. Bukti Kunjungan Lapangan baik Form Kunjungan
g. Bukti-bukti/dokumen lainnya yang diperlukan
2. Laporan Mingguan Pendampingan. Laporan ini memuat khusus terkait dengan laporan
pencairan dan penggunaan Dana Desa (DD) dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Laporan melalui email kepada jenjang setingkat diatasnya, PLD ke PD, PD ke TAPM,
TAPM ke KPP Provinsi, KPP Provinsi ke KPP Pusat dan KPP Pusat ke MN-P3MD, ke
Koodinator;
b. Waktu Pelaporan Mingguan :
i. PLD ke PD pada setiap hari Senin
ii. PD ke TAPM pada setiap hari Selasa
iii. TAPM ke KPP Provinsi setiap hari Rabu
iv. KPP Provinsi ke Koordinator Pendampingan Regional (KPR) setiap hari Kamis
v. Koordinator Koordinator Pendampingan Regional (KPR) ke Program Leader
P3MD Pusat dan Program Leader PID Pusat setiap hari Jum‟at
vi. Program Leader P3MD dan Program Leader PID ke Koordinator Operasional
Program dan Kepala Manajemen Nasional Pengendali Program Pendampingan
Desa setiap Hari Senin
c. Format Laporan Mingguan sebagaimana terlampir
3. Laporan Bulanan Pendampingan, laporan ini memuat hal-hal apa saja yang terkait dengan
pendampingan sesuai levelnya masing masing, yang menggambarkan capaian kinerja dan
tupoksi pendampingan, data-data dana desa, data-data kegiatan prioritas pembangunan,
kegiatan pemberdayaan, kegiatan pelatihan, kegiatan pendampingan, supervise, legislasi,
kaderisasi dan lain sebagainya yang bisa menggambarkan kegiatan secara utuh beserta
capaiannya dalam waktu sampai dengan bulan berjalan. Laporan bulanan kegiatan
pendampingan memuat beberapa hal sebagai berikut :
a. Surat Pengantar Laporan
b. Narasi laporan yang singkat padat dan akurat dengan sistematika sbb:
i. Pendahuluan
ii. Kegiatan pendampingan bulan berjalan
iii. Rencana kegiatan pendampingan bulan yang akan datang
iv. Kendala dan Masalah
v. Rekomendasi
vi. Penutup
c. Lampiran
i. Data Dasar/Data APBDes (bulanan)
ii. Data Dana Desa (Alokasi, Pencairan dan Penggunaan) (bulanan)
iii. Data Regulasi Desa (tiga bulanan)
iv. Data Progres Kegiatan Desa (bulanan)
v. Data Pelatihan dan Kegiatan Pengkaderan (tiga bulanan)
vi. Data Bumdes/Pengembangan Ekomomi Desa (tiga bulanan)
vii. Data Tahapan, Perencanaan dan Pelaksanaan Kegiatan (bulanan)
viii. Data Kegiatan terkait TTG (tiga bulanan)
ix. Data Pengembangan Pelayanan Dasar (tiga bulanan)
x. Data Masalah dan Penanganannya (bulanan)
xi. Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL) (bulanan)
xii. Dan lain lain yang diperlukan (bila diperlukan)
4. Laporan Insidental, laporan yang dibuat atas dasar peristiwa tertentu seperti adanya
penyelewengan, force majoure atau peristiwa yang diluar rencana dan tidak diprediksi
sebelumnya, format laporan ini disesusikan dengan peristiwa yang terjadi.
C. JENJANG PELAPORAN
Pelaporan yang dibuat oleh pelaku pendampingan desa, dilakukan secara berjenjang dengan
tujuan utama adalah Pihak Pertama sebagai pihak yang memberi kerja. Namun juga ditujukan
kepada jajaran birokrasi pada levelnya masing-masing dengan tembusan kepada
supervisornya. Jenjang Pelaporan untuk Pendamping Profesional dan Konsultan dapat
digambarkan dalam bagan sebagai berikut :
KOORDINATOR
OPERASIONAL PROGRAM SATKER PUSAT
PROGRAM LEADER
KONSULTAN NASIONAL
P3MD dan PID PPA Pusat
KOODINATOR WILAYAH
SATKER
KPP PROVINSI PPA Provinsi
PROVINSI
SATKER TA KABUPATEN
KABUPATEN
SATKER
PD dan PDTI PROVINSI
CAMAT
D. WAKTU PELAPORAN
Pelaporan pendamping professional dan konsultan provinsi maupun konsultan nasional diatur
waktunya sebagai berikut :
1. Pendamping Lokal Desa dan Pendamping Desa/Pendamping Desa Teknik Infrastruktur
melaporkan kegiatan pendampingan dan laporan individualnya ke Satker Provinsi dan
Camat paling lambat tanggal 3 setiap bulannya
2. Tenaga Ahli Kabupaten melaporkan kegiatan pendampingan dan laporan individualnya ke
Satker Provinsi dan Satker Kabupaten paling lambat tanggal 5 setiap bulannya
3. Koordinator Program Provinsi (KPP) Provinsi melaporkan kegiatan pedampingan dan
laporan individualnya ke PPA dan Satket Provinsi paling lambat tanggal 10 tiap bulannnya
4. Konsultan Nasional P3MD dan PID serta Koordinator Bidang Pendamping Regional (KPR)
Pusat menyampaikan laporan kegiatan pendampingan dan laporan individualnya ke PPA
dan Satker Pusat paling lambat tanggal 15 setiap bulannya
5. Program Leader menyampaikan laporan individualnya paling lambat tanggal 15 setiap
bulannya dan laporan kegiatan pendampingan paling lambat tanggal 20 setiap bulannya
E. PENUTUP
Demikian SOP Pelaporan Pendamping Profesional dibuat untuk bisa dilaksakan oleh seluruh
Tenaga Pendamping Profesional se wilayah Indonesia, sebagai alat ukur capaian kinerja
Pendamping dan alat pengendali bagi supervisor dan Satker P3MD, baik Kabupaten, Provinsi
maupun Pusat. Pengabaian atas Pelaporan Pendamping Profesional berakibat pada evaluasi
kinerja.
Hal hal yang belum diatur dalam SOP Pelaporan ini, dan dirasa perlu untuk dilaporkan, bisa
dilampirkan dalam laporan yang bersifat bulanan maupun insidensial.
Rencana Pembelajaran
SPB
Sistem Informasi
8.5.
Pembangunan Desa
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan dasar-dasar sistem pelaporan Tata Kelola Administrasi Keuangan
Desa dalam APB Desa;
2. Menjelasakan prinsip dan ketentuan pelaporan Sistim informasi Pembangunan
Desa;
3. Mampu mengimplementasikan Sistem Informasi Pembangunan Desa secara
berjenjang dilokasi tugas .
Waktu
2 JP (90 menit)
Metode
Paparan, diskusi, praktek
Media
Media Tayang: paparan power point
Lembar Kerja: Panduan Monitoring Dana Desa basis Kab/Kec/Desa, format
APBDes
Lembar Informasi: Bahan Bacaan,
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, dan infocus
P Proses Penyajian
Kegiatan Kegiatan 1: sistem Tata Kelola Administrasi Keuangan Desa berdasar APB
APB Desa dan pelaporannya
1. Menjelaskan tujuan, proses dan hasil yang diharapkan dari sesi ini.
2. Pandu peserta untuk memahami tata kelola keuangan desa dengan pertanyaan
pembuka:
a. Apakah yang diketahui dari APB Desa?
b. Bagaimana mekanisme dan prosedur pelaporan keuangan desa?
c. Bagaimana Dana Desa dilaksanakan, dipertangngungjawabkan dan
pelaporannya?
3. Umpan balikkan ke peserta, bagaimana pola dan model pelaporan APB Desa?
Apakah peserta mengenal sistem pelaporan APB Desa? Beri kesempatan
beberapa peserta menjawab dan catat point jawaban peserta pada whiteboard
atau kertas plano;
4. Tanyakan kepada peserta, apakah mengenal dan tahu SISKEUDES (Sistem
Keuangan Desa)? Umpan balikkan;
5. Tayangkan tentang system pelaporan APB Desa, Umpan balikkan ke peserta;
Catatan:
1. Pastikan peserta sudah memiliki pengetahuan APBDesa
(Pemendagri 113) dan telah membaca petunjuk tersebut.
2. Pastikan peserta sudah memiliki pengetahuan "Transfer
Pemerintah Daerah dan Dana Desa" (PMK 50 tahun 2017)
terkait Dana Desa mulai Pasal 99.
3. Peserta sudah memahami (Permendesa No. 4 Tahun 2017)
Penetapan perubahan atas peraturan Menteri Desa,
Pembanguanan Daerah Tertinggal Transmigrasi No. 22 Tahun
2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan dana Desa.
Kegiatan 2:
6. Pelatih menjelaskan Sistem Informasi Pembangunan Desa dengan regulasi yang
mendasarinya dengan media tayang 8.3.1
7. Jelaskan secara singkat tentang beberapa hal berikut dari media tayang:
a. Jenis dokumen keuangan desa untuk dapat pencairan Dana Desa dari RKUD
(Lembar informasi :)
b. Proses Pelaporan perkembangan Jumlah Penyaluran Dan Desa (Agregasi )dari
RKUD ke RK Desa Tahap I dan tahap II di Lokus Kecamatan.
a. Identifikasi dan perkembangan Jumlah Penyaluran (Agregasi) Penggunaan
Dana Desa sesuai bidang kegiatan (Pembanguan Desa, Pemberdayaan
Masyarakat Desa, Pemerintahan Desa, & Pembinaan Kemasyarakatan)
8. Fasilitasi umpan balik , dengan memberikan peserta kesempatan bertanya dan
berikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
b. Form APB Desa dan mengorganisasi file untuk keperluan upload untuk lokasi
desa yang belum menggunakan SISKEUDES
11. Fasilitasi praktek pengisian format SIPD oleh peserta. Minta seluruh peserta
mempraktekkan.
12. Umpan balikkan hasil praktek ke peserta, berikan ke peserta kesempatan
bertanya dan berikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Kegiatan 4: Penegasan
13. Tegaskan dan simpulkan beberapa hal yang menjadi penting untuk
diperhatikan yaitu:
a. Proses transfer RKUD ke RKDesa dan persyaratan administratifnya serta
konsolidasi agregasinya.
b. Pelaporan Penggunaan sesuai dengan Bidang dan bidang Pembanggunan
desa ke dalam 4 bidang lokus Kab/Kec/Desa.
c. Monitoring dilakukan berkala sesuai dengan update Pelaporan di Desa dan
di agregasi di kabuapten.
Catatan: lembar kerja 8.3.1. dalam bentuk softcopy yang menjadi bagian dari modul ini.
Lembar Informasi
SPB
Sistem Informasi
8.5.1.
Pembangunan Desa dan
Pelaporannya
Sistem Informasi Pembangunan Desa merupakan sebuah sistem yang digunakan untuk
memantau proses pelaporan sekaligus memberikan informasi Perencanaan Kegiatan desa
bersumber APBDes, pendanaan (7 Sumber Pendanaan) sampai dengan hasil-hasil kegiatan
Pembangunan Desa. Adapun fokus monitoring Keuangan APBN (Dana Desa) dapat disajikan
secara detail beserta kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Kegiatan yang dimaksud dapat
dikategorikan sesuai dengan Bidang dan Prioritas penggunaan Danana Desa. Untuk mengenal
dan menjalanakan aplikasi, silahkan berikut ini tatacaranya:
1. Dashboard
1.1. Data Tematik Provinsi Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah
1.2. Data Tematik Provinsi Rekening Kas Umum Daerah ke Rekening Kas Desa
1.3. Grafik Penggunaan Dana Desa sesuai Bidang dan Sub Bidang Pembanguan Desa per
Tahun Anggaran.
1.4. Data Kegiatan bersumber Dana Desa (APBN) per Tahun Anggaran
2. APBDesa
Catatan:
1) input data diisikan oleh PLD; jika PLD kosong diisikan PD; dan jika PD kosong diisikan
oleh TA Kab.
2) TA Kab bertugas meverifikasi, validasi data dan melaporkan secara berjenjang
3. Untuk Desa yang sudah menggunakan SISKEUDES dapat melakukan ekport pada menu
Laporan Penganggaran:
dan pilih pada Laporan 1b- Ringkasan APBDes dan selanjutnya sesuai dengan
SISKEUDES Desa. pilih parameter yang sesuai, print to file di cek box, pilih ke file excel,
kemudian isikan sumber pendanaan secara manual sesuai kreteria kemudian di
upload.
Sebagai catatan: untuk kegiatan-kegiatan diisikan nilai Sumary (Kode 3 Digit) dan
untuk Detai Rab dalam Laporan ini belum di perlukan (capture Data Keguiatan
berdasar APBDes SISKEUDES)
Berikut ini contoh upload format excel berdasar lembar kerja form APBdes
3. RKUD ke RK Desa
Pemantauan Transfer Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) ke RK Desa sesuai dengan kesiapan
Desa untuk mengakses Dana Desa. Pendamping dapat melaporkan progres ke dalam aplikasi
dengan melaukan Edit Data
Kegiatan Dana Desa adalah realisasi dari perencanaan berdasar APBDesa yang dilengkapi oleh
pendamping sesuai dengan Laporan progres Kegiatan berdasar LPJ. adapun kegiatan-kegiatan
yang memiliki nomenklatur yang perlu di sesuaikan dengan keperluan Kementrian Desa PDTT
akan disesuaikan dengan pilihan-pilih kegiatan untuk singkronisasi.
5. Profil Desa
Profil Desa memuat informasi terkait Desa menggunakan Dana Desa (APBN)
CATATAN:
Sistem Pelaporan Yang sedang Di Kembangkan P3MD Pusat:
1. HRD
2. Penangan dan Pengaduan Masalah (CHS)
Pokok Bahasan 9
MEMBANGUN TIM KERJA
DI KECAMATAN
Rencana Pembelajaran
SPB
Pemetaan Pemangku
9.1
Kepentingan
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta dapat:
1. Menjelaskan pelaku kunci di Kecamatan
2. Menjelaskan peran para pemangku kepentingan di Kecamatan
3. Menguraikan relasi antar pemangku kepentingan dan hubungannya dengan
peran Pendamping Desa.
4. Diharapkan setelah selesainya pelatihan ini Pendamping Desa mampu
memahami peta pemangku kepentingan di Kecamatan
Waktu
4 JP (180 menit)
Metode
Curah Pendapat dan Analisis Relasi.
Media
Media Tayang
Bahan Bacaan
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Menjelaskan tujuan, hasil, dan proses yang diharapkan dari subpokok
bahasan“Keterampilan Pendamping”.
Kegiatan 4. Presentasi
6. Minta setiap kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya;
7. Memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk menanggapi;
8. Sebelum sesi ditutup, beri penegasan tentang pemangku kepentingan di
Kecamatan beserta relasinya.
Rencana Pembelajaran
SPB
Koordinasi Sektoral
9.2
(SKPD/UPTD)
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan sektoral di tingkatan
kecamatan
2. Menguraikan strategi membangun koordinasi lintas sektor
3. Diharapkan setelah selesainya pelatihan ini Pendamping Desa mampu
mengkoordinasikan pemangku kepentingan ditingkat Kecamatan
Waktu
2 JP (90 menit)
Metode
Bermain peran.
Media
Media Tayang
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, dan LCD
Proses Penyajian
1. Fasilitator menjelaskan tujuan, proses dan hasil yang diharapkan dari sub
Pokok Bahasan “Koordinasi Sektoral (SKPD/UPDT)”.
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan pentingnya kerjsama tim dan membangun jejaring dengan
pihak lainnya;
2. Menguraikan Strategi Membangun Kerjasama Internal Tim
3. Menguraikan strategi jejaring dengan pihak lainnya
4. Diharapkan setelah selesai Pendamping Desa mampu menganalisis relasi dan
mengembangkan stratgi membangun tim kerja dan jejaringnya.
Waktu
4 JPL (180 menit)
Metode
Permainan.
Media
Lembar Kerja, Media Tayang, PP No. 19/2008 Tentang Kecamatan
Alat Bantu
Balon, spidol, laptop, dan LCD
Proses Penyajian
1. Fasilitator menjelaskan tujuan, proses dan hasil yang diharapkan dari sub
Pokok Bahasan “Kerjasama dan Jejaring”
Kegiatan 2: Permainan Kerjasama Tim
2. Bagi peserta menjadi 3 kelompok, usahakan jumlah anggota masing-masing
kelompok sama;
3. Minta satu orang dari setiap kelompok sebagai pengamat;
4. Minta peserta yang lain dari setiap kelompok membentuk formasi barisan
berjajar (satu peserta dengan yang lainnya dalam setiap barisan dibatasi
dengan balon yang telah disiapkan);
5. Minta 3 kelompok tersebut berlomba dengan cara berjalan menuju garis
finish yang telah ditetapkan.
KELOMPOK: ...............................................
3 Bagaimana kekompakan
anggota dalam
Tim/kelompok?
4 Bagaimana kerjasama
antar anggota dalam
tim/kelompok?
Bahan Bacaan
PB
MEMBANGUN TIM KERJA DI
9
KECAMATAN
Dalam organisasi, jejaring kerja diperlukan bagi setiap manajemen pada tingkatan apapun,
baik tingkat atas, menengah, maupun supervisor. Oleh karena itu mereka harus menguasai
cara-cara berinteraksi untuk menciptakan jejaring kerja dengan siapa saja, agar orang-orang
dalam organisasi memberikan respon positif, menghargai, mendukung, dan membantu saat
diperlukan.
Salah satu cara yang cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan membangun jejaring
kerja adalah dengan meniru bagaimana orang-orang sukses berinteraksi dengan orang lain
seperti di rumah, di kantor, dalam rapat, dan di masyarakat luas. Tetapi, meniru bukan
merupakan pekerjaan yang mudah oleh karena diperlukan kecerdasan dalam mengidentifikasi
berbagai aspek terkait dengan proses interaksi, misalnya bagaimana cara mengendalikan
emosi, cara menghargai orang lain, cara berbicara, cara merespon dan sebagainya.
Membangun jejaring kerja merupakan suatu seni sehingga tidak mudah dibuat suatu pola
hubungan yang baku, seperti dalam berinteraksi dengan orang yang memiliki tipe kepribadian
“A” akan berbeda jika berinteraksi dengan orang yang memiliki tipe kepribadian “B”. Walaupun
meniru cara orang-orang sukses dalam berinteraksi bukan merupakan pekerjaan yang mudah
tetapi tetap dapat dilakukan, walaupun memerlukan waktu yang lama.
Untuk membantu dalam meningkatkan kemampuan membangun jejaring kerja, berikut kiat-
kiat yang perlu diperhatikan.
1. Mengendalikan Emosi
Berikut kiat-kiat sederhana untuk meningkatkan kemampuan dalammengendalikan emosi,
yaitu:
a. Mengenal perasaan diri sendiri
Mengenali dan mengetahui suasana hati kita sendiri berguna untuk menentukan perilaku yang
pantas agar dapat menciptakan suasana yang menyenangkan berbagai pihak. Pembicaraan
penting dengan orang lain hanya akan dilakukan pada waktu keadaan kita sehat, segar
bersemangat dan senang, karena perasaan sedih, galau, dan tidak menentu akan membentuk
ekspresi yang tidak menyenangkan bagi orang lain.
b. Berfikir positif
Kita sering berhadapan dengan situasi yang mungkin tidak kita inginkan. Untuk merespon
situasi tersebut dapat dilakukan dengan mengatur perasaan melalui cara berfikir positif,
melihat permasalahan dari aspek yang berbeda (orang lain), dan melihat permasalahan
sebagai peluang. Cara lain untuk mengembangkan pikiran positif adalah dengan
menumbuhkan rasa empati kepada orang lain, seperti dengan memahami keterbatasan
seseorang sehingga ia berbuat sesuatu yang kurang menyenangkan.
c. Menerima ketidakberhasilan
Semua orang mengharapkan suatu keberhasilan, namun kenyataannya setiap orang pernah
mengalami kegagalan. Untuk itu kita perlu menyiapkan perasaan agar tidak senang. Misalnya,
Anda dropout dari perguruan tinggi, tentunya Anda sedih, tetapi usahakan kesedihan tersebut
cepat sirna dan segeralah berusaha untuk tetap maju. Dalam kasus tersebut, Anda dapat
berfikir bahwa Anda telah mendapat ilmu, pengalaman, dan hidup itu tidak hanya ditentukan
oleh keberhasilan kuliah. Joseph Lin (2010) menyebutkan bahwa Bill Gates dropout dari
Harvard dan 2 tahun setelah itu ia menemukan Microsoft dan menjadi orang terkaya di dunia.
Masih banyak orang-orang drop out tetapi bekerja keras dan meraih sukses besar dalam
hidupnya,seperti Steve Jobs, Mark Elliot Zuckerberg, Tom Hanks, Lady Gaga, dan bahkan
Thomas Alva Edison yang tidak pernah duduk diperguruan tinggi, dsb.
2. Menghargai Orang Lain
Menghargai orang lain merupakan salah satu cara untuk membangun hubungan baik dalam
kehidupan sehari-hari. Berbagai cara menghargai orang lain secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu memberikan penghargaan ekstrinsik dan penghargaan
intrinsik. Penghargaan ekstrinsik merupakan penghargaan yang dapat dilihat dengan kasat
mata seperti penghargaan finansial, kenaikan pangkat, perlindungan keamanan, dsb.
Sedangkan penghargaan intrinsik adalah penghargaan yang tidak berwujud seperti ucapan
terima kasih, pujian, penghargaan atas ide orang lain, yang pada umumnya tidak dapat dinilai
dengan uang.
a. Pernyataan terima kasih
Pernyataan terima kasih yang tulus iklas merupakan salah satu cara yang paling mudah untuk
menghargai perbuatan orang lain. Pernyataan terima kasih juga menunjukkan sikap sopan,
hormat dan perhatian kepada orang lain, dan menunjukkan bahwa perbuatan yang telah
dilakukan benar-benar bermanfaat. Pernyataan terima kasih hendaknya disampaikan sesegera
mungkin setelah suatu kejadian berlangsung, agar memberikan makna yang berarti.
b. Mendengarkan
Mendengarkan (listening) bukan sekedar hearing, merupakan salah satu cara yang mudah
untuk menghormati orang lain. Dengan mendengarkan, pembicara merasa diperhatikan dan
dihargai. Kita akan memperoleh simpati dari orang lain dengan cara mendengarkan
pembicaraan mereka, baik pembicaraan melalui media elektronik maupun pembicaraan
langsung. Namun tidak semua orang bersedia untuk mendengarkan disebabkan beberapa
alasan (Bell 1992), yaitu: 1) sombong, 2) menganggap materi pembicaraan tidak sesuai dengan
apa yang telah diyakini, 3) menganggap rendah pembicara, 4) menganggap materi
pembicaraan telah kadaluwarsa, 5) malas mendengarkan.
c. Memuji
Setiap manusia pada hakekatnya mempunyai sifat dasar “senang dipuji”. Carnegie (1981)
menyebutkan bahwa Lincoln (presiden AS) pernah memulai satu suratnya dengan
mengucapkan “Setiap orang menyukai pujian”. Pujian tidak sama artinya dengan sanjungan.
Pujian merupakan suatu pernyataan yang jujur tentang suatu prestasi riil atau keadaan yang
sebenarnya, sedangkan sanjungan merupakan pernyataan yang berlebihan atas prestasi yang
dicapai, atau bukan keadaan yang sebenarnya, sehingga dapat menyesatkan orang yang
disanjung karena salah dalam mengevaluasi dirinya.
d. Mengingat nama
Pada hakekatnya setiap orang di seluruh dunia senang disebut namanya dengan benar.
Mereka merasa dihormati dan diperhatikan. Menyebut nama orang lain dengan benar
merupakan cara penting untuk menghargai orang lain. Orang-orang yang memperoleh sukses
besar mengerti cara menghargai orang lain, yaitu hanya dengan menyebut namanya dengan
benar. Oleh karena itu mereka berusaha untuk menghafal dan mengingat nama-nama orang
yang mereka temui. Carnegie (1981), menyebutkan bahwa Franklin D. Roosevelf (presiden AS)
tahu bahwa satu cara paling sederhana, paling nyata dan paling penting dalam memperoleh
kehendak yang baik adalah dengan mengingat nama-nama orang, dan membuat mereka
merasa penting.
3. Mengkritik dengan Cara yang Elegan
Menyampaikan kritik merupakan bagian penting bagi kehidupan dalam berorganisasi untuk
menuju perbaikan. Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana cara menyampaikan kritik agar
tetap dapat menjaga jejaring kerja yang kondusif. Berikut disajikan cara-cara menyampaikan
kritik.
a. Didahului dengan pujian
Awali dengan pujian, misalnya dengan cara menyampaikan keunggulan- keunggulan
secara rinci dari bagian-bagian yang berkaitan dengan substansi yang akan dikritik. Pujian
yang terinci merupakan suatu pembuktian bahwa Anda memperhatikan dan benar-benar tahu
tentang apa yang akan Anda sampaikan.
b. Menentukan apa yang mereka inginkan
Carilah apa yang mereka inginkan terkait dengan substasi kritik. Ingat, orang yang telah
dipenuhi keinginannya akan lebih mudah menerima masukan.
c. Disampaikan dalam bentuk saran.
Kritik agar disampaikan dalam bentuk saran, atau dengan kalimat positif, dimaksudkan agar
kesalahan atau ketidak sesuaian terkesan tidak terlalu besar.Jangan sekali-kali mengatakan
“Anda salah”, dan kata-kata lain yang sejenis.
d. Tidak menggunakan kata “tetapi”
Kritik yang baik tidak menggunakan kata “tetapi” atau kata lain yang bermakna sama dengan
“tetapi”.
e. Lengkapi dengan argumentasi
Argumentasi yang logis dan didukung dengan data dan bukti, dan disajikan dalam diagram,
gambar, tabel akan membantu dalam meyakinkan orang lain dalam menerima ide Anda, dan
jika mungkin tunjukkan referensinya. Lengkapi dengan penjelasan tentang manfaat yang akan
diperoleh jika pendapat Anda diterima.
f. Didasari dengan etika
Kritik disampaikan sesuai hati nurani dan bermaksud untuk memberikan masukan untuk
meningkatkan kinerja, bukan untuk menunjukkan kesalahan. Oleh karena itu, hendaknya kritik
tidak mengarah pada individu seseorang, tetapi ditujukan terbatas pada substansi yang
dikritik, dimaksudkan agar dapat pembicaraan lebih fokus / tidak menyimpang. Jika ragu-ragu
dengan materi kritik hendaknya jangan mengkritik.
g. Disampaikan dengan sepenuh hati
Penyampaian dengan jujur, dan penuh dengan kehangatan dan diekspresikan dengan baik,
meyakinkan bahwa apa yang disampaikan akan memberikan manfaat yang berarti, dan bukan
untuk diri Anda sendiri. Jika ternyata pendapat Anda benar, atau dengan kata lain mereka
menerima saran, hendaknya Anda tidak menonjolkan diri, sehingga hubungan baik tetap
terjalin.
Diambil dan digubah dari http://www.bppk.depkeu.go.id/bdpimagelang
Pokok Bahasan 10
FASILITASI PENINGKATAN
KAPASITAS PEMANGKU
KEPENTINGAN KECAMATAN
Rencana Pembelajaran
SPB
Konsep Peningkatan
10.1 Kapasitas
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan ruang lingkup peningkatan kapasitas;
2. Menyebutkan aspek-aspek kompetensi dasar dalam
peningkatan kapasitas.
Waktu
1 JP ( 45 menit)
Metode
Curah Pendapat.
Media
Media Fasilitasi
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Fasilitator menjelaskan tujuan, proses dan hasil yang diharapkan dari
sub Pokok Bahasan “Konsep Peningkatan Kapasitas”.
2. Minta peserta mengungkapkan ruang lingkup peningkatan kapasitas;
3. Catat hal-hal penting dari ungkapan peserta.
4. Minta peserta menjelaskan aspek-aspek kompetensi dasar
peningkatan kapasitas individu/pelaku;
5. Sebelum sesi ditutup, berikan penegasan dengan menggunakan
Media Fasilitasi 10.1.1.
Rencana Pembelajaran
SPB
Strategi Peningkatan
10.2 Kapasitas
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan bentuk-bentuk pengembangan kapasitas yang
relevan di tingkat kecamatan;
2. Merumuskan strategi pengembangan kapasitas bagi pemangku
kepentingan di tingkat kecamatan.
Waktu
1 JP ( 45 menit)
Metode
Curah Pendapat dan Simulasi.
Media
Media fasilitasi
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Fasilitator menjelaskan tujuan, proses dan hasil yang diharapkan dari
sub Pokok Bahasan “Strategi Peningkatan Kapasitas”.
2. Minta peserta mengungkapkan bentuk-bentuk pengembangan
kapasitas;
3. Catat hal-hal penting dari ungkapan peserta;
4. Minta peserta menjelaskan strategi pengembangan kapasitas
individu/pemangku kepentingan di tingkat kecamatan;
5. Sebelum sesi ditutup, berikan penegasan dengan menggunakan
Media Fasilitasi 10.2.1.
Bentuk Dukungan
Pengembangan Strategi Kendala yang
Kapasitas diperlukan
Pembimbingan • Mengefektifkan
monitoring dan
supervisi
• Mengidentifikasi
kegiatan yang perlu
mendapatkan
bimbingan
• dst
...dst
Tujuan
Setelah pembelajaran ini peserta diharapkan dapat:
1. Menjelaskan jenis-jenis keterampilan dasar yang harus dimiliki
oleh seorang pendamping.
2. Mempraktikkan teknis dasar fasilitasi (bertanya, probing,
menyimak/mendengar dan mengelola dinamika kelompok).
Waktu
3 JP ( 135 menit)
Metode
Simulasi dan Bermain peran.
Media
Lembar simulasi
Media fasilitasi
Alat Bantu
Flipt Chart, spidol, laptop, LCD, Whiteboard
Proses Penyajian
1. Fasilitator menjelaskan tujuan, proses dan hasil yang diharapkan dari
sub Pokok Bahasan “Keterampilan Dasar Melatih”.
Pelatih/ • Berbicara
Narasumber • Mendengar
• Mengapresiasi
• Bertanya
• Paraprase
Pendengar • Berbicara
• Mendengar
• Mengapresiasi
• Bertanya
• Parafrase
Bahan Bacaan 1
PB
Permainan Kreatif Untuk
10
Kegiatan Pelatihan
A. PENDAHULUAN
Berdasarkan pengalaman, kegiatan bersama (satu tim) akan timbul apabila semua
menyadari bahwa mereka melakukan secara spontan, terbuka dan penuh kehangatan
serta tidak dibuat-buat. Untuk itulah bentuk „kepemimpinan‟ dalam aktifitas harus
didistribusikan secara merata kepada seluruh warga belajar, agar dinamika terjaga.
Pada kegiatan yang berdurasi panjang, atau dengan pendekatan yang monoton dan
kurang melibatkan peserta, kegairahan peserta dalam mengikuti setiap materi menjadi
menurun. Ini merupakan bagian yang berat bagi fasilitator. Untuk itu rangkaian materi
harus diselingi dengan kegiatan "pemecah kebekuan" atau "Icebreakers" dan
pembangkit daya dan dinamika atau "energiser". Secara umum pembentukan suasana
ditujukan antara lain untuk :
memecahkan kebekuan suasana,
merangsang minat dan perhatian peserta,
menghantarkan suatu pokok bahasan tertentu yang menjadi materi utama
kegiatanyang bersangkutan,
menciptakan kondisi yang berimbang antara fasilitator dan peserta, serta
antarpeserta yang „berbeda‟ level.
Tidak ada teori khusus yang dikembangkan mengenai "pemecah kebekuan" ini. Pada
dasarnya ketrampilan ini dikembangkan lewat pengembangan kepekaan yang tinggi
seorang fasilitator dalam memproses kegiatan/pelatihan. Orang awam sering
bilang, jam terbanglah yang menentukannya, sebagaimana filosofi suatu kegiatan
atau pelatihan yang engembangkannya, yakni pembelajaran berdasar pengalaman
(pembelajaran orang dewasa). Kuncinya adalah keberanian bereksperimen.Namun
demikian, dengan merujuk tujuan di atas, setidaknya ada beberapa catatan yang perlu
diperhatikan dalam penyajiannya. Kalau tidak, salah-salahkegembiraan yang ingin
ditampilkan dalamIcebreakers menjadi tidak tercipta sama sekali.
1. Isi
Bahan untuk „memecah es ini tidak selalu dengan permainan. Cerita pendek dan fiktif
bisa disajikan. Yang penting adalah berbeda dengan kegiatan-kegiatan sebelumnya.
Permainan kurang sesuai diberikan sebagai pemecah kebekuan bila dalam proses
kegiatan telah banyak menggunakan metodologigames (permainan). Ingat, permainan
sebagai icebreakers dan permainan sebagai metode pelatihan adalah tidak sama.
2. Sebangun
Sebangun, alias bisa berbeda. Isi Icebreakers yang sama bisa digunakan untuk materi
yang berbeda, kemampuan fasilitator meramu yang menentukan keberhasilannya.
3. Waktu
Penyajian Icebreakers juga mesti mengingat waktu. Artinya tidak bisa terlalu sering,
karena bahkan akan membosankan. Demikian halnya, harus diingat waktu yang
dibutuhkan dalam memproses bahan Icebreakers. Icebreakers dengan model
permainan, biasanya memakan waktu relatif lama. Untuk itu harus dipertimbangkan
dengan waktu untuk materi utama, kecuali bila dimaksudkan untuk menghantar.
4. Peserta
Mengingat waktu dan isi, ditambah lagi dengan kondisi lokasi/tempat, boleh
jadi icebreakerstidak dapat melibatkan semua orang. Yang penting diingat adalah,
kepekaan memilih pesertanya. Bila Icebreakers ditujukan untuk memecah kebekuan
kelas, usahakan suatu bentuk yang melibatkan semua orang. Bila kelas terasa
didominasi sebagian orang, dalamenergizers inilah saatnya untuk "mengabaikan"
mereka dan memilih mereka yang "terabaikan", terutama perempuan.
Ingat, fasilitator adalah bagian dari warga. Libatkan secara penuh diri anda dalam
kegiatan di dalamnya, termasuk proses "Energizer".
B. PROSES
Tidak jarang, seorang fasilitator "hambar" dalam menyajikan energizers. Ini
disebabkan,energizers hanya dianggap dan diperlakukan sekadar sebagai permainan.
Padahal sebenarnya, dalam pembelajaran orang dewasa, setiap kegiatan indah untuk
dikaji. Untuk itu bahan energizers perlu diolah sehingga enak untuk disajikan dan
menjadi bagian yang memperkaya keseluruhan tubuh aktifitas. Memproses suatu
kegiatan energizers sama "menyenangkan" atau "menjengkelkannya" dengan
memproses materi inti. Bila di dalam pelatihan dikenal KAKI LIMA
sebagai Proses memproses, demikian halnya denganenergizers.
C. MENGGUNAKAN ENERGIZERS
ppp1. Apakah Energizers itu?
Energizers adalah aktifitas yang dirancang untuk membuat kegiatan belajar lebih
mudah danlebih menyenangkan, baik untuk peserta maupun pelatih. Nama yang
berbeda dipergunakanseperti icebreakers atau pemanasan, tergantung pada tujuan
utama aktifitas (lihat paragraphmengapa peduli?).
2. Mengapa peduli?
Energizers memungkinkan Anda sebagai pelatih untuk:
• Memecahkan es (break the ice), untuk menciptakan peluang saling mengenal satu
sama lain dengan lebih baik (Icebreakers)
• mendorong interaksi
Bahan Bacaan 2
PB
Pengembangan Pelatihan
10
Peningkatan Kapasitas
Masyarakat
Prinsip-prinsip Pelatihan
Proses belajar diperlihatkan melalui perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman
yang yang diperoleh pembelajar melalui interaksi dengan lingkungannya
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan tingkah laku dalam belajar
memiliki enam karakteristik, yakni (1) terjadi secara sadar, (2) bersifat kontinu dan
fungsional, (3) bersifat positif dan aktif, (4) besifat permanen, bukan sementara, (5)
bertujuan atau terarah, dan (6) mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Jenis-jenis Media
Media pembelajaran mengalami perkembangan melayani pemanfaatan teknologi.
Berdasarkan perkembangan teknologi tersebut Azhar Arsyad (2002) mengklasifikasikan
media atas empat kelompok: (1) Media hasil teknologi cetak; (2) Media hasil teknologi
audio-visual; 3) Media hasil teknologi berbasis komputer; dan 4) Media hasil gabungan
teknologi cetak dan komputer
Menurut Azhar Arsyad dari segi teori belajar, berbagai kondisi dan prinsip-prinsip
psikologis yang perlu mendapat pertimbangan dalam pemilihan dan penggunaan
media adalah sebagai berikut:
a) Motivasi. Harus ada kebutuhan, minat, atau keinginan utuk belajar dari pihak
peserta didik sebelum meminta perhatiannya untuk mengerjakan tugas dan
latihan
b) Perbedaan individual. Peserta didik belajar dengan cara dan tingkat kecepatan
yang berbeda-beda
c) Tujuan pembelajaran. Jika peserta didik diberitahukan apa yang diharapkan
mereka pelajari melalui media pembelajaran itu, kesempatan untuk berhasil
dalam pembelajaran semakin besar
d) Organisasi isi. Pembelajaran akan lebih mudah jika isi dan prosedur atau
keterampilan fisik yang akan dipelajari diatur dan diorganisasikan ke dalam
urutan-urutan yang bermakna
e) Persiapan sebelum belajar. Peserta didik sebaiknya telah menguasai secara baik
pelajaran dasar atau memiliki pengalaman yang diperlukan secara memadai yang
mungkin merupakan prasyarat untuk penggunaan media dengan sukses. Dengan
kata lain, ketika merancang materi pelajaran, perhatian harus ditujukan kepada
sifat dan tingkat persiapan peserta didik