Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

“ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM IMUN”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK IV
1. SITI AMINATUZZUHRIYAH
2. SITI JULPAH
3. SITI MARSIAH
4. SRI MELATI
5. SRI YULI
6. SRI YANI
7. SUPRIHATIN
8. SUSILOWATI
9. SUSWANTI
10. SUTINAH
11. VRISTANIKA F
12. WARSINI
13. YUSUF PURWA NUFRAHA

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
SEMESTER GANJIL 2019-2020
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................1

A. Latar Belakang ..................................................................................................1


B. Tujuan ...............................................................................................................2
C. Rumusan Masalah .............................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI..........................................................................................3

A. Konsep Kehilangan............................................................................................3
B. Konsep Berduka / Dukacita.............................................................................14
C. Asuhan Keperawatan ......................................................................................21

BAB III STUDI KASUS ............................................................................................28

A. Pengkajian.........................................................................................................28
B. Diagnosa Keperawatan......................................................................................29
C. Intervensi ..........................................................................................................29
D. Implementasi ....................................................................................................31
E. Evaluasi ............................................................................................................31

BAB IV PENUTUP ....................................................................................................32

A. Kesimpulan .....................................................................................................32
B. Saran ...............................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................iii

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena

atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah

Psikososial tentang ”Makalah Keperawatan Medikal Bedah II Anatomi Dan

Fisiologi Sistem Imun” sesuai waktu yang telah ditentukan. Shalawat serta salam

tetap tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta sahabat dan

para pengikutnya.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan yang

telah diberikan oleh berbagai pihak, baik moril maupun materil. Dalam proses

pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, saran ataupun kritik yang membangun, sangat penulis

harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga apa yang disajikan dalam

makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, Februari 2020

Kelompok IV

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengetahuan yang telah kita peroleh melalui sejarah perkembangan
imunologi, menjadikan kita mampu mengetri konsep-konsep imunologi.
Disiplin imunologi berkembang dari observasi bahwa mereka yang sembuh
dari penyakit infeksi tertentu menjadi terlindung terhadap penyakit tersebut.
Imunos (latin) ebrarti dikecualikan dan immunity (Inggris) berarti terlindung
dari infeksi.
Sejarah imunologi abru dimulai lebih dari 100 tahun oleh Louis Pasteur
yang dianggap sebagai the Father of Immunologi. Studi vaksinasi dini telah
membuka jalan untuk imnologi imunisasi yang sampai dewasa ini merupakan
kemajuan yang tidak ternilai.
Sejarah imunologi selular, baru dimulai pada tahun 1950. Cacar pertama
tercatat di CIna dan kemudian menyebar ke Turki, Asia Tengah melalui
perdagangan tradisional dan akhirnya ke selurh dunia. Pada tahun 1000SM
ahli-ahli Cina telah mempraktekkan sejenis imunisasi dengan menghirup
puyer yang dibuat dari kursta les cacar. Kemudian puyer krusta diaplikasikan
melalui jarum atau pocking device ke kulit yang disebut variolasi.
Selanjutnya cara itu dipraktekkan secara umum dan berkembang di Turki dan
Asia Tengah.
Edwar Jenner (1976) mengumpulkan nanah asal luka pok sapi dari tangan
penmerah susu yang bernama Sarah Nelmes dan nanah tersebut
diinokulasikannya ke seorang anak yang bernama James Philip usia 4 tahun.
Hal itu hanya menimbulkan panas tetapi tidak menjadikan anak tesebut sakit.
Selanjutnya Philip mendapat inokulasi nanah dari cacar aktif yang ternyata
tidak menimbulkan reaksi yang berarti. Setelah itu vaksinasi dengan nanah
pok sapi diterima sebagai cara pencegahan (vacca berarti sapi) dan Jenner
diangkat sebagai pendiri imunologi.

4
Louis Pasteur (peranvis) merupakan orang pertama yang menunjukkan
peran mikroorganisme dalam proses fermentasi ayng berhasil mengisolasi
dan menurni manaskan (pasteurisasi). Selanjutnya Pasteur juga menemukan
mikroorganisme dalam ulat sutera yang pada waktu itu sedang menimbulkan
krisis sutera di Perancis.
Robert Koch (Jerman) merupakan orang pertama yang mengisolasi kuman
antraks, tetapi yang membuktikan kemampuan antraks menimbulkan penyakit
adalah Pasteur. Koch juga merupakan orang pertama yang mengisolasi
kuman tuberculosis (1882). Pasteur meneliti imunisasi anstraks, kolera ayam
dan rabies. Robert Koch meneliti imunitas terhadap agen infeksi lainnya.
Bidang imunologi dan banyak dasar-dasar kedokeran modern dapat dikatakan
dilahirkan dari dua orang tersebut pada tahun 1880.
Pada tahun 1880-90 imunisasi dengan vaksin yang diatenuasikan
berkembang dan dibawa ke seluruh Eropa dan Amerika. Emil von Behring
(Jerman), Paul Erlich (Jerman) serta Shibasaburo Kitasato (Jepang)
mengembangkan anti toksin asal serum kuda terhadap difteri yang digunakan
sekarang dan dikenal sebagai imunisasi pasif.
Mulai tahun 1900 ditemukan bukti-bukti bahwa tubuh memiliki
pertahanan komprehensif terhadao infeksi dengan memproduksi antibody.
Hans Buchner (Jerman) menemukan molekul dalam darah yang kemudian
diidentifikasi oleh Jules Bordet (Belgia) sebagai aleksin dan komplemen.
Bordet dan Octave Gengou mengembangkan uji fiksasi komplemen yang
dapat digunakan dalam esai reaksi antigen – antibody.
Struktur immunoglobulin dijelaskan oleh Rodney Robert Porter dan
Gerald Edelman pada akhir tahun 1950 dan 1960, imunologi modern mulai
bergerak sebagai pionir dalam riset medis.
Jean Baptiste Dausset menggambarkan antigen histokompatibilitas pada
manusia dan imunologi transplantasi dikembangkan menjadi ilmu utama.
Transplantasi sumsum tulang meniadi terapi efektif untuk Severe Combined
Immunodeficiency dan penyakit sejenis.
Tahun 1960 ditandai dengan Renaissance imunologi selular dan sejak itu
imunologi memasuki era modern. Sekarang sudah dikenal berbagai cabang

5
ilmu imunologi antara lain imunologi molecular (imunokimia, imunobiologi,
imunogenetik), imunopatologi, imunologi tumor, iunologi transplantasi,
imunilogi perbandingan, imunotoksikologi, imunofarmakologi dan lainnya.
Pada tahun 1948, Astrid Elsa Fagraeus menemukan peran sel plasma
dalam pembentukan antibody. Tehnik imunofluoresensi yang dikembangkan
Albert Coons merupakan hal yang berharga untuk identifikasi antigen dalam
jaringan dan sintesis anibodi dalam sel individual.
Pada tahun 1959, James Gowans, membuktikan bahwa limfosit sebetulnya
disirukulasika ualng. Pada tahun 1966, Tzvee Nicholas Harris dkk
menunjukkan dengan jelas bahwa limfosit dapat membentuk antibody.
Pada tahun 1966 dan 1967 Claman dkk, David dkk, serta Mitchison dkk
menunjukkan bahwa sel T dan B bekejra sama satu dengan lainnya dalam
respons imun.
Berbagai fenomena seperti pengalihan pembentukan satu antibody ke jenis
lainnya tergantung pada sinyal dari sel T yang mengaktifkan sel B untuk
mengubah igM ke

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, adalah:

1. Tujuan umum
a. Mengetahui konsep anatomi dan fisiologi sistem imun
b. Mengetahui asuhan keperawatan pada anatomi dan fisiologi sistem
imun

2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui tugas dalam mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah II.
b. Menjelaskan konsep dan teori dari anatomi dan fisiologi sistem imun.
c. Mengetahui faktor yang mempengaruhi anatomi dan fisioligi sistem
imun.

6
d. Mengetahui proses asuhan keperawatan pada anatomi dan fisiologi
sistem imun.
C. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari anatomi dan fisiologi sistem imun ?
2. Apa saja teori - teori tentang anatomi dan fisiologi sistem imun ?
3. Apa saja faktor anatomi dan fisiologi sistem imun ?
4. Bagaimana masalah keperawatan Keperawatan Medikal Bedah II anatomi
dan fisiologi sistem imun ?

7
8
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Kehilangan
1. Pengertian kehilangan
Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial yang di dalam nya
sesuatu yang di nilai berharga berubah, tidak lagi ada atau menghilang.
Pengalaman kehilangan dan duka cita adalah hal yang esensial dan normal
dalam kehidupan manusia. (Khozier, 2011).
Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian
atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami
oleh setiap individu selama rentan kehidupan, sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali
walaupun dalam bentuk yang berbeda. Kehilangan adalah peristiwa dari
pengalaman manusia yg bersifat universal dan unik secara individual.
Kehilangan dari attachment (kedekatan seseorang terhadap orang lain
yang dianggap penting) merupakan kehilangan yang mencakup kejadian
nyata atau hanya khayalan (yang diakibatkan persepsi seseorang terhadap
kejadian), seperti kasih sayang, kehilangan orang yang berarti, fungsi fisik,
harga diri. Banyak situasi kehilangan dianggap sangat berpengaruh karena
memiliki makna yang tinggi. Kemampuan seseorang untuk bertahan, tetap
stabil, dan bersikap positif terhadap kehilangan, merupakan suatu tanda
kematangan dan pertumbuhan. Kehilangan memungkinkan individu
berubah dan terus berkembang serta memenuhi potensi diri.
Kehilangan dapat direncanakan, diharapkan, atau terjadi tiba – tiba, dan
proses berduka yang mengikutinya jarang terjadi dengan nyaman atau
menyenangkan. Walaupun tidak nyaman, kehilangan kadang-kadang
bermanfaat : pada waktu lain kehilangan dapat menghancurkan dan
membuat individu lemah.

2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Reaksi Kehilangan

9
a. Faktor perkembangan
Pada anak – anak pada umumnya belum mengerti seperti orang
dewasa, belum bisa merasakan. Belum menghambat perkembangan,
bisa mengalami regresi. Pada orang dewasa pada umunya kehilangan
membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup,
menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.
b. Faktor keluarga
Keluarga mempengaruhi respon dan ekspresi kesedihan. Anak terbesar
biasanya menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih
secara terbuka.
c. Faktor sosial dan ekonomi
Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi
keluarga, berarti kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan
secara ekonomi. Dan hal ini bisa menggangu kelangsungan hidup.
d. Faktor pengaruh kultural
Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur barat
menganggap kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga
hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak ditunjukkan pada
orang lain. Kultur ini menganggap bahwa mengekspresikan kesedihan
harus dengan berteriak dan menagis keras -keras.
e. Faktor Agama
Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman.
Menyadarkan bahwa kematian sudah ada dikonsep dasar agama.
Tetapi ada juga yang meyalahkan tuhan akan kematian.
f. Faktor Penyebab kematian
Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba - tiba akan
menyebabkan goncangan jiwa yang berat dan tahapan kehilangan yang
lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan
disosialisasikan dengan kesialan.

3. Tipe Kehilangan

10
Terdapat dua tipe umum kehilangan, yaitu aktual dan persepsi. Kedua
kehilangan tersebut dapat diantisipasi.
a. Kehilangan aktual
Kehilangan aktual dapat diketahui oleh orang lain. Persepsi kehilangan
dialami oleh seseorang tetapi tidak dapat dipastikan oleh orang Iain.
Kehilangan psikologis sering kali berupa persepsi kehilangan karena
kehilangan psikologis tidak dapat dipastikan secara langsung.
Misalnya, seorang wanita yang berhenti bekerja untuk merawat
anaknya di rumah dapat merasakan persepsi kehilangan kemandirian
dan kebebasan.
b. Kehilangan yang diantisipasi
Kehilangan yang diantisipasi dialami sebelum kehilangan benar-benar
terjadi. Misalnya, seseorang wanita yang suaminya sedang menjelang
ajal/sekarat dapat mengalami kehilungan aktual sebagai antisipasi
terhadap kematian suaminya.
Kehilangan dapat dianggap sebagai situasional atau developmental.
Hilangnya pekerjaan seseorang, kematian anak, atau kehilangan
kemampuan fungsional karena penyakit akut atau karena cedera adalah
kehilangan situasional. Kehilangan yang terjadi dalam proses
perkembangan normal seperti perginya anak yang sudah dewasa dari
rumah, pensiun dari pekerjaan, dan kematian orang tua yang sudah lansia
adalah kehilangan developmental yang pada derajat tertentu dapat
diantisipasi atau diprsiapkan.

4. Jenis-jenis Kehilangan
Jenis - jenis kehilangan mengunakan hierarki Maslow. Tindakan
manusia dimotivasi oleh hierarki kebutuhan yang di mulai dengan
kebutuhan Fisiologis (makanan, udara, air dan tidur), kebutuhan
keselamatan, (tempat yang aman untuk tempat tinggal dan bekerja),
kemudian kebutuhan keamanan dan memiliki. Apabila kebutuhan tersebut
terpenuhi, individu dimotivasi oleh kebutuhan harga diri yang
menimbulkan rasa percaya diri dan adekuat. Kebutuhan yang terakhir ialah

11
aktualisasi diri suatu upaya untuk mencapai potensi diri secara
keseluruhan. apabila kebutuhan manusia tersebut tidak terpenuhi atau
diabaikan karena suatu alasan, individu mengalami suatu kehilangan.
Beberapa contoh kehilangan yang relevan dengan kebutuhan spesifik
manusia yang diidentifikasi dalam hierarki maslow antara lain :
a. Kehilangan fisiologi
Kehilangan pertukaran udara yang adekuat, kehilangan fungsi
pankreas yang adekuat, kehilangan suatu ekstermitas, dan gejala atau
kondisi somatik lain yang menandakan kehilangan fisiologis.
b. Kehilangan keselamatan
Kehilangan lingkungan yang aman, seperti kekerasan dalam rumah
tangga dan kekerasan publik, dapat menjadi titik awal proses duka cita
yang panjang misalnya, sindrom stres pasca trauma. Terungkapnya
rahasia dalam hubungan profesional dapat dianggap sebagai suatu
kehilanagn keselamatan psikologi sekunder akibat kehilanagn rasa
percaya antara klien dan pemberi perawatan.
c. Kehilangan keamanan dan rasa memiliki
Kehilangan terjadi ketika hubungan berubah akibat
kelahiran,perkawinan, perceraian, sakit, dan kematian. Ketika makna
suatu hubungan berubah , peran dalam keluarga atau kelompok dapat
hilang. Kehilangan seseorang yang di cintai mempengaruhi kebutuhan
untuk mencintai dan dicintai.
d. Kehilangan harga diri
Kebutuhan harga diri terancam atau dianggap sebagai kehilangan
setiap kali terjadi perubahan cara menghargai individu dalam
pekerjaan dan perubahan hubungan. Rasa harga diri individu dapat
tertantang atau dialami sebagai suatu kehilangan ketika persepsi
tentang diri sendiri berubah. Kehilangan fungsi peran, sehingga
kehilangan persepsi dan harga diri karena keterkaitannya dengan peran
tertentu, dapat terjadi bersamaan dengan kematian seseorang yang
dicintai.
e. Kehilangan yang berhubungan dengan aktualisasi diri

12
Tujuan pribadi dan potensi individu dapat terancam atau hilang ketika
krisis internal atau eksternal menghalangi atau menghambat upaya
pencapaian tujuan dan potensi tersebut. Perubahan tujuan dan arah
akan menimbulkan periode dukacita yang pasti ketika individu
berhenti berpikir kreatif untuk memperoleh arah dan gagasan baru.
Contoh kehilangan yang terkait dengan aktualisasi diri mencakup
gagalnya rencana menyelesaikan pendidikan, kehidupan harapan untuk
menikah dan berkeluarga, atau seseorang kehilangan penglihatan atau
pendengaran ketika mengejar tujuan menjadi artis atau komposer. Cara
yang bermanfaat untuk mempelajari jenis kehilangan.

5. Proses Kehilangan
a. Stressor internal atau stressor external – gangguan dan kehilangan –
individu memberi makna positif – melakukan kompensasi dengan
kegiatan positif – perbaikan ( beradaptasi dan merasa nyaman )
b. Stressor internal atau stressor external – gangguan dan kehilangan –
individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan berlaku
agresi – diekspresikan kedalam diri – muncul gejala fisik
c. Stressor internal atau stressor external – gangguan dan kehilangan –
individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan berlaku
agresi – diekspresikan keluar individu – kompensasi dengan prilaku
konstruktif – perbaikan (beradaptasi dan merasa nyaman)
d. Stressor internal atau stressor external – gangguan dan kehilangan –
individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan berlaku
agresi – diekspresikan keluar individu – kompensasi dengan prilaku
destruktif – merasa bersalah – ketidakberdayaan

Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap


kehilangan adalah pemberian makna (oersonal meaning) yang baik
terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang positif
(konstruktif) seperti pada skema dibawah ini :

13
Stressor internal disruption&loss personal compensatory resolution
meaning activity
&eksternal

Helplessness guilt

Anger&

Aggression

Expressed expressed destruktive

Inward outward

Painfull constructive resolution

Symptom actuon

6. Fase-Fase kehilangan
Menurut Kubler Ross (1969, dalam Hidayat 2009) terdapat 5 tahapan
proses kehilangan :
a. Fase Pengingkaran (Denial)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok tidak
percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan

14
mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, “itu tidak
mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit
terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik
yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual,
diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah,
tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut di atas cepat berakhir
dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.
b. Fase marah (Anger)
Fase ini di mulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan individu menunjukkan perasaan yang meningkat
yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya,
orang-orang tertentu atau ditunjukkan pada dirinya sendiri. Tidak
jarang dia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak
pengobatan, dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus.
Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah,
nadi cepat, gelisah, sudah tidur, tangan mengepal.
c. Fase Tawar menawar (Bargaining )
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara
intensif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon
kemurahan tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata
“kalau saja kejadian ini bisa di tunda maka saya akan sering berdoa”.
Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka penyataan
sebagai berikut sering dijumpai “kalau saja yang sakit bukan anak
saya”.

d. Fase Depresi / Bersedih yang mendalam (Depression)


Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik
diri, tidak mau berbicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang
sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan
keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering
diperlihatkan adalah menolak makan, sudah tidur, letih, dorongan
libido menurun.

15
e. Fase Penerimaan (Acceptance)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran
selalu terpusat kepada objek atau orang hilang akan mulai berkurang
atau hilang individu telah menerima kenyataan kehilangan yang
dialaminya, gambaran tentang objek atau orang yang hilang mulai
dilepaskan dan secara bertahapp perhatian beralih pada objek yang
baru. Fase penerimaan ini biasanya dinyatakan dengan kata – kata
seperti “ saya betul - betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju
saya yang baru manis juga “ atau “ apa yang dapat saya lakukan agar
saya cepat sembuh”.

Penyangkalan Marah Tawar menawar Depresi Penerimaan


(denial) (anger) (bargaining)

Apabila individu dapat memulai fase - fase tersebut dan masuk pada
fase damai atau fase penerimaan, maka dia akan dapat mengakhiri proses
berduka dan mengatasi perasaan kehilangnnya secara tuntas. Tapi apabila
individu tetap berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase
penerimaan, jika mengalami kehilangan lagi sulit baginya masuk pada fase
penerimaan.
Reorganisasi kehilangan, dapat menerima kenyataan kehilangan, sudah
dapat lepas pada obyek yang hilang beralih ke obyek baru “apa yang dapat
saya lakukan.
Fase kehilangan menurut Rando :
a. Penghindaran
Pada fase ini terjadi syok, menyangkal dan ketidakpercayaan
b. Konfrontasi

16
Pada fase ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedudukan mereka
paling dalam.
c. Akomodasi
Pada fase ini klien secara bertahap terjadi penurunan duka yang akut
dan mulai memasuki kembali secara emosional dan social sehari – hari
dimana klien belajar hidup dengan kehidupan mereka.

7. Kebutuhan Keluarga Yang Kehilangan


Keluarga yang kehilangan membutuhkan hal - hal sebagai berikut :
a. Harapan
Perawatan yang terbaik sudah diberikan keyakinan bahwa mati adalah
akhir penderitaan dan kesakitan.
b. Partisipasi
Memberikan perawatan dan sharing dengan staff perawatan.
c. Dukungan
Dengan dukungan seseorang bisa melewati kemarahan, kesedihan, dan
penyangkalan. Dukungan bisa digunakan sebagai koping dengan
perubahan yang terjadi.
d. Kebutuhan spiritual
Berdoa sesuai dengan kepercayaan yang dianut, medaptkan kekuatan
dari tuhan.

8. Faktor Yang Mempengaruhi Cara Setiap Individu Merespon


Kehilangan
a. Karakteristik personal
Usia memainkan peran dalam pengenalan dan reaksi individu terhadap
kehilangan. Respon anak beragam sesuai dengan sesuai pengalaman
kehilangan sebelumnya, hubungan dengan yang meninggal,
kepribadian, persepsi tentang kehilangan, makna tertentu dari
kehilangan yang mereka miliki dan yang terpenting respon keluarga
mereka terhadap kehilangan. Meskipun anak-anak mungkin tidak

17
memahami konsep kematian karena usia mereka, mereka tetap
mengemabngkan persepsi tentang apa makna kehilangan bagi mereka.
Anak-anak mungkin merasa bersalah karena tetap hidup, tetap sehat
atau mempunyai permintaan untuk kematian orang yang mereka cintai,
Peran jenis kelamin. Reaksi kehilangan dipengaruhi oleh harapan
social tentang peran pria dan wanita. Dalam banyak budaya di
Amerika Serikat dan Kanada, umunya lebih sulit bagi pria dibanding
dengan wanita untuk mengekspresikan dukacita secara terbuka. Pria
dan wanita melekatkan makna berbeda terhadap bagian tubuh, fungsi,
hubungan interpersonal dan benda.
Pendidikan dan status ekonomi. Kehilangan adalah universal, dialami
oleh setiap orang apapun status ekonominya. Umumnya kekurangan
sumber financial, pendidikan atau keterampilan pekerjaan membesar
tuntutan kepada pihak yang mengalami dukacita.

b. Sifat hubungan
Reaksi terhadap kehilangan dipengaruhi oleh kualitas hubungan.
Makna hubungan pada hubungan duka akan mempengaruhi respon
dukacita, apakah kehilangan tersebut akibat kematian, perpisahan atau
bercerai. hubungan yang ditandai dengan ambivalen yang ekstrem
lebih sulit untuk diselesaikan dibandingkan hubungan yang normal.
Kehilangan pasangan dapat menyebabkan pasangannya menjadi
kurang terampil dalam menghadapi tanggung jawab keseluruhan.
Kehilangan pasangan juga menimbulkan kesulitan bagi pasangan yang
ditinggalkan untuk membina hubungan baru atau untuk
mempertahankan hubungan yang sebelumnya sudah terbina atau
dibentuk bersama.

c. Sistem pendukung sosial


Vasibilitas kehilangan seperti kehilangan rumah akibat bencana alam,
sering memunculkan dukungan dari sumber yang tidak diperkirakan.
Vasibilitas kehilangan seperti deformitas wajah dapat menyebabkan

18
kehilangan dukungan dari teman atau keluarga sehingga menambah
proses kehilangan tersebut. Seperti seseorang anggota keluarga yang
dipenjara atau kematian pasangan gay-nya, sering mengalammi kurang
dukungan dari teman atau keluarganya. Kurangnya dukungan biasanya
menyebabkan kesulitan dalam keberhasilan resolusi berduka.
Ketepatan waktu dalam pemberian dukungan sangat penting.
Dukungan harus tersedia ketika klien yang berduka melalui proses
berkabung. Berbagai pengalaman dengan individu yang pernah
berkabung dan pendukung bermanfaat sebagai dukungan yang
dibutuhkan.

d. Keyakinan spiritual dan budaya


Nilai, sikap, keyakinan dan kebiasaan adalah aspek kultural yang
mempengaruhi reaksi terhadap kehilangan, dukacita dan kematian.
Latar belakang budaya dan dinamika keluarga mempengaruhi
pengekspresian berduka. Seseorang mungkin akan menemukan
dukungan, ketenangan dan makna dalam kehilangan melalui
keyakinan-keyakinan spiritual. Bagi sebagian klien kehilangan
menimbulkan pertanyaan tentang makna hidup, nilai pribadi dan
keyakinan. Secara khas hal ini ditunjukan dengan respon “mengapa
saya?”. Konflik internal mengenai keyakinan keagamaan dapat juga
terjadi.

B. Konsep Berduka / Dukacita


1. Pengertian Berduka
Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan
respon emosional yang normal. Definisi lain menyebutkan bahwa berduka,
dalam hal ini dukacita adalah proses kompleks yang normal yang
mencakup respon dan perilaku emosi, fisik, spiritual, social dan intelektual
ketika individu, keluarga dan komunitas menghadapi kehilangan actual,
kehilangan yang diantisipasi atau persepsi kehilangan kedalam kehidupan
pasien sehari-hari (Khozier, 2011).

19
Dukacita adalah proses mengalami reaksi psikologis, sosial, dan fisik
terhadap kehilangan yang dipersepsikan (Rando, 1991).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa berduka
merupakan suatu reaksi psikologis sebagai respon kehilangan sesuatu yang
dimiliki yang berpengaruh terhadap perilaku emosi, fisik, spiritual, social,
maupun intelektual seseorang. Berduka sendiri merupakan respon yang
normal yang dihadapi setiap orang dalam menghadapi kehilangan yang
dirasakan.

2. Tipe Respons Berduka


Reaksi berduka normal, dapat berlangsung singkat atau telah diantisipasi
sebelumnya. Berduka singkat berlangsung secara singkat tetapi dirasakan
secara aktual. Berduka adaptive (antisipasi) dialami sebelum peristiwa
terjadi. Berduka akibat kehilangan hak terjadi jika seseorang tidak mampu
mengakui kehilangan ke orang lain. Terkait dengan kehilangan yang tidak
dapat diterima secara sosial yang tidak boleh dibicarakan, seperti bunuh
diri aborsi ataau memberikan anak untuk di adopsi oleh orang lain.
Berduka tidak sehat yaitu berduka patologis atau berduka
maladaptive/disfungsional mungkin tidak selesai atau terhalang. Banyak
faktor yang dapat menyebabkan berduka disfungsional, termasuk
kehilangan traumatic dimasa lalu dan keadaan kehilangan saat ini.
Pengaruh lain nya bisa berupa hambatan keluarga atau budaya terhadap
ekspresi berduka secara emosional. Berduka yang tidak selesai
berlangsung lama dan parah. Tanda-tanda yang sama di ekspresikan
seperti halnya berduka normal, tetapi orang yang berkabung juga dapat
mengalami kesulitan dalam mengekspresikan rasa berduka, dapat
menyangkal kehilangan atau dapat berduka melebihi waktu yang telah
diperkirakan.

3. Faktor Penyebab Berduka


Situasi paling sering ditemui adalah sebagai berikut :

20
a. Patofisiologis, berhubungan dengan kehilangan fungsi atau
kemandirian yang bersifat sekunder akibat kehilangan fungsi
neurologis, kardiovaskuler, sensori, musculoskeletal, digestif,
pernafasan, ginajl dan trauma.
b. Terkait pengobatan, berhubungan dengan kehilangan akibat dialysis
dalam jangka waktu yang lama dan prosedur pembedahan
(mastektomi, kolostomi, histerektomi)
c. Situasional (personal, lingkungan). Berhubungan dengan efek negative
serta peristiwa kehilangan sekunder akibat nyeri kronis, penyakit
terminal, dan kematian. Berhubungan dengan kehilangan gaya hidup
akibat melahirkan, perkawinan, perceraian dan berhubungan dengan
kehilangan normalitas sekunder akibat keadaan cacat, bekas luka dan
penyakit.
d. Maturasional berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti
temperamen, pekerjaan, fungsi dan rumah berhubungan dengan
kehilangan harapan dan impian. Rasa berduka muncul pada setiap
individu dipengaurhi oleh bagaimana cara individu merespon terhadap
terjadinya peristiwa kehilangan.

4. Fase Proses Berduka


Pemahaman Bowly tentang berduka akan menjadi kerangka berpikir
yang dominan dalam bab ini. la mendeskripsikan proses berduka akibat
suatu kehilangan memiliki empat fase :
a. Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan.
b. Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dam
memprotes kehilangan yang tetap ada.
c. Kekacauan kognitif dan keputusan emosional, mendapatkan dirinya
sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari.
d. Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat
mengembalikan hidupnya.

21
Ahli teori yang lain, John Harvey, mendeskripsikan fase berduka
yang sama sebagai berikut :
a. Syok, menangis dengan keras, dan menyangkal.
b. Intrusi pikiran, distraksi, dan meninjau kembali kehilangan secara
obsesif
c. Menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan
secara kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan.

Rodebaught et al. memandang proses duka-cita sebagai suatu proses


melalui empat tahap :
a. Reeling : klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal
b. Merasa (feeling) : Klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa
bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan,kurang konsentrasi,
gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, dan
ketidaknyaman fisik yang umum.
c. Menghadapi (dealing) : klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan
dengan melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita,
membaca, dan bimbingan spiritual.
d. Pemulihan (healing) : klien mengintegrasikan kahilangan sebagi
bagian kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan
tidak berarti bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau di terima.

5. Dimensi Berduka
Schneider mengklasifikasi dimensi proses berduka menjadi lima bagian
yaitu:
a. Respon Kognitif terhadap dukacita
Penderitaan saat berduka dalam beberapa hal merupakan akibat
gangguan keyakinan. Asumsi dan keyakinan dasar tentang makna dan
tujuan hidup terganggu, bahkan mungkin hancur. Berduka sering kali
menyebabkan keyakinan individu tentang dirinya dan dunia berubah,
misalya persepsi individu tentang hal-hal yang baik di dunia, makna
hidup ketika berhubungan dengan keadilan dan makna takdir atau garis

22
kedepan. Perubahan lain dalam pemikiran dan sikap mencakup
meninjau dan menetapkan peringkat niali-nilai yang dimiliki, menjadi
lebih bijaksana, menghilankan ilusi tentang keabadian diri,
memandang dunia secara lebih realistik, dan mengevaluasi kembali
kayakinan agama atau keyakinan spiritual.
Individu yang berduka perlu menemukan makna kehilangan. ia akan
melakukan pengkajian diri dan mempertanyakan cara berpikir yang
diterima. Asumsi lama tentang kehidupan ditantang atau dapat juga
dengan mempertanyakan. Individu menyadari bahwa kehilangan dan
kematian merupakan realita kehidupan yang kita semua harus hadapi
suatu hari.

b. Respon Emosional
Perasaan marah, sedih, dan cemas adalah pengalaman emosional yang
dominan pada kehilangan. Kemarahan dan kebencian dapat
ditunjukkan kepada individu yang meninggal dan praktik kesehatan
yang dilakukan , pada anggota keluarga, dan pemberi perawatan
kesehatan atau institusi.
Respon emosional terlihat pada semau fase proses dukacita menurut
Bowbly. Selama fase mati rasa, respon awal yang umu terhadap kabar
kehilangan ialah perasaan syok, seolah - olah tidak dapat menyadari
realitas kehilangan . Pada fase kedua, kerinduan dna pencarian, realitas
muali muncul dan individu yang berduka memperlihatkan kemarahan,
penderitaan yang besar dan menangis. Dalam keadaan putua asa, tetapi
memiliki keinginan kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu
yang meninggal, mendorong individu yang berduka untuk memeriksa
dan memulihkan dirinya. Suara pengirinya. Suara penglihatan dan
aroma yang terkait dengan individu yang meninggal diinterprestasikan
sebagai tanda - tanda keberadaan orang yang meninggal dan kadang -
kadang menghibur klien dan menimbulkan harapan untuk bertemu
kembali. Selama fase disorganisai dan keputusasaan, individu yang
berduka mulai memahami bahwa kehilangan tetap ada. Pola pemikiran,

23
perasaan dan tindakan yang terkait kehidupan dengan orang yang telah
meninggal perlu diubah. Saat semua harapan kembalinya orang yang
meninggal telah hilang, individu pasti mengalami waktu depresi,
apatis, atau putus asa. Pada fase reorganisasi akhir, individu yang
berduka melai membangun kembali rasa identitas pesonal, arah dan
tujuan hidup, rasa mandiri dna percaya diri diraakan. Dengan mencoba
dan menjalankan peran da fungsi yang baru ditetapkan , individu yang
berduka menadi kuat dan pribadinya. Pada fase ini, prang uang
meninggal masih dirindukan, tetapi memikirkannya tidak lagi
menimbulkan perasan sedih.

c. Respon Spiritual
Ketika kehilangn terjadi, individu mungkin paling terhibur, tertantang
atau hancur dalam dimensi spiritual pengalaman manusia. Individu
yang berduka dapat kecewa dan marah kepada tuhan atau tokoh agama
yang lain. Penderitaan karena ditinggalkan, kehilangan harapan, atau
kehilangan makna merupakan penyebab penderitaan spiritual yang
dalam.
Oleh karena itu, memenuhi kebutuhan spiritual individu yang berduka
merupakan aspek asuhan keperawatan yang sangat penting. Respon
emosional dan spiritual klien saling terkait ketika klien mengalami
penderitaan. Dengan kesadaran akan kemampuan mengkaji
penderitaan klien, perawat dapat meningkatkan rasa sejahtera.
Memberi klien kesempatan untuk menceritakan penderitaannya
membantu transformasi psikospiritual (yang melibatkan baik aspek
pengalaman psikologi maupu spiritual ) yang sering kali berkembang
dalam proses berduka. Dengan menemukan penjelasan dan makna
melalui keyakinan spiritual atau agama, klien dapat mulai
mengidentifikasi aspek positif dan mungkin aspek proses berduka yang
menyenangkan.

d. Respon perilaku

24
Respon perilaku sering kali merupakan respon yang paling mudah
diobservasi. Dengan mengenali perilaku yang umum saat berduka,
perawat dapat memberi bimbingan pendukung untu mengkaji keadaan
emosional dan kognitif klien secara garis besar. Dengan mengamati
individu yang berduka saat melakukan fungsi secara “otomatis” atau
rutin tanpa banyak pemikiran dapat menunjukkan bahwa indiviidu
tersebut berada dalam fase mati rasa proses berduka - realitas
kehilangan belum terjadi. Menangis terisak, menangis tidak terkontrol,
sangat gelisah, dan perilaku mencari adalah tanda kerinduan dan
pencarian figur yang hilang. Individu tersebut bahkan dapat berteriak
memanggil orang yang meninggal dan mencermati ruangan untu
mencari orang yang meninggal.
Iritabilitas dan sikap bermusuhan terhadap orang lain memperlihatkan
perasaan marah dan frustasi dalam proses terdebut. Berupaya mencari
serta menghindari tempat atau aktivitas yang pernah dilakuakn
bersama otang yang telah meninggal, dan menyimpan benda berharag
yang dimiliki atau digunakan bersama orang yang telah meninggal
padahal ingin membuang benda tersebut menggambarkan emosi yang
berfluktuasi dan persepsi tentang harapan untuk bertemu kembali
dengan orang yang meninggal.
Selama fase disorganisasi, tindakan kognitif mendefinisikan kembali
identitas diri individu yang berduka, walaupun sulit, merupakan hal
yang penting dalam menjalani dukacita.Walaupun awalnya bersifat
superfisial, upaya yang dilakukan dalam aktivitas sosial atau kerja
adalah perilaku yang ditujukan untuk mendukung pergeseran
emosional dan kognitif individu tersebut. Penyalahgunaan obat atau
alkohol mengindikasi respon perilaku maladaptif erhadap
keputusaasaan emosional dan spiritual. Uapaya bunuh diri dan
pembunuhan dapat menjadi respon yang ekstrem jika individu yang
berduka tidak dapat menjalani proses berduka. Pada fase reorganisasi,
individu yang berduka berpartisipasi dalam aktivitas dan refleksi yang
berarti secara personal dan memuaskan.

25
e. Respon Fisiologis
Klien dapat mengeluh insomnia, sakit kepala, gangguan nafsu makan,
berat badan turun, tidak bertenaga, palpitasi dan gangguan pencernaan,
serta perubahan sistem imun dan endokrin.

6. Tanda dan Gejala Berduka


Buglass (2010) menyatakan bahwa tanda dan gejala berduka melibatkan
empat jenis reaksi, meliputi :
a. Reaksi perasaan. Misalnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah,
kecemasan, menyalahkan diri sendiri, ketidkaberdayaan, mati rasa,
kerinduan.
b. Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitivitas terhadap suara dan
cahaya, mulit kering, kelemahan.
c. Reaksi kognitif, misalnya ketidakpercayaan, kebingungan, mudah
lupa, tidak sabar, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi,
ketidaktegasan.
d. Reaksi perilaku, misalnya ganguan tidur, penurunan nafsu makan,
penarikan social, mimpi buruk, hiperaktif, menangis.

C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data yang dapat dikumpulkan adalah
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
i. Reaksi emosional yang lambat

26
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat
aktivitas

2. Diagnosa keperawatan: Berduka disfungsional


Diagnosa yang biasa muncul untuk kasus – kasus kehilangan dan berduka
adalah :
a. Berduka berhubungan dengan kehilangan aktual atau kehilangan yang
dirasakan
b. Berduka antisipatif berhubungan dengan perpisahan atau kehilangan
c. Berduka disfungsional berhubungan dengan kehilangan orang atau
benda yang dicintai atau memiliki arti besar
3. Intervensi
a. Tujuan (NOC)
1) Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap - tahap
proses berduka yang normal dan perilaku yang berhubungan
dengan tiap - tiap tahap.
2) Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses
berduka dan mengekspresikan perasaan - perasaannya yang
berhubungan dengan konsep kehilangan secara jujur.
3) Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi - emosi dan
perilaku - perilaku yang berlebihan yang berhubungan dengan
disfungsi berduka dan mampu melaksanakan aktifitas - aktifitas
hidup sehari-hari secara mandiri.
4) Kemampuan untuk menghadapi atau memaknai arti kehilangan
5) Reaksi terhadap kehilangan
6) Perubahan perilaku yang menerima arti kehilangan
7) Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap - tahap
proses berduka yang normal dan perilaku yang berhubungan
dengan tiap - tiap tahap.
8) Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses
berduka dan mengekspresikan perasaan - perasaannya yang
berhubungan dengan konsep kehilangan secara jujur.

27
9) Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi - emosi dan
perilaku - perilaku yang berlebihan yang berhubungan dengan
disfungsi berduka dan mampu melaksanakan aktifitas - aktifitas
hidup sehari - hari secara mandiri.
10) Kemampuan untuk menghadapi atau memaknai arti kehilangan
11) Reaksi terhadap kehilangan
12) Perubahan perilaku yang menerima arti kehilangan

b. Intervensi (NIC)
1) Tentukan pada tahap berduka mana pasian terfiksasi. Identifikasi
perilaku -perilaku yang berhubungan dengan tahap ini.
2) Mengkaji data dasar yang akurat adalah penting untuk perencanaan
keperawatan yang efektif bagi pasien yang berduka.
3) Kembangkan hubungan saling percaya dengan pasien. Perlihatkan
empati dan perhatian. Jujur dan tepati semua janji
4) Membina dan meningkatkan hubungan saling percaya dengan cara:
a) Mendengarkan pasien bicara
b) Memberi dorongan agar pasien mau mengungkapkan
perasaannya
c) Menjawab pertanyaan pasien secara langsung, menunjukkan
sikap menerima dan empati
d) Rasa percaya merupakan dasar untuk suatu kebutuhan yang
terapeutik.
5) Perlihatkan sikap menerima dan membolehkan pasien untuk
mengekspresikan perasaannya secara terbuka
6) Kaji sikap menerima menunjukkan kepada pasien bahwa anda
yakin bahwa ia merupakan seseorang pribadi yang bermakna. Rasa
percaya meningkat.

28
7) Dorong pasien untuk mengekspresikan rasa marah. Jangan menjadi
defensif jika permulaan ekspresi kemarahan dipindahkan kepada
perawat atau terapis.
8) Bantu pasien untuk mengeksplorasikan perasaan marah sehingga
pasien dapat mengungkapkan secara langsung kepada objek atau
orang atau pribadi yang dimaksud.
Menentukan tahap keberadaan pasien dengan cara:
a) Mengamati perilaku pasien
b) Menggali pikiran dan perasaan pasien yang selalu timbul dalam
dirinya
9) Bantu pasien untuk mengeluarkan kemarahan yang terpendam
dengan berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas motorik kasar ( mis,
joging, bola voli,dll )
Mengenali faktor - faktor yang mungkin menghambat dengan cara:
a) Bersama pasien mendiskusikan hubungan pasien dengan orang
atau objek yang pergi atau hilang
b) Menggali pola hubungan pasien dengan orang yang berarti
10) Ajarkan tentang tahap-tahap berduka yang normal dan perilaku
yang berhubungan dengan setiap tahap.
11) Kaji latihan fisik memberikan suatu metode yang aman dan efektif
untuk mengeluarkan kemarahan yang terpendam
12) Bantu pasien untuk mengerti bahwa perasaan seperti rasa bersalah
dan marah terhadap konsep kehilangan adalah perasaan yang wajar
dan dapat diterima selama proses berduka.
13) Mengkaji pengetahuan tentang perasaan-perasaan yang wajar yang
berhubungan dengan berduka yang normal dapat menolong
mengurangi beberapa perasaan bersalah menyebabkan timbulnya
respon-respon ini.
14) Dorong pasien untuk meninjau hubungan dengan konsep
kehilangan. Dengan dukungan dan sensitivitas, menunjukkan
realita situasi dalam area-area dimana kesalahan presentasi
diekspresikan.

29
15) Kaji pasien bagaimana harus menghentikan persepsi idealisnya dan
mampu menerima baik aspek positif maupun negatif dari konsep
kehilangan sebelum proses berduka selesai seluruhnya.
16) Memberi dukungan terhadap repsons kehilangan pasien dengan
cara:
a) Menjelaskan kepada pasien atau keluarga bahwa sikap
mengingkari, marah, tawar menawar, depresi dan menerima
adalah wajar dalam menghadapi kehilangan
b) Memberi gambaran tentang tata cara mengungkapkan perasaan
yang bisa diterima
c) Menguatkan dukungan keluarga atau orang yang berarti
17) Komunikasikan kepada pasien bahwa menangis merupakan hal
yang dapat diterima. Menggunakan sentuhan merupakan hal yang
terapeutik dan tepat untuk kebanyakan pasien.
18) Meningkatkan rasa kebersamaan antar anggota keluarga dengan
cara:
a) Menguatkan dukungan keluarga atau orang yang berarti
b) Mendorong pasien untuk menggali perasaannya bersama
anggota keluarga lainnya
c) Menjelaskan manfaat hubungan dengan orang lain
d) Mendorong keluarga untuk mengevaluasi perasaan dan sling
mendukung satu sama lain.
19) Bantu pasien dalam memecahkan masalahnya sebagai usaha untuk
menentukan metoda-metoda koping yang lebih adaptif terhadap
pengalaman kehilangan. Berikan umpan balik positif untuk
identifikasi strategi dan membuat keputusan.
20) Mengkaji umpan balik positif meningkatkan harga diri dan
mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.
Mengurangi atau menghilangkan faktor penghambat dengan cara:
a) Bersama pasien mengingat kembali cara mengatasi perasaan
berduka di masa lalu

30
b) Memperkuat dukungan serta kekuatan yang dimiliki pasien dan
keluarga
c) Mengenali dan menghargai sosial budaya, agama serta
kepercayaan yang dianut oleh pasien dan keluarga dalam
mengatasi perasaan kehilangan

4. Intervensi Khusus Per Tahap Respon Kehilangan


a. Tahap Pengingkaran
1) Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
2) Tunjukkan sikap menerima dengan ikhlas dan mendorong pasien
untuk berbagi rasa
3) beri jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang sakit,
pengobatan dan kematian

b. Tahap Marah
1) Izinkan dan mendorong pasien mengungkapkan rasa marah secara
verbal tanpa melawan kemarahan tersebut, dengan cara:
2) Jelaskan kepada keluarga bahwa kemarahan pasien sebenarnya
tidak ditujukan kepada mereka
3) Biarkan pasien menangis
4) Dorong pasien untuk membicarakan kemarahannya

c. Tahap Tawar Menawar


1) Bantu pasien menungkapkan rasa bersalah dan takut dengan cara:
2) Dengarkan ungkapan dengan penuh perhatian
3) Dorong pasien untuk membicarakan rasa takut atau rasa
bersalahnya
4) Bahas bersama pasien mengenai penyebab rasa bersalah atau rasa
takutnya

31
d. Tahap Depresi
1) Bantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan takut dengan
perasaannya
2) Amati perilaku pasien dan bersama dengannya membahas
perasaannya
3) Cegah tindakan bunuh diri atau merusak diri
4) Bantu pasien mengurangi rasa bersalah
a) Hargai perasaan pasien
b) Bantu pasien menemukan dukungan yang positif
c) Beri kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan
perasaannya
d) Bersama pasien membahas pikiran negatif yang selalu timbul

e. Tahap penerimaan
Bantu pasien menerima kehilangan yang tidak bisa dielakkan dengan
cara:
1) Bantu keluarga mengunjungi pasien secara teratur
2) Bantu keluarga berbagi rasa
3) Bahas rencana setelah masa berkabung terlewati
4) Beri informasi akurat tentang kebutuhan pasien dan keluarga

32
BAB III
STUDI KASUS ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

A. Pengkajian
Ny. IR seorang ibu rumah tangga usia 34 tahun dg 5 anak yang baru saja
dtinggal pergi suaminya yang meninggal secara tiba-tiba karena kecelakaan.
Tn RI suami Ny. IR mengalami kecelakaan beberapa saat setelah pergi dari
rumah. Menurut anak Ny.IR, ayahnya pergi dari rumah setelah berdebat
dengan sang ibu. Kakak Ny. IR mengatakan klien sehari-hari dirumah
mengurus anak-anaknya, Ny. IR saat ini tdk bekerja karena beliau resign
setelah kehamilan anak keempat. Ny. IR mengatakan merasa berdosa atas
kematian sang suami dan seandainya saat itu Ny. IR mengalah dan tidak
berdebat dengan suaminya mungkin suaminya tidak akan mengalami
kecelakaan serta tidak meninggalkan dia selama-lamanya. Sang anak
mengatakan bahwa ibunya sering menangis, sering marah dan lebih banyak
diam walaupun berada ditengah keluarga.
1. Data subjektif
a. Klien mengatakan : merasa berdosa atas kematian suaminya dan
seandainya saat itu Ny. IR mengalah dan tidak berdebat dengan
suaminya mungkin suaminya tidak akan mengalami kecelakaan serta
tidak meninggalkan dia selama-lamanya
b. Kk klien mengatakan : Ny. IR sehari-hari dirumah mengurus anak-
anaknya, Ny. IR saat ini tdk bekerja karena beliau resign setelah
kehamilan anak keempat.

33
c. Anak klien mengatakan : ibunya sering menangis, sering marah dan
lebih banyak diam walaupun berada ditengah keluarga.

2. Data objektif
a. Pasien tampak sering menangis dan marah serta sering menyendiri
b. Pasien sensitif dan menanggapi pembicaraan dengan marah dan
membentak

B. Diagnosa Keperawatan
Duka cita : Kehilangan

C. Intervensi
1. Tujuan (NOC) :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
klien dapat melakukan penyesuaian terhadap proses kehilangan dengan
kriteria hasil:
a. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses
berduka dan mengekspresikan perasaan - perasaannya yang
berhubungan dengan konsep kehilangan secara jujur.
b. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi - emosi dan perilaku
- perilaku yang berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi
berduka dan mampu melaksanakan aktifitas - aktifitas hidup sehari-
hari secara mandiri.
c. Kemampuan untuk menghadapi atau memaknai arti kehilangan
d. Reaksi terhadap kehilangan
e. Perubahan perilaku yang menerima arti kehilangan
f. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap - tahap proses
berduka yang normal dan perilaku yang berhubungan debgab tiap -
tiap tahap.

2. Intervensi (NIC)
a. Tahap marah

34
1) Bangun rasa percaya dan hubungan yang dekat dengan klien
2) Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan
3) Izinkan dan mendorong pasien mengungkapkan rasa marah secara
verbal tanpa melawan kemarahan tersebut
4) Jelaskan kepada keluarga bahwa kemarahan pasien sebenarnya tidak
ditujukan kepada mereka
5) Biarkan pasien menangis
6) Dorong pasien untuk membicarakan kemarahannya
7) Bangun rasa percaya dan hubungan yang dekat dengan klien
8) Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan
9) Cegah menyakiti secara fisik jika marah diarahkan pada diri atau
orang lain
10) Berikan pendidikan mengenai metode untuk mengatur pengalamn
emosi yang sangat kuat (misal : latihan asertif, teknik relaksasi dan
distraksi)
11) Bantu pasien mengidentifikasi sumber dari kemarahan

b. Tahap tawar menawar


1) Bantu pasien menungkapkan rasa bersalah dan takut dengan cara:
2) Dengarkan ungkapan dengan penuh perhatian
3) Dorong pasien untuk membicarakan rasa takut atau rasa bersalahnya
4) Bahas bersama pasien mengenai penyebab rasa bersalah atau rasa
takutnya

c. Fasilitasi proses berduka


1) Identifikasi kehilangan
2) Dukung pasien untuk mengekspresikan perasaan mengenai
kehilangan
3) Dengarkan ekspresi berduka
4) Dukung identifikasi adanya perasaan takut yang paling besar
terkait dengan kehilangan

35
5) Dukung pasien untuk mengimplementasikan kebiasaan, budaya,
sosial yang terkait dengan kehilangan
6) Libatkan orang yang penting bagi klien untuk mendiskusikan dan
membuat keputusan dengan tepat
7) Identifikasi sumber dukungan yang ada dikomunitas
8) Kuatkan kemajuan yang dibuat dalam proses berduka

d. Peningkatan peran
1) Bantu pasien untuk mengidentifikasi bermacam peran dalam siklus
kehidupan
2) Bantu pasien untuk mengidentifikasi peran yang biasanya dalam
keluarga
3) Bantu pasien untuk mengidentifikasi periode transisi peran pada
keselurahan rentang peran
4) Bantu pasien untuk mengidentifikasi strategi-strategi positif untuk
memanajemen perubahan peran
5) Ajarkan perilaku-perilaku baru yang diperlukan oleh pasien untuk
dapat memenuhi perannya
6) Fasilitasi untuk dapat merujuk pada interaksi kelompok sebagai
bagian dari proses mempelajari peran baru

D. Implementasi
Melakukan tindakan keperawatan sesuai rencanaka tindakan keperawatan

E. Evaluasi
Ny. IR seorang ibu rumah tangga usia 34 tahun dengan 5 anak sudah mampu
melewati fase masa kehilangan dan berdukanya, Ny IR. merasa lebih baik
setelah dilakukan asuhan keperawatan. Kebiasaan Ny IR menangis dan
marah–marah sudah tidak lagi dilakukan di rumah ataupun dilingkungan
keluarganya, sehingga Ny IR sudah bisa mejalani hidup tanpa seorang suami
dan bisa menjalani hidup yang baik dengan 5 anaknya .

36
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau
seluruhnya.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi
dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara
aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional.
Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau
kesalahan/kekacauan.
Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku
berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan
dukungan dalam bentuk empati.
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu: Aktual atau nyata dan Persepsi.
Terdapat 5 kategori kehilangan, yaitu : Kehilangan seseorang  seseorang yang
dicintai, kehilangan lingkungan yang sangat dikenal, kehilangan objek
eksternal, kehilangan yang ada pada diri sendiri/aspek diri, dan kehilangan
kehidupan/meninggal. Elizabeth Kubler Rose, 1969.h.51, membagi respon

37
berduka dalam lima fase, yaitu : pengikaran, marah, tawar-menawar, depresi
dan penerimaan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, Kelompok merumuskan saran yang dapat
diaplikasikan dalam berbagai kalangan antara lain :

1. Perawat
Diharapkan untuk perawat memahami kehilangan dan dukacita yang
dialami klien, sehingga dapat membantu klien dengan baik dalam
menghadapi proses kehilangan dan berduka. Perawat juga diharapkan
dapat menerapkan asuhan keperawatan dengan baik.

2. Masyarakat
Dengan mengetahui setiap individu akan mengalami kehilangan dan
berduka seperti yang telah dipaparkan penulis, diharapkan masyarakat
dapat mengetahui dampak berduka yang berkepanjangan sehingga
masyarakat dapat mengendalikan rasa kehilangan dan berduka dengan
baik nantinya.

38
DAFTAR PUSTAKA

Abraham H. Maslow, 2010, Motivation and personality. Rajawali, Jakarta.


Carpenitto, Lynda Juall, dkk. 2013. Buku saku Diagnosis Keperawatan Edisi
13. Jakarta : EGC
Dalami, Ermawati, dkk. 2009. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : Trans
Info Media
Fitria, Nita, dkk. 2013. Buku Laporan Pendahuluan Tentang Masalah
Psikososial. Jakarta : Salemba Medika.
Hidayat,A. A. ( 2009). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba
Medika.
Magnis-Suseno,F.(2013). Etika Sosial. Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama.
Nanda l. (2018). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-2020.
Jakarta: EGC
Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawayan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Sue Moorhead, MarionJohnson, Meridean L. Maas, Elizabeth swanson. (2016).
Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th Edition. Singapore : Elsevier.
Sue Moorhead, MarionJohnson, Meridean L. Maas, Elizabeth swanson. (2016).
Nursing Interventions Classification (NIC) 6th Edition.. Singapore : Elsevier.
Videbeck, Sheila L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa : alih bahasa, Renata,
Komalasari. Alfrina, Hany. Jakarta : EGC.
Yosep, Iyus. Sutini, Titin. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung :
Refika Aditama.

39

Anda mungkin juga menyukai