Ditulis Oleh:
Laura Stefanie
111710051
Menyetujui,
Dosen Pembimbing, Penulis,
Mengetahui,
Kepala Program Studi Manajemen Universitas Ma Chung
s s
DAFTAR
Bpk. Sahala ISI SE., MM.
Manalu,
NIP. 20100023
s
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………. ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. iii
Abstract…………………………………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah..……………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah……….………………………………………...………… 3
1.3 Tujuan Penelitian.…..………..……………………………...………………. 3
1.4 Metode Penelitian………………………………….……………..…….……. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 TELAAH PUSTAKA……………………………………………………….. 4
2.1.1 Pengertian ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak)………… 4
2.1.2 Jenis-jenis ESKA………………………………………………….. 5
2.1.3 Pengertian Pariwisata Seks Anak (PSA)………………………...... 5
2.1.4 Faktor-faktor dan Dampak Pariwisata Seks Anak sebagai
Wujud dari ESKA…………………………………………………. 6
2.1.5 Regulasi Hukum Perlindungan Anak terkait Pariwisata Seks
Anak sebagai Wujud dari ESKA di Indonesia…………………….. 6
2.2 ANALISIS-SINTESIS……………………………………………………….. 7
2.2.1 Pariwisata Seks Anak di Indonesia………………………………… 7
2.2.2 Implementasi Hukum Perlindungan Anak terkait Pariwisata Seks
Anak sebagai Wujud dari ESKA di Indonesia…………………….. 11
2.2.3 Solusi Tindakan Mereduksi dan Melawan Industri Pariwisata
Seks Anak yang Dapat Dilakukan Pemerintah maupun
Masyarakat Indonesia……………………………………………. 12
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat-Nya karya tulis ilmiah yang berjudul “Melawan Industri
Pariwisata Seks Anak (PSA) Isebagai Upaya Mewujudkan Sustainabel
Development Goals (SDGs) 2030 di Indonesia” dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Karya tulis ilmiah ini disusun untuk mengikuti seleksi
Ma Chung Ambassador 2020 untuk kategori Academic dan Achievement
Ambassador. Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis mendapat banyak
bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu,
melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:
1. Ibu Erica Adriana, SE., MM., selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing, memberikan banyak masukan, dan dukungan dalam
menyusun karya tulis ilmiah ini.
2. Bpk. Ir. Stefanus Yufra Menahen Taneo, M.S., M.Sc.,
Bpk. Sahala Manalu, SE., MM., dan
Bpk. Felik Sad Windu Wisnu Broto, SS, M.Hum., yang telah memberikan
dukungan dan kepercayaan kepada penulis dalam menyusun karya tulis ilmiah
sebagai bagian dari seleksi Ma Chung Ambasador 2020 kategori Academic dan
Achievemement Ambassador.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna
dan perlu pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan karya tulis
ilmiah ini. Penulis berharap gagasan pada karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
Laura Stefanie
Penulis
iii
s
Fighting the Child Sex Tourism Industry (PSA) as an Effort to Achieve
Sustainable Development Goals (SDGs) in 2030 in Indonesia
Laura Stefanie
Abstract
Indonesia is one of the destinations for Child Sex Tourism (CST), with seven
main locations, namely: Jakarta, Bandung, Lampung, Pontianak, Lombok, Bali and
Batam. But, Commercial Sex Exploitation of Children (CSEC) and its links to
tourism still sound uncommon in Indonesia, even though CSEC has devastating
consequences. Therefore, this scientific paper is written in order to increase
awareness about the existence of Child Sex Tourism in Indonesia to the public and
the government, so that each party can try to take the right steps in fighting the
industry.
The study on scientific papers uses descriptive qualitative-analysis research
methods, and qualitative data types, with secondary data sources, where
researchers obtain data through existing sources and the number of cases that
occur.
The results shows, behind the negative impacts that can arise due to CST,
Indonesia still does not have a single law that explicitly regulates child prostitution.
There are still many court decisions on sexual crime cases that do not fulfill justice
for the victim; such as cornering and blaming victims related to the events they
experienced, victims were even re-victimized because they were considered to have
contributed to the occurrence of the case. Therefore, social welfare and social
defence policies are needed to reduce the CST industry. By reducing the CST
industry, Indonesia also reduces the factors and the impacts of CST, which are
some of the 17 goals of the SDGs that the world community wants to achieve.
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
anak-anak di mana pun menikmati hak-hak dasar mereka bebas dan aman dari
segala bentuk eksploitasi.
Indonesia pun ternyata menjadi salah satu negara tujuan PSA (The Richest,
2014). Lokasi yang digunakan untuk aktifitas PSA mulai dari tempat karaoke, panti
pijat, mall, dan hotel. Ada tujuh lokasi yang menjadi tempat utama PSA di
Indonesia, yaitu: Jakarta, Bandung, Lampung, Pontianak, Lombok, Bali dan Batam
(ECPAT Internasional, 2018). Berdasarkan hasil laporan dari United State
Trafficking in Person tahun 2016 melaporkan bahwa daerah yang menjadi tujuan
PSA adalah Batam dan Bali (US Department of State, 2016). Lebih dari 3.000
wisatawan asal Singapura dan Malaysia berkunjung ke pulau tersebut setiap
minggunya untuk tujuan seks (ECPAT International, 2011).
Tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan anak dalam kondisi dilacurkan
(Gayantri, 2019). Menurut ECPAT Internasional dan ECPAT Indonesia (2008),
anak-anak yang rentan terhadap kejahatan seksual adalah anak-anak miskin, anak-
anak yang bekerja, anak-anak yang tidak bersekolah, tunawisma dan anak- anak
jalanan, anak-anak di zona konflik, anak-anak yang bermigrasi, anak-anak
pengungsi, anak-anak tanpa kewarganegaraan, minoritas, anak-anak pribumi, anak-
anak cacat, dan anak-anak yang tidak mendapat perlindungan dari lingkungannya,
mulai dari yang terkecil seperti keluarga hingga masyarakat secara luas tidak peduli
dengan anak-anak. Meskipun demikian, faktor ekonomi masih menjadi penyebab
utama fenomena ESKA dalam PSA di Indonesia (Rachmawati, 2009). Selain
kemiskinan, US Department of State (2005) juga mengatakan bahwa ESKA
biasanya dipicu oleh lemahnya penegakan hukum, korupsi, internet, dan
kemudahan perjalanan.
Di Indonesia, ESKA dan keterkaitannya dengan pariwisata masih terdengar
asing, padahal ESKA memiliki konsekuensi yang menghancurkan diantaranya,
trauma fisik dan psikologis berkepanjangan, penyakit menular (termasuk
HIV/AIDS), kecanduan narkoba, kehamilan yang tidak diinginkan, malnutrisi,
pengucilan sosial, dan bahkan kematian (US Department of State, 2005).
Oleh karena itu, karya tulis ilmiah ini ditulis demi meningkatkan kesadaran
mengenai keberadaan Pariwisata Seks Anak di Indonesia kepada masyarakat
2
maupun pemerintah, agar masing-masing pihak dapat berupaya mengambil langkah
yang tepat dalam melawan industri tersebut.
Studi pada karya tulis ilmiah ini dilakukan dengan metode penelitian
deskriptif kualitatif-analisis, yaitu menganalisis, mengungkap dan menjelaskan
kepada publik mengenai fenomena Pariwisata Seks Anak sebagai wujud dari ESKA
di Indonesia. Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif, dengan sumber data
sekunder, dimana peneliti mendapatkan data melalui sumber yang sudah ada dan
jumlah kasus yang terjadi.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
2.1.2 Jenis-jenis ESKA
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan
Optional Protokol tentang ESKA menunjukan bahwa ESKA terdiri dari Pornografi
Anak, Perdagangan Anak Untuk Tujuan Eksploitasi Seksual, Perkawinan Anak,
dan Pariwisata Seks Anak.
Salah satu bentuk ESKA yang telah mendapat perhatian besar dari media
dan masyarakat selama 15 tahun terakhir ini ada di lingkungan wisata. PSA
(Pariwisata Seks Anak) terjadi di berbagai tujuan wisata dan bahkan di tempat-
tempat yang sebenarnya tidak memiliki prasarana pariwisata sama sekali (Erwin,
2011).
5
2.1.4 Faktor-faktor dan Dampak Pariwisata Seks Anak sebagai Wujud dari
ESKA
UNICEF Indonesia (2015) menyatakan bahwa, secara umum, kemiskinan
adalah faktor utama kerentanan anak-anak terhadap eksploitasi seksual.
Kemiskinan membuat anak-anak memperoleh akses yang terbatas ke pendidikan
berkualitas, sehingga pada akhirnya mempertimbangkan solusi praktis untuk
memperoleh uang dengan mudah, dan akhirnya mendapatkan dampak negatif dari
lingkungan mereka (ECPAT, 2016). Selain keuntungan finansial, faktor-faktor lain
yang dapat membuat anak-anak rentan terhadap eksploitasi seksual termasuk gaya
hidup, hubungan kencan yang tidak sehat, penipuan dan tekanan teman sebaya
(Prabowo, 2014).
Menurut Stephanie (2006), dampak buruk yang dialami anak yang
diakibatkan oleh eksploitasi seksual, yaitu:
• Dampak fisik; luka fisik, kematian, kehamilan, aborsi yang tidak aman,
angka kematian ibu dan anak yang tinggi, penyakit, dan infeksi menular
seksual dan infeksi HIV/AIDS.
• Dampak emosional; depresi, rasa malu menjadi korban kekerasan, penyakit
stress pasca trauma, hilangnya rasa percaya diri dan harga diri, melukai diri
sendiri serta pemikiran dan tindakan bunuh diri.
• Dampak sosial; pengasingan dan penolakan, oleh keluarga dan masyarakat,
stigma sosial serta dampak jangka panjang seperti hilangnya kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan, pelatihan keterampilan dan lapangan
pekerjaan dan kecilnya kesempatan untuk menikah, penerimaan sosial dan
integrasi.
6
tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara
Indonesia. Berikut regulasi politik hukum perlindungan anak di Indonesia:
2.2 ANALISIS-SINTESIS
2.2.1 Pariwisata Seks Anak di Indonesia
7
menjadi korban Eksploitasi Seksual Komersial di Indonesia pada tahun 2010
tercatat 40.000 – 70.000. Mayoritas dari mereka dipaksa bekerja dalam
perdagangan seks. Praktik-praktik tersebut terutama berlangsung di pusat
prostitusi, tempat hiburan, karaoke, panti pijat, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Di
Semarang, Yogya dan Surabaya, terdapat 3.408 anak korban pelacuran baik di
lokalisasi, jalanan, tempat-tempat hiburan, dan panti pijat (ILO-IPEC, 2010). Di
Jawa Barat jumlah anak yang dilacurkan pada tahun 2010 sebanyak 9000 anak atau
sekitar 30 persen dari total PSK 22.380 orang (Dinas Sosial, 2010).
Berikut ini adalah beberapa bentuk Pariwisata Seks Anak yang terjadi di
Indonesia (ECPAT International, 2016):
a) Perdagangan Anak
Eksploitasi seksual komersial anak-anak di Indonesia menjadi perhatian
serius (ECPAT Indonesia dan Child Fund Indonesia, 2013). Dari hasil
wawancara yang dilakukan ECPAT terhadap 93 anak yang terlibat dalam PSA
di 3 lokasi penelitian yaitu, Kupang, Jakarta Barat dan Semarang, ditemukan
bahwa 39% di antaranya dikomersilkan sebagai penyanyi atau pendamping
wanita di ruang karaoke, dan sebanyak 30% lainnya dipekerjakan sebagai
pekerja seks. Sebagian besar anak-anak yang dikomersilkan di tiga lokasi
penelitian adalah perempuan. 100% korban di Kupang adalah perempuan,
87% korban di Semarang adalah perempuan, sementara 96% korban di Jakarta
Barat adalah perempuan. (ECPAT Indonesia dan Child Fund Indonesia,
2014).
Dalam Penelitian “Scope and Magnitude of Online Sexual Abuse of
Children in Indonesia” yang dilakukan oleh ECPAT Indonesia, ditemukan
bahwa transaksi seksual anak secara online lebih berbahaya daripada yang
dilakukan di jalanan. Kepolisian Daerah Jawa Barat berhasil mengungkap
kasus pelacuran anak secara online dan menangkap seorang mucikari yang
mengkomersilkan anak-anak berusia antara 15 tahun dan 18 melalui domain
www.bogorcantik.blogspot.com. Penelitian ini juga menemukan adanya
sindikat pornografi online yang menjual foto-foto anak telanjang ke forum
pedofilia di Australia.
b) Pariwisata Seks Halal
8
Secara tidak resmi, pariwisata seks halal adalah wisata seks tetapi
karena mengambil bentuk pernikahan sementara yang dianggap sah. Namun,
di bawah hukum Islam, pernikahan sementara atau mut'ah adalah ilegal.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Indonesia, sebagai lembaga tertinggi untuk
mengatur Islam di Indonesia, telah mengeluarkan fatwa atau dekrit bahwa
pernikahan sementara adalah haram atau dilarang. Menurut penelitian “The
Scope and Magnitude of Online Sexual Abuse of Children in Indonesia” pada
tahun 2014, praktek pernikahan sementara antara turis asing dan penduduk
lokal berlanjut di beberapa daerah di Indonesia karena alasan ekonomi, yaitu
mahar yang harus dibayar pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin
perempuan. Pernikahan sementara dilakukan terutama untuk kesenangan
pengantin pria, khusus untuk memenuhi kepuasan seksual mereka (Surahman,
2011).
Penelitian tentang pariwisata seks halal di Puncak, Desa Tugu Selatan,
Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, di bawah Perspektif
Hukum Islam, yang dilakukan oleh Surahman menemukan bahwa pariwisata
seks halal secara eksklusif melibatkan wisatawan pria dari Timur Tengah.
Sejak munculnya tren pada tahun 1992, mereka mengunjungi Cisarua secara
individu atau dalam kelompok, terutama pada bulan Mei, Juni dan Juli.
Sebagai bagian dari kegiatan liburan mereka, mereka menikahi wanita dewasa
maupun anak-anak anak-anak untuk jangka waktu dua hari atau lebih sebelum
kembali ke negara asal mereka di Arab Saudi, Kuwait atau Qatar (Lestari,
2015).
Faktor menikahi turis pria dari Timur Tengah tidak selalu karena
kemiskinan tetapi untuk memicu gaya hidup hedonistik, sering diilhami dan
dimotivasi oleh wanita lain yang telah terlibat dalam praktik tersebut. Faktor
lain seperti kurangnya pemahaman tentang ajaran agama mereka, pendidikan
dan pemahaman tentang dampak pernikahan sementara juga berkontribusi
pada keterlibatan mereka dalam praktik tersebut. Praktek menikahi turis asing
adalah praktik yang umum di Puncak dan dalam banyak kasus orang tua
mereka sendiri yang mendorong mereka untuk menikahi turis asing
(Ariwibowo, 2015).
9
Fenomena pernikahan sementara antara turis asing pria dan wanita
lokal juga lazim di Singkawang, Kalimantan Barat. Dalam Berita Antara,
Maya Satrini, seorang aktivis dari Forum Komunikasi Pekerja Sosial Kota
Singkawang menyatakan bahwa ada lebih dari 100 kasus pernikahan
sementara di Singkawang pada tahun 2007. Gadis-gadis muda di kota ini
menikahi lelaki yang bepergian sementara ke kota untuk sementara waktu;
paling umum dari Taiwan, Cina, Malaysia dan Singapura. Laki-laki itu sering
mendapat bantuan perantara, yang tugasnya membujuk orang tua, terutama
mereka yang berasal dari keluarga miskin di Singkawang, untuk menjual anak
perempuan mereka. Orang tua yang menjual anak perempuan mereka dapat
mengharapkan sekitar Rp5 juta dari pengantin pria sebagai mas kawin menuju
pernikahan sementara. Namun, setelah pernikahan, anak perempuan mereka
sering diabaikan dan kadang-kadang dilecehkan secara fisik. Dalam beberapa
kasus, mereka dipaksa menjadi pekerja seks setelah dibawa oleh suami mereka
ke negara asal (Ariwibowo, 2008).
c) Kopi Pangku
Di Pontianak, Kalimantan Barat, istilah "kopi pangku" digunakan untuk
merujuk pada pariwisata seks anak. Secara khusus merujuk pada anak-anak
antara usia 12 dan 15 tahun yang duduk di pangkuan pria minum kopi di kedai
kopi pinggir jalan yang dibuka mulai jam 10 malam. Selain kopi pangku,
pariwisata seks anak dapat ditemukan di hotel-hotel di Pontianak dan
sekitarnya, dengan transaksi seksual terjadi di dalam hotel atau di dalam mobil
turis (Ariwibowo, 2008).
d) Luruh Duit
Keterlibatan anak-anak, terutama anak perempuan, baik di industri
seks online maupun tradisional, berkaitan erat dengan praktik budaya luruh
duit. Luruh duit adalah praktik budaya yang berbahaya di Indramayu, dimana
anak perempuan itu dianggap sebagai berkah oleh orang tuanya dan dengan
demikian diharapkan membuat kehidupan keluarganya lebih baik secara
ekonomi (Tempo, 2005). Karena tanggung jawab ini, dia akan melakukan apa
saja untuk meningkatkan kehidupan keluarganya, termasuk menjadi pekerja
seks. Meskipun putri mereka menikah dan bercerai berkali-kali, orang tua
10
mereka bangga pada mereka karena ini menunjukkan bahwa putri mereka
cantik dan banyak pria ingin menikahi mereka (Ruth, 2015).
11
2.2.3 Solusi Tindakan Mereduksi dan Melawan Industri Pariwisata Seks
Anak yang Dapat Dilakukan Pemerintah maupun Masyarakat
Indonesia
a. Peran Pemerintah
Kebijakan kriminal tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu
kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan upaya-upaya untuk
kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk
perlindungan masyarakat (social defence policy) (Arief, 2014). Maka dari itu,
berikut adalah beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam hal
mencegah maupun melawan industri Pariwisata Seks Anak:
12
kebijakan/rencana untuk melatih guru- guru dan anak-anak tentang
ESKA dan bekerja dengan lembaga swadaya masyarakat untuk
menjalakan inisiatif tersebut (ECPAT International, 2011)
• Saat ini Indonesia tidak memiliki satu pun Undang-Undang yang secara
tegas mengatur tentang prostitusi anak. Dalam UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pun tidak ada ketentuan khusus yang
mendefinisikan dan mengkriminalisasi pelacuran anak. Kesenjangan ini
harus diatasi dengan mengubah peraturan tersebut. Karena itu, kerangka
hukum di Indonesia harus ditinjau ulang dan dimodifikasi sesuai dengan
ketentuan yang relevan dengan Deklarasi Rio de Janeiro, sebuah
dokumen hasil dari Kongres Dunia III yang menentang ekploitasi
seksual (ECPAT International, 2011).
13
untuk meningkatkan identifikasi proaktif dari anak-anak korban
perdagangan (ECPAT International, 2011).
• Layanan telpon anonim bebas pulsa 24 jam untuk para korban eksploitasi
seksual komersial pada anak harus tersedia di skala nasional dan harus
dilengkapi oleh staf yang memadai untuk merespon kebutuhan spesifik
korban (ECPAT International, 2011).
b. Peran Masyarakat
14
BAB III
KESIMPULAN & SARAN
3.1 Kesimpulan
Faktor-faktor penyebab dan dampak yang dihasilkan oleh Pariwisata
Seks Anak merupakan permasalah dunia yang dibahas dalam Sustainable
Development Goals (SDGs) 2030. Sehingga, PSA merupakan kasus penting dan
perlu mendapatkan perhatian baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Langkah-langkah yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia
dalam mereduksi industri PSA merupakan salah satu bentuk upaya dalam
mewujudkan SDGs 2030 di Indonesia. SDGs merupakan kesepakatan
pembangunan yang diluncurkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
2015 untuk mendorong perubahan-perubahan kearah pembangunan
berkelanjutan, berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk
mendorong pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. SDGs
diberlakukan dengan prinsip-prinsip universal, integrasi dan inklusif
untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan
atau "No-one Left Behind".
3.2 Saran
Pemerintah harus meningkatkan kepedulian terhadap kasus PSA.
Kepedulian masyarakat terhadap PSA merupakan cerminan dari kepedulian
pemerintah. Membuat perundang-undangan yang tepat sasaran dalam menangani
PSA, memberikan perlindungan pada korban, atau mengadakan kampanye publik
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam membantu pemerintah dalam melawan indusri PSA.
15
DAFTAR PUSTAKA
Agustiyanti 2019, Capai 68% dari Target, Kunjungan Turis Asing hingga
September 12 Juta, Kata Data, dilihat 21 Januari 2020,
<https://katadata.co.id/berita/2019/11/01/capai-68-dari-target-kunjungan-turis-
asing-hingga-september-12-juta >
ECPAT International 2008, Memerangi Pariwisata Sex Anak: TANYA & JAWAB,
ECPAT International, Bangkok, Thailand, dilihat 25 Januari 2020
< https://www.ecpat.org/wp-content/uploads/2016/04/cst_faq_bahasa.pdf >
Iryani, Beta & Priyarsono, Dominicus 2013, ‘Eksploitasi terhadap Anak yang
Bekerja di Indonesia’, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, vol. 13, no.
2, hh. 177-195. doi:10.21002/jepi.v13i2.226.
16
Koops, T, Turner, D, Neutze, J & Briken, P 2017, ‘Child sex tourism - Prevalence
of and risk factors for its use in a German community sample’, BMC Public Health,
vol. 17, no. 344, hh. 1-6. doi:10.1186/s12889-017-4270-3.
Mekinc, Janez & Music, Katarina 2015, ‘Sexual Exploitation Of Children In The
Tourism – The Dark Side Of Tourism’, Innovative Issues and Approaches in Social
Sciences, vol. 8, no. 2, hh. 64-85. doi:10.12959/issn.1855-0541.IIASS-2015-no2-
art04.
Teja, M 2016, ‘Kondisi Sosial Ekonomi dan Kekerasan Seksual pada Anak’,
Majalah Info Singkat Kesejahteraan Sosial, vol 8, no. 9, hh. 9-12.
17
Utami, P 2018, ‘Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak dalam Perspektif Hak Atas
Rasa Aman di Nusa Tenggara Barat’, Jurnal HAM, vol. 9, no. 1, hh. 1-17.
doi:http://dx.doi.org/10.30641/ham.2018.9.1-17
18