Anda di halaman 1dari 23

KARYA TULIS ILMIAH

Ma Chung Ambassador 2020

“Melawan Industri Pariwisata Seks Anak (PSA) sebagai Upaya


Mewujudkan Sustainabel Development Goals (SDGs) 2030
di Indonesia”

Ditulis Oleh:
Laura Stefanie
111710051

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PRODI MANAJEMEN
UNIVERSITAS MA CHUNG
MALANG
Januari, 2020
LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Karya Tulis Ilmiah :


“Melawan Industri Pariwisata Seks Anak (PSA) sebagai Upaya Mewujudkan
Sustainabel Development Goals (SDGs) 2030 di Indonesia”
2. Identitas Penulis
Nama : Laura Stefanie
NIM : 111710051
Jurusan : Manajemen, Universitas Ma Chung
3. Dosen Pembimbing
Nama : Ibu Erica Adriana, SE., MM.
NIP : 20190004
NIDN : 0722018505

Malang, 29 Januari 2020

Menyetujui,
Dosen Pembimbing, Penulis,

Ibu Erica Adriana, SE., MM. Laura Stefanie


NIDN. 0722018505 NIM. 111710051

Mengetahui,
Kepala Program Studi Manajemen Universitas Ma Chung
s s

DAFTAR
Bpk. Sahala ISI SE., MM.
Manalu,
NIP. 20100023

s
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………. ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. iii
Abstract…………………………………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah..……………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah……….………………………………………...………… 3
1.3 Tujuan Penelitian.…..………..……………………………...………………. 3
1.4 Metode Penelitian………………………………….……………..…….……. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 TELAAH PUSTAKA……………………………………………………….. 4
2.1.1 Pengertian ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak)………… 4
2.1.2 Jenis-jenis ESKA………………………………………………….. 5
2.1.3 Pengertian Pariwisata Seks Anak (PSA)………………………...... 5
2.1.4 Faktor-faktor dan Dampak Pariwisata Seks Anak sebagai
Wujud dari ESKA…………………………………………………. 6
2.1.5 Regulasi Hukum Perlindungan Anak terkait Pariwisata Seks
Anak sebagai Wujud dari ESKA di Indonesia…………………….. 6
2.2 ANALISIS-SINTESIS……………………………………………………….. 7
2.2.1 Pariwisata Seks Anak di Indonesia………………………………… 7
2.2.2 Implementasi Hukum Perlindungan Anak terkait Pariwisata Seks
Anak sebagai Wujud dari ESKA di Indonesia…………………….. 11
2.2.3 Solusi Tindakan Mereduksi dan Melawan Industri Pariwisata
Seks Anak yang Dapat Dilakukan Pemerintah maupun
Masyarakat Indonesia……………………………………………. 12

BAB III KESIMPULAN & SARAN


3.1 Kesimpulan….……………………………………………………… 15
3.2 Saran……..….……………………………………………………… 15
DAFTAR PUSTAKA

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat-Nya karya tulis ilmiah yang berjudul “Melawan Industri
Pariwisata Seks Anak (PSA) Isebagai Upaya Mewujudkan Sustainabel
Development Goals (SDGs) 2030 di Indonesia” dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Karya tulis ilmiah ini disusun untuk mengikuti seleksi
Ma Chung Ambassador 2020 untuk kategori Academic dan Achievement
Ambassador. Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis mendapat banyak
bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu,
melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:

1. Ibu Erica Adriana, SE., MM., selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing, memberikan banyak masukan, dan dukungan dalam
menyusun karya tulis ilmiah ini.
2. Bpk. Ir. Stefanus Yufra Menahen Taneo, M.S., M.Sc.,
Bpk. Sahala Manalu, SE., MM., dan
Bpk. Felik Sad Windu Wisnu Broto, SS, M.Hum., yang telah memberikan
dukungan dan kepercayaan kepada penulis dalam menyusun karya tulis ilmiah
sebagai bagian dari seleksi Ma Chung Ambasador 2020 kategori Academic dan
Achievemement Ambassador.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna
dan perlu pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan karya tulis
ilmiah ini. Penulis berharap gagasan pada karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Malang, 29 Januari 2020

Laura Stefanie
Penulis

iii

s
Fighting the Child Sex Tourism Industry (PSA) as an Effort to Achieve
Sustainable Development Goals (SDGs) in 2030 in Indonesia

Laura Stefanie

Abstract

Indonesia is one of the destinations for Child Sex Tourism (CST), with seven
main locations, namely: Jakarta, Bandung, Lampung, Pontianak, Lombok, Bali and
Batam. But, Commercial Sex Exploitation of Children (CSEC) and its links to
tourism still sound uncommon in Indonesia, even though CSEC has devastating
consequences. Therefore, this scientific paper is written in order to increase
awareness about the existence of Child Sex Tourism in Indonesia to the public and
the government, so that each party can try to take the right steps in fighting the
industry.
The study on scientific papers uses descriptive qualitative-analysis research
methods, and qualitative data types, with secondary data sources, where
researchers obtain data through existing sources and the number of cases that
occur.
The results shows, behind the negative impacts that can arise due to CST,
Indonesia still does not have a single law that explicitly regulates child prostitution.
There are still many court decisions on sexual crime cases that do not fulfill justice
for the victim; such as cornering and blaming victims related to the events they
experienced, victims were even re-victimized because they were considered to have
contributed to the occurrence of the case. Therefore, social welfare and social
defence policies are needed to reduce the CST industry. By reducing the CST
industry, Indonesia also reduces the factors and the impacts of CST, which are
some of the 17 goals of the SDGs that the world community wants to achieve.

Keywords: Child Sex Tourism, Commercial Sex Exploitation of Children, SDGs.

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dalam 70 tahun terakhir, industri pariwisata telah mengalami peningkatan
pertumbuhan jumlah perjalanan. Menurut data yang dirilis oleh World Tourism
Organization (UNWTO), World Tourism Barometer menyatakan bahwa jumlah
perjalanan wisata ke luar negeri meningkat hingga 4,6% pada paruh pertama tahun
2014. Dari bulan Januari hingga Juni 2014, ada 517 juta kunjungan wisatawan ke
negara lain. Jumlah ini lebih tinggi sebesar 22 juta dibandingkan dengan jumlah
kunjungan wisatawan asing pada periode yang sama tahun 2013. Berdasarkan
wilayahnya, pertumbuhan tertinggi kunjungan wisatawan asing adalah di Asia-
Pasifik dan Amerika (6%), diikuti oleh kunjungan ke Eropa dan Afrika (5%).
Sedangkan, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara sepanjang tahun 2019 hingga September 2019 jumlahnya mencapai
12,27 juta kunjungan, naik 2,63% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Pertumbuhan industri pariwisata banyak memberikan dampak positif bagi
individu maupun komunitas, tetapi juga dapat meningkatkan risiko terhadap
populasi yang rentan, termasuk wanita dan anak-anak (IAMAT, 2017).
Pertumbuhan yang cepat dalam industri pariwisata ini bertepatan dengan
pertumbuhan yang signifikan dalam industri Pariwisata Seks Anak (PSA) yang
merupakan suatu wujud dari Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) yang
terjadi di seluruh dunia (Global Study Sexual Exploitation of Children in Travel
and Tourism, 2016).
Perkiraan dari ECPAT International (End Child Prostitution, Child
Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes) menunjukkan
bahwa setiap tahun sekitar 250.000 orang melakukan perjalanan internasional untuk
melakukan seks dengan anak-anak dan remaja yang terlibat dalam industri PSA.
Diperkirakan industri ini menghasilkan pendapatan lebih dari $20 miliar. ECPAT
adalah sebuah jaringan global organisasi dan individu yang bekerja bersama untuk
mengakhiri pelacuran anak, pornografi anak, dan perdagangan anak untuk tujuan
seksual. ECPAT berupaya mendorong komunitas dunia untuk memastikan bahwa

1
anak-anak di mana pun menikmati hak-hak dasar mereka bebas dan aman dari
segala bentuk eksploitasi.
Indonesia pun ternyata menjadi salah satu negara tujuan PSA (The Richest,
2014). Lokasi yang digunakan untuk aktifitas PSA mulai dari tempat karaoke, panti
pijat, mall, dan hotel. Ada tujuh lokasi yang menjadi tempat utama PSA di
Indonesia, yaitu: Jakarta, Bandung, Lampung, Pontianak, Lombok, Bali dan Batam
(ECPAT Internasional, 2018). Berdasarkan hasil laporan dari United State
Trafficking in Person tahun 2016 melaporkan bahwa daerah yang menjadi tujuan
PSA adalah Batam dan Bali (US Department of State, 2016). Lebih dari 3.000
wisatawan asal Singapura dan Malaysia berkunjung ke pulau tersebut setiap
minggunya untuk tujuan seks (ECPAT International, 2011).
Tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan anak dalam kondisi dilacurkan
(Gayantri, 2019). Menurut ECPAT Internasional dan ECPAT Indonesia (2008),
anak-anak yang rentan terhadap kejahatan seksual adalah anak-anak miskin, anak-
anak yang bekerja, anak-anak yang tidak bersekolah, tunawisma dan anak- anak
jalanan, anak-anak di zona konflik, anak-anak yang bermigrasi, anak-anak
pengungsi, anak-anak tanpa kewarganegaraan, minoritas, anak-anak pribumi, anak-
anak cacat, dan anak-anak yang tidak mendapat perlindungan dari lingkungannya,
mulai dari yang terkecil seperti keluarga hingga masyarakat secara luas tidak peduli
dengan anak-anak. Meskipun demikian, faktor ekonomi masih menjadi penyebab
utama fenomena ESKA dalam PSA di Indonesia (Rachmawati, 2009). Selain
kemiskinan, US Department of State (2005) juga mengatakan bahwa ESKA
biasanya dipicu oleh lemahnya penegakan hukum, korupsi, internet, dan
kemudahan perjalanan.
Di Indonesia, ESKA dan keterkaitannya dengan pariwisata masih terdengar
asing, padahal ESKA memiliki konsekuensi yang menghancurkan diantaranya,
trauma fisik dan psikologis berkepanjangan, penyakit menular (termasuk
HIV/AIDS), kecanduan narkoba, kehamilan yang tidak diinginkan, malnutrisi,
pengucilan sosial, dan bahkan kematian (US Department of State, 2005).
Oleh karena itu, karya tulis ilmiah ini ditulis demi meningkatkan kesadaran
mengenai keberadaan Pariwisata Seks Anak di Indonesia kepada masyarakat

2
maupun pemerintah, agar masing-masing pihak dapat berupaya mengambil langkah
yang tepat dalam melawan industri tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
identifikasi masalah sebagai berikut:
a) Apa itu Pariwisata Seks Anak (PSA) dan keterkaitannya dengan Eksploitasi
Seksual Komersial Anak (ESKA)?
b) Apa saja faktor penyebab dan dampak dari Pariwisata Seks Anak?
c) Bagaimana kondisi industri Pariwisata Seks Anak di Indonesia?
d) Bagaimana regulasi hukum Perlindungan Anak dan implementasinya
terkait Pariwisata Seks Anak sebagai wujud dari ESKA di Indonesia?
e) Bagaimana solusi tindakan dalam mereduksi dan melawan Industri
Pariwisata Seks Anak yang dapat dilakukan pemerintah maupun
masyarakat?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penyusunan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memaparkan
fenomena PSA dan keterkaitannya dengan ESKA di Indonesia; menganalisis faktor
dan dampak dari PSA; menganalisis implementasi hukum Indonesia terhadap PSA,
dan mengidentifikasikan solusi yang tepat dalam mereduksi industri PSA.

1.4 Metode Penelitian

Studi pada karya tulis ilmiah ini dilakukan dengan metode penelitian
deskriptif kualitatif-analisis, yaitu menganalisis, mengungkap dan menjelaskan
kepada publik mengenai fenomena Pariwisata Seks Anak sebagai wujud dari ESKA
di Indonesia. Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif, dengan sumber data
sekunder, dimana peneliti mendapatkan data melalui sumber yang sudah ada dan
jumlah kasus yang terjadi.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 TELAAH PUSTAKA


2.1.1 Pengertian ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak)

Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Pengganti Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; pada pasal 1
mengatakan: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. ESKA adalah singkatan dari
Eksploitasi Seksual Komersial Anak. ECPAT Internasional (2001) mendefinisikan
ESKA sebagai sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran
tersebut berupa kekerasan seksual oleh orang dewasa dengan pemberian imbalan
kepada anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Sederhananya anak
diperlakukan sebagai objek seksual dan komersial. Ini adalah perwujudan dari kerja
paksa dan perbudakan modern terhadap anak. Sebab tak jarang anak- anak dipaksa,
mengalami kekerasan fisik dan trauma (Erwin, 2011).

Kepres Nomor 87/2002 mendefinisikan ESKA, sebagai berikut:


“Kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang
tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya.
Selanjutnya ditegaskan bahwa Eksploitasi Seksual Komersial Anak adalah sebuah
proses dimana anak diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek
komersial, dan merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak
serta mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa atau perbudakan modern.”

Menurut pemantauan dari ECPAT, Indonesia termasuk sebagai salah satu


negara di Asia Tenggara yang rentan terhadap terjadinya tindakan kejahatan seksual
terhadap anak. Sepanjang tahun 2017, ECPAT Indonesia menyatakan bahwa ada
404 korban dari 537 kasus ESKA yang terdiri dari 71 % perempuan dan 29 % laki-
laki. Sebanyak 87% dari pelakunya adalah orang dewasa, 3% dari kalangan anak-
anak, 3 % lainnya dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa dalam satu waktu,
sedangkan 3 % sisanya tidak dapat diindentifikasi (Rachdana, 2017).

4
2.1.2 Jenis-jenis ESKA
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan
Optional Protokol tentang ESKA menunjukan bahwa ESKA terdiri dari Pornografi
Anak, Perdagangan Anak Untuk Tujuan Eksploitasi Seksual, Perkawinan Anak,
dan Pariwisata Seks Anak.
Salah satu bentuk ESKA yang telah mendapat perhatian besar dari media
dan masyarakat selama 15 tahun terakhir ini ada di lingkungan wisata. PSA
(Pariwisata Seks Anak) terjadi di berbagai tujuan wisata dan bahkan di tempat-
tempat yang sebenarnya tidak memiliki prasarana pariwisata sama sekali (Erwin,
2011).

2.1.3 Pengertian Pariwisata Seks Anak (PSA)


Menurut US Department of State (2005), Child Sex Tourism (CST) atau
Pariwisa Seks Anak (PSA) melibatkan orang-orang yang bepergian dari negara
mereka sendiri ke negara lain dan terlibat dalam aksi seks komersial dengan anak-
anak. PSA adalah serangan memalukan pada martabat anak-anak dan bentuk
kekerasan terhadap anak. Pelaku bukan hanya wisatawan asing, namun juga
melibatkan wisatawan domestik (ECPAT Internasional dan ECPAT Indonesia,
2008).
Pelaku dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: 1) Wisatawan Seks Anak
Situasional, yakni wisatawan yang sebenarnya tidak memiliki kecenderungan untuk
melakukan hubungan seks dengan anak-anak, namun karena rasa penasaran
sehingga dia ingin melakukan seks dengan anak-anak. Sebagian besar pelaku
wisata seks anak adalah wisatawan situasional ini. 2) Wisatawan Seks Anak
Preferensial, yakni jenis wisatawan yang sebenarnya masih memiliki hasrat untuk
berhubungan seks dengan orang dewasa, namun wisatawan ini lebih condong
memilih anak-anak secara aktif, biasanya target mereka adalah anak-anak yang
mengalami pubertas atau remaja, berbeda dengan kaum pedofil. 3) Pedofil, yakni
wisatawan yang memiliki kecenderungan untuk menikmati seks dengan anak-anak
yang belum mengalami pubertas (ECPAT Internasional dan ECPAT Indonesia,
2008).

5
2.1.4 Faktor-faktor dan Dampak Pariwisata Seks Anak sebagai Wujud dari
ESKA
UNICEF Indonesia (2015) menyatakan bahwa, secara umum, kemiskinan
adalah faktor utama kerentanan anak-anak terhadap eksploitasi seksual.
Kemiskinan membuat anak-anak memperoleh akses yang terbatas ke pendidikan
berkualitas, sehingga pada akhirnya mempertimbangkan solusi praktis untuk
memperoleh uang dengan mudah, dan akhirnya mendapatkan dampak negatif dari
lingkungan mereka (ECPAT, 2016). Selain keuntungan finansial, faktor-faktor lain
yang dapat membuat anak-anak rentan terhadap eksploitasi seksual termasuk gaya
hidup, hubungan kencan yang tidak sehat, penipuan dan tekanan teman sebaya
(Prabowo, 2014).
Menurut Stephanie (2006), dampak buruk yang dialami anak yang
diakibatkan oleh eksploitasi seksual, yaitu:
• Dampak fisik; luka fisik, kematian, kehamilan, aborsi yang tidak aman,
angka kematian ibu dan anak yang tinggi, penyakit, dan infeksi menular
seksual dan infeksi HIV/AIDS.
• Dampak emosional; depresi, rasa malu menjadi korban kekerasan, penyakit
stress pasca trauma, hilangnya rasa percaya diri dan harga diri, melukai diri
sendiri serta pemikiran dan tindakan bunuh diri.
• Dampak sosial; pengasingan dan penolakan, oleh keluarga dan masyarakat,
stigma sosial serta dampak jangka panjang seperti hilangnya kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan, pelatihan keterampilan dan lapangan
pekerjaan dan kecilnya kesempatan untuk menikah, penerimaan sosial dan
integrasi.

2.1.5 Regulasi Hukum Perlindungan Anak terkait Pariwisata Seks Anak


sebagai Wujud dari ESKA di Indonesia

Instrumen mengatur perlindungan hak-hak anak terdapat dalam konvensi


PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention On The Rights Of The Child) tahun 1989,
telah diratifikasi oleh lebih 191 negara, termasuk Indonesia sebagai anggota PBB
melalui keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Dengan demikian, konvensi PBB

6
tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara
Indonesia. Berikut regulasi politik hukum perlindungan anak di Indonesia:

a) Konvensi Hak Anak, dinyatakan berlaku di Indonesia sejak dinyatakan


berlaku di Indonesia sejak tanggal 5 Oktober 1990.
b) Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pengadilan Anak: menangani
kasus-kasus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
c) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang di
dalamnya juga mengatur tentang hak asasi anak melalui beberapa pasal.
d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
sebagai undang- undang payung (umbrella’s law) yang secara sui generis
mengatur hak-hak anak.
e) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak; untuk melindungi anak dari segala bentuk
kekerasan fisik, sosial dan penelantaran, membahayakan, emosional,
seksual, tindakan eksploitasi: seksual, dan diskriminasi karena latar
belakang ekonomi, politis, agama, sosial budaya, dan orang tuanya sehingga
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal, memberikan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
agar terwujud anak indonesia yang berkualitas, berakhlak, dan sejahtera.
f) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

2.2 ANALISIS-SINTESIS
2.2.1 Pariwisata Seks Anak di Indonesia

Menurut artikel yang dipublikasikan di situs web lifestyle The Richest


(2014) mengatakan, ada 10 negara tujuan utama untuk pariwisata seks di dunia.
Empat negara diantaranya merupakan negara-negara yang terletak di negara Asia
Tenggara yaitu, Thailand, Indonesia, Filipina, dan Kamboja. Indonesia menempati
urutan keempat dalam hal pariwisata seks. International Labor Organization
melaporkan bahwa 2 hingga 14% dari PDB di negara-negara seperti Indonesia,
Malaysia, Filipina dan Thailand pada tahun 1998 berasal dari pariwisata seks
(Klain, 1999). Pernyataan tersebut didukung lagi dengan data mengenai anak yang

7
menjadi korban Eksploitasi Seksual Komersial di Indonesia pada tahun 2010
tercatat 40.000 – 70.000. Mayoritas dari mereka dipaksa bekerja dalam
perdagangan seks. Praktik-praktik tersebut terutama berlangsung di pusat
prostitusi, tempat hiburan, karaoke, panti pijat, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Di
Semarang, Yogya dan Surabaya, terdapat 3.408 anak korban pelacuran baik di
lokalisasi, jalanan, tempat-tempat hiburan, dan panti pijat (ILO-IPEC, 2010). Di
Jawa Barat jumlah anak yang dilacurkan pada tahun 2010 sebanyak 9000 anak atau
sekitar 30 persen dari total PSK 22.380 orang (Dinas Sosial, 2010).

Berikut ini adalah beberapa bentuk Pariwisata Seks Anak yang terjadi di
Indonesia (ECPAT International, 2016):
a) Perdagangan Anak
Eksploitasi seksual komersial anak-anak di Indonesia menjadi perhatian
serius (ECPAT Indonesia dan Child Fund Indonesia, 2013). Dari hasil
wawancara yang dilakukan ECPAT terhadap 93 anak yang terlibat dalam PSA
di 3 lokasi penelitian yaitu, Kupang, Jakarta Barat dan Semarang, ditemukan
bahwa 39% di antaranya dikomersilkan sebagai penyanyi atau pendamping
wanita di ruang karaoke, dan sebanyak 30% lainnya dipekerjakan sebagai
pekerja seks. Sebagian besar anak-anak yang dikomersilkan di tiga lokasi
penelitian adalah perempuan. 100% korban di Kupang adalah perempuan,
87% korban di Semarang adalah perempuan, sementara 96% korban di Jakarta
Barat adalah perempuan. (ECPAT Indonesia dan Child Fund Indonesia,
2014).
Dalam Penelitian “Scope and Magnitude of Online Sexual Abuse of
Children in Indonesia” yang dilakukan oleh ECPAT Indonesia, ditemukan
bahwa transaksi seksual anak secara online lebih berbahaya daripada yang
dilakukan di jalanan. Kepolisian Daerah Jawa Barat berhasil mengungkap
kasus pelacuran anak secara online dan menangkap seorang mucikari yang
mengkomersilkan anak-anak berusia antara 15 tahun dan 18 melalui domain
www.bogorcantik.blogspot.com. Penelitian ini juga menemukan adanya
sindikat pornografi online yang menjual foto-foto anak telanjang ke forum
pedofilia di Australia.
b) Pariwisata Seks Halal

8
Secara tidak resmi, pariwisata seks halal adalah wisata seks tetapi
karena mengambil bentuk pernikahan sementara yang dianggap sah. Namun,
di bawah hukum Islam, pernikahan sementara atau mut'ah adalah ilegal.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Indonesia, sebagai lembaga tertinggi untuk
mengatur Islam di Indonesia, telah mengeluarkan fatwa atau dekrit bahwa
pernikahan sementara adalah haram atau dilarang. Menurut penelitian “The
Scope and Magnitude of Online Sexual Abuse of Children in Indonesia” pada
tahun 2014, praktek pernikahan sementara antara turis asing dan penduduk
lokal berlanjut di beberapa daerah di Indonesia karena alasan ekonomi, yaitu
mahar yang harus dibayar pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin
perempuan. Pernikahan sementara dilakukan terutama untuk kesenangan
pengantin pria, khusus untuk memenuhi kepuasan seksual mereka (Surahman,
2011).
Penelitian tentang pariwisata seks halal di Puncak, Desa Tugu Selatan,
Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, di bawah Perspektif
Hukum Islam, yang dilakukan oleh Surahman menemukan bahwa pariwisata
seks halal secara eksklusif melibatkan wisatawan pria dari Timur Tengah.
Sejak munculnya tren pada tahun 1992, mereka mengunjungi Cisarua secara
individu atau dalam kelompok, terutama pada bulan Mei, Juni dan Juli.
Sebagai bagian dari kegiatan liburan mereka, mereka menikahi wanita dewasa
maupun anak-anak anak-anak untuk jangka waktu dua hari atau lebih sebelum
kembali ke negara asal mereka di Arab Saudi, Kuwait atau Qatar (Lestari,
2015).
Faktor menikahi turis pria dari Timur Tengah tidak selalu karena
kemiskinan tetapi untuk memicu gaya hidup hedonistik, sering diilhami dan
dimotivasi oleh wanita lain yang telah terlibat dalam praktik tersebut. Faktor
lain seperti kurangnya pemahaman tentang ajaran agama mereka, pendidikan
dan pemahaman tentang dampak pernikahan sementara juga berkontribusi
pada keterlibatan mereka dalam praktik tersebut. Praktek menikahi turis asing
adalah praktik yang umum di Puncak dan dalam banyak kasus orang tua
mereka sendiri yang mendorong mereka untuk menikahi turis asing
(Ariwibowo, 2015).

9
Fenomena pernikahan sementara antara turis asing pria dan wanita
lokal juga lazim di Singkawang, Kalimantan Barat. Dalam Berita Antara,
Maya Satrini, seorang aktivis dari Forum Komunikasi Pekerja Sosial Kota
Singkawang menyatakan bahwa ada lebih dari 100 kasus pernikahan
sementara di Singkawang pada tahun 2007. Gadis-gadis muda di kota ini
menikahi lelaki yang bepergian sementara ke kota untuk sementara waktu;
paling umum dari Taiwan, Cina, Malaysia dan Singapura. Laki-laki itu sering
mendapat bantuan perantara, yang tugasnya membujuk orang tua, terutama
mereka yang berasal dari keluarga miskin di Singkawang, untuk menjual anak
perempuan mereka. Orang tua yang menjual anak perempuan mereka dapat
mengharapkan sekitar Rp5 juta dari pengantin pria sebagai mas kawin menuju
pernikahan sementara. Namun, setelah pernikahan, anak perempuan mereka
sering diabaikan dan kadang-kadang dilecehkan secara fisik. Dalam beberapa
kasus, mereka dipaksa menjadi pekerja seks setelah dibawa oleh suami mereka
ke negara asal (Ariwibowo, 2008).
c) Kopi Pangku
Di Pontianak, Kalimantan Barat, istilah "kopi pangku" digunakan untuk
merujuk pada pariwisata seks anak. Secara khusus merujuk pada anak-anak
antara usia 12 dan 15 tahun yang duduk di pangkuan pria minum kopi di kedai
kopi pinggir jalan yang dibuka mulai jam 10 malam. Selain kopi pangku,
pariwisata seks anak dapat ditemukan di hotel-hotel di Pontianak dan
sekitarnya, dengan transaksi seksual terjadi di dalam hotel atau di dalam mobil
turis (Ariwibowo, 2008).
d) Luruh Duit
Keterlibatan anak-anak, terutama anak perempuan, baik di industri
seks online maupun tradisional, berkaitan erat dengan praktik budaya luruh
duit. Luruh duit adalah praktik budaya yang berbahaya di Indramayu, dimana
anak perempuan itu dianggap sebagai berkah oleh orang tuanya dan dengan
demikian diharapkan membuat kehidupan keluarganya lebih baik secara
ekonomi (Tempo, 2005). Karena tanggung jawab ini, dia akan melakukan apa
saja untuk meningkatkan kehidupan keluarganya, termasuk menjadi pekerja
seks. Meskipun putri mereka menikah dan bercerai berkali-kali, orang tua

10
mereka bangga pada mereka karena ini menunjukkan bahwa putri mereka
cantik dan banyak pria ingin menikahi mereka (Ruth, 2015).

2.2.2 Implementasi Hukum Perlindungan Anak terkait Pariwisata Seks Anak


sebagai Wujud dari ESKA di Indonesia

Catatan ECPAT Indonesia (2016), menunjukan bahwa dalam penanganan


kasus-kasus prostitusi anak pada proses hukum, penegak hukum lebih cenderung
untuk menggunakan Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Pengganti
Undang-undang Nomor 23 Tahun 20002 tentang Perlindungan Anak; yang
kemudian dihubungkan/berhubungan dengan Undang-undang nomor 21 Tahun
2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Persoalan
ini tidak terlepas dari karena belum adanya Undang-Undang khusus yang
memberikan perlindungan bagi anak yang menjadi korban prostitusi.

Pakar Kebijakan Publik UGM, Dr. Agus Heruanto Hadna (2014)


menyebutkan bahwa hukum maupun kebijakan di Indonesia seharusnya diperkuat
untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan, eksploitasi, bahkan penelantaran
terhadap anak. Namun kebijakan ini belum sepenuhnya dilakukan oleh
pemerintahan. Yang ada, sistem hukum maupun kebijakan di Indonesia belum bisa
memberikan perlindungan terhadap anak dari berbagai tindak kekerasan dan
eksploitasi.

Beberapa kasus yang ditangani telah menempuh proses peradilan yang


cukup panjang. Berdasarkan historis, putusan pengadilan pada kasus-kasus
kejahatan seksual masih banyak yang tidak memenuhi keadilan bagi korban; seperti
memojokan dan menyalahkan korban terkait peristiwa yang mereka alami, korban
bahkan di-viktimisasi ulang karena dianggap memberikan kontribusi pada
terjadinya kasus tersebut. Belum lagi, prosedur konfrontir antara korban dan pelaku
yang sangat membebani psikis korban, dan akhirnya banyak putusan pengadilan
yang tidak mengedepankan kepentingan bagi korban, khususnya berkaitan dengan
hak-hak korban mulai dari hak untuk mendapatkan pemulihan, rehabilitasi dan
restitusi (ECPAT Indonesia, 2016).

11
2.2.3 Solusi Tindakan Mereduksi dan Melawan Industri Pariwisata Seks
Anak yang Dapat Dilakukan Pemerintah maupun Masyarakat
Indonesia

a. Peran Pemerintah

Kebijakan kriminal tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu
kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan upaya-upaya untuk
kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk
perlindungan masyarakat (social defence policy) (Arief, 2014). Maka dari itu,
berikut adalah beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam hal
mencegah maupun melawan industri Pariwisata Seks Anak:

1. Meminimalisir faktor penyebab terlibatnya anak dalam pariwisata seks


anak. Menurut UNICEF Indonesia (2015), kemiskinan adalah faktor utama
kerentanan anak-anak terhadap eksploitasi seksual. Maka dari itu, salah satu
langkah utama yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah
mengentaskan angka kemiskinan. Indonesia dapat mengadopsi 10 langkah
World Bank untuk mengentas kemiskinan; seperti peningkatan fasilitas
jalan dan listrik di pedesaan, perbaikan tingkat kesehatan melalui fasilitas
sanitasi yang lebih baik, penghapusan larangan impor beras, pembatasan
pajak dan retribusi daerah yang merugikan usaha lokal dan penduduk
miskin, pemberian hak penggunaan tanah bagi penduduk miskin,
membangun lembaga-lembaga pembiayaan mikro yang memberi manfaat
pada penduduk miskin, perbaikan atas kualitas pendidikan dan
penyediaan pendidikan transisi untuk sekolah menengah, menyediakan
lebih banyak dana untuk daerah-daerah miskin, dan merancang
perlindungan sosial yang lebih tepat sasaran.

• Dalam bidang pendidikan, selain pendidikan memberikan ilmu


akademik, upaya pencegahan PSA dapat dilakukan dengan memperkuat
pelaksanaan inisiatif pencegahan dan kolaborasi dengan berbagai
pemangku kepentingan, misalnya menciptakan sebuah

12
kebijakan/rencana untuk melatih guru- guru dan anak-anak tentang
ESKA dan bekerja dengan lembaga swadaya masyarakat untuk
menjalakan inisiatif tersebut (ECPAT International, 2011)

2. Pencegahan dan Pelatihan, seperti mendorong industri pariwisata/travel


agent untuk menandatangani Kode Etik untuk Perlindungan Anak dari
Eksploitasi Seksual dalam Perjalanan dan Pariwisata untuk perusahaan
perjalanan dan pariwisata, memberikan panduan tentang perlindungan
anak-anak dari eksploitasi seksual; mendanai dan meluncurkan kampanye
mengenai PSA untuk meningkatkan kesadaran publik; memastikan bahwa
petugas perbatasan dan bandara melaporkan pihak-pihak yang dicurigai.
3. Memperkuat Langkah-Langkah Hukum dan Penuntutan, seperti; membuat
konsep, mengeluarkan dan / atau menegakkan hukum ekstrateritorial yang
mengkriminalkan PSA; meningkatkan hukuman bagi pelanggar; bekerja
sama dengan pemerintah asing dalam menanggulangi kasus PSA; dan
menuntut kejahatan sebisa mungkin.

• Saat ini Indonesia tidak memiliki satu pun Undang-Undang yang secara
tegas mengatur tentang prostitusi anak. Dalam UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pun tidak ada ketentuan khusus yang
mendefinisikan dan mengkriminalisasi pelacuran anak. Kesenjangan ini
harus diatasi dengan mengubah peraturan tersebut. Karena itu, kerangka
hukum di Indonesia harus ditinjau ulang dan dimodifikasi sesuai dengan
ketentuan yang relevan dengan Deklarasi Rio de Janeiro, sebuah
dokumen hasil dari Kongres Dunia III yang menentang ekploitasi
seksual (ECPAT International, 2011).

• Penegak hukum harus menerima pelatihan tambahan tentang undang-


undang dan prosedur perlindungan anak untuk meningkatkan kapasitas
dalam penuntutan pelaku seks pada anak. Mereka harus menerima
pelatihan khusus dalam kaitannya dengan pendekatan sensitif anak

13
untuk meningkatkan identifikasi proaktif dari anak-anak korban
perdagangan (ECPAT International, 2011).

4. Menolong Korban, dengan cara: memberikan perlindungan, konseling,


medis, dan bantuan hukum bagi para korban; memberikan bantuan
reintegrasi; dan mendukung upaya Lembaga Swadaya Masyarakat yang
bekerja dengan korban anak-anak.

• Layanan telpon anonim bebas pulsa 24 jam untuk para korban eksploitasi
seksual komersial pada anak harus tersedia di skala nasional dan harus
dilengkapi oleh staf yang memadai untuk merespon kebutuhan spesifik
korban (ECPAT International, 2011).

b. Peran Masyarakat

Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 45B ayat 1 yang berbunyi


pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan orangtua wajib melindungi
anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang anak,
begitu pun dalam pasal 2 dalam menjalankan kewajibannya sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan orangtua
harus melakukan aktivitas yang melindungi anak. Partisipasi masyarakat
merupakan alat pembangunan masyarakat, yang berfungsi sebagai penggerak
perubahan sosial yang paling efektif. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam
menjaga, mengawasi, dan melaporkan ketidakwajaran orang atau sekelompok
orang yang meresahkan atau melakukan kegiatan menyimpang (anak-anak
dieksploitasi secara seksual di tempat tujuan pariwisata) kepada pihak terdekat
yang bertanggung jawab dalam lingkungannya.

14
BAB III
KESIMPULAN & SARAN

3.1 Kesimpulan
Faktor-faktor penyebab dan dampak yang dihasilkan oleh Pariwisata
Seks Anak merupakan permasalah dunia yang dibahas dalam Sustainable
Development Goals (SDGs) 2030. Sehingga, PSA merupakan kasus penting dan
perlu mendapatkan perhatian baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Langkah-langkah yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia
dalam mereduksi industri PSA merupakan salah satu bentuk upaya dalam
mewujudkan SDGs 2030 di Indonesia. SDGs merupakan kesepakatan
pembangunan yang diluncurkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
2015 untuk mendorong perubahan-perubahan kearah pembangunan
berkelanjutan, berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk
mendorong pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. SDGs
diberlakukan dengan prinsip-prinsip universal, integrasi dan inklusif
untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan
atau "No-one Left Behind".

Menekan angka kemiskinan serta meningkatkan kualitas pendidikan


merupakan langkah besar yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam
meminimalisir keterlibatan anak dalam PSA. Dengan mereduksi industri PSA,
Indonesia juga menurunkan faktor dan dampak PSA yang merupakan beberapa
dari 17 tujuan SDGs yang ingin dicapai masyarakat dunia.

3.2 Saran
Pemerintah harus meningkatkan kepedulian terhadap kasus PSA.
Kepedulian masyarakat terhadap PSA merupakan cerminan dari kepedulian
pemerintah. Membuat perundang-undangan yang tepat sasaran dalam menangani
PSA, memberikan perlindungan pada korban, atau mengadakan kampanye publik
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam membantu pemerintah dalam melawan indusri PSA.

15
DAFTAR PUSTAKA

Agustiyanti 2019, Capai 68% dari Target, Kunjungan Turis Asing hingga
September 12 Juta, Kata Data, dilihat 21 Januari 2020,
<https://katadata.co.id/berita/2019/11/01/capai-68-dari-target-kunjungan-turis-
asing-hingga-september-12-juta >

Asih, Puspa, S, Rachim, Hadiyanto, A & Mulyana, N 2015, ‘Upaya Penanganan


Pekerja Seksual Anak’, PROSIDING KS: RISET & PKM, vol. 2, no. 1, hh. 1-46
doi: https://doi.org/10.24198/jppm.v2i1.13257

Carolin, L, Lindsay, A & Victor, W 2015, ‘Sex Trafficking in the Tourism


Industry’, Journal of Tourism & Hospitality, vol. 4, no. 4, hh. 1-6.
doi:10.4172/2167-0269.1000166

ECPAT International 2011, Global Monitoring Status of Action Against


Commercial Sexual Exploitation of Children Indonesia, 2nd Edition, ECPAT
International, Bangkok, Thailand, dilihat 22 Januari 2020
<https://www.ecpat.org/wp-content/uploads/2016/04/a4a_v2_eap_indonesia.pdf >

ECPAT International 2008, Memerangi Pariwisata Sex Anak: TANYA & JAWAB,
ECPAT International, Bangkok, Thailand, dilihat 25 Januari 2020
< https://www.ecpat.org/wp-content/uploads/2016/04/cst_faq_bahasa.pdf >

Eddyono, SW & Singereta, E 2016, Penanganan Kasus Eksploitasi Seksual


Komersial Anak (ESKA) di Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR), Jakarta Selatan, dilihat 24 Januari 2020 < http://icjr.or.id/data/wp-
content/uploads/2017/03/Penanganan-Kasus-Eska-di-Indonesia.pdf >

IAMAT 2017, Implications of Sexual Tourism, IAMAT, dilihat 29 Januari 2020,


< https://www.iamat.org/blog/implications-of-sexual-tourism/ >

Iryani, Beta & Priyarsono, Dominicus 2013, ‘Eksploitasi terhadap Anak yang
Bekerja di Indonesia’, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, vol. 13, no.
2, hh. 177-195. doi:10.21002/jepi.v13i2.226.

16
Koops, T, Turner, D, Neutze, J & Briken, P 2017, ‘Child sex tourism - Prevalence
of and risk factors for its use in a German community sample’, BMC Public Health,
vol. 17, no. 344, hh. 1-6. doi:10.1186/s12889-017-4270-3.

Maryani, D 2017, ‘Politik Hukum Perlindungan Anak di Indonesia’, Jurnal Hukum


Sehasen, vol. 1, no. 2, hh. 1-19.

Mekinc, Janez & Music, Katarina 2015, ‘Sexual Exploitation Of Children In The
Tourism – The Dark Side Of Tourism’, Innovative Issues and Approaches in Social
Sciences, vol. 8, no. 2, hh. 64-85. doi:10.12959/issn.1855-0541.IIASS-2015-no2-
art04.

Piri, Megalia T 2013, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Tindakan Eksploitasi Anak


(Kajian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002)1’, Lex Administratum, vol. 1, no.
2, hh. 25-41.

Rizky, M, Fitriani, R, Sudibyo, M, Husnasari, F & Maulana, F 2019, ‘Perlindungan


Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Komersial Melalui Media
Sosial’, Media Iuris, vol. 2, no. 2, hh. 197-215. doi:10.20473/mi.v2i2.13193.

Subarkah, A 2018, ‘Peran ECPAT dalam Menangani Child Sex Tourism di


Indonesia (Studi Kasus: Bali)’, TRANSBORDERS: International Relations
Journal, vol. 2, no. 1, hh. 67-82. doi:10.23969/transborders.v2i1.1148

Teja, M 2016, ‘Kondisi Sosial Ekonomi dan Kekerasan Seksual pada Anak’,
Majalah Info Singkat Kesejahteraan Sosial, vol 8, no. 9, hh. 9-12.

The World Bank, viewed 27 January 2020, <


https://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/2800
16-1106130305439/617331-1110769011447/810296-
1110769073153/reducingpoverty.pdf >

17
Utami, P 2018, ‘Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak dalam Perspektif Hak Atas
Rasa Aman di Nusa Tenggara Barat’, Jurnal HAM, vol. 9, no. 1, hh. 1-17.
doi:http://dx.doi.org/10.30641/ham.2018.9.1-17

Yudaningsih, Lilik P 2013, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban


Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA)’, Jurnal Ilmu Hukum Jambi, vol. 4, no.
1, hh. 63-80.

18

Anda mungkin juga menyukai