OLEH
EHDA SAFITRI 186070400111007
DIAN MAYASARI 186070400111011
A.A SANTI DEWI 186070400111016
ANGGIE DINIAYUNINGRUM 186070400111018
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur panjatkan atas kehadirat Allah SWT karna atas berkat rahmat dan
Tenggara Barat.
Dalam penyusunan tugas ini masih ada kekurangan yang masih membutuhkan
kritikan dan saran yang membangun guna untuk penyusunan tugas selanjutnya.
Penyusun
i
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul.................................................................................................. i
ii
1
BAB I
PENDUHULUAN
1.2 Tujuan
Adapun tujuannya yaitu :
1.2.1 Untuk mengetahui kondisi pendidikan yang berkualitas di daerah Nusa
Tenggara Barat
1.2.2 Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi disparitas gender dalam
pendidikan di NTB
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 SDGs 4
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 4 bertujuan untuk memastikan agar
semua orang mendapatkan akses kepada pendidikan berkualitas dan kesempatan
belajar sepanjang hayat. Tujuan ini berfokus pada perolehan keterampilan dasar
dan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order skill) di seluruh tingkat
pendidikan dan perkembangan; akses yang lebih besar dan adil kepada pendidikan
berkualitas di seluruh tingkatan, serta pendidikan dan pelatihan teknis dan vokasi;
dan juga pengetahuan, keterampilan dan nilai yang diperlukan untuk dapat
berfungsi dengan baik dan berkontribusi kepada masyarakat (Bappenas dan
Unicef, 2017).
5
besar sebagai sebuah keluarga. Pernikahan dini juga biasanya disebabkan oleh
hal-hal:
a. Pendidikan yang rendah
Pendidikann yang rendah adalah salah satu penyebab banyaknya terjadi
pernikahan dini. Umumnya kurang menyadari bahaya yang timbul akibat
pernikahan dini. Banyak remaja putus sekolah atau hanya tamat sekolah dasar,
kemudian menikah karena tidak punya kegiatan.
b. Peraturan budaya
Peraturan budaya bisa jadi merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya
pernikahan dini. Usia layak menikah menurut aturan budaya seringkali
dikaitkan dengan datangnya haid pertama bagi wanita. Dengan demikian,
banyak remaja yang sebenarnya belum layak menikah, terpaksa menikah
karena desakan budaya.
c. “Kecelakaan”
Tidak sedikit pernikahan dini di sebabkan “kecelakaan” yang tidak disengaja
akibat pergaulan yang tidak terkontrol. Dampaknya mereka harus
mempertanggungjawabkan perbuatan dengan menikah secara dini. Untuk
menutupi aib keluarga, tidak ada jalan lain kecuali menikahkan mereka secara
dini. Pernikahan model ini biasanya tidak akan bertahan lama karena
landasannya tidak kuat.
d. Keluarga cerai (broken home)
Banyak anak-anak korban perceraian terpaksa nikah secara dini karena
berbagai alasan, misalnya tekanan ekonomi, untuk meringankan beban orang
tua tunggal, membantu keluarga, mendapatkan pekerjaan, meningkatkan taraf
hidup, dan sebagainya.
e. Daya tarik fisik
Faktor lain yang sering mendorong terjadinya pernikahan dini adalah daya tarik
fisik. Banyak remaja yang terjerumus ke dalam pernikahan karena daya tarik
fisik. Karena daya tarik fisik sangat terbatas, pernikahan biasannya tidak
berusia panjang.
16
4. Individu.
Akibat yang dapat ditimbulkan perkawinan usia muda pada individu
adalah sebagai berikut :
a) Terhambatnya perkembangan potensi pribadi
b) Terhambatnya kemungkinan melanjutkan pendidikan
c) Tidak sempurnanya fungsi sebagai ibu dan istri
d) Timbulnya perasaan kurang aman, malu, atau frustasi
e) Terganggunya status kesehatan atau bahkan kematian karena perkawinan usia
muda berhubungan erat dengan tingginya angka penyulit kehamilan, penyulit
persalinan, penyulit masa nifas, dan gangguan kesehatan janin, bayi, atau anak
yang dimiliki.
BAB III
STUDI KASUS
19
Sumber:
https://www.kompasiana.com/samsungj1/595747227a7c8a3e4c058292/faktor-
putus-sekolah-di-lombok-ntb-selain-faktor-ekonomi
20
BAB IV
PEMBAHASAN
pernikahan dini. Hal ini sesuai dengan artikel di BAB III, menunjukkan bahwa
salah satu penyebab disparitas gender dalam Pendidikan di NTB adalah
pernikahan dini. Berdasarkan data laporan dari Bappenas dan UNICEF (2017),
menunjukan NTB menempati posisi kedua setelah papua untuk angka disparitas
gender dalam pendidikan. Hal ini sesuai dengan kasus yang didapat oleh penulis.
Dari artikel yang didapat penulis menyatakan bahwa faktor – faktor yang
menyebabkan putus sekolah terutama bagi anak perempuan di Lombok, NTB
adalah faktor ekonomi, faktor budaya, faktor lingkungan dan faktor orang tua.
Berdasarkan artikel studi kasus pada BAB III, di Lombok terdapat suatu
kebudayaan yaitu menikah di usia muda (merarik kodek) dan angka merarik
kodek juga sangat tinggi karena hal ini sudah menjadi kebiasaan dan rutinitas yang
di lakukan oleh masyarakat di Lombok NTB. Anak-anak di Lombok banyak yang
menikah pada usia yang masih sangat muda, belum tamat atau sesudah tamat
SMP anak perempuan di Lombok sudah merarik sehingga salah satu faktor yang
menyebabkan putus sekolah di Lombok. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Ropida (2016) bahwa faktor budaya yang menyebabkan putus sekolah bagi anak
perempuan adalah pernikahan dini (merarik kodek). Faktor lain yang
menyebabkan pernikahan dini menurut Ropida (2016) yaitu untuk mengurangi
beban ekonomi keluarga, diculik untuk dijadikan pengantin, takut dibilang
Dedare Tuaq (Perawan Tua) dan betian bejulu (hamil di luar nikah).
Anak perempuan yang telah menikah cenderung memiliki tingkat
pendidikan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan perkawinan dan pendidikan
dianggap bertentangan ketika anak perempuan yang menikah menghadapi
keterbatasan mobilitas, kehamilan dan tanggung jawab terhadap perawatan anak
(BPS, 2010). Menurut salah satu laporan, 85 persen anak perempuan di Indonesia
mengakhiri pendidikan mereka setelah mereka menikah, namun keputusan untuk
menikah dan mengakhiri pendidikan juga dapat diakibatkan kurangnya
kesempatan kerja (BPS dan Unicef, 2015).
Anak perempuan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah lebih tidak
siap untuk memasuki masa dewasa dan memberikan kontribusi, baik terhadap
keluarga mereka maupun masyarakat. Mereka memiliki lebih sedikit suara dalam
22
yang akan datang, keamanan, aktivitas dan kemampuan anak perempuan, serta
status dan peran mereka baik di dalam rumah maupun di masyarakat. Perkawinan
usia anak pada dasarnya melanggar hak anak perempuan atas kesetaraan dan
menghambat kemampuan anak perempuan untuk hidup setara dalam masyarakat
(UNICEF, 2014).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Basariah et (2014) di Lombok
Timur, ada beberapa alasan perempuan memiliki pendidikan sekolah yang rendah
disebabkan oleh dua faktor, yaitu: 1) faktor internal berupa tidak adanya kemauan
dari diri perempuan memperjuangkan haknya untuk memiliki pendidikan yang
layak, dan 2) faktor eksternal berupa adanya anggapan miring masyarakat
terhadap perempuan yang berusia SMA tetapi belum menikah sebagai perawan
tua. Adanya anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa usia perempuan SMA
yang belum menikah dianggap perawan tua menyebabkan mereka putus sekolah.
Selain itu juga, masyarakat melihat anak perempuan itu cenderung cepat menikah
dan putus sekolah. Ada juga yang tidak mengijinkan anaknya untuk melanjutkan
sekolahnya, karena lokasi sekolah yang cukup jauh dari rumah. Nilai-nilai
patriarki yang dianut oleh masyarakat juga mempengaruhi pola pikir masyarakat
tentang pendidikan untuk perempuan yaitu perempuan walaupun memiliki
pendidikan sekolah yang tinggi, pada akhirnya akan di dapur dan akan mengurus
rumah tangganya (Basariah et al, 2014).
Pendidikan sebagai salah satu sektor pembangunan turut menerapkan
pengaruh utama gender ditingkat daerah. Kementrian Pendidikan Nasional
membuat komitmen guna mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender yang
mengacu pada komitemen internasional tentang Education For All (EVA) yang
tertuang didalam kesepakatan, yaitu :
1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak
usia dini terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak khususnya anak
perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk dalam
etnik minoritas mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang
bebas dan wajib dengan kualitas baik
24
3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa
terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajarn dan
kecakapan hidup (lifeskill) yang sesuai.
4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa
menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan dan akses yang adil
pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa
5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah
menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan
menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses
penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang
baik
6. Memperbaiki semua akses kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya
sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua
terutama dalam keaksaraan angka dan kecakapan hidup yang penting.
Upaya pencapaian SDGs di Provinsi NTB sangat kompleks dan memerlukan
pendekatan pembangunan yang komprehensif dan terintegrasi namun beberapa
fokus area perlu menjadi prioritas tinggi. Pembangunan SDM menempati prioritas
tinggi karena masih rendahnya pendidikan dan kapasitas SDM di Provinsi NTB
dengan mengurangi secara signifikan tingkat dropout dijenjang pendidikan dasar
dan menengah serta mencapai wajib belajar 12 tahun secara bertahap. Pendidikan
sampai dengan minimal tamat jenjang SMA akan mampu meningkatkan kapasitas
dan skill dari angkatan kerja sehingga sangat mempengaruhi daerah dalam
meningkatkan perekonomiannya. Meningkatkan kualitas pendidikan (termasuk
softskill, prilaku dari anak didik). Tidak kalah penting dari aksesibilitas karena
akan sangat membentuk SDM dalam hal etos kerja, prilaku individu dalam
keluarga dan masyarakat.
Disamping itu beberapa program pemerintah NTB untuk mendukung
peningkatan SDM sejak dini antara lain generasi emas NTB 2025 yang tugasnya
mengawal calon ibu agar mendapat pendampingan untuk menjamin sehingga
mampu melahirkan bayi-bayi yang sehat. Hingga menerapkan pendidikan anak
usia dini efektif dan berkualitas. Program lainnya juga yakni program
25
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Disparitas gender dalam Pendidikan di NTB terbanyak terjadi pada
perempuan kelompok usia 16-18 tahun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
di antaranya faktor, ekonomi, faktor budaya, faktor lingkungan dan faktor orang
tua. Hal yang sering memicu pernikahan dini yaitu adanya suatu kebudayaan
menikah di usia muda atau merarik kodek. Anak perempuan yang telah menikah
diusia muda cenderung memiliki tingkat Pendidikan yang lebih rendah. Akibat
dari tingkat pedidikan perempuan yang lebih rendah yaitu ketidaksiapan
menghadapi pernikahan dan kurang mampu memperoleh penghasilan. Selain
factor pernikahan dini terdapat juga faktor lain yang menyebabkan Pendidikan
sekolah yang rendah pada perempuan yaitu faktor internal berupa tidak adanya
kemauan dari diri perempuan memperjuangkan haknya untuk memiliki
Pendidikan yang layak, dan faktor internal berupa adanya anggapan miring dari
masyarakat terhadap perempuan yang berusia SMA, tetapi belum menikah
sebagai perawan tua. Ada juga yang tidak mengijinkan kesekolah karena
lokasinya yang jauh dari rumah. Nilai nilai patriarki juga mempengaruhi pola
piker masyarakat tentang Pendidikan untuk perempuan yaitu perempuan
walaupun memiliki Pendidikan sekolah yang tinggi pada akhirnya akan didapur
dan akan mengurus rumah tangganya.
5.2 Saran
Beberapa saran dapat diajukan oleh penulis berdasarkan pembahasan dan
kesimpulan penelitian ini, antara lain bagi masyarakat dan para orang tua
memberikan kesempatan pada perempuan untuk memperoleh pendidikan yang
layak sesuai keinginannya agar mereka dapat mandiri dan mulai meninggalkan
persepsi jika anak perempuan yang berusia SMA, tetapi belum menikah adalah
perawan tua. Mulai meninggalkan budaya merarik kodek (pernikahan dini), dan
mulai menyesuaikan umur pernikahan sesuai dengan UU yang telah berlaku.
27
DAFTAR PUSTAKA