Anda di halaman 1dari 31

SDG’S 4 (PENDIDIKAN BERKUALITAS )

OLEH
EHDA SAFITRI 186070400111007
DIAN MAYASARI 186070400111011
A.A SANTI DEWI 186070400111016
ANGGIE DINIAYUNINGRUM 186070400111018

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018

i
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur panjatkan atas kehadirat Allah SWT karna atas berkat rahmat dan

hidayahNya sehingga dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Pendidikan

Berkualitas” Tulisan ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi

tentang Diparitas Pendidikan Antara Laki-Laki Dan Perempuan Di Propinsi Nusa

Tenggara Barat.

Dalam penyusunan tugas ini masih ada kekurangan yang masih membutuhkan

kritikan dan saran yang membangun guna untuk penyusunan tugas selanjutnya.

Demikian tulisan ini, agar dapat dipergunakan sebagaiman mestinya.

Malang, September 2018

Penyusun

i
iii

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul.................................................................................................. i

Kata Pengantar ................................................................................................. ii

Daftar Isi........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1

1.2 Tujuan .................................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN TEORI ............................................................................ 4

BAB III KASUS .............................................................................................. 18

BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 20

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 25

5.1 Simpulan .............................................................................................. 25

5.2 Saran .................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 27

ii
1

BAB I
PENDUHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan tidak hanya berdampak positif mengurangi kesenjangan,
namun juga berdampak negative berupa eksploitasi sumber daya alam dan
degradasi lingkungan (Sutanto, 2017). Konsep pembangunan berkelanjutan
dianggap sebagai jawaban untuk mengatasi dampak negative pembangunan.
Konsep ini sudah ada sejak tahun 80-an sebagai respon terhadap tantangan
ekonomi dan sosial, dengan memberikan perhatian terhadap lingkungan dan
konservasi sumber daya alam (UNESCO, 2011). Pendidikan dapat mempercepat
pembangunan berkelanjutan, karena melalui cara ini persepsi, perilaku dan sikap
akan berubah (DESD, 2012).
Di dunia Internasional, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada
peringkat ke-64 dari 120 negara diseluruh dunia berdasarkan laporan tahunan
UNESCO Education For All Global Monitoring Report 2012. Sedangkan
berdasarkan Indeks Perkembangan Pendidikan untuk Semua (Education for All
Development Index, EDI) Indonesia berada pada peringkat ke-57 dari 115 negara
pada tahun 2015. Dalam laporan terbaru program pembangunan PBB tahun 2015,
Indonesia menempati posisi 110 dari 187 negara dalam Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) dengan angka 0,684. Dengan angka itu Indonesia masih tertinggal
dari dua Negara tetangga ASEAN yaitu Malaysia (peringkat 62) danSingapura
(peringkat 11) (Sutanto, 2017).
Dalam kehidupan masyarakat, pendidikan merupakan salah satu pilar
penting dalam meningkatkan kualitas manusia, bahkan kinerja pendidikan yaitu
rata-rata lama sekolah dan harapan rata-rata lama sekolah digunakan sebagai
variable dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bersama-sama
dengan variable kesehatan dan ekonomi. Semakin tinggi tingkat pendidikan
penduduk dari suatu masyarakat, maka diharapkan akan semakin baik juga
kualitas sumber daya manusianya. Pendidikan dapat memberikan nilai-nilai
kognitif, afektif dan psikomotorik kepada setiap individu disamping juga dapat
2

digunakan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai yang berguna dalam


kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu pendidikan
bagi setiap individu baik laki-laki maupun perempuan sangatlah penting
(Sudarwati, 2016).
Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah masih perlu
ditingkatkan. Ini tercermin dari masih banyaknya masalah pendidikan yang makin
rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar yang kurang profesional,
biayapendidikan yang mahal, sertadistribusi guru yang belum merata. Dampak
dari rendahnya kualitas pendidikan akan mengakibatkan keterpurukan Negara ini.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-
pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh.
Artinya pemerintah pusat maupun daerah bekerja sama untuk melakukan
perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia (Sutanto, 2017).
Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi yang masih
memiliki permasalahan dalam berbagai aspek pembangunan, seperti kemiskinan,
kepadatan penduduk, perubahan iklim, termasuk pendidikan (Sutanto, 2017).
Badan Pusat Statistik NTB (2013) menunjukkan bahwa Provinsi NTB masih
memiliki 16,32% penduduk yang buta huruf dan hanya memenuhi 7,19% tahun
dari wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah.
Data disparitas gender dalam pendidikan yang terjadi di NTB apabila
memperhatikan kondisi angka partipasi sekolah (APS) menurut jenis kelamin,
dapat dilihat bahwa kondisi APS di masing-masing kelompok umur untuk
penduduk perempuan lebih tinggi bila dibandingkan dengan APS laki-laki yaitu di
kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun, sedangkan di kelompok 16-18 tahun
partisipasi sekolah perempuan lebih rendah disbanding laki-laki. Hal ini
menunjukkan bahwa perempuan di NTB memiliki kecenderungan untuk tidak
bersekolah lebih tinggi daripada laki-laki di usia menjelang dewasa (Sudarwati,
2016). Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai SDGs 4 yaitu
tentang disparitas gender dalam pendidikan.
3

1.2 Tujuan
Adapun tujuannya yaitu :
1.2.1 Untuk mengetahui kondisi pendidikan yang berkualitas di daerah Nusa
Tenggara Barat
1.2.2 Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi disparitas gender dalam
pendidikan di NTB
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sustainable Development Goals (SDGs)


Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals
(SDGs) yang dinyatakan di dalam Resolusi PBB 70/1 yang berjudul
‘Mentransformasi dunia kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan’
(Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development),
merupakan rencana aksi global untuk melindungi dan membangun bumi dan
seluruh manusia di dalamnya bersamaan dengan pembangunan kesejahteraan dan
perdamaian bagi semua pada tahun 2030 (Bappenas dan Unicef, 2017).

2.2 SDGs 4
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 4 bertujuan untuk memastikan agar
semua orang mendapatkan akses kepada pendidikan berkualitas dan kesempatan
belajar sepanjang hayat. Tujuan ini berfokus pada perolehan keterampilan dasar
dan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order skill) di seluruh tingkat
pendidikan dan perkembangan; akses yang lebih besar dan adil kepada pendidikan
berkualitas di seluruh tingkatan, serta pendidikan dan pelatihan teknis dan vokasi;
dan juga pengetahuan, keterampilan dan nilai yang diperlukan untuk dapat
berfungsi dengan baik dan berkontribusi kepada masyarakat (Bappenas dan
Unicef, 2017).
5

Target Global SDGs 4:


Menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.
Tabel 1. Target SDGs No. 4
Target Sasaran Nasional Rpjmn 2015-2019 Pelaksana
4.1 Pada tahun 2030, menjamin bahwa semua anak 1.1 Meningkatnya persentase SD/MI berakreditasi Kementerian Koordinator Bidang
perempuan dan laki-laki menyelesaikan minimal B pada tahun 2019 menjadi 84,2% Pembangunan Manusia dan
pendidikan dasar dan menengah tanpa (2015:68,7%). Kebudayaan; Kementerian
dipungut biaya, setara, dan berkualitas, yang 1.2 Meningkatnya persentase SMP/MTs Perencanaan Pembangunan
mengarah pada capaian pembelajaran yang berakreditasi minimal B pada tahun 2019 Nasional/Bappenas; Kementerian
relevan dan efektif. menjadi 81% (2015:62,5%). Keuangan; Kementerian Pendidikan
1.3 Meningkatnya persentase SMA/MA dan Kebudayaan; Kementerian
berakreditasi minimal B pada tahun 2019 Agama; Kementerian Riset dan
menjadi 84,6% (2015:73,5%). Teknologi, dan Pendidikan Tinggi;
1.4 Meningkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) Pemerintah Daerah Provinsi;
SD/MI/sederajat pada tahun 2019 menjadi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
114,09% (2015: 108%).
1.5 Meningkatnya APK SMP/MTs/sederajat pada
tahun 2019 menjadi 106,94% (2015: 100,7%).
1.6 Meningkatnya APK SMA/SMK/MA/sederajat
pada tahun 2019 menjadi 91,63% (2015:
6

Target Sasaran Nasional Rpjmn 2015-2019 Pelaksana


76,4%).
1.7 Meningkatnya rata-rata lama sekolah
penduduk usia di atas 15 tahun pada tahun
2019 menjadi 8,8 tahun (2015: 8,25 tahun).
4.2 Pada tahun 2030, menjamin bahwa semua anak 2.1 Meningkatnya APK anak yang mengikuti Kementerian Koordinator Bidang
perempuan dan laki-laki memiliki akses Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada Pembangunan Manusia dan
terhadap perkembangan dan pengasuhan anak tahun 2019 menjadi 77,2% (2015: 70,06%). Kebudayaan; Kementerian
usia dini, pengasuhan, pendidikan pra-sekolah Perencanaan Pembangunan
dasar yang berkualitas, sehingga mereka siap Nasional/Bappenas; Kementerian
untuk menempuh pendidikan dasar. Keuangan; Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan; Kementerian
Agama; Pemerintah Daerah Provinsi;
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
4.3 Pada tahun 2030, menjamin akses yang sama 3.1 Meningkatnya APK SMA/ SMK/ MA/ Kementerian Koordinator Bidang
bagi semua perempuan dan laki-laki, terhadap sederajat pada tahun 2019 menjadi 91,63 % Pembangunan Manusia dan
pendidikan teknik, kejuruan dan pendidikan (2015: 76,4 %). Kebudayaan; Kementerian
tinggi, termasuk universitas, yang terjangkau Perencanaan Pembangunan
dan berkualitas. Nasional/Bappenas; Kementerian
Keuangan; Kementerian Pendidikan
7

Target Sasaran Nasional Rpjmn 2015-2019 Pelaksana


dan Kebudayaan; Kementerian
Agama; Kementerian Riset dan
Teknologi dan Pendidikan Tinggi;
Pemerintah Daerah Provinsi;
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
3.2 Meningkatnya APK Perguruan Tinggi (PT) Kementerian Koordinator Bidang
pada tahun 2019 menjadi 36,73 % (2015: Pembangunan Manusia dan
29,9%). Kebudayaan; Kementerian
Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas; Kementerian
Keuangan; Kementerian Agama;
Kementerian Riset dan Teknologi dan
Pendidikan Tinggi; Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan;
Pemerintah Daerah Provinsi;
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
4.4 Pada tahun 2030, menghilangkan disparitas 4.1 Rasio APM perempuan/laki-laki di Kementerian Koordinator Bidang
gender dalam pendidikan, dan menjamin akses SMP/MTs/ Paket B yang setara gender pada Pembangunan Manusia dan
yang sama untuk semua tingkat pendidikan tahun 2019. Kebudayaan; Kementerian
8

Target Sasaran Nasional Rpjmn 2015-2019 Pelaksana


dan pelatihan kejuruan, bagi masyarakat rentan 4.2 Rasio APK perempuan/laki-laki di Perencanaan Pembangunan
termasuk penyandang cacat, masyarakat SMA/SMK/MA yang setara gender pada Nasional/Bappenas; Kementerian
penduduk asli, dan anak-anak dalam kondisi tahun 2019. Keuangan; Kementerian Pendidikan
rentan. dan Kebudayaan; Kementerian
Agama; Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak;
Pemerintah Daerah Provinsi;
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
4.3 Rasio APK perempuan/laki-laki pada PT dan Kementerian Koordinator Bidang
PTA yang setara gender pada tahun 2019. Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan; Kementerian
Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas; Kementerian
Keuangan; Kementerian Riset dan
Teknologi dan Pendidikan Tinggi;
Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak.
4.5 Pada tahun 2030, menjamin bahwa semua 5.1 Meningkatnya rata-rata angka melek aksara Kementerian Koordinator Bidang
remaja dan proporsi kelompok dewasa penduduk usia di atas 15 tahun pada tahun Pembangunan Manusia dan
9

Target Sasaran Nasional Rpjmn 2015-2019 Pelaksana


tertentu, baik laki-laki maupun perempuan, 2019 menjadi 96,1% (2015: 95,2%). Kebudayaan; Kementerian
memiliki kemampuan literasi dan numerasi. 5.2 Meningkatnya persentase angka melek aksara Perencanaan Pembangunan
penduduk usia dewasa usia 15- 59 tahun pada Nasional/Bappenas; Kementerian
tahun 2019. Keuangan; Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan; Kementerian
Agama; Pemerintah Daerah Provinsi;
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Sumber: Peraturan Presuden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan
10

2.3 Disparitas Gender dalam Pendidikan


Berdasarkan capaian data nasional menunjukkan bahwa Remaja dan orang
muda dari rumah tangga termiskin dan yang tinggal di pedesaan berpeluang lebih
rendah untuk menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah (Bappenas dan
Unicef, 2017)
Tabel 2. Angka Penyelesaian Sekolah Pada Anak Laki-laki dan perempuan di
Indonesia

Sumber: Bappenas dan Unicef, 2017


Tabel 3. Angka Disparitas Gender dalam Pendidikan di Indonesia
11

Berdasarkan Tabel 3, secara umum, paritas gender telah dicapai di tingkat


pendidikan dasar, dengan beberapa provinsi memiliki tingkat kehadiran sekolah
dasar lebih tinggi bagi anak perempuan. Namun untuk pendidikan menengah,
proporsi kehadiran kedua jenis kelamin beragam. Di beberapa provinsi, anak
perempuan lebih berpeluang menamatkan sekolah. NTB merupakan salah satu
propinsi yang cakupan disparitas gender dalam pendidikan masih rendah
(Bappenas dan Unicef, 2017).

2.4 Pernikahan Dini


a. Definisi Pernikahan Dini
Pernikahan dini atau kawin muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh
pasangan atau salah satu pasangannya masih dikategorikan remaja yang masih
berusia dibawah 19 tahun (WHO, 2006). Menurut BKKBN(2012) Pernikahan dini
secara umum memiliki definisi umum yaitu perjodohan atau pernikahan yang
melibatkan satu atau kedua pihak, sebelum pihak wanita mampu secara fisik,
fisiologi, dan psikologi untuk menanggung beban pernikahan dan memiliki anak,
dengan batasan umur umum adalah di bawah 18 tahun. Sedangkan menurut Dlori
(2005) mengemukakan bahwa : “ pernikahan dini merupakan sebuah perkawinan
dibawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimal persiapan
fisik, persiapan mental, juga persiapan materi. Karena demikian inilah maka
pernikahan dini bisa dikatakan sebagai pernikahan yang terburu-buru, sebab
segalanya belum dipersiapkan secara matang.

b. Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Dini


Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN),
Pernikahan dini terjadi dikarenakan adanya norma-norma yang berlaku di
masyarakat tradisional dengan eratnya hubungan sosial-ekonomi antar generasi.
Hal ini mendorong terjadinya „pemaksaan‟ pernikahan atau perjodohan remaja
oleh orangtua yang berasal dari kalangan ekonomi lemah dengan alasan bahwa
pernikahan dapat mengurangi beban tanggungan ekonomi keluarga dan
menyejahterakan remaja yang dinikahkan, walaupun hal tersebut belum tentu
12

terbukti. Menurut Noorkasiani (2007) Ada beberapa faktor yang menyebabkan


terjadinya perkawinan usia muda atau pernikahan dini, faktor tersebut yaitu:
1. Faktor individu
a. Perkembangan fisik, mental, dan sosial yang dialami seseorang makin cepat
perkembangan tersebut dialami, makin cepat pula berlangsungnya perkawinan
sehingga mendorong terjadinya perkawinan pada usia muda.
b. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh remaja. Makin rendah tingkat
pendidikan, makin mendorong berlangsungnya perkawinan usia muda.
c. Sikap dan hubungan dengan orang tua. Perkawinan usia muda dapat
berlangsung karena adanya sikap patuh dan/atau menentang yang dilakukan
remaja terhadap perintah orang tua. Hubungan dengan orang tua menentukan
terjadinnya perkawinan usia muda dalam kehidupan sehari-hari sering
ditemukan perkawinan remaja karena ingin melepaskan diri dari pengaruh
lingkungan orang tua.
d. Sebagai jalan keluar untuk lari dari berbagai kesulitan yang dihadapi, termasuk
kesulitan ekonomi. Tidak jarang ditemukan perkawinan yang berlangsung
dalam usia sangat muda, diantaranya disebabkan karena remaja menginginkan
status ekonomi yang lebih tinggi.
2. Faktor keluarga.
Peran orang tua dalam menentukan perkawinan anakanak mereka dipengaruhi
oleh faktor-faktor berikut.
a. Sosial ekonomi keluarga. Akibat beban ekonomi yang dialami, orang tua
mempunyai keinginan untuk mengawinkan anak gadisnya. Perkawinan tersebut
akan memperoleh dua keuntungan, yaitu tanggung jawab terhadap anak
gadisnya menjadi tanggung jawab suami atau keluarga suami dan adanya
tambahan tenaga kerja di keluarga yaitu menantu yang dengan sukarela
membantu keluarga istrinya.
b. Tingkat pendidikan keluarga. Makin rendah tingkat pendidikan keluarga,
makin sering ditemukan perkawinan di usia muda. Tingkat pendidikan
berhubungan erat dengan pemahaman keluarga tentang kehidupan berkeluarga.
13

c. Kepercayaan dan/atau adat istiadat yang berlaku dalam keluarga. Kepercayaan


dan adat istiadat yang berlaku dalam keluarga juga menentukan terjadinya
perkawinan di usia muda. Sering ditemukan orang tua mengawinkan anak
mereka dalam usia yang sangat muda karena keinginan untuk meningkatkan
status sosial keluarga, mempercepat hubungan antar keluarga dan/atau untuk
menjaga garis keturunan keluarga.
d. Kemampuan yang dimiliki keluarga dalam menghadapi masalah remaja. Jika
keluarga kurang memiliki pilihan dalam menghadapi masalah remaja, (mis,
anak gadisnya melakukan perbuatan zina), anak gadis tersebut dinikahkan
sebagai jalur keluarnya. Tindakan ini dilakukan untuk menghadapi rasa malu
atau rasa bersalah.

3. Faktor masyarakat lingkungan


a. Adat istiadat.
Terdapat anggapan di berbagai daerah bahwa anak gadis yang telah dewasa,
tetapi belum berkeluarga, akan dipandang “aib” bagi keluarganya. Upaya orang
tua untuk mengatasi hal tersebut ialah menikahkan anak gadis yang dimilikinya
secepat mungkin sehingga mendorong terjadinya perkawinan usia muda.
b. Pandangan dan kepercayaan. Pandangan dan kepercayaan yang selalu melekat
pada masyarakat dapat pula mendorong terjadinya perkawinan di usia muda.
Contoh pandangan yang salah dan dipercaya oleh masyarakat, yaitu anggapan
bahwa kedewasaan seseorang dinilai dari status perkawinan, status janda lebih
bak dari pada perawan tua dan kejantanan seseorang dinilai dari seringnya
melakukan perkawinan. Interprestasi yang salah terhadap ajaran agama juga
dapat menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda, misalnya sebagian besar
masyarakat juga pemuka agama menganggap bahwa akil baliq ialah ketika
seseorang anak mendapatkan haid pertama, berarti anak wanita tersebut dapat
dinikahkan, padahal akil baliq sesungguhnya terjadi setelah seseorang anak
melampaui remaja.
c. Penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Sering ditemukan perkawinan
muda karena beberapa pemuka masyarakat tertentu menyalahgunakan
14

wewenang atau kekuasaan yang dimilikinya, yaitu Universitas Sumatera Utara


15 dengan mempergunakan kedudukannya untuk kawin lagi dan lebih memilih
menikahi wanita yang masih muda, bukan dengan wanita yang telah berusia
lanjut.
d. Tingkat pendidikan masyarakat. Perkawinan usia muda dipengaruhi pula oleh
tingkat pendidikan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat yang tingkat
pendidikannya amat rendah cendrung mengawinkan anaknya dalam usia yang
masih muda.
e. Tingkat ekonomi masyarakat. Masyarakat yang tingkat ekonominya kurang
memuaskan sering memilih perkawinan sebagai jalan keluar dalam mengatasi
kesulitan ekonomi.
f. Tingkat kesehatan penduduk. Jika suatu daerah memiliki tingkat kesehatan
yang belum memuaskan dengan masih tingginya angka kematian, sering pula
ditemukan perkawinan usia muda di daerah tersebut. Tingginya angka
kematian dan terjadinya bencana alam yang menekan korban jiwa,
menyebabkan perkawinan usia muda dianggap sebagai upaya maksimum untuk
mengatasi kemungkinan musnahnya suatu keluarga dan jaminan bahwa anak-
anak mereka yang masih remaja akan mencapai paling tidak satu bagian dari
masa reproduktif sebelum meninggal. Perkawinan usia muda tersebut juga
bertunjuan untuk menjamin garis keturunan dari keluarga yang bersangkutan.
g. Perubahan nilai. Akibat pengaruh modernisasi, terjadi perubahan nilai, yaitu
semakin bebasnya hubungan antara pria dan wanita.
h. Peraturan perundang-undangan. Peran peraturan perundang-undangan dalam
perkawinan usia muda cukup besar. Jika peraturan perundangundangan masih
membenarkan perkawinan usia, akan terus ditemukan perkawinan usia muda.
Peraturan perundang-undangan perkawinan Indonesia nomor 1 tahun 1974
menyatakan bahwa usia minimal seorang wanita untuk menikah adalah 16
tahun.
Menurut Surbakti (2008) pernikahan usia muda mengandung resiko besar
karena secara mental mereka belum siap untuk memikul tanggung jawab yang
15

besar sebagai sebuah keluarga. Pernikahan dini juga biasanya disebabkan oleh
hal-hal:
a. Pendidikan yang rendah
Pendidikann yang rendah adalah salah satu penyebab banyaknya terjadi
pernikahan dini. Umumnya kurang menyadari bahaya yang timbul akibat
pernikahan dini. Banyak remaja putus sekolah atau hanya tamat sekolah dasar,
kemudian menikah karena tidak punya kegiatan.
b. Peraturan budaya
Peraturan budaya bisa jadi merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya
pernikahan dini. Usia layak menikah menurut aturan budaya seringkali
dikaitkan dengan datangnya haid pertama bagi wanita. Dengan demikian,
banyak remaja yang sebenarnya belum layak menikah, terpaksa menikah
karena desakan budaya.
c. “Kecelakaan”
Tidak sedikit pernikahan dini di sebabkan “kecelakaan” yang tidak disengaja
akibat pergaulan yang tidak terkontrol. Dampaknya mereka harus
mempertanggungjawabkan perbuatan dengan menikah secara dini. Untuk
menutupi aib keluarga, tidak ada jalan lain kecuali menikahkan mereka secara
dini. Pernikahan model ini biasanya tidak akan bertahan lama karena
landasannya tidak kuat.
d. Keluarga cerai (broken home)
Banyak anak-anak korban perceraian terpaksa nikah secara dini karena
berbagai alasan, misalnya tekanan ekonomi, untuk meringankan beban orang
tua tunggal, membantu keluarga, mendapatkan pekerjaan, meningkatkan taraf
hidup, dan sebagainya.
e. Daya tarik fisik
Faktor lain yang sering mendorong terjadinya pernikahan dini adalah daya tarik
fisik. Banyak remaja yang terjerumus ke dalam pernikahan karena daya tarik
fisik. Karena daya tarik fisik sangat terbatas, pernikahan biasannya tidak
berusia panjang.
16

c. Dampak Pernikahan Dini


Menurut Noorkasiani (2007) Akibat yang ditimbulkan oleh perkawinan
usia muda tidak hanya pada individu saja, tetapi juga terhadap umum, lingkungan
terbatas, dan keluarga.
1. Umum
Akibat yang dapat ditimbulkan pada kelompok umum yaitu sebagai
berikut.
a) Menimbulkan hambatan pada program kependudukan dan selanjutnya,
berbagai masalah kepundudukan dan berbagai dampak negatif
b) Menghambat peningkatan peranan wanita, terutama dalam kaitannya dengan
pembangunan nasional.
c) Meningkatkan angka kawin cerai yang dapat menimbulkan keresahan keluarga
atau masyarakat secara keseluruhan.
2. Lingkungan terbatas
Lingkungan terbatas yang dimaksud adalah masyarakat setempat. Akibat
perkawinan usia muda terhadap lingkungan terbatas adalah sebagai berikut :
a) langgengnya nilai-nilai tradisional yang tidak serasi yang dapat menghambat
pembangunan nasional.
b) Menghambat proses dinamisasi masyarakat sehingga masyarakat tidak pernah
dapat berorientasi ke masa depan sehingga menghambat perkembangan
lingkungan sekitarnya.
c) Mendorong meningkatnya peristiwa pengangguran kandungan.
3. Keluarga
a) Menimbulkan perkawinan yang tidak lestari dengan berbagai akibat
selanjutnya.
b) Menyebabkan sulitnya peningkatan pendapatan keluarga
c) Menyebabkan tidak sempurnanya pendidikan dan pengasuhan anak dan
keluarga yang dimiliki
17

4. Individu.
Akibat yang dapat ditimbulkan perkawinan usia muda pada individu
adalah sebagai berikut :
a) Terhambatnya perkembangan potensi pribadi
b) Terhambatnya kemungkinan melanjutkan pendidikan
c) Tidak sempurnanya fungsi sebagai ibu dan istri
d) Timbulnya perasaan kurang aman, malu, atau frustasi
e) Terganggunya status kesehatan atau bahkan kematian karena perkawinan usia
muda berhubungan erat dengan tingginya angka penyulit kehamilan, penyulit
persalinan, penyulit masa nifas, dan gangguan kesehatan janin, bayi, atau anak
yang dimiliki.

2.5 Disparitas Gender dalam Pendidikan dan Pernikahan Dini


Anak perempuan yang telah menikah cenderung memiliki tingkat
pendidikan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan perkawinan dan pendidikan
dianggap bertentangan ketika anak perempuan yang menikah menghadapi
keterbatasan mobilitas, kehamilan dan tanggung jawab terhadap perawatan anak
(BPS, 2010). Menurut salah satu laporan, 85 persen anak perempuan di Indonesia
mengakhiri pendidikan mereka setelah mereka menikah, namun keputusan untuk
menikah dan mengakhiri pendidikan juga dapat diakibatkan kurangnya
kesempatan kerja.
Terdapat sekolah di Indonesia yang menolak anak perempuan yang telah
menikah untuk bersekolah (BPS dan Unicef, 2015). Anak perempuan dengan
tingkat pendidikan yang lebih rendah lebih tidak siap untuk memasuki masa
dewasa dan memberikan kontribusi, baik terhadap keluarga mereka maupun
masyarakat. Mereka memiliki lebih sedikit suara dalam pengambilan keputusan
dalam rumah tangga dan kurang mampu mengadvokasi diri mereka sendiri atau
anak-anak mereka. Mereka juga kurang mampu untuk memperoleh penghasilan
dan memberikan kontribusi finansial bagi keluarga. Hal-hal tersebut dapat
meningkatkan angka kemiskinan (Marshan et al, 2013).
18

BAB III
STUDI KASUS
19

Sumber:
https://www.kompasiana.com/samsungj1/595747227a7c8a3e4c058292/faktor-
putus-sekolah-di-lombok-ntb-selain-faktor-ekonomi
20

BAB IV
PEMBAHASAN

Data disparitas gender dalam pendidikan yang terjadi di NTB apabila


memperhatikan kondisi angka partipasi sekolah (APS) menurut jenis kelamin,
dapat dilihat bahwa kondisi APS di masing-masing kelompok umur untuk
penduduk perempuan lebih tinggi bila dibandingkan dengan APS laki-laki yaitu di
kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun, sedangkan di kelompok 16-18 tahun
partisipasi sekolah perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Disamping itu
juga indikator pendidikan dapat dilihat dari kemampuan baca tulis (melek huruf)
dan tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk. Semakin tinggi
tingkat melek huruf penduduk, maka semakin berhasil pembangunan pendidikan
di suatu wilayah. Angka melek huruf pada kelompok umur 10 tahun ke atas
provinsi NTB tahun 2015 mencapai 88,66%. Jika dirinci menurut komposisi jenis
kelamin, kemampuan baca tulis penduduk laki-laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Kemampuan baca tulis laki-laki sekitar 92,10%, sedangkan
perempuan adalah 85,80%. Dengan kata lain, perempuan yang buta huruf lebih
banyak dibandingkan laki-laki (Profile NTB, 2015)
Hal ini menunjukkan bahwa perempuan di NTB memiliki kecenderungan
untuk tidak bersekolah lebih tinggi daripada laki-laki di usia menjelang dewasa.
Di antara penyebabnya adalah bahwa di usia tersebut masih banyak ditemukan
perempuan yang melakukan pernikahan dini sehingga mereka tidak melanjutkan
pendidikan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi (Sudarwati, 2016). Pada
SDGs ke empat, pada poin 4.5 menyatakan bahwa pada tahun 2030,
menghilangkan disparitas gender dalam pendidikan, dan menjamin akses yang
sama untuk semua tingkat pendidikan dan pelatihan kejuruan, bagi masyarakat
rentan termasuk penyandang cacat, masyarakat penduduk asli, dan anak-anak
dalam kondisi rentan (Perpres nomor 59 tahun 2017). Sudarwati (2016)
menyatakan bahwa angka disparitas gender dalam pendidikan di NTB terjadi pada
kelompok usia 16-18 tahun, dimana anak perempuan putus sekolah akibat
21

pernikahan dini. Hal ini sesuai dengan artikel di BAB III, menunjukkan bahwa
salah satu penyebab disparitas gender dalam Pendidikan di NTB adalah
pernikahan dini. Berdasarkan data laporan dari Bappenas dan UNICEF (2017),
menunjukan NTB menempati posisi kedua setelah papua untuk angka disparitas
gender dalam pendidikan. Hal ini sesuai dengan kasus yang didapat oleh penulis.
Dari artikel yang didapat penulis menyatakan bahwa faktor – faktor yang
menyebabkan putus sekolah terutama bagi anak perempuan di Lombok, NTB
adalah faktor ekonomi, faktor budaya, faktor lingkungan dan faktor orang tua.
Berdasarkan artikel studi kasus pada BAB III, di Lombok terdapat suatu
kebudayaan yaitu menikah di usia muda (merarik kodek) dan angka merarik
kodek juga sangat tinggi karena hal ini sudah menjadi kebiasaan dan rutinitas yang
di lakukan oleh masyarakat di Lombok NTB. Anak-anak di Lombok banyak yang
menikah pada usia yang masih sangat muda, belum tamat atau sesudah tamat
SMP anak perempuan di Lombok sudah merarik sehingga salah satu faktor yang
menyebabkan putus sekolah di Lombok. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Ropida (2016) bahwa faktor budaya yang menyebabkan putus sekolah bagi anak
perempuan adalah pernikahan dini (merarik kodek). Faktor lain yang
menyebabkan pernikahan dini menurut Ropida (2016) yaitu untuk mengurangi
beban ekonomi keluarga, diculik untuk dijadikan pengantin, takut dibilang
Dedare Tuaq (Perawan Tua) dan betian bejulu (hamil di luar nikah).
Anak perempuan yang telah menikah cenderung memiliki tingkat
pendidikan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan perkawinan dan pendidikan
dianggap bertentangan ketika anak perempuan yang menikah menghadapi
keterbatasan mobilitas, kehamilan dan tanggung jawab terhadap perawatan anak
(BPS, 2010). Menurut salah satu laporan, 85 persen anak perempuan di Indonesia
mengakhiri pendidikan mereka setelah mereka menikah, namun keputusan untuk
menikah dan mengakhiri pendidikan juga dapat diakibatkan kurangnya
kesempatan kerja (BPS dan Unicef, 2015).
Anak perempuan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah lebih tidak
siap untuk memasuki masa dewasa dan memberikan kontribusi, baik terhadap
keluarga mereka maupun masyarakat. Mereka memiliki lebih sedikit suara dalam
22

pengambilan keputusan dalam rumah tangga dan kurang mampu mengadvokasi


diri mereka sendiri atau anak-anak mereka. Mereka juga kurang mampu untuk
memperoleh penghasilan dan memberikan kontribusi finansial bagi keluarga. Hal-
hal tersebut dapat meningkatkan angka kemiskinan (Marshan et al, 2013). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ropida (2016) menyatakan bahwa pernikahan di
usia dini akan berdampak pada kasus perceraian dimana anak perempuan yang
menikah di usia dini yang belum memiliki kematangan dalam mengontrol emosi
rentang mengalami pertengkatan yang berujung pada kasus perceraian.
Rendahnya pendidikan sekolah perempuan akan berdampak buruk pada
kehidupannya sendiri. Dengan pendidikan yang rendah, perempuan hanya akan
mampu mengerjakan hal-hal yang minim, seperti pekerjaan rumah yang sudah
dianggap menjadi pekerjaan wajibnya. Pekerjaan rumah tidak dapat menghasilkan
uang untuk melanjutkan hidupnya, sehingga dengan kemampuan dan pengetahuan
yang terbatas, mereka akan menjadi miskin. Kemiskinan (marjinalisasi)
perempuan ini terjadi karena rendahnya pendidikan sekolah yang dimiliki
perempuan (Fakih, 2012).
Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat akibat dari disparitas gender
dalam pendidikan di NTB yang disebabkan oleh pernikahan dini yaitu pendidikan
yang rendah pada wanita, hilangnya kesempatan kerja akibat pendidikan yang
rendah, kurangnya perempuan dalam pengambilan keputusan dalam rumah
tangga, kurang mampu mengadvokasi diri sendiri dan anak-anaknya dan rentan
terhadap terjadinya perceraian akibat ketidaksiapan dalam pernikahan.
Perkawinan usia anak melanggar sejumlah hak asasi manusia yang dijamin
oleh Konvensi Anak, salah satunya hak atas pendidikan dimana perkawinan usia
anak mengingkari hak anak untuk memperoleh pendidikan, bermain, dan
memenuhi potensi mereka karena dapat mengganggu atau mengakhiri pendidikan
mereka (BPS dan Unicef, 2015). Hal ini diperburuk dengan adanya sekolah di
Indonesia yang menolak anak perempuan yang telah menikah untuk bersekolah
(BPS dan Unicef, 2015).
Membatasi akses pendidikan pada anak perempuan akan mengakibatkan
berkurangnya kesempatan perempuan untuk memperoleh penghasilan di masa
23

yang akan datang, keamanan, aktivitas dan kemampuan anak perempuan, serta
status dan peran mereka baik di dalam rumah maupun di masyarakat. Perkawinan
usia anak pada dasarnya melanggar hak anak perempuan atas kesetaraan dan
menghambat kemampuan anak perempuan untuk hidup setara dalam masyarakat
(UNICEF, 2014).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Basariah et (2014) di Lombok
Timur, ada beberapa alasan perempuan memiliki pendidikan sekolah yang rendah
disebabkan oleh dua faktor, yaitu: 1) faktor internal berupa tidak adanya kemauan
dari diri perempuan memperjuangkan haknya untuk memiliki pendidikan yang
layak, dan 2) faktor eksternal berupa adanya anggapan miring masyarakat
terhadap perempuan yang berusia SMA tetapi belum menikah sebagai perawan
tua. Adanya anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa usia perempuan SMA
yang belum menikah dianggap perawan tua menyebabkan mereka putus sekolah.
Selain itu juga, masyarakat melihat anak perempuan itu cenderung cepat menikah
dan putus sekolah. Ada juga yang tidak mengijinkan anaknya untuk melanjutkan
sekolahnya, karena lokasi sekolah yang cukup jauh dari rumah. Nilai-nilai
patriarki yang dianut oleh masyarakat juga mempengaruhi pola pikir masyarakat
tentang pendidikan untuk perempuan yaitu perempuan walaupun memiliki
pendidikan sekolah yang tinggi, pada akhirnya akan di dapur dan akan mengurus
rumah tangganya (Basariah et al, 2014).
Pendidikan sebagai salah satu sektor pembangunan turut menerapkan
pengaruh utama gender ditingkat daerah. Kementrian Pendidikan Nasional
membuat komitmen guna mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender yang
mengacu pada komitemen internasional tentang Education For All (EVA) yang
tertuang didalam kesepakatan, yaitu :
1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak
usia dini terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak khususnya anak
perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk dalam
etnik minoritas mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang
bebas dan wajib dengan kualitas baik
24

3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa
terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajarn dan
kecakapan hidup (lifeskill) yang sesuai.
4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa
menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan dan akses yang adil
pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa
5. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah
menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan
menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses
penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang
baik
6. Memperbaiki semua akses kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya
sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua
terutama dalam keaksaraan angka dan kecakapan hidup yang penting.
Upaya pencapaian SDGs di Provinsi NTB sangat kompleks dan memerlukan
pendekatan pembangunan yang komprehensif dan terintegrasi namun beberapa
fokus area perlu menjadi prioritas tinggi. Pembangunan SDM menempati prioritas
tinggi karena masih rendahnya pendidikan dan kapasitas SDM di Provinsi NTB
dengan mengurangi secara signifikan tingkat dropout dijenjang pendidikan dasar
dan menengah serta mencapai wajib belajar 12 tahun secara bertahap. Pendidikan
sampai dengan minimal tamat jenjang SMA akan mampu meningkatkan kapasitas
dan skill dari angkatan kerja sehingga sangat mempengaruhi daerah dalam
meningkatkan perekonomiannya. Meningkatkan kualitas pendidikan (termasuk
softskill, prilaku dari anak didik). Tidak kalah penting dari aksesibilitas karena
akan sangat membentuk SDM dalam hal etos kerja, prilaku individu dalam
keluarga dan masyarakat.
Disamping itu beberapa program pemerintah NTB untuk mendukung
peningkatan SDM sejak dini antara lain generasi emas NTB 2025 yang tugasnya
mengawal calon ibu agar mendapat pendampingan untuk menjamin sehingga
mampu melahirkan bayi-bayi yang sehat. Hingga menerapkan pendidikan anak
usia dini efektif dan berkualitas. Program lainnya juga yakni program
25

pendewasaan usia perkawinan. Gerakan ini dimaksudkan untuk mengikat


komitmen dan kerjasama berbagai pemangku kepentingan dalam memastikan
kesejahteraan gender dan prinsip inklusif terintegrasi dalam 17 tujuan SDGs

Sumber : UNICEF (2018)


26

BAB V
PENUTUP

5.1. Simpulan
Disparitas gender dalam Pendidikan di NTB terbanyak terjadi pada
perempuan kelompok usia 16-18 tahun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
di antaranya faktor, ekonomi, faktor budaya, faktor lingkungan dan faktor orang
tua. Hal yang sering memicu pernikahan dini yaitu adanya suatu kebudayaan
menikah di usia muda atau merarik kodek. Anak perempuan yang telah menikah
diusia muda cenderung memiliki tingkat Pendidikan yang lebih rendah. Akibat
dari tingkat pedidikan perempuan yang lebih rendah yaitu ketidaksiapan
menghadapi pernikahan dan kurang mampu memperoleh penghasilan. Selain
factor pernikahan dini terdapat juga faktor lain yang menyebabkan Pendidikan
sekolah yang rendah pada perempuan yaitu faktor internal berupa tidak adanya
kemauan dari diri perempuan memperjuangkan haknya untuk memiliki
Pendidikan yang layak, dan faktor internal berupa adanya anggapan miring dari
masyarakat terhadap perempuan yang berusia SMA, tetapi belum menikah
sebagai perawan tua. Ada juga yang tidak mengijinkan kesekolah karena
lokasinya yang jauh dari rumah. Nilai nilai patriarki juga mempengaruhi pola
piker masyarakat tentang Pendidikan untuk perempuan yaitu perempuan
walaupun memiliki Pendidikan sekolah yang tinggi pada akhirnya akan didapur
dan akan mengurus rumah tangganya.

5.2 Saran
Beberapa saran dapat diajukan oleh penulis berdasarkan pembahasan dan
kesimpulan penelitian ini, antara lain bagi masyarakat dan para orang tua
memberikan kesempatan pada perempuan untuk memperoleh pendidikan yang
layak sesuai keinginannya agar mereka dapat mandiri dan mulai meninggalkan
persepsi jika anak perempuan yang berusia SMA, tetapi belum menikah adalah
perawan tua. Mulai meninggalkan budaya merarik kodek (pernikahan dini), dan
mulai menyesuaikan umur pernikahan sesuai dengan UU yang telah berlaku.
27

DAFTAR PUSTAKA

Basariah, Hamid syukrie dan Dahlan. 2014. Persepsi Masyarakat Terhadap


Pendidikan Sekolah Bagi Kaum Perempuan di Dusun Dasan Bongkot,
Desa Kalijaga, Kecamatan Aikmel, Lombok Timur. Skripsi.
BPS dan Unicef. 2015. Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia
Anak di Indonesia. Badan Pusat Statistik: Jakarta-Indonesia.
DESD. 2012. About Education for Sustainable Development,
http://www.desd.org/About%20ESD.htm
Dlori. 2005. Jeratan Nikah Dini: Wabah Pergaulan. Media Abadi
Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender &Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan United Nations
Children’s Fund. 2017. Laporan Baseline SDG tentang Anak-Anak di
Indonesia. Jakarta: BAPPENAS dan UNICEF.
Marshan, Rakhmadi and Rizky. 2013. Prevalence of Child Marriage and Its
Determinants among Young Women in Indonesia. Conference paper
presented at the Child Poverty and Social Protection Conference, 10
September 2013. Supported by UNICEF Indonesia, the National
Development Planning Agency (BAPPENAS) and the SMERU Institute.
National Statistics Bureau (BPS). (2013). The Indonesia Population Census
2010. Jakarta: Indonesia.
Noor kasiani dkk. 2007. Sosiologi Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 Tentang
Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Profile Kesehatan Provinsi NTB (2015)
Sudarwati. Analisis Kinerja Pendidikan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jakarta:
Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
28

Surbakti, E. B. 2008. Sudah Siapkah Anda Menikah. Jakarta: PT Elex Media


Komputindo.
Sutanto, HW. Pendidikan Untuk Pembangunan Berkelanjutan Di Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Cakrawala Pendidikan, Oktober 2017, Th. XXXVI, No. 3
The Convention on the Rights of the Child, Article 19 and 34, pp. 5 and 10.; and
United Nations Children’s Fund. 2014. Hidden in Plain Sight: A statistical
analysis of violence against children. New York: UNICEF, pp. 131-133.
UNESCO. 2011. Education For Sustainable Development Information Brief,
http://www.rmbr.ca/wp-content/uploads/2011/11/esd_ib_ag.pdf
UNICEF. (2018). SDGs for Children in Indonesia Provincial snapshot: West Nusa
Tenggara.https://www.unicef.org/indonesia/Eng_West_Nusa_Tengarra_lo
wres2.pdf

Anda mungkin juga menyukai