Disusun Oleh :
Andi Setiawan 06031281823063
Cici Winmarti 06031181823007
Dendi Febriansyah 06031281823021
Moh. Juli Andika Winardi 06031281823032
Dosen Pengampu :
Drs. Ikbal Barlian, M.Pd
Dian Eka Amrina, S.Pd, M.Pd
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kemampuan,
kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan makalah Ekonomi Pendidikan yang berjudul
“Kebijakan Pembiayaan Pendidikan” tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semuanya atas bimbingan, pengarahan, dan kemudahan yang telah diberikan kepada
penulis dalam pengerjaan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan makalah ini.
Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari
pembaca sekalian. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa
saja yang membacanya.
Kelompok 12
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN MUKA/COVER.......................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB. I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan Makalah...................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan Makalah.................................................................................... 3
BAB. II PEMBAHASAN...............................................................................................4
2.1 Pengertian Kebijakan Pembiayaan Pendidikan........................................................4
2.2 Kebijakan Pembiayaan Pendidikan di Sekolah Negeri.......................................... 14
2.3 Kebijakan Pembiayaan Pendidikan di Sekolah Swasta..........................................16
BAB. III PENUTUP.....................................................................................................18
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................18
3.2 Saran.......................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Negara mempunyai perspektif yang berbeda terhadap fungsi lembaga pendidikan.
Konsekuensinya pengalokasian anggaran pendidikan juga berbeda-beda. Semakin
tinggi tingkat kesadaran pejabat Negara atas kepentingan lembaga pendidikan,
semakin tinggi penetapan anggaran pendidikan dalam kebijakannya, demikian
sebaliknya ( kesadaran pejabat Negara terhadap kepentingan pendidikan mempunyai
hubungan positif dengan besaran anggaran dunia pendidikan ). Sumber pembiyaan
pendidikan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu dari pembiyaan pemerintah dan
dari pembiyaan masyarakat. Pihak pemerintah pun dapat dikelompokkan menjadi
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Adapun dari kalangan masyarakat dapat
diklasifikasikan sebagai masyarakat umum dan orang tua siswa. Mengingat adanya
berbagai pihak yang harus terlibat dalam hal penyandang dana pendidikan, maka
perlu dicermati unsur kejelasan/ketajaman (acuaty) dalam pendistribusiannya. Agus
Irianto, Pendidikan Sebagai Investasi Dalam Pembangunan Suatu Bangsa (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 83
Dalam berbagai tingkat kehidupan, pendidikan memiliki peran yang begitu sangat
strategis. Pendidikan banyak memberikan peluang untuk meningkatkan taraf atau
mutu kehidupan. Dengan pendidikan yang baik, potensi kemanusiaan yang begitu
kaya pada diri seseorang dapat terus dikembangkan. Pada tingkat sosial, pendidikan
dapat mengantarkan seseorang pada pencapaian tujuan yang dinginkan dan strata
sosial yang lebih mapan. Secara akumulatif, pendidikan dapat membuat suatu
masyarakat lebih beradab. Dengan demikian, pendidikan, dalam pengertian yang luas,
berperan sangat penting dalam proses transformasi seseorang dan masyarakat. Untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang diharapkan ini, tidak mungkin terjadi secara
alamiah dalam arti tanpa suatu usaha dan pengorbanan. Mutu dari output yang
diharapkan banyak dipengaruhi oleh besarnya usaha dan pengorbanan yang diberikan.
Semakin tinggi tuntutan mutu, akan berdampak pada jenis dan pengorbanan yang
harus direlakan.
Pembiayaan pendidikan (financing of education) merupakan salah satu isu
penting dalam pembangunan pendidikan di hampir semua nergara di dunia.
Negara-negara berkembang umumnya membelanjakan dananya untuk pendidikan
relative lebih rendah dibandingkan Negara-negara maju. Rendahnya pembiayaan
pendidikan di Negara berkembang dibanding dengan Negara maju tersebut tidak saja
pada prosentasenya akan tetapi juga nominalnya. Rendahnya pembiayaan pendidikan
di Negara berkembang tersebut sudah menjadi wacana publik (public discourse) yang
2
setiap saat selalu ingin dicarikan jalan keluar, namun karena rumitnya dan
kompleksnya masalah ini menjadikan upaya penyelesaian masalah ini tidak tuntas.
Untuk konteks Indonesia sebagian besar pembiayaan pendidikan disekolah-sekolah
negeri lebih diarahkan untuk keperluan administrasi dan tenaga pengajar. Sedangkan
untuk keperluan kegiatan operasional dan pemeliharaan masih sangat terbatas.
Lebih-lebih untuk kegiatan pengembangan akademik dalam rangka mencari pola-pola
pembelajaran yang lebih efektif masih belum terjangkau. Sehingga secara umum
disamping telah terjadi rendahnya biaya pendidikan di semua jenjang pendidikan juga
telah terjadi ketimpangan distribusi/ pengelolaan pendidikan.
Berangkat dari masalah di atas sehingga perlu dibuat makalah kami yang berjudul
"kebijakan pembiayaan pendidikan" sehingga kita mengetahui hal-hal penting apa
saja yang meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi
yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya dan mendapatkan biaya
pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
Di samping itu disebutkan pula bahwa setiap peserta didik berkewajiban ikut
menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang
dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam UU Sisdiknas Bab VIII tentang Wajib Belajar, Pasal 34 dinyatakan bahwa
setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib
belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar
merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan mengenai wajib belajar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
PP. Pendanaan Pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan
berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pengelolaan dana
pendidikan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik. Dalam tataran aplikasi, pembiayaan pendidikan dibedakan antara
lembaga-lembaga milik Negara (sekolah-sekolah negeri) dan lembaga masyarakat
(sekolah-sekolah swasta). Pembiayaan pendidikan antara kedua jenis lembaga itu
memiliki karakteristik yang berbeda. Sekolah negeri adalah sekolah milik Negara
yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab Negara sepenuhnya.
Oleh sebab itu akuntabilitas dari kedua jenis lembaga pendidikan tersebut
berbeda nuansanya. Sekolah swasta adalah sekolah yang pengelolaannya dilakukan
oleh masyarakat (bukan negara). Penyelenggaraan Sekolah swasta di Indonesia
dilakukan oleh beranekaragam pihak, yaitu: yang memiliki latar belakang keagamaan,
kebudayaan/kedaerahan, sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi wanita dan
sekolah yang merupakan bagian dari suatu organisasi besar dengan beraneka ragam
latar belakang pula. Sekolah-sekolah swasta sering disebut-sebut sebagai mitra
pemerintah dalam pendidikan, karena memang kenyataannya sekolah-sekolah swasta
dan sekolah-sekolah negeri sama-sama membina anak-anak bangsa.
Pembiayaan pendidikan merupakan komponen yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pendidikan. Pembiayaan pendidikan yang bersifat makro maupun
5
mikro haruslah tepat dan adil dan mengarah pada tujuan pendidikan nasional.
Anatomi pembiayaan baik makro maupun mikro harus dipahami secara benar
sehingga para pengambil keputusan sungguh dapat menghasilkan kebijakan yang
tepatguna. Diperlukan suatu penelitian atau studi yang mendalam khususnya saat
menentukan kebijakan pembiayaan pendidikan yang bersifat mikro, yaitu pada tataran
lembaga/sekolah. Disadari sepenuhnya bahwa berdasar studi pada sekolah-sekolah
negeri pada tahun 2002 ditemukan suatu fakta: tingginya peranan keluarga dalam
pembiayaan pendidikan. Bahkan kalau dihitung dan dibandingkan dengan subsidi
pemerintah, biaya pendidikan dari orangtua lebih banyak jumlahnya (Supriadi, 2010:
v). Kenyataan ini tentu ikut mempengaruhi kebijakan pembiayaan pendidikan pada
tahun-tahun berikutnya.
Konsep biaya pendidikan ini dapat dibedakan dengan cara mengelompokkan
biaya yang terjadi, yaitu (1) social and private cost, (2) opportunity cost and money
cost, and (3) explicit and implicit costs (Latchanna dan Hussein, 2007: 52—56).
Pendapat ahli lain menyatakan bahwa dalam pendidikan dikenal beberapa kategori
biaya pendidikan yaitu (1) biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung
(indirect cost), (2) biaya pribadi (private cost) dan biaya sosial (social cost), dan (3)
biaya dalam bentuk uang (monetary cost) dan bukan uang (non-menetary cost)
(Anwar, 1991; Gaffar, 1991; Thomas, 1972 dalam Sudarmanto: 2010). Dalam
kenyataannya, pengkategorian biaya pendidikan tersebut dapat “tumpang tindih”;
misalnya ada biaya pribadi dan sosial yang bersifat langsung dan tidak langsung serta
berupa uang dan bukan uang, dan ada juga biaya langsung dan tidak langsung serta
biaya pribadi dan biaya social yang dalam bentuk uang maupun bukan uang (Supriadi,
2010: 4).
Pengeluaran sekolah berkaitan dengan pembayaran keuangan sekolah untuk
pembelian berbagai macam sumberdaya atau masukan (input) proses sekolah seperti
tenaga administrasi, guru-guru, bahan-bahan, perlengkapan-perlengkapan dan fasilitas.
Biaya menggambarkan nilai seluruh sumberdaya yang digunakan dalam proses
sekolah apakah terdapat dalam anggaran sekolah dan pengeluaran atau tidak.
Dilihat dari sumber-sumbernya, biaya pendidikan pada tingkat makro berasal dari:
(1) pendapatan Negara dari sector pajak,
(2) pendapatan Negara dari sector non pajak,
(3) keuntungan dari sector barang dan jasa dan
6
(4) usaha-usaha Negara lainnya.
Sementara di tingkat daerah, baik tingkat satu maupun tingkat dua berasal dari
kucuran dana dari pusat beserta yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sementara dalam tataran sekolah, baik sekolah swasta maupun negeri pada dasarnya
berasal dari subsidi pemerintah pusat, pemerintah daerah, iuran siswa dan sumbangan
masyarakat (Supriadi, 2010: 4). Mengacu pada perundang-undangan yang berlaku,
negaralah yang paling bertanggung jawab atas pembiayaan pendidikan secara makro.
Akan tetapi peran masyarakat untuk ikut serta bertanggung jawab terhadap
kelangsungan pendidikan juga tidak boleh dimatikan. Ketentuan dalam UU Sisdiknas
Bab VIII tentang Wajib Belajar, Pasal 34 menyatakan bahwa setiap warga negara
yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan
Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab
negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan masyarakat. Ketentuan tersebut kemudian diikuti oleh
kebijakan-kebijakan lain seperti BOS (Biaya Operasional Sekolah).
Tujuan khusus kebijakan BOS seperti dimuat dalam buku panduan Bantuan
Operasional Sekolah untuk Pendidikan Gratis dalam rangka Wajib Belajar 9 Tahun
yang Bermutu adalah menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar
dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta.
Tujuan khusus kedua adalah menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri
terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf
internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI).
Implemetasi dari program tersebut sejak Januari 2009 pemerintah mewajibkan
seluruh Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Negeri seluruh Indonesia
untuk menggratiskan seluruh peserta didik dari kewajiban membayar uang sekolah,
kecuali untuk sekolah kategori khusus, misalnya Sekolah Bertaraf Internasional.
Kebijakan ini tentu membawa dampak positif dan negatif bagi dunia pendidikan di
tanah air. Pihak-pihak yang menerima dampak langsung adalah sekolah-sekolah yang
diselenggarakan oleh masyarakat (swasta).
Kebijakan BOS secara umum sangat membantu sekolah dan orangtua murid.
Namun kala kebijakan ini langsung dilanjutkan dengan program sekolah gratis maka
menimbulkan benturan-benturan di lapangan. Penyelenggaraan pendidikan bukan
semua ditangani negara, bahkan yang ditangani oleh masyarakat (swasta) jumlahnya
7
jauh lebih besar. Sekolah-sekolah swasta juga selalu disebut-sebut sebagai mitra
pemerintah, karena memang kenyataannya sekolah-sekolah swasta dan
sekolah-sekolah negeri sama-sama membina anak-anak bangsa. Sekolah-sekolah
swasta membutuhkan kebijakan khusus berkaitan dengan program BOS jka
keberadaannya masih tetap dibutuhkan. Sebenarnya, sekolah-sekolah negeri pun
mengalami masalah serupa, terutama ketika mereka tidak boleh menarik iuran sama
sekali. Akhirnya di lapangan muncul berbagai trik kebijakan untuk memayungi
penarikan iuran. Salah satu yang juga disorot adalah keberadaan sekolah bertaraf
Internasional yang diberi keleluasaan menarik iuran. Alhasil, sekolah-sekolah tersebut
bersifat eksklusif. Padahal pendidikan adalah hak setiap warga negara.
Biaya pendidikan di tingkat sekolah berasal dari tiga sumber yaitu pemerintah,
keluarga peserta didik dan masyarakat. Menurut Dedi Supriadi (2010: 26)
penghitungan biaya pendidikan dewasa ini cenderung bias dana pemerintah dengan
mengabaikan daa yang berasal dari keluarga peserta didik dan masyarakat. Dana yang
berasal dari keluarga peserta didik dan masyarakat cenderung kurang diangkat,
sekaan-akan tidak sepenting dana dari pemerintah. Kalaupun kontribusi keluarga dan
masyarakat diperhitungkan, terbatas pada sumbangan yang dikelola oleh Komite
Sekolah. Padahal dana yang dibelanjakan langsung oleh keluarga dan masyarakat
tidak pernah dihitung secara cermat. Klemahan penghitungan dana pendidkan secara
demikian mengandung kelemahan memprediksi jumlah riil biaya yang benar-benar
digunakan untuk mendukung penyelenggraaan pendidikan, karena mengabaikan
kontribusi orangtua (Supriadi, 2010: 27).
8
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dengan ini pemeritah sudah mempunyai per
undang undangan dalam hal pembiyaan pendidikan nasional, bantuan tersbut berupa:
1) Dana BOS
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah dana yang dikeluarkan
pemerintah untuk kepentingan pendidikan yang bertujuan untuk mengurangi beban
masyarakat, khususnya masyarakat miskin yaitu yang dalam membiayai pendidikan
kurang memenuhi. Dana BOS merupakan program pemerintah berupa pemberian
dana langsung ke lembaga pendidikan baik Negeri maupun Swasta dimana besaran
dana bantuan yang diterima sekolah dihitung berdasarkan jumlah siswa
masing-masing sekolah dan satuan biaya (unit cost) bantuan.
2) Dana BSM
Dana Bantuan Siswa Miskin (BSM) merupakan wujud kepedulian pemerintah
terhadap siswa miskin. Tujuan pemberian dana ini adalah untuk mencegah siswa
miskin dari kemungkinan putus sekolah akibat kesulitan biaya pendidikan di sekolah
dan juga memberi peluang/kesempatan yang lebih besar kepada siswa miskin untuk
terus bersekolah hingga menyelesaikan pendidikannya. Sasaran pemberian bantuan
dana BSM ini dikhususkan bagi siswa yang kurang mampu/miskin saja.
9
6) Biaya Kegiatan Praktikum
7) Pembelian Buku Pelajaran / LKS
8) Pembelian Pakaian Seragam Sekolah
9) Biaya Karyawisata / Bina Mental / Retret
10) Sumbangan Sosial (APP dan AAP)
11) Biaya-biaya lainnya.
Peran serta orang tua / wali siswa dalam pendidikan bertujuan untuk ikut serta
memelihara, menumbuhkan, meningkatkan, dan mengembangkan pendidikan.
Dengan demikian terjalinya kerja sama yang baik antara orang tua murid/siswa
dengan guru agar terlaksananya pendidikan sesuai yang di harapkan. Dalam
perkembangannya, kebutuhan pendanaan pendidikan merupakan salah satu
permasalahan yang cukup pelik untuk dikelola secara efektif dan efisien.
Permasalahan pendanaan pendidikan erat kaitannya dengan keperluan
operasionalisasi penyelenggaraan pendidikan. Biaya tersebut, antara lain:
Dalam Sebuah Jurnal yang di tulis Armida mengatakan bahwa model pembiayaan
pendidikan memiliki dua sisi yaitu sisi pengalokasian dan sisi penghasilan. Seperti
10
yang dikatakan oleh John S. Mrophet, pada dasarnya pembiayaan diklasifikasikan
menjadi dua model, yaitu:
b) Equalization Model
Equalization Model ini bertitik tolak pada ability to pay (kemampuan membayar)
masyarakat. Masyarakat yang miskin tentu perlu menerima bantuan dana
lebih serius dibanding dengan masyarakat yang incomenya lebih tinggi. Karena itu
sekolah miskin akan memperoleh kesempatan sejajar dengan sekolah lainnya, artinya
setiap daerah akan menerima jumlah dana yang berbeda tiap tahun tergantung
bagaimana membagi sesuai kepada kemampuan daerah. Daerah miskin akan mereima
5 per mil ditambah 7 per mil dana dasar daerah. Dari paparan diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam mengelola suatu pembiayaan pendidikan diperlukan suatu
konsep dan sistem perencanaan yang matang, agar mampu merumuskan sistem
pembiayaan nasional pendidikan Indonesia dalam kerangka otonomi daerah.
Untuk kondisi Indonesia, model pembiayaan tidak bisa terlepas dari subsidi
pemerintah pusat, sekalipun telah ada wewenang sebagaimana diamanatkan UU
otonomi Daerah. Hal ini dikarenakan kemampuan sumber daya alam yang sangat
berbeda atau penghasilan (PAD) yang sangat rendah, serta kesadaran pada
pembangunan investasi pendidikan. Menurut Soedijarto hampir dua tahun MPR RI
menetapkan amandemen pasal 31 yang menetapkan kewajiban pemerintah untuk
membiayai pendidikan dasar yang wajib bagi setiap warga Negara (pasal 31 ayat (2))
dan kewajiban negara (pemerintah dan DPR) memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta dari APBD (pasal 31 ayat (4)
UUD 1945), pada tanggal 26 Januari 2004 kepada kesepakatan untuk mengalokasikan
11
10 anggaran pendidikan 3,49% APBN dan secara bertahap akan terus ditingkatkan
sehingga pada tahun 2009 akan mencapai 20% APBN.
Suatu keadaan yang ironis bila dibandingkan dengan perhatian pendidikan di
Negara yang maju seperti Inggris dan Amerika Serikat. Di Inggris Perdana Menteri
Blair nyaris terancam mendapat mosi tidak percaya karena masalah pembiayaan
pendidikan tinggi. Di Indonesia besarnya uang kuliah bahkan hanya ditentukan oleh
masing-masing Universitas, sedangkan di Inggris melalui UU yang ditetapkan
parlemen. Di Amerika Serikat John Keey memenangkan pemilihan calon presiden
partai Demokrat di Iowa dan New Hamphsire karena tekadnya untuk kembali
memperhatikan pendidikan dan kesehatan. Tidak pedulinya pemerintah terhadap
kenyataan masih belum dapat bebasnya rakyat untuk mengikuti pendidikan dasar
yang telah ditetapkan sebagai wajib tanpa dipungut biaya, tidak ditindaknya Kepala
Sekolah Negeri (SD dan SMP) yang mengadakan seleksi masuk SD dan SMP
merupakan kenyataan elementer bagi tidak pahamnya penyelenggaraan Negara (DPR
dan pemerintah) terhadap ketentuan pembukaan UUD 1945 dan pasal 31 khususnya
ayat (2) UUD 1945. Negaranegara yang kini maju dalam membangun bangsanya
(Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, dan Jepang) dan disusul Korea Selatan,
Taiwan, dan Malaysia adalah Negara yang berpegang pada paradigm “to build Nation
build Schools” para pendiri republic adalah penganut paradigm ini. Karena itu mereka
yakin bahwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan
nasional perlu diselenggarakan “satu system pengajaran nasional”.
Karena itu kepada mereka yang meragukan gunanya biaya sekurangkurangnya
20% jawabannya adalah agar sekolah kita berkualitas sama dengan sekolah yang pada
jaman penjajahan diperuntukan bagi orang Eropa, bangsawan, dan priyai baik dalam
hal tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, fasilitas, kurikulum, waktu belajar dan
intesitasi proses pembelajaran, sistem evaluasi, serta lingkungan sekolahnya. Tanpa
dapat menyelenggarakan sekolah semacam itu pendidikan nasional tidak akan pernah
dapat menjadi pendukung lahirnya manusia yang berkualitas yang mampu
berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan bangsa melainkan hanya akan
menghasilkan masalah, seperti sekarang sedang melanda Negara-negara berkembang
termasuk Indonesia.
Anggaran biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang berkaitan satu sama lain,
yaitu sisi anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran untuk mencapai tujuan
pendidikan. Anggaran penerimaan adalah Pendapatan yang diperoleh setiap tahun
12
oleh sekolah dari berbagai sumber resmi dan diterima secara teratur. Untuk sekolah
dasar negeri, umumnya memiliki sumber-sumber anggaran penerimaan, yang terdiri
dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sekitar, orangtua murid, dan
sumber lain. Sedangkan anggaran dasar pengeluaran adalah jumlah uang
yangdibelanjakan setiap tahun untuk kepentingan pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Belanja sekolah sangat ditentukan oleh komponen-komponen yang jumlah dan
proporsinya bervariasi di antara sekolah yang satu dan daerah yang lain. Serta dari
waktu ke waktu. Berdasarkan pendekatan unsur biaya (ingredient approach),
pengeluaran sekolah dapat dikategorikan kedalam beberapa item pengeluaran yaitu:
13
Pembiayaan pendidikan sekolah negeri di Indonesia berubah seiring pelaksanaan
otonomi daerah. Dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah sejak 1 Januari 2001, kewenangan pemerintah
pusat dan daerah pun berubah total. Jika selama ini segala sesuatu serba berbau
sentralisasi, maka sejak Januari lalu sejumlah urusan--khususnya bidang pendidikan;
dasar dan menengah--diserahkan kepada daerah alias didesentralisasikan. Secara
formal, pendidikan merupakan salah satu sektor yang pelaksanaan fungsinya
dilakukan daerah. Artinya, pemerintah daerah akan mempunyai peran yang lebih
besar dalam penanganan masalah pendidikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
(Prihandiyoko, 2001). Peningkatan peran ini termasuk dalam pengalokasian dana
pendidikan. Bagi pemerintah daerah, peningkatan peran ini mempunyai dua arti.
Selain sebagai momentum, juga menjadi tantangan bagi daerah untuk membuktikan
komitmennya dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui
pendidikan.
Pasal 6 Keputusan Mendiknas No 056/U/2001 tentang Pedoman Pembiayaan
Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah menyebutkan, penyelenggaraan pendidikan
di sekolah dibiayai terutama dari anggaran daerah otonom penyelenggara sekolah
yang bersangkutan. Selain itu, pembiayaan dapat dilakukan melalui pemberdayaan
peran serta masyarakat, orangtua, dan sumber lainnya. Prinsip yang harus
diperhatikan adalah asas musyawarah, mufakat, keadilan, transparansi, akuntabilitas,
kemampuan masyarakat, dan ketentuan lain yang berlaku. Pada perkembangan
selanjutnya, meski sering lebih bernuansa politis, pada awal tahun 2009 pemerintah
mendengungkan pendidikan gratis. Kebijakan BOS yang sudah berlangsung beberapa
periode untuk membantu operasional sekolah dalam rangka menyukseskan Wajib
Belajar 9 tahun ditambah misi baru yaitu sekolah gratis.
Bagi banyak sekolah negeri, larangan menarik iuran menimbulkan dilemma
tersendiri. Di satu sisi, sekolah tidak akan kehabisan peserta didik karena masih
banyak orangtua yang lebih memilih sekolah gratis ketimbang sekolah berkualitas.
Dengan begitu secara kuantitas, sekolah negeri tidak akan bangkrut, apalagi
pembiayaan personalia seperti gaji guru/karyawan sudah masuk dalam anggaran
pemerintah pusat. Di sisi lain tiadanya iuran menyebabkan sekolah kesulitan
mengembangkan berbagai program yang selama ini dibiayai sekolah secara mandiri.
Kegiatan seperti ekstra kurikuler, pembinaan olimpiade, KIR dan pembiayaan lain
menjadi terhambat bahkan terhenti.
14
Pada beberapa sekolah negeri, kesulitan tersebut cepat dibaca oleh komite
sekolah, yang kemudian mencari formulasi aman untuk menarik iuran dari orangtua
peserta didik. Alhasil, mereka dapat tetap menjalankan berbagai program unggulan.
Namun acapkali iuran yang ditarik tidak jauh beda dengan situasi sebelum kebijakan
sekolah gratis. Ini menyebabkan opini masyarakat yang terlanjur menganggap sekolah
gratis sesungguhnya tidak ada!
Permasalahan pembiayaan pendidikan di sekolah negeri diperrunyam lagi dengan
adanya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI). Keberadaan RSBI dan SBI memang berdasar pada
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) pasal 50 ayat (3), yang menyatakan “Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional”. Namun dalam kebijakan BOS, seperti dimuat dalam buku panduan
Bantuan Operasional Sekolah untuk Pendidikan Gratis dalam rangka Wajib Belajar 9
Tahun yang Bermutu adalah menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat
pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun
sekolah swasta. Tujuan khusus kedua adalah menggratiskan seluruh siswa SD negeri
dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah
bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Pengecualian
ini mengandung implikasi pembedaan perlakuan dan mengundang permasalahan baru.
Di satu sisi sekolah negeri diharamkan menarik iuran dari peserta didik, di sisi
lain sekolah negeri yang bertitel RSBI dan SBI dihalalkan menarik dana dari
masyarakat. Keadaan ini akan mendorong praktek-praktek tidak sehat serta dampak
seperti berikut:
1. Sekolah-sekolah tertentu berlomba-lomba menjadi RSBI dan SBI meski
sesungguhnya tidak layak.
2. Bagi RSBI dan SBI seolah mendapat keleluasaan menarik iuran seberapapun
besarnya.
3. RSBI dan SBI dapat berubah menjadi sekolah mahal dan ekskulif, sehingga
bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, yang menyatakan “Setiap
warga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
4. Biaya pendidikan di RSBI/SBI tidak terjangkau, padahal sekolah itu adalah
sekolah negeri yang mestinya terbuka untuk umum.
15
2.3 Kebijakan Pembiayaan Pendidikan di Sekolah Swasta
Sekolah swasta adalah lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat (bukan Negara). Penyelenggaraan Sekolah swasta di Indonesia dilakukan
oleh beranekaragam pihak, yaitu: yang memiliki latar belakang keagamaan,
kebudayaan/kedaerahan, sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi wanita dan
sekolah yang merupakan bagian dari suatu organisasi besar dengan beraneka ragam
latar belakang pula. Dari perspektif manajemen penyelenggaraan pendidikan
keragaman latar belakang itu berkaitan dengan kemampuan finansial kompetensi
professional, dan akuntabilitas penyelenggaraan terhadap pemakai jasa pendidikan.
Dalam keragaman itu pula, badan-badan penyelenggara pendidikan swasta
dihadapkan dengan kewajiban mengimplementasikan salah satu strategi pokok
kebijakan pendidikan nasional, yaitu peningkatan mutu pendidikan sekaligus
mengimplementasikan kebijakan pembiayaan pendidikan.
Sekolah swasta di Indonesia, selain memiliki akar sejarah yang kuat juga
memiliki berbagai keuntungan dalam hal jaminan perundang-undangan, sifatnya yang
manageable untuk peningkatan mutu dan difusi gagasan, pengelolaannya lebih
otonomi, jalur birokrasinya lebih pendek, dan adanya keleluasaan berinovasi ke arah
peningkatan mutu dan kinerja sekolah. Namun jika berhadapan dengan program
pemerintah mengenai sekolah gratis, pengelolaan sekolah swasta menghadapi kendala
yang serius. Ini terjadi jika tidak ada kebijakan lanjutan yang sungguh
mempertimbangkan posisi perguruan swasta sebagai mitra sekolah-sekolah negeri.
Pada dasarnya sekolah swasta membiayai operasional sekolahnya secara mandiri. Jika
sekolah-sekolah swasta berada dalam suatu korporasi bisa terjadi subsidi silang antar
sekolah dalam satu naungan. Kebijakan BOS di satu sisi membantu sekolah-sekolah
swasta dalam pembiayaan operasional. Orangtua juga terbantu karena dana BOS juga
digunakan untuk meringankan iuran orangtua. Berbagai kebutuhan dan fasilitas
belajar peserta didik juga sangat terbantu dengan adanya dana BOS.
Namun, tatkala kebijakan BOS dibarengi dengan kebijakan sekolah gratis, bagi
sekolah-sekolah swasta menjadi masalah besar, meskipun pemerintah menetapkan
sekolah gratis sementara ini hanya untuk SD dan SMP Negeri. Sekolah-sekolah negeri
sejauh ini biaya personalia ditanggung oleh negara. Oleh sebab itu dana BOS secara
teoritis sudah dapat menutup biaya operasional sekolah. Sementara itu
sekolah-sekolah swasta menanggung seluruh pembiayaan, termasuk biaya personalia.
16
Maka, jika memang benar kebijakan BOS dimaksudkan untuk membuat pendidikan
gratis, sekolah-sekolah swasta berada dalam kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu antara
lain : Sekolah swasta terancam kehilangan murid, karena sebagian murid mencari
sekolah gratis. Atau jika sekolah-sekolah swasta ikut menggratiskan seluruh siswa,
operasional sekolah terancam kelangsungannya. Hal ini tidak terjadi jika anggaran
pendidikan yang dikeluarkan oleh negara sungguh mampu menutup seluruh biaya
pendidikan.
Permasalahan yang dihadapi sekolah-sekolah swasta pada masa sekarang bukan
hanya masalah pembiayaan, tetapi juga kualitas dan ketersediaan peserta didik yang
memadai. Teori yang mengatakan bahwa sekolah negeri dan swasta sama-sama
dikembangkan oleh Negara perlu dipertanyakan secara kritis. Dana block grant yang
selalu didengungkan belum mampu menjangkau seluruh sekolah yang membutuhkan.
Akibatnya, sekolah-sekolah swasta akan semakin terpuruk. Sekolah-sekolah swasta
yang lemah pelan-pelan akan tutup. Sekolah swasta yang semula kuat pelan-pelan
akan melemah. Penyebabnya, lemah dari pembiayaan sehingga kualitas sarana
prasarana tertinggal, SDM terbelakang, kekurangan peserta didik dan akhirnya
pelan-pelan bangkrut.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembiayaan pendidikan merupakan aspek yang vital dalam upaya
mengembangkan system pendidikan nasional. Pendidikan sebagai sebuah investasi
Sumber Daya Manusia (SDM) bagi kehidupan bangsa dan Negara di masa mendatang
tidak boleh dipandang remeh. Amanat Undang-undang yang mewajibkan pemerintah
merealisasikan anggaran 20% untuk pendidikan sesungguhnya didasari oleh suatu
wawasan jauh ke depan. Akan tetapi kenyataannya pada tataran implementasi,
anggaran 20% tersebut masih dipelintir dan dipolitisir. Hal ini menyebabkan anggaran
pendidikan tidak sesuai dengan amanat undang-undang, bahkan terkesan seadanya.
Namun keseriusan pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan, seperti
Wajib Belajar (Wajar) 12 tahun serta Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu
mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Kecuali itu masyarakat perlu
mendukungnya dengan sikap kritis dalam mengawasi dan member masukan agar
pelaksanaan kebijakan sungguh sesuai dengan tujuan. Suatu kebijakan tentu tidak
lepas dari peran penguasa, akan tetapi kebijakan seharusnya mengabdi pada
kepentingan masyarakat luas, lebih-lebih bagi masyarakat miskin yang selama ini
jauh dari jangkauan pendidikan. Kebijakan tidak boleh mengabdi pada kepentingan
politik sesaat, yang justru merugikan kepentingan rakyat banyak. Demikian pula
kebijakan Sertifikasi guru, yang menghabiskan dana tidak sedikit seharusnya
membawa dampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan. Diperlukan
pembangunan system yang unggul.
Kebijakan sekolah gratis yang dikaitkan dengan program Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) perlu disempurnakan dengan kebijakan lanjutan sehingga masyarakat
luas terlayani haknya untuk memperoleh pendidikan murah, sekolah-sekolah negeri
dan swasta tetap eksis memainkan perannya ambil bagian dalam system pendidikan
nasional. Program pendidikan gratis tidak boleh mematikan peranserta masyarakat
serta orangtua peserta didik untuk ikut membiayai pendidikan, mengingat pendidikan
adalah investasi berharga untuk masa depan. Konsep pendidikan gratis seyogyanya
diubah konsepnya menjadi pendidikan murah.
Keberadaan RSBI dan SBI hendaknya dikaji lebih mendalam, bukan saja dalam
hal muatan kurikulum dan pembelajaran, tetapi juga dalam hal keleluasaan menarik
18
iuran dari masyarakat. Manajemen pembiayaan pendidikan untuk RSBI dan SBI perlu
dikonsep kembali sehingga RSBI dan SBI tidak menjadi sekolah ekslusif yang justru
terkesan tidak berpihak pada masyarakat sederhana.
Sekolah-sekolah swasta seharusnya dihargai dan diapresiasi oleh Negara sebagai
lembaga-lembaga yang ikut membangun investasi SDM masa depan yang tak ternilai
harganya. Sekolah-sekolah swasta dengan segala keterbatasannya berusaha
mencukupi kebutuhan operasional sekolah, mulai dari gaji, sarana-prasarana, biaya
operasional hingga biaya investasi lainnya. Oleh sebab itu kebijakan pemerintah
seperti BOS hendaknya benar-benar mendukung kehidupan sekolah swasta, bukan
mematikannya. Dana Alokasi Khusus (DAK), block grant dan dana-dana pemerintah
lainnya seharusnya mampu menjangkau bukan saja sekolah-sekolah ngeri, tetapi juga
sekolah-sekolah swasta yang memiliki potensi dan prospek pengembangan ke depan.
Teori seleksi alam tidak boleh dibiarkan terjadi dalam dunia pendidikan.
Lembaga-lembaga yang lemah harus dibina dan didukung dengan berbagai dukungan
sehingga mampu hidup, berkembang dan bersaing. Semuanya demi membangun
SDM berkualitas untuk masa depan bangsa dan Negara.
3.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap pada pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya
makalah ini dan penulis makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.
19
DAFTAR PUSTAKA
20