Anda di halaman 1dari 19

PENGEMBANGAN PELAYANAN KESEHATAN

SISTER HOSPITAL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Pelayanan Kesehatan

Disusun oleh:
1. Linda Risyati (186070400111003)
2. Satiyem (186070400111005)
3. Ehda Safitri (186070400111007)
4. Merry Aplonia Giri (186070400111013)
5. Istifadatul Ilmiya (186070400111014)
6. Dinda Oktia Maghfiroh (186070400111017)
7. Nur Aisyah Laily (186070400111020)
8. Laras Putri Gamagitta (186070400111021)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
PENGEMBANGAN PELAYANAN KESEHATAN
“SISTER HOSPITAL”

A. Latar Belakang
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih menjadi sorotan sampai saat ini.
Angka kematian ibu dan anak sebagai indikator keberhasilan pencapaian KIA,
dilaporkan sudah mengalami penurunan yakni 346 kematian (SP, 2010) menjadi
305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (SUPAS, 2015). Namun faktanya
masih belum bisa mencapai target MDGs pada tahun 2015. Sedangkan kita
dihadapkan pada target SDG’s yang lebih ambisius yakni mengurangi angka
kematian ibu hingga di bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup dan menurunkan
angka kematian neonatal setidaknya hingga 12 per 1.000 kelahiran hidup dan
angka kematian balita 25 per 1.000 kelahiran hidup.
Beberapa upaya telah dilakukan dalam menurunkan kematian ibu dan bayi,
salah satunya meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini
terlihat dari proporsi persalinan di fasilitas kesehatan dari 66,7% meningkat
menjadi 79,3% pada 2018 (Riskesdas, 2013). Akan tetapi masih perlu upaya keras
untuk menurunkan angka kematian agar tidak terjadi kematian yang sama pada
masa-masa yang akan datang. Seperti diketahui bahwa terjadi pergeseran
penyebab kematian yakni hipertensi dalam kehamilan, disusul oleh perdarahan,
infeksi dan aborsi (Riskesdas, 2018).
Dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi, tidak hanya dapat
diselesaikan dalam sektor kesehatan saja. Akan tetapi juga perlu melihat upaya
dari sektor lainnya. Hal ini dikarenakan pada dasarnya permasalahan AKI dapat
dilihat dari dua hal, yaitu dari sisi masyarakat (demand side) dan dari sisi
pelayanan (supply side). Permasalahan kesehatan yang ada saat ini tidak lepas dari
permasalahan yang ada di masyarakat sehingga imbas dari permasalahan tersebut
akan berdampak buruk pada upaya menurunan AKI.
Program kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu prioritas utama
pembangunan kesehatan Indonesia untuk menurunkan kematian dan kejadian
sakit di kalangan ibu, bayi dan anak. Dewasa ini angka kematian ibu dan bayi di
Indonesia masih tinggi bila dibandingkan dengan negara ASEAN yang lain, dan

1
upaya penanggulangannya cukup rumit. Oleh karena itu angka kematian ibu
(AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat dan salah satu indikator terpenting untuk menilai kualitas
pelayanan.
Demi mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, maka
upaya kesehatan diselenggarakan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara terpadu dan dengan mengutamakan pendekatan: peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif), serta pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Hal ini perlu dilaksanakan
secara terintegrasi dan berkesinambungan dengan mengedepankan nilai-nilai
pembangunan kesehatan: a) berpihak pada rakyat; b) bertindak cepat dan tepat; c)
integritas tinggi; d) transparansi dan akuntabilitas; e) kemitraan atau sinergisme
diantara para pelaku pembangunan kesehatan.
Pembangunan nasional dengan segala prioritas telah disusun di dalam
RPJMN 2015-2019 yang disusun pada tahun 2014, akan tetapi banyak dari target
SDGs yang tercakup di dalam RPJMN. Dari 169 target SDGs, terdapat 96 target
yang tercakup dalam prioritas pembangunan nasional. Tujuan 1-5 pada SDGs
merupakan bagian dari pilar sosial dengan 47 target, dimana 27 targetnya telah
selaras dengan RPJMN dengan priotitasnya yaitu penanggulangan kemiskinan,
peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan kedaulatan pangan,
pelaksanaan program Indonesia Pintar dan Indonesia Sehat serta melindungi anak,
perempuan dan kelompok marjinal. Selain itu bahwa program Nawacita yang
diusung pemerintah Jokowi-JK juga memetakan tujuan SDGs dari 9 agenda
Nawacita telah selaras dengan 17 tujuan SDGs, dimana tujuan SDGs ke 3
mendapat bagian dalam 6 agenda Nawacita yaitu pada Nawacita 1, Nawacita 3,
Nawacita 5, Nawacita 6, Nawacita 7 dan Nawacita 8.
Angka kematian ibu di Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 2016 masih
tinggi yaitu 131 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini tidak mencapai target
Renstra Dinas Kesehatan NTT yaitu 128 per 100.000 kelahiran hidup, namun
terjadi penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 133 per 100.000 kelahiran hidup.
Strategi yang dilakukan oleh Provinsi NTT dalam mengejar ketinggalan dalam
pencapaian target MDG ini adalah revolusi kesehatan ibu dan anak (Revolusi

2
KIA). Revolusi KIA menetapkan seluruh ibu hamil harus melahirkan di sarana
pelayanan kesehatan yang memadai. Revolusi KIA ini melahirkan solusi kontrak
sumber daya manusia klinik (clinical contracting-out) dengan brand khusus sister
hospital (Profil Kesehatan Propinsi NTT, 2017).
Terdapat empat hal yang menjadi cakupan pelayanan utama kegiatan sister
hospital. Keempat hal tersebut adalah pelayanan obstetri neonatus komprehesif
(PONEK) 24 jam, pembinaan sistem rujukan Puskesmas ke RSUD maupun
sebaliknya, capacity building, dan persiapan pendidikan spesialisasi. Dalam
makalah ini kami akan membahas lebih rinci tentang Revolusi KIA NTT
khususnya pelayanan pada Sister Hospital.

B. Revolusi KIA
1. Pengertian Revolusi KIA
Revolusi KIA adalah salah satu bentuk upaya percepatan penurunan
kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir dengan cara-cara yang luar biasa
melalui persalinan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai dan siap 24
jam (seperti yang sudah dilakukan di negara-negara seperti Srilangka, Malaysia
dan Singapura).
2. Payung Hukum Revolusi KIA
Payung hukum dari Revolusi KIA adalah Pergub Nusa Tenggara Timur
Nomor 42 Tahun 2009.
3. Program Revolusi KIA
Revolusi kesehatan ibu dan anak dilaksanakan melalui optimalisasi
pemenuhan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan yang memadai dan siap 24 jam
dan diperuntukan bagi pelayanan kesehatan ibu dan bayi, antara lain:
a) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi:
 pelayanan pemeriksaan kehamilan;
 pertolongan persalinan normal maupun komplikasi;
 pelayanan pemeriksaan ibu Nifas;
 pelayanan gawat darurat;
 pelayanan rujukan.
b) Pelayanan kesehatan bayi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi:

3
 pelayanan perawatan bayi normal;
 pelayanan bayi sakit;
 pelayanan penanganan bayi dengan komplikasi;
 penanganan gawat darurat;
 pelayanan rujukan.
Fasilitas kesehatan yang memadai dan siap 24 jam meliputi:
a) Tenaga kesehatan yang lengkap dan terlatih;
 Dalam memenuhi fasilitas kesehatan yang memadai dan siap 24 jam
Pemerintah Daerah mengatur penempatan tenaga kesehatan.
 Tenaga kesehatan yang ditugasi menyelenggarakan kesehatan ibu dan
bayi adalah tenaga kesehatan yang memenuhi kualifikasi dan
persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b) Sarana fisik kesehatan;
 Puskesmas rawat inap dilengkapi dengan rumah tunggu.
 Rumah Sakit dilengkapi dengan rumah tunggu
c) Peralatan kesehatan;
Pemerintah Daerah/Swasta menyiapkan peralatan kesehatan sesuai standar
pelayanan pada setiap tingkatan sarana pelayanan kesehatan
d) Obat-obatan, perbekalan kesehatan, cairan dan darah;
Pemerintah Daerah/Swasta menyediakan obat, perbekalan kesehatan,
cairan dan darah sesuai standar pelayanan pada setiap tingkatan sarana
pelayanan kesehatan.
e) Sistem pelayanan kesehatan;
Pemerintah Daerah/Swasta menyediakan sistem pelayanan kesehatan
sesuai standar pelayanan pada setiap tingkatan sarana pelayanan
kesehatan.
f) Pembiayaan
Biaya pelayanan kesehatan ibu dan bayi dalam rangka Revolusi kesehatan
ibu dan anak dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, Anggaran Pendapatanan dan Belanja Daerah dan Lembaga Donor
serta sumber-sumber pendapatan lain yang sah dan tidak mengikat

4
5
4. Strategi Revolusi KIA
Strategi yang digunakan untuk percepatan dibagi dalam 3 bagian yaitu:
a) Peningkatan mutu pelayanan (Supply Side)
Dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan dan jangkauan pelayanan
kesehatan dalam upaya pelaksanaan Percepatan penurunan Kematian Ibu
dan Bayi Baru Lahir maka diusahakan ibu hamil berada sedekat mungkin
pada sarana pelayanan baik pelayanan dasar maupun pelayanan rujukan.
Untuk itu dikembangkan 3 sistem peningkatan mutu pelayanan dari supply
side yaitu:
 Rumah Tunggu: Mendekatkan sasaran pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang memadai dan siap 24 jam
 Puskesmas PONED: Menyiapkan pelayanan kesehatan yang bermutu
di Puskesmas pada umumnya dan pelayanan pertolongan persalinan
serta bayi baru lahir 24 jam/hari pada khususnya.
 Rumah Sakit PONEK: Menyiapkan pelayanan kesehatan yang bermutu
di Rumah Sakit pada umumnya dan pelayanan kegawatan darurat
kebidanan serta bayi baru lahir 24 jam/hari pada khususnya.
 Sistem Rujukan yang memadai: Memantapkan kualitas rujukan
kegawatdaruratan kebidanan serta bayi baru lahir
b) Pemberdayaan Masyarakat (Demand Side)
Untuk mencapai hasil yang maksimal, diperlukan peningkatan kesadaran
masyarakat, penggerakan/pengorganisasian peran serta aktif masyarakat di
tingkat desa (kader, dukun bayi, tokoh agama, tokoh masyarakat,
organisasi kemasyarakatan lainnya) serta dukungan pemangku
kepentingan dan aparat Pemerintah setempat sesuai dengan peran masing-
masing, sebagai berikut:
 Tingkat Keluarga:
Memberdayakan keluarga (suami, istri dan anak) untuk memahami
kesehatan reproduksi dan ”Sadar, Mau serta Mampu” untuk hidup
sehat melalui pendekatan komunikasi, informasi dan edukasi, temu
wicara \serta kunjungan rumah.
 Tingkat Masyarakat:

6
Memberdayakan Kader Posyandu, Kader Dasawisma (Kader PKK),
Sub PPKBD (Pembantu Penyuluh Keluarga Berencana Desa) dan
kader lainnya untuk mendata sasaran ibu hamil, ibu melahirkan, ibu
Nifas, ibu menyusui, bayi baru lahir, serta Pasangan Usia Subur (PUS).
 Tingkat Desa/Kelurahan:
Memberdayakan Kepala Desa/Lurah, Badan Permusyawaratan
Desa/Kelurahan (BPD/L), Tim Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) untuk sadar dan mau hidup sehat melalui
Musyawarah Desa/Kelurahan, Rapat Tim PKK dengan bermuara pada
penetapan ”Peraturan Desa/Kelurahan tentang kewajiban semua Ibu
melahirkan di fasilitas kesehatan (Puskesmas PONED dan RS
PONEK)”.
 Tingkat Kecamatan:
Meningkatkan penggalangan kemitraan dalam pembangunan kesehatan
di wilayah kerja kecamatan oleh Camat dan Tim Penggerak PKK
Kecamatan serta memberikan arahan dan supervisi ke desa/kelurahan
untuk menjamin terselenggaranya sistem pelayanan kesehatan
desa/kelurahan.
 Tingkat Kabupaten/Kota:
Menjamin agar pelayanan kesehatan di wilayah Kabupaten/Kota
terlaksana dengan baik dan bermutu dengan menyediakan alokasi
anggaran untuk pelayanan pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan
yang memadai dan siap 24 jam melalui PERBUP/PERWAKOT
tentang pemenuhan standar Puskesmas PONED dan RS PONEK di
tingkat Kabupaten/Kota.
 Tingkat Provinsi:
Pemerintah Provinsi memberikan arahan dan bimbingan serta
supervisi terhadap pelaksanaan kebijakan pelayanan kesehatan di
Kabupaten/Kota. Bappeda Provinsi berperan dalam meningkatkan
koordinasi perencanaan penganggaran, monitoring dan evaluasi untuk
menunjang pelaksanaan program-program SKPD lingkup Provinsi

7
NTT melalui penggalangan kemitraan donor agency, LSM, Swasta
serta masyarakat.
Dinas Kesehatan Provinsi mengupayakan tersedianya dana
operasional, dokter umum, dokter spesialis, bidan terlatih, perawat
terlatih, sarana-prasarana, obat dan alat kesehatan serta alat
kontrasepsi. Melakukan bimbingan pengendalian, supervisi dan
monitoring terhadap kegiatan program sejak tahap persiapan,
pelaksanaan serta evaluasi.
BKKBN Provinsi mengupayakan ketersediaan dana operasional
guna menunjang kegiatan program pemetaan sasaran (PUS, WUS, Ibu
hamil, ibu melahirkan, ibu Nifas, ibu menyusui, bayi baru lahir, bayi
dan balita), penyuluhan masyarakat dan penggerakan sasaran ke
tempat-tempat pelayanan kesehatan.
Biro Pemberdayaan Perempuan mengupayakan ketersediaan dana
operasional guna menunjang kegiatan program sosialisasi dan advokasi
ke semua pemangku kepentingan baik di tingkat provinsi,
Kabupaten/Kota, kecamatan dan desa. Melakukan monitoring terpadu
bersama-sama Dinas Kesehatan serta BKKBN secara rutin dan
berkelanjutan.
Badan Pembangunan Masyarakat Desa meningkatkan ketersediaan
dana operasional di desa guna menunjang kegiatan Survey Mawas
Diri, Temu Wicara/Diskusi Kampung dan Musyawarah Masyarakat
Desa/Kelurahan dan insentif bagi kader, dukun bersalin terlatih serta
dana operasional posyandu. Selanjutnya melakukan bimbingan
pengendalian, supervisi dan monitoring secara rutin dan berkelanjutan.
 Dukun/Bidan Desa/Perawat Pustu/PLKB:
Memberdayakan Dukun, Bidan Desa dan Perawat di desa untuk:
 Membuatkan peta sasaran ibu hamil, ibu melahirkan, ibu Nifas, ibu
menyusui, bayi baru lahir, bayi, PUS
 Melakukan pelayanan ANC terintegrasi
 Membawa Ibu Hamil yang akan melahirkan/abortus ke Puskesmas
PONED yang telah ditunjuk/ditetapkan.

8
 Melakukan kunjungan rumah pada ibu hamil, ibu Nifas, ibu
menyusui dan bayi baru lahir.
 Melakukan pendekatan komunikasi, informasi dan edukasi serta
temu wicara dengan keluarga sasaran.
 Pemantapan Manajemen (Perencanaan, Pelaksanaan dan evaluasi)
5. Alur Pelayanan Revolusi KIA
Alur pelayanan sebagai berikut: pasien (ibu akan melahirkan) dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai dan siap24 jam di Puskesmas rawat
inap dan bila memerlukan penanganan lebih lanjut pada tingkat yang lebih tinggi
makadirujuk ke rumah sakit. Untuk mendukung pelayanan di fasilitas kesehatan
yang memadai dan siap 24 jam pada kedua level tersebut diatas, akan disediakan
rumah tunggu yang berfungsi sebagai tempat penampungan sementara bagi ibu
yang akan melahirkan dan bagi keluarga yang mendampingi.

6. Indikator Keberhasilan Revolusi KIA


a) Indikator Keberhasilan Antara:
 Jumlah fasilitas kesehatan yang memadai:
 Jumlah Ibu Hamil yang melahirkan di fasilitas kesehatan
 Pembuatan Peraturan-peraturan yang memayungi
 KB Pasca Salin

9
b) Indikator Keberhasilan Akhir:
 Penurunan kematian bayi dan ibu melahirkan sesuai dengan target
yang ditetapkan atau minimal sama dengan Nasional atau lebih
rendah 1 digit dari Nasional
7. Kegiatan-Kegiatan dalam Rangka Implementasi Revolusi KIA di NTT
a) Program Sister Hospital
b) Program Pml Bagi Puskesmas, Rsud & Dinas Kesehatan Kab Serta Dinas
Kesehatan Prov.
c) Program Sikda
d) Sistem Rujukan
e) Sistem Pelayanan Darah
f) Pendidikan Dokter Spesialis Untuk Obgyn & Anak, Bekerjasama Dengan
Unibraw Malang Dengan Fk Undana Dan Rsud Prof.Dr.W.Z.Johannes

C. Sister Hospital
Program Sister Hospital (SH) merupakan kerjasama antara pemerintah
Australia dan Indonesia dalam bidang kesehatan terutama kesehatan ibu dan anak
di Nusa Tenggara Timur (NTT). Program Sister Hospital mengembangkan
kemitraan jangka menengah (3 sampai 5 tahun) antara Rumah Sakit (RS)
pendidikan dan rujukan yang ada di kota-kota besar di Indonesia dengan RSUD
yang ada di NTT. RS pendidikan menyediakan tim klinis untuk pelayanan dokter
spesialis serta membangun kapasitas tenaga kesehatan di RSUD sehingga
nantinya bisa melanjutkan pelayanan PONEK. Selama kemitraan ini, Pemerintah
Kabupaten menyediakan beasiswa bagi dokter lokal untuk melanjutkan
pendidikan spesialis sehingga bisa mendukung keberlanjutan program ini dalam
jangka panjang (AIPMNH, 2012).
1. Tujuan Program Sister Hospital
Berikut ini merupakan tujuan dari program sister hospital:
a) Memberikan pelayanan PONEK 24/7, termasuk pelayanan dokter spesialis
dan layanan pendukung lainnya (anaestesi, keperawatan, transfusi darah,
laundry, pemeliharaan peralatan).

10
b) Memperkuat sistem rujukan dengan meningkatkan kapasitas Puskesmas
dalam memberikan pelayanan PONED; serta menangani dan merujuk
kasus-kasus secara tepat.
c) Memperkuat manajemen RS untuk mendukung pemberian pelayanan yang
baik.
d) RSUD mendapatkan status BLUD agar bisa mempunyai mekanisme
pembiayaan yang fleksibel untuk mendukung pemberian pelayanan yang
lebih baik.
e) Mendorong peningkatan dana dan dukungan dari pemerintah daerah,
khususnya beasiswa bagi dokter lokal untuk melanjutkan pendidikan
spesialis.
f) Terlibat bersama pemerintah daerah dan masyarakat dalam meningkatkan
dukungan yang lebih luas.
2. Organisasi yang Terlibat
Menurut AIPMNH (2012) organisasi yang terlibat dalam program sister
hospital memiliki syarat dan peran sebagai berikut :
a) RS pendidikan/rujukan (Mitra A)
Menyeleksi dan mengelola pengiriman tim klinis secara reguler;
mendukung tim dalam mengkaji kebutuhan kapasitas di RS mitra
kabupaten, menyusun rencana dan kegiatan pengembangan kapasitas
klinis staf RSUD kabupaten; memberikan dan mendukung pengembangan
kapasitas manajemen; pencatatan dan pelaporan; serta upaya advokasi ke
Pemda kabupaten. Peran ini sangat signifikan dan membutuhkan
komitmen jangka panjang (3 – 5 tahun) dan jika sudah dilaksanakan maka
tidak bisa ditarik kembali tanpa ada penggantinya.
b) RSUD (Mitra B)
Kesiapan dan kemauan untuk melakukan perubahan; staf siap untuk
berpartisipasi secara aktif dalam pelatihan dan bekerja lebih keras; siap
dan mau untuk mendukung perubahan dalam budaya kerja; direktur dan
staf senior RS mendukung dan memiliki kemampuan; dokter lokal mau
untuk mengikuti pendidikan spesialis dan kembali bekerja di Kabupaten.

11
c) Pemerintah kabupaten
Siap untuk terlibat dan berkomitmen terhadap pengembangan RS;
menyediakan sumber daya tambahan / renovasi dan perbaikan yang
dibutuhkan; dan mendukung transisi RSUD menjadi BLUD
d) Koordinator / pengawas teknis
Melakukan kontak dan rekrutmen terhadap RS Mitra A; mengawasi arah
dan kemajuan program; mengelola hubungan antara Mitra A dan B,
dengan Pemda dan masyarakat; mengelola pelaporan dan kualitas input;
mengelola pelaksanaan monitoring evaluasi yang independen. Catatan; Di
NTT, tugas ini dilakukan oleh institusi akademik, PKMK-FK UGM.
e) Donor dan inisiator program, AIPMNH
Peran AIPMNH selanjutnya bisa dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi atau instansi lainnya. Menyusun strategi keseluruhan, mengontrak
RS Mitra A Hospitals, mengontrak Koordinator, mengelola dan
mencairkan dana, pemantauan dan pelaporan, serta memberikan bantuan
teknis, mengontrak dan mengawasi kegiatan-kegiatan penting lainnya
(misalnya perbaikan sistim informasi RS dan Billing Systems).
f) Organisasi Profesi
Ikut serta dalam monitoring dan evaluasi, mencari resolusi untuk isu-isu
spesifik (misalnya izin praktik untuk dokter spesialis yang sedang dalam
pendidikan), advokasi ke pemerintah pusat untuk mendapat dukungan
pendanaan dan kebijakan.
3. Desain Intervensi dan Pelaksanaan
Menurut AIPMNH (2012) desain intervensi dan pelaksanaan dari sister
hospital terdiri dari:
a) Elemen-elemen intervensi
 Identifikasi, briefing, dan mendorong RS Mitra A untuk berkomitmen
terhadap program; menggunakan jasa mitra dari pihak akademis yang
memiliki jejaring dan kredibilitas dengan rumah sakit pendidikan
dalam proses ini memiliki keuntungan tersendiri
 Melibatkan pemerintah daerah dan mendapatkan dukungan serta
komitmen jangka panjang

12
 Melakukan kajian awal mengenai kebutuhan-kebutuhan di RSUD; dan
menyusun perencanaan berbasis hasil kajian tersebut untuk
memperkuat keterampilan dan pelayanan klinis
 Rotasi tim klinis RS Mitra A: pengelolaan, pengaturan izin praktik,
pembayaran jasa medis untuk pelayanan, akomodasi dan transport
(biaya untuk dua item terakhir ini dibayarkan oleh Pemda)
 Melakukan kajian mengenai kapasitas Manajemen RSUD dan
menyusun rencana penguatan manajemen
 Implementasi kegiatan pengembangan kapasitas di RS di bidang
pelayanan klinis maupun manajemen
 Pengembangan kapasitas pengajaran klinis di RSUD bagi staf
Puskesmas (on the job training atau magang)
 Pencatatan dan pelaporan Audit independen dan monitoring evaluasi
yang dilakukan secara periodik
 Melakukan identifikasi, kajian dan pengaturan dokter lokal untuk
melanjutkan pendidikan spesialis
b) Input yang dibutuhkan dan biaya
Perkiraan biaya untuk satu RSUD, sesuai RS Grup 1 (tidak ada dokter
spesialis). Biaya-biaya ini akan dibutuhkan sampai para dokter
menyelesaikan pendidikan spesialisnya (3 – 5 tahun).
 Mitra A
Koordinator ditempatkan di RSUD + manajer di RS mitra A; rotasi tim
klinis + biaya perjalanan, akomodasi, biaya hidup; penempatan staf
dari RSUD untuk mengikuti pelatihan tertentu di RS Mitra A;
koordinator manajemen + staf ahli teknis khusus

13
 Mitra B dan Pemerintah Daerah (Biaya tambahan untuk anggaran dan
dana operasional rutin

 Koordinator

c) Potensi Sumber dana/opsi untuk replikasi


 APBN Kemenkes yaitu dana untuk pelayanan kesehatan (Yankes) di
wilayah pedesaan/daerah terpencil
 BPJS dana untuk peserta BPJS dalam mengakses Yankes yaitu biaya
sister hospital
 BPJS pembayaran medis adalah dana pendukung
d) Resiko/Tantangan cara mengatasi
 Dokter umum yang saat ini bertugas di RSUD yang perannya
digantikan oleh tim residen spesialis RS Mitra A bisa menyebabkan
timbulnya kemarahan atau kebencian. Jika sejak tahap persiapan sudah
diberikan klarifikasi mengenai kejelasan peran dan tanggung jawab
dokter umum hal ini akan sangat membantu dalam meminimalkan atau
menghindarkan risiko timbulnya persoalan tersebut.
 Meningkatnya jumlah persalinan dan jumlah rujukan di RS bisa
menyebabkan bertambahnya beban kerja. Sebelum program dimulai,
sebaiknya diperkirakan jumlah kasus yang dapat ditangani (dan sesuai
standar kualitas penanganan) dengan jumlah staf yang ada dan
memiliki rencana cadangan apabila jumlah kasus melebihi kapasitas
staf yang ada. Bila jumlah kasus melebihi kapasitas staf maka bisa

14
membahayakan keselamatan pasien. Masalah inilah yang mungkin
menjadi penyebab meningkatnya jumlah kematian di RS pada awal
program meskipun kemudian diikuti dengan penurunan.
 Harapan masyarakat akan hadirnya pelayanan dokter spesialis di RS
bisa dipenuhi dengan menyebarkan informasi melalui kanal media
yang ada. Dengan adanya pemahaman mengenai pelayanan ini maka
bisa mencegah terjadinya salah konsepsi dan harapan yang tidak
realistis di masyarakat. Penyebaran informasi mengenai kemajuan
program juga bisa meningkatkan dukungan melalui interaksi antara
masyarakat dengan DPRD.
 Proses identifikasi para dokter lokal yang mampu untuk melanjutkan
pendidikan spesialis perlu diantisipasi dan dilakukan sesingkat
mungkin. Jika prosesnya lama, ditambah dengan masa pendidikan
spesialis yang lama, maka butuh waktu lama bagi masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan dokter spesialis
4. Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan monitoring dan evaluasi ini menjadi sangat penting demi menjamin
implementasi program, apakah program yang sudah direncanakan berjalan
sesuai tracknya, kendala apa saja yang dialami, dan lain sebagainya. Menurut
Stevie (2015) beberapa manfaat dari kegiatan monitoring evaluasi khusus
PONEK adalah :
a) Mengukur sejauh mana mutu pelayanan PONEK yang diterima oleh
masyarakat atau pasien. Apakah PONEK yang dijalankan di RSUD sudah
sesuai dengan standard ataukah hanya mengatasnamakan PONEK saja
padahal pelayanannya belum maksimal.
b) Menemukan inovasi-inovasi baru yang berhubungan dengan PONEK.
c) Mempertemukan semua stakeholder yang terlibat dalam penyelenggaraan
pelayanan PONEK di daerah (Bappeda, BKD, Dinas Kesehatan, bahkan
Bupati atau Wakil Bupati) dalam pemaparan temuan sementara hasil
monitoring dan evaluasi. Dengan hadirnya semua pihak dalam satu ruang
pertemuan maslah yang dipaparkan tim Monev bisa langsung ditanggapi
dan dicari jalan keluarnya sehingga pihak RSUD tidak merasa jalan

15
sendiri. Selain itu pada monitoring dan evaluasi periode berikutnya bisa
dilakukan konfirmasi terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan
sebelumnya, apakah sudah dilakukan atau belum, apa kendalanya, dan lain
sebagainya.
d) Dengan keterlibatan dari Dinas Kesehatan Provinsi dan RS Provinsi akan
menimbulkan rasa memiliki dari kedua belah pihak. Dinas Kesehatan
Provinsi sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap sistem kesehatan
provinsi setidaknya memiliki gambaran bagaimana akan mengembangkan
pelayanan PONEK di daerah ke depannya.
e) Meningkatkan motivasi para staf bidan, perawat, dan dokter yang bekerja
sebagai tim PONEK di RSUD. Dengan rutin dilakukannya monitoring dan
evaluasi tim PONEK RSUD merasa lebih bersemangat untuk melakukan
perubahan agar pada monitoring dan evaluasi berikutnya kekurangan-
kekurangan yang ditemukan pada monev sebelumnya tidak ditemukan
lagi.

D. Peran Bidan
Berikut ini merupakan peran yang dapat dilakukan oleh bidan terhadap
Revolusi KIA, khususnya program sister hospital:
1. Bidan disini sebagai pelaksana dari program yang telah dibuat diharapkan
dapat memahami dan melaksanakan program sesuai dengan tupoksinya
2. Sebagai bidan yang berada dibawah naungan organisai profesi juga dapat
membantu untuk monitoring dan evaluasi dari keberlangsungan program
tersebut
3. Meningkatkan keterampilan dan motivasi agar dapat bekerjasama dengan baik
sebagai tim PONEK di Rumah sakit
4. Peran bidan pada lintas sektoral juga berfungsi untuk memperkuat sistim yang
berjalan dan menjembatani antara stake holder terkait

E. Kesimpulan
Revolusi KIA adalah salah satu bentuk upaya percepatan penurunan
kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir dengan cara persalinan yang ditolong

16
oleh tenaga kesehatan yang terlatih pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
memadai. Di Indonesia pada tingkat provinsi, NTT telah menetapkan revolusi
KIA melalui Peraturan Gurbenur NTT no 42 tahun 2019. Tercapainya percepatan
penurunan angka kematian ibu melahirkan dan kematian bayi baru lahir melalui
persalinan di fasilitas kesehatan yang memadai akan sesuai dengan tujuan revolusi
KIA jika di dukung dari dua sisi dalam pelaksanaan revolusi KIA yaitu pada
pemerintah/ swasta dan masyarakat itu sendiri.
Sasaran program revolusi KIA adalah semua ibu hamil, ibu bersalin dan
ibu nifas serta bayi baru lahir yang ada di Provinsi NTT dan ibu dapat bersalin di
fasilitas kesehatan yang ditangani oleh tenaga kesehatan. Salah satu kegiatan
implementasi revolusi KIA ini yaitu sister hospital dimana bertujuan untuk
memberikan pelayanan PONEK selama 24 jam/ 7 hari tapi juga memperkuat
sistem rujukan sehingga pasien dapat mendapatkan pelayanan yang baik dan tepat.
Sehingga Angka Kematian Ibu (AKI) diharapkan dapat menurun melalui salah
satu upaya program kerjasama yaitu sister hospital.
Sister Hospital mengembangkan kemitraannya dalam jangka waktu tiga
sampai lima tahun antara rumah sakit pendidikan dengan rumah sakit rujukan.
Selama kemitraan ini pemerintah kabupaten menyediakan beasiswa bagi dokter
lokal untuk melanjutkan pendidikan spesialis obstetry-gynecology dan dokter
spesialis anak dan tenaga kesehatan lainnya yang diharapkan nantinya mampu
secara maksimal mengembangkan pelayanan PONEK dengan di dukung oleh
sumber daya manusia yang unggul.

F. Referensi
AIPMNH. 2012. Paket Investasi AIPMNH: Program Sister Hospital. Australian
Aid.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Survei Penduduk Antar Sensus 2015. Jakarta:
BPS.

Bappenas. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)


2015-2019. Jakarta: Bappenas.

17
Dinkes Propinsi NTT. 2017. Profil Kesehatan Propinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun 2016.

Riskesdas. 2018. Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Kementerian


Kesehatan RI 2018: Riset Kesehatan Daerah. Jakarta: Riskesdas.

Stevie Ardianto Nappoe. 2015. Kegiatan Monitoring dan Evaluasi SH-PML XI di


4 Kabupaten (Ende, Ngada, Manggarai, dan Sikka) Provinsi Nusa Tenggara
Timur. UNDANA Sumber.

18

Anda mungkin juga menyukai