Anda di halaman 1dari 2

1)

Sosiologi sebagai ilmu merupakan perwujudan dari hakikat sosiologi itu sendiri yang berarti ilmu
yang mempelajari berbagai macam aspek yang ada di masyarakat seperti tentang cara
bermasyarakat, cara berperilaku dalam suatu kelompok masyarakat. Ilmu sosiologi adalah ilmu
sosial bukan ilmu pengetahuan alam yang berarti ilmu ini diambil dari apa yang sebenarnya
terjadi dalam diri individu ataupun masyarakat. Hal ini juga didukung oleh pendapat ahli
sosiologi Emile Durkheim.

Emile Durkheim lahir tahun 1858 di Epinal Prancis. Ayah Durkheim adalah seorang rabi. Pada
usia 21 tahun Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure. Durkheim merupakan seorang
mahasiswa yang sangat serius. Setelah menamatkan pendidikannya ia mulai mengajar. Asumsi
umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim terhadap sosiologi
adalah bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang
berbeda dari karakteristik biologis, psikologis, atau karakteristik individu lainnya. Gejala sosial
itu disebut Durkheim dengan fakta sosial. Menurut Durkheim fakta sosial memiliki tiga
karakteristik dari fakta sosial yaitu:
a. Bersifat eksternal terhadap individu
b. Memaksa individu
c. Bersifat umum atau tersebar meluas dalam suatu masyarakat

2)
Perspektif Interaksionisme simbolik adalah perspektif yang berdasar pada suatu kejadian yang
nyata terjadi dalam suatu masyarakat. Perspektif ini tidak menyarankan teori-teori besar tentang
masyarakat karena istilah “masyarakat”, “negara”, dan “lembaga masyarakat” adalah abstraksi
konseptual saja, yang dapat ditelaah atau dipelajari secara langsung hanyalah orang-orang dan
interaksinya saja. Tokoh dibalik teori ini seperti ​Howard S.Becker dan Erving Goffman.

Perspektif fungsional merupakan pandangan terhadap masyarakat yang teratur dan setiap
elemen masyarakatnya memiliki peran-peran untuk menstabilkan kelompok masyarakat
tersebut. Tokoh yang berpendapat tentang perspektif ini yaitu Talcott Parsons (1937), Kingsley
Davis (1937) dan Robert Merton (1957). Dalam Perspektif ini, suatu masyarakat dilihat sebagai
suatu jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara
yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat tersebut. Contoh yang relevan yaitu dalam suatu negara demokratis, partai-partai
politik adalah termasuk fungsional.

Perspektif konflik. Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx
(1818-1883). Marx memandang adanya perbedaan kelas yang salah satunya disebabkan oleh
proyek industrialisasi, dan hal ini hanya mengejar keuntungan secara ekonomi semata.
(Soeprapto, 2002: 72). Selain Karl Marx, tokoh yang mendukung perspektif ini yaitu Wright Mills
(1956-1959), Lewis Coser (1956), Aron (1957), Dahrendorf (1959, 1964), Chambliss (1973),
dan Collines (1975). Berbeda dengan para fungsionalis yang melihat keadaan normal
masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang statis, maka para teoritisi konflik cenderung
melihat masyarakat berada pada konflik terus-menerus dalam kelompok dan kelas. Contoh
yang relevan yaitu pada studi struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial, yang memandang
masyarakat terus menerus berubah dan masing-masing bagian dalam masyarakat potensial
memacu dan menciptakan perubahan sosial dalam konteks pemeliharaan tatanan sosial.

Anda mungkin juga menyukai