Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hingga saat ini, penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) masih merupakan permasalahan kesehatan yang
cukup kompleks dan terus meningkat dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang melemahkan sistem
kekebalan. Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang melemah atau menurun bisa
terkena AIDS karena HIV adalah virus yang menyebabkan AIDS. AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrom) yang berarti kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh yang sifatnya diperoleh, bukan bawaan
(Wardani, 2016)
Pada tahun 2013, sebanyak 1,5 juta orang meninggal karena AIDS di seluruh
dunia. Di Asia dan Pasifik diperkirakan sekitar 4,8 juta orang yang hidup dengan HIV.
Ahli kesehatan masyarakat di Indonesia menyatakan bahwa di Asia dan Pasifik
jumlah infeksi HIV baru cenderung menurun sekitar 6%, kecuali untuk wilayah
Indonesia yang mengalami kenaikan sebanyak 48% (Najmah, 2016).
Pada tahun 2017 jumlah kasus penderita HIV/ AIDS dari bulan januari sampai
maret dilporkan sebanyak 10.376. Persentasi infeksi tertinggi dilaporkan pada
kelompok umur 25-49 tahun (69,6%), diikuti kelompok umur 20 -24 tahun (17,6 %),
dan kelompok umur ≥ 50 tahun (6,7%) (depkes RI, 2017). HIV/AIDS di Indonesia
mengalami peningkatan dan penambahan angka kejadian. Tahun 2017 dari 34
provinsi, provinsi Kepulauan Riau berada di posisi ke 10 dengan jumlah 6,971 kasus
(depkes RI, 2017).
Dalam upaya menurunkan kematian ibu serta melahirkan generasi yang sehat
dan berkualitas yang merupakan tujuan pelayanan kesehatan ibu sebagimana
diamanatkan dalam UU Kesehatan, maka pelayanan antenatal yang berkualitas
merupakan bagian yang sangat penting dan akan memberikan kontribusi yang sangat
besar dalam mencapai tujuan tersebut. Sejauh ini, akses pelayanan antenatal sudah
cukup baik, data memperlihatkan cakupan pelayanan antenatal K1 sudah mencapai
95,7 % (SDKI 2012), namun kualitas pelayanan antenatal yang didapatkan ibu hamil
masih perlu mendapat perhatian . Seharusnya selama kehamilan ibu hamil harus
mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar termasuk deteksi kemungkinan

1
adanya penyakit/penyulit yang diderita ibu yang dapat berdampak negative terhadap
kesehatan ibu dan janinnya.

Salah satu penyakit yang harus dideteksi selama kehamilan adalah infeksi HIV
dan sifilis pada ibu hamil. Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV
selama kehamilan, saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan
dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun
kedua. Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67%
kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis congenital. Sifilis,
sebagaimana infeksI menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan penularan HIV
sebesar 3-5 kali.

Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan
tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui.
Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
(PPIA) atau Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT) merupakan
intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut. Upaya ini
diintegrasikan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital, karena sifilis dapat
mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan pada ibu dan juga ditularkan kepada
bayi seperti halnya pada infeksi HIV.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas,maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana asuhan keperawatan pada Ibu hamil
dengan HIV/AIDS”.

C. Tujuan Penulisan
1. Agar dapat mengetahui cara pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi ?
2. Agar dapat melakukan penatalaksanaan yang tepat pada bayi yang lahir dari
seorang ibu yang terinfeksi HIV/AIDS ?
3. Agar dapat mengetahui asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS ?

2
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Diharapkan makalah ini dapat mendeskripsikan tentang asuhan keperawatan pada
ibu hamil dengan HIV/AIDS, sehingga penulis mampu memahami asuhan
keperawatan yang tepat pada ibu hamil dengan HIV/AIDS.

2. Bagi Instansi Terkait (Sekolah)


Diharapkan makalah ini dapat menambah informasi mengenai asuhan
keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS, sehingga pihak institusi dapat
membuatnya sebagai bahan ajar.

3. Bagi Pembaca
Sebagai referensi dan sarana penambah pengetahuan bagi pembaca terutama
berkaitan dengan asuhan keperawatan asuhan keperawatan pada ibu hamil
dengan HIV/AIDS.

E. Sistematika Penulisan

Berdasarkan dari hasil penyusunan makalah ini, disini kelompok membuat


sistematika penulisan yang dimulai dari:
BAB I : PENDAHULUAN
Yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORI
Yang terdiri dari defenisi, prinsip deteksi dini, pemantauan kesehatan
untuk pencegahan, pemeriksaan kesehatan sebelum penempatan,
pemeriksaan kesehatan berkala, perlunya partisipasi para pekerja,
faktor penyebabnya, macam-macamnya, pencegahan penyakit akibat
kerja
BAB III : PENUTUP
Yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

1. KONSEP DASAR MEDIK


A. PENGERTIAN

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan


RNA yang spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia.
Penurunan sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV
memudahkan berbagai infeksi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya AIDS.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan
gejala/tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik)
karena penurunan sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai
penyakit karena imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal
melawan kuman yang biasanya tidak menimbulkan penyakit. Infeksi
oportunistik ini dapat disebabkan oleh berbagai virus, jamur, bakteri dan
parasit serta dapat menyerang berbagai organ, antara lain kulit, saluran
cerna/usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis keganasan juga mungkin
timbul.
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS
bila tidak diberi pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan
perubahan dari infeksi HIV menjadi AIDS, sangat tergantung pada jenis dan
virulensi virus, status gizi serta cara penularan. Dengan demikian infeksi HIV
dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu: i) rapid progressor, berlangsung 2-5 tahun; ii)
average progressor, berlangsung 7-15 tahun; dan iii) slow progressor, lebih
dari 15 tahun.
PPIA merupakan bagian dari rangkaian upaya pengendalian HIV dan
AIDS. Tujuan utamanya adalah agar bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV
terbebaskan dari HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat. Kebijakan
umum PPIA sejalan dengan kebijakan program nasional pengendalian HIV-
AIDS dan IMS lainnya, serta kebijakan program KIA. Layanan PPIA
mempunyai sasaran, tujuan dan pendekatan yang banyak persamaannya
dengan upaya pencegahan sifilis kongenital, karena itu kedua upaya ini
diintegrasikan. Dalam menjangkau sasaran ibu hamil dan wanita usia subur,

4
layanan tersebut dilaksanakan melalui paket layanan kesehatan reproduksi,
khususnya layanan KIA, keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi
remaja.
Berdasarkan tingkat prevalensi kasus HIV di suatu wilayah, terdapat
tiga tingkatan epidemi, yaitu:

1. Epidemi meluas (generalized epidemic): kasus HIV sudah menyebar di


populasi umum atau bila prevalensi infeksi HIV lebih dari 1% di antara ibu
hamil.
2. Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic): kasus HIV menyebar di
kalangan sub-populasi tertentu seperti kelompok laki-laki suka laki-laki
(LSL), pengguna narkoba suntik (penasun), pekerja seks dan pasangannya
mencapai prevalensi kasus HIV lebih dari 5% secara konsisten, sedangkan
pada populasi umum atau pada ibu hamil prevalensi kasus HIV tetap di bawah
1%.
3. Epidemi rendah (low epidemic): kasus HIV telah ada namun belum
menyebar luas (< 5%) pada sub-populasi tertentu. Infeksi HIV yang tercatat
terbatas pada sejumlah individu yang berperilaku risiko tinggi (LSL, penasun,
pekerja seks dan pasangannya) dan prevalensi kasus HIV di bawah 1% pada
populasi umum dan di bawah 5% pada sub-populasi tertentu.

Kebijakan untuk melakukan tes HIV didasarkan pada kategori epidemi


tersebut dan karena upaya pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan, maka
tes sifilis pun mengikuti kebijakan yang sama.
1. Daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi: tes HIV dan sifilis dilakukan
untuk semua ibu hamil bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada
layanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan, mulai kunjungan pertama (K1)
hingga menjelang persalinan.
2. Daerah epidemi rendah: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk ibu hamil
dengan indikasi adanya perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS atau
infeksi oportunistik (khususnya TB), bersama pemeriksaan rutin lainnya
pada layanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan mulai kunjungan pertama
(K1) hingga menjelang persalinan.

5
Layanan antenatal terpadu yang berkualitas secara keseluruhan
mencakup hal-hal berikut.
a. Memberikan layanan/konseling kesehatan, termasuk gizi, agar
kehamilan berlangsung sehat.
b. Melakukan deteksi dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi
kehamilan (termasuk tes HIV dan sifilis sesuai dengan tingkat
endemisitas wilayah).
c. Menyiapkan persalinan yang bersih dan aman.
d. Merencanakan antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan
jika terjadi komplikasi.
e. Melakukan penatalaksanaan kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu
bila diperlukan.
f. Melibatkan ibu dan keluarganya terutama suami dalam menjaga
kesehatan dan gizi ibu hamil, menyiapkan persalinan dan kesiagaan
bila terjadi penyulit/komplikasi.
Komponen pemeriksaan antenatal terpadu adalah:
1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.
2. Ukur tekanan darah.
3. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/LiLA).
4. Ukur tinggi fundus uteri.
5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin.
6. Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi tetanus toksoid (TT)
bila diperlukan.
7. Beri tablet tambah darah (tablet zat besi).
8. Periksa laboratorium (rutin dan khusus) dengan memeriksa: (golongan
darah, kadar Hb, kadar gula darah (bila diduga ada penyakit kencing manis),
tes sifilis, tes HIV, malaria (di daerah endemis malaria), protein dalam urin,
BTA (untuk tuberkulosis).
9. Tatalaksana/penanganan sesuai kondisi yang ditemukan.
10. Konseling.

6
Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan
HIV secara komprehensif berkesinambungan yang meliputi empat komponen
(prong) sebagai berikut.
1. Prong 1: pencegahan primer agar perempuan pada usia reproduksi tidak
tertular HIV.
2. Prong 2: pencegahan kehamilan yang tak direncanakan pada perempuan
pengidap HIV.
3. Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi
yang dikandungnya.
4. Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarganya.
Upaya pencegahan penularan sifilis dari ibu ke anak untuk mencapai eliminasi
sifilis kongenital dilakukan dengan kegiatan berikut.
1. Layanan antenatal terpadu bagi ibu hamil.
2. Skrining sifilis pada semua ibu hamil pada kunjungan pertama layanan
antenatal sampai menjelang persalinan, terutama yang belum pernah
diskrining sebelumnya.
3. Pengobatan semua ibu hamil yang positif sifilis segera setelah
diperoleh hasil tes positif.
4. Pengobatan semua pasangan ibu hamil yang positif sifilis.
5. Edukasi, konseling aktif dan promosi kondom untuk mencegah infeksi
ulang.
6. Pengobatan semua bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis.
7. Pemeriksaan seksama dan perencanaan perawatan bagi bayi yang lahir
dari ibu yang positif sifilis.

B. PENULARAN HIV

Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut.


 Cairan genital: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki
jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan,
terlebih jika disertai IMS lainnya. Karena itu semua hubungan seksual yang
berisiko dapat menularkan HIV, baik genital, oral maupun anal.

7
 Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui
kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma,
trombosit) dan transplantasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui
penggunaan peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak
aman, misalnya penggunaan alat suntik bersama pada penasun, tatto dan
tindik tidak steril
 Perinatal: penularan dari ibu ke janin/bayi – penularan ke janin terjadi selama
kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan ke bayi melalui darah
atau cairan genital saat persalinan dan melalui ASI pada masa laktasi.

Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak

Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa upaya pencegahan atau intervensi
berkisar antara 20-50% (Tabel 2). Dengan pelayanan pencegahan penularan
HIV dari ibu ke anak yang baik, risiko penularan dapat diturunkan
menjadi kurang dari 2%. Pada masa kehamilan, plasenta melindungi janin
dari infeksi HIV; namun bila terjadi peradangan, infeksi atau kerusakan barier
plasenta, HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan dari ibu ke
anak. Penularan HIV dari ibu ke anak lebih sering terjadi pada saat persalinan
dan masa menyusui.

Tabel 1. Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak

Selama kehamilan 5-10 %

Saat persalinan 10-20 %


Selama menyusui (rata- 5-20 %
rata 15%)
Risiko penularan 20 - 50%
keseluruhan

Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut.
a. Faktor ibu.

8
 Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling utama
terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya, semakin
besar kemungkinan penularannya, khususnya pada saat/menjelang persalinan
dan masa menyusui bayi.
 Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah, khususnya bila jumlah sel
CD4 di bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah
karena banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu
berbanding terbalik dengan viral load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi,
sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa rendah kalau penderitanya
mendapat terapi anti-retrovirus (ARV).
 Status gizi selama kehamilan : berat badan yang rendah serta kekurangan zat
gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan
risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar
HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi.
 Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ
reproduksi, malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV pada
darah ibu, sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar.
 Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada
payudara akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.
b. Faktor bayi.
 Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi
dengan berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan
kekebalan tubuh belum berkembang baik.
 Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa
pengobatan berkisar antara 5-20%.
 Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi ASI.
c. Faktor tindakan obstetrik.
 Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan,
karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan
terjadinya hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi terpapar
darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan
risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah sebagai
berikut.

9
 Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar
daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan banyak
risiko lainnya untuk ibu.
 Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari
ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan
darah/lendir ibu semakin lama.
 Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat
jam.
 Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko
penularan HIV.
Tabel 2 merangkum faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi.

Faktor ibu Faktor bayi Faktor obstetrik

1. Kadar HIV/viral 1. Berat lahir rendah J1. Jenis persalinan


load dalam darah 2. 2. Lama menyusu, bila 2.2. Lama persalinan
2. Kadar CD4 tanpa pengobatan 3. 3. Ketuban pecah dini
3. Status gizi selama 3. 3. Luka pada mulut 4. 4. Tindakan
kehamilan bayi, jika bayi episiotomi, ekstraksi
4. Penyakit infeksi menyusu vakum dan forsep
selama kehamilan
5. Masalah
payudara, jika
menyusu

C. KLASIFIKASI STADIUM

Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV sebagai berikut :


1) Fase I: masa jendela (window period) – tubuh sudah terinfeksi HIV, namun
pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV.

10
Pada masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai
tiga bulan sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan
HIV kepada orang lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi
akut berupa demam, nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening,
ruam kulit, nyeri sendi, sakit kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu
pada umumnya yang akan mereda dan sembuh dengan atau tanpa
pengobatan. Fase “flu-like syndrome” ini terjadi akibat serokonversi dalam
darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat pada infeksi primer HIV.
2) Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga
gejala ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif,
walaupun gejala penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita
tetap dapat menularkan HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata
berlangsung selama 2-3 tahun; sedangkan masa dengan gejala ringan dapat
berlangsung selama 5-8 tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti
ketombe, folikulitis yang hilang-timbul walaupun diobati.
3) Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan
kekebalan tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan
timbulnya berbagai infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai
mukosa, misalnya infeksi jamur di mulut, kerongkongan dan paru-paru.
Infeksi TB banyak ditemukan di paru-paru dan organ lain di luar paru-
paru. Sering ditemukan diare kronis dan penurunan berat badan sampai
lebih dari 10% dari berat awal.

Bagan 1 menunjukkan: i) Fase I, viral load (HIV dalam darah) sangat tinggi
sehingga penderita sangat infeksius, limfosit T CD4 menurun tajam saat viral
load mencapai puncak; ii) Fase II dengan viral load menurun dan relatif stabil,
namun limfosit T CD4 berangsur-angsur menurun; dan iii) Fase III dengan
viral load makin tinggi dan limfosit T CD4 mendekati nol sehingga terjadi
gejala berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif dikuti dengan timbulnya
penyakit, misalnya tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell
leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), Pneumocystic carinii pneumonia
(PCP), cytomegalovirus (CMV), popular pruritic eruption (PPE) dan
Mycobacterium avium (MAC).

11
Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO

World Health Organization menyatakan stadium klinis infeksi HIV yang dapat
digunakan untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif
berkesinambungan jika tes cepat HIV (rapid test HIV) dengan metoda tiga
reagen secara serial (strategi tiga serial) menunjukkan hasil reaktif. Stadium
klinis ini berguna untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara
komprehensif dan berkesinambungan (lihat Tabel 4).

Tabel 3. Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO


Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4
Asimptomatik Sakit ringan Sakit sedang Sakit berat
(AIDS)
Berat badan Tidak ada Penurunan Penurunan Sindroma
(BB) penurunan BB 5-10% BB > 10% wasting HIV
BB

12
Gejala Tidak ada • Luka di • Kandidiasis • Kandidiasis
gejala atau sekitar bibir oral atau esophageal
hanya : (keilitis vaginal • Herpes
• angularis) • Oral hairy simpleks
Limfadenop • Ruam kulit leukoplakia ulseratif
ati yang gatal • Diare, lebih dari
generalisata (seboroik demam yang satu bulan
persisten atau prurigo) tidak • Limfoma
• Herpes diketahui • Sarkoma
zoster dalam penyebabny kaposi
5 tahun a lebih dari • Kanker
terakhir satu bulan serviks
invasif
• Retinitis
cytomegalov
irus
• ISPA berulang, • Infeksi bakterial yang • Pneumonia
misalnya sinusitis atau berat (pneumoni, pnemosistis
otitis piomiositis, dll) • TB ekstra-paru
• Ulkus mulut berulang • TB paru dalam satu • Abses otak
tahun terakhir toksoplasmosis
• TB limfadenopati • Meningitis kriptokokus
• Gingivitis/periodontitis • Encefalopati HIV
ulseratif nekrotika akut • Gangguan fungsi
neurologis dan tidak
oleh penyebab lain,
sering kali membaik
dengan ART

D. KONSELING
Konseling wajib diberikan pada setiap pasien/ibu hamil yang telah diperiksa
spesimen darahnya untuk tes HIV dan sifilis. Konseling harus dilakukan
secara tatap muka individual.

Isi konseling pada ibu hamil, berdasarkan hasil tes, sebagai berikut.

1) Hasil tes HIV “non-reaktif” atau negatif:


 penjelasan tentang masa jendela/window period;

13
 pencegahan untuk tidak terinfeksi di kemudian hari;
 risiko penularan HIV dari ibu ke anak;
 konseling dan edukasi pasangan dan anjuran agar pasangan melakukan
tes HIV.
2) Hasil tes HIV “reaktif” atau positif:
 Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan
 penjelasan tentang rencana pemberian profilaksis kotrimoksasol atau
terapi ARV, kepatuhan minum obat serta dimana obat ART bisa
didapat;
 pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya
dukungan gizi yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan
kebutuhan zat besi dan asam folat;
 rencana pilihan persalinan
 rencana pilihan tentang makanan bayi dan dukungan untuk
melaksanakan pilihannya;
 konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling
setia atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten);
 tes HIV bagi bayi
 tes HIV bagi pasangan;
 informasi tentang keberadaan orang kelompok dukungan sebaya
ODHA yang dapat dihubungi, nama dan nomor telepon klinik/rumah
sakit rujukan ODHA;
 rujukan bila perlu;
 kesepakatan tentang jadwal kunjungan lanjutan;
3) Penjelasan mengenai hasil indeterminate (meragukan): tes perlu
diulang dengan spesimen baru setelah dua minggu, tiga bulan, enam
bulan dan setahun. Bila sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate”
dan faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai “non-reaktif”.
Konseling diberikan seperti pada penjelasan hasil tes non-reaktif dan
reaktif.
Bila terdapat reaksi psikologis, misalnya pasien menolak hasil pemeriksaan
atau marah yang terkait dengan diagnosis HIV dan sifilis, maka diperlukan
konseling khusus. Pada keadaan ini, petugas kesehatan lebih baik

14
mendengarkan dan mengarahkan pencegahan penularan ke bayi serta tidak
membuat keputusan untuk pasien. Bila diperlukan, dapat ditawarkan rujukan
untuk konseling kepada psikolog atau konselor lain.

E. PATOFISIOLOGI
Leukosit merupakan sel imun utama, di samping sel plasma, makrofag dan
sel mast. Sel limfosit adalah salah satu jenis leukosit (sel darah putih) di dalam
darah dan jaringan getah bening. Terdapat dua jenis limfosit, yaitu limfosit B,
yang diproses di bursa omentalis, dan limfosit T, yang diproses di kelenjar
thymus. Limfosit B adalah limfosit yang berperan penting pada respons imun
humoral melalui aktivasi produksi imun humoral, yaitu antibodi berupa
imunoglobulin (Ig G, IgA, Ig M, Ig D dan Ig E). Limfosit T berperan penting pada
respons imun seluler, yaitu melalui kemampuannya mengenali kuman patogen dan
mengaktivasi imun seluler lainnya, seperti fagosit serta limfosit B dan sel-sel
pembunuh alami (fagosit, dll). Limfosit T berfungsi menghancurkan sel yang
terinfeksi kuman patogen. Limfosit T ini memiliki kemampuan memori, evolusi,
aktivasi dan replikasi cepat, serta bersifat sitotoksik terhadap antigen guna
mempertahankan kekebalan tubuh.

CD (cluster of differentiation) adalah reseptor tempat “melekat”-nya virus


pada dinding limfosit T. Pada infeksi HIV, virus dapat melekat pada reseptor CD4
atas bantuan koreseptor CCR4 dan CXCR5. Limfosit T CD4 (atau disingkat
CD4), merupakan petunjuk untuk tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh
karena pecah/rusaknya limfosit T pada infeksi HIV. Nilai normal CD4 sekitar
8.000-15.000 sel/ml; bila jumlahnya menurun drastis, berarti kekebalan tubuh
sangat rendah, sehingga memungkinkan berkembangnya infeksi oportunistik.

Viral load adalah kandungan atau jumlah virus dalam darah. Pada infeksi
HIV, viral load dapat diukur dengan alat tertentu, misalnya dengan tehnik PCR
(polymerase chain reaction). Semakin besar jumlah viral load pada penderita HIV,
semakin besar pula kemungkinan penularan HIV kepada orang lain.

F. PENCEGAHAN KEHAMILAN PADA PEREMPUAN DENGAN HIV

1. Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan


dengan HIV
15
 Pada prinsipnya setiap perempuan perlu merencanakan kehamilannya,
namun pada perempuan dengan HIV perencanaan kehamilan harus
dilakukan dengan lebih hati-hati dan matang karena adanya risiko
penularan HIV kepada bayinya.

 Kondom merupakan cara terbaik untuk pencegahan penularan IMS,


termasuk HIV dan AIDS, bila digunakan secara disiplin, terus-menerus
dan benar. Karena itu kondom harus digunakan oleh semua pasangan, baik
yang hanya satu maupun yang keduanya HIV positif. Kondom tidak
melindungi infeksi yang berasal dari ulkus/lesi pada selangkangan yang
tidak tertutup olehnya. Walaupun telah menggunakan kondom, perempuan
dengan HIV dianjurkan untuk menggunakan metoda kontrasepsi lain untuk
pencegahan kehamilan (perlindungan ganda).

Kegiatan yang dilakukan meliputi:


 pencegahan dan penundaan kehamilan pada ibu dengan HIV melalui
konseling dan penyediaan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif;
dan
 perencanaan dan persiapan kehamilan yang tepat, jika ibu ingin hamil.

2. Pencegahan dan Penundaan Kehamilan pada Ibu dengan HIV

 Penggunaan kontrasepsi harus segera dibicarakan dengan setiap


perempuan dengan HIV setelah diagnosisnya ditegakkan. Pilihan
kontrasepsi berdasarkan urutan prioritas untuk ibu dengan HIV adalah
sebagai berikut.

 Kontrasepsi mantap atau sterilisasi: dengan adanya risiko penularan


HIV ke bayi, bila ibu dengan HIV sudah memiliki jumlah anak yang
cukup, dipertimbangkan kontrasepsi mantap.

Kontrasepsi jangka panjang:

Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR): metoda ini disarankan bila risiko
IMS rendah dan pasangannya tidak berisiko IMS. Sebaiknya pemasangan
dilakukan segera setelah plasenta lahir, walaupun tidak tertutup
kemungkinan dipasang pada fase interval. Syarat-syarat pemasangan

16
AKDR mengikuti standar yang berlaku. Perlu perhatian khusus bila ada
keluhan efek samping, seperti nyeri dan perdarahan.
Hormonal :
 Pil KB kombinasi: aman dan efektif untuk perempuan dengan HIV
yang tidak dalam terapi obat ARV dan obat lain yang dapat
meningkatkan enzim hati. ARV dapat menurunkan efektivitas pil KB
kombinasi.
 Pil progesteron: direkomendasikan bagi perempuan dengan HIV yang
tidak dalam terapi obat ARV, karena ARV menurunkan efektivitas pil
progesteron.
 Suntik progesteron jangka panjang: DMPA dapat digunakan bagi
perempuan dengan HIV yang diberi ART tanpa kehilangan efektivitas
kontrasepsi. Metabolisme DMPA tidak dipengaruhi oleh obat ARV dan
tetap dapat diberikan dengan interval 12 minggu.
 Implan progesteron: implan etonorgestrel adalah kontrasepsi yang
amat efektif dan aman pada perempuan dengan HIV yang tidak dalam
terapi obat ARV.

17
 Hormon estrogen mempunyai efek menurunkan efektivitas ARV.
Progesteron mempunyai efek sedikit meningkatkan efektivitas ARV.
Namun, sebaiknya tetap diperhatikan pada pengguna polifarmasi
(misalnya perempuan HIV dengan tuberkulosis), karena semua
kontrasepsi hormonal dimetabolisme di hati, demikian juga ARV.
Penggunaan keduanya dalam jangka panjang memperberat fungsi hati.
3. Perencanaan Kehamilan

Bila perempuan dengan HIV dan pasangannya memutuskan ingin punya


anak, maka kehamilan perlu direncanakan dengan matang. Persyaratan
mencakup aspek medis dan aspek sosial sebagai berikut.

Aspek medis meliputi hal-hal sebagai berikut.

 Viral load tidak terdeteksi: bila viral load sudah tidak terdeteksi, maka
kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi rendah.
 Kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3: kadar CD4 yang tinggi merupakan
tanda bahwa kekebalan tubuh ibu cukup baik dan layak untuk hamil.
Dengan kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3 maka ibu akan rentan
terhadap infeksi sekunder yang akan membahayakan ibu dan dan janin di
masa kehamilannya.
Aspek sosial mencakup hal-hal di bawah ini.
 Perencanaan kehamilan oleh pasangan: kedua belah pihak (laki-laki dan
perempuan) benar-benar memahami risiko dan konsekuensi kehamilan,
persalinan dan aspek pengasuhan anak.
 Kesepakatan/persetujuan dari keluarga: untuk menghindari penelantaran
pengasuhan anak di kemudian hari akibat keterbatasan orang tua yang
menderita HIV, perlu dipertimbangkan adanya persetujuan keluarga agar
bersedia mengasuh anak tersebut apabila terjadi kendala pada orang
tuanya.
Persiapan perempuan dengan HIV yang ingin hamil seperti berikut.
 Pemeriksaan kadar CD4 dan viral load, untuk mengetahui apakah sudah
layak untuk hamil.
 Bila VL tidak terdeteksi atau kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3, sanggama
tanpa kontrasepsi dapat dilakukan, terutama pada masa subur.

18
 Bila kadar CD4 masih kurang dari 350 sel/mm3, minum ARV secara
teratur dan disiplin minimal selama enam bulan dan tetap menggunakan
kondom selama sanggama.
Persiapan pasangan dari perempuan dengan HIV yang ingin hamil:
 Bila dipastikan serologis HIV non-reaktif (negatif), maka kapan pun boleh
sanggama tanpa kondom, setelah pihak perempuan dipastikan layak untuk
hamil.
 Apabila serologis reaktif (positif), perlu dilakukan pemeriksaan viral load,
untuk mengetahui risiko penularan.
 Apabila VL tidak terdeteksi sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan
pada masa subur pasangan.
 Apabila VL masih terdeteksi atau kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3,
maka sebaiknya rencana kehamilan ditunda dulu.

G. PEMBERIAN ARV PADA IBU HAMIL DENGAN INFEKSI HIV


Merujuk pada pedoman muktahir, semua ibu hamil dengan HIV
diberi terapi ARV, tanpa harus memeriksakan jumlah CD4 dan viral load
terlebih dahulu, karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian
ARV yang dilanjutkan seumur hidup. Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk
memantau pengobatan – bukan sebagai acuan untuk memulai terapi.

Alur pemberian ARV pada ibu hamil

Ibu hamil

HIV Non Reaktif HIV Reaktif

Mulai terapi ARV tanpa


memandang umur
kehamilan, jumlah CD4 dan
stadium klinis

19
Untuk memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
 persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui edukasi pra-
pemberian ARV;
 bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut perlu diobati terlebih
dahulu. Terapi ARV baru bisa diberikan setelah infeksi oportunistik diobati
dan stabil (kira-kira setelah dua minggu sampai dua bulan pengobatan).
 Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2, 3, 4 dan atau CD4
< 200. Untuk mencegah PCP, Toksoplasma, infeksi bacterial (pneumonia,
diare) dan berguna juga untuk mencegah malaria pada daerah endemis;
 pada ibu hamil dengan tuberkulosis: OAT selalu diberikan mendahului ARV
sampai kondisi klinis pasien memungkinkan (kira-kira dua minggu sampai dua
bulan) dengan fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV.

Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR, yaitu
sebagai berikut.

1. Siap: menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV terhadap infeksi
HIV.
2. Adherence: kepatuhan minum obat.
3. Disiplin: minum obat dan kontrol ke dokter.
4. Aktif: menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi.
5. Rajin: memeriksakan diri jika timbul keluhan.

Secara umum, yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif adalah
terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Perlu dihindari
penggunaan “triple nuke” (3 NRTI).

Paduan obat ARV Kombinasi Dosis Tetap / Fixed Dose Combination (FDC):
TDF (300mg) + 3TC (300mg) + EFV (600mg).

 Untuk ibu yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan dan sudah
mendapatkan ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan paduan obat yang
sama seperti saat sebelum hamil.

 Untuk ibu hamil yang status HIV diketahui saat kehamilan, segera
diberikan ARV tanpa melihat umur kehamilan, berapapun nilai CD4 dan
stadium klinisnya.

20
 Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui dalam persalinan, segera
diberikan ARV. Pilihan Paduan obat ARV sama dengan ibu hamil dengan
HIV lainnya.

No Kondisi Rekomendasi
pengobatan

1.
• ODHA hamil, segera terapi ARV • TDF(300mg) + 3TC
• ODHA datang pada masa persalinan (300mg) + EFV
dan belum mendapat terapi ARV, (600mg)
lakukan tes, bila hasil reaktif berikan Alternatif:
ARV • AZT (2x300mg) + 3TC
(2x150mg) + NVP
(1x200mg, setelah 2
minggu 2x200mg)
• TDF (1x300mg) + 3TC
(atau FTC) (2x150mg)
+ NVP (2x200mg)
• AZT (2x300mg) +
3TC (2x150mg) +
EFV (1x600mg)

2.
ODHA sedang menggunakan ARV dan Lanjutkan ARV yang sama

kemudian hamil selama dan seudah persalinan

3.
ODHA hamil dengan hepatitis B yang • TDF (1x300mg) + 3TC (atau
memerlukan terapi FTC) (1x300mg) + EFV
(1x600mg) atau
• TDF (1x300mg) + 3TC (atau
FTC) (2x150mg) + NVP
(2x200mg)

4.

21
ODHA hamil dengan tuberkulosis aktif Bila OAT sudah diberikan,
maka dilanjutkan. Bila belum
diberikan, maka OAT
diberikan terlebih dahulu
sebelum pemberian ARV.
• Rejimen untuk ibu bila OAT
sudah diberikan dan
tuberkulosis telah stabil: TDF
+ 3TC + EFV

H. PERENCANAAN PERSALINAN AMAN BAGI IBU DENGAN HIV

Tujuan persalinan aman bagi ibu dengan HIV adalah menurunkan risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi, serta risiko terhadap ibu, tim penolong (medis/non-
medis) dan pasien lainnya. Persalinan melalui bedah sesar berisiko lebih kecil untuk
penularan terhadap bayi, namun menambah risiko lainnya untuk ibu. Risiko penularan
pada persalinan per vaginam dapat diperkecil dan cukup aman bila ibu mendapat
pengobatan ARV selama setidaknya enam bulan dan/atau viral load kurang dari 1000
kopi/mm3 pada minggu ke 36.

Metode persalinan Keuntungan Kerugian

Per vaginam  Mudah dilakukan Risiko penularan pada bayi


di sarana kesehatan relatif tinggi 10-20% ,
yang terbatas kecuali ibu telah minum
 Masa pemulihan ARV teratur ≥ 6 bulan
pasca persalinan atau diketahui kadar viral
singkat load < 1000 kopi/mm3

22
 Biaya rendah pada minggu ke-36

Seksio sesarea elektif  Risiko penularan yang  Lama perawatan bagi


rendah (2-4%) atau ibu lebih panjang.
dapat mengurangi  Perlu sarana dan
risiko penularan fasilitas pendukung
sampai 50-66% yang lebih memadai
 Terencana pada  Risiko komplikasi
minggu ke-38 selama operasi dan
pasca operasi lebih
tinggi
 Ada risiko komplikasi
anestesi
 5. Biaya lebih mahal

Hal-hal berikut perlu diperhatikan dalam memberikan pertolongan


persalinan yang optimal pada ibu dengan HIV.
1. Pelaksanaan persalinan, baik melalui seksio sesarea maupun per vaginam,
perlu memperhatikan kondisi fisik ibu dan indikasi obstetrik.
2. Ibu hamil dengan HIV harus mendapatkan informasi sehubungan dengan
keputusannya untuk menjalani persalinan per vaginam ataupun melalui seksio
sesarea.
3. Tindakan menolong persalinan ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun
seksio sesarea harus memperhatikan kewaspadaan umum yang berlaku untuk
semua persalinan.
Persalinan untuk ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun seksio sesarea
dapat dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa
memerlukan alat pelindung diri khusus, selama fasilitas tersebut melakukan
prosedur kewaspadaan standar.

Penatalaksanaan Nifas bagi Ibu dengan HIV

23
Perawatan nifas bagi ibu dengan HIV pada dasarnya sama dengan perawatan
nifas pada ibu nifas normal. Terdapat beberapa hal berikut yang perlu
diperhatikan.
• Bagi ibu yang memilih tidak menyusui dapat dilakukan penghentian
produksi ASI.
• Pengobatan, perawatan dan dukungan secara berkelanjutan diberikan, di
samping tata laksana infeksi oportunistik terhadap pengidap HIV/AIDS dan
dukungan edukasi nutrisi.
• Pelayanan kontrasepsi pasca persalinan diutamakan agar tidak terjadi
kehamilan yang tidak terencana dan membahayakan ibu dan janin yang
dikandungnya.
• Edukasi kepada ibu tentang cara membuang bahan yang berpotensi
menimbulkan infeksi, seperti lokia dan pembalut yang penuh dengan darah.

2. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1). Biodata pasien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku dan kebangsaan, pendidikan,
pekerjaan,alamat, nomor register, tanggal masuk & Rumah Sakit , diagnosa medis.
2). Riwayat penyakit
J enis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun.
Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun
sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum
berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes melitus, anemia aplastik,
kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit s e p e r t i
ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat
m e n g k a j i s t a t u s imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes
dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :

 Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T)

24
Terapi radiasi, defisiensi nutrisi, penuaan, aplasia timik, limfoma,
kortikosteroid,globulin anti limfosit, disfungsi timik congenital.
 Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia congenital,
protein liosing enteropati (peradangan usus).
3). Pemeriksaan fisik (objektif) dan keluhan (subjektif)
 Aktifitas atau istirahat
G ejala : mudah lelah , intoleran aktifitas , progresi malaise, perubahan pola tidur.
Tanda : kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas;
Perubahan T'D, frekuensi jantung dan pernafasan.
 Sirkulasi
Ge j a l a : p e n y e m b u h a n y a n g l a m b a t ( a n e m i a ) , p e r d a r a h a n
l a m a p a d a cedera.
Tanda : Perubahan TD postural, menurunnya volume nadi perifer, pucat
-sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
 Integritas dan Ego
Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan, mengkuatirkan penampilan,
mengingkari diagnosa, putus asa, dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah.
 Eliminasi
Gejala : diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa kram
abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat BAK.
Tanda : feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering, nyeri
tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal, perubahan jumlah, warna
dan karakteristik urine.
 Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia, penurunan berat badan, bising usus yang
hiperaktif.
Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, adanya selaput putih/
perubahan warna mukosa mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk, edema
 Hygiene
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan ADL.
Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.

25
 Neurosensori
Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,
kerusakan status indera, kelemahan otot, tremor, perubahan penglihatan.
Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks
tidak normal, tremor, kejang, hemiparesis.
 Nyeri atau kenyamanan
G ejala : nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala, nyeri
dada, pleuritis.
Ta n d a : b e n g k a k s e n d i , n y e r i k e l e n j a r, n y e r i t e k a n ,
p e n u r u n a n r e n t a n gerak, pincang.
 Pernafasan
Gejala : terjadi ISPA, nafas pendek progresif, batuk produktif/non
produktif, sesak pada dada.
Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya
sputum.
 Keamanan
Gejala : riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka, transfusi darah,
penyakitdefisiensi imun, demam berulang ,berkeringat malam.
Tanda : Perubahan integritas kulit, luka perianal, abses, timbulnya nodul,
pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum.
 Seksualitas
Gejala : riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi, menurunnya libido,
penggunaan pil pencegah kehamilan.
Tanda : kehamilan, herpes genetalia.
 Interaksi sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian,
adanya trauma AIDS.
Tanda : Perubahan interaksi.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
1. Risiko infeksi b/d imunosupresi

26
2. ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidak mampuan
mengabsorpsi nutrien.
3. intoleran aktivitas b/d masalah sirkulasi

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko infeksi
Definisi : rentan mengalami invasi dan multiplikasi organisme patogenik yang
dapat mengganggu kesehatan.
NOC :
 Status imunitas
 Status maternal, antepartum, intrapartum dan post partum
 Status nutrisi
 Pengetahuan : manajemen penyakit kronik
 Kontrol risiko : penyakit menular seksual (PMS)
NIC :
 Monitor populasi yang berisiko dalam rangka pemenuhan regimen
prevensi dan perawatan
 Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
 Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
 Anjurkan istirahat
 Kaji kondisi medis aktual yang berhubungan dengan kondisi kehamilan
yang buruk.
 Kaji riwayat kehamilan dan kelahiran yang berhubungan dengan faktor
risiko kehamilan
 Kaji pengetahuan klien dalam mengidentifikasi faktor risiko
 Lakukan rujukan untuk mendapatkan dukungan kelompok bagi ibu dengan
risiko tinggi, sesuai kebutuhan.
 Ajarkan pasien mengenai IMS dan konsepsi, sesuai kebutuhan
 Pertimbangkan faktor-faktor berbasis populasi yang mempengaruhi
pendidikan seks yang aman.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Definisi : asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik

27
NOC :
 Status nutrisi : asupan makan dan cairan
 Pengetahuan : diet sehat
 Berat badan : massa tubuh
 Keparahan mual dan muntah
NIC :
 Ajarkan dan dukung konsep nutrisi yang baik dengan klien
 Monitor intake / asupan dan asupan cairan secara tepat
 Monitor tanda-tanda fisiologis ( tanda-tanda vital, elektrolit ) yang di
perlukan
 Tentukan status nutrisi pasien dan kemampuan (pasien) untuk
memenuhi kebutuhan gizi.
 Monitor mual muntah
 Berikan obat-obatan untuk meredakan mual dan nyeri sebelum makan
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang di butuhkan pasien.

3. Intoleran aktifitas
Definisi : ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk
mempertahankan atau menyelesaikan aktifitas kehidupan sehari-hari yang
harus atau yang ingin dilakukan.
NOC :
 Toleransi terhadap aktifitas
 Tingkat ketidaknyamanan
 Kelelahan : efek yang mengganggu
 Istirahat
 Perawatan diri : aktifitas sehari-hari
NIC :
 Pertimbangan kemampuan klien dalam berpartisipasi melalui aktifitas
spesifik
 Dorong keterlibatan dalam aktifitas kelompok maupun terapi, jika
memang di perlukan

28
 Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri dan sampaikan penerimaan pasien terhadap nyeri
 Bantu pasien / keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktifitas
 Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
 Bantu pasien untuk melakukan aktivitas yang diperlukan.

D. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan dari perencanaan keperawatan
yang telah dibuat untuk mencapai hasil yang efektif. Dalam pelaksanaan
implementasi keperawatan, penguasaan keterampilan dan pengetahuan harus
dimiliki oleh setiap perawat sehingga pelayanan yang diberikan baik mutunya.
Dengan demikian tujuan dari rencana yang telah ditentukan dapat tercapai.

E. EVALUASI
Evaluasi adalah suatu penilaian terhadap keberhasilan rencana keperawatan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan klien.

29
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah Virus
yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Acquired
Immuno Deficiency Syndrome yang selanjutnya disingkat AIDS adalah suatu
kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh
masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang. Orang Dengan HIV dan AIDS yang
selanjutnya disingkat ODHA adalah orang yang telah terinfeksi virus HIV.
Yang dimaksud berisiko adalah kelompok populasi kunci (PS, penasun, LSL,
waria) dan kelompok khusus: pasien hepatitis, ibu hamil, pasangan serodiskordan,
pasien TB, pasien Infeksi Menular Seksual (IMS), dan Warga Binaan
Permasyarakatan (WBP).
Upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, harus
terintegrasi antara layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) dan
layanan pencegahan sifilis kongenital dengan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA)
melalui pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan dasar maupun rujukan.
Agar pelayanan yang terpadu ini dapat diterapkan secara menyeluruh di seluruh
fasilitas pelayanan kesehatan, maka disusunlah Pedoman Pelaksanaan Pencegahan
HIV dan sifilis dari ibu Ke Anak yang terintegrasi dalam pelayanan KIA.

B. Saran

Pada pengerjaan makalah ini kurangnya pengetahuan kelompok terhadap


materi ini, sehingga masih banyak terdapat kekurangan, semoga apa yang kelompok
sampaikan diatas bisa bermanfaat untuk pembelajaran selanjutnya, dan juga
bermanfaat untuk pembaca atau untuk referensi bagi mahasiswa yang lain.
Penting pengetahuan tentang penatalaksanaan HIV terutama dalam intervensi
Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) sehingga mampu menurunkan angka
penularan HIV dari seorang ibu yang reaktif HIV terhadap janin yang dikandungnya.

30
DAFTAR PUSTAKA

Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan HIV Dan sifilis dari ibu ke anak bagi
tenaga kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2014
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014
Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral, KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA 2015

31

Anda mungkin juga menyukai