APRILIA RISTA PRISTANTI (193202008) - Risensi Film Bumi Manusia
APRILIA RISTA PRISTANTI (193202008) - Risensi Film Bumi Manusia
193202008/Konpak-2A
Kelebihan Film
Kekuatan Para Pemeran
Setiap karakter yang dihadirkan dalam cerita dapat diperankan dengan cukup
baik seperti karakter Minke yang diperankan oleh Iqbaal Ramadhan yang sebelumya
pernah bermain di film Dilan, dan karakter Dilan tersebut masih melekat pada
masyarakat, nyatanya Iqbal dapat membawakan sosok minke dengan sangat baik.
Selain itu. Ine Febriyanti juaranya untuk memainkan karakter Nyai Ontosoroh
wanita Jawa yang berada dalam permasalah sulit dalam hidupnya. Saat beradegan
dengan hanya melihat tatapan matanya kita langsung bisa merasakan bagaimana
karakter ini begitu kuat dalam cerita.
Dalam film ini kita akan menemukan berbagai bahasa seperti Bahasa Jawa,
Belanda, Jepang, Melayu, dan Madura dengan logatnya masing-masing, untuk yang
satu ini para pemeran Bumi Manusia patut diacungi jempol, karena mereka dapat
menguasai bahasa tersebut, sehingga karakter dari masing-masing pemeran dapat
tersampaikan dengan sangat baik.
Penggambaran Latar Tempat
Budaya, tempat, dan alat transportasi hingga hal detil seperti gestur tubuh
diatur sedemikian rupa sehingga suasana kolonial begitu sangat kuat dan nyata di
dalam film ini. selain itu, juga di dukung dengan penggunaan warna yang terkesan
vintage juga menjadikan film ini menggambarkan bagaimana kehidupan masa lalu.
Alur dan Tema Film Menarik
Alur cerita yang disajikan dalam film ini terasa lambat, tetapi hal inilah yang
menarik karena akan memancing kita untuk penasaran dan terus menguap bagaimana
akhir ceritanya. Film ini mengangkat tema sejarah, tetapi bukan seperti film sejarah
lainnya karena di dalamnya dibumbui dengan kisah cinta yang romantis antara Minke
dan Annelies yang sama seperti kisah cinta masa kini, namun terjadi di zaman
kolonial, hal inilah yang mampu menarik perhatian generasi milenial untuk
menontonnya.
Kekurangan Film
Polemik yang diangkat tidak sesuai dengan buku aslinya. Seperti, perdebatan antara
Minke dengan Sarah dan Miriam de la Croix, kisah Nyai Ontosoroh dan Maiko yang
tidak dikuak secara mendalam, hingga diskusi antara Minke dengan guru favoritnya
yang mengajar bahasa dan sastra di HBS (Hogere Burger school).
Skenario yang dibuat kurang mulus karena ada banyak adegan yang tidak dijelaskan
secara penuh, seperti kematian Herman Mallema seorang Eropa suami dari Nyai
Ontosoroh tak dijeleskan alasan orang yang meracuninya. Belum lagi, adegan pria
gemuk yang membuntuti Minke selama berhari-hari. Entah alasan apa pria gemuk
tersebut membuntuti Minke, sampai pada akhir film masih menjadi teka-teki.
Ending (akhir) cerita kurang jelas, membuat penonton bingung dan menimbulkan rasa
penasaran, kemungkinan terdapat sekuel selanjutnya untuk menjelaskan teka-teki
cerita dalam film, sehingga penonton harus bersabar menunggu film berikutnya untuk
dirilis.
Selain kemampuan pemeran untuk membawakan berbagai bahasa sesuai logatnya
tidak diragukan lagi, tetapi penggunaan bahasa yang terlalu banyak dan adanya dialog
yang menggunakan campuran berbagai bahasa akan menimbulkan kebingungan bagi
penonton, sehingga penonton harus mencermati dengan seksama kalimat dalam film
agar tahu maksud dari dialog tersebut.
Kesimpulan
Banyak ilmu sejarah yang dapat kita pelajari dari film ini. Film ini mengingatkan kita
bahwa bangsa kita dulu telah berjuang keras untuk kebebasan bangsa pribumi meskipun
akhirnya kalah. Seperti kata Nyai Ontosoroh di akhir film, “Kita sudah melawan, Nyo.
Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”.
Di sisi lain film ini menggambarkan betapa kacaunya tatanan kehidupan sosial pada
saat itu, dimana pribumi mendapatkan perlakuan yang tidak adil atau diskriminatif oleh pihak
Eropa membuat kita menyadari peradaban yang modern dan maju sekalipun belum tentu
merupakan peradaban yang baik dalam menerapkan hak-hak manusia. Eropa dengan segala
kekuasannya, dengan kecerdasannya, serta barang-barang modern pun ternyata belum bisa
menjamin mampu menerapkan dan menempatkan hak-hak manusia dengan layak dan pantas.