Anda di halaman 1dari 3

Aprilia Rista pristanti

193202008/Konpak-2A

Risensi Film Bumi Manusia


“ Duniaku Bukan Jabatan, Pangkat, Gaji dan Kecurangan,
Duniaku Bumi Manusia dengan Persoalannya”

Sumber : Falcon Pictures

Judul Film : Bumi Manusia


Sutradara : Hanung Bramantyo
Penulis : ○ Hanung Bramantyo
○ Salman Aristo
Berdasarkan : Bumi Manusia oleh Pramoedya Ananta Toer
Pemeran : ○ Iqbaal Ramadhan
○ Mawar Eva de Jong
○ Sha Ine Febriya
○ Ayu Laksmi
○ Donny Damara
○ Bryan Doman
○ Giorgino Abraham
○ Jerome Kurniawan
Musik : Andhika Triyadi
Sinematografi : Ipung Rachmat Syaiful
Penyunting : ○ Sentot Sahid
○ Reynaldi Christanto
Perusahaan Produksi : Falcon Pictures
Tanggal Rili : ○ 9 Agustus 2019 (Surabaya)
○ 15 Agustus 2019
Durasi : 181 menit
Negara : Indonesia
Anggaran : Rp 30 miliar
Pendapatan Kotor : Rp 52,7 miliar (perkiraan)
Sinopsis
Bumi Manusia merupakan film yang mengisahkan dua anak manusia yang menjalin
cinta pada zaman kolonial awal abad ke-20. Film yang diadaptasi dari buku best seller
dengan judul sama karya Pramoedya Ananta Toer ini, menampilkan Minke (Iqbal Ramadhan)
yang merupakan anak pribumi. Minke digambarkan dengan sosok yang cerdas, mengagumi
kemajuan Eropa dan sosok yang menghendaki adanya perubahan bagi bangsanya. Namun,
tetap dipandang rendah oleh teman sekelasnya karena dia hanyalah seorang pribumi.
Pertemuannya dengan Annelies (Mawar Eva de Jong) yang merupakan seorang gadis
keturunan Indo putri dari Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) menimbulkan banyak
polemik. Perasaan yang timbul di antara keduanya membuat banyak pihak melarangnya,
termasuk ayah dan kakaknya. Juga kedekatan Minke dengan Nyai Ontosoroh membuat ayah
Minke tak setuju karena dia hanyalah seorang Nyai yang zaman dulu status sosialnya
dipandang rendah oleh masyarakat. Namun, kemajuan pemikiran dan perjuangan Nyai
membuat Minke semakin mengaguminya.
Banyak polemik yang terjadi, seperti hilangnya hak asuh Nyai Ontosoroh atas
Annelies, pernikahan yang tidak sah, hingga tuduhan atas pembunuhan membuat kebahagian
Minke dan Annelies harus direnggut oleh hukum bangsa kolonial. Sehingga membuat Minke
menuntut keadilan baginya, bagi Nyai Ontosoroh dan bagi bangsanya. Perjuangan yang
akhirnya berujung pada pertentangan antara Hukum Eropa dan Hukum Islam. Hukum Eropa,
sebagai sebuah peraturan yang dianggap “beradab” dan “modern” ternyata tidak lebih dari
sekedar hukum yang menjerat dan menyengsarakan rakyat pribumi.

Kelebihan Film
 Kekuatan Para Pemeran
Setiap karakter yang dihadirkan dalam cerita dapat diperankan dengan cukup
baik seperti karakter Minke yang diperankan oleh Iqbaal Ramadhan yang sebelumya
pernah bermain di film Dilan, dan karakter Dilan tersebut masih melekat pada
masyarakat, nyatanya Iqbal dapat membawakan sosok minke dengan sangat baik.
Selain itu. Ine Febriyanti juaranya untuk memainkan karakter Nyai Ontosoroh
wanita Jawa yang berada dalam permasalah sulit dalam hidupnya. Saat beradegan
dengan hanya melihat tatapan matanya kita langsung bisa merasakan bagaimana
karakter ini begitu kuat dalam cerita.
Dalam film ini kita akan menemukan berbagai bahasa seperti Bahasa Jawa,
Belanda, Jepang, Melayu, dan Madura dengan logatnya masing-masing, untuk yang
satu ini para pemeran Bumi Manusia patut diacungi jempol, karena mereka dapat
menguasai bahasa tersebut, sehingga karakter dari masing-masing pemeran dapat
tersampaikan dengan sangat baik.
 Penggambaran Latar Tempat
Budaya, tempat, dan alat transportasi hingga hal detil seperti gestur tubuh
diatur sedemikian rupa sehingga suasana kolonial begitu sangat kuat dan nyata di
dalam film ini. selain itu, juga di dukung dengan penggunaan warna yang terkesan
vintage juga menjadikan film ini menggambarkan bagaimana kehidupan masa lalu.
 Alur dan Tema Film Menarik
Alur cerita yang disajikan dalam film ini terasa lambat, tetapi hal inilah yang
menarik karena akan memancing kita untuk penasaran dan terus menguap bagaimana
akhir ceritanya. Film ini mengangkat tema sejarah, tetapi bukan seperti film sejarah
lainnya karena di dalamnya dibumbui dengan kisah cinta yang romantis antara Minke
dan Annelies yang sama seperti kisah cinta masa kini, namun terjadi di zaman
kolonial, hal inilah yang mampu menarik perhatian generasi milenial untuk
menontonnya.

Kekurangan Film
 Polemik yang diangkat tidak sesuai dengan buku aslinya. Seperti, perdebatan antara
Minke dengan Sarah dan Miriam de la Croix, kisah Nyai Ontosoroh dan Maiko yang
tidak dikuak secara mendalam, hingga diskusi antara Minke dengan guru favoritnya
yang mengajar bahasa dan sastra di HBS (Hogere Burger school).
 Skenario yang dibuat kurang mulus karena ada banyak adegan yang tidak dijelaskan
secara penuh, seperti kematian Herman Mallema seorang Eropa suami dari Nyai
Ontosoroh tak dijeleskan alasan orang yang meracuninya. Belum lagi, adegan pria
gemuk yang membuntuti Minke selama berhari-hari. Entah alasan apa pria gemuk
tersebut membuntuti Minke, sampai pada akhir film masih menjadi teka-teki.
 Ending (akhir) cerita kurang jelas, membuat penonton bingung dan menimbulkan rasa
penasaran, kemungkinan terdapat sekuel selanjutnya untuk menjelaskan teka-teki
cerita dalam film, sehingga penonton harus bersabar menunggu film berikutnya untuk
dirilis.
 Selain kemampuan pemeran untuk membawakan berbagai bahasa sesuai logatnya
tidak diragukan lagi, tetapi penggunaan bahasa yang terlalu banyak dan adanya dialog
yang menggunakan campuran berbagai bahasa akan menimbulkan kebingungan bagi
penonton, sehingga penonton harus mencermati dengan seksama kalimat dalam film
agar tahu maksud dari dialog tersebut.

Kesimpulan
Banyak ilmu sejarah yang dapat kita pelajari dari film ini. Film ini mengingatkan kita
bahwa bangsa kita dulu telah berjuang keras untuk kebebasan bangsa pribumi meskipun
akhirnya kalah. Seperti kata Nyai Ontosoroh di akhir film, “Kita sudah melawan, Nyo.
Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”.
Di sisi lain film ini menggambarkan betapa kacaunya tatanan kehidupan sosial pada
saat itu, dimana pribumi mendapatkan perlakuan yang tidak adil atau diskriminatif oleh pihak
Eropa membuat kita menyadari peradaban yang modern dan maju sekalipun belum tentu
merupakan peradaban yang baik dalam menerapkan hak-hak manusia. Eropa dengan segala
kekuasannya, dengan kecerdasannya, serta barang-barang modern pun ternyata belum bisa
menjamin mampu menerapkan dan menempatkan hak-hak manusia dengan layak dan pantas.

Anda mungkin juga menyukai