Anda di halaman 1dari 6

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan manusia dari lahir hingga dewasa ditandai

oleh adanya perubahan bentuk tubuh, fungsi tubuh, dan psikologis yang dipengaruhi

oleh faktor genetik dan lingkungan (Van der Linden, 1986). Ukuran dan pola

pertumbuhan pada anak bervariasi, baik menurut kelompok umur maupun jenis

kelamin. Hal ini disebabkan oleh karena adanya proses interaksi antara faktor genetik

dan lingkungan yang berjalan secara terpadu dan berkesinambungan (Helle, et.al.,

1984).

Dimensi vertikal adalah jarak antara rahang atas dan rahang bawah, yang

dibagi menjadi dimensi vertikal istirahat dan dimensi vertikal oklusi. Perkembangan

dimensi vertikal dipengaruhi oleh adanya keseimbangan antara otot-otot lidah, bibir,

pipi, dan oklusi gigi-geligi dalam perkembangan kompleks dentofasial. Kekuatan

oklusal berfungsi untuk menjaga keseimbangan dimensi vertikal dalam kompleks

orofasial (Bishara, 2001). Dimensi vertikal istirahat ditentukan oleh kekuatan aktif

dan kekuatan pasif. Kekuatan pasif berasal dari sifat elastisitas otot dan elemen

jaringan ikat, sedangkan kekuatan aktif berasal dari aktivitas unit motorik otot-otot

yang menempel pada mandibula (Basker, et.al., 1996).

Otot merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas oklusi gigi-

geligi (Mundiyah-Mokhtar, 1974). Otot mastikasi terdiri dari otot masseter,

temporalis, pterygoideus lateralis dan pterygoideus medialis (Koesoemahardja,

2004). Oklusi dikatakan normal jika susunan gigi di dalam lengkung gigi teratur dan

1
baik, serta terdapat hubungan yang serasi antara gigi-geligi rahang atas dan rahang

bawah, tulang rahang terhadap kranium, tulang rahang dengan otot-otot di sekitarnya,

dan ada keseimbangan fungsional (Bernett, 1974).

Melakukan fungsi pengunyahan adalah salah satu usaha yang paling berat dari

otot-otot mastikasi. Makanan dengan bantuan lidah bercampur dengan saliva dibawa

ke oklusal gigi-geligi dan kemudian oleh gerak ritmis dari otot pipi, makanan itu

dibawa kembali diantara lidah dan palatum. Supaya makanan tetap berada diantara

oklusal gigi-geligi, mandibula ditahan oleh gaya dari otot-otot hyoid. Kemudian

mandibula bergerak ke lateral untuk mengunyah makanan dan akhirnya mandibula ini

ditutup dengan kuat oleh aktivitas otot temporalis dan masseter (Mundiyah-Mokhtar,

1974).

Besarnya Free Way Space merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

daya kunyah seseorang (Kamegai, et.al., 2005). Setelah melakukan proses

pengunyahan, gigi-geligi cenderung kembali ke posisi istirahat. Pada posisi ini,

semua otot yang mengontrol posisi mandibula berada dalam keadaan istirahat, dan

celah diantara gigi-geligi atas dan bawah adalah merupakan Free Way Space (Foster,

1997). Menurut Johnson et al. (2002), Free Way Space atau jarak interoklusal adalah

jarak diantara permukaan oklusal gigi-geligi rahang atas dan bawah ketika mandibula

dalam keadaan posisi istirahat. Terdapat perbedaan daya kunyah pada anak dengan

ukuran Free Way Space yang berbeda (Kamegai, et.al., 2005).

Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi daya kunyah adalah tingkat

keparahan maloklusi, struktur fasial, kekuatan otot, dan perbedaan jenis kelamin.

2
Daya kunyah juga dipengaruhi oleh konsistensi makanan seseorang. Seseorang yang

sering makan makanan yang lunak, kekuatan kunyahnya lebih rendah dibandingkan

seseorang yang sering makan makanan yang berserat (Gaviao, et.al., 2006).

Daya kunyah dapat diukur dengan menentukan kapasitas individu dalam

memecah makanan menjadi partikel yang lebih kecil. Hasil kunyah biasanya

dievaluasi dengan beberapa tes yang didasarkan atas pengunyahan makanan yang

dapat dikunyah. Hampir semua tes yang digunakan di literatur menggunakan

makanan alami dengan satu atau lebih saringan untuk mengukur tingkat pengunyahan

(Slagter, 1992 cit. Murti, 2000).

Dataran tinggi dan dataran rendah menuntut jenis dan besar aktivitas fisik

yang berbeda. Pada tempat yang tinggi akan menerima stress ekologis yang lebih

kompleks, diantaranya tekanan barometer yang rendah, kelembapan udara yang

rendah, dan suhu udara yang dingin, sehingga dibutuhkan aktivitas muskular yang

tinggi yang dapat mempengaruhi bentuk badan dan antropometri anak (Janatin-

Hastuti, 2005). Menurut Hamilton (1967) cit. Iwa-Sutardjo (1993), suhu dingin dapat

meningkatkan konsumsi makanan, sedangkan suhu panas mengurangi konsumsi

makanan, hal ini kemungkinan disebabkan kekurangan energi yang dibutuhkan untuk

mempertahankan suhu badan. Selain itu pada dataran rendah juga lebih banyak

makanan lunak dan fast food, dibandingkan dengan dataran tinggi.

Secara fisik, anak laki-laki memiliki struktur fisiologi yang lebih kuat, yaitu

biasanya memiliki massa otot yang lebih besar dibandingkan massa otot wanita. Hal

ini dikarenakan adanya hormon testosteron pada anak laki-laki. Selain itu anak laki-

3
laki memiliki aktivitas yang lebih dominan dibandingkan anak perempuan, sehingga

membutuhkan asupan nutrisi lebih banyak untuk menghasilkan energi. Hal ini

menjadikan otot mastikasi anak laki-laki lebih aktif, dan tentunya memiki daya

kunyah yang lebih kuat dibandingkan anak perempuan (Helle, et.al., 1984).

Usia 7-8 tahun merupakan masa tumbuh kembang anak, dan dalam fase gigi

bercampur. Pada usia tersebut biasanya gigi molar permanen pertama telah erupsi

sempurna (Mundiyah-Mokhtar, 1974). Seperti yang juga dikatakan oleh

Koesoemahardja (2004), bahwa erupsi gigi permanen yang pertama adalah pada usia

6 tahun, ditandai dengan erupsinya molar permanen pertama yang kemudian diikuti

dengan erupsi gigi geligi insisivus.

Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam suku

bangsa. Sebagian besar penduduk Indonesia didominasi ras Melayu yang kemudian

dibedakan atas Proto-Melayu dan Deutro-Melayu. Suku Jawa termasuk dalam

Deutero Melayu (Hasibuan, 2011). Setiap manusia secara intra ras memiliki

kecepatan dan percepatan pertumbuhan yang berbeda, terlebih lagi secara inter ras

menunjukkan perbedaan yang bermakna (Iwa-Sutardjo, 1993). Di Yogyakarta, suku

bangsa tersebar dan beranekaragam, tetapi mayoritas penduduk asli yang ada di kota

Yogyakarta adalah suku Jawa.

4
B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka timbul pertanyaan

sebagai berikut :

Bagaimana pengaruh besarnya Free Way Space dan jenis kelamin terhadap daya

kunyah anak yang bertempat tinggal di dataran tinggi dan rendah.

C. Keaslian Penelitian

Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan adalah :

1. Gaviao, et.al (2006). Penelitian dilakukan pada anak-anak dalam periode gigi

bercampur dengan hasil bahwa daya kunyah anak dipengaruhi oleh banyak faktor

seperti otot-otot mastikasi dan biomekanik rahang, tetapi ukuran tubuh tidak

berpengaruh signifikan terhadap daya kunyah anak.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian diatas, antara lain dalam lokasi penelitian

(dataran tinggi dan rendah di Yogyakarta), dan jenis variabel independen (Free

Way Space, jenis kelamin).

D. Tujuan Penelitian

Untuk memperoleh data dan mengetahui pengaruh besarnya Free Way Space

dan jenis kelamin terhadap daya kunyah anak yang bertempat tinggal di dataran

tinggi dan rendah.

5
E. Manfaat Penelitian

1. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan :

a. Memberikan informasi mengenai pengaruh besarnya Free Way Space dan

jenis kelamin terhadap daya kunyah anak yang bertempat tinggal di dataran

tinggi maupun di dataran rendah.

b. Sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya berkenaan dengan daya kunyah

anak pada sistem mastikasi

2. Untuk klinisi :

Sebagai panduan dalam perawatan ortodontik anak dalam kaitannya dengan

tumbuh kembang anak.

3. Untuk masyarakat :

Memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya orangtua mengenai

pertumbuhan dan perkembangan dentofasial khususnya mengenai ukuran Free Way

Space, jenis kelamin, dan daerah dengan topografi yang berbeda berpengaruh dalam

fungsi pengunyahan anak.

Anda mungkin juga menyukai