Anda di halaman 1dari 42

BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

RSU ANUTAPURA Februari 2020


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKAIRAAT
PALU

MANAJEMEN ANASTESI REGIONAL


DENGAN TEKNIK SUBARACHNOID BLOCK PADA
OPERASI APPENDICITIS

Disusun Oleh:

Widyasari Lasawedi

13.17.777.14.273

Pembimbing :

dr. Ajutor Donny T, Sp. An

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Widyasari Lasawedi


No. Stambuk : 13 17 777 14 273
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Alkhairaat Palu
Judul Laporan Kasus : Manajemen Anastesi Regional Spinal Dengan Teknik
Subarachnoid Block Pada Operasi Appendisitis

Bagian Anestesiologi
RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, Februari 2020


Pembimbing Mahasiswa

dr. Ajutor Donny T, Sp. An Widyasari Lasawedi

2
BAB 1

PENDAHULUAN

Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata Yunani yaitu "an” dan
"esthesia", dan bersama-sama berarti "hilangnya rasa atau hilangnya sensasi”.
Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai kehilangan rasa
secara patologis bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi dikemukakan pertama kali
Oliver Wendell Holmes 1809-1894) untuk proses "eterisasi" Morton (1846),
untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri sewaktu pembedahan.
Anestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh. Pada dasarnya prinsip anastesi mencangkup 3 hal yaitu: anestesi
dapat menghilangkan rasa sakit (analgesia), menghilangkan kesadaran (sedasi)
dan juga relaksasi otot (relaksan) yang optimal agar operasi dapat berjalan
dengan lancar.

Tindakan anestesi adalah suatu tindakan medis, yang dikerjakan secara


sengaja pada pasien sehat ataupun disertai penyakit lain dengan derajat ringan
sampai berat bahkan medekati kematian. Tindakan ini harus sudah memperoleh
persetujuan dari dokter anestesi yang akan memperoleh persetujuan dari dokter
anestesi yang akan melakukan tindakan tersebut dengan mempertimbangkan
kondisi pasien, dan memperoleh persetujuan pasien atau keluarga, sehingga
tercapai tujuan yang diinginkan yaitu pembedahan, pengelolaan nyeri , dan life
support yang berlandaskan pada patient safety.

Anestesi umum adalah suatu keadaan menghilangkan rasa nyeri secara


sentral disertai kehilangan kesadaran dengan menggunakan obat amnesia, sedasi,
analgesia, pelumpuh otot, atau gabungan dari beberapa obat tersebut yang bersifat
dapat pulih kembali.

3
Anestesi regional atau blok saraf adalah bentuk anestesi yang hanya
sebagian dari tubuh yang dibius (dibuat mati rasa) hilangnya sensasi di daerah
tubuh yang dihasilkan oleh anestesi untuk semua saraf yang dilewati
persarafannya.

Anestesi spinal umumnya digunakan untuk prosedur bedah melibatkan daerah


epigastrium kebawah atau pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4
kebawah yaitu, abdomen bagian bawah, panggul, rectum-perineum, obstetric
ginekologi, urologi dan ekstremitas bawah. Anestesi spinal atau epidural paling
umum dilakukan dalam bedah, teknik tersebut memungkinkan pasien untuk tetap
sadar pada saat dilakukan operasi.

Appendicitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan


membutuhkan ppengobatan operasi pada anak-anak dan dewasa dibawah umur 50
tahun, dengan puncak kejadian pada usia dekae kedua dan ketiga yaitu usia 10-20
tahun. Appendisitis merupakan kasus emergensi obstetrik yang paling sering pada
wanita hamil, terjadi sering pada trisemester kedua.

Pada laporan ini akan membahas mengenai manajemen anestesi pada pasien
apendisitis dengan tindakan Apendiktomi

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. APENDIKS
1. Anatomi, Histologi dan Fisiologi Apendiks

Apendiks vermiformis adalah organ berbentuk tabung dan sempit yang


mempunyai otot dan banyak mengandung jaringan limfoid. Panjang apendiks
vermiformis bervariasi dari 3-5 inci (8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan
aspek posteromedial caecum, 2,5 cm di bawah junctura iliocaecal dengan lainnya
bebas.
Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di regio
iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada titik
sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan
umbilicus yang di sebut titik McBurney. Apendiks didarahi oleh arteri
appendicularis yang merupakan arteri tanpa kolateral dan vena appendicularis,
sedangkan persarafannya berasal dari cabang-cabang saraf simpatis
danparasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior. Aliran
limfenya ke satu atau dua nodi dalam mesoapendiks dan di alirkan ke nadi
mesenterici superiors.
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh
lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam
mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum
viserale. Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, tunika
muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan tunika serosa.
Lapisan mukosa terdiri dari satu lapis epitel bertingkat dan crypta lieberkuhn.
Terdapat jaringan limfoid diffus di dalam lamina propria.

5
Gambar 1. Anatomi Apendiks

Gambar 2. Titik Mc Burney

Gambar 3. Histologi Apendiks

6
2. Apendisitis

Apendisitis merupakan pandangan pada apendiks. Apendisitis pada awalnya


dapat sembuh spontan, namun akan terjadi jaringan parut dan fibrosis. Resiko
untuk terjadinya serangan kembali adalah 50%. Apendisitis yang parah dapat
menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah dalam rongga abdomen atau
peritonitis.

Terjadinya apendisitis umumnya karena bakteri. Namun terdapat banyak


sekali faktor pencetus, diantaranya sumbatan lumen apendiks, timbunan tinja yang
keras, makanan rendah serat, tumor apendiks dan pengikisan mukosa apendiks
akibat parasit seperti E. hystolitica.

Terdapat gejala awal yang kkhas, yaitu nyeri pada perut kanan bawah yang
disebut dengan titik Mc. Burney. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan
kadang muntah. Berbeda dengan apendisitis akut, apendisitis kronis pada palpasi
didapatkkan massa atau infiltrat yang nyeri tekan dan leukosit yang sangat tinggi.

3. Epidemiologi

Insidens apendisitis di negara maju lebih tinggi daripada di negara


berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun
secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari.

Apendisitis paling sering terjadi pada pasien dalam dekade kedua hingga
keempat kehidupan. Adapun perbandingan apendisitis pada laki-laki : perempuan
yaitu 1,2-1,3 : 1.

4. Etiologi

Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix


sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang

7
paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan
appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel
lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang
parasit 1 Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi
mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat
diisolasi pada pasien appendicitis yaitu : Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa Enterococcus
Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila species Lactobacillus
species

B. ANASTESI SPINAL
Anestesi spinal disebut juga spinal analgesia atau sub-arachnoid nerve block
oleh karena memasukkan obat anestesi lokal ke dalam ruangan subarakhnoid
untuk menghasilkan blok saraf yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas
sensoris, motoris, dan otonom yang bersifat reversibel. Penyuntikan obat anestesi
lokal biasanya dilakukan di daerah lumbal pada tingkat di bawah medula spinalis
berakhir (L2), pada L3-L4 atau L2-L3, bisa dengan posisi duduk ataupun miring.

Gambar 4. Posisi dan lokasi anestesi epidural

Struktur Anatomi Vertebra

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan

8
lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.

Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat
kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan
keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-
otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh.

Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar sampai


mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex dari
tulang  koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang harus ditanggung
semakin membesar dari cranial hingga caudalsampai kemudian beban tersebut
ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca.

Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh suatu
persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung, kendati
hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan stabilitas
kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan di
dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan
masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.

Gambar 5. Kolumna Vertebralis

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid


adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis.Medulla spinalis
berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis

9
(segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina).Penting
diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga
L1.

Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang


lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya
adalah :
a. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling
terlihat di daerah leher.
b. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
c. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
d. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
e. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5

Gambar 6. Perjalanan Medulla Spinalis pada

Kolumna Vertebralis

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal.
a. Kutis

10
b. Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
c. Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus
spinosus.
d. Ligamentum interspinosum
e. Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari
lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi
mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati
ligamentum dan masuk keruang epidural.
f. Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk.
Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
g. Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
h. Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.

Gambar 7. Lokasi Penusukan Jarum pada


Anestesi Spinal

1. Indikasi Anastesi Spinal

11
Anestesi spinal umumnya digunakan untuk prosedur bedah melibatkan daerah
epigastrium kebawah atau pembedahan daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4
kebawah yaitu, abdomen bagian bawah, panggul, rectum-perineum, obstetric
ginekologi, urologi dan ekstremitas bawah. Meskipun teknik ini juga bisa
digunakan untuk operasi abdomen bagian atas, sebagian menganggap lebih baik
untuk menggunakan anestesi umum untuk memastikan kenyamanan pasien.
Selain itu, blok ekstensif diperlukan untuk operasi abdomen bagian atas dan cara
ini mungkin memiliki dampak negatif pada ventilasi dan oksigenasi.

2. Kontraindikasi Anastesi Spinal


a. Kontra indikasi absolut :
 Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. :
Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa
terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus
dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.

b. Kontra indikasi relatif :


 Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran
infeksi.

12
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan
bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar
tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang
sudah ada pada pasien sebelumnya.
 Kelainan psikis
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120
menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan
hingga 150 menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah
jantung akibat efek obat anestesi local.
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
 Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan.
Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan
berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman.

Ada juga menyebutkan kontraindikasi kontroversi yang meliputi: operasi


tulang belakang pada tempat penusukan, ketidakmampuan komunikasi dengan
pasien serta komplikasi operasi yang meliputi operasi lama dan kehilangan darah
yang banyak.
3. Tahapan Anastesi
a. Penilaian dan persiapan pra anesthesia

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya


kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan.
b. Penilaian pra bedah

13
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-
gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia
berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang
menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang,
misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan,
suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.

2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem
organ tubuh pasien

3) Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan


penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 40 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
4) Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko

14
anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. Contohnya:


pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien
appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas. Contohnya : pasien appendisitis perforasi dengan septisemia, atau
pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan


aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat.Contohnya: Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan


hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. Contohnya: pasien tua dengan
perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.

Kelas VI : Kematian batang otak, tetapi organ masih dapat didonorkan

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan


mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau
IIE.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat


dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
a. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri,
EKG.
b. Peralatan resusitasi / anestesia umum.

15
c. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing,quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil
point whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
d. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
e. Kapas/ kasa steril dan plester.
f. Obat-obatan anestetik lokal.
g. Spuit 3 ml dan 5 ml.
h. Infus set.

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing/quincke


bacock), jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

Gambar 8. Jenis Jarum Spinal


4. Keuntungan Anastesi Spinal

Ada beberapa keuntungan dari tindakan anestesi spinal sehingga menjadi


pilihan yaitu merupakan teknik yang sederhana, relatif mudah dikerjakan dengan
angka keberhasilan yang tinggi, mula kerja dan masa pulih anestesi yang cepat,
blok saraf sensorik dan motorik yang baik, risiko toksisitas anestesi lokal yang
rendah, tidak meningkatkan risiko pada janin yaitu bayi yang lahir tidak tersedasi
selama tidak menerima anestesi melalui sirkulasi uteroplasenta, dapat sebagai
manajemen nyeri pasca operasi serta memungkinkan ibu tetap sadar pada saat
kelahiran bayinya sehingga dapat menyusui bayinya sesegera mungkin. Selain itu
keuntungan anestesi spinal pada pasien yang menjalani bedah sesar adalah jalan

16
nafas tetap paten dan risiko aspirasi lambung yang menyebabkan pneumonitis
lebih kecil.

5. Kekurangan Anastesi Spinal


Namun, anestesi spinal juga memiliki kekurangan dalam hal kestabilan
hemodinamik, yaitu hipotensi yang tetap menjadi permasalahan tersendiri.
Kerugian lain adalah efek anestesia yang tidak dapat diperpanjang jika waktu
operasi memanjang, analgesia pasca operasi harus ditambahkan dengan obat
analgetika lain jika diberikan suntikan obat anestesi lokal secara tunggal.
Anestesi spinal pada ibu hamil yang menjalani bedah sesar memerlukan dosis
obat anestesi lokal yang lebih sedikit untuk mendapatkan ketinggian blok yang
cukup bila dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil. Hal ini disebabkan oleh
adanya peningkatan sensitifitas sel saraf terhadap anestesi lokal, penurunan
jumlah cairan serebrospinal, dan efek dari uterus gravid terhadap penyebaran obat
intratekal ke arah sefalad.

6. Komplikasi Anastesi Spinal

Komplikasi anestesi spinal dibagi menjadi 2 kategori yaitu: mayor dan minor.
Komplikasi mayor adalah alergi obat anestesi lokal, transient neurologic
syndrome, cedera saraf, perdarahan subarakhnoid, hematom subarakhnoid,
infeksi, anestesi spinal total, gagal napas, sindrom kauda equina, meningitis dan
disfungsi neurologis lain. Komplikasi minor berupa hipotensi, bradikardi, post
operative nausea and vomiting (PONV), nyeri kepala pasca pungsi, penurunan
pendengaran, kecemasan, menggigil, nyeri punggung, dan retens urin.

7. Teknik Anastesi Spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Dengan persiapan tempat
lengkap dengan alat manajement jalan napas dan resusitasi tersedia. Biasanya

17
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama
akan menyebabkan menyebarnya obat.

a. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika visite
pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya
kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal
anestesi. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang
belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus
mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko
trauma terhadap medula spinalis.
c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

Gambar 8. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus

d. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 5
cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum

18
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin
ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah
jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal secara kontinyu
dapat dimasukan kateter.
e. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit – ligamentum flavum dewasa
± 6cm.

Gambar 9. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal

Komplikasi pasca tindakan anestesi spinal :


a. Hipotensi berat

19
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum
tindakan.
b. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa  disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
d. Trauma saraf
e. Mual-muntah
f. Menggigil
g. Kejang

8. Obat Anastesi Spinal

Obat anestesia lokal yang disuntikkan ke dalam ruangan subarakhnoid akan


mengalami pengenceran oleh cairan serebrospinal, menyebar baik ke kranial
maupun ke kaudal dan kontak dengan radiks medula spinalis yang belum
mempunyai selubung myelin. Obat anestesia lokal tidak boleh mengandung bahan
(material) yang mempunyai efek iritasi pada radiks dan medula spinalis. Obat
yang dipakai untuk anestesia spinal adalah obat yang khusus.

Penggunaan obat-obatan anestesia lokal yang umum dipakai dalam anestesia


spinal harus diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan seperti distribusi dari obat
dalam cairan serebrospinalis (level dari anestesia), ambilan obat oleh elemen-
elemen saraf pada ruang subarakhnoid (tipe dari saraf yang terblok), dan eliminasi
obat dari ruangan subarakhnoid (duration of action).6 Terdapat beberapa macam
obat anestesia lokal yang sering dipakai pada anestesia spinal seperti prokain,
lidokain (Xylocaine), tetrakain (Pantocaine), bupivakain (Marcaine atau
Sensorcaine), dan dibukain (Cinchorcaine). Prokain dan lidokain bersifat short-
intermediate acting, sedangkan tetrakain, bupivakain dan dibukain mempunyai
sifat intermediate-long duration.

20
a. Prokain.
Menghasilkan anestesia spinal dengan onset efek sekitar 3 sampai 5 menit
dengan durasi antara 50-60 menit. Di Amerika Serikat, prokain untuk
anestesia spinal terdapat dalam sediaan ampul sebanyak 2 ml larutan 10%.
Jika dilarutkan dengan cairan serebrospinal dalam jumlah yang sama
menghasilkan larutan prokain 5% yang mempunyai berat hampir sama
dengan cairan serebrospinal dan jika dicampur dengan glukosa 10% dalam
jumlah yang sama akan menghasilkan larutan yang lebih berat dari cairan
serebrospinal. Larutan prokain 2,5% dalam air lebih banyak digunakan
sebagai diagnostik dibandingkan dengan anestesia spinal untuk operasi. Dosis
yang disarankan berkisar antara 50-100 mg untuk operasi daerah perineum
dan ekstremitas inferior dan 150-200 mg untuk operasi abdomen bagian atas.
b. Lidokain.
Juga mempunyai onset anestesia spinal dalam 3 sampai 5 menit dengan
durasi yang lebih lama dari prokain yaitu 60-90 menit. Lidokain yang dipakai
untuk anestesia spinal adalah larutan 5% dalam glukosa 7,5%. Dosis yang
biasa digunakan adalah 25-50 mg untuk operasi perineum dan saddle block
anesthesia dan 75-100 mg untuk operasi abdomen bagian atas.
c. Tetrakain.
Obat ini mempunyai onset anestesia dalam 3 sampai 6 menit dengan durasi
yang lebih lama dibandingkan dengan prokain dan lidokain (210-240 menit).
Tetrakain tersedia dalam bentuk ampul berisi kristal 20 mg dan dalam ampul
sebesar 2 ml larutan 1% dalam air. Larutan 1%, jika dicampur dengan
glukosa 10% dalam jumlah yang sama (tetrakain 0,5% dalam 5% glukosa)
digunakan secara luas untuk anestesia spinal dimana mempunyai berat yang
lebih besar daripada cairan serebrospinal. Dosis yang digunakan berkisar
antara 5 mg untuk operasi daerah perineum dan ekstremitas inferior dan 15
mg untuk operasi abdomen bagian atas.
d. Bupivakain.
Obat ini menghasilkan onset anestesia spinal dalam waktu 5 sampai 8 menit.
Durasi anestesia yang dihasilkan sama dengan tetrakain. Di Australia dan

21
kebanyakan negara eropa, larutan 0,5% hipobarik atau hiperbarik telah
digunakan sebagai anestesia spinal. Dosis yang direkomendasikan berkisar
antara 8-10 mg untuk operasi perineum dan ekstremitas inferior dan 15-20
mg untuk operasi abdomen bagian atas.

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi
spinal terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 1. Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

Anestetik lokal Berat jenis Sifat Dosis


Lidokain
2% plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)
5% dalam 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)
dekstrosa 7,5%

22
Bupivakain
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (-3 ml)
dekstrosa 8.25%

Tabel 2. Anestetik lokal yang paling sering digunakan

9. Pemulihan Pasca Anastesi

Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama


yang menggunakan Regional anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih
dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau
masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).

BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Ny. R
Umur : 43 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan

23
Berat Badan : 52 kg
Agama : Islam
Pekerjaan : URT
Alamat : Randomayang, Mamuju
No. Rekam Medik : 550260
Tanggal Operasi : 21 Januari 2020
Diagnosa Pra Anestesi : Apendisitis
Jenis Pembedahan : Apendiktomi
Jenis Anestesi : Anestesi regional
Teknik Anestesi : SAB L3-L4

B. S-O-A-P
1. Subjektif :
1. Keluhan Utama : : Nyeri perut kanan bawah
 Riwayat penyakit sekarang : Pasien masuk ke RSU Anutapura
dengan nyeri perut bagian kanan bawah. Keluhan sudah dialami sejak
± 1 hari yang lalu. Keluhan dirasakan tiba- tiba , dan terus menerus
seperti di tusuk – tusuk, Nyeri pertama kali di rasakan pada perut
kanan bawah kemudian menjalar ke bagian epigastrium. Demam (+) 1
hari yang lalu, mual (+), muntah (+), sakit kepala (+), BAB dan BAK
lancer. Pasien belum pernah mengalami ini sebelumnya.

2. Riwayat penyakit dahulu:


 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat penyakit hipertensi(-)
 Riwayat penyakit asma (-)
 Riwayat alergi obat dan makanan(-)
 Riwayat diabetes melitus (-)
 Riwayat trauma atau kecelakaan (-)

24
3. Riwayat penyakit keluarga :
- Riwayat penyakit darah tinggi : tidak ada
- Riwayat penyakit DM : tidak ada
- Riwayat penyakit alergi : tidak ada
- Riwayat penyakit asma : tidak ada

2. Objektif :
 Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
B1 (Breath):Airway :
• Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi (-)
• Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri
• Perkusi : Sonor kiri sama dengan kanan
• Auskultasi : Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
• RR : 22 x/menit.

B2 (Blood):

 TD : 120/80 mmHg
 Nadi : 84 x/menit
 Suhu : 36,9’C
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula (S)
 Perkusi : Batas jantung normal
 Auskultasi : S1 dan S2 murni regular, bising (-)

B3 (Brain): Kesadaran : CM ( Compos Mentis )


Kesadaran compos mentis GCS 15 (E4V5M6, Pupil: isokor Ø 3
mm/3mm, Refleks Cahaya langsung +/+

25
B4 (Bladder) :
BAK lancar, produksi kesan normal, warna kuning jernih,
frekuensi 5-6 kali sehari, Masalah pada sistem renal/endokrin (-)

B5 (bowel)
• Inspeksi : Cembung, tidak terdapat jejas
• Auskultasi : bising usus (+)
• Perkusi : Bunyi : Timpani
Asites : (-)
• Palpasi : Nyeri tekan (+) region inguinal dextra, ,
hepatomegali (-), splenomegali (-).

B6 Back & Bone :tidak ada batasan aktivitas.

Ekstremitas : akral hangat, pucat (-), edema (-), turgor < 2 detik,

 Skor Alvarado

26
The Modified Alvarado Score Skor
Gejala Perpindahan nyeri dari ulu hati ke 1
perut kanan bawah
Mual-Muntah 1
Anoreksia 1
Tanda Nyeri di perut kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Demam diatas 37,5°C 1
Pemeriksaan Leukositosis 2
Lab Hitung jenis leukosit shift to the left 1
Total 10
Interpretasi dari Modified Alvarado Score:

 10 : hampir pasti menderita Apendisitis

Tabel 3. Alvarado Skor


 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 11,6 L: 13-17, P: 11-15 g/dl
Leukosit 20,4 4.000-10.000 /mm3
Eritrosit 4,49 L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6 Juta/ul
Hematokrit 35 L: 40-54 P: 35-47 %
Trombosit 275 150.000-500.000 /mm3
Waktu
7,30 4-12 m.det
pembekuan
Waktu perdarahan 2,30 1-4 m.det

Tabel 4. Hasil Laboratorium Darah Lengkap

Hasil Rujukan Satuan


GDS 114 80 – 199 mg/dl

Tabel 5. Hasil Laboratorium Kimia Darah

27
Hasil Rujukan
HbsAg Non-reaktif Non-reaktif
Anti HIV Non reaktif Non reaktif

Tabel 6. Hasil Laboratorium Seroimmunologi

 Ultrasonografi

Area Mc Burney : Tampak target sign yang uncompressible

Kesan : Appendisitis Akut

3. Assesment
 Status fisik ASA PS Kelas II
 Acc. Anestesi dengan diagnose appendicitis akut

4. Plan

28
Anjuran :
- Puasakan pasien sebelum tindakan operasi (pasien mulai puasa 02:
00 Wita)
- Pasang infus IV 1 line
- IVFD RL 1 kantong 20 tpm dengan menggunakan abocath no. 18G
+ Transfusi set

Terapi
 IVFD RL 28 tetes
 Teknik anestesi : SAB (Subarachnoid Block Anastesi)
 Jenis pembedahan : Apendektomi

Persiapan pasien preoperatif :


 Di Ruangan
a. Surat persetujuan operasi (√) dan Surat persetujuan tindakan anestesi (√).
b. Puasa 8 jam pre operasi

 Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anesthesia
 Evaluasi ulang status present pasien :
- Nadi: 84 x/menit

29
- Respirasi: 22 x/menit

 Persiapan alat (STATICS)


a. Scope : Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
LaringoScope : pilih bilah (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang.
b. Tube : Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien
c. Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas
d. Tape : Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
e. Introducer : Stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
f. Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
g. Suction : Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya

 Prosedur Regional Anastesi


 Persiapan : Pasien posisiskan supine, pasang O2 via nasal canul 3
liter/menit, monitor ( TD, EKG, Stetoskop Precordial, Sp02 )
 Loading cairan 300 ml
 Premedikasi : Ondancentron IV 4mg
 Spinal Anaestesi : Posisikan LLD, Identifikasi interspace Vertebra
L3-4, Disinfeksi, Anestesi local lidokain 2%.
 Insersi Spinocain no. 26 G paramedian approach, LCS (+) mengalir,
darah (-), Barbotage (+)
 Injeksi Bupivacaine 0,5% 20mg via spinocain
 Kembali ke posisi supine, Prick test sensorik setinggi T6.
 Maintenance : O2 2-4 liter/menit, efedrin 10mg saat TD <25% dari
tekanan darah basal, Asam Trenamexamat 500mg, Inj. Ketorolac 30
mg (akhir oprasi)

30
 Anestesi selesai, Prick test setinggi T10, pasien ke RR.

Intra Operatif

Laporan Anestesi Durante Operatif


- Jenis anestesi : Anestesi regional SAB L3-L4,
- Teknik anestesi : Spinal
- Obat : Bupivacain HCL 5% 12,5 mg
- Lama anestesi : 11.20 – 12.50 (90 Menit)
- Lama operasi : 11.30 – 12.40 (70 Menit)
- Anestesiologi : dr. Ajutor Donny T, Sp.An
- Ahli Bedah : dr. Andry Hamdani, Sp.B
- Posisi : Supinasi
- Infus : 1 line di tangan kiri
- Premedikasi :
- Ondancentron 4 mg
- Medikasi lainnya
o Ketorolac 30 mg

Pukul Tekanan Darah Nadi Saturasi Terapi


(WITA) (mmHg) (kali/menit) Oksigen
(SpO2)
11:20 120/85 88 100 % O2 2,5Liter

31
11:25 130/55 92 100 % Anestesi regional SAB
spinal dengan
bupivacaine
Hyperbaric 0,5%
20mg
11:30 132/78 100 100 %
11:35 120/78 82 100 %
11:40 110/82 97 100 %
11:45 110/75 90 100 %
11:50 110/72 100 100 %
11:55 100/65 96 100 %
12:00 109/70 85 100 %
12:05 118/70 85 100 %
12:10 110/70 95 100 %
12:15 115/70 85 100 %
12:20 112/65 90 100 %
12:25 110/70 97 100 % Ondansentron 4 mg
12:30 110/70 88 100 % Ketorolac 30 mg
12:35 110/70 86 100 %
12:40 108/70 86 100 %
12:45 109/72 80 100%

Tabel 7. Pemantauan Tanda Vital Selama Operasi

Terapi Cairan :
BB : 52 kg
EBV : 65 ml/kgBB x 52 kg = 3380 ml
Jumlah perdarahan : ±150 ml

% perdarahan : 150/3380 x 100% = 4.4 %

Hct pasien−Hct standar


MABL=EBV ×
( Hct pasien+ Hct standar ) /2
35−30 5
¿ 3380 × =3380 × =520 ml
( 35+30 ) /2 32,5

32
Pemberian Cairan
 Cairan masuk :
- Pre operatif : Kristaloid RL 300 ml
- Durante operatif: Kistaloid RL 400 ml
Total input cairan : 700 ml
 Cairan keluar :
Durante operatif
- Perdarahan ± 150 ml

Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi :
1. Cairan maintanance (M) : (BB x 35 ml)/24 jam = (52 x 35ml)/24
jam = 76 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8
x 76 = 608 ml
3. Stress Operasi Besar : 6 ml x 52 kg = 312 ml
4. Cairan defisit darah selama operasi = 150 ml x 3 = 450 ml
Untuk mengganti kehilangan darah 150 ml diperlukan 450 ml
cairan kristaloid.

Total kebutuhan cairan selama 70 menit operasi = maintenance +


stress operasi + jumlah perdarahan + urin= 76 + +312 + 150 + 0 =
538 ml
b. Cairan masuk :

Kristaloid : 300 ml +400 ml = 700 ml


Total cairan masuk : 700 ml

c. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 700 ml – 538 ml = 162 ml

33
Post Operatif
Pemantauan di Recovery Room :
a. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik. Pada pasien TD: 120/70
mmHg. nadi: 76x/menit, respirasi: 20x/menit
b. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan
analgetik
c. Bila Bromage Score ≤ 2 boleh pindah ruangan. Pada pasien
didapatkan skor 2
d. Mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum
sedikit – sedikit.

34
Gambar 10. Skor Bromage

Perintah di ruangan :
a. Awasi tanda vital (tensi, nadi, pernapasan tiap ½ jam)
b. Bila kesakitan beri analgetik.
c. Bila mual atau muntah, beri injeksi Ondansetron 4 mg iv
d. Program cairan : infus RL 20 tetes/menit
e. Program analgetik : injeksi Ketorolac 30 mg iv tiap 8 jam,

BAB IV

PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi


anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan status
fisik (ASA), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan. Yaitu
Anestesi regional dengan teknik SAB.

35
Berdasarkan hasil pra operatif tersebut, maka dapat disimpulkan status
fisik pasien pra anestesi. American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat
klasifikasi status fisik pra anestesia menjadi 5 kelas, yaitu :

ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik

ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.

ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai dnegan penyakit sistemik berat yang
disebabkan oleh berbagai penyebab tetapi tidak mengancam jiwa.

ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
secara langsung mengancam kehidupnnya.

ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang
sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperassi ataupun tidak selama 24
jam pasien akan meninggal.

Pada kasus ini, pasien Ny.R perempuan berusia 43 tahun dengan diagnosis
Apendisitis dengan rencana tindakan apendiktomy. Setelah dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta dari pertimbangan usia
disimpulkan keadaan umum pasien tergolong dalam status fisik ASA II.

Setelah penentuan ASA, kemudian ditentukan pilihan anestesi. Pada


pasien ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis anestesi regional atau lebih
tepatnya anestesi spinal. Adapun alasan pemilihan teknik anestesi tersebut adalah
sesuai dengan indikasi anestesi spinal, yaitu: pembedahan ekstremitas bawah,
bedah panggul, tindakan pada rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah
urologi, bedah abdomen bawah, dan pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri
yang dikombinasikan dengan anastesia umum ringan.

Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait


tindakan yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan

36
fisik lokalis tempat penyuntikan dilakukan untuk menyingkirkan kontraindikasi
seperti skoliosis, kifosis, ataupun infeksi. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan
adalah pemeriksaan hematologi untuk mengetahui ada tidaknya gangguan
perdarahan. Pada pasien ini, pemeriksaan fisik ataupun laboraturium tidak
menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi, sehingga
anestesi spinal dapat menjadi pilihan dalam tindakan appendiktomy ini.

Sebelum dilakukannya anestesi, dilakukan beberapa persiapan. Salah satu


persiapan yang dilakukan adalah pemberian cairan secara cepat. Tujuan
dilakukannya pemberian cairan ini adalah untuk meminimalisir efek samping dari
anestesi spinal berupa hipotensi akibat blokade simpatis dengan cara menambah
volume intravaskuler. Pemberian cairan dapat diberikan baik menggunakan
kristaloid ataupun koloid yang memiliki masa intravaskuler lebih lama dengan
berat molekul yang lebih tinggi. Pada pasien ini, dilakukan pula pemberian cairan
menggunakan kristaloid Ringer laktat 300 cc.

Anestesi spinal (blokade subarakhnoid) adalah anestesi regional dengan


tindakan penyuntikan agen anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid dibawah
vertebra lumbal 2 dengan tujuan menghindari cedera medula spinalis.Penentuan
posisi ditentukan oleh kenyamanan pasien dan kesanggupan spesialis anestesi.
Pada pasien ini, posisi yang digunakan adalah Lateral Left Decubitus.

Setelah penentuan tempat penyuntikan dan disinfeksi, anestesi spinal dapat


dilakukan. Adapun beberapa pilihan jarum spinal, dikenal ada jenis dengan ujung
seperti bambu runcing (Quincke atau Greene) dan seperti ujung pensil (Whitacre
dan Sprotte). Jenis jarum dengan ujung pensil lebih banyak digunakan dengan
pertimbangan lebih jarang menyebabkan kejadian postdural puncture headache
(PDPH) atau nyeri kepala setelah penyuntikan. Walau demikian, pada anestesi
kali ini, jarum yang digunakan pada pasien adalah jarum Quincke namun dengan
ukuran kecil 26G yang diharapkan meminimalisir efek tersebut.

37
Kemudian, anestesi dapat dilanjutkan dengan dilakukan tindakan aseptik
area tempat penyuntikan yaitu daerah kulit punggung pasien. Penyuntikan jarum
spinal dilakukan pada bidang medial dengan sudut 10-30° terhadap bidang
horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan
duramater dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet setelah dirasakan jarum
memasuki ruang intratekhal ditandai dengan keluarnya cairan serebrospinal.
Suntikkan obat anestetik lokal yang telah dipersiapkan ke dalam ruang
subaraknoid.

Obat – obatan yang dapat digunakan sebagai agen anestesi lokal secara
umum terbagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan Ester, seperti prokain, kokain,
dan tetrakain; dan golongan Amide seperi prilokain, lidokain, bupivacaine, dan
lain-lain. Perbedaan penting dari keduanya adalah mekanisme yang diakibatkan
oleh metabolitnya, dimana golongan amide lebih sedikit dimetabolisme karena
lebih stabil dan cenderung berakumulasi dalam plasma. Adapun obat-obatan
anestetik lokal yang digunakan di Indonesia adalah prokain, lidokain, dan
bupivakain.

Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain


hyperbaric 0,5% dengan dosis 20 mg. Bupivakain bekerja menstabilkan membran
neuron dengan cara menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang
diperlukan dalam memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang
berhubungan dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf
yang terkena menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik,
nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di
hati dan melalui pernafasan (paru-paru).
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan
mengalami penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya:
dilusi dan pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh
jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh
pembuluh darah. Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan struktur

38
jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut
saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-
akar saraf di medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu
anterior dan posterior (sekunder) dan traktus asenden dan desenden parenkim di
medula spinalis.

Anestesi spinal memiliki beberapa efek samping, salah satunya yang


paling sering adalah hipotensi yang diakibatkan blokade simpatis. Keadaan ini
dapat ditangani dengan pemberian vasokontriktor seperti phennylephrine atau
efedrin. Pada kasus ini, selama anestesi dan pembedahan berlangsung, tidak
terdapat penurunan tekanan darah yang berarti sehingga tidak dibutuhkan
pemberian vasokontriktor.

Kemudian dilanjutkan pemberian Ondansentrone 4mg suatu antagonis


reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan pengobatan
mual, muntah pasca bedah. Efek samping berupa hipotensi, bronkospasme,
konstipasi dan sesak nafas. Dengan dosis dewas 2-4 mg. lalu dilanjutkan
pemberian Ranitidin 50mg suatu antagonis reseptor histamin. Baik untuk
menurunkan pH gaster, efek samping berupa hipotensi, cardiac arrest serta depresi
sistem saraf pusat. Dengan dosis dewasa 50-100 mg.
a. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 700 ml – 538ml = 162 ml

b. Perhitungan cairan pengganti darah :


Untuk mengganti kehilangan darah ±150 cc diperlukan ± 450 cairan
kristaloid

Dengan kebutuhan cairan tersebut dan cairan yang telah diterima pasien
selama intraoperatif, dapat disimpulkan bahwa cairan yang diterima pasien sudah
sangat cukup. Sehingga program penggantian cairan dapat dilanjutkan di ruang
pemulihan dengan tetap memantau input dan output cairan.

39
Pada pemantauan post operatif, tanda vital pasien terus dipantau setiap 30
menit, dimana pada pasien ini tidak ditemukan gangguan haemodinamik post
operasi. Selain itu pasien analgetik Ketorolac 30 mg. Jika Skor Bromage pasien
2 maka pasien boleh pindah ke ruangan perawatan.

Dalam terapi cairan, jumlah cairan yang masuk adalah 700 cc dari
preoperatif (RL 300 cc) dan durante operatif (RL 400) dan jumlah cairan keluar
adalah 150 cc berupa perdarahan. Estimated Blood Volume (EBV) dengan BB
pasien 52 kg : 65 cc/kg BB x 52 kg = 3380 cc, sehingga di didapatkan
%perdarahan : 150/3,380 x 100% = 4,4 %.

Perhitungan Cairan
d. Input yang diperlukan selama operasi
Cairan Maintanance (M) : (BB x 35ml)/24 jam = 76 ml/jam
Stress operasi (operasi sedang) : 6 cc x BB = 6 x 52 = 312 ml/jam
Defisit darah selama 70 menit = 150 ml
Jika diganti dengan cairan koloid atau darah 1:1
Jika diganti dengan cairan kristaloid 2:1

Total kebutuhan cairan selama 70 menit operasi :

Cairan maintenance + deficit cairan selama puasa + Stres operasi +


perdarahan = 76 + 312 + 150 = 538 ml

a. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 700 ml – 538 ml = 162 ml

Menjelang operasi hampir selesai, diberikan medikasi berupa Ketorolac 30


mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan 50 mg pethidin atau 12 mg
morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman daripada
analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi nafas.

40
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan
pada pemeriksaan fisik tekanan darah 120/ 72 mmHG, nadi 96 x/menit, dan laju
respirasi 20 x/menit. Pembedahan dilakukan selama 70 menit dengan perdarahan
± 150 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).

DAFTAR PUSTAKA

1. Weissleder R, Wittenberg J, Harisinghani MG et-al. Primer of diagnostic


imaging. Mosby Inc. (2007)
2. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. The Appendix. Shwartz’s
Principles of Surgery. 9th Ed. USA: McGrawHill Companies. 2010.
3. Sjamsuhidajat R. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum:
Apendiks Vermiformis. In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Theddeus

41
OHP, Rudiman Reno. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-deJong. 3 rd
ed. Jakarta:EGC, 2010.p755-62.
4. Fritsch H, Kühnel W. Color atlas of human anatomy, Internal organs.
Thieme Medical Publishers. (2008)

5. Mangku G, Gde agung S Tjokorda. Ilmi anestesi dan Renimasi. Jakarta:


PT Macan Jaya Cemerlang. 2010. Halaman 118-126

6. Javed S, Shareen H, Fatima A, Khawaja TM. Spinal anesthesia induced


complications in caesarean section a review. J. Pharm. Sci. dan Res 2011;
3(10): 1530-8.

7. Widiastuti p. Regional Anastesi Pada Tindakan Appendictomy Pasien


Wanita Usia 38 Tahun Dengan Appendisitis Akut Di Rsud Karanganyar.
2017
8. Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Ilmu Anestesi
dan Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta. 2010. p.49-65
9. Purmono A., 2015. Buku Kuliah Anastesi. EGC : Jakarta.
10. Gunawan, S., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta.
11. Liou, S., 2013. Spinal and Epidural Anesthesia. Diakses dari:
http://www.nlm.nih. gov/medlineplus/ency/article/007413.htm
12. Mansjoer, A., et all. 2010. Anestesi Spinal pada Laparatomy. Catatan
Anastesi. Media Aesculapius. Makassar.

42

Anda mungkin juga menyukai