Disusun Oleh:
Widyasari Lasawedi
13.17.777.14.273
Pembimbing :
1
HALAMAN PENGESAHAN
Bagian Anestesiologi
RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata Yunani yaitu "an” dan
"esthesia", dan bersama-sama berarti "hilangnya rasa atau hilangnya sensasi”.
Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai kehilangan rasa
secara patologis bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi dikemukakan pertama kali
Oliver Wendell Holmes 1809-1894) untuk proses "eterisasi" Morton (1846),
untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri sewaktu pembedahan.
Anestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh. Pada dasarnya prinsip anastesi mencangkup 3 hal yaitu: anestesi
dapat menghilangkan rasa sakit (analgesia), menghilangkan kesadaran (sedasi)
dan juga relaksasi otot (relaksan) yang optimal agar operasi dapat berjalan
dengan lancar.
3
Anestesi regional atau blok saraf adalah bentuk anestesi yang hanya
sebagian dari tubuh yang dibius (dibuat mati rasa) hilangnya sensasi di daerah
tubuh yang dihasilkan oleh anestesi untuk semua saraf yang dilewati
persarafannya.
Pada laporan ini akan membahas mengenai manajemen anestesi pada pasien
apendisitis dengan tindakan Apendiktomi
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. APENDIKS
1. Anatomi, Histologi dan Fisiologi Apendiks
5
Gambar 1. Anatomi Apendiks
6
2. Apendisitis
Terdapat gejala awal yang kkhas, yaitu nyeri pada perut kanan bawah yang
disebut dengan titik Mc. Burney. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan
kadang muntah. Berbeda dengan apendisitis akut, apendisitis kronis pada palpasi
didapatkkan massa atau infiltrat yang nyeri tekan dan leukosit yang sangat tinggi.
3. Epidemiologi
Apendisitis paling sering terjadi pada pasien dalam dekade kedua hingga
keempat kehidupan. Adapun perbandingan apendisitis pada laki-laki : perempuan
yaitu 1,2-1,3 : 1.
4. Etiologi
7
paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan
appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel
lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang
parasit 1 Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi
mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat
diisolasi pada pasien appendicitis yaitu : Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa Enterococcus
Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila species Lactobacillus
species
B. ANASTESI SPINAL
Anestesi spinal disebut juga spinal analgesia atau sub-arachnoid nerve block
oleh karena memasukkan obat anestesi lokal ke dalam ruangan subarakhnoid
untuk menghasilkan blok saraf yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas
sensoris, motoris, dan otonom yang bersifat reversibel. Penyuntikan obat anestesi
lokal biasanya dilakukan di daerah lumbal pada tingkat di bawah medula spinalis
berakhir (L2), pada L3-L4 atau L2-L3, bisa dengan posisi duduk ataupun miring.
Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan
8
lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat
kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan
keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-
otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh suatu
persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung, kendati
hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan stabilitas
kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan di
dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan
masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.
9
(segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina).Penting
diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga
L1.
Kolumna Vertebralis
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal.
a. Kutis
10
b. Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
c. Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus
spinosus.
d. Ligamentum interspinosum
e. Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari
lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi
mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati
ligamentum dan masuk keruang epidural.
f. Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk.
Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
g. Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
h. Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.
11
Anestesi spinal umumnya digunakan untuk prosedur bedah melibatkan daerah
epigastrium kebawah atau pembedahan daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4
kebawah yaitu, abdomen bagian bawah, panggul, rectum-perineum, obstetric
ginekologi, urologi dan ekstremitas bawah. Meskipun teknik ini juga bisa
digunakan untuk operasi abdomen bagian atas, sebagian menganggap lebih baik
untuk menggunakan anestesi umum untuk memastikan kenyamanan pasien.
Selain itu, blok ekstensif diperlukan untuk operasi abdomen bagian atas dan cara
ini mungkin memiliki dampak negatif pada ventilasi dan oksigenasi.
12
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan
bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar
tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang
sudah ada pada pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120
menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan
hingga 150 menit.
Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah
jantung akibat efek obat anestesi local.
Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan.
Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan
berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman.
13
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-
gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia
berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang
menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang,
misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan,
suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem
organ tubuh pasien
3) Pemeriksaan laboratorium
14
anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas. Contohnya : pasien appendisitis perforasi dengan septisemia, atau
pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
15
c. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing,quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil
point whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
d. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
e. Kapas/ kasa steril dan plester.
f. Obat-obatan anestetik lokal.
g. Spuit 3 ml dan 5 ml.
h. Infus set.
16
nafas tetap paten dan risiko aspirasi lambung yang menyebabkan pneumonitis
lebih kecil.
Komplikasi anestesi spinal dibagi menjadi 2 kategori yaitu: mayor dan minor.
Komplikasi mayor adalah alergi obat anestesi lokal, transient neurologic
syndrome, cedera saraf, perdarahan subarakhnoid, hematom subarakhnoid,
infeksi, anestesi spinal total, gagal napas, sindrom kauda equina, meningitis dan
disfungsi neurologis lain. Komplikasi minor berupa hipotensi, bradikardi, post
operative nausea and vomiting (PONV), nyeri kepala pasca pungsi, penurunan
pendengaran, kecemasan, menggigil, nyeri punggung, dan retens urin.
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Dengan persiapan tempat
lengkap dengan alat manajement jalan napas dan resusitasi tersedia. Biasanya
17
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama
akan menyebabkan menyebarnya obat.
a. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika visite
pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya
kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal
anestesi. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang
belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus
mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko
trauma terhadap medula spinalis.
c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
d. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 5
cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
18
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin
ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah
jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal secara kontinyu
dapat dimasukan kateter.
e. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit – ligamentum flavum dewasa
± 6cm.
19
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum
tindakan.
b. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
d. Trauma saraf
e. Mual-muntah
f. Menggigil
g. Kejang
20
a. Prokain.
Menghasilkan anestesia spinal dengan onset efek sekitar 3 sampai 5 menit
dengan durasi antara 50-60 menit. Di Amerika Serikat, prokain untuk
anestesia spinal terdapat dalam sediaan ampul sebanyak 2 ml larutan 10%.
Jika dilarutkan dengan cairan serebrospinal dalam jumlah yang sama
menghasilkan larutan prokain 5% yang mempunyai berat hampir sama
dengan cairan serebrospinal dan jika dicampur dengan glukosa 10% dalam
jumlah yang sama akan menghasilkan larutan yang lebih berat dari cairan
serebrospinal. Larutan prokain 2,5% dalam air lebih banyak digunakan
sebagai diagnostik dibandingkan dengan anestesia spinal untuk operasi. Dosis
yang disarankan berkisar antara 50-100 mg untuk operasi daerah perineum
dan ekstremitas inferior dan 150-200 mg untuk operasi abdomen bagian atas.
b. Lidokain.
Juga mempunyai onset anestesia spinal dalam 3 sampai 5 menit dengan
durasi yang lebih lama dari prokain yaitu 60-90 menit. Lidokain yang dipakai
untuk anestesia spinal adalah larutan 5% dalam glukosa 7,5%. Dosis yang
biasa digunakan adalah 25-50 mg untuk operasi perineum dan saddle block
anesthesia dan 75-100 mg untuk operasi abdomen bagian atas.
c. Tetrakain.
Obat ini mempunyai onset anestesia dalam 3 sampai 6 menit dengan durasi
yang lebih lama dibandingkan dengan prokain dan lidokain (210-240 menit).
Tetrakain tersedia dalam bentuk ampul berisi kristal 20 mg dan dalam ampul
sebesar 2 ml larutan 1% dalam air. Larutan 1%, jika dicampur dengan
glukosa 10% dalam jumlah yang sama (tetrakain 0,5% dalam 5% glukosa)
digunakan secara luas untuk anestesia spinal dimana mempunyai berat yang
lebih besar daripada cairan serebrospinal. Dosis yang digunakan berkisar
antara 5 mg untuk operasi daerah perineum dan ekstremitas inferior dan 15
mg untuk operasi abdomen bagian atas.
d. Bupivakain.
Obat ini menghasilkan onset anestesia spinal dalam waktu 5 sampai 8 menit.
Durasi anestesia yang dihasilkan sama dengan tetrakain. Di Australia dan
21
kebanyakan negara eropa, larutan 0,5% hipobarik atau hiperbarik telah
digunakan sebagai anestesia spinal. Dosis yang direkomendasikan berkisar
antara 8-10 mg untuk operasi perineum dan ekstremitas inferior dan 15-20
mg untuk operasi abdomen bagian atas.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi
spinal terdapat pada table dibawah ini.
22
Bupivakain
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (-3 ml)
dekstrosa 8.25%
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Ny. R
Umur : 43 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
23
Berat Badan : 52 kg
Agama : Islam
Pekerjaan : URT
Alamat : Randomayang, Mamuju
No. Rekam Medik : 550260
Tanggal Operasi : 21 Januari 2020
Diagnosa Pra Anestesi : Apendisitis
Jenis Pembedahan : Apendiktomi
Jenis Anestesi : Anestesi regional
Teknik Anestesi : SAB L3-L4
B. S-O-A-P
1. Subjektif :
1. Keluhan Utama : : Nyeri perut kanan bawah
Riwayat penyakit sekarang : Pasien masuk ke RSU Anutapura
dengan nyeri perut bagian kanan bawah. Keluhan sudah dialami sejak
± 1 hari yang lalu. Keluhan dirasakan tiba- tiba , dan terus menerus
seperti di tusuk – tusuk, Nyeri pertama kali di rasakan pada perut
kanan bawah kemudian menjalar ke bagian epigastrium. Demam (+) 1
hari yang lalu, mual (+), muntah (+), sakit kepala (+), BAB dan BAK
lancer. Pasien belum pernah mengalami ini sebelumnya.
24
3. Riwayat penyakit keluarga :
- Riwayat penyakit darah tinggi : tidak ada
- Riwayat penyakit DM : tidak ada
- Riwayat penyakit alergi : tidak ada
- Riwayat penyakit asma : tidak ada
2. Objektif :
Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
B1 (Breath):Airway :
• Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi (-)
• Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri
• Perkusi : Sonor kiri sama dengan kanan
• Auskultasi : Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
• RR : 22 x/menit.
B2 (Blood):
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Suhu : 36,9’C
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula (S)
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : S1 dan S2 murni regular, bising (-)
25
B4 (Bladder) :
BAK lancar, produksi kesan normal, warna kuning jernih,
frekuensi 5-6 kali sehari, Masalah pada sistem renal/endokrin (-)
B5 (bowel)
• Inspeksi : Cembung, tidak terdapat jejas
• Auskultasi : bising usus (+)
• Perkusi : Bunyi : Timpani
Asites : (-)
• Palpasi : Nyeri tekan (+) region inguinal dextra, ,
hepatomegali (-), splenomegali (-).
Ekstremitas : akral hangat, pucat (-), edema (-), turgor < 2 detik,
Skor Alvarado
26
The Modified Alvarado Score Skor
Gejala Perpindahan nyeri dari ulu hati ke 1
perut kanan bawah
Mual-Muntah 1
Anoreksia 1
Tanda Nyeri di perut kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Demam diatas 37,5°C 1
Pemeriksaan Leukositosis 2
Lab Hitung jenis leukosit shift to the left 1
Total 10
Interpretasi dari Modified Alvarado Score:
27
Hasil Rujukan
HbsAg Non-reaktif Non-reaktif
Anti HIV Non reaktif Non reaktif
Ultrasonografi
3. Assesment
Status fisik ASA PS Kelas II
Acc. Anestesi dengan diagnose appendicitis akut
4. Plan
28
Anjuran :
- Puasakan pasien sebelum tindakan operasi (pasien mulai puasa 02:
00 Wita)
- Pasang infus IV 1 line
- IVFD RL 1 kantong 20 tpm dengan menggunakan abocath no. 18G
+ Transfusi set
Terapi
IVFD RL 28 tetes
Teknik anestesi : SAB (Subarachnoid Block Anastesi)
Jenis pembedahan : Apendektomi
Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
Meja operasi dengan aksesoris yang diperlukan.
Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
Obat-obat anastesia yang diperlukan.
Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
Kartu catatan medik anesthesia
Evaluasi ulang status present pasien :
- Nadi: 84 x/menit
29
- Respirasi: 22 x/menit
30
Anestesi selesai, Prick test setinggi T10, pasien ke RR.
Intra Operatif
31
11:25 130/55 92 100 % Anestesi regional SAB
spinal dengan
bupivacaine
Hyperbaric 0,5%
20mg
11:30 132/78 100 100 %
11:35 120/78 82 100 %
11:40 110/82 97 100 %
11:45 110/75 90 100 %
11:50 110/72 100 100 %
11:55 100/65 96 100 %
12:00 109/70 85 100 %
12:05 118/70 85 100 %
12:10 110/70 95 100 %
12:15 115/70 85 100 %
12:20 112/65 90 100 %
12:25 110/70 97 100 % Ondansentron 4 mg
12:30 110/70 88 100 % Ketorolac 30 mg
12:35 110/70 86 100 %
12:40 108/70 86 100 %
12:45 109/72 80 100%
Terapi Cairan :
BB : 52 kg
EBV : 65 ml/kgBB x 52 kg = 3380 ml
Jumlah perdarahan : ±150 ml
32
Pemberian Cairan
Cairan masuk :
- Pre operatif : Kristaloid RL 300 ml
- Durante operatif: Kistaloid RL 400 ml
Total input cairan : 700 ml
Cairan keluar :
Durante operatif
- Perdarahan ± 150 ml
Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi :
1. Cairan maintanance (M) : (BB x 35 ml)/24 jam = (52 x 35ml)/24
jam = 76 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8
x 76 = 608 ml
3. Stress Operasi Besar : 6 ml x 52 kg = 312 ml
4. Cairan defisit darah selama operasi = 150 ml x 3 = 450 ml
Untuk mengganti kehilangan darah 150 ml diperlukan 450 ml
cairan kristaloid.
c. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 700 ml – 538 ml = 162 ml
33
Post Operatif
Pemantauan di Recovery Room :
a. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik. Pada pasien TD: 120/70
mmHg. nadi: 76x/menit, respirasi: 20x/menit
b. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan
analgetik
c. Bila Bromage Score ≤ 2 boleh pindah ruangan. Pada pasien
didapatkan skor 2
d. Mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum
sedikit – sedikit.
34
Gambar 10. Skor Bromage
Perintah di ruangan :
a. Awasi tanda vital (tensi, nadi, pernapasan tiap ½ jam)
b. Bila kesakitan beri analgetik.
c. Bila mual atau muntah, beri injeksi Ondansetron 4 mg iv
d. Program cairan : infus RL 20 tetes/menit
e. Program analgetik : injeksi Ketorolac 30 mg iv tiap 8 jam,
BAB IV
PEMBAHASAN
35
Berdasarkan hasil pra operatif tersebut, maka dapat disimpulkan status
fisik pasien pra anestesi. American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat
klasifikasi status fisik pra anestesia menjadi 5 kelas, yaitu :
ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.
ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai dnegan penyakit sistemik berat yang
disebabkan oleh berbagai penyebab tetapi tidak mengancam jiwa.
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
secara langsung mengancam kehidupnnya.
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang
sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperassi ataupun tidak selama 24
jam pasien akan meninggal.
Pada kasus ini, pasien Ny.R perempuan berusia 43 tahun dengan diagnosis
Apendisitis dengan rencana tindakan apendiktomy. Setelah dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta dari pertimbangan usia
disimpulkan keadaan umum pasien tergolong dalam status fisik ASA II.
36
fisik lokalis tempat penyuntikan dilakukan untuk menyingkirkan kontraindikasi
seperti skoliosis, kifosis, ataupun infeksi. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan
adalah pemeriksaan hematologi untuk mengetahui ada tidaknya gangguan
perdarahan. Pada pasien ini, pemeriksaan fisik ataupun laboraturium tidak
menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi, sehingga
anestesi spinal dapat menjadi pilihan dalam tindakan appendiktomy ini.
37
Kemudian, anestesi dapat dilanjutkan dengan dilakukan tindakan aseptik
area tempat penyuntikan yaitu daerah kulit punggung pasien. Penyuntikan jarum
spinal dilakukan pada bidang medial dengan sudut 10-30° terhadap bidang
horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan
duramater dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet setelah dirasakan jarum
memasuki ruang intratekhal ditandai dengan keluarnya cairan serebrospinal.
Suntikkan obat anestetik lokal yang telah dipersiapkan ke dalam ruang
subaraknoid.
Obat – obatan yang dapat digunakan sebagai agen anestesi lokal secara
umum terbagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan Ester, seperti prokain, kokain,
dan tetrakain; dan golongan Amide seperi prilokain, lidokain, bupivacaine, dan
lain-lain. Perbedaan penting dari keduanya adalah mekanisme yang diakibatkan
oleh metabolitnya, dimana golongan amide lebih sedikit dimetabolisme karena
lebih stabil dan cenderung berakumulasi dalam plasma. Adapun obat-obatan
anestetik lokal yang digunakan di Indonesia adalah prokain, lidokain, dan
bupivakain.
38
jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut
saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-
akar saraf di medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu
anterior dan posterior (sekunder) dan traktus asenden dan desenden parenkim di
medula spinalis.
Dengan kebutuhan cairan tersebut dan cairan yang telah diterima pasien
selama intraoperatif, dapat disimpulkan bahwa cairan yang diterima pasien sudah
sangat cukup. Sehingga program penggantian cairan dapat dilanjutkan di ruang
pemulihan dengan tetap memantau input dan output cairan.
39
Pada pemantauan post operatif, tanda vital pasien terus dipantau setiap 30
menit, dimana pada pasien ini tidak ditemukan gangguan haemodinamik post
operasi. Selain itu pasien analgetik Ketorolac 30 mg. Jika Skor Bromage pasien
2 maka pasien boleh pindah ke ruangan perawatan.
Dalam terapi cairan, jumlah cairan yang masuk adalah 700 cc dari
preoperatif (RL 300 cc) dan durante operatif (RL 400) dan jumlah cairan keluar
adalah 150 cc berupa perdarahan. Estimated Blood Volume (EBV) dengan BB
pasien 52 kg : 65 cc/kg BB x 52 kg = 3380 cc, sehingga di didapatkan
%perdarahan : 150/3,380 x 100% = 4,4 %.
Perhitungan Cairan
d. Input yang diperlukan selama operasi
Cairan Maintanance (M) : (BB x 35ml)/24 jam = 76 ml/jam
Stress operasi (operasi sedang) : 6 cc x BB = 6 x 52 = 312 ml/jam
Defisit darah selama 70 menit = 150 ml
Jika diganti dengan cairan koloid atau darah 1:1
Jika diganti dengan cairan kristaloid 2:1
a. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 700 ml – 538 ml = 162 ml
40
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan
pada pemeriksaan fisik tekanan darah 120/ 72 mmHG, nadi 96 x/menit, dan laju
respirasi 20 x/menit. Pembedahan dilakukan selama 70 menit dengan perdarahan
± 150 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).
DAFTAR PUSTAKA
41
OHP, Rudiman Reno. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-deJong. 3 rd
ed. Jakarta:EGC, 2010.p755-62.
4. Fritsch H, Kühnel W. Color atlas of human anatomy, Internal organs.
Thieme Medical Publishers. (2008)
42