Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Rinitis atrofi adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada
mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Karakteristiknya ialah adanya atropi
mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang
berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak
menyerang wanita daripada pria, terutama pada umur sekitar pubertas.1,2,6

Epidemiologi
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita,
terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk
mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria.
Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk
mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi
mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat
dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang
berkembang. Di RS H. Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6
penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.1,2

Etiologi
Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai
teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis
menekankan faktor herediter.5,6 Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan
dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 1,3,5
 Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena.
Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain
golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus,
Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid
bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.
 Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A.
 Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.
 Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
 Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
 Teori mekanik dari Zaufal.
 Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi
pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.
 Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).
 Herediter.
 Supurasi di hidung dan sinus paranasal.
 Golongan darah.
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi
primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung
(operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh
sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung umumnya segera
merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan
rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi
kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab
dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat
sosio ekonomi rendah.1,5

Patologi dan Patogenesis


Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi
epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar
alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole
terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : 1

a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik;
membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan


berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang
menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar
seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka
menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun;
Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi
surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi
surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan
mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan
bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya
silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta
yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan
histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 3
 Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.
 Silia hidung. Silia akan menghilang.
 Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel
kubik atau epitel gepeng berlapis.
 Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya
berkurang.

Gejala Klinis dan Pemeriksaan


Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan
penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit
kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan
pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi
penderita sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra
pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan
napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat
bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan
hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah
bergerak semakin jauh dari gambaran.1,2,4,5,6
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung
dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga
hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami
hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. 1,3
Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin
membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 1
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta
sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar,
krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga
hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang
jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan
yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung
tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah
kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi
ringan dan pendarahan.5
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar
namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga
hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan
menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan
disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang
hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas
ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba
Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang
tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.
Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan antara
lain : 3,4
 Foto rontgen sinus paranasalis.
 CT scan sinus paranasalis.
 Pemeriksaan mikroorganisme.
 Uji resistensi kuman.
 Pemeriksaan darah tepi.
 Pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsi konka media. Dari pemeriksaan
histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia
menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya
berkurang dan bentuknya mengecil.
 Pemeriksaan serologi darah.
Diagnosis
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test,
pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk
menyingkirkan sifilis.1

Diagnosis Banding

Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :


1. Rinitis kronik TBC
2. Rinitis kronik lepra
3. Rinitis kronik sifilis

Komplikasi

Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :


1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana

Penatalaksanaan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk
dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan
endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti
alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha
langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah
mukosa hidung.5 Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak
menolong dilakukan operasi.1,3

Konservatif

Pengobatan konservatif ozaena m eliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan simptomatik.
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-
tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan
dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :
 NaCl
 NH4Cl
 NaHCO3 aaa 9
 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
c. Larutan garam dapur
d. Campuran :
 Na bikarbonat 28,4 g
 Na diborat 28,4 g
 NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,
dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya
dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam
gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml,
kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali
sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski
melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam
2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan
pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar.
Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu,
natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan
urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik
tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan
hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.
Operasi
Tujuan operasi pada rinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga
hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan
mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. 1 Teknik bedah dibedakan menjadi
dua kategori utama : 5
1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan
2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1
1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung
bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti
Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan
membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana
menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.

Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan,
pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya
mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal
kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga
hidung.4

Anda mungkin juga menyukai