Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

Penanganan awal terhadap pasien ini adalah melakukan penilaian preoperatif


melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesa terhadap pasien menggunakan metode AMPLE yaitu menanyakan
tentang riwayat alergi, riwayat medikasi, riwayat penyakit sebelumnya (past medical
history), riwayat makan terakhir (last meal), kejadian yang dialami oleh pasien
(event). Pada saat preoperatif cito tanggal 23 juli 2016 kepada pasien ini, didapatkan
bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan dan makanan.
Pasien tidak memilki riwayat asthma, atopi, maupun riwayat alergi pada keluarga.
Pasien tidak sedang menjalani pengobatan apapun dan tidak memiliki riwayat
hipertensi, dabetes mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, maupun
keterbatasan aktifitas akibat sesak. Riwayat anestesi sebelumnya belum ada. Pasien
tidak merokok maupun mengonsumsi minuman beralkohol. Pasien terakhir makan
pukul 18.00 .
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien
Pemeriksaan penunjang pada pasien ini di diagnosa appendisitis akut dan di lakukan
tindakan apedektomi.
Pada pasien ini dilakukan Anestesi spinal yaitu anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus
kutis → subkutis → ligamentum supraspinosum → ligamentum interspinosum →
ligamentum flavum → ruang epidural → duramater → ruang subarachnoid.
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai
bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus
seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul,

1
bedah obstetrik-ginekologi, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil
dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.
Kontraindikasi penggunaan anestesi spinal meliputi kontraindikasi mutlak dan
relative. Kontraindikasi mutlak yakni pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan,
hypovolemia berat atau syok, koagulopati atau mendapat terapi koagulan, tekanan
intrakranial meningkat. Sedangkan kontraindikasi relatif yakni kelainan neurologis,
prediksi bedah yang berjalan lama, penyakit jantung, hypovolemia ringan, nyeri
punggung kronik.
Sebelum melakukan anastesi spinal terlebih dahulu harus mengatur posisi
pasien. Dapat diposisikan Left Lateral Decubitus (LLD), atau bila sulit dengan posisi
LLD maka dapat dicoba posisi duduk atau berdiri, lalu dilakukan tusukan pada garis
tengah yakni posisi yang paling sering dikerjakan. Pada pasien ini anestesi dilakukan
dengan posisi LLD. Lokasi penyuntikan dapat dilakukan pada regio lumbal antara
vertebra L2-L3, L3-L4, L4-L5. Pada pasien ini anestesi spinal dilakukan pada regio
lumbal antara vertebra L4-L5.
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain: Setelah
memposisikan pasien pada posisi LLD atau posisi duduk, maka lakukan tindakan
disinfeksi pada kulit daerah lumbal pasien yang akan disuntik. Lakukan penyuntikan
jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan sudut 10 o-30o terhadap
bidang horizontal ke arah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater,
dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet lalu cairan cerebrospinal akan menetes keluar.
Suntikkan obat anestetik lokal yang telah disiapkan ke dalam ruang subaraknoid.
Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang
digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen,
lengkung tulang belakang, postur tubuh, dan tempat penyuntikan.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis dan
parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam.
Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory sense)

2
dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit
tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya,
yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.
Salah satu faktor yang mempengaruhi spinal anestesi blok adalah barisitas
(Barik Grafity) yaitu rasio densitas obat spinal anestesi yang dibandingkan dengan
densitas cairan spinal. Barisitas menentukan penyebaran obat anestesi lokal dan
ketinggian blok karena gravitasi bumi akan menyebabkan cairan hiperbarik akan
cenderung ke bawah. Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dapat
digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Hiperbarik, merupakan sediaan obat anestesi lokal dengan berat jenis obat lebih
besar dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi.
2. Hipobarik, merupakan sediaan obat anestesi lokal dengan berat jenis obat lebih
rendah dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi
perpindahan obat ke atas dari area penyuntikan.
3. Isobarik, merupakan sediaan obat anestesi lokal dengan berat jenis obat sama
dengan berat jenis cairan serebrospinal, sehingga obat akan berada di tingkat
yang sama di tempat penyuntikan.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penggunaan anestesi spinal adalah
hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine,
meningitis, cedera pembuluh darah dan saraf, serta anestesi spinal total.
Induksi anestesi pada pasien ini menggunakan anestesi lokal yaitu bupivacaine.
Bupivakain disebut juga obat golongan amida yang digunakan pada anestesi spinal.
Obat ini menghasilkan blokade saraf sensorik dan motorik. Larutan bupivakain
hiperbarik adalah larutan anestesi lokal bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih
besar dari berat jenis cairan serebrospinal (1,003-1,008). Cara pembuatannya adalah
dengan menambahkan larutan glukosa kedalam larutan isobarik bupivakain. Cara
kerja larutan hiperbarik bupivakain adalah melalui mekanisme hukum gravitasi, yaitu
suatu zat/larutan yang mempunyai berat jenis yang lebih besar dari larutan sekitarnya

3
akan bergerak ke suatu tempat yang lebih rendah. Dengan demikian larutan
bupivakain hiperbarik yang mempunyai barisitas lebih besar akan cepat ke daerah
yang lebih rendah dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik, sehingga
mempercepat penyebaran larutan bupivakain hiperbarik tersebut.
Premedikasi yang digunakan pada pasien ini yaitu injeksi midazolam 5 mg/iv.
Midazolam merupakan golongan benzodiazepin merupakan agen obat antiansietas
yang bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor di beberapa tempat di sistem
saraf pusat termasuk sistem limbik dan formatio retikularis, menghasilkan efek yang
dimediasi oleh sistem reseptor GABA, meningkatkan permeabilitas membran neuron
yaitu pertukaran ion Cl- sehingga menghambat efek inhibisi GABA. Dosis untuk
operasi adalah 0,07-0,1 mg/kgBB, untuk dosis premedikasi peroral adalah 0,1-0,2
mg/kgBB maksimal 5 mg, perektal adalah 0,3 mg/kgBB maksimal 7,5 mg, sedangkan
untuk intravena maupun intramuscular adalah 0,05 mg/kgBB atau dosis maksimal 2,5
mg.
Kemudian dilanjutkan pemberian Ondansentrone 4 mg suatu antagonis reseptor
serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan pengobatan mual, muntah
pasca bedah. Efek samping berupa ipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak
nafas. Dengan dosis dewas 2-4 mg.
Tindakan appendectomy berlangsung selama ± 50 menit dengan jumlah
perdarahan ± 100 cc. Setelah operasi, kadar oksigen diturunkan menjadi 0%
kemudian pasien di bawa ke Recovery room.
Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar kurang
lebih 50 ml/kgBB/24jam. Sehingga kebutuhan air untuk pasien ini adalah: 50
cc/kgBB/24 jam = 3250cc/24jam.

4
DAFTAR PUSTAKA

1. Boulton, T., Blogg, C., 2002. Anestesiologi. Edisi 10. EGC. Jakarta.
2. Gunawan, S., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta.
3. Liou, S., 2013. Spinal and Epidural Anesthesia. Diakses dari: http://www.nlm.nih.
gov/medlineplus/ency/article/007413.htm
4. Mansjoer, A., et all. 2009. Anestesi Spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran
Edisi III. Media Aesculapius. Jakarta.
5. Siswo, H., 2006. Anestesi Regional, Aplikasi Klinis, dan Manfaat. Diakses dari:
http://digilib.uns.ac.id

Anda mungkin juga menyukai