Anda di halaman 1dari 142

The Chronicles of Narnia 4: The Horse and His Boy

(Kuda dan Anak Manusia)


-C.S. Lewis-

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

Edited: Farid ZE

Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Bab 1

Bagaimana Shasta Memulai Perjalanannya

Ini kisah petualangan yang terjadi di Narnia, Calormen, dan tanah yang berada di
antara keduanya, pada zaman keemasan ketika Peter merupakan Raja Agung
Narnia dan adik laki-laki juga dua adik perempuannya menjadi raja dan ratu di
bawah pimpinannya.

Di masa-masa itu, jauh ke arah selatan di Calormen, di pantai kecil lautnya,


hiduplah nelayan bernama Arsheesh. Dan tinggal bersamanya di sana, anak laki-
laki yang memanggilnya Ayah. Nama anak itu Shasta.

Pada sebagian besar hari, Arsheesh pergi di pagi hari dengan kapalnya untuk
menangkap ikan, dan pada siang hari dia mengikat keledainya pada gerobak dan
mengisi gerobak itu dengan ikan, lalu pergi sekitar satu mil atau lebih kearah
selatan menuju desa untuk menjualnya. Kalau penjualannya bagus dia akan pulang
dengan suasana hati yang cukup baik dan tidak mengatakan apa-apa pada Shasta.
Tapi kalau penjualannya buruk, dia akan mencari-cari kesalahan anak itu dan
bahkan memukulnya. Selalu ada kesalahan yang bisa ditemukan karena Shasta
punya banyak pekerjaan: memperbaiki dan mencuci jaring, memasak makan
malam, dan membersihkan rumah kecil tempat mereka berdua hidup.
Shasta sama sekali tidak tertarik pada apa pun yang ada di bagian selatan
rumahnya karena sudah pernah sekali atau dua kali pergi ke desa bersama
Arsheesh, dan tahu tidak ada yang terlalu menarik di sana. Di desa dia hanya
bertemu para pria lain yang persis ayahnya--pria-pria dengan jubah panjang dan
kotor, sepatu yang bagian ibu jarinya melengkung ke atas, juga turban di kepala
mereka, kemudian wajah mereka yang ditumbuhi janggut. Mereka akan berbicara
satu sama lain dengan suara yang perlahan sekali tentang hal-hal yang terdengar
membosankan.

Tapi dia sangat tertarik pada segala hal yang terdapat di utara karena tidak ada
yang pernah pergi ke arah sana, dan dia sendiri juga tidak pernah diizinkan pergi
ke sana. Saat dia duduk di luar sambil memperbaiki jaring, sendirian, dia sering
kali menatap penuh minat ke arah utara. Tidak seorang pun yang bisa melihat apa-
apa di sana kecuali lereng penuh rumput yang menurun hingga dataran tinggi yang
datar, dan di balik itu tampak langit dengan mungkin beberapa burung yang sedang
terbang di sana.

Terkadang bila Arsheesh ada di situ Shasta akan berkata, "O ayahku, ada apakah di
sana di balik bukit?"

Kemudian kalau suasana hati sang nelayan sedang buruk dia akan menjewer
telinga Shasta dan menyuruhnya melanjutkan pekerjaan. Atau kalau suasana
hatinya sedang damai dia akan berkata, "O putraku, jangan biarkan benakmu
dialihkan pertanyaan-pertanyaan tak berguna. Karena ada pujangga yang pernah
berkata, 'Penerapan bisnis merupakan akar kemakmuran, tapi mereka yang
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya bukanlah urusan mereka,
sama saja dengan menakhodai kapal kebodohan menuju karang kemiskinan'."

Shasta menduga di balik bukit itu pasti ada rahasia menakjubkan yang ingin
disembunyikan ayahnya dari dirinya. Namun kenyataannya, si nelayan berbicara
seperti ini karena dia sendiri sebenarnya tidak tahu apa yang terdapat di utara.
Ataupun peduli soal ini. Cara berpikirnya praktis sekali.

Suatu hari datanglah dari selatan seorang asing yang sama sekali tidak seperti pria
mana pun yang pernah Shasta lihat sebelumnya. Dia mengendarai kuda kuat yang
tubuhnya berbintik-bintik, surai juga ekornya menjuntai indah, dan sanggurdi serta
tali kekangnya dilapisi perak. Tanduk topi bajanya mencuat keluar dari dalam
turban sutranya dan pria itu mengenakan kemeja yang terbuat dari rangkaian rantai
besi. Di bagian samping tubuhnya bergantung pedang melengkung, dan tergantung
di punggungnya, perisai bulat yang dipenuhi relief kuningan. Tangan kanannya
mencengkeram tombak. Wajahnya gelap, tapi ini tidak mengejutkan Shasta karena
semua orang dari Calormen memang berpenampilan seperti itu, tapi yang
membuatnya terperangah adalah janggut pria itu yang diwarnai merah tua,
melengkung clan mengilap karena minyak wewangian.

Tapi Arsheesh tahu dari perhiasan emas di lengan telanjang orang asing itu bahwa
dia Tarkaan atau bangsawan besar, sehingga si nelayan pun berlutut di depan pria
tersebut hingga janggutnya menyentuh bumi, dan memberi sinyal ke Shasta untuk
ikut berlutut.

Sang orang asing menuntut kesediaan Arsheesh membiarkannya bermalam dan


tentu saja si nelayan tidak berani berkata tidak. Segala makanan terbaik yang
mereka miliki langsung disajikan di hadapan sang Tarkaan untuk makan malam
(dan dia tidak tampak terlalu terkesan dengan sajian itu).

Lalu Shasta, seperti biasa yang terjadi bila si nelayan kedatangan tamu, diberi
sepotong roti dan disuruh pergi ke luar pondok. Di saat-saat seperti ini biasanya dia
akan tidur dengan keledai di istal kecil beratap rumbianya. Tapi saat itu masih
terlalu sore untuk tidur, dan Shasta, yang belum pernah diajari bahwa tidak baik
mendengarkan pembicaraan dari balik pintu, duduk dengan telinga ditempelkan ke
celah dinding kayu pondok untuk mendengarkan apa yang dibicarakan para pria
dewasa itu. Dan inilah yang dia dengar :

"Dan kini, O tuan rumahku," kata si Tarkaan, "aku berminat membeli anak
lelakimu itu."

"O tuanku," jawab si nelayan (dan Shasta tahu dari nada membujuk saat Arsheesh
mengatakan ini, bahwa wajah pria itu pasti kini mulai dihiasi tampang tamak),
"seberapa besar harga yang bisa menundukkan hambamu, walau semiskin apa pun
dia, untuk menjual anak satu-satunya dan darah dagingnya sendiri menjadi budak?
Bukankah pernah ada pujangga yang berkata, 'Rasa kasih sayang alami lebih kental
daripada sop dan anak lebih berharga daripada arang'?"

"Mungkin memang begitu," jawab sang tamu datar. "Tapi pujangga lain juga
pernah berkata, 'Dia yang berusaha mengelabui seorang bijak sama saja membuka
lebar punggungnya untuk cambukan'. Janganlah penuhi mulut rentamu dengan
kebohongan. Anak itu jelas-jelas bukanlah anak kandungmu, karena pipimu
sehitam milikku sementara pipi anak itu sebersih dan seputih orang-orang barbar
yang terkutuk namun cantik yang mendiami daerah Utara yang terpencil."
"Betapa benarnya kalau begitu," jawab si nelayan, "bahwa pedang bisa dihalangi
perisai, namun mata kebijakan menusuk dalam, menembus segala pertahanan!
Ketahuilah kalau begitu, O tamuku yang terhormat, karena kemiskinanku yang
teramat sangat aku tidak pernah menikah dan tidak memiliki anak. Tapi di tahun
yang sama saat Tisroc (semoga dia selamanya kekal) memulai kekuasaannya yang
agung dan dermawan, pada malam bulan purnama, para dewa bersenang-senang
dengan mengusik tidurku. Karena itulah aku bangkit dari tempat tidur dan keluar
dari gubuk ini, berjalan menuju pantai untuk menyegarkan diri dengan menatap
permukaan air dan bulan, menghirup dalam-dalam udara yang sejuk. Tak lama
kemudian aku mendengar suara seolah ada orang mendayung mendekatiku
menyeberangi air lalu, di sana, terdengar tangisan pelan. Beberapa saat kemudian,
air pasang membawa perahu kecil ke daratan yang di dalamnya tidak apa pun
kecuali seorang pria, tergeletak tak berdaya karena dikuasai kelaparan dan
kehausan yang luar biasa. Tampaknya dia baru saja mati beberapa detik lalu
(karena tubuhnya masih hangat). Lalu ada penyimpan air dari kulit yang kosong
juga seorang bocah, masih bernapas. 'Tak diragukan lagi,' kataku, 'makhluk-
makhluk malang ini telah menyelamatkan diri dari kapal besar yang karam, tapi
sesuai rencana besar para dewa, manusia yang dewasa telah membiarkan dirinya
kelaparan demi mempertahankan nyawa sang anak, lalu tak mampu bertahan walau
telah melihat daratan.' Tentu saja sepantasnya, mengingat bagaimana para dewa
tidak pernah luput memberi pahala kepada mereka yang menolong orang-orang
yang tertimpa kemalangan, dan karena tergerak rasa belas kasihan (karena
hambamu ini pria berhati lembut)-"

"Hilangkan kata-kata kosong yang memuji dirimu sendiri itu," potong sang
Tarkaan. "Sudah cukup bagiku untuk tahu kau telah mengambil anak itu--dan
mendapatkan keuntungan sebesar sepuluh kali lipat jatah santapan roti sehari-hari
milik anak itu karena jerih payahnya, seperti yang bisa dilihat semua orang. Dan
sekarang segeralah katakan padaku berapa kau memasang harga untuk dirinya,
karena aku sudah lelah dengan kecerewetanmu."

"Anda sendiri yang dengan bijaksananya telah berkata," jawab Arsheesh, "bahwa
jerih payah anak itu memiliki harga yang tak ternilai bagi diriku. Kenyataan ini
harus ikut dipertimbangkan saat menentukan harga. Karena jika aku menjual anak
itu, sudah pasti aku harus membeli atau menyewa orang lain untuk melakukan
pekerjaannya."

"Aku akan memberimu lima belas crescent untuk anak itu," kata sang Tarkaan.
"Lima belas!" teriak Arshessh dengan suara yang terdengar seperti erangan dan
jeritan. "Lima belas! Untuk tiang penyangga masa tuaku dan cahaya mataku!
Janganlah kau mengejek janggut berubanku, walau kau seorang Tarkaan. Hargaku
adalah tujuh puluh."

Pada saat ini Shasta bangkit dan berjalan berjingkat menjauh. Dia telah mendengar
semua yang ingin didengarnya, karena dia telah sering kali mendengar orang-orang
tawar-menawar di desa dan tahu bagaimana prosesnya. Dia cukup yakin Arshessh
akhirnya akan menjualnya untuk sejumlah uang yang lebih daripada lima belas
rescent tapi kurang daripada tujuh puluh, namun Arsheesh dan sang Tarkaan bakal
membutuhkan waktu berjam-jam untuk mencapai kesepakatan.

Kau tidak boleh membayangkan Shasta sama sekali merasakan perasaan yang akan
kau dan aku rasakan bila kita baru saja mendengar orangtua kita berniat menjual
diri kita sebagai budak. Di satu pihak, hidupnya tidak jauh lebih baik daripada
hidup budak, malah sejauh yang dia tahu bisa saja orang asing yang anggun itu
bakal bersikap lebih baik kepadanya daripada Arsheesh. Di lain pihak, kisah
penemuan dirinya di perahu telah memenuhi dirinya dengan semangat dan
kelegaan. Hingga kini dia sering kali merasa tidak tenang karena, walaupun
berusaha sekeras mungkin, dia tidak mampu menyayangi si nelayan, padahal dia
tahu seorang anak seharusnya menyayangi ayahnya. Dan kini, ternyata, dia tidak
punya hubungan apa pun dengan Arsheesh. Pengetahuan ini mengangkat beban
berat dari benaknya. Wah, aku bisa jadi siapa saja! pikirnya. Malah bisa jadi aku
anak seorang Tarkaanatau anak Tisroc (semoga dia selamanya kekal)-atau anak
dewa!

Shasta berdiri di daerah yang ditumbuhi rerumputan di depan pondok sementara


memikirkan semua ini. Berkas sinar matahari mulai menghilang dengan cepat dan
satu atau dua bintang telah muncul, tapi sisa matahari terbenam masih dapat dilihat
di ufuk barat.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, kuda sang orang asing, yang diikat longgar pada
cincin besi yang terpaku di dinding istal keledai, sedang menyantap rumput. Shasta
berjalan menghampirinya dan menepuk lehernya. Hewan tersebut terus mencabik
rumput tanpa memerhatikan anak itu.

Kemudian pikiran lain muncul di pikiran Shasta.

"Kira-kira pria macam apa si Tarkaan itu ya?" tanyanya keras-keras. "Pasti bagus
sekali kalau dia baik hati. Beberapa budak di rumah penguasa besar nyaris tidak
memiliki tugas yang harus dikerjakan. Mereka mengenakan pakaian indah dan
memakan daging setiap hari. Mungkin dia akan mengikutsertakan aku ke dalam
perang, lalu aku akan menyelamatkan nyawanya dalam suatu pertempuran,
kemudian dia akan membebaskanku dan mengangkatku menjadi anaknya,
memberiku istana, kereta kuda, dan baju zirah. Tapi bisa juga dia pria kejam yang
mengerikan. Dia mungkin bakal menyuruhku bekerja di ladang dengan ikatan
terantai. Kalau saja aku bisa tahu. Tapi bagaimana caranya? Aku berani bertaruh
kuda ini tahu, kalau saja dia bisa memberitahuku."

Sang kuda mengangkat kepalanya. Shasta mengelus hidungnya yang selembut


satin dan berkata, "Kalau saja kau bisa berbicara, teman tua."

Kemudian sesaat dia mengira dia sedang bermimpi karena dengan cukup jelas,
walaupun dengan suara pelan, sang kuda berkata, "Tapi aku memang bisa."

Shasta memandang mata besar hewan itu dan matanya pun melebar hingga nyaris
sebesar, mata sang kuda, terpukau.

"Bagaimana kau bisa belajar bicara?"

"Sstt! Jangan keras-keras," jawab sang kuda.' "Di tempat asalku, nyaris semua
hewan bisa berbicara."

"Di mana itu?" tanya Shasta.

"Narnia," jawab sang kuda. "Tanah penuh kebahagiaan Narnia--Narnia yang


dihiasi pegunungan dengan hutan heather dan daratan rendah dengan sesemakan
thyme. Narnia tempat banyak sungai, lembah-lembah sempit bermata air, gua-gua
berlumut, dan hutan-hutan lebat yang berdenting karena ayunan palu para dwarf.
Oh, udara segarnya Narnia! Satu jam hidup di sana lebih baik daripada seribu
tahun di Calormen."

Kisah ini berakhir dengan ringkikan yang terdengar begitu mirip dengan desahan
napas.

"Bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanya Shasta.

"Diculik," jawab si kuda. "Atau dicuri, atau ditangkap--terserah kau mau


menyebutnya apa. Saat itu aku masih kanak-kanak. Ibuku memperingatkanku
untuk tidak pergi ke daerah lereng selatan, menuju Archenland dan lebih jauh lagi,
tapi aku tidak mendengarkannya. Dan demi surai sang singa, aku telah membayar
kebodohanku. Bertahun-tahun ini aku telah menjadi budak bagi para manusia,
menyembunyikan kemampuanku yang sebenarnya, dan berpura-pura menjadi
bodoh dan tak berakal seperti kuda-kuda mereka."

"Kenapa kau tidak memberitahu mereka siapa dirimu sebenarnya?"

"Aku tidak sebodoh itu, itulah sebabnya. Sekali mereka tahu aku bisa berbicara,
mereka akan menjadikanku bahan pertunjukan di karnaval dan semakin ketat
menjagaku. Kesempatan terakhirku untuk melarikan diri akan lenyap sama sekali."

"Dan kenapa--" Shasta memulai, tapi si kuda memotongnya.

"Sekarang begini," katanya, "kita tidak boleh membuang-buang waktu untuk


pertanyaan-pertanyaan tak berguna. Kau ingin tahu tentang majikanku Tarkaan
Anradin. Nah, dia jahat. Tidak terlalu jahat kepadaku, karena harga yang harus
dibayar akan terlalu mahal bila kau memperlakukan kuda perangmu dengan buruk.
Tapi lebih baik kau terbujur mati malam ini daripada menjadi budak manusia di
rumahnya besok."

"Kalau begitu sebaiknya aku melarikan diri," kata Shasta, wajahnya memucat.

"Ya, sebaiknya begitu," kata si kuda. "Tapi kenapa tidak melarikan diri
bersamaku?"

"Apakah kau berniat kabur juga?" Tanya Shasta.

"Ya, kalau kau mau pergi bersamaku," jawab si kuda. "Ini kesempatan untuk kita
berdua. Begini, kalau aku kabur tanpa penunggang, semua orang yang melihatku
akan mengatakan 'Kuda yang tersesat' dan akan mengejarku secepat yang mereka
bisa. Dengan penunggang, aku bakal punya kesempatan untuk lolos. Kau bisa
membantuku dalam hal itu. Di lain pihak, kau tidak bisa pergi jauh dengan dua
kaki konyolmu (kaki manusia benar-benar lemah!) tanpa berhasil dikejar. Tapi
bersamaku kau akan bisa pergi lebih jauh daripada dengan kuda lain di negeri ini.
Di situ aku bisa membantumu. Omong-omong, kau tahu cara mengendarai kuda,
kan?"

"Oh ya, tentu saja," jawab Shasta. "Setidaknya aku pernah mengendarai keledai."

"Mengendarai apa?" ulang si kuda dengan rasa muak luar biasa. (Setidaknya, dia
berniat menyuarakan itu. Tapi kenyataanya yang terdengar hanya semacam
ringkikan tinggi--"Mengendarai aph-pha-pha-pha-pha?" Kuda-kuda yang bisa
berbicara selalu menjadi sangat kekudaan cara bicaranya ketika mereka marah.)
"Dengan kata lain," dia melanjutkan, "kau tidak bisa berkuda. Ini kemunduran.
Aku harus mengajarimu sambil jalan nanti. Kalau kau tidak bisa berkuda, apakah
kau mampu jatuh?"

"Kurasa semua orang bisa jatuh," jawab Shasta.

"Maksudku apakah kau bisa jatuh tapi lalu , bangkit lagi tanpa menangis, dan naik
lagi, jatuh lagi, namun tidak menjadi takut jatuh?"

"Ak-aku akan berusaha," kata Shasta.

"Makhluk kecil yang malang," kata si kuda dengan nada yang lebih lembut. "Aku
lupa'' kau barulah kanak-kanak. Sejalan dengan waktu kita akan menjadikanmu
pengendara kuda' yang hebat. Dan sekarang--kita harus menunggu sampai dua
manusia di pondok itu tertidur. Sementara itu kita bisa membuat rencana. Tarkaan-
ku sedang dalam perjalanan ke Utara menuju kota besar, kota Tashbaan yang
terkenal dan istana Tisroc--"

"Astaga," potong Shasta dengan suara yang agak tercengang, "bukankah


seharusnya kau mengatakan 'Semoga dia selamanya kekal'?"

"Kenapa harus?" tanya si kuda. "Aku warga Narnia yang bebas. Dan kenapa aku
harus berbicara seperti para budak dan orang bodoh? Aku tidak menginginkannya
hidup selama-lamanya, dan aku tahu dia tidak akan hidup selamanya tak peduli aku
berharap begitu atau tidak. Dan aku bisa melihat kau juga berasal dari tanah Utara
yang bebas juga. Jangan pernah ungkit ucapan-ucapan khas Selatan ini di antara
kita! Dan sekarang, kembali kepada rencana kita. Seperti yang kukatakan tadi,
manusiaku sedang dalam perjalanan ke utara menuju Tashbaan."

"Apakah itu berarti kita sebaiknya pergi ke selatan?"

"Kurasa tidak," kata si kuda. "Begini, dia pikir aku bodoh dan tak berakal seperti
kuda-kuda lain. Nah, kalau aku memang benar-benar begitu, di saat aku terlepas,
aku akan kembali ke istal dan kandangku, kembali ke istananya yang terletak dua
hari perjalanan ke arah selatan. Dia akan mencariku di sana. Dia tidak akan pernah
membayangkan aku pergi ke utara sendirian. Lagi pula dia mungkin akan mengira
ada seseorang di desa terakhir yang melihatnya berkuda melewati mereka telah
mengikuti kami ke sini dan mencuriku."

"Oh, hore!" ucap Shasta. "Kalau begitu kita akan pergi ke arah utara. Sepanjang
hidupku aku selalu ingin pergi ke Utara."
"Tentu saja begitu," kata si kuda. "Itu karena darah yang mengalir dalam tubuhmu.
Aku yakin kau orang Utara tulen. Tapi jangan keras-keras. Menurutku mereka tak
lama lagi akan terlelap."

"Mungkin sebaiknya aku berjingkat ke sana dan memeriksa," saran Shasta.

"Itu ide yang bagus," kata si kuda. "Tapi berhati-hatilah supaya tidak tertangkap."

Saat ini suasana sudah lebih gelap dan sunyi kecuali karena suara ombak di pantai,
yang tidak terlalu diperhatikan Shasta berhubung dia sudah mendengarnya siang
dan malam sepanjang yang bisa dia ingat. Pondok itu, saat dia mendekat ke sana,
tampak gelap gulita. Ketika menajamkan telinga di bagian depan pondok, dia tidak
mendengar apa-apa. Ketika dia berputar untuk mendekati satu-satunya jendela di
sana, dia bisa mendengar, setelah satu atau dua detik, suara dengkuran nyaring si
nelayan tua yang familier. Lucu juga memikirkan bila segala rencana berjalan
lancar, dia tidak akan pernah mendengar suara itu lagi. Sambil menahan napas dan
merasa sedikit sedih, tapi tidak terlalu sedih bila dibandingkan rasa lega, Shasta
berjalan pelan melewati rerumputan dan pergi ke istal keledai, lalu merogoh-rogoh
tempat yang setahunya biasa dijadikan tempat menyembunyikan kunci, membuka
pintu ,dan menemukan sadel dan tali kekang si kuda yang dikunci di sana malam
ini. Dia membungkuk dan mencium hidung si keledai. "Maaf ya kami tidak bisa
mengajakmu," katanya.

"Akhirnya kau datang juga," kata si kuda ketika Shasta kembali ke dekatnya. "Aku
mulai bertanya-tanya apa yang telah terjadi padamu."

"Aku mengambil barang-barangmu di istal dulu," ucap Shasta. "Nah sekarang,


bisakah kau memberitahuku cara memasang semua ini?"

Selama beberapa menit kemudian Shasta pun sibuk, sangat berhati-hati untuk tidak
menimbulkan suara berdenting, sementara si kuda mengatakan hal-hal seperti,
"Pasang pengaman itu lebih tinggi lagi" atau "Kau akan menemukan sabuk
pengaitnya di bagian bawah" atau "Kau harus memendekkan pijakan kakinya
sedikit." Ketika semua persiapan selesai, si kuda berkata: "Sekarang, kita harus
memasang tali kekang supaya penampilan kita meyakinkan, tapi kau tidak akan
menggunakannya. Ikat saja di bagian depan sadel: sangat longgar supaya aku bisa
menggerakkan kepalaku dengan bebas. Dan ingat--kau tidak boleh
menyentuhnya."

"Kalau begitu apa gunanya?" tanya Shasta.


"Biasanya tali itu untuk mengarahkanku," jawab si kuda. "Tapi karena aku berniat
melakukan seluruh pengarahan dalam perjalanan ini, tolong simpan tanganmu
untuk dirimu sendiri. Lalu ada satu hal lagi. Kau tidak boleh mencengkeram
suraiku."

"Tapi," Shasta memohon. "Kalau aku tidak boleh berpegangan pada tali kekang
ataupun suraimu, aku harus berpegangan pada apa?"

"Berpeganganlah pada lututmu," kata si kuda. "Itu rahasianya mengendarai kuda


dengan baik. Jepit tubuhku dengan kedua lututmu sekeras yang kau mau, duduklah
dengan tegak, setegak tongkat, masukkan siku lenganmu. Omong-omong,
kauapakan tajinya?"

"Mengenakannya di mata kakiku tentu saja," jawab Shasta. "Kalau hanya itu aku
sudah " tahu."

"Kalau begitu, lepaskan dan masukkan kekantong sadel. Kita mungkin akan bisa
menjualnya sesampainya kita di Tashbaan. Siap?' Dan sekarang kurasa kau bisa
naik."

"Ooh! Kau tinggi sekali," Shasta terperangah setelah usaha pertamanya gagal.

"Aku hanya kuda, itu saja," adalah jawaban yang diterimanya. "Siapa pun akan
mengira aku ini gundukan jerami dari cara kau berusaha menaikiku! Nah, begitu
lebih baik. Sekarang duduklah baik-baik dan ingat ucapanku soal lututmu. Aneh
juga memikirkan aku yang telah memimpin serangan-serangan kaveleri dan
memenangkan berbagai perlombaan kini harus bersabar dengan karung kentang
sepertimu di atas sadelku! Bagaimanapun, kita berangkat." Si kuda terkekeh, tidak
dengan nada melecehkan.

Dan si kuda benar-benar memulai perjalanan malam mereka dengan sangat


berhati-hati. Awalnya dia bergerak ke arah selatan pondok si nelayan menuju
sungai kecil yang mengarah ke laut, lalu dengan sengaja meninggalkan jejak kaki
yang sangat jelas yang mengarah ke selatan. Tapi segera setelah mereka berada di
tengah sungai yang dangkal, dia berbalik berderap menentang aliran sungai dan
terus berjalan di dalam sungai sampai mereka berada sekitar seratus meter lebih
jauh ke arah daratan daripada pondok si nelayan. Kemudian dia memilih bagian
sungai yang berbatu-batu supaya tidak meninggalkan jejak dan keluar di bagian
utara. Lalu, masih dengan derapan biasa, dia mengarah ke utara sehingga pondok
itu, sebatang pohon yang tumbuh di sana, istal keledai, dan sungai kecil--bahkan
segala yang pernah dikenal Shasta--lenyap dari pandangan dalam kegelapan kelabu
malam musim panas. Mereka terus mendaki bukit dan kini berada di puncaknya-
puncak bukit yang selalu menjadi batas dunia yang diketahui Shasta. Dia tidak bisa
melihat apa yang ada di baliknya kecuali tahu daerah itu terbuka dan berumput.
Daerah itu tampak tak berujung: liar, sunyi, dan bebas.

"Wah!" si kuda melemparkan pandangan. "Benar-benar tempat yang cocok untuk


berpacu, ya kan?"

"Oh, jangan," kata Shasta. "Jangan dulu. Aku tidak tahu cara--kumohon, Kuda.
Aku belum tahu namamu."

"Breehy-hinny-brinny-hoohy-hah," kata si kuda.

"Aku tidak akan pernah bisa melafalkan itu," kata Shasta. "Bolehkah aku
memanggilmu Bree?"

"Yah, kalau memang hanya segitu yang kau bisa, kurasa boleh juga," kata si kuda.

"Dan dengan nama apa aku bisa memanggilmu? "

"Namaku Shasta."

"Hm," kata Bree. "Nah, ini baru nama yang benar-benar sulit diucapkan. Tapi
sekarang soal berpacu ini. Sebenarnya, kalau saja kau tahu, itu jauh lebih mudah
daripada berlari kecil, karena tubuhmu tidak perlu naik dan turun. Jepit tubuhku
dengan lututmu dan pasang matamu supaya tetap lurus ke depan diantara
telingaku. Jangan lihat ke bawah. Kalau kau merasa bakal jatuh, jepitlah lebih
keras dan duduklah lebih tegak. Siap? Sekarang: menuju Narnia dan negeri Utara."
Bab 2

Petualangan Selama Perjalanan

SAAT itu nyaris tengah hari di hari berikutnya ketika Shasta terbangun karena
sesuatu yang hangat dan lembut menyentuh wajahnya. Dia membuka mata dan
mendapati dirinya menatap lekat wajah panjang seekor kuda, hidung dan bibirnya
nyaris menyentuh wajahnya. Dia pun teringat pada berbagai kejadian menarik di
malam sebelumnya dan duduk tegak. Tapi saat melakukan itu, dia pun mengerang.

"Auw, Bree," katanya sambil terengah. "Tubuhku sakit sekali. Seluruhnya. Aku
nyaris tidak bisa bergerak."

"Selamat pagi, makhluk kecil," kata Bree. "Aku sempat khawatir kau mungkin
akan merasa agak kaku. Tapi pastinya itu bukan karena jatuhmu. Kau kan tidak
terjatuh lebih dari sekitar selusin kali, lagi pula kau terjatuh pada tanah berumput
yang indah, lembut, dan membal sehingga nyaris menyenangkan bila bisa terjatuh
di sana. Dan satu kali jatuh yang bisa saja jadi terburuk malah terbantu dengan
semak gorse. Tidak: justru kegiatan berkuda itulah yang awalnya terasa berat.
Bagaimana dengan sarapan? Aku sudah makan."

"Oh, siapa yang peduli pada sarapan. Siapa yang peduli pada apa pun," kata
Shasta. "Kukatakan padamu aku tidak bisa bergerak."

Tapi si kuda mendorong-dorong tubuh Shasta dengan hidungnya dan menyepaknya


lembut dengan salah satu kakinya sampai anak itu harus bangun. Kemudian Shasta
memandang ke sekelilingnya dan melihat di mana mereka sekarang berada.

Di belakang mereka tumbuh semak kecil. Di depan mereka semak lebat, di sana-
sini tampak bunga putih di dalamnya, menukik turun hingga ke ujung tebing. Jauh
di bawah mereka, sehingga suara ombak yang memecah terdengar begitu samar,
terbentang laut.

Shasta belum pernah melihat laut dari ketinggian seperti itu dan tidak pernah
melihatnya begitu luas sebelumnya, ataupun membayangkan betapa banyak warna
yang dimilikinya. Ke segala arah pantai terbentang luas, tanjung demi tanjung, dan
pada ujung-ujungnya, kau bisa melihat buih putih menari di bebatuan tapi tak
menimbulkan sedikit pun suara karena semua itu terjadi begitu jauh. Tampak
camar-camar terbang di langit dan panas menyusup hingga ke tanah. Hari itu cerah
sekali. Tapi yang paling diperhatikan Shasta adalah udaranya. Dia tidak bisa
menebak apa yang tidak ada, sampai akhirnya dia menyadari tidak ada bau ikan di
dalamnya. Karena tentu saja, baik di dalam pondok maupun di antara jala ikan, dia
tidak pernah bisa melepaskan diri dari bau itu sepanjang hidupnya. Dan udara baru
ini begitu nikmat, dan seluruh hidup terdahulunya seakan begitu jauh, sehingga
sesaat dia lupa pada memar-memar serta otot-ototnya yang nyeri dan berkata: "Oh
ya, Bree, kau mengatakan sesuatu tentang sarapan?"

"Ya, memang," jawab Bree. "Kurasa kau akan menemukan sesuatu dalam kantong
sadel. Sadelnya ada di sana, di pohon tempat kau menggantungnya kemarin
malam--atau mungkin lebih tepatnya, dini hari tadi."

Mereka memeriksa kantong sadel dan hasilnya menggembirakan--pai daging,


hanya sedikit basi, sepotong buah sejenis pir kering, dan sebongkah keju hijau,
sewadah kecil anggur, dan sejumlah uang: sekitar empat puluh crescent secara
keseluruhan, jumlah yang lebih banyak daripada yang biasa Shasta lihat.

Sementara Shasta duduk--penuh rasa sakit dan berhati-hati--dengan punggung


bersandar ke pohon dan mulai menyantap painya, Bree melahap beberapa suap
rumput lagi untuk menemani anak itu makan.

"Apakah menggunakan uang ini tidak akan sama saja dengan mencuri?" tanya
Shasta.

"Oh," kata si kuda, mendongak dengan mulut penuh rumput, "aku tidak pernah
memikirkan itu. Kuda yang bebas dan bisa berbicara seharusnya tidak boleh
mencuri, tentu saja. Tapi kurasa tidak apa-apa. Kita kan tawanan dan pelarian di
negeri musuh. Uang itu pampasan perang, uang kotor. Lagi pula, bagaimana kita
akan bisa mendapatkan makanan untukmu tanpanya? Kurasa, seperti semua
manusia, kau tidak akan mau makan makanan alami seperti rumput dan gandum."

"Aku tidak bisa."

"Pernah mencoba?"

"Ya, pernah. Aku sama sekali tidak bisa menelannya. Kau juga tidak bakal bisa
kalau jadi diriku."

"Kalian makhluk-makhluk kecil yang aneh, kalian para manusia," komentar Bree.
Ketika Shasta telah menyelesaikan sarapannya (yang tentu saja sarapan terlezat
yang pernah dimakannya), Bree berkata, "Kurasa aku akan berguling-guling dulu
sebentar sebelum kita memasang sadel itu lagi."

Lalu dia pun melakukan itu.

"Enak sekali. Nah, sangat nikmat," katanya sambil menggosok-gosokkan


punggungnya ke semak lebat dan menjulurkan keempat kakinya ke udara.

"Kau harus mencobanya juga, Shasta," dia mendengus. "Ini menyegarkan sekali."

Tapi Shasta malah tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Kau kelihatan aneh sekali
kalau telentang begitu!"

"Tidak mungkin aku kelihatan aneh," kata Bree. Tapi kemudian mendadak dia
berguling ke samping tubuhnya, mengangkat kepala, dan menatap lekat Shasta.
Napasnya sedikit terengah-engah.

"Benarkah aku tampak aneh?" tanyanya dengan suara gelisah.

"Ya, begitulah," jawab Shasta. "Tapi memangnya kenapa?"

"Apakah menurutmu," kata Bree, "tindakan tadi adalah sesuatu yang tidak pernah
dilakukan kuda yang bisa bicara--melainkan kebiasaan konyol dan bodoh yang
kupelajari dari kuda-kuda lain? Akan memalukan bila aku mendapati, saat kembali
ke Narnia, bahwa aku telah mengambil banyak kebiasaan rendah dan buruk.
Bagaimana menurutmu, Shasta? Jujurlah. Tidak perlu merasa perlu menjaga
perasaanku. Apakah menurutmu kuda-kuda bebas sungguhan--jenis yang bisa
bicara--berguling?"

"Mana aku tahu? Lagi pula menurutku aku tidak akan terlalu memusingkannya
kalau aku jadi dirimu. Yang penting adalah sampai ke sana dulu. Kau tahu
jalannya?"

"Aku tahu jalan menuju Tashbaan. Setelah itu akan ada padang pasir. Oh, kita pasti
akan bisa mengatasi padang pasir itu, jangan khawatir. Dan setelah itu kita akan
bisa melihat pegunungan di negeri Utara. Bayangkan! Menuju Narnia dan negeri
Utara! Pada saat itu tidak akan ada yang bisa menghentikan kita. Tapi aku akan
merasa lebih tenang bila kita sudah melewati Tashbaan. Kau dan aku akan lebih
aman bila jauh dari kota-kota."
"Tidak bisakah kita menghindarinya?"

"Tidak tanpa melalui jalan darat yang lebih jauh, dan itu akan membawa kita ke
ladang-ladang yang telah ditanami dan jalan-jalani utama, lagi pula aku tidak akan
tahu jalan. Tidak, kita hanya harus berjalan di sepanjang pantai. Di atas sini, di
perbukitan, kita hanya akan menemui domba, kelinci, camar, dan beberapa
penggembala. Omong-omong, bagaimana kalau kita memulai perjalanan lagi"

Kaki-kaki Shasta terasa nyeri saat dia memasang sadel Bree dan memanjat untuk
menaiki sadel tersebut, tapi si kuda bersikap baik padanya dan berjalan pelan
sepanjang siang ini. Saat temaram malam datang mereka keluar , dari jalan setapak
yang curam memasuki lembah dan menemukan sebuah desa. Sebelum mereka
melanjutkan perjalanan ke dalam desa, Shasta turun dan masuk sambil berjalan
kaki untuk membeli sebatang roti, beberapa bawang bombai, dan lobak. Si kuda
berlari kecil memutari ladang dan masuk ke daerah remang, lalu bertemu Shasta di
sisi jauh ladang tersebut. Ini menjadi siasat rutin mereka setiap dua hari sekali.

Hari-hari itu merupakan saat-saat yang menggembirakan bagi Shasta, dan setiap
hari terasa lebih baik daripada sebelumnya ketika otot-ototnya mengeras dan dia
lebih jarang terjatuh. Namun bahkan di akhir masa latihannya, Bree masih berkata
anak itu duduk seperti karung terigu di atas sadel. "Dan bahkan kalaupun aman
bagimu, anak muda, aku tetap akan malu terlihat bersamamu di jalan utama."

Tapi walau sering mengucapkan kata-kata kasar, Bree guru yang sabar. Tidak ada
yang bisa mengajar cara berkuda sebaik seekor kuda. Shasta belajar menunggang
saat Bree berlari kecil, berpacu, melompat, dan tetap berada di tempat duduknya
bahkan di saat Bree berhenti mendadak, atau tanpa terduga mengayunkan tubuh ke
kiri atau ke kanan--yang menurut Bree adalah gerakan yang mungkin harus
kaulakukan di saat seperti apa pun dalam pertempuran. Kemudian tentu saja Shasta
akan memohon diceritakan tentang berbagai pertempuran dan perang yang pernah
dialami Bree sambil membawa si Tarkaan. Dan Bree akan mengisahkan dirinya
yang dipaksa berbaris maju bersama pasukan, menyeberangi sungai-sungai deras,
tentang gempuran-gempuran dan pertempuran dahsyat antara kavaleri dengan
kavaleri, ketika kuda-kuda perang bertempur sekeras manusia. Semua kuda jantan
tangguh dilatih untuk menggigit dan menendang, juga untuk mengangkat kedua
kaki depan di saat yang tepat sehingga berat tubuh si kuda maupun penunggangnya
akan menghantam topi baja musuh waktu pedang atau kapak perang diayunkan.
Tapi Bree tidak ingin membicarakan perang sesering Shasta ingin mendengarkan.
"Jangan ungkit-ungkit itu lagi, anak muda," Bree akan berkata. "Semua itu cuma
perang Tisroc dan aku berperang di dalamnya hanya sebagai budak dan makhluk
bodoh. Berikan padaku perang demi Narnia dan aku akan bertarung sebagai kuda
bebas di antara kaumku sendiri! Perang seperti itulah yang pantas dibicarakan.
Narnia dan negeri Utara! Bra-ha-ha! Broo hoo!"

Tak lama kemudian Shasta belajar, ketika dia mendengar Bree berbicara seperti
itu, untuk bersiap-siap berpacu.

Setelah mereka berjalan selama berminggu-minggu, melewati lebih banyak teluk,


tanjung, sungai, dan desa daripada yang bisa diingat Shasta, datanglah malam yang
diterangi sinar rembulan ketika mereka memulai perjalanan di malam hari dan
tidur di siang hari. Mereka telah melewati perbukitan di belakang mereka dan
sedang menyeberangi daratan luas dengan hutan sekitar setengah mil jauhnya di
sebelah kiri mereka. Mereka telah berlari sekitar sejam, terkadang berlari kecil dan
terkadang sekadar berjalan, ketika Bree tiba-tiba berhenti.

"Ada apa?" tanya Shasta.

"S-s-sst!" kata Bree, menjulurkan lehernya tinggi-tinggi, menoleh ke kiri dan


kanan, dan mengedutkan telinganya. "Kau tidak mendengar sesuatu? Dengar."

"Kedengarannya seperti kuda lain--di antara kita dan hutan itu," kata Shasta setelah
menajamkan pendengarannya sesaat.

"Memang kuda lain," kata Bree. "Dan itulah yang tidak kusuka."

"Mungkin hanya petani yang pulang sedikit terlambat?" kata Shasta sambil
menguap.

"Jangan meremehkanku!" kata Bree. "Itu bukan suara kereta petani. Ataupun kuda
petani. Tidak bisakah kau membedakan dari suaranya? Itu suara kualitas tinggi,
kudanya pasti keturunan baik. Dan kuda itu dikendarai penunggang kuda
sungguhan. Aku akan memberitahumu siapa itu, Shasta. Ada seorang Tarkaan di
balik ujung hutan itu. Tidak dengan kuda perangnya--suaranya terlalu ringan untuk
kuda perang. Aku berani bilang, kudanya kuda betina dari ras yang baik."

"Yah, siapa pun itu, kini mereka berdua sudah berhenti," kata Shasta.

"Kau benar," kata Bree. "Dan kenapa dia berhenti tepat pada saat kita berhenti?
Shasta, anakku, kurasa akhirnya ada juga yang menguntit kita."
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Shasta dalam bisikan yang lebih pelan
daripada sebelumnya. "Apakah menurutmu dia bisa melihat dan mendengar kita?"

"Tidak dalam pencahayaan seperti ini selama kita tetap bergeming," jawab Bree.
"Tapi lihat! Bakal ada awan datang. Aku akan menunggu hingga awan itu
menutupi bulan. Kemudian kita akan pergi ke arah kanan, sebisa mungkin tanpa
suara, menuju pantai. Kita bisa bersembunyi di antara bukit-bukit pasir kalau
keadaan terburuk sampai terjadi."

Mereka menunggu hingga awan menyelimuti bulan, kemudian, awalnya dengan


berjalan pelan lalu menjadi sedikit berlari kecil, mereka bergerak ke pantai.

Awan yang datang ternyata lebih besar dan tebal daripada tampilan awalnya dan
tak lama kemudian malam pun menjadi sangat kelam. Tepat ketika Shasta berkata
pada dirinya sendiri, saat ini kami pasti sudah dekat dengan bukit-bukit pasir itu,
jantungnya melompat seperti hendak keluar karena mendadak terdengar suara
mengerikan dari kegelapan di depan: auman panjang mengerikan, melankolis, dan
sama sekali liar. Bree langsung berputar dan mulai berlari kencang menuju daratan
secepat yang dia bisa.

"Apa itu?" Shasta terperangah.

"Singa!" jawab Bree tanpa mengurangi kecepatan lari maupun menolehkan kepala.

Setelah itu tidak ada yang lain kecuali derap langkah cepat untuk waktu yang
cukup lama. Akhirnya mereka tercebur ke dalam aliran sungai yang luas dan
dangkal, Bree pun berhenti di bagian pinggir seberangnya. Shasta menyadari tubuh
kuda itu gemetaran dan seluruhnya dibanjiri peluh.

"Air itu mungkin bisa menghapus bau kita dari penciuman makhluk-makhluk buas
itu," kata Bree sambil terengah ketika akhirnya dia agak bisa mengejar napas. "Kita
bisa berjalan sedikit sekarang."

Saat mereka berjalan Bree berkata, "Shasta, aku malu pada diriku sendiri. Aku
merasa setakut kuda Calormen yang biasa dan bodoh. Sungguh. Aku sama sekali
tidak merasa sebagai Kuda yang Bisa Berbicara. Aku tidak keberatan menghadapi
pedang, tombak, dan panah, tapi aku tidak tahan pada--makhluk-makhluk itu.
Kurasa sebaiknya aku sedikit berlari kecil."
Namun beberapa menit kemudian, dia kembali berlari kencang, tidak aneh
sebenarnya. Karena auman itu terdengar lagi, kali ini dari sebelah kiri mereka dari
arah hutan.

"Ada dua ekor," erang Bree.

Ketika mereka telah berpacu selama beberapa menit tanpa mendengar suara singa-
singa lagi, Shasta berkata, "Astaga! Kuda lain itu kini, berlari di samping kita.
Hanya sejauh lemparan batu."

"Lebih b-baik begitu," Bree terengah. "Tarkaan di atasnya--akan membawa


pedang--dia akan melindungi kita."

"Tapi, Bree!" kata Shasta. "Kalau tertangkap, nasib kita akan sama saja dengan bila
dibunuh singa. Atau setidaknya aku yang akan bernasib sama. Mereka akan
menggantungku karena mencuri kuda." Anak itu tidaklah setakut Bree pada singa-
singa karena belum pernah bertemu singa, lain halnya dengan Bree.

Bree hanya mendengus untuk menjawab perkataan Shasta tapi dia bergerak
menjauh ke sebelah kanan. Anehnya kuda lain tampaknya juga menjauh ke kiri,
sehingga selama beberapa detik jarak di antara keduanya melebar cukup jauh. Tapi
segera setelah ini terjadi, terdengar kembali dua auman singa, yang satu segera
menyusul yang lain. Satu suara dari sebelah kanan, dan yang lain dari sebelah kiri
sehingga kedua kuda itu pun mulai saling mendekat lagi. Tapi tampaknya singa-
singa itu pun melakukan hal serupa. Auman dari kedua hewan buas di masing-
masing sisi benar-benar dekat dan mereka tampaknya dapat dengan mudah
menyamakan kecepatan dengan kuda-kuda itu. Kemudian awan bergulung pergi.
Sinar rembulan, terang luar biasa, memperlihatkan segalanya hampir seperti di
siang hari. Kedua kuda dan kedua penunggangnya berpacu begitu dekat hampir
seolah mereka sedang dalam perlombaan. Bree bahkan berkata (setelahnya) belum
pernah ada pertandingan yang semenakjubkan itu di Calormen.

Shasta kini sudah pasrah dan mulai mengira-ngira apakah singa biasanya
membunuhmu dengan cepat atau mempermainkan mangsanya dulu seperti kucing
terhadap tikus, dan seberapa besar rasa sakit yang mungkin dideritanya.

Di saat yang sama (seseorang biasa melakukan ini pada saat-saat merasa sangat
ketakutan) dia memerhatikan segalanya. Dia melihat penunggang di sebelahnya
bertubuh sangat kecil, kurus, mengenakan baju besi (bulan menyinari baju
besinya), dan menunggangi kuda dengan sangat mahir. Penunggang itu tidak
berjanggut.
Sesuatu yang datar dan mengilap terbentang di depan mereka. Sebelum Shasta
bahkan sempat menebak apa benda itu, dia merasakan ceburan besar dan
mendapati mulutnya penuh air asin. Benda mengilap itu ternyata permukaan air
sungai yang menuju laut. Kedua kuda tersebut berenang hingga air mencapai, lutut
Shasta. Terdengar auman marah di belakang mereka, dan saat Shasta menoleh ke
belakang, Shasta melihat sosok besar, berbulu,, dan mengerikan berjongkok di tepi
pantai, tapi hanya satu sosok. Mungkin kami telah membuat singa yang satu lagi
ketinggalan, pikirnya.

Si singa sepertinya tidak menganggap mangsanya seberharga itu sampai harus


merelakan tubuhnya basah, yang pasti dia tidak melakukan usaha apa pun untuk
terjun ke air dan mengejar. Kedua kuda itu, berdampingan, kini berada cukup di
tengah sungai dan mereka bisa melihat jelas tepi seberang sungai.

Sang Tarkaan belum juga mengatakan apa pun. Tapi dia akan berbicara, pikir
Shasta. Segera setelah kami berada di daratan. Apa yang harus kukatakan? Aku
harus memikirkan sebuah cerita.

Kemudian, mendadak, dua suara berbicara di sampingnya.

"Oh, aku capek sekali," kata satu suara.

"Tahan lidahmu, Hwin, dan jangan bersikap bodoh," kata yang satunya lagi.

Aku pasti bermimpi, pikir Shasta. Aku berani bersumpah aku mendengar kuda
orang itu bicara.

Tak lama kemudian kedua kuda itu tidak lagi berenang tapi berjalan, dan tak lama
setelah itu, bersamaan dengan suara air yang keras mengalir di samping tubuh dan
pada kibasan ekor mereka serta entakan batu-batu kecil yang diinjak delapan kaki,
mereka keluar, lebih jauh menuju daratan di tepi sungai itu.

Sang Tarkaan, ini membuat Shasta terkejut, tidak menunjukkan keinginan


bertanya. Dia bahkan tidak memandang Shasta dan tampak tak sabar untuk segera
memacu kudanya pergi Namun Bree segera menghalangi jalan kuda lain tersebut.

"Broo-hoo-hah!" dia mendengus. "Tenang dulu! Aku mendengarmu, ya jelas


sekali. Tidak ada gunanya berpura-pura, Ma'am. Aku medengarmu. Kau Kuda
yang Bisa Berbicara, kuda Narnia seperti diriku."
"Apa hubungannya denganmu kalau dia memang seperti yang kautuduhkan?"
tanya si penunggang asing ketus, meletakkan tangannya pada gagang pedangnya.
Tapi suara yang menyuarakan kata-kata itu telah memberitahu Shasta sesuatu.

"Astaga, dia hanya anak perempuan!" serunya.

"Dan apa urusannya denganmu kalau hanya anak perempuan?" bentak si orang
asing "Kau juga hanya anak laki-laki, anak laki-laki kecil biasa yang tak tahu
sopan santun--budak mungkin, yang mencuri kuda majikannya."

"Itu kan menurutmu," kata Shasta.

"Dia bukan pencuri, Tarkheena," kata Bree "Setidaknya kalaupun ada pencurian,
kau bisa berkata akulah yang menculik dirinya. Lalu soal apa urusannya denganku,
kau tidak berpikir aku akan membiarkan lady dari rasku sendiri di negeri asing
lewat begitu saja tanpa berbincang dengannya, kan? Rasanya lazim bila aku
melakukan itu."

"Kurasa juga begitu," kata si kuda betina.

"Aku minta kau menjaga lidahmu, Hwin," kata si anak perempuan. "Lihatlah
masalah yang kautimpakan pada kita sekarang."

"Aku tidak tahu soal masalah," kata Shasta. "Kau boleh pergi kapan pun kau mau.
Kami tidak akan menahanmu."

"Tidak, kau tidak akan melakukan itu," kata si anak perempuan.

"Manusia memang makhluk yang gemar bertengkar," kata Bree kepada si kuda
betina. "Mereka seburuk keledai. Marilah kita coba bicara dengan akal jernih.
Kalau aku boleh menebak, Ma'am, kisahmu sama seperti kisahku? Ditangkap di
usia muda--bertahun-tahun menjadi budak di antara penduduk Calormen?"

"Betul sekali, Sir," kata si kuda betina, dengan ringkikan sedih.

"Dan sekarang, mungkin--melarikan diri?"

"Beritahu padanya untuk mengurusi urusannya sendiri, Hwin," kata si anak


perempuan.
"Tidak, aku tidak akan mengatakannya, Aravis," kata si kuda betina, menarik
telinganya ke belakang. "Ini pelarianku juga, bukan hanya pelarianmu. Dan aku
yakin kuda perang yang agung sepertinya tidak akan mengkhianati kita: Kami
berusaha melarikan diri, menuju Narnia."!

"Dan begitu juga, tentu saja, kami," kata Bree. "Tentunya kau bisa langsung
menebak itu. Anak laki-laki dengan baju compang-camping mengendarai (atau
berusaha mengendarai) kuda perang di tengah malam tidak bisa berarti lain kecuali
usaha pelarian atau semacamnya. Dan, kalau aku boleh menambahkan, seorang
Tarkheena berdarah bangsawan berkuda sendiri di malam hari--mengenakan baju
zirah saudara laki-lakinya--dan sangat bersikeras supaya orang lain mengurus
urusannya sendiri dan tidak bertanya macam-macam padanya--yah, kalau itu tidak
mencurigakan, sebut saja aku kuda!"

"Baiklah," kata Aravis. "Kau sudah menebaknya. Hwin dan aku melarikan diri.
Kami berusaha mencapai Narnia. Dan sekarang, apa yang kauinginkan?"

"Yah, kalau begitu, apa lagi yang mencegah kita untuk tidak pergi bersama?" kata
Bree "Aku percaya, Madam Hwin, kau akan menerima bantuan dan perlindungan
yang mungkin bisa kuberikan kepadamu selama perjalanan."

"Kenapa kau terus-menerus bicara pada kudaku dan bukannya padaku?" tanya si
anak perempuan.

"Maaf, Tarkheena," kata Bree (sambil sedikit menggerakkan kedua telinganya ke


belakang,) "tapi itu kebiasaan Calormen. Kami warga Narnia yang bebas, Hwin
dan aku, dan kurasa, kalau kau hendak melarikan diri ke Narnia, kau juga mau
dianggap begitu. Dilihat dari sudut mana pun, Hwin bukanlah kudamu lagi.
Seseorang bisa saja malah berkata kau manusianya."

Si anak perempuan membuka mulutnya untuk berkata-kata namun berhenti. Jelas


sekali dia belum pernah melihatnya dari cara pandang itu.

"Tetap saja," katanya setelah terdiam sesaat, "aku tidak melihat banyak keuntungan
bila kita pergi bersama. Bukankah dengan begitu kita akan lebih kentara?"

"Justru tidak," kata Bree, dan si kuda betina berkata, "Oh, ayolah. Aku akan
merasa lebih nyaman. Kita bahkan tidak terlalu yakin dengan arah jalannya. Aku
yakin kuda perang bijak seperti dirinya tahu jauh lebih banyak daripada kita."
"Oh, sudahlah, Bree," kata Shasta, "biarkan mereka melanjutkan perjalanan
sendiri. Kaukan bisa melihat mereka tidak menginginkan kita."

"Tapi kami menginginkan kalian," kata Hwin.

"Tunggu dulu," kata si anak perempuan "Aku tidak keberatan pergi bersamamu,
Pak Kuda Perang, tapi bagaimana dengan anak laki-laki itu? Bagaimana aku bisa
yakin dia bukanlah mata-mata?"

"Kenapa kau tidak langsung saja bilang bahwa menurutmu aku tidak cukup layak
bagi mu?" tanya Shasta.

"Diamlah, Shasta," kata Bree. "Pertanyaan Tarkheena ini cukup masuk di akal.
Aku akan menjamin anak laki-laki ini, Tarkheena. Dia selalu jujur padaku dan
merupakan teman baik. Dan dia jelas-jelas warga Narnia atau orang Archenland."

"Baiklah kalau begitu. Kita pergi bersama." Tapi dia tidak mengatakan apa-apa
pada Shasta dan jelas sekali dia menginginkan Bree, bukan anak itu.

"Bagus!" kata Bree. "Dan sekarang karena ada air di antara diri kita dan hewan-
hewan mengerikan itu, bagaimana kalau kalian manusia melepas sadel kami,
supaya kita bisa beristirahat dan bertukar cerita?" .

Kedua anak itu membuka sadel kuda-kuda mereka. Kedua kuda itu melahap sedikit
rumput dan Aravis mengeluarkan santapan-santapan lezat dari kantong sadelnya.
Tapi Shasta merajuk dan berkata, tidak, terima kasih, dan bahwa dia tidak lapar.
Dan Shasta berusaha memasang sikap yang dipikirnya anggun dan kaku, tapi
karena pondok nelayan bukanlah tempat yang tepat untuk belajar sopan santun,
hasilnya buruk sekali. Dan dia separo menyadari usahanya ini gagal sehingga
menjadi lebih merajuk lagi dan makin canggung daripada sebelumnya.

Sementara itu kedua kuda bergaul akrab sekali. Mereka mengingat tempat-tempat
yang sama di Narnia--"daratan berumput di atas bendungan berang-berang"--dan
mendapati bahwa ternyata kemungkinan orangtua mereka bersepupu jauh. Ini
membuat suasana semakin dan semakin tidak nyaman untuk kedua manusia
sampai akhirnya Bree berkata, "Dan sekarang, Tarkheena, ceritakan kepada kami
kisahmu. Dan tidak perlu terburu-buru--aku merasa nyaman saat ini."

Aravis segera memulai, duduk nyaris tak bergerak dan menggunakan nada suara
dan gaya bicara yang agak berbeda daripada sebelumnya. Karena di Calormen,
bercerita (apakah ceritanya kisah nyata maupun buatan) adalah keterampilan yang
diajarkan, seperti anak-anak di Inggris diajarkan menulis esai. Bedanya orang-
orang mau mendengar cerita-cerita itu, sementara aku tidak pernah mendengar ada
orang yang mau membaca esai.

Bab 3

Di Gerbang Tashbaan

"NAMAKU," kata si anak perempuan segera, "adalah Aravis Tarkheena dan aku
putri tunggal Kidrash Tarkaan, bin Rishti Tarkaan, bin Kidrash Tarkaan, bin
Ilsombreh Tisroc, bin Ardeeb Tisroc yang merupakan keturunan langsung Dewa
Tash. Ayahku penguasa provinsi Calavar dan orang yang memiliki hak berdiri di
atas kedua kakinya di hadapan Tisroc sendiri (semoga dia selamanya kekal). Ibuku
(semoga dia dalam damai beserta para dewa) sudah meninggal dan ayahku telah
menikah lagi. Salah satu saudara laki-lakiku gugur dalam pertempuran melawan
pemberontak di Barat Jauh sedang saudara laki-lakiku yang satu lagi masih kanak-
kanak. Sudah lama istri ayahku, ibu tiriku, membenciku, dan matahari yang
tampak gelap biasa muncul di matanya selama aku hidup di rumah ayahku. Jadi dia
membujuk Ayah untuk menjanjikan diriku menikah dengan Ahoshta Tarkaan,
Ahoshta ini berasal dari keturunan tidak murni, walau dalam tahun-tahun terakhir
ini dia telah membuat Tisroc (semoga dia selamanya kekal) menyukainya lewat
bujuk rayu dan saran-saran keji. Kini dia telah diangkat menjadi Tarkaan dan
penguasa banyak kota, dan kemungkinan besar akan ditunjuk menjadi Penasihat
Tinggi ketika Penasihat Tinggi yang sekarang meninggaL Terlebih lagi dia
setidaknya berusia enam puluh tahun dan punggungnya berpunuk, dan wajahnya
mirip kera. Namun tetap saja ayahku, karena kekayaan dan kekuasaan Ahoshta ini
dan bujukan istrinya, mengutus pengirim-pengirim pesan untuk menawarkan diriku
menjadi istrinya. Tawaran itu disambut gembira dan Ahoshta mengirim kabar dia
akan menikahiku tahun ini pada pertengahan musim panas.
"Ketika kabar ini disampaikan kepadaku matahari tampak gelap di mataku dan aku
berbaring di tempat tidur dan menangis sehari penuh. Tapi pada hari kedua aku
bangkit mencuci muka, dan memasang sadel pada Hwin kuda betinaku, membawa
pisau pendek tajam yang dibawa saudara laki-lakiku ke perang-perang di daerah
Barat, lalu berkuda sendirian. Dan ketika rumah ayahku hilang dari pandangan dan
aku sampai di dataran hijau terbuka di suatu hutan yang tidak ditinggali manusia,
aku turun dari Hwin kuda betinaku dan menghunuskan pedang. Kemudian aku
membuka pakaian di bagian yang kupikir paling mudah bagiku untuk melukai
jantungku dan berdoa kepada semua dewa agar segera setelah aku mati, aku akan
langsung bertemu saudara laki-lakiku. Setelah itu aku memejamkan mata dan
mengatupkan geligi, bersiap-siap menghunjamkan pedang pendek ke jantungku.
Tapi sebelum aku melakukan itu, kuda betina ini berbicara dengan suara putri
manusia dan berkata, ´O nonaku, jangan melakukan apa pun yang bisa melukai
dirimu, karena bila kau hidup kau mungkin masih bisa mendapatkan nasib baik,
sementara yang mati hanya bisa mati."

"Aku tidak mengatakannya sebagus itu, bahkan tidak separuhnya," gumam si kuda
betina.

"Sstt, Ma'am, sstt," kata Bree yang sangat menikmati kisah ini. "Dia sedang
bercerita dengan cara Calormen yang menakjubkan dan tidak ada pendongeng di
seluruh kerajaan Tisroc yang bisa menandinginya. Kumohon lanjutkan,
Tarkheena."

"Ketika aku mendengar bahasa manusia diutarakan kuda betinaku," Aravis


melanjutkan, "aku berkata pada diriku sendiri, rasa takut akan kematian telah
mengacaukan akal sehatku dan membuatku berkhayal. Dan rasa malu langsung
memenuhiku karena seharusnya tidak seorang pun anggota keluargaku takut pada
kematian, rasa takut pada kematian seharusnya tidak lebih seperti rasa takut pada
gigitan serangga. Karena itulah aku kembali mempersiapkan diri untuk
menghunjamkan pedang, tapi Hwin menghampiriku dan meletakkan kepalanya di
antara tubuhku dan pedangku lalu memaparkan padaku logika-logika
mengagumkan dan menasihatiku seperti seorang ibu menasihati anak
perempuannya. Dan di saat itu, rasa takjubku sudah begitu luar biasa sehingga aku
lupa tentang bunuh diri dan tentang Ahosta lalu berkata, 'O kuda betinaku
bagaimana kau belajar cara berbicara seperti putri para manusia?' Dan Hwin
memberitahu sesuatu yang diketahui semua bangsanya, bahwa di Narnia ada
hewan-hewan yang bisa berbicara, dan bagaimana dia sendiri telah diculik dari
tempat itu sejak anak-anak. Dia juga memberitahuku tentang hutan-hutan dan
sungai-sungai Narnia, begitu juga kastil-kastil dan kapal-kapal besar, sampai aku
berkata, 'Demi Tash, Azaroth, dan Zardeenah, Ratu Penguasa Malam, aku ingin
sekali berada di negeri Narnia. 'O nonaku,' kuda betinaku menjawab, 'kalau kau
berada di Narnia, kau akan bahagia, dan di tanah itu tidak ada anak gadis yang
dipaksa menikah di luar kemauannya.'

"Dan ketika kami telah berbincang-bincang lama sekali, harapan pun kembali
tumbuh dalam diriku dan aku bersyukur karena tidak jadi bunuh diri. Terlebih lagi
telah terjadi kesepakatan antara Hwin dan aku bahwa kami harus melarikan diri
bersama-sama dan menyusun rencana pelarian itu. Kami pun kembali ke rumah
ayahku dan aku mengenakan pakaian terindahku, menyanyi, menari di hadapan
ayahku, berpura-pura bahagia akan pernikahan yang telah diaturnya untukku. Aku
juga berkata padanya, 'O ayahku dan O pemandangan indah bagi penglihatanku,
berikan aku izin dan restumu untuk pergi bersama dayang-dayangku selama tiga
hari ke hutan-hutan demi mempersembahkan kurban suci untuk Zardeenah, Ratu
Penguasa Malam dan Para Gadis, karena itu sudah selayaknya dilakukan dan
menjadi tradisi bagi anak gadis ketika mereka harus mengucapkan selamat tinggal
kepada berkah Zardcenah dan mempersiapkan diri mereka untuk pernikahan.' Dia
pun menjawab, 'O putriku dan O pemandangan indah bagi penglihatanku,
lakukanlah kehendakmu.'

"Tapi ketika aku telah lepas dari pengawasan ayahku, aku langsung pergi menemui
budak tertuanya, sekretarisnya, yang telah menimang-nimangku di pangkuannya
saat aku masih bayi dan menyayangiku lebih daripada udara dan cahaya. Dan aku
menyuruhnya bersumpah menjaga rahasia dan memohonnya menulis sepucuk surat
untukku. Dia pun menangis dan membujukku untuk mengubah keputusan tapi
akhirnya dia berkata, 'Hamba dengar dan akan mematuhi,' dan memenuhi semua
keinginanku. Kemudian aku menyegel surat itu dan menyembunyikannya di
dadaku."

"Tapi apa isi surat itu?" tanya Shasta.

"Diamlah, anak muda," kata Bree. "Kau akan merusak ceritanya. Dia akan
memberitahu kita apa isi surat itu bila saatnya tiba. Lanjutkan, Tarkheena."

"Kemudian aku memanggil dayang yang ditugaskan menemaniku pergi menuju


hutan untuk melakukan upacara demi Zardeenah dan memberitahunya untuk
membangunkanku pagi-pagi sekali. Aku juga bercakap-cakap, bercanda
dengannya, dan memberinya anggur untuk diminum, tapi aku juga telah
mencampurkan sesuatu dalam cangkirnya supaya dia tertidur selama satu malam
dan satu siang. Segera setelah seluruh anggota rumah ayahku terlelap, aku bangkit
dan mengenakan baju zirah saudara laki-lakiku yang selalu kusimpan di kamarku
demi mengenangnya. Aku memasukkan semua uang yang aku punya dan beberapa
perhiasan ke sabuk baju dalamku, lalu melengkapi diriku dengan makanan,
memasang sadel kuda betinaku dengan tanganku sendiri, dan berkuda pergi pada
giliran jaga malam kedua. Aku menjauhi hutan yang ayahku kira akan kudatangi,
dan malah mengarah ke utara dan timur menuju Tashbaan.

"Tiga hari lebih berlalu dan aku tahu ayahku tidak akan mencariku karena telah
dikelabui kata-kata yang kuucapkan sendiri kepadanya. Dan di hari keempat kami
tiba di kota Azim Balda. Kini Azim Balda terletak di pertemuan banyak jalan dan
melaluinyalah para petugas Pos Tisroc (semoga dia selamanya kekal) mengendarai
kuda-kuda cepat ke seluruh penjuru kerajaan: dan adalah salah satu hak juga
pelayanan istimewa yang dimiliki Tarkaan berposisi tinggi untuk mengirim pesan
lewat mereka. Aku pun pergi menemui Kepala Pengirim Pesan di Kantor Pos
Kerjaan di Azim Balda dan berkata, 'O penyampai pesan, ini surat dari pamanku
Ahoshta Tarkaan untuk Kidrash Tarkaan, penguasa Calavar. Ambillah lima
crescent ini dan pastikan pesan ini terkirim kepadanya. Lalu Kepala Pengirim
Pesan berkata, 'Hamba dengar dan akan mematuhi.'

"Surat itu telah ditulis sedemikian rupa sehingga seolah dibuat Ahoshta dan
beginilah inti pesan yang tertulis di dalamnya: 'Ahoshta Tarkaan kepada Kidrash
Tarkaan, salam dan damai besertamu. Atas nama Tash yang tak terhentikan dan
tergoyahkan. Izinkan aku memberitahumu bahwa ketika aku mengadakan
perjalanan menuju rumahmu untuk membuat kontrak pernikahan antara diriku dan
putrimu Aravis Tarkheena, karena keberuntungan dan kehendak para dewa, aku
bertemu dengannya di hutan ketika dia selesai melaksanakan ritual dan
pengorbanan untuk Zardeenah sesuai tradisi para gadis. Dan ketika aku mengetahui
siapa dirinya, bahagia karena kecantikan dan kecerdasannya, diriku begitu terbakar
cinta dan tampaknya matahari akan menjadi gelap bagiku jika aku tidak segera
menikahinya. Maka sudah sepantasnya aku menyiapkan pengorbanan-pengorbanan
yang dibutuhkan, menikahi putrimu di jam yang sama dengan saat aku bertemu
dengannya, dan telah kembali ke rumahku bersamanya. Dan kami berdua juga
ingin mengundangmu untuk datang kemari secepat yang kau bisa, sehingga
kebahagiaan kami bisa bertambah lengkap dengan melihat wajahmu dan
mendengar suaramu. Di saat yang sama kau bisa membawa emas kawin istriku,
yang amat kubutuhkan dengan segera karena alasan biaya perang-perang besarku
dan pengeluaran-pengeluaran lain. Dan karena kau dan aku bersaudara, aku
meyakinkan diri bahwa kau tidak akan marah karena pernikahanku yang tergesa-
gesa ini, yang hanya dikarenakan cinta luar biasa yang kurasakan kepada putrimu.
Aku berdoa semoga para dewa selalu melindungimu.'
"Segera setelah melakukan ini, aku memacu kuda dari Azim Balda tanpa
mengkhawatirkan pengejaran lagi dan berharap ayahku, setelah menerima surat itu
akan mengirim pesan ke Ahoshta atau langsung pergi ke sana sendiri dan bahwa
sebelum semua masalah terpecahkan, aku akan sudah berada jauh dari Tashbaan.
Dan itulah inti singkat ceritaku hingga malam ini ketika aku dikejar singa-singa
dan bertemu kalian saat berenang di air bergaram."

"Lalu apa yang terjadi pada gadis itu--dayang yang kauberi obat bius?" tanya
Shasta.

"Tidak perlu diragukan dia akan dipukuli karena tertidur terlalu lama," kata Aravis
tenang. "Tapi toh dia hanya alat dan mata-mata ibu tiriku. Aku sangat lega mereka
memukulnya."

"Ya ampun, itu tidak bisa dibilang adil," kata Shasta.

"Aku tidak melakukan semua itu demi bisa menyenangkan hatimu," kata Aravis.

"Lalu ada hal lain yang tidak kumengerti dalam ceritamu," kata Shasta. "Kau kan
belum dewasa, kurasa kau tidak lebih tua daripada aku. Aku bahkan tidak yakin
kau seumur denganku. Bagaimana bisa kau menikah diusia semuda ini?"

Aravis tidak mengatakan apa-apa, tapi Bree langsung berkata, "Shasta, jangan
terlalu menunjukkan kebodohanmu. Dalam keluarga bangsawan Tarkaan, adalah
biasa bagi mereka untuk menikah pada usia semuda itu."

Wajah Shasta langsung bersemu merah sekali (walaupun tidak mungkin yang lain
bisa melihat ini karena suasana begitu gelap) dan anak itu merasa sebal.

Aravis meminta Bree menceritakan kisahnya. Bree mengabulkan permintaan itu


dan Shasta merasa kuda itu terlalu melebih-lebihkan bagian dirinya terjatuh dan
tidak bisa berkuda dengan baik. Tampak jelas Bree merasa bagian itu sangat lucu,
tapi Aravis tidak tertawa. Ketika Bree selesai berkisah mereka semua pergi tidur.

Hari berikutnya keempat makhluk itu, dua kuda dan dua manusia, melanjutkan
perjalanan mereka bersama-sama. Shasta merasa perjalanan jauh lebih
menyenangkan ketika hanya ada dirinya dan Bree. Karena kini hampir semua
percakapan dikuasai Bree dan Aravis.

Bree telah hidup lama di Calormen dan selalu berada di antara bangsa Tarkaan dan
kuda-kuda Tarkaan, sehingga tentu saja dia tahu banyak orang dan tempat yang
sama dengan Aravi. Aravis akan selalu mengatakan hal-hal seperti, "Tapi kalau
kau ikut serta dalam peran Zulindreh kau akan bertemu sepupuku Alimash," dan
Bree akan menjawab, "Oh, ya, Alimash, tapi dia kan hanya kapten pasukan kereta
perang. Aku tidak terlalu sering mengadakan kontak dengan pasukan kereta perang
atau kuda-kuda yang menarik kereta-kereta itu. Mereka bukan kavaleri yang
sesungguhnya. Tapi dia bangsawan terhormat. Dia memenuhi kantong makananku
dengan gula setelah penaklukan Teebeth."

Atau di lain kesempatan Bree akan berkata, "Aku sedang berada di Danau Mezreel
musim panas itu," dan Aravis akan berkata, "Oh, Mezreel! Aku punya teman di
sana, Lasaraleen Tarkheena. Tempat itu menyenangkan sekali. Taman-tamannya
dan lembah Ribuan Wangi!"

Bree sebenarnya tidak berusaha tidak melibatkan Shasta dalam pembicaraan,


walaupun Shasta nyaris berpikir itulah yang sengaja dilakukannya. Orang-orang
yang tahu berbagai hal yang sama nyaris tidak bisa menahan diri untuk tidak
berbincang tentang hal-hal itu, dan kalau kau berada di tengah-tengahnya kau tidak
bisa menahan diri untuk tidak merasa terkucil.

Hwin si kuda betina agak malu berada di dekat kuda pejuang besar seperti Bree
sehingga tidak berkata banyak. Dan Aravis nyaris tidak pernah bicara pada Shasta
selama dia bisa mencegahnya.

Namun tak lama kemudian ada hal-hal penting yang harus dipikirkan. Mereka
semakin dekat dengan Tashbaan. Akan ada lebih banyak desa yang juga lebih
besar, serta lebih banyak orang di jalan. Mereka kini melakukan nyaris semua
perjalanan di malam hari dan bersembunyi sebisa mungkin di siang hari. Dan pada
setiap pemberhentian, mereka akan berdebat dan berdebat tentang apa yang harus
mereka lakukan saat mereka mencapai Tashbaan. Keempat makhluk itu telah
menunda membicarakan masalah ini, tapi kini tidak bisa ditunda lagi.

Selama diskusi-diskusi ini, Aravis menjadi sedikit, sangat sedikit, ramah kepada
Shasta. Seseorang biasanya bergaul lebih baik dengan orang lain ketika dia sedang
membuat rencana, daripada ketika dia berbicara tanpa tujuan yang terlalu jelas.

Bree berkata hal pertama yang harus dilakukan sekarang adalah menentukan
tempat mereka semua bisa berjanji bertemu kembali di sisi lain Tashbaan bahkan,
bila nasib buruk datang, mereka terpisah saat menyeberangi kota itu. Dia berkata
tempat terbaik adalah Makam Raja-raja Masa Lampau di ujung padang pasir,
"Makam itu bentuknya seperti sarang lebah batu besar," katanya. "Kalian tidak
akan kesulitan mencarinya. Dan yang terpenting, tidak ada penduduk Calormen
yang berani dekat-dekat daerah itu karena mereka berpikir tempat itu berhantu."

Aravis bertanya apakah tempat itu memang benar-benar berhantu. Tapi Bree
menjawab dia kuda Narnia yang bebas dan tidak percaya pada cerita-cerita
Calormen. Kemudian Shasta berkata dia juga bukan penduduk Calormen sehingga
tidak setitik pasir pun peduli pada cerita-cerita kuno tentang hantu itu. Ini tidak
sepenuhnya benar.

Tapi pernyataan ini agak membuat Aravis kagum (walau sekaligus cukup
mengganggunya juga) dan tentu saja berkata dia juga tidak peduli pada hantu. Jadi
telah diputuskan makam itu akan menjadi tempat pertemuan mereka di luar
Tashbaan, dan semuanya merasa rencana mereka tersusun baik ketika Hwin
dengan rendah hati mengingatkan masalah utama adalah bukan tempat yang bisa
mereka tuju ketika mereka telah melewati Tashbaan, tapi justru bagaimana mereka
bisa melalui kota itu.

"Kita akan membereskan masalah itu besok, Ma'am," kata Bree. "Sekarang saatnya
untuk tidur."

Tapi ternyata masalah ini tidak terlalu mudah dipecahkan. Usulan pertama Aravis
adalah mereka harus berenang menyeberangi sungai yang terletak di bawah kota di
malam hari dan tidak menginjakkan kaki ke kota Tashbaan sama sekali. Tapi Bree
punya dua alasan untuk menentang usulan ini. Salah satunya adalah mulut sungai
begitu luas dan jaraknya terlalu jauh bagi Hwin untuk menyeberanginya, terutama
dengan beban di punggungnya. (Bree juga berpikir jarak ini terlalu jauh untuknya,
tapi tidak terlalu banyak mengungkit soal itu. ) Alasan lain adalah sungai tersebut
akan ramai dengan kapal dan tentu saja bagi siapa pun yang sedang berada di dek,
pemandangan dua kuda berenang melewati mereka akan sangat mencurigakan.

Shasta mengajukan mereka pergi ke sungai yang mengalir di atas Tashbaan dan
menyeberanginya di bagian sungai yang lebih sempit, Tapi Bree menjelaskan ada
taman-taman dan, rumah-rumah peristirahatan di kedua sisi sungai itu sepanjang
bermil-mil, juga akan ada Tarkaan serta Tarkheena yang tinggal di sana, berkuda
di jalan-jalan dekat sungai, dan mengadakan pesta air di sungai. Bahkan di dunia
ini, tempat itu merupakan tempat yang paling memungkinkan mereka bertemu
seseorang yang bisa mengenali Aravis dan dirinya sendiri.

"Kita harus punya penyamaran," kata Shasta.


Hwin berkata menurutnya pilihan teraman adalah pergi langsung melewati gerbang
ke gerbang karena orang paling tidak menarik perhatian saat melewati kerumunan.
Tapi dia juga menyetujui ide penyamaran. Dia berkata, "Kedua manusia harus
mengenakan baju compang-camping dan tampak seperti petani atau budak. Dan
semua baju zirah Aravis, sadel kami, dan berbagai benda harus dijadikan buntel
dan diletakkan di punggung kami para kuda. Kedua anak bisa berpura-pura
menuntun kami dan orang-orang akan berpikir kami hanya kuda pengangkut
beban."

"Hwin sayangku!" kata Aravis agak menghina. "Siapa pun bisa mengenali Bree
sebagai kuda perang bagaimanapun kita menyamarkannya.

"Aku pun sependapat," kata Bree, mendengus dan membiarkan kedua telinganya
sedikit menghadap ke belakang.

"Aku tahu ini bukan ide yang terbaik," kata Hwin. "Tapi kurasa hanya ini
kesempatan kita. Lagi pula sudah lama sekali kami tidak dibersihkan sehingga toh
kami tidak tampak seperti diri kami biasanya (setidaknya, aku yakin aku tidak).
Aku benar-benar berpendapat kalau kami melumuri baik-baik tubuh kami dengan
lumpur dan berjalan sambil menunduk seolah lelah dan malas--dan menyeret kaki
kami--kita mungkin tidak akan diperhatikan. Dan ekor kami harus dipotong lebih
pendek: tidak dengan rapi, kau tahu kan, tapi asal-asalan."

"Madam terhormat," kata Bree. "Apakah kau sudah membayangkan di benakmu


sendiri betapa tidak layaknya tiba di Narnia dalam kondisi seperti itu?

"Yah," kata Hwin rendah hati (dia kuda betina yang berakal jernih), "yang
terpenting adalah bisa sampai ke sana."

Walaupun tidak ada yang terlalu menyukainya, justru rencana Hwin-lah yang
akhirnya dilaksanakan. Rencana itu cukup merepotkan dan melibatkan banyak
kegiatan yang disebut Shasta mencuri, tapi Bree menyebutnya "menyerbu". Satu
peternakan kehilangan beberapa karung malam itu dan peternakan lain kehilangan
seikat tali, tapi beberapa pakaian usang anak laki-laki untuk dipakai Aravis harus
dibeli secara adil dan dibayar di desa. Shasta kembali bergabung dengan sukses
tepat ketika malam nyaris berakhir. Yang lain menunggunya di antara pepohonan
di dataran rendah di kaki bukit berhutan yang terletak tepat di seberang jalan
mereka. Semua orang merasa antusias karena ini bukit terakhir yang harus dilalui,
ketika mereka mencapai ujung puncaknya, mereka akan menatap ke bawah ke
Tashbaan.
"Aku benar-benar berharap kita bisa lewat dengan selamat," gumam Shasta ke
Hwin.

"Oh, aku juga, aku juga," kata Hwin penuh semangat.

Malam itu mereka mencicil perjalanan melewati hutan menuju puncak bukit
melalui jalan setapak penebang pohon. Dan ketika mereka keluar dari pepohonan,
di puncak sana mereka bisa melihat ribuan cahaya di lembah di bawah mereka.

Shasta sama sekali tidak punya bayangan seperti apakah kota besar itu dan hal ini
membuatnya takut. Mereka makan malam dan kedua anak itu tidur. Tapi dua kuda
membangunkan mereka pagi-pagi sekali.

Bintang-bintang masih bertengger di langit dan rerumputan sangat dingin dan


basah, tapi fajar baru saja akan datang, jauh di sebelah kanan mereka di seberang
lautan. Aravis pergi beberapa langkah ke hutan dan kembali berpenampilan aneh
dalam pakaian usang barunya dan membawa baju aslinya dalam buntel. Baju-baju
itu, baju besi, perisai, pedang, dua sadel, dan peralatan kuda yang indah lainnya
dimasukkan ke karung. Bree dan Hwin sudah membuat diri mereka sekotor dan
seberlumpur mungkin, kemudian tibalah saatnya untuk memendekkan ekor
mereka. Karena satu-satunya alat yang bisa dipakai untuk melakukan ini adalah
pedang Aravis, salah satu karung harus dibongkar lagi untuk mengeluarkannya.
Pemotongan ekor itu ternyata membutuhkan waktu lama dan agak menyakiti kedua
kuda.

"Astaga!" kata Bree. "Kalau aku bukan Kuda yang Bisa Berbicara, aku akan
memberimu tendangan yang indah! Kukira kau akan memotongnya, bukan
menariknya. Itulah yang aku rasakan."

Tapi setelah melalui suasana yang agak muram dan jemari yang tidak terampil,
akhirnya semua berakhir: karung-karung besar terikat ke punggung kedua kuda,
kekang dari tali goni (yang kini dipasangkan ke mereka untuk menggantikan tali
sais dan kekang dari kulit) dipegang kedua anak, dan perjalanan dimulai.

"Ingat," kata Bree. "Sebisa mungkin kita tetap harus bersama. Kalau tidak, kita
bertemu di Makam Raja-raja Masa Lampau, dan siapa pun yang sampai di sana
duluan harus menunggu yang lain."

"Dan ingat," kata Shasta. "Jangan sampai kalian para kuda lupa diri dan mulai
berbicara, apa pun yang terjadi."
Bab 4

Shasta Berjumpa Warga Narnia

AWALNYA Shasta tidak bisa melihat apa pun di lembah di bawah dirinya kecuali
lautan kabut dengan beberapa kubah dan pucuk bangunan yang menembusnya, tapi
begitu cahaya menyebar dan kabut mulai menghilang, semakin banyak yang dia
lihat. Sungai luas terbagi menjadi dua aliran air dan pada pulau di antaranya
berdirilah kota Tashbaan, salah satu kejaiban dunia.

Di sekeliling tepi pulau, tempat air mengelilingi batu, berdirilah dinding tinggi
yang dipermegah dengan begitu banyak menara sehingga Shasta pun menyerah
berusaha menghitungnya. Di dalam dinding-dinding pulau itu, berdiri di bukit dan
pada setiap bagian bukit itu, mulai dari istana Tisroc dan kuil besar Tash di
puncak, bangunan-bangunan tersebar menutupi semua permukaan--dari teras ke
teras, jalan ke jalan, jalan raya yang berzig-zag atau tangga-tangga besar dan tinggi
yang dipagari pohon jeruk dan lemon, taman-taman di atap, balkon, ceruk
memanah yang dalam, atap berpilar, puncak piramida bangunan, ceruk benteng,
menara sempit, batu lancip hiasan puncak atap. Dan ketika akhirnya matahari
keluar dari dalam lautan dan kubah berlapis perak kuil membiaskan kembali
sinarnya, mata Shasta nyaris buta.

"Ayo jalan, Shasta," Bree terus-menerus berkata.

Tepi sungai di setiap sisi lembah ditanami kebun yang begitu rimbun sehingga
nyaris terlihat seperti hutan, sampai kau mendekat dan melihat dinding putih yang
terdiri atas begitu banyak rumah mengintip dari balik pohon-pohon. Tak lama
setelah itu, Shasta menyadari wangi luar biasa bunga dan buah. Sekitar lima belas
menit kemudian mereka berada di antara bunga-bunga dan bebuahan itu, berjalan
pelan di jalan rata dengan dinding-dinding putih di setiap sisi dan pepohonan
membungkuk di atas dinding-dinding itu.
"Astaga," kata Shasta dengan suara penuh kekaguman. "Tempat ini menakjubkan!"

"Aku sependapat," kata Bree. "Tapi aku berharap kita bisa melewatinya dengan
selamat dan sampai ke seberang. Menuju Narnia dan negeri Utara!"

Pada saat itu suara rendah yang berdenyut mulai terdengar, dan akhirnya secara
berkala mulai mengeras sampai seluruh lembah itu rasanya ikut berayun
bersamanya. Suara itu bernada seperti musik, tapi begitu kuat dan agung sehingga
terasa agak menakutkan.

"Itu suara terompet tanduk yang dibunyikan agar gerbang-gerbang kota dibuka,"
kata Bree. "Kita akan sampai di sana dalam beberapa menit. Sekarang, Aravis,
bungkukkan bahumu sedikit, langkahkan kakimu dengan berat, dan berusahalah
tidak terlalu terlihat seperti putri. Coba bayangkan kau telah ditendang, dirantai,
dan dihina sepanjang hidupmu."

"Kalau aku harus melakukan itu," kata Aravis, "mungkin sebaiknya kau juga
menurunkan kepala sedikit, merendahkan leher, dan berusaha tidak terlalu terlihat
seperti kuda perang?"

"Sstt," kata Bree. "Kita sudah sampai."

Dan memang benar. Mereka telah tiba di ujung sungai, dan jalanan di depan
mereka terbentang di atas jembatan yang disangga banyak tiang berlengkung.
Permukaan air berkilauan bagai permata tertimpa sinar matahari pagi. Jauh di
sebelah kanan mereka, lebih dekat dengan mulut sungai, mereka melihat sekilas
tiang-tiang kapal.

Beberapa pengelana lain berada di depan mereka di jembatan itu, sebagian besar
petani mengendarai keledai dan kerbau yang mengangkut banyak beban, atau
membawa keranjang di kepala mereka. Kedua anak dan kedua kuda itu
menggabungkan diri ke dalam kerumunan.

"Ada yang salah?" bisik Shasta ke Aravis, yang sejak tadi menampilkan ekspresi
aneh.

"Oh, semua ini tidak ada yang salah bagimu," bisik Aravis agak sengit.
"Memangnya apa pedulimu terhadap Tashbaan? Tapi aku seharusnya masuk ke
kota ini dengan mengendarai tandu dengan prajurit-prajurit di depanku dan budak-
budak di belakang, dan mungkin menuju istana Tisroc (semoga dia selamanya
kekal) untuk berpesta--bukannya menyelundup seperti ini. Keadaan tidak sama
buatmu."

Shasta merasa semua itu sangat konyol.

Di ujung dalam jembatan, dinding-dinding kota menjulang tinggi di depan mereka


dan gerbang-gerbang kuningan berdiri terbuka di pintu masuk yang sebenarnya
sangat lebar tapi tampak sempit karena tinggi sekali. Setengah lusin prajurit,
bersandar pada tombak-tombak mereka, berdiri di setiap sisi. Aravis tidak bisa
mencegah dirinya berpikir, mereka semua akan melompat untuk bersiap dan
menghormat padaku kalau mereka tahu aku ini anak siapa. Tapi anggota
rombongan yang lain hanya memikirkan cara masuk ke kota dan berharap para
prajurit itu tidak bertanya macam-macam. Untungnya mereka tidak melakukan itu.
Tapi salah satu prajurit mengambil wortel dari keranjang seorang petani dan
melemparkannya ke Shasta sambil tertawa kasar dan berkata: "Hei! Bujang! Kau
akan dapat kesulitan kalau majikanmu tahu kau menggunakan kuda tunggangannya
untuk pekerjaan kuli."

Kejadian ini benar-benar membuatnya takut karena tentu saja ini menunjukkan
siapa pun yang tahu tentang kuda tidak akan salah mengenali Bree sebagai kuda
perang.

"Tapi ini memang perintah tuanku!" kata Shasta.

Tapi seharusnya dia menahan lidah karena kini si prajurit meninju sisi mukanya
sehingga anak itu nyaris jatuh dan berkata, "Terima itu, sampah kecil, supaya kau
tahu sopan santun saat berbicara pada orang bebas."

Tapi mereka semua masuk ke kota tanpa diberhentikan. Shasta hanya menangis
sedikit--dia sudah terbiasa menerima pukulan keras.

Dari dalam, gerbang Tashbaan tidaklah tampak semenakjubkan seperti tampak dari
kejauhan. Jalanan pertama yang mereka temui begitu sempit dan nyaris tidak ada
jendela pada dinding-dinding di kedua sisi mereka. Kota itu lebih penuh sesak
daripada bayangan Shasta: sesak sebagian karena para petani (dalam perjalanan
mereka menuju pasar) yang datang bersama mereka, tapi juga para penjual air,
pedagang daging manis, kusir kereta, prajurit, pengemis, anak-anak berpakaian
compang-camping, ayam, anjing liar, dan budak bertelanjang kaki. Sesuatu yang
akan paling kausadari bila kau berada di sana adalah bau-bauannya, semua bau itu
berasal dari orang-orang yang tidak mandi, anjing-anjing yang tidak mandi,
wewangian bakar, bawang putih, bawang bombai, dan tumpukan sampah yang
tergeletak di mana-mana.

Shasta berpura-pura memimpin jalan walau sebenarnya Bree-lah yang melakukan


itu, kuda itulah yang tahu jalan dan terus membimbingnya lewat serudukan-
serudukan kecil dengan hidungnya. Tak lama kemudian mereka berbelok ke kiri
dan mulai berjalan menaiki bukit curam. Daerah di sana lebih segar dan
menyenangkan karena jalanannya dipagari pepohonan dan rumah-rumah hanya
berdiri di sebelah kanan. Di sisi lain mereka bisa melihat dari atas atap rumah-
rumah yang berada di bagian kota yang lebih rendah dan bisa melihat bagian atas
sungai. Kemudian mereka berputar di belokan berbentuk U ke sebelah kanan dan
melanjutkan perjalanan mendaki. Mereka berzig-zag naik ke pusat Tashbaan. Tak
lama kemudian mereka sampai di jalanan yang lebih bagus. Patung-patung besar
para dewa dan pahlawan Calormen--yang sebagian besar lebih menakjubkan
daripada enak dilihat--berdiri di atas alas batu berkilauan. Pohon-pohon palem dan
gerbang-gerbang masuk dengan bagian atasnya yang melengkung menjatuhkan
bayangan pada trotoar yang terbakar sinar matahari. Dan melalui gerbang-gerbang
melengkung itu, Shasta menangkap pemandangan cabang-cabang pohon yang
hijau, air mancur yang dingin, dan lapangan rumput yang terawat. Pasti nyaman di
dalam, pikirnya.

Pada setiap belokan, Shasta berharap mereka akan keluar dari kerumunan, tapi
harapan itu tak pernah tercapai. Ini membuat pergerakan mereka lamban sekali,
sesekali mereka bahkan harus benar-benar berhenti. Ini biasanya terjadi karena
suara keras berteriak, "Minggir, minggir, minggir, untuk Tarkaan" atau "untuk
Tarkheena" atau "untuk Penasihat Kelima Belas" atau "untuk Duta Besar", dan
semua orang dalam kerumunan akan memepetkan diri ke tembok, dan dari atas
kepala-kepala mereka Shasta terkadang akan melihat lord atau lady besar yang
menyebabkan segala kehebohan itu, berlalu di atas tandu yang dipanggul empat
atau bahkan enam budak raksasa di bahu telanjang mereka. Di Tashbaan hanya ada
satu peraturan lalu lintas, yaitu siapa pun yang tidak lebih penting harus
menyingkir untuk siapa pun yang lebih penting, kecuali kau mau mendapatkan
luka pecut atau tusukan ujung tumpul tombak.

Jalanan di dekat puncak kota luar biasa sekali (istana Tisroc adalah satu-satunya
bangunan di atasnya) ketika penghentian yang paling mengacaukan terjadi.

"Minggir! Minggir! Minggir!" terdengar suara itu. "Minggir untuk Raja Barbar
Putih, tamu Tisroc (semoga dia selamanya kekal)! Minggir untuk para penguasa
Narnia."
Shasta berusaha menyingkir dan memaksa Bree berbalik. Tapi tidak ada kuda yang
bisa berbalik dengan mudah, bahkan kuda yang bisa berbicara dari Narnia.

Dan seorang wanita dengan keranjang yang ujung-ujungnya sangat tajam, yang
berdiri tepat di belakang Shasta, mendorong keranjang itu keras-keras ke bahunya
dan berkata, "Heh! Jangan dorong-dorong!"

Kemudian seseorang di sampingnya mendesak Shasta dan dalam kekacauan itu dia
kehilangan Bree. Lalu seluruh orang dalam kerumunan di belakangnya menjadi
begitu kaku dan sangat penuh sesak sehingga dia tidak bisa bergerak sama sekali.
Jadi Shasta mendapati dirinya sendiri, tanpa sengaja berdiri di barisan paling depan
dan melihat dengan jelas rombongan yang datang melewati jalan itu.

Rombongan yang ini tidak seperti rombongan lain yang telah mereka lihat hari itu.
Sang pemberi pengumuman yang berjalan di depan dan berteriak, "Minggir!
Minggir!" merupakan satu-satunya orang Calormen di dalamnya. Dan tidak ada
tandu, semua anggota rombongan berjalan kaki. Ada sekitar enam orang dan
Shasta belum pernah melihat orang-orang seperti mereka. Dalam satu hal, mereka
semua berkulit putih seperti dirinya, dan sebagian besar dari mereka berambut
pirang. Mereka juga tidak berpakaian seperti orang Calormen. Sebagian besar dari
mereka membiarkan tungkai kaki mereka telanjang hingga ke lutut. Tunik mereka
berwarna bagus, terang, dan tegas--hijau hutan, kuning cerah, atau biru segar.
Bukannya turban, mereka mengenakan topi-topi besi atau perak, beberapa di
antaranya berhiaskan batu mulia, dan salah satu topi itu bersayap kecil di kedua
sisinya. Beberapa tidak mengenakan apa-apa di kepala. Pedang-pedang di sisi
tubuh mereka panjang dan lurus, tidak berlekuk seperti pedang orang Calormen.
Dan bukannya berjalan dengan muram dan misterius seperti sebagian besar orang
Calormen, mereka berjalan dengan langkah terayun ringan dan membiarkan lengan
serta bahu mereka bergerak bebas, mereka juga bercakap-cakap dan tertawa-tawa.
Salah satu dari mereka bersiul. Kau bisa melihat mereka siap berteman dengan
siapa pun yang ramah dan tidak akan peduli dengan siapa pun yang tidak bersikap
demikian. Shasta berpikir dia belum pernah melihat apa pun yang semenyenangkan
ini selama hidupnya.

Tapi dia tidak sempat lama menikmati pemandangan ini karena segera setelah itu,
sesuatu yang sangat mengerikan terjadi. Pemimpin para pria berambut pirang itu
mendadak menunjuk Shasta, berteriak, "Itu dia! Itu dia buronan kita!" lalu
mencengkeram bahu anak itu. Detik berikutnya dia menampar Shasta--bukan
tamparan kejam yang bisa membuatmu menangis tapi cukup keras untuk
memberitahumu kau telah melakukan kesalahan dan menambahkan, dengan suara
bergetar: "Kau seharusnya malu, tuanku! Sungguh memalukan! Mata Ratu Susan
merah akibat menangis karena dirimu. Luar biasa! Kabur semalaman! Ke mana
saja kau?"

Shasta bakal berlari ke bawah tubuh Bree dan berusaha bersembunyi di antara
kerumunan kalau saja dia punya kesempatan, tapi para pria berambut pirang itu
kini telah mengelilinginya dan tubuhnya dipegangi erat.

Tentu saja dorongan pertama yang dirasakannya adalah untuk berkata dia hanya
anak Arsheesh nelayan miskin dan bangsawan asing itu telah salah mengenalinya.
Tapi kemudian, hal terakhir yang ingin dilakukannya di tempat seramai itu adalah
mulai menjelaskan siapa dirinya sebenarnya dan apa yang sedang dilakukannya.
Kalau dia memulai itu, tak lama kemudian dia akan mulai ditanya soal dari mana
dia mendapatkan kudanya, siapa Aravis--kemudian, dia harus mengucapkan
selamat tinggal pada semua kesempatan menembus Tashbaan. Dorongan
berikutnya adalah mencari Bree untuk mendapatkan pertolongan. Tapi Bree sama
sekali tidak punya keinginan membiarkan semua orang di sana tahu dia bisa
berbicara, sehingga kuda itu hanya berdiri dengan tampang sebodoh mungkin.
Sedangkan Aravis, Shasta bahkan tidak berani melihat ke arahnya karena takut
menarik perhatian. Dan tidak ada kesempatan berpikir, karena pemimpin bangsa
Narnia itu langsung berkata: "Pegang salah satu tangan lord kecil ini, Peridan,
kalau kau bersedia, dan aku akan memegang yang satunya. Dan sekarang, ayo kita
kembali berjalan. Benak saudari kita sang ratu akan terlepas dari rasa cemas begitu
dia melihat pelarian muda kita selamat dan telah berada di penginapan."

Dan demikianlah, sebelum mereka melewati separuh Tashbaan, seluruh rencana


mereka berantakan, dan bahkan tanpa mendapat kesempatan mengucapkan selamat
tinggal pada yang lain, Shasta mendapati dirinya berjalan di antara orang-orang
asing dan tidak mampu menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Sang raja
Narnia--Shasta mulai melihat dari cara anggota rombongan yang lain berbicara
pada pria itu bahwa dia pastinya raja--terus-menerus bertanya kepadanya: dari
mana saja dia, bagaimana dia bisa keluar, apa yang telah dia lakukan pada
pakaiannya, dan tidak tahukah dirinya bahwa dia telah bersikap sangat nakal.
Hanya saja sang raja menyebutnya "tidak pantas" bukannya nakal.

Dan Shasta tidak mengucapkan apa-apa untuk menjawab, karena dia tidak bisa
memikirkan apa pun yang bisa dikatakan yang tidak akan membahayakan
posisinya dan teman-temannya.
"Apa ini? Mau terus membisu?" tanya sang raja. "Aku harus jujur memberitahumu,
Pangeran, bahwa kebisuan bagai batu ini lebih tidak seperti dirimu ketimbang
usaha pelarian itu sendiri. Melarikan diri mungkin bisa dimaklumi sebagai
kebandelan anak laki-laki yang kelebihan semangat. Tapi sebagai putra Raja
Archenland seharusnya kau berani menghadapi konsekuensi tindakanmu,
bukannya menundukkan kepala seperti budak bangsa Calormen."

Komentar ini sangat tidak diharapkan, karena sepanjang waktu itu Shasta merasa
raja muda ini tipe orang dewasa yang paling menyenangkan dan dia ingin memberi
kesan yang baik kepadanya.

Para orang asing itu membawanya--dengan kedua tangan dipegangi erat-erat--


melewati jalanan sempit dan menuruni tangga yang rendah kemudian memasuki
pintu masuk yang luas di dinding putih dengan dua pohon cypress yang tinggi dan
rimbun, masing-masing di salah satu sisi.

Sekali melewati gerbang melengkung, Shasta mendapati dirinya berada di


lapangan yang juga taman. Mangkuk marmer yang berisi air jernih di tengah taman
terus-menerus berbuih karena air mancur yang terjatuh ke dalamnya. Pohon-pohon
jeruk tumbuh mengelilinginya di tanah berumput lembut, dan empat dinding putih
yang memagari halaman itu ditutupi mawar yang merambat. Kebisingan, debu, dan
keramaian jalan-jalan besar mendadak seolah berada begitu jauh dari sana.

Shasta diajak berjalan cepat menyeberangi taman itu lalu masuk melewati pintu
yang gelap. Sang pemberi pengumuman tetap berada di luar. Setelah itu mereka
mengajaknya melewati koridor panjang, di mana lantai batunya terasa begitu
menyejukkan bagi kakinya yang kepanasan, dan menaiki beberapa anak tangga.

Sedetik kemudian Shasta mendapati dirinya mengedip-ngedipkan mata karena


silau dalam ruangan yang besar dan luas dengan jendela-jendela terbuka lebar,
semuanya menghadap ke utara sehingga sinar matahari tidak bisa langsung masuk.
Karpet di lantainya terdiri atas warna-warna yang lebih indah daripada apa pun
yang pernah dilihatnya dan kakinya langsung tenggelam ke dalamnya seolah dia
sedang berjalan melewati lumut tebal.

Di sekeliling dinding ada sofa-sofa rendah dengan bantal-bantal mewah di atasnya,


dan ruangan itu tampaknya penuh dengan orang, beberapa di antaranya tampak
aneh, pikir Shasta. Tapi dia tidak punya kesempatan untuk memikirkan ini karena
seorang wanita yang paling cantik yang pernah dilihatnya berdiri dari tempat
duduknya, lalu memeluk dan menciumnya, sambil berkata: "Oh, Corin, Corin,
teganya dirimu. Padahal kau dan aku adalah teman dekat sejak ibumu meninggal.
Lagi pula apa yang harus kukatakan kepada ayahmu yang agung kalau aku pulang
tanpamu? Bisa-bisa akan pecah perang antara Archenland dan Narnia, padahal
kedua negeri itu sudah bersahabat entah sejak kapan. Kau nakal sekali, teman
mainku, tindakanmu itu sangat tidak pantas."

Sepertinya, pikir Shasta, aku dikira Pangeran Archenland, di mana pun negeri itu
berada. Dan ini pasti orang-orang Narnia. Kira-kira Corin yang sesungguhnya ada
di mana sekarang ya? Tapi pikiran-pikiran ini tidaklah membantunya
mengucapkan apa pun keras-keras.

"Kau ke mana saja, Corin?" tanya si wanita, kedua tangannya masih diletakkan di
bahu Shasta.

"Aku--aku tidak tahu," Shasta tergagap.

"Kau lihat sendiri, Susan," kata sang raja.

"Aku juga tidak bisa membuatnya bercerita, jujur ataupun bohong."

"Yang Mulia! Ratu Susan! Raja Edmund!" kata sebuah suara, dan ketika Shasta
menoleh untuk melihat siapa yang telah bicara, dia nyaris terlompat ke langit-
langit karena kagetnya. Suara itu berasal dari salah satu orang aneh yang telah dia
sadari kehadirannya dari ujung matanya ketika dia pertama masuk ke ruangan
tersebut. Orang itu nyaris setinggi Shasta. Dari pinggang ke atas dia seperti
manusia, tapi kakinya berbulu seperti kaki kambing, juga berbentuk seperti kaki
kambing, dia juga memiliki tapal berkuku dan ekor kambing. Kulit orang itu agak
merah dan rambutnya keriting, dia punya janggut pendek lancip dan dua tanduk
kecil. Orang ini sebenarnya faun, makhluk yang belum pernah Shasta lihat
gambarnya atau bahkan pernah mendengar cerita tentangnya. Dan kalau kau sudah
membaca buku berjudul Sang Singa, sang Penyihir, dan Lemari, kau mungkin akan
senang mengetahui bahwa orang itu faun yang sama, yang bernama Tumnus, yang
pernah ditemui adik Ratu Susan, Lucy, di hari pertama dia menemukan jalan
masuk menuju Narnia. Tapi kini Tumnus lebih tua karena pada saat ini Peter,
Susan, Edmund, dan Lucy telah menjadi Raja dan Ratu Narnia selama beberapa
tahun.

"Yang Mulia," dia berkata, "pangeran kecil ini mungkin terlalu lama terbakar
matahari. Lihatlah dia! Dia seperti menerawang jauh. Dia bahkan tidak tahu ada di
mana dirinya sekarang."
Kemudian tentu saja semua orang berhenti membentak Shasta dan bertanya
kepadanya. Shasta dimanjakan dan dibaringkan di sofa. Bantal-bantal diletakkan di
bawah kepalanya dan dia diberi es serbat di cangkir emas untuk minum, kemudian
disuruh diam dan tak banyak bergerak.

Hal seperti ini tidak pernah terjadi dalam hidup Shasta sebelumnya. Dia tidak
pernah membayangkan dirinya berbaring di atas sesuatu yang senyaman sofa itu
atau meminum apa pun yang selezat serbat itu. Dia masih bertanya-tanya apa yang
terjadi pada anggota rombongannya yang lain dan bagaimana dia akan bisa
melarikan diri untuk kemudian bertemu mereka lagi di Makam, lalu apa yang akan
terjadi ketika Corin asli muncul. Tapi tidak satu pun kecemasan ini yang terasa
begitu mendesak karena dia merasa nyaman. Dan mungkin, nanti, akan ada
berbagai santapan lezat yang bisa dimakan!

Sementara itu orang-orang yang berada di ruangan sejuk nan luas ini begitu
menarik. Selain si faun, ada dua dwarf (sejenis makhluk yang belum pernah
dilihatnya) dan gagak yang sangat besar. Sisanya semua manusia, orang dewasa,
tapi muda. Dan semua manusia itu, baik pria maupun wanita, memiliki wajah dan
suara yang lebih ramah daripada orang Calormen. Dan tak lama kemudian Shasta
mendapati dirinya tertarik pada pembicaraan mereka.

"Sekarang, Madam," sang raja berkata pada Ratu Susan (wanita yang telah
mencium Shasta). "Bagaimana menurutmu? Kita telah berada di kota ini selama
tiga minggu penuh. Apakah kau sudah memutuskan untuk menerima lamaran
bangsawan berkulit gelapmu itu, Pangeran Rabadash-mu itu, atau tidak?"

Wanita itu menggeleng. "Tidak, adikku," katanya, "tidak, walaupun seluruh batu
mulia yang ada di Tashbaan akan menjadi milikku." (Wah! pikir Shasta. Walaupun
mereka raja dan ratu, mereka bersaudara, bukannya suami-istri.)

"Sejujurnya, Kakak," kata sang raja, "rasa sayangku kepadamu mungkin akan
berkurang jika kau setuju menerimanya. Dan aku bisa berkata padamu pada kali
pertama Duta Tisroc datang ke Narnia untuk mengajukan pernikahan ini, kemudian
ketika sang pangeran menjadi tamu kita di Cair Paravel, aku benar-benar heran
kenapa kau mampu memberinya begitu banyak harapan."

"Itulah kebodohanku, Edmund," kata Ratu Susan, "sesuatu yang aku mohon bisa
kaumaafkan. Namun ketika dia bersama kita di Narnia, sang pangeran benar-benar
menunjukkan pembawaan diri yang begitu berbeda dengan ketika kini dia berada
di Tashbaan. Karena aku yakin kalian semua menyaksikan sendiri betapa dia
menunjukkan kemahiran yang luar biasa dalam turnamen besar dan festival yang
diadakan saudara kita Raja Agung untuknya, dan betapa lembut dan anggunnya
sikap yang ditampilkan di hadapan kita selama tujuh hari tersebut. Tapi di sini, di
kotanya sendiri, dia telah menunjukkan wajah lain."

"Ah!" kaok si gagak. "Ada perumpamaan tua: lihat sang beruang di guanya sendiri
sebelum kau memutuskan bagaimana keadaannya."

"Itu benar sekali, Sallowpad," kata salah satu dwarf. "Juga ada perkataan lain, ayo,
hiduplah bersamaku dan kau akan tahu siapa aku."

"Ya," kata sang raja. "Kita semua kini telah melihat dirinya yang sebenarnya: yaitu
tiran yang paling angkuh, haus darah, bergaya kelewat mewah, kejam, dan hanya
peduli pada kepuasan diri sendiri."

"Kalau begitu demi nama Aslan," kata Susan, "biarlah kita tinggalkan Tashbaan
hari ini juga."

"Di situlah masalahnya, kakakku," kata Edmund. "Kini aku harus membuka semua
kepadamu segala yang telah meresahkan benakku dalam dua hari terakhir ini dan
lebih banyak hal lagi. Peridan, jika kau bersedia, lihatlah ke pintu dan periksa
apakah ada mata-mata yang mengawasi kita. Keadaan aman? Bagus. Semua
pembicaraan yang akan kita lakukan sekarang harus tetap jadi rahasia."

Semua orang mulai menampilkan wajah serius. Ratu Susan melompat dari tempat
duduknya dan berlari menghampiri adiknya. "Oh, Edmund," teriaknya. "Ada apa?
Dari ekspresi wajahmu, sepertinya ada sesuatu yang mengerikan."
Bab 5

Pangeran Corin

"KAKAKKU tersayang dan lady yang mulia," kata Raja Edmund, "saat ini kau
harus menunjukkan keberanianmu. Karena sejujurnya aku harus memberitahumu
yang sedang kita hadapi saat ini bukanlah bahaya kecil."

"Ada apa, Edmund?" tanya sang ratu.

"Begini," kata Edmund. "Kurasa akan sulit bagi kita untuk meninggalkan
Tashbaan. Sementara Pangeran berharap kau akan menerima lamarannya, kita
adalah tamunya yang terhormat. Tapi demi surai singa, kurasa segera setelah dia
mendengar tentang penolakan tegasmu, kita akan mendapat perlakuan yang sama
dengan tawanan."

Salah satu dari dwarf bersiul rendah.

"Aku sudah memperingatkan Yang Mulia, sudah aku peringatkan," kata Sallowpad
si gagak. "Mudah masuk tapi tidak mudah keluar seperti yang dikatakan lobster di
dalam panci lobster!"

"Aku bertemu sang pangeran pagi ini," Edmund melanjutkan. "Dia tidak terlalu
terbiasa (parahnya) ditolak keinginannya. Dan dia sangat terganggu dengan
penundaan yang berkepanjangan dan jawaban tak pastimu. Pagi ini dia terus
memaksa untuk mengetahui apa keputusanmu. Aku berusaha mengalihkan
pembicaraan--dalam arti di saat yang sama untuk menurunkan harapannya--dengan
beberapa lelucon ringan tentang gaya berbusana wanita, dan mengungkit bahwa
setelannya sudah pasti takkan populer di kalangan mereka. Dia menjadi marah dan
berbahaya. Dalam setiap kata yang diucapkannya ada semacam ancaman,
walaupun masih ditutupi pertunjukan sopan santun."

"Benar," kata Tumnus. "Dan ketika aku bersantap malam bersama Penasihat
Agung tadi malam, keadaannya tidak berbeda. Dia bertanya padaku bagaimana
menurutku kota Tashbaan ini. Dan aku (karena aku tidak bisa berterus terang
kepadanya betapa aku membenci setiap batunya, tapi juga tidak bisa berbohong)
memberitahunya bahwa saat ini, ketika pertengahan musim panas segera datang,
hatiku akan terpanggil ke hutan yang sejuk dan lereng berembun tanah Narnia. Dia
menampilkan senyum yang tidak bisa berarti baik dan berkata, 'Tidak ada yang
menghalangimu berdansa di sana lagi, kaki kambing kecil, selama itu berarti kalian
meninggalkan mempelai wanita bagi pangeran kami."

"Maksudmu dia akan tetap berniat menjadikanku istri walaupun secara paksa?"
seru Susan.

"Itulah kekhawatiranku, Susan," kata Edmund. "Istri, atau budak, dan itu yang
lebih buruk."

"Tapi apakah dia akan mampu melakukan itu? Apakah Tisroc pikir kakak kita Raja
Agung akan bersedia menerima begitu saja tindakan keterlaluan itu?"

"Sire," kata Peridan kepada sang raja. "Mereka tidak akan segila itu. Apakah
mereka pikir tidak ada pedang dan tombak di Narnia?"

"Tetap saja," kata Edmund. "Tebakanku adalah Tisroc hanya punya sedikit
kekhawatiran akan Narnia. Kita hanyalah tanah yang kecil, Dan tanah yang kecil di
perbatasan kerajaan besar selalu dibenci para penguasa kerajaan besar. Dia ingin
sekali memusnahkan tanah-tanah itu, menelan mereka. Ketika pertama dia dengan
terpaksa menyuruh sang pangeran datang ke Cair Paravel untuk melamarmu, Kak,
itu mungkin hanya karena dia sedang mencari cara untuk menentang kita. Lebih
besar lagi kemungkinan dia berharap bisa menguasai Narnia dan Archenland
sekaligus."

"Biarkan dia berusaha," kata dwarf kedua. "Di lautan, kita sebesar dirinya. Dan
kalau dia menyerang kita lewat daratan, dia harus menyeberangi padang pasir
dahulu."

"Benar, Teman," kata Edmund. "Tapi apakah padang pasir pertahanan yang kuat?
Bagaimana pendapatmu, Sallowpad?"

"Aku kenal betul padang pasir itu," kata si gagak. "Karena aku telah terbang di
atasnya dari ujung ke ujung di masa mudaku," (kau bisa yakin Shasta menajamkan
telinganya pada saat ini). "Dan ini yang pasti, bahwa jika bangsa Tisroc pergi
menuju oase besar, dia tidak akan pernah memimpin pasukan besar
menyeberanginya menuju Archenland. Karena walaupun mereka bisa mencapai
oase tersebut pada pengujung hari pertama penyerbuan, mata air di sana akan
terlalu sedikit untuk memuaskan rasa haus seluruh pasukan dan tunggangan
mereka. Melainkan ada jalan lain."

Shasta bergeming dan mendengarkan dengan lebih saksama.


"Orang yang berniat menemukan jalan itu," kata si gagak, "harus memulai
perjalanan dari Makam Raja-raja Masa Lampau dan berjalan ke arah barat laut
sehingga puncak ganda Gunung Pire selalu berada lurus dl depannya. Bila terus
ditanjutkan, dalam sehari berkuda atau sedikit lebih lama, dia akan sampai di ujung
lembah berbatu, yang begitu sempit sehingga walau dia berada hanya sejauh dua
ratus meter dari sana dan melewatinya seribu kali, dia tidak pernah tahu celah itu
ada. Lalu menatap ke bawah dari lembah ini dia tidak akan melihat rerumputan,
air, atau apa pun yang menyenangkan. Tapi kalau dia terus berkuda melewatinya,
dia akan sampai di sungai dan bisa menyusuri aliran sungai terus hingga
Archenland."

"Dan apakah bangsa Calormen tahu tentang jalan Barat ini?" tanya sang ratu.

"Teman, teman," kata Edmund, "apalah gunanya semua diskusi ini? Kita tidak
sedang mencari jawaban apakah Narnia ataukah Calormen yang akan menang bila
perang terjadi di antara dua negeri itu. Kita sedang mencari cara menyelamatkan
kehormatan ratu kita dan nyawa kita sendiri supaya bisa keluar dari kota jahanam
ini. Karena walaupun kakakku, Raja Agung Peter, telah mengalahkan Tisroc
belasan kali, lama sebelum hari itu tiba, tenggorokan kita akan sudah digorok dan
sang ratu akan menjadi istri, atau lebih besar kemungkinannya, budak pangeran
itu."

"Kita punya senjata kita, Raja," kata dwarf yang pertama. "Dan rumah ini punya
pertahanan yang cukup."

"Kalau soal itu," kata sang raja, "aku sama sekali tidak meragukan seorang pun di
antara kita akan ragu mengorbankan nyawa dan rela menyerahkan sang ratu selama
kita masih hidup. Namun kita harus mengakui posisi kita seperti tikus yang
berontak dalam perangkap."

"Benar sekali," kaok si gagak. "Perlawanan di rumah selalu jadi cerita yang
menarik, tapi tidak ada yang pernah berakhir baik. Setelah beberapa serangan awal,
pihak musuh akhirnya selalu membakar rumah."

"Akulah penyebab semua ini," kata Susan, air matanya tertumpah. "Oh, kalau saja
aku tidak pernah meninggalkan Cair Paravel. Hari bahagia terakhir kita adalah
sebelum para duta itu datang dari Calormen. Para mata-mata telah menanam
jebakan bagi kita... oh... oh." Lalu dia membenamkan wajah ke kedua telapak
tangannya dan terisak.
"Tegarlah, Su, tegarlah," kata Edmund, "Ingatlah--tapi kenapa kau, Master
Tumnus?"

Karena si faun tampak memegangi kedua tanduknya dengan kedua tangan seolah
sedang berusaha menahan kepalanya supaya tetap melekat di tubuhnya. Dia juga
meremas-remas perutnya seolah sedang sakit luar biasa.

"Jangan bicara padaku, jangan bicara dulu," kata Tumnus. "Aku sedang berpikir.
Aku sedang berpikir keras sampai aku tidak bisa bernapas. Tunggu, tunggu,
tunggulah sebentar."

Keheningan yang penuh rasa ingin tahu merebak, sesaat kemudian si faun
mendongak, menarik napas panjang, mengusap dahinya, dan berkata: "Satu-
satunya masalah adalah bagaimana caranya kita bisa sampai di kapal kita sendiri
dengan persediaan makanan pula--tanpa terlihat dan dihentikan."

"Benar," kata salah satu dwarf datar. "Seperti satu-satunya kesulitan pencuri dalam
melarikan diri adalah dia tidak punya kuda."

"Tunggu, tunggu," kata Mr Tumnus tidak sabar. "Yang kita butuhkan hanyalah
alasan untuk naik ke kapal kita hari ini dan mengangkut barang-barang ke
dalamnya."

"Benar," kata Raja Edmund ragu.

"Nah, kalau begitu," kata si faun, "bagaimana kalau Yang Mulia berdua
mengundang sang pangeran ke perjamuan besar yang akan diadakan di atas kapal
kita, Splendour Hyaline, besok malam? Dan suarakan undangan itu seanggun
mungkin yang bisa disuarakan sang ratu tanpa mempertaruhkan kehormatannya,
seolah memberi harapan kepada sang pangeran bahwa Ratu mulai melemah."

"Ini usul yang sangat baik, Sire," kaok si gagak.

"Kemudian," Tumnus melanjutkan penuh semangat, "semua orang akan maklum


bila kita mondar-mandir ke kapal sepanjang hari, melakukan persiapan untuk
tamu-tamu kita. Dan utus beberapa dari kita untuk pergi ke pasar dan
menghabiskan setiap uang yang kita miliki di tukang buah, tukang daging, dan
pedagang anggur, seperti yang akan kita lakukan bila kita benar-benar akan
mengadakan pesta. Dan marilah memesan para tukang sulap, badut akrobat, gadis
penari, dan pemain flute, semua diundang naik ke kapal besok malam."
"Bagus, bagus," kata Raja Edmund, menggosok-gosok tangannya.

"Kemudian," kata Tumnus, "kita semua akan berada di atas kapal malam ini. Dan
segera setelah hari cukup gelap--"

"Naikkan layar dan ayunkan dayung--!" kata sang raja.

"Lalu berlayar ke lautan," teriak Tumnus, melompat dan mulai menari.

"Menuju utara," kata dwarf pertama.

"Lari menuju rumah! Hore untuk Narnia dan Utara!" kata yang lain.

"Dan sang pangeran akan terbangun pagi berikutnya dan mendapati burung-
burungnya telah terbang!" kata Peridan, bertepuk tangan.

"Oh, Master Tumnus, Master Tumnus tersayang," kata sang ratu. Dia menangkap
tangan si faun dan berayun bersamanya ketika faun itu menari. "Kau telah
menyelamatkan kita semua."

"Sang pangeran akan mengejar kita," kata bangsawan lain, yang namanya belum
Shasta dengar.

"Itu kekhawatiranku yang paling kecil," kata Edmund. "Aku telah melihat semua
kapal di sungainya dan tidak ada kapal perang tinggi ataupun kapal cepat di sana.
Aku berharap dia memang akan mengejar kita! Karena Splendour Hyaline bisa
menenggelamkan apa pun yang akan dikirim sang pangeran untuk mengejarnya--
kalau kita memang akan tersusul."

"Sire," kata si gagak. "Anda tidak akan mendengar rencana yang lebih baik
daripada usulan si faun walaupun kita duduk dalam rapat selama tujuh hari. Dan
sekarang, seperti yang biasa diucapkan kami kaum burung, sarang sebelum telur.
Yang dengan kata lain, biarlah kita semua mengisi perut dahulu untuk kemudian
langsung mulai membereskan segala urusan."

Semua orang berdiri setelah mendengar ini dan pintu-pintu segera terbuka, para
bangsawan dan makhluk lain berdiri menepi agar sang raja dan ratu pergi terlebih
dahulu. Shasta bertanya-tanya apa yang seharusnya dia lakukan, tapi kemudian Mr
Tumnus berkata, "Berbaringlah di sana, Yang Mulia, dan aku akan
membawakanmu jamuan kecil untukmu sendiri sebentar lagi. Tidak perlu bergerak
sampai kita semua siap mengangkat sauh."
Shasta merebahkan kembali kepalanya ke bantal-bantal dan tak lama kemudian dia
sendirian di ruangan itu.

Ini buruk sekali, pikir Shasta. Tidak pernah sekali pun muncul di benaknya untuk
memberitahu orang-orang Narnia ini seluruh kebenarannya dan meminta bantuan
mereka. Karena dibesarkan oleh pria kasar dan ringan tangan seperti Arsheesh,
Shasta memiliki kebiasaan tidak pernah memberitahu orang dewasa apa pun kalau
dia bisa mencegahnya: dia berpikir mereka akan selalu mengacaukan atau
menghentikan apa pun yang akan kaulakukan. Dan dia berpikir bahkan walaupun
Raja Narnia mungkin bisa bersikap ramah kepada dua kuda temannya, karena
mereka kan hewan yang bisa berbicara dari Narnia, sang raja akan membenci
Aravis, karena dia orang Calormen, dan bila tidak menjual anak itu sebagai budak,
dia akan mengembalikannya ke ayahnya. Sedangkan untuk diriku, aku semakin
tidak berani memberitahunya aku bukan Pangeran Corin sekarang, pikir Shasta.
Aku telah mendengar semua rencana mereka. Kalau tahu aku bukan bangsa
mereka, mereka tidak akan membiarkanku keluar dari rumah ini hidup-hidup.
Mereka akan takut aku mengkhianati mereka dan memberitahu Tisroc. Mereka
akan membunuhku. Tapi kalau Corin yang asli muncul, semuanya akan
terbongkar, dan mereka akan benar-benar membunuhku! Kau harus mengerti,
Shasta tidak tahu betapa mulia dan beradabnya tingkah laku orang-orang itu.

Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Dia terus-menerus
menanyakan itu pada dirinya sendiri. Apa--ah, ini dia si makhluk kecil yang seperti
kambing itu datang kembali.

Si faun berlari masuk, setengah berdansa, dengan baki yang nyaris sebesar dirinya
sendiri di tangannya. Baki itu diletakkannya di meja berukiran di samping sofa
Shasta, lalu dia duduk di lantai berkarpet dengan menyilang kedua kaki
kambingnya.

"Sekarang, Pangeran," katanya. "Silakan nikmati makan malammu. Ini akan jadi
makanan terakhirmu di Tashbaan."

Santapan yang dibawakan mewah ala Calormen. Aku tidak tahu apakah kau akan
menyukainya atau tidak, tapi yang jelas Shasta menikmatinya. Ada lobster, salad,
dan burung snipe isi kacang almond dan jamur truffle, dan hidangan rumit yang
terbuat dari hati ayam, nasi, kismis, dan kacang, lalu ada melon dingin dan pencuci
mulut campuran gooseberry dan mulberry dengan krim, dan segala hidangan lezat
yang bisa dibuat dengan es. Ada juga flagon kecil, sejenis anggur yang disebut
"putih" walaupun sebenarnya kuning.
Sementara Shasta makan, faun kecil yang baik itu, yang berpikir anak itu masih
tidak sepenuhnya sadar karena terbakar matahari, terus berbicara padanya tentang
masa-masa bahagia yang akan mereka alami ketika mereka semua sampai di
rumah, tentang ayah tuanya yang baik hati Raja Lune penguasa Archenland dan
istana kecil tempat mereka tinggal di lereng selatan jalan perbukitan.

"Dan jangan lupa," kata Mr Tumnus, "kau dijanjikan baju zirah dan kuda perang
pertamamu pada ulang tahunmu berikutnya. Kemudian Yang Mulia akan mulai
belajar cara menusuk dan bermain pedang di atas kuda. Dan dalam beberapa tahun,
kalau segalanya berjalan lancar, Raja Peter telah berjanji pada ayahmu yang agung
bahwa dia sendirilah yang akan memberimu gelar Kesatria Cair Paravel. Dan
sementara waktu itu akan sering ada perjalanan dan kunjungan antara Narnia dan
Archenland melewati leher gunung-gunung. Dan tentu saja kau ingat kau telah
berjanji akan berkunjung selama seminggu penuh dan tinggal bersamaku untuk
festival musim panas, dan akan ada api unggun dan tarian para faun dan dryad
sepanjang malam di tengah hutan dan, siapa tahu?--kita mungkin akan bisa melihat
Aslan sendiri!"

Ketika makanan sudah habis si faun menyuruh Shasta tetap diam di tempatnya
sekarang. "Dan tidak akan berakibat buruk bagimu jika kau tidur sebentar," dia
menambahkan. "Aku akan memanggilmu lama sebelum saatnya naik ke kapal.
Kemudian, rumah. Narnia dan negeri Utara!"

Shasta begitu menikmati makan malamnya dan segala hal yang telah diceritakan
Tumnus kepadanya sehingga ketika ditinggal sendirian, pikirannya kini beralih ke
arah yang berbeda. Dia hanya berharap sekarang Pangeran Corin asli tidak akan
muncul sampai semua sudah terlambat dan dia akan dibawa ke Narnia dengan
kapal. Sayangnya dia sama sekali tidak memikirkan apa yang akan terjadi pada
Pangeran Corin yang asli kalau dia ditinggal di Tashbaan. Tapi Shasta memang
agak mencemaskan Aravis dan Bree yang mungkin menunggu dirinya di Makam.
Tapi kemudian dia berkata pada dirinya sendiri, yah, aku kan tidak bisa apa-apa,
lagi pula si Aravis itu merasa terlalu hebat untuk melakukan perjalanan bersamaku,
jadi dia akan bahagia bila pergi tanpaku. Di saat yang sama dia tidak bisa
mencegah dirinya merasa akan lebih menyenangkan pergi ke Narnia lewat lautan
daripada menyeberangi padang pasir.

Ketika memikirkan semua ini, dia melakukan sesuatu yang kuduga juga akan
kaulakukan jika kau telah bangun sangat pagi, berjalan jauh, mengalami berbagai
kejadian menarik, menyantap makanan lezat, dan kini berbaring di sofa dalam
ruangan sejuk tanpa suara apa pun kecuali dengungan seekor lebah dari jendela
yang terbuka lebar. Dia terlelap.

Yang membangunkan Shasta adalah bunyi entakan keras. Dia melompat dari sofa,
menajamkan mata. Dia langsung menyadari dari pemandangan ruangan yang kini
remang-remang--cahaya dan bayangan kini tampak berbeda--bahwa dia pasti telah
tertidur selama beberapa jam. Dia juga melihat apa yang menyebabkan bunyi keras
itu: vas porselen mewah yang tadinya berdiri di mulut jendela tergeletak di lantai,
tercerai berai hingga menjadi serpihan. Tapi dia nyaris tidak menyadari semua ini.
Yang disadarinya adalah dua tangan yang mencengkeram mulut jendela dari luar.
Tangan itu mencengkeram makin erat dan erat (hingga buku-buku jarinya tampak
putih), kemudian muncullah kepala dan sepasang bahu. Sedetik kemudian ada anak
laki-laki seusia Shasta duduk di mulut jendela dengan satu kaki bergantung ke
dalam ruangan.

Shasta tidak pernah melihat wajahnya di cermin. Bahkan kalaupun pernah, dia
mungkin tidak akan menyadari bahwa anak lain itu (di saat-saat biasa) hampir
sama persis dengan dirinya. Pada saat ini anak itu tidak bisa dibilang benar-benar
mirip siapa pun karena mata lebamnya hitam sekali, satu giginya hilang, dan
pakaiannya (yang pastinya dulu berkualitas bagus ketika dia mengenakannya) kini
sobek-sobek dan kotor, lalu ada darah juga lumpur di wajahnya.

"Siapa kau?" tanya anak itu dalam bisikan.

"Apakah kau Pangeran Corin?" tanya Shasta.

"Ya, tentu saja," kata anak yang satunya. "Tapi siapa kau?"

"Aku bukan siapa-siapa, bukan seseorang yang kaukenal, maksudku," kata Shasta.
"Raja Edmund menangkapku di jalanan dan mengira aku dirimu. Kurasa kita
mungkin mirip satu sama lain. Bisakah aku keluar dari jalan kau masuk?"

"Ya, kalau kau pandai memanjat," kata Corin. "Tapi kenapa kau terburu-buru?
Menurutku kita bisa bersenang-senang kalau orang-orang salah mengira kau
diriku."

"Tidak, tidak," kata Shasta. "Kita harus bertukar tempat sekarang juga. Akan kacau
sekali kalau Mr Tumnus masuk dan melihat kita berdua di sini. Aku harus berpura-
pura menjadi dirimu. Dan kau harus kembali menjadi dirimu sendiri malam ini--
diam-diam. Memangnya dari mana saja kau selama ini?"
"Seorang anak di jalan melontarkan lelucon keji tentang Ratu Susan," kata
Pangeran Corin, "jadi aku meninjunya hingga jatuh. Dia berlari sambil berteriak-
teriak ke sebuah rumah dan kakaknya yang besar keluar. Jadi aku meninju kakak
besarnya itu hingga jatuh. Kemudian mereka semua mengejarku sampai kami
bertemu tiga pria tua dengan tombak yang mereka sebut Pengawas. Jadi aku
berkelahi dengan para pengawas itu dan mereka merobohkanku. Saat itu hari mulai
gelap. Kemudian si pengawas menangkapku untuk mengurungku di suatu tempat.
Jadi aku bertanya pada mereka apakah mereka mau secangkir anggur dan mereka
bilang tidak akan keberatan bila mendapatkannya. Aku pun membawa mereka ke
tempat minum anggur dan memesan beberapa botol. Mereka semua lalu duduk dan
minum sampai tertidur. Kupikir itu saatnya untukku untuk pergi jadi aku keluar
pelan-pelan kemudian mendapati anak pertama--anak yang memulai semua
masalah itu--masih berkeliaran. Jadi aku meninjunya hingga jatuh lagi. Setelah itu
aku memanjat pipa ke atap sebuah rumah dan berbaring diam sampai hari mulai
terang pagi ini. Sejak saat itu aku sibuk mencari jalan pulang. Aduh, apakah ada
sesuatu yang bisa diminum?"

"Tidak, aku sudah meminumnya," jawab Shasta. "Dan sekarang, tunjukkan


kepadaku bagaimana caramu masuk. Tidak boleh ada semenit pun terbuang sia-sia.
Kau sebaiknya berbaring di sofa dan berpura-pura-tapi aku lupa. Semua akan
percuma saja dengan semua memar dan mata lebammu itu. Kau hanya harus
memberitahu mereka kejadian yang sebenarnya, begitu aku sudah pergi cukup
jauh."

"Memangnya apa lagi yang akan kukatakan kepada mereka?" tanya si pangeran
dengan wajah agak marah. "Dan siapa kau?"

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan," jawab Shasta dengan bisikan panik. "Aku
orang Narnia, kurasa begitu, setidaknya berasal dari negeri Utara. Tapi aku
dibesarkan sepanjang hidupku di Calormen. Dan aku sedang melarikan diri:
menyeberangi padang pasir dengan Kuda yang Bisa Berbicara bernama Bree. Dan
sekarang, cepat! Bagaimana aku bisa pergi dari sini?"

"Dengar," kata Corin. "Lompatlah dari jendela ini ke atap beranda itu. Tapi kau
harus melakukannya dengan ringan, dengan ujung jarimu, atau seseorang akan
mendengarmu. Kemudian pergilah ke sebelah kiri dan kau bisa naik ke dinding itu
kalau kau pemanjat ulung. Lalu ikuti terus dinding hingga ke sudut. Lompatlah ke
tumpukan sampah yang akan kautemukan di luar, dan kau akan sampai."
"Trims," kata Shasta yang sudah duduk di mulut jendela. Dua anak itu menatap
wajah satu sama lain dan mendadak mendapati mereka telah menjadi teman.

"Selamat tinggal," kata Corin. "Dan semoga beruntung. Aku berharap kau bisa
keluar dengan selamat."

"Selamat tinggal," kata Shasta. "Wah, petualanganmu hebat juga ya!"

"Tak bisa dibandingkan dengan petualanganmu," kata si pangeran. "Sekarang


lompatlah, dengan ringan--ah ya," dia menambahkan ketika Shasta akan melompat,
"aku berharap kita bisa bertemu lagi di Archenland. Temui ayahku Raja Lune dan
beritahu dia kau temanku. Awas! Sepertinya ada yang datang."

Bab 6

Shasta di Antara Batu Nisan

SHASTA berlari ringan, berjingkat, di sepanjang atap. Kaki telanjangnya


merasakan panasnya permukaan atap itu. Dia hanya membutuhkan waktu beberapa
detik untuk memanjat dinding di ujung jauhnya, dan ketika sampai ke sudut, dia
mendapati dirinya menatap ke bawah jalanan sempit dan berbau, dan ada sampah
yang ditumpuk di dinding luar, tepat seperti perkataan Corin.

Sebelum melompat turun, Shasta memandang sekilas ke sekeliling untuk melihat


posisinya sekarang. Sepertinya dia kini telah sampai di bagian mahkota bukit pulau
tersebut, pulau tempat Tashbaan dibangun. Semuanya menurun di hadapannya,
atap datar di bawah atap datar, hingga menara dan ceruk benteng dinding utara
kota. Di balik itu tampak sungai dan setelah sungai tampak turunan pendek yang
ditutupi taman. Tapi di balik itu semua, ada sesuatu yang bahkan benda mirip
sesuatu itu pun belum pernah dia lihat--benda besar berwarna abu-abu kekuningan,
sedatar laut tenang, dan terbentang bermil-mil. Pada ujung jauhnya ada benda-
benda biru raksasa, bergelombang-gelombang tapi dengan ujung-ujung bergerigi,
dan beberapa di antaranya memiliki pucuk berwarna putih.

Itu padang pasirnya! Pegunungannya! pikir Shasta.

Dia melompat turun ke tumpukan sampah dan mulai berlari kecil menyusuri jalan
yang menurun, secepat yang dia bisa di gang sempit itu. Tak lama kemudian, dia
sampai ke jalan yang lebih lebar tempat lebih banyak orang berlalu-lalang. Tidak
ada yang bahkan peduli pada anak kecil berpakaian lusuh berlari dengan kaki
telanjang. Tetap saja Shasta merasa cemas dan gelisah sampai dia berbelok di suatu
sudut dan melihat gerbang kota di hadapannya. Di sini dia terdesak dan terdorong-
dorong sedikit, karena banyak orang yang juga berniat keluar, dan di atas jembatan
di luar gerbang, kerumunan bergerak lebih lamban, lebih seperti antrean daripada
kerumunan biasa. Di luar sana, dengan air jernih mengalir di kedua sisi, udara
terasa jauh lebih segar setelah segala bau, panas, dan suara di Tashbaan.

Ketika telah mencapai ujung jauh jembatan itu, Shasta mendapati kerumunan kini
menipis: semua orang tampak pergi ke kiri atau kanan sepanjang tepi sungai. Anak
itu berjalan lurus mengikuti jalan besar yang sepertinya tidak terlalu sering
digunakan, di antara taman-taman. Setelah beberapa langkah dia tinggal sendirian,
dan beberapa langkah lagi membawanya ke ujung tanjakan. Di sana dia berdiri dan
memandang ke sekeliling. Rasanya seperti sampai di ujung dunia karena beberapa
meter di depannya rerumputan berhenti tumbuh agak mendadak dan bentangan
pasir dimulai: hamparan pasir tak berujung seperti pada pantai, tapi terasa lebih
keras karena tidak pernah basah. Pegunungan, yang kini tampak lebih jauh
daripada sebelumnya, menjulang di depan.

Shasta lega sekali ketika dia melihat, sekitar lima menit jalan kaki ke arah kirinya,
tempat yang sudah pasti merupakan Makam. Seperti yang telah digambarkan Bree,
kini dilihatnya kumpulan besar batu yang sudah runtuh berbentuk sarang lebah
raksasa, tapi sedikit lebih sempit. Batu-batu itu tampak begitu hitam dan muram,
karena matahari kini terbenam tepat di belakang mereka.

Shasta memalingkan wajah menghadap barat dan berlari kecil menghampiri


Makam. Dia tidak bisa mencegah dirinya memerhatikan dengan saksama kalau-
kalau ada tanda keberadaan teman-temannya, walaupun matahari bersinar ke
wajahnya sehingga dia nyaris tidak bisa melihat apa pun. Lagi pula, dia berpikir,
tentu saja mereka akan ada di bagian ujung jauh makam terjauh, tidak di sisi sini
tempat siapa pun mungkin bisa melihat mereka dari kota.
Ada sekitar dua belas makam di sana, masing-masing memiliki pintu melengkung
yang bila dibuka akan menampilkan kegelapan sempurna. Makam-makam itu
terletak sembarangan , tanpa urutan tertentu, jadi membutuhkan waktu lama untuk
mengelilingi yang ini lalu mengelilingi yang itu, sebelum kau bisa yakin kau telah
memutar dan memeriksa setiap sudut pada setiap makam. Dan itulah yang terpaksa
dilakukan Shasta. Tidak ada siapa-siapa di sana.

Kini ketika matahari telah benar-benar terbenam, suasana begitu sepi di ujung
padang pasir itu.

Mendadak dari suatu tempat di bawahnya terdengar suara mengerikan. Jantung


Shasta melonjak dan dia harus menggigit lidah supaya tidak berteriak. Detik
berikutnya dia menyadari apa sumber suara itu: terompet-terompet tanduk
Tashbaan yang ditiup untuk menandakan waktunya gerbang ditutup.

"Jangan jadi pengecut konyol begitu," kata Shasta pada dirinya sendiri. "Itu kan
hanya suara yang sama dengan yang kaudengar pagi ini."

Tapi ada perbedaan besar antara mendengar suara yang mengundangmu masuk
bersama teman-teman di pagi hari dengan suara yang kaudengar sendirian malam
hari, menandakan kau sudah tertutup di luar. Dan kini setelah gerbang-gerbang
tertutup, Shasta tahu tidak ada kemungkinan teman-temannya bergabung
dengannya malam ini.

Bisa jadi mereka terkunci di dalam Tashbaan malam ini, pikir Shasta, atau tidak,
mereka telah pergi tanpa diriku. Sepertinya Aravis akan tega melakukan itu. Tapi
Bree tidak. Oh, dia tidak akan melakukan itu--tidak akan, ya kan?

Sekali lagi prasangka Shasta terhadap Aravis tidaklah benar. Aravis memang
angkuh dan bisa bersikap keras, tapi anak perempuan itu setia dan teguh seperti
besi dan tidak akan pernah menelantarkan teman seperjalanan, tidak peduli dia
menyukainya atau tidak.

Kini setelah Shasta menyadari dia harus menghabiskan malam sendirian (setiap
menit suasana menjadi semakin gelap), dia makin tidak menyukai pemandangan di
tempat itu. Ada sesuatu yang meresahkan pada sosok-sosok batu besar yang bisu
itu. Dia telah berusaha sekeras mungkin untuk tidak memikirkan hantu: tapi dia
tidak bisa mencegahnya lebih lama lagi.

"Auw! Auw! Tolong!" tiba-tiba dia berteriak, karena pada saat itu dia merasa
sesuatu menyentuh kakinya.
Kurasa tidak ada orang yang bisa disalahkan karena berteriak kalau sesuatu datang
dari belakang dan menyentuhmu, apalagi di tempat dan waktu seperti itu, ketika
kita sudah merasa takut.

Bagaimanapun Shasta terlalu ketakutan untuk lari. Apa pun lebih baik daripada
dikejar-kejar dan lari berputa-putar di tempat penguburan raja-raja masa lampau
karena sesuatu yang tidak berani dilihatnya. Dia malah melakukan sesuatu yang
memang tindakan paling masuk akal untuk dilakukan. Dia memandang ke
sekeliling, dan hatinya hampir pecah saking leganya. Yang menyentuhnya ternyata
hanya kucing.

Cahaya kini terlalu minim bagi Shasta untuk melihat kucing itu dengan jelas, yang
pasti hewan itu besar dan sangat anggun. Kucing itu tampak mampu hidup
bertahun-tahun yang panjang di antara Makam, sendirian. Matanya membuatmu
berpikir dia tahu rahasia-rahasia yang takkan dibagi pada siapa pun.

"Pus, pus," kata Shasta. "Kurasa kau bukanlah kucing yang bisa berbicara."

Kucing itu menatap Shasta lebih lekat daripada sebelumnya. Kemudian dia mulai
berjalan menjauh, dan tentu saja Shasta mengikutinya. Si kucing menggiringnya
melewati makam-makam dan keluar di padang pasir di samping mereka. Di sana
kucing itu berdiri tegak dengan ekor melingkari kakinya dan wajah menghadap ke
padang pasir, ke arah Narnia dan negeri Utara. Hewan itu bergeming seolah sedang
mengawasi musuh yang akan datang.

Shasta merebahkan tubuh di sampingnya dengan punggung bersandar pada si


kucing dan wajah menghadap Makam, karena kalau kau merasa cemas, tidak ada
pilihan paling baik daripada memasang wajah menghadap bahaya dan
menempatkan sesuatu yang hangar dan kokoh di punggungmu. Pasirnya mungkin
tampak tidak nyaman bagimu, tapi Shasta telah tidur di tanah selama berminggu-
minggu dan nyaris tidak menyadari bedanya. Tak lama kemudian dia terlelap,
walau bahkan di dalam mimpi dia terus bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada
Bree, Aravis, dan Hwin.

Shasta terbangun tiba-tiba karena mendengar suara yang tidak pernah dia dengar
sebelumnya.

"Mungkin hanya mimpi buruk," katanya pada dirinya sendiri. Pada saat yang sama
dia menyadari si kucing telah pergi dari punggungnya, dan dia menyesali ini. Tapi
anak itu tetap berbaring diam tanpa membuka mata karena dia merasa yakin dia
akan merasa lebih takut kalau duduk tegak dan melihat Makam juga
kesendiriannya: seperti kau atau aku yang mungkin akan terbaring diam dengan
selimut menutupi kepala kita. Tapi kemudian suara itu terdengar lagi--teriakan
kasar dan menusuk dari belakangnya di padang pasir. Kemudian tentu saja dia
harus membuka mata dan duduk.

Bulan bersinar terang. Makam--lebih besar dan dekat daripada yang pernah
dibayangkannya--tampak kelabu dalam sinar rembulan. Bahkan makam itu tampak
seperti orang-orang besar yang mengerikan, berjubah abu-abu yang menutupi
kepala dan wajah mereka. Batu-batu itu sama sekali bukan sesuatu yang
kauinginkan berada di dekatmu ketika menghabiskan malam sendirian di tempat
asing. Tapi suara itu datang dari arah yang berlawanan, bukan dari padang pasir.
Shasta terpaksa membalikkan tubuh dan menghadap Makam (dia sangat tidak
menyukai ini) dan memandang ke hamparan pasir yang datar. Teriakan liar itu
terdengar lagi.

Mudah-mudahan itu bukan suara singa lagi, pikir Shasta. Tapi memang suara itu
sama sekali tidak seperti auman singa yang didengarnya di malam mereka bertemu
Hwin dan Aravis, dan sebenarnya itu suara anjing liar. Tapi tentu saja Shasta tidak
mengetahui ini. Bahkan kalaupun dia tahu, dia sama sekali tidak akan ingin
bertemu anjing liar.

Lolongan-lolongan keras itu terdengar lagi dan lagi. Mereka ada lebih dari satu,
apa pun mereka, pikir Shasta. Dan mereka kian mendekat.

Kurasa kalau dia anak yang berakal jernih, dia akan kembali masuk ke antara
makam-makam yang terdekat dengan sungai tempat banyak terdapat rumah,
hewan-hewan liar akan lebih tidak mungkin ke sana. Tapi tentu saja ada (atau
setidaknya dia pikir ada) hantu-hantu. Untuk kembali masuk ke antara makam-
makam akan berarti melewati bukaan-bukaan gelap pada makam, dan apa yang
mungkin bakal keluar dari sana?

Mungkin pemikiran ini konyol, tapi Shasta merasa dia lebih baik mengambil risiko
dengan hewan liar. Kemudian, ketika lolongan itu terdengar kian dekat dan dekat,
dia mulai berubah pikiran.

Dia baru saja akan lari ketika mendadak, di antara dirinya dan padang pasir, hewan
besar muncul dalam jarak pandangannya. Karena bulan berada di belakangnya,
sosok itu tampak agak hitam, dan Shasta tidak tahu sosok apa itu, kecuali dia
berkepala besar, berbulu, juga berkaki empat. Sosok itu tampaknya tidak
menyadari kehadiran Shasta, karena dia mendadak berhenti, menolehkan kepala ke
arah padang pasir dan mengeluarkan auman yang bergema ke seluruh makam dan
seolah mengguncang pasir di bawah kaki Shasta. Lolongan dari makhluk-makhluk
lain langsung berhenti dan Shasta merasa bisa mendengar langkah kaki berlarian
menjauh. Kemudian hewan besar itu berpaling untuk memeriksa Shasta.

Itu singa, aku tahu itu singa, pikir Shasta. Tamatlah riwayatku, kira-kira bakal
sangat menyakitkan, tidak ya? Kalau saja ini cepat berakhir, kira-kira apa yang
terjadi pada orang setelah mereka meninggal? O-o-oh! Dia datang! Shasta pun
memejamkan mata dan mengatupkan geliginya erat-erat.

Tapi bukannya gigi dan cakar, dia hanya merasakan sesuatu yang hangat berbaring
di kakinya. Dan ketika dia membuka mata dia berkata, "Ya ampun, ternyata tidak
sebesar yang kukira! Hanya separuhnya. Tidak, malah hanya seperempatnya. Aku
harus mengakui ternyata singa itu hanyalah si kucing! Mungkin aku hanya
memimpikannya sebesar kuda."

Dan apakah dia benar-benar hanya bermimpi atau tidak, sosok yang kini berbaring
di kakinya, dan menatapnya penuh. ketenangan dengan matanya yang besar, hijau,
dan tak berkedip, adalah si kucing. Walau yang pasti, kucing ini kucing terbesar
yang pernah dilihatnya.

"Oh, pus," Shasta terengah-engah. "Aku benar-benar lega bertemu denganmu lagi.
Aku bermimpi buruk sekali."

Dan dia langsung kembali berbaring, saling memunggungi dengan si kucing seperti
yang mereka telah lakukan di awal malam itu. Kehangatan dari tubuh si kucing
menyebar ke seluruh tubuhnya.

"Aku tidak akan pernah melakukan apa pun yang kejam pada kucing lagi
sepanjang hidupku," kata Shasta, separo pada si kucing dan separo pada dirinya
sendiri. "Aku pernah begitu lho. Aku melemparkan batu-batu pada kucing liar tua
yang kotor. Hei! Hentikan!"

Karena si kucing telah berbalik dan mencakarnya.

"Jangan lakukan itu," kata Shasta. "Toh kau kan tidak mengerti apa perkataanku."

Lalu anak itu tertidur.

Keesokan harinya ketika Shasta terbangun, si kucing telah pergi, matahari sudah
naik, dan pasir terasa panas. Shasta, karena merasa sangat haus, duduk tegak dan
mengusap mata. Padang pasir itu tampak putih membutakan dan, walaupun
terdengar gumaman dari kota di belakangnya, segala di tempat dia duduk sekarang
bergeming sempurna. Ketika dia melihat agak ke kiri dan ke arah barat, sehingga
matahari tidak tepat menyinari matanya, dia bisa melihat pegunungan di ujung jauh
padang pasir, begitu tajam dan jelas seolah pegunungan itu hanyalah satu lemparan
batu jauhnya.

Shasta terutama menyadari sosok tinggi biru yang terbagi menjadi dua puncak di
ujungnya dan memutuskan itu pasti Gunung Pire. Itulah tujuan kami, kalau
menurut perkataan si gagak, pikirnya, jadi aku hanya harus memastikan, supaya
tidak perlu membuang waktu lagi saat yang lain muncul. Jadi dia membuat lubang
yang dalam dan lurus dengan kakinya yang menunjuk tepat ke arah Gunung Pire.

Tugas selanjutnya, jelas, adalah mencari sesuatu untuk dimakan dan diminum.
Shasta berlari kecil kembali ke makam-makam--saat ini batu-batu di sana tampak
biasa dan dia bertanya-tanya kenapa dia bisa takut melihat mereka tadi malam--lalu
turun ke tanah pertanian di dekat tepi sungai. Ada beberapa orang berlalu-lalang
tapi tidak terlalu banyak karena gerbang-gerbang kota telah dibuka sejak beberapa
jam yang lalu dan kerumunan dini hari telah masuk. Shasta pun tidak menemukan
kesulitan saat mengumpulkan "rampasan" (demikian Bree menyebutnya) kecil-
kecilan. Kegiatan ini melibatkan sedikit memanjat dinding taman dan hasilnya
adalah tiga jeruk, sebuah melon, satu atau dua buah ara, dan sebuah delima.

Setelah itu, dia pergi turun ke tepi sungai, tapi tidak terlalu dekat dengan jembatan,
dan minum. Air terasa begitu nyaman sehingga dia melepaskan pakaiannya yang
panas dan kotor, lalu berenang. Tentu saja karena telah tinggal seumur hidupnya di
pantai, Shasta belajar berenang hampir segera setelah dia belajar berjalan. Ketika
akhirnya keluar dari sungai, dia berbaring di rumput menatap ke seberang sungai
tempat Tashbaan berdiri--seluruh keindahan, kekuatan, dan kemuliaannya. Tapi ini
membuatnya teringat pada bahayanya juga. Dia tiba-tiba sadar bahwa mungkin
saja teman-teman seperjalanannya sudah sampai di Makam sementara dia berenang
(dan sepertinya pergi tanpaku, pikirnya), jadi dia buru-buru berpakaian dan berlari
cepat sekali sehingga tubuhnya kembali merasa panas dan haus ketika dia tiba di
sana, kenyamanan mandi tadi pun hilang sudah.

Seperti hari-hari biasa ketika kau sendirian dan menunggu sesuatu, hari ini terasa
seperti seratus jam lamanya. Shasta punya banyak hal yang harus dipikirkan, tentu
saja, tapi duduk sendirian, hanya berpikir, membuat waktu terasa berjalan lambat.
Dia banyak berpikir tentang orang-orang Narnia dan terutama tentang Corin. Dia
bertanya-tanya apa yang telah terjadi ketika mereka mendapati anak yang telah
berbaring di sofa dan mendengar semua rencana rahasia mereka ternyata bukan
Corin. Sangat tidak menyenangkan membayangkan semua orang baik itu
menganggap dirinya pengkhianat.

Tapi ketika matahari perlahan, sangat perlahan, naik ke langit kemudian perlahan,
sangat perlahan, mulai turun ke arah barat, dan tidak seorang pun datang dan tidak
terjadi apa pun, dia mulai merasa cemas. Dan tentu saja kini dia sadar bahwa
ketika mereka sepakat akan saling menunggu di Makam, tidak ada yang
mengatakan apa pun tentang Berapa Lama harus menunggu. Dia tidak bisa
menunggu di sini sepanjang hidupnya! Dan tak lama lagi hari akan kembali gelap,
dan dia akan mengalami malam yang seperti malam lalu. Lusinan rencana yang
berbeda-beda berputar di benaknya, semua rencana itu payah, dan akhirnya dia
memutuskan melaksanakan rencana yang paling payah. Dia memutuskan
menunggu sampai gelap kemudian kembali ke sungai dan mencuri sebanyak
mungkin melon yang bisa dibawanya, lalu pergi ke Gunung Pire sendirian,
memercayakan arah perjalanannya kepada garis yang telah digambarnya tadi pagi
di pasir. Ini ide gila dan kalau dia sudah pernah membaca buku sebanyak dirimu
tentang perjalanan melewati padang pasir, dia bahkan tidak akan memimpikannya.
Tapi Shasta belum pernah membaca buku sama sekali.

Sebelum matahari terbenam sesuatu akhirnya terjadi. Shasta sedang duduk di


bawah bayangan salah satu makam ketika dia mendongak dan melihat dua kuda
datang ke arahnya. Kemudian jantungnya melompat tinggi, karena dia mengenali
dua kuda itu sebagai Bree dan Hwin. Namun detik berikutnya jantungnya kembali
turun ke jari kakinya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Aravis. Kedua kuda itu
digiring pria asing, pria bersenjata yang berpakaian cukup indah, seperti budak
berkedudukan tinggi dalam keluarga kaya. Bree dan Hwin tidak lagi
berpenampilan seperti kuda beban, tapi bersadel dan bertali kekang. Dan apa arti
semua ini? Ini jebakan, pikir Shasta. Seseorang telah menangkap Aravis dan
mungkin mereka sudah menyiksanya sehingga dia membongkar semua rencana.
Mereka ingin aku melompat keluar dari persembunyian, berlari, dan berbicara
kepada Bree sehingga aku pun ikut tertangkap! Tapi kalau tidak melakukan itu,
aku mungkin akan kehilangan satu-satunya kesempatan bergabung lagi dengan
yang lain. Oh, kalau saja aku tahu apa yang telah terjadi. Lalu dia mengendap-
endap di belakang makam, mengawasi setiap menit, dan bertanya-tanya langkah
mana yang paling tidak berbahaya untuk dilakukan.
Bab 7

Aravis di Tashbaan

YANG terjadi sebenarnya ini. Ketika Aravis melihat Shasta dibawa pergi dengan
cepat oleh orang-orang Narnia dan mendapati dirinya tinggal bersama dua kuda
yang (dengan sangat bijaksananya) tidak mau mengeluarkan sepatah kata pun, tak
sedetik pun dia panik. Dia langsung mencengkeram tali kekang Bree dan berdiri
bergeming, sambil memegangi kedua kuda itu, dan walaupun jantungnya
berdentum keras seperti pukulan palu, dia tidak menunjukkannya. Segera setelah
para bangsawan Narnia lewat, dia berusaha bergerak lagi. Tapi sebelum dia
melangkah, pemberi pengumuman lain (Orang-orang ini menyebalkan sekali, pikir
Aravis) terdengar berteriak, "Minggir, minggir, minggir! Minggir untuk Tarkheena
Lasaraleen!" dan tak lama kemudian, mengikuti si pemberi pengumuman, datang
empat budak bersenjata kemudian empat pemanggul membawa tandu yang
dipenuhi tirai sutra yang berkibaran, bersuara gemerencing karena dihiasi bel-bel
perak, dan mengharumkan seluruh jalan dengan wangi parfum dan bunga. Di
belakang tandu, berbaris budak-budak wanita dengan pakaian indah, kemudian
beberapa pelayan pria, pembawa pesan, calon kesatria, dan semacamnya. Dan kini
Aravis melakukan kesalahan pertamanya.

Dia mengenal Lasaraleen cukup baik--hampir seolah mereka bersekolah bersama--


karena mereka sering kali tinggal di rumah yang sama dan menghadiri pesta yang
sama. Dan Aravis tidak bisa mencegah dirinya mendongak untuk melihat
bagaimana penampilan Lasaraleen yang sekarang sudah menikah dan memang
orang yang sangat baik.

Akibatnya fatal. Mata kedua gadis itu bertemu. Dan Lasaraleen langsung duduk
tegak dalam tandunya dan berteriak sekeras yang dia bisa.

"Aravis! Apa yang kaulakukan di sini? Ayah--mu--"

Tidak ada waktu yang boleh terbuang. Tanpa membuang waktu barang sedetik
pun, Aravis melepaskan kedua kuda tersebut, menangkap ujung tandu,
mengayunkan badan ke atas tandu, mendarat di samping Lasaraleen, dan berbisik
marah ke telinganya.

"Diam! Dengar kataku? Diam. Kau harus menyembunyikanku. Beritahu orang-


orangmu--"

"Tapi, Sayang--" Lasaraleen memulai, juga dengan suara yang sama kerasnya. (Dia
sama sekali tidak keberatan orang-orang menatapnya, bahkan sebenarnya dia agak
menyukai ini. )

"Lakukan yang kuminta atau aku tidak akan pernah mau bicara padamu lagi," desis
Aravis. "Tolonglah, aku mohon cepatlah sedikit, Las. Ini penting sekali.
Perintahkan orang-orangmu untuk membawa serta dua kuda itu. Tutup tirai tandu
dan pergilah ke suatu tempat aku tidak bisa ditemukan. Dan kumohon cepatlah."

"Baiklah, Sayang," kata Lasaraleen dengan suara malasnya. "Nah. Kalian berdua
bawa kuda Tarkheena." (Dia bicara pada budak-budaknya.) "Dan sekarang, pulang.
Sungguh, Sayang, kau benar-benar berpikir kita harus menutup tirai di hari seperti
ini? Maksudku--"

Tapi Aravis sudah menarik tirai, menutupi Lasaraleen dan dirinya sendiri dalam
sejenis tenda yang mewah dan diberi wewangian. Kini tenda itu terasa agak sesak.

"Aku tidak boleh terlihat," kata Aravis. "Ayahku tidak tahu aku ada di sini. Aku
kabur dari rumah."

"Sayangku, menegangkan sekali," kata Lasaraleen. "Aku ingin sekali mendengar


semua detailnya. Sayang, kau menduduki gaunku. Kau keberatan? Begitu lebih
baik. Gaun ini baru. Kau menyukainya? Aku membelinya di--"

"Oh, Las, seriuslah sedikit," kata Aravis. "Di mana ayahku?"

"Kau tidak tahu?" tanya Lasaraleen. "Dia ada di sini, tentu saja. Dia datang ke kota
kemarin dan menanyakan keberadaanmu ke mana-mana. Dan bayangkan, kau dan
aku sekarang ada di sini bersama-sama, tapi dia sama sekali tidak tahu! Ini hal
terlucu yang pernah kudengar." Dan dia terkikik. Lasaraleen memang sering
keterlaluan bila terkikik, Aravis baru mengingatnya sekarang.

"Ini sama sekali tidak lucu," katanya. "Ini benar-benar serius. Di mana kau bisa
menyembunyikanku?"
"Sama sekali tidak ada kesulitan untuk soal itu, temanku tersayang," kata
Lasaraleen. "Aku akan membawamu pulang. Suamiku sedang pergi dan tidak akan
ada yang melihatmu. Fiuh! Tidak terlalu menyenangkan dengan tirai tertutup
begini. Aku ingin melihat orang-orang. Tidak ada gunanya punya gaun baru kalau
pergi dengan tertutup seperti ini."

"Mudah-mudahan tidak ada yang mendengarmu saat kau berteriak seperti itu
kepadaku tadi," kata Aravis.

"Tidak, tidak, tentu saja, Sayang," kata Lasaraleen tanpa terlalu peduli. "Tapi kau
belum memberitahuku bagaimana pendapatmu tentang gaun ini."

"Satu lagi," kata Aravis. "Kau harus menyuruh orang-orangmu untuk


memperlakukan kedua kuda itu penuh hormat. Itu bagian dari rahasianya. Mereka
sebenarnya Kuda yang Bisa Berbicara dari Narnia."

"Hebat!" kata Lasaraleen. "Menarik sekali! Dan oh, Sayang, apakah kau sudah
melihat ratu barbar dari Narnia itu? Saat ini dia sedang berada di Tashbaan.
Mereka bilang Pangeran Rabadash benar-benar jatuh cinta kepadanya. Dua minggu
terakhir ini begitu banyak pesta, perburuan, dan berbagai hal menakjubkan
diadakan. Aku sendiri tidak berpendapat dia cantik luar biasa. Tapi beberapa pria
Narnia itu memang tampan. Aku diajak menghadiri pesta sungai dua hari yang
lalu, dan aku mengenakan--"

"Bagaimana cara kita mencegah orang-orangmu menyebarkan berita bahwa kau


kedatangan tamu--berpakaian seperti anak pengemis--di rumahmu? Berita seperti
itu bisa dengan mudah sampai di telinga ayahku."

"Sudahlah, jangan meributkannya lagi, pemecahannya mudah saja," kata


Lasaraleen. "Kita akan menyiapkan pakaian pantas untukmu sebentar lagi. Dan
sekarang kita sudah sampai!"

Para pemanggul tandu berhenti dan tandu diturunkan. Ketika tirai dibuka Aravis
mendapati dirinya berada di halaman taman yang sangat mirip dengan taman
tempat Shasta dibawa beberapa menit sebelumnya di bagian lain kota itu.
Lasaraleen berniat langsung masuk ke rumah, tapi Aravis mengingatkannya
dengan bisikan panik untuk mengatakan sesuatu pada para budaknya tentang tidak
memberitahu siapa pun bahwa nyonya mereka kedatangan tamu aneh.

"Maaf, Sayang, aku sama sekali lupa," kata Lasaraleen. "Nah. Kalian semua. Dan
kau, penjaga pintu. Tidak seorang pun diperkenankan meninggalkan rumah hari
ini. Dan siapa pun yang kutangkap berbicara tentang perempuan muda ini akan jadi
yang pertama dipukuli hingga payah, dibakar hidup-hidup, dan setelah itu akan
dikurung dengan hanya roti dan air selama enam minggu. Mengerti?"

Walaupun berkata dia ingin sekali mendengar kisah Aravis, Lasaraleen sama sekali
tidak menunjukkan tanda benar-benar ingin mendengarnya. Sesungguhnya dia
memang lebih pintar berbicara daripada mendengarkan. Dia bersikeras supaya
Aravis menikmati mandi lama dan mewah (mandi Calormen sangat terkenal)
kemudian mendandaninya sebelum dia membiarkan Aravis menjelaskan apa pun.
Kehebohan yang dia timbulkan ketika memilih gaun hampir membuat Aravis gila.
Kini dia ingat Lasaraleen memang sejak dulu seperti itu, tertarik pada pakaian,
pesta, dan gosip. Aravis selalu lebih tertarik pada busur, panah, kuda, anjing, dan
berenang. Kau bisa menebak masing-masing berpikir orang yang lain konyol. Tapi
ketika akhirnya mereka berdua duduk setelah makan (santapan yang kebanyakan
terdiri atas krim kocok, jeli, buah, dan sejenis es) dalam ruang indah berpilar (yang
akan lebih disukai Aravis kalau saja monyet piaraan Lasaraleen yang manja tidak
memanjatinya sepanjang waktu), Lasaraleen akhirnya bertanya kepadanya kenapa
dia melarikan diri dari rumah.

Ketika Aravis selesai menceritakan kisahnya, Lasaraleen berkata, "Tapi, Sayang,


kenapa kau tidak mau menikah dengan Ahoshta Tarkaan? Semua orang sangat
menyukainya. Suamiku bilang dia mulai menjadi salah satu pria terhebat di
Calormen. Dia baru saja diangkat menjadi Penasihat Agung karena Axartha tua itu
sudah meninggal dunia. Tidakkah kau tahu itu?"

"Aku tidak peduli. Aku tidak tahan melihat tampangnya," kata Aravis.

"Tapi, Sayang, pikirlah dulu! Tiga istana, dan salah satunya istana yang indah di
danau di Ilkeen. Kudengar, sudah pasti ada bertali-tali mutiara. Mandi susu
keledai. Dan kau akan bisa sering bertemu denganku."

"Sejauh yang kupedulikan, dia boleh menyimpan sendiri mutiara dan istananya,"
kata Aravis.

"Sejak dulu kau memang gadis yang aneh, Aravis," kata Lasaraleen. "Apa lagi
yang kauinginkan?"

Namun akhirnya, Aravis berhasil meyakinkan temannya bahwa dia jujur dengan
ceritanya, dan bahkan mendiskusikan rencana-rencana bersamanya. Kini tidak
akan ada kesulitan membawa dua kuda keluar gerbang Utara kemudian menuju
Makam. Tidak akan ada yang menghentikan atau bertanya kepada bujang
berpakaian indah yang membimbing kuda perang dan kuda tunggangan wanita
bangsawan menyusuri singai, dan Lasaraleen punya banyak bujang yang bisa
diutus. Tapi tidaklah terlalu mudah memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap
Aravis sendiri. Aravis mengusulkan bagaimana kalau dia dibawa ke luar dalam
tandu yang tirainya ditutup. Tapi Lasaraleen memberitahunya tandu hanya
digunakan di dalam kota dan kalau ada yang melihatnya keluar gerbang, hal ini
justru akan membangkitkan pertanyaan-pertanyaan.

Ketika mereka telah berbicara lama sekali--dan pembicaraan semakin panjang


karena sulit bagi Aravis untuk menjaga temannya tidak keluar dari topik utama--
akhirnya Lasaraleen bertepuk tangan dan berkata, "Oh, aku punya ide. Ada satu
cara supaya kau bisa keluar dari kota tanpa menggunakan gerbang. Taman Tisroc
(semoga dia selamanya kekal!) terbentang hingga menyentuh air sungai dan ada
pintu air kecil di sana. Hanya bagi orang-orang istana, tentu saja--tapi kau kan
tahu, Sayang," (di sini dia terkikik sedikit) "kami bisa dibilang memang hampir
orang-orang istana. Menurutku, kau beruntung bertemu denganku. Tisroc yang
tersayang (semoga dia selamanya kekal!) begitu baik. Kami selalu diundang ke
istana hampir setiap hari dan rasanya istana sudah menjadi rumah kedua kami. Aku
suka sekali semua pangeran dan putri tersayang itu dan aku sangat mengagumi
Pangeran Rabadash. Aku bisa saja bertemu wanita istana mana pun pada jam
berapa pun siang ataupun malam. Kenapa aku tidak menyelinap masuk
bersamamu, setelah hari gelap, dan membantumu keluar lewat pintu air? Selalu ada
beberapa rakit dan sejenisnya diikat di luarnya. Dan kalaupun kita tertangkap--"

"Semuanya akan hancur berantakan," kata Aravis.

"Oh, Sayang, jangan berlebihan begitu," kata Lasaraleen. "Aku berniat berkata,
kalaupun kita tertangkap semua orang hanya akan mengomentarinya sebagai salah
satu lelucon gilaku. Aku mulai cukup terkenal karena itu. Bahkan baru kemarin--
coba dengarkan, Sayang, ini lucu sekali--"

"Maksudku, semuanya bakal hancur berantakan untukku," kata Aravis agak tajam.

"Oh--ah--ya--aku mengerti maksudmu, Sayang. Yah, bisakah kau memikirkan


rencana yang lebih baik?"

Aravis tidak punya ide lain, dia pun berkata, "Tidak. Kita harus mengambil risiko.
Kapan kita bisa mulai?"

"Oh, tidak malam ini," kata Lasaraleen. "Tentu saja tidak malam ini. Ada pesta
besar diadakan malam ini (aku harus mulai menata rambutku untuk acara itu
beberapa menit lagi) dan seluruh tempat itu bakal bersimbahkan cahaya. Akan
penuh orang pula! Rencana ini harus dilakukan besok malam."

Ini berita buruk bagi Aravis, tapi dia tetap harus memanfaatkannya sebaik-baiknya.
Sore itu berlalu lambat sekali dan Aravis merasa lega ketika Lasaraleen akhirnya
pergi menghadiri pesta, karena dia mulai merasa lelah mendengarkan kikikan dan
percakapan tentang gaun dan pesta, pernikahan dan pertunangan, serta skandal. Dia
tidur lebih awal dan dia benar-benar menikmati bagian ini: nyaman sekali tidur di
atas bantal dan seprai lagi.

Tapi hari berikutnya berlalu sangat lambat. Lasaraleen ingin membahas kembali
semua rencana dan terus-menerus memberitahu Aravis bahwa Narnia adalah negeri
dengan salju dan es abadi yang ditinggali iblis dan penyihir, juga menyebut Aravis
gila karena berniat pergi ke sana.

"Bersama anak petani pula!" kata Lasaraleen. "Sayang, pikirkan itu! Sama sekali
tidak pantas."

Sebenarnya Aravis juga telah sering memikirkan soal itu, tapi kini dia begitu capek
dengan kekonyolan Lasaraleen sehingga, untuk pertama kalinya, dia mulai berpikir
melakukan perjalanan bersama Shasta sebenarnya lebih menyenangkan daripada
kehidupan mewah Tashbaan. Jadi dia hanya menjawab, "Kau lupa aku juga akan
menjadi rakyat biasa, seperti dirinya, kalau kami sudah sampai di Narnia. Lagi
pula, aku sudah berjanji."

"Padahal bayangkan," kata Lasaraleen, hampir menangis, "kalau saja kau punya
akal sehat untuk menjadi istri Penasihat Agung!"

Aravis pun pergi untuk berbicara secara pribadi dengan kedua kuda.

"Kalian harus pergi bersama bujang sedikit awal sebelum matahari terbenam
menuju Makam," katanya. "Jangan gunakan karung-karung itu lagi. Kalian harus
memakai sadel dan tali kekang kulit lagi. Tapi harus ada makanan dalam kantong
sadel Hwin dan kantong air kulit yang penuh di belakang sadelmu, Bree. Orang itu
akan diperintahkan supaya kalian menikmati minum yang lama dan banyak di sisi
jauh jembatan."

"Kemudian, Narnia dan negeri Utara!" bisik Bree. "Tapi bagaimana kalau Shasta
tidak ada di Makam?"
"Kita akan rnenunggunya, tentu saja," kata Aravis. "Aku harap kalian merasa
cukup nyaman."

"Tidak pernah dirawat senyaman ini sepanjang hidupku," ucap Bree. "Tapi jika
suami teman Tarkheena-mu yang suka terkikik itu membayar kepala bujangnya
untuk mendapatkan gandum terbaik, kurasa kepala bujang itu selama ini telah
menipunya."

Aravis dan Lasaraleen makan malam di ruang berpilar.

Sekitar dua jam kemudian mereka siap memulai rencana. Aravis mengenakan
pakaian yang membuatnya berpenampilan seperti gadis budak berkedudukan tinggi
milik keluarga kaya dan mengenakan cadar di wajahnya. Mereka telah sepakat jika
ada pertanyaan yang diajukan, Lasaraleen akan berpura-pura Aravis adalah budak
yang dia bawa sebagai hadiah kepada salah satu putri.

Kedua gadis itu pergi berjalan kaki. Hanya dalam beberapa menit mereka tiba di
gerbang istana. Di sini tentu saja ada prajurit yang berjaga, tapi pemimpin para
prajurit itu cukup mengenal Lasaraleen dan memerintahkan anak buahnya bersiap
dan memberi hormat. Mereka langsung melewati gerbang menuju Aula Mariner
Hitam. Sejumlah besar pengirim pesan, budak, dan lain-lain masih berlalu-lalang
di sini, tapi ini hanya membuat kedua gadis itu tidak kentara. Mereka melanjutkan
perjalanan menuju Aula Pilar kemudian ke Aula Patung dan menyusuri tiang-tiang
koridor, melewati pintu-pintu besar tembaga tempa ruang singgasana. Semua
ruangan itu begitu menakjubkan sehingga tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata,
setidaknya semua yang bisa mereka lihat dalam penerangan temaram.

Akhirnya mereka keluar ke halaman yang menurun berundak-undak. Di sisi jauh


halaman itu mereka tiba di Istana Tua. Hari sudah menggelap dan mereka
mendapati diri mereka dalam labirin koridor yang hanya diterangi beberapa obor
yang dipasang pada penyangga di dinding. Lasaraleen berhenti pada suatu
persimpangan.

"Terus jalan, ayolah teruskan," bisik Aravis, yang jantungnya sedang berdentum
tak keruan dan masih merasa ayahnya bisa menangkap basah mereka di setiap
sudut.

"Aku sedang berpikir...," kata Lasaraleen. "Aku tidak benar-benar yakin arah mana
yang harus ditempuh dari sini. Kurasa kita harus ke kiri. Ya, aku hampir yakin kita
seharusnya ke kiri. Ini menegangkan sekali!"
Mereka berbelok ke kiri dan mendapati diri mereka pada jalan sempit yang nyaris
sama sekali tidak diberi penerangan dan tak lama kemudian menjadi anak tangga
yang menurun.

"Tak apa-apa," kata Lasaraleen. "Aku yakin kita mengambil jalan yang benar. Aku
ingat tangga-tangga ini."

Tapi pada saat itu cahaya yang bergerak muncul di depan mereka. Sedetik
kemudian muncul dari balik sudut di kejauhan, sosok gelap dua pria berjalan
mundur dan membawa lilin-lilin panjang. Dan tentu saja hanya karena sedang
berada di depan bangsawanlah orang berjalan mundur. Aravis merasakan
lengannya dicengkeram Lasaraleen--cengkeraman tiba-tiba yang hampir mencubit
dan berarti orang yang mencengkerammu sedang merasa amat takut. Aravis
berpikir aneh sekali Lasaraleen bisa merasa takut pada Tisroc kalau dia benar-
benar teman baiknya, tapi tidak ada waktu untuk terus berpikir. Lasaraleen buru-
buru menariknya kembali menaiki tangga, berjingkat, dan meraba-raba panik di
sepanjang dinding.

"Ini dia pintunya," bisik Lasaraleen. "Cepat."

Mereka masuk, menutup pintu dengan sangat lembut di belakang mereka, dan
mendapati diri mereka berada dalam ruangan yang gelap gulita. Aravis bisa
menebak dari tarikan napas Lasaraleen bahwa temannya ini ketakutan luar biasa.

"Semoga Tash melindungi kita!" bisik Lasaraleen. "Apa yang harus kita lakukan
kalau dia masuk ke sini? Bisakah kita bersembunyi?"

Ada karpet lembut di kaki mereka. Mereka meraba-raba ke dalam ruangan dan
menabrak sofa.

"Ayo berbaring di belakangnya," bisik Lasaraleen. "Oh, kalau saja kita tidak
pernah datang ke sini."

Ada celah di antara sofa dengan dinding bertirai dan kedua gadis itu pun
merunduk. Lasaraleen berhasil mendapatkan tempat yang lebih baik dan tubuhnya
tertutup sempurna. Bagian atas wajah Aravis terjulur keluar melewati tubuh sofa,
jadi kalau ada orang yang datang ke ruangan itu dengan membawa penerangan dan
kebetulan melihat ke tempat yang tepat, mereka bakal bisa melihatnya. Tapi tentu
saja, karena dia mengenakan cadar, yang mereka lihat tidak akan langsung
kelihatan seperti dahi dan sepasang mata. Aravis mendorong putus asa, berusaha
memaksa Lasaraleen supaya memberinya sedikit ruang bersembunyi. Tapi
Lasaraleen, kini cukup egois karena panik, balas mendorong dan mencubit
kakinya. Mereka menyerah dan berbaring diam, agak terengah-engah. Napas
mereka sendiri sepertinya sangat berisik, tapi tidak ada suara lain.

"Apakah situasi aman?" tanya Aravis akhirnya dalam bisikan yang sepelan
mungkin.

"Ku-ku-kurasa begitu," Lasaraleen memulai. "Tapi sarafku yang malang--"


kemudian terdengarlah suara paling mengerikan yang bisa mereka dengar pada
saat itu: suara pintu dibuka. Kemudian datanglah cahaya. Dan karena Aravis tidak
bisa menyembunyikan kepalanya lebih dalam lagi ke belakang sofa, dia melihat
seluruh kejadiannya.

Pertama masuklah dua budak (tuli dan bodoh, seperti tebakan Aravis yang
memang tepat, karena itu mereka digunakan dalam pertemuan-pertemuan paling
rahasia) berjalan mundur dan membawa lilin-lilin. Mereka mengambil posisi
berdiri pada masing-masing sisi sofa. Ini hal yang bagus, karena begitu salah satu
budak itu berdiri di depannya, kini tentu saja sulit bagi siapa pun untuk melihat
Aravis sementara dia bisa melihat di antara mata kaki budak tersebut. Kemudian
masuklah pria tua, sangat gemuk, mengenakan topi lancip menarik yang langsung
membuat Aravis tahu dialah sang Tisroc. Perhiasan paling kecil yang dia kenakan
harganya lebih mahal daripada semua pakaian dan senjata para bangsawan Narnia
bila digabungkan: tapi dia begitu gemuk dan begitu dipenuhi renda, lipitan, bola
wol, kancing, tali, dan cincin bertuah sehingga Aravis tidak bisa mencegah dirinya
berpikir gaya berpakaian orang Narnia (dalam tingkat apa pun bagi pria) tampak
lebih bagus. Setelah sang Tisroc, masuklah pria muda tinggi yang mengenakan
turban berbulu dan berhiaskan batu mulia di kepalanya, di sisi tubuhnya tampak
badik bersarung gading. Dia tampak sangat bersemangat dan mata juga geliginya
berkilau tajam dalam cahaya lilin. Terakhir muncul pria tua yang tubuhnya tampak
mengerut dan agak bungkuk yang dia kenali, sambil merasa gemetar, sebagai
Penasihat Agung baru dan calon suaminya, Ahoshta Tarkaan sendiri.

Tak lama setelah ketiga pria itu masuk ke ruangan dan pintu ditutup, sang Tisroc
duduk di dipan sambil mengembuskan napas puas, pria yang muda mengambil
posisi berdiri di hadapannya, sementara Penasihat Agung duduk berlutut,
merendahkan siku, kemudian menempelkan wajahnya rata ke karpet.
Bab 8

Dalam Rumah Tisroc

"OH-ayahku-dan-oh-pemandangan-indah bagi-penglihatanku," mulai si pria muda,


menggumamkan kata-kata dengan sangat cepat dan manis, meski sama sekali tidak
terdengar benar bahwa sang Tisroc memang pemandangan indah bagi matanya.
"Semoga kau selamanya kekal, tapi kau telah benar-benar menghancurkanku.
Kalau saja kau memberiku kapal tercepat pada saat fajar ketika aku pertama kali
melihat kapal para barbar terkutuk itu hilang dari tempatnya berlabuh, mungkin
aku akan bisa mengejar mereka. Tapi kau membujukku untuk terlebih dahulu
mengirim prajurit dan memeriksa apakah mereka sekadar bergerak ke pelabuhan
lain untuk mencari lokasi yang lebih baik. Dan sekarang satu hari telah terbuang
percuma. Dan mereka sudah lenyap--lenyap--keluar dari jangkauanku! Giok
penipu itu, si--" dan saat ini dia menambahkan beberapa gambaran lain tentang
Ratu Susan yang sama sekali tidak akan tampak bagus bila dituliskan. Karena tentu
saja pemuda ini adalah Pangeran Rabadash dan tentu saja giok penipu itu Susan
dari Narnia.

"Kendalikan dirimu, O putraku," kata sang Tisroc. "Karena kepergian para tamu
membuat luka yang dengan mudah disembuhkan dalam hati tuan rumah yang
bijaksana."

"Tapi aku menginginkannya," teriak si pangeran. "Aku harus mendapatkannya.


Aku akan mati bila tidak mendapatkannya--walaupun dia putri bangsa rendah yang
penipu, sombong, dan berhati hitam! Aku tidak bisa tidur, makananku terasa
hambar, dan mataku gelap karena kecantikannya. Aku harus mendapatkan ratu
barbar itu."

"Betapa tepatnya penggambaran yang dilakukan seorang pujangga berbakat,"


komentar sang penasihat, mendongakkan wajah (dalam keadaan sedikit berdebu)
dari karpet, "bahwa beberapa tegukan besar dari air mancur akal sehat sangat
dibutuhkan untuk memadamkan api cinta orang muda."
Komentar ini tampaknya membuat si pangeran kesal. "Bangsat," teriaknya,
mengarahkan beberapa tendangan yang tepat sasaran pada bokong sang penasihat.
"Beraninya kau mengutip ucapan pujangga itu padaku. Aku sudah mendengar
berbagai wejangan dan kalimat bijak yang membuatku muak sepanjang hari dan
aku tidak lagi bisa bersabar menghadapi ini semua."

Dengan menyesal, aku memberitahu kalian Aravis sama sekali tidak merasa
kasihan pada sang penasihat.

Sang Tisroc tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri, tapi ketika, setelah
terdiam lama, dia menyadari apa yang sedang terjadi, dia berkata tenang: "Anakku,
berhentilah menendangi Penasihat yang terhormat dan punya pikiran terbuka itu:
karena batu mulia tetaplah berharga walaupun disembunyikan dalam bukit kotoran,
jadi usia tua dan pengalaman harus tetap dihormati walaupun adanya pada orang-
orang rendahan yang adalah rakyat kita. Hentikan ini, dan beritahu kami apakah
keinginan dan saranmu."

"Aku ingin dan menyarankan, O ayahku," kata Rabadash, "kau segera


mengerahkan pasukanmu yang tak terkalahkan, menyerbu tanah Narnia yang
terkutuk itu, lalu menghancurkan negeri tersebut dalam api, pedang, dan
merengkuhnya ke dalam kekaisaranmu yang tidak terbatas, membunuh Raja
Agung mereka dan semua yang berhubungan darah dengannya kecuali Ratu Susan.
Karena aku harus mendapatkannya sebagai istriku, meski tentu sebelumnya dia
harus mendapat pelajaran yang berat."

"Mengertilah, O putraku," kata sang Tisroc, "bahwa tidak ada kata apa pun yang
bisa kauucapkan yang bisa membuatku memulai perang melawan Narnia."

"Kalau kau bukan ayahku, O Tisroc yang hidupnya abadi," kata si pangeran,
menggemeretakkan geligi, "aku akan berkata itu kata-kata seorang pengecut."

"Dan kalau kau bukan anakku, O Rabadash yang emosinya mudah terbakar,"
jawab sang ayah, "hidupmu akan singkat dan kematiamnu akan lambat datang
ketika kau mengatakannya." (Suara dingin dan tanpa emosi yang digunakannya
untuk mengucapkan kata-kata ini membuat darah Aravis membeku.)

"Tapi kenapa, O ayahku," tanya si pangeran--kali ini dengan suara yang lebih
penuh hormat, "kenapa kita harus berpikir dua kali untuk menghukum Narnia,
bukankah ini sama saja seperti menggantung budak tak berguna atau mengirimkan
kuda tua yang lelah untuk dijadikan makanan anjing? Besar negeri itu bahkan
tidaklah seperempat salah satu provinsi kecilmu. Seribu tombak akan bisa
menaklukkannya dalam lima minggu. Mereka bagaikan noda kecil menyebalkan
pada baju bagi kerajaanmu."

"Tak diragukan lagi," kata sang Tisroc. "Negeri-negeri barbar kecil ini yang
menyebut diri mereka bebas (yang sebenarnya lebih tepat dikatakan tak mau
bekerja sama, tak punya aturan, dan tidak menguntungkan) membenci para dewa
dan semua orang yang memiliki akal sehat."

"Kalau begitu kenapa kita lama membiarkan negeri seperti Narnia tidak
menyerah?"

"Ketahuilah, O pangeran yang penuh ide," kata Penasihat Agung, "bahwa sampai
di tahun ketika ayah Pangeran yang mulia memulai kekuasaannya yang agung dan
abadi, tanah Narnia diselimuti es dan salju, terlebih lagi dikuasai penyihir
perempuan yang sangat kuat."

"Aku tahu benar soal itu, O penasihat yang banyak bicara," ucap si pangeran. "Tapi
aku juga tahu si penyihir perempuan itu telah mati. Dan es juga salju telah lenyap,
sehingga kini Narnia sehat, subur, dan lezat."

"Dan perubahan ini, O pangeran yang sangat terpelajar, tidak diragukan lagi datang
karena mantra sihir luar biasa orang-orang licik yang kini menyebut diri mereka
Raja dan Ratu Narnia."

"Aku lebih setuju pada pendapat," kata Rabadash, "bahwa itu terjadi karena
perubahan posisi bintang dan sebab-sebab alami."

"Semua ini," kata sang Tisroc, "adalah pertanyaan yang harus diperdebatkan para
orang pandai. Aku tidak akan memercayai perubahan yang begitu besar, dan
pembunuhan si penyihir tua, akan terjadi tanpa bantuan sihir yang kuat. Dan hal-
hal seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh di tanah itu, karena sebagian besar
penghuninya adalah para iblis dalam bentuk hewan liar yang berbicara seperti
manusia, dan para monster yang tubuhnya setengah manusia dan setengah hewan.
Sering kali dilaporkan Raja Agung Narnia (yang kedudukannya mungkin sama
sekali ditentang para dewa) didukung iblis yang memiliki sosok mengerikan dan
kekejaman tak tertahankan yang berpenampilan seperti singa. Karena itulah
penyerangan terhadap Narnia adalah usaha yang hasilnya tampak tidak cerah dan
meragukan, dan aku memutuskan tidak menjulurkan tangan lebih jauh daripada
yang bisa kutarik kembali."
"Betapa Calormen diberkati," kata sang penasihat, menunjukkan wajahnya lagi,
"karena penguasanya diberkahi para dewa dengan kewaspadaan dan pertimbangan
bijak! Namun seperti yang telah diucapkan sang Tisroc yang tak terbantahkan dan
bijaksana, adalah sangat menyesakkan menahan tangan kita dari santapan yang
begitu menggoda seperti Narnia. Seorang pujangga berbakat pernah berkata--" tapi
pada saat ini Ahoshta melihat gerakan tidak sabar pada jari kaki si pangeran
sehingga dia mendadak terdiam.

"Memang sangat menyedihkan," kata sang Tisroc dengan suaranya yang dalam dan
pelan. "Setiap pagi matahari tampak gelap di mataku, dan setiap malam tidurku
tidak sepenuhnya menyegarkan karena aku teringat Narnia masih bebas."

"O ayahku," kata Rabadash. "Bagaimana jika aku menunjukkan padamu cara agar
kau bisa menjulurkan tangan untuk menangkap Narnia dan menariknya kembali
tanpa terluka, jika usaha itu ternyata terbukti tidak memberi kita keuntungan?"

"Kalau kau bisa memberitahuku itu, O Rabadash," kata sang Tisroc, "kau akan
menjadi putra terbaikku."

"Dengarlah kalau begitu, O Ayah. Malam ini juga dan pada jam ini juga aku akan
memimpin tidak kurang dari dua ratus kuda dan melintasi padang pasir. Dan akan
tampak bagi semua orang, kau sama sekali tidak mengetahui kepergianku ini. Pada
pagi kedua aku akan berada di depan gerbang istana Raja Lune dari Anvard di
Archenland. Mereka dalam keadaan damai dengan kerajaan kita, karena itu tidak
akan menduga serangan, dan aku akan menguasai Anvard sebelum mereka
menyadarinya. Lalu aku akan berkuda melewati jalan perbukitan di atas Anvard
dan terus menyusuri Narnia menuju Cair Paravel. Raja Agung tidak akan berada di
sana, ketika aku meninggalkan mereka dia sedang mempersiapkan penyerbuan
terhadap kaum raksasa di perbatasan Utara-nya. Aku akan tiba di Cair Paravel,
kemungkinan besar dengan gerbang terbuka, dan memasukinya. Aku akan
bertindak hati-hati, penuh kemurahan hati, dan sebisanya menumpahkan sedikit
mungkin darah Narnia. Setelah itu bukankah tindakan yang tersisa hanya tinggal
duduk menunggu Splendour Hyaline berlabuh, dengan Ratu Susan di atasnya,
menangkap burung terbangku ketika dia menginjakkan kaki di daratan,
menaikkannya ke sadel kuda, kemudian berkuda, berkuda, dan berkuda kembali ke
Anvard?"

"Tapi bukankah ada kemungkinan, O putraku," kata sang Tisroc, "dalam usaha
merebut perempuan itu, Raja Edmund atau dirimu akan kehilangan nyawa?"
"Akan ada pasukan kecil bersamaku," kata Rabadash, "dan aku akan memerintah
sepuluh di antara anak buahku untuk merebut senjatanya dan mengikatnya:
menahan keinginan liarku akan darahnya sehingga tidak akan ada alasan
mematikan untuk memulai perang antara dirimu dan Raja Agung."

"Dan bagaimana kalau Splendour Hyaline sudah tiba di Cair Paravel lebih dahulu
daripada dirimu?"

"Aku tidak yakin akan itu dengan angin ini, O ayahku."

"Dan terakhir, O putraku yang penuh ide," kata sang Tisroc, "kau telah
menjelaskan bagaimana semua rencana ini akan bisa memberimu perempuan
barbar itu, tapi belum menerangkan bagaimana saranmu bisa membantuku merebut
takhta Narnia."

"O ayahku, apakah telah luput dari perhatianmu bahwa walaupun aku dan para
penunggang kudaku hanya akan datang dan melintasi Narnia seperti anak panah
dari busurnya, namun kami sekaligus akan menguasai Anvard selamanya? Dan
ketika kau memiliki Anvard kau akan duduk tepat di depan gerbang Narnia, dan
pasukanmu di Anvard bisa diperkuat sedikit demi sedikit sampai menjadi kekuatan
yang tak terkalahkan."

"Semua telah kauucapkan dengan pengertian dan pandangan akan masa depan.
Tapi bagaimana aku bisa menarik kembali tanganku ketika semua itu gagal?"

"Kau akan berkata aku melakukannya tanpa sepengetahuanmu, tanpa


persetujuanmu, dan tanpa restumu, merasa malu karena cintaku yang brutal dan
darah mudaku yang mudah menggelegak."

"Dan bagaimana kalau Raja Agung kemudian menuntut kita mengirimkan kembali
perempuan barbar itu, adiknya itu?"

"O ayahku, yakinlah dia tidak akan melakukan itu. Sebab walaupun karena sikap
manja, wanita itu menolak pernikahan ini, Raja Agung Peter adalah pria dengan
pertimbangan dan pengertian yang sudah pasti tidak akan rela kehilangan
kehormatan tinggi dan keuntungan dari membangun persekutuan dengan kerajaan
kita, juga ingin melihat keponakan serta cucu keponakannya memiliki kedudukan
dalam takhta Calormen."
"Dia tidak akan melihat itu bila aku hidup selamanya seperti yang tanpa diragukan
kauinginkan," kata sang Tisroc dengan suara yang jauh lebih kering daripada
biasanya.

"Lalu juga, O ayahku dan O pemandangan indah bagi penglihatanku," kata si


pangeran, setelah beberapa saat dalam keheningan canggung, "kita akan menulis
surat-surat seolah dan sang ratu yang mengatakan dia mencintaiku dan tidak
berkeinginan kembali ke Narnia. Karena sudah sangat diketahui perempuan selalu
berubah-ubah seperti penunjuk cuaca. Dan bahkan kalau mereka tidak sepenuhnya
memercayai surat-surat itu, mereka tidak akan kembali datang ke Tashbaan dengan
senjata untuk menjemputnya."

"O penasihat yang bijak," kata sang Tisroc, "sumbangkan kebijakanmu kepada
kami mengenai rencana aneh ini."

"O Tisroc yang abadi," Ahoshta menjawab, "kekuatan kasih sayang orangtua
bukanlah sesuatu yang asing di mata hamba dan hamba sering mendengar anak
laki-laki lebih berharga daripada batu delima di mata ayah mereka. Bagaimana
mungkin hamba berani dengan seenaknya mengungkapkan isi benak hamba yang
mungkin bisa membahayakan nyawa pangeran yang agung ini?"

"Tampaknya kau akan berani melakukan itu," komentar sang Tisroc. "Karena kau
akan mendapati bahaya bila kau menolak setidaknya akan sama besarnya."

"Hamba dengar dan akan mematuhi," erang pria malang itu. "Ketahuilah kalau
begitu, O Tisroc yang paling berakal jernih, pertama-tama bahaya yang akan
dihadapi sang pangeran tidaklah sebesar seperti kelihatannya. Karena para dewa
telah menarik berkah cahaya kewaspadaan dari para barbar itu, seperti puisi
mereka tidak seperti milik kita yang penuh hasil pengamatan dan perumpamaan
yang berguna, tapi sekadar tentang cinta dan perang. Karena itu tidak akan ada
yang tampak lebih mulia dan patut dikagumi bagi mereka daripada tindakan gila
seperti ini yang--auw!" Karena sang pangeran, pada saat kata "gila" diucapkan,
telah menendangnya lagi.

"Hentikan ini, putraku," kata sang Tisroc. "Dan kau, Penasihat yang terhormat, tak
peduli dia berhenti atau tidak, jangan sampai kaubiarkan aliran pendapatmu
terhambat. Karena tidak ada yang lebih pantas bagi orang dengan tekad dan sopan
santun, daripada bertahan menghadapi ketidaknyamanan dengan ketabahan."

"Hamba dengar dan akan mematuhi," kata sang penasihat, beringsut sedikit
sehingga bagian belakang tubuhnya agak menjauh dari kaki Rabadash. "Tidak ada,
menurut hemat hamba, yang akan tampak bisa dimaklumi, bila tidak diduga, di
mata mereka seperti yang--usaha berbahaya ini, terutama karena ini dilakukan
demi cinta terhadap seorang perempuan. Karena itu, kalau ketidakberuntungan
sang pangeran menjadi milik mereka, mereka pasti tidak akan membunuhnya.
Tidak, bahkan mungkin, walaupun dia gagal merebut sang ratu, setelah melihat
keberanian besarnya dan gairahnya yang tinggi mungkin hati perempuan itu akan
luluh untuknya."

"Itu pemikiran yang bagus, pengoceh tua," kata Rabadash. "Bagus sekali,
walaupun itu keluar dari kepala burukmu."

"Pujian dari Tuan adalah cahaya di mata hamba," kata Ahoshta. "Dan kedua, O
Tisroc, yang kekuasaannya harus dan akan selalu berjaya, hamba rasa dengan
bantuan para dewa Anvard nyaris pasti akan jatuh ke tangan sang pangeran. Dan
kalau ini terjadi, kita memegang Narnia pada lehernya."

Ada jeda lama dan ruangan itu menjadi begitu sunyi sehingga kedua gadis itu
nyaris tidak berani bernapas. Akhirnya Tisroc berbicara.

"Pergilah, putraku," katanya, "dan lakukan semua yang telah kaukatakan. Tapi
jangan harapkan bantuan ataupun persetujuan dariku. Aku tidak akan membalas
dendam untukmu jika kau terbunuh dan aku tidak akan membebaskanmu bila
kaum barbar itu melemparkanmu ke dalam penjara. Dan jika, baik dalam
kesuksesan maupun kegagalan, kau menumpahkan lebih banyak darah bangsawan
Narnia barang setetes pun daripada yang kaubutuhkan dan menyebabkan perang
karenanya, dukunganku tidak akan pernah kaualami lagi dan saudaramu yang
berikutnyalah yang akan mengambil posisimu di Calormen. Sekarang pergilah.
Bergeraklah dengan cepat, diam-diam, dan semoga beruntung. Mudah-mudahan
kekuatan Tash yang mulia, yang tak tergoyahkan, ada pada pedang dan
tombakmu."

"Hamba dengar dan akan mematuhi," teriak Rabadash, dan setelah berlutut sesaat
untuk mencium tangan ayahnya, dia bergegas keluar ruangan.

Sayangnya Aravis, yang kini tubuhnya mulai terasa kram, harus sangat kecewa
karena sang Tisroc dan penasihat tetap di tempatnya.

"O Penasihat,"kata sang Tisroc, "apakah pasti tidak ada orang lain tahu tentang
pertemuan kita bertiga di sini malam ini?"
"O junjungan hamba," kata Ahoshta, "tidaklah mungkin ada yang tahu. Karena
untuk tujuan itulah, hamba menyarankan, dan Yang Mulia dengan bijak
menyetujui, bahwa kita harus bertemu di sini di Istana Tua tempat pertemuan tidak
pernah diadakan dan tidak seorang pun anggota kerajaan punya alasan untuk
datang."

"Bagus kalau begitu," kata sang Tisroc. "Kalau ada yang tahu, aku akan
memastikan orang itu mati sebelum satu jam berlalu. Dan kau juga, O Penasihat
yang waspada, lupakan semua yang kaudengar. Aku telah membuang dari hatiku
sendiri dan dari hatimu segala pengetahuan tentang rencana sang pangeran. Dia
pergi tanpa sepengetahuan dan persetujuanku, aku sama sekali tidak menyadari
kekerasannya, ketidaksabaran, juga ketidakpatuhan darah mudanya. Tidak akan
ada yang lebih terkejut daripada kau dan aku bila mendengar Anvard berada dalam
genggaman tangannya."

"Hamba dengar dan akan mematuhi," kata Ahoshta.

"Itulah sebabnya kau tidak boleh menganggap, bahkan di dalam hati terdalammu,
diriku sama seperti para ayah berhati keras yang mengirim anak pertama mereka
untuk melakukan tugas yang kemungkinan besar akan membawanya pada
kematian, walaupun ini pasti membuatmu senang karena kau tidak menyukai sang
pangeran. Bagaimanapun aku bisa melihat pikiran tersembunyimu."

"O Tisroc yang sempurna," kata sang penasihat. "Bila dibandingkan dengan Yang
Mulia, hamba tidak menyayangi baik sang pangeran ataupun nyawa hamba sendiri,
roti, air, maupun cahaya matahari."

"Pernyataanmu itu," kata sang Tisroc, "penting dan tepat. Aku juga tidak
menyayangi semua itu dibandingkan kemuliaan dan kekuatan takhtaku. Jika sang
pangeran sukses, kita akan memiliki Archenland, dan mungkin setelah itu Narnia.
Kalau dia gagal--aku punya delapan belas putra lain dan Rabadash, menunjukkan
sikap seperti putra-putra tertua para raja, mulai berbahaya. Lebih dari lima Tisroc
di Tashbaan meninggal sebelum waktu mereka karena para putra tertua mereka,
para pangeran terlalu terpelajar, bosan menunggu giliran mereka bertakhta.
Sebaiknya Rabadash mendinginkan darahnya di luar negeri daripada
mendidihkannya karena tidak bisa berbuat apa-apa di sini. Dan sekarang, O
Penasihat yang mulia, penyaluran kecemasan ala orangtuaku yang berlebihan telah
membuatku mengantuk. Perintahkan para musisi untuk datang ke kamar tidurku.
Tapi sebelum kau berbaring, tarik kembali maafku yang kita tulis untuk juru masak
ketiga itu. Aku mulai merasakan akibat buruknya datang dengan pasti pada
pencernaanku."

"Hamba dengar dan akan mematuhi," kata Penasihat Agung. Dia merangkak
mundur dengan kedua tangan dan kakinya menuju pintu, berdiri, membungkuk,
dan pergi keluar. Bahkan setelah itu, sang Tisroc tetap duduk dalam diam di dipan
sampai Aravis mulai merasa takut sang Tisroc akan tertidur. Tapi akhirnya
bersama dengan bunyi derak keras dan embusan napas, pria itu mengangkat
tubuhnya yang besar dan keluar. Pintu tertutup di belakangnya, ruangan itu sekali
lagi gelap gulita, dan Aravis juga Lasaraleen kini bisa bernapas bebas kembali.

Bab 9

Melintasi Padang Pasir

"MENGERIKAN! Benar-benar mengerikan!" Lasaraleen mengerang. "Oh,


Sayang, aku takut sekali. Seluruh tubuhku gemetaran. Coba rasakan tanganku."

"Ayo," kata Aravis, yang tubuhnya juga gemetaran. "Mereka sudah kembali ke
istana baru. Sekali kita keluar dari ruangan ini, kita akan cukup aman. Tapi kita
sudah membuang begitu banyak waktu. Kau harus segera membawaku ke pintu air
secepat yang kau bisa."

"Sayang, kenapa kau bisa begitu tega?" Lasaraleen memekik. "Aku tidak bisa
melakukan apa-apa--tidak saat ini. Sarafku yang malang! Tidak: kita harus tetap
berbaring diam untuk beberapa saat, kemudian pulang."

"Kenapa pulang?" tanya Aravis.

"Oh, kau tidak mengerti. Kau sangat tidak simpatik," kata Lasaraleen, mulai
menangis.
Aravis memutuskan ini bukan saatnya untuk merasa kasihan.

"Dengar!" katanya, mencengkeram Lasaraleen dan mengguncangkan tubuhnya


keras-keras. "Kalau kau mengucapkan bahkan satu kata lagi tentang pulang, dan
kalau kau tidak segera membawaku menuju gerbang air--kau tahu apa yang akan
kulakukan? Aku akan berlari ke koridor itu dan berteriak. Supaya kita berdua
ditangkap."

"Tapi kita berdua akan di-di-dibunuh!" kata Lasaraleen. "Tidakkah kaudengar apa
yang dikatakan Tisroc (semoga dia selamanya kekal) tadi?"

"Ya, dan lebih baik aku mati dibunuh daripada harus menikah dengan Ahoshta.
Jadi, ayo."

"Oh, kau memang kejam," kata Lasaraleen. "Padahal keadaanku begini!"

Tapi akhirnya dia harus menyerah kepada Aravis. Dia memimpin jalan menuruni
tangga yang sebelumnya sempat mereka lalui, lalu menyusuri koridor lain dan
akhirnya keluar ke udara terbuka. Mereka kini berada di taman istana yang
menurun berundak-undak ke dinding kota. Bulan bersinar terang.

Salah satu kekurangan berpetualangan adalah ketika kau tiba di tempat-tempat


yang indah sekali, kau sering kali terlalu cemas dan terburu-buru untuk
menghargai tempat-tempat itu. Aravis pun (walaupun dia mengingatnya bertahun-
tahun kemudian) hanya punya kenangan samar akan halaman abu-abu, air mancur-
air mancur yang berbuih dan bergemercik pelan, dan bayangan-bayangan panjang
hitam pepohonan cypress.

Ketika mereka mencapai bagian paling bawah taman dan dinding kota berdiri
menjulang tinggi di atas mereka, tubuh Lasaraleen begitu gemetaran sehingga dia
tidak bisa membuka gembok gerbang. Akhirnya Aravis yang melakukannya. Di
sana, akhirnya tampak sungai yang permukaannya penuh pantulan sinar rembulan,
panggung kecil tambatan perahu, dan beberapa perahu untuk rekreasi.

"Selamat tinggal," kata Aravis, "dan terima kasih. Maaf kalau aku sudah bertindak
kasar. Tapi kau kan tahu aku berusaha melarikan diri dari apa!"

"Oh, Aravis sayang," kata Lasaraleen. "Tidak bisakah kau berubah pikiran?
Apalagi sekarang kau telah melihat betapa pria yang mengagumkannya Ahoshta
itu!"
"Mengagumkan!" kata Aravis. "Budak mengibakan dan menyedihkan yang
memuji saat ditendang, tapi menelannya mentah-mentah dan berharap
menyelamatkan punggungnya sendiri dengan mendukung rencana Tisroc yang
mengerikan itu untuk membunuh putranya sendiri. Memuakkan! Lebih baik aku
menikah dengan budak rendahan ayahku daripada dengan makhluk seperti itu."

"Oh, Aravis, Aravis! Mengapa kau bisa mengatakan hal-hal mengerikan begitu,
bahkan tentang Tisroc (semoga dia selamanya kekal) juga? Pasti itu keputusan
yang benar kalau dia yang berniat melakukannya!"

"Selamat tinggal," kata Aravis, "dan menurutku gaun-gaunmu indah. Rumahmu


juga indah. Aku yakin hidupmu akan bahagia--walaupun hidup seperti itu takkan
cocok buatku. Tutup pintunya pelan-pelan setelah aku keluar."

Aravis memaksa dirinya melepaskan pelukan penuh kasih sayang temannya, naik
ke rakit, mendorong rakitnya pergi, dan beberapa saat kemudian berada di tengah
aliran sungai dengan bulan besar sungguhan di atasnya dan pantulan besar bulan di
bawahnya, jauh di dalam, di sungai. Udara terasa segar dan sejuk, ketika dia
mendekati tepi jauh sungai, dia mendengar bunyi kukuk burung hantu. Ah! Begini
lebih baik! pikir Aravis. Dia selalu tinggal di pedesaan dan membenci setiap menit
yang dia habiskan di Tashbaan.

Ketika melangkahkan kaki ke daratan, dia mendapati dirinya berada dalam


kegelapan, karena tanah yang menanjak dan pepohonan menghalangi cahaya
rembulan. Tapi dia berhasil menemukan jalan yang sama dengan yang ditemukan
Shasta, dan menemukan batas akhir rerumputan tumbuh seperti juga Shasta dan
batas awal pasir, lalu melihat (seperti si anak lelaki) ke kirinya dan melihat Makam
yang besar dan hitam. Dan kini akhirnya, walaupun dia anak perempuan yang
berani, hatinya menciut. Bagaimana kalau yang lain tidak ada di sana? Bagaimana
kalau benar-benar ada hantu? Tapi dia mengangkat dagu (juga agak menggigit
lidah), lalu berjalan lurus mendekati makam-makam itu.

Tapi sebelum dia mencapai batu-batu tersebut, dia melihat Bree, Hwin, dan si
bujang.

"Kau bisa kembali ke nyonyamu sekarang," kata Aravis (lupa bahwa si bujang
tidak bisa melakukan itu, hingga gerbang kota dibuka pagi berikutnya). "Ini uang
untuk jasamu."
"Hamba dengar dan mematuhi," kata si bujang, dan dia langsung pergi dengan
kecepatan yang luar biasa ke arah kota. Tidak perlu memberitahunya untuk
bergegas: dia juga telah banyak berpikir tentang hantu-hantu Makam.

Beberapa detik kemudian, Aravis sibuk menciumi hidung dan menepuk-nepuk


leher Hwin juga Bree seolah mereka kuda biasa.

"Dan ini dia Shasta datang! Berkat sang singa!" kata Bree.

Aravis melihat ke sekeliling, dan di sana, tepat seperti ucapan Bree, tampak Shasta
yang langsung keluar dari persembunyian begitu si bujang pergi.

"Dan sekarang," kata Aravis, "kita tidak boleh membuang waktu lagi." Lalu
dengan cepat dia memberitahu mereka tentang ekspedisi Rabadash."

"Dasar licik!" kata Bree, menggoyangkan surainya dan mengentak-entakkan


kakinya. "Penyerbuan di saat damai, bahkan tanpa mengirim peringatan! Tapi kita
akan menggagalkan rencananya. Kita akan tiba di sana terlebih dahulu daripada
dia."

"Menurutmu kita bisa?" tanya Aravis, mengayunkan tubuhnya naik ke sadel Hwin.
Shasta berharap dia bisa naik ke kuda seperti itu.

"Brooh-hoo!" dengus Bree. "Ayo naik, Shasta. Tentu bisa! Dan kita berangkat
lebih awal pula!"

"Dia bilang dia akan segera berangkat," kata Aravis.

"Begitulah cara manusia berbicara," kata Bree. "Tapi kau tidak bisa memberi air,
memberi makan, mempersenjatai, memasang sadel, dan memberangkatkan
pasukan dua ratus kuda dan penunggangnya hanya dalam satu menit. Sekarang,
bagaimana arah kita? Menuju utara?"

"Tidak," kata Shasta. "Aku yakin soal ini. Aku sudah menggambar garis. Aku akan
menjelaskan nanti. Bergeraklah sedikit ke kiri kita, Kedua kuda. Ah--ini dia!"

"Sekarang," kata Bree. "Berpacu penuh sehari semalam, seperti dalam cerita-cerita,
itu tidak benar-benar bisa dilakukan. Kita harus berjalan dan berlari kecil: tapi lari
kecil yang sering dan jalan-jalan yang singkat. Dan setiap kali kami berjalan,
kalian manusia bisa turun dan berjalan juga. Nah. Apakah kau siap, Hwin? Ayo
kita berangkat. Menuju Narnia dan negeri Utara!"
Awalnya perjalanan itu menyenangkan. Malam sudah berlangsung selama berjam-
jam, sehingga pasir hampir habis mengembalikan semua panas matahari yang
diterimanya sepanjang siang ke udara. Udara terasa sejuk, segar, dan langit cerah.
Di bawah sinar rembulan, di segala arah dan di sepanjang mata dapat memandang,
pasir terlihat berkilauan seolah air tenang pada baki perak raksasa. Kecuali suara
tapal kaki Bree dan Hwin, tidak terdengar suara lain. Shasta bakal terlelap kalau
saja dia tidak harus sekali-sekali turun dan berjalan.

Perjalanan ini rasanya berlangsung berjam-jam. Kemudian tibalah saat ketika tiada
lagi rembulan. Mereka seolah berjalan dalam kegelapan total selama berjam-jam.
Dan setelah itu tibalah saat ketika Shasta menyadari dia mulai bisa melihat leher
Bree dan kepala di depannya sedikit lebih jelas daripada sebelumnya. Lalu
perlahan, amat perlahan, mereka mulai menyadari ratanya bidang luas abu-abu di
setiap penjuru. Suasana tampak sama sekali mati, seperti sesuatu dalam dunia yang
telah berakhir masa hidupnya.

Shasta merasa sangat lelah dan menyadari tubuhnya mulai merasa kedinginan dan
bibirnya kering. Dan sepanjang waktu terdengar decitan kulit, gemerecing bagian-
bagian tertentu perlengkapan kuda, dan entakan langkah kaki kuda--bukan tak-tik-
tuk tak-tik-tuk seperti yang akan terdengar di jalan keras, tapi jlab-jleb-jlub jlab-
jleb-jlub pada pasir kering.

Akhirnya, setelah berjam-jam berkuda, jauh di sebelah kanan Shasta tampak garis
tunggal panjang yang berwarna abu-abu pucat, pada bagian terbawah cakrawala.
Kemudian garis kemerahan. Akhirnya pagi hari tiba, tapi tanpa seekor burung pun
bernyanyi untuk menyambutnya. Shasta kini menyukai bagian berjalan kaki karena
tubuhnya terasa kedinginan sekali.

Lalu mendadak matahari terbit dan segalanya berubah dalam sedetik. Pasir abu-abu
berubah menjadi kuning dan berkilauan seolah bercampur dengan permata. Di
sebelah kiri mereka, tampak bayangan Shasta, Hwin, Bree, dan Aravis, panjang
sekali, berpacu di samping mereka. Puncak ganda Gunung Pire, jauh di depan,
berkelebat dalam sinar matahari dan Shasta menyadari mereka agak keluar dari
jalur perjalanan. "Agak ke kiri, agak ke kiri," dia berseru.

Tapi yang paling menyenangkan, kalau kau menoleh ke belakang, Tashbaan kini
tampak kecil dan jauh. Makam Para Raja nyaris tidak terlihat, ditelan gundukan
tunggal bergerigi yang merupakan kota milik Tisroc. Semua anggota kelompok itu
merasa lebih tenang.
Tapi tidak untuk waktu yang lama. Walaupun Tashbaan tampak begitu jauh ketika
mereka pertama melihatnya, kota itu menolak tampak semakin jauh ketika mereka
melanjutkan perjalanan. Shasta menyerah menatap ke belakang ke arah kota
tersebut, karena tindakan ini hanya membuatnya merasa mereka sama sekali tidak
bergerak. Kemudian cahaya mulai menjadi gangguan. Kilau tajam pasir membuat
matanya sakit: tapi dia tahu dia tidak boleh memejamkan mata. Dia harus menahan
rasa sakitnya, terus memandang ke depan ke Gunung Pire, dan meneriakkan arah
perjalanan. Kemudian datanglah panas. Dia menyadarinya untuk kali pertama
ketika dia turun dari punggung Bree dan berjalan: saat menurunkan kaki, rasa
panas dari pasir naik hingga ke wajahnya seolah sedang membuka pintu oven. Kali
kedua lebih buruk. Tapi kali ketiga, saat kaki telanjangnya menyentuh pasir, dia
menjerit kesakitan dan langsung menaikkan satu kaki ke sanggurdi, sementara
yang lain naik hingga setengah punggung Bree sebelum kau bisa mengatakan apa
pun.

"Maaf, Bree," dia tergagap. "Aku tidak bisa jalan. Pasirnya membakar kakiku."

"Tentu saja!" kata Bree sambil terengah. "Seharusnya aku sudah menduganya.
Tetaplah di atas. Tak ada jalan lain."

"Pastinya bukan masalah bagimu," kata Shasta kepada Aravis yang berjalan di
samping Hwin. "Kau memakai sepatu."

Aravis tidak mengucapkan apa-apa dan tampak terganggu dengan tingkah Shasta.
Kita bisa berharap dia tidak benar-benar bermaksud begitu, tapi sayangnya tidak.

Mereka melanjutkan perjalanan, berlari, berjalan, kemudian berlari lagi, cring-


cring-cring, srek-srek-srek, aroma kuda yang kepanasan, aroma diri sendiri yang
kepanasan, cahaya yang membutakan, sakit kepala. Dan tidak ada yang berbeda
dalam mil demi mil. Tashbaan tidak tampak menjadi lebih jauh lagi. Pegunungan
tidak tampak menjadi lebih dekat lagi. Kau merasa ini telah berlangsung
selamanya--cring-cring-cring, srek-srek-srek, aroma kuda yang kepanasan, aroma
diri sendiri yang kepanasan.

Tentu saja kita akan memainkan segala jenis permainan dengan diri sendiri untuk
melewati waktu: dan tentu saja semua permainan itu tidak ada gunanya. Dan kita
biasanya akan berusaha keras tidak memikirkan berbagai minuman--es serbat di
istana di Tashbaan, mata air jernih bergemercik dengan suara beningnya, susu
dingin dan segar yang cukup gurih tapi juga tidak terlalu gurih--dan semakin kita
berusaha tidak memikirkannya, justru semakin keras kita berpikir.
Akhirnya ada sesuatu yang berbeda--kumpulan batu yang mencuat keluar dari
dalam pasir yang panjangnya sekitar lima puluh meter dan tingginya sepuluh
meter. Bebatuan itu tidak menimbulkan bayangan besar, hanya kecil, karena
matahari kini sangatlah tinggi di langit. Keempat makhluk hidup itu berkerumun di
bawah bayangan. Di sana mereka menyantap sedikit makanan dan meminum
sedikit air. Tidaklah mudah memberi minum kuda dari botol kulit, tapi Bree dan
Hwin pandai menggunakan bibir mereka. Tidak satu pun dari mereka yang merasa
tercukupi. Tidak satu pun mengeluh. Mulut kedua kuda dikotori buih dan napas
mereka keras terdengar. Kedua anak itu pucat.

Setelah beristirahat singkat sekali, mereka melanjutkan perjalanan. Suara-suara


yang sama, aroma yang sama, cahaya tajam yang sama, sampai akhirnya bayangan
mereka berpindah ke sebelah kanan mereka, kemudian kian memanjang dan
memanjang sampai bayangan itu seolah ditarik ke ujung paling timur dunia.
Dengan sangat perlahan matahari turun mendekati cakrawala barat. Dan kini
akhirnya matahari tenggelam dan syukurlah cahaya tajam tanpa ampun juga pergi
bersamanya, walaupun panas dari pasir masih begitu menyiksa. Empat pasang
mata mencari-cari dengan antusias tanda apa pun yang menunjukkan lembah yang
disebut Sallowpad si gagak. Tapi, mil demi mil berlalu, tidak ada apa pun kecuali
pasir yang datar.

Kini siang jelas-jelas telah berakhir, dan bintang-bintang bermunculan, namun


kedua kuda itu masih melangkahkan kaki dan kedua anak itu terus naik-turun di
atas sadel, menderita karena kehausan dan kelelahan. Barulah ketika rembulan
muncul, akhirnya Shasta--dengan suara aneh dan seperti menyalak yang keluar dari
mulut yang sama sekali kering--berteriak: "Itu dia!'

Tidak perlu diragukan lagi sekarang. Di depan dan sedikit di sebelah kanan
mereka, tampak akhirnya lereng: lereng yang menurun dan berbukit-bukit batu di
setiap sisinya. Kedua kuda itu terlalu lelah untuk berbicara tapi mereka bergerak ke
sana, lalu dalam satu-dua menit kemudian mereka pun memasuki celah lereng
tersebut.

Awalnya situasi di dalam sana terasa lebih parah daripada ketika mereka berada di
padang pasir terbuka, karena sumpek yang menyesakkan di antara dinding-dinding
berbatu itu dan minimnya cahaya bulan. Lereng itu terus menurun curam dan
bebatuan di kedua sisi mereka menjulang hingga setinggi tebing. Kemudian
mereka mulai menemui tumbuhan--tanaman yang tampak seperti kaktus berduri
dan sejenis rerumputan kasar yang dapat menusuk jarimu. Tak lama kemudian
tapal kuda mengentak-entak batu kerikil dan bebatuan yang menggantikan pasir.
Di setiap lengkungan lembah itu--dan banyak sekali lekukan di sana--mereka
mencari air dengan penuh harap. Kedua kuda kini nyaris mencapai batas akhir
kekuatan mereka, dan Hwin sambil terseok-seok dan terengah-engah, kini
tertinggal di belakang Bree. Mereka hampir putus asa ketika akhirnya mereka
bertemu kubangan lumpur kecil dan aliran kecil air melewati rerumputan yang
lebih lembut dan subur. Dan aliran kecil itu menjadi mata air, dan mata air itu
menjadi aliran deras air dengan sesemakan di tiap sisinya, dan aliran deras itu
menjadi sungai, lalu datanglah (setelah begitu banyak kekecewaan yang tidak
mungkin bisa kuceritakan semuanya) momen ketika Shasta, yang dalam keadaan
agak tidak sadar, mendadak menyadari Bree telah berhenti, dan mendapati dirinya
merosot ke bawah.

Di depan mereka tampak air terjun kecil yang tercurah ke kolam luas, dan kedua
kuda itu sudah berada di dalam kolam tersebut dengan kepala menunduk, minum,
minum, dan minum.

"O-o-oh," kata Shasta kemudian menceburkan diri--kolam itu sedalam lututnya--


dan memasukkan kepalanya ke air. Mungkin itu momen terindah dalam hidupnya.

Sekitar sepuluh menit kemudian ketika keempat makhluk itu (air nyaris
membasahi seluruh tubuh kedua anak manusia) keluar dari kolam dan mulai
memerhatikan sekeliling mereka. Bulan kini berada cukup tinggi di angkasa untuk
mengintip ke lembah. Tampak rumput lembut di masing-masing tepi sungai dan, di
balik rerumputan itu, pepohonan dan sesemakan tumbuh naik hingga ke dasar
tebing-tebing. Pasti ada sesemakan bunga menyenangkan yang tumbuh di bawah
bayang-bayang gelap itu karena seluruh padang ini dipenuhi wangi yang begitu
sejuk dan menyegarkan. Lalu dari celah-celah gelap di antara pepohonan,
terdengar suara yang tidak pernah didengar Shasta sebelumnya--nyanyian
nightingale.

Mereka semua terlalu lelah untuk berbicara atau makan. Kedua kuda itu, tanpa
menunggu dibebaskan dari sadel, langsung berbaring. Begitu juga Aravis dan
Shasta.

Sekitar sepuluh menit kemudian Hwin yang selalu waspada berkata, "Tapi kita
tidak boleh tertidur. Kita harus mendahului Rabadash."

"Tidak," kata Bree sangat perlahan. "Tidak boleh tertidur. Hanya beristirahat
sebentar."
Shasta tahu (untuk sesaat) mereka semua bakal terlelap kalau dia tidak bangkit dan
melakukan sesuatu, dia pun merasa harus bertindak. Bahkan dia memutuskan
untuk bangun dan membujuk teman-temannya untuk terus berjalan. Tapi saat ini,
belum, belum saatnya....

Tak lama kemudian rembulan bersinar, dan sang nightingale bernyanyi membuai
kedua kuda dan kedua anak manusia itu hingga tertidur.

Aravis-lah yang terbangun pertama kali. Matahari sudah tinggi di langit dan jam-
jam pagi yang sejuk telah terbuang. "Ini salahku," katanya kepada dirinya sendiri
dengan marah ketika dia melompat berdiri dan mulai membangunkan yang lain.
"Kita tidak bisa mengharapkan kuda bisa terus terjaga setelah bekerja keras
seharian seperti kemarin, bahkan walaupun mereka bisa berbicara. Dan tentu saja
anak itu tidak akan mampu, dia tidak pernah mendapatkan pelatihan yang layak.
Tapi aku seharusnya bertindak lebih baik."

Ketiga temannya bangun dalam keadaan menerawang dan nyaris tidak sadar
karena tidur mereka begitu lelap.

"Hii-ho-broo-hoo," kata Bree. "Ternyata aku tertidur dengan sadelku, ya? Aku
tidak akan pernah melakukannya lagi. Benar-benar tidak nyaman--"

"Oh, ayolah, ayo," kata Aravis. "Kita sudah kehilangan separo pagi. Kita tidak
boleh membuang-buang waktu lagi."

"Setidaknya aku harus menelan semulut penuh rumput dulu," kata Bree.

"Sayangnya kita tidak bisa menunggu," kata Aravis.

"Mengapa begitu terburu-buru?" tanya Bree. "Bukankah kita sudah menyeberangi


padang pasir itu?"

"Tapi kita belum tiba di Archenland," kata Aravis. "Dan kita harus sampai di sana
sebelum Rabadash."

"Oh, kita pasti bermil-mil jauh di depannya," kata Bree. "Bukankah kita
menggunakan jalan yang lebih singkat? Bukankah teman gagakmu itu berkata ini
jalan pintas, Shasta?"
"Dia tidak mengatakan apa pun tentang lebih singkat," jawab Shasta. "Dia hanya
bilang lebih baik, karena kita akan mendapati sungai bila pergi ke arah sini. Kalau
oase berada di utara Tashbaan, sayangnya sepertinya jalan ini lebih panjang."

"Yah, yang pasti aku tidak bisa melanjutkan tanpa makan," kata Bree. "Lepaskan
kekangku, Shasta."

"Ku-kumohon," kata Hwin, dengan sangat malu-malu, "perasaanku sama dengan


Bree, aku merasa tidak bisa melanjutkan. Tapi ketika kuda membawa manusia
(yang mengenakan taji kaki dan sejenisnya) di punggungnya, bukankah manusia
sering memaksa mereka terus berjalan walaupun mereka merasa seperti ini?
Kemudian mereka mendapati mereka bisa berjalan lagi. Mak-maksudku--bukankah
kita seharusnya bisa melanjutkan lebih jauh lagi, terutama karena kini kita bebas?
Semua ini demi Narnia."

"Kurasa, Madam," kata Bree dengan nada bicara sangat merendahkan, "aku tahu
lebih banyak tentang penyerbuan dan paksaan bergerak main, juga seberapa daya
tahan kuda, daripada dirimu."

Hwin tidak menjawab pernyataan ini karena, seperti sebagian besar kuda betina
yang berketurunan baik, kepribadiannya yang penggugup dan lembut membuatnya
mudah dipatahkan. Kenyataannya, pendapatnya sangat tepat, dan jika Bree sedang
membawa seorang Tarkaan di punggungnya saat itu yang menyuruhnya maju, dia
akan mendapati dirinya bisa berjalan selama beberapa jam penuh lagi. Tapi salah
satu akibat terburuk diperbudak dan dipaksa melakukan berbagai hal adalah ketika
tidak ada yang bisa memaksamu lagi, kau akan mendapati dirimu hampir
kehilangan kekuatan untuk memaksa dirimu sendiri.

Jadi mereka harus menunggu sementara Bree makan dan minum, lalu tentu saja
Hwin juga kedua anak itu ikut makan dan minum. Pastinya hari sudah mencapai
sekitar jam sebelas siang ketika mereka akhirnya melanjutkan perjalanan. Dan
bahkan setelah itu pun Bree berjalan lebih lambat daripada kemarin. Hwinlah yang
sebenarnya, walaupun dia lebih lemah dan lelah dibanding Bree, yang
mempertahankan ritme langkah kaki mereka.

Lembah itu sendiri, dengan sungai cokelatnya yang sejuk, dan rerumputan, lumut,
bunga-bunga liar, juga semak rhododendron-nya, merupakan tempat yang
menyenangkan sehingga membuatmu ingin berjalan perlahan.
Bab 10

Pertapa Perbatasan Selatan

SETELAH mereka berkuda selama beberapa jam melewati lembah, tempat itu
meluas dan mereka bisa melihat apa yang ada di hadapan mereka. Sungai yang
mereka susuri kini bergabung dengan sungai yang lebih besar, lebar dan alirannya
deras, air mengalir dan kiri ke kanan mereka, menuju arah timur. Di seberang
sungai baru ini, daerah yang indah terbentang di perbukitan rendah, dataran tinggi
di balik dataran tinggi, menuju Pegunungan Utara itu sendiri. Di sebelah kanan
tampak puncak-puncak berbatu, yang pada salah satunya digantungi salju hingga
ke birai bukit. Di sebelah kiri, lereng-lereng yang ditumbuhi pohon cemara, tebing-
tebing menjorok, ngarai-ngarai sempit, dan puncak-puncak biru terhampar sejauh
mata memandang.

Shasta tidak lagi bisa melihat Gunung Pire. Di hadapannya daerah pegunungan
tenggelam menjadi daerah pepohonan yang rimbun yang tentu saja pastinya
merupakan rute jalan dari Archenland menuju Narnia.

"Broo-hoo-hoo, negeri Utara, Utara yang hijau!" ringkik Bree: dan memang bagian
perbukitan yang rendah tampak lebih hijau dan segar, daripada apa pun yang
pernah dibayangkan Aravis dan Shasta yang memiliki mata orang yang selama
hidupnya tinggal di Selatan. Semangat mereka meningkat ketika mereka memasuki
tempat air dua sungai itu bertemu.

Sungai yang airnya mengalir ke arah timur itu, yang tercurah dari pegunungan
tinggi di bagian ujung Barat daerah tersebut, arusnya terlalu deras dan liar untuk
mereka seberangi dengan berenang: tapi setelah mencari-cari, naik-turun tepi
sungai, mereka menemukan tempat yang cukup dangkal untuk dilewati. Raungan
dan percikan keras air, arus keras yang menampar tungkai kaki kedua kuda, udara
sejuk yang penuh tantangan, capung-capung yang terbang melintas, mengisi
seluruh tubuh Shasta dengan semangat aneh.
"Teman-teman, kita sudah tiba di Archenland!" kata Bree bangga ketika dia
menimbulkan cipratan dan melompat keluar dari sungai bagian Utara. "Kurasa
sungai yang baru saja kita seberangi itu bernama Winding Arrow."

"Mudah-mudahan kita tidak terlambat," gumam Hwin.

Kemudian mereka mulai mendaki, perlahan dan sering kali berzigzag, karena
bukit-bukit itu begitu curam. Di seluruh tempat, tampak daerah yang seperti taman
terbuka tanpa jalan ataupun rumah di sepanjang mata memandang. Pepohonan
tumbuh tersebar, tidak pernah cukup tebal sehingga membentuk hutan, di mana-
mana.

Shasta, yang sepanjang hidupnya dihabiskan di lapangan rumput yang nyaris tidak
berpohon, belum pernah melihat begitu banyak pohon baik dalam jumlah maupun
jenis. Kalau kau ada di sana mungkin kau akan tahu (karena Shasta tidak) dia
sedang melihat pohon-pohon ek, beech, birch perak, rowan, dan chestnut manis.
Kelinci-kelinci lari bersembunyi ke segala arah ketika mereka melewati hewan-
hewan itu, dan kini mereka melihat sekelompok rusa liar berkerumun di antara
pepohonan.

"Tidakkah ini menakjubkan sekali?" kata Aravis.

Pada dataran tinggi pertama, Shasta berputar di atas sadel untuk melihat ke
belakang. Tidak ada tanda-tanda Tashbaan. Padang pasir yang tidak terputus
kecuali pada celah sempit hijau yang tadi mereka lalui, terhampar hingga ke
cakrawala.

"Wah!" katanya tiba-tiba. "Apa itu?"

"Apa yang apa?" tanya Bree, berbalik. Hwin dan Aravis ikut melakukan hal yang
sama.

"Itu," kata Shasta sambil menunjuk. "Sepertinya asap. Apakah karena api?"

"Badai pasir, kalau menurutku," kata Bree.

"Tidak cukup banyak angin untuk bisa menimbulkan badai," kata Aravis.

"Oh!" seru Hwin. "Lihat! Ada benda-benda berkilau di dalam asap itu. Lihat! Itu
topi-topi baja--dan baju zirah. Dan mereka bergerak: bergerak ke arah sini."
"Demi Tash!" kata Aravis. "Itu pasukannya. Itu Rabadash."

"Tentu saja," kata Hwin. "Seperti yang aku cemaskan. Cepat! Kita harus tiba di
Anvard sebelum mereka."

Dan tanpa membuang waktu lagi Hwin berbalik dan mulai berpacu ke arah utara.
Bree menggoyangkan kepala dan mengikutinya.

"Ayo cepat, Bree, ayo," teriak Aravis dari balik bahunya.

Berpacu benar-benar sangat berat bagi kedua kuda. Ketika mereka mencapai
puncak setiap dataran tinggi, mereka akan menemukan lembah lain dan dataran
tinggi lain di ujung jauhnya. Dan walaupun mereka tahu mereka bergerak kurang-
lebih menuju arah yang benar, tidak ada yang yakin seberapa jauh lagi letak
Anvard.

Dari puncak dataran tinggi kedua, Shasta melihat ke belakang lagi. Bukannya awan
debu yang mengepul di padang pasir, dia kini melihat kelompok hitam yang
bergerak, agak tampak seperti pasukan semut, di seberang jauh sungai Winding
Arrow. Mereka tidak di ragukan lagi sedang mencari bagian sungai yang dangkal
untuk diseberangi.

"Mereka sudah di sungai!" teriak Shasta panik.

"Cepat! Cepat!" teriak Aravis. "Kalau kita tidak mencapai Anvard tepat pada
waktunya, itu sama saja dengan kita tidak pernah datang sama sekali. Berpaculah,
Bree, berpaculah. Ingatlah kau adalah kuda perang."

Hanya peringatan yang bisa diberikan Shasta untuk mencegah dirinya meneriakkan
perintah-perintah yang sama, tapi dia berpikir, kuda malang ini sudah melakukan
sebisanya, dan dia menahan lidahnya. Dan memang kedua kuda itu sudah berpacu,
kalau bukan sebisa mungkin, setidaknya begitulah yang mereka pikir. Dua hal
yang tidak sama sebenarnya. Bree sudah menyusul Hwin dan mereka kini berlari
berdampingan melintasi rerumputan. Tampaknya Hwin tidak akan mampu
bertahan lebih lama lagi.

Pada saat itu kecemasan keempat makhluk tersebut mendadak sama sekali
teralihkan suara dari belakang. Suara itu bukanlah suara yang mereka kira akan
dengar--yaitu suara entakan kaki kuda, gemerencing baju zirah yang beradu,
bercampur dengan mungkin pekikan perang bangsa Calormen.
Shasta langsung mengenalinya. Itu raungan mengancam yang sama yang telah dia
dengar di malam bermandikan cahaya bulan itu, ketika mereka pertama bertemu
Aravis dan Hwin. Bree juga mengenalinya. Matanya bersinar merah dan telinganya
menempel rata di kepalanya. Dan Bree kini mendapati sebenarnya dia belumlah
berpacu secepat--tidaklah betul-betul secepat--yang dia mampu. Shasta langsung
merasakan perubahannya. Kini mereka benar-benar bergerak dengan kecepatan
penuh. Dalam beberapa detik, mereka sudah jauh di depan Hwin.

Ini tidak adil, pikir Shasta. Aku benar-benar berpikir kami akan aman dari singa di
sini!

Dia menoleh ke balik bahunya. Semuanya tampak begitu jelas. Makhluk besar
yang kuning kecokelatan, tubuhnya rendah ke tanah, seperti kucing berlari
menyeberangi lapangan menuju pohon ketika anjing asing masuk ke taman, ada di
belakang mereka. Dan makhluk itu semakin dekat dan dekat dalam hitungan detik.

Shasta melihat ke depan lagi dan melihat sesuatu yang dia tidak mengerti, atau
bahkan masuk ke akalnya. Jalan mereka dipagari dinding hijau mulus yang
tingginya sekitar tiga meter. Di tengah dinding itu ada gerbang, yang terbuka. Di
tengah gerbang itu berdiri pria tinggi yang mengenakan, hingga ke bawah kaki
telanjangnya, jubah sewarna dedaunan musim gugur, bersandar pada tongkat lurus.
Janggutnya hampir jatuh menjuntai hingga lututnya.

Shasta melihat semua ini sekilas lalu kembali menoleh ke belakang. Sang singa
kini hampir menangkap Hwin. Hewan itu mengatup-ngatupkan rahang ke kaki
belakang sang kuda betina, dan tidak ada harapan pada wajahnya yang kini pucat,
mulutnya yang berbuih, dan matanya yang membelalak.

"Stop," teriak Shasta ke telinga Bree. "Kita harus berputar. Harus membantu
mereka!"

Setelah itu Bree selalu berkata dia tidak pernah mendengar, atau tidak pernah
mengerti, kejadian ini. Dan secara keseluruhan dia kuda yang sangat jujur sehingga
kita harus menerima kata-katanya.

Shasta mengeluarkan kakinya dari sanggurdi, mengayunkan kedua kakinya ke


sebelah kiri, ragu selama seperseratus detik yang mendebarkan, lalu melompat.
Jatuhnya sangat menyakitkan dan hampir membuatnya sesak napas, tapi sebelum
dia menyadari betapa sakit tubuhnya karena jatuh itu, dengan terhuyung-huyung
dia berjalan ke belakang untuk membantu Aravis. Dia belum pernah melakukan
hal seperti ini dalam hidupnya dan nyaris tidak tahu kenapa dia melakukan ini
sekarang.

Salah satu suara paling mengerikan di dunia, teriakan kuda, keluar dan bibir Hwin.
Aravis merunduk rendah pada leher Hwin dan tampak berusaha menghunus
pedang. Dan kini ketiganya--Aravis, Hwin, dan sang singa--hampir berada di atas
Shasta. Sebelum mereka mencapai anak itu, sang singa berdiri dengan kaki
belakangnya, tubuhnya kelihatan lebih besar daripada bayanganmu akan besarnya
singa, dan menyerang Aravis dengan cakar kanannya.

Shasta bisa melihat semua kuku cakar itu memanjang. Aravis menjerit dan
kehilangan keseimbangan di sadel. Sang singa merobek bahunya. Shasta, setengah
gila karena rasa takut, berhasil bergerak ke depan ke makhluk buas itu. Dia tidak
membawa senjata apa pun, bahkan tidak sebatang kayu atau sebongkah batu. Dia
berteriak, dengan bodoh, ke sang singa seperti orang yang sedang berteriak pada
anjing, "Pulang sana! Pulang!"

Selama seperkian detik, Shasta memandang tepat ke mulut sang singa yang terbuka
lebar mengancam. Kemudian tanpa terduga-duga, sang singa, masih sambil berdiri
dengan kaki belakangnya, mendadak menghentikan dirinya, berguling ke depan,
bangkit kembali, kemudian berlari pergi.

Shasta sama sekali tidak berpikir makhluk buas itu akan pergi untuk seterusnya.
Dia berbalik dan berlari menuju gerbang di dinding hijau yang kini untuk kali
pertama, baru dia ingat telah dilihatnya. Hwin, tergopoh-gopoh dan nyaris pingsan,
baru saja memasuki gerbang itu. Aravis masih duduk di atas kuda itu, tapi
punggungnya bersimbah darah.

"Masuklah, putriku, masuklah," kata si pria berjubah dan berjanggut, kemudian,


"Masuklah, putraku," ketika Shasta berjalan terngah-engah menghampirinya.

Dia mendengar gerbang tertutup di belakangnya, dan orang asing berjanggut itu
sudah mulai menolong Aravis turun dari kuda.

Mereka berada di tempat yang luas dan bundar sempurna, dilindungi dinding tinggi
tumbuhan hijau. Kolam dengan permukaan air yang tenang, begitu penuh sehingga
airnya nyaris rata dengan tanah, terbentang di depannya. Pada satu ujung kolam,
menaungi seluruh kolam itu dengan cabang-cabangnya, tumbuh pohon yang
terbesar dan terindah yang pernah Shasta lihat. Di balik kolam itu ada rumah batu
kecil yang rendah, beratapkan lalang tebal dan kuno. Terdengar suara embikan dan
di sisi jauh tempat itu terlihat beberapa ekor kambing. Tanah yang datar itu benar-
benar tertutup rumput yang sangat subur.

"Apa-apa-apakah kau," kata Shasta terengah-engah, "apakah kau Raja Lune


penguasa Archenland?"

Pria tua itu menggeleng. "Bukan," jawabnya dengan suara pelan, "aku Pertapa
Perbatasan Selatan. Dan sekarang, putraku, jangan buang-buang waktu untuk
pertanyaan-pertanyaan, tapi patuhlah. Gadis ini terluka. Kuda-kudamu tak mampu
bergerak lagi. Pada saat ini Rabadash telah menemukan bagian sungai yang
dangkal di Winding Arrow. Kalau kau lari sekarang, tanpa beristirahat barang
sedetik pun, kau tetap akan tepat waktu untuk memperingatkan Raja Lune."

Hati Shasta melesak saat mendengar kata-kata itu karena dia merasa tenaganya pun
sudah tidak tersisa. Dan dalam hatinya dia memberontak karena permintaan yang
tampak begitu kejam dan tidak adil itu. Dia belumlah belajar bahwa jika kau
melakukan satu perbuatan baik, imbalan perbuatan itu biasanya adalah dengan
harus siap melakukan tindakan lain yang lebih berat dan lebih baik. Tapi dia hanya
berkata keras-keras: "Di mana sang raja tinggal?"

Sang pertapa berbalik dan menunjuk dengan tongkatnya. "Lihat," katanya. "Ada
gerbang lain, tepat berseberangan dengan yang kaumasuki tadi. Bukalah dan pergi
lurus: selalu lurus, melewati jalan datar maupun mendaki, menyusuri jalan mulus
ataupun kasar, kering maupun basah. Aku tahu dari kemampuanku kau akan
bertemu Raja Lune tepat lurus di depan. Tapi larilah, lari. Selalu berlari."

Shasta mengangguk, berlari ke gerbang Utara dan menghilang di baliknya.


Kemudian si pertapa memeriksa Aravis, yang selama ini telah dipapah dengan
tangan kirinya, lalu setengah membimbing dan menggendongnya ke dalam rumah.
Setelah beberapa lama dia keluar lagi.

"Sekarang, sepupuku," katanya kepada kedua kuda. "Sekarang giliran kalian."

Tanpa menunggu jawaban--dan memang kedua kuda itu terlalu lelah untuk
bicara—si pertapa meraih dan membuka tali kekang dan sadel keduanya.
Kemudian dia menggosok keduanya, begitu mahir sehingga bujang di istal sang
raja pun tidak akan bisa melakukannya dengan lebih baik.

"Nah, sepupuku," katanya, "hilangkan semua keresahan dari benak kalian dan
bersantailah. Ini air dan rumput. Kalian akan mendapatkan bubur pakan hangat
setelah aku memerah susu dari sepupuku yang lain, para kambing."
"Sir," kata Hwin, akhirnya menemukan suaranya, "apakah sang Tarkheena akan
bertahan hidup? Apakah singa tadi telah membunuhnya?"

"Aku yang mengetahui banyak hal masa kini karena kemampuanku," jawab sang
pertapa dengan senyuman, "hanya punya sedikit pengetahuan akan masa depan.
Karena itu aku tidak mampu mengetahui pria, wanita, ataupun makhluk mana yang
tetap akan hidup ketika matahari terbenam malam ini. Tapi tetaplah berharap yang
terbaik. Gadis itu punya kemungkinan akan hidup selama siapa pun yang
seusianya."

Ketika siuman, Aravis mendapati dirinya berbaring telungkup pada tempat tidur
rendah yang luar biasa lembut dalam ruangan sejuk dan nyaris kosong, berdinding
batu tanpa lapisan. Dia tidak bisa mengerti kenapa dia berbaring dengan wajah
menyentuh tempat tidur, tapi ketika dia berusaha berbalik dan merasakan rasa sakit
yang panas dan membakar di seluruh punggungnya, dia pun ingat dan menyadari
sebabnya. Dia tidak bisa menebak terbuat dari benda empuk apakah tempat tidur
itu, karena benda tersebut bunga-bunga heather (yang merupakan bahan tempat
tidur terbaik) dan heather adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat maupun
dengar keberadaannya.

Pintu ruangan terbuka dan sang pertapa masuk, membawa mangkuk kayu besar di
tangannya. Setelah meletakkannya dengan hati-hati, dia menghampiri sisi tempat
tidur, dan bertanya: "Bagaimana keadaanmu, putriku?"

"Punggungku nyeri sekali, Bapak," kata Aravis, "tapi selain itu aku tidak apa-apa."

Sang pertapa berlutut di sampingnya, meletakkan tangan di kening Aravis, dan


meraba denyut nadinya.

"Tidak demam," katanya. "Kau akan baik-baik saja. Sudah pasti tidak ada alasan
kenapa kau tidak boleh bangun besok. Tapi sekarang, minumlah ini."

Dia mengangkat mangkuk kayu tadi dan menyodorkannya ke bibir Aravis. Aravis
tidak bisa mencegah dirinya berkernyit ketika merasakan cairan di dalamnya,
karena susu kambing memang agak mengejutkan bila kau tidak terbiasa
meminumnya. Tapi dia sangat haus dan berhasil meneguk semua, dia pun merasa
lebih baik setelahnya.

"Sekarang, putriku, kau boleh tidur kapan pun kau mau," kata sang pertapa.
"Karena lukamu sudah dibersihkan dan dibalut, dan walaupun telak, luka-luka itu
tidaklah lebih serius daripada luka akibat pecut. Singa itu pasti sangat aneh, karena
bukannya menerkam dan menjatuhkanmu dari sadel lalu menggigit, dia hanya
mengayunkan cakarnya ke punggungmu. Sepuluh goresan: cukup parah, tapi tidak
dalam ataupun membahayakan."

"Astaga!" kata Aravis. "Aku benar-benar beruntung."

"Putriku," kata sang pertapa, "kini aku telah hidup selama seratus dan sembilan
musim dingin di dunia ini, dan belum pernah bertemu sesuatu yang dinamai
keberuntungan. Ada sesuatu tentang semua ini yang tidak kupahami, tapi jika
memang kita perlu mengetahuinya, kau boleh yakin saat itu akan tiba."

"Dan bagaimana dengan Rabadash dan pasukan dua ratus kudanya?" tanya Aravis.

"Mereka tidak akan melewati tempat ini, kurasa," jawab sang pertapa. "Saat ini
mereka pasti sudah menemukan daerah dangkal sungai, cukup jauh di Timur kita.
Dari sana mereka tidak akan berusaha berkuda langsung menuju Anvard."

"Kasihan Shasta!" kata Aravis. "Apakah dia harus pergi jauh? Apakah dia akan
sampai di sana terlebih dulu?"

"Ada kemungkinan besar begitu," kata si pria tua.

Aravis berbaring lagi (pada sisi tubuhnya kali ini) dan berkata, "Apakah aku telah
tidur lama? Tampaknya hari mulai gelap."

Sang pertapa sedang melihat ke luar satu-satunya jendela di ruangan itu yang
menghadap utara. "Ini bukanlah kegelapan malam," katanya akhirnya. "Awan
berarak turun dari Stromness Head. Cuaca buruk kami selalu datang dari sana di
daerah sini. Malam ini akan datang kabut tebal."

Hari berikutnya, kecuali karena punggungnya yang nyeri, Aravis merasa begitu
bugar, sehingga setelah sarapan (yang terdiri atas bubur dan krim) sang pertapa
berkata dia boleh bangun. Dan tentu saja dia langsung keluar untuk berbicara
dengan kedua kuda. Cuaca telah berubah dan seluruh tempat hijau itu dipenuhi,
seperti cangkir hijau raksasa, dengan sinar mentari. Tempat itu begitu damai, sepi,
dan sunyi.

Hwin segera berlari kecil menghampiri Aravis dan memberinya ciuman kuda.

"Tapi di mana Bree?" tanya Aravis ketika mereka berdua sudah saling menanyakan
keadaan juga bagaimana tidur masing-masing.
"Di sana," jawab Hwin, menunjuk dengan hidungnya ke ujung jauh halaman. "Dan
aku berharap kau mau pergi ke sana dan berbicara dengannya. Ada yang aneh, aku
tidak bisa memancing satu kata pun dari dirinya."

Mereka berjalan ke tempat Bree dan mendapati kuda itu berbaring dengan wajah
menghadap dinding, dan walaupun dia pasti mendengar kedatangan mereka, dia
tidak menoleh atau mengatakan apa pun.

"Selamat pagi, Bree," kata Aravis. "Bagaimana keadaanmu pagi ini?"

Bree menggumamkan sesuatu yang tidak bisa didengar Aravis maupun Hwin.

"Sang pertapa berkata Shasta mungkin akan bertemu Raja Lune tepat pada
waktunya," lanjut Aravis, "jadi tampaknya segala kesulitan kita akan berakhir.
Narnia, akhirnya, Bree!"

"Aku tidak akan pernah melihat Narnia," kata Bree dengan suara pelan.

"Bukankah kau baik-baik saja, Bree sayang?" tanya Aravis.

Bree akhirnya berbalik, wajahnya begitu muram, semuram yang bisa ditampilkan
seekor kuda.

"Aku akan kembali ke Calormen," katanya.

"Apa?" kata Aravis. "Kembali menjadi budak?"

"Ya," jawab Bree. "Aku hanya pantas menjadi budak. Bagaimana aku akan mampu
menunjukkan muka di hadapan semua kuda bebas di Narnia?--aku yang
meninggalkan kuda betina, gadis kecil, juga anak laki-laki untuk disantap singa
sementara aku berlari secepat mungkin demi menyelamatkan tubuh celakaku
sendiri!"

"Kita semua berlari secepat yang kita mampu," kata Hwin.

"Shasta tidak!" dengus Bree. "Setidaknya dia berlari ke arah yang benar: ke
belakang. Dan itulah yang paling membuatku malu. Aku, yang menyebut diriku
sendiri kuda perang dan menyombongkan ratusan peperangan, dikalahkan anak
lelaki manusia kecil--seorang anak, anak biasa, yang belum pernah menghunus
pedang atau dibesarkan dan diberi teladan sepantasnya selama hidupnya!"
"Aku tahu," kata Aravis. "Aku juga punya perasaan yang sama. Shasta memang
hebat. Aku juga sama bersalahnya seperti dirimu, Bree. Aku telah bersikap angkuh
padanya dan meremehkannya sejak kalian bertemu kami, dan kini ternyata dia
adalah yang terbaik di antara kita semua. Tapi kurasa lebih baik kita tetap tinggal
dan mengucapkan maaf kepadanya daripada kembali ke Calormen."

"Itu pilihan terbaik bagimu," kata Bree. "Kau tidak sudah mempermalukan dirimu
sendiri. Tapi aku telah kehilangan segalanya."

"Kudaku yang baik," kata sang pertapa, yang telah datang mendekat tanpa mereka
sadari karena kaki telanjangnya nyaris tidak bersuara di atas rerumputan yang
subur dan berembun. "Kudaku yang baik, kau belum kehilangan apa pun kecuali
kesombongan diri. Tidak, tidak, sepupuku. Jangan turunkan telingamu dan
mengibaskan suraimu di hadapanku. Jika kau memang begitu rendah hati seperti
yang kautunjukkan semenit lalu, kau harus belajar mendengarkan alasan yang
masuk akal. Kau bukanlah kuda agung seperti yang kaukira, karena hidup di antara
kuda-kuda bodoh yang malang. Tentu saja kau lebih pemberani dan cerdas
daripada mereka. Kau nyaris tidak bisa mencegah diri untuk tidak bersikap
demikian. Kelihatannya kau tidak akan menjadi makhluk yang paling spesial di
Narnia. Tapi selama kau tahu kau bukanlah makhluk spesial, kau akan menjadi
kuda yang rendah hati, secara keseluruhan, dan bersedia menerima satu hal
bersamaan dengan hal lain. Dan kini, kalau kau dan sepupu berkaki empatku yang
lain bersedia datang ke pintu dapur, kita akan menentukan apa yang akan
dilakukan pada separo bubur pakan yang tersisa."

Bab 11

Teman Seperjalanan yang Tidak Diinginkan

KETIKA Shasta berlari melewati gerbang, dia mendapati lereng berumput dan
sesemakan heather kecil yang berbaris di depannya menuju pepohonan. Tidak ada
yang memenuhi benaknya saat ini dan tidak ada rencana yang telah dia buat: dia
hanya perlu berlari dan pikiran itu sudah cukup menguasainya. Tungkai-tungkai
tubuhnya gemetar, tusukan yang menyakitkan mulai terasa di sisi tubuhnya, dan
keringat yang terus-menerus menetes ke matanya membutakan dan membuat
keduanya kabur. Kakinya juga tidak bisa menjejak kuat, dan lebih dari sekali
pergelangan kakinya nyaris terkilir karena menginjak batu.

Pepohonan kini lebih lebat daripada sebelumnya dan di daerah-daerah yang lebih
terbuka terlihat tumbuhan bracken. Matahari telah pergi walaupun udara tetap tidak
lebih sejuk. Hari itu telah menjadi hari kelabu panas ketika tampaknya ada lebih
banyak lalat daripada biasanya. Wajah Shasta dikerumuni mereka, dia bahkan
tidak mencoba mengusir serangga-serangga itu--dia punya banyak hal lain yang
harus dilakukan.

Mendadak dia mendengar suara terompet tanduk--bukan suara terompet keras yang
menggema seperti terompet-terompet Tashbaan, tapi suara ceria, Te-ro-ret-te-ro-
ret! Detik berikutnya dia keluar di area luas dan mendapati dirinya menghadapi
sekerumunan orang.

Setidaknya, orang-orang itu tampak seperti kerumunan baginya. Kenyataannya ada


sekitar lima belas atau dua puluh orang, semua pria bangsawan dengan pakaian
berburu hijau, bersama kuda-kuda mereka. Beberapa berada di atas kuda dan
beberapa berdiri di samping kepala kuda mereka. Di tengah kerumunan itu
seseorang sedang memegangi pijakan kaki kuda untuk pria yang hendak naik. Dan
pria yang hendak dibantu naik itu raja yang paling ceria, gemuk, berpipi sebulat
dan semerah apel yang bisa kaubayangkan.

Segera setelah sosok Shasta terlihat, sang raja sama sekali lupa untuk menaiki
kudanya. Dia melebarkan lengannya ke arah Shasta, wajahnya tampak bahagia,
dan dia berteriak dengan suara keras dan dalam yang seolah keluar dari bagian
terdalam dadanya:

"Corin! Putraku! Berjalan kaki dan berpakaian compang-camping! Kenapa--"

"Bukan," jawab Shasta terengah-engah, sambil menggeleng. "Aku bukan Pangeran


Corin. Aku-aku-aku tahu aku mirip dia... aku bertemu Yang Mulia di Tashbaan...
dia menyampaikan salam."

Sang raja memandang lekat Shasta dengan ekspresi wajah luar biasa.
"Apakah Anda Ra-Raja Lune?" Shasta tergagap. Kemudian, tanpa menunggu
jawaban, "Raja yang Mulia--cepat--Anvard--tutup gerbang-gerbangnya--musuh
datang menyerbu--Rabadash dan dua ratus kuda."

"Apakah kau yakin soal ini, bocah?" tanya salah seorang bangsawan.

"Dengan mataku sendiri," jawab Shasta. "Aku melihat mereka. Berpacu untuk
mendahului mereka dari Tashbaan."

"Dengan berjalan kaki?" tanya sang bangsawan, mengangkat kedua alisnya sedikit.

"Kuda-kuda--kini bersama sang pertapa," jawab Shasta.

"Jangan tanya lebih banyak lagi kepadanya, Darrin," kata Raja Lune. "Aku melihat
kejujuran di wajahnya. Kita harus segera berkuda pulang, Tuan-tuan. Sisakan satu
kuda, untuk anak ini. Kau bisa berkuda cepat, Teman?"

Untuk menjawab Shasta meletakkan kaki di pijakan kaki kuda yang dibimbing
mendekatinya dan sedetik kemudian dia sudah di atas sadel. Dia telah melakukan
ini ratusan kali bersama Bree dalam beberapa minggu terakhir, dan caranya naik
kuda kini jauh berbeda dengan di malam pertama, ketika Bree mengomentari cara
naik ke kudanya yang seperti memanjat tumpukan jerami.

Dia senang mendengar Lord Darrin berkata kepada sang raja, "Anak itu punya
pembawaan penunggang kuda sejati, Sire. Saya yakin dia memiliki darah
bangsawan dalam tubuhnya."

"Darahnya, benar, itu pemikiran yang tepat," kata sang raja. Lalu lagi-lagi dia
memandang lekat Shasta dengan ekspresi wajah ingin tahu, nyaris ekspresi lapar
karena penasaran, dalam mata abu-abu tegasnya.

Tapi kini seluruh kelompok itu bergerak dalam kecepatan penuh. Sadel Shasta luar
biasa nyaman tapi dia sedih karena bingung menghadapi tali kekang. Dia tidak
pernah menyentuh tali kekang ketika berada di punggung Bree. Tapi dengan hati-
hati dia melihat dengan ujung matanya apa yang dilakukan anggota kelompok lain
(seperti yang akan dilakukan sebagian dari kita dalam pesta-pesta ketika kita tidak
cukup yakin pisau atau garpu mana yang harus digunakan) dan berusaha
meletakkan jemarinya di tempat yang tepat. Tapi dia tidak berani benar-benar
berusaha mengarahkan kudanya, dia memercayainya untuk mengikuti kuda yang
lain. Kuda itu tentu saja kuda biasa, bukan Kuda yang Bisa Berbicara, tapi dia
cukup menyadari anak lelaki di punggungnya tidak punya cambuk, taji, dan
bukanlah benar-benar pengendali situasi. Itulah sebabnya tak lama kemudian
Shasta mendapati dirinya di ujung akhir ekor rombongan.

Bahkan walaupun begitu, dia berpacu cukup cepat. Kini tidak ada lalat, dan angin
yang menerpa wajahnya menyegarkan. Napasnya kini juga sudah teratur. Dan
tugasnya telah sukses. Untuk kali pertama sejak kedatangannya di Tashbaan
(betapa lama rasanya saat itu!) dia mulai merasa santai.

Dia mendongak untuk melihat seberapa dekat puncak gunung kini. Dia kecewa
karena sama sekali belum bisa melihatnya: yang tampak hanya sosok abu-abu yang
samar, bergulung di depan mereka. Dia belum pernah berada di daerah
pegunungan dan terkejut. Itu bukan awan, katanya dalam hati, awan ini turun ke
tanah. Jadi begitu ya. Di atas sini di perbukitan, sebenarnya kami berada di langit.
Aku akan bisa melihat bagaimana isi awan. Menyenangkan sekali! Aku telah lama
ingin tahu. Jauh di sebelah kirinya dan sedikit di belakangnya, matahari bersiap-
siap tenggelam.

Kini mereka telah tiba di jalan yang kasar dan berpacu dalam kecepatan tinggi.
Tapi kuda Shasta masih berada di belakang kelompok itu. Sekali atau dua kali
ketika jalan membelok (kini ada hutan berkepanjangan di kedua sisinya) dia tidak
bisa melihat yang lain selama sedetik atau dua detik.

Lalu mereka masuk ke kabut, atau mungkin kabut itu yang bergulung menghampiri
mereka. Dunia menjadi kelabu. Shasta belum menyadari betapa dingin dan basah
berada di dalam awan, ataupun betapa gelapnya. Warna abu-abu menjelma
menjadi hitam sangat tiba-tiba.

Seseorang di depan barisan membunyikan terompet tanduk sesekali, dan setiap kali
suara itu semakin terdengar jauh. Kini dia tidak bisa melihat satu orang pun, tapi
tentu saja mereka akan kembali terlihat begitu dia sampai di belokan berikutnya.
Tapi ketika berbelok, dia masih tidak bisa melihat mereka. Bahkan dia tidak bisa
melihat apa pun. Kudanya kini sekadar berjalan.

"Ayo, Kuda, ayo," kata Shasta. Kemudian terdengar bunyi terompet, sangat samar.
Bree selalu memberitahunya dia harus selalu menjaga mata kakinya ke arah luar,
dan Shasta punya firasat sesuatu yang sangat buruk akan terjadi kalau dia
membenamkan mata kakinya ke sisi kuda. Tapi ini tampak baginya sebagai
kesempatan untuk mencoba. "Begini, Kuda," dia berkata, "kalau kau tidak lari lagi,
tahukah kau apa yang akan kulakukan? Aku akan mengentakkan mata kakiku ke
perutmu. Aku benar-benar akan melakukannya."
Namun kuda itu tidak mengacuhkan ancamannya. Jadi Shasta menguatkan posisi
di atas sadel, mencengkeram dengan lutut, mengatupkan geligi, dan mengentakkan
kedua mata kaki ke sisi perut kuda sekeras yang dia bisa.

Hasilnya si kuda hanya terlonjak sedikit dan seolah berpura-pura berlari kecil
sejauh lima atau enam langkah untuk kemudian melambat menjadi jalan biasa lagi.
Dan kini suasana cukup gelap dan mereka tampaknya berhenti meniupkan
terompet. Satu-satunya suara yang terdengar adalah air yang menetes terus
menerus dari cabang-cabang pepohonan.

"Yah, kurasa bahkan dengan berjalan, pada akhirnya kita akan di sampai di suatu
tempat," kata Shasta kepada dirinya sendiri. "Aku hanya berharap aku tidak akan
berpapasan dengan Rabadash dan anak buahnya."

Dia melanjutkan perjalanan yang rasanya lama sekali, selalu dengan langkah
berjalan biasa. Dia mulai membenci kudanya, dan dia juga mulai merasa sangat
lapar.

Akhirnya dia tiba di suatu tempat di mana jalan terbagi menjadi dua. Dia baru
bertanya-tanya jalan mana yang mengarah ke Anvard ketika dia dikejutkan suara di
belakangnya. Suara itu suara tapak kuda yang berlari. Rabadash! pikir Shasta. Dia
tidak bisa menebak jalan mana yang akan diambil Rabadash. "Tapi kalau aku
mengambil yang satu," kata Shasta pada dirinya sendiri, "dia mungkin akan
mengambil yang lain, kalau aku tetap berada di persimpangan ini sudah pasti aku
akan ditangkap."

Dia pun turun dan menuntun kudanya secepat yang dia bisa menyusuri jalan di
sebelah kanannya.

Suara pasukan berkuda semakin lama semakin dekat dan dalam satu atau dua
menit kemudian, Shasta menyadari mereka telah tiba di persimpangan. Dia
menahan napas, menunggu untuk melihat jalan mana yang akan mereka ambil.

Terdengar kata perintah dalam suara rendah--"Tahan! "--kemudian sesaat penuh


suara kuda--dengusan hidung kuda, kaki kuda mengentak-entak, leher kuda
ditepuk-tepuk. Kemudian sebuah suara berkata: "Berkumpul, semuanya," katanya.
"Kita kini berada sekitar dua ratus meter dari istana. Jangan lupakan perintah
kalian. Setibanya kita di Narnia, yang seharusnya terjadi nanti saat matahari terbit,
kalian hanya boleh membunuh sesedikit mungkin. Pada penyerbuan ini kalian
harus menganggap setiap tetes darah Narnia sama berharganya dengan segalon
darah kalian sendiri. Hanya pada penyerbuan ini, aku bertitah. Para dewa akan
memberkahi kita dengan waktu yang lebih berbahagia, dan barulah pada saat itu
kalian tidak diperbolehkan meninggalkan makhluk apa pun hidup di antara Cair
Paravel dan daerah terpencil di Barat. Tapi kita belum berada di Narnia. Di sini di
Archenland situasinya berbeda. Pada penyerangan ke istana Raja Lune ini, tidak
ada yang lebih penting daripada kecepatan. Tunjukkan keberanian kalian.
Keberanian itu harus menjadi milikku selama satu jam ke depan. Dan kalau aku
mendapatkannya, aku akan memberikan segalanya kepada kalian. Aku tidak akan
menyimpan harta apa pun untuk diriku sendiri. Bunuh untukku setiap pria barbar
yang ada di dalam dinding istana itu, hingga ke anak lelaki yang dilahirkan
kemarin, dan segala sisanya boleh kalian bagi sesuka kalian--wanita, emas,
perhiasan, senjata, dan anggurnya. Orang yang kulihat tetap berada di belakang
ketika kita tiba di gerbang akan dibakar hidup-hidup. Demi nama Tash yang tak
terhentikan, tak tergoyahkan--maju!"

Bersama gemuruh langkah kaki kuda yang gempita, barisan itu mulai bergerak,
dan Shasta bernapas lega lagi. Mereka telah mengambil jalan yang satunya.

Shasta berpikir mereka menghabiskan waktu, lama sekali untuk lewat, karena
walaupun dia telah beberapa kali mengucapkan dan memikirkan "dua ratus kuda"
sepanjang hari, dia belumlah menyadari betapa banyaknya jumlah mereka. Tapi
akhirnya suara gemuruh pasukan itu mereda dan sekali lagi dia sendirian, ditemani
suara tetesan-tetesan dari pepohonan.

Dia kini tahu jalan mana yang menuju Anvard, tapi tentu saja tidak bisa pergi ke
sana: itu hanya berarti akan menghadapi senjata pasukan Rabadash.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Shasta pada dirinya sendiri. Tapi dia menaiki
kembali kudanya dan meneruskan perjalanan pada jalan yang telah dipilihnya,
dengan harapan tipis menemukan semacam pondokan tempat dia bisa meminta
tempat berteduh dan makanan. Dia telah berpikir, tentu saja, untuk kembali ke
Aravis, Bree, dan Hwin di pertapaan, tapi dia tidak bisa melakukan itu karena kini
dia sama sekali tidak punya bayangan arah mana yang bisa ditempuhnya.

"Lagi pula," kata Shasta, "jalan ini pasti menuju ke suatu tempat."

Tapi semua itu tergantung pada apa yang kaumaksud dengan suatu tempat. Jalan
itu terus menuju ke suatu tempat dalam arti semakin banyak dan banyak
memunculkan pepohonan, semuanya gelap dan meneteskan air, dan udara mulai
terasa lebih dingin dan lalu angin dingin yang aneh terus-menerus meniupkan
kabut melewati Shasta walaupun angin itu tidak pernah meniup kabut hingga
menghilang. Kalau anak itu terbiasa hidup di daerah pegunungan, dia akan
menyadari ini berarti dia kini berada sangat tinggi--mungkin tepat di atas jalan
perbukitan. Tapi Shasta tidak tahu apa pun tentang pegunungan.

"Aku benar-benar merasa," kata Shasta, "aku pasti anak paling tidak beruntung
yang pernah hidup di seluruh dunia ini. Segalanya berjalan dengan baik bagi semua
orang kecuali diriku. Para bangsawan pria dan wanita itu berhasil melarikan diri
dari Tashbaan, aku ditinggalkan. Aravis, Bree, dan Hwin kini dalam keadaan
sangat nyaman dan hangat bersama pertapa tua itu, tentu saja akulah yang dikirim
menyampaikan pesan. Raja Lune dan orang-orangnya kini pasti sudah sampai
dengan selamat di istana dan menutup gerbang-gerbang lama sebelum Rabadash
tiba, tapi aku tertinggal di luar."

Dan karena merasa sangat lelah dan perutnya amat kosong, dia merasa iba sekali
pada dirinya sendiri sehingga air mata mengalir di kedua pipinya.

Yang menghentikan semua ini adalah kejutan yang datang tiba-tiba. Shasta
mendapati seseorang atau sesuatu sedang berjalan di sampingnya. Suasana gelap
gulita dan dia tidak bisa melihat apa-apa. Dan Sesuatu itu (atau Orang itu) bergerak
begitu tanpa suara sehingga dia nyaris tidak mendengar entakan kaki. Yang bisa
didengarnya adalah embusan napas. Teman seperjalanannya yang tidak terlihat
tampaknya bernapas dengan berat dan sangat dalam, dan Shasta mendapat kesan
makhluk itu sangat besar ukurannya. Dan dia menyadari embusan napas itu begitu
teratur sehingga dia sama sekali tidak bisa menebak seberapa lama makhluk
tersebut sudah ada di sana. Kejutan yang menakutkan.

Berkelebat di benaknya ia pernah mendengar soal raksasa yang dulu sekali tinggal
di negeri-negeri Utara. Dia menggigit bibirnya dalam kengerian. Tapi kini setelah
dia benar-benar punya alasan untuk menangis, tangisannya terhenti.

Sesuatu itu (kecuali dia Seseorang) terus berjalan di sampingnya begitu tanpa suara
sehingga Shasta mulai berharap dia hanya berkhayal. Tapi tepat ketika dia mulai
yakin dengan pikiran ini, mendadak terdengar embusan napas dalam dan kaya dari
kegelapan di sampingnya. Itu tidak mungkin hasil imajinasinya! Lagi pula dia telah
merasakan panasnya embusan udara dari embusan napas itu pada tangan kirinya
yang kedinginan.

Kalau kudanya berkemampuan tinggi--atau kalau dia tahu bagaimana cara


mengeluarkan kemampuan terbaik kuda--dia mungkin akan merisikokan segalanya
pada pelarian dan pacuan liar. Tapi dia tahu dia tidak akan bisa membuat kudanya
berpacu. Jadi dia terus berjalan biasa sementara rekan seperjalanannya yang tidak
terlihat berjalan dan bernapas berat di sampingnya. Akhirnya dia tidak tahan lagi.
"Siapa kau?" tanyanya, nyaris tidak lebih keras daripada bisikan.

"Seseorang yang telah menunggu lama sekali agar kau berbicara," jawab Sesuatu
itu. Suaranya tidak keras, tapi sangat kuat dan dalam.

"Apakah kau--apakah kau raksasa?" tanya Shasta.

"Kau bisa menyebutku raksasa," kata si Suara Kuat. "Tapi aku tidak seperti
makhluk yang kausebut sebagai raksasa."

"Aku sama sekali tidak bisa melihatmu," kata Shasta, setelah menajamkan
penglihatannya. Kemudian (karena pikiran yang lebih mengerikan mendatangi
benaknya) dia bertanya, hampir berteriak, "Kau bukan--bukan sesuatu yang sudah
mati, kan? Oh, kumohon, kumohon pergilah. Kesalahan apa yang pernah
kulakukan padamu? Oh, aku orang paling sial di seluruh dunia ini!"

Sekali lagi dia merasakan embusan hangat napas Sesuatu itu pada tangan dan
wajahnya.

"Nah," katanya, "itu bukanlah napas hantu. Ceritakan kepadaku segala


kepedihanmu."

Shasta merasa sedikit tenang karena napas itu, jadi dia bercerita betapa dia tidak
pernah mengenal ayah ataupun ibu kandungnya, dan betapa dia telah dibesarkan
secara keras oleh si nelayan. Kemudian dia menceritakan kisah pelariannya dan
bagaimana mereka dikejar singa-singa lalu terpaksa berenang untuk
menyelamatkan nyawa, dan tentang semua bahaya yang dihadapi mereka di
Tashbaan, lalu tentang malam yang dihabiskannya di antara makam dan bagaimana
para makhluk buas melolong pada dirinya di padang pasir. Dan dia bercerita
tentang panasnya dan hausnya perjalanan padang pasir mereka, juga bagaimana
mereka hampir mencapai tujuan akhir ketika singa lain mengejar mereka dan
melukai Aravis. Lalu juga, betapa lamanya sejak dia terakhir memperoleh santapan
untuk dimakan.

"Aku tidak akan menyebutmu tidak beruntung," kata si Suara Kuat.

"Tidakkah menurutmu adalah nasib sial untuk bertemu begitu banyak singa?"
tanya Shasta.

"Hanya ada satu singa," kata si Suara.


"Apa maksudmu? Aku baru saja memberitahumu setidaknya ada dua di malam
pertama perjalanan, dan--"

"Hanya ada seekor, tapi kakinya begitu cepat."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Karena akulah singa itu." Dan ketika Shasta terperangah dengan mulut ternganga
dan tidak mengucapkan apa pun, sang Suara meneruskan, "Akulah singa yang
memaksamu bergabung dengan Aravis. Akulah kucing yang memberimu
kenyamanan di antara rumah mereka yang telah mati. Akulah singa yang mengusir
para anjing liar darimu ketika kau tertidur. Akulah singa yang memberi kedua kuda
itu kekuatan dan rasa takut untuk perjalanan satu mil terakhir, agar kau bisa
menemui Raja Lune tepat pada waktunya. Dan akulah singa yang tidak kauingat
telah mendorong perahu tempat kau berbaring, anak yang sekarat, sehingga perahu
itu bisa mendarat di mana seorang pria sedang duduk terjaga di tengah malam
untuk menerimamu."

"Kalau begitu kaulah yang telah melukai Aravis."

"Benar."

"Tapi untuk apa?"

"Nak," kata sang Suara. "Aku hanya memberitahumu kisahmu, bukan kisahnya.
Aku tidak menceritakan kisah mana pun kepada siapa pun kecuali yang menjadi
miliknya."

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Shasta.

"Diriku sendiri," kata sang Suara, begitu dalam dan rendah sehingga tanah terasa
bergetar. Kemudian sekali lagi, "Diriku sendiri", keras, jelas, dan ringan namun
penuh kebanggaan, lalu untuk kali ketiga, "Diriku sendiri", dibisikkan begitu
lembut sehingga kau nyaris tidak bisa mendengarnya, namun suara itu seolah
keluar dari seluruh tempat di sekelilingmu seakan-akan dedaunan bergemeresik
bersamanya.

Shasta tidak lagi mengkhawatirkan suara itu milik sesuatu yang akan memakannya,
ataupun berasal dari hantu. Namun getaran baru yang berbeda kini menguasainya.
Meski dia sekaligus merasa lega.
Kabut kini berubah dari hitam menjadi abu-abu, kemudian dari abu-abu menjadi
putih. Ini pasti telah mulai terjadi beberapa waktu lalu, tapi ketika berbicara
dengan sang Sesuatu, dia tidak memerhatikan hal-hal lain. Sekarang, warna putih
di sekelilingnya menjadi putih yang bersinar, matanya mulai berkedip-kedip. Di
suatu tempat di depannya dia bisa mendengar burung-burung bernyanyi. Dia pun
tahu akhirnya malam telah berakhir. Dia bisa melihat surai, telinga, dan kepala
kudanya dengan mudah sekarang. Cahaya keemasan menyinari mereka dari arah
kiri. Dia berpikir itu pasti matahari.

Dia menoleh dan melihat, kini sedang berjalan di sampingnya, lebih tinggi
daripada kuda, seekor singa. Kudanya tidak tampak ketakutan pada makhluk ini
atau mungkin dia tidak bisa melihatnya. Ternyata cahaya datang dari singa itu.
Tidak ada yang pernah melihat apa pun semengerikan sekaligus seindah ini.

Untungnya Shasta telah hidup sepanjang hidupnya terlalu jauh di Selatan di


Calormen untuk pernah mendengar kisah-kisah yang dibisikkan di Tashbaan
tentang iblis Narnia menakutkan yang tampil dalam wujud singa. Dan tentu saja
dia tidak tahu sama sekali cerita-cerita sesungguhnya tentang Aslan, Singa Agung,
putra Kaisar-di-seberang-Lautan, Raja diraja semua Raja Agung di Narnia. Tapi
setelah satu pandangan sekilas ke wajah sang singa. Shasta meluncur turun dari
sadel dan memijak tanah dengan kedua kakinya. Dia tidak bisa berkata-kata
walaupun dia memang tidak ingin mengatakan apa-apa, dan dia tahu dia tidak
perlu mengucapkan apa pun.

Raja Agung yang lebih mulia daripada semua raja membungkuk ke arahnya. Surai
sang singa, dan aroma aneh nan agung yang tercium dari surai itu, mengelilingi
Shasta. Singa itu menyentuh dahi Shasta dengan lidahnya. Anak itu mengangkat
kepala dan mata mereka bertemu. Kemudian mendadak cahaya pucat kabut dan
sinar menyilaukan sang singa bergulung dan bertemu menjadi pusaran
menakjubkan, bergabung menjadi satu, lalu menghilang. Shasta kini tinggal berdua
bersama kudanya pada sisi bukit yang berumput lebat di bawah langit biru. Dan
ternyata memang ada burung-burung yang bernyanyi.
Bab 12

Shasta di Narnia

APAKAH semua tadi hanya mimpi? Shasta bertanya-tanya. Tapi tidak mungkin
pertemuan itu sekadar mimpi karena di sana, di rerumputan di hadapannya, dia
melihat jejak dalam dan besar cakar kanan depan singa. Benar-benar menyesakkan
dada bila seseorang berusaha menebak berat tubuh apa pun yang bisa membuat
jejak kaki seperti itu. Tapi ada sesuatu yang lebih menakjubkan daripada
ukurannya.

Ketika Shasta memerhatikannya, air telah memenuhi dasar jejak tersebut. Tak lama
kemudian ceruk itu telah penuh hingga ke pinggir-pinggirnya, lalu luber, dan aliran
air kecil kini mengalir ke bawah bukit, melewati anak itu, melintasi rerumputan.

Shasta membungkuk dan minum--minum sepuas-puasnya--kemudian mencelupkan


wajah dan menyiramkan air ke kepalanya. Air terasa sangat dingin, tampak
sebening kaca, dan sangat menyegarkannya. Setelah itu dia berdiri, mengibaskan
air supaya keluar dari telinganya, menyisir ke belakang rambutnya yang basah dari
dahi, lalu memerhatikan keadaan sekelilingnya.

Tampaknya hari masih sangat dini. Matahari baru mulai terbit, telah naik dan
keluar dari hutan yang dia lihat berada sangat jauh di bawah di sebelah kanannya.
Daerah yang dia lihat kini jelas-jelas asing baginya. Daratan lembah hijau yang di
beberapa tempat ditumbuhi pepohonan, dan dibaliknya dia melihat kilau air sungai
yang mengalir kurang-lebih ke arah barat laut. Pada sisi jauh lembah itu terlihat
perbukitan yang tinggi dan bahkan lebih berbatu-batu, tapi sosoknya lebih rendah
daripada pegunungan yang telah dilihatnya kemarin. Kemudian dia mulai menebak
posisinya. Dia berbalik dan memerhatikan pemandangan di belakangnya, lalu
melihat lereng tempatnya berdiri berada di dataran tinggi pegunungan yang jauh
lebih tinggi.

"Ternyata begitu," kata Shasta pada dirinya sendiri. "Gunung-gunung itu adalah
pegunungan besar di antara Archenland dan Narnia. Aku berada di sisi lain
gunung-gunung itu kemarin. Aku pastinya telah melewati jalan perbukitan tadi
malam. Aku benar-benar beruntung!-setidaknya bukan benar-benar karena nasib
baik, ini pasti karena Dia. Dan sekarang aku sudah tiba di Narnia."
Dia berbalik lagi dan membuka sadel kudanya lalu melepas tali kekangnya--
"Walaupun kau benar-benar kuda yang menyebalkan," katanya. Kuda itu
mengabaikan komentar Shasta dan langsung mulai menyantap rumput. Hewan
tersebut punya pandangan amat rendah tentang diri Shasta.

Kalau saja aku bisa makan rumput, pikir Shasta. Tidak ada gunanya kembali ke
Anvard, pasti semua jalan ditutup. Lebih baik aku pergi ke bawah lembah dan
memeriksa apakah ada sesuatu yang bisa kumakan.

Jadi dia melanjutkan perjalanan ke bawah lembah (embun yang besar-besar terasa
sangat dingin menusuk bagi kaki-kaki telanjangnya) sampai dia tiba di hutan kecil.
Ada semacam jalan setapak dalam hutan itu dan dia baru menyusurinya beberapa
menit ketika dia mendengar suara tebal dan agak mendesis berkata kepadanya:
"Selamat pagi, Tetangga."

Dengan antusias, Shasta melihat ke sekelilingnya untuk mendapati si pembicara


dan akhirnya dia melihat sosok kecil dan berduri dengan wajah gelap baru saja
keluar dari sekelompok pohon. Setidaknya, sosok itu terlalu kecil untuk manusia
namun teramat besar untuk seekor landak, yang ternyata memang.

"Selamat pagi," jawab Shasta. " tapi aku bukan tetanggamu. Bahkan aku orang
asing di daerah sini."

"Ah?" ucap Landak penuh tanda tanya.

"Aku datang dari balik pegunungan--dari Archenland, kau tahu, kan?"

"Ah, Archenland," kata Landak. "Tempat itu jauh sekali. Aku sendiri belum pernah
ke sana."

"Dan kurasa, mungkin," kata Shasta, "seseorang harus diberitahu bahwa ada
pasukan Calormen yang kejam menyerang Anvard saat ini juga."

"Benarkah itu?" komentar Landak. "Wah, coba bayangkan. Padahal mereka selalu
berkata bangsa Calormen berada ratusan dan ribuan mil jauhnya, tepat di ujung
dunia, menyeberangi lautan pasir yang luas."

"Ternyata tidaklah sejauh seperti bayanganmu," kata Shasta. "Dan bukankah


sesuatu harus dilakukan tentang penyerangan ke Anvard ini? Bukankah seharusnya
Raja Agung-mu diberitahu?"
"Tentu saja, sesuatu harus dilakukan mengenai perihal ini," kata Landak. "Tapi kau
bisa melihat sendiri, aku sedang dalam perjalanan menuju tempat tidur untuk tidur
siangku. Halo, Tetangga!"

Kata-kata terakhir ini ditujukan kepada kelinci raksasa dengan warna bulu seperti
biskuit yang kepalanya baru saja muncul keluar dari suatu tempat di samping jalan
setapak.

Landak itu langsung memberitahu Kelinci tentang apa yang baru diketahuinva dari
Shasta. Kelinci setuju ini kabar yang sangat mengejutkan dan bahwa seseorang
harus memberitahu seseorang tentang ini dan melakukan sesuatu.

Jadi proses ini pun terus berlanjut. Setiap beberapa menit anggota kelompok
mereka bertambah dengan makhluk-makhluk lain, beberapa dari cabang-cabang
pohon di atas, dan beberapa dari rumah-rumah kecil di bawah tanah di kaki
mereka, hingga akhirnya kelompok mereka terdiri atas lima kelinci, seekor bajing,
dua burung magpie, faun berkaki kambing, dan seekor tikus, yang semuanya
berbicara pada saat yang sama dan sependapat dengan Landak. Karena sebenarnya
pada zaman keemasan ketika sang penyihir juga musim dingin telah pergi dan
Peter sang Raja Agung berkuasa di Cair Paravel, rakyat daerah hutan yang lebih
kecil di Narnia merasa begitu aman dan bahagia sehingga mereka mulai bersikap
kurang waspada.

Namun akhirnya, dua makhluk yang lebih praktis tiba di hutan kecil tu. Salah
satunya adalah Dwarf Merah yang sepertinya bernama Duffle. Makhluk yang
satunya seekor rusa jantan, hewan agung dan luar biasa indah dengan mata bening
lebar, sisi tubuhnya berbintik-bintik dan kakinya begitu jenjang dan anggun
sehingga kelihatannya kau bisa mematahkan keempatnya hanya dengan dua jari.

"Hidup sang singa!" pekik Dwarf segera setelah dia mendengar kabar ini. "Dan
kalau memang benar begitu, kenapa kita semua bergeming, bercakap-cakap?
Musuh ada di Anvard! Kabar ini harus segera disampaikan ke Cair Paravel.
Pasukan harus disiapkan. Narnia harus pergi dan membantu Raja Lune."

"Ah!" kata Landak. "Tapi kau tidak akan mendapati Raja Agung di Cair. Dia
berada jauh di Utara memerangi para raksasa itu. Dan bicara soal raksasa, para
tetanggaku, ini membuatku teringat pada--"

"Siapa yang akan mengirimkan pesan kita?" potong Dwarf. "Apakah ada yang
lebih cepat daripada aku di sini?"
"Aku bisa berlari cepat," jawab Rusa Jantan. "Apa pesanku? Berapa jumlah
pasukan Calormen itu?"

"Dua ratus: dipimpin Pangeran Rabadash. Dan--"

Tapi rusa jantan itu sudah berlari--keempat kakinya terbang dari tanah sekaligus,
dan sedetik kemudian bagian belakang tubuhnya yang putih telah menghilang di
antara pepohonan yang lebih jauh.

"Kira-kira ke mana dia akan pergi?" kata Kelinci. "Kalian kan tahu dia tidak akan
mendapati Raja Agung di Cair Paravel."

"Dia akan menemui Ratu Lucy," kata Duffle. "Lalu--astaga! Kenapa manusia ini?
Wajahnya pucat sekali. Ya ampun, kurasa dia akan pingsan. Mungkin dia
kelaparan. Kapan terakhir kali kau makan, anak muda?"

"Kemarin pagi," jawab Shasta lemah.

"Ayo, kalau begitu, mari," kata Dwarf, dia langsung merangkulkan tangan kecil
gemuknya ke pinggang Shasta untuk membantunya berdiri. "Astaga, para
tetanggaku, kita seharusnya malu! Ikutlah denganku, Nak. Sarapan! Itu lebih baik
daripada bicara."

Sambil menimbulkan kehebohan dan terus bergumam memaki dirinya sendiri,


dwarf itu separo menuntun dan separo menggendong Shasta buru-buru ke dalam
hutan dan sedikit mengajaknya menuruni bukit. Perjalanan itu terasa lebih panjang
daripada yang Shasta inginkan pada saat itu, dan kedua kakinya mulai terasa sangat
gemetar sebelum mereka keluar dari pepohonan dan menuju sisi bukit yang
kosong. Di sana mereka mendapati rumah kecil dengan cerobong yang berasap dan
pintu yang terbuka, lalu ketika mereka memasuki pintu, Duffle berteriak: "He,
saudara-saudaraku! Ada tamu untuk sarapan."

Dan mendadak, bersamaan dengan suara berdesis, tercium oleh Shasta wangi yang
menyenangkan. Aroma itu belum pernah diciumnya selama hidupnya, tapi kuharap
kau pernah. Aroma itu berasal dari daging bacon, telur, dan jamur yang sedang
digoreng di panci.

"Hati-hati kepalamu, Nak," kata Duffle sedetik terlambat, karena Shasta telah
membenturkan dahinya ke kerangka pintu yang rendah.
"Sekarang," lanjut Dwarf, "silakan duduk. Meja ini terlalu rendah untukmu, tapi
toh kursinya juga rendah. Bagus. Dan ini bubur--lalu ini sepoci krim--dan ini
sendoknya."

Pada saat Shasta selesai menyantap buburnya, dua saudara dwarf itu (yang
bernama Rogin dan Bricklethumb) menyajikan sepiring bacon, telur, dan jamur,
juga poci kopi, susu panas, dan roti bakar di meja.

Semua ini pengalaman baru dan indah bagi Shasta karena santapan Calormen
sangat berbeda dengan makanan itu. Dia bahkan tidak tahu apakah irisan-irisan
cokelat di hadapannya, karena dia tidak pernah melihat roti bakar sebelumnya. Dia
tidak tahu benda apakah yang kuning dan lembut yang mereka oleskan ke roti
bakar, karena di Calormen kau hampir selalu mendapat minyak bukannya mentega.
Dan rumah itu sendiri sangat berbeda dengan gubuk gelap, dingin, berbau ikan
milik Arsheesh, ataupun aula-aula berpilar dan berkarpet istana-istana Tashbaan.
Langit-langitnya sangat rendah, segala hal terbuat dari kayu, dan tampak jam
dinding kuk-kuk juga taplak berpola kotak-kotak merah-putih, semangkuk bunga
liar serta gorden kecil pada jendela-jendela bertepi tebal. Juga terasa agak sulit
menggunakan cangkir, piring, pisau, dan garpu dwarf. Ini berarti porsi tambahan
memang sangat sedikit, tapi tersedia banyak porsi tambahan, sehingga piring dan
cangkir Shasta selalu terisi kembali setiap saat, dan setiap saat para dwarf itu
sendiri berkata, "Tolong menteganya", "Secangkir kopi lagi", "Bisakah aku
memperoleh jamur lagi?", atau "Bagaimana kalau kita menggoreng sebutir telur
atau lebih lagi?"

Dan ketika akhirnya mereka semua selesai bersantap sebanyak yang mereka
mampu, ketiga dwarf mengambil undian siapa yang akan mencuci, dan Rogin
ternyata tidak beruntung. Kemudian Duffle dan Bricklethumb mengajak Shasta
keluar menuju bangku yang bersandar pada dinding pondok, lalu mereka
menjulurkan kaki, mengesahkan napas penuh rasa puas, dan kedua dwarf
menyalakan pipa mereka. Embun kini telah mengering dari rerumputan dan sinar
matahari terasa hangat, bahkan kalau tidak ada angin semilir yang sejuk, hari itu
akan terasa panas.

"Sekarang, orang asing," kata Duffle, "aku akan menunjukkan padamu keadaan
tanah ini. Kau bisa melihat nyaris seluruh bagian Selatan Narnia dari sini, dan kami
agak bangga dengan pemandangan ini. Langsung di sebelah kirimu, di balik bukit-
bukit yang dekat itu, kau bisa melihat Pegunungan Barat. Dan bukit bundar jauh di
sebelah kananmu bernama Bukit Stone Table. Di balik itu--"
Tapi pada saat itu, penjelasan Duffle terpotong dengkuran Shasta yang, berkat
perjalanan sepanjang malam dan sarapan memuaskannya, telah tertidur lelap.

Para dwarf yang baik hati itu, segera setelah menyadari ini, mulai membuat tanda
pada satu sama lain untuk tidak membangunkan Shasta, dan mengeluarkan begitu
banyak bisikan, mengangguk-angguk, bangkit, dan membuat suara saat berjingkat
pergi sehingga mereka sudah pasti akan membangunkannya kalau anak itu tidak
terlalu lelah.

Shasta tertidur cukup nyenyak nyaris sepanjang hari tapi terbangun tepat pada saat
makan malam. Semua tempat tidur di tempat itu juga terlalu kecil untuknya tapi
mereka menyiapkan kasur heather di lantai, dan dia tidak pernah bergerak gelisah
maupun bermimpi sepanjang malam. Keesokan paginya mereka baru saja selesai
sarapan ketika mendengar suara tajam penuh semangat dari luar.

"Terompet!" kata ketiga dwarf, ketika mereka dan Shasta sama-sama berlari
keluar.

Terompet-terompet bersuara lagi: suara yang baru bagi Shasta, tidak keras dan
agung seperti terompet tanduk Tashbaan, ataupun penuh semangat dan ceria seperti
terompet tanduk berburu Raja Lune, tapi jelas, tajam, dan penuh keberanian. Suara
itu datang dari hutan di timur, dan tak lama terdengar suara entakan kaki kuda
bercampur dengannya. Beberapa saat kemudian kepala barisan mulai kelihatan.

Pertama tampak Lord Peridan di atas kuda cokelat berbintik hitam membawa panji
besar Narnia--singa merah pada latar hijau. Shasta langsung mengenalinya.
Kemudian menyusul tiga orang berkuda berdampingan, dua di atas kuda perang
yang menakjubkan dan seorang di punggung kuda poni. Dua orang yang
mengendarai kuda perang adalah Raja Edmund dan wanita berambut pirang yang
berwajah sangat ceria. Dia mengenakan topi baja juga baju rantai besi, dan
membawa busur yang disampirkan di bahunya serta tempat anak panah yang penuh
di sisi tubuhnya.

("Itu Ratu Lucy," bisik Daffle.) Tapi orang yang duduk di atas poni ternyata Corin.
Setelah itu tampak bagian utama pasukan: para manusia dengan kuda-kuda biasa,
para manusia dengan Kuda yang Bisa Berbicara (yang tidak keberatan ditunggangi
pada kesempatan-kesempatan khusus, seperti ketika Narnia harus berperang), para
centaurus, beruang-beruang tangguh yang penuh luka gigitan, para Anjing yang
Bisa Berbicara besar, dan akhirnya enam raksasa. Karena memang ada raksasa
baik di Narnia. Tapi walaupun dia tahu para raksasa itu berada di pihak yang
benar, awalnya Shasta nyaris tidak berani melihat mereka. Ada banyak hal yang
perlu dibiasakan terlebih dahulu.

Ketika sang raja dan ratu sampai di pondok dan ketiga dwarf mulai membungkuk
rendah memberi hormat kepada mereka, Raja Edmund berseru: "Kini, teman-
teman! Ini saatnya untuk berhenti dan beristirahat!"

Lalu segera terjadi kericuhan akibat orang-orang turun dari kuda, kantong-kantong
perjalanan dibuka, dan percakapan dimulai ketika Corin berlari menghampiri
Shasta, meraih kedua tangannya dan berseru: "Astaga! Kau ada di sini! Jadi kau
berhasil ke sini? Aku sangat lega. Sekarang kita akan bersenang-senang. Betapa ini
nasib baik! Kami baru tiba di pelaburan Cair Paravel pagi kemarin dan yang
pertama bertemu kami adalah Chervy sang Rusa Jantan dengan semua kabar
tentang penyerangan ke Anvard. Apakah menurutmu--"

"Siapa teman Yang Mulia?" tanya Raja Edmund, yang baru saja turun dari
kudanya.

"Tidakkah kau bisa melihatnya, Sire?" kata Corin. "Dia kembaranku: anak laki-laki
yang kaukira aku di Tashbaan."

"Astaga, dia memang benar-benar mirip denganmu," seru Ratu Lucy. "Kalian
seperti saudara kembar. Ini menakjubkan sekali."

"Aku mohon, yang Mulia," kata Shasta kepada Raja Edmund, "aku bukanlah
pengkhianat, sungguh. Dan aku tidak sengaja mendengar rencana kalian. Tapi aku
tidak pernah bermimpi akan membocorkannya pada musuh-musuh Anda."

"Sekarang aku tahu kau bukan pengkhianat, Nak," kata Raja Edmund, meletakkan
tangannya di kepala Shasta. "Tapi jika kau memang tidak mau dianggap begitu,
lain kali upayakan kau tidak mendengar apa-apa yang dimaksud kan untuk telinga
orang lain. Tapi semua tak menjadi masalah lagi."

Setelah itu terjadi begitu banyak kehebohan, percakapan, kedatangan, juga


kepergian sehingga selama beberapa menit Shasta kehilangan Corin, Edmund, dan
Lucy.

Tapi Corin sejenis anak yang kita bisa yakin akan segera kita tahu keberadaannya,
dan tidaklah butuh waktu lama sebelum Shasta mendengar Raja Edmund berkata
dengan suara keras: "Demi surai singa, Pangeran, ini keterlaluan! Apakah Yang
Mulia tidak akan bersikap lebih baik lagi? Mengaturmu lebih merepotkan daripada
mengatur seluruh pasukan kita! Lebih baik aku memimpin satu resimen langau
kerbau daripada harus berurusan denganmu."

Shasta menyusup di antara kerumunan, dan di barisan depan dia melihat Edmund,
yang memang tampak sangat marah, Corin sendiri tampak sedikit malu, dan dwarf
asing duduk di tanah menampilkan ekspresi sebal. Dua faun tampaknya baru saja
membantunya melepas baju zirah.

"Kalau saja aku membawa rasa belas kasihku," Ratu Lucy berkata, "aku bisa
segera membereskan ini. Tapi Raja Agung telah memerintahku dengan tegas untuk
tidak membawanya ke dalam peperangan dan hanya menyimpannya untuk kasus
yang teramat khusus!"

Inilah yang telah terjadi. Segera setelah Corin berbincang-bincang dengan Shasta,
siku Corin ditarik dwarf bernama Thornbut yang merupakan anggota pasukan.

"Ada apa, Thornbut?" Corin bertanya.

"Yang Mulia," kata Thornbut, menariknya ke samping, "perjalanan kita hari ini
akan membawa kita melintasi jalan perbukitan dan tepat menuju istana agung ayah
Yang Mulia. Kita mungkin akan terlibat dalam peperangan sebelum malam tiba."

"Aku tahu," kata Corin. "Bukankah ini menyenangkan?"

"Menyenangkan ataupun tidak," kata Thornbut, "aku punya perintah tegas dari
Raja Edmund untuk memastikan Yang Mulia tidak terjun ke dalamnya. Yang
Mulia akan diizinkan menyaksikannya, dan itu ancaman yang sudah cukup besar
untuk usia Yang Mulia yang masih begitu muda."

"Oh, omong kosong!" lontar Corin. "Tentu saja aku akan ikut berperang. Bahkan
Ratu Lucy akan bergabung dalam pasukan pemanah."

"Yang Mulia Ratu boleh melakukan apa pun yang dia inginkan," kata Thornbut.
"Tapi Anda merupakan tanggung jawabku. Apakah aku harus mendapatkan janji
agung selayaknya pangeran dari Yang Mulia bahwa Anda akan tetap menjaga kuda
poni Yang Mulia di samping kudaku--bahkan tidak setengah leher pun lebih maju--
sampai aku memberi izin kepada Yang Mulia untuk pergi: atau pilihan lain--ini
sesuai kata-kata sang raja--kita harus pergi dengan pergelangan tangan terikat satu
sama lain seperti dua tawanan."

"Aku akan meninjumu bila kau mencoba mengikatku," kata Corm.


"Aku ingin melihat Yang Mulia melakukannya," kata si dwarf.

Kata-kata itu sudah cukup bagi anak seperti Corin dan sedetik kemudian dia dan si
dwarf beradu jotos. Perkelahian itu mungkin akan seri karena walaupun Corin
memiliki lengan yang lebih panjang dan tubuh yang lebih tinggi, si dwarf sudah
lebih tua dan tangguh. Tapi perkelahian itu tidak diteruskan hingga akhir (walau
perkelahian ini perkelahian paling seru pada sisi bukit yang kasar). Akibat nasib
buruk, Thornbut tergelincir batu, terjatuh, dan mendarat dengan hidungnya, dan
mendapati pergelangan kakinya terkilir ketika dia berusaha bangkit, keseleo yang
amat parah sehingga Thornbut tidak akan bisa berjalan ataupun berkuda setidaknya
selama dua minggu.

"Lihat apa yang telah Yang Mulia lakukan," kata Raja Edmund. "Membuat kita
kehilangan pejuang tangguh saat kita menyongsong pertempuran."

"Aku akan menggantikan tempatnya, Sire," kata Corin.

"Hah," kata Edmund. "Tidak ada yang meragukan keberanianmu. Tapi anak lelaki
dalam pertempuran hanya akan menjadi ancaman bagi pihaknya sendiri."

Pada saat itu sang raja dipanggil pergi untuk mengurusi sesuatu yang lain, dan
Corin, setelah meminta maaf secara kesatria kepada si dwarf, berlari menghampiri
Shasta dan berbisik: "Cepat! Kini ada kuda poni tersisa, juga baju zirah si dwarf.
Lekas pakai sebelum ada yang memerhatikan."

"Untuk apa?" tanya Shasta.

"Yah, tentu supaya kau dan aku bisa ikut berperang dalam pertempuran! Tidakkah
kau ingin bergabung?"

"Oh--ah, ya, tentu saja," kata Shasta. Tapi dia bahkan belum mulai memikirkan itu
sama sekali, lalu dia mulai merasakan tusukan-tusukan tidak menyenangkan di
tulang punggungnya.

"Betul begitu," kata Corin. "Kenakan dari kepalamu. Sekarang sabuk pedangnya.
Tapi kita harus berkuda di dekat barisan belakang dan tetap menjaga supaya kita
tak bersuara. Begitu pertempuran dimulai, semua orang akan terlalu sibuk untuk
memerhatikan kehadiran kita."
Bab 13

Pertempuran di Anvard

SEKITAR pukul sebelas, seluruh pasukan sekali lagi mulai berjalan, berkuda ke
arah barat dengan pegunungan di sebelah kiri mereka. Corin dan Shasta berkuda
tepat di belakang barisan dengan pasukan raksasa langsung di depan mereka. Lucy,
Edmund, dan Peridan sibuk dengan rencana peperangan walaupun Lucy sempat
berkata, "Tapi di mana Yang Mulia Pangeran?"

Edmund hanya menjawab, "Dia tidak ada di depan, dan itu kabar yang cukup baik.
Biarkan saja tetap begitu."

Shasta memberitahu Corin sebagian besar petualangannya dan menjelaskan bahwa


dia mempelajari seluruh kemampuan berkudanya dari seekor kuda dan tidak benar-
benar tahu cara menggunakan tali kekang. Corin menunjukkan caranya, selain
bercerita tentang pelayaran rahasia mereka dari Tashbaan.

"Lalu di mana Ratu Susan?"

"Di Cair Paravel," kata Corin. "Dia tidak seperti Ratu Lucy, kalau kau ingin tahu,
yang selihai pria, atau dalam taraf apa pun selihai pemuda. Ratu Susan lebih seperti
wanita dewasa biasa. Dia tidak berkuda menuju peperangan, walaupun dia
pemanah yang hebat."

Jalan setapak di sisi bukit yang mereka lewati kian menyempit sejalan dengan
berlalunya waktu, dan jurang di sebelah kanan mereka menjadi kian curam.
Akhirnya mereka berjalan dalam satu barisan sepanjang tepi tebing dan tubuh
Shasta gemetar mengingat dia telah melakukan hal yang sama kemarin malam
tanpa menyadarinya. Tapi tentu saja, dia berpikir, aku cukup aman. Itu sebabnya
sang singa berjalan di sebelah kiriku. Dia berada di antara diriku dan pinggir
jurang sepanjang waktu.
Kemudian jalan setapak membelok ke kiri dan mengarah ke selatan menjauhi
tebing, lalu tampak hutan lebat di kedua sisinya. Mereka pun mendaki jalan yang
curam itu hingga ke jalan perbukitan. Sebenarnya akan terpampang pemandangan
yang indah dari puncak jalan tersebut kalau saja daerah itu berupa dataran terbuka,
namun di antara semua pohon itu kau tidak bisa melihat apa pun--hanya saja,
sesekali, tampak beberapa tebing batu besar di balik pucuk pepohonan, dan seekor
atau dua ekor elang terbang berputar di langit biru.

"Mereka mencium pertempuran," kata Corin, menunjuk ke kedua burung tersebut.


"Mereka tahu kita sedang menyiapkan santapan bagi mereka."

Shasta sama sekali tidak menyukai ini.

Ketika telah menyeberangi leher jalan perbukitan dan mencapai bagian yang lebih
rendah, mereka tiba di daratan yang lebih terbuka dan dari sini Shasta dapat
melihat seluruh Archenland, biru dan berkabut, terbentang di bawahnya dan
bahkan (menurutnya) sedikit pemandangan padang pasir di baliknya. Tapi
matahari, yang mungkin masih memiliki dua jam atau lebih untuk bertengger di
langit sebelum terbenam, menghalangi pandangannya dan dia tidak bisa melihat
jelas.

Di sini pasukan berhenti dan berpencar membentuk barisan, dan terjadilah berbagai
pengaturan. Sekelompok Hewan yang Bisa Berbicara yang tampak sangat
mengancam-Shasta tadinya tidak menyadari keberadaan mereka--dan sebagian
besar terdiri atas spesies kucing (macan tutul, macan kumbang, dan semacamnya)
melangkah maju dan meraung mengambil posisi di sebelah kiri pasukan.

Para raksasa diperintahkan mengambil posisi di kanan barisan, dan sebelum pergi
ke posisi masing-masing, mereka menurunkan sesuatu yang telah mereka bawa di
punggung dan duduk sebentar. Shasta lalu melihat sesuatu yang telah mereka
bawa-bawa dan kini mereka kenakan itu ternyata sepasang sepatu bot: bot
mengerikan, berat, dan berpaku yang menutupi hingga lutut. Kemudian mereka
menyampirkan gada besar mereka ke bahu dan berbaris mengambil posisi.

Pasukan pemanah, bersama Ratu Lucy, mundur ke belakang barisan dan kau bisa
melihat awalnya mereka melengkungkan busur lalu mendengar toing-toing ketika
mereka mengetes tali busur. Dan ke mana pun memandang, kau bisa melihat
orang-orang mengencangkan sabuk, mengenakan topi baja, menghunus pedang,
dan melemparkan jubah ke tanah. Kini nyaris tidak ada yang bicara. Suasana terasa
sangat serius dan menegangkan.
Aku sudah terlibat sekarang--aku benar-benar sudah terlibat sekarang, pikir Shasta.

Kemudian terdengar suara-suara jauh di depan: suara banyak pria berteriak dan
suara entakan duk-duk-duk yang terus-menerus.

"Alat pendobrak gerbang," bisik Corin. "Mereka menggedor-gedor gerbang."

Bahkan Corin kini tampak sangat serius.

"Kenapa Raja Edmund belum juga maju?" tanyanya. "Aku tidak tahan menunggu
lebih lama lagi. Udara pun semakin dingin."

Shasta mengangguk: berharap dia tidak tampak setakut yang dirasakannya.

Akhirnya terdengar suara terompet! Pasukan bergerak--kini berlari kecil--panji


berkibar ditiup angin. Mereka kini mencapai puncak dataran tinggi yang rendah,
dan di bawah mereka seluruh keadaan mendadak terlihat jelas: istana kecil
bermenara banyak dengan gerbang menghadap mereka. Sayangnya tidak berparit,
tapi tentu saja gerbang itu tertutup dan kerangkeng besinya diturunkan. Pada
dinding-dinding, mereka bisa melihat, seperti titik-titik putih kecil, wajah-wajah
pasukan pertahanan.

Di bawah, sekitar lima puluh orang Calormen, yang telah turun dari kuda, terus-
menerus membenturkan batang pohon ke gerbang. Tapi pemandangan segera
berubah.

Pasukan utama Rabadash mulai berjalan kaki dan siap menyerang gerbang. Tapi
kini mereka telah melihat pasukan Narnia turun menyerbu dari dataran tinggi.
Tidak perlu diragukan betapa terlatihnya orang-orang Calormen itu. Sepertinya
baru sedetik berlalu ketika Shasta melihat seluruh barisan musuh sudah naik
kembali ke punggung kuda, berputar untuk menghadapi mereka, mengalihkan
penyerbuan ke arah mereka.

Dan kini mereka berpacu. Jarak di antara dua pasukan setiap saat kian berkurang.
Lebih cepat, lebih cepat lagi. Semua pedang kini sudah terhunus, semua perisai
diangkat hingga ke hidung, semua doa diucapkan, semua geligi dikatupkan.

Shasta sangat ketakutan. Tapi mendadak timbul pemikiran di benaknya, kalau kau
menggagalkan ini, kau akan menggagalkan semua pertempuran dalam hidupmu.
Sekarang atau tidak sama sekali.
Tapi ketika akhirnya dua barisan bertemu dia punya sedikit bayangan akan apa
yang kemudian terjadi. Terjadi kebingungan yang mengerikan dan terdengar suara
penuh teror. Pedangnya segera terlempar dari tangannya tak lama setelah itu. Dan
entah bagaimana tali kekangnya terbelit-belit. Lalu dia mendapati dirinya merosot
turun. Kemudian tombak datang menerjang ke arahnya dan ketika merunduk untuk
menghindari tusukan, dia sekaligus berputar dan turun dari kuda, membenturkan
buku-buku jemari kirinya keras sekali ke baju zirah seseorang, kemudian--

Tapi tidak ada gunanya menggambarkan pertempuran itu dari sudut pandang
Shasta. Secara umum dia hanya memahami sedikit tentang perang itu dan bahkan
perannya sendiri di dalamnya. Cara terbaik yang bisa kulakukan untuk
memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi adalah dengan membawamu pergi
sejauh beberapa mil, ke tempat Pertapa Perbatasan Selatan duduk memandang ke
dalam kolam bepermukaan tenang di bawah pohon yang cabangnya terbentang
panjang, bersama Bree, Hwin, dan Aravis di sampingnya.

Karena melalui kolam inilah sang pertapa mendapatkan penglihatan ketika dia
ingin mengetahui apa yang terjadi di dunia di luar dinding hijau pertapaannya. Di
sana, seperti pada cermin, dia bisa melihat pada waktu-waktu tertentu, apa yang
terjadi di berbagai jalan kota-kota yang letaknya lebih jauh ke selatan daripada
Tashbaan, atau kapal-kapal apa yang berlabuh di Redhaven di Seven Isles yang
terletak di pedalaman, atau perampok-perampok apa atau makhluk buas apa yang
membuat kericuhan di hutan-hutan lebat negeri Barat di antara Lantern Waste dan
Telmar. Dan sepanjang hari ini dia nyaris tidak meninggalkan kolamnya, bahkan
untuk makan dan minum, karena dia tahu peristiwa-peristiwa besar sedang
berlangsung di Archenland. Aravis dan kedua kuda juga ikut memandang ke dalam
kolam. Mereka bisa melihat bahwa kolam itu kolam ajaib: bukannya menampilkan
bayangan pohon dan langit, kolam itu menunjukkan sosok-sosok samar dan
berwarna yang bergerak, selalu bergerak, dari kedalamannya. Tapi mereka tidak
bisa melihat apa pun dengan jelas. Namun pertapa itu bisa melihat jelas dan
sesekali dia memberitahu mereka apa yang dia lihat. Beberapa saat sebelum Shasta
berkuda menyambut pertempuran pertamanya, sang pertapa mulai berbicara seperti
ini: "Aku melihat satu--dua--tiga elang terbang berputar di celah dekat Stormness
Head. Salah satunya merupakan elang yang tertua di antara bangsanya. Dia tidak
akan keluar kecuali peperangan berada di depan mata. Aku melihatnya terbang
berputar-putar, terkadang melihat ke bawah ke Anvard dan terkadang ke arah
timur, ke balik Stormness.

"Ah--aku melihat sekarang apa yang telah menyibukkan Rabadash dan pasukannya
sepanjang hari ini. Mereka telah menebang dan memotongi pohon besar dan
mereka kini berjalan keluar dari hutan membawanya sebagai alat pendobrak.
Mereka telah mempelajari sesuatu dari kegagalan penyerangan terakhir kemarin
malam. Dia akan lebih bijaksana bila dia memerintah prajurit-prajuritnya membuat
tangga: tapi tindakan itu akan memakan waktu lebih lama dan dia tidak sabar lagi.
Dia memang bodoh! Dia seharusnya berkuda pulang ke Tashbaan segera setelah
penyerangan pertamanya gagal, karena seluruh rencananya bergantung pada
kecepatan dan elemen kejutan.

"Kini mereka memosisikan alat pendobrak mereka. Pasukan Raja Lune berteriak
keras dari atas dinding. Rabadash kini mengeluarkan perintah-perintahnya.
Bersamanya tampak para bangsawan paling terpercayanya, pejuang-pejuang
Tarkaan tangguh dari provinsi-provinsi timur. Aku bisa melihat wajah mereka. Itu
Corradin dari Istana Tormunt, Azrooh, Chlamash, Ilgamuth si bibir sumbing, dan
Tarkaan tinggi dengan janggut kemerahan--"

"Demi Surai Agung, itu majikan lamaku Anradin!" kata Bree.

"Sstt," kata Aravis.

"Kini pendobrakan dimulai. Kalau aku bisa mendengar sejelas aku melihat, betapa
keras suara yang dihasilkannya! Gedoran demi gedoran: dan tidak ada gerbang
yang akan bisa bertahan selamanya. Tapi tunggu! Sesuatu di atas Stormness telah
menakuti burung-burung. Mereka datang dalam rombongan besar. Dan tunggu
sebentar lagi... aku belum bisa melihatnya... ah! Kini tampak. Seluruh punggung
bukit, tinggi di Timur, tampak hitam tertutupi pasukan berkuda. Kalau saja angin
dapat menangkap tiang bendera yang mereka bawa dan mengibarkan benderanya.
Mereka kini berada di puncak dataran tinggi, siapa pun mereka. Aha! Aku telah
melihat panji mereka. Narnia, Narnia! Itu sang singa merah. Kini mereka bergerak
dengan kecepatan penuh menuruni bukit. Aku bisa melihat Raja Edmund. Ada
wanita di belakang di antara para pemanah. Oh!--"

"Ada apa?" tanya Hwin menahan napas. "Semua Kucing berlari keluar dari bagian
kiri barisan."

"Kucing?" tanya Aravis.

"Kucing-kucing besar, macan tutul dan sejenisnya," kata sang pertapa tidak sabar.
"Ah, begitu rupanya. Pasukan Kucing menyerbu dan membuat lingkaran,
mengelilingi kuda-kuda para prajurit yang telah berjalan kaki. Serangan jitu. Kuda-
kuda Calormen sudah terlebih dahulu ketakutan. Kini pasukan Kucing itu berada di
antara mereka. Tapi Rabadash telah mengatur ulang barisannya dan punya seratus
prajurit berkuda. Mereka berpacu untuk menghadapi pasukan Narnia. Saat ini
hanya ada jarak sekitar dua ratus meter di antara dua barisan. Sekarang hanya lima
puluh. Aku bisa melihat Raja Edmund, aku bisa melihat Lord Peridan. Ada dua
anak biasa dalam barisan pasukan Narnia. Kenapa sang raja memperbolehkan
mereka ikut dalam peperangan? Tinggal sepuluh meter lagi--barisan kedua pihak
akhirnya bertemu. Para raksasa pada barisan kanan pasukan Narnia melakukan
serangan-serangan menakjubkan... tapi ada satu yang tumbang.., tertembak
matanya, kurasa. Bagian tengah begitu ricuh dan membingungkan. Aku bisa
melihat lebih jelas di bagian kiri. Itu dia dua anak lelaki itu lagi. Demi sang singa!
Salah satunya Pangeran Corin. Anak yang satunya lagi, begitu mirip dengannya
seperti dua kacang polong. Itu Shasta kecil kalian. Corin bertarung seperti pria
dewasa. Dia telah membunuh seorang Calormen. Aku bisa melihat bagian tengah
sedikit sekarang. Rabadash dan Edmund juga hampir bertemu sekarang, tapi
mereka kembali berpisah karena terdorong pasukan--"

"Bagaimana dengan Shasta?" tanya Aravis.

"Oh, anak bodoh itu!" erang sang pertapa. "Anak kecil bodoh malang yang berani
itu. Dia tidak tahu apa-apa tentang ini. Dia sama sekali tidak menggunakan
perisainya. Seluruh sisi tubuhnya terbuka lebar. Dia sama sekali tidak punya
bayangan bagaimana menggunakan pedangnya. Oh, sekarang dia sudah
mengingatnya. Dia mengayunkannya sembarangan... nyaris memancung kepala
kuda poninya sendiri, dan dia akan melakukan itu sebentar lagi bila tidak berhati-
hati. Pedang itu kini terlempar dari tangannya. Mengirim anak ke pertempuran
sama saja dengan sekadar pembunuhan, dia tidak akan bertahan hidup bahkan
selama lima menit. Tiarap, bodoh--oh, dia terjatuh."

"Terbunuh?" tanya tiga suara menahan napas.

"Bagaimana aku bisa tahu?" kata sang pertapa. "Para Kucing telah menuntaskan
tugas mereka. Kini semua kuda tidak berpenunggang telah mati atau melarikan
diri: tidak mungkin pasukan Calormen bisa kembali mengendarai mereka. Kini
para Kucing berbalik ke pertarungan utama. Mereka menerkam para prajurit
pendobrak gerbang. Alat pendobrak terjatuh. Oh, bagus! Bagus! Gerbang kini
terbuka dari dalam: akan ada penyerbuan.

"Tiga orang pertama keluar. Itu Raja Lune di tengah: saudara-saudaranya Dar dan
Darrin di kedua sisinya. Di belakang mereka Tran, Shar, Cole, dan saudaranya
Colin. Ada sepuluhdua puluh--nyaris tiga puluh prajurit yang telah keluar
sekarang. Barisan Calormen terdorong ke belakang oleh mereka. Raja Edmund
melakukan serangan-serangan luar biasa. Dia baru saja memotong kepala Corradin.
Banyak di antara orang Calormen telah melemparkan senjata dan berlari menuju
hutan. Pasukan yang tersisa sangat terdesak. Para raksasa mengepung dari sebelah
kanan--pasukan Kucing dari sebelah kiri--Raja Lune dari belakang mereka.
Pasukan Calormen kini tinggal sedikit, bertarung dengan saling memunggungi.

"Tarkaan-mu tumbang, Bree. Lune dan Azrooh bertarung langsung, sang raja
tampaknya berada di atas angin--sang raja menguasai pertarungan--sang raja telah
menang. Azrooh tumbang. Raja Edmund terjatuh--tidak, dia bangkit lagi: dia
bertarung dengan Rabadash. Mereka bertarung tepat di depan gerbang istana.
Beberapa Calormen telah menyerah. Darrin telah membunuh Ilgamuth. Aku tidak
bisa melihat apa yang terjadi pada Rabadash. Kurasa dia sudah mati, dia bersandar
di dinding istana, tapi entahlah. Chlamash dan Raja Edmund masih bertarung tapi
pertempuran telah berakhir di tempat-tempat lain. Chlamash menyerah.
Pertempuran sudah berakhir. Pasukan Calormen sama sekali dikalahkan."

Ketika Shasta terjatuh dari kudanya dia telah memasrahkan nyawanya. Tapi kuda-
kuda, bahkan dalam pertempuran, lebih cenderung tidak akan menginjak-injak
manusia seperti yang bakal kaubayangkan. Setelah sekitar sepuluh menit atau lebih
yang amat mengerikan, Shasta mendadak menyadari tidak ada lagi kuda-kuda yang
mengentak-entak di sekitarnya dan bahwa suara (karena masih terdengar suara-
suara keras di beberapa tempat) tidaklah berasal dan pertempuran. Dia duduk tegak
dan memandang ke sekelilingnya. Bahkan dia, dengan pengeahuannya yang minim
tentang, bisa segera melihat pihak Archenland dan Narnia telah menang. Para
orang Calormen yang masih hidup yang kini bisa dilihatnya hanyalah para
tawanan.

Gerbang-gerbang istana terbuka lebar, dan Raja Lune juga Raja Edmund sedang
berjabat tangan di atas alat pendobrak gerbang. Dari lingkaran para bangsawan dan
pejuang di sekeliling mereka, terdengar suara yang penuh napas terengah-engah
dan penuh semangat, tapi jelas-jelas ceria. Kemudian, mendadak, semua
percakapan itu bersatu dan membengkak menjadi pekikan keras tawa.

Shasta bangkit, merasa tubuhnya kaku luar biasa, dan berlari menghampiri suara
tawa keras itu untuk melihat apa yang menjadi penyebabnya. Pemandangan yang
sangat menarik tertangkap matanya. Rabadash yang sangat malang tampak
tergantung di dinding istana. Kedua kakinya, yang berada sekitar setengah meter
dari tanah, menendang-nendang liar.
Baju rantai besinya entah bagaimana tersangkut sehingga tertarik ketat di bagian
bawah lengannya dan setengah menutupi wajahnya. Bahkan dia tampak seperti
pria yang tertangkap basah sedang berusaha mengenakan baju ketat yang terlalu
kecil untuknya. Sejauh yang bisa diketahui setelahnya (dan kau bisa yakin kisah ini
diceritakan berulang kali selama beberapa hari) beginilah kejadian sebenarnya.

Pada awal pertempuran salah satu raksasa telah gagal menginjak Rabadash dengan
bot berpakunya: gagal karena dia tidak berhasil meremukkan sang pangeran,
padahal itulah maksud tindakannya, tapi tidak sepenuhnya tidak berguna karena
salah satu paku sepatu botnya merobek jalinan rantai baju besi Rabadash, seperti
kau ataupun aku merobek baju biasa. Jadi ada lubang di bagian belakang baju
perang Rabadash saat dia berhadapan dengan Edmund di gerbang. Dan ketika
Edmund mendesaknya lebih dekat dan lebih dekat lagi ke dinding, dia melompat
ke atas batang kayu yang lebih tinggi dan berdiri di sana, menghujani Edmund
dengan ayunan pedang dari atas. Tapi kemudian, dia mendapati posisi ini telah
membuat dirinya lebih tinggi daripada orang lain dan menjadikannya target setiap
panah dari busur-busur Narnia, sehingga dia memutuskan untuk melompat turun
lagi.

Dia bermaksud untuk kelihatan dan kedengaran--tak diragukan barang sedetik pun
dia memang kelihatan dan kedengaran--sangat agung dan mengancam saat
melompat dan berteriak, "Petir Tash akan menyambarmu dari langit."

Tapi dia harus melompat ke samping karena kerumunan di depannya tidak


menyisakan tempat mendarat. Lalu, dengan cara yang paling tepat yang bisa
kaubayangkan, sobekan di belakang baju perangnya tersangkut pengait di dinding.
(Dahulu sekali pengait ini bercincin untuk tempat mengikat kuda.) Dan di sana
Rabadash mendapati dirinya, seperti selembar cucian yang digantung untuk
dikeringkan, dengan semua orang menertawakannya.

"Turunkan aku, Edmund," lolong Rabadash. "Turunkan aku dan bertarunglah


denganku seperti seorang raja dan pria, atau jika kau terlalu pengecut untuk
melakukan itu, segera bunuhlah aku."

"Baiklah," mulai Raja Edmund, tapi Raja Lune menghentikan ini.

"Demi nama baik Yang Mulia," kata Raja Lune kepada Edmund. "Jangan
diteruskan." Kemudian dia menoleh ke Rabadash dan berkata, "Yang Mulia
Pangeran, kalau kau telah melemparkan tantangan itu seminggu lalu, aku akan
menjawabnya karena tidak ada satu pun rakyat yang berada di bawah kekuasaan
Raja Edmund, dari raja agung hingga Tikus yang Bisa Berbicara terkecil pun, yang
akan menampiknya. Tapi dengan menyerang istana Anvard kami di saat damai
tanpa mengirimkan peringatan, kau telah membuktikan diri bukanlah kesatria, tapi
pengkhianat, dan kami lebih baik dicambuk algojo daripada harus menderita
beradu pedang dengan orang yang punya kehormatan seperti itu. Turunkan dia,
ikat, dan bawa dia ke dalam sehingga kebahagiaan kita diketahui semua orang."

Tangan-tangan kuat merampas pedang Rabadash dan pangeran itu dibawa masuk
ke istana, berteriak-teriak, mengancam, mengutuk, dan bahkan menangis. Karena
walaupun mampu menghadapi siksaan, dia tidak tahan menjadi bahan tertawaan.
Di Tashbaan semua orang selalu memerhatikannya secara serius.

Pada saat itu Corin berlari mendekati Shasta, meraih tangannya dan mulai
menariknya menghadap Raja Lune.

"Ini dia, Ayah, ini dia," teriak Corin.

"Ya, dan di sini rupanya kau, akhirnya," kata sang raja dengan suara yang sangat
galak. "Dan kau ikut bertempur, jelas-jelas menentang perintahku. Anak yang
menghancurkan hati ayahnya! Di usiamu, kau lebih pantas memegang batang kayu
breech daripada pedang itu, hah!"

Tapi semua orang, termasuk Corin, bisa melihat sang raja sangat bangga padanya.

"Jangan lagi marahi dia, Sire, jika Anda berkenan," kata Lord Darrin. "Yang Mulia
tidak akan menjadi putra Paduka bila dia tidak mewariskan sifat-sifat Paduka.
Akan lebih menyakitkan bagi Yang Mulia bila dia harus dimarahi karena keadaan
sebaliknya."

"Yah, yah," gerutu sang raja. "Kejadian ini akan dilupakan untuk kali ini. Dan
sekarang--"

Yang terjadi selanjutnya lebih mengejutkan Shasta daripada apa pun yang pernah
dialaminya sepanjang hidupnya.

Dia mendapati dirinya mendadak dipeluk erat hingga tubuhnya terangkat oleh Raja
Lune dan kedua pipinya dicium. Kemudian sang raja menurunkannya dan berkata,
"Berdirilah berdampingan di sini, anak-anak, dan biarkan seluruh kerajaan melihat
kalian. Angkatlah kepala kalian. Sekarang, saudara-saudara, lihatlah mereka
berdua. Apakah masih ada yang ragu?"
Dan Shasta tetap tidak mengerti kenapa kini semua orang memandang lekat dirinya
dan Corin, ataupun apa yang menyebabkan semua sorakan gembira yang kini
diperdengarkan.

Bab 14

Ketika Bree Menjadi Kuda yang Lebih Bijak

KINI kita harus kembali ke Aravis dan kedua kuda. Sang pertapa, masih
mengawasi kolamnya, kini bisa memberitahu mereka Shasta tidaklah terbunuh atau
bahkan terluka parah, karena dia melihat anak itu berdiri dan melihat betapa dia
disambut penuh kasih sayang oleh Raja Lune. Tapi karena dia hanya bisa melihat,
tanpa mampu mendengar, dia tidak tahu apa yang sedang diutarakan semua orang
dan, setelah peperangan berakhir dan percakapan dimulai, tidak ada gunanya terus
melihat dari kolam.

Keesokan paginya, sementara sang pertapa berada di dalam pertapaan, ketiga


pengelana mendiskusikan langkah apa yang harus diambil selanjutnya.

"Aku sudah muak dengan semua ini," kata Hwin. "Sang pertapa telah begitu baik
kepada kita dan aku berutang banyak padanya, aku yakin itu. Tapi aku mulai
segemuk kuda poni piaraan, makan setiap hari dan tidak berolahraga sama sekali.
Ayo kita pergi ke Narnia."

"Oh, tidak hari ini, Ma'am," kata Bree. "Aku tidak akan terburu-buru. Mungkin di
hari lain, bagaimana menurutmu?"

"Kita harus menemui Shasta dulu dan berpamitan dengannya--juga--meminta


maaf," kata Aravis.
"Tepat sekali!" kata Bree dengan antusiasme tinggi. "Tepat seperti yang akan
kukatakan."

"Oh, tentu saja," kata Hwin. "Kurasa dia ada di Anvard. Tentu saja kita akan
menjenguknya dan berpamitan. Tapi itu searah dengan perjalanan kita. Jadi kenapa
kita tidak segera berangkat saja? Lagi pula, bukankah kita semua ingin pergi ke
Narnia?"

"Kurasa memang begitu," kata Aravis. Dia mulai bertanya-tanya apa tepatnya akan
dia lakukan sesampainya di sana, dan merasa agak kesepian.

"Tentu, tentu," kata Bree cepat-cepat. "Tapi tidak perlu terburu-buru, kalau kalian
mengerti maksudku."

"Tidak, aku tidak mengerti maksudmu," kata Hwin. "Kenapa kau belum mau
pergi?"

"M-m-m, broo-hoo," gumam Bree. "Yah, tidakkah kaulihat, Ma'am--ini kejadian


penting--untuk pulang ke negeri asal--memasuki masyarakatnya lagi--masyarakat
yang terbaik--sangatlah penting untuk memberikan kesan yang baik--saat ini kita
belum tampak seperti diri kita yang biasa, ya kan?"

Tawa kuda Hwin pecah. "Ekormu, Bree! Aku mengerti sekarang. Kau mau
menunggu sampai ekormu tumbuh lagi! Dan kita bahkan tidak tahu apakah ekor
dibiarkan panjang di Narnia. Sungguh, Bree, kau sepongah Tarkheena di Tashbaan
itu!"

"Kau memang konyol, Bree," kata Aravis.

"Demi surai singa, Tarkheena, aku sama sekali tidak seperti itu," kata Bree penuh
harga diri. "Aku hanya punya rasa hormat yang tinggi pada diriku sendiri dan
bangsaku sesama Kuda, itu saja."

"Bree," kata Aravis, yang nyaris tidak tertarik pada potongan ekor Bree,
"sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu sejak lama. Kenapa kau selalu
bersumpah Demi singa dan Demi surai singa? Kukira kau benci singa."

"Dan memang begitu," jawab Bree. "Tapi ketika aku menyebut sang singa, tentu
saja yang kumaksudkan adalah Aslan, pembangkit Narnia dan yang mengusir pergi
sang penyihir serta musim dingin. Semua rakyat Narnia bersumpah deminya."
"Tapi dia singa?"

"Bukan, bukan, tentu saja bukan," kata Bree dengan suara yang agak terpukul.

"Semua kisah tentangnya di Tashbaan menceritakan bahwa dia singa," ucap


Aravis.

"Lagi pula kalau dia bukan singa kenapa kau menyebutnya singa?"

"Yah, kau tidak akan benar-benar memahami masalah ini dengan usia mudamu,"
kata Bree. "Dan karena aku juga masih kecil ketika pergi meninggalkan Narnia,
aku sendiri sesungguhnya juga tidak benar-benar mengerti masalah ini"

(Bree sedang berdiri memunggungi dinding hijau ketika mengatakan ini, sementara
Aravis dan Hwin berdiri menghadapnya. Kuda itu berbicara dengan nada yang
agak angkuh dan matanya separo terpejam, itulah sebabnya dia tidak melihat
perubahan pada ekspresi wajah Hwin dan Aravis. Mereka punya alasan kuat untuk
ternganga dan membelalakkan mata, karena sementara Bree berbicara, mereka
melihat singa besar melompat dari luar dan mengambil posisi di atas dinding hijau
itu. Hanya saja singa yang ini lebih kuning terang, dan lebih besar, menakjubkan,
sekaligus mengancam dan pada singa mana pun yang pernah mereka lihat. Lalu
sang singa segera melompat ke bawah ke dalam dinding dan mulai mendekati Bree
dari belakang. Hewan itu sama sekali tidak bersuara. Dan Hwin serta Aravis juga
tidak bisa bersuara, mereka membeku. )

"Tidak perlu diragukan," Bree melanjutkan, "ketika mereka menyebutnya sebagai


singa, mereka hanya bermaksud dia sekuat singa atau (bagi musuhnya tentu saja)
semengerikan singa. Atau sesuatu seperti itu. Bahkan gadis kecil sepertimu,
Aravis, seharusnya bisa melihat bahwa sangatlah konyol menganggapnya singa
sungguhan. Tentu saja itu seperti merendahkan. Kalau dia memang singa berarti
dia harus berupa hewan liar seperti kita. Tidak mungkin!" (dan saat ini Bree mulai
tertawa) "Kalau dia memang singa dia akan punya empat cakar, ekor, dan kumis!
...Aie, ooh, hoo-hoo! Tolong!"

Karena tepat saat dia mengucapkan kata kumis, salah satu kumis Aslan benar-
benar menggelitiki telinganya. Bree terlonjak seperti panah ke sisi lain area itu lalu
berbalik di sana, dinding itu terlalu tinggi untuk dilompatinya dan dia tidak bisa
pergi lebih jauh lagi.

Aravis dan Hwin sama-sama mulai mundur. Kesunyian mencekam berlangsung


sesaat.
Kemudian Hwin, walaupun seluruh tubuhnya gemetaran, menyuarakan ringkikan
pelan yang aneh, dan berlari kecil menghampiri sang singa.

"Aku mohon," katanya, "kau begitu menakjubkan. Kau boleh memakanku jika kau
mau. Lebih baik aku disantap olehmu daripada yang lain."

"Putriku tersayang," kata Aslan, menurunkan mulut dan mencium hidung Hwin
yang gemetar dan lembut, "aku tahu kau tidak akan menunda mendekatiku.
Kebahagiaan akan menjadi milikmu."

Kemudian Aslan mendongak dan berbicara dengan suara yang lebih keras:

"Sekarang, Bree," katanya, "Kuda yang angkuh dan malang, kemarilah. Lebih
dekat lagi, putraku. Jangan tidak berani untuk bersikap berani. Sentuhlah aku.
Enduslah aku. Ini cakarku, ekorku, ini kumisku. Aku hewan liar sungguhan."

"Aslan," kata Bree dengan suara bergetar, "sayangnya aku telah bersikap bodoh."

"Berbahagialah Kuda yang menyadari itu ketika dia masih muda. Begitu juga
manusia, Mendekatlah, Aravis putriku. Lihatlah! Cakarku tertutup bulu tebal yang
lembut. Kau tidak akan tercabik kali ini."

"Kali ini, Sir?" tanya Aravis.

"Akulah yang telah melukaimu," kata Aslan. "Akulah satu-satunya singa yang
kalian temui di sepanjang perjalanan kalian. Tahukah kau kenapa aku
mencakarmu?"

"Tidak, Sir."

"Goresan-goresan di punggungmu, luka demi luka, nyeri demi nyeri, darah demi
darah, sama besarnya dengan luka goresan yang diderita punggung budak ibu
tirimu karena obat tidur yang kauberikan kepadanya. Kau perlu tahu bagaimana
rasanya."

"Ya, Sir. Lalu--"

"Teruskan, putriku," kata Aslan.

"Apakah dia akan mendapat ancaman lain karena perbuatanku?"


"Nak," kata sang singa, "aku hanya memberitahumu kisahmu, bukan kisahnya.
Aku tidak menceritakan kisah mana pun kepada siapa pun kecuali yang menjadi
miliknya."

Kemudian Aslan menggeleng dan berbicara dengan suara yang lebih ringan:

"Berbahagialah, anak-anakku," katanya. "Kita akan segera bertemu lagi. Tapi


sebelum itu kalian akan mendapat tamu lain."

Kemudian dalam satu lompatan dia mencapai puncak dinding dan menghilang dari
pandangan mereka.

Aneh untuk dikatakan, tapi mereka tidak merasakan keinginan untuk


membicarakan Aslan pada satu sama lain setelah singa itu pergi. Mereka semua
bergerak lambat ke bagian-bagian berbeda di rumput yang tenang lalu di sana
berjalan mondar-mandir, masing-masing sendirian, berpikir.

Sekitar setengah jam kemudian kedua kuda itu dipanggil ke bagian belakang
rumah untuk menyantap makanan lezat yang telah dipersiapkan sang pertapa untuk
mereka dan Aravis, masih berjalan dan berpikir, dikejutkan suara keras terompet
dari luar gerbang.

"Siapa di situ?" tanya Aravis.

"Yang Mulia Pangeran Cor dari Archenland," jawab suara dari luar.

Aravis membuka palang pintu dan melebarkannya, sedikit mundur untuk


membiarkan para orang asing itu masuk.

Dua prajurit dengan tongkat berujung tombak dan kapak masuk terlebih dahulu
dan mengambil posisi berdiri pada kedua sisi pintu masuk. Kemudian masuklah
sang pemberi pengumuman dan si peniup terompet.

"Yang Mulia Pangeran Cor dari Archenland hendak bertemu Lady Aravis," kata si
pemberi pengumuman. Kemudian dia dan si peniup terompet menyingkir ke
samping dan membungkuk. Para prajurit memberi hormat dan sang pangeran
sendiri masuk. Semua pendampingnya mundur keluar dan menutup gerbang di
belakangnya.

Sang pangeran membungkuk, bungkukan yang sangat ceroboh bagi seorang


pangeran. Aravis membalas membungkuk memberi hormat ala bangsa Calormen
(yang tidak seperti cara kita) dan melakukannya dengan sangat baik karena, tentu
saja, dia telah diajari cara melakukannya. Kemudian dia mendongak dan melihat
seperti apakah sang pangeran itu.

Dia melihat anak lelaki biasa. Dia tidak mengenakan topi tapi rambut pirangnya
dikelilingi pita tipis emas, tidak lebih tebal daripada kawat. Tunik atasnya terbuat
dari linen putih tipis, seindah sapu tangan, sehingga tunik merah terang di
bawahnya langsung terlihat. Tangan kirinya, yang bertengger pada pangkal pedang
yang terbuat dari porselen, tampak diperban.

Aravis dua kali melihat wajah sang pangeran sebelum dia terperangah dan berseru,
"Astaga! Itu kan Shasta!"

Wajah Shasta langsung merona dan dia mulai berbicara cepat, "Begini, Aravis,"
katanya, "aku harap kau tidak berpikir aku datang seperti ini (dengan terompet dan
segala macam ini) demi membuatmu terkesan atau untuk membuktikan aku
berbeda ataupun demi omong kosong sejenisnya. Karena aku jauh lebih ingin
datang dengan pakaian lamaku, tapi pakaian-pakaian itu sudah dibakar, dan ayahku
berkata--"

"Ayahmu?" tanya Aravis.

"Ternyata Raja Lune ayahku," kata Shasta. "Seharusnya aku sudah bisa
menebaknya, karena Corin begitu mirip dengan diriku. Ternyata kami saudara
kembar. Oh, dan namaku bukan Shasta, tapi Cor."

"Cor memang nama yang lebih bagus daripada Shasta," kata Aravis.

"Nama saudara biasanya memang seperti itu di Archenland," kata Shasta (atau
Pangeran Cor, demikianlah kita harus memanggilnya sekarang). "Seperti Dar dan
Darrin, Cole dan Colin, dan seterusnya."

"Shasta--maksudku, Cor," kata Aravis. "Tidak, diamlah dulu. Ada sesuatu yang
harus segera kuucapkan. Aku minta maaf karena telah bersikap kasar. Tapi aku
sudah berniat mengubah sikapku ini bahkan sebelum aku tahu kau pangeran,
sungguh: terutama saat kau berbalik dan menghadapi singa itu."

"Singa itu tidak benar-benar berniat membunuhmu," kata Cor.

"Aku tahu," kata Aravis, mengangguk.


Keduanya bergeming dan terdiam sesaat ketika masing-masing menyadari lawan
bicaranya sudah tahu tentang Aslan.

Mendadak Aravis teringat pada tangan Cor yang diperban.

"Astaga!" dia berteriak. "Aku lupa! Kau sudah ikut bertempur. Apakah itu luka
perangmu?"

"Hanya goresan," kata Cor, menggunakan nada bicara yang agak seperti
bangsawan untuk pertama kalinya. Tapi sedetik kemudian tawanya pecah dan dia
berkata, "Kalau kau mau tahu yang sebenarnya, ini sama sekali bukanlah luka yang
pantas. Buku-buku jariku hanya terkelupas seperti yang akan dialami setiap orang
bodoh yang ceroboh tanpa perlu mendekati pertempuran mana pun."

"Tetap saja, kau berada di dalam peperangan," kata Aravis. "Pastinya itu saat yang
menyenangkan."

"Sama sekali tidak seperti yang kubayangkan," kata Cor.

"Tapi Sha--Cor, maksudku--kau belum memberitahuku apa pun tentang Raja Lune
dan bagaimana dia bisa tahu siapa dirimu sebenarnya."

"Yah, mari duduk kalau begitu," kata Cor. "Karena ceritanya agak panjang. Dan
omong-omong ayahku begitu tegar. Aku akan sama bahagianya--atau nyaris sama-
-bila mendapati dia ayahku walaupun dia bukan raja. Walaupun pendidikan dan
segala yang mengerikan akan segera kualami. Tapi kau mau mendengar ceritanya,
ya?

"Yah, Corin dan aku ternyata bersaudara kembar. Dan sekitar seminggu setelah
kelahiran kami, tampaknya, mereka membawa kami ke centaurus tua yang
bijaksana di Narnia untuk diberkati atau semacamnya. Nah, centaurus ini peramal
seperti begitu juga banyak centaurus lain. Mungkin kau belum pernah melihat
centaurus? Ada beberapa di antara mereka yang ikut berperang kemarin. Bangsa
yang sangat menakjubkan, tapi aku belum bisa bilang aku sudah merasa nyaman
bila berada di antara mereka. Astaga, Aravis, kita harus terbiasa dengan banyak hal
di Negeri Utara ini."

"Ya, memang," kata Aravis. "Tapi lanjutkan dulu ceritamu."

"Yah, segera setelah dia melihat Corin dan diriku, tampaknya centaurus itu
memandangku lekat dan berkata, 'Suatu hari akan datang ketika anak itu
menyelamatkan Archenland dari bahaya besar yang akan dialaminya.' Jadi tentu
saja ayah dan ibuku sangat bahagia. Tapi ada seseorang yang hadir di sana yang
tidak begitu. Pria ini bernama Lord Bar yang waktu itu Penasihat Tinggi ayahku.
Dan tampaknya dia telah melakukan sesuatu yang salah--revolusi atau kata sejenis
itu--aku tidak terlalu mengerti bagian ini--dan Ayah terpaksa memecatnya. Tapi
tidak ada tindakan lain yang ditimpakan kepadanya dan pria ini diperbolehkan
tetap tinggal di Archenland. Tapi orang itu pastinya ternyata sangat jahat karena
setelah itu terbongkar bahwa Lord Bar telah disuap Tisroc untuk mengirimkan
banyak informasi rahasia ke Tashbaan. Jadi segera setelah dia mendengar aku akan
menyelamatkan Archenland dari bahaya besar, dia memutuskan aku harus
disingkirkan.

"Yah, dia berhasil menculikku (aku tidak tahu persis bagaimana caranya) dan
berkuda pergi menyeberangi Winding Arrow menuju pantai. Dia telah menyiapkan
segalanya dan sudah tersedia kapal dengan para pendukungnya di sana, menunggu
kedatangannya, lalu dia berlayar di lautan sambil membawaku serta. Tapi Ayah
mengetahui rencananya, walaupun terlambat, dan berusaha mengejar pengkhianat
itu secepat yang dia bisa. Lord Bar sudah berada di tengah lautan ketika Ayah
mencapai pantai, tapi belum hilang dari pandangan. Ayah pun bertolak dengan
salah satu kapal perangnya dua puluh menit kemudian.

"Pasti saat itu terjadi kejar-mengejar yang menegangkan. Mereka mengejar kapal
Bar selama enam hari dan berhadapan dengannya dalam peperangan pada hari
ketujuh. Pertempuran laut dahsyat (aku mendengar banyak cerita tentang
pertempuran ini kemarin malam) yang berlangsung dari pukul sepuluh pagi hingga
terbenamnya matahari. Pihak kami akhirnya berhasil menguasai kapal itu. Tapi aku
sudah tidak ada di sana. Lord Bar sendiri terbunuh dalam pertempuran. Tapi salah
satu pengikutnya berkata, dini hari di pagi itu, segera setelah melihat dia sudah
pasti akan terkalahkan, Bar memberikanku kepada salah satu kesatrianya dan
mengirim kami pergi dengan sekoci kapal. Dan sekoci itu tidak pernah terlihat lagi.

"Tentu saja itu sekoci yang sama dengan yang Aslan (dia tampaknya berada di
balik semua cerita) dorong ke daratan pada tempat yang tepat supaya Arsheesh
menemukanku. Kalau saja aku tahu siapa nama si kesatria, karena dia pasti terus
menjagaku tetap hidup walaupun itu berarti membiarkan dirinya sendiri
kelaparan."

"Kurasa Aslan akan berkata itu bagian dari kisah orang lain," kata Aravis.

"Aku lupa soal itu," kata Cor.


"Dan kira-kira bagaimana akhir ramalannya?" kata Aravis. "Bahaya besar apa yang
harus kauhalau dari Archentand?"

"Yah," kata Cor agak canggung, "mereka tampaknya berpikir aku telah
melakukannya."

Aravis bertepuk tangan. "Astaga, tentu saja!" dia berkata. "Aku bodoh sekali. Tapi
ini sangat hebat! Archenland tidak pernah berada dalam bahaya yang lebih besar
daripada ketika Rabadash menyeberangi Sungai Arrow bersama pasukan dua ratus
kudanya. Bayangkan bila kau tidak menyampaikan kabar itu. Tidakkah kau merasa
bangga?"

"Kurasa aku merasa sedikit takut saat itu," kata Cor.

"Dan kau akan tinggal di Anvard mulai sekarang," kata Aravis agak sedih.

"Oh!" kata Cor. "Aku hampir lupa tujuanku datang ke sini. Ayah ingin kau ikut
tinggal bersama kami. Dia bilang sudah lama tidak ada lady tinggal di rumah
tangga kerajaan (aku tidak tahu kenapa mereka menyebutnya rumah tangga) sejak
Ibu meninggal. Kau mau kan, Aravis? Kau pasti akan menyukai Ayah dan Corin.
Mereka tidak seperti aku, mereka telah dibesarkan dengan layak. Kau tidak perlu
khawatir mereka akan--"

"Oh, hentikan," kata Aravis, "atau kita akan berkelahi sungguhan. Tentu saja aku
mau tinggal di Anvard."

"Kalau begitu ayo kita temui kedua kuda itu sekarang," kata Cor.

Terjadi pertemuan yang heboh dan membahagiakan antara Bree dan Cor. Lalu
Bree, yang masih dalam keadaan rendah hati, setuju untuk segera pergi ke Anvard:
dia dan Hwin akan menyeberang ke Narnia di hari berikutnya. Keempat makhluk
itu mengucapkan selamat tinggal penuh hormat kepada sang pertapa dan berjanji
akan segera mengunjunginya lagi.

Pada pertengahan pagi mereka memulai perjalanan. Kedua Kuda mengira Aravis
dan Cor akan menunggangi mereka, tapi Cor menjelaskan bahwa kecuali pada saat
perang, ketika semua pihak harus melakukan yang terbaik, tidak seorang pun di
Narnia ataupun Archenland pernah bermimpi menunggangi Kuda yang Bisa
Berbicara.
Ini kembali mengingatkan Bree yang malang betapa dia hanya tahu sedikit tentang
kebiasaan Narnia dan betapa besarnya kesalahan yang bisa saja dia lakukan. Jadi
sementara Hwin berjalan dengan ringan dan bahagia, Bree kian merasa gugup dan
lebih menjaga sikap pada setiap langkah yang diambilnya.

"Tenanglah, Bree," kata Cor. "Keadaannya lebih parah buatku daripada buatmu.
Kau tidak akan dididik. Aku bakal harus belajar membaca, menulis, cara
membawa diri, dansa, sejarah, dan musik, sementara kau akan berlari bebas dan
bergulingan di bukit-bukit Narnia sepuas hatimu."

"Tapi justru itu masalahnya," erang Bree. "Apakah Kuda yang Bisa Berbicara
bergulingan? Bagaimana kalau mereka tidak melakukan itu? Aku tidak akan
mampu tidak melakukannya lagi. Bagaimana menurutmu, Hwin?"

"Aku tetap akan berguling," kata Hwin. "Kurasa mereka juga tidak peduli sedikit
pun apakah kau akan berguling atau tidak."

"Apakah kita sudah dekat dengan istana?" tanya Bree kepada Cor.

"Tinggal satu belokan di depan," kata sang pangeran.

"Kalau begitu," kata Bree, "aku akan berguling sepuas hati sekarang: bisa saja ini
bakal jadi yang terakhir. Tunggu sebentar ya."

Barulah setelah lima menit kemudian dia bangkit lagi, terengah-engah dan
tubuhnya penuh potongan rumput.

"Sekarang aku siap," katanya dengan suara penuh kemuraman. "Tunjukkan


jalannya, Pangeran Cor. Menuju Narnia dan negeri Utara."

Tapi Bree lebih tampak seperti kuda yang pergi ke pemakaman daripada pelarian
yang telah melakukan perjalanan panjang dan kini bisa pergi menuju rumah dan
kebebasan.
Bab 15

Rabadash yang Konyol

BELOKAN berikutnya di jalan besar itu membawa mereka keluar dari pepohonan
dan di sana, di seberang halaman hijau, terlindungi dari angin utara oleh dataran
tinggi berhutan di punggungnya, mereka melihat istana Anvard. Istana itu begitu
tua dan dibangun dari batu hangat yang merah kecokelatan.

Sebelum mereka mencapai gerbang, Raja Lune datang keluar untuk menyambut
mereka, sama sekali tidak kelihatan seperti raja dalam bayangan Aravis. Raja Lune
mengenakan pakaian yang tertua di antara pakaian tua, karena dia baru saja
berkeliling di kandang anjing istana bersama para pemburunya dan hanya berhenti
sebentar untuk mencuci tangannya yang kotor. Tapi bungkukan menghormat yang
dilakukannya untuk menyapa Aravis ketika dia menjabat tangan gadis kecil itu,
sudah merupakan pernyataan yang cukup tegas akan statusnya sebagai raja.

"Lady kecil," katanya, "kami menyambut kedatanganmu sepenuh hati. Kalau istri
tersayangku masih hidup, kami akan bisa mengadakan penyambutan yang lebih
baik walau saat ini hati kami terbuka sama lebarnya. Dan aku sangat menyesal
mendengar berbagai nasib buruk yang kaualami dan betapa kau harus pergi dari
rumah ayahmu, meski untuk yang satu itu sepertinya bukan sesuatu yang
membuatmu sedih. Putraku Cor telah menceritakan kepadaku tentang petualangan
bersama kalian dan semua keberanianmu."

"Dialah yang telah melakukan semua itu, Sir," kata Aravis. "Dia bahkan berani
menghadapi singa demi menyelamatkanku."

"Hah, apa katamu?" tanya Raja Lune, wajahnya menjadi cerah. "Aku belum
mendengar cerita yang itu."

Kemudian Aravis memberitahunya. Dan Cor, yang sangat ingin supaya cerita itu
diketahui walaupun dia merasa tidak mungkin mengisahkannya sendiri, ternyata
tidaklah terlalu menikmatinya. Dia malah merasa agak konyol. Tapi ayahnya
teramat menikmati kisah ini dan dalam beberapa minggu ke depan
memberitahukannya pada begitu banyak orang sampai-sampai Cor berharap
kejadian itu tidak pernah terjadi.
Kemudian sang raja menoleh kepada Hwin dan Bree lalu bersikap sama sopannya
kepada mereka seperti dia kepada Aravis. Dia pun menanyakan banyak pertanyaan
tentang keluarga mereka dan di mana tempat tinggal mereka dulu di Narnia
sebelum mereka ditangkap. Kedua kuda itu agak tergagap karena mereka tidak
terbiasa diajak bicara seperti makhluk yang sederajat oleh manusia--lebih tepatnya,
manusia dewasa. Mereka sama sekali tidak menemukan kesulitan dengan Aravis
dan Cor.

Akhirnya Ratu Lucy keluar dari istana dan bergabung dengan mereka.

Raja Lune berkata kepada Aravis, "Putriku, dia teman baik keluarga kami, dan dia
telah memastikan kamarmu disiapkan secara layak untukmu, lebih baik daripada
yang bisa kulakukan."

"Pastinya kau ingin pergi dan melihatnya sekarang, kan?" tanya Lucy, mencium
Aravis.

Mereka langsung saling menyukai dan tak lama kemudian pergi bersama untuk
membicarakan kamar tidur dan ruang rias untuk Aravis, tentang menyiapkan
pakaian untuk gadis kecil itu, juga tentang berbagai hal yang biasa dibicarakan
para gadis di saat-saat seperti itu.

Seusai makan siang, yang mereka lakukan di teras (santapannya berupa burung
dingin, pai bebek, anggur, roti, dan keju), Raja Lune mengernyitkan alis,
mengembuskan napas, dan berkata, "Hhh! Kita masih harus mengurus Rabadash si
makhluk menyedihkan itu, teman-temanku, dan perlu memutuskan apa yang akan
kita lakukan terhadapnya."

Lucy duduk di sebelah kanan sang raja sementara Aravis di sebelah kirinya. Raja
Edmund duduk pada salah satu ujung meja dan Lord Darrin berhadapan dengannya
di ujung lain. Dar, Peridan, Cor, dan Corin duduk di sisi yang sama dengan sang
raja.

"Yang Mulia punya setiap hak untuk memancung kepalanya," kata Peridan.
"Penyerangan yang dia lakukan membuat posisinya sejajar dengan pembunuh
gelap."

"Itu benar sekali," kata Edmund. "Tapi bahkan pengkhianat pun bisa bertobat. Aku
pernah mengenal orang seperti itu."

Lalu dia tampak merenung dalam.


"Membunuh Rabadash nyaris sama saja memulai perang dengan Tisroc," kata
Darrin.

"Kesempatan yang ditunggu Tisroc," kata Raja Lune. "Pasukannya walau seberapa
pun besarnya tidak akan mampu menyeberangi padang pasir. Tapi aku tidak
berminat membunuh prajurit (bahkan pengkhianat sekalipun) dengan darah dingin.
Memotong lehernya dalam pertempuran akan membuat hatiku teramat ringan, tapi
ini situasi yang berbeda."

"Usulku," kata Lucy, "bagaimana jika Yang Mulia memberinya kesempatan lagi.
Biarkan dia pergi bebas bersama sumpah untuk bertindak adil di masa depan. Bisa
jadi dia akan menepati kata-katanya."

"Dan mungkin kera akan belajar berkata jujur, Adik," kata Edmund. "Tapi, demi
sang singa, kalau dia mengingkarinya lagi mungkin saat itu akan terjadi pada
waktu dan tempat yang tepat, sehingga salah satu dari kita bisa memancung
kepalanya dengan tenang dalam peperangan."

"Bisa kita coba," kata sang raja, kemudian dia berkata kepada salah satu
prajuritnya, "Bawa kemari tawanan itu, teman."

Rabadash dibawa ke depan mereka dalam keadaan dirantai. Bila melihat


kondisinya, kita akan berpikir dia telah melewati malam di penjara bawah tanah
yang kotor tanpa makanan dan minuman. Padahal kenyataannya dia telah ditahan
di ruangan yang cukup nyaman dan diberi makan malam luar biasa. Tapi karena
dia terlalu marah untuk menyentuh makanannya dan menghabiskan sepanjang
malam mengentak-entakkan kaki, mengerang, dan mengutuk, sudah pasti kini dia
tidak tampak dalam keadaan terbaiknya.

"Yang Mulia Pangeran tidak perlu diberitahu," kata Raja Lune, "bahwa menurut
hukum yang berlaku di semua negeri, begitu juga menurut semua kebijakan akal
sehat, kami memiliki hak kuat akan kepalamu seperti yang dimiliki manusia mana
pun dalam situasi ini. Walaupun begitu, setelah mempertimbangkan usia mudamu
dan caramu dibesarkan, tanpa semua nilai kasih dan kebaikan, yang pastinya
kaualami di tanah perbudakan dan tirani, kami memutuskan untuk
membebaskanmu, tanpa terluka, dengan syarat-syarat sebagai berikut: pertama,
kau--"

"Terkutuklah kalian, orang-orang barbar!" tukas Rabadsh. "Kalian pikir aku


bahkan akan bersedia mendengarkan syarat-syarat kalian? Cuih! Kau bicara besar
tentang cara membesarkan yang layak dan betapa aku sama sekali tidak
mengenalinya. Begitu mudah bicara pada pria yang dirantai, hah! Lepaskan ikatan-
ikatan memalukan ini, beri aku sebilah pedang, lalu biarkan siapa pun di antara
kalian yang berani, maju dan bertarung denganku."

Hampir semua bangsawan langsung melompat berdiri, dan Corin berteriak: "Ayah!
Bolehkah aku bertinju dengannya? Aku mohon."

"Tenang! Yang Mulia! Para bangsawan!" kata Raja Lune. "Apakah kita tidak
punya lebih banyak kesabaran daripada yang bisa langsung dikuras habis oleh
sekadar ejekan merak? Duduklah, Corin, atau tinggalkan meja ini. Aku akan
meminta Yang Mulia Pangeran untuk mendengarkan syarat-syarat kita lagi."

"Aku tidak akan pernah mendengarkan syarat-syarat dari orang barbar maupun
penyihir," kata Rabadash. "Tidak ada seorang pun di antara kalian yang akan
berani bahkan menyentuh sehelai rambutku. Setiap hinaan yang kautimpakan
kepadaku akan dibayar dengan selautan darah Narnia dan Archenland. Pembalasan
Tisroc akan sangat mengerikan: bahkan pada saat ini. Tapi cobalah bunuh aku,
maka pembakaran dan penyiksaan di tanah-tanah utara ini akan menjadi kisah yang
mencekam seluruh dunia bahkan ribuan tahun kemudian. Waspadalah!
Waspadalah! Waspadalah! Petir Tash akan menyambar kalian dari langit! "

"Apakah petir itu pernah tersangkut pada kait saat separo jalan?" tanya Corin.

"Hentikan, Corin," kata sang raja. "Jangan pernah seenaknya menghina orang
ketika dia lebih kuat daripada dirimu. Kalau begitu, terserah kau."

"Oh, kau Rabadash yang bodoh," Lucy mengesahkan napas.

Detik berikutnya Cor bertanya-tanya kenapa semua orang di meja itu telah berdiri
dan bergeming sama sekali. Tentu saja dia juga melakukan hal yang sama.
Kemudian dia melihat alasannya. Aslan telah berada di antara mereka walaupun
tidak seorang pun melihatnya datang.

Rabadash memandang lekat sosok raksasa sang singa yang melangkah perlahan,
mengambil posisi di antara dirinya dan musuhnya.

"Rabadash," kata Aslan. "Dengarkanlah. Penentuan akhirmu sudah dekat, tapi kau
masih bisa menghindarinya. Lupakan rasa banggamu (karena sebenarnya apa yang
bisa kaubanggakan?) dan kemarahanmu (karena sebenarnya siapa yang telah
bertindak salah padamu?) dan terimalah pengampunan para raja murah hati ini."
Kemudian Rabadash memutar bola matanya dan melebarkan mulutnya membentuk
seringaian mengerikan yang panjang dan kejam seperti milik ikan hiu, dia pun
mengoyang-goyangkan telinganya naik-turun (siapa pun bisa mempelajari cara
melakukan ini kalau mereka mau meluangkan waktu). Dia selalu mendapati
tindakan ini sangat efektif di Calormen. Orang yang paling pemberani sekalipun
tubuhnya gemetar saat dia menunjukkan ekspresi ini, orang-orang biasa terjatuh ke
lantai, dan orang-orang sensitif sering kali pingsan karenanya. Tapi yang tidak
disadari Rabadash adalah sangat mudah menakut-nakuti orang yang tahu kau bisa
merebus mereka hidup-hidup hanya dengan mengucapkan perintah. Seringaian itu
sama sekali tidak tampak berbahaya di Archenland, Lucy malah hanya mengira
Rabadash mau muntah.

"Iblis! Iblis! Iblis!" pekik si pangeran. "Aku tahu dirimu. Kau iblis jahat Narnia.
Kau musuh para dewa. Ketahuilah siapa diriku, makhluk halus jahat. Aku
keturunan Tash, yang tak terhentikan, tak tergoyahkan. Kutukan Tash akan
menimpamu. Petir-petir dalam bentuk kalajengking akan menghujanimu. Gunung-
gunung Narnia akan berubah menjadi abu. Lalu--"

"Bersiaplah, Rabadash," kata Aslan pelan. "Penentuan akhir kini sudah dekat, dia
sudah di depan pintu, dia telah memutar kunci."

"Biarkan langit jatuh," pekik Rabadash. "Biarkan bumi terbelah! Biarkan darah dan
api memusnahkan dunia! Tapi yakinlah aku tidak akan berhenti sampai aku
menyeret ratu barbar mereka ke istanaku dengan menarik rambutnya, putri
makhluk rendah, putri--"

"Waktunya telah tiba," kata Aslan. Dan Rabadash menyaksikan, dalam kengerian
luar biasa, semua orang mulai tertawa.

Mereka tidak bisa menahan diri. Rabadash telah menggoyang-goyangkan kedua


telinganya sepanjang waktu dan segera setelah Aslan berkata, "Waktunya telah
tiba!" Kedua telinga itu mulai berubah. Keduanya menjadi lebih panjang, lancip,
dan tak lama kemudian ditumbuhi bulu kelabu. Dan sementara semua orang
bertanya-tanya di mana mereka pernah melihat telinga seperti itu, wajah Rabadash
juga mulai berubah. Wajahnya menjadi lebih panjang, lebih tebal di bagian atas,
dan bermata lebih besar, hidungnya tenggelam ke dalam wajahnya (bila bukan
seluruh wajah yang membengkak dan menjelma menjadi hidung) lalu seluruh
permukaan wajah itu ditumbuhi bulu. Lengan-lengannya juga menjadi lebih
panjang dan turun ke depan tubuhnya sampai kedua telapak tangannya menyentuh
tanah: hanya saja tangannya bukan lagi tangan, tapi tapal kaki. Kemudian dia
berdiri dengan empat kaki, pakaiannya menghilang, dan semua orang tertawa kian
keras (mereka tidak bisa menahan diri) karena kini yang tadinya sosok Rabadash,
kini jelas-jelas dan tidak perlu diragukan lagi, adalah seekor keledai.

Hal yang mengerikan adalah kemampuan berbicaranya sebagai manusia bertahan


lebih lama daripada bentuk tubuh manusianya, jadi ketika dia menyadari
perubahan yang dialaminya, dia berteriak: "Oh, jangan keledai! Kasihanilah aku!
Bahkan lebih baik kuda--hii--aku hoo--hiihoo, hii-hoo."

Lalu kata-kata lenyap dalam ringkikan keledai.

"Sekarang, dengarkan aku, Rabadash," kata Aslan. "Keadilan akan bersatu dengan
belas kasih. Kau tidak akan selalu menjadi keledai."

Tentu saja ketika mendengar kata-kata ini, si keledai menegakkan telinganya ke


depan--kejadian ini begitu lucu sehingga semua orang tertawa lagi. Mereka
berusaha menahan diri, tapi sia-sia.

"Kau telah meminta perlindungan Tash," kata Aslan. "Maka pada kuil Tash-lah
kau akan disembuhkan. Kau harus berdiri di depan altar Tash di Tashbaan pada
Festival Besar Musim Gugur tahun ini dan di sana, dilihat seluruh masyarakat
Tashbaan, sosok keledaimu akan lenyap dan semua orang akan tahu kau Pangeran
Rabadash. Tapi sepanjang hidupmu, kalau kau bahkan pergi lebih jauh daripada
sepuluh mil dari kuil besar di Tashbaan, kau akan langsung menjelma kembali
menjadi sosokmu yang sekarang. Dan sejak perubahan kali kedua itu, kau tidak
akan bisa kembali lagi."

Merebak keheningan sesaat, kemudian mereka semua bergerak-gerak dan saling


memandang seolah baru saja terbangun dari tidur. Aslan sudah pergi. Tapi ada
binar di udara dan rerumputan, juga kebahagiaan di hati, yang meyakinkan mereka
kehadirannya tadi bukan sekadar mimpi: lagi pula, tampak seekor keledai di
hadapan mereka.

Raja Lune adalah pria yang berhati paling lembut, dan saat melihat musuhnya
dalam kondisi yang mengenaskan, dia melupakan seluruh amarahnya.

"Yang Mulia Pangeran," katanya. "Aku sangat menyesal situasi telah berubah
menjadi begini ekstrem. Yang Mulia menyaksikan sendiri kejadian ini sama sekali
bukanlah kehendak kami. Dan tentu saja kami akan dengan senang hati
menyediakan kapal untuk Yang Mulia kembali ke Tashbaan demi memperoleh--
ngng--perawatan yang disarankan Aslan. Kau akan memperoleh segala
kenyamanan yang bisa kaunikmati dalam kondisimu: kapal untuk hewan ternak
terbaik--wortel paling segar, juga rumput--"

Tapi ringkikan menentang yang dikeluarkan mulut si keledai dan tendangan telak
pada salah satu prajurit membuat jelas bahwa semua tawaran baik ini diterima
tanpa rasa terima kasih.

Dan saat ini, untuk menyingkirkan pangeran itu dari kisah selanjutnya, sebaiknya
aku berhenti menceritakan nasib Rabadash. Sesuai saran Aslan, dia dikirim
kembali ke Tashbaan dengan kapal dan dibawa ke kuil Tash saat Festival Besar
Musim Gugur, kemudian dia berubah menjadi manusia lagi. Tapi tentu saja sekitar
empat atau lima ribu orang telah menyaksikan perubahannya dan masalah ini tidak
mungkin bisa disembunyikan. Lalu setelah kematian Tisroc tua dan Rabadash
menjadi Tisroc untuk menggantikan posisinya, dia menjelma menjadi Tisroc
paling pencinta damai yang pernah dikenal Calormen. Ini tentu saja, karena dia
tidak berani pergi lebih dari sepuluh mil dari Tashbaan. Dia tidak bisa pergi
berperang sendiri, dan dia tidak mau Tarkaan-Tarkaannya mendapatkan ketenaran
dalam perang demi dirinya sendiri, karena dengan cara seperti itulah para Tisroc
biasanya ditumbangkan. Tapi walaupun alasan-alasannya egois, keputusan ini
membuat keadaan lebih nyaman bagi negeri-negeri kecil di sekitar Calormen.

Rakyatnya sendiri tidak pernah lupa dia pernah menjadi keledai. Selama masa
kekuasaannya, dan di hadapannya, dia dipanggil Rabadash sang Pencipta Damai,
tapi setelah kematiannya dan di belakang punggungnya, dia disebut Rabadash si
Konyol, dan kalau kau mencarinya dalam buku Sejarah Calormen yang lengkap
(cobalah perpustakaan lokal) kau akan menemukannya dengan nama itu. Dan
hingga hari ini di sekolah-sekolah Calormen, kalau kau melakukan sesuatu yang
luar biasa bodoh, kemungkinan besar kau akan dipanggil "Rabadash kedua".

Sementara itu di Anvard, semua orang merasa lega masalah Rabadash telah diurus
sebelum keriaan utama dimulai, yaitu pesta besar yang diadakan malam itu di
halaman depan istana, dengan lusinan lentera untuk membantu penerangan sinar
rembulan. Dan anggur mengalir, kisah-kisah diceritakan, dan lelucon-lelucon
diumbarkan, kemudian keheningan datang ketika penyair sang raja ditemani dua
pemain biola datang ke tengah lingkaran.

Aravis dan Cor bersiap-siap merasa bosan, karena satu-satunya jenis puisi yang
mereka kenal adalah puisi-puisi Calormen, dan kau sudah tahu sendiri bagaimana
bunyinya. Tapi pada gesekan pertama biola, roket seolah meluncur keluar dari
dalam kepala mereka, dan sang penyair menyanyikan kisah tua petualangan Fair
Olvin yang hebat dan bagaimana dia memerangi raksasa bernama Pire dan
mengubahnya menjadi batu (inilah asal mulanya Gunung Pire—raksasa berkepala
dua) dan mendapatkan Lady Liln sebagai istrinya. Lalu ketika puisi selesai
dinyanyikan, kedua anak itu berharap penyair itu akan mulai lagi.

Dan walaupun Bree tidak bisa bernyanyi, dia mengisahkan cerita peperangan di
Zulindreh. Dan Lucy menceritakan lagi (mereka semua, kecuali Aravis dan Cor,
telah mendengarnya berulang kali, tapi mereka semua ingin mendengarnya lagi)
Kisah Lemari dan bagaimana dirinya, Raja Edmund, Ratu Susan, dan Peter sang
Raja Agung bisa tiba di Narnia untuk pertama kalinya.

Lalu kini, karena sudah pasti akan terjadi cepat ataupun lambat, Raja Lune berkata
sudah waktunya bagi anak-anak tidur. "Dan besok, Cor," dia menambahkan, "kau
akan mengunjungi seluruh istana bersamaku juga melihat perkebunannya, lalu
mempelajari semua kekuatan dan kelemahannya: karena semua akan menjadi
tanggung jawabmu, yang harus kaujaga bila aku sudah tiada."

"Tapi pada saat itu Corin-lah yang akan menjadi raja, Ayah," kata Cor.

"Tidak, Nak," kata Raja Lune, "kaulah pewarisku. Takhta akan menjadi milikmu."

"Tapi aku tidak menginginkannya," kata Cor. "Lebih baik aku--"

"Ini bukanlah masalah apa yang kauinginkan, Cor, ataupun apa yang kuinginkan.
Ini sudah menjadi peraturan."

"Tapi bila kami bersaudara kembar, seharusnya kami seumur."

"Tidak," kata sang raja sambil tertawa. "Harus ada yang lahir terlebih dahulu. Kau
lebih tua dua puluh menit daripada Corin. Dan kau juga lebih baik daripada dia,
mudah-mudahan, walaupun itu bukan sesuatu yang istimewa."

Dan dia memandang Corin dengan binar nakal di matanya.

"Tapi, Ayah, tidak bisakah kau mengangkat siapa pun yang kauinginkan menjadi
raja berikutnya?"

"Tidak. Karena raja juga berada di bawah hukum, karena hukum itulah yang
menjadikannya raja. Kau tidak punya lebih banyak kekuasaan akibat mahkotamu
daripada seorang prajurit akibat pangkatnya."
"Ya ampun," kata Cor. "Aku sama sekali tidak menginginkan ini. Dan Corin--aku
minta maaf sekali. Aku tidak pernah bermimpi kemunculanku akan membuatmu
tersingkir dari kerajaan."

"Hore! Hore!" kata Corin. "Aku tidak perlu menjadi raja. Aku tidak harus menjadi
raja. Aku akan selalu menjadi pangeran. Para pangeranlah yang mendapat semua
kesenangan."

"Dan itu kenyataan yang sangat diketahui adikmu, Cor," kata Raja Lune. "Karena
inilah artinya menjadi raja: menjadi yang paling depan pada setiap peperangan
yang mengancam, dan menjadi yang paling belakang saat waktu menyerah tiba.
Lalu ketika kelaparan melanda negeri ini (seperti yang akan terjadi sesekali dalam
tahun-tahun buruk), kau harus mengenakan pakaian yang lebih bagus dan tertawa
lebih keras walaupun mendapat makanan paling sedikit dibanding semua orang di
negerimu."

Ketika kedua anak lelaki itu naik ke lantai atas menuju kamar tidur, Cor
menanyakan lagi kepada Corin apakah tidak ada yang bisa dilakukan untuk
mengubah ini.

Corin pun menjawab: "Kalau kau mengungkit lagi masalah ini, aku-aku akan
meninjumu sampai jatuh."

Akan menyenangkan mengakhiri cerita ini dengan mengatakan setelah itu si


kakak-beradik kembar tidak pernah berbeda pendapat tentang apa pun lagi, tapi
sayangnya itu tidak benar. Kenyataannya mereka bertengkar dan berkelahi sesering
yang bisa dilakukan dua anak lelaki lain, dan semua perkelahian mereka berakhir
(kalau mereka bahkan tidak memulai) dengan Cor ditinju sampai jatuh. Karena
walaupun ketika mereka berdua tumbuh dewasa dan menjadi ahli pedang--Cor pun
menjelma menjadi pria paling berbahaya dalam pertempuran--tidak ada seorang
pun, bahkan dirinya, di negeri-negeri Utara yang bisa menandingi Corin dalam
bertinju. Itulah sebabnya Corin memperoleh sebutan sebagai Corin si Tinju Petir,
begitu juga pertarungan besarnya melawan Beruang Jahat dari Stormness, yang
sebenarnya Beruang yang Bisa Berbicara tapi telah kembali mengikuti kebiasaan
beruang liar biasa. Corin mendaki ke sarangnya di bukit Stormness di sisi Narnia
pada suatu hari di musim dingin, ketika salju menyelimuti bukit itu, dan bertinju
dengannya tanpa wasit selama tiga puluh tiga ronde. Pada akhir pertarungan
beruang itu tidak bisa melihat karena matanya yang babak belur dan berubah sikap
menjadi baik.
Aravis juga sering bertengkar (dan sayangnya, bahkan berkelahi) dengan Cor, tapi
mereka selalu berbaikan lagi: sehingga beberapa tahun kemudian, ketika mereka
dewasa, karena sudah begitu terbiasa bertengkar dan berbaikan, mereka pun
menikah supaya bisa terus melakukan itu dengan lebih nyaman. Dan setelah
kematian Raja Lune, Cor dan Aravis menjadi Raja dan Ratu Archenland yang baik.
Kemudian lahirlah Ram Agung, raja yang paling terkenal di antara semua raja
Archenland, putra mereka.

Bree dan Hwin hidup bahagia hingga usia tua di Narnia dan keduanya menikah
tapi tidak dengan satu sama lain. Dan tidak berlalu banyak bulan saat salah satu
atau keduanya akan datang berlari kecil melewati jalan pegunungan untuk
mengunjungi teman-teman mereka di Anvard.

End

Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia

Edited: Farid ZE

Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai