Anda di halaman 1dari 38

Kumpulan Cerita Cinta Menarik

ebook oleh:
http://jowo.jw.lt

Daftar Isi :
* Ketika Derita Mengabadikan Cinta
* Salam Berbuah Cinta
* TaK Cukup Hanya Cinta
* Andara
* Jomblo Sejati
* Kepak-Kepak Sayap Merpati
* Ning
* Sayonara Ruki

***************************************

KETIKA DERITA MENGABADIKAN CINTA

“Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua
mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh Hasan
Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur Rumah
Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang
tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan.
…”
Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi
pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai
Nil, Kairo.
Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan
disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti
mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan
kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol di
televisi itu.
Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah
menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa.
Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan
berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang
tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung
shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang
kacamatanya, lalu…
Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu’ala Rasulillah, amma ba’du.
Sebelumnya saya mohon ma’af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnya
para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini
perkenankan saya bercerita…
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan
cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya,
yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya,
mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil
hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah
lumpurnya.
Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras,
melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan
kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
Tiga puluh tahun yang lalu …
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke
atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan “Pasha” yang terhormat
di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga
aristokrat terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan
Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit
politik di negeri ini.
Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam
suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup
sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga
besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau
kalangan high class yang sepadan!
Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya
merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang didewa-dewakan
keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari. Saya lebih
merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawah
yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan perjuangan. Hal ini
ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dan
tidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang
yang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggap
memalukan keluarga. Namun saya tidak peduli.
Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampu
mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah dengan
selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri,
ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur di
dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah
hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan dengan
istana Raja Faruq.
Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali
saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agar
lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliau
menolak mentah-mentah.
“Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja” tegas ayah.
Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah
habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati,
saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.
Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh
pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan
kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung
hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan
kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi,
sama seperti saya.
Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telah
menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta
ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan.
Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka
datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami
ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.
Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada
keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan
saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan
kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian
serta tutur bahasanya yang halus.
Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya
beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan membanting gelas
yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum: Pernikahan ini tidak
boleh terjadi selamanya!
Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan
dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya
nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak
terkira.
Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku
sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang
cukur….tukang cukur, ya… sekali lagi tukang cukur! Saya katakan dengan
bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati.
Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik
kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak
dilakukan para bangsawan “Pasha”. Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter,
seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidak
mengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri
sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya membawa
pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu
langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500
ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil
seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak
direstui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina,
bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang ke
berapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar?
Dengan enteng ayah menjawab. “Karena kamu memilih pasangan hidup dari
strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar
adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat
keluarga besar Al Ganzouri.”
Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah
saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat
sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang
jelas berzina justru difasilitasi.
Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup
saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan
bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain
menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini
kebenarannya. Itu saja.
Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan
penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan
beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata
illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui
penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkan
putrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih
keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikah
dengan saya.
Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan
ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolak
karena alasan membela kehormatan.
Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya
kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?
Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri
penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor
ma’dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku.
Kami berikan identitas kami dan kami minta ma’dzun untuk melaksanakan akad
nikah kami secara syari’ah mengikuti mahzab imam Hanafi.
Ketika Ma’dzun menuntun saya, “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima
nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kita
sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah.”
Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3
sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu.
Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata
Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan
kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami
membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu
mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan
segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa
apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang
sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar
ongkos akad nikah di kantor ma’dzun.
Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis
lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound,
tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!
Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu di
jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada
puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara
campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca
bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa
berdaya dan hidup menjalari sukma kami.
“Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini.
Maafkan Kanda!”
“Tidak… Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah
berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa
menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil.
Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah.
Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.
Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda
tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepada
mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu
ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita
berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.
Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kita
saat ini,” jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.
Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasa
optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi
teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan
sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan
dan uang sebanyak 40 pound.
Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di
emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam
kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin
kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa
uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.
Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50
pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang
murah.
Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembali
bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya
berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan
perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.
Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil
menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi
kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah
untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan
mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami.
Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika
seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai
mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang
membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan
uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk
3 bulan.
Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kami
pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah
kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dan
satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itu
saja… tak lebih.
Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetap
bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan
melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia
adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia
merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.
Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan
cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan
gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jika
percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari
semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling
nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat
Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak
menikmati indahnya wajah Allah SWT.
Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak
memperoleh segala cinta di surga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus
mendekatkan diri kepada-Nya.
Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur’an, lalu memakai jilbab, dan tiada
putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi’ah Adawiyah
yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah
dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang
berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpa
bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandai
mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelah
membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.

Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipun


mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita
hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yang
bilang tanpa disengaja,”Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua,
ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.”
Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa
kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil
layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agar
menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokter
yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantu
membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan- pertolongan
mereka.
Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami
terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil
sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan
mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.
Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor
dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala
perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu
juga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka
robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu
mereka keluar dengan ancaman, “Kalian tak akan hidup tenang, karena berani
menentang Tuan Pasha.”
Yang mereka maksudkan dengan Tuan “Pasha” adalah ayah saya yang kala itu
pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berdua
berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu
kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang
berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang
sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja
dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur
kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilah
sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.
Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup
tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang
skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna
susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini.
Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak
kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.
Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkan
niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasil
memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar
menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak
menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan
saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.
Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta
beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku.
Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun
marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan
segala sesuatu lebih matang.
Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun
penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak
ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan.
Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai.
Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan
isteri tercinta.
Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan
hamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia
mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami.
Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah
SWT.
Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada
kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam
itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia
tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang
penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia &
lepas dari belenggu derita:

Sambil menatap kaki langit


Kukatakan kepadanya
Di sana… di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku… besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung
Yah… saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa
dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun dia
ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk program
Magister bersama!
“Gila… ide gila!!!” pikirku saat itu. Bagaimana tidak…ini adalah saat
paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai
dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak
berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar
Magister dan menjawab logika yang saya tolak:
“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran
dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar
sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan.
Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk
sum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita
wujudkan mimpi indah kita.”
Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau
ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun
luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan
kekuatan jiwanya.
Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki
hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan
kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami
hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang
kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari
kami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.
Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam
suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati
dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk
beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.
Siang hari, jangan tanya… kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu,
terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.
Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal
atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh,
menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis,
itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepada
saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah,
tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.
Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnya
hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakan
yang kumuh dan makan ala kadarnya.
Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luar
biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa
sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.
Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah
wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam.
Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan
mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan
senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua.
Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.
“Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang…” bisiknya mesra sambil
tersenyum.
Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.
Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar
Magister dengan waktu tercepat

***************************************
SALAM BERBUAH CINTA
Oleh Bayu Gawtama

Diro, sebut saja begitu nama lelaki bujangan asli Jawa ini. Diro dikenal sebagai lelaki
yang sopan, hanif, dan punya ciri khas, yakni senang mengucapkan salam
"Assalaamu'alaikum" kepada siapa pun -muslim- yang dijumpainya di manapun.
Suatu ketika, Diro ditugaspindahkan ke kota X, untuk jangka waktu dua tahun. Setibanya
di kota X itu, lelaki bujangan ini langsung mencari tempat kos/kontrakan yang tidak jauh
dari tempatnya bekerja. Setelah tiga hari di kota tersebut, Diro baru menyadari bahwa ada
gadis cantik dan shalihah yang tinggal hanya beberapa meter dari kos-nya. Seperti biasa,
tanpa maksud buruk, tanpa niat menggoda, Diro pun mengucapkan salam kepada gadis
itu, saat keduanya bersama-sama menunggu bis di tepi jalan.
Sekali lagi, Diro tidak punya niat apapun ketika mengucapkan salam. "Dia berjilbab, jadi
sudah pasti muslim, maka saya ucapkan salam kepadanya. Lagi pula gadis itu tetangga
saya, kan wajar sama tetangga saling menyapa, " alasannya.
Ucapan salam Diro dibalas delikkan mata tidak suka dari gadis tetangganya itu. Namun
Diro tidak peduli, karena niatnya sangat tulus. Begitu pun sore harinya, ketika berpapasan
di jalan, Diro kembali mengucapkan, "Assalaamu'alaikum Dik... " Jawabannya tidak
berbeda dengan pagi hari, wajah tidak suka.
Mungkin pikir si gadis itu, Diro tidak ubahnya lelaki iseng yang senang menggoda.
Sudah lazim diketahui, lelaki-lelaki iseng dan kurang kerjaan senang menggoda wanita.
Dan bila yang digoda adalah wanita berjilbab, ucapan "Assalaamu'alaikum" biasa
dijadikan andalan mulut-mulut lelaki ini.
Berbeda dengan Diro. Dia tidak sakit hati ketika salamnya tidak dibalas, atau bahkan
dibalas dengan tatap mata sinis. Setiap hari, setiap kali bertemu dengan gadis itu tetap
mengucapkan salam. Diro tidak bosan meski salamnya selalu mendapat jawaban yang
serupa, dan sesekali makian, "maunya apa sih?"
Diro hanya membalasnya dengan senyum seraya menjelaskan, "maaf, salam itu hanya
doa untuk adik." Belakangan, Diro mengetahui bahwa nama gadis itu, Dian, sebut saja
demikian.
Dua bulan bertugas di kota itu, Diro mendapat panggilan dari kantor pusat untuk
memberikan laporan tugasnya. Diro pun kembali ke Jakarta untuk waktu dua pekan.
Sementara di kota X, pagi harinya. Dian belum merasakan apa pun. Namun keesokan
harinya, gadis itu baru menyadari ada yang ganjil dengan hari-harinya, baik pagi maupun
sore. Ya, Dian merasa ada yang hilang. Setelah berpikir sejenak, barulah ia sadar, tidak
ada lagi lelaki yang selama ini mengucapkan "Assalaamu'alaikum" kepadanya. Bahkan
keesokan harinya, Dian mulai celingak-celinguk mencari lelaki pengucap salam itu. Satu-
dua bis yang biasa ditumpanginya sengaja dibiarkan berlalu, "mungkin dia terlambat"
pikirnya. Namun hingga hampir satu jam, yang dinanti tak kunjung tiba.
Sepekan sudah Dian tak melihat lelaki pengucap salam. Sepekan pula telinganya tak
mendengar suara khas lelaki itu berucap, "Assalaamu'alaikum Dik... " Rupanya Dian
mulai kangen dengan ucapan salam itu. Jika mulanya ia merasa ucapan salam Diro itu
sebagai godaan lelaki iseng, ternyata kini ia merindukan ucapan salam itu.
Dian hampir putus asa, hingga satu pekan berikutnya tak kunjung terdengar ucapan salam
khas nan lembut itu. Sampai di satu pagi, dari arah belakang terdengar suara khas itu lagi,
"Assalaamu'alaikum Dik... " Kali ini giliran Diro yang terheran-heran, karena jawaban
lembut dari wajah manis yang diterimanya, "Wa'alaikum salam kak... Apa kabar? Ke
mana saja? Lama tidak berjumpa......... "
Sejak hari itu, keduanya menjadi akrab. Hari-hari setelah itu, diisi dengan keriangan
keduanya dalam setiap perjumpaannya. Sebuah bukti nyata, bahwa ucapan salam jika
diberikan secara ikhlas kepada siapa pun, akan membawa kedamaian bagi yang
menerimanya. Hanya beberapa bulan setelah itu, belum satu tahun Diro tinggal di kota X
itu, Diro dan Dian sepakat untuk menyatukan hati dalam bingkai rumah tangga.
Maha suci Allah dan Rasulullah, yang mengajarkan kalimat "Assalaamu'alaikum
warahmatullaahi wabarakaatuhu..". (Gaw)

***************************************

TAK CUKUP HANYA CINTA

"Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?", sebuah pertanyaan tiba-tiba mengejutkan aku
yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek
perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga satu blok yang tinggal tidak jauh
dari rumahku. Dia rajin datang ke majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang
pertama yang aku kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan majelis
taklim khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-membuat kami
jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji seperti ini atau saat ada acara-acara di
mesjid. Mungkin karena sama-sama perantau asal Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.
"Kebetulan Mas Adi sedang dinas keluar kota mbak, Jadi Saya pergi sendiri", jawabku
sambil memakai sandal yang baru saja kutemukan diantara tumpukan sandal-sendal yang
lain. "Seneng ya dhek bisa datang ke pengajian bareng suami, kadang mbak kepingin
banget ditemenin Mas Bimo menghadiri majelis-majelis taklim", raut muka Mbak Artha
tampak sedikit berubah seperti orang yang kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita,
mungkin lebih tepatnya mengeluarkan uneg-uneg. Sebenarnya aku sedikit risih juga
karena semua yang Mbak Artha ceritakan menyangkut kehidupan rumahtangganya
bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa aku dengerin aja, masak orang mau curhat kok
dilarang, semoga saja aku bisa memetik pelajaran dari apa yang dituturkan Mbak Artha
padaku. Aku dan Mas Adi kan menikah belum genap setahun, baru 10 bulan, jadi harus
banyak belajar dari pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam manis
pernikahan termasuk Mbak Artha yang katanya sudah menikah dengan Mas Bimo hampir
6 tahun lamanya.
"Dhek Lia, ndak buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol dulu", tiba-
tiba mbak Artha mengagetkanku. " Nggak papa mbak, kebetulan saya juga lagi free nih,
lagian kan kita dah lama nggak ngobrol-ngobrol", jawabku sambil menuju salah satu
bangku di halaman TPA yang masih satu komplek dengan Mesjid.
Dengan suara yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita. Tentang kehidupan
rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Bimo yang smakin lama
makin hambar dan kehilangan arah.
"Aku dan mas Bimo kenal sejak kuliah bahkan menjalani proses pacaran selama hampir 3
tahun sebelum memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang
biasa-biasa saja dalam hal agama", mbak Artha mulai bertutur. "Bahkan, boleh dibilang
sangat longgar. Kami pun juga tidak termasuk mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya,
kami adalah mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha
sebisa mungkin tidak meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib pasti kami
jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo orang yang sabar,
pengertian, bisa ngemong dan yang penting dia begitu mencintaiku, Proses pacaran yang
kami jalani mulai tidak sehat, banyak bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan
zina. Nggak ada pilihan lain, aku dan mas Bimo harus segera menikah karena dorongan
syahwat itu begitu besar. Berdasar inilah akhirnya aku menerima ajakan mas Bimo untuk
menikah".
"Mbak nggak minta petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?", tanyaku penasaran.
"Itulah dhek, mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk urusan besar seperti nikah ini
aku sama sekali tidak melibatkan Alloh. Jadi kalo emang akhirnya menjadi seperti ini itu
semua memang akibat perbuatanku sendiri"
"Pentingnya ilmu tentang pernikahan dan tujuan menikah menggapai sakinah dan
mawaddah baru aku sadari setelah rajin mengikuti kajian-kajian guna meng upgrade diri.
Sejujurnya aku akui, sama sekali tidak ada kreteria agama saat memilih mas Bimo dulu.
Yang penting mas Bimo orang yang baik, udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku.
Soal agama, yang penting menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup. Toh nanti bisa
dipelajari bersama-sama itu pikirku dulu. Lagian aku kan juga bukan akhwat dhek, aku
Cuma wanita biasa, mana mungkin pasang target untuk mendapatkan ikhwan atau laki-
laki yang pemahaman agamanya baik", papar mbak Artha sambil tersenyum getir.
Aku perbaiki posisi dudukku, aku pikir ini pengalaman yang menarik. Rasa penasaran
dan sedikit nggak percaya karena Mbak Artha yang aku kenal sekarang adalah tipikal
wanita sholehah, berhijab rapi, tutur kata lembut, tilawahnya bagus dan smangatnya luar
biasa. Benar-benar jauh dari profil yang di ceritakan tadi. Ternyata benar kata pepatah,
bahwa pengalaman adalah guru yang paling berharga. Mungkin bertolak dari minimnya
pengetahuan agama, akhirnya mbak Artha berusaha keras untuk meng-up grade diri. Dan
subahanalloh hasilnya sungguh menakjubkan. Mbak Artha mekar laksana bunga yang
sedang tumbuh di musim semi, tapi siapa sangka ternyata indahnya bunga itu tak lain
karena kotoran-kotoran hewan yang menjadi pupuk disepanjang kehidupannya.
Rupanya harapan mbak Artha untuk bisa menimba ilmu agama bersama-sama sang suami
tinggal impian. Mas Bimo yang diharapkan bisa menjadi katalisator dan penyemangat
ternyata hanya jalan ditempat. Hapalan Juz Amma nya belum bertambah, tilawah Al
Qur'an-nya masih belum ada perbaikan masih belum lancar. Sementara kesibukannya
sebagai Brand Manager di salah satu perusahaan Telco milik asing, makin menyita waktu
dan perhatiannya. Masih syukur bisa mengahabiskan weekend bersama Mbak Artha dan
Raihan anak semata wayang mereka, kadang weekend pun mas Bimo harus ke kantor
atau meeting dan lain-lain. Tidak ada waktu untuk menghadiri majelis taklim, tadarus
bersama bahkan sholat berjama’ah pun nyaris tidak pernah mereka lakukan.
Aku jadi teringat khutbah pernikahanku dengan Mas Adi, waktu itu sang ustad berkata
"Rumah tangga yang didalamnnya ditegakkan sholat berjama’ah antara anggota keluarga
serta sering dikumandangkan ayat-ayat Allloh akan didapati kedamaian dan ketenangan
didalamnya"
"Dhek....", suara mbak Artha membuyarkan lamunanku. "Iya mbak, saya masih denger
kok. Saya hanya berpikir ini semua bisa menjadi ladang amal buat mbak Artha", jawabku
sigap supaya nggak terlihat kalau emang lagi ngelamun.
"Pada awalnya aku juga berpikir seperti itu dhek. Aku berharap Mas Bimo juga memiliki
keinginan yang sama dengan ku untuk memperdalam pengetahuan kami terhadap Islam.
Aku cukup gembira ketika mas Bimo menyambut ajakanku untuk sama-sama belajar.
Namun dalam perjalanannya, smangat yang kami miliki berbeda. Mas Bimo seolah jalan
ditempat. Sempat miris hati ini ketika suatu saat aku meminta beliau menjadi imam
dalam sholat magrib. Bacaan suratnya masih yang itu-itu juga dan masih terbata-
bata.Aku baru tau bahwa dia belum pernah khatam Qura’an. Harusnya kan suami itu
imam dalam keluarga ya dhek?", mata mbak Artha mulai berkaca-kaca.
"Apa harapanku terlalu tinggi terhadap suamiku? Bukankah harusnya suami itu adalah
Qowwam, pemimpin bagi istrinya. Lalu bagaimana jika sang pemimpin saja belum
memiliki bekal yang cukup untuk menjadi seorang pemimpin?", suara mbak Artha mulai
bergetar.
"Terkadang aku ingin sekali tadarus bersama suami, tapi itu semua nggak mungkin
terjadi selama suamiku tidak mau belajar lagi membaca Al-qur'an. Aku juga merindukan
sholat berjama’ah dimana suami menjadi imannya sementara kami istri dan anak menjadi
makmumnya. Apa keinginanku ini berlebihan dhek?", tampak bulir bening mulai
mengalir dipipi mbak Artha.
"Berbagai cara sudah ku coba, supaya Mas Bimo bersemangat memperbaiki diri terutama
dalam hal ibadah. Tentunya dengan sangat hati-hati supaya tidak menyinggung
perasaannya dan supaya tidak berkesan menggurui. Aku mulai rajin mengikuti kajian-
kajian keislaman, mencoba sekuat tenaga untuk sholat 5 waktu tepat pada waktunya dan
tilawah qura’an setelah sholat subuh. Bahkan berusaha bangun malam menunaikan
tahajud serta menjalankan sholat dhuha dipagi hari. Semuanya itu kulakukan, dengan
harapan mas Bimo pun akan menirunya. Aku berharap sekali dia terpacu dan semangat,
melihat istrinya bersemangat", papar mbak Artha dengan suara yang agak tinggi.
"Tapi sampai detik ini semuanya belum membuahkan hasil. Aku seperti orang yang
berjalan sendirian. Tertatih, jatuh bangun berusaha menggapai cinta Alloh. Aku butuh
orang yang bisa membimbingku menuju surga. Dan harusnya orang itu adalah Mas Bimo,
suami ku"
Kurangkul pundaknya, sambil berbisik "sabar ya mbak, mudah-mudahan semuai
harapanmu akan segera terwujud". Mbak Artha tampak agak tenang dan mulai
melanjutkan ceritanya.
"Dari segi materi materi apa yang Mas Bimo berikan sudah lebih dari cukup, overall Mas
Bimo suami yang baik dan bertanggung jawab. Bahtera rumah tangga kami belum pernah
diterpa badai besar, semuanya berjalan lancar. Sampai disuatu saat mbak mulai
menyadari sepertinya bahtera kami telah kehilangan arah dan tujuan. Kami hanya
mengikuti arus kehidupan yang smakin lama smakin membawa kami kearah yang tidak
jelas. Kami sibuk dengan aktifitas kami masing-masing. Kehangatan, kemesraan,
ungkapan sayang yang dulu paling aku kagumi dari Mas Bimo sedikit demi sedikit
terkikis di telan waktu dan kesibukannya. Dan yang lebih parahnya lagi, unsur religi
sama sekali tak pernah di sentuh Mas Bimo sebagai kepala keluarga. Fungsi qowam
sebagai pemimpin dalam menggapai cinta hakiki dari Sang Pemilik Cinta, terabaikan.
Mungkin karena memang bekalnya yang kurang. Sunguh, harapan menggapai sakinah
dan mawaddah serta rahmah semakin hari kian jauh dari pandangan. Rumah tangga kami
bagai tanpa ruh dan kering", suara mbak Artha mulai bergetar kembali.
Aku jadi speachless nggak tau musti berkata apa lagi. Ternyata ketenangan rumah tangga
mbak Artha, menyimpan suatu bara yang setiap saat bisa membakar hangus semuanya.
Hanya karena satu hal, yaitu alpanya sentuhan spritual dalam berumahtangga. Atau
mungkin juga adanya ketidaksamaan visi atau tujuan saat awal menikah dulu. Bukankan
tujuan kita menikah adalah ibadah untuk menyempurnakan setengah agama. Idealnya,
setelah menikah keimanan, ibadah kita makin meningkat. Karena ada suami yang akan
menjadi murobbi atau mentor bagi istri, atau kalaupun sebaliknya jika istri yang lebih
berilmu tidaklah masalah jika istri yang menjadi mentor bagi suami. Yang penting tujuan
menyempurnakan dien guna menggapai sakinah dan mawaddah melalui cinta dan rahmah
makin hari makin terwujud. Mungkin itulah sebabnya mengapa kreteria agama lebih
diutamakan daripada fisik, harta dan keturunan.
Ternyata cinta saja tak cukup untuk bekal menikah, begitupun dengan harta. Pernikahan
merupakan hubungan secara emosional yang harus ditumbuhkan dengan sangat hati-hati,
penuh kepedulian dan saling mengisi.Bahkan puncak kenikmatan sebuah pernikahan
bukanlah dicapai melalui penyatuan fisik saja melainkan melalui penyatuan emosional
dan spiritual. Pernikahan adalah sarana pembelajaran yang terus menerus. Baik untuk
mempelajari karakter pasangan ataupun untuk meng upgrade diri masing-masing.
"Dhek Lia....", Mbak Artha membuyarkan lamunanku. "Makasih ya dhek dah mau jadi
kuping buat mbak", mbak Artha menggenggam tanganku sambil tersenyum. "Mbak yakin
dhek Lia bisa dipercaya, do'akan supaya mbak diberikan jalan yang terbaik sama Alloh".
Aku pun tersenyum, "Insyaalloh mbak, makasih juga dah mau sharing masalah ini
dengan saya. Banyak hikmah yang bisa saya dapat dari cerita mbak. Saya masih harus
banyak belajar soal kehidupan berumah tangga mbak. Jazakillah".
Tak terasa hampir 2 jam kami ngobrol di teras TPA. Kumandang adzan dhuhur,
mengakhiri obrolan kami. Sambil menuju tempat wudhu mesjid untuk sholat dhuhur
berja'maah kusempatkam mengirim sms ke mas Adi. "Mas aku kangen, kangen sholat
bareng, kangen tadarus bareng cepet pulang ya Mas. Uhibbukafillahi Ta'ala" ***

***************************************

ANDARA

Jakarta, 12 Maret 2007


Pukul 13.09 WIB
SMA SANTA MARIA
Dentang bel membuyarkan Andara dari kantuknya. Suntuk yang memaksa kedua kelopak
matanya menguncup selama mengikuti jam pelajaran memang di luar dari kebiasaannya.
Petuah bijak yang ditawarkan oleh Suster Anamaria untuk memilih jalan terbaik menuju
kedamaian surgawi hanya bagai litani pengantar tidur. Sesuatu memang telah terjadi pada
keluarganya. Mengundang prahara yang berbuntut lara. Dan itulah yang menjadi biang
gundah di hatinya.
Bergegas dihimpunnya buku-bukunya di laci ke dalam tas. Tas manis berhias gambar
Mickey itu merupakan kado ulang tahun dari Papa kala dia tepat berusia tujuh belas
setahun lalu. Masih saja setia menyampiri pundaknya, menyertai langkahnya ke sekolah
sehari-hari. Setiap terkenang itu, hatinya seolah berdarah. Mengucurkan luka yang
membilur jingga.
Sekarang Papa dan Mama sudah tidak bersatu lagi. Keharmonisan yang senantiasa
mengakrabi hari-harinya dulu sudah raib entah ke mana. Andara mengusap ujung
matanya. Bening airmata yang sudah terlampau sering dikucurkannya agaknya tak
mampu memperbaiki keadaan. Retaknya hubungan antara Papa dan Mama memang
harus dibayar mahal dengan mengorbankan dua hati. Dan keputusan itu bagai ultimatum
yang tak bisa ditawar-tawar. Andara ikut Mama, Andika ikut Papa!
Titik nadir yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya menghadirkan gulana
yang berkepanjangan. Melarutkannya dalam penyesalan. Hari-harinya yang dulu penuh
warna kini disurami selubung durja. Tak ada lagi keceriaan yang menyertai lagaknya
sebagai gadis belasan berparas manis.
Rahangnya mengeras. Segumpal dendam yang mengental merah senantiasa menggejolak
di hatinya. Matanya terpicing sertamerta. Angelina Jose Darmawan. Wanita muda dengan
sejumlah atribut sempurna sekretaris Papa itu tak ubahnya racun. Biang pelantak
keutuhan keluarganya!
Nelangsa yang dihadirkan wanita 'iblis' itu nyaris membuat Mama bertindak bodoh,
bunuh diri. Tangisan histeris Andika dan dia kala itu membuat Mama mengurungkan
niatnya menenggak racun serangga. Terlalu murah rasanya harga sebuah kematian untuk
menutupi sepotong rasa kecewa. Kalkulasi yang benar-benar tidak dapat dikatakan bijak.
Sebulan sudah peristiwa itu berlalu. Belum pupus benar segala sepat yang merecoki hati
dan pikiran. Papa melenggang pergi bersama wanita lain, membawa Andika yang belum
tahu apa-apa. Andara menghela napas panjang, membiarkan udara masuk menyegarkan
pori paru-parunya. Dicobanya bersikap tegar, mengambil hikmah dari kenyataan yang
mungkin sudah digariskan oleh Sang Khalik. Barangkali inilah jalan yang harus
ditempuhnya bersama Mama. Di mana ketabahan dan ketegaran menjadi kunci
kebahagiaan. Sedini mungkin berusaha dimafhuminya itu.
Seperti kemarin malam.
Didapatinya Mama diam-diam menangis di kamar, mendekap bingkai gambar Andika.
(Bocah jalan tiga itu memang menggemaskan. Sepasang matanya yang bundar jenaka
senantiasa menyejukkan hati. Mengundang rasa sayang yang tak terkira. Sayang, prahara
rumah tangga orangtuanya membawanya pada suatu kondisi yang tidak menyenangkan.
Andara yakin 'Mama' baru yang akan disuguhkan Papa kepadanya menggantikan Mama
tidak akan lebih baik ketimbang dulu. Dia bergidik membayangkan kisah-kisah seputar
ibu tiri yang kejam. Andika yang manis bakal terpasung dalam tirai tirani.) Suatu ketika
Andara merasa memiliki Mama yang demikian tegar, namun suatu ketika pula
didapatinya Mama yang rapuh, yang tengah terisak mengenang Andika dan Papa yang
tergoda oleh pesona wanita lain.
"Andara Evaline Santoso...."
Andara kemekmek. Buku terakhir yang tengah digenggamnya terjatuh ke lantai.
Menimbulkan debum kecil yang mengagetkannya sendiri.
Andara Evaline Santoso?
Andara menggigit bibir bawahnya. Masih pantaskah dia menyandang nama depan Papa
di belakang namanya? Masih pantaskah dia mengenang Papa? Santoso, lelaki yang
sekian belas tahun sangat dikagumi serta disayanginya itu kini bukan lagi menjadi
miliknya meski darah yang mengaliri nadinya berasal darinya.
"Suster...."
" Ada masalah, Nak?"
Andara menggeleng. "Tidak, Suster...."
Seulas senyum bijak mengembang tulus di hadapannya. Andara menelan ludahnya
dengan susah payah. Dia telah berbohong. Duh, semoga Tuhan mau memaafkannya!
"Suster turut prihatin atas...."
Sesaat mata Andara membola sebelum menundukkan kepalanya. Pipinya sudah
membasah.
"Suster tahu?" tanyanya lirih.
Anggukan kecil Suster Anamaria menjawabi pertanyaannya. Membungkam mulutnya.
Melilit lidahnya dalam diam yang membeku. Bahasa nalarnya telah mengartikan gerak
tubuh wanita di hadapannya tadi.
"Suster tidak ingin melihat seorang Andara Evaline Santoso terus-terusan bermuram-
durja, menjeblokkan semua mata pelajarannya di sekolah. Terlebih-lebih Mama
Andara...."
"Mama...."
"Ia menyampaikan pesan pada Suster, Andara tidak boleh berkubang dalam duka."
"Tapi...."
"Su-Suster...."
"Ada kalanya kita memang harus berpisah dengan orang yang kita cintai," ujarnya
dengan suara lunak.
"Tapi wanita iblis itu, Suster...!"
"Jangan menyalahkan siapa-siapa...."
"Juga untuk biang perusak rumah tangga orang?!"
"Mungkin dia tidak sejahat sangka Andara."
Andara tercekat. Seketika tubuhnya menegak. Rasa-rasanya dia mendengar kalimat tadi
bukan dari seorang yang dapat dianggap bijak.
"Su-Suster...?!"
"Nak, Suster mengerti betapa beratnya menerima kenyataan bahwa orang yang paling
dicintai berpaling, mencintai orang lain. Tapi, itulah kenyataan yang mau tidak mau harus
diterima. Sebuah kondisi telah membentuk keadaan demikian. Ada saatnya sesorang
harus memilih jalan yang dianggap tidak menyenangkan. Seperti makan buah
simalakama."
"Tapi...."
"Andara. Suster mengerti apa yang Andara rasakan. Tidak menyenangkan memang. Ini
mungkin jalan yang mesti Andara lalui. Ini seperti suratan."
Gadis itu hanya sesenggukan. Titik airmatanya menderas. Ia berpaling. Seolah menatap
hampa pada tembok. Wanita separo baya itu tersenyum. Dibiarkannya gadis itu tetap
mematung tanpa sikap mengadili. Dialihkannya pikirannya ke sebuah rumah megah di
pusat kota . Segalanya memang seperti skenario. Ada penggalan kisah yang pahit, seperti
panggung sandiwara yang dilakoni anak-anak manusia. Ia menggeleng. Tak sadar.
Betapa kerdilnya manusia di hadapan sang keinginan. Ketidakpuasan melatarbelakangi
prahara yang terjadi. Ini tragedi kemanusiaan yang terus berkembang sepanjang segala
zaman. Ia menghela napas, sejenak.
Dia iba. Gadis kecil itu belum tahu apa-apa.
Di luar, dari jendela kelasnya, seseorang menatapnya diam-diam. Caroline masih
menantinya.
***
"Ini untukmu, Sayang."
"Untuk apa?!"
"Pa-Papa sayang kamu, Dara."
"Papa tidak berhak menyayangi Dara lagi."
"Dara putri Papa...."
"Sekarang tidak lagi!"
"Kenapa?"
"Karena bukan wanita bernama Angelina Jose Darmawan itu yang melahirkan Dara."
Lelaki itu terperangah. Seperti ditusuk beribu-ribu jarum, kepalanya pening tiba-tiba.
"Yang melahirkan Andara adalah wanita yang bernama Widyawati Kusuma. Bukan dia,
wanita pilihan Papa itu!"
"Ta-Tapi...."
Gadis itu masih menangis. Dihempaskannya kotak batang permen coklat pemberian
lelaki itu. Dia sama sekali tidak ingin menerimanya. Apalagi untuk merelakan lelaki itu
mengantarkannya pulang.
"Se-Secepat itukah Papa berubah?! Papa sama sekali tidak menghargai jasa-jasa Mama."
"Da-Dara...."
"Mama...."
Lelaki itu terdiam. Berusaha dengan susah payah meneguk ludahnya. Sesaat dia
menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum meninggalkan gerbang sekolah dengan
langkah lunglai. Gadis itu hanya mematung. Menunggu sampai punggung lelaki itu
menirus dari matanya.
"Dara...."
Andara menoleh. Ada suara dari belakang yang menggebah lamunannya. Dilihatnya
Caroline menghampirinya dengan sikap ragu.
"Kamu ti-tidak ikut pulang sama Papa kamu?"
"Dia bukan Papa saya!"
Gadis berambut panjang itu menundukkan kepalanya. Sinar di matanya meredup. Namun
dia bersikap wajar lagi sedetiknya. Melebarkan bibirnya membentuk senyum.
"Tapi, biar bagaimanapun, dia tetap ayah kamu. Papa kamu!"
"Dulu. Sekarang, tidak lagi!"
"Siapa bilang tidak...."
"Ka-Kamu...."
"Maaf, Dara. Tidak sepantasnya saya mencampuri urusan keluarga kamu. Tapi...."
"Tapi apa?"
"Sampai kapan kamu akan membenci Papamu?"
"Kamu tahu tentang keluarga saya?"
"Tentu saja saya tahu. Setiap hari lelaki itu datang menjemputmu. Kalau bukan ayahmu,
siapa lagi? Jangan pikir saya pernah menyangka kalau lelaki itu adalah pacarmu. Lagian,
kamu tidak mungkin berpacaran dengan orang yang sudah toku , yang lebih pantas
menjadi bokap kamu, kan?"
Andara mencoba tersenyum mendengar gurauan Caroline, siswa baru di kelasnya,
pindahan dari sebuah SMA di Bandung.
"Tentu saja tidak." Andara akhirnya tertawa.
"Tapi pengecualian apabila dia adalah Richard Gere." Caroline terbahak.
Dua menit kemudian mereka meninggalkan gerbang sekolah. Tampak seorang satpam
menutup gerbang besar dari besi itu dengan susah payah. Selalu saja begitu. Pintu tua itu
berderit sebelum akhirnya tertutup rapat.
"Duduk di halte sekolah enak juga, ya?" Caroline memecah kebisuan. Dia tahu Andara
masih memikirkan kejadian miris tadi. Dilihatnya gadis anak baru sekolahnya itu
mengangguk. "Berangin-anginan sembari menunggu bis Patas AC lewat."
"Kamu kok terlambat pulang sih, Ine?"
"Sengaja. Nunggu kamu."
"Lho...."
"Duh, kamu tidak ngerti juga ya, Non?"
Andara menggeleng lugu.
"Kalau saya pulang cepat, siapa yang menghibur kamu kalau kamu lagi menangis?"
"Hei, kamu...."
"Setiap hari kerjamu cuma 'huhuhu' saja. Kalau bukan sama Suster Anamaria, pasti
setelah bertengkar sama Papa kamu seusai bubaran sekolah. Iya, kan ?"
"Jadi...."
"Jadi setiap hari saya siap berkorban jiwa dan raga untuk menampung unek-unekmu."
Caroline mendongakkan kepalanya dengan gaya angkuh. "Eh, bahu saya juga lumayan
empuk untuk kamu tumpahkan air bah dari matamu, lho."
"Kok kamu baik sama saya sih, Ine?" Andara bertanya dengan mimik haru.
"Kalau bukan teman, siapa lagi? Memangnya sama Pak Ridwan yang satpam itu? Huh,
jangankan untuk menampung duka laramu itu; untuk urusan tutup menutup gerbang
sekolah saja dia sudah kelimpungan."
Andara terbahak. Lara yang melingkupinya sejenak tergusur suka. Diliriknya Caroline
yang terpingkal. Sungguh. Dia merasa sangat beruntung mempunyai sahabat seperti gadis
berambut panjang ini. Ini sebuah anugerah dari Tuhan untuknya.
"Dara...."
"Apa?"
"Hm...."
Caroline ragu. Diedarkannnya matanya ke sekeliling. Jalan utama di depan sekolah
tampak sepi. Lalu-lintas tidak terlampau ramai. Hanya tampak pedagang gerobak bakso
tengah berbenah, hendak pulang beristirahat setelah seharian penat berdagang.
"Kamu janji jangan marah, tapi."
"Iya. Ada rahasia apa, sih?"
"Bukan rahasia." Caroline membolakan matanya dengan gaya ceria. "Oke. Kita mulai.
Pertama, apakah...."
"Eh, Ine. Kamu mau bertanya atau melemparkan kuis, sih?"
"Hehehe. Tentu saja pertanyaan, Non."
"Nah, kalau begitu cepatlah sebelum bisnya nongol. Soalnya, kita beda jurusan. Dan
kapan saja saya bisa berubah pikiran untuk mengenakan tarif pada setiap pertanyaanmu."
Andara bercanda, terbahak kemudian.
"Seandainya ada orang yang sangat kamu benci ternyata dia sangat baik pada kamu,
apakah kamu akan tetap membencinya?"
"Hei, maksudmu...." Andara mengernyitkan dahinya.
"Maksudku, apakah kamu dapat menerima kebaikan orang yang kamu tidak sukai."
"Kalau dia baik, kenapa harus dibenci?" Andara masih belum mengerti arah pembicaraan
Caroline. "Eh, memangnya saya kelihatan banyak musuh ya, Ine?"
"Bukan begitu maksud saya."
"Kamu ini aneh...."
"Misalnya, Papa kamu...."
"Pa-Papa...."
"Dia kan baik, Dara?"
"Ja-jangan sebut Papa lagi!" Andara mulai terisak.
"Sori. Saya tidak bermaksud...."
"Sudahlah, Ine. Kamu boleh bertanya apa saja, asal jangan soal Papa saya."
"Ta-tapi...."
Andara mengalah. Meski dia sakit hati, tapi diceritakannya juga akhirnya perihal
keluarganya.
"Sebetulnya Papa baik. Sangat baik malah. Hanya, tidak disangka setelah mengenal salah
seorang karyawati barunya, Papa dapat melupakan Mama...."
"Maksudmu mereka...."
"Mereka menikah. Wanita itu adalah sekretaris baru Papa."
"Ja-jadi...."
"Saya menyesali keputusan Papa untuk tetap menikahi sekretarisnya itu, meskipun jauh-
jauh hari Mama sudah mengancam talak, sampai mencoba bunuh diri segala macam...."
Andara tercekat dengan suara memarau. Airmatanya menderas. "Ta-Tapi, akhirnya Papa
tetap bersikeras dengan keputusannya. Andika dibawa serta, dan tinggal bersama wanita
iblis itu!"
Caroline tersengat. Matanya mulai membasah. "Ta-Tapi...."
"Kamu tidak akan pernah dapat mengerti kebencian saya terhadap wanita genit perebut
suami orang itu, Ine. Kalau kamu sebagai posisi saya, tentu kamu akan mengerti
bagaimana rasanya sakit hati itu."
"Sa-Saya...." Caroline terbata-bata. Airmatanya mulai bergulir.
"Ya, kamu akan mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang yang benar-benar kita
cintai. Rasanya, kebahagiaan kita dirampok."
Caroline membisu. Ditekuknya kepalanya ke dada. Airmatanya masih bergulir.
"Demi Tuhan, Ine. Demi, Tuhan. Saya sama sekali tidak habis pikir, kok masih ada orang
yang tega seperti itu!" jerit Andara dengan suara serak.
"Ta-Tapi, be-belum tentu mereka sejahat sangkamu, Dara!"
"Mungkin. Mungkin mereka seperti perkataanmu barusan. Tidak sejahat prasangka saya.
Mungkin mereka sebaik bidadari. Tapi, mereka sudah merampas kebahagiaan dan
keharmonisan keluarga saya. Sesuci apapun mereka, saya tetap tidak dapat menerima
kenyataan itu!"
"Ka-kamu...!"
"Kalau bukan karena wanita itu...."
"Kamu ti-tidak berhak menilai wanita itu!"
"Kenapa?!" Andara membeliak, menatap lurus ke wajah sembab Caroline. "Kenapa saya
tidak berhak menilai wanita biang perusak rumah tangga orang?!"
"Mak-maksud sa-saya...."
Andara menghela napas panjang. Dibiarkannya airmatanya berlinang deras. Dia sudah
terlampau sakit hati.
"Lalu, Andika...."
"Mung-mungkin... dia baik-baik saja...."
"Dia pasti disiksa!"
"Ti-tidak...."
"Ibu tiri...."
"Ti-tidak semua ibu tiri itu jahat...."
"Tapi, wanita itu pasti ibu tiri yang jahat!" sergah Andara. "Kalau tidak, mana mungkin
dia mau merebut suami orang!"
Caroline menggigil, mencoba menyentuh bahu Andara, berusaha memeluk sahabatnya
itu. Namun sepasang tangannya seolah hanya menggapai angin. Suaranya pun berhenti di
tenggorokan. Mendadak menjadi bisu.
"Ka-kasihan Dika. Dia pasti kesepian. Dia...."
Kedua gadis itu menangis sesenggukan. Andara menutup wajahnya dengan kedua belah
tapak tanganya, sementara Caroline berusaha menyembunyikan tangisnya. Digerainya
rambutnya yang panjang, menutupi sebagian wajahnya yang kuyu.
"Mama sangat menderita, Ine!"
"Sa-saya tahu."
"Ka-kasihan Mama...."
Caroline menggigit bibirnya sampai berdarah. Sedari tadi ingin dipeluknya pundak
Andara. Membagi dukanya bersama. Sebab mereka sebenarnya adalah saudara.
Dia adalah putri tunggal dari wanita yang paling dibenci oleh Andara, Angelina Jose
Darmawan.
***
Epilog

"Maafkan saya, Mas. Sayalah penyebab kehancuran keluarga, Mas."


"Kamu jangan berkata begitu. Cuma pernikahan kita inilah yang dapat saya berikan di
sisa akhir hidupmu. Kamu jangan pikir macam-macam lagi."
"Tapi...."
"Sudahlah. Mungkin kita sudah ditakdirkan untuk kembali bersatu setelah nasib seperti
mempermainkan kita, memisahkan kita sekian belas tahun. Selama ini kamu sudah sangat
menderita."
"Widya...."
"Seperti juga Darmawan, mereka adalah anugerah kita masing-masing, yang terpampas
dari sisi kita. Sudahlah, Lin. Jangan sesali kecelakaan lalu-lintas di Pasteur itu.
Darmawan sudah tenang di alam sana. Dan Widya juga sudah ikhlas."
Wanita itu menitikkan airmata haru. Vonis leukemia menjadi tidak berarti apa-apa
dibandingkan ketulusan cinta yang dipersembahkan baginya di akhir sisa hidupnya.
Di luar, dari jendela bangsal rumah sakit, seorang gadis menatap mereka diam-diam
dengan airmata menitik.

***************************************
JOMBLO SEJATI

Sesuatu yang bernama cinta selalu datangnya mendadak. Tanpa diundang. Terlebih-lebih
dengan surat undangan. Tapi yang namanya Cupid memang tidak pernah memilah-milah
siapa yang hendak disasar dengan panah asmaranya. Kalau sudah menjadi keputusan
langit, maka hal itu tidak dapat ditolak. Tugasnya untuk melesatkan anak panah
yang menjadi amanat tetap akan tereksekusi. Apapun dalih yang melatarbelakangi.
Sama halnya dengan Andin. Cewek manis berlesung pipi ini sama sekali tidak
pernah menyangka akan dapat jatuh cinta pada Taurus. Padahal, dua tahun
persahabatan mereka di sekolah tidak pernah dilatarbelakangi 'apa-apa'. 'Apa-apa'
di sini maksudnya, feeling. Not feeling blue. Tapi siapa sangka persahabatan
mereka yang jalan baru saja menginjak usia tiga itu bisa direcok asmara.
Andin menghela napas panjang-panjang. Selalu saja begitu bila ia menyaksikan
Taurus ngobrol dan berdekatan dengan cewek lain. Apakah ia jealous?! It's not
funny! Hei, bukankah selama dua tahun juga cowok itu akrab dengan teman-teman
cewek seantero sekolah?! Tapi, kenapa sekarang hatinya berdebar tidak menentu
begini?!
"Andin...!"
Satu panggilan berintonasi tinggi plus tepukan separo keras di pundaknya
membuyarkan lamunannya. Dialihkannya matanya spontan pada wajah berpeluh dengan
suara terengah di belakang. Maura menunduk memegang lutut dengan kepala
mendongak, tetap konsisten menatap sahabatnya yang tiba-tiba berubah jadi aneh
dan pendiam itu dari seberang meja kantin.
"Kok nggak ikutan basket, sih?"
"Malas!"
"Jangan mengurai dalih. Aku tahu pasti bukan itu penyebabnya."
"Aku sedang...."
"Sudahlah, Din. Wellcome to The Moon-mu kan sama denganku. Jadi, aku tahu kalau
kamu nggak sedang haid." Maura menegakkan badan setelah merasa lebih segar.
Ditepuknya pundak Andin sekali lagi setelah ikut duduk di sebelah gadis yang
tiba-tiba jauh lebih murung dari mendung itu. "Come on. Curhat aja. Gratis, kok."
"Tapi...."
Gadis bertubuh lampai itu menyeka peluh dengan satu sapuan telapak tangan pada
sekujur leher. Rambutnya yang lurus mayang kini sudah sedikit mengikal karena
lepek oleh kelenjar keringat. Dikibaskannya tangan yang satunya mengisyaratkan
ketidaksetujuan. Satu bukti penolakan yang biasa dilakukan bila tidak akur
dengan suara nuraninya. Andin memang jadi aneh. Gadis prenjak itu tiba-tiba
menjelma menjadi merpati jinak! Ups, ini stori paling unik yang pernah
dialaminya.
Padahal....
"Maura...."
"What?"
"Maura, kamu pernah jatuh cinta nggak?"
Maura sekali lagi menyapu sekujur lehernya yang sama sekali sudah tak
berkeringat. Satu bukti keterkejutannya yang diaplikasikan tanpa sadar.
What?!
'Maura, kamu pernah jatuh cinta nggak?!' That is something stupid! Satu
pertanyaan paling bodoh sedunia!
"Andin...."
"Kamu belum jawab pertanyaanku!"
Lagi-lagi, gadis berambut mayang itu menyapu lehernya dengan telapak tangan.
Tiga detik, sapuan telapak tangannya itu mengarah ke sekujur wajah. Entah ia
harus berbuat apa dengan pertanyaan mahatolol itu!
"Andin, kamu sakit ya?!"
"Siapa bilang aku sakit. Aku sehat-sehat aja, kok."
"Ragamu sehat. Tapi, otakmu yang sakit!"
"Hei, ka-kamu...."
Maura mengedikkan bahunya tanpa merasa bersalah. Pertanyaan yang dilontarkan
Andin barusan menggelitik hatinya. Memangnya hati gadis itu terbuat dari batu
sehingga tidak pernah jatuh cinta apa?!
"Maura...."
"Din, manusia apa sih yang nggak pernah jatuh cinta?!"
"Maksudku...."
"Kecuali dia itu bukan manusia Bumi. Tapi, manusia sejenis Alien yang berasal
dari Mars sana!"
"Maura! Aku serius!"
"Siapa bilang kamu dua rius?"
"Maura!"
Maura mengangguk, mengalah karena melihat mata Andin telah berkaca-kaca. "Oke,
oke. So, what do you meant with: 'Maura, kamu pernah jatuh cinta nggak?!"
Sesaat gadis itu tergugu. Bibir mungilnya mengatup serupa digembok. Kantin
sebetulnya tempat yang ideal untuk menuangkan unek-unek tanpa harus mengganggu
konsentrasi seperti kalau ada kelas. Tapi kali ini ia tidak tahu harus ngomong
apa. Padahal lelatu kalimat tadi telah sedikit membakar keberaniannya untuk
menyampaikan ihwal ganjalan di hati. Kalau bukan Maura sohib kentalnya, kepada
siapa lagi ia mesti curhat?!

"Yah, bukannya aku nggak pernah jatuh cinta, Ra. Tapi...."


"Tapi apa?"
"Tauklah. Tapi, aku takut kalau jangan-jangan cintaku hanya bertepuk sebelah
tangan."
"Itu resiko jatuh cinta."
"Tapi...."
"Itu hal yang manusiawi banget, Din. Setiap hal punya konsekuensi. Untuk urusan
hati yang paling hakiki seperti cinta pun begitu. Kalau nggak keterima, ya
ketolak. Itu aja."
Andin diam menyimak. Bakso pesanannya malah belum tersentuh sama sekali. Kuahnya
sudah dingin, dan beberapa lemak nabati telah menggumpal di gigir mangkuk. Maura
asyik mengunyah daging bulat baksonya tanpa merasa terbebani dengan masalah
sahabat semasa SD-nya itu.
"Tapi, kalau aku ditolak kan sakit hati, Ra!"
"Siapa juga yang bilang kalau cinta ditolak itu enak, Non?!"
Andin tersenyum, menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. "I-iya,
sih. Tapi...."
"Tapi apa lagi?"
"Kamu pernah ditolak nggak, Ra?"
"Ya iyalah. Kalau nggak, mana aku bisa ngerasain bagaimana sakitnya bila cinta
kita ditolak!"
"Oh. Eh, tapi kok kamu nggak sakit hati sih?"
"Sakit hati sih, iya. Tapi percuma kalau terus diungkit-ungkit dan diingat-ingat.
Memangnya kalau menangis sampai banjir bah dapat memperbaiki keadaan?"
"Wah, kamu hebat!"
"Nggak juga, Din. Tapi, aku nggak mau trauma-trauma begitu."
"Kenapa?"
"Ya bodoh aja menurutku."
"Memangnya...."
"Kalau pingin punya pacar, kita mesti berani menerima resiko. Kalau kamu takut,
ya jadi jomblo aja deh seuban-ubanan!"
"Kok begitu sih ngomongnya, Ra?!"
"Ya habis aku harus ngomong apa dong, supaya kamu berani?! Apa Taurus bisa kamu
taklukin hanya dengan mengedipkan mata? Heh, salah-salah kamu bisa dianggap
bintitan."
"Ja-jadi, selama ini kamu tahu aku naksir sama Taurus?!"
"Ya iyalah! Cuma orang bego aja yang nggak tahu kalau kelakuanmu yang kayak ular
kepanasan bila berhadapan dengan Taurus itu bukan merupakan love-syndrome."
"Heh, kamu bisa aja!"
"Ya iyalah. Habis, mau dikategorikan apa dong kelakuan anehmu itu kalau bukan
karena pengaruh kasmaran."
"Tapi, aku kan nggak pernah ngungkapin perasaanku ke doi, Man!"
"Itu yang salah!"
"Kenapa?"
"Ya iyalah. Mana doi tahu kamu suka dia kalau kamu hanya diam kayak patung orang
setengah kelar begitu. Diam melulu."
"Jadi, aku harus bagaimana dong, Ra?!"
"Samperin. Terus terang, bilang kalau kamu tuh naksir dia."
"Hei, kamu pikir aku sudah gila ya, Ra?!"
"Lho, memangnya kenapa?! Kamu pikir apa cewek nggak bisa 'nembak' duluan?!"
"Keganjenan, tahu!"
"Oke. Kalau begitu, silakan menjomblo seumur-umur!"
"Maura! Jangan nakut-nakutin begitu, dong!"
"Habis, kamu nggak pede sih!"
"Baik, baik. Tapi, kamu ajarin ya bagaimana cara 'nembak' doi."
"Hah?! Memangnya aku instruktur cinta apa?!"
"Please, Ra! Aku nggak mau menjomlo seumur hidup!"
Maura menggeleng. Berdiri dari bangku kantin, hendak melangkah menuju ruangan
kelas. Pura-pura menolak permintaan Andin yang memelas dengan suara paruh
tangisnya.
"Maura, please dong!"
Maura tetap melangkah. Diam-diam ia tertawa melihat kelakuan sahabatnya yang
lugu itu.
Andin memang jomblo sejati!

***************************************
KEPAK-KEPAK SAYAP MERPATI
By : Ade Tenu

Senja diselimuti kabut tipis. Dan biasanya bisa ditebak, bagaimana suhu di Osaka pada
saat-saat ini. Apalagi pada aki same seperti sekarang. Sudah dingin setiap harinya, masih
ditambah lagi dengan kedinginan yang datang akibat aki same turun tiada hentinya sejak
tadi.
Di kejauhan Amanda berlari kecil menghindari terpaan angin yang tiba-tiba datang
menghantam tubuhnya. Sesekali dia sibuk merapatkan sweater yang dikenakannya.
Brrrr... Amanda menggigil kedinginan.
Cuaca hari ini, benar-benar tak bisa diajak kompromi, gerutunya pelan. Mungkin kalau
tadi pagi diturutinya kata-kata Sam, untuk tidak keluar dalam cuaca seperti ini, dia tidak
akan tersiksa sendiri, dengan kedinginan di sekujur tubuhnya. Dan jeleknya lagi,
semuanya ini akan terus seperti ini dari hari ke hari sampai saat haru tiba.
Oaaah, Amanda menguap lebar-lebar.
Kalau begini, ingin rasanya cepat-cepat sampai di rumah dan kemudian duduk diam di
depan perapian, untuk sekadar menghangatkan badan sambil menghirup segelas susu
hangat. Hm, pasti sangat nikmat sekali. Amanda tersenyum membayangkan.
Dan sekarang ini, gadis itu rasanya boleh tersenyum senang, atau tepatnya bernapas lega,
karena rumah berukuran sedang itu, sudah terlihat dari pandangannya.
"Amandaaa...."
Amanda mendongak. Menatap ke arah suara. Dilihatnya di depan pintu seseorang
melambaikan tangannya setengah berteriak menyuruhnya cepat sampai.
Amanda balas melambai. Dia mempercepat langkahnya, dan cepat-cepat mengulas
senyum ramah pada sosok di depannya.
"Menunggu, Sam?" sapa gadis itu, sambil mengibaskan sisa titik-titik airmata yang
melekat pada sweater-nya. Sedangkan bibirnya berusaha tetap tersenyum di sela-sela
kedinginan.
Tarikan di bibir Amanda perlahan mengendur, ketika wajahnya mendongak menatap
mata setengah sipit milik cowok itu.
"Sam?"
Sam terdiam. Dia berpaling dan cepat melangkah masuk ke dalam rumah. Melihat itu,
Amanda menghela napas. Ingin rasanya dia bertanya, 'Ada apa Sam?'. Tapi cepat
ditahannya mulutnya agar tidak berbicara apa pun, dan mengikuti langkah Sam.
"Mengapa dalam cuaca seperti ini memaksakan diri keluar? Badanmu bisa sakit lagi
nanti," tegur cowok itu marah sesampainya mereka di dalam.
Amanda tersenyum gelisah melihat gurat kecemasan di mata Sam. Dan tanpa sempat
dicegah, rasa bersalah menjalar cepat di hatinya.
"Maaf, Sam."
"Tadi pagi sudah kubilang, kan?"
"Aku tidak apa-apa, kok," ujar gadis itu. "Jangan cemas, yah?"
"Anak bandel! Tidak apa-apa bagaimana?! Lihat sini!" Sam menarik tangan Amanda
menuju cermin besar di ruang tengah. "Ayo. Coba kau lihat! Apa wajah seperti ini, yang
tak apa-apa?!"
Gadis itu tersenyum kecut menatap dua wajah dalam cermin. Seorang gadis terpantul di
sana dengan wajah yang pucat dan bibir yang membeku kedinginan. Di sampingnya,
berdiri seorang cowok tampan yang atletis, tersenyum masam pada gadis itu.
"Sam?"
"Sudahlah!" Sam mengibaskan tangannya. "Lain kali, jangan kau paksakan pergi dalam
cuaca begini."
Cowok itu mengingatkan. "Ah. Aku sampai lupa. Tadi sudah kuhidupkan perapian.
Hangatkan badanmu, Nda."
Amanda tersenyum mengiyakan.
"Doku desu ka?" tanya Sam dari arah dapur.
Amanda terdiam. Matanya menerawang jauh. Kalau tegami-nya cepat sampai, berarti
akan tiba di tangan Johan setengah bulan kemudian. Bahkan mungkin lebih!
Sumimasen, Joe, desis Amanda giris. Kore wa watashi no machigai desu. Walau
bagaimanapun, semua sudah tak mungkin lagi untuk kita. Keputusan apa pun, terasa sulit
buatku. Dan kalau akhirnya aku pergi, mungkin itu pilihan terbaik untuk kita, batin gadis
itu pilu. Meski tanpa mengabarimu, Joe!
Mengenangmu setiap saat, sama saja membuka kembali kejadian berpuluh-puluh hari
yang lalu, Joe. Dan itu berarti, menghadirkan luka yang aku sendiri tak tahu kapan
sembuhnya!
Aku mencintaimu, Joe. Amat sangat mencintaimu! Dulu aku pernah berjanji. Hanya kau
satu-satunya dalam hidupku. Tapi Joe, aku tak dapat lagi merengkuhmu. Tak bisa
menyakiti hati Ilda dengan kebersamaan kita. Bagaimanapun, walau tak rela
melepaskanmu, dia adik kembarku, Joe.
"Arigatoo, Sam."
"Ni ii kenko?"
Amanda mengangguk.
"Pantas tadi tak terdengar pertanyaanku. Rupanya kau melamun ya, Nda."
Amanda tersenyum kecut. "Maaf, Sam. Aku tadi ke yuubinkyoku. Kirim kabar ke rumah.
Juga buat dia," sahutnya cepat, ketika ditangkapnya mata Sam mengerlingnya penuh arti.
"Setidaknya agar semua tak mencemaskanku, karena pergi tanpa pamit."
Amanda meletakkan gelasnya.
"Rasanya baru kemarin aku datang. Kini aku harus merepotkanmu lagi, Sam. Sekarang
ini... ah, sudahlah!" Gadis itu mengibaskan tangannya. "Akiru, Sam?"
Sam menggeleng.
"Aku malah senang, kau masih ingat keluargamu di sini, Nda." Dia tertawa. Menepuk
pundak Amanda. "Wajahmu menyeramkan lho, kalau sedang susah seperti itu."
Amanda menghela napas.
"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, Sam," ucap gadis itu sedih. Dia tersenyum giris.
"Kalau saja bisa, aku tak pernah ingin kehilangan dia. Tak ingin memutuskan tali cinta
kami begitu saja. Ah, Sam...," Amanda menggigit bibirnya. Berusaha menghalau kristal
bening dari matanya. "Aku tak percaya, kami akan seperti ini. Membayangkannya pun
tidak!"
"Kalau begitu kembalilah, Nda! Jangan kau lepaskan cinta yang sudah kalian bangun
berdua."
Amanda menggeleng putus asa.
"Aku tidak bisa, Sam!"
"Apa dengan begini, kau tidak menyiksa dirimu sendiri?!" cetus cowok itu marah.
"Pikirkanlah dirimu, Nda."
"Sam?"
"Apa sekarang kau menyesal?"
Menyesal?! Amanda tersenyum samar. Andai saja kau tahu, betapa menyesalnya aku.
Tapi semua sudah tak mungkin lagi, kan? batin gadis itu nelangsa.
Kadang aku berpikir, apalagi nanti yang akan kuberikan pada Ilda, Sam! Padahal, semua
yang terbaik dalam hidupku, dia juga yang merenggutnya!
Andai saja Ilda bukan adikku. Andai bukan Johan yang dia cintai. Mungkin aku tak perlu
'melarikan diri' sejauh ini untuk kebahagiaannya, Sam!
***
Johan terpaku menatap selembar surat dalam genggamannya. Awalnya dia gembira,
ketika menemukan sepucuk surat dari gadis itu di meja belajarnya. Setelah lama tak ada
berita, dan dia terus menantinya dengan harap cemas. Sudah sesak rasanya dia menahan
kerinduannya untuk bertemu. Tapi apa yang ditulis gadis itu? Johan menggeleng tak
mengerti.
Entah untuk memastikan apa. Tapi pagi ini, di atas pesawat Garuda, dia sudah membaca
isinya berulang kali. Tetap saja tak ada yang berubah. Yang ditulis gadis itu tetap sama.
Hanya tiga kalimat. 'Maafkan, aku Joe!'
Maaf untuk apa? Ah. Ingin rasanya saat ini dia 'terbang' menemui gadis itu.
Mendekapnya dalam pelukannya. Mengurai rindu yang sudah lama tersimpan. Tapi
sayangnya dia bukan pilotnya. Jadi yang dapat dilakukannya hanya diam menunggu.
Padahal dia ingin secepatnya tiba di hadapan gadis itu.
Tadinya dia sempat ragu untuk menemui gadis tercintanya. Berpikir puluhan kali malah
semakin menyiksa perasaannya. Tapi, setelah menerima telepon interlokal dari seorang
cowok, yang mengaku bernama Sam, keraguannya pupus sudah.
Kemarin petang, dia pergi juga. Walau Mama dan Papanya menatapnya cemas. Bahkan
juga Ilda, kembaran gadis itu. Ah, Tuhan, mengapa baru disadarinya kalau gadis itu juga
mencintainya.
Kalau akhirnya dia nekat pergi, itu bukan karena Ilda. Tapi... itu semua karena
kerinduannya sudah tak bisa dibendung lagi. Dia juga tahu, dia mungkin sangat nekat
untuk datang. Bagaimana tidak, kalau dia sama sekali buta negara Matahari Terbit itu.
Apalagi Osaka!
Johan menggeleng berulang kali. Dia ingin sekali pesawat Garuda ini, mendarat mendarat
cepat di Narita. Rasanya dia sudah tidak sabar, untuk segera mengatakan pada gadis itu,
bahwa dia sangat mencintainya.
"Excuse me."
Johan tersentak. Seorang gadis cantik bermata sipit, di sebelahnya, membuyarkan
lamunannya.
"What can I do for you?"
Gadis itu tersenum ramah. Tangannya menunjuk tempat yang diduduki Johan.
"May I change my seat?"
Johan mengangguk dan tersenyum.
"With pleasure," ujarnya sambil berdiri, membiarkan gadis itu menempati tempatnya.
Dan kemudian baru dia duduk kembali di tempat gadis itu duduk sebelumnya.
Johan menatap gadis itu sekilas, dan kemudian merebahkan diri ke sandaran kursi
berwarna biru. Belum sempat dia memasang headphone di telinganya, suara gadis itu
terdengar lagi.
"Where are you come from?" Gadis itu melirik Johan lewat sudut matanya. "Indonesia?"
tanyanya lagi.
Johan mengangguk pelan. Dia meletakkan headphone di tempatnya. Dan berpaling
melirik gadis itu, sambil tersenyum.
"Aku punya kenalan orang Indonesia," ucap gadis itu lagi, dengan bahasa Inggris yang
fasih. "Dulu kami bertemu, ketika dia pertama kali ke rumahku sebagai anak AFS. Dia
baik sekali. Sampai-sampai saat dia akan pergi, semua tak rela melepaskannya." Gadis itu
tersenyum mengenang. Kemudian seperti teringat sesuatu, dia tertawa. Sambil
menyodorkan tangannya, gadis itu menyebutkan namanya. "Akana."
"Nama yang bagus," puji Johan.
"Seperti nama orang Jepang kebanyakan. Oh ya, namaku Johan."
Gadis itu tersenyum.
"Where are you going?"
"Osaka."
Gadis itu tertawa senang. "Kita rupanya sejalan. Tapi Osaka itu luas, lho," sahutnya
cepat. "Siapa yang kau cari?"
Johan hanya menjawab dengan tersenyum.
"Ah." Akana tersenyum penuh arti.
"Your girlfriend?"
Johan tersenyum jengah. Tak ada pilihan lain selain mengangguk. Toh kenyataannya itu
benar. Amanda satu-satunya gadis yang dicintainya. Jadi untuk apa ditutupi. Lagian
belum tentu kan, dia bertemu gadis ini lagi, gumamnya dalam hati.
Johan melirik gadis itu lagi. Kali ini dia tersenyum lega, mendapati Akana sudah tertidur
pulas di kursinya.
***
"Jadi pergi, Sam?"
Cowok itu mengangguk. Tangannya cekatan memakai sarung tangan dan syal. Sementara
tangan satunya lagi menyambar kunci mobil dengan tergesa.
"Aku boleh ikut, kan?"
Sam menggeleng cepat.
"Kalau kau ikut, ini bukan lagi sebuah kejutan dong." Cowok itu tersenyum menggoda.
"Aku segera kembali, Nda." Sam beranjak pergi. Tapi kemudian di berbalik. "Yakinlah
kalau ini kulakukan untuk kebahagiaanmu, Nda."
***
Narita Airport, Japan

Sam duduk diam dalam mobil hijau lumutnya. Tangannya mengetuk-ngetuk setir mobil
dengan gelisah. Sesekali dia mengedarkan pandangannya. Menyapu seluruh sudut
ruangan.
Sam menatap foto cowok dalam tangannya. Ah. Semoga saja Amanda tidak menyadari,
salah satu foto koleksinya telah raib dari albumnya. Kalau tidak begini, dia tidak bisa
mengenali sosok yang dicarinya.
Belum lama tangannya membuka pintu, matanya dengan cepat mengenali seseorang,
yang berdiri celingukan mencari taksi. Dia berdiri memperhatikan sambil tersenyum
senang. Sampai akhirnya dia tak tega dengan kebingungan gadis itu, dan memanggil
setengah berteriak.
"Kana...."
Sam tertawa melihat tangan gadis itu meninjunya dari jauh, sambil berlari lincah
mendatanginya. Dia tersenyum menyambut. Tangannya terangkat, mengacak-acak
rambut gadis itu dengan sayang.
"Tumben?"
Gadis itu meninju lengan Sam, main-main.
"Jangan ge-er dulu, Sam. Aku datang karena mendengar Amanda ke rumah. Jadi bukan
kangen sama kamu," cetusnya manja, sambil meleletkan lidahnya menggoda. "Ayo kita
pergi. Aku sudah kangen, nih." Tangannya membuka pintu dan langsung duduk di kursi
belakang dengan kaki diselonjorkan.
"Aku ke sini, bukan sengaja menjemputmu, Nona." Sam tersenyum menggoda.
"Ah, jadi ada cewek lain lagi?" Akana melongokkan kepalanya. Menatap kakaknya
dengan curiga. "Siapa?"
Sam hanya menjawab dengan senyum.
"Sam?"
"Nanti juga kau tahu. Ah!" serunya riang. "Itu dia." Sam melangkahkan kakinya,
menghampiri seorang cowok, yang baru saja keluar sambil mendorong troli barangnya.
"Johan?" tanyanya ragu. Dan Sam hanya bisa tersenyum lega, saat menyadari dia tidak
salah orang. "Aku Sam. Ingat?"
Johan mengangguk pelan.
"Makasih ya, sudah mengabariku." Dia mengedarkan pandangannya. Seperti tahu yang
dicari cowok itu, Sam menggeleng pelan.
"Dia tak datang."
Johan tersenyum. Menyembunyikan kecewanya.
"Aku mengerti. Tidak apa-apa, kok."
Di dalam mobil Akana terperanjat. Orang yang dimaksud kakaknya ternyata adalah
Johan, seseorang yang baru saja dikenalnya. Heh, segalanya tak terduga!
***
Di dalam mobil yang melaju kencang, tidak ada yang inisiatif membuka pembicaraan.
Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dan Sam juga tidak ingin bersuara.
Membiarkan kebisuan menyelimuti.
Sam melirik cowok itu dengan ekor matanya. Dia menelan ludah pahit.
Tuhan... apa yang telah kulakukan ini, batinnya pilu.
Seharusnya tak perlu menyuruh cowok itu datang. Seharusnya dia tahu yang
dilakukannya ini, malah semakin menyiksanya. Membuatnya merasakan luka lagi.
Cowok setampan ini, gumamnya dalam hati. Ah, ya. Tentu saja. Gadis mana yang tidak
jatuh cinta padanya? Bahkan juga Amanda!
Dua bulan lalu, saat Amanda datang untuk kedua kalinya, dengan senyum yang sama, dia
tahu... di balik senyum itu ada luka yang disembunyikan. Dia juga tahu, di balik sikap
tegar gadis itu, tersembunyi hati yang rapuh.
Saat itu, sebenarnya dia sudah ingin mengulurkan tangan. Membantu gadis itu dari
kenangannya. Meyakinkannya, bahwa masih ada hari esok untuknya. Bahkan juga cinta!
Tapi itu semua tidak dilakukannya. Dia memilih bicara, jika gadis itu membutuhkan.
Setidaknya dengan cara itu, dia mencoba mengerti, dengan membiarkan hatinya
membuang harap yang berlebih.
Sam tersenyum giris.
Walau tanpa penolakan, toh hatinya tahu, tak akan pernah ada cinta di hati gadis itu
untuknya. Cintanya sudah diberikan bulat-bulat pada cowok di sampingnya ini. Bahkan
kemudian rela melepaskannya dan menanggung luka sendiri, demi orang lain yang juga
sama berartinya dengan cowok itu.
Sam menggigit bibirnya. Perih! Mungkin itu yang dirasakannya kini. Apalagi saat mobil
yang dikemudikannya membelok, memasuki sebuah pekarangan.
"Ah, sudah sampai!" Akana berteriak senang. Membuka pintu dengan tergesa, kemudian
menghambur ke dalam. Memanggil Amanda dengan suara rindu.
Sam tersenyum melihat tingkah adiknya. Dia berpaling, menatap Johan. Cowok itu
dilihatnya sedang mengusap lembut cincin di jari manisnya. Dia meraba hatinya. Ada
desir halus di sana.
Sudahlah! kata hati berbicara. Mungkin gadis itu memang bukan untuknya, gumamnya
pahit dalam hati. Dia hanya bisa berharap, bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan
seseorang, yang tulusnya seperti gadis itu.
Sam tersenyum. Tangannya menyentuh lengan Johan, pelan.
"Masuklah! Dia ada di dalam."
***
Pukul 17.20 Waktu Osaka

Birunya laut menyambut kedatangan sepasang hati. Amanda melepas sepatunya.


Membiarkan dinginnya air membasahi kakinya. Dia menghela napas. Membiarkan
cowok di sampingnya ini, membuat perasaannya semakin tak menentu. Bahkan mungkin
pertahanannya.
"Aku rindu padamu."
Amanda menelan ludahnya pahit. Kalau ingin jujur... dia juga rindu pada cowok itu.
Amat sangat!
"Setelah menerima suratmu, ingin rasanya segera tiba di hadapanmu. Mengatakan
padamu, bahwa cintaku tak pernah berubah."
Aku tahu, Joe. Walau tanpa kau ucapkan pun, dari dulu aku tahu. Cintamu putih untukku.
"An, kau tak rindu padaku?"
"Joe!"
Johan mengibaskan tangannya. "Aku mengerti. Dia sudah menjelaskannya padaku."
Cowok itu tersenyum. "Dia mencintaimu, kan?"
"Joe!"
"Andai saja kita bisa bersama lagi," keluh cowok itu. Menatap Amanda penuh kasih.
"Kau tak adil padaku, An!"
Lalu bagaimana caranya, Joe? Baik kau atau pun Sam, sama saja buatku. Tak ada pilihan
lain!
Memilihmu, akan menyakiti hati Ilda. Juga mungkin Sam. Jika aku memilih Sam, aku
malah menyakiti cowok itu dengan cintaku yang palsu, Joe! Lalu, harus bagaimana lagi
agar bersikap adil pada kalian?
"Aku berharap, suatu hari nanti, kita akan seperti dulu lagi, An. Kau mau?"
Amanda tersenyum.
Bagiku... cintamu adalah bagian hidupku, Joe. Tapi untuk hari ini...
Gadis itu menggeleng, aku tak bisa!
Mungkin suatu hari nanti, Joe. Aku percaya, jika ada 'benang merah' di antara kita, hari
itu pasti tiba! ©

***************************************
NING
By : Viona Rosalina Handoyo & Effendy Wongso

Seraut wajah manis itu melintas dan tergambar di kaca jendela bis. Ning. Dia mengajari
saya banyak hal. Tentang kehidupan ini. Selama ini memang banyak yang luput dari
perhatian saya.
"Hidup ini penuh perjuangan...."
Saya mengangguk tak sadar. Bis oleng ke samping. Kepala saya terantuk. Wajah Ning
berganti dengan sebuah bajaj yang hampir keserempet bis yang saya tumpangi ini.
Sesudah itu, ada makian yang terdengar. Segala sumpah-serapah memenuhi ruang
pendengaran saya. Saya berusaha menghindari dengan mengenang gurat wajah belia
Ning. Tapi ternyata pertengkaran antara supir bis dan bajaj lebih menyita perhatian. Saya
tidak suka mendengarnya. Pertengkaran bukan alternatif yang baik untuk menyelesaikan
masalah. Itu kata Ning.
"Belajar untuk mengalah, itu yang berat. Tidak banyak orang yang sanggup melakukan
itu. Kita biasanya menuruti kehendak hati masing-masing. Tapi, tahukah kamu, Joe?
Kehendak hati kita itu merupakan bentuk-bentuk ego yang merugikan. Sangat
merugikan."
Kembali saya mengangguk tanpa sadar. Namun sedetik sesudahnya saya tergugah lagi
oleh pertengkaran yang kian memburuk. Supir bis sudah turun. Menghampiri supir bajaj
yang juga sudah turun. Selang berikutnya mereka sudah tuding-tudingan dengan makian-
makian yang semakin kasar.
Saya memejamkan mata. Wajah Ning begitu tenang di benak saya. Ada senyum yang
senantiasa menghias bibirnya. Senyum yang, bagi saya merupakan sesuatu yang
menyejukkan hati. Saya tidak pernah mendapati senyum yang teduh begitu. Dan saya
sangat bersyukur karena suatu masa dalam hidup saya dapat menyaksikan senyum Ning
yang bersahaja.
Orang-orang yang memenuhi bis ini tadi sudah turun satu per satu. Pindah ke bis lain.
Sebagian lagi masih terpaku menyaksikan pertengkaran yang belum kunjung usai. Saya
menghela napas. Masih duduk dan terdiam.
Gadis berseragam putih abu-abu yang duduk di samping saya sudah tidak ada lagi.
Kasihan dia.
Tadi, kondektur bis memelototinya dengan rupa beringas. Agaknya dia tidak senang
karena hanya membayar separuh harga.
Saya mendadak teringat ucapan Ning. Katanya, "Kebanyakan dari kita hidup
berlandaskan pamrih."
Mungkin. Mungkin Ning benar. Saya tidak begitu paham benar tentang hal-hal demikian.
Tapi paling tidak saya sudah melihat kenyataan yang cukup jelas. Batas jarak antara si
Kaya dan si Miskin begitu lebar. Ning bilang, 'Ada uang abang sayang, tak ada uang
abang melayang.' Rupanya Ning menyimpan banyak perbendaharaan pepatah. Pepatah
yang kiranya tepat digunakan untuk mengkritik kehidupan ini yang menurutnya sudah
amburadul.
Amburadul? Waktu itu saya tertawa. Ning mendadak menjadi filosofis banget. Padahal
usianya baru menginjak tujuhbelas. Jauh lebih muda dari saya. Entah dia belajar dari
mana mengenai falsafah hidup. Gadis itu menjadi asing di mata saya.
Pandangan-pandangannya, juga uraian-uraiannya tentang manusia dan Sang Pencipta
kerap semakin mengecilkan arti keberadaan saya. Saya semakin kerdil rasanya. Kalimat-
kalimatnya mengena telak. Seperti menohok batin saya.
Jujur, saya memang sering melupakan Tuhan. Tidak menjauhi larangannya, kadang. Dan
itu membuat mata nurani saya tertutup. Saya mempergunakan kelebihan yang ada pada
diri saya untuk kepentingan-kepentingan saya pribadi.
Saya ini punya wajah yang 'ehem'. Saya pun berubah menjadi kumbang yang
berpetualang dari bunga yang satu ke bunga yang lainnya. Begitu seterusnya sampai-
sampai saya sendiri merasa jenuh.
Lantas, saya memiliki kemudahan-kemudahan fasilitas, yang dengan mudah saya peroleh
dari Papi-Mami. Maklum, saya terlahir dari keluarga yang kaya-raya. Mungkin tujuh
turunan kekayaan kami tidak bakal kepakai habis. Uang yang berlimpah-limpah tersebut,
yang seharusnya dipergunakan untuk hal-hal yang berguna, di tangan saya malah kepakai
untuk hal-hal yang tidak berguna sama sekali. Saya habiskan untuk hura-hura....

***************************************

SAYONARA RUKI

Mengikuti partyzone seperti hari ini memang bukan kebiasaannya. Sarwana sama sekali
tidak suka dengan iklim hura-hura, meski kadang-kadang kewajiban profesinya sebagai
guide di sebuah travel mengharuskan dia mengikuti rutinitas hiburan sebagaian besar
para turis itu.
Untung malam ini Mr. John Rickers tidak terlalu ngotot ingin mengikuti acara pesta
sampai pagi. Jadi dia bisa tenang beristirahat, dan tidak melulu begadang sampai kantung
matanya menghitam. Usia senja memang tidak mengizinkan lagi tubuh visitor-nya yang
besar itu untuk bergerak terlalu lama. Dan orangtua itu cukup bijak menyadari dirinya
sendiri. Separuh tenaga tuanya memang sudah habis untuk mengelilingi Bedugul dan
beberapa obyek wisata lainnya di Tanah Lot pagi hingga sore hari tadi.
Diputarnya tumit ke arah bartender setelah berpisah dengan bule tua asal Amsterdam itu.
Sayang kalau voucher minumannya ditinggal mubazir. Jadi diputuskannya untuk
menukarkannya dengan segelas minuman ringan. Dan dia baru saja bergerak dua tindak
ketika seorang gadis Jepang menabraknya tidak sengaja.
"Sumimase," ujarnya dalam bahasa Jepang.
"I-It's o-okay." Gadis bermata sipit itu kelimpungan. Terbalik. Seharusnya sayalah yang
minta maaf, bukan dia! serunya dalam hati. "Oh, I'm sorry. This is my fault."
Sarwana menanggapinya dengan senyum. Sama sekali tidak menyalahkan gadis itu meski
Coca-Colanya terpental dan tumpah di lantai cafe. Sebuah anggukan kecilnya menyudahi
kejadian kecil tadi. Dia pamit setelah bilang sayonara. Dan menghilang di rimba manusia
yang tengah bergoyang mengikuti irama dari band di atas panggung.
Tapi gadis itu mencecarnya. Belum mau ditinggal begitu saja meski tidak ada sanksi apa-
apa yang dikenakan padanya. Diterobosnya rimba manusia yang memadati ruangan cafe
malam hari ini. Tiga malam berturut-turut dia kemari, tidak biasanya tempat hiburan di
salah satu Kuta Square ini padat pengunjung, keluhnya. Diedarkannya matanya ke pojok
ruangan. Cowok tadi sudah menghilang.
Dia berputar-putar. Masih berusaha mencari cowok tadi. Dia mengelak ketika tubuhnya
nyaris terpental oleh sebuah dorongan tak sengaja dari seorang lelaki bule bertelanjang
dada. Tanpa merasa bersalah lelaki tinggi besar itu meninggalkannya tanpa bilang apa-
apa. Sementara itu band di atas panggung masih menghentak-hentak. It's My Life-nya
Bryan Adam terdengar serak dari suara sang penyanyi ketika dia memutuskan untuk
berhenti sementara mencari cowok berkulit sawo matang tadi. Dia duduk di sebuah
bangku kosong.
"May I sit here?"
Mata sipit gadis itu sertamerta membola. Cowok yang dicari-carinya berdiri tepat di
hadapannya. "Oups...."
"Hey, what are you looking for?"
"Nothing," balas gadis berkulit putih itu, lalu mencacahnya dengan pertanyaan secepat
peluru. Dia tidak ingin kehilangan orang yang sedari tadi dicari-carinya itu. "Exused me.
Where are you come from?"
"I'm stay here."
"Oya? Rupanya kamu orang Indonesia. Saya sangka kamu dari Puerto Rico."
"Hei, Anda bisa berbahasa Indonesia?"
"Sedikit. "
"Bagus. Jadinya, kita bisa berkomunikasi dengan lancar. Maaf ya kalau bahasa Jepang
saya masih kaku. Daripada keseleo, mendingan saya berbahasa Indonesia saja. Anda
setuju, kan?"
"Sure. Eh, jangan formil begitu, dong. Saya jadi risih, nih."
"Oke, oke. Saya lihat, sedari tadi kamu mutar-mutar di ruangan cafe. Cari siapa? Sori ya,
atas kejadian tadi. Mungkin baju kamu basah kena tumpahan minuman."
"Tidak. Justru, sayalah yang seharusnya minta maaf karena menabrak dan menumpahkan
minuman kamu. Eh, kenapa kamu tidak marah, sih? Saya jadi penasaran dan mencari-cari
kamu ke sana kemari seperti cacing kepanasan. Saya mau minta maaf sekali lagi."
"Oh, rupanya kamu uber saya untuk minta maaf, ya?"
"Bukan begitu...."
"Apa saya pernah...."
"Hihihi. Kamu jangan salah sangka dulu. Saya nguber kamu bukan karena hendak
menagih utang."
"Syukurlah. Soalnya, saya lari ke tempat ini karena ingin menghindari utang-utang saya
yang menumpuk di luar."
"Memangnya kamu punya banyak utang apa di luar?"
"Hah, jangan pikir saya ini anak konglomerat. Kamu lihat, jins belel dan kaos oblong ini.
Ini adalah simbol kemelaratan anak indekos."
"Hihihi. Lagu lama kebanyakan anak kuliahan."
"Hei, kamu tahu banyak tentang Indonesia?"
"Tentu saja. Saya pernah menjadi duta pertukaran pelajar Jepang-Indonesia dua tahun
lalu di Makassar."
"Pantasan."
"Justru karena itulah saya nguber kamu. Sekadar untuk berbagi rasa...."
"Hei, jangan anggap saya ini biro curhat tempat penampungan unek-unekmu. Arigato
goisimasta atas kepercayaan kamu terhadap saya. Persoalan saya sendiri saja tidak beres-
beres...."
Gadis itu tersenyum mendengarkan gurauan Sarwana, cowok kenalan barunya di dalam
ruangan cafe. Ada sepasang lesung yang menyembul di sudut bibirnya. Indah seperti
bunga sakura. Sarwana memandangnya kagum. Keluwesan gadis itu memikat hatinya.
Menebarkan pesona yang jarang didapatinya dari serangkaian persahabatannya dengan
gadis lain.
"Astaga, kita belum kenalan!" Gadis berdagu lancip itu menepuk kepalanya pelan.
"Padahal, sudah sok akrab begitu...."
"Sarwana Parawangsa." Sarwana mengangsurkan telapak tangan kanannya ke arah gadis
itu. "Status masih bujangan, sekarang sudah men-'duda' lagi karena baru saja ditinggal
pacar."
Gadis itu menjabat tangan yang diangsurkan ke bawah perutnya. "Saya Ruki. Ruki
Hirosue. Asal Narita. Pelajar. Status, gadis beranak satu."
"Hah, maksudmu apa sih?!" Sarwana ternganga dengan rupa bingung. "Kamu gadis tapi
sudah punya anak? Maksudmu, kamu janda...."
"Hihihi. Maksud saya, saya ini gadis yang memiliki satu anak kucing betina yang
bernama Mimi Hirosue."
Sarwana terbahak. "Asal! Kamu nakal, ya?" serunya sembari menjawil pipi gadis itu
tanpa sadar.
"Eh, kamu kok ngerti bahasa Jepang, sih?"
"Saya pernah kursus di Jakarta."
"Kursus?"
"Tidak sampai mahir. Waktu itu saya masih kelas satu SMA. Ada iming-iming beasiswa
ke Jepang dari sekolah untuk beberapa siswa teladan. Karena terobsesi, saya jadi giat
belajar. Dan mengambil kegiatan ekstra kokurikuler bahasa Jepang. Lucu juga ya,
mengingat motivasi yang melatarbelakangi niat saya bisa berbahasa Jepang."
Gadis itu tersenyum. "Edukasi kita mirip. Tapi motivasinya beda."
"Eh, kamu ceritakan dong sedikit tentang Jepang. Hm, saya paling suka melihat bunga
sakura...."
***
"Bunga sakura berwarna merah muda. Sangat muda sehingga nampak memutih dari
kejauhan. Bunga ini mempunyai lima kelopak dan sangat kecil, sehingga sulit dinikmati
keindahannya secara individual. Keindahan sakura justru terletak pada jumlahnya yang
sangat banyak memenuhi kanopi pohon, dan mekar bersamaan. Seperti halnya tulip di
Belanda, mekarnya sakura juga menandai awal musim semi di Jepang."
Sudah pukul sebelas malam ketika Ruki menceritan keindahan simbol Negeri Matahari
Terbit tersebut. Hingar bingar suasana cafe sedikit mengganggu. Namun gadis itu masih
saja bersemangat berkisah tentang negerinya.
"Dan di Taman Ueno...."
"Taman Ueno?"
"Haik. Taman Ueno merupakan salah satu sakura garden yang paling ramai dikunjungi di
Tokyo. Eh, sebetulnya di Tokyo ada beberapa tempat untuk melihat sakura pada awal
musim semi. Misalnya, di seputaran Istana Kaisar 'Imperial Park', yang dikelilingi dengan
danau buatan Hanzo-bori yang ciamik. Danau itu tampak lebih cantik dengan pantulan
bayangan juntaian cabang-cabang pohon sakura yang sarat dengan bunga, yang menjulur
ke atas air danau. Seperti cermin raksasa. Wah, indah sekali pokoknya. Turis-turis
mancanegara yang kebetulan menginap di Palace Hotel, dapat melihat dengan leluasa
pemandangan 'Imperial Park' yang sangat indah melalui jendela kamar mereka."
"Duh, asyik sekali."
"He-eh," angguk gadis itu dengan mata berbinar-binar. Dijedahinya lima detik
cerocosannya untuk menyeruput jus apel pesanannya. "Bersamaan dengan mekarnya
sakura, di bawah-bawah pohon sakura biasanya telah pula muncul bunga-bunga kecil
berwarna kuning yang menambah cantik suasana. Di Taman Ueno, tidak jauh dari stasiun
kereta Ueno, sakura malah tumbuh menakjubkan. Sewaktu Fifa World Cup 2002, saya
sempat mampir ke sana. Transportasi ke sana juga tidak sulit. Karena dari stasiun Ueno
ini memang ada kereta langsung ke Narita. Kalau di 'Imperial Park' pengunjung tidak
boleh menggelar tikar untuk piknik dan makan, di Ueno hampir semua pengunjung
datang justru untuk piknik. Tidak perlu kuatir seandainya lupa membawa bekal makanan
dari rumah. Cukup banyak kedai kecil di sekitar Ueno yang menjajakan o-bento untuk di
makan di Ueno."
"O-bento?"
"Itu sejenis makanan dalam kotak." Ruki menjelaskan antusias. "Hampir semua orang
Jepang tidak pernah melewatkan kesempatan setahun sekali berpiknik di bawah naungan
sakura. Orang Jepang menyebut kegiatan itu sebagai hana-mi, yang secara harfiah berarti
menonton bunga. Sekalipun bunga sakura sudah mulai mekar pada akhir Maret, biasanya
baru pada minggu kedua April diselenggarakan festival sakura. Setiap acara festival,
masyarakat Jepang selalu memadati taman-taman maupun tempat-tempat bunga sakura
itu tumbuh."
"Wah, heboh sekali, dong?"
"Sudah pasti. Terus, ada pula tradisi di kalangan para petani Jepang, yaitu melakukan
upacara minum sake di bawah naungan kanopi bunga sakura. Upacara ini bertujuan untuk
mengharapkan hasil panen yang baik pada tahun berikutnya." Ruki masih bercerita
panjang-lebar. "Eh, mungkin mirip dengan kegiatan kultural orang-orang Sulawesi
Selatan di Indonesia jika habis menuai padi. Kalau tidak salah namanya 'Lappo Ase'.
Kira-kira berarti Panen Raya."
"Wah, kamu masih ingat budaya Bugis-Makassar, ya?"
"Sedikit, sudah lupa-lupa ingat." Ruki mengerutkan dahinya. "Orang Jepang juga percaya
bahwa pohon sakura merupakan tumbuhan suci yang menyimbolkan hubungan antara
Tuhan dan manusia. Karena itu, melakukan hana-mi juga merupakan ritual keagamaan.
Yang jelas, ketika menyaksikan keindahan sakura, orang tidak mungkin menyangsikan
keagungan Tuhan."
"Oya? Ternyata bunga sakura memiliki banyak makna, ya?"
"Kalau bicara mengenai bunga sakura, pasti tidak ada habisnya," ulas Ruki bangga.
"Sakura memang bunga yang sangat dicintai dan dibanggakan masyarakat Jepang.
Bahkan menjadi simbol nasional bangsa kami. Para pejabat pemerintah dan diplomat
Jepang misalnya, sering menggunakan lambang sakura sebagai label pin pada jas mereka.
Bunga sakura juga menjadi desain yang muncul dalam berbagai kerajinan khas Jepang.
Seperti pada kimono, tatami, kipas, cangkir, dan lain-lain."
"Duh, saya jadi ngiler ke Jepang." Sarwana berujar dengan mimik memelas.
"Oh ya, lalu obsesimu bagaimana, dong?"
Cowok itu menggeleng lunglai. Sinar di matanya meredup. Dihimpunnya alur lawas yang
tersimpan di memori otaknya. Hatinya memerih. Ada seribu kenangan getir dalam
lembar-lembar hitam masa remajanya. Dia ingin melupakan segalanya. Membilasnya
dengan buliran waktu yang berjalan cepat.
"Kenapa?"
"Kegagalan itu yang menghancurkan semua semangat saya," jawab Sarwana separuh
mendesis. Seolah berbicara pada dirinya sendiri.
"Gagal?" Ruki mengernyitkan dahinya. Dicondongkannya kepalanya lebih dekat, nyaris
menyentuh dahi cowok yang tengah menundukkan kepalanya itu. "Gagal apa?"
"Sumimase, Ruki-chan," sahutnya lemah, mengalihkan pertanyaan dari Ruki. "Tidak
seharusnya pertemuan dan perkenalan kita ini diawali dengan kisah sedih begini...."
"Manusia pasti punya masalah. Kamu tidak usah ragu bakal merecoki perkenalan kita
dengan tangis. Never mind. Saya rela jadi waskom curhatmu, kok," kata gadis yang
bergaya funky itu. Matanya mendelik lucu.
"Hei, apa saya kelihatan cengeng begitu...."
"Habis, muka kamu memelas begitu." Ruki mencibir. "Ada apa sih sebenarnya?"
Sarwana membisu. Dadanya serasa sesak. Dihelanya udara dalam-dalam. Dibutuhkannya
waktu lima detik untuk menimbang-nimbang, sebelum akhirnya menjawabi desakan
pertanyaan gadis dari Negeri Sakura itu.
"Saya gagal mendapat beasiswa ke Jepang dari sekolah!"
"Mungkin kamu belum beruntung."
"Bukan. Semua karena Ayah saya...."
"Apa hubungannya?"
"Ayah terpikat pada wanita lain. Meski Ayah sah berpoligami, tapi Ibu saya tidak ikhlas.
Setiap hari Ayah dan Ibu bertengkar. Keadaan dalam rumah tidak ada bedanya dengan
neraka."
"Tapi seharusnya...."
"Seharusnya saya memang tidak boleh terpengaruh. Tapi, anak mana yang tidak sedih
melihat kedua orangtuanya bertengkar sampai memutuskan untuk talak?!"
"Lalu...."
"Saya menyalahkan Ayah. Setiap hari saya uring-uringan dan membangkang perintahnya.
Saya tidak lagi konsentrasi mengikuti mata pelajaran di sekolah. Nilai saya jeblok. Nama
saya dicoret dalam daftar siswa teladan calon penerima beasiswa. Saya sakit hati dan
frustasi. Akhirnya saya mulai mengenal dan mengkomsumsi narkoba untuk melupakan
masalah. Saya jadi junkies."
"Kamu kurang tabah."
"Saya menyesal. Tapi semuanya sudah terlambat. Ketika sadar, sekolah sudah men-strap
saya."
"Masih untung kamu cepat sadar."
"Saya tidak mau mati muda. Teman-teman salah gaul saya banyak yang kolaps.
Sayang...."
"Kamu masih bisa bangkit lagi. Kamu masih muda. Paling usiamu terpaut dua-tiga tahun
di atas saya."
"Saya tidak tahu, apakah saya bisa bangkit atau tidak. Makanya, saya kabur dari rumah
dan merantau ke Pulau Dewata ini."
"Lalu, orangtuamu bagaimana?"
"Entahlah. Ibu dan Ayah sudah bercerai setahun lalu ketika saya baru saja kabur dari
rumah. Ibu tinggal bersama Nenek di kampung, sementara Ayah saya tinggal dengan istri
mudanya."
"Kamu anak tunggal?"
"He-eh."
"Ibumu...."
"Saya masih rutin menyurati Ibu. Saya bilang, saya di sini mencari pengalaman hidup.
Kalau kembali dan tinggal di Jakarta, saya takut terpengaruh lagi dengan dunia saya yang
dulu itu. Setelah bilang begitu, Ibu jadi tenang, dan tidak memaksa saya lagi untuk
pulang ke Jakarta.
"Kenapa larinya ke Bali?"
"Saya sebenarnya tidak pernah merencanakan akan kabur kemana. Mulanya saya
bingung. Di luar daerah, saya sama sekali tidak punya sanak famili. Tapi setelah
menimbang-nimbang beberapa hari, akhirnya saya pilih Bali karena di sini adalah daerah
pariwisata. Paling tidak, saya punya modal bisa berbahasa asing. Bisa 'mengemis' jatah
makan pada bule dengan jasa sulih suara. Buktinya, sampai sekarang saya masih dapat
hidup berkat modal itu. Jadi guide lebih baik ketimbang jadi junkies, kan?"
"Kamu masih membenci Ayahmu?"
"Sakit hati sih, iya. Percuma membencinya. Toh hal itu tidak bakal dapat mengubah
keadaan."
"Lalu, apa rencana masa depanmu?"
"Tergantung nasib. Saya sekarang tidak terlalu berharap banyak. Ada makan tiga kali
sehari serta ada sedikit uang untuk bayar pondokan ya, sudah syukur. Bagi saya, terlepas
dari dunia saya yang dulu itu merupakan keajaiban. Jadi, saya tidak berpikir macam-
macam lagi selain dapat hidup dengan wajar. Itu saja."
Ruki mengangguk-angguk. Dia paham benar prahara masa lalu cowok itu. Ada empati
yang perlahan menjalari dinding-dinding hatinya. Menggugahnya sampai ke batas iba.
Dia bersimpati atas keteguhan dan kesederhanaannya dalam menyikapi hidup yang keras
ini.
Sementara itu di atas panggung cafe, sang penyanyi bercelana jengki itu melompat-
lompat membawakan lagunya yang cadas. Rimba manusia meluber di bibir panggung.
Ikut bergoyang dan melompat-lompat seperti kesurupan.
***
"Ikutlah ke Narita...."
Sarwana membeliakkan mata. Sama sekali tidak percaya dengan indera pendengarannya
sendiri. Sementara gadis itu mengangguk, mempertegas kalimatnya tadi dengan bahasa
tubuh.
"Kamu bercanda!" Sarwana tertawa tertahan. Ini lelucon paling lucu yang pernah di
dengarnya!
"Saya tidak main-main."
"Ke-kenapa mesti saya?!"
Gadis itu membisu. Sejenak ditekuknya kepalanya ke dada sebelum mengedarkan mata
ke sekeliling ruangan cafe. Suasana masih seramai tadi. Dihirupnya kembali jus apelnya
dengan gerak gelisah.
"Padahal, ketemu juga baru beberapa jam lalu...."
"Memangnya kenapa kalau saya suka sama kamu!"
Sarwana terhenyak. Dadanya bergemuruh. Ditatapnya sepasang mata ekuator gadis yang
telah mengungkapkan perasaan hatinya itu. Ini mimpi! Serunya dalam hati.
"Saya suka kamu, Wana!"
"Kamu aneh...."
"Tapi, saya benar-benar suka sama kamu."
"Saya bukan orang yang pantas kamu sukai. Kamu cuma emosi. Lama-lama rasa suka itu
juga akan hilang sendiri. Jadi...."
"Kamu tidak fair!"
"Kita temanan."
"Saya tidak mau membohongi perasaan saya!" Ruki menyanggah, berusaha meyakinkan
ketulusannya. "Sedari kecil saya sudah diajari untuk berlaku jujur pada diri sendiri. Saya
tidak ingin kecewa karena menutup-nutupi perasaan saya. Meski saya cewek, saya tidak
ingin bersikap pasif terhadap orang yang saya senangi. Mungkin saya terlalu agresif. Tapi
saya tidak peduli."
Sarwana memejamkan matanya. Gadis itu mendesaknya. Negeri Matahari Terbit
merupakan obsesinya selama ini! Kini obsesi itu terpentang lebar di hadapannya....
"Bukankah apa yang saya tawarkan merupakan obsesi kamu selama ini?"
"Iya. Tapi bukan begitu caranya!"
"Kamu meragukan kesungguhan niat saya?!"
"Tentu saja tidak. Saya yakin kamu punya kemampuan finansial untuk melakukan niat
kamu itu. Saya hargai semua itu. Cuma...."
"Cuma kenapa?"
"Cinta bukan masalah sepele, Ruki. Cinta itu tidak tumbuh sekejap seperti jamur. Tolong
bedakan rasa sayang itu dengan emosi...."
"Ta-tapi...."
Sarwana menggeleng. Mendadak dia teringat seorang gadis teman seprofesinya di sebuah
travel di Sanur, Kadek Sundriani. Ada serangkaian kalimat bijak yang pernah
disampaikan gadis hitam manis itu kepadanya. Yang dijadikannya sebentuk bekal untuk
senantiasa berpijak ke jalan yang lurus.
"Profesi kita sangat rentan, Wana. Kalau tidak pandai-pandai jaga diri, maka kapan saja
kita dapat terjerumus ke jalan yang salah. Cobalah memilah antara profesionalisme
dengan perasaan hati. Kedua-duanya beda. Sangat jauh berbeda!"
Kalimat bijak itu berdenyar di benaknya. Sejujurnya dia memang menyadari kerancuan
yang kasatmata terjadi di dalam dunia mereka yang rapuh dan rentan. Dan dia tidak ingin
terjerumus karenanya!
"Sarwana!" Gadis Jepang itu menjerit memanggil namanya, menggebah lamunannya
seketika.
"Maafkan saya, Ruki. Saya tidak dapat menyertaimu ke Narita."
"Ke-kenapa...?!"
"Masih banyak tugas yang belum saya rampungkan di sini. Persoalan keluarga saya di
Jakarta; Ibu serta Ayah yang belum akur. Semuanya itu masih belum beres. Saya tidak
bisa lari meninggalkan tanggung jawab meski kesempatan untuk itu datang lewat
tawaranmu tadi," tolaknya tegas. "Memang, Jepang merupakan obsesi saya dulu. Tapi,
obsesi hanyalah tinggal obsesi. Itu seperti mimpi. Sekarang saya sadar, lebih baik
menyongsong masa depan ketimbang terus-menerus terbelenggu di dalam obsesi-obsesi
saya yang dulu itu, Ruki."
"Ka-kamu...."
"Sudahlah, Ruki. Saya bahagia dapat mengenal kamu. Kamu gadis yang baik. Tapi ada
kalanya memang kita harus melangkah pada jalan kita masing-masing. Kalau kita
memang sejodoh, suatu saat kita pasti dipertemukan kembali."
Gadis itu menggigit bibirnya. Mematung dalam diam.
"Saya harap kamu dapat mengerti." Sarwana beranjak dari bangkunya, melirik jam di
pergelangan tangan kirinya. "Sudah larut malam. Besok saya mesti kerja. Saya antar
kamu pulang, ya?"
Gadis itu menggeleng. "Besok saya kembali ke Narita!"
Sarwana menghela napas panjang. Diliriknya gadis itu diam-diam. Sepasang mata
sipitnya membasah. Dicobanya untuk bersikap tegar. Menghalau gundah atas keputusan
tegasnya tadi. Dilangkahkannya kakinya yang memberat ke arah pintu keluar cafe.
"Sayonara, Ruki!" ucapnya parau.
Gadis itu masih terisak di seberang meja ketika dia meninggalkan ruangan cafe.
Semuanya seperti mimpi!

Keterangan:

Sumimase: Maaf.
Sayonara: Sampai jumpa.
Arigato Goisimasta: Terima kasih banyak.
Sake: Arak Jepang dibuat dari beras beragi, biasanya disajikan panas panas.
Kimono: Baju panjang (khas Jepang).
Tatami: Sejenis tikar halus Jepang, biasanya dipakai untuk mengalas lantai bilik.

***************************************

Anda mungkin juga menyukai