Puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat dan karunia – Nya lah sehingga kami dapat menyelesaikan buku ini sesuai waktunya.
Dalam buku ini kami membahas pengajaran dan pembelajaran serta kegiatan instruksional
sebagai system.
Di dalam sistem pendidikan tentunya akan ada yang namanya model desain dan
penerapan dalam pembelajaran. Di dalam pembuatan dan penerapannya dalam sistem pendidikan
akan memiliki sistem yang berbeda-beda disesuaikan dengan peraturan sekolahnya dan
peraturan kurikulum.
Semoga dengan membaca buku ini, akan memberikan pengetahuan yang bermanfaat bagi
para pembaca sehingga dapat memberi solusi. Dalam pembuatan buku ini kami sadari, bahwa
banyak sekali kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Maka dari itu kami memohon kritik dan
saran untuk lebih sempurnanya buku ini sehingga dapat bermanfaat bagi kami dan pembacanya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
B. Definisi Pembelajaran...............................................................................3
C. Desain Pembelajaran.................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10
BAB II...................................................................................................................11
KONSEP MODEL.............................................................................................11
Siklus Penelitian.................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21
BAB III..................................................................................................................22
Daftar Pustaka......................................................................................................32
BAB IV..................................................................................................................33
iii
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................37
BAB 5....................................................................................................................38
Tujuan Instruksional...........................................................................................39
Daftar Pustaka......................................................................................................44
BAB VI..................................................................................................................45
............................................................................................................................45
PESERTA DIDIK..............................................................................................47
DIDIK.................................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................55
BAB VII................................................................................................................56
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................62
iv
BAB VIII...............................................................................................................63
Persamaan dan Perbedaan Tes Acuan Patokan dan Tes Acuan Norma.............66
Jenis-jenis Tes....................................................................................................72
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................75
BAB IX..................................................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................98
BAB X....................................................................................................................99
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................108
BAB XI................................................................................................................109
v
Empat Tahap Evaluasi Formatif dan Revisi.....................................................118
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................123
vi
BAB I
Ada sejumlah asumsi yang di jadikan dasar digunakannya desain sistem pembelajaran.
Menurut Gagne dalam Pribadi asumsi-asumsi tersebut meliputi:
1. Desain sistem pembelajaran dilakukan agar proses pembelajaran dapat mencapai tujuan
optimal.
2. Aplikasi desain sistem pembelajaran akan membantu siswa dalam mencapai kompetensi atau
tujuan pembelajaran.
Dimana ini menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku, menentukan
pilihan berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengajar, memilih prosedur,
metode, dan teknik pembelajaran
1
2. Sasaran kegiatan belajar mengajar
Pandangan hidup para guru maupun anak didik akan turut mewarnai berkenaan dengan
gambaran karakteristik sasaran manusia idaman. Konsekuensi nya akan mempengaruhi juga
kebijakan tentang perencanaan, pengorganisasian, serta penilaian terhadap kegiatan belajar
mengajar.
Yang mengacu pada pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu
sama lain untuk mencapai tujuan. Agar tujuan itu tercapai ,semua komponen yang ada harus
diorganisasikan sehingga antar sesama komponen terjadi kerja sama. Maka dari itu guru tidak
hanya memperhatikan komponen-komponen tertentu saja misalnya metode, bahan ,dan evaluasi
saja.tetaoi harus mempertimbangkan komponen secara keseluruhan. Secara khusus dalam
proses belajar mengajar guru berperan sebagai pengajar, pembimbing, perantara sekolah dengan
masyarakat , administrator, dan lain lain. Untuk itu wajar bila guru memahami dengan segenap
aspek pribadi anak didik seperti :
2
B. Definisi Pembelajaran
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20 “Pembelajaran
merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar”.
Istilah pembelajaran merupakan istilah baru yang digunakan untuk menunjukan kegiatan
guru dan siswa. Sebelumnya, kita menggunakan istilah “proses belajar-mengajar” dan
“pengajaran”. Istilah pembelajaran merupakan terjemahan dari kata “instruction”. Menurut
Gagne, Briggs, dan Wager (1992), pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang
untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Instruction is a set of events that
affect learners in such a way that learning is facilitated. (Gagne, Briggs, dan Wager, 1992).
Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidikan dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat
terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta
pembentukan sikap dan kepercayaan pada siswa. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses
untuk membantu siswa agar dapat belajar dengan baik.
Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang komplek. Pembelajaran pada hakikatnya tidak
hanya sekedar menyampaikan pesan tapi juga merupakan aktifitas profesional yang menuntut
guru dapat menggunakan keterampilan dasar mengajar secara terpadu serta menciptakan situasi
efisien. Oleh karena itu dalam pembelajaran guru perlu menciptakan suasana yang kondusif dan
strategi belajar yang menarik minat siswa. Berikut pengertian pembelajaran menurut para ahli :
Pembelajaran merupakan kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk
membuat siswa belajar aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Menurut Arifin
Pembelajaran merupakan suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan sistemik yang bersifat
interaktif dan komunikatif antara pendidik “guru” dengan siswa, sumber belajar, dan lingkungan
untuk menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan terjadinya tindakan belajar siswa.
3
Sudjana
Pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang sistematik dan sengaja untuk
menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara dua pihak yaitu antara peserta didik
“warga belajar” dan pendidik “sumber belajar” yang melakukan kegiatan membelajarkan.
Sugandi, dkk
Menyatakan bahwa pembelajaran terjemahan dari kata “instruction” yang berarti self instruction
(dari internal) dan eksternal instructions (dari eksternal). Pembelajaran yang bersifat eksternal
antara lain datang dari guru yang disebut teacing atau pengajaran. Dalam pembelajaran yang
bersifat eksternal prinsip-prinsip belajar dengan sendirinya akan menjadi prinsip-prinsip
pembelajaran.
Oemar Hamalik
a. Pembelajaran merupakan kombinasi yang tertata meliputi segala unsur manusiawi,
perlengkapan, fasilitas, prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan dari
pembelajaran. Beliau mengemukakan tiga rumusan yang dianggap penting tentang
pembelajaran yaitu:
b. Pembelajaran merupakan upaya dalam mengorganisasikan lingkungan pendidikan untuk
menciptakan situasi dan kondisi belajar bagi siswa.
c. Pembelajaran merupakan upaya penting dalam mempersiapkan siswa untuk menjadi
warga masyarakat yang baik dan diharapkan.
d. Pembelajaran merupakan proses dalam membantu siswa untuk menghadapi kehidupan
atau terjun di lingkungan masyarakat.
4
David Ausubel
Menurutnya teori belajar yaitu teori belajar bermakna, belajar dapat diklasifikasikan dalam dua
dimensi yaitu:
a. Dimensi yang berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan kepada
siswa melalui penerimaan atau penemuan.
b. Dimensi yang menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengabaikan informasi pada
struktur kognitif yang ada, Struktur kognitif adalah fakta, konsep, dan generalisasinya
yang telah dipelajari dan diingat siswa. Dalam implementasinya teori ini terdiri dari dua
fase, yaitu mula-mula ia menyangkut pemberian “the organizer” atau materi pendahuluan
diberikan sebelum kegiatan berlangsung dan dalam tingkat abstraksi, fase berikutnya
dimana organisasinya lebih spesifik dan terarah.
C. Desain Pembelajaran
Desain pembelajaran sebagai proses menurut Syaiful Sagala (2005:136) adalah
pengembangan pengajaran secara sistematik yang digunakan secara khusus teori-teori
pembelajaran unuk menjamin kualitas pembelajaran. Mengandung arti bahwa penyusunan
perencanaan pembelajaran harus sesuai dengan konsep pendidikan dan pembelajaran yang dianut
dalam kurikulum yang digunakan.
Desain pembelajaran dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang, misalnya sebagai
disiplin, sebagai ilmu, sebagai sistem, dan sebagai proses. Sebagai disiplin, desain pembelajaran
membahas berbagai penelitian dan teori tentang strategi serta proses pengembangan
pembelajaran dan pelaksanaannya. Sebagai ilmu, desain pembelajaran merupakan ilmu untuk
menciptakan spesifikasi pengembangan, pelaksanaan, penilaian, serta pengelolaan situasi yang
memberikan fasilitas pelayanan pembelajaran dalam skala makro dan mikro untuk berbagai mata
pelajaran pada berbagai tingkatan kompleksitas. Sebagai sistem, desain pembelajaran merupakan
pengembangan sistem pembelajaran dan sistem pelaksanaannya termasuk sarana serta prosedur
untuk meningkatkan mutu belajar.
5
secara efektif antara guru dan peserta didik. Proses ini berisi penentuan status awal dari
pemahaman peserta didik, perumusan tujuan pembelajaran, dan merancang "perlakuan" berbasis-
media untuk membantu terjadinya transisi. Idealnya proses ini berdasar pada informasi dari teori
belajar yang sudah teruji secara pedagogis dan dapat terjadi hanya pada siswa, dipandu oleh
guru, atau dalam latar berbasis komunitas.
Ada empat dasar strategi dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal berikut :
1. Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan
kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan
2. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup
masyarakat
3. Memilih dan menetapkan prosedur , metode , dan teknik belajar mengajar yang dianggap
paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan
kegiatan mengajar nya.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar
keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman.
Dari uraian di atas adalah masalah pokok yang sangat penting yang dapat dan dijadikan
pedoman buat pelaksanaan kegiatan belajar mengajar agar berhasil sesuai dengan yang
diharapkan.
Pertama, spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku yang bagaimana diinginkan sebagai
hasil belajar mengajar yang dilakukan.
Kedua, memilih cara pendekatan belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif untuk
mencapai sasaran.
Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap
paling tepat.
6
Keempat, menerapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru mempunyai
pegangan yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai sejauh mana keberhasilan tugas tugas yang
telah dilakukannya.
Dalam mengajar guru ahrus pandai dalam melakukan pendekatan secara Arif dan
bijaksana, bukan sembarangan yang bisa merugikan banyak didik. Pandangan guru terhadap
anak didik akan menentukan sikap dan perbuatan.
a. Pendekatan individual
Dikelas ada sekelompok anak didik. Mereka duduk di kursi masing-masing. Mereka
berkelompok dari dua sampe lima orang. Pendekatan individual mempunyai arti yang sangat
penting bagi kepentingan pengajaran. Pengelolaan kelas sangat memerlukan pendekatan
individual. Persoalann kesulitan belajar anak lebih mudah dipecahkan dengan menggunakan
pendekatan individual, walaupun suatu saat pendekatan kelompok diperlukan.
b. Pendekatan kelompok
Dengan pendekatan ini makan dapat di tumbuhkembangkan rasa sosial yang tinggi pada
diri setiap anak didik . Mereka dibina untuk mengendalikan rasa egois yang ada dalam diri
mereka masing masing, sehingga terbina sikap kesetiakawanan sosial dikelas. Anak didik
dibiasakan hidup bersama, Bekerja sama dalam kelompok, akan menyadari bahwa dirinya ada
kekurangan dan kelebihan .
c. Pendekatan bervariasi
Dalam belajar, anak didik mempunyai motivasi yang berbeda. Pada satu sisi anak didik
mempunyai motivasi yang rendah, tetapi pada saat lain anak didik mempunyai motivasi yang
tinggi. Anak didik yang satu bergairah belajar , anak didik yang lain kurang bergairah belajar.
Dalam mengajar , guru yang hanya menggunakan satu metode biasanya sukar menciptakan
suasana kelas yang kondusif dalam waktu relatif lama. Bila terjadi perubahan suasana , sulit
menormalkan nya kembali . Permasalahan yang dihadapi bervariasi ,maka pendekatan yang
7
digunakan akan lebih tepat dengan pendekatan bervariasi pula. Misalnya anak didik yang tidak
disiplin dan anak didik yang suka berbicara akan berbeda pemecahannya .
d. Pendekatan edukatif
Contoh pendekatan edukatif yaitu menyuruh anak didik untuk berbaris didepan pintu
masuk kelas. Guru telah meletakkan tujuan untuk membina watak anak didik dengan pendidikan
akhlak yang mulia . Guru telah membimbing anak bagaimana cara memimpin kawan-kawannya
dan anak anak lainnya , membina bagaimana cara menghargai orang lain dengan cara mematuhi
semua perintahnya yang bernilai kebaikan
Dalam mengajar, pada saat yang tepat,guru dapat memanfaatkan hal-hal yang menjadi
kesenangan anak untuk diselipkan dalam melengkapi isi dari bahan pelajaran yang disampaikan.
Dimana anak mudah menyerap bahan yang bersentuhan dengan apersepsi nya . Bahan pelajaran
yang belum pernah didapatkan dan masih asing baginya, mudah diserap bila penjelasannya
dikaitkan dengan apersepsi anak
Untuk seorang guru yang kurang terbiasa berbicara dan kurang pandai memilih kata serta
kalimat yang dapat mewakili isi pesan yang disampaikan dari setiap bahan pelajaran akan
mengalami kesulitan untuk mengantarkan anak didik menjadi orang yang paham atas bahan yang
diajarkan itu. Alat bantu yang cocok dapat mengkonkretkan masalah yang rumit dan kompleks
menjadi seolah-olah sederhana. Penjelasan yang guru berikan dengan menghadirkan alat bantu
lebih mendukung untuk menguraikan fakta ,konsep atau prinsip.
Motivasi memang merupakan faktor yang mempunyai arti penting bagi seorang anak
didik. Apalah artinya anak didik pergi ke sekolah tanpa motivasi untuk belajar. Untuk bermain-
main berlama-lama disekolah adalah bukan waktunya yang tepat. Hanya dengan motivasi dapat
tergerak hatinya untuk belajar bersama-sama untuk membangkitkan gairahnya
8
D. Hadiah
Dimana Hadian diberikan kepada anak didik untuk sebagai bukti penghargaan bahwa si
anak didik telah mampu mencapai prestasi apa yang diinginkan oleh siguru yang dilakukan pada
saat kenaikan kelas ,bisa juga dalam kegiatan mengajar untuk menambah semangat siswa dalam
belajar.
9
DAFTAR PUSTAKA
Udin S. Winataputra dkk. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran Edisi 1. Jakarta : Universitas
Terbuka
Ina Magdalena,M.Pd , Sunaryo,M.Ds. 2017. Desain Pembelajaran SD. Tangerang : FKIP UMT
Press
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag. , Drs. Aswan Zain. 2014. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta : Rineka Cipta
10
BAB II
KONSEP MODEL
Subbab ini akan menjelaskan secara khusus penggunan istilah model karena
penggunaannya dalam pembelajaran, termasuk desain pembelajaran yang sangat banyak. Berikut
beberapa pengertian konsep model menurut para ahli.
Menurut Richey, Rita C., Klein, James D., dan Tracey, Monica W. (2011, hal. 8)
menyatakan bahwa model mempresentasikan realitas dengan menampilkan struktur dan
tingkatan untuk menyatakan idealisasi dan pandangan tentang suatu realitas. “Model implies a
representation of reality presented with a degree of structure and order, and the models are
typically idealized and simplified views off reality’’. Dalam pembelajaran deskripsi ini dapat
dilihat bentuknya sebagai microteaching yang mempresentasikan pembelajaran yang berskala
makro atau pembelajaran yang lebih luas dan lengkap.
Suparman, Atwi (2012) menyatakan bahwa “Model adalah suatu representasi realitas yang
menggambarkan struktur dan tatanan dari suatu konsep serta menampilkan salah satu bentuk dari
empat bentuk sebagai berikut: deskripsi verbal atau konseptual, langkah-langkah atau prosedur,
replica fisik atau visual, persamaan atau rumus.
Menurut Harre (1960) dalam Richey, Rita C., Klein, James D., dan Tracey, Monica W, (2011,
hal 8-9) menyatakan bahwa model itu terdiri dari 2 kategori, yaitu micromorphs and
paramorphs. Micromorphs adalah model yang berbentuk benda atau fisik dan tiruan visual
seperti, suatu simulasi computer atau suatu benda dengan skala kecil dari benda besar yang
sebenarnya. “Micromorphs are physical, visual replicas, such as a computer simulation or a
scale model of a large object.” Paramorphs adalah model simbolik yang biasanya menggunakan
deskripsi verbal. “Paramorphs are simbolik models, typically using verbal description.”
Model Konseptual adalah deskripsi teoritis yang bersifat umum dan abstrak untuk
menggambarkan suatu pandangan realita, sintesis dari suatu penelitian yang didukung oleh
pengalaman atau data terbatas. Salah satu contoh konkret dari model konseptual misalnya yaitu
sebagai berikut :
11
Pembelajaran Tatap Muka
Kegiatan pembelajaran tatap muka adalah kegiatan pembelajaran yang berupa proses
interaksi antara pendidik dengan peserta didik. Ada 2 strategi dalam pembelajaran kegiatan
tatap muka yaitu strategi yang berpusat pada Guru (Teacher Center Oriented) dan strategi
yang berpusat pada Siswa (Student Center Oriented).
Teacher Center merupakan pembelajaran dikelas yang perencanaan dan pelaksanaan
proses pembelajarannya berpusat pada guru. Peran guru dalam strategi ini sangat dominan.
Tiga kegiatan penting dalam perencanaan strategi belajar dan pembelajaran yang berfokus
pada guru yaitu sebagai berikut.
1. Bahan belajar dapat disampaikan secara tuntas oleh guru sesuai dengan program
pembelajaran yang telah disiapkan sebelumnya
2. Dapat diikuti oleh peserta didik dalam jumlah yang besar
3. Waktu yang digunakan akan tetap sesuai dengan jadwal waktu pembelajaran yang telah
ditetapkan.
4. Target materi pembelajaran yang telah direncanakan relative mudah
1. Menimbulkan rasa bosan pada diri peserta didik sehingga mengurangi motivasi,
perhatian, dan konsentrasi peserta didik terhadap kegiatan pembelajaran;
12
2. Keberhasilan pembelajaran, yaitu perubahan sikap dan perilaku peserta didik, sulit
untuk diukur karena yang diinformasikan kepada peserta didik umumnya lebih banyak
menyentuh ranah kognisi;
3. Kualitas pencapaian tujuan belajar yang telah ditetapkan relatif rendah karena pendidik
sering hanya mengejar target waktu untuk menghabiskan materi pembelajaran.
Metode pembelajaran kelompok besar atau massal relatif cocok digunakan dalam
strategi pembelajaran yang berpusat pada guru. Berbagai teknik yang digunakan dalam
pendekatan ini adalah ceramah, atau kuliah, tanya jawab, ceramah bervariasi,
demonstrasi, proses atau demonstrasi hasil dan teknik lainnya yang berkaitan dengan
teknik pembelajaran melalui media massa.
Strategi belajar dan pembelajaran berfokus pada peserta didik learner centered atau
sering disebut juga dengan student center learning merupakan instruksi dan
perencanaan kelas yang menekankan pembelajaran yang didominasi oleh keaktifan
peserta didik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pendekatan belajaran dalam
pembelajaran ini memahami bahwa guru berfungsi sebagai fasilitator, yaitu
memfasilitasi kebutuhan belajar peserta didik dan mendampingi peserta didik.
Dalam learner centered, peserta didik dapat berperan aktif karena guru tidak
memberikan aturan-aturan yang kaku sehingga peserta didik dapat mengembangkan
dan menggali kemampuan nya sendiri. Tantangan bagi guru sebagai fasilitator
pembelajaran peserta didik adalah memahami konsep, pola pikir, filosofi, komitmen
metode, dan strategi pembelajaran. Pendekatan ini menekankan bahwa peserta didik
merupakan pemegang peran dalam proses keseluruhan kegitan pembelajran, sedangkan
pendidik berfungsi untuk memfasilitasi peserta didik dalam melakukan kegiatan
pembelajaran.
1. Membutuhkan waktu yang lebih lama dari waktu pembelajaran yang ditetspkan
sebelumnya.
13
2. Aktivitas dan pembicaraan dalam pembelajaran cenderung didominasi oleh
peserta didik yang biasa atau senang berbicara sehingga peserta didik lainnya
banyak mengikuti jalan pikiran peserta didik yang senang berbicara.
3. Pembicaraan dapat menyimpang dari arahan pembelajaran yang telah ditetapkan
Pendekatan Pembelajaran Hybrid Blended Learning
Pembelajaran bauran (blended learning) merupakan pembelajaran yang
mengkombinasikan atau mencapurkan pembelajaran tatap muka dan pembelajaran berbasis
computer (online dan offline) (Dwiyogo dalam Husamah, 2014 : 12). Menurut Thorne
(dalam Husamah, 2014 : 12) juga mengungkapkan bahwa blended learning merupakan
perpaduan teknologi multimedia, CD Room, video streaming, Kelas Virtual, voice-mail, e-
mail, dan telekonferens dan animasi teks online.
Pembelajaran Blended Learning memiliki tujuan diantaranya sebagai berikut: (1)
Membantu peserta didik untuk berkembang lebih baik di dalam proses belajar sesuai
dengan gaya belajar dan preferensi dalam belajar. (2) Menyediakan peluang yang praktif-
realistis bagi pengajar dan peserta didik untuk pembelajaran secara mandiri, bermanfaat,
dan terus berkembang. (3) Peningkatan penjadwalan flesksibilitas bagi peserta didik
dengan menggabungkan aspek terbaik dari tatap muka dan pembelajaran online.
(Husamah, 2014 : 22). Komponen dalam blended learning adalah (1) Face-to-face
Learning, (2) E-learning Offline, (3) E-learning Online, (4) Mobile Learning (M-learning).
Pada saat ini, pembelajaran ICT di lingkungan sekolah atau universitas merupakan hal
yang sangat penting. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya kebutuhan informasi dan
komunikasi dalam berbagai keperluan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK). ICT yang secara sederhana disimbolkan oleh perangkat computer dan
jaringan internet serta perangkat komunikasi telah banyak dimanfaatkan untuk
meningkatkan produktfitas kerja para pelajar mulai dari sekolah dasar hingga perguruan
tinggi.
Untuk mewujudkan sekolah dengan berbasis TIK, tentunya diperlukan sarana dan
prasarana yang menunjang. Tanpa sarana dan prasarana yang baik, maka pembelajaran
tidak akan sulit berjalan dengan sempurna. Sarana dan prasarana sekolah berbasis TIK atau
ICT misalnya ; laboratorium yang lengkap, computer, LCD, dan koneksi internet. Untuk
menunjang masuknya TI disekolah, maka pemerintah secara bertahap membantu sekolah-
aekolah dengan memberikan perangkat hardware computer sebagai alat peraktek dan
ditunjang dengan diberikan nya BOM (Bantuan Operasional Manajemen) yang salah
satunya harus dibelanjakan untuk membeli software komputer untuk menunjang
pembelajaran TI dan pengusaan materi Pelajaran umum dengan bantuan TI.
Dengan demikian, jelas bahwa kebutuhan bahan pembelajaran berbasis TIK atau ICT
sebagai alat untuk membantu siswa menguasai TI dan materi pembelajaran umum lain nya
dengan lebih cepat, menyenangkan dan meningkatkan hasil belajar, menjadi kebutuhan
14
yang mendesak untuk tercapainya kualitas pembelajaran yang diharapkan. Selain sebagai
sarana untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, pembelajaran berbasis TIK atau ICT
juga dapat mempermudah guru dalam menyampaikan materi pembelajaran, membiasakan
guru untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang berkembang pesat saat
ini.
Sudah saat nya guru sedikit demi sedikit membiasakan diri mengajar menggunakan
media berbasis TIK atau ICT, tidak hanya mengandalkan buku yang sudah berbagai
generasi redaksinya hanya itu-itu saja sehingga sudah sangat hafal diluar kepala. Model
Prosedural menunjukkan langkah-langkah dalam suatu pekerjaan, misalnya langkah-
langkah desain instruksional, siklus penelitian dan pengembangan, sintaks pembelajaran
inkuiri-transaksional, sintaks pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan
sintaks pembelajaran berbasis konstruktivisme. Langkah-langkah Desain Instruksional
Ada tiga tahapan besar dalam desain instruksional, yakni tahap identifikasi, tahap
pengembangan dan tahap evaluasi.
Ketiga, tahap evaluasi. Langkah evaluasi yang dilakukan terdiri dari evaluasi formatif dan
evaluasi somatif.
Evaluasi Formatif dapat didefinsikan sebagai proses menyediakan, menganalisis, dan
menggunakan data dan informasi untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan dalam
rangka meningkatkan kualitas produk atau program pembelajaran.
Evaluasi Somatif merupakan evaluasi dalam skala yang besar terhadap produk berupa
bahan pembelajaran yang telah diuji coba dalam evaluasi formatif
Siklus Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang
terdiri dari 2 siklus. Adapun langkah-langkah dalam setiap siklus terdiri dari:
a. Planning
Kegiatan yang dilakukan pada kegiatan ini adalah
15
Membuat perencanaan proses pembelajaran. Perencanaan yang dibuat adalah berupa
silabus dan RPP serta perangkatnya
Membuat media pembelajaran berupa gambar-gambar yang diambil dari internet
Membuat instrument observasi kegiatan siswa
b. Acting
Kegiatan yang dilakukan adalah melaksanakan seluruh kegiatan yang terdapat di dalam
kegiatan perencanaan.
c. Observasi
Melaksanakan observasi atau pengamatan yang dilakukan oleh guru peneliti terhadap
siswa pada saat PBM berlangsung untuk melihat kegiatan siswa dan observasi yang
dilakukan oleh guru kolaborasi terhadap PBM yang diselenggarakan oleh peneliti
d. Reflecting
Refleksi dilakukan pada akhir PBM untuk melihat hasil dari kegiatan PBM yang telah
dilaksanakan. Kemudian hasil dari refleksi pada siklus pertama merupakan acuam bagi
peneliti untuk melakukan tindakan pada siklus selanjutnya
Untuk pertama kalinya, model inkuiri dikembangkan oleh Richard Suchman pada
tahun 1962, yang memandang hakikat belajar sebagai latihan berpikir melalui pertanyaan-
pertanyaan. “Inquiry” is the term Dewey most often used in talking about educative
experiences. Central to Dewey’s perspective on inquiry is his unique understanding of the
nature and functions of reflections. He defined reflection as an “active, and careful
consideration of any belief or supposed from of knowledge in light of the grounds that
support it and the further conclusions toward which it tends” (1938, p. 9; italics in
original). Learning, for Dewey, was thus “learning to think,” and “education consist in the
formation of wide-awake, careful, through habits of thinking” (1933, p.78).
Joyce (Joyce, 1992) mengemukakan kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat
bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi peserta didik, yaitu: aspek social di dalam kelas dan
suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang peserta didik berdiskusi, berfokus
pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya, penggunaan fakta sebagai evidensi dan di
dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta,
sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis.
Tahapan-tahapan strategi pembelajaran inkuiri menurut Eggen & Kauchak (1996)
dapat dilihat dalam tabel berikut :
16
1. Kegiatan Pendahuluan
e. Persiapan Guru menyampaikan Peserta didik menyimak
tujuan, kompetensi yang dengan baik
ingin dicapai, dan
prosedur
f. Menyajikan Guru membimbing peserta Mengidentifikasi masalah
pertanyaan atau didik mengidentifikasi dan Menemukan anggota
masalah masalah dan masalah kelompoknya
dituliskan di papan tulis.
Guru membagi peserta
didik dalam kelompok
2. Kegiatan Inti
a. Membuat hipotesis Guru memberikan Berdiskusi dalam
kesempatan pada peserta menemukan hipotesa
didik bertukar pendapat
dalam membentuk
hipotesis. Guru
membimbing peserta didik
dalam menentukan
hipotesis yang relevan
dengan permasalahan dan
memprioritaskan hipotesis
mana yang menjadi
prioritas penyelidikan
b. Merancang Guru memberikan Berdiskusi dalam
Percobaan kesempatan pada peserta menentukan langkah-
didik untuk menentukan langkah dalam percobaan
langkah-langkah yang
sesuai dengan hipotesis
yang akan dilakukan.
Guru membimbing peserta
didik mengurutkan
langkah-langkah
percobaan
c. Melakukan Guru membimbing peserta Berdiskusi dalam
percobaan untuk didik mendapatkan menemukan informasi
memperoleh informasi melalui atau pengetahuan baru
informasi percobaan melalui percobaan
17
d. Mengumpulkan Guru memberikan Mempresentasikan temuan
dan menganalisis kesempatan pada tiap dan hasil pengolahan data
data kelompok untuk
menyampaikan hasil
pengolahan data yang
terkumpul
3. Kegiatan Penutup
Membuat kesimpulan Guru membimbing peserta Membuat kesimpulan
didik dalam membuat
kesimpulan
(Eggen & Kauchack, 1996)
Dengan tahapan-tahapan tersebut, strategi ini lebih sesuai digunakan pada
pembelajaran berbasis science, bukan pembelajaran yang berbasis humaniora atau ilmu-
ilmu sosial, karena strategi pembelajaran inquiry menekankan pada proses penemuan dari
hasil percobaan.
Karakteristik PBL :
1. Belajar dimulai dengan satu permasalahan.
2. Memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata murid.
3. Mengorganisasikan pelaajaran yang berkaitan dengan masalah tersebut dan bukan
terkait disiplin ilmu tertentu
4. Memberikan tanggung jawab yang besar kepada murid dalam membentuk dan
menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri.
5. Menggunakan kelompok kecil
6. Menurut murid untuk mendemonstrasikan yang telah mereka pelajari dalam bentuk
produk atau kinerja.
18
Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan murid melalui
kerja kelompok sehingga dapat memberikan pengalaman belajar yang beragam pada siswa
seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok. Di samping itu, memberikan pengalaman
belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis,
merancamg percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan
data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, mediskusikan, dan mendiskusikan dan
membuat laporan.
19
Tabel 1.1 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
20
Menganalisis dan Guru membantu peserta Peserta didik melakukan
mengevaluasi proses didik untuk melakukan refleksi terhadap
pemecahan masalah refleksi terhadap penyelidikan
penyelidikan mereka dan
proses-proses yang
memereka gunakan, guru
melakukan evaluasi
(Arends, 1997)
21
DAFTAR PUSTAKA
Armi, dkk. 2014. Jurnal Pendidikan, Pembelajaran, dan Penelitian Tindakan Kelas. Jurnal
Serambi PTK. 1(1)
Dimitriadis, Greg dan George Kamberelis. 2006. Theory For Education. United States:
Taylor&Francis Group
Lina Rihatul Hima. 2017. Pengaruh Pembelajaran Bauran (Blended Learning) Terhadap
MotivasiSiswa Pada Materi Fungsi dan Relasi. Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika. 2(1).
Magdalena, Ina dan Sunaryo. 2017. Bahan Ajar Desain Pembelajaran SD. Jakarta: FKIP UMT
Press
Mudlofir, Ali dan Evi Fatimatur Rusydiyah. 2016. Desain Pembelajaran Inovatif. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Priansa, Donni Juni. 2017. Pengembangan Strategi dan Model Pembelajaran: Inovatif, Kreatif,
dan Prestatif dalam Memahami Peserta Didik. Bandung: CV Pustaka Setia.
Putra, Sitiatava Rizema. 2013. Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains. Yogyakarta:
Diva Press
Richey, Rita C., Klein, James D., and Tracey, Monica W. 2011. The Instructional Design
Knowledge Base: Theory, Research, and Practice. New York: Routledge
Suparman, M. Atwi. 2014. Desain Instruksional Modern: Panduan Para Pengajar dan Inovator
Pendidikan. Jakarta: Erlangga
22
BAB III
Model-model Desain Pembelajaran
23
Memahami Model-model Pengajaran
Teori yang tampaknya kuno, sekaligus bersifat umum, tidak rumit, ditulis DeQueljoe
dan A. Gazalli dalam buku mereka Diktaktik Umum. Dalam buku itu mereka
menggunakan istilah jalan pelajaran sebagai padanan istilah model pengajaran. Ada
empat jalan pelajaran yang mereka tulis dalam buku itu (De Queljoe dan Gazalli,
1962:94-101).
1. Jalan Pelajaran Konsentris
Pada jalan pelajaran ini seluruh bahan pelajaran dijalani beberapa kali dan
permulaan hingga akhir, dimulai dari yang paling mudah dan paling penting.
2. Jalan Pelajaran Suksesstif
Suksessi artinya urutan atau berurutan. Di dalam jalan pelajaran ini seluruh bahan
hanya dilalui satu kali, karena pengajaran maju secara berurutan.
3. Jalan Pelajaran Sintensis
Jalan pelajaran ini menunjukan kegiatan belajar-mengajar seharusnya dimulai dari
mempelajari unsur-unsur atau bagian-bagian untuk selanjutnya membuat
kesimpulan atau merumuskan keseluruhan. Dalam pengajaran membaca
misalnya, jalan pengajaran ini akan dilakukan dengan memulai proses pengajaran
dengan mengenali huruf-huruf, lalu suku kata, lanta kata, kalimat untuk
selanjutnya cerita.
4. Jalan Pelajaran Analisis
Jalan pelajaran ini merupakan kebalikan jalan pelajaran sintensis. Dimulai dari
yang umum, menuju yang khusus; dari kebutuhan menuju bagian-bagian. Prinsip
yang mendasarinya ialah model deduktif
Keempat jalan pelajaran (atau jalan pengajaran) di atas masih dapat digunakan sampai
sekarang, sekurang-kurangnya dapat dijadikan model teoritis.
24
a) Model Pokok Mengajar
Model –model mengajar (teaching models) adalah blue print mengajar
yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
pengajaran. Cetak biru (blue print) ini lazimnya dijadikan pedoman perencanaan
dan pelaksanaan pengajaran serta evaluasi belajar.
Kumpulan atau set model mengajar yang dianggap komperhensif menurut
Tardit(1989) adalah set model yang dikembangkan oleh Bruce Joyce dan Marsha
Weil dengan kategorisasi sebagai berikut: 1) model information processing 2)
model personal 3) model social 4) model behavioral.
1) Model Information Processing (Tahapan Pengolahan Informasi)
Information Processing adalah sebuah istilah kunci dalam psikologis
kognitif yang akhir-akhir ini semakin mendominasi sebagian besar upaya riset dan
pembahasan psikologis pendidikan. Information processing sebagai sebuah
rumpun model-model mengajar perlu dipelajari dan diterapkan sebaik-baiknya
dalam proses belajar mengajar agar ranah cipta siwa dapat berkembang dan
berfungsi seoptimal mungkin. Pengembangan ranah cipta dalam proses belajar
mengajar dipandang vital dan strategis, karena ranah kejiwaan yang paling
dominan adalah ranah cipta (kognitif).
Model Peningkatan Kapasitas Berpikir
Diantara model-model mengajar yang termasuk kategori Information
processing adalah Model Peningkatan Kapasitas Berpikir yang diilhami oleh
metode klinis ciptaan Jean Piaget (1896-1980). Penerapan Model Peningkatan
Kapasitas Berpikir diarahkan pada pengembangan-pengembangan sebagai
berikut.
1. Daya cipta akal siswa
2. Berpikir kritis siswa
3. Penilaian mandiri siswa dan juga pengembangan.
4. Sosio-emosional siswa (perasaan kemasyarakatan) sebagai sudah satu
fenomena ranah rasa siwa.
2) Model Personal (Pengembangan Pribadi)
25
Rumpunan model personal pada umumnya berorientasi pada
pengembangan pribadi siswa dengan lebih banyak memperhatikan kehidupan
ranah rasa, terutama fungsi emosionalnya. Siswa peserta didik juga dapat
menyadari dirinya sendiri sebagai seorang “pribadi” yang berkecakapan cukup
untuk berintrekasi dengan pihak luar sehingga menghasilkan pola hubungan
interpersonal yang kondusif.
Model nondirektif
Di antara sekian banyak model yang termasuk kategori model nondirektif.
Model ini pada umunya dirancang secara sederhana untuk membantu
mempermudah proses belajar pada siswa secara umum, dalam arti tidak
ditunjukan pada aktivitas belajar materi tertentu. Teknik yang lazim digunakan
untuk mengidentifikasikan model nondirektif adalah teknik wawancara.
3) Model Social (Hubungan Bermasyarakat)
Model social adalah rumpun model mengajar yang menitikberatkan pada
proses interaksi antarindividu yang terjadi dalam kelompok individu tersebut.
Sesuai dengan penekanan atau peniktikberatnnya, aplikasi rumpun model sosial
diprioritaskna untuk mengembangkan kecakapan individu siswa dalam
berhubungan dengan orang lain atau masyarakat disekitarnya.
Model Role Playing (Bermain Peran)
Selaku calon guru atau guru professional, diharapkan kreatif dalam
mencari pendekatan-pendekatan mengajar yang lebih maju dalam memecahkan
masalah atau mengefisienkan proses belajar para siswanya. Pendekatan yang maju
maksudkannya, pendekatan yang selaras dengan kebutuhan kependidikan masa
kini yang sudah tentu berbeda dengan tuntunan masyarakat terhadap pendidikan
pada masa lampau.
4) Model Behavioral (Pengembangan Perilaku)
Rumpunan model mengajar perkembangan perilaku direkayasa atas dasar
kerangka teori perilaku yang dihubungkan dengan proses belajar dan mengajar.
Aktivitas mengajar, menurut teori ini harus ditujukan pada timbulnya perilaku bau
atau berubahanya perilaku siswa ke arah yang sejalan dengan harapan.
26
Rumpunan model mengajar behavioral banyak dilandasi oleh asumsi
empiris bahwa segenap perilaku siswa adalah fenomena yang dapat diobservasi,
diukur, dan dijabarkan dalam bentuk perilaku-perilaku khusus, perilaku-perilaku
khusus inilah yang menjadi tujuan belajar siswa.
Model mastery learning (belajar tuntas)
Model mengajar mastery learning, yang dalam istilah Benjamin Bloom
disebut learning for mastery itu pada dasarnya merupakan pendekatan mengajar
yang mengacu pada penetapan kriteria hasil belajar. Pengajaran dengan model
mastery learning dapat dilaksanakan, baik secara individual maupun secara
individual, meskipun relatif lebih sulit, guru dapat mengapalikasikannya dalam
konteks pengajaran kelas dengan memberi perlakuan-perlakuan khusus terhadap
siswa tertentu.
A. Kelompok Model Pembelajaran
Banyaknya pandangan atau pendapat berkenaan dengan model pembelajaran yang
perlu di kembangkan untuk memperluas pemahaman dan wawasan guru menuntut guru
untuk bersikap fleksibel dalam menentukan salah satu atau beberapa model pembelajaran
yang tepat yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Kelompok Model Pembelajaran
Model Penjelasan
Model Klasik Menitikberatkan guru dalam perannya sebagai pemberi informasi
melalui mata pembelajaran dan materi pelajaran yang disajikan di
dalam kelas.
Model Menitikberatkan peranan pendidikan sebagai transmisi informasi dalam
Implementasi bentuk implementasi teknologi yang dapat menghasilkan kompetensi
Teknologi individu peserta didik.
Model Menitikberatkan pengembangan proses pembelajaran dengan
Personal memerhatikan minat, pengalaman, dan pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan potensi-potensi individu yang dimilikinya.
Model Menitikberatkan pola interdepensi antara guru dan peserta didik
Interaksi sehingga tercipta komunikasi diaogis di dalam proses pembelajaran.
27
Model Menitikberatkan pada pengembangan kreativitas dan interpedensi
Pengembanga peserta didik.
n
Model Proses Menitikberatkan pada pengembangan kesadaran diri, rasa tanggung
Kelompok jawab, dan kemampuan bekerja sama di antara peserta didik.
Model Menitikberatkan pada pengembangan keterampilan-keterampilan
Pengembanga kognitif bagi peserta didk.
n Kognitif
Model Menitikberatkan pada pengembangan keterampilan dasar melalui
Modifikasi modifikasi tingkah laku peserta didik.
Perilaku
Model Menitikberatkan pada pengembangan keterampilan dasar melalui
Fundamental pengetahuan faktual.
a. Penentuan tujuan
Langkah awalbini merupakan langkah yang paling urgen karena guru harus
mengidentifikasi tujuan apa yang harus dicapai oleh peserta didik
b. Perician tujuan
Tujuan yang telah di rinci tadi berdasarkan keterampilan-keterampilan apa yang akan
dimiliki oleh peserta didik.
c. Rumusan tujuan
28
Tujuan yang telah dirinci tadi di rumuskan dalam satu kalimat yang mengandung
kemampuan apa dan tingkat kemampuan apa yang harus di miliki oleh peserta didik
selama mereka dalam proses pembelajaran.
d. Analisis tujuan
Kegiatan ini bertujuan yang dianggap sering ditemukan tingakat kegagalannya di
ganti dengan tujuan keberhasilannya.
e. Penyiapan hasil evaluasi belajar
Kegiatan ini dilakukan berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan, oleh karena itu
menyusun evaluasi belajar yang realibel adalah menilai apa yang seharusnya dinilai.
f. Skuens dan jenjang belajar
Kegiatan ini dilakukan sebagai persiapan sebagai guru untuk memprediksi kegiatan
-kegiatan apa yang akan dilakukan di kelas.
g. Penentuan kegiatan belajar
Kegiatan ini dilakukan oleh para guru dan tim pengembang pelajaran, kegiatan para
guru nya yaitu pemilihan media, pelaksanaan kegiatan pembelajaran, dan evaluasi.
Sedangkan yang dilakukan oleh tim pengembang pelajaran yaitu penentuan stimulus,
pemilihan media, penentuan belajar, perumusan strategi pembelajaran,
pengembangan media pembelajaran, evaluasi formatif, dan penyusunan pedoman
pemanfaatan.
h. Monitoring pelaksanaan kegiatan yang di rencanakan
2. Model Pembelajaran Bella H. Banathy
Pengembangan sistem Instruksional menurut Banathy dapat dibedakan dalam enam
langkah sebagai berikut (Banathy, 1968).
a. Langkah 1 : Merumuskan tujuan
Suatu pernyataan pengalaman belajar yang menyatakan apa yang kita harapkan
dari peserta didik untuk di kerjakan, diketahui, dan dirasakan sebagai hasil dari
pengalaman belajarnya.
b. Langkah 2 : Mengembangkan tes (Developing Test)
Dalam langkah ini dikembangkan suatu tes yang didasarkan pada tujuan yang
diinginkan dan digunakan untuk mengetahui kemampuan yang diharapkan dicapai
sebagai hasil dari pengalaman belajarnya.
29
c. Langkah 3 : Menganalisis Kegiatan Belajar (Analyzing of Learning Task)
Dalam langkah ini dirumuskan apa yang harus dipelajari sehingga dapat
menunjukkan tingkah laku seperti yangi digambarkan dalam tujuan yang telah
dirumuskan. Dalam kegiatan ini, kemampuan awal peserta didik harus juga
dianalisis atau dinilai, karena mereka tidak perlu mempelajari apa yang mereka
telah ketahui atau kuasai.
d. Langkah 4 : Mendesain Sistem Instruksional
Setelah itu perlu dipertimbangkan alternatif -alternatif dan identifikasi apa yang
harus dikerjakan untuk menjamin bahwa peserta didik akan menguasai kegiatan-
kegiatan yang telah dianalisis pada langkah ketiga (function analyze). Juga perlu
ditentukan sa0q1pqaiapa atau apa yang mempunyai potensi yang paling baik
untuk mencapai fungsi-fungsi tersebut harus dilakanakan (component analyze).
Perlu ditentukan pula kapan dan dimana fungsi-fungsi tersebut harus dilaksanakan
(design of system).
e. Langkah 5 : Melaksanakan Kegiatan atau Menetes Hasil (Implement and Test
Output)
Dalam langkah ini sitem yang sudah di desain sekarang dapat diuji cobakan atau
di tes dan dilaksanakan. Apa yang dapat dilaksanakan atau dikerjakan peserta
didik sebagai hasil implementasi sistem, harus dinilai agar dapat diketahui
seberapa jauh mereka telah menunjukkan tingkah laku seperti yang dimaksudkan
dalam rumusan tjuan.
f. Langkah 6 : Mengadakan Perbaikan
Hasil-hasil yang diperoleh dari evaluasi kemudian merupakan umpan balik untuk
keseluruhan sistem, sehingga perubahan-perubahan, jika diperlukan dapat
dilakukan untuk memperbaiki sistem instruksional.
Langkah-langkah tersebut dapat dilihatdalam bagan berikut:
30
FORMULATE
III IV
OBJECTIVES
ANALYZE DESIGN
LEARNINGTASK SYSTEM
V
II
IMPLRMRNT
DEVELOP
AND TEST
TEST
OUTPUT
VI
CHANGE TO
IMPROVE
31
Selanjutnya adalah mengembangkan tes yang berfungsi untuk menulai sampai dimana
peserta didik telah menguasai kemampuan-kemampuan yang telah di rumuskan dalam
langkah pertama. Untuk mengukur apakah rumusan Instruksional tersebut dapat dinilai
apa tidak, perlu dikembangkan alat evaluasinya terlebih dahulu sebelum melangkah lebih
jauh dan dalam langkah ini mungkin ada beberapa tujuan yang perlu diubah atau
dipertegas rumusannya sehingga dapat diukur.
c. Langkah 3 : Menentukan kegiatan belajar dan materi pelajaran
Pada langkah ketiga ini, yang perlu dipertimbangkan adalah :
1) Merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar yang diperlukan untuk
mencapai tujuan
2) Menetapkan kegiatan yang tidak perlu ditempuh lagi oleh peserta didik.
3) Menetapkan kegiatan belajar yang masih perlu dilaksanakan oleh peserta didik
setelah kegiatan-kegiatan belajar peserta didik ditentukan, perlu di rumuskan
pokok-pokok materi pelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik sesuai
jenis-jenis kegiatan belajar yang telah ditetapkan. Bila dipandang perlu, setiap
materi pelajaran tersebut dilengkapi dengan uraian singkat agar memudahkan
guru atau dosen menyampaikan materi tersebut.
d. Langkah 4 : Merencanakan program kegiatan
Titik tolak merencanakan program kegiatan adalah satuan pelajaran yang diambil dari
kurikulum yang telah tertentu jumlah jam pelajarannya dan diberikan pada kelas dalam
semester tertentu.
e. Langkah 5 : Melakukan program
Langkah-langkah yang dilakukan dalam fase ini adalah:
1) Mengadakan pre-test
Tujuan pre-test diberikan adalah untuk mengukur kemempuan awal peserta
didik yang sesuai dengan tujuan instruksional khusus sebelum mereka
mengikutu pelajaran.
2) Menyampaikan materi ajar
Penyampaian materi harus berpegang pada langkah yang ke 4 yaitu
merencanakan program.
3) Mengadakan evaluasi (post-test)
32
Memberikan post-test dimaksudkan untuk mengukur kemampuan peserta
didik setelah materi diberikan,dengan demikian dapat diketahui seberapa jauh
program pegajaran telah berhasil diberikan.
C. Model Yang Terbaik
Setiap model memiliki tujuan untuk menghasilkan suatu sistem instruksional yang
efektif dan efisiensi dalam memfasilitasi pencapaian tujuan instruksional Benny A.
Menyatakan bahwa "Penerapan desain sistem pembelajaran bertujuan untuk menciptakan
pembelajaran yang sukses, yaitu pembelajaran yang mampu membantu siswa mencapai
kompetensi yang di inginkan.
Daftar Pustaka
Prisansa, Donni Juni. 2016. Pengembangan Strategi Dan Model Pembelajaran. Bandung : CV
Pustaka Setia.
Mudlofir, Ali., dan Rusydiyah Evi Fatimatur. Desain Pembelajaran Inovatif. Depok: PT
RajaGrafindo Persada.
33
BAB IV
A. PENGERTIAN
Identifikasi berasal dari kata Identify yang artinya meneliti, menelaah. Identifikasi adalah
kegiatan yang mencari, menemukan, mengumpulkan, meneliti, mendaftarkan, mencatat data dan
informasi dari “kebutuhan” lapangan.
Kebutuhan menurut M. Atwi Suparman (2001 : 63) adalah kesenjangan antara keadaan
sekarang dengan yang seharusnya dalam redaksi yang berbeda tapi sama. Morrison (2001: 27),
mengatakan bahwa kebutuhan (need) diartikan sebagai kesenjangan antara apa yang diharapkan
dengan kondisi yang sebenarnya, keinginan adalah harapan ke depan atau cita-cita yang terkait
dengan pemecahan terhadap suatu masalah. Sedangkan analisa kebutuhan adalah alat untuk
mengidentifikasi masalah guna menentukan tindakan yang tepat. (Morrison, 2001: 27)
Pembelajaran (Kegiatan Instruksional) adalah suatu rangkaian peristiwa yang memengaruhi
peserta didik atau pembelajar sedemikian rupa sehingga perubahan perilaku yang disebut dengan
hasil belajar. Pembelajaran mengandung makna bahwa serangkaian kegiatan belajar itu
dirancang terlebih dahulu agar terarah pada tercapainya perubahan perilaku yang diharapkan.
Jadi, Identifikasi Kebutuhan Pembelajaran adalah kegiatan atau usaha yang di lakukan untuk
meneliti dan menemukan hal-hal yang diperlukan dalam pembelajaran dan hal-hal yang dapat
membantu tercapainya tujuan pembelajaran itu sendiri, baik itu proses belajar yang berlangsung
dilingkungan keluarga (informal), sekolah (formal), maupun masyarakat (informal).
34
1) Identifikasi kebutuhan yang relevan dengan pekerjaan, yaitu masalah apa yang mempengaruhi
hasil pembelajaran.
2) Mengidentifikasi kebutuhan yang mendesak terkait dengan masalah finansial, keamanan atau
masalah lain yang mengganggu lingkungan pendidikan.
3) Menyajikan prioritas-prioritas untuk memilih tindakan.
4) Memberikan data basis untuk menganalisa efektifitas pembelajaran. Lebih lanjut Morrison,
Ross, dan Kemp (2007: 33) menambahkan bahwa terdapat enam tipe/ cara yang digunakan
untuk merencanakan dan menganalisis kebutuhan, enam cara tersebut yakni sebagai berikut.
a) Kebutuhan normative : Membandingkan peserta didik dengan standard nasional, misal,
Ebtanas, UMPTN, dan sebagainya.
b) Kebutuhan komparatif : Membandingkan peserta didik pada satu kelompok dengan
kelompok lain yang selevel. Misal, hasil Ebtanas SMP A dengan SMP B.
c) Kebutuhan yang dirasakan : Hasrat atau keinginan yang dimiliki masing-masing
peserta didik yang perlu ditingkatkan. Cara terbaik untuk menidentifikasi hasil tugas.
d) Kebutuhan yang diekspresikan : Kebutuhan yang mampu diekspresikan seseorang
dengan tindakan, misal siswa ingin lebih pandai dalam bahasa Inggris maka ia mengikuti
kursus bahasa Inggris.
e) Kebutuhan masa depan : Mengidentifikasikan perubahan yang akan terjadi di masa yang akan
datang, misal penerapan strategi baru dalam pembelajaran.
f) Kebutuhan Insedentil yang mendesak : Adanya masalah yang yang terjadi di luar dugaan,
misal banjir, gempa bumi, dll.
Identifikasi kebutuhan pembelajaran tidak hanya dilakukan oleh pendidik (yang
di dalamnya terdiri dari pengajar dan pengelola progam pendidikan), dan orang tua
atau masyarakat. Akan tetapi, identifikasi kebutuhan pembelajaran juga bisa dilakukan oleh
peserta didik itu sendiri. Jadi, ada tiga kelompok orang yang dapat dijadikan informasi
dalam mengidentifikasi kebutuhan intruksional, yakni peserta didik, masyarakat (wali
murid) dan pendidik. Ketiga kelompok ini memiliki hubungan kerja sama dan partisipasi dalam
mengidentifikasi kebutuhan pendidikan.
MELAKUKAN IDENTIFIKASI KEBUTUHAN
Ada empat tahap dalam melakukan analisa kebutuhan, yakni perencanaan
(Planning), pengumpulan data (Collecting data), analisis data (Analyzing data), dan menyiapkan
laporan akhir (Preparing the final report). (Morrison, Ross, dan Kemp, 2007: 36).
1. Perencanaan, kegiatan pembelajaran yang baik selalu berawal dari perencanaan yang
matang. Perencaan yang matang akan memberikan hasil yang optimal dalam
pembelajaran. Oleh karena itu, guru sebagai subjek pembuat perencanaan
pembelajaran harus mampu membuat progam pembelajaran sesuai dengan
metode dan strategi yang akan digunakan. Dalam tahapan perencanan ini, hal yang
perlu dilakukan yakni, menyiapkan atau membuat klasifikasi siswa, kemudian
menentukan siapa saja yang akan terlibat dalam kegiatan, dan membuat cara
mengumpulkan data. Pengumpulan data bisa dilakukan dengan cara kuisioner,
rangking, interview, kelompok diskusi kecil, dan lain-lain.
2. Pengumpulan data, hal yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data yakni besar
kecilnya sampel dalam penyebarannya.
3. Analisa data, setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisis data dengan
pertimbangan ekonomi, rangking, frekuensi, dan kebutuhan.
35
4. Membuat laporan akhir, dalam sebuah laporan kebutuhan pembelajaran
mencakup empat bagian, yakni analisa tujuan, analisa proses, analisa hasil dengan
table dan penjelasan singkat, serta rekomendasi yang terkait dengan data.
36
melakukan analisis instruksional ini sangat penting artinya bagi kegiatan
instruksional, karena pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus diberikan
lebih dahulu dari yang lain dapat ditentukan dari hasil analisis instruksional. Dengan
demikian, guru jelas melihat arah kegiatan instruksionalnya secara bertahap menuju
pencapaian TIU. Ini berarti guru terhindar dari pemberian isi pelajaran yang tidak
relevan dengan TIU.
3. Langkah ketiga adalah mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa.
Dalam langkah ini dikemukakan pendekatan menerima siswa apa adanya dan
menyusun sistem instruksional atas dasar keadaan siswa tersebut. Oleh karena itu,
langkah ini merupakan proses mengetahui prilaku yang dikuasai siswa
sebelum mengikuti pelajaran, bukan untuk menentukan prilaku prasyarat dalam
rangka menyeleksi siswa sebelum mengikuti pelajaran. Konsekuensi yang
digunakan ini adalah : titik mulai suatu kegiatan instruksional tergantung
kepada prilaku awal siswa. Hal ini sangat penting karena mempunyai implikasi
terhadap penyusunan bahan belajar dan system instruksional.
4. Langkah keempat adalah merumuskan/menuliskan Tujuan Instruksional Khusus
(TIK). Hasil akhir dari kegiatan mengidentifikasi prilaku dan karakteristik awal siswa
adalah menentukan garis batas antara perilaku yang tidak perlu diajarkan dan perilaku
yang harus diajarkan kepada siswa. Perilaku yang akan diajarkan ini kemudian
dirumuskan dalam bentuk Tujuan Instruksional Khusus(TIK). Merumuskan TIK
harus menggunakan empat komponen secara lengkap ABCD (Audience, Behavior,
Condition, Degree). TIK menjadi dasar dalam menyusun kisi-kisi tes, dan merupakan
alat untuk menguji validitas isi tes. Metode instruksional yang dipilih juga
berdasarkan prilaku yang ada dalam TIK.
5. Langkah kelima adalah menuliskan tes acuan patokan yang bertujuan untuk
mengukur sejauh mana tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan
instruksional. Hasil pencapaian siswa ini juga merupakan petunjuk sejauh mana
tingkat keberhasilan sistem instruksional yang digunakan. Menulis tes acuan
patokan menggunakan tabel spesifikasi atau kisi-kisi sederhana agar dapat
memenuhi kebutuhan seorang guru untuk menyusun tes yang konsisten dengan
tujuan instruksional, baik yang bersifat kognitif, psikomotorik, maupun afektif.
6. Langkah keenam adalah menyusun strategi instruksional yang membahas hal-
hal tentang bagaimana sebaiknya seorang guru mengatur urutan kegiatan
instruksionalnya setiap kali ia mengajarkan suatu bagian dari mata pelajarannya.
Stategi instruksional berkaitan dengan metode, media yang digunakan, waktu
pelaksanaan, dan berapa besar usaha yang harus dilaksanakan guru dan siswa
dalam mencapai tujuan instruksional.
7. Langkah ketujuh adalah mengembangkan bahan instruksional berdasarkan
strategi intruksional dan tes yang telah disusun. Bahan instruksional dapat
dikembangkan sesuai dengan bentuk kegiatan intruksionalnya. Seluruh bahan
instruksional tersebut dikembangkan melalui proses yang sistematis atas dasar prinsip
belajar dan prinsip intruksional, yaitu dapat berupa: pengembangan bahan belajar
mandiri, pengembangan bahan pengajaran konvensional, dan pengembangan bahan
PBS (Pengajar, Bahan, Siswa).
8. Langkah kedelapan adalah mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif. Evaluasi
formatif dapat didefinisikan sebagai proses menyediakan dan menggunakan informasi
37
untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan kulitas
program instruksional. Oleh karena itu langkah ini membahas cara mendesain dan
melaksanakan evaluasi formatif terhadap bahan instruksional yang telah
didesain. Faktor yang dievaluasi adalah pelaksanaan kegiatan intruksional dengan
menggunakan bahan belajar, pedoman pengajaran, pedoman siswa, dan tes.
DAFTAR PUSTAKA
Ina Magdalena, M.Pd dan Sunaryo, M.Ds. 2018. Desain Pembelajaran SD. Tangerang : FKIP
UMT Press.
Morrison, Ross, & Kemp. 2007. Designing Effective Instruction Fifth Edition.
USA: John Wiley and Sons, inc.
38
BAB 5
Tujuan instruksional umum (TIU) adalah tujuan pengajaran yang perubahan prilaku siswa
yang belajar masih merupakan perubahan internal yang belum dapat dilihat dan diukur. Kata
kerja dalam tujuan umum pengajaran masih mencerminan perubahan prilaku yang umumnya
terjadi pada manusia, sehingga masih menimbulkan beberapa penafsiran yang berbeda-beda.
Contoh TIU: “setelah melakukan pelajaran siswa diharapan dapat memahami penjumlahan
dengan benar”. Kata kerja “memahami penjumlahan” merupakan kata kerja- yang bersifat umum
karena pemahaman penjumlahan dapat ditafsirkan berbeda.
Instruksional khusus adalah tujuan pengajaran dimana perubahan perilaku dapat dilihat dan
ukur. Kata kerja yang menggambarkan perubahan perilaku telah spesifik sehingga
memungkinkan dilakukan pengukuran tanpa menimbulkan lagi berbagai perbedaan penafsiran.
Dalam proses belajar mengajar tujuan instruksional dapat di bagi menjadi 2 yaitu tujuan
instruksional umum yang menggariskan hasil hasil di aneka bidang studi yang harus dicapai
siswa dan tujuan instruksional khusus (TIK) yang merupakan penjabaran dari tujuan
instruksional umum yang menyangkut suatu pokok bahasan sebagai tujuan pengajaran yang
konkrit dan spesifik.
Tujuan instruksional ini dapat dibedakan menjadi tujuan instruksional umum (TIU) dan
tujuan instruksional khusus (TIK). Menurut Grounlund dalam Harjanto (2008) tujuan
instruksional umum (TIU) adalah hasil belajar yang diharapkan yang dinyatakan secara umum
dan berpedoman pada perubahan tingkah laku dalam kelas. Tujuan instruksional umum (TIU)
merupakan serangkaian hasil belajar yang bersifat khusus.
39
d. Menghayati perlunya penilaian yang tepat
e. Menyadari pentingnya mengikuti kuliah dengan teratur
f. Menghargai kejujuran mahasiswa dalam mengerjakan tes
Menurut Gronlund dalam Harjanto (2008), dalam perumusan tujuan umum instruksional
(TIU) terlebih dahulu menyusun jenis hasil belajar yang diharapkan dan jenis-jenis hasil belajar
yang dapat digunakan sebagai sumber dalam perumusan tujuan insrtruksional umum (TIU) yaitu
harus memperhatikan hal-hal seperti berikut:
1. Mencakup tujuan yang diharapkan secara umum tentang apa yang dapat dicapai dalam
proses pengajaraan dalam satu waktu tertentu.
2. Tidak terlepas dari konteks tujuan-tujuan kurikuler maupun tujuan yang diatasnya.
3. Selaras dengan mempertimbangakan prinsip-prinsip belajar.
4. Cukup realistis dengan keadaan kemampuan peserta didik waktu yang tersedia dan
fasilitas yang ada.
5. Mempunyai indikasi yang kuat bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku peserta
didik.
Tujuan Instruksional
Dari definisi yang disampaikan oleh beberapa tokoh seperti Robert F. Magner (1962) yang
mendefinisikan tujuan instruksional sebagai tujuan perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat
dikerjakan oleh siswa sesuai kompetensi. Juga ada Eduard L. Dejnozka dan David E. Kavel
(1981) yang mendefinisikan tujuan instruksional adalah suatu pernyataan spefisik yang
dinyatakan dalam bentuk perilaku yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang menggambarkan
hasil belajar yang diharapkan serta Fred Percival dan Henry Ellington (1984) yang
mendefinisikan tujuan instruksional adalah suatu pernyataan yang jelas menunjukkan
penampilan / keterampilan yang diharapkan sebagai hasil dari proses belajar. Setelah kita
mengetahui beberapa definisi tujuan instruksional yang dikemukakan dari beberapa tokoh kita
dapat mengambil beberapa manfaat yaitu:
Dalam pembaruan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia sekarang ini, setiap guru
dituntut untuk menyadari tujuan dari kegiatannya mengajar dengan titik tolak kebutuhan siswa.
40
Oleh karena itu, dalam merancang sistem belajar yang akan dilakukannya, langkah- pertama
yang ia lakukan adalah membuat tujuan instruksional. Dengan tujuan instruksional:
Secara umum, TIU dipahami sebagai pernyataan umum dan luas tentang apa yang akan
dipelajari. William (2004:4) menulis tentang TIU sebagai berikut:
Tujuan Instruksional Umum menggambarkan perilaku yang siswa akan pelajari atau mampu
lakukan setelah pembelajaran dan menujukkan konteks dimana perilaku itu terjadi. Tujuan
Instruksional Umum memiliki 3 persyaratan dasar:
1. Harus terukur, yaitu menggambarkan perilaku siswa untuk dilakukan secara langsung dan
dapat diamati
2. Menunjukkan apa yang siswa dapat selesaikan
3. Menetapkan konteks dimana perilaku tersebut terjadi untuk membuat perilaku berfungsi
Dick and Carey (2009:3) membahas lebih perinci bahwa yang dimaksud dengan tujuan
Instruksional Umum adalah:
1. Pernyataan umum yang jelas tentang hasil belajar peserta didik yang
2. Berkaitan dengan masalah dan penilaian kebutuhan yang diidentifikasi, dan
3. Dapat dicapai melalui pembelajaran bukan dengan cara yang lebih efisien seperti
meningkatkan motivasi karyawan.
41
Pertama, berbagai kategori hasil belajar harus betul-betul dinyatakan dengan jelas. Hasil
belajar merujuk pada 3 komponen seperti yang biasa dijelaskan pada pelatihan militer, yakni
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan atau dalam Taksonomi Bloom disebut dengan 3 domain:
kognisi afeksi, dan psikomotorik. Gangne dkk. ((2005:49) menyebutnya sebagai kategori hasil
belajar yang mencakup ketrampilan atau kemampuan intelektual, kemampuan dan strategi
kognitif, informasi verbal, sikap, dan ketrampilan motorik.
Kedua, berkaitan dengan kebutuhan yang telah diidentifikasi. Seperti kebutuhan merupakan
kesenjangan antara kenyataan dengan harapan. Artinya, tujuan yang dirancang harus berdasar
hasil analisis kebutuhan yang diarahkan pada kategori hasil belajar.
Ketiga, pencapaian hasil belajar melalui proses pembelajaran bukan dengan cara yang lebih
sederhana yang hanya menekankan pada aspek motivasi.
Tujuan Instruksional dalam kawasan mana pun harus dirumuskan dalam kalimat dengan kata
kerja dan operasional, serta yang menunjukkan kegiatan yang dapat dilihat. Kalimat peserta
didikan akan dapat menjelaskan atau menguraikan sesuatu misalnya, lebih tepat digunakan dari
pada peserta didik dapat mengerti, memahami, atrau mengetahui sesuatu.
1. Peserta didik akan dapat menggunakan desain penilitian yang sesuai dengan proyek
penelitian yang akan dilakukannya
2. Peserta didik akan dapat menyusun kegiatan proyek dengan menggunakan PERT
(Program Evolution and Review Techniques)
3. Peserta didik akan dapat mendemonstrasikan lompat tinggi gaya flop (suatu gaya lompat
tinggi yang digunakan keba nyakan juara saat ini).
Sejak awal tahun 1960, selama satu dekade lamanya polemik yang cukup tajaam tentang
perlu tidaknya rumusan tujuan instruksional muncul dsn menjadi bahan diskusi dikalangan ahli
dan praktisi pendidikan. Kalangan pertama merasa bahwa praaktik pendidikan yang ditandai
dengan keharusan membuat rumusan tujuan instruksional telah menyebabkan pendidikan terikat,
kehilangan kebebasan untuk berekreasi dalam mengelola kegiatan pendidikan.
Kalangan kedua merasa bahwa rumusan tujuan instruksional itu sangat diperlukan karena
berbagai dasar pertimbangan antara lain sebagai berikut:
a. Pengajar dan peserta didik perlu mengetahui dan menyepakati arah dari pengajaran sejak
awal kegiatan pengajaran agar persepsi, harapan, dan motivasi mereka sama dalam
menjalani seluruh proses instruksional.
b. Tanpa kejelasan rumusan tujuan instruksional, kegiatan-kegiatan instruksional berjalan
tanpa arah dan tanpa patokan apakah kegiatan tersebut pada akhirnya dapat dinilai sukses
atau gagal. Bahkan, pengajar tidak memiliki patokan apa yang harus dinilai pada hasil
42
belajar peserta didik. Peserta didik pun akan mempertanyakan kriteria penilaian yang
digunakan dalam menentukan tingkat keberhasilan. Dalam keadaan seperti ini, baik
peserta didik maupun masyarakat luas patut mempertanyakan akuntabilitas pendidikan.
1. Kognitif :
a. Mencakup pengetahuan ingatan yang pernah dipelajari dan disimpan dalam
ingatan
b. Mencakup pemahaman untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang
dipelajari
c. Mencakup kemampuan menerapkan suatu kaidah atau metode yang bar
d. Mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan
e. Mencakup kemampuan membentuk suatu kesatuan
f. Mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat
2. Afektif :
a. Mencakup kepekaan akan adanya suatu perangsang dan kesediaan untuk
memperhatikan
b. Mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara aktif
c. Mencakup kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu
d. Mencakup kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai
e. Mencakup kemampuan untuk menghayati nilai nilai kehidupan
3. Psikomotorik :
a. Mencakup kemampuan untuk membedakan ciri ciri fisik
b. Mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam memulai gerakan
c. Mencakup kemampuan untuk melakukan sesuatu rangkaian gerak gerik
d. Mencakup kemampuan untuk melakukan sesuatu rangkaian gerak gerik dengan
lancar
43
e. Mencakup kemampuan untuk melaksanakan suatu keterampilandengan lancar,
efisien dan tepat
f. Mencakup kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menyesuaikan Pola
gerak gerik yang mahir
g. Mencakup kemampuan untuk melahirkan aneka pola gerak gerik yang baru
Dalam suatu TIK dibedakan dua aspek yaitu aspek perilaku yang dituntut dari siswa dan
aspek terhadap hal apa perilaku itu yang harus dilakukan(isi =content). Untuk istilah isi kerap
digunakan pula istilah materi dan bahan. Istilah isi menunjukkan pada aspek tertentu dalam
tujuan instruksional, terhadap hal apa siswa harus melakukan ssuatu sesuai jenis perilaku yang
dituntut. Istilah materi / bahan pelajaran menunjuk pada hal hal yang dilakukan selama
pengalaman belajar siswa berlangsung. Klasifikasi tujuan instruksional menurut aspek isi
biasanya dikaitkan dengan struktur yang terdapat dalam cabang cabang ilmu yang mendasari
aneka bidang studi yang di ajarkan di sekolah seperti skema dibawah ini yang menghubungkan
antara tujuan instruksional, aspek isi tujuan instruksional dan materi / bahan pelajaran.
a) Membuat sejumlah TIU (tujuan instruksional umum) untuk setiap mata pelajaran/bidang
studi yang akan diajarkan. Di dalam kurikulum tahun 1975 maupun 1984, TIU ini sudah
tercantum dalam uku Garis-Garis Besar Program Pengajaran. Dalam merumuskan TIU
digunakan kata kerja yang sifatnya masih umum dan tidak dapat diukur karena perubahan
tingkah laku masih terjadi di dalam diri manusia (intern).
b) Dari masing-masing TIU dijabarkan menjadi TIK yang rumusannya jelas, khusus, dapat
diamati, terukur dan menunjukan perubahan tingkah laku.
Contoh-contoh rumusan untuk TIU:
Memahami teori evolusi
Mengetahui peredaan antara skor dan nilai.
Mengerti cara mencari validita.
Menghayati perlunya penilaian yang tepat.
Menyadaripentingnya mengikuti kuliah dengan teratur.
Menghargai kejujuran mahasiswa dalam mengerjakan tes.
44
Daftar Pustaka
Dick, Walter, Carey, Lou, and Carey, james O. (2009). The Sistematic Design of Introction.
New Jersey : Pearson.
Suparman, atwi. 2014. Desain intruksional modern : panduan para pengajar dan inovator
pendidikan. Jakarta : Erlangga
Silberman, Mel. (2000). Active Learning: 101 Strategies to Teach any Subject (2nd). Canada :
Mc. Gills
45
BAB VI
Secara umum mengidentifikasi berarti menentukan atau menetapkan identitas sesuatu baik
orang, benda, dan sebgainya. Namun dalam hal ini yang hendak ditentukan atau ditetapkan
identitiasnya adalah perilaku peserta didik. (Sugono, 2008: 567). Sedangkan yang dimaksud
dengan perilaku dalam hal ini bukanlah perangai, sifat atau akhlak, melainkan kemampuan dasar
peserta didik, yakni kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Kegiatan mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa dalam pengembangan
instruksional merupakan pendekatan yang menerima siswa apa adanya dan untuk menyusun
sistem instruksional atas dasar keadaan siswa tersebut. Konsekuensi dari digunakannya cara ini
adalah titik mulai suatu kegiatan pembelajaran tergantung kepada perilaku awal siswa.
Mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa bertujuan untuk menentukan materi apa
yang harus diajarkan dan yang tidak perlu diajarkan dalam instruksional yang akan dilaksanakan.
Dengan kata lain, kegiatan mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa merupakan
proses untuk mengetahui perilaku yang dikuasai siswa sebelum mengikuti instruksional, bukan
untuk menentukan perilaku prasyarat dalam rangka menyeleksi siswa sebelum mengikuti
instruksional. Perilaku yang akan diajarkan ini kemudian dirumuskan dalam bentuk tujuan
instruksional khusus atau TIK itu.
Karakteristik siswa merupakan salah satu variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan
sistem instruksional. (Sanjaya, 2012: 17). Variabel ini didefinisikan sebagai aspek-aspek atau
kualitas individu siswa. Aspek-aspek berkaitan dapat berupa bakat, minat, sikap, motivasi
belajar, gaya belajar, kemampuan berpikir dan kemampuan awal (hasil belajar) yang telah
dimilikinya.(Atmowijoyo, 2008: 95). Karakteristik siswa akan amat berpengaruh dalam
pemilihan strategi pengelolaan, yang berkaitan dengan bagaimana menata pembelajaran,
khususnya komponen-komponen strategi pembelajaran, agar sesuai dengan karakteristik individu
siswa. (Uno, 2009: 58).
Untuk melakukan kegiatan identifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa belajar, maka
menurut Suparman (2012: 181-182) kita harus mengetahui sumber yang dapat memberikan
informasi kepada pendesain instruksional yang antara lain adalah:
46
1. Siswa atau calon siswa;
2. Orang yang mengetahui kemampuan siswa atau calon siswa dari dekat seperti guru atau
atasannya;
3. Pengelola program pendidikan yang biasa mengajar mata pelajaran tersebut.
Berawal dari informasi-informasi tersebut, maka tingkat kemampuan populasi sasaran dalam
perilaku-perilaku khusus yang diperoleh dari analisis instruksional, itu perlu diidentifikasi agar
pengembang instruksional dapat menentukan mana perilaku khusus yang sudah dikuasai si
belajar untuk diajarkan. Dengan demikian pengembang instruksional dapat pula menentukan titik
berangkat yang sesuai bagi si belajar yaitu: aspek-aspek analisis pada kegiatan identifikasi
perilaku dan karakterisitk awal siswa. Dalam hal ini, menurut Sanjaya ada tiga aspek kepribadian
si belajar yang tergolong pada kegiatan identifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa belajar,
yaitu:
1. Aspek latar belakang siswa (pupil formative experiences);
2. Sifat yang dimiliki siswa (pupil properties).
3. Sikap dan penampilan siswa. (Sanjaya,2012: 17-18).
Aspek latar belakang meliputi jeniskelamin siswa, tempat kelahiran, dan tempat tinggal
siswa, tingkat sosial ekonomi siswa, dari keluarga yang bagaimana siswa berasal dan lain
sebagainya; sedangkan dilihat dari sifat yang dimiliki siswa meliputi kemampuan dasar,
pengetahuan dan sikap. Tidak dapat disangkal bahwa setiap siswa memiliki kemampuan yang
berbeda yang dapat dikelompokkan pada siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Siswa
yang termasuk berkemampuan tinggi biasanya ditunjukkan oleh motivasi yang tinggi dalam
belajar, perhatian dan keseriusan dalam mengikuti pelajaran dan lain sebagainya. Sebaliknya
siswa yang tergolong pada kemampuan rendah ditandai dengan kurangnya motivasi belajar, tidak
adanya keseriusan dalam mengikuti pelajaran termasuk menyelesaikan tugas dan lain
sebagainya.
Perbedaan-perbedaan semacam itu menuntut perlakuan yang berbeda pula baik dalam
penempatan atau pengelompokan siswa maupun dalam perlakuan guru dalam menyesuaikan
gaya belajar. Demikian juga halnya dengan tingkat pengetahuan siswa. Siswa yang memiliki
pengetahuan yang memadai tentang penggunaan bahasa standar, misalnya akan memengaruhi
proses pembelajaran mereka dibandingkan dengan siswa yang tidak memiliki tentang hal itu.
(Sanjaya, 2012: 17-18).
47
Sikap dan penampilan siswa dalam proses pembelajaran, juga merupakan aspek lain yang
dapat memengaruhi sistem pembelajaran. Adakalanya ditemukan siswa yang sangat aktif
(hyperkinetic) dan adapula siswa yang pendiam, tidak sedikit juga ditemukan siswa yang
memiliki motivasi yang rendah dalam belajar. Semua itu akan memengaruhi proses pembelajaran
di dalam kelas. Sebab, bagaimanapun perilaku dan karakteristik siswa merupakan faktor yang
sangat penting dan menentukan dalam interaksi pembelajaran, sehingga guru sebagai pendesain
mampu memilih bahan pembelajaran yang baik untuk diajarkan kepada siswa sebagai
pembelajar.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan mengidentifikasi perilaku dan
karakteristik awal siswa bertujuan untuk menentukan materi apa yang harus diajarkan dan yang
tidak perlu diajarkan dalam instruksional yang akan dilaksanakan. Dengan kata lain, kegiatan
mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa merupakan proses untuk mengetahui
perilaku yang dikuasai siswa sebelum mengikuti instruksional, bukan untuk menentukan perilaku
prasyarat dalam rangka menyeleksi siswa sebelum mengikuti instruksional.
48
Menurut penulis sendiri, setidaknya ada enam manfaat dari mengidentifikasi perilaku dan
karakteristik awal peserta didik, yaitu:
1. Untuk memperoleh informasi yang lengkap dan akurat berkenaan dengan kemampuan serta
karakteristik awal siswa sebelum mengikuti program pembelajaran tertentu.
2. Menyeleksi tuntutan, bakat, minat, kemampuan, serta kecenderungan peserta didik berkaitan
dengan pemilihan program-program pembelajaran tertentu yang akan diikuti mereka.
3. Menentukan desain program pembelajaran dan atau pelatihan tertentu yang perlu
dikembangkan sesuai dengan kemampuan awal peserta didik.
4. Mengetahui tentang luas dan jenis pengalaman belajar siswa, hal ini berpengaruh terhadap
daya serap siswa terhadap materi baru yang akan disampaikan.
5. Mengetahui latar belakang siswa dan keluarga siswa. Meliputi tingkat pendidikan orang tua,
sosial ekonomi, emosional dan mental sehingga guru dapat menyajikan bahan serta metode
belajar yang lebih variatif, serasi, efektif dan efisien.
6. Mengetahui tingkat pertumbuhan, perkembangan, aspirasi dan kebutuhan siswa serta
mengetahui tingkat penguasaan yang telah diperoleh siswa sebelum mengikuti proses
instruksional.
Entry behavior adalah pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki siswa sebelum ia
melanjutkan ke jenjang berikutnya. Menurut De Cecco dalam H. Nashir, perilaku awal
mempunyai karakteristik, yaitu merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mengikuti pelajaran
berikutnya, mempunyai hubungan yang relevan dengan tujuan hasil
belajar yang dicapai. (Nashir, 2004: 64). Di sisi lain Abdul Ghafur dalam Nopita
Windasari (2010: 43) mendefinisikan perilaku awal adalah pengetahuan dan keterampilan
yang relevan yang telah dimiliki siswa pada saat memulai kegiatan belajarnya telah
memiliki berbagai pengalaman, pengetahuan, sikap dan keterampilan serta potensi yang
dimiliki dapat dijadikan tolak ukur instruksional dan perencanaan kegiatan belajar lebih
lanjut.
Perilaku awal merupakan modal bagi siswa dalam aktivitas pembelajaran, karena
49
aktivitas pembelajaran adalah wahana terjadinya negosiasi makna antara guru dan siswa
berkenaan dengan materi pembelajaran. Selanjutnya Siapa kelompok sasaran, populasi sasaran,
atau sasaran didik kegiatan instruksional itu? Istilah itu digunakan untuk menanyakan dua hal
tentang perilaku siswa: Pertama, menanyakan siswa yang mana atau siswa sekolah apa. Kedua,
menanyakan sejauh mana pengetahuan dan
keterampilan yang telah mereka miliki sehingga dapat mengikuti pelajaran tersebut. (Gardner,
1991: 27).
Pertanyaaan di atas sangat penting dijawab oleh pengembang instruksional sehingga sejak
permulaan kegiatan instruksional telah dapat disesuaikan dengan siswa yang akan mengikutinya.
Jawaban itu merupakan pula suatu batasan bagi siswa yang bermaksud mengikuti pelajaran
tersebut, sehingga bila mempunyai perilaku awal tersebut, siswa sebaiknya tidak mengikuti
pelajaran tersebut. (Suparman, 2012:178-179).
Populasi sasaran dirumuskan secara spesifik seperti contoh di bawah ini:
1. Mata pelajaran ini disediakan bagi siswa yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Terdaftar pada sekolah ini pada tahun ajaran atau semester ini;
b. Setelah lulus mata pelajaran A.
2. Pelajaran ini disusun bagi siswa kelas dua MA yang mempunyai minat dalam kelompok
bidang studi Agama.
3. Kursus ini disediakan bagi karyawan pemerintah atau perusahaan swasta yang memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Mempunyai ijazah minimal sarjana muda dalam bidang X atau setaraf;
b. Telah pernah mengikuti dan lulus dalam kursus Y;
c. Menguasai bahasa Inggris minimal secara pasif untuk membaca dan mendengarkan
kuliah dalam bahasa Inggris. (Suparman, 2012: 180).
Perumusan populasi sasaran seperti contoh tersebut di atas memang dapat membantu
kelancaran penyelenggaraan kegiatan instruksional. Perumusan populasi ini biasanya diterapkan
oleh lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan. Tetapi seorang
pengembang instruksional masih perlu mencari informasi lebih jauh tentang kemampuan
populasi sasaran yang dimaksud dalam menguasai setiap perilaku khusus yang telah dirumuskan
dalam analisis instruksional. Perilaku-perilaku khusus itu tersusun secara hierarkikal, prosedural,
50
pengelompokan, atau kombinasi kegiatannya atau dua di antaranya tingkat kemampuan populasi
sasaran dalam perilaku-perilaku khusus itu perlu diidentifikasi
agar pengembang instruksional dapat menentukan mana perilaku khusus yang sudah dikuasai
siswa sehingga perlu diajarkan kembali, dan mana yang belum dikuasai siswa untuk diajarkan.
Dengan demikian, pengembang instruksional dapat pula menentukan titik berangkat yang sesuai
bagi siswa. (Suparman, 2012: 182-183).
Menurut Suparman (2012: 182) teknik yang digunakan dalam mengidentifikasi kebutuhan
instruksional yaitu kuesioner, interviu dan observasi, serta tes. Teknik tersebut dapat pula
digunakan untuk mengidentifikasi perilaku awal siswa. Subjek yang memberikan informasi
diminta untuk mengidentifikasi seberapa jauh tingkat penguasaan siswa atau calon siswa dalam
setiap perilaku khusus melalui skala penilaian (rating scales).
Perilaku awal siswa dapat dukur melalui tes awal, interviu atau cara-cara lain yang cukup
sederhana seperti melontarkan pertanyaan-pertanyaan secara acak dengan distribusi perwakilan
siswa yang representatif. Selanjutnya Gardner mengemukakan bahwa identifikasi perilaku siswa
dilakukan dengan memberikan pree-testing yakni tes awal yang dilakukan sebelum dimulai
pembelajaran, yang dimaksudkan untuk menguji entry-behavior (kemampuan awal) peserta didik
berkenaan dengan tujuan pembelajaran tertentu yang harus dikuasai peserta didik. Identifikasi
perilaku dan karakteristik awal siswa juga dilakukan berkenaan dengan program pembelajaran
sebuah mata pelajaran atau sebuah lembaga pendidikan tertentu. (Gardner, 1991: 54).
Teknik yang dapat menghasilkan data yang lebih keras adalah tes penampilan siswa dan
observasi terhadap pelaksanaan pekerjaan siswa serta tes tertulis untuk mengetahui tingkat
pengetahuan siswa. Tetapi, bila tes seperti itu tidak tepat dilakukan karena dirasakan kurang etis,
kesulitan teknik pelaksanaan,
atau tidak mungkin dilakukan karena sebab yang lain, penggunaan skala penilaian
cukup memadai. Skala penilaian tersebut diisi oleh orang-orang yang tahu secara dekat
terhadap kemampuan siswa dan diisi oleh siswa sebagai self-report.
Berdasarkan masukan ini, dapat ditetapkan.Titik berangkat atau permulaaan perjalanan yang
harus diberikan pada siswa. Titik itu adalah perilaku khusus di atas garis batas yang telah dikuasi
siswa atau calon siswa. Apa beda kegiatan ini dengan proses mengidentifikasi kebutuhan
instruksional?Pertama, kebutuhan instruksional untuk mengidentifikasi benar tidaknya masalah
yang dihadapi harus diselesaikan dengan menyelenggarakan kegiatan instruksional. Sedangkan
51
mengidentifikasi perilaku awal tidak berhubungan dengan masalah tersebut. Kedua, kebutuhan
intruksional untuk mengidentifikasi perilaku umum yang akan dijadikan tujuan instruksional
umum. Sedangkan kegiatan mengidentifikasi perilaku awal untuk mengidentifikasi perilaku
khusus yang telah dikuasai siswa. Hasil akhir dari kegiatan mengidentifikasi perilaku awal ini
akan dijadikan pedoman untuk menetapkan
perilaku-perilaku khusus yang tidak perlu diajarkan lagi dan perilaku-perilaku khusus yang
masih harus diajarkan. Dengan demikian hasil kegiatan tersebut dapat pula digunakan untuk
menetapkan titik berangkat dalam mengajar. (Suparman, 2012: 182-183).
2. Karakteristik Awal Peserta Didik
52
sosialnya, sebab kedua hal tersebut sangat mempengaruhi proses belajar si pelajar. Informasi
yang dikumpulkan dibatasi kepada karakteristik siswa sehingga ada manfaatnya dalam proses
pengembangan instruksional.
53
belakang kehidupan,
pekerjaan orang tua, alat
pembelajaran yang dimiliki
di rumah, aktivitas di luar
sekolah, dan pertanyaan lain
yang dianggap urgen untuk
menggali karakteristik.
5. Analisislah hasil Tabel analisis
pengumpulan data untuk
menentukan perilaku awal
yang telah dikuasai populasi
sasaran.
6. Kelompokkan perilaku yang Koloma nalisis
mendapat nilai cukup dan di
atasnya. Pisahkan dari
perilaku yang
masih sedang, kurang atau
buruk.
7. Buatlah dua kolom dan Kolom analisis
Pisahkan perilaku yang
sudah dikuasi dengan yang
belum dikuasai.
8. Susunlah urutan perilaku Kolom analisis
yang ada di atas garis batas
untuk dijadikan pedoman
dalam menentukan urutan
materi pelajaran
9. Tafsirkanlah data tentang Lembar deskripsi
karakteristik siswa untuk
menggambarkan hal yang
berkaitan dengan latar
belakang kehidupannya,
pekerjaannya selepas atau di
54
luar sekolah, kehidupan
keluarganya, kesenangan
(hobi)
DAFTAR PUSTAKA
55
Armstrong (Ed), Anne-Marie, Instructional Design In the Real World; a View in the Trenches,
New York: Idea Group Inc, 2004.
Dick, Walter, et. al., The Systematic Design of Instruction, 6th Edition, Boston: Pearson, 2005.
H. Gardner, The Unschooled mind; How Children Think and School Should Teach, New York:
Basic Books, 1991.
H. Nashir, Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal, Jakarta: Delia Press, 2004. Sanjaya, Wina,
Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, cet. 5, Jakarta: Kencana Prenada Media,
2012.
Suparman, Atwi, Desain Instruksional Modern; Panduan Para Pengajar dan Inovator
Pendidikan, Jakarta: Erlangga, 2012.
Uno, Hamzah B., Desain Pembelajaran; Referensi Penting Untuk Guru, Dosen, Mahasiswa,
Tutor Kursus, dan Trainer Pelatihan, Bandung: MQS Publishing, 2010.
______, Perencanaan Pembelajaran, cet. 5, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
BAB VII
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
56
Pentingnya Perumusan Tujuan
Kegiatan pembelajaran yang dibangun oleh guru dan siswa adalah kegiatan yang
bertujuan. Sebagai kegiatan yang bertujuan, maka segala sesuatu yang dilakukan guru
dan siswa hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dengan
demikian setting pembelaaran, tujuan merupakan pemikat segala aktivitas guru dan
siswa. Oleh sebab itu, merumuskan tujuan merupakan langkah pertama yang harus
dilakukan dalam merancang sebuah program pembelajaran.
Ada beberapa alasan mengapa tujuan perlu dirumuskan dalam merancang suatu
program pembelajaran. Pertama, rumusan tujuan yang jelas dapat digunakan untuk
mengevaluasi efektivitas keberhasilan proses pembelajaran. Kedua, tujuan pembelajaran
dapat digunakan sebagai pedoman dan panduan kegiatan belajar siswa. Ketiga, tujuan
pembelajaran dapat membantu dalam mendesain sistem pembelajaran. Keempat, tujuan
pembelajaran dapat digunakan sebagai kontrol dalam menentukan batas-batas dan
kualitas pembelajaran.
57
kalimat jelas, pasti dan dapat diukur sejak awal tahun 1960. Yang dimaksud dengan
perumusan TIK dengan jelas adalah TIK yang diungkapkasn secara tertulis dan
diinformasikan kepada peserta didik sehingga peserta didik dan pengajar mempunyai
pengertian yang sama tentang dengan apa yang tercantum dalam TIK.
Perumusan TIK secara pasti, arti TIK tersebut mengandung satu pengertian, atau
tidak mungkin ditasirkan kedalam pengertian yang lain. Untuk itu, TIK dirumuskan
dalam bentuk kata kerja yang dapat dilihat oleh mata (Opservable).
Perumusan TIK yang dapat diukur berarti bahwa tingkat pencapaian peserta didik
dalam perilaku yang ada dalam TIK itu dapat di ukur dengan tes atau alat pengukur yang
lain.
Pentingnya menempatkan tujuan instruksional sebagai komponen awal dalam
menyusun desain instruksional merupakan pusat perhatian setiap pendesain instruksional.
Ian merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh proses desain instruksional selanjutnya.
Perumusan TIK merupakan titik permulaan yang sesungguhnya dari proses desain
instruksional sedangkan proses sebelumnya, merupakan tahap pendahuluan untuk
menghasilkan TIK.
Tujuan Instruksional Khusus merupakan satu-satu nya dasar dalam menyususun
kisi-kisi tes dan alat untuk menguji validitas isi tes. Dalam menentukan isi pelajaran yang
akan diajarkan, pendesain instruksional merumuskan berdasarkan kompetensi dasar yang
ada dalam TIK. Dengan kata lain pelajaran yang akan di ajarkan disesuaikan dengan apa
yang akan di capai.
Tujuan instruksional menjadi acuan seluruh proses desain instruksional karena di
dalamnya tercantum rumusan pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau kompetensi
yang akan dicapai peserta didikpada akhir proses instruksional.keberhasilan peserta didik
dalam mencapai tujuan tersebut merupakan ukuran keberhasilan system instruksional
yang di gunakan pengajar.
Tingkatan Tujuan
Tujuan pendidikan memiliki klasifikasi, dari mulai tujuan yang sangat umum
sampai tujuan khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur yang kemudian
58
dinamakan kompetensi. Tujuan Pendidikan dari yang bersifat umum sampai kepada
tujuan khusus itu dapat diklasifikasikan menjadi lima yaitu:
c. Tujuan Pendidikan Nasional (TPN)
Adalah suatu Tujuan Pendidikan yang pencapaiannya dalam jangka waktu
tertentu suatu Negara, terutama di Indonesia.
d. Tujuan Intitusional
Adalah suatu Tujuan yang pencapaiannya bersifat kelembagaan
e. Tujuan Kurikuler
Adalah suatu Tujuan yang ingin dicapai dari masing-masing setiap bidang
studi
f. Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Adalah suatu tujuan yang hendak dicapai setelah selesai satu mata
pelajaran.
g. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Adalah suatu tujuan yang bersifat operasional bertitik tolak dari
perubahan tingkah laku, dapat diamati dan terukur.
59
Kata kerja menunjukkan bagaimana peserta didik
mendemonstrasikan sesuatu, seperti menyebutkan,
menjelaskan,melompat dll
Objek
Objek menunjukkan apa yang akan di demonstrasikan itu, seperti:
cara menganalisis pupuk tertentu menjadi komponen-komponen
dasar nya.
Sampai sini telah diuraikan pengertian dan contoh komponen yang terdapat dalam
TIK. Singkatan ABCD diharapkan memudahkan kita untuk mengingat keempat unsur
tersebut. Dalam merumuskan suatu TIK, keempat komponen tersebut tidak selalu
tersusun sebagai ABCD, tetapi sering kali CABD. Rumusan CABD lebih mudah diikuti
bila ingin memperhatikan perumusan TIK dalam suatu kalimat, dibandingkan rumusan
lengkap yang tersusun ABCD karena dianggap terlalu sulit dan kurang praktis.
Disamping perumusan TIK dengan ormat ABCD, masih ada cara perumusan lain,
misalnya teknik perumusan yang mengandung unsur proses belajar. Namun, cara
perumusan lain tersebut tidak dibahas karena untuk menghindari kerumitan teknis
berlebihan.
60
Kontroversi Penggunaan Kata Operasional dalam Tujuan Instruksional
Kontroversi dalam penggunaan kata kerja operasional dalam perumusan tujuan
instruksional merupakan kontroversi ke dua setelah kontroversi tentang perlu tidaknya
digunakan rumusan tujuan. Penggunaan kata kerja operasional memberikan pengertian
bahwa tujuan itu harus spesifik, konkret dan terukur. Spesifik berarti khas, tidak
mengandung pengertian ganda atau membingungkan. Konkret berarti tidak abstrak dan
tidak dapat diamati (observable). Terukur berarti kompetensi itu dapat diukur dari
gejala-gejalanyasehingga dapat ditentukan alat ukurnya, cara melakukan pengukurannya,
dan cara menafsirkan hasilnya.
Sebagian pakar dan praktisi keberatan dengan penggunaan kata kerja operasional
tersebut karena tujuan instruksional menjadi sangat sempit, terbatas dan mengakibatkan
kegiatan instruksional menjadi kering, kaku, dan terbatas pula. Berbagai aliran psikologi,
khususnya aliran humanisme menempatkan cara perumusan tujuan yang seperti itu sangat
dipengaruhi aliran behaviorisme yang kurang manusiawi, sangat membatasi kreativitas
pengajar dan sangat mengarahkan peserta didik kepada hal-hal yang sangat sempit dan
terbatas.
Sebagian lagi menyambut hangat munculnya konsep baru tersebut karena era baru
telah muncul untuk mendapatkan kepastian tentang arah kegiatan instruksional sejak awal
perencanaan. Kepastian itu menyangkut pula kejelasan pengukuran keberhasilan kegiatan
instruksional, baik dipandang dari sisi peserta didik maupun pengukuran akuntabilitas
pengajar terhadap semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
61
Kalimat pasif Pemberian Kredit untuk
Perusahaan
Setiap topik dapat diuraikan menjadi sub topik. Uraian yang rinci akan
memudahkan pendesain instruksional dalam merancang strategi instruksional yang di
dalamnya tercakup isi pembelajaran.
Isi instruksional untuk setiap TIK bersama komponen lain seperti langkah-
langkah kegiatan instruksional, metode dan alat, dan media instruksional akan tergambar
dalam strategi instruksional. Dengan perkataan lain, daftar isi instruksional akan dibuat
oleh pendesain instruksional pada saat ia menyusun strategi instruksional.
e. Dengan merumuskan TIK, anda telah dapat mengidentifikasi isi elajaran serta menulis
atau memilih bahan pelajaran.
f. Isi pelajaran untuk setiap TIK akan tergambar dalam strategi instruksional dengan
perkataan lain rumusan isi pelajaran secara singkat akan dibuat oleh desainer strategi
instruksional.
DAFTAR PUSTAKA
Magdalena, Ina. 2018. Desain Pembelajaran SD. Tangerang: FKIP UMT Press.
62
Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
63
BAB VIII
64
Tes Acuan Norma
Tujuan tes ini untuk menetukan kedudukan seseorang diantara kelompoknya, tes yang
harus disusun adalah tes yang dapat membedakan antara peserta yang satu dan yang lain,
antara peserta yang lebih pandai dan peserta yang kurang pandai. Untuk menyusun tes
seperti itu, perlu dipilih butir tes yang mempunyai daya pembeda tertentu, yaitu butir tes
yang hanya dapat dijawab dengan benar oleh seluruh atau sebagian besar peserta didik
yang lebih pandai dan tidak ada atau hanya sebagian kecil oleh peserta didik yang kurang
pandai. Karena itu, apabula dalam uji coba ternyata seluruh peserta didik menjawab suatu
butir dengan benar, butir tes tersebut harus harus direvisi atau dibuang. Butir tes seperti itu
tidsak dapat membedakan peserta didik yang lebih pandai dengan kurang pandai.
Demikian pila suatu butir tes dikatakan tidak memiliki daya pembeda bila butir tes tersebut
dapat dijawab oleh sejumlah peserta didik dari golongan yang pandai dan golongan kurang
pandai dengan sama banyak, atau oleh peserta didik dari golongan pandai yang jumlahnya
lebih sedikit dari peserta dididk dari golongan kurang pandai.
Selain harus mempunyai daya pembeda, butir tes acuan norma harus memiliki tingkat
kesulitan. Bila sebagian besar, misalnya 90% atau seluruh peserta didik dapat menjawab
dengan benar dalam suatu butir tes, butir tes tersebut dianggap terlalu mudah. Keputusan
yang yang harus diambil penyusun tes acuan norma adalah mengubah atau membuang
butir tes tersebut. Denikian pula bila suatu butir tes ternyata tidak dapat dijawab dengan
benar oleh sebagian besar, misalnya 90% atau seluruh peserta didik. Keputusan yang harus
diambil penyusun tes acuan norma adalah sama dengan butir tes yang terlalu mudah, yaitu
merevisi atau membuangnya. Hanya butir tes yang dapat dijawab dengan benar oleh 20-
80% peserta didik yang disebut mempunyai tingkat kesulitan dapat diterima oleh penyusun
tes acuan norma.
Pengukuran daya pembeda dan tingkat kesulitan butir tes harus dilakukan dalam uji
coba harus sebelum digunakan di lapangan sesungguhnya. Peserta didik yang digunakan
dalam uji coba harus setara dengan peserta didik yang akan mengikuti tes sesungguhnya.
Hasil perhitungan daya pembeda dan tingkat kesulitan setiap butir acuan norma
digabungkan untuk diinterpretasikan lagi. Suatu butir tes yang dijawab dengan benar oleh
50% dari jumlah peserta didik yang mengikuti tes dianggap butir tes yang mempunyai
tingkat kesulitan sedang. Dari segi tingkat kesulitannya, butir tes seperti ini ideal. Tetapi,
65
bila diantara yang menjawab butir tes itu dengan benarr ternyata lebih banyak peserta didik
yang tergolong kurang pandai, dan lebih sedikit peserta didik yang tergolong pandai, butir
tes ini dianggap tidak mempunyai daya pembeda yang cukup. Butir tes seperti ini juga
harus direvisi atau dibuang. Butir tes yang dapat diterima oleh penyusun tes acuan norma
adalah butir tes yang mempunyai daya pembeda dan tingkat kesulitan memadai.
Jadi, menyusun tes acuan norma memerlukan kalibrasi tes yang lebih sulit daripada tes
acuan patokan, karena tidak semua butir tes acuan patokan dapat digunakan dalam tes
acuan norma. Walaupun suatu butir tes sangat relevan dengan TIK tertentu, bila ternyata
dalam uji coba tergolong terlalu mudah, terlalu sulit atau tergolong mempunyai daya
pembeda terlalu rendah, butir tes tersebut tidak dapat digunakan dalam tes acuan norma
[CITATION INA17 \l 1033 ].
66
Persamaan dan Perbedaan Tes Acuan Patokan dan Tes Acuan Norma
Berikut ini Gronuld (1990)mengemukakan persamaan dan perbedaan dari kedua jenis
tes yang telah didiskusikan secara singkat pada bagian sebelumnya.
Persamaan:
a. Keduanya mensyaratkan perumusan secara spesifik kompetensi atau perilaku yang akan
diukur.
b. Keduanya disusun berdasarkan sampel tujuan instruksional yang relevan dan
reprensnetatif.
c. Keduanya menggunakan jenis tes yang sama seperti tes subjektif, tes karangan, tes kinerja
atau keterampilan.
d. Keduanya menggunakan ketentuan yang sama dalam menulis butir tes, kecuali untuk
kesulitan tes. Ini berarti bahwa keduanya sama-sama membutuhkan kalibrasi daya
pembedaan dan analisis options.
e. Keduanya dinilai kualitasnya dari segi validitas dan reliabilitasnya.
Perbedaan:
1. Tes acuan norma bisanya mengukur sejumlah besar kompetensi atau perilaku dengan
sedikit butir tes untuk setiap perilaku.
Tes acuan patokan biasanya mengukur kompetensi atau perilaku dalam jumlah yang
terbatas dengan banyak butir tes untuk setiap perilaku.
2. Tes acuan norma menekankan perbedaan diantara peserta tes dari segi tingkat pencapaian
belajar secara relative.
Tes acuan patokan menekankan penjelasan tentang apa kompetensi atau perilaku yang
dapat dan yang tidak dapat dilakukan oleh setiap peserta tes.
3. Tes acuan norma lebih mementingkan butir-butir tes yang mempunyai tingkat kesulitan
sedan dan biasanya membuang tes yang terlalu dan yang terlalu sulit.
Tes acuan patokan mementingkan butiran-butiran tes yang relevan dengan perilaku yang
akan diukur tanpa perduli dengan tingkat kesulitannya.
4. Tes acuan norma digunakan terutama untuk tes survey atau seleksi. Tes acuan patokan
digunakan terutama untuk tes penguasaan.
67
5. Penafsiran hasil tes acuan norma membutuhkan pendefinisian kelompok secara jelas.
Penafsiran tes acuan patokan membutuhkan pendefinisian komoetensi atau perilaku yang
diukur secara jelas dan terbatas [CITATION INA17 \l 1033 ].
Selanjutnya ini dikenal dengan The Original Taxonomy.22 Taksonomi Bloom dapat
dipandang sebagai suatu cara untuk menyatakan secara kualitatif bermacam-macam pola pikir
yang berbeda. Taksonomi ini telah diadaptasi untuk digunakan di dalam kelas sebagai alat
perencanaan dan secara berkelanjutan merupakan salah satu model terapan yang paling
universal. Bloom menggolongkan tiga kategori perilaku belajar yang berkaitan dan saling
melengkapi yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah afektif kurang mendapat
perhatian pada saat itu namun dirumuskan Bloom [ CITATION Jen12 \l 1033 ]
68
Fungsi Dan Makna Penilaian Dalam Pendidikan
Evaluasi dalam bidang pendidikan dan pengarahan mempunyai beberapa fungsi sebagai
berikut :
a) Untuk mengetahui taraf kesiapan dari siswa untuk menempuh suatu pendidikan
tertentu. Artinya apakah seorang siswa sudah cukup siap untuk diberikan
pendidikam tertentu atau belum.
b) Untuk mengetahui seberapa jauh hasil yang telah di capai dalam proses
pendidikan yang telah dilaksanakan.
c) Untuk mengetahui suatu mata pelajaran yang di berikan kepada siswa dapat di
lanjutkan dengan bahan baru atau perlu mengulangi kembali bahan ajar yang telah
lampau [ CITATION Pra12 \l 1033 ]
69
Validitas, Reliabilitas, dan Kepraktisan Alat Penilaian Hasil Belajar
Apapun jenis alat penilaian hasil belajar yang akan dikembangkan harus memegang
teguh prinsip, yaitu pertama, alat penilaian itu berbasiskan TIU dan TIK. Disamping itu,
sedikitnya ada tiga persyaratan pokok yang harus dipenuhi alat penilaian yang baik, yaitu
validitas, reliabilitas, dan kepraktisan penggunaannya.
1. Validitas
Berbagai definisi tentang validitas dibawah ini dapat membantu memperjelas pengertian
tentang validitas. “Validity is an evaluation of the adequacy and appropriateness of the
interpretations and uses of assessment result (Linn and Miller, hal. 68)”. Mereka
menjelaskan bahwa validitas berkenaan dengan memadai dan pantas tidaknya dari
penginterpretasian dan penggunaan dari hasil penilaian. Pendapat lain dikemukakan oleh
Wiersma dan Jurs (1990) yang menyatakan bahwa “Validity is the term that refers to
whether the test measures what it was designed to measure”. Validitas adalah istilah yang
mengacu pada konsep apakah tes itu mengukur sesuatu yang telah direncanakan untuk
diukur.
Dalam tes dan pengukuran pendidikan, konsep validitas adalah suatu persyaratan mutlak
yang harus dipenuhi oleh satu tes yang baik. Suatu tes barulah ada “harganya” bila valid.
Bila satu tes terverifikasi valid barulah dibuktikan reliabilitasnya. Dalam konsep validitas
dikenal beberapa pengertian yaitu validitas isi, validitas kriteria, dan validitas kostruksi.
Validitas isi ditandai dengan dua hal pokok seperti berikut.
a. Alat penilaian itu harus merefleksikan taksonomi kawasan yang dimaksudkan oleh tujuan
instruksional. Pernyataan ini mengandung makna bahwa pada saat peserta didik menjawab
tes tersebut, terjadi proses internal dalam berfikir bergerak dan atau berprilaku kea rah
kompetensi yang dimaksudkan didalam tujuan instruksional.
b. Atas dasar pertimbangan para pakar tentang alat penilaian hasil belajar itu dinyatakan telah
sesuai dengan tujuan instruksional yang dimaksudkan utuk diukur. Para pakar biasanya
menggunakan instrument skala sikap.
Validitas kriteria menyatakan bahwa suatu tes disebut memiliki validitas kriteria bila nilai
yang diperoleh dari tes itu akurat dan berguna sebagai alat memprediksi kinerja atas dasar
pengukur kriteria lain. Mereka memandang bahwa validitas kriteria suatu tes harus ditandai
70
dengan akurasinya dan kegunaan nilai yang diperoleh dalam suatu tes untuk memprediksi
kinerja peserta tes dalam alat penilaian lain. Kompetensi yang diukur engan menggunakan
alat penilaian lain tersebut tentulah berkaitan erat dengan kompetensi yang diukur dengan
menggunakan alat penilaian yang pertama, misalnya kompetensi dalam bidang matematika
dengan kompetensi dalam bidang teknologi informasi. Skor yang diperoleh peserta tes dari
dua alat penilaian hasil belajar diolah koefisien korelasinya untuk menunjukkan validitas
kriteria tersebut.
Validitas konstruksi adalah “a trait, attribute, or quality something that cannot be observed
directly but is infrred from psychological theory”. (Wiersma dan Jurs 1990,hal. 279).
Apabila suatu alat penilaian disebut mempunyai validitas kostruksi bila dapat mengukur
sifat, atribut atau kualitas sesuatu yang tidak dapat diobservasi langsung tetapi disimpilkan
dari teori psikologi, misalnya bakat skolastik dan konsep diri.
Popham (1981, hal. 114) menunjukkan tiga cara yang dapat dipilih pendesain istruksional
untuk menguji validitas konstruksi dari suatu alat penilaian.
71
eror of measurement) yang baik. Semakin tinggi reliabilitas tes, maka akan semakin kecil
standar kesalahan pengukuran karena variasi nilai yang diperoleh dari beberapa kali
pelaksanaan uji coba tes sangat kecil. Dengan perkataan lain, dari beberapa kali
pelaksanaan uji coba tes tersebut nilainya tidak banyak berubah.
3. Kepraktisan penggunaannya
Persyaratan pokok ketiga untuk suatu alat penilaian yang berkualitas baik setelah validitas
dan reliabilitas adalah kepraktisan penggunaannya (usability). Persyaratan ini berkenaan
dengan tiga hal sebagai berikut.
a) Praktis dan ekonomis dipandang dari waktu dan biaya.
b) Mudah dilaksanakan dan dinilai.
c) Hasilnya dapat diinterpretasikan dan dimanfaatkan secara akurat oleh penyelenggara
tes
72
Jenis-jenis Tes
Ada tiga tes yang perlu dikenal dengan baik oleh seorang pendesain instruksional, yaitu
tes esai, tes objektif, tes kinerja. Ketiganya mempunyai ciri dan fungsi yang khas.
Tes esai terdiri dari pernyataan yang perlu dijawab peserta tes dengan cara menguraikan
jawabannya. Tes esai biasa digunakan untuk mengukur kompetensi peserta didik dalam
kawasan kognitif yang kompleks dan tidak dapat diukur dengan tes objekif. Jawaban
tersebut fapat berbentuk jawaban terbatas sehingga tesnya disebut restricted-response test
atau jawaban yang terbuka sehingga tesnya disebut extended-response test. Jawaban tes
esai dinilai tidak secara dikotomi benar-salah tetapi menggunakan rentang nilai, misalnya
1-10 atau 1-100.
Tes Objektif terdiri dari beberapa macam, yaitu jawaban benar tunggal (single right
answer), jawaban pendek (short answer), melengkapi (completion), menjodohkan
(matching), benar-salah (true-false), dan pilihan ganda (multiple choice). Tes objektif
dimaksudkan mengukur kompetensi kawasan kognitif dan yang paling sederhana hingga
yang paling kompleks dengan cara memilih salah satu opsi jawaban dari beberapa jawaban
yang tersedia. Untuk pengukuran kompetensi kawasan kognitif yang paling kompleks
diperlukan keahlian yang tinggi dalam menyusun tes objektif.
Tes kinerja adalah tes yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan tugas
peserta didik bila pendesain instruksional merencanakan menilai kompetensi peserta didik
seperti tercantum dalam tujuan instruksional yang mengandung kegiatan mwnggunakan
peralatan laboratorium, mengoperasikan mesin fotokopi, mengonstruksi model rumah
minimalis, melakukan latihan jasmani untuk physical fitness, atau perilaku kerjasama
dalam tim perlu dibuat alat penilaian kinerja yang tidak mungkin berbentuk tes esai dan tes
objektif [ CITATION MAt141 \l 1033 ].
73
NO KomponenYang Skala Bobot Jumlah nilai x
Dinilai Bobot
1 2 3 4
Berikut ini disampaikan contoh format checklist sebagai alat penilaian kinerja
74
2. Langkah kedua, membuat tabel spesifikasi yang biasa disebut kisi-kisi tes (test blue print)
untuk butir 1a dan 1b tersebut diatas. Kisi-kisi tes yang paling sederhana terdiri dari empat
kolom, yaitu: daftar kompetensi, bobot kompetensi, persentase jenis tes, dan jumlah butir
tes.
75
DAFTAR PUSTAKA
Ina Magdalena, M. (2017). Bahan Desian Pembelajaran SD. Tangerang: FKIP UMT PRESS.
Jendela. (2012, Agustus 1). Taksonomi. Retrieved from harischandrakusa:
http://harischandrakusa.blogspot.com/p/taksonomi.html
Pramana, K., suparmin, N., & Mega, N. (2012). Pemahaman terhadap konsep penilaian. In e.
pendidikan, Metode penilaian Hasil Belajar (p. 118). bali: CV.Media Educations.
Suparman, M. (2014). Desain Intruksional Modern. Jakarta: Erlangga.
susilana, R., & Riyana, C. (2009). Media pembelajaran. In
Hakikat,Pengembangan,Pemanfaatan,dan penilaian (p. 234). Bandung: CV wahana
prima.
76
BAB IX
Menyusun Strategi Pembelajaran
77
satuan atau pelajaran dalam suatu mata pelajaran, mata kuliah atau modul (Rothwell dan
H.C Kazanas, 2004).
Namun, mengapa strategi instruksional itu penting? Guru tidak akan mudah
menetukan materi atau topik pembelajaran yang akan dibahas bersama siswa apabila
tidak mengetahui tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Termasuk dalam menentukan
waktu yang diperlukan untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Juga penting untuk
menentukan metode dan media pembelajaran yang sesuai dengan kegiatan pembelajaran.
Semua unsur tersebut di atas hanya bisa dijalankan apabila seorang guru telah mahir
menjadi seorang desain dan arsitek dalam manghasilkan strategi pembelajaran yang tepat
guna.
Dick, Carey dan Carey (2009, 166) mengatakan bahwa “Instructional strategy is
used generallyto cover the various aspects of choosing a delivery system, sequencing and
grouping clusters of content, describing learning components that will be included in the
instruction, specifying how students will be grouped during instruction, establishing
lessons structures, and selecting media for delivering instruction”. Istilah strategi
instruksional meliputi berbagai aspek dalam meilih suatu system peluncuran,
mengurutkan dan mengelompokkan isi instruksional, menjelaskan komponen-komponen
belajar yang akan dimasukkan dalam kegiatan instruksional, menentukan cara
mengelompokkan peserta didik selama kegiatan instruksional, membuat struktur
pelajaran dan memilih media untuk meluncurkan kegiatan instruksional.
Menurut Dick, Carey dan Carey (2009,178-179) komponen belajar yang lengkap
dari strategi pembelajaran terdiri dari:
a. Pre-instuctional Activities (Tahap awal kegiatan pembelajaran)
1. Gain attention and motivate
2. Describe objectives
3. Describe and promote recall of prerequisite skills
b. Content Presentation (Penyajian isi)
1. Content
2. Learning guidance
c. Learner Participation (Partisipasi peserta didik)
1. Practice
78
2. Feedback
d. Test (Penilaian)
1. Entry skills test
2. Pre-test
3. Post-test
e. Follow-through Activities (Kegiatan tindak lanjut)
1. Memory aids for retention
2. Transfer considerations
Kelima tahap tersebut merupakan salah satu bagian dari strategi
pembelajaran.Setiap tahap terdiri dari langkah-langkah kegiatan.Tahap awal terdiri-dari
kegiatan menarik perhatian, menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan, dan
mengingatkan keterampilan prasyarat. Tahap presentasi isi terdiri dari menjelaskan isi
dan memberikan bimbingan belajar. Tahap partisipasi peserta didik terdiri dari latihan
dan umpan balik. Tahap penilaian terdiri dari tes keterampilan awal, tes awal, dan tes
akhir. Tahap terakhir adalah kegiatan tindak lanjut yang terdiri-dari memberikan bantuan
untuk mengingat kembali materi yang sudah dipelajari dan mempertimbangkan
kemungkinan penerapan isi dan kompetensi yang telah dicapai dalam kehidupan atau
bidang yang relevan.
Ahli lain, Gagne, Robert M., Wager, Walter W., Golas, Katharine C., Keller, Jhon
M.(2005: 226) menjelaskan strategi instruksional sebagai berikut. "Instructional
strategies are tools or techniques available to educators and instructional designers for
designing and facilitating learning". Strategi pembelajaran adalah alat atau teknik yang
tersedia untuk pendidik dalam merancang dan memfasilitasi belajar.
Strategi instruksional berkenaan dengan pendekatan dalam mengelola isi dan
proses instruksional secara komprehensif untuk mencapai satu atau sekelompok tujuan
instruksional. Di dalamnya terintegrasi berbagai komponen yang meliputi urutan kegiatan
pembelajaran, garis besar isi, metode, media & alat, dan waktu belajar (dalam menit).
(Suparman, 2012:241). Pakar lain, Rothwell dan Kazanas (2004:221) mendefinisikan
strataegi pembelajaran sebagai berikut: “An instructional strategy is perhaps best
understood as an overall plan governing instructional content (What will be taught?) and
process (How will it be taught?).”
79
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran merupakan
organisasi dan urutan kegiatan belajar. Kegiatan belajar merupakan upaya untuk
mengatur seperangkat peristiwa eksternal untuk menginterpretasi, mengkonstruksi, dan
manifestasi dari pengetahuan dan keterampilan bagi peserta didik. Peristiwa strategi
pembelajaran akan bervariasi tergantung pada konteks, sumber daya, dan kebutuhan
peserta didik.
Dalam proses pembelajaran, diperlukan mengisi ruang-ruang kegiatan yang telah
direncanakan dan dipikirkan sebelumnya. Dalam pembelajaran, ruang-ruang yang perlu
diisi dan dipikirkan oleh guru yaitu bagaimana guru menyusun strategi pada tahap-tahap
pendahuluan, pengembangan, kesimpulan dan penutup yang diperlukan baik dalam
aktivitas pembelajaran individual mapun kelompok (Reece & Walker, 2001:13). Dengan
kata lain, yang perlu disiapkan oleh guru dalam pembelajaran meliputi introduction,
body, concluding, and assesment (Smith dan Ragan, 2007).
Itu berarti guru yang profesional harus mampu menciptakan blue print dalam
merancang sebuah bangun pembelajaran yang mampu menampung kebutuhan peserta
didik. Untuk itu guru harus mampu menyusun rencna dan strategi pembelajaran sebagai
bagian bangunan pembelajaran yang kokoh bagi terselenggaranya kualitas pembelajaran
yang berkualitas.
Focus penelitian ini adalah masalah guru SD sebagai desainer instruksional dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Adapun masalah dalam penelitian ini
adalah (1) Mengapa para guru belum mampu merancang strategi instruksioanl secara
benar dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran bagi peserta didik? (2)
Bagaimana cara untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui peran para guru
sebagai desainer strategi instruksional yang handal?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) Menganalisis faktor penyebab
belum berperanannya guru sebagai desainer instruksional secara benar dalam
meningkatkan kualitas pelayanan pembelajaran bagi peserta didik disekolah.(2)
Menemukan cara yang tepat dan efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
melalui peran para guru sebagai desainer strategi instruksional yang handal.
80
Urutan dalam kegiatan pembelajaran terdiri atas komponen pendahuluan, penyajian, dan
penutup. Setiap sub-komponen tersebut terdiri atas beberapa langkah yaitu:
1. Sub-komponen Pendahuluan
Aktivitas pendahuluan adalah suatu bentuk aktivitas awal untuk memberikan
motivasi, menginformasikan pengetahuan dan keterampilan prasyarat yang harus diakui,
dan tujuan atau standar kompetensi yang akan diperoleh dalam pembelajaran. Motivasi
merujuk pada apa yang peserta didik inginkan, pilihan kegiatan yang dilakukan, dan
komitmen yang diambil dalam hubungannya dengan pembelajaran.
Fungsi sub-komponen pendahuluan ini akan tercermin dalam 3 langkah yang akan
dijelaskan dibawah ini.
a. Penjelasan singkat tentang isi pelajaran
1 2 3 4 5
TAHAP PENDAHULUAN
Deskripsi Singkat
Relevansi
TIK
Dengan selesainya ketiga kegiatan pendahuluan tersebut, peserta didik telah mempunyai
gambaran global tentang isi pelajaran yang akan dipelajarinya, kaitannya dengan pengalamannya
sehari-hari, bermotivasi tinggi untuk mempelajarinya, dan mungkin dapat mengorganisasikan
kegiatan belajarnya sebaik-baiknya. Dalam bentuk table, sub-komponen pendahuluan dapat
digambarkan sebagai berikut:
81
Yang dimaksud dengan deskripsi singkat ialah penjelasan secara global tentang isi
pembelajaran yang berhubungan dengan TIK. Sedangkan, relevansi adalah kaitan isi
pembelajaran yang sedang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta
didik dan manfaatnya bagi pelaksanaan pekerjaan yang dilakukannya sehari-hari. Konsep
relevansi ini sangat penting untuk diyakinkan agar peserta didik termotivasi untuk
mempelajarinya.
TIK itu berisi dengan pengetahuan, keterampilan, sikap atau kinerja yang diharapkan
sebagai peserta didik pada akhir kegiatan pembelajaran. Kejelasan tentang tujuan
pembelajaran ini sangat penting untuk menumbuhkan impian tentang kompetensi yang
kan dicapai oleh peserta didi
82
a. Uraian
Yaitu penjelasan tentang materi pembelajaran yang menyangkut teori, konsep, prinsip,
dan prosedur yang akan di pelajari peserta didik. Penjelasan berbentuk narasi namun di sertai
dengan jenis media, table, grafik dan sebagainya.
b. Contoh dan non contoh
Contoh adalah benda, kegiatan, atau deskripsi yang mempresentasikan secara
konkret dan praktis dari teori, konsep, prinsip, dan prosedur yang terdapat di dalam
1 2 3 4 5
TAHAP PENYAJIAN
Uraian
Latihan
Tes Formatif
Rangkuman
Glosarium
uraian. Sedangkan non contoh adalah benda, kegiatan atau deskripsi yang
mempresentasikan secara konkret dan praktis dari penyimpangan terhadap teori, konsep,
prinsip, dan prosedur yang sedang diuraikan.
83
c. Latihan
Yaitu kegiatan peserta didik dalam rangka menerapkan teori konsep, prinsip, atau
prosedur yanh sedang dipelajarinya ke dalam praktik dan pemecahan masalah dalam
pekerjaan atau kehidupannya sehari-hari.
d. Tes formatif
Yaitu satu set pertanyaan untuk di jawab atau seperangkat tugas untuk dilakukan
dalam rangka mengukur tingkat pencapaian dan kemajuan belajar peserta didik setelah
menyelesaikan suatu tahap kegiatan instruksional. Kemudian hasil tes formatif harus di
beritahukan dan diikuti dengan penjelasan tentang hasil kemajuan peserta didik.
e. Rangkuman
Yaitu uraian singkat tentang pembulatan teori, konsep, prinsip dan prosedur yang
telah selesai dilaksanakan pada tahap penyajian.
f. Glosarium
Yaitu daftar istilah teknis dan pengertian yang telah digunakan selama tahap
penyajian dan bermanfaat untuk menyegarkan kembali pengertian peserta didik tentang
teori, konsep, prinsip dan prosedur yang telah dibahas selama penyajian.
3. Subkomponen Penutup
Sub-komponen terakhir dalam urutan kegiatan instruksional. Terdiri dari dua
langkah, yaitu langkah umpan balik dan langkah tindak lanjut. Dalam bentuk table,
komponen penutup dapat diilustrasikan sebagai berikut:
1 2 3 4 5
TAHAP PENUTUP
Umpan balik
Tindak lanjut
a. Umpan Balik
84
Yaitu memberitahukan hasil tes formatif dinamakan umpan balik. Kegiatan ini
penting agar peserta didik mendapat kepastian tentang hasil belajarnya. Umpan balik
bukan saja memberikan kunci jawaban tes formatif namun lebih menekankan pada
pemberian penjelasan terhadap kesalahan jawaban peserta didik dan menunjukkan cara
memperbaikinya.
b. Tindak lanjut
85
mengikuti proses pembelajaran secara pasif. Dapat dikatakan metode ini yang paling
ekonomis untuk menyampaikan informasi dan paling efektif dalam mengatasi kelangkaan
literatur atau rujukan yang sesuai dengan jangkauan daya beli dan kemampuan mental
kognitif peserta didik.
86
Demonstrasi merupakan praktik yang diperagakan kepada peserta didik karena itu
demonstrasi dapat dibagi dua tujuan, yaitu: demonstrasi proses yang digunakan untuk
memahami langkah demi langkah dan demonstrasi hasil untuk memperlihatkan atau
memperagakan hasil dari suatu proses. Biasanya setelah demonstrasi dilanjutkan dengan
praktik oleh peserta sendiri. Sebagai hasil metode demonstrasi peserta didik akan
memperoleh pengalaman belajar langsung setelah melihat, melakukan dan merasakan
sendiri. Demonstrasi dapat digunakan untuk mendukung penghasilan strategi
pembelajaran ekspositori dan inquiry. (Sanjaya, 2006:152).
Kelebihan metode demonstrasi, yaitu :
a. Membantu peserta didik memahami dengan jelas jalannya suatu proses atau kerja
suatu benda.
b. Proses pembelajaran akan lebih menarik dan tidak membosankan sehingga akan
memudahkan peserta didik menerima materi pembelajaran.
c. Kesalahan-kesalahan yang terjadi dari hasil ceramah dapat diperbaiki melalui
pengamatan dan contoh konkret, dengan menghadirkan obyek yang sebenarnya.
d. Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri peserta
didik.
Kelemahan metode demonstrasi, yaitu :
a. Metode demonstrasi memerlukan persiapan yang lebih, guru diharapkan mampu
mendemonstrasikannya terlebih dahulu sebelum melaksanakannya dikelas.
b. Demonstrasi memerlukan peralatan, bahan-bahan dan tempat yang memadai
dengan demikian penggunaan metode ini lebih mahal.
c. Tidak semua benda dapat didemonstrasikan.
3. Metode Diskusi
Metode diskusi merupakan interaksi antara siswa dan siswa atau siswa dan guru
untuk menganalisis, memecahkan masalah, menggali atau memperdebatkan topik atau
permasalahan tertentu.
Tujuan utama metode ini adalah untuk memecahkan suatu masalah, menjawab
pertanyaan, menambah dan memahami pengetahuan peserta didik serta membuat
keputusan (Killen, 1998). Diskusi dapat dilaksanakan dalam dua bentuk. Pertama,
diskusi kelompok kecil (small group discussion) dengan kegiatan kelompok kecil.
87
Kedua, diskusi kelas, yang melibatkan semua peserta didik di dalam kelas, baik dipimpin
lamgsung oleh gurunya atau dilaksankan oleh seorang atau beberpa pemimpin diskusi
yang dipilih langsung oleh peserta didik.
Menurut Brigdes, dalam proses pelaksanaannya guru harus mengatur kondisi agar:
1. Setiap peserta didik dapa bicara mengeluarkan gagasan atau pendapatnya,
2. Setiap pesera didik harus saling mendengar pendapat orang lain.
3. Setiap peserta didik harus saling memberi respons.
4. Setiap peserta didik haus dapat mengumpulkan atau mencatat ide-ide yang dianggap
penting.
5. Melalui diskusi setiap pserta didik harus dapat mengembangkan pengetahuannya serta
memahami isu-isu yang dibicarakan dalam diskusi.
Kelebihan metode diskusi yaitu :
a. Memberi kesempatan peserta didik untuk berlatih dapat memecahkan suatu masalah
dengan berbagai jalan cara bersama-sama sehingga peserta didik dirangsang untuk
berpikir lebih kreatif dan inovatif.
b. Menyadarkan peserta didik bahwa dengan berdiskusi mereka saling mengemukakan
pendapat secara konstruktif sehingga dapat diperoleh keputusan yang lebih baik.
c. Membiasakan peserta didik untuk mendengarkan pendapat orang lain sekalipun
berbeda dengan pendapatnya dan membiasakan bersikap toleransi.
d. Melatih peserta didik berani mengemukakan pendapat atau gagasan secara verbal.
Kelemahannya metode diskusi :
a. Tidak dapat dipakai dalam kelompok yang besar karna semakin banyak peserta
kadang membuat arah diskusi menjadi meluas dan mengambang.
b. Sering kali pembicaraan dalam diskusi dikuasai oleh satu dua pesert didik yang
memiliki keterampilan berbicara lebih.
c. Sering terjadi perbedaan pendapat antar peserta diskusi yang bersifat emosional yang
tidak terkontrol yang akhirnya bisa mengganggu suasana proses pembelajaran.
4. Metode Simulasi
Metode simulasi adalah metode pembelajaran dengan menyajikan pengalaman
belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip atau
keterampilan tertentu (Sanjaya, 2006). Metode ini memindahkan suatu situasi yang nyata
88
ke dalam kegiatan atau ruang belajar karena adanya kesulitan untuk melakukan praktik di
dalam situasi yang sesungguhnya. Misalnya: sebelum melakukan praktik penerbangan,
seorang peserta didik penerbangan melakukan simulasi penerbangan simulasi terlebih
dahulu, siuasi yang dihadapi dalam simulasi ini harus dibuat seperti benar-benar
merupakan keadaan yang sebenarnya (replika kenyataan).
Beberapa metode pembelajaran yang termasuk dalam metode simulai antara lain :
a. Games (permainan)
Digunakan untuk menciptaan suasana belajar dari pasif ke aktif, dari kaku
menjadi gerak, dan dari jenuh ke riang. Metode permainan ini menciptakan suasana
belajar yang menyenangkan.
b. Role Playing (bermain peran)
Merupakan metode pembelajaran yang menghadirkan peran-peran yang ada
dalam dunia nyata kedalam suatu pertunjukan peran didalam kelas, yang kemudian
dijadikan sebagai bahan refleksi bagi semua peserta didik.
c. Sandiwara (drama)
Metode pembelajaran dengan cara memindahkan sepenggal cerita yang
menyerupai kisah nyata atau situasi sehari ke dalam pertunjukan. Metode ini
ditunjukan untuk mengembangkan diskusi dan analisis studi kasus.
Kelebihan metode simulasi :
a. Simulasi dapat memupuk keberanian dan percaya diri peserta didik dengan
bermain peran, sandiwara maupun bermain game.
b. Simulasi dapat dijadikan sebagai bekal bagi peserta didik dalam menghadapi
situasi yang sebenarnya kelak, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat
menghadapi dunia kerja.
c. Simulasi dapat meningkatkan gairah peserta didik dalam proses pembelajaran
karena peserta didik dihadapkan pada hal yang sebenarnya meskipun hanya tiruan
atau simulator.
d. Simulasi mempermudah peserta didik membayangkan bentuk, cara kerja dari
benda atau proses suatu pekerjaan sehingga apabila nanti menghadapinya dalam
kehidupan nyata membuat peserta didik tidak terlalu canggung.
Kekurangan metode simulasi :
89
a. Diperlukan persiapan yang matang agar proses simulasi bisa berjalan sesuai
dengan scenario yang telah direncanakan, pengelolaan yang tidak tepat
menyebabkan proses pembelajaran tidak bermakna.
b. Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat dan sesuai
kenyataan dilapangan.
5. Metode Studi Mandiri
Metode studi mandiri berbentuk pelaksanaan tugas membaca atau penelitian oleh
siswa tanpa bimbingan atau pengajaran khusus. Metode studi mandiri ini hanya dapat
digunakan manakala siswa mampu menentukan tujuannya dan dapat memperoleh
sumber-sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Penerepan metode ini:
a. Pada tahap terakhir proses belajar.
b. Dapat digunakan pada semua mata pelajaran.
c. Menunjang metode instruksional yang lain.
d. Meningkatkan kemampuan kerja peserta didik.
e. Mempersiapkan peserta didik untuk kenaikan tingkat atau jabatan.
Metode ini hanya dapat digunakan bila peserta didik mampu menentukan sendiri
tujuannya dan dapat memperoleh sumber-sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut.
6. Metode Pembelajaran Terprogram
Menggunakan bahan pengajaran yang disediakan secara khusus. Di dalamnya harus
dipecah menjadi langkah-langkah kecil, diurut dengan cermat, diarahkan untuk
mengurangi kesalahan, dan diikuti umpan balik dengan segera.
a. Peserta didik harus memiliki seluruh bahan, alat dan perlengkapan yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan pelajaran.
b. Peserta didik harus tahu bahwa bahan itu bukan tes.
c. Terdapat sumber yang membantu.
d. Secara periodic, peserta didik harus dicek kemampuannya untuk membuatnya benar-
benar belajar.
90
a. Semua tahap pelajar.
b. Pelajar formal, nonformal dan magang
c. Mengatasi kesulitan perbedaan individual.
d. Mempermudah peserta didik belajar.
Metode ini mempunyai keterbatasan yaitu biaya pengembangan tinggi, peserta didik
kurang mendapat interaksi social, dan metode kurang fleksibel.
7. Metode Latihan Bersama Teman
Memanfaatkan seorang peserta didik yang telah lulus dalam latihan tertentu untuk
bertindak sebagai pelatih bagi seorang peserta didik lain.
Perlu diperhatikan:
a. Dimana peserta didik melihat peserta didik lain yang telah mencapai tingkat lanjut
dalam melaksankan semua tugas dibawah supervisi pelatih.
b. Setalah mengenal tugas tersebut, peserta didik dilatih keterampilan menyelesaikan
tugas tersebut.
c. Setelah lulus tes, dia menjadi pelatih bagi peserta didik lainnya.
Kesulitan metode ini yaitu terbatasnya peserta didik yang dapat dilatih dan kegiatan
latihan harus dikontrol.
8. Metode Pemecahan Masalah (Brainstorming)
Dalam metode ini guru tidak boleh berorientasi terhadap hasil metode tersebut,
tetapi terhadap prosesnya, yaitu dengan mendorong peserta didik dalam memunculkan
pendapatnya tanpa rasa takut. Setiap pendapat peserta didik ditampung, tidak ada yang
ditolak. Tetapi metode ini dapat menimbulkan frustasi, karena mereka tidak menemukan
konsensus pada akhir proses tersebut.
9. Metode Studi Kasus
Membentuk penjelasan tentang masalah, kejadian, atau situasi tertentu.
Digunakan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan mendapatkan persepsi
baru dari suatu konsep dan masalah. Dimana metode ini untuk peserta didik yang
91
mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup. Kesulitan metode ini yaitu
mengembangkan kasus sangat mahal.
10. Metode Insiden
Merupakan variasi metode studi kasus. Peserta didik diberi data dasar yang tidak
lengkap tentang suatu peristiwa atau masalah. Ia harus mencari data tambahan yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas yang dibeikan kepadanya tentang peristiwa atau
masalah tersebut. Pengajar harus mempersiapkan bebagai lembaran data untuk diberikan
kepada peserta didik jika peserta didik mengajukan permintaan yang sesuai. Kelebihan
metode ini Peserta didik belajar dan menyelami masalah lebih dulu sebelum belajar
berpikir kritis untuk mencari permasalahannya.
11. Metode Praktikum
Pemberian tugas kepada peserta didik untuk menyelesaikan suatu proyek dengan
berpraktik dan menggunakan instrument tertentu,
12. Metode Proyek
Pemberian tugas kepada semua peserta didik untuk dikerjakan secara individual
atau kelompok. Siswa dituntut untuk mengamati, membaca, dan meneliti. Kemudian
siswa diminta membuat laporan dari tugas yang diberkan kepadanya dalam bentuk
makalah. Metode ini bertujuan membentuk ananlisis masing-masing siswa.
13. Metode Seminar
Berbentuk kegiatan belajar bagi sekelompok peserta didik untuk membahas topik
atau masalah tertentu. Setiap anggota seminar aktif berpartisipasi sedangkan pengajar
bertindak sebagai narasumber.
14. Metode Simposium
Suatu seri ceramah mengenai berbagai kelompok topik dalam bidang tertentu.
Materi-materi tersebut disampaikan oleh ahli dalam bidangnya, setelah itu peserta dapat
menyampaikan pertanyaan dan sebagainya pada pembicara.
15. Metode Tutorial
Berbentuk pemberian bahan yang telah dikembangkan untuk dipelajari peserta
didik sacara mandiri dan kesempatan berkonsultasi secara periodic tantang kemajuan dan
masalah yang dialaminya.
16. Metode Deduktif
92
Dengan pemberian penjelasan tentang prinsip-prinsip isi pelajaran, kemudian
disusul dengan penerapannya atau contohnya pada situasi tertentu.
17. Metode Induktif
Dengan pemberian berbagai kasus, fakta, contoh atau sebab yang mencerminkan
suatu konsep atau prinsip. Kemudian dibimbing untuk berusaha keras mensintesis,
menemukan, atau menyimpulkan prinsip dasar dari pelajaran tersebut.
Digunakan bila:
a. Peserta didik telah mengenal atau mempunyai pengalaman.
b. Pengajar mempunyai keterampilan.
c. Waaktu yang tersedia cukup Panjang.
18. Metode Konstruktivisme
Berbasis teori dan filsafat belajar yang menganut prinsip bahwa pengetahuan
peserta didik dikonstruksi berdasarkan aktivitas mentalnya pada saat proses intruksional.
Peserta didik mrngkonstruksi pengetahuan dan sekaligus memberikan arti pengetahuan
tersebut bagi kehidupannya. Metode ini membentuk proses belajar sebagai aktivitas
internal peserta didik dengan melibatkan diri dalam interaksi dengan dunia nyata.
19. Problem-Base Learning
Untuk membangun kompetensi peserta didik dalam memecahkan masalah yang
kompleks dalam dunia nyata melalui penggunaan penelitian, teori, dan prinip yang
relevan dengan masalah yang dihadapin.
20. Inquiry
Untuk pengembangan kekuatan berpikir secara rasional. Di dalamnya
mengandung kemampuan bertanya, menciptakan hipotesis dan menguji teori. Peserta
didik mengalami proses interaksi yang sangat intesif dengan sesame teman sejawat,
pengajar, pihak lain dalam rangka pengumpulan informasi, sumber daya dan lingkungan
belajar tentang studi yang menjadi fakus intruksional.
21. Discovery
Kegiatan intuksional yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mendapatkan sendiri atau suatu pengetahuan baru. Dengan melakukan kegiatan belajar
sendiri dan memberikan kemungkinan untuk melakukan tindakan “coba-coba”.
22. Metode Computer Assisted Learning (CAL)
93
Berbentuk suatu kegiatan belajar yang sangat berstruktur dengan menggunakan
computer. Peserta didik diminta memberikan jawaban atau pemecahan masalah melalui
computer dan jawaban itu diproses secara elektronik. Kemudian mendapat umpan balik
tentang jawabannya. Metode ini dapat digunakan pada setiap tingkat pengetahuan dari
yang sederhana sampai dengan yang kompleks.
Kelemahan metode ini yaitu pengembangan CAL membutuhkan biaya yang tinggi dan
pengadaan serta pemeliharaan alat mahal.
94
Definisi diatas menggambarkan bahwa media pembelajaran meliputi semua bahan
dan peralatan fisik yang digunakan instruktur untuk melaksanakan pembelajaran dan
memfasilitasi prestasi peserta didik. Media pembelajaran termasuk bahan-bahan
tradisional seperti papan tulis, handout, grafik, slide, overhead, benda nyata, dan rekaman
video atau film, serta bahan-bahan baru dan metode seperti komputer, DVD, CD-ROM,
internet, dan konferensi video interaktif.
Dalam pemilihan media pembelajaran harus sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Selain itu, dijabarkan pula macam-macam media pembelajaran yang sesuai dengan
tujuan, materi, dan metode pembelajaran. Tiare dalam Smaldino, Lowther, dan Russell
(2008, hal.101) memberikan petunjuk teknis dalam memilih media pembelajaran yang
sesuai, sebagai berikut:
Searah dengan standar, tujuan pembelajaran (umum dan khusus).
Kesesuaian umur dan kemampuan Bahasa.
Tingkat kemenarikan dan keterlibatan jika media itu digunakan.
Kualitas teknis yang merujuk pada keterjangkauan media yang dipilih.
Kemudahan penggunaan dan pengoperasiannya.
Bebas; termasuk gender, suku, ras, agama, dan letak geografis.
Dilengkapi dengan petunjuk penggunaannya.
95
Media cetak merupakan media yang sederhana dan mudah diperoleh
dimana dan kapan saja. Media ini juga dapat dibeli dengan biaya yang relative
murah dan dapat dijangkau pada took-toko terdekat.
2. Media Pameran (Display)
Media pameran mencakup benda nyata (realis) dan benda tiruan (replika
dan model). Realis adalah benda asli yang digunakan sebagai media untuk
menyampaikan informasi. Realis tidak dapat dimanipulasi dan tidak
mengalami perubahan sama sekali. Penggunaan realis dalam ruang kelas dapat
memberi motivasi dan menarik perhatian peserta didik, karena dapat melihat
bendanya secara langsung. Model adalah benda-benda pengganti yang
fungsinya utnuk menggantikan benda sebenarnya.
3. Media Audio
Media audio adalah jenis media yang digunakan dalam proses
pembelajaran dengan hanya melibatkan indra pendengaran peserta didik.
Media audio mencakup radio, alat perekam pita magnetic, piringan hitam dan
laboratorium Bahasa, audiotape, compact disk (CD), MP3, dan MP4.
4. Media Visual
Media visual mencakup gambar, table, grafik, poster, karton (media
nonprojector) dan kamera, OHP, slide, gambar digital (CD-ROM, foto CD,
DVD-ROM, dan disket computer), dan panel projeksi LCD yang dihubungkan
dengan computer ke layar (media visual projected).
5. Media Video
Media video adalah semua format media elektronik yang menggunakan
gambar bergerak untuk menyampaikan pesan. Video adalah gambar yang
bergerak yang direkam pada tape atau CD yang setiap bentuknya berbeda
ukurannya, bentuknya, kecepatannya, metode perekaman, dan mekanisme
kerjanya. Format video yang sangat umum digunakan adalah video tape,
DVD, Video disc, dan internet video.
6. Multimedia
Multimedia adalah penggabungan penggunaan teks, gambar, animasi,
foto, video, dan suara untuk menyajikan informasi. Multimedia merupakan
96
produk teknologi mutakhir yang bersifat digital. Media ini mampu
memberikan pengalaman belajar yang kaya dengan berbagai kreativitas.
7. Perangkat Komputer
Penggunaan computer telah membentuk jaringan yang mendunia.
Perangkat computer mencakup Youtube, audio streaming dapat termasuk
perangkat lunak yang dapat digunakan untuk belajar mandiri, dengan mudah
dapat diunduh dari berbagai alamat situs online dengan jaringan internet
ataupun intranet.
Berbagai keuntungan dalam penggunaan media bagi peserta didik adalah:
a. Lebih baik dalam mencapai hasil belajar.
b. Memenuhi kebutuhan peserta didik yang memiliki perbedaan gaya belajar dn minat.
c. Mengungkapkan realisme dengan sangat tinggi.
d. Meningkatkan motivasi dan keinteraktifan belajar.
e. Meningkatkan individualisasi belajar.
f. Mengendalikan proses belajar.
Serta, kewajiban bagi pengajar yaitu:
a. Mencari dan memilih media yang tersedia dilapangan atau dapat disediakan dengan
cara mengadakan media baru.
b. Menggunakan media yang sudah dipilih secara optimal.
c. Menggunakan lebih dari satu media
Komponen Utama Kelima : Waktu
Komponen terakhir dalam strategi instuksional adalah alokasi waktu, yaitu
penentuan jumlah waktu dalam menit yang dibutuhkan oleh pengajar dan peserta didik
untuk menyelesaikan setiap langkah pada urutan kegiatan instruksional. Jumlah waktu
yang dibutuhkan untuk mengajar, terbatas kepada waktu yang digunakan pengajar dalam
pertemuan dengan peserta didik. Ia harus dapat membagi waktu untuk setiap langkah
dalam pendahuluan, penyajian, dan penutup. Bagi pengelola program pendidikan,
perhitungan jumlah waktu ini dapat digunakan untuk mengatur jumlah pertemuan, jadwal
pertemuan dan menentukan durasi atau jangka waktu program secara keseluruhan.
B. Menyusun Strategi Pembelajaran
97
Penyusunan strategi pembelajaran harus didasarkan pada tujuan pembelajaran
yang dicapai. Disamping itu, penyusunan tersebut didasarkan pula atas pertimbangan
lain, yaitu hambatan yang mungkin dihadapi pengajar, seperti waktu, biaya, dan
fasilitas.
Khusus penentuan waktu bagi setiap kegiatan, pengembangan instruksional, di
samping menggunakan kegiatan sebagai suatu kriteria, ia menggunakan pula jenis
metode dan media sebagai kriteria lain. Berarti penentuan waktu setiap kegiatan
dilakukan atas pertimbangan langkah dalam urutan kegiatan seperti
D,R,T,U,C,L,T,U,T dan metode serta media yang digunakan yang digunakan.
Perubahan pada metode dan media tersebut memungkinkan untuk perubahan waktu
yang digunakan. Oleh karena itu, penyusunan strategi instruksional hrus dilakukan
dengan mengintegrasikan keempat komponen yang tergabung di dalamnya, yaitu,
komponen urutan kegiatan instruksional, metode, media, dan waktu.
Garis Waktu
Media &
Urutan Kegiatan Instruksional Besar Metode Belajar
Alat
Isi
1 2 3 4 5
TAHAP PENDAHULUAN
Deskripsi singkat isi
Relevansi & Manfaat
TIK
TAHAP PENYAJIAN
Uraian
Contoh & Non-contoh
Latihan
Tes formatif
Rangkuman
Glosarium
TAHAP PENUTUP
Umpan balik
Tindak lanjut
98
Jumlah waktu
99
DAFTAR PUSTAKA
Carey W. Dick, and Carey, L & Carey, J. O. (2009). The Systematic Design of Instruction.
New Jersey: Pearson.
Fathurrohman, Muhammad. (2016). Model-Model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Gagne, Robert M., Wager, Walter W., Golas, Katharine C., Keller, Jhon M. (2005).
Principles of Instructional Design. (5th ed). Belmont, CA: Wadsworth/Thomson
Learning.
Harjanto. (2006). Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Heryanto. (2016). Instructional Systems Development. Jurnal Saintech. 08 (4): 1-5.
Mudlofir, Ali dan Hj. Evi Fatimatur Rusydiyah. (2016). Desain Pembelajaran Inovatif.
Jakarta: Rajawali Pers.
Reece, Ian dan Stephen Walker (2001). Teaching, Training, and Learning: A Practical
Guide. Great Britain: Atheneum Press – Gateshead.
Rothwel, Wiliam J., and Kazanas, H.C. (2004). Mastering the Instruction Design Process: A
Systematic Approach. USA: Pfeiffer.
Suparman, Atwi M. (2012). Desain Instruksional Modern. Jakarta: Erlangga.
Yohanes Vianey Sayangan. (2018). Peran Pendidik Sebagai Desainer Strategi Instruksional
Dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Di SD. Jurnal Riset Pendidikan Dasar. 01
(2): 140-151.
Yamin, Martinis H. ( 2008). Paradigma Pendidikan Konstruktivisme. Jakarta: GP Press.
Yaumi, Muhammad. (2013). Prinsip-Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: Kharisma Putra
Utama.
100
BAB X
101
Pada dasarnya, bentuk kegiatan instruksional terdiri dari 3 macam sehingga melahirkan 3
bentuk bahan instruksional.
Pertama, pengajar sebagai pasilitator dan peserta didik belajar mandiri dengan
menggunakan bahan instruksional mandiri yang di desain yang secara khusus. Kedua, pengajar
sebagai penyaji bahan instruksional yang dipilihnya dengan menggunakan bahan instruksional
kompilasi. Ketiga, pengajar sebagai pasilitator atau penyaji bahan instruksional dengan
menggunakan kombinasi dua bentuk bahan instruksional, yaitu bahan instruksional mandiri dan
bahan kompilasi. Setiap bentuk instruksional tersebut membutuhkan bahan instruksional
berbeda.
Modul intruksional yang digunakan dalam pendekatan SPM mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Self-instructional
b. Self-explanatory
c. Self-paced learning
d. Self-contained
102
e. Individualized learning materials
f. Flexible and mobile learning materials
g. Communicative and interactive learning materials
h. Menggunakan multimedia, computer-based materials
i. Supported by tutorials, and study groups
Prawiradilaga, Dewi Salma (2007, hal. 22) menyatakan bahwa “Desain instruksional
menerapkan berbagai macam teori seperti belajar, instruksional, komunikasi, psikologi,
informasi dan sebagainya. Namun yang paling menonjol dan mendasar adalah teori komunikasi,
belajar dan instruksional”.
Selain digunakan dalam sistem belajar jarak jauh, bahan instruksional mandiri dapat pula
digunakan dalam kelas biasa. Dalam hal seperti itu, peran pengajar beralih ke fasilitator. Fungsi
fasilitator adalah untuk mengontrol kemajuan belajar dan membantu peserta didik dalam
memecahkan masalah intruksional yang dihadapi. Peran seperti itu haruslah dilakukan secara
konsisten dari waktu ke waktu dan bersifat individual. Dengan peran fasilitator, penggunaan
bahan instruksional mandiri di dalam kelas biasa akan lebih efektif.
a. Biaya instruksionalnya efisien karena dapat diikuti oleh sejumlah besar peserta
didik,
b. Peserta didik dapat maju menurut kecepatan masing-masing,
c. Bahan instruksional dapat di review dan direvisi setiap saat dan bertahap, bagian
demi bagian untuk meningkatkanefektivitasnya.
d. Peserta didik mendapat umpan balik secara teratur dalam proses belajarnya,
karena proses umpan balik itu dapat diintegrasikan kedalam bahan instruksional,
e. Bila bahan instruksional mandiri dikembangkan oleh pengajar internal, maka
proses pengembangannya sekaligus menjadi bagian penting dalam peningkatan
kualitas belajar.
103
Tetapi, bentuk bahan instruksional mandiri ini mempunyai kekurangan sebagai berikut:
a. Didesak kebutuhan menampung sejumlah besar peserta didik dalam satu periode
tertentu yang tidak mungkin diatasi dengan bentuk pengajaran tatap muka atau
konvensional.
b. Kekurangan sejumlah besar tenanga pengaja yang berkualitas tinggi untuk
befungsi sebagai pengajar tatap muka.
c. Tersedia sejumlah tenaga pendesain instruksional yang mampu mengelola
pengembangan bahan instruksional dalam skala besar dan banyak. Pengelolaan
pengembangan bahan instruksional itu memerlukan keterampilan managerial
khusus.
104
d. Kemampuan dan karakteristik peserta didik sangat heterogen sehingga tidak
mungkin diberi pelajaran secara klasikal.
2. Sistem Instruksional Tatap Muka
Dalam sistem isntruksional tatap muka (SPTM), pengajar bertindak sebagai sumber
belajar utama dan penyaji bahan instruksional yang di kompilasi, sedangkan peserta didik
belajar dari pengajar dan bahan kompilasi tersebut.
a. Bahan belajar yang kebetulan ada di lapangan belum tentu sesuai benar dengan tujuan
instruksional;
b. Karena bahan tersebut diambil dari berbagai sumber maka konsistensi antara
bagian yang satu dengan yang lain dalam pencapaian tujuan instruksional tidak
setinggi modul instruksional. Namun, pengajar yang menggunakannya dapat
105
menutup kekurangan terssebut melalui presentasinya sepanjang proses
insturksional;
c. Karena bahan kompilasi tidak di desain secermat modul, maka pengguanannya
belum tentu mudah bagi peserta didik. Kesulitan ini dapat dikurangi bila bahan
kompilasi tersebut di desain sendiri oleh pengajar dan bahan presentasi pengajar
yang berupa power pint atau bahan lain dapat mempererat keterkaitan bahan yang
satu dengan yang lain.
Bahan instruksional mandiri yang biasa di sebut modul instruksional terdiri atas 2
macam bahan, yaitu bahan belajar (learning materials) yang akan digunakan peserta didik
dan bahan pedoman bagi tutor.
Bahan pedoman bagi tutor disusun sesuai dengan tugas pokok dan fungsi tutor yaitu
memfasilitasi peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Didalamnya terdapat petunjuk
dalam inisiasi dan memelihara interaksi, cara memonitor kemajuan belajar dan cara
menilai hasil belajar peserta didik.
106
Untuk menciptakan bahan instruksional mandiri, team pendesain instruksional
dengan strategi instruksional di tangannya melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Memilih dan mengumpulkan berbagai bahan instruksional yang kebetulan tersedia di
lapangan dan relevan dengan strategi instruksional.
b. Mengubah bentuk bahan tersebut ke dalam bentuk bahan instruksional mandiri
menjadi bahan cetak atau kombinasinya dengan non cetak dengan mengikuti strategi
instruksional yang telah di susun sebelumnya.
c. Meneliti kembali konsistensi isi bahan hasil ciptaannya dengan strategi instruksional.
d. Meneliti kualitas teknis dari bahan tersebut, yang meliputi tiga hal sebagai berikut:
1. Bahasa yang sederhana dan relevan
2. Bahasa yang komunikatif
3. Desain fisik
107
3. Pengembangan Bahan Instruksional Kombinasi
108
c. Petunjuk yang rinci tentang cara dan waktu yang tepat dalam menggunakan setiap set
bahan instruksional, baik yang berbentuk media cetak maupun non cetak.
2. Pedoman Pengajar (Teacher Manual) dan atau Pedoman Tutor (Tutor Manual)
Petunjuk kegiatan yang harus dilakukan pengajar dan atau tutor antara lain sebagai
berikut:
a. Petunjuk cara berperan sebagai narasumber yang berkaitan dengan materi istruksional
b. Petunjuk memberikan motivasi
c. Petunjuk cara membimbing atau memberikan konsultasi kepada peserta didik dalam
memecahkan masalah instruksional yang lebih bersifat non akademik yang
dihadapinya seperti maslah social dan administrasi.
d. Petunjuk menggunakan bahan instruksional, baik yang berbentuk media cetak maupu
non cetak.
e. Petunjuk memberikan bimbingan kepada peserta didik dala menyelesaikan setiap
latihan.
f. Naskah dan cara menyelenggarakan tes awal, tes selama proses instruksional, dan tes
akhir.
Bahan instrukional harus sesuai untuk setiap pendekatan dan harus pula memenuhi
persyaratan utama sebagai berikut:
109
10. Tesnya valid dan reliable
DAFTAR PUSTAKA
Suparman, Atwi. 2014. Desain Instuksional Modern: Panudan Para Pengajar dan Inovator
Pendidikan. Jakarta: Erlangga
Magdalena, Ina dan Sunaryo. 2017. Desain Pembelajaran SD. Tangerang: FKIP UMT PRESS
Arsyad, Azhar dan Asfah Rahman (Ed). 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers
Aqib, Zainal. 2013. Model-model, Media dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif).
Bandung: Yrama Widya
Yamin, Martinis. 2010. Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:
Gaung Persada Press Jakarta
110
BAB XI
Sebagaimana kita ketahui bahwa sasaran akhir dari suatu progam pembelajaran
adalah tercapainya tujuan umum pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, setiap perancang
harus mempertimbangkan secara mendalam tentang rumusan tujuan umum pengajaran
yang akan ditentukannya. Mempertimbangkan secara mendalam untuk merumuskan
tujuan umum pembelajaran harus mempertimbangkan karakteristik bidang studi,
karakteristik siswa, dan kondisi lapangan.
Tujuan pembelajaran sangat penting dalam proses kegiatan belajar mengajar, sebab
tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara spesifik dan jelas, akan memberikan
keuntungan kepada:
a. Siswa. Tujuan umum pembelajaran yang jelas dapat membantu siswa untuk mengatur
waktu dan memusatkan perhatian pada tujuan yang ingin di capai.
b. Guru. Tujuan umum pembelajaran dapat membantu guru untuk mengatur kegiatan
belajar mengajar , metode, dan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.
111
c. Evaluator. Tujuan umum pembelajaran dapat membantu evaluator untuk dapat
menyusun tes sesuai dengan apa yang harus dicapai oleh anak didik. Rumusan tujuan
umum pembelajaran menurut dick and carrey (1985) harus jelas, dapat di ukur, dan
berbentuk tingkah laku.
112
Perilaku awal adalah perilaku yang harus telah diperoleh oleh siswa sebelum dia
memperoleh perilaku terminal tertentu yang baru. Perilaku awal menentukan status
pengetahuan dan keterampilan siswa sekarang untuk menuju status yang di inginkan
guru agar tercapai oleh siswa. Misalnya: apabila belajar adalah macam-macam
proses yang memungkinkan individu memperoleh informasi baru.
Dengan kemampuan ini seorang pelajar lebih baik dalam suatu keadaan,
sedangkan yang lain akan belajar lebih baik dalam keadaan lain, misalnya dengan
bantuan alat tertentu. Gaya belajar (learning style) adalah cara-cara personal di mana
individu-individu memperoses informasi dalam mempelajari konsep-konsep dan
prinsip-prinsip baru.
113
keadaan sosial ekonomi siswa itu sendiri mempengaruhi diri dan kepercayaan
untuk belajar lebih maksimal. (Syamsul dan Yanawati. 2018: 47-49)
Tes acuan patokan terdiri atas soal-soal yang secara langsung mengukur istilah
patokan yang di deskripsikan dalam suatu perangkap tujuan khusus. Istilah patokan
digunakan karena soal-soal tes merupakan rambu-rambu untuk menentukan kelayakan
penampilan siswa dalam tujuan, maksudnya keberhasilan siswa dalam tes ini menentukan
apakah siswa telah mencapai tujuan atau belum.
Ada empat tes acuan patokan yang dapat dipakai, yaitu:
a. Tes antri behavior merupakan tes acuan patokan untuk mengukur keterampilan
sebagaimana adanya pada permulaan pembelajaran.
b. Pretes merupakan tes acuan patokan yang berguna bagi keperluan tujuan –tujuan yang
telah dirancang sehingga guru dapat mengetahui sejauh mana pengetahuan anak didik
terhadap semua keterampilan.
c. Tes sisipan merupakan tes acuan patokan yang melayani dua fungsi penting, yaitu
pertama untuk mengetes setelah satu atau dua tujuan pembelajaran di ajarkan sebelum
tes dilaksanakan dan kedua untuk mengetes kemajuan anak didik setelah dilakukan
114
pembelajaran. Dengan demikian dapat dilakukan remedial yang dibutuhkan sebelum
pascates yang lebih formal.
d. Pasca test atau post test merupakan tes acuan patokan yang mencakup seluruh tujuan
pembelajaran yang mencerminkan tingkat perolehan belajar sehingga dengan
demikian dapat diidentufikasi bagian-bagian mana di antara tujuan pembelajaran yang
belum tercapai.
Dick dan Cary (1985) menyatakan bahwa dalam suatu strategi pembelajaran terdiri
dari komponen-komponen umum dari sejumlah bahan pembelajaran dan prosedur-
prosedur yang akan digunakan bersama bahan-bahan tersebut untuk menghasilkan hasil
belajar tertentu pada siswa.
115
g. Memberi umpan balik (feed back).
h. Menilai penampilan.
i. Menyimpulkan.
Dick dan Carrey menyarankan ada tiga pola yang dapat diikuti oleh pengajar untuk
merancang atau menyampaikan pembelajaran sebagai berikut:
a. Pengajar merancang bahan pembelajaran individual. Semua tahap pembelajaran
dimasukkam kedalam bahan, kecuali pretes dan pasca test.
b. Pengajar memilih dan mengubah bahan yang ada agar sesuai dengan strategi
pembelajaran. Peran pengajar akan bertambah dalam penyampaikan pembelajaran.
Beberapa bahan mungkin disampaikan tanpa bantuan pengajar, jika tidak ada maka
pengajar harus memberi penjelasan.
c. Pengajar tidak memakai bahan, tetapi menyampaikan semua pembelajaran menurut
strategi pembelajaran yang telah disusunnya. Pengajar menggunakan strategi
pembelajarannya sebagai pedoman, termasuk latihan dan kegiatan kelompok.
Kelebihan dari strategi ini adalah pengajar dapat dengan segera memperbaiki dan
memperbaharui pembelajaran jika terjadi perubahab isi. Adapun kelemahannya adalah
sebagian besar waktu tersita untuk menyampaikan informasi sehingga sedikit sekali
waktu untuk membantu anak didik.
Pada tahun 1982, Heinich, Molenda, dan Russel’s intrucsional material’s dalam
pembelajaran, salah satunya adalah pemilihan media. Langkah-langkah tersebut
meliputi:
Analisis siswa (analized leaners).
Penentuan objektif (state objective).
Pemilihan media (select media).
116
Partisipasi siswa.
Evaluasi (evalution).
Revise (revisi).
Proses seleksi media dipresentasikan dengan model desain intruksional. Dan waktu
guru mengadakan pemilihan media ini berarti bahwa dia sedang melaksanakan fungsi
desain intruksional pemilihan media sangat berhubungan dengan pemanfaatan.
Pemilihan media ini termasuk salah satu desain intruksional.
Waktu pemilihan media selalu berdasarkan isi atau karakteristik media yang
menggunakan proses desain yang lebih sederhana. Ini lebih dekat dengan tugas
utilisasi atau pemanfaatan media secara tepat.
Menilai hasil belajar merupakan unsur terakhir penting dalam proses pembelajaran.
Setelah menguji siswa, anda perlu mengenali sasaran pengajaran yang akan dicapai.
Kemudian anda memilih tata cara pengajaran untuk mencapai sasaran tersebut. Akhirnya anda
harus mengembangkan alat uji dan bahan untuk mengukur seberapa jauh siswa telah
menguasai pengetahuan yang dipelajarinya, dapat memperagakan keterampilannya, dan
menunjukan perubahan dalam sikapnya sebagaimana yang dituntut sasaran.
g. Menurut Stufflebeam (2007, hal 326) mengemukakan bahwa “evaluation is a systematic
investigation of some object’s value”. Evaluasi adalah investigasi yang sistematik tentang
nilai suatu objek.
h. Menurut Scriven dalam stufflebeam dan shinkfield 2007, hal. 369. “Evaluation is the
process of determining the merit, worth and value of things and evaluations are the
products of the process”. Evaluasi adalah produk dari suatu proses untuk menentukan
manfaat, harga, dan nilai dari suatu.
117
i. Worthen dan Sanders (1979 : 1)
Evaluasi adalah mencari sesuatu yang berharga (worth). Sesuatu yang berharga tersebut
dapat berupa informasi tentang suatu program, produksi serta alternatif prosedur tertentu.
Karenanya evaluasi bukan merupakan hal baru dalam kehidupan manusia sebab hal
tersebut senantiasa mengiringi kehidupan seseorang.
Dalam proses pengembangan, jenis evaluasi yang digunakan adalah evaluasi formatif.
Penggunaan evaluasi formatif ini dimaksudkan untuk mendapatkan umpan balik dari para
pakar, peserta didik, pengajar, dan sumber lain yang relevan tentang apa dan bagaimana
merevisi produk instruksional sebelum digunakan dalam kegiatan instruksional
sesungguhnya.
h. Pengayaan/pengaturan
Materi yang diajarkan
118
perilaku fisik/performance
- Disiplin
- Keingintahuan
- Kreativitas dan
keinovatifan peserta didik
- Kemampuan
mengembangkan materi/
sumber
- Kemampuan Problem
Solving & Sollutin
- Kemampuan kreavitas
1. Pemanasan dan apersepsi yang dapat dilakukan dengan siswa, pembelajaran dengan hal-
hal yang diketahui siswa, memotivasi dengan bahan ajar yang menarik dan berguna bagi
119
kehidupan siswa, serta menggerakkan siswa agar tertarik dan bersemangat untuk
mengetahui hal-hal baru
2. Eksplorasi yang dapat ditempuh dengan memperkenalkan kompetensi yang harus
dikuasai siswa, mengaitkan kompetensi yang baru dengan kompetensi yang telah
dikuasai siswa sebelumnya, serta menggunakan variasi metode yang tepat;
3. Konsolidasi pembelajaran yang dapat dilakukan dengan melibatkan peserta siswa secara
aktif dalam menafsirkan dan memahami materi atau kompetensi baru serta memecahkan
masalah (problem solving), membuat penekanan pada kaitanstruktural (kaitan dengan
berbagai aspek kehidupan nyata), serta memilih metode yang tepat;
4. Pembentukan sikap, kompetensi, dan karakter yang dapat dicapai dengan memotivasi
siswa untuk menerapkan atau mempraktikkan langsung konsep, pengertian, kompetensi,
dan karakter yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari;
5. Penilaian formatif yang dilakukan melalui pengembangan sistem penilaian yang sesuai
serta menggunakannya sebagai alat evaluasi untuk menganalisis kelemahan sebagai
upaya menemukan solusi atau tindak lanjut. (Julianti dan Mawardi, Jurnal ,3, Oktober
2018: 207)
121
f. Membagikan kuesioner yang telah disusun sebelumnya untuk mendapatkan penilaian
peserta didik tentang kualitas bahan instruksional.
g. Menyelenggarakan wawancara dengan beberapa peserta didik untuk mendapatkan
penilaian dan komentar lebih dalam tentang kualitas bahan instruksional.
h. Mencatat komentar peserta didik terhadap proses intruksional dan bahan instruksional,
termasuk komentar terhadap tes yang digunakan.
i. Menggunakan hasil evaluasi kelompok kecil untuk merevisi produk instruksional.
122
tetapi kesimpulan hasilnya digunakan untuk menetapkan bahwa produk tersebut tidak jadi
digunakan karena banyak kelemahannya, kesimpulan yang seperti itu tidak tepat.
123
e. Biaya.
a. Revisi terhadap isi atau substansi bahan pembelajaran agar lebih cermat sebagai alat
belajar.
b. Revisi terhadap cara-cara yang dipakai dalam menggunakan bahan pembelajaran.
(Hadi dan Trianto, 2017: 389-393)
Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif perlu dilakukan karena melalui evaluasi
sumatif dapat ditetapkan atau diberikan nilai apakah suatu desain pembelajaran, dimana dasar
keputusan penilaian didasarkan pada keefektifan dan efisiensi dalam kegiatan belajar
mengajar, oleh karena itu evaluasi sumatif diarahkan pada keberhasilan pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan, dan di perlihatkan oleh unjuk kerja siswa. Apabila semua tujuan sudah
124
dapat di capai, efektifitas pelaksanaan kegiatan pembelajaran dalam mata pelajaran tertentu
dianggap berhasil dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsul dan Yanawati. 2018. Pengantar Desain Pembelajaran. Jambi: Pustaka Ma’arif
Press.
Julianti, Ira Ainur Rohmah dan Mawardi. 2018. Penerapan Desain Pembelajaran. Jurnal
Publikasi Pendidikan.
Magdalena, Ina dan Sunaryo. 2017. Desain Pembelajaran SD. Tangerang: FKIP UMT PRESS.
Suseno, Hadi dan Trianto Ibnu Badar at-Taubany. 2017. Desain Pengembangan Kurikulum
125
BIODATA KETUA TIM PENULIS
Memulai kariernya sebagai tenaga Pengajar di SDI Al Azhar Rawamangun tahun 2010-
2011, Dosen di Universitas Terbuka (UT) tahun 2011-2012, menjadi asisten dosen di Universitas
Negeri Jakarta tahun 2012-2014, Menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Tangerang sejak
tahun 2012-sekarang dan mengampu mata kuliah Desain Pembelajaran SD yang Merupakan
Kurikulum berbasis KKNI pada tahun 2015-sekarang.
126