Anda di halaman 1dari 23

'Membaca dan Menulis' Mbah Moen

(Sebuah Refleksi)

Oleh :

Zuhrul Anam Hisyam


‘Membaca dan Menulis’ Mbah Moen
(Sebuah Refleksi)
Oleh
Zuhrul Anam Hisyam

Syaikhina Mamoen Zubair, atau belakangan akrab disapa Mbah Moen,


bukan Kyai biasa. Di kalangan Kyai, sekarang Mbah Moen adalah kyai
Khôs, langka, yang diburu berkah dan petuahnya untuk menjadi rujukan
kancah nasional, bahkan dunia. Di kalangan akademisi, Mbah Moen
menjadi rujukan riset penting dalam dunia keilmuan. Beliau adalah
multidisipliner (mutafannin). Sementara dalam lingkup nasionalis,
beliau merupakan sosok negarawan sejati yang menjiwai dan
menjumpai setiap detik detik bersejarah peristiwa penting di Indonesia.
Bagaimana tidak, umur beliau terbilang sangat 'sepuh' dibanding
masyarakat Indonesia pada umumnya. Beliau meninggalkan kita semua
pada umur 91 tahun. Oleh karena kompleksitas yang ada dalam sosok
Mbah Moen, menulis tentang beliau butuh kejelian. Penulisan tersebut
bisa jadi menjadi mudah, tapi di saat yang sama bisa menjadi perkara
yang sulit.
Saya merasa sangat beruntung karena bisa menjadi murid, salik, dan
bagian dari keluarga besar beliau bersamaan. Saya berusaha sekuat
tenaga, bahwa rasa cinta dan penghormatan mendalam terhadap beliau
yang menumbuhkan emosional berlebihan, tidak menghilangkan sisi
objektivitas tulisan ini. Tentulah, yang saya tuliskan hanya berdasar
kacamata dan perspektif yang sangat subjektif. Sebuah perspektif
tentang Mbah Moen yang boleh jadi berbeda dengan murid murid,
keluarga, maupun pecinta beliau yang lain. Masing masing kita bisa

1
untuk mengungkapkan pendapat maupun pengalaman pribadi dengan
Mbah Moen dengan model dan tata bahasanya masing masing.

Perjumpaan Dan Awal Kekaguman


Jumat, 26 Juli, 2019, saya benar benar tidak tahu, itu merupakan
perjumpaan terakhir dengan guru saya, KH. Maiomen Zubair. Yakni
ketika saya dan istri mengantar beliau ke Semarang untuk berangkat ke
Tanah Suci. Tidak ada firasat apapun, semuanya berjalan biasa saja.
Sampai pada hari Selasa, 6 Agustus, jam 8 pagi, saya dikabari bahwa
Mbah Moen telah meninggalkan kita semua. Ada sesuatu yang hilang.
Sebagai murid, salik dan keluarga, saya kehilangan sandaran primer
dalam kehidupan saya pribadi. Pikiran saya lantas menguak memori
demi memori yang telah saya lalui dan saya simpan mengenai Mbah
Moen.
Kala itu, saya yang masih duduk di Marhalah Ibtida'iyyah, sudah
mendengar nama Gus Maimoen dari paman saya, KH. Zabidi Zuhdi.
Paman saya kebetulan menimba ilmu di Pesantren Syekh Maduqi, di
Lasem, sebuah kecamatan di Kabupaten yang sama dengan Sarang,
Rembang. Sarang - Lasem tidaklah terlalu jauh, sehingga informasi
ketokohan dan kealiman seseorang bisa tersebar seiring laju angin ke
seantero Rembang. Meskipun sayup sayup, nama Gus Maimoen sudah
mempunyai kesan mendalam dalam diri saya semenjak dini: seorang
putra Kyai besar yang dianugrahi kecerdasan di atas rata rata, dan
ditempa oleh orang tuanya dengan didikan disiplin dan serius.
Nama 'Gus Maimoen' masih tersimpan di memori sampai akhirnya saya
dipertemukan oleh takdir dengan beliau. Tepatnya di Bulan Ramadhan,
1982, saat saya di Pesantren Kyai Mishbah Musthofa. Saya ingat betul,
beliau kala itu sedang mengajar al-Iqnâ' bab Qôthi' al-Thorîq di
Mushola tempat biasanya beliau mengajar. Saya mencuri dengar dari
luar Mushola. Saya mendengar seorang menjelaskan dengan suara fasih

2
dan lantang yang lebih dekat ke uslûb 'arabî dari pada 'ajamî: sebuah
uslûb yang tidak lazim dipakai oleh Kyai Kyai pada umumnya. Kyai
Maimoen, begitu orang orang memanggilnya kala itu, membaca dengan
sangat cepat dan tangkas serta sesekali ada selingan humor yang
mengundang tawa para santri: cara baca yang sangat mengagumkan di
telinga saya yang saat itu masih duduk di Marhalah Alfiyah. Di mata
saya, kesukaran makna dan materi kitab, saat dibaca Syaikhina
Maimoen, menjadi hilang sama sekali.
Kala itu, saya, Gus Fuad (kakak kandung saya sekaligus menantu KH.
Kholil Bisri) dan gus Solih (keponakan KH. Mustolih Badawi) adalah
satu di antara tiga orang yang menghadap Syaikhina Maimoen. Kami
bertiga menghadap beliau. Saya yang paling muda di antara mereka.
Saat kami hendak berpamit, dan masing masing menyalami Kyai,
beliau menarik dan memeluk saya dalam waktu yang cukup lama. Hal
itu tidak beliau lakukan pada yang lain. Apakah hal itu kebetulan, atau
ada tafsir, tetapi menjadi tersingkap saat saya menjadi suami untuk
salah satu putrinya, Ny. Hj. Rodliyah Maemon Zubair.
Tiga tahun setelahnya, tepatnya tahun 1985, ternyata Allah
menakdirkan saya untuk lebih dekat dengan sosok yang saya kagumi
ini. Ya, saya akhirnya melabuhkan pengembaraan ilmiah saya di Al
Anwar dengan membawa surat dari ayah saya, KH. Hisyam Zuhdi.
Pada surat tersebut tertulis keinginan ayah saya —semasa rihlah
ilmiyyah beliau— untuk menimba ilmu pada ayahanda Syaikhina
Maimoen (Mbah Zubair bin Dahlan). Akan tetapi Allah memiliki jalur
rencana yang lain. Sehingga untuk merealisasikan keinginan yang
belum sempat terlaksana, beliau menitipkan saya untuk ditempa di
Pesantren ini. Meskipun saya sendiri di Al Anwar tidak lama, hanya
empat tahun, yakni tahun 1985 M sampai 1989 M, namun empat tahun
ini amat berkesan dan membekas, serta membentuk sangat kuat
kekaguman saya pribadi terhadap Syaikhina Maimoen.

3
Sebab, di waktu yang sangat singkat ini, sebenarnya sudah cukup
memberikan gambaran bahwa sosok Syaikhina Maimoen adalah Kyai
sangat berbobot. Terbukti kitab kitab yang beliau baca ketika itu adalah
kitab kitab induk di Pesantren. Saya sendiri, waktu itu, mengikuti
pengajian Mahalli, Jam' al-Jawâmi', Uqûd al-Juman, al-Asybâh wa al-
Nadzâir, al-Ihya' dan Al-Hikam. Sementara di bulan Ramadhan, yang
saya ingat untuk ngaji pasaran, beliau membaca Shahîh Bukhâri dan al-
Muwaththa'. Khusus kitab Bukhari, Syaikhina Maimoen mempunyai
ungkapan, bahwa calon Kyai besar harus khatam shahih Bukhari. Lebih
lebih dikhatamkan di bulan Ramadhan. Berkahnya banyak. Bagi
kalangan Pesantren sendiri, kitab kitab tersebut adalah 'momok'. Tidak
semua Kyai bisa membaca kitab kitab 'babon' ini, apalagi dalam waktu
bersamaan. Dan Syaikhina Maimoen sudah melakukannya di usia
beliau yang saat itu menginjak 57 tahun. Pada usia tersebut, pelbagai
cabang fan ilmu yang sudah terkumpul pada sosok Syaikhina Maimoen,
menunjukkan bahwa beliau telah menyelesaikan jenjang hierarki
pendidikan Pesantren secara paripurna.
Kekaguman saya semakin bertambah saat mengetahui beliau membaca
kitab kitab tersebut tanpa makna (red. gundulân). Saat itu, lazim
diketahui di dunia pesantren, mengajar kitab tanpa makna, adalah
kebanggaan. Seorang santri akan berjalan bangga manakala ia bisa
mengajar santri lainnya sebuah kitab yang tidak ada maknanya. Nah,
Syaikhina Maimoen ini menggabungkan ketangkasan membaca dan
penyampaian materi secara mendalam dengan kitab tanpa makna.
Fenomena yang betul betul memberikan inspirasi pada saya kala itu.
Saya melihat ketangkasan Syaikhina Maimoen, terutama sekali, saat
membaca Mahallî. Kitab yang terbilang cukup rumit, beliau baca tanpa
makna, disertai pengembalian dlâmir yang demikian cepat.
Di lain waktu, saya melihat sosok Syaikhina Maimoen sebagai sufi,
yang nilai sufi begitu melekat pada kepribadiannya, seperti hidup
zuhud, penuh kesederhanaan, menanggalkan prilaku menonjolkan diri,

4
sangat kuat menyembunyikan kekesalan hati serta kemarahan pada
orang lain dan penerimaan yang sangat mengagumkan atas Qadla dan
Qadlar Allah sepahit apapun itu: sifat sifat yang berpengaruh begitu
kuat atas sikap dan tindakan beliau dalam kehidupan sehari hari. Sosok
yang sangat cakap dalam pelbagai disiplin keilmuan ini, nyatanya
diimbangi dengan penghayatan mendalam manakala membaca kitab
dalam disiplin tasawuf. Saya, di saat mengikuti pengajian Al-Hikam,
sering kali melihat beliau menangis tersedu saat ada materi kitab yang
menyentuh emosional Syaikhina Maimoen. Sebuah gambaran tentang
kematangan personal yang harmonis dengan penguasaan mendalam
terhadap materi kitab tasawuf.
Meskipun waktu yang relatif singkat menimba ilmu pada beliau, namun
bagi saya sangat mengenang. Selain mendapat keberkahan ilmu luar
biasa, Alhamdulillah, saya pernah mendapat keberkahan doa khusus
dari beliau. Kala itu, Syaikhina Maimoen baru 'kondur' melaksanakan
ibadah Haji. Beberapa pengurus 'sowan' ke 'Ndalem' Syaikhina
Maimoen untuk bersalaman dan meminta doa. Pengurus bersalaman
satu demi satu, saat tiba giliran saya, saya di tahan tidak boleh keluar.
Hingga pada saat itu, yang ada di ruangan hanya saya dan beliau saja.
Tiba tiba beliau berbisik di telinga saya, "Allahu yubârik fîk
wayaj'aluka min al-Shâlihîn (Semoga Allah memberkahimu dan
menjadikanmu di antara golongan orang orang saleh)." Bagi saya itu
adalah doa dan pelecut luar biasa dari seorang guru, sekaligus bentuk
kasih seorang guru pada muridnya.
Saya teringat beberapa buku biografi menyebut, seorang alim terbentuk
kealimannya terkadang sebab ucapan seorang yang dikagumi. Seperti
kisah Farazdaq, penyair Arab yang menghapal al-Quran karena
mendengar pertanyaan Ali bin Abi Thalib pada ayahnya, "apakah ia
(Farazdaq) hapal al-Qur'an". Farazdaq lantas mengikat diri di masjid
dan tidak beranjak sampai ia hapal al-Quran. Seperti juga kisah Al-
Imam Syamsuddin al-Dzahabi, penganggit Siyar A'lâm al-Nubalâ', saat

5
masih kecil, belajar di samping seorang muhaddits agung, Alam al-Din
al-Birzali. Al-Birzali mendikte dan al-Dzahabi menulis. Sesekali al-
Birzali melihat pada cacatan al-Dzahabi, sembari berkomentar, "inna
khaththaka yusybihu khathth al-muhadditsîn (sesungguhnya tulisanmu
menyerupai tulisan ahli hadis)". Al-Dzahabi mengatakan, "fa atstsarat
fî kalimâtuhu fasytaghaltu bi al-hadîts min yawmiha (kalimat tersebut
sangat membekas padaku, dan aku, semenjak itu, menyibukkan diri
dengan ilmu hadis)". Oleh sebab itu, seorang ulama Mesir, Syekh
Usamah al-Azhari mengatakan, "boleh jadi ucapan pendek seorang
guru membentuk kepribadian penuh seorang murid."
Ucapakan Syaikhina Maimoen pada saya betul betul saya artikan
sebagai sebuah doa dan gambaran kasih mendalam seorang guru
terhadap muridnya. Persangkaan saya, hal tersebut tidak terjadi pada
saya saja. Tetapi pada murid murid beliau yang lain. Sebab siapapun
yang mempunyai cinta mendalam terhadap Syaikhina Maimoen,
didoakan khusus oleh beliau, sebagaimana saya saksikan sendiri saat
menemani beliau thawaf wada' di musim Haji tahun 2002-2003: saya
berjalan mengikuti di belakang sembari mendengar beliau menangis
melafalkan doa: "Allahumma ij'alni wa man ahabbanî min kibâri
awliyâ'ik" (Ya Allah, jadikan aku dan orang yang mencintaiku,
termasuk pembesar kekasihMu)". Doa ini beliau baca sepanjang thowaf.

Syaikhina Maimoen Sebagai Ahli Fiqh


Pertama yang saya lihat dari sosok Syaikhina Maimoen, beliau adalah
ulama yang sangat mumpuni dalam fiqh. Kepiawaian Syaikhina
Maimoen terhadap fiqh merupakan kemufakatan semua kalangan.
Bahkan, boleh dibilang, dalam fiqh dan ushul fiqh, Syaikhina Maimoen
lebih menonjol dibanding disiplin ilmu lain. Syaikhina Maimoen
sebagai seorang ahli fiqh yang benar benar menguasai teks teks klasik,
menempatkan beliau dan Pesantrennya sebagai "Penjaga Gerbong

6
Tradisionalis" untuk era sekarang. Ini terbukti Pesantren yang diampu
oleh Syaikhina Maimoen sampai sekarang masih menempati predikat
Pesantren yang paling preservatif terhadap tradisionalitas keilmuan
yang diwarisi pendahulu selama berabad abad lamanya. Bahkan
belakangan, kemampuan fiqh yang menonjol menjadi karakter yang
demikian melekat pada santri santri al Anwar.
Lantaran analisa fiqh mendalam yang diajarkan Kyai Maemoen, di
kalangan pesantren seolah ada diktum, jika belajar fiqh di pesantren
mana saja bisa, tapi jika ingin fiqh tersebut diasah dan dipertajam,
sebaiknya dititipkan di Pesantren Syaikhina Maimoen. Selain karena
kitab kitab babon fiqh yang selalu beliau baca untuk murid muridnya,
tradisi Bahtsul Masail di Pesantren asuhan Syaikhina Maimoen ini
berkembang sangat baik. Maka bisa kita lihat, hampir di setiap Forum
Bahtsul Masail, santri santri Syaikhina Maimoen selalu lebih unggul
dalam menjawab setiap persoalan yang diajukan. Alumni-alumninya
yang menyebar ke seantero Negeri pun menjadi yang terdepan di antara
yang lain.
Sekedar untuk mengenang, bisa saya sebutkan sejumlah teman teman
santri yg sekarang menjadi rujukan dalam persoalan hukum dan
menjadi tokoh tokoh Bahtsul Masail; teman teman yg memang sudah
saya kagumi semenjak dari pesantren, diantaranya kyai Romadon
Tegal, Kyai Abdurrohman Pekalongan, Kyai Abi Jamroh, Kyai
Rozikin. Dua yang terakhir dari Jepara. Kemudian ada Kyai Faruk
Sedan, Kyai Hafidzi Madura, Kyai Minan Ansori Magelang, Gus Baha
Narukan, Gus Sholah Jember dan Kyai Dawam Tuban. Yang terakhir
ini, saya mendengar langsung dari Syaikhina Maimoen di dalam kamar,
dan disaksikan istri saya Ning Dliyah: "Nam, koe ngerti Dawam, iku
santriku sing paling alim”.
Berangkat dari akar tradisi yang kuat, dipadukan dengan personal sosok
Syaikhina Maimoen yang bijak dan santun, kemudian membawa
karakter fiqh beliau menjadi lebih fleksibel, humanis dan solutif,

7
bahkan pada satu keadaan lebih cenderung ke 'taisîr'. Ini sedikit
berbeda dengan karakter standar fiqh Pesantren yang cenderung
literalistik - tekstual. Menurut saya, usia sepuh beliau —yang didukung
oleh akar tradisi kuat— dengan sendirinya membentuk karakter fiqhnya
lebih dekat ke arah spirit Maqashidi. Saya teringat satu ucapan Imam
Syafi'i yang dinukil Ibnu 'Asakir dan disampaikan Syekh Usamah
dalam satu Muhadlarahnya: "Aku berdiam selama dua puluh tahun,
belajar 'hari hari manusia' dan meminta tolong padanya untuk
perumusan fiqhku." Hari hari manusia yang dimakud adalah macam
peristiwa, laju sejarah, pembunuhan, peperangan, perubahan keadaan
(sosio - kultur), nasab, serta mekanisme terbentuknya masyarakat.
Seolah olah, Imam Syafi'i tak mampu menguak kedalaman fiqh dan
rahasia Syariat tanpa berpegang pada 'hari hari manusia'.
Begitulah yang saya baca dari Syaikhina Maimoen. Beliau tidak
sekedar berhenti pada literalistik fiqh, tapi lebih jauh, aspek psikologis
suatu masyarat dan perubahan sosio - historis, menjadi pertimbangan
penting rumusan fiqhnya. Kita bisa melihat misalnya, Syaikhina
Maimoen membolehkan ta'addud al-jum'ah, shalat Rebo Wekasan,
musik, patung, Miqat dari Jedah, dan beberapa kasus lainnya. Saya
secara pribadi 'didawuhi' oleh Syaikhina Maimoen untuk shalat Rebo
Wekasan ketika beliau singgah di rumah kami, di Banyumas.
Pemahaman fiqh yang diluar dugaan sebagian orang ini sekali lagi
membawa saya pada kesimpulan, fiqh Syaikhina Maimoen ternyata
sangat fleksibel; berpijak pada penguasaan mendalam terhadap teks
hingga mengantarkan pada ruh al-Maqâshid. Saya pernah mendengar
dari Sayyid Muhammad al-Maliki, dari gurunya, Syekh Sa'id al-
Yamani, beliau mengatakan: "Jika seseorang bertambah ilmunya serta
luas cakrawalanya, maka ia akan sedikit menyalahkan orang lain."
Sebagian menyangka penonjolan spirit Maqashid adalah karakter
liberalisme. Ini tidak benar. Liberalisasi Maqashid merupakan bentuk
pengabaian "nushûsh juz'iyyah" yang sebenarnya merupakan pondasi.

8
Sementara fiqh Syaikhina Maimoen merupakan rumusan matang dari
penguasaan mendalam terhadap teks partikular (nushûsh juz'iyyah) yang
mengantarkan pada penonjolan aspek ruh Syariat melalui harmonisasi
dengan kondisi tatanan suatu masyarakat tertentu. Pola harmonisasi
semacam ini bisa kita baca pada buku buku Mahmoud Syalthout, Abu
Zahrah, Muhammad Abdullah Darraz, Musthafa Syalabi, Ali Hasbalah,
dan lain lain. Sufyan al-Tsauri mengatakan, "Fiqh, menurut kami,
adalah keringanan dari orang terpercaya. Adapun hukum yang
memberatkan (tasydîd) maka semua orang akan mudah melakukannya
dengan baik." Artinya, menyibak ruh al-Maqashid tidak bisa dicapai
oleh semua orang. Maqashid merupakan hikmah dari sebuah hukum
(hikmat al-hukm) yang telah ditetapkan oleh Allah dalam skala global.
Sehingga, apabila hukum fiqh merupakan realitas yang partikular
(haqâiq juz’iyyah), maka Maqashid berfungsi merajut pecahan-pecahan
partikular yang berbeda-beda itu sehingga bisa berjalan satu arah.
Artinya capaian pemahaman terhadap Al-Maqashid merupakan puncak
dari 'perjalanan panjang' berfiqh dengan teks teks partikular (nushûsh
juz'iyyah).
Maka, fiqh Maqashidi Syaikhina Maimoen bukanlah fiqh yang
beriorientasi liberalisme. Sebab tak ada yang meragukan kapabilitas
Syaikhina Maimoen terhadap teks teks kitab kuning. Syaikhina
Maimoen nyatanya tidak cuma ahli fiqh, tapi juga ahli sejarah
(muarrikh). Didukung pula oleh ingatan yang masih sangat tajam di
usia 'sepuh'. Ibarat menaiki anak tangga, Syaikhina Maimoen telah
melewati gradualitas tangga yang paling bawah untuk sampai di tangga
paling atas. Logika Maqashid adalah dari hasil telaah nash partikular
sehingga maslahat akan didapat. Dengan kata lain, maslahat justru tidak
didapat apabila nash partikular diabaikan. Maka fiqh Maqashidi
Syaikhina Maimoen yang bagu saya cenderung ke 'taisîr', sejatinya
merupakan bangunan kokoh dengan pondasi dan tembok yang teramat
kuat.

9
Taisîr adalah bagian dari karakteristik madrasah fiqh. Pemerhati fiqh
tentulah tahu dua madrasah besar fiqh: madrasah Ibnu Umar dan
madrasah Ibnu Abbas. Nabi Muhammad Saw., jika dihadapkan pada
dua pilihan, selalu memilih yang termudah selagi hal itu bukan sebuah
dosa. Sebagian menyangka taisîr muncul dari minim agama dan iman.
Ini tidaklah benar. Taisîr sendiri muncul tidak lain dari telaah
mendalam terhadap bangunan ilmu. Taisîr bisa diterima jika muncul
dari orang terpercaya (tsiqqah). Oleh karena itu, Syekh Yusuf
Qaradlawi dalam pembukaan Fatawi Zarqa membedakan antara taisîr
(mempermudah) dan tasayyub (kecerobohan). Taisîr mempunyai sebab,
ushul dan kaidah, serta mempunyai syarat dan aturan aturan. Sementara
tasayyub tidak mempunyai aturan dan kaidah. Tasayyub hanya sebatas
mengikuti hawa nafsu. Maka itu, taisîr tidak akan diterima terkecuali
dari orang yang sudah menjelajahi materi materi fiqh secara paripurna.

Sosial-Politik Syaikhina Maimoen


Selain disibukkan dengan pendidikan santri, Syaikhina Maimoen juga
terjun dalam dinamika politik di Indonesia. Sebagai ulama yang terjun
dalam politik, argumentasi politik beliau pun demikian kuat lantaran
ditopang oleh keulamaan yang kental. Sehingga konsistensi beliau
dalam politik adalah gambaran prinsip yang kokoh sikap seorang ulama
yang berpolitik. Beliau sangat konsisten di PPP di saat Kyai Kyai lain
berbondong bondong di PKB. Salah satu 'alibi' anekdotis yang sering
diutarakan oleh beliau adalah: "Kyai Kyai nanti akan ditanya kenapa
pindah? Lha saya tidak ditanya, wong dari dulu saya tidak melakukan
apa apa, alias masih istiqamah di PPP. La yus'alu ammâ yaf'al wahum
yus'alûn". Beliau sendiri, saat meninggalkan kita semua, masih
berstatus sebagai Ketua Majlis Syari'ah PPP. Meskipun secara
struktural beliau di PPP, namun praktiknya menjadi payung untuk tokoh
lintas partai, lintas golongan bahkan berbagai kelas sosial di
masyarakat.

10
Ya, Dalam politik Syaikhina Maimoen sangat menghargai perbedaan.
Politik dalam pandangan Syaikhina Maimoen bukan sekedar
kepentingan sesaat, tapi lebih jauh dari itu, yakni benar benar berfungsi
mengharmoniskan Islam dan kebangsaan, religiusitas dan nasionalitas,
mengharmoniskan ulama dan umara agar berjalan beriringan. Beliau,
sebagai ulama, amat mencinta Negara Indonesia, dan selalu
menekankan keharmonisan, persatuan, dan dialog dalam menyelesaikan
pelbagai persoalan bangsa.
Syaikhina Maimoen punya dada 'nyegoro' yang jarang dimiliki oleh
tokoh tokoh yang lain. Perbedaan di mata beliau adalah keniscayaan
dan sunatullah. Konsistensi Syaikhina Maimoen di PPP tidak
menghilangkan pertalian silaturahim dengan Kyai Kyai yang
mempunyai afiliasi ke PKB maupun tokoh lintas partai lainnya. Beliau
sangat menghargai orang lain meskipun berbeda pandangan. Bahkan
dengan Gus Dur dan Gus Mus —sebagai deklarator Partai yang
didirikan di Rembang— sekalipun. Dengan Gus Mus, Syaikhina
Maimoen tak pernah absen dalam setiap perhelatan Akbar yang
diselenggarakan di kediaman Gus Mus. Apalagi pertalian guru-murid
Syaikhina Maimoen dan ayahanda Gus Mus yang tampaknya
menjadikan silaturahim keduanya tak putus meskipun di usia 'sepuh'
sekalipun.
Adapun dengan Gus Dur, meskipun di banyak lini beliau berbeda, tapi
sama sekali tidak mengurangi penghormatan Syaikhina Maimoen
terhadap Gus Dur. Perbedaan Syaikhina Maimoen dan Gus Dur
nyatanya tak menghalangi beliau ikut memberikan penghormatan
terakhir di proses pemakaman Gus Dur. Bahkan sepengetahuan saya,
sejak Gus Dur meninggal tahun 2009, tak sekalipun Syaikhina
Maimoen absen dalam peringatan wafat (Haul) Gus Dur di Jombang,
terkecuali saat kondisi badan yang tidak memungkinkan. Hal yang sama
juga terjadi pada hubungan Syaikhina Maimoen dan KH. Hasyim
Muzadi, dan sebagian gurunya. Sama sekali tak menafikan

11
penghormatan beliau terhadap tokoh tokoh tersebut. Dan karena
kepandaian Syaikhina Maimoen dalam memanage perbedaan, di mata
publik, perbedaan tersebut bahkan bisa tidak tampak sama sekali.
Itulah mengapa beliau bisa diterima dan menjadi 'tempat berteduh'
semua kelas sosial. Syaikhina Maimoen tak membeda bedakan siapa
yang datang ke 'ndalem' beliau. Semua diperlakukan sama dan semua
merasa diprioritaskan oleh beliau: semua pihak di dekat Syaikhina
Maimoen merasa mempunyai arti. Semua merasa berperan sebab
Syaikhina Maimoen memang sangat jeli membaca potensi terpendam
masing masing orang, guna memperjuangkan nilai nilai yang menurut
Syaikhina Maimoen perlu disebarkan. Sehingga anak muda yang
mempunyai potensi bisa berhubungan dekat dengan Syaikhina
Maimoen dalam waktu yang sangat cepat, sebut saja seperti Mas
Muqowwam, Zainuttauhid, Mas Arwani, Mas Muhlisin, Mas Agus
Fathuddin dari Suara Merdeka, yang pernah mengawal dan menyertai
Syaikhina Maimoen berangkat Haji tahun 2003, Gus Hayat Banjar,
yang mengawal Syaikhina Maimoen Haji sampai wafat. Tak terkecuali
juga Mas Nusron Wahid, anak muda fenomenal. Meskipun dekat secara
personal dengan anak anak muda ini, tidak berarti beliau sepaham
secara pemikiran.
Saya membaca, toleransi yang luar biasa Syaikhina Maimoen terhadap
perbedaan dalam lingkup global tak bisa diperoleh sebelum beliau
menyelesaikan dalam lingkup yang kecil: yakni keluarga beliau sendiri.
Beliau mendidik putra putrinya secara demokratis dengan
kecenderungan yang dimiliki oleh masing masing. Berbagai
kecenderungan yang berbeda itulah yang pada akhirnya menjadikan
dinamika keilmuan dan sosial - politik di Sarang lebih semarak dan
bernilai. Beliau tak menghalangi sebagian putranya untuk terjun total
dalam keilmuan, dengan varian fan ilmu yang digemari, sebagaimana
beliau mengizinkan pula pada sebagian yang lain untuk terjun dalam
area politik - praktis. Tak terkecuali pada santri santri beliau yang

12
tersebar di pelosok Negeri. Beliau tidak pernah memaksa santrinya
untuk menjadi yang seperti beliau inginkan. Jikapun hal itu memang
perlu dan mendesak, beliau mempergunakan redaksi yang menurut saya
sangat lembut.
Sama halnya yang terjadi pada saya pribadi. Saya masuk di PPP bukan
dengan dalil macam macam: hanya dengan 'dalil perasaan'. Bukan
karena saya dipaksa oleh Syaikhina Maimoen. Saya merasa Syaikhina
Maimoen saat itu tidak mempunyai teman di Politik sementara banyak
Kyai pindah haluan ke PKB. Emosional saya tersentuh ketika Syaikhina
Maimoen menelpon saya dan beliau mengatakan: "Nam, tulungi aku
(untuk di PPP)". Tanpa pertimbangan macam macam, saya mengiyakan
permintaan beliau, berbekal niat ingin menyenangkan hati guru.
Padahal di sisi lain, saya tidak memiliki bakat politik sama sekali. Saat
itu, saya tidak merasa dipaksa atau dalam penekanan. Justru saya
merasa berkewajiban hadir menyertai guru saya ketika banyak kalangan
memilih bersebrangan dengan beliau. Dasar sikap saya adalah ungkapan
yang populer di kalangan sufi:

‫حمبة امش يخ ملسمة حملبة رسول هللا وحمبة رسول هللا ملسمة حملبة هللا‬
"Cinta kepada guru merupakan pembuka untuk cinta pada Nabi.
Sedangkan cinta pada Nabi merupakan pembuka untuk cinta pada
Allah".
Begitulah jiwa sosial Syaikhina Maimoen. Dalam perkara politik sangat
menghargai perbedaan pendapat. Seperti halnya pada dinamika Pilpres
kemarin, tak menghalangi dua kubur besar pasangan untuk sama sama
menghadap Syaikhina Maimoen. Bahkan, kepada murid dan putra-
putranya sendiri sangat demokratis dalam setiap perkara kecil
sekalipun. Oleh karena sikap beliau yang demikian mengakomodir
semua aspirasi di setiap kelompok, sampai ketika Syaikhina Maimoen
meninggal, beliau masih tetap sebagai 'payung' untuk semua lintas

13
tokoh masyarakat dan rujukan dalam setiap persoalan politik di Negeri
ini.
Syaikhina Maimoen Sebagai Pelaku Sufi
Sisi lain dari Syaikhina Maimoen yang sangat penting diulas adalah
beliau sebagai pelaku sufisme yang sangat disiplin. Sufisme sebagai
gabungan ilmu dan hâl, lazimnya dibakukan dalam sebuah aturan
aturan yang disebut thariqah sebagai panduan praksis. Maka, Pelaku
sufisme umumnya terwadahi dalam satu aliran tertentu yang disebut
thariqah. Meskipun, ada juga pelaku sufi yang tidak berthariqah—
dalam pengertian yang umum dipakai di Indonesia, sebagaimana ada
juga pengamal thariqah yang kurang mendalami terminologi pelik
dalam diskursus sufistik. Namun pengamalan teori sufisme dalam
thariqah, bagi saya, menjadi keniscayaan, karena orang berthariqah itu
punya guru, gurunya punya guru, gurunya punya guru, dan bersambung
kepada Nabi Saw. Itulah pentingnya guru yang muttashil (bersambung),
sebab apa yang kita amalkan tetap dalam koridor keteladanan yang
sudah dicontohkan oleh Nabi Saw.
Syaikhina Maimoen sebagai seorang sufi tentulah juga penganut satu
aliran thariqah tertentu. Beliau adalah penganut thariqah
Naqsyabandiyyah. Thareqah inti, dalam kitab al-Salsabîl al-Ma'în,
anggitan Imam al-Sanûsi, disebut ada empat puluh thariqah. Diantara
yang sangat populer dengan pengikut yang terbanyak di dunia Islam
adalah thariqah Naqsyabandiyyah. Beliau mengambil ijazah thariqah
Naqasyabandiyyah Mujaddidiyyah Khalidiyyah dari Syekh Muhammad
Dliya' al-Din al-Kurdi al-Naqsyabandi bin Syekh Najmuddin bin Syekh
Amin al-Kurdi al-Naqsyabandi. Dengan demikian, Syekh Muhammad
Dliya al-Din adalah cucu dari Syekh Muhammad Amin al-Kurdi,
pengarang Tanwîr al-Qulûb, kitab yang lazim dibaca di Pesantren
Pesantren Indonesia. Syekh Muhammad Dliya' al-Din memilih
Syaikhina Maimoen diantara Masyayikh yang hadir ketika itu.

14
Sebagai pengamal dan penghayat sufisme, Syaikhina Maimoen sangat
mengutamakan aspek bâthin ketimbang dhâhir. Beliau tidak
menampakkan pada publik sebagai insan yang senantiasa berdzikir.
Malah beliau tidak begitu suka menampakkan sedang berdzikir, atau
berperilaku khusyu. Dalam berbusana sekalipun, Syaikhina Maimoen
cenderung menyukai penampilan seadanya. Beliau sedikit melarang
peci putih bagi santri yang belum menunaikan ibadah Haji. Sependek
pengamatan saya, Syaikhina Maimoen sangat jarang —bahkan tidak
pernah—terlihat membawa tasbih. Namun bukan berarti Syaikhina
Maimoen bukan pengamal dzikir. Menurut saya, level Syaikhina
Maimoen bulan lagi level seperti masyarakat pada umummya. Terlihat
saat menemani Haji, tahun 2003, saya melihat sendiri beliau melakukan
dzikir Qolbi, baju bagian depan bergerak cepat seperti ada getaran
keras. Awalnya saya mengira karena pengaruh hembusan angin
kencang. Ternyata bukan.
Maka, saya menyimpulkan, penonjolan lahiriah sisi sufisme dalam laku
keseharian, menurut kacamata Syaikhina Maimoen, tidaklah terlalu
penting. Dalam lahiriah, aspek sufisme Syaikhina Maimoen tidak
terlalu dominan. Yang lebih menonjol adalah sisi keulamaan beliau.
Mayoritas ulama Ahlus Sunah adalah seorang sufi. Namun ada sisi
keulamaan yang menonjol, sementara ada pula sisi sufisme yang
ditonjolkan. Sebut saja Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i
bahkan Imam Ahmad sekalipun adalah pengamal laku sufisme. Namun
sisi keulamaan mereka lebih menonjol dari pada kesufiannya. Hal ini
berbeda dengan Syekh Abdul Qodir al-Jilani, misalnya, yang lebih
terlihat sisi kesufian beliau. Sama halnya Syaikhina Maimoen, yang
lebih dikenal sebagai seorang ulama dari pada sebagai pengamal
thariqah. Boleh jadi karena intensitas kesibukan dalam mengajar santri
dan durasi yang luas biasa saat berkutat dengan keilmuan.
Sebagai seorang ulama yang menjalani laku sufi, Syaikhina Maimoen
sangat memahami bagaimana menempatkan syariat dan hakikat secara

15
harmonis. Beliau sangat menyadari manakala kehilangan salah satu dari
dua hal tersebut, menjadikan kepincangan dalam beragama maupun
interaksi sosial. Abu Madyan sendiri mengatakan,

‫من اكخفى بخؼبس دون فلَ دصج وابخسع‬


"Barang siapa menekuni peribadatan tanpa fiqh (Syariat), maka keluar
dari jalan yang semestinya dan melakukan bid'ah".

‫ومن اكخفى ابمفلَ دون ورع اغرت واخنسع‬


"Barang siapa mencukupkan dg fiqh tanpa perilaku wara’ maka tertipu
dan terperdaya."
Aspek sufisme Syaikhina Maimoen begitu terlihat bukan dalam
lahiriah, namun saat beliau berinteraksi dengan orang banyak. Kenapa
Syaikhina Maimoen begitu pandai bersahabat dengan siapapun, tentu
tanpa melanggar nilai nilai agama yang fundamental? Agaknya
kedalaman beliau dalam menghayati hakikat, merupakan salah satu
faktor yg mempengaruhi. Di sisi lain, kedalaman syariah beliau menjadi
rambu rambu agar tetap sesuai dengan koridor yang semestinya.
Artinya, Syaikhina Maimoen bisa menempatkan keduanya secara
harmonis. Dalam hal ini Imam Rifa'i pernah mengatakan,

‫من هظص اىل اخلوق بؼني امرشًؼة ملهتم‬


‫ومن هظص اههيم بؼني احلليلة ػشرمه‬
"Siapa yang melihat makhluk dengan kacamata Syariat, maka ia akan
membenci mereka. Dan siapa yang melihat mereka dengan kacamata
hakikat, maka ia memaklumi mereka."
Orang orang melihat Syaikhina Maimoen sebagai sosok santun, lembut
dan bersifat mengayomi, tentu ini muncul dari aspek sufisme Kyai.

16
Beliau berinteraksi dengan kelompok masyarakat—dari berbagai latar
belakang kelompok—dengan cinta. Sementara para ulama yang melihat
Syaikhina Maimoen sebagai seorang 'allamah, mutabahhir, mutafannin,
faqîh, adalah beliau sebagai seorang ulama. Sufisme Syaikhina
Maimoen tak menggerus keulamaan beliau, sebagaimama keulamaan
Syaikhina Maimoen tak menghalangi aspek bâthiniyyah sufistik beliau.

Penutup
Syaikhina Maimoen ibarat samudera luas dengan laju air yang
bergelombang. Saya, maupun penulis lainnya, ibarat pelaut yang
mengarungi luas samudera dan kedalamannya dari perspektif yang
sangat parsial. Maka tulisan ini tentu saja tidaklah merepresentasikan
luas dan kedalaman bahtera seorang Syaikhina Maimoen Zubair. Tapi
saya berharap, dengan tulisan singkat ini, publik bisa melihat bahwa
sosok agung ini merupakan salah satu dari sekian potret ideal untuk
menjadi rujukan dan acuan dalam segala aspek kehidupan. Tak hanya
kalangan santri, namun semua lini masyarakat; ulama, politisi, pejabat
dan masyarakat umum, merasa sangat kehilangan paska meninggalnya
Syaikhina Maimoen. Semoga Allah senantiasa menempatkan beliau
dengan orang orang yang beliau kagumi. Dan semoga dari tempaan
beliau, lahir kembali sosok Syaikhina Maimoen Syaikhina Maimoen
lain yang meneruskan 'perjuangan' beliau yang belum tuntas, terutama
dari dzurriyyah beliau, Gus Ubab, Gus Najih, Gus Kamil, Gus Ghofur,
Gus Rouf, Gus Wafi, Gus Taj Yasin dan Gus Idlror, yang saya yakin,
merekalah yang mewarisi dua hal yang sangat istimewa dari Syaikhina:
ilmu dan hâl.

17
‫ػامل الاومياء وويل امؼوٌلء موالان وش يريا امؼالمة اجلويل فليس الامة امش يخ مميون زبري‬
‫ان امكتابة غن اذلكصايت اميت ثخؼوق بشرصية غظمية حتمتع فهيا حواهب ػسة امص‬
‫سِل وصؼب يف هفس اموكت‬
‫واذلي ساكخبَ غهنا ُو حسب ما ًبسو يل وكس يكون فيَ ثلصري ال ًفي مبلامَ‬
‫وفِم مين مفكصثَ ال ًؼطي حليلة هنجَ ‪ ،‬ولك احس مٌا من حلَ ان ًسيل بسموٍ وان‬
‫ًؼرب بلكٌلثَ همييح الادصين كبسا من هور حياثَ و وس امي من ػاطص سريثَ وجيًل هلم‬
‫غٌل كس خيخفي من فكصثَ‪ ،‬مث اذلي ًًبغي امخًبَ اميَ ُو ان من الاماكن ان شائبة‬
‫احلب اذلي متخكل كوب اماكثب كخوميش يف امؼمل ومصًس يف امطصًق مِا‬
‫صوةل ػىل ما يكتبَ غن ثكل امشرصية الامص اذلي اود ان ال افلس بسببَ‬
‫الاهصاف وان ال اطصي اطصاء بؼيسا غن امواكع ومتجَ امطباع امسومية‬
‫مسؼت امس امش يخ مميون مٌش صغصي حيامن كيت مازمت ثوميشا يف امصف‬
‫الابخسايئ مسؼخَ غن معي ايخ وادلي ايميا ي زبيسي اذلي ثؼمل يف مؼِس ثوىل‬
‫الارشاف ػويَ امش يخ مصسويق اماكنئن يف المس‬
‫طبؼا سٌلع ػابص مكن ًرتك يل يف كويب اهطباػا ذا اثص غن ودل ش يخ ممتخع ابذلاكء‬
‫حتت حصبيية وادلٍ ابمشسة واجلسًة‬
‫واول اجلثوة اميت جرشفت هبا ُو غيسما درست يف مؼِس امؼالمة امش يخ مصباح‬
‫مصطفى يف س ية ‪ ٢٨٩١‬وذكل يف شِص رمضان ‪ ،‬جس ىن يل ايمثول بني ًسي‬

‫‪18‬‬
‫س يسي اموادل امش يخ مميون زبري ‪ ،‬حيامن كصاء مطوبة رمضان كخاب الاكٌاع ‪ ،‬وما‬
‫زال حىت الان حيرض ذاكصيت اهَ كصاء يف ابب كاطع امطصًق واان مسؼت متطفال من‬
‫ذارج ايمصىل اذلي ًلع ادلرس فيَ واتثصت ابسووب كصاءثَ اميت جسمع اذلين من‬
‫حوهل صوات حزال فصيحا اكصب مٌَ اىل مٌطق امؼصب مٌَ اىل مٌطق امؼجم وًبسو‬
‫يل كخوميش صغري الزال يف مس خوى الامفية ان كصاءة امكتاب امص ميسور ال صؼوبة‬
‫فيَ مرسػة املصاءة واحياان خيووِا مبزاح وىكتة حزًل ايمول الامص اذلي حؼل ادلرس‬
‫ايمخواصل من صباح اىل صباح ػىل وضع مشوب ابمًشوة وحماط ابالهبؼاث‬

‫واان اثمث امثالجة اذلين حثوا بني ًسي امش يخ واصغصمه وحيرضين اهَ غيسما‬
‫اس خأذان يف اخلصوج من غيس س يادثَ وصاحف لك مٌا س يادثَ فاخأين ان ًضمين اىل‬
‫صسرٍ ضٌل شسًسا يف وكت ميس بلصري يف حني مل ًفؼهل يمن مؼي وٌُل ايخ امكبري‬
‫زيك امفؤاد ُشام ( ذنت امش يخ ذويل برشي) والاخ صاحل حمصن من ش يالشاب‬
‫وُل ُو ػىل طصًق امصسفة او اهَ رمز ذو مؼىن الامص اذلي مل يكن خيطص ببايل‬
‫وكت ذاك ‪ ،‬بيس ان الامص اذلي اصبح الصلا ػىل ابيل ُو ذكل اموخَ ايمرش‬
‫وامطوؼة اميوراهية وكار يف حمل وُيبة يف وداد‪ ،‬وػىل امصمغ من صغصي غري ان ُشا‬
‫الاحساس غامبا ػىل مشاغصي‬
‫ويف س ية ‪ ٢٨٩١‬اصبحت ثوميشا مس يادثَ حليليا ورمسيا حيث جسوت هفيس يف‬
‫ػساد طوبة مؼِس الاهوار حامال رساةل وادلي امكيا ي ُشام زُسي اىل فضيوخَ‬

‫‪19‬‬
‫اميت ًبسي فهيا وادلي اهَ اكن يف وكت طوبَ يصغب ان ًخومش ػىل امؼالمة امش يخ‬
‫زبري دذالن ومل يكتب هل احلظ ‪ ،‬وبسال غن ُشٍ امصغبة اميت مل ثخحلق‪ ،‬اكن وادلي‬
‫ارسوين اىل س يادثَ‪.‬‬
‫ومن ُشا اموكت بسأ ثؼصيف بس يادثَ من ذالل ثخومشي ودراس يت ػىل فضيوخَ يف‬
‫ػسة كخب يف فٌون متيوػة ‪ ،‬واميت ذكصاها ي كخاب رشح غلود ادلان يف امبالغة‪،‬‬
‫ومجع اجلوامع يف الاصول والاش باٍ واميظانئص يف املواػس امفلِية واحملًل رشح‬
‫ايمهناج وفتح موُاب رشح ايمهنج يف امفلَ واحلنك والاحياء يف امخصوف وايموطا‬
‫وحصيح امبزاري يف احلسًث ‪ ،‬ثكل امكتب اميت حصًيا مسى ثيوع امفٌون اميت‬
‫ًخلهنافضيوخَ ‪ ،‬ولك من حيرض دروس امش يخ يف ُشٍ امكتب ًؼصف ثكل املوة‬
‫امباُصة يف املصاءة والافِام واجلودة وهصاػة امبيان ولك ُشا ًمت بال سابق الاػساد‬
‫وبال ايمؼاين اجلاوًة ايمؼولة كؼادة ػوٌلء ايمؼاُس يف خاوى‬
‫ويف مسة اربع س يوات اس خليت من مؼييَ امغزيص وارثوًت من مهنهل امؼشب واذشت‬
‫امؼمل واس خفست احلال ‪ ،‬فاالول ابمخؼمل وادلراسة وامثاين ابمسووك وامصحبة‬
‫ووخست يف ذالل حثويت بني ًسي امش يخ امصين اذا احمتؼا يف ش يخ مؼمل‬
‫س يرصج مٌَ رخال ذوو شأن يف جمال امخؼومي وامرتبية وامخثليف وادلغوة وٌُل اثلان‬
‫يف امؼمل وهوراهية يف املوب فؼومَ ًفتح نوخالميش هوافش ايمؼارف وامؼووم وهوراهيتَ‬
‫ثلسح يف كووهبم مادة احلب وامخؼوق بصهبم‬

‫‪20‬‬
‫ومك شاُست وشاُس مؼي احصايب يف امطوب باكء امش يخ يف اجياء ادلرس ذاصة يف‬
‫كخاب احلنك البن غطاء هللا امسكٌسري ذكل امباكء اميامج من حبَ يموالٍ وثذلذٍ‬
‫مبشا امؼبودًة مصبَ أثص من كٌلل ايمؼصفة‬
‫واغخلس ان رفلايئ يف امطوب ًخفلون مؼي ان اخىل حال ًخحىل هبا امش يخ ي ذاكء‬
‫يف صفاء ورضاػة يف دراًة واهَ ػامل الاومياء وويل امؼوٌلء‬
‫وان مس يادثَ كؼامل ادتيارات يف امفلَ خيامف فهيا امؼوٌلء الادصين وكويل هل كصامات‬
‫شاُساها اان يف ذالل حصبيت مؼَ ثسل ػىل ان فضيوخَ من ػساد كبار امؼارفني‬

‫‪21‬‬

Anda mungkin juga menyukai