Buku B SPALDT
Buku B SPALDT
BUKU B:
Perencanaan Sub Sistem Pengolahan Terpusat
Cetakan Pertama
2018
KATA PENGANTAR
1. PENDAHULUAN..................................................................................................................................... 1
1.1 Konsep Dasar IPALD......................................................................................................................................... 1
1.2 Prinsip Pengolahan Air Limbah Domestik......................................................................................................... 1
1.3 Tahapan Penghitungan...................................................................................................................................... 15
2. BANGUNAN INLET................................................................................................................................ 17
2.1 Bak/Sumur Pengumpul...................................................................................................................................... 17
2.2 Stasiun Pompa.................................................................................................................................................. 18
5. PENGOLAHAN LUMPUR....................................................................................................................... 79
5.1 Pengentalan (Thickener).................................................................................................................................... 79
5.2 Stabilisasi (Sludge Stabilization)...................................................................................................................... 83
5.3 Penirisan (Dewatering) dan Pengeringan (Drying)............................................................................................ 90
6. PLANT LAYOUT...................................................................................................................................... 94
7. PROFIL HIDROLIS................................................................................................................................... 95
7.1
Head ................................................................................................................................................................. 95
7.2
Head loss (Friction Head Loss).......................................................................................................................... 96
7.3
Hydraulic Grade Line (HGL) dan Energy Grade Line (EGL)................................................................................ 99
Gambar 4-16. (a) Complete Mix Activated Sludge; (b) Oxydation Ditch; dan (c) Oxydation Ditch.......................... 63
Gambar 4-17. Beberapa Skema Pengolahan dengan Metode Lumpur Aktif (1)...................................................... 64
Gambar 4-18. Beberapa Skema Pengolahan dengan Metode Lumpur Aktif (2)...................................................... 65
Gambar 4-19. Ilustrasi Pengolahan Biologi dengan Menggunakan RBC................................................................ 69
Gambar 4-20. Unit RBC di IPAL Banjarmasin........................................................................................................... 69
Gambar 4-21. Ilustrasi sistem dalam pengolahan RBC........................................................................................... 71
Gambar 4-22. Ilustrasi Sistem dalam Pengolahan Trickling Filter........................................................................... 72
Gambar 4-23. Trickling Filter.................................................................................................................................... 73
Gambar 4-24. Bentuk Lantai pada Trickling Filter.................................................................................................... 73
Gambar 4-25. Media dengan Jenis Plastik (Kiri) dan Batu (Kanan) pada Trickling Filter........................................ 73
Gambar 4-26. Ilustrasi Sistem dalam Pengolahan RBC........................................................................................... 74
Gambar 4-27. Unit Moving Bed Bioreactor di IPLT Gumuruh Bandung................................................................... 76
Gambar 4-28. Tipikal Proses MBBR untuk Beberapa Aplikasi Pengolahan............................................................. 76
Gambar 5-1. Tahapan Pengolahan Lumpur pada IPALD.......................................................................................... 79
Gambar 5-2. Contoh Unit Clarifier Dalam Pengentalan Lumpur di IPALD Kawasan Jababeka............................... 80
Gambar 5-3. Contoh Unit Belt Filter Press............................................................................................................... 90
Gambar 5-4. Contoh Desain Unit Belt Filter Press................................................................................................... 90
Gambar 5.5. Desain Sludge Drying Bed................................................................................................................... 92
Gambar 7-1. Ilustrasi Total Head............................................................................................................................. 95
Gambar 7-2. Grafik Moody Terkait Hubungan Koefisien Gaya Gesek (F) dan Bilangan Reynold (Re)..................... 97
Gambar 7-3. Nilai K untuk Head Loss Minor dari Perubahan Dimensi Pipa........................................................... 99
Gambar 7-4. Perbedaan Aliran di dalam Perpipaan dan Saluran Terbuka.............................................................. 99
Gambar 8-1. Skenario Sub-sistem Pengolahan Terpusat........................................................................................ 101
DAFTAR TABEL
Pendahuluan 1
1.2.1 Pengolahan Tahap Pertama
Pengolahan Tahap Pertama bertujuan untuk menyisihkan material kasar, diskrit, dan tersuspensi (suspended solid) sebelum
dialirkan menuju ke unit pengolahan selanjutnya. Pada awal tahapan ini terdapat pula bangunan inlet yang berfungsi untuk
mengumpulkan air limbah domestik dari jaringan perpipaan sub-sistem pengumpulan. Pada umumnya, jaringan perpipaan
sub-sistem pengumpulan di segmen akhir menuju IPALD, memiliki elevasi yang relatif rendah dari permukaan. Oleh karena
itu, bangunan inlet berfungsi untuk menaikkan elevasi air limbah domestik ke permukaan dengan menggunakan sistem
pemompaan. Hal ini dilakukan pula dengan tujuan agar IPALD dapat dioperasikan dengan menggunakan metode aliran
gravitasi. Terdapat beberapa unit pengolahan pada Tahap Awal yakni Saringan Sampah (Screen), Bak Penyisihan Pasir (Grit
Chamber), Bak Ekualisasi (Equalization Tank), dan bak sedimentasi (primary sedimentation).
Secara umum, Pengolahan Tahap Pertama dilakukan dengan menggunakan prinsip pengolahan fisik. Pengolahan fisik
pertama yang diterapkan merupakan proses penyaringan, tahapan ini bertujuan untuk menyisihkan benda-benda
berukuran besar seperti kain, plastik, kertas, metal, dan sejenisnya. Kemudian diterapkan pengolahan fisik lanjutan
dengan memanfaatkan perbedaan ukuran dan massa/volume partikel pada air limbah domestik yang akan mempengaruhi
kecepatan pengendapan partikel sehingga terjadi sedimentasi padatan.
Menurut Davis (2011), terdapat empat tipe sedimentasi atau pengendapan padatan, yakni:
a. Sedimentasi Tipe 1, merupakan tipe pengendapan partikel diskrit yang mengendap dengan kecepatan konstan.
Partikel tersebut mengendap langsung tanpa adanya proses pembentukan flok dengan partikel lainnya. Penyisihan
pasir pada grit chamber merupakan contoh pengendapan Tipe 1.
b. Sedimentasi Tipe 2, merupakan pengendapan partikel flokulan pada padatan tersuspensi. Fenomena ini terjadi ketika
partikel-partikel di dalam air limbah domestik saling berinteraksi membentuk partikel yang lebih besar. Pembentukan
flok tersebut menyebabkan bertambahnya massa padatan sehingga kecepatan pengendapan meningkat lebih cepat.
Contoh sedimentasi Tipe 2 antara lain pengendapan pertama pada pengolahan air limbah domestik dan pengendapan
partikel hasil proses koagulasi-flokulasi dengan penambahan bahan kimia.
c. Sedimentasi Tipe 3, merupakan proses pengendapan partikel dengan konsentrasi yang lebih pekat. Partikel-partikel
secara bersama-sama berinteraksi dan mengendap pada kecepatan pengendapan yang konstan. Pada bagian atas
zona terdapat batas yang memisahkan antara massa partikel yang mengendap dengan air yang relatif lebih jernih.
d. Sedimentasi Tipe 4, merupakan kelanjutan dari sedimentasi Tipe 3. Lumpur yang telah terendapkan dalam proses
sedimentasi Tipe 3 akan mengalami pemadatan sehingga diperoleh lumpur dengan kadar solid yang lebih tinggi.
Pada pengolahan tahap pertama proses fisik juga dilakukan untuk menyisihkan material organik tersuspensi. Penyisihan
dilakukan dengan melakukan rekayasa terhadap kecepatan aliran sehingga memberikan kesempatan terhadap partikel
padatan mengendap secara gravitasi menuju ke dasar bak. Gambar 1-2. mengilustrasikan prinsip proses pengendapan.
Pendahuluan 3
asam sulfat kuat yang mengandung potasium dikromat. Selanjutnya, karbon yang teroksidasi ditentukan oleh jumlah
dikromat yang digunakan dalam reaksi. Hasilnya dinyatakan dalam kebutuhan oksigen, bukan karbon. Metode ini
dapat dikatakan sebagai metode analitik yang sederhana. Namun, kelemahannya adalah sejumlah senyawa karbon
organik yang tidak dapat teroksidasi secara biologis, termasuk dalam hasil analisis metode ini. Sebaliknya, beberapa
senyawa aromatik, termasuk benzena, toluena, dan beberapa piridin, yang dapat dipecah oleh bakteri, hanya sebagian
teroksidasi dalam prosedur COD. Namun, secara keseluruhan, COD memperlihatkan nilai yang berlebihan dari karbon
yang dapat dihilangkan dengan menggunakan proses biologi, khususnya lumpur aktif.
c. Biological Oxygen Demand
Biological Oxygen Demand (BOD) merupakan nilai yang mendeskripsikan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan
oleh mikroorganisme untuk menguraikan atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Metcalf & Eddy,
1991). Pengukuran BOD digunakan untuk mendapatkan besaran karbon organik yang dapat diuraikan secara biologis.
Dalam hal ini, BOD diukur dengan menggunakan pendekatan periode 5 (lima) hari atau disebut juga dengan BOD5.
Menurut Delzer dan Mckenzie (USGS, 2003), waktu 5 (lima) hari merepresentasikan hanya sebagian dari total BOD.
Menurut Hütter (1994), diperkirakan 70% material organik dapat teruraikan selama durasi 5 hari. Pada air limbah
domestik dengan temperatur 20oC, materi organik dapat terurai seluruhnya (100% BOD) pada waktu setelah 20 hari
(USGS, 2003). Namun, dalam kondisi tertentu, air limbah domestik dapat mengandung senyawa nitrogen organik,
ammonia, and nitrit yang berpotensi membutuhkan oksigen untuk teroksidasi menjadi nitrat. Reaksi ini dapat terjadi
pada hari ke-6. Oleh karena itu, BOD5 dinilai lebih representatif untuk menggambarkan fenomena oksidasi materi
organik di dalam air limbah domestik. BOD5 juga telah menjadi metode yang disetujui dan diterapkan oleh U.S.
Environmental Protection Agency (EPA) dalam pemantauan kualitas air limbah domestik. Gambar 1-3 menunjukkan
bagaimana perilaku konsentrasi BOD terhadap waktu.
Hubungan antara analisis karbon organik dapat dilihat pada Gambar 1-4.
Mikroorganisme di dalam air limbah domestik akan mengubah karbon organik terlarut dan dalam bentuk koloid menjadi
beberapa jenis gas dan protoplasma. Protoplasma, disebut juga sebagai biosolid atau sludge (lumpur), memiliki berat jenis
yang lebih besar dari air sehingga dapat dengan mudah untuk diendapkan secara gravitasi. Sebelum membahas tentang
proses biokimia baik dengan menggunakan atau memanfaatkan bakteri aerobik maupun anaerobik, pengenalan terhadap
klasifikasi bakteri dirasa penting untuk diketahui oleh setiap perencana maupun operator. Adapun klasifikasi bakteri dapat
dibedakan menjadi sebagai berikut:
a. Berdasarkan sumber karbon dan energi
1) Heterotrophic microorganism, merupakan mikroorganisme yang menggunakan material organik sebagai suplai
kebutuhan karbon.
2) Autotrophs microorganism, merupakan mikroorganisme yang membutuhkan CO2 untuk memenuhi suplai
karbonnya.
3) Phototrops microorganism, merupakan mikroorganisme yang hanya mengandalkan cahaya sebagai sumber
energinya.
4) Chemotrops microorganism, merupakan mikroorganisme yang mengekstrak energi dari proses oksidasi reduksi
material organik atau anorganik.
5) Lithotrops microorganism, merupakan mikroorganisme yang mengekstrak energi dari proses oksidasi material
organik.
6) Organotrops microorganism, merupakan mikroorganisme yang mengekstrak energi dari proses oksidasi material
anorganik.
Pendahuluan 5
b. Berdasaran kebutuhan oksigen
1) Obligate Aerobes, merupakan mikroorganisme yang hanya bisa hidup dengan kehadiran oksigen.
2) Obligate Anaerobes, merupakan mikroorganisme yang tidak dapat hidup dengan adanya kehadiran oksigen.
3) Facultative Anaerobes, merupakan mikroorganisme yang memanfaatkan oksigen untuk proses oksidasi/reduksi,
namun dalam kondisi tertentu dapat hidup tanpa kehadiran oksigen. Dalam kondisi anoksik, bakteri anaerob
fakultatif yang disebut juga sebagai denitrifier memanfaatkan nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-) untuk menggantikan
peran oksigen. Nitrat-nitrogen dapat dikonversikan menjadi gas nitrogen dalam kondisi tidak adanya oksigen
(proses anoxic denitrification).
c. Berdasarkan temperatur
1) Hyperthermophile (>60oC)
2) Thermophile (pertumbuhan optimal pada rentang 45 hingga 122oC)
3) Mesophile (20 hingga 45oC)
4) Psychrotrophs (dapat bertahan pada temperatur 0oC, namun lebih baik pada temperatur mesophilic)
5) Psychrophiles (-15 hingga 10oC atau lebih rendah lagi)
Degradasi Organik secara Anaerob
Proses penguraian material organik yang terkandung di dalam air limbah domestik secara anaerob terjadi melalui beberapa
tahapan reaksi, baik secara seri maupun paralel. Terdapat setidaknya empat tahapan, yakni (1) hidrolisis, (2) acidogenesis,
(3) acetogenesis, dan (4) methanogenesis. Tahapan proses degradasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1-5.
Proses degradasi organik melibatkan rantai makanan yang kompleks dengan jenis mikroorganisme yang beragam. Secara
umum, mikroorganisme tersebut mengubah material organik menjadi metan (CH4), karbon dioksida (CO2), ammonia (NH3),
hidrogen sulfida (H2S), dan air (H2O). Terdapat beberapa jenis bakteri yang berperan dalam reaksi tersebut, diantaranya
fermentative bacteria, hydrogen-producing acetogenic bacteria, hydrogen-consuming acetogenic bacteria, carbon dioxide
reducing methanogens, dan aceticlastic methanogens.
Secara umum, tahapan penguraian material organik tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a. Hidrolisis
Pada tahapan hidrolisis, enzim diekskresikan oleh bakteri fermentasi (sehingga disebut sebagai “exo-enzymes”) yang
mengubah material organik yang kompleks menjadi lebih sederhana dengan senyawa yang terlarut sehingga dapat
masuk dengan relatif mudah melewati dinding dan membran sel bakteri fermentasi.
b. Acidogenesis
Acidogenesis merupakan proses yang mengubah senyawa sederhana menjadi asam organik yang mudah menguap. Pada
tahapan ini senyawa yang terlarut di dalam sel bakteri fermentasi akan diubah menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Adapun senyawa-senyawa yang dihasilkan, diantaranya volatille fatty acid (VFAs), alkohol, lactic acid, CO2, H2, NH3, H2S,
dan sel baru.
c. Acetogenesis
Pembentukan asam dari senyawa-senyawa organik sederhana dilakukan oleh bakteri-bakteri penghasil asam yang terdiri
dari sub divisi acid/farming bacteria dan acetogenic bacteria. Asam propionat dan butirat diuraikan oleh acetogenic
bacteria menjadi asam asetat, hidrogen (H2), karbon dioksida (CO2), dan sel baru.
d. Methanogenesis
Methanogenesis merupakan tahap dominasi perkembangan sel mikroorganisme dengan spesies tertentu yang
menghasilkan metana. Pada tahap ini terjadi konversi asam organik menjadi metana, karbon dioksida, dan gas-gas lain
seperti hidrogen sulfida, hidrogen, dan nitrogen. Pembentukan metana dilakukan oleh bakteri penghasil metana yang
terdiri dari sub divisi acetocalstic methane bacteria yang menguraikan asam asetat menjadi metana dan karbon dioksida.
Hydrolysis
[Extra-cellular Enzymes]
Acidogenesis
[Fermentative Bacteria]
Acetogenesis
[Hydrogen Producing Acetogenic Bacteria]
Acetogenesis
[Hydrogen Consuming Acetogenic Bacteria]
Selama proses oksidasi anaerob, energi yang dihasilkan relatif kecil sehingga jumlah produksi sel baru relatif kecil. Kondisi
ini mengakibatkan jumlah lumpur yang dihasilkan dalam proses anaerob sangat sedikit jika dibandingkan dengan pengolahan
biologi secara aerob.
Pendahuluan 7
Complex Organic Matter
[Carbohydrates, Proteins, Lipids]
Hydrolysis
[Extra-cellular Enzymes]
Tahap selanjutnya, organik yang lebih sederhana akan teroksidasi dengan kehadiran oksigen di dalam air limbah domestik.
Reaksi stokiometri oksidasi dan sintesis material organik karbon dapat dideskripsikan secara umum sebagai berikut:
Bakteri
“organik + O2 + nutrien CO2+NH3+ C5H7NO2+ produk akhir”
C5H7NO2 merupakan sel baru atau protoplasma yang juga sering disebut sebagai bioflock. Ketika material organik telah
habis terkonsumsi, maka sel akan mulai mengonsumsi jaringan sel mereka sendiri. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan
kebutuhan energi dalam proses metabolisme sel. Proses ini disebut pula sebagai endogenous respiration. Reaksi stokiometri
endogenous respiration sebagai berikut:
Bakteri
C5H7NO2+O2 5CO2+2H2O+NH3+energi”
Proses degradasi organik karbon dapat berlangsung optimum pada rentang pH netral. Menurut Metcalf & Eddy (2003),
konsentrasi DO minimum harus mencapai 2 mg/L. Oleh karena itu, penting dalam perencanaan sistem pengolahan biologi
secara aerob memerhatikan suplai udara/oksigen. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam mensuplai oksigen
ke dalam pengolahan aerob. Metode-metode tersebut akan dibahas pada bab selanjutnya terkait perencanaan rinci unit
operasi dan proses.
Penyisihan Phosphor
Senyawa phosphor (fosfor) berpotensi terkandung di dalam air limbah domestik dalam bentuk organik maupun anorganik.
Terdapat kurang lebih 70% senyawa fosfor ditemukan dalam bentuk anorganik, yakni Orthophosphate (PO4-3) dan Polyphosphate
(P2O7). Senyawa fosfor dalam air limbah domestik bersumber dari aktivitas pencucian dengan menggunakan deterjen. Dalam
proses biokimia di pengolahan tahap kedua – biologi, senyawa fosfor digunakan dalam metabolisime mikroorganisme di
dalam air limbah domestik. Senyawa fosfor dapat direduksi di dalam air limbah domestik sehingga membentuk biomassa
yang akan terendapkan berupa lumpur. Penyisihan fosfor pada pengolahan tahap kedua/pengolahan biologi dapat mencapai
10 hingga 30% dari konsentrasi awal pada influen air limbah domestik.
Gambar 1-8 mengilustrasikan proses metabolisme dalam proses pelepasan dan penyisihan senyawa fosfor yang dibantu oleh
peran mikroorganisme yakni polyphosphate-accumulating organisms (PAO). PAO merupakan kelompok mikroorganisme yang
membantu proses penyisihan fosfor dalam jumlah tertentu. Dalam kondisi anaerob maupun anoksik, biomassa melepaskan
senyawa fosfor anorganik berbentuk orthophospat (PO4-3). Selanjutnya, pada kondisi aerob, PAO akan menyerap fosfor untuk
proses metabolisme sel membentuk sel baru.
Pendahuluan 9
Gambar 1-8. Pelepasan dan Penyisihan Fosfor pada Lingkungan Aerob dan Anaerob
Sumber: Qasim, 1999
Desinfeksi
Desinfeksi merupakan salah satu proses pengolahan yang berfungsi untuk mengurangi mikroorganisme patogen yang
berpotensi terkandung di dalam air limbah domestik. Mikroorganisme patogen dapat menjadi sumber penyebab penyakit
bagi manusia. Klorinasi merupakan salah satu bahan kimia yang sering digunakan sebagai desinfektan sejak tahun 1850.
Penggunaan klorinasi sudah dilakukan untuk mengurangi mikroorganisme patogen baik pada air minum maupun air limbah
domestik. Namun, senyawa tersebut berpotensi bersifat karsinogenesis karena proses klorinasi berpotensi dapat membentuk
chlorinated hydrocarbon (Qasim, 1999). Oleh karena itu, metode lain perlu dipertimbangkan untuk dapat digunakan dalam
proses desinfeksi.
Secara umum terdapat dua metode desinfeksi yang dapat digunakan dalam mengolah air limbah domestik, khususnya
menyisihkan mikroorganisme patogen. Adapun dua metode tersebut yakni metode fisika dan kimia. Metode fisika dilakukan
dengan memanfaatkan panas dan radiasi baik radiasi ultraviolet maupun gamma sedangkan metode kimia dapat dilakukan
dengan menggunakan senyawa kimia seperti agen pengoksidasi (klorin, bromin, dan iodin), alkohol, phenol, dan lain-lain.
Desinfeksi dengan menggunakan panas atau disebut juga sebagai proses pasteurisasi dapat digunakan dalam mengolah air
limbah domestik khususnya untuk pengolahan lumpur. Namun, menurut Qasim (1999), proses ini sulit untuk dapat diterapkan
dalam mendesinfeksi air karena energi yang dibutuhkan akan sangat besar sehingga menyebabkan tingginya biaya operasional
IPALD. Metode radiasi gamma dapat dilakukan dengan memanfaatkan Kobalt 60. Metode ini dinilai memiliki efisiensi yang
sangat baik dalam proses desinfeksi mikroorganisme patogen, baik pada air limbah domestik maupun lumpur dalam proses
pengolahan lumpur. Namun, faktor keamanan menjadi pertimbangan yang harus diperhatikan ketika menggunakan proses
radiasi karena potensi dampak negatif yang sangat besar terhadap manusia.
Gambar 1-9. Faktor Utama dalam Penyisihan Mikroorganisme Patogen di dalam Kolam Maturasi
Sumber: Verbyla, Sperling, & Maiga, 2017
Pendahuluan 11
Metode desinfeksi dengan memanfaatkan radiasi ultraviolet dinilai merupakan metode fisik yang terbaik karena tidak
memiliki resiko keamanan dan tidak meninggalkan residu bahan kimia berbahaya bagi manusia. Proses desinfeksi dengan
menggunakan radiasi ultraviolet sudah cukup banyak diterapkan di IPALD maupun IPLT di Indonesia. Di Indonesia, metode
ini dinilai cukup efektif karena posisi Indonesia yang berada di daerah tropis memungkinkan proses penyinaran yang lebih
lama. Desinfeksi dengan menggunakan radiasi ultraviolet dapat terjadi pada Kolam Maturasi yang merupakan rangkaian dari
Kolam Stabilisasi (Anaerobik/Aerobik – Fakultatif – Maturasi). Penetrasi sinar matahari menjadi sangat penting dalam proses
desinfeksi pada kolam maturasi. Oleh karena itu, pengaturan kedalaman yang efektif harus dilakukan sehingga penetrasi
sinar matahari dapat terjadi. Terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses desinfeksi pada kolam maturasi dengan
menggunakan radiasi ultraviolet yakni waktu kontak atau detention time dan kekeruhan atau materi tersuspensi yang dapat
menggangu penetrasi sinar ke dalam air di dalam kolam. Ilustrasi proses desinfeksi menggunakan radiasi ultraviolet dapat
dilihat pada Gambar 1-9. Selain metode kolam, penyinaran ultraviolet saat ini juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan
sinar ultraviolet buatan. Teknologi sinar ultraviolet buatan saat ini telah cukup banyak berkembang untuk mengolah baik air
limbah maupun air bersih/minum.
Koagulasi Flokulasi
Koagulasi flokulasi merupakan salah satu metode pengolahan yang ditujukan untuk mengendapkan material tersuspensi,
terlarut maupun koloid. Koagulasi didefinisikan sebagai proses destabilisasi partikel koloid tersuspensi dengan bantuan bahan
kimia yang disebut sebagai polimer koagulan. Proses pencampuran bahan kimia koagulan dilakukan dengan kondisi aliran
turbulen atau menggunakan pengadukan cepat mekanik. Kondisi turbulen akan mempermudah proses pencampuran polimer
dan air limbah domestik yang akan diolah.
Flokulasi merupakan sebuah proses untuk mendestabilisasi agregat yang memiliki ukuran partikel lebih besar sebagai
lanjutan dari proses koagulasi. Destabilisasi agregat dari proses koagulasi dilakukan untuk meningkatkan ikatan antar partikel
sehingga membentuk partikel dengan ukuran dan massa yang lebih besar dan lebih mudah untuk diendapkan secara gravitasi.
Flokulasi dilakukan dalam kecepatan aliran yang rendah menggunakan sistem kanal atau saluran terbuka maupun pengadukan
mekanik. Dalam perencanaan bangunan pengolahan koagulasi flokulasi, penentuan dosis polimer yang tepat menjadi kunci
efektifitas pengendapan partikel di dalam air limbah domestik. Penentuan dosis polimer harus dilakukan di laboratorium agar
mendapatkan dosis optimum yang tepat sesuai dengan karakteristik air limbah domestik yang akan diolah.
Filtrasi
Pengolahan air limbah domestik pada tahap lanjutan menggunakan filtrasi dapat dilakukan untuk menyisihkan partikel solid
tersuspensi yang masih terkandung di dalam air limbah domestik. Proses tersebut dilakukan melalui pengaliran air limbah
domestik dari Tahap Ketiga ke dalam sebuah media berpori. Hal ini menyebabkan partikel akan tertahan dalam media. Terdapat
beberapa jenis metode filtrasi yang ditujukkan untuk menyisihkan berbagai ukuran partikel. Gambar 1-11 menunjukkan
beberapa metode filtrasi yang dapat digunakan berdasarkan ukuran partikel yang akan disisihkan.
Pendahuluan 13
Metode pengolahan air limbah domestik dengan memanfaatkan teknologi wetland memiliki efektifitas yang baik, relatif
murah, dan tidak rumit dalam pengoperasian dan perawatan. Namun, pengolahan dengan metode ini membutuhkan waktu
detensi yang relatif lama sehingga untuk mengolah air limbah domestik dengan volume yang besar membutuhkan lahan yang
besar pula.
1.2.4 Pengolahan Tahap Lanjutan
Pengolahan tahap lanjutan merupakan pilihan yang dapat direncanakan dengan tujuan tertentu, salah satunya untuk
pemanfaatan air dalam lingkup terbatas sesuai dengan peraturan yang baku mutu lingkungan yang berlaku.
1.2.5 Tahap Pengolahan Lumpur
Pada tahapan ini, lumpur yang bersumber dari Sedimentasi Pertama dan Kedua akan diolah dengan menggunakan beberapa
alternatif teknologi sebelum dibuang atau dimanfaatkan kembali. Lumpur yang merupakan hasil dari proses pengolahan air
limbah domestik berpotensi mengandung mikroorganisme yang dapat membawa bibit penyakit baik berupa organik maupun
anorganik sehingga dapat bersifat toksik terhadap manusia atau lingkungan. Oleh karena itu, pengelolaan lumpur yang tepat,
efektif, dan efisien merupakan bagian yang penting dalam perencanaan IPALD.
LUMPUR SEDIMENTASI
PERTAMA
LUMPUR SEDIMENTASI
KEDUA (CLARIFIER)
Terdapat beberapa tahapan yang dapat direncanakan untuk mengolah lumpur yakni pemekatan atau pengentalan,
stabilisasi lumpur, penirisan/pengeringan, dan pemanfaatan lumpur. Skematik umum tahap pengolahan lumpur dapat
dilihat pada Gambar 1-13.
Pendahuluan 15
dapat tumbuh dan mendegradasi material organik dan sel mikroorganisme (endogenous respiration) yang terkandung di dalam
lumpur. Proses ini sama dengan proses yang ada pada pengolahan lumpur aktif. Proses stabilisasi aerob membutuhkan waktu
10–20 hari untuk mencapai stabilisasi yang sempurna. Dibandingkan dengan stabilisasi anaerob, metode ini dinilai lebih
efisien dan efektif, biaya pengoperasian yang rendah, dan tidak menimbulkan bau.
DATA
MELAKUKAN ANALISIS
MENETAPKAN KRITERIA MELAKUKAN
MENETAPKAN TEKNOLOGI KESETIMBAGAN MASSA
` DISAIN UNIT-UNIT ` PERHITUNGAN UNIT
TERPILIH UNTUK DEBIT, BOD, COD,
PENGOLAHAN OPERASI DAN PROSES
DAN TSS
MELAKUKAN
PERHITUNGAN TERHADAP
MELAKUKAN ANALISIS JARINGAN PIPA MENETAPKAN TATA LETAK
PROFIL HIDROLIS IPALD DISTRIBUSI ATAU (PLANT LAYOUT)
SALURAN TERBUKA ANTAR
UNIT PENGOLAHAN
GAMBAR TEKNIK
Bangunan INLET 17
Gambar 2-1. Contoh 1 Bak Pengumpul Inlet Gambar 2-2. Contoh 2 Bak Pengumpul Inlet
Sumber: http://web.deu.edu.tr Sumber: http://web.deu.edu.tr
Gambar 2-3. Contoh 3 Bak Pengumpul Inlet Gambar 2-4. Contoh 4 Bak Pengumpul Inlet dengan Screw Pump
Sumber: http://web.deu.edu.tr Sumber: UNIDO, 2015
Terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pemompaan air limbah domestik, yakni:
a. Kebutuhan head total, harus dihitung dengan seksama dengan mempertimbangkan total head loss yang dapat
diakibatkan karena head loss major maupun head loss minor.
b. Ketersediaan Pompa. Perencanaan pompa juga harus mempertimbangkan ketersediaan spesifikasi pompa dari
produsen. Faktor ini akan mempengaruhi jumlah pompa yang harus disediakan di dalam rumah pompa.
c. Rencana Pengembangan. Perencanaan pompa harus memerhatikan tahapan perencanaan. Debit air limbah
domestik tentu tidak dapat dicapai langsung dalam satu periode penyambungan sambungan rumah. Oleh karena
itu, perencanaan pompa, khususnya terkait dengan jumlah pompa, dapat disesuaikan dengan rencana atau tahapan
perencanaan SPALD-T. Hal ini dilakukan agar ketika start-up energi pompa yang dibutuhkan tidak besar.
Bangunan INLET 19
3. PENGOLAHAN TAHAP PERTAMA
Pengolahan pertama ditujukkan untuk menyisihkan sampah, pasir, dan material tersuspensi (suspended solid) yang
dilakukan dengan menggunakan metode pengolahan fisik. Metode fisik yang digunakan dalam tahapan ini dapat dilakukan
dengan cara memanfaatkan perbedaan ukuran dan berat/massa dari material/partikel yang terkandung di dalam air limbah
domestik. Terdapat beberapa teknologi yang digunakan dalam tahap pengolahan pertama yakni Saringan Sampah (Screen),
Bak Penyisih Pasir (Grit Chamber), Bak Ekualisasi (Equalization Tank) dan Bak Sedimentasi Pertama (Primary Sedimentation).
Adapun skematik pengolahan yang harus direncanakan pada tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 3-1.
Saringan
(Screen)
Bak Ekualisasi
Selain itu, terdapat pula bak ekualisasi dalam pengolahan tahap pertama. Bak Ekualisasi berfungsi untuk menyeragamkan
aliran, baik kuantitas (debit) maupun kualitas air limbah domestik, sehingga pada tahapan selanjutnya air limbah domestik
dapat diolah dengan debit dan kualitas yang relatif lebih konstan. Bak Ekualisasi dinilai penting untuk direncanakan agar
tidak mengganggu proses biologi pada pengolahan tahap kedua akibat adanya shock loading. Penentuan setiap unit
pengolahan harus dilakukan berdasarkan hasil analisis kondisi eksisting air limbah domestik di area perencanaan. Setiap
area perencanaan berpotensi memiliki karakteristik fisik, kimia, dan biologi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perencana
harus dapat melakukan identifikasi secara komprehensif sehingga produk perencanaan yang dihasilkan dapat sesuai tujuan
pembangunan SPALD-T.
Gambar 3-2. Penyisihan Material Kasar Secara Manual (Kiri), maupun Mekanis (Kanan)
b. Screen, berfungsi untuk menyaring material kasar yang terbawa bersama air limbah domestik. Untuk mekanikal screen
maka sistem juga dilengkapi dengan peralatan otomatis untuk pengangkatan sampah dari screen ke penampungan
sampah.
c. Tempat penampungan sampah, harus dimasukan dalam perencanaan. Volume tempat penampungan sampah dapat
disesuaikan dengan kapasitas penampungan yang ada dalam pengelolaan persampahan. Gambar 3-4 merupakan
contoh tempat penampungan sampah yang diterapkan di IPALD Bojongsoang, Bandung. Dalam perencanaan IPALD,
jenis kontainer yang digunakan harus menjadi pertimbangan dalam merencanakan jalan operasional di dalam area
IPALD. Perencana harus memerhatikan gerak atau manuver yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut sampah.
d. Lebar bukaan total saringan (w bukaan). Penentuan lebar bukaan total perlu dilakukan karena pada
penghitungan jumlah batang dilakukan pembulatan.
Gambar 3-8. Contoh Peralatan Mekanis Pengumpul Pasir di IPALD Bojongsoang, Bandung
di mana:
Vhorizontal= kecepatan horizontal (m/detik)
Qmaks
OR = ............ Persamaan 3-20
Asurface
Jika hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan kriteria desain, maka perencana harus menghitung kembali dengan merubah
asumsi-asumsi perencanaan. Hal ini perlu dilakukan agar bangunan yang dirancang tetap sesuai dengan kriteria desain
sehingga efisiensi pengolahan dapat tercapai.
a. Tentukan volume yang masuk ke dalam bak ekualisasi. Contoh penghitungan dapat dilihat sebagai berikut dengan
mengambil Tabel 3-7 sebagai contoh fluktuasi debit.
Contoh periode 24–01
= (275 L/detik) (3.600 detik/jam) (10–3 m3/L) = 990,0 m3/jam
b. Tentukan volume pemompaan yang keluar dari bak ekualisasi (Effluent Volume). Volume ini dapat ditentukan dengan
mengasumsikan bahwa volume total dibagi total periode yakni 24 jam. Sebagai contoh lihat Tabel 3-7 dan Tabel 3-8.
Dalam tabel ini diketahui bahwa volume total air limbah domestik yakni 26.532 m3 selama periode 24 jam. Volume
pompa dapat dihitung sebagai berikut
26.532 m3 / 24 jam = 1.1505,5 m3 (lihat Tabel 3-8 Kolom 3)
c. Tentukan volume influen kumulatif (cumulative influent volume). Buat diagram volume kumulatif terhadap periode
waktu. Diagram volume kumulatif terhadap waktu dapat dilihat pada Gambar 3-8. Penghitungan kumulatif dapat
dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut:
Contoh periode 01–02
= 990,0 m3 + 795,6 m3 = 1.785,6 m3 (lihat Tabel 3-8 Kolom 4)
f. Tentukan kebutuhan volume bak ekualisasi. Penentuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan diagram volume
akumulatif yang telah dibuat. Buatlah garis sejajar (paralel) dengan garis volume rata-rata. Garis tersebut berada
pada garis tangen di titik terendah maupun tertinggi. Lihat Gambar 3-15. Jika terdapat dua titik tangen (Lihat
Gambar 3-15 bagian kanan) maka volume bak ekualisasi yang dipilih adalah yang memiliki nilai terbesar. Contoh
penghitungan dapat dilihat sebagai berikut:
Volume Tangki= |Absolut Perbedaan Nilai kumulatif Terkecil (Negatif)| + Nilai Terbesar Kumulatif (positif)
Volume Ekualisasi= abs(- 4.102,8 m3) + 0 = 4.102,8 m3
Keberadaan sekat (baffle) yang berjarak tertentu dari lubang distribusi inlet harus didesain secara seksama. Posisi sekat
yang terlalu dalam berpotensi dapat menyebabkan aliran, yang cenderung dapat turbulen, pada zona ruang lumpur
sehingga menyebabkan terangkat dan terbawanya lumpur keluar bak sedimentasi. Distribusi aliran air limbah domestik
direncanakan dapat mengalir sesuai dengan desain bangunan bak pengendap sehingga dapat memenuhi waktu detensi
sesuai dengan penghitungan. Salah satu jenis sekat yang dapat digunakan, yakni perforated plate. Sekat jenis ini dapat
mendistribusikan aliran air baik secara akial maupun radial.
Unit pengolahan ini memiliki efisiensi penyisihan berkisar 50-70% untuk TSS (Qasim, 1985) dan 25-40% BOD5 (Metcalf,
1991). Efisiensi tersebut dipengaruhi langsung oleh faktor kecepatan permukaan atau overflow rate dan waktu detensi.
Selengkapnya, hubungan efisiensi terhadap overflowrate dan waktu detensi dapat dilihat pada Gambar 3-19. Bak
Pengendap Pertama yang ditempatkan sebelum proses pengolahan biologi biasanya didesain dengan waktu detensi yang
lebih pendek dan beban permukaan (surface loading) yang lebih besar. Pada sedimentasi kedua waktu detensi dan beban
permukaan lebih besar karena harus mempertimbangkan faktor resirkulasi waste activated sludge (Metcalf & Eddy,1991).
Gambar 3-18. Karakteristik Distribusi Air Limbah Domestik pada Inlet Bak Sedimentasi Pertama
Sumber: Metcalf & Eddy, 2014
Penghitungan unit sedimentasi dilakukan secara bertahap terhadap seluruh komponen-komponen yang dalam unit tersebut.
Adapun pada tahapan penghitungan yang harus dilakukan sebagai berikut.
A. Bangunan Utama
B. Komponen Inlet
b. Hitung total panjang weir. Nilai beban weir dapat diasumsikan sebesar 120 m3/m/hari. Total panjang weir
dihitung dengan persamaan:
Ptotal weir=2(P+L sebelum baffle)+2(P+L setelah ditambah baffle)-kotak efluen .............. Persamaan 3-36
d. Hitung diameter pipa outlet, terlebih dahulu menentukan kecepatan aliran dalam pipa, v=0,5 m/detik. Luas penampang pipa
dihitung menggunakan persamaan berikut:
Q
Apipa outlet = .............. Persamaan 3-38
vdalam pipa
Pengolahan tahap kedua merupakan pengolahan yang ditujukan untuk menyisihkan atau mendegradasi material organik
karbon yang terkandung di dalam air limbah domestik. Pada tahap ini, pengolahan dilakukan dengan menggunakan
metode pengolahan biologi. Pengolahan air limbah domestik secara biologi merupakan pengolahan yang memanfaatkan
mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang terkandung dalam air limbah sehingga menjadi senyawa
kimia sederhana dan mineral yang siap dan aman dibuang ke lingkungan. Pengolahan biologi melibatkan pertumbuhan
mikroorganisme aktif yang kontak dengan air limbah domestik sehingga mikroorganisme tersebut bisa mengkonsumsi
organik karbon sebagai makanan. Secara umum, skematik pengolahan tahap kedua dapat diilustrasikan pada skematik
Gambar 4-1 berikut ini.
Pengolahan Pengolahan Tahap Ketiga
Pengolahan Tahap Kedua
Tahap Pertama (Jika Diperlukan)
Resirkulasi Lumpur
(Jika Ada)
Menuju ke
Pengolahan Lumpur
Berdasarkan kebutuhan oksigennya, pengolahan biologi dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok yakni anaerob, aerob,
dan kombinasi anaerob-aerob. Dalam pengolahan tahap kedua terdapat unit pengolahan pengendapan kedua (secondary
sedimentation) yang berfungsi untuk mengendapkan padatan atau bioflok yang terbentuk khususnya jika menggunakan
metode pengolahan biologi secara aerob. Keberadaan unit pengolahan pendendapan kedua sangat tergantung pada jenis
teknologi yang dipilih pada pengolahan secara biologi.
Selain itu, berdasarkan media pertumbuhan mikroorganisme, sistem pengolahan biologi dapat dikategorikan menjadi dua
yakni sistem terlekat (attached growth microbe) dan sistem tersuspensi (suspended growth microbe). Sistem terlekat
merupakan sistem pengolahan biologi dengan memanfaatkan pertumbuhan mikroorganisme dipermukaan media seperti
cakram pada rotating biological contactor, bioball/batu pada trickling filter, MBBR, dan lain-lain. Sistem berikutnya yakni
sistem tersuspensi yang dilakukan dengan memanfaatkan mikroorganisme yang tumbuh di dalam air limbah domestik
(tersuspensi).
KOLAM ANAEROBIK
UPFLOW ANAEROBIC
SLUDGE BLANKET (UASB)
ANAEROBIK
KOLAM AERASI
Sequencing Batch
Reactor
AEROBIK
ROTATING BIOLOGICAL
CONTACTOR (RBC)
TRICKLING FILTER
SISTEM TERLEKAT
(ATTACHED GROWTH)
AEROB FILTER
MOVING BED
BIOREACTOR (MBBR)
SISTEM TERSUSPENSI
(SUSPENDED GROWTH) Gambar 4-2. Alternatif Teknologi Pengolahan
Biologi
Kombinasi
SISTEM TERLEKAT
(ATTACHED GROWTH)
inlet Outlet
KOLAM ANAEROBIK
inlet Outlet
KOLAM ANAEROBIK KOLAM FAKULTATIF
inlet Outlet
KOLAM ANAEROBIK KOLAM FAKULTATIF KOLAM MATURASI
(Mara, 2003). Desain yang tepat, sesuai dengan kriteria desain dan lingkungan yang tepat, dapat menyisihkan BOD hingga >60%
pada temperatur 20oC. Pada kondisi konsentrasi BOD kurang dari 300 mg/L, waktu tinggal kolam anaerobik relatif singkat, yakni 1
hari pada temperatur 20oC (Mara, 2003). Untuk daerah tropis seperti Indonesia, sistem kolam anaerobik cukup efektif dan efisien
untuk dapat bekerja dengan baik karena tidak terganggu dengan perubahan temperatur yang signifikan seperti yang terjadi pada
daerah subtropis. Selain itu, posisi Indonesia yang berada di daerah tropis juga memberikan kesempatan kepada sistem kolam
maturasi untuk bekerja dengan baik karena penyinaran matahari yang lebih lama jika dibandingkan dengan daerah subtropis.
Pada kolam anaerobik, pengendapan padatan terjadi, terakumulasi, dan terdegradasi (digesting) di dasar kolam. Akumulasi
lumpur tersebut memerlukan penyedotan secara regular. Menurun Mara (2003), penyedotan endapan lumpur pada kolam
anaerobik dapat dilakukan setiap 1 hingga 3 tahun. Pembentukan scum juga berpotensi terjadi sehingga dapat membuat
lapisan di atas permukaan kolam yang turut membantu menjaga kondisi anaerob di dalam kolam.
Tabel 4-2. Nilai Volumentrik Beban BOD dan Persentase Penyisihan BOD di Kolam Anaerobik pada Berbagai Temperatur
Tabel 4-3. Hubungan Waktu Detensi, Volumentrik Beban BOD, dan Persen Penyisihan BOD
b. Hitung faktor penyisihan COD/BOD. Faktor penyisihan BOD dapat dilihat pada Gambar 4-9. Konsentrasi BOD5
ke komparteman selanjutnya (area sekat) dapat dihitung dengan mengalikan BOD influen dengan faktor
penyisihan BOD.
c. Hitung rasio COD/BOD setelah melalui area pengendapan.
Gambar 4-7. Faktor Efisiensi Penyisihan COD terhadap Suhu dalam Reaktor Anaerobik
Sumber: DEWATS, Ulrich et al, 2009
Gambar 4-8. Faktor Efisiensi Penyisihan BOD terhadap Konsentrasi BOD influen
Sumber: DEWATS, Ulrich et al, 2009
Pengolahan Tahap Kedua: Pengolahan Biologi 51
Gambar 4-9. Faktor Efisiensi Penyisihan BOD terhadap Beban Organik BOD
Sumber: DEWATS, Ulrich et al, 2009
Gambar 4-10. Persentase Efisiensi Penyisihan BOD terhadap Waktu Tinggal Hidraulik pada unit Anaerobic Baffled Reactor
Sumber: Ulrich et al, 2009
V
HRT pada area sekat, HRT =
Qpeak/105%
D. Kecepatan Upflow
tinggi reaktor (m)
Kecepatan Upflow = Hydraulic Retention Time (jam)
Catatan: Kecepatan upflow tidak boleh melebihi 0,7 m/jam (Lettinga dan hulshoff Pol, 1991).
Tipe Media A B C D E F G
Luas Permukaan Spesifik 5 1 5 5 5 5 5
Volume Rongga 1 1 1 1 4 5 5
Diameter celah bebas 1 3 1 1 2 2 5
Ketahanan terhadap penyumbatan 1 1 1 1 3 3 5
material 5 5 5 5 5 5 5
Harga persatuan luan 5 3 3 5 4 1 4
Kekuatan mekanik 5 5 1 1 2 2 5
Berat Media 1 1 5 5 4 5 5
Fleksibilitas 2 2 1 3 3 4 4
Perawatan 1 1 1 1 3 3 5
Konsumsi Energi 2 2 1 5 4 5 5
Sifat dapat basah 5 5 3 3 3 1 5
Total Bobot 34 32 28 36 42 41 56
Sumber: Pedoman Biofilter DepKes RI
C. Biofilter Aerob
1) Kriteria Perencanaan
a. Waktu tinggal (retention time) rata-rata, td = 6–8 jam
b. Tinggi ruang lumpur, hl = 0,5 m
c. Tinggi bed media filter = 0,9–150 m
d. Tinggi air di atas media filter = 20 cm
e. Beban BOD per satuan permukaan media filter:
5–30 g BOD/m2.hari. (EBIE Kunio, Eisei Kougaku Enshu, Morikita shuppan kabushiki
Kaisha, 1992).
0,5–4 kgBOD/m3.hari media.(menurut Nusa Idaman Said, BPPT, 2002)
2) Rumus Perencanaan
a. Volume ruang biofiltrasi = Q x td
b. Volume media = (Q x COD)/ Beban Organik.
c. Kebutuhan Oksigen = Kebutuhan BOD yang dihilangkan
d. Kebutuhan udara untuk perencanaan blower
= (Kebutuhan O2/hari) / (berat jenis udara x % O2 diudara x efisiensi transfer O2)
V
A= h
Penghitungan dimensi panjang dan lebar dapat ditentukan dengan mempertimbangkan geometri kolam.
B. Kebutuhan Aerasi.
Kebutuhan oksigen dalam aerated lagoon dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan
berikut ini:
ROks = [1.5(So - Se) Q-1,42 X Q] ×10-3/24
di mana X merupakan konsentrasi sel bakteri yang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:
Y (So- Se)
X=
1+b td
Selain itu, perencanaan aerated lagoon juga dapat mempertimbangkan proses nitrifikasi sehingga perlu
diperhitungkan kebutuhan konsentrasi oksigen. Kebutuhan oksigen untuk proses nitrifikasi dapat dihitung:
RO2 (kg/jam) = 3,1(Si - Se)Q ×10-3/24
Total kebutuhan oksigen pada aerated lagoon = 0,017 kg/jam + 2,78 kg/jam = 2,797 kg/jam
Gambar 4-16. (a) Complete Mix Activated Sludge; (b) Oxydation Ditch; dan (c) Oxydation Ditch
Ilustrasi skema dari teknologi-teknologi di atas dapat dilihat pada Gambar 4-17 dan Gambar 4-18.
Influent Influent
Aeration basin Effluent
Return Sludge
Return Sludge
Waste sludge
Alternate waste
sludge point
Aeration basin Secondary clarifier
Waste sludge
Effluent Sludge co
Influent
Influent
Return Sludge
Aeration rotor
Waste sludge
STEP AERATION
OXYDATION DITCH
(PLUG-FLOW AERATION)
Alternate waste Alternate waste
sludge point sludge point
Secondary clarifier Secondary clarifier
Influent
ation basin Effluent Effluent
Return Sludge
Return Sludge
Alternate waste
sludge point
Aeration basin Secondary clarifier
Waste sludge
Effluent Sludge concentrating hopper
Influent
To Secondary
clarifier
Return Sludge
Aeration rotor
Waste sludge
STEP AERATION
OXYDATION DITCH
LUG-FLOW AERATION)
Gambar 4-17. Beberapa Skema Pengolahan dengan Metode Lumpur Aktif (1)
Air Air
100 35 100 35 On/Off On/Off
React React
Air Air
100 20 100 20 Off Off
Settle Settle
Clarify Clarify
Air Air
100 to 35 15 100 to 35 Draw
15 Off
Draw Off
Supernatant Supernatant
Influent Contact
Influent Contact Effluent Effluent
basin basin
Air Air
35 to 25 5 35 to 25 5 On/Off On/Off
Idle Idle
Reseration Reseration
Settle Settle
(stabilizatio) (stabilizatio) Waste sludge Waste sludge
Alternate waste Alternate
basinwaste basin Return Sludge Return Sludge
sludge point sludge point
Waste sludge Waste sludge
SEQUENCING BATCH
SEQUENCING
REACTOR BATCH REACTOR KONTAK STABILISASI
KONTAK STABILISASI
Gambar 4-18. Beberapa Skema Pengolahan dengan Metode Lumpur Aktif (2)
Activated
Complete Mixed Sequencing Extended
No. Parameter Sludge Oxydation Ditch Satuan
Aerated Sludge Batch Reactor Aeration
Convensional
1 Waktu tinggal padatan hari 3–15 3–15 10–30 20–30 15–30 hari
2 Rasio F/M
0,2–0,4 0,2–0,6 0,04–0,10 0,05–0,15
kg BOD/Kg
MLVSS.hari
3 Muatan Volumetrik 0,3–0,7 0,3–1,6 0,1–0,3 0,1–0,4 Kg BOD/m3.hari
4 MLSS 1.000–3.000 1.500–4.000 2.000–5000 3.000–6.000 1.500–5.000 mg/L
5 Total waktu hidrolis 4–8 3–5 15–40 18–36 jam
6 Rasio RAS (Return Activated Sludge) 25–75 25–100 NA 0,5–2,0 75–150 % influen
7 Kecepatan Aliran (ditch Velocity) - - - - 0,3 m/detik
1. Konsetrasi BODe
Penghitungan konsentrasi final BODe di dalam efluen dapat dihitung dengan tahapan sebagai berikut:
BODe = BODs – BOD (efluen suspended solid, mg/L)
di mana BODs merupakan asumsi konsentrasi BOD terlarut yang dapat diasumsikan. Nilai ini merupakan konsentrasi
BOD5 yang keluar dari unit lumpur aktif.
BOD efluen suspended solid dapat ditentukan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut:
BOD efluen suspended solid = 1,42 f G Xe
di mana: f = rasio BOD/BODu, nilai tipikalnya yakni 0,70
G = Fraksi VSS/TSS, nilai tipikalnya 0,8–0,85
Xe = konsentrasi TSS pada efluen (mg/L)
2. Efisiensi Pengolahan
Efisiensi pengolahan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
(So - S)
μ=
So
di mana: So = konsentrasi BOD influen (mg/l)
S = konsentrasi BOD efluen (mg/l) yang dihitung pada nomor 1.
3. Volume Tangki
Penghitungan volume dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
QθcY(So - S)
V=
X (1+kdθc)
di mana: V = volume tangki (m3)
Q = debit air limbah domestik yang masuk (m3/hari)
X = MLVSS (mg/L)
kd = koefisien Decay (hari-1)
θc = umur sel (hari)
Y = koefisien pertumbuhan (mg/mg)
4. Luas Tangki
Luas tangki dapat dihitung dengan mengasumsikan kedalaman tangki. Kedalaman tangki dapat diasumsikan pada
rentang 3–4,5 meter.
5. Dimensi Tangki
Penghitungan dimensi tangki dilakukan dengan menggunakan asumsi rasio panjang dan lebar sesuai dengan kriteria
desain. Jika tangki berbentuk persegi, maka lebar tangki dapat dihitung sebagai berikut:
Luas =PxL
= 2 x L2
7. Return Sludge
Laju return sludge dihitung berdasarkan konsentrasi MLSS di dalam tangki aerasi dan TSS di return sludge. TSS di
influen dapat diasumsikan dengan nilai yang sangat kecil.
MLSS (Q + Qr) = TSS sludge x Qr
8. Kontrol Desain
Waktu Aerasi (td)
volume
td =
debit
Drive
To clarifier
Primary
effluent
Penyisihan
Penyisihan Pemisahan
No. Parameter BOD dan Satuan Sumber
BOD nitrifikasi
nitrifikasi
1 Beban Hidrolik 0,08–0,16 0,03–0,08 0,04–0,10 m3/m2.hari
2 Beban Organik 8–20 5–16 1–2 gr BOD/ m2.hari
3 Maks. tahap pertama beban
24–30 24–30 - gr BOD/ m2.hari
organik Tchobanoglous
4 Beban NH3 0,75–1,5 gr N/ m .hari
2 et al., 2003
5 Waktu detensi 0,7–1,5 1,5–4 1,2–3 Jam
6 Efluen BOD 15–39 7–15 7–15 mg/L
7 Efluen NH4-N <2 1–2 mg/L
Selain itu, kriteria perencanaan RBC juga harus mempertimbangan beberapa kondisi, diantaranya:
a. Ukuran cakram. Ukuran ini sangat ditentukan pada tipe cakram, yakni low density dengan luas piringan 9.300 m2 per
8,23 m shaft, serta medium density dan high density yang memiliki luas dari rentang 11.000 hingga 16.700 m2 per
8,23 m shaft.
b. Untuk shaft dengan 9.300 m2 luas cakram, volume tangki dapat mencapai 45 m3; waktu detensi 1,44 jam; laju beban
hidraulik (hydraulic loading rate) 0,08 m3/m2.hari; dan kedalaman cakram yang tenggelam yakni 1,5 atau 40% dari
total kedalaman.
B. Tentukan luas piringan RBC untuk tahap I dengan sBOD maksimum 12–15 g sBOD/m2.hari
Beban sBOD (g/hari)
Acakram =
sBOD loading rate (g/m2.hari)
n= Acakram (m2)
luas per shaft (m2/shaft)
D. Tentukan luas area tiap cakram
(
Acakram = π x
diameter cakram (m) (2
x2
2
G. Pilih jumlah train untuk desain, debit per train, jumlah tahapan, dan luas cakram/shaft dalam setiap tahap (pada
tahap dengan beban yang rendah dapat digunakan high density disk).
Train
• Panjang train
ptrain = dcakram +(2 x jarak cakram)
H. Dari asumsi 4, hitung beban organik sBOD, beban organik BOD, laju beban hidraulik pada setiap tahap. Periksa apakah
ketiga parameter di atas memenuhi kriteria desain, apabila tidak maka diperlukan modifikasi tahapan pada RBC.
• Beban organik sBOD
Qdesain (m3/hari) x sBOD (mg/l)
Lorganic sBOD =
n shaft x A per shaft (m2/shaft)
I. Hitung konsentrasi sBOD dalam setiap tahapan. Dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut ini.
(-1)+ ((1+(4 x 0,00974) x (AS/Q) x Sn-1)
sBODn =
2 x 0,00974 x AS/Q
Trickling filter terdiri dari shallow bed yang berisi dengan batuan pecah atau media sintesis. Air limbah diaplikasikan
di permukaan menggunakan sistem distribusi rotasi yang dipacu sendiri. Materi organik disisihkan oleh lapisan yang
menempel pada lapisan lendir yang berkembang di atas media. Sistem underdrain mengumpulkan cairan yang tertelan
yang juga mengandung zat padat biologis terlepas dari media. Sirkulasi udara melalui pori-pori karena draft natural
yang disebabkan oleh gradien termal. Cairan yang tertambat dan padatan biologis yang terpisah ditempatkan di clarifier.
Sebagian aliran didaur ulang untuk menjaga beban hidrolik seragam dan untuk mencairkan influen.
Berdasarkan beban organik dan hidrolik, trickling filter diklasifikasikan ke dalam tingkat rendah, tingkat sedang, tingkat
tinggi dan super tinggi (saringan kasar). Seringkali trickling filter menjadi 2 tahap (dua trickling filter secara seri) digunakan
untuk mengolah limbah dengan kekuatan tinggi.
Gambar 4-25. Media dengan Jenis Plastik (Kiri) dan Batu (Kanan) pada Trickling Filter
Sumber: www.waterandcarbon.com.au
Dalam perencanaan trickling filter terdapat beberapa kriteria desain yang perlu dipenuhi, adapun kriteria desain tersebut
dapat dilihat pada Tabel 4-11.
Tabel 4-11. Kriteria Desain Rotating Biological Contactor
Sistem
No. Parameter tingkat tingkat tingkat super Sumber
tingkat tinggi dua sisi
rendah sedang tinggi
Aliran tidak
1 Operasi Kontinu Kontinu Kontinu Kontinu
teratur
2 Rasio Resirkulasi 0 0–1,0 1,0–2,5 1,0–4,0 0,5–3,0
3 Kedalaman 1,5-3,0 1,25–2,5 1,0–2,0 4,5–12 2,0–3,0
4 Hydraulic Loading 1-4 4–10 10–40 40–200 10–40
5 BOD5 loading 0,08-0,32 0,24–0,48 0,32–1,0 0,8–6,0 1,0–2,0
6 Proses Aliran tidak Aliran tidak
Kontinu Kontinu Kontinu Qasim,
teratur teratur
1985
7 Media Batu, agregat Batu, agregat Batu, agregat Batu, agregat
Sintesis
kasar kasar kasar, sintesis kasar, sintesis
8 Penyaring lalat Banyak Medium Kecil Tidak ada Tidak ada
9 Kekuatan 2–4 2–8 6–10 10–20 6–10
10 Efisiensi penyisihan
74–80 80–85 80–85 60–80 85–95
BOD5
11 Efluen nutrisi baik nutrisi baik sedikit nitrifikasi sedikit nitrifikasi nutrisi baik
C. Efisiensi pengolahan
Penghitungan efisiensi pengolahan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut:
So + Se
μ=
So
D. Hydraulic Loading (HL)
Nilai HL merupakan total debit air limbah yang masuk ke dalam trickling filter dibagi dengan luas area tangki
trickling filter rencana.
Qr + Qw
HL =
A
Qw (1+R)
HL =
A
BOD loading (beban organik atau beban permukaan)
QwS
LBOD = mg.m3
1.000 V
kg.L
F. Cek kesesuaian dimensi tangki trickling filter desain dengan kriteria desain. Jika tidak sesuai maka perlu dilakukan
penyesuaian terhadap asumsi kedalaman dan diameter sehingga dapat merubah nilai kriteria desain agar sesuai.
Gunakan persamaan pada poin D dan E untuk pengecekan kesesuaian kriteria desain.
Unit MBBR cocok diterapkan untuk permasalahan nitrifikasi karena prosesnya memungkinkan perkembangbiakan bakteri
nitrifikasi pada area permukaan media. Bakteri nitrifikasi memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif lambat dan sangat
dipengaruhi oleh suhu air. Teknologi MBBR memungkinkan terjadinya proses nitrifikasi dengan mempertahankan jumlah
bakteri nitrifikasi tanpa bergantung pada waktu retensi padatan (SRT) ataupun MLSS.
Tabel 4-13. Tipikal Removal Flux untuk BOD, Nitrifikasi, dan Denitrifikasi
Laju Penyisihan
Removal Flux
No. Aplikasi Substrat Volumetrik
(g/m2.hari)
(kg/m3.hari)
1. Penyisihan BOD, sebagian BOD 15–20 4,5–6,0
2. Pengolahan Kedua BOD 5–15 1,7–5,0
3. Prenitrifikasi BOD 4–5 1,2–1,5
4 Nitrifikasi NH4-N 0,4–1,4 0,1–0,4
5 Predenitrifikasi NO3-N 0,2–1,0 0,1–0,3
6 Denitrifikasi NO3-N 1–2 0,3–0,6
Sumber: Metcal & Eddy, 2014
Laju BOD dapat dihitung dengan mengalikan debit air limbah domestik terhadap konsentrasi BOD yang masuk.
D. Volume reaktor dapat dihitung dengan membagi volume media dengan rencana persentase volume media terhadap
volume tangki. Persentase ini dapat diasumsikan maksimum 70%. Contohnya 50%, sehingga volume reaktor:
volume media (m3)
volume reaktor =
(%vol media terhadap vol tangki/100)(m2/m3)
Hitung waktu detensi hidraulik dengan menggunakan persamaan berikut ini:
volume media (m3)
td = Q (m3/hari)
Dimensi reaktor dapat dihitung dengan menyesuaian rencana geometri tangki yang akan direncanakan.
Lumpur yang akan diolah pada tahap ini bersumber dari sedimentasi pertama dan kedua. Penambahan lumpur mungkin
juga berasal dari proses presipitasi kimia, nitrifikasi-denitrifikasi, screening dan grinder serta peralatan filtrasi jika ada
pada sistem pengolahan ini. Beberapa teknologi dalam pengolahan lumpur dijabarkan pada sub-bab berikut.
5.1 Pengentalan (Thickener)
5.1.1.1 Definisi dan Prinsip Kerja
Thickening atau pengentalan digunakan untuk meningkatkan konsentrasi padatan di dalam lumpur dan mengurangi volume
lumpur dengan cara pengeluaran air yang terkandung di dalam lumpur. Pada umumnya lumpur yang dihasilkan dari unit
pengolahan air limbah masih mengandung cukup banyak kadar air dibandingkan padatan lumpur. Persentasi kandungan
air mencapai rentang 99,5–99%, dan sisanya 0,5–1,0% merupakan padatan. Oleh karena itu, untuk mengurangi kadar air
dalam lumpur, proses pengentalan perlu dilakukan sehingga dapat mengurangi beban pengolahan lumpur.
Ada beberapa metode pengentalan lumpur, diantaranya:
a. Pengentalan lumpur secara gravitasi (gravity thickening)
Gravity thickening merupakan metode pengentalan yang cukup terkenal dan metode yang umum digunakan. Sesuai dengan
namanya, dalam proses ini terjadi pengendapan dengan pemanfaatan gaya gravitasi untuk memisahkan air dari dalam
lumpur. Sistem gravity thickening terbagi menjadi 3 (tiga) zona, yaitu:
1. Clear zone, merupakan zona yang berada di paling atas dengan kondisi cairan relatif jernih yang merupakan
tempat bagi air yang berhasil dipisahkan dari lumpur untuk kemudian dikeluarkan dari dalam sistem dan dialirkan
kembali ke sistem pengolahan air limbah domestik (umumnya menuju ke tahap pengolahan biologi).
2. Feed zone, merupakan zona yang berada di bawah lapisan clear zone yang memiliki konsentrasi padatan yang
seragam. Proses pengendapan terjadi pada zona ini. Lumpur yang masuk ke dalam centre sump kemudian
mengalir ke bawah pada feed zone. Padatan di dalam lumpur akan mengendap ke dasar clarifier, sedangkan air
akan mengalir ke atar menuju ke outlet.
3. Compaction zone, merupakan zona yang berada di bawah setelah lapisan feed zone. Padatan yang terkandung
di dalam lumpur akan terakumulasi di dalam zona ini sehingga konsentrasi padatan akan semakin meningkat.
Pengolahan Lumpur 79
Selanjutnya, melalui sistem pemompaan atau gravitasi, lumpur yang sudah mengental akan dialirkan menuju ke
pengolahan selanjutnya.
Diantara lapisan clear zone dengan feed zone terdapat lapisan/area yang disebut sludge blanket, kedalamannya
menjadi faktor penting dalam operasional unit gravity thickening.
Gambar 5-2. Contoh Unit Clarifier Dalam Pengentalan Lumpur di IPALD Kawasan Jababeka
B. Dimensi Unit
Diameter tangki tiap unitnya, dengan menggunakan rencana geometri lingkaran, dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut ini:
C. Kedalaman unit
Kedalaman thickener merupakan penjumlahan dari zona jernih, zona pengendap, dan zona thickening. Kedalaman bak
pengental lumpur (kedalaman zona jernih dan zona pengendapan) dapat diasumsikan dengan mengambil nilai dari
rentang sesuai dengan kriteria desain pada Tabel 5-1. Untuk zona thickening, penghitungan harus memerhatikan jumlah
atau volume lumpur yang terendapkan di dasar unit thickener. Adapun penghitungan kedalaman thickening (zona lumpur)
dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Asumsikan waktu detensi (td, dalam hari) pengumpulan lumpur. Hal ini terkait dengan periode penyedotan
lumpur yang akan dilakukan oleh operator. Perlu dicatat bahwa semakin lama periode penyedotan yang dipilih,
maka semakin besar ruang penyimpanan lumpur yang dibutuhkan.
b. Hitung volume ruang penyimpanan lumpur sebagai fungsi dari h (kedalaman thickening). Ruang lumpur dapat
dihitung sesuai dengan geometri yang dipilih.
c. Hitung massa lumpur yang diendapkan dalam periode penyimpanan (sesuai dengan waktu detensi yang dipilih)
d. Hitung ketinggian thickening, h.
h. Hitung kedalaman total:
= kedalaman zona jernih + kedalaman zona pengendap + kedalaman thickening.
Pengolahan Lumpur 81
D. Struktur inlet
Struktur inlet terdiri dari central feed well. Lumpur dari tangki aerasi dan bak pengendap pertama dipompakan ke
gravity thickener dengan diameter pipa pembuangan. Diameter pipa dapat dihitung sesuai dengan debit lumpur
yang akan dialirkan dengan menggunakan persamaan hidrolika aliran dalam pipa.
E. Lumpur dari thickener
Penghitungan lumpur dari thickener bertujuan untuk mengetahui volume lumpur yang akan dialirkan dalam periode
tertentu untuk diolah pada pengolahan selanjutnya. Tahapan penghitungan volume lumpur, yakni:
a. Massa lumpur, dilakukan dengan mengalikan massa lumpur yang masuk ke dalam unit thickener (kg/hari)
terhadap asumsi desain persen solid capture yang dipilih (Lihat Kriteria Desain).
b. Debit lumpur, dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
massa lumpur (kg/hari)
debit lumpur (m3) = ............. Persamaan 5-3
(konsentrasi solid (%) x specific gravity (g/m3)
c. Rencanakan pompa pengurasan lumpur (jika dibutuhkan). Penghitungan pompa dapat dilihat pada Buku
Perencanaan Pompa.
F. Struktur Outlet
Outlet dari unit thickener dapat direncanakan dengan menggunakan pelimpah. Pada umumnya, pelimpah yang
digunakan yakni berbentuk V atau disebut sebagai V-notch. Pelimpah ini dipertimbangkan untuk digunakan karena
dapat berfungsi baik dengan debit yang kecil. Pelimpah direncanakan di sepanjang sisi thickener untuk dapat
menampung dan mengalirkan air supernatan. Tahapan penghitungan pelimpah outlet, yakni:
a. Menghitung panjang weir
Pweir = (Q puncak setiap bak per hari) .............
Persamaan 5-4
beban weir
b. Hitung total panjang weir. Nilai beban weir dapat diasumsikan sebesar 120 m3/m/hari. Total panjang weir
dihitung dengan persamaan:
Ptotal weir = 2(P+L sebelum baffle)+2 (P+L setelah ditambah baffle)-kotak efluen ............. Persamaan 5-5
d. Hitung diameter pipa outlet, terlebih dahulu menentukan kecepatan aliran dalam pipa, v = 0,5 m/detik. Luas
penampang pipa dihitung menggunakan persamaan berikut:
Q
Apipa outlet = .............
Persamaan 5-7
vdalam pipa
7 VSS 35–50 %
8 Kebutuhan Tenaga 6–7,5 kW per 10.000 EP
Keterangan:
a = hanya limbah dari lumpur aktif
b = limbah dari pengolahan pertama dan lumpur aktif atau lumpur dari pengolahan pertama saja
Pengolahan Lumpur 83
5.2.1.1.3 Tahapan Perhitungan
Adapun tahapan perhitungan unit stabilisasi aerobik sebagai berikut:
A. Konsetrasi BODe
Perhitungan konsentrasi final BODe di dalam efluen dapat dihitung dengan tahapan sebagai berikut:
BODe = BODs – BOD (efluen suspended solid, mg/L)
di mana BODs merupakan asumsi konsentrasi BOD soluble yang dapat diasumsikan. Nilai ini merupakan konsentrasi
BOD5 yang keluar daru unit lumpur aktif. Sedangkan BOD efluen suspended solid dapat ditentukan dengan
menggunakan pendekatan sebagai berikut:
BODefluen suspended solid = 1,42 f G Xe
di mana: f = rasio BOD/BODu, nilai tipikalnya yakni 0,70
G = Fraksi VSS/TSS, nilai tipikalnya 0,8–0,85
Xe = konsentrasi TSS pada efluen (mg/L)
B. Efisiensi pengolahan
Efisiensi pengolahan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
(So - S) mg/L
μ= So
di mana So merupakan konsentrasi BOD influen dan S merupakan konsentrasi BOD efluen yang dihitung pada nomor
1.
C. Volume tangki
Penghitungan volume dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
QθcY(So - S)
V=
X (1 + kdθc)
di mana: V = volume tangki (m3)
Q = debit air limbah domestik yang masuk (m3/hari)
X = MLVSS (mg/L)
kd = koefisien Decay (hari-1)
θc = umur sel (hari)
Y = koefisien pertumbuhan (mg/mg)
D. Luas tangki
Luas tangki dapat dihitung dengan mengasumsikan kedalaman tangki. Kedalaman tangki dapat diasumsikan pada
rentang 3 hingga 4,5 m.
E. Dimensi tangki
Penghitungan dimensi tangki dilakukan dengan menggunakan asumsi rasio panjang dan lebar sesuai dengan kriteria
desain. Jika tangki berbentuk persegi, maka lebar tangki dapat dihitung sebagai berikut:
Luas = P x L
= 2 x L2
maka, A
lebar (L) = 2
Pengolahan Lumpur 85
di mana: N = kebutuan oksigen teorits (kg/hari)
Cnsw = konsentrasi oksigen pada temperatur lapangan (mg/l)= 8,5 mg/l (Metcalf & Eddy)
Csw = konsentrasi oksigen pada temperatur standar 20oC (mg/l) = 9,15 mg/l (Qasim)
C = DO minimum yang dicapai dalam tangki (mg/l), 2 mg/l
β = faktor koreksi tegangan tergantung salinitas air limbah = 0,9 (Qasim)
x = faktor koreksi transfer oksigen = 0,95 (Qasim)
fa = faktor koreksi kelarutan oksigen terhadap ketinggian
fa = [1 – (ketinggian / 9.450)]
= [1 – (675 m / 9.450 m)] = 0,93
T = temperatur rata-rata air limbah pada kondisi lapangan, tergantung dari
temperatur udara ambien rata-rata dan temperatur influen. Nilai T dapat
diketahui menggunakan persamaan berikut:
d. Kebutuhan Udara Teoritis
Mt = M / FA = M / 0,65
e. Total Udara Desain (Md)
Udara yang dibutuhkan dalam desain dapat diasumsikan sebesar 150% dari udara teoritis
f. Volume udara per kg BOD5 disisihkan per m3 air buangan yang diolah per m3 tangki
Mb = Md / (So – S) x Q
g. Volume Udara per Volume Air Buangan (Ma)
Ma = Md / Q
Pengolahan Lumpur 87
a. Penghitungan kapasitas bangunan unit pengolahan
volume digester = debit (m3/hari) x waktu detensi (hari)
b. Penentuan dimensi reaktor, dilakukan dengan mengambil asumsi kedalaman reaktor sehingga dapat diperoleh
diameter reaktor. Dalam penghitungan dimensi perlu dipertimbangkan jumlah unit yang akan direncanakan
untuk dibangun.
c. Hitung ulang volume reaktor digester, perlu dilakukan karena dalam proses penghitungan dimensi dapat
memungkinkan terjadinya pembulatan bilangan. Oleh karena itu, penghitungan ulang volume perlu dilakukan
untuk mendapatkan parameter desain sebenarnya.
B. Perhitungan Solid Retention dan Solid Loading
C. Gas yang Dihasilkan
Persamaan yang digunakan:
di mana: Px = gas yang dihasilkan (kg/hari)
Y = koefisien Yield (g/g) (0,04–0,1) mg VSS/mg BOD yang digunakan
Dosis Kapur
Konsentrasi Solid
No. Tipe Lumpur (kg Ca(OH)2/kg Solid Kering
Rentang Tipikal Rentang Tipikal
1 Lumpur dari pengendapan pertama 3–6 4,3 0,06–0,17 0,12
2 Lumpur aktif 1–1,5 1,3 0,21–0,43 0,30
Campuran lumpur pengendapan pertama dan
3 1,5–3,0 2,5 0,15–0,35 0,24
lumpur aktif
4 Lumpur terstabilisasi 5–6 5,5 0,15–0,30 0,25
Kriteria Desain
No. Jenis Pengadukan Sumber
Satuan Nilai
1 Pengaduk mekanik kW/103 m3 20–40
Pengaduk dengan menggunakan sistem Metcalf Edy, 2014
2 m3/m3.min 0,02–0,04
difusi udara
5.2.2.3 Tahapan Perhitungan
Perhitungan unit stabilisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menentukan volume bak pengaduk dan kecepatan
peralatan pengaduk baik pengaduk mekanis maupun dengan menggunakan difusi udara. Adapun tahapan perhitungan
yang dapat dilakukan, yakni:
A. Penghitungan volume bak
Perhitungan voume (m3) dapat dilakukan dengan mengalikan debit lumpur terhadap kriteria waktu detensi, yakni 3
jam.
B. Penghitungan dimensi
Penghitungan dimensi dapat dilakukan sesuai dengan rencana bentuk geometri dari bak yang direncanakan.
Tidak ada kriteria khusus untuk kedalaman bak stabilisasi kimia. Penentuan kedalaman dapat ditentukan dengan
mempertimbangkan ketinggian dari peralatan pengaduk yang digunakan. Dari asumsi kedalaman yang direncanakan,
maka dimensi bak dapat ditentukan.
Pengolahan Lumpur 89
5.3 Penirisan (Dewatering) dan Pengeringan (Drying)
Tujuan pengeringan lumpur adalah untuk mengurangi kadar air dalam lumpur atau kelembaban lumpur. Pengeringan
lumpur dilakukan untuk memudahkan pembuangannya, terutama dalam hal transportasi. Proses pengeringan lumpur dapat
dilakukan secara alami dan juga menggunakan peralatan mekanik.
5.3.1.1 Deskripsi dan Prinsip Kerja
Belt filter press berfungsi untuk memisahkan air dari lumpur dengan menggunakan perbedaan tekanan dengan
menggunakan sabuk (belt) berjalan. Prinsip kerja sistem ini adalah memberi tekanan pada lumpur yang berada di antara
lempengan-lempengan filter (filter plate). Tekanan yang diberikan menggunakan gaya hidrolik di kedua sisi lempengan.
Filter ini tersusun dari plate dan frame filter yang berjumlah banyak, di mana bagian dalam dari frame tersebut ditarik oleh
filter kain yang bersambungan. Setelah frame terkunci karena tekanan hidrolik, lumpur akan tertekan masuk dari tabung
suplai ke dalam ruang filtrasi. Air yang tersaring karena tekanan akan jatuh dari frame, lumpur akan mengental karena
kehilangan air dan tersisa dibagian dalam.
Keuntungan utama belt filter press adalah cake kering, kebutuhan energi rendah, dan operasi yang terus menerus.
Kekurangannya adalah kehidupan media yang pendek, dan tingkat filtrasi sensitif terhadap lumpur yang masuk.
Pengolahan Lumpur 91
Gambar 5.5. Desain Sludge Drying Bed
5.3.2.2 Kriteria Desain
Dalam perencanaan bak pengering lumpur terdapat beberapa kriteria desain yang perlu dipenuhi, adapun kriteria desain
tersebut dapat dilihat pada Tabel 5-8.
Tabel 5-8. Kriteria Desain Bak Pengering Lumpur (Sludge Drying Bed)
D. Kedalaman total SDB dihitung dengan mempertimbangkan asumsi rencana ketebalan masing-masing media,
ketebalan lumpur, dan free board.
Pengolahan Lumpur 93
6. PLANT LAYOUT
Plant layout atau tata letak IPALD adalah susunan fisik unit pengolahan yang dirancang pada lokasi yang dipilih. Penetapan
tata letak IPALD bertujuan untuk mengatur posisi spasial unit-unit yang ada beserta bangunan utilitas lainnya (gedung
administrasi, gudang, dan lainnya). Hal ini sebagai gambaran fisik secara menyeluruh posisi IPALD, walaupun masih
bersifat umum dan sementara. Pertimbangan tatak letak IPALD meliputi:
a. Geometri lokasi IPALD
b. Topografi lokasi
c. Kondisi tanah dan pondasi
d. Lokasi saluran pengumpul air limbah
e. Lokasi pembuangan air hasil pengolahan
f. Gradien hidrolis lokasi
g. Jenis-jenis proses
h. Efisiensi pengolahan proses
i. Akses transportasi
j. Aksesibilitas untuk pekerja
k. Reliabilitas dan ekonomi operasional
l. Estetika dan lingkungan
m. Ketersediaan lahan untuk perluasan bangunan di masa yang akan datang
total head = static head + friction head loss + velocity head ............... Persamaan 7-2
Ilustrasi hubungan antar ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 7-1. Static head dapat didefinisikan
sebagai jarak vertikal aktual yang dibutuhkan untuk mengangkat aliran air. Jika sebuah reservoir terletak di elevasi 100
m dan pipa efluen terletak di elevasi 250, maka static head sistem tersebut yakni 250 m – 100 m = 150 m. Friction head
merupakan nilai yang mengilustrasikan kebutuhan energi untuk mengatasi head loss yang disebabkan karena friction
atau gaya gesek aliran air terhadap pipa atau saluran terbuka dan aksesoris perpipaan. Detail pembahasan terkait hal ini
dapat dilihat pada Sub Bab 7.2. Velocity head dapat didefiinisikan sebagai jarak energi yang dikonsumsi untuk mencapai
dan mempertahankan kecepatan yang diinginkan dalam sistem.
atau jika memasukan variabel debit, persamaan tersebut dapat diekspresikan menjadi:
...............Persamaan 7-4
Nilai kekasaran atau roughness setiap pipa berbeda-beda, bergantung pada karakteristik bahan pipa. Nilai roughness
untuk beberapa jenis pipa dapat dilihat pada Tabel 7-1.
Untuk bilangan Reynold (tanpa dimensi) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:
Profil Hidrolis 97
7.2.2 Minor Head Loss
Minor head loss terjadi karena adanya gaya gesek antara fluida dan permukaan pipa akibat adanya turbulensi. Minor head
loss dapat terjadi di aksesoris perpipaan diantaranya valve, perlengkapan seperti belokan, sambungan, dan lain-lain. Minor
head loss biasanya ditemukan dalam nilai yang relatif sangat kecil, dapat kurang dari 5% dari total head loss. Oleh karena
itu, seringkali nilai minor head loss diabaikan oleh perencana. Namun, dalam perencanaan SPALD-T, perencana harus
tetap menghitung Minor head loss untuk memastikan kebutuhan head untuk sistem perpompaan dapat ditentukan dengan
tepat sehingga air limbah domestik dapat dialirkan sesuai perencanaan. Perhitungan minor head loss yang disebabkan
karena aksesoris perpipaan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut ini:
Nilai k merupakan koefisien head loss yang setiap aksesoris memiliki nilai yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh energi
kinetik yang dihasilkan oleh aliran air di dalam aksesoris tersebut. Total nilai k dapat dihitung dengan menjumlahkan
seluruh nilai k dari aksesoris-aksesoris yang digunakan. Adapun nilai k untuk beberapa aksesoris dapat dilihat pada Tabel
7-2.
Tabel 7-2. Nilai Koefisien Head Loss Minor
7.3 Hydraulic Grade Line (HGL) dan Energy Grade Line (EGL)
Pembuatan profil hidrolis pada jaringan perpipaan (aliran gravitasi dan bertekanan) dan saluran terbuka harus dilakukan
oleh setiap perencana di setiap sub-sistem pada SPALD-T. Hal ini dilakukan agar perencana maupun pemrakarsa dapat
mengetaui secara detail perilaku aliran di dalam perpipaan maupun saluran terbuka. Dalam profil hidrolis setidaknya
dikenal dengan dua istilah penting yakni Hydraulic Grade Line (HGL) dan Energy Grade Line (EGL) yang harus dipahami
oleh setiap perencana. Analisis dua garis tersebut dapat dilakukan dengan mempertimbangkan faktor elevasi bangunan
dan hidrolika saluran yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya. HGL dalam jaringan pipa bertekanan menggambarkan
pressure head (lihat Gambar 7-4). Namun, di saluran terbuka, HGL dapat digambarkan sesuai dengan profil permukaan air.
HGL dan EGL harus digambarkan berdasarkan perhitungan yang tepat oleh setiap perencana pada sub-sistem pengumpulan
maupun sub-sistem pengolahan terpusat.
Profil Hidrolis 99
8. CONTOH PERENCANAAN
Untuk melakukan penghitungan sub-sistem pengolahan terpusat pada SPALD-T, Kota A diasumsikan akan dibangun IPALD
skala kota. Hasil analisis data laju pertumbuhan penduduk dan fasilitas umum Kota A diperoleh data kuantitas timbulan air
limbah domestik. Selain itu, data konsentrasi BOD dan TSS jika diketahui sebesar sebagai berikut:
Tabel 8-1. Contoh data perencanaan IPALD Skala Perkotaan
Data-data di atas akan digunakan sebagai data dasar dalam melakukan penghitungan terhadap sub-sistem pengolahan
terpusat.
8.1 Penentuan Unit-unit pada Sub-sistem Pengolahan
Sistem pengolahan yang akan direncanakan ialah menggunakan pengolahan biologi lumpur aktif atau Complete Mixed
Activated Sludge (CMAS). Adapun unit-unit pendukung lain yang digunakan dalam tiap tahapan ialah:
A. Alterantif 1
• Pengolahan Tingkat Pertama: bar screen, grit chamber, bak pengendap pertama.
• Pengolahan Tingkat Kedua: Tangki Aerasi, Pengendapan Kedua (Clarifier)
• Pengolahan Lumpur: gravity thickener, aerobic digester, belt filter press
B. Alterantif 2
• Pengolahan Tingkat Pertama: bar screen, grit chamber, bak pengendap pertama.
• Pengolahan Tingkat Kedua: Tangki Aerasi, Pengendapan Kedua (Clarifier)
• Pengolahan Lumpur: gravity thickener, aerobic digester, belt filter press
Skema pengolahan air buangan domestik yang akan dibangun dapat digambarkan pada Gambar 8-1 dan Gambar 8-2.
Tahap 1 Tahap 2
Segmen 1 Satuan
Min Rata-rata Maks Min Rata-rata Maks
Debit m /detik
3
0,313 0,591 1,114 0,825 1,373 2,279
Kedalaman m 0,4 0,58 0,79 0,67 0,9 1,23
Kecepatan m/detik 0,66 0,83 1,02 0,93 1,1 1,24
8.2.2 Unit Grit Chamber
Jenis grit chamber yang direncanakan di IPALD Kota A yakni grit chamber aliran horizontal dengan kontrol kecepatan
berupa bak pengendap panjang dan sempit dengan kontrol kecepatan yang baik. Grit chamber aliran horizontal didesain
untuk mencapai kecepatan pengaliran >> 0,3 m/det dan waktu yang cukup untuk mengendapkan partikel grit di dasar
saluran
Direncanakan terdapat 3 unit grit chamber yang akan bekerja pada kondisi maksimum Tahap I. Pada Tahap II akan dibangun
3 unit lagi yang akan bekerja pada kondisi maksimum. Tiap unit akan diberikan pintu air (gate) yang akan berfungsi untuk
mengatur jumlah unit yang dioperasikan sesuai dengan kondisi debit. Pada kondisi minimum Tahap I hanya akan difungsikan
1 unit. Setiap (satu unit) unit grit chamber didesain dengan kapasitas setengah dari pengaliran maksimum atau kondisi
puncak.
Dengan asumsi kecepatan pengendapan (vs) partikel untuk diameter 0,2 mm adalah 4,2 ft/menit = 50,4 inch/menit maka;
(Kondisi Maksimum Tahap I)
OR = 900 x vs
= 900 x 50,4 inch/menit
= 45.360 gpd/ft3 = 0,02142 m3/m2.det
Panjang (p)
Perencanaan
1. Direncanakan bak dibuat 6 unit sampai tahap II. Namun pada tahap I, di mana debit air buangan tidak terlalu besar,
hanya akan dioperasikan 3 unit bak pengendap I. Pada tahap II akan dioperasikan 6 bak pengendap dan satu bak
lainnya sebagai cadangan.
2. Debit tiap bak:
Saat kapasitas rata-rata
Tahap I
Tahap II
3. Direncanakan luas bak pada saat debit rata-rata pada tahap II dengan overflow rate 50 m3/m2/hari
Luas permukaan tiap bak pengendap (As)
Asumsikan rasio panjang dan lebar ialah 3:1
Panjang bak = 3 x lebar
Luas = P x L = 3l2
Lebar = 11,4 m = 12 m
Panjang = 3 x 12 m = 36 m
Kondisi debit rata-rata:
- Tahap 1
- Tahap 2
b. Periksa Waktu Detensi
Kondisi debit rata-rata:
Tahap I = (1.296 m3)/ (0,197 m3/det x 3.600 det/jam) = 1,8 jam (memenuhi)
Tahap II = (1.296 m3)/ (0,228 m3/det x 3.600 detik/jam) = 1,5 jam (memenuhi)
- TSS tahap II = 248 g/m3 x 118.627,2 m3/hari x (1.000 g/kg)-1 = 29.419,5 kg/hari
Debit lumpur
- Tahap 1
- Tahap 2
Lumpur dari tiap bak akan dipompakan ke gravity thickener dengan menggunakan pipa dan pompa lumpur.
Kriteria Desain
Kriteria desain proses aerasi dapat dilihat pada Tabel 8-3.
Tabel 8-3. Kriteria Desain Lumpur Aktif
Data Perencanaan
Data yang akan digunakan dalam mendesain tangki aerasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 8-4. Data Perencanaan Lumpur Aktif
Penghitungan
A. Konsetrasi BOD5 Efluen
- BODL dalam efluen solid biodegradable
= 50 mg/l x 0,65 x 1,42 mgO2/sel
= 46,15 mg/l
- BOD5 (suspended) dalam efluen solid biodegradable
= 46,15 mg/l x 0,68
= 31,38 mg/l
- BOD5 (solube) dalam efluen BOD5 (S)
= (50 – 31,38) mg/l
= 18,62 mg/l
B. Efisiensi Pengolahan
Efisiensi pengolahan berdasarkan BOD5 soluble
- Tahap 1
- Tahap 2
Efisiensi pengolahan keseluruhan
Tahap 2
C. Volume Tangki
Pada Tahap I hanya akan dibangun 1 unit tangki. Sedangkan pada Tahap II akan dibangun satu unit lagi.
a. Debit per tangki
- Tahap I = 53.766,07 m3/hari / 1 unit = 53.766,07 m3/hari
- Tahap II = 125.600,5 m3/hari / 2 unit = 62.800,25 m3/hari
b. Volume Tangki
D. Luas Tangki
Kedalaman tangki direncanakan sebesar 4,5 m
Luas tangki = volume / h
= 11.147,34/ 4,5 m
= 2.477,18 m2
E. Dimensi Tangki
Rasio panjang dan lebar direncanakan = 2 : 1, Panjang = 2 x Lebar
Sehingga,
Luas (A) = P x L
= 2L x L = 2 L2
P = 2 x 34 m = 68 m
Luas aktual = 34 m x 68 m = 2.312 m2
Volume aktual = 34 m x 68 m x 4,5 m = 10.404 m3
Kedalaman total dari free board = 4,5 m + freeboard
= 4,5 m + 0,5 m = 5 m
Pertambahan MLVSS (Px), Px = Yobs Q (So – S)
Tahap I: Px = [0,35 x 53.766,07m3/hari x (158– 18,62) g/m3]/1.000 g/kg
Px = 2.623 kg/hari
Tahap II: Px = [0,35 x 125.600,5 m3/hari x (205 – 18,62)g/m3 ]/1.000 g/kg
Px = 8.193 kg/hari
G. Return Sludge
Laju return sludge dihitung berdasarkan konsentrasi MLSS di dalam tangki aerasi dan TSS dalam return
sludge. Diperkirakan bahwa TSS di influen sangat kecil.
MLSS (Q + Qr) = TSS dalam sludge x Qr
3750 mg/l x (Q + Qr) = 10.000 mg/l x Qr
Qr = 3750 Q / 6250
Qr = 0,6 Q atau Qr = 60% Q
H. Kontrol Desain
a. Waktu Aerasi (td)
td = volume / debit
td Tahap I = (10.404 m3 x 24 jam/hari) / (53.766,07 m3/hari) = 4,6 jam
td Tahap II = (10.404 m3 x 24 jam/hari) / (62.800,25 m3/hari) = 3,9 jam
- Tahap 2
c. Organic Loading (OL)
- Tahap 1
- Tahap 2
I. Kebutuhan Oksigen
a. Kebutuhan oksigen teoritis (N)
- Tahap 2
b. Kebutuhan Oksigen Standar (SOR)
di mana: N = kebutuan oksigen teoritis (kg/hari)
Cnsw = konsentrasi oksigen pada temperatur lapangan (mg/l) = 8,5 mg/l (Metcalf & Eddy)
Csw = konsentrasi oksigen pada temperatur standar 20oC (mg/l) = 9,15 mg/l (Qasim)
C = DO minimum yang dicapai dalam tangki (mg/l), 2 mg/l
β = faktor koreksi tegangan tergantung salinitas air limbah = 0,9 (Qasim)
x = faktor koreksi transfer oksigen = 0,95 (Qasim)
fa = faktor koreksi kelarutan oksigen terhadap ketinggian
fa = [1 - (ketinggian / 9.450)]
= [1 - (675 m / 9.450 m)] = 0,93
T = temperatur rata-rata air limbah pada kondisi lapangan, tergantung dari
temperatur udara ambien rata-rata dan temperatur influen.
di mana: A = luas total permukaan tangki aerasi (m2) = 2 unit x 2.312 m2 = 4.624 m2
Ta = temperatur udara ambien = 24oC
Ti = temperatur maksimum influen air limbah = 27oC
f = faktor proporsional = 0,5 m/hari
Maka SOR:
- Tahap 1
c. Volume udara yang dibutuhkan
Berat jenis udara = 1,201 kg/m3
Berat oksigen di udara = 23,2%
Faktor koreksi aerator (FA) = 0,65
Kebutuhan volume udara sebenarnya di lapangan (M):
Tahap 1
Tahap 2
d. Kebutuhan Udara Teoritis
Mt = M / FA = M / 0,65
Tahap I = 41.767,27 m3/hari / 0,65 = 64.257,33 m3/hari
Tahap II = 132.046,9 m3/hari / 0,65 = 203.149,12 m3/hari
Tahap 2
g. Volume Udara per Volume Air Buangan (M¬a)
Ma = Md / Q
Tahap 1
Tahap 2
h. Volume Udara per Volume Tangki Aerasi
Mt = Md/(2 tangki x 10.404 m3)
Tahap 1 = 96.386 m3/hari/(10.404 m3) = 9,26 m3/m3 hari
Tahap 1 = 304.723,68 m3/hari/(2 x 10.404 m3) = 14,64 m3/m3 hari
Luas Aktual
= ¼ π D2
= ¼ x 3,14 x 57 m = 2.550,5 m2
4. Kontrol Desain
Overflow Rate (OR)
OR = Q/A
- Tahap 1
- Tahap 2
Solid Loading (SL)
SL = (QX/A)
- Tahap 1
- Tahap 2
5. Kedalaman Clarifier
a. Kedalaman clarifier adalah penjumlahan antara kedalaman air jernih, kedalaman zona thickening, dan zona
pengumpul lumpur.
b. Kedalaman zona air jernih direncanakan 2 m.
c. Kedalaman zona thickening
1. Dalam kondisi normal, massa yang tertahan di clarifier sebesar 30% massa solid di dalam tangki aerasi.
2. Maka konsentrasi lumpur dalam clarifier:
= (100 – 30)% x 10.000 mg/l = 7.000 mg/l
4. Total massa solid di tiap clarifier = 0,3 x 26.460 kg = 7.938 kg
5. Kedalaman zona thickening
d. Ke dalam zona pengumpul lumpur
1. Pertambahan massa pada tangki aerasi adalah pada saat kapasitas puncak selama dua hari berturut-turut
2. Asumsi faktor puncak (peak factor) untuk debit = 2,2 dan BOD = 1,2
3. Total volatil solid yang dihasilkan = YobsQ (Ss – S) / (103 g/kg)
Tahap I = 0,35 x 53.766,07 m3/hari x (158–18,62) g/m3 x 1,2 x 2,2/103 g/kg
= 6.924,3 kg/hari.
Tahap II = 0,35 x 125.600,5 m3/hari x (205–18,62) g/m3 x 1,2 x 2,2/ 103 g/kg
= 21.630,3 kg/hari.
4. Total massa solid dalam dua hari (SS) = 2 x VSS / 0,8
Tahap I = 2 hari x 6.924,3 kg/hari / 0,8 = 17.310,75 kg
Tahap II = 2 hari x 21.630,3 kg/hari / 0,8 =54.075,76 kg
5. Massa dalam tiap clarifier = SS / n
Tahap I = 17.310,75 kg / 2 = 8.655,37 kg
Tahap II = 54.075,76 kg / 4 = 13.518,94 kg
6. Total solid dalam tiap clarifier = SS + total solid D
Tahap I = 7938 kg + 8.655,37 kg = 16.593,37 kg
Tahap II = 7938 kg + 13.518,94 kg = 21.456,94 kg
7. Kedalaman zona pengumpul lumpur = Total Solid / (7000 g/m3 x luas)
Direncanakan kedalaman zona pengumpul lumpur sampai tahap II
8. Kedalaman total clarifier
d = 2 m + 0,44 m + 1,2 m
= 3,64 m = 4 m
Free board = 0,5 m
d total = 4 m + 0,5 m
= 4,5 m
Dasar Perencanaan
Dasar-dasar perencanaan yang digunakan dalam contoh penghitungan ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 8-8. Data Perencanaan Anaerobic Digester
Penghitungan
1. Kapasitas digester saat aliran rata-rata dengan waktu digest 15 hari:
Volume satu reaktor = (390 m3/hari/ 2 reaktor) x 15 hari = 2.925 m3
2. Dimensi Digester
a. Direncanakan
1. Kedalaman scum blanket = 0,6 m
2. selisih antara floating cover dengan tinggi maksimum digester = 0,6 m
3. Total ketinggian yang disediakan = 0,6 + 0,6 = 1,2 m
4. Ketinggian total = 1,2 m + 7,6 m = 8,8 m
5. Jika kedalaman air di digester tanpa kerucut = 7,6 m, maka penambahan
6. volume akan ditampung di dalam kerucut.
7. Volume aktif = (7,6 m – 1,2 m) / 7,6 m = 0,84 volume total
8. Jadi volume digester = 2.925 m3 / 0,84 = 3.483 m3
9. Luas tiap digester = 3.483 m3 / 7,6 m = 458,3 m2
10. Diameter tiap diegester = √4/π x 458,3 m2 =24,16 m=24,5 m
b. Volume Digester Keseluruhan
1. Volume digester keseluruhan juga meliputi volume kerucut di dasar bak.
Lantai digester direncanakan memiliki kemiringan 1 vertikal : 3 horizontal.
Kedalaman kerucut adalah 2,3 m.
2. Volume digester total
= (volume bak silinder) + (volume kerucut)
= (p/4 x (24,5 m)2 x 7,6 m) + (1/3 x p/4 x (24,5 m)2 x 2,3m)
= 3.942,4 m3
3. Volume 2 digester = 2 x 3.942,4 m3 = 7.884,7 m3
di mana: Px = gas yang dihasilkan (kg/hari)
Y = koefisien Yield (g/g) (0,04 – 0,1) mg VSS/mg BOD yang digunakan
b. Konsentrasi Solid
Tahap 1
Tahap 2
Asumsi 65% solid adalah biodegradable dan 1% solid biodegradable = 1,42 g
BODL, Y = 0,05, kd = 0,03/hari, dan E = 0,8.
BODL dalam lumpur = 51.503 mg/l x 0,65 x 1,42 g/g = 47.537 g/m3
c. Gas yang dihasilkan (Px)
Tahap 1
Tahap 2
Dasar Perencanaan
Dasar-dasar perencanaan yang digunakan dalam contoh penghitungan ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 8-10. Data Perencanaan Belt Filter Press
Penghitungan
1. Dimensi Belt Filter Press
- Jumlah solid perminggu
= 4.236,75 kg/hari x 7 hari /minggu = 29.657,25 kg/minggu
- Solid yang harus diolah setiap jam operasi
- Total solid yang harus diolah tiap jam operasi
= sludge + kapur + polimer
= 741,43 + (0,05+0,02) x 741,43 = 793,33 kg/jam
- Lebar Belt
Tabel berikut ini merupakan contoh spesifikasi belt filter press.
Tabel 8-11. Contoh spesifikasi Belt Filter Press