Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perancangan Instalasi Pengolahan Air Bersih
Asisten:
Hana Fauizyyah
Oleh :
2018
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 1
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia.Pemanfaataannya tidak hanya
terbatas untuk keperluan rumah tangga, tetapi juga untuk fasilitas umum dan fasilitas
sosial.Ketidaktersediaan air yang cukup sangat mempengaruhi sektor kehidupan manusia baik
dari segi kesehatan masyarakat hingga pokok-pokok perekonomian. Pentingnya ketersediaan air
untuk kebutuhan sehari-hari mendukung perlunya perencanaan penyediaan air yang baik untuk
jangka panjang maupun jangka pendek. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi permasalahan
kelangkaan air bersih dan terganggunya aktivitas masyarakat.
Kebutuhan akan air bersih yang semakin meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan
berkembangnya pusat perekonomian, tidak diimbangi dengan ketersediaan air baku. Air baku
yang berasal dari air permukaan sangat fluktuatif baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Selain
itu, maraknya pencemaran dari aktivitas domestik maupun industri menjadikan beban
pengolahan semakin tinggi.Hal tersebut terutama terjadi di kota-kota besar dengan jumlah
penduduk dan aktivitas industri yang tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, tentunya diperlukan
pengolahan air bersih yang dapat mengolah air dalam berbagai kondisi air baku.
Kota Bandung merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk dan kepadatan tinggi. Kota
yang dirancang dengan kapasitas 200.000 jiwa hingga kini sudah lebih dari 2 juta jiwa yang
bertempat tinggal di Kota Bandung. Tentunya, kebutuhan akan air bersih yang perlu diproduksi
setiap tahunnya perlu dilakukan peningkatan baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Pengambilan air baku sudah tidak hanya dari sumber air tanah, tetapi dari air permukaan juga
seperti Sungai Cikapundung. Salah satu masalah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat yaitu
disekitar daerah Kelurahan Panunjan, Kecamatan Astanaanyar. Masyarakat di daerah tersebut
sering mengeluhkan kondisi air yang berwanra merah, terkadang juga berwarna hitam dan
berbau. Hal tersebut diakibatkan adanya kebocoran dan pengolahan yang tidak maksimal. Maka,
perencanaan pengelolaan yang baik perlu dirancang agar tidak terjadi permasalahan mengenai
kualitas air
Seiring dengan perkembangan teknologi dan kesadaran akan masyarakat meningkat, parameter
kualitas air semakin meningkat pula dengan menambahkan batas baku mutu air yang lebih tinggi
dan beberapa parameter tambahan yang dibatasi keberadaannya dalam air. Untuk memenuhi hal
tersebut, diperlukan pula peningkatan sistem pengolahan bukan hanya dengan cara sederhana
namun lebih mutakhir dan teruji. Ada beberapa tahap pengolahan yang perlu dilakukan yaitu
mulai dari aerasi, koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi dan desinfeksi.Ada beberapa alternatif
teknologi pilihan yang dapat dipilih dalam sistem pengolahan air sesuai dengan kondisi eksisting
dan effluent yang diharapkan.
Dalam pemilihan teknologi dibutuhkan beberapa pertimbangan yaitu mulai dari karakteristik air
baku yang akan diolah, effluen yang diharapkan, kemudian dapat dilakukan efesiensi yang
diharapkan. Dari beberapa alternatif teknologi, dipilih teknologi yang paling sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan.Dalam mempertimbangkan hal tersebut perlu kajian dan analisis
lebih lanjut mengenai sistem teknologi yang telah ada. Oleh karena itu, dalam Tugas Sistem
Pengolahan Air Bersih akan dijabarkan mengenai teknologi yang telah ada, prinsip pengolahan,
pemilihan teknologi dan efisiensi yang dihasilkan dari unit-unit pengolahan air yang direncakan
untuk digunakan dalam mengatasi permasalahan kualitas air bersih di Kota Bandung.
Maksud dari tugas ini yaitu untuk memenuhi nilai dari mata kuliah Perancangan Instalasi
Pengolahan Air Bersih yang merupakan salah satu syarat kelulusan pada mata kuliah ini.
Sedangkan tujuan dari tugas ini yaitu:
Membuat alternatif konfigurasi instalasi pengolahan air bersih.
Memilih konfigurasi instalasi pengolahan air bersih dengan sistem pembobotan.
Menghitung parameter-parameter pada unit-unit yang ada pada konfigurasi instalasi
pengolahan air bersih terpilih dan membandingkannya dengan kriteria desain yang ada.
Menggambar unit-unit yang ada pada konfigurasi instalasi pengolahan air bersih terpilih
sesuai dengan kaidah gambar teknik yang benar dan baik.
1.3 Acuan Normatif
Adapun beberapa regulasi yang menjadi acuan dalam studi analisis ini adalah
2 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan
Pengendalian Pencemaran Air
4 Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 Tentang Sistem Penyediaan Air Minum
5 PERMEN PUPR Nomor 27 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Sistem Penyediaan
Air Minum
6 PERMENKES Nomor 492 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum
Ruang lingkup pembatasan masalah dalam penyusunan laporan ini dibatasi mencakup hal-hal
sebagai berikut:
Metodologi dalam perencanaan sistem pengolahan air bersih adalah sebagai berikut :
Penentuan wilayah studi didasarkan pada kondisi eksisting wilayah yang membutuhkan
pelayanan air bersih. Penentuan wilayah studi diperlukan unutk menentukan batasan batasan
yang diperlukan dapam perencanaan pengolahan air bersih
Pada perancangan perancangan instalasi pengolahan air limbah ini mahasiswa tidak melakukan
pengambilan data secara langsung melainkan hanya mengumpulkan data sekunder yang
dibutuhkan meliputi jumlah penduduk, kondisi eksisting wilayah layan, data kualitas air baku,
data topografi dan lain sebagainya. Data-data tersebut digunakan sebagai dasar perencanaan
instalasi pengolahan air bersih.
3. Studi Literatur
Studi literatur merupakan kegiatan mencari referensi teori dari beberapa sumber yang relevan
terkait dengan perencanaan pengolahan air bersih. Data teori diperlukan untuk memperkuat dasar
teori dalam menentukan proses yang terjadi dalam pengolahan air limbah serta melakukan
analisa dalam perancangan. Selain itu dibutuhkan data terkait kriteria desain sebagai acuan
perancangan instalasi meliputi pendimensian dan gambar teknik.
Data yang diperoleh dari pengumpulan sebelumnya diolah dan dianalisa untuk mengetahui
kebutuhan air dari proyeksi penduduk yang bergantung pada tahun perencanaan.
Alternatif konfigurasi pengolahan air bersih diperlukan agar instalasi terpilih merupakan instalasi
terbaik hasil berbagai macam pertimbangan seperti keterbutuhan lahan, efisiensi, kehandalam,
O&M, dampak lingkungan, biaya konstruksi dan sebagainya.
6. Penentuan rangkaian instalasi pengolahan air bersih terpilih
Data-data yang diolah dan dianalisa akan disesuaikan dengan unit-unit pengolahan terpilih. Pada
perhitungan dimensi unit dapat disesuaikan dengan informasi yang berasal dari beberapa literatur
dan juga kriteria desain untuk memudahkan perhitungan dimensi unit.
Hasil dari perhitungan dimensi unit yang diperoleh harus diterjemahkan menjadi gambar desain
instalasi pengolahan air bersih. Seluruh unit tersebut digabungkan menjadi rangkaian unit agar
didapatkan hasil pengolahan air yang sesuai dengan baku mutu air minum. Diperlukan beberapa
gambar secara tampak atas (denah) maupun potongan untuk kebutuhan pada saat konstruksi
maupun kebutuhan pengelolaan dan pemeliharaan.
Gambar 1.5-1 Skema Metodologi
1.6 Sistematika Laporan
Penulisan laporan perancangan instalasi pengolahan air bersih terbagi menjadi lima bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Bab satu pendahuluan berisikan tentang latar belakang, maksud dan tujuan
penulisan laporan, acuan normatif yang digunakan dalam penulisan laporan,
ruang lingkup penulisan laporan, metodologi, dan sistematika penulisan laporan.
Bab tiga berisi mengenai inventrasiasi unit pengoahan yang mana terdiri dari
inventarisasi unit-unit pengolahan air minum dari pengolahan primer, pengolahan
sekunder, pengolahan tersier, sampai dengan pengolahan lumpur.
Bab empat berisi mengenai perhitungan detail dimensi unit pengolahan lingkup
studi meliputi scenario pengolahan (skema) dari 3 alternatif konfigurasi
pengolahan, pemilihan scenario pengolahan, serta perhitungan tiap unit yang
digunakan dalam skenario pengolahan.
BAB V PENUTUP
Bab lima merupakan penutup yang merupakan hasil laporan meliputi kesimpulan
terhadap tujuan yang ditetapkan serta memberikan saran dan masukan untuk
kedepannya.
BAB II
DASAR DASAR PERENCANAAN
Kota Bandung terletak pada posisi 1070 36’ Bujur Timur dan 6o 55’ Lintang Selatan.Luas
wilayah Kota Bandung adalah 16.729,65 Ha. Perhitungan luasan ini didasarkan pada Peraturan
Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung Nomor 10 Tahun 1989 tentang Perubahan Batas
Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II
Bandung dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung.
Secara administratif, Kota Bandung berbatasan dengan beberapa daerah Kabupaten/Kota
lainnya, yaitu:
1. sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat;
2. sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi;
3. sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung; dan
4. sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung.
Hal tersebut terlihat pada Peta Orientasi Kota Bandung pada gambar:
Secara morfologi regional, Kota Bandung terletak di bagian tengah “Cekungan Bandung”, yang
mempunyai dimensi luas 233.000 Ha. Secara administratif, cekungan ini terletak di lima daerah
administrasi Kabupaten/Kota, yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung
Barat, Kota Cimahi, dan 5 Kecamatan yang termasuk Kabupaten Sumedang.
Kondisi Topografi
Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 m di atas permukaan laut (dpl).Titik tertinggi
berada di daerah Utara dengan ketinggian 1.050 m dpl, dan titik terendah berada di sebelah
Selatan dengan ketinggian 675 m dpl.Wilayah yang dikelilingi oleh pegunungan membentuk
Kota Bandung menjadi semacam cekungan (Bandung Basin).
Kondisi Geologi
Keadaan geologis di Kota Bandung dan sekitarnya terdiri atas lapisan aluvial hasil
letusan Gunung Tangkuban Perahu.Jenis material di wilayah bagian Utara umumnya jenis tanah
andosol, sedangkan di bagian Selatan serta Timur terdiri atas jenis aluvial kelabu dengan bahan
endapan liat.Di bagian tengah dan Barat tersebar jenis tanah andosol. Secara geologis Kota
Bandung berada di Cekungan Bandung yang dikelilingi oleh Gunung Berapi yang masih aktif
dan berada di antara tiga daerah sumber gempa bumi yang saling melingkup, yaitu
(i) sumber gempa bumi Sukabumi-Padalarang-Bandung, (ii) sumber gempa bumi Bogor-Puncak-
Cianjur, serta (iii) sumber gempa bumi Garut- Tasikmalaya-Ciamis. Daerah-daerah ini aktif di
sepanjang sesar- sesar yang ada, sehingga menimbulkan gempa tektonik yang sewaktu- waktu
dapat terjadi.Selain itu Kota Bandung yang berpenduduk banyak dan padat serta kerapatan
bangunan yang tinggi juga berisiko tinggi pada berbagai bencana.
Kondisi Klimatologi
Kondisi Hidrologi
Wilayah Kota Bandung dilewati oleh 15 sungai sepanjang 265,05 km, yaitu Sungai
Cikapundung, Sungai Cipamokolan, Sungai Cidurian, Sungai Cicadas, Sungai Cinambo, Sungai
Ciwastra, Sungai Citepus, Sungai Cibedung, Sungai Curug Dog-dog, Sungai Cibaduyut, Sungai
Cikahiyangan, Sungai Cibuntu, Sungai Cigondewah, Sungai Cibeureum, dan Sungai Cinanjur.
Sungai-sungai tersebut selain dipergunakan sebagai saluran induk dalam pengaliran air hujan,
juga oleh sebagian kecil penduduk masih dipergunakan untuk keperluan MCK.
Kota Bandung juga termasuk dalam wilayah Daerah Pengaliran Sungai (DPS) Citarum bagian
hulu.Secara Nasional, DPS ini sangat penting karena merupakan pemasok utama waduk
Saguling dan Cirata yang digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, pertanian, dan lainnya.
Saat ini kondisi sebagian besar sungai di Kota Bandung telah mengalami pencemaran.Regulasi
yang tidak tegas terhadap pengelolahan limbah pabrik menjadi salah satu penyebab tercemarnya
sungai yang ada.Selain itu, penurunan kualitas sungai disebabkan oleh pembuangan air kotor
oleh warga. Sungai Cikapundung
merupakan salah satu sungai penting yang membelah Kota Bandung dan saat ini telah banyak
kehilangan fungsi ekologisnya.
Keterangan :
Standar
(L/unit/hari)
Warung / Toko 500
Perkantoran 1.400
Bank 1.100
Kantor Koperasi 1.100
Kantor Asuransi 1.100
Penginapan 1.900
Terminal 2.000
Standar
Pendidikan (L/unit/hari)
TK 2.000
SD 2.000
SMP 2.000
SMU 2.000
Perguruan Tinggi 2.000
Standar
Kesehatan (L/unit/hari)
Balai Pengobatan 1.000
Rumah Bersalin 600
Apotik 100
Puskesmas 1.000
Rumah sakit Umum 2.000
Standar
Tempat Ibadah (L/unit/hari)
Masjid Kecamatan 800
Masjid Kelurahan 800
Langgar 500
Gereja 300
Pura 100
Vihara 100
Standar
Tempat Umum dan Rekreasi (L/unit/hari)
Bioskop 2.000
Ruang Serba Guna 1.000
Balai Pertemuan 1.000
Kantor Pos 2.000
Pos Pemadam Kebakaran 2.000
Pos Polisi 2.000
Tempat bermain 1.000
Lapangan Olah raga 2.000
Standar
Kantor (L/unit/hari)
Kantor menengah 2.000
Kantor kecil 2.500
(Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1996)
Untuk mengetahui kebutuhan air minum suatu daerah layan maka dilakukan perhitungan dengan
cara sebagai berikut:
m3
Kebutuhan air minum domestik ( )
s
= (%pelayanan penduduk tetlayani SR × total jumlah penduduk
× standar pemakaian air)
+ (%pelayanan penduduk terlayani HU × total jumlah penduduk
× standar pemakiaan air)
m3
Kebutuhan air minum non domestik ( )
s
m3
Kebutuhan air lainnya ( )
s
= (% perkiraan kebutuhan air
× total kebutuhan air minum domestik dan non domestik)
m3
Kebocoran air minum ( )
s
= (% kebocoran air minum
× total kebutuhan air minum domestik dan non domestik dan lainnya)
Kebutuhan air lainnya yang dibutuhkan yaitu seperti kebutuhan tata kota, kebutuhan untuk
hidran, dan lain-lain.
Periode perencanaan yang dilakukan yaitu selama 20 tahun yang terbagi menjadi 2 (dua) tahap
dan setiap tahapan berlangsung selama 10 tahun.Tingkat pelayanan tiap tahap yaitu 50% dan
100%. Fluktuasi kebutuhan air terjadi dengan faktor pemakaian harian maksimum sebesar 1,1
dan faktor pemakaian jam puncak sebesar 1,3.
Berdasarkan data perancanaan kebutuhan air minum yang diperlukan pada tahun 2039, didapati
data-data sebagai berikut:
Tahun
Jenis Kebutuhan Air (liter/detik)
2039
Domestik 820.0
Non Domestik 310.0
Jumlah air untuk melayani 565.0
Perkotaan 80.0
Sub total 645.0
Kehilangan air 215.0
Total 860.0
Debit saat harian maksimum 946.0
Debit saat jam puncak 1118.0
Jenis kebutuhan air untuk melayani di atas didapati dari penjumlahan kebutuhan air domestik
dan non domestik yang kemudian dikalikan dengan tingkat konstruksi per tahap yaitu 50% pada
masing-masing tahap. Selanjutnya sub total didapati dari jumlah kebutuhan air untuk melayani
dijumlahkan dengan jumlah kebutuhan air perkotaan sehingga didapati kebutuhan air sebesar
645 liter/detik. Namun perlu adanya penambahan kebutuhan air dikarenakan oleh adanya
kebocoran air yaitu sebesar 25% sehingga kebutuhan air yang mempertimbangkan kebocoran
atau kebutuhan air total yaitu sebesar 860 liter/detik. Debit yang dibutuhkan untuk merancang
IPAM yaitu debit harian maksimum yang didapatkan dari perkalian antara total kebutuhan air
dengan faktor harian maksimum.
Jadi debit IPAM per tahap yang akan dibangun yaitu sebesar 946 liter/detik dan pada tahap akhir
akan terdapat 2 (dua) seri konfigurasi pengolahan air minum yang tipikal.
HASIL
PARAMETER SATUAN
ANALISA
FISIK
Bau - Tidak Berbau
Zat Padat Terlarut mg/l 116
Zat Padat mg/l 315
Tersuspensi
Kekeruhan NTU 185
Rasa - Tidak Berasa
o
Temperatur C 25
Warna TCU 30
KIMIA
Besi (Fe) mg/l 1,09
Kesadahan (CaCO3) mg/l 76
Kalsium mg/l 19,65
HASIL
PARAMETER SATUAN
ANALISA
Magnesium (Mg) mg/l 6,56
Klorida (Cl-) mg/l 12,06
Mangan (Mn) mg/l 0,4
pH mg/l 7,32
Sulfat mg/l 41,2
Bikarbonat mg/l 39,24
Seng mg/l 0,096
Tembaga mg/l 0,01
Amoniak mg/l 0,206
Air minum merupakan air yang aman bagi kesehatan manusia secara fisika, biologis,
kimiawi, dan radioaktif, untuk memperoleh tingkat keamanan tersebut maka perlu adanya
pengolahan terlebih dahulu. Pengolahan yang diterapkan harus dirancang untuk menghasilkan air
minum yang memiliki kualitas air minum yang telah ditetapkan di Indonesia, yaitu menurut
syarat kualitas air minum yang tercantum pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Syarat kualitas air
minum dibagi menjadi parameter wajib dan parameter tambahan. parameter wajib harus sesuai
dengan tabel 1, sedangkan parameter tambahan dapat dilihat pada tabel 2. Jika air minum sudah
memenuhi syarat kualitas air minum tersebut, maka kualitas air minum tersebut harus dijaga
dengan pengawasan kualitas air minum secara eksternal dan internal.Eksternal dilakukan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sedangkan untuk internal dilakukan oleh penyelenggara air
minum agar selalu memenuhi syarat yang telah ditetapkan.
Tabel 2.4–2 Syarat kualitas air minum berdasarkan parameter wajib (lanjutan)
(Sumber: PERMENKES No.492/MENKES/PER/IV/2010)
Tabel 2.5–1. Perbandingan Kualitas Air Baku terhadap Baku Mutu Air Minum
Baku Mutu
HASIL Persentase
PARAMETER SATUAN Permenkes 492 Beban Pengolahan
ANALISA Reduksi (%)
Tahun 2010
FISIK
Bau - Tidak Berbau Tidak Berbau Memenuhi -
Zat Padat Terlarut mg/l 116 500 Memenuhi -
84.12698413
Zat Padat Tersuspensi mg/l 315 *50 Tidak Memenuhi
Kekeruhan NTU 185 5 Tidak Memenuhi 97.2972973
Rasa - Tidak Berasa Tidak Berasa Memenuhi -
oC -
Temperatur 25 Suhu udara +-3 Memenuhi
Warna TCU 30 15 Tidak Memenuhi 50
KIMIA
Besi (Fe) mg/l 1.09 0.3 Tidak Memenuhi 72.47706422
-
Kesadahan (CaCO3) mg/l 76 500 Memenuhi
Kalsium mg/l 19.65 - Memenuhi -
Magnesium (Mg) mg/l 6.56 - Memenuhi -
Klorida (Cl-) mg/l 12.06 250 Memenuhi -
Mangan (Mn) mg/l 0.4 0.4 Memenuhi -
pH mg/l 7.32 6.5--8.5 Memenuhi -
Sulfat mg/l 41.2 250 Memenuhi -
Bikarbonat mg/l 39.24 - Memenuhi -
Seng mg/l 0.096 3 Memenuhi -
Tembaga mg/l 0.01 2 Memenuhi -
Amoniak mg/l 0.206 1.5 Memenuhi -
Parameter fisik yang tidak memenuhi baku mutu air minum yang terdapat pada Peraturan
Menteri Kesehatan 492 Tahun 2010 diantaranya adalah kekeruhan dan warna, sedangkan
parameter kimia yang tidak memenuhi baku mutu adalah besi. Untuk parameter zat padat
tersuspensi dibandingkan dengan baku mutu air baku Peraturan Pemerintah nomor 82 Tahun
2001 sebesar 50 mg/l sehingga unit pengolahan air bersih harus mampu untuk mereduksi TSS
sebesar +-85 %. Berikut penjelasan dari beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu air
bersih dan air baku:
3.1 Intake
3.1.1 Definisi Intake
Menurut SNI 7829:2012 tentang Bangunan Pengambilan Air Baku untuk Instalasi
Pegolahan Air Minum, bangunan penyadap (intake) merupakan bangunan atau konstruksi
penangkao aur yang dibangun pada suatu lokasi sumber air yaitu sungai, mata air, dan air tanah
dengan segala perlengkapannya dan dipergunakan sebagai tempat untuk mengambil air tersebut
guna penyediaan air minum.
Terdapat 3 (tiga) kelompok syarat dan ketentuan dalam penempatan dan kosntruksi bangunan
pengambilan air yang dibedakan berdasarkan sumber air bakunya. Penempatan dan konstruksi
bangunan pengambilan untuk sumber air baku mata air harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
Pengambilan air baku harus aman terhadap polusi yang disebabkan pengaruh luar;
Penempatannya pada lokasi yang memudahkan dalam pelaksanaan dan aman terhadap daya
dukung tanah, gaya geser, dan lain-lain melalui pengujian yang sesuai dengan SNI 03-2827-
1992;
Lokasi sumur harus aman terhadap polusi yang disebabkan pengaruh luar, dilengkapi dengan
saluran drainase, dan pagar pengaman sekelilingnya;
Bangunan pengambilan air tanah dapat dikonstruksikan secara mudah dan ekonomis;
Spesifikasi untuk sumur dangkal berupa sumur gali sesuai dengan SNI 03-2916-1992.
b Sumur dalam
Lokasi sumur harus aman terhadap polusi yang disebabkan pengaruh luar, dilengkapi dengan
saluran drainase, dan pagar pengaman sekelilingnya;
Bangunan pengambilan air tanah dapat dikonstruksikan secara mudah dan ekonomis;
Dimensi pipa pengaliran dalam sumur dihitung sesuai dengan kebutuhan maksimum harian;
Sumur dalam ini dimaksudkan untuk memompa air dari cekungan air tanah tertekan (confined
aquifer) dengan menggunakan pompa benam (submersible pump);
CATATAN:
Tata cara, spesikasi, dan metode pengujian untuk penempatan dan konstruksi sumur dalam SNI
03-2528-1991, SNI 03-2817-1992, SNI 03-2818-1992, SNI 03-3970-1995, SNI 03-3969-1995,
SNI 03-6436-2000, SNI 03-6469-2000
Persyaratan lokasi penempatan dan kosntruksi bangunan pengambilan air baku yang bersumber
dari air permukaan yaitu:
Penempatan bangunan pengambil air baku (intake) harus aman terhadap polusi yang
disebabkan pengaruh aluar (pencemaran oleh manusia dan makhluk hidup lain);
Penempatan bangunan pengambilan pada lokasi yang memudahkan dalam pelaksanaan
dan aman terhadap daya dukung alam (terhadap longsor dan lain-lain);
Konstruksi bangunan pengambilan harus aman terhadap banjir air sungaidan daya rusak
air lainnya sesuai dengan SNI 03-1724–1989, SNI 03-2415-1991, SNI 03-2400-1991,
SNI 03-3441-1994;
Penempatannya pada lokasi yang memudahkan dalam pelaksanaan dan aman terhadap
daya dukung tanah, gaya geser, dan lain-lain melalui pengujian yang sesuai dengan SNI
03-2827-1992;
Konstruksi bangunan pengambilan harus aman terhadap gaya guling, gaya geser,
rembesan, gempa dan gaya angkat air (up-lift);
Penempatan bangunan pengambilan lebih diutamakan di lokasi yang memungkinkan
digunakannya sistem gravitasi dalam pengoperasian serta terletak pada aliran/sumber air
yang belum tercemar;
Dimensi bangunan pengambilan harus mempertimbangkan kebutuhan maksimum harian;
Dimensi inlet dan outlet dan letaknya harus memperhitungkan fluktuasi ketinggian muka
air;
Pemilihan lokasi bangunan pengambilan harus memperhatikan karakteristik sumber air
baku;
Konstruksi bangunan pengambilan direncanakan dengan umur pakai (lifetime) minimal
25 tahun;
Bahan/material konstruksi agar diusahakan menggunakan material lokal/setempatatau
disesuaikan dengan kondisi daerah sekitar;
Lokasi penyadapan ditempatkan pada salah satu sisi tebing sungai yang relatif sejajar
dengan tebing sungai lainnyadengan alur sungai lurus serta aliran stabil;
Ditempatkan pada ketinggian muka air rata-rata atau lebih rendah, dengan tinggi muka
air pada saat musim kering minimal 2 meter. Pada kondisi tinggi muka air pada saat
musim kering kurang dari 2 meter, sebaiknya dibuat sumuran;
Dasar sumber air pada titik penyadapan tidak berubah secara drastis akibat proses
erosi/sedimentasi.
3.1.3 Tipe-Tipe Bangunan Intake
Pemilihan bangunan pengambilan air baku dibedakan menjadi 3 (tiga) cara bergantung pada
sumber air bakunya yaitu mata air, air tanah, dan air permukaan.
Secara umum pada sumber air baku yang menggunakan mata air, bangunan pengambilan
mata air dibedakan menjadi bangunan penangkap dan bangunan pengumpul.
a. Bangunan Penangkap
Pertimbangan pemilihan bangunan penangkap adalah pemunculan mata air
cenderung arah horisontal dimana muka air semula tidak berubah, mata air yang
muncul dari kaki perbukitan; apabila keluaran mata air melebar maka bangunan
pengambilan perlu dilengkapi dengan konstruksi sayap yang membentang di
outlet mata air,
Perlengkapan bangunan penangkap adalah outlet untuk konsumen air minum,
outlet untuk konsumen lain (perikanan atau pertanian, dan lain-lain), peluap
(overflow), penguras (drain), bangunan pengukur debit, konstruksi penahan erosi,
lubang periksa (manhole), saluran drainase keliling, pipa ventilasi.
b. Bangunan Pengumpul (Sumuran atau bangunan lainnya)
Pertimbangan pemilihan bangunan pengumpul adalah pemunculan mata air
cenderung arah vertikal, mata air yang muncul pada daerah datar dan membentuk
tampungan, apabila outlet mata air ada pada satu tempat maka digunakan tipe
sumuran, apabila outlet mata air dari beberapa tempat dan tidak berjauhan
(berdekatan) maka digunakan bangunan pengumpul atau dinding keliling,
Perlengkapan bangunan penangkap adalah outlet untuk konsumen air minum,
outlet untuk konsumen lain (perikanan atau pertanian, dan lain-lain),
peluap(overflow), penguras (drain), bangunan pengukur debit, konstruksi penahan
erosi, lubang periksaan (manhole), saluran drainase keliling, pipa ventilasi.
Selanjutnya bangunan pengambilan air baku yang berasal dari air tanah dibedakan menjadi
sumur dangkal dan sumur dalam.
a. Sumur Dangkal
Pertimbangan pemilihan sumur dangkal adalah secara umum kebutuhan air di
daerah perencanaan kecil, potensi sumur dangkal dapat mencukupi kebutuhan air
minum di daerah perencanaan (dalam kondisi akhir musim kemarau/kondisi
kritis),
Perlengkapan bangunan sumur dangkal dengan sistem sumur gali berupa buis
beton atau pasangan bata/batu kedap air, penyekat kontaminasi dengan air
permukaan, tiang beton, ember/pompa tangan.Sedangkan perlengkapan sumur
dangkal dengan sistem sumur pompa tangan (SPT) meliputi pipa tegak (pipa
hisap), pipa selubung, saringan, shock reducer.
b. Sumur Dalam
Pertimbangan pemilihan sumur dalam adalah secara umum kebutuhan air di
daerah perencanaan cukup besar, potensi sumur dalam di daerah perencanaan
dapat mencukupi kebutuhan air minum sedangkan kapasitas sumur dangkal tidak
memenuhi,
Sumur dalam berupa sumur pompa tangan (SPT dalam dengan kedalaman
maksimal 30 meter), meliputi pipa tegak (pipa hisap), pipa selubung, saringan,
shock reducer.Sumur pompa benam (submersible pump) meliputi pipa buta, pipa
jambang, saringan, pipa observasi, reducer, dop socket, tutup sumur, batu kerikil.
Sedangkan secara garis besar tipe bangunan pengambilan untuk air baku yang berasal dari air
permukaan terdiri dari 5 (lima) macam, yaitu:
1. Gravity Aerator
a. cascade
2. Spray Aerator
3. Diffuser
Secara garis besar, desain dan karakteristik operasional dari berbagai macam aerator dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 3.2–1 Desain dan Karakteristik Operasional Aeartor
Pemeliharaan terhadap aerator pun bergantung pada jenis dari aerator tersebut. Detilnya dapat
dilihat pada tabel berikut:
3.3 Koagulasi
3.3.1 Definisi Koagulasi
Koagulasi didefinisikan sebagai proses destabilisasi muatan koloid padatan tersuspensi termasuk
bakteri dan virus, dengan suatu koagulan sehingga akan terbentuk flok-flok halus yang dapat
diendapkan. Menurut Steel dan McGhee (1985), koagulasi diartikan sebagai proses kimia fisik
dari pencampuran bahan kimia ke dalam aliran limbah dan selanjutnya diaduk cepat dalam
bentuk larutan tercampur. Flokulasi adalah proses penambahan flokulan pada pengadukan
lambat untuk meningkatkan saling hubung antar partikel yang goyah sehingga meningkatkan
penyatuannya (aglomerasi).
Koagulan yang umum dipakai adalah alumunium sulfat, feri sulfat, fero sulfat dan PAC.
Fungsi koagulasi menurut metcalf dan Eddy 1991 adalah sebagai berikut
a. Mengurangi kekeruhan akibat partikel koloid anorganik maupun organik di dalam air
b. Mengurangi warna yang diakibatkan oleh partikel koloid
c. Mengurangi bakteri-bakteri patogen dalam partikel koloid, algae dan organisme plankton
lain
d. Mengurangi rasa bau akibat partikel koloid dalam air
3.3.2 Prinsip Koagulasi
Agar proses destabilisasi efektif, molekul polimer harus mengandung kelompok kimia
yang dapat berinteraksi dengan permukaan partikel koloid. Pada saat terjadi kontak antara
molekul polimer dengan partikel koloid, beberapa dari kelompok kimia pada polimer terserap ke
permukaan partikel, meninggalkan molekul polimer yang tersisa pada larutan. Apabila terjadi
kontak antar molekul polimer yang tersisa dengan partikel kedua yang memiliki permukaan
adsorbsi yang kosong, maka akan terjadi ikatan. Partikel polimer komplek akan terbentuk dengan
polimer sebagai penghubung. Jika partikel kedua tidak dapat berikatan, maka seiring dengan
waktu bagian polimer yang tersisa perlahan akan terserap pada permukaan partikel yang lain,
sehingga polimer tidak dapat lagi berfungsi sebagai penghubung.
Koagulan yang banyak digunakan dalam pengolahan air minum adalah aluminium sulfat atau
garam -garam besi.Kadang-kadang koagulan pembantu, seperti polielektrolit dibutuhkan untuk
memproduksi flok yang lebih besar atau lebih cepat mengendap. 9aktor utama yang
mempengaruhi proses koagulasi-flokulasi air adalah kekeruhan, padatan tersuspensi, temperatur,
pH, komposisi dan konsentrasi kation dan anion, durasi dan tingkat agitasi selama koagulasi dan
flokulasi, dosis koagulan, dan jika diperlukan. Pemilihan koagulan dan konsentrasinya dapat
ditentukan berdasarkan studi laboratorium menggunakanjar test apparatusuntuk mendapatkan
kondisi optimum
Pengadukan cepat (flash mixing) merupakan bagian integral dari proses koagulasi. Pengadukan
cepat yang efektif sangat penting ketika menggunakan koagulan logam seperti alum dan ferric
chloride, karena proses hidrolisnya terjadi dalam hitungan detik dan selanjutnya terjadi adsorpsi
partikel koloid. Waktu yang dibutukan untuk zat kimia lain seperti polimer (polyelectrolites),
chlorine, zat kimia alkali, ozone, dan potassium permanganat, tidak optimal karena tidak
mengalami reaksi hidrolisis.Tujuan pengadukan cepat adalah untuk mempercepat dan
menyeragamkan penyebaran zat kimia melalui air yang diolah karena pengadukan akan
menghasilkan turbulensi air sehingga dapat mendispersikan bahan kimia yang akan dilarutkan
dalam air. Secara umum, pengadukan cepat adalah pengadukan yang dilakukan pada gradien
kecepatan besar (300 sampai 1000 detik) selama 5 hingga 60 detik atau nilai GTd (bilangan
Champ) berkisar 300 hingga 1/100. secara spesifik, nilai G dan td bergantung pada maksud atau
sasaran pengadukan cepat.
- Pengadukan mekanis
- Pengadukan hidrolis
- Pengadukan pneumatis
1. Pengadukan Mekanis
Pengadukan mekanis adalah metoda pengadukan menggunakan peralatan mekanis yang terdiri
atas motor, poros pengaduk (shaft), dan alat pengaduk (impeller). Peralatan tersebut digerakkan
dengan motor bertenaga listrik. Berdasarkan bentuknya, ada tiga macam impeller, yaitu paddle
(pedal), turbine, dan propeller (baling-baling). Gambar dari ketiga bentuk tersebut dapat dilihat
di bawah ini :
Gambar 3.3-1 Unit Pengadukan Mekanis
(Sumber : Qasim,200)
Pengadukan mekanis dengan tujuan pengadukan cepat umumnya dilakukan dalam waktu singkat
dalam satu bak.Faktor penting dalam perancangan alat pengaduk mekanis adalah dua parameter
pengadukan, yaitu G dan td. Pengadukan mekanis dengan tujuan pengadukan lambat umumnya
memerlukan tiga kompartemen dengan ketentuan G di kompartemen I lebih besar daripada G di
kompartemen II dan G di kompartemen III adalah yang paling kecil . Pengadukan mekanis yang-
umum digunakan untuk pengadukan lambat adalah tipe paddle yang dimodifikasi hingga
membentuk roda (paddle wheel), baik dengan posisi horisontal maupun vertikal. Berikut adalah
contoh gambar untuk pengadukan lambat :
2. Pengadukan Hidrolis
Pengadukan hidrolis adalah pengadukan yang memanfaatkan aliran air sebagai tenaga
pengadukan.Tenaga pengadukan ini dihasilkan dari energi hidrolik yang dihasilkan dari suatu
aliran hidrolik.Energi hidrolik dapat berupa energi gesek, energi potensial (jatuhan) atau adanya
lompatan hidrolik dalam suatu aliran.
Jenis pengadukan hidrolis yang digunakan pada pengadukan cepat haruslah aliran air yang
menghasilkan energi hidrolik yang besar.Dalam hal ini dapat dilihat dari besarnya kehilangan
energi (headloss) atau perbedaan muka air.Dengan tujuan menghasilkan turbulensi yang besar
tersebut, maka jenis aliran yang sering digunakan sebagai pengadukan cepat adalah terjunan,
loncatan hidrolik, dan parshall flume.
Jenis pengadukan hidrolis yang digunakan pada pengadukan lambat adalah aliran air yang
menghasilkan energi hidrolik yang lebih kecil.Aliran air dibuat relatif lebih tenang dan dihindari
terjadinya turbulensi agar flok yang terbentuk tidak pecah lagi. Beberapa contoh pengadukan
hidrolis untuk pengadukan lambat adalah kanal bersekat, perforated wall, gravel bed dan
sebagainya.
Pengadukan dengan sistem hidrolis memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.Turbulensi bergantung pada tinggi level air
b.Tergantung pada debit aliran
Tenaga pengadukan dalam sistem hidrolis merupakan fungsi dari debit, percepatan gravitasi,
massa jenis fluida dan ketinggian atau headloss yang dapat dirumuskan dalam persamaan di
bawah ini :
Penggabungan dari persamaan diatas denga persamaan gradien kecepatan adalah sebagai berikut:
c. Pengadukan Pneumatis
Pengadukan pneumatis adalah pengadukan yang menggunakan udara (gas) berbentuk gelembung
yang dimasukan ke dalam air sehingga menimbulkan gerakan pengadukan pada air. Injeksi udara
bertekanan ke dalam suatu badan air akan menimbulkan turbulensi, akibat lepasnya gelembung
udara ke permukaan air makin besar tekanan udara, kecepatan gelembung udara yang dihasilkan
makin besar dan diperoleh turbulensi yang makin besar pula.
Gambar 3.3-5 Skema Pneumatis
(Sumber : bhupalaka, 2010)
3.4 Flokulasi
3.4.1 Definisi Flokulasi
Flokulasi adalah penggabungan partikel yang terdestabilisasi atau hasil koagulasi menjadi
flok atau agregat yang lebih besar agar dapat diendapkan dengan bantuan agen flokulan untuk
mencapai kondisi optimum (polielektrolit).Menurut Metcalf dan Eddy (2003) tujuan dari
flokulasi adalah untuk membentuk agregat atau flok dari partikel yang terpisah dan partikel yang
terdestabilisasi secara kimiawi.
3.4.2 Prinsip Flokulasi
Flokulasi merupakan langkah dimana partikel terdestabilisasi ditabrakan satu sama
lainnya untuk membentuk partikel yang lebih besar sehingga dapat diendapkan atau difiltrasi.
Flokulasi dapat ditingkatkan dengan penambahan polimer organic yang memiliki berat molekul
tinggi dan water-soluble sehingga dapat meningkatkan ukuran flok dengan pengikatan ion dan
molecular bridging.Ada 2 tipe umum flokulasi yaitu micro-flocculation (perikinetic flocculation)
yang mana agregasi partikel dilakukan dengan gerakan termal dari molekul fluida (Brownian
motion) secara alami dan macro-flocculation (orthokinetic flocculation) yang mana agregasi
partikel dilakukan dengan memasukkan gradien kecepatan dan pencampuran pada suspensi.
Gambar 3.4-1 Contoh Bak Flokulasi dengan Cara Mekanis
(Sumber: hitachi.com)
a. Perikinetic Flocculation
Parikel akan bertabrakan satu sama lainnya akibat adanya gaya brown. Von Smoluchowski
mendeskripsikan penurunan total bilangan parikel bulat sebagai fungsi waktu dengan persamaan:
dengan:
n = total bilangan partikel per unit volume air (m-3)
α = efisiensi collision
k = konstanta boltzman (J-K-1)
T = temperature absolut (K)
Tidak seluruh tabrakan akan menghasilkan penggabungan satu sama lainnya, maka dari itu
efisiensi tabrakan (collision) wajib dimasukkan ke dalam persamaan. Dari eksperimen yang
Untuk parikel berbentuk bulat konsentrasi volumetric nya dapat didefinisikan sebagai:
Dari persamaan tersebut, dapat dihitung bahwa pembentukan flok secara ortokinetik dengan
diameter partikel 1µm hanya terjadi saat gradien kecepatannya memiliki nilai lebih besar dari
10s-1. Flokulasi yang dilakukan dengan mixing, dilakukan secara pelan agar flok yang
terdestabilisasi dapat bergabung satu sama lain, jika dilakukan terlalu cepat, flok akan hancur
menjadi partikel kecil dan akan sulit untuk diendapkan atau difiltrasi.
Pembentukan flok pada prakeknya perlu memperhatikan beberapa parameter desain yaitu:
(https://ocw.tudelft.nl/)
1 Waktu tinggal, T (residence time)
Waktu diperlukan untuk pembentukan flok yang dapat disisihkan.Biasanya waktu tinggal
(residence time) yang dibutuhkan bervariasi antara 500-3600 detik, dengan rata-rata sekitar 30
menit.Dalam menentukan waktu tinggal, diperlukan percobaan jar-test.
2 Distribusi waktu tinggal
Saat air masuk ke dalam tangki, waktu tinggal tiap tetes airnya berbeda, untuk beberapa tetes
waktu retensi dapat lebih panjang dari rata-rata atau lebih singkat. Konsekuensinya akan
mengakibatkan proses pembentukan flok menjadi buruk dari teoritisnya. Maka dari itu untuk
mendapatkan hasil yang baik dari setiap tetesnya, adanya kriteria untuk mendesain tangki
pembentukan flok. Untuk plug flow dapat didekati dengan rasio antara panjang dan lebar tangki
setidaknya sama dengan 3. Selain itu, perlu diingat bahwa pengaduk sebaiknya sejajar dengan
arah aliran agar tidak terjadi aliran pendek (short circuit), selain itu jika pengaduk diletakkan
tidak sejajar akan menyebabkan sebagian aliran menjadi lebih cepat dan sebagian menjadi lebih
lama dan menyebabkan distribusinya tidak merata seperti pada gambar x.
dengan:
k2 = konstanta (0.25)
N = kecepatan rotasi (rpm)
Cd = konstanta (1.5)
Lblade = panjang dari mixer blade (m)
ru = jarak dari exterior mixing blade ke axis (m)
ri = jarak dari interior mixing blade ke axis (m)
Sesuai dengan persamaan diatas, dapat disimpulkan bahwa hanya kecepatan rotasi yang
merupakan parameter operasi, maka dapat disimpulkan
Kecepatan dari mixing blade tergantung dengan radius dan kecepatan rotasi, kecepatan terbesar
pada ujung dari mixing blade disebut tip velocity, dihitung dengan
Jika tip velocity melebihi 1 m/s flok dapat hancur. Dalam mencegah flok yang hancur akibat fluid
shear, maka tangki dapat disekat menjadi beberapa kompartmen dan mengurangi gradien
kecepatan dari kompartmen pertama sampai akhir.
Kecepatan gradien dapat diperoleh dengan penerapan baffled chambers, granular media beds,
diffused air, spiral flow chambers, reciprocating blades, danrotating blades.
4 Konsentrasi volume flok, Cv
Dalam perencanaannya, unit flokulasi harus memenuhi standar kriteria desain yang berlaku,
sesuai dengan yang tercantum pada SNI 6774:2008, kriteria desainnya sesuai tabel x.
Flokulator sesuai dengan tabel x terdiri dari flokulator hidrolis, flokulator mekanis, dan
flokulator clarifier. Flokulator hidrolis merupakan flokulator yang memanfaatkan kondisi
hidrolis dalam pengadukan lambatnya, sedangkan flokulator mekanis menggunakan mixer baik
itu pedal maupun bilah, dan flokulator clarifier merupakan flokulator yang merupakan gabungan
dengan bak sedimentasi. Jika dilihat dari jenis pengaduknya atau mixernya maka dibagi menjadi:
1. Static mixer atau Pengaduk statis merupakan pengaduk yang mana air merupakan
subjeknya, dengan pelat/baffle yang diletakkan statis mengitari sisi pada tangki, sehingga air
akan dengan secara alami mengalami pergantian arah aliran dan terjadi mixing, persamaannya
yaitu:
Flokulator dengan menggunakan mixer statis seperti baffle memiliki tingkat kecepatan gradien
yang terbatas, karena air hanya berjalan melewati sekat atau baffle yang dipasang, sehingga
flokulator tidak dapat menambah atau mengurangi kecepatan gradiennya, namun sangat
bergantung terhadap kecepatan overflow dari bak sebelumnya.
2. Pengaduk mekanis (paddle atau turbin atau propeller) merupakan pengaduk yang mana
pengaduk tersebut akan mencampur atau mengaduk air yang akan diolahnya, dengan berbagai
macam bentuk seperti paddle, turbin, atau propeller yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
hasil perhitungannya. Rumus yang digunakan untuk pengaduk mekanis yaitu:
3. Flokulator pneumatic yaitu flokulasi yang terjadi akibat suplai udara yang dimasukkan ke
tangki flokulator sehingga terjadi turbulensi dengan adanya gelombang udara yang mencampur
fluida dalam tangki.Suplai udara yang diberikan dalam bak flokulasi tidak sebesar bak
aerasi.Jenis flokulator ini jarang ditemukan di Indonesia karena membutuhkan energi yang cukup
besar dalam mensuplai udara ke dalam bak flokulasi. Daya yang dibutuhkan untuk flokulasi
secara pneumatic dapat diestimasi dengan:
𝑃𝑐
𝑃 = 𝑃𝑎 𝑥 𝑉𝑎 𝑥 𝑙𝑛( )
𝑃𝑎
dengan:
P = daya disipasi, kW
Pa = tekanan atmosfer, kN/m2
Va = Volume udara pada tekanan atmosfer, m3/s
Pc = Tekanan udara pada titik discharge, kN/m2
3.5 Sedimentasi
Ciri partikel flokulen adalah partikel yang selalu mengalami perubahan ukuran dan bentuk
selama proses pengendapan berlangsung. Mekanisme sedimentasi adalah sebagai berikut:
Pada pengolahan air limbah tingkat lanjutan, sedimentasi ditujukan untuk penyisihan lumpur
setelah koagulasi dan sebelum proses filtrasi. Selain itu, prinsip sedimentasi juga digunakan
dalam pengendalian partikel di udara.
Prinsip sedimentasi pada pengolahan air minum dan air limbah adalah sama, demikian juga
untuk metoda dan peralatannya.
Bak sedimentasi umumnya dibangun dari bahan beton bertulang dengan bentuk lingkaran, bujur
sangkar, atau segi empat. Bak berbentuk lingkaran umumnya berdiameter 10,7 hingga 45,7 meter
dan kedalaman 3 hingga 4,3 meter. Bak berbentuk bujur sangkar umumnya mempunyai lebar 10
hingga 70 meter dan kedalaman 1,8 hingga 5,8 meter. Bak berbentuk segi empat umumnya
mempunyai lebar 1,5 hingga 6 meter, panjang bak sampai 76 meter, dan kedalaman lebih dari
1,8 meter.
3. penyisihan flok / lumpur biologis hasil proses activated sludge pada clarifier akhir.
1. Bak pengendap segi empat (rectangular) : digunakan untuk laju alir air yang besar, karena
pengendaliannya dapat dilakukan dengan mudah, umumnya mempunyai lebar 1,5 hingga 6
meter, panjang bak sampai 76 meter, dan kedalaman lebih dari 1,8 meter.
2. Bak pengendap jenis lingkaran (circular) : memiliki mekanisme pemisahan lumpur yang
sederhana, umumnya berdiameter 10,7 hingga 45,7 meter dan kedalaman 3 hingga 4,3 meter.
Bentuk bak ini umumnya digunakan pada instalasi pengolahan air dengan kapasitas besar. Bak
berbentuk segi empat umumnya mempunyai lebar 1,5 hingga 6 meter, panjang bak sampai 76
meter, dan kedalaman lebih dari 1,8 meter. Pada bak ini, air mengalir horizontal dari inlet
menuju outlet, sementara partikel mengendap ke bawah (Anonim, 2007).
Bentuk kolam memanjang sesuai arah aliran, sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya
aliran pendek (short-circuiting).Bentuk ini secara hidraulika lebih baik karena tampang alirannya
cukup seragam sepanjang kolam pengendapan. Dengan demikian kecepatan alirannya relatif
konstan, sehingga tidak akan mengganggu proses pengendapan partikel suspensi. Selain itu
pengontrolan kecepatan aliran juga lebih mudah dilaksanakan.Namun demikian, bentuk ini
mempunyai kelemahan kurangnya panjang peluapan terutama apabila ukurannya kurang lebar,
sehingga laju peluapan nyata menjadi terlalu besar dan menyebabkan terjadinya gangguan pada
bagian akhir kolam pengendapan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka ambang peluapan harus
diperpanjang, misalnya dengan menambahkan kisi-kisi saluran peluapan di depan outlet
(Kamulyan, 1997)
2. Lingkaran (circular)
Bentuk bak ini umumnya digunakan pada instalasi pengolahan air dengan kapasitas yang
lebih kecil. Bak berbentuk lingkaran umumnya berdiameter 10,7 hingga 45,7 meter dan
kedalaman 3 hingga 4,3 meter (Anonim, 2007). Aliran air dapat secara horizontal ke arah radial
dan umumnya menuju ke tepi lingkaran atau dengan aliran arah vertikal.
Pada kapasitas yang sama, pada kolam pengendapan berbentuk lingkaran ini kemungkinan
terjadinya aliran pendek (short-circuiting) lebih besar daripada kolam pengendapan berbentuk
segi empat, terutama apabila ambang peluapan tidak level sehingga aliran air menuju ke satu sisi
tertentu saja. Bentuk ini secara hidraulika kurang baik karena tampang alirannya tidak seragam,
sehingga kecepatan alirannya tidak konstan. Karena itu timbul kesulitan dalam pengontrolan
kecepatan aliran dan semakin besar dimensi bangunan pengontrolan kecepatan menjadi lebih
sulit lagi.
Pada kolam pengendapan berbentuk lingkaran kelemahan kurangnya panjang peluapan hampir
tidak pernah dijumpai karena ambang peluapan dibangun sepanjang keliling lingkaran. Namun
demikian sering dijumpai panjang peluapan agak berlebihan, sehingga aliran melewati ambang
peluapan berupa aliran yang sangat tipis. Untuk mengatasi hal tersebut maka ambang peluapan
harus diperpendek dengan cara memasang ambang peluapan yang berbentuk seperti huruf V (V-
notch) atau seperti huruf U (U-notch). Keuntungan lain dari kolam pengendapan berbentuk
lingkaran adalah mekanisme pengumpulan lumpur lebih sederhana dengan memasang scrapper
yang bergerak memutar dan pemeliharaan lebih mudah (Kamulyan, 1997).
Gambar 3.5-2 Bak sedimentasi bentuk lingkaran aliran horizontal.
Sumber:water and waste water design, mackenzie.
1. Zona Inlet atau struktrur influent: tempat air masuk ke dalam bak.
Zona inlet mendistribusikan aliran air secara merata pada bak sedimentasi dan menyebarkan
kecepatan aliran yang baru masuk. Jika dua fungsi ini dicapai, karakteristik aliran hidrolik dari
bak akan lebih mendekati kondisi bak ideal dan menghasilkan efisiensi yang lebih baik.
Zona influen didesain secara berbeda untuk kolam rectangular dan circular.Khusus dalam
pengolahan air, bak sedimentasi rectangular dibangun menjadi satu dengan bak flokulasi. Sebuah
baffle atau dinding memisahkan dua kolam dan sekaligus sebagai inlet bak sedimentasi. Disain
dinding pemisah sangat penting, karena kemampuan bak sedimentasi tergantung pada kualitas
flok.
2. Zona pengendapan: tempat flok/partikel mengalami proses pengendapan. Dalam zona ini, air
mengalir pelan secara horisontal ke arah outlet, dalam zona ini terjadi proses pengendapan.
Lintasan partikel tergantung pada besarnya kecepatan pengendapan.
3. Zona lumpur: tempat lumpur mengumpul sebelum diambil ke luar bak.Kadang dilengkapi
dengan sludge collector/scrapper. Dalam zona ini lumpur terakumulasi. Sekali lumpur masuk
area ini ia akan tetap disana.
4. Zona Outlet atau struktur efluen: tempat di mana air akan meninggalkan bak, biasanya
berbentuk pelimpah (weir). Seperti zona inlet, zona outlet mempunyai pengaruh besar dalam
mempengaruhi pola aliran dan karakteristik pengendapan flok pada bak sedimentasi.Biasanya
weir/pelimpah dan bak penampung limpahan digunakan untuk mengontrol outlet pada bak
sedimentasi.Selain itu, pelimpah tipe V-notch atau orifice terendam biasanya juga
dipakai.Diantara keduanya, orifice terendam yang lebih baik karena memiliki kecenderungan
pecahnya sisa flok lebih kecil selama pengaliran dari bak sedimentasi menuju filtrasi.
Selain bagian-bagian utama di atas, sering bak sedimentasi dilengkapi dengan settler.Settler
dipasang pada zona pengendapan dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi pengendapan.
Plate settler merupakan keping pengendap yang dipasang pada settling zone (Zona
Pengendapan) di bak sedimentasi dengan kemiringan tertentu yang bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi dan memperluas bidang pengendapan sehingga proses fisika dari
sedimentasi dapat berlangsung lebih efektif bila tanpa menggunakan plate settler. Adapun tiga
macam aliran yang melalui plate settler yaitu (Hendrick, 2005)
Upflow, yaitu dimana sludge yang mengendap turun ke dasar bak melalui plate ketika
aliran air mengalir ke atas menuju outlet zone
Downflow, yaitu dimana sludge yang mengendap turun ke dasar bak melalui plate
bersamaan dengan aliran air yang mengalir ke bawah
Pada plate settler cek aliran terpenuhi, waktu kontak relatif singkat, dan lahan yang dibutuhkan
kecil. Untuk menentukan kecepatan partikel, jarak tempuh partikel, dan waktu tempuh
pengendapan partikel digunakan perhitungan plate settler dengan kemiringan 60O
Dalam pengembangan teori pengendapan diasumsikan bahwa sebuah partikel dengan
kecepatan mengendap (Vs) yang memasuki ujung plat dengan kecepatan Vo, lebar celah plat
adalah W, tebal plat adalag t, tinggi plat adalah H, plat diletakkan miring dengan sudut 60 O
terhadap sumbu horizontal.
𝑛 𝑉𝑜
𝑉𝑠 = 𝑌
(1 − 𝑌 )−𝑛 − 1
𝑜
Keterangan:
𝑄 𝑊
𝑉𝑠 =
𝐴 𝐻. cos ∝ +𝑊. 𝑐𝑜𝑠 2 ∝
Keterangan:
𝑄= Debit (L/s)
𝑄= Debit (L/s)
Keterangan:
Keterangan:
𝑄= Debit (L/s)
∝ = Kemiringan plat
Keterangan:
∝ = Kemiringan plat
𝑉𝑠 18 𝑣
𝑑= √
𝑔 (𝑆𝑔 − 1)
Keterangan:
Kontrol aliran
𝑉𝑜 𝑅
𝑁𝑟𝑒 =
𝑣
Keterangan:
𝑉𝑜2
𝑁𝑓𝑟 =
𝑔. 𝑅
Keterangan:
Waktu Kontak
𝐻
𝑡𝑑 =
𝑉𝑜
Keterangan:
Keterangan:
𝜌𝑠 = Kerapatan zat padat
𝜌𝑤 = Kerapatan air
𝑔= kecepatan gravitasi
𝑑 = Diameter Partikel
𝛽 = Faktor gesekan
3.6 Filtrasi
3.6.1 Definisi Filtrasi
Filtrasi adalah suatu proses pemisahan zat padat dari fluida (cair maupun gas) yang
membawanya menggunakan suatu medium berpori atau bahan berpori lain untuk menghilangkan
sebanyak mungkin zat padat halus yang tersuspensi dan koloid. Pada pengolahan air minum,
filtrasi dugunakan untuk menyaring air hasil dari proses koagulasi-flokulasi –sedientasi sehingga
dihasilkan air minum dengan kualitas tinggi. Di samping mereduksi kandungan zat padat, filtrasi
dapat pula mereduksi kandungan bakteri, menghilangkan warna, rasa, bau, besi dan mangan.
(ftsl.itb.ac.id)
Secara umum prinsip filtrasi dilakukan dengan melewatkan air yang diolah pada suatu media
berpori. Materi – materi yang ingin disisihkan, seperti materi halus tersuspensi dan koloid akan
tertahan pada media tersebut dan dihasilkan air yang lebih berkualitas. Materi – materi yang
tertahan pada media nantinya akan dibersihkan dengan mencuci media tersebut (backwash).
Terdapat dua prinsip untuk filtrasi, yakni sringan pasir cepat dan saringan pasir lambat dengan
perbedaan sebagai berikut :
Tabel 3.6–1 Perbedaan Kriteria untuk Saringan Pasir Cepat dan Saringan Pasir Lambat
Berdasarkan Prinsip:
Filtrasi Pasir Lambat
Pada media filter ini memiliki suatu lapisan tipis pada permukaan yang disebut dengan
“SCHMUTZDECKE” atau “Dirty Mat”. Lapisan ini mengandung banyak mikroorganisme dan
dapat menyisihkan bakteri termasuk E. coli, serta dapat menyisihkan materi organik dan
menurunkan kekeruhan pada air olahan.
• Sistem filtrasi ini dapat diterima dan menghasilkan kualitas air yang baik.
• Sistem ini tidak memerlukan operator yang sangat ahli dan membutuhkan energi yang
tidak terlalu besar.
• Cepat terjadi clogging oleh kelebihan algae yang timbul pada bak filter.
Saringan pasir lambat tidak hanya mampu menurunkan bakteri dan zat tersuspensi saja, tetapi
dapat mengubah zat organik yaitu dengan cara oksidasi yang mana zat organik itu diubah
menjadi CO2, air, nitrat, fosfat, dll.
Apabila air memiliki kandungan kekeruhan dan algae yang tinggi, maka memerlukan pengolahan
pendahuluan yaitu proses flokulasi (dengan penambahan koagulan) dan pengendapan yang
diteruskan dengan pre-khlorinasi.
Gambar 3.6-1 Saringan Pasir Lambat
Sumber : kuliah.ftsl.itb.ac.id
Kriteria Desain
Area filter bed yang dibutuhkan : 0,5 – 0,15 m2 per kapita per hari
dimana
Q : debit (m3/hari)
Penguras (Underdrains) : Sistem saringan pasir lambat ini umumnya memiliki suatu pipa
berlubang banyak yang utama dan memiliki banyak cabang, terbuat dari PVC.
Weir pengontrol effluent filter : alat pengontrol aliran (weir) diletakkan paling sedikit 0,2 m di
atas lapisan atas filter-bed.
Saringan pasir cepat (Rapid Sand Filter) ini pertama kali digunakan tahun 1885 di AS yaitu di
Sommerville, New Jersey dan di Eropa digunakan tahun 1895 di Zurich, Swiss.
Filter ini dibangun sebagai filter yang terendam. Jadi tujuan saringan pasir cepat ini hanyalah
untuk memisahkan zat tersuspensi dan koloidal dalam air. Sedangkan untuk menghilangkan bau
dan rasa digunakan saringan karbon aktif dan untuk menghilangkan CO2 agresif digunakan
marmer filter atau ion exchanger.
• Sistem filtrasi ini dapat diterima dan menghasilkan kualitas air yang baik.
• Sistem ini memerlukan operator yang ahli dan membutuhkan energi yang relatif besar.
• Filter ini tidak dapat menghadapi hydraulic dan solid shock loading.
Sumber : kuliah.ftsl.itb.ac.id
Kriteria Desain
Jumlah minimum filter untuk unit proses yang sangat kecil (kurang dari 2 mgd atau 90
L/det) adalah 2. Jika kapasitasnya melebihi 2 mgd maka diperlukan jumlah minimumnya
sebanyak 4 filter.
Persamaan :
N = 12Q
Sumber : kuliah.ftsl.itb.ac.id
Ukuran Tiap Filter
Gravity Filter
Catatan : untuk filter yang berskala sedang sampai besar yang mana minimumnya 100
Liter/det, terdiri dari 2 bak per filter dan mempunyai central gullet.
Catatan : kedalaman air dalam filter bed harus sama atau lebih besar dari maksimum
headloss yang terjadi.
Catatan : jumlah minimum filter adalah 4 tetapi disarankan berjumlah 6 sampai 8. Tiap
filter hanya memiliki satu cell karena batasan dalam backwash.
Pressure Filter
Pasir silika dan antrasit coal adalah media filter yang paling umum digunakan. Menurut AWWA
Standards garnet dan material sintetis juga dapat dipakai sebagai media filter tetapi jarang
digunakan karena mahal dan sulit diperoleh.
Media Tunggal
Pada media tunggal (single media) umumnya digunakan pasir dengan kriteria :
Porositas 0,4 -
Sperisitas 0,8 -
Sumber : kuliah.ftsl.itb.ac.id
Media Ganda
Pada filter dengan media ganda (dual media) biasanya digunakan antrasit dan pasir, dengan
kriteria :
Sperisitas
Sumber : kuliah.ftsl.itb.ac.id
Kedalaman
Pada umumnya tebal media yang digunakan adalah 75 – 100 cm, namun kadangkala digunakan
media sampai ketebalan 200 cm. Kedalaman air baku di atas media filter umumnya adalah 0,25
– 2,0 m.
Kedalaman media ini merupakan fungsi dari ukuran media dan biasanya mengikuti hubungan
sebagai berikut :
l/de lebih besar atau sama dengan 100, untuk ordinary monosand dan dual media beds.
l/de lebih besar atau sama dengan 1250, untuk trimedia (coal, pasir, dan garnet) dan coarse
monomedium beds (1,5 mm > de> 1,0 mm)
l/de lebih besar atau sama dengan 1250 – 1500, untuk coarse monomedium beds (2mm > de> 1,5
mm).
Catatan :
Jika kekeruhan air yang akan difiltrasi harus < 0,1 NTU tanpa penggunaan filtration aid,
disarankan untuk menambahkan rasionya sebesar 15%.
Kehilangan Tekanan
Laju atau kecepatan filtrasi untuk saringan pasir cepat umumnya adalah 1,5 x 10-3 m/det atau 125
m/hari, sehingga aliran yang terjadi selama melalui media filter adalah laminer dengan bilangan
Reynolds kira-kira bernilai 1.
Namun kadangkala untuk filter multimedia atau high-rate filtration dapat ditingkatkan mencapai
300 m/hari, dan masih berada dalam limit teratas karakteristik aliran laminer dengan bilangan
Reynold-nya kira-kira 10.
Laju aliran ini sangat cepat sehingga penyumbatan fiter akan berlangsung dengan cepat,
sehingga hanya dalam beberapa menit saja kotoran akan masuk jauh ke dalam lapisan pasir
sehingga harus dilakukan pencucian.
Kehilangan tekanan (headloss) awal, yaitu pada saat media masih bersih umumnya berkisar
sekitar 1 ft (30 cm). Kehilangan tekanan ini akan terus meningkat dengan tersumbatnya media
oleh kotoran yang disisihkan. Kehilangan tekanan akhir (terminal headloss) yang harus
disiapkan atau disediakan pada perancangan (desain) filtrer umumnya 8 – 10 ft (2 – 3 m) untuk
gravity filter, tetapi untuk automatic backwash filter biasanya hanya 1 ft (0,3 m), sedangkan
pressure filter biasanya menyediakan terminal headloss di atas 30 ft (9,3 m).
Kehilangan tekanan dalam pipa aibat gesekan aliran mengikuti persamaan Darcy –Weisbach
berikut :
Backwash
Pencucian filter umumnya dilakukan dengan menggunakan backwash (aliran balik), dimana air
pencuci yang digunakan adalah air bersih yang dialirkan pada pipa outlet dari filter. Air pencuci
ini akan dikeluarkan melalui saluran yang disebut gutter.
Pada beberapa filter pencucian dilakukan dengan menggunakan dengan menggunakan udara
terlebih dahulu sebelum dibilas dengan air, kecepatan backwash cukup tinggi untuk fluidized
bed, dan piringan baffle pada sisi yang lain untuk setiap saluran backwash digunakan untuk
mengurangi kehilangan media selama air-scour (putaran udara). Ruang (space) dan tinggi saluran
harus ditentukan dengan seksama agar flok-flok dapat tercuci dengan baik namun media filter
tidak ikut terbawa
Dua tipe dasar dari sistem pencucian permukaan yang sudah lama digunakan adalah : Fixed Grid
dan Rotating Arm. Tipe Fixed Grid memerlukan pemeliharaan yang lebih mudah, sedangkan
tipe Rotating Arm merupakan sistem yang sensitif dan mempunyai spesifikasi sendiri.
1. Surface agitator
2. Subsurface agitator
3. Dual-arm agitator
Tipe pertama sering digunakan pada saringan pasir cepat. Sedangkan tipe kedua dan ketiga
khusus dirancang untuk dual atau multimedia filter-bed.
a. Backwash Rate :
b. Surface-wash Rate :
- Pressure : 8 – 12 psi
Catatan : pressure yang ditunjukkan di atas adalah water jet discharge point.
B. Air-scour Backwash
a. Backwash Rate :
b. Air-scour Rate :
Saluran Backwash
Tipe ini biasanya digunakan pada filter yang menggunakan kecepatan backwash yang besar
untuk mengatasi elevasi dasar saluran agar suspended solid dapat dihilangkan dengan cepat.
Pada tipe ini saluran dibuat dengan konstruksi dinding yang tipis, dengan dasar saluran tidak
boleh datar (untuk kedua tipe) karena buih/busa dan lumpur akan terakumulasi di sepanjang
saluran.
Pada filter di Eropa, standar air-scour wash tidak menggunakan saluran backwash tetapi
menggunakan saluran single berbentuk V di sepanjang dinding berhadapan dengan dinding
wash-waste overflow. Agar pencucian dapat berlangsung efektif, maka lebar dari setiap filter
dibatasi maksimum : 16 – 20 ft (5 – 6 m)
Perhitungan Backwash
Pada saat terfluidasi, massa butiran pasir tidak berubah. Massa butiran pasir saat operasi filtrasi
sama dengan massa pasir saat terfluidasi. Hal tersebut mengikuti persamaan berikut :
Besarnya kecepatan backwash minimum ditentukan dengan persamaan di atas dengan ketentuan
Vs adalah kecepatan pengendapan partikel terbesar :
Sistem Underdrain
Sistem underdrain mempunyai 3 fungsi , yaitu : penyangga media filter, sebagai outlet air setelah
disaring, dan sebagai pemerata air pencuci.
Underdrain ini harus dipasang dengan baik agar media filter tidak hilang, untuk pengumpul air
setelah disaring dan sebagai pemerata tekanan air ke seluruh permukaan media filter pada waktu
pencucian. Karena kecepatan air pada waktu pencucian jauh lebih besar daripada kecepatan
menyaring.
Untuk itu underdrain harus dibuat dari media yang mempunyai ukuran yang jauh lebih besar
daripada media filter. Metoda yang sering digunakan adalah dengan menggunakan pipa
berlubang yang terdiri dari :
manifold
A. Perpipaan Underdrain
Sistem perpipaan underdrain yang umum digunakan adalah sistem pipa lateral yang berlubang
(orifice) yang disambungkan dengan pipa manifold. Lubang atau celah pada pipa lateral
ditempatkan pada bagian bawah pipa (secara vertikal) atau dengan sudut 30 – 45O.
Dengan cara ini sambungan air pencuci tidak akan langsung mengganggu susunan media filter
karena air pencuci tersebut pertama akan langsung memberikan tekanan pada dinding dasar
filter.
Sistem underdrain dengan menggunakan pipa berlubang ini tidak cukup terdiri dari manifold dan
pipa underdrain saja, tetapi harus dilengkapi dengan lapisan kerikil guna mencegah masuknya
media penyaring ke dalam lubang pipa lateral tersebut (mencegah terjadinya penyumbatan).
Lubang untuk mengalirkan air pencuci belakangan ini diganti dengan orifice.Untuk mencegah
terjadinya karat pada pipa lateral, maka pipa ini dibuat dari bahan tahan karat yang dilapisi bahan
anti karat (karena di dalam air sering ditemusi CO2 agresif).
Lubang udara sering tersumbat karena kotoran atau tumbuhnya mikroalgae sehingga secara
periodik (berkala) perlu dilakukan pembilasan dengan cara khlorinasi.
Kecepatan backwash sebesar 15 x 10-3 m/det belum tentu bisa mengangkat kotoran atau algae
atau mikroorganisme ke atas dan biasanya akan terjadi tekanan yang tidak sama pada waktu
penyaringan, sehingga keadaan ini akan menimbulkan kerugian karena makin lama filter tidak
akan berfungsi lagi. Untuk mencegah hal ini maka perlu dilakukan khlorinasi.
Lubang-lubang pada pipa lateral belakangan ini diganti dengan membuat dasar semu (lantai
berlubang) dengan jumlah lubang 36 buah/m2 luas filter.
Pembersihan penyumbat lubang plat ini dapat dilakukan dengan 2% NaOH atau 5% HCl.
Pemilihan sistem underdrain berdasarkan pada tipe filter yang digunakan. Pada filter dengan
normal backwash filter dan self-backwash filter dapat memakai sistem underdrain yang sama,
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5, namun pada filter dengan self-backwash filter harus
memiliki ukuran lubang orifice yang lebih besar.
Self-Backwash Filter pada prinsipnya sama dengan normal backwash filter, hanya berbeda pada
headloss pada setiap filter.
Ukuran Orifice
No. Tipe
Headloss (diameter)
3 – 5 ft 5/16 – 3/8 in
1 Precast concrete lateral
1 – 1,5 m 8 – 10 mm
3 – 5 ft ¼ - 3/8 in
3 Pipa lateral
0,9 – 1,5 m 6 – 10 mm
4 – 7 ft
4 Strainer 0,25 – 0,75 mm
1–2m
Sumber : kuliah.ftsl.itb.ac.id
Untuk Filter Air-scour backwash cocok menggunakan polyethylene atau tipe straine, dengan
batasan seperti yang ditunjukkan pada tabel Tabel 3.6.3-6
Ukuran Orifice
No. Tipe Headloss
(diameter)
Sumber : kuliah.ftsl.itb.ac.id
B. Media Penahan
Media penahan yang digunakan pada sistem underdrain umumnya adalah kerikil, dengan ukuran
dan ketebalan seperti ditunjukkan pada Tabel 3.6.3-7..
2 3/4 in 1/2 in 3 in
3 1/2 in 1/4 in 3 in
Sumber : kuliah.ftsl.itb.ac.id
Penyusunan kerikil ini harus dilakukan dengan baik sehingga lapisan atas kerikil tidak akan
tercampur dengan media filter atau sebaliknya media filter tidak akan masuk ke dalam manifold.
Tebalnya lapisan kerikil ini bervariasi, yang halus pada bagian atas, sedangkan yang besar pada
bagian bawah.Bagian paling atas merupakan kerikil halus guna mencegah/menghalangi pasir
saringan turun ke bawah, sedangkan bagian bawah dipasang kerikil kasar agar tidak terekspansi
pada waktu backwash (pencucian).
Media kerikil harus dibuat sedemikian rupa agar tidak terekspansi pada waktu pencucian filter
(backwash).
Ketebalan setiap lapisan kerikil minimum 7 cm. Kerikil untuk underdrain saringan pasir cepat
harus dibuat dari kerikil batu bundar dan keras dengan specific gravity sebesar 2,5 dan harus
dicuci bersih sehingga tidak ada pasir, lempung, tanah liat, lumpur, serta kotoran organik yang
melekat.
Kerikil tersebut di dalam test laboratorium-nya direndam dalam air panas dicampur HCl selama
24 jam dan kemudian ditimbang dan beratnya tidak boleh berkurang melebihi 5% berat awal.
Pada filter yang menggunakan dual parallel lateral block batasan media penahannya ditunjukkan
pada Tabel 8, sedangkan pada filter dengan dual parallel lateral block yang menggunakan air-
scour wash, batasan media penahannya ditunjukkan pada Tabel 3.6.3-8.
2 1/2 in 1/4 in 3 in
Sumber : kuliah.ftsl.itb.ac.id
2 1/4 in 1/8 in 2 in
4 1/4 in 1/8 in 2 in
5 1/4 in 1/4 in 2 in
Sumber : kuliah.ftsl.itb.ac.id
Perpipaan
Pada filter biasanya banyak digunakan saluran atau perpipaan. Dimensi dari saluran atau
perpipaan tersebut sangat tergantung dari debit yang dialirkannya dengan batasan kecepatan
yang telah ditentukan.
Batasan maksimum kecepatan aliran pada perpipaan filter tersebut ditunjukkan pada
Tabelberikut :
Tabel 3.6.3-10. Batasan Kecepatan Aliran Perpipaan Filter
Influent channel 2 2
Inlet valve 3 5
Effluent valve 5 2
Effluent channel 5 2
Backwash main 10 3
Backwash valve 8 5
Surface-wash line 8 8
Wash-waste main 8 8
Wash-waste valve 8 8
Sumber : kuliah.ftsl.itb.ac.id
Catatan : kecepatan aliran pada pipa atau saluran inlet dapat mencapai sekitar 6 fps
(2 m/det) jika pada setiap effluen filter terdapat kontrol kecepatan aliran atau jika sistem filtrasi
yang digunakan berupa declining rate system.
3.7 Desinfeksi
3.7.1 Definisi Desinfeksi
Desinfeksi adalah proses pembuangan semua mikroorganisme patogen pada objek yang
tidak hidup dengan pengecualian pada endospora bakteri.Desinfeksi juga dikatakan suatu
tindakan yang dilakukan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak dengan
membunuh spora
3.7.2 Prinsip Desinfeksi
Disinfeksi pada unit pengolahan membebaskan air minum dari mikroorganisme patogen
dengan cara memutuskan rantai antara Manusia dengan bibit penyakit melaui media air. Metoda
disinfeksi, secara umum ada dua, yaitu cara fisik dan cara kimiawi. Disinfeksi secara fisik adalah
perlakuan fisik terhadap mikroorganisme, yaitu panas dan cahaya yang mengakibatkan matinya
mikroorganisme akibat perlakuan fisik tersebut. Air panas hingga titik didihnya akan merusak
sebagian besar bakteri. Sinar matahari mempunyai sinar ultra violet yang cukup berperan dalam
mematikan mikroorganisme.
Disinfeksi secara kimiawi adalah memberikan bahan kimia ke dalam air sehingga terjadi kontak
antara bahan tersebut dengan mikroorganisme yang berakibat matinya mikroorganisme.
Beberapa bahan kimia untuk disinfeksi yang umum adalah klor dan senyawanya, brom, iodine,
ozone, fenol dan senyawa fenolat, alkohol, logam berat dan senyawa yang berkaitan, bahan
pewarna, sabun dan deterjen sintetis, senyawa ammonium kuarter, hidrogen peroksida dan
beberapa basa dan asam. Dari bahan-bahan kimia diatas, klor dan ozone yang paling umum
digunakan dalam disinfeksi air minum.
Bahan yang akan digunakan untuk disinfeksi harus memenuhi persyratan sebagai berikut:
Dapat membunuh berbagai jenis dan populasi pathogen di dalam air pada waktu dan suhu
tertentu
Tidak bersifat racun terhadap manusia dan mahluk hidup lain
Murah, metode penyimpanan serta pembubuhan mudah dan aman
Mudah dianalisa dan dideteksi
Menyisahkan sejumlah kadar tertentu dalam air
Jenis bakteri
Kadar desinfektan
Waktu kontak
Desinfeksi yang paling efektif adalah klorin, HOCl dan OCl- (Klor bebas) dibanding dengan
Klor terikat NH2Cl, NHCl3 dan NCl3 pada pH tertentu.
1. Klorinasi
Klor merupakan bahan yang paling umum digunakan sebagai disinfektan karena efektif pada
konsentrasi rendah, murah dan membentuk sisa klor jika diterapkan pada dosis yang mencukupi.
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi efisiensi disinfeksi dengan klor adalah:
Senyawa klor yang umum digunakan adalah gas klor (Cl2), kalsium hipoklorit (Ca(OCl)2),
sodium hipoklorit (NaOCl) dan klor dioksida (ClO2). Reaksi klorinasi:
Cl2 + H2O → HOCl + H+ + Cl-
(HOCl) (H+) (Cl-)/(Cl2) = Kh = 4,5 x 10 (mole/L) pada 25 ºC
Dosis klor adalah jumlah klor yang ditambahkan pada air untuk menghasilkan residu
spesifik pada akhir waktu kontak.Hasil sisa (residu) adalah dosis dikurangi kebutuhan klor yang
digunakan oleh komponen dan materi organik yang ada dalam air. Dosis klor yang dibutuhkan
pada proses pengolahan ditentukan dengan uji laboratorium atau pilot plant. Dosis klor dapat
bervariasi tergantung pada kualitas air, temperatur dan kondisi iklim yang lain. Umumnya,
dosisnya berada pada rentang 0,2 sampai 4 mg/L. Tabel berikut menunjukkan dosis klor yang
dianjurkan.
Reduksi klorin dan oksidasi amoniak terjadi pada perbandingan molar klorin dan
amoniak > 1 dan reaksi akan sempurna pada saat perbandingannya mencapai 2 yang
menyebabkan kedua zat atau senyawa hilang dari larutan (BreakPoint Chlorination/BPC). BPC
terjadi pada titik dimana kedua zat atau senyawa hilang pada air yang mengandung amoniak
yang diberi zat desinfektan klor. BPC maksimum terjadi pada pH 6,5 – 8,5 dengan waktu kontak
lebih dari 30 menit
Aerasi
2. Ozone
Ozone merupakan oksidan kuat berbentuk gas berwarna biru yang berbau tajam dan
merupakan bentuk tidak stabil dari oksigen yang terdiri dari tiga atom O (rumus kimia ozone
adalah O3).Ozone dihasilkan dari oksigen yang dilewatkan pada listrik bertegangan tinggi dalam
udara kering. Reaksinya adalah:
O2 + 2e- => 2O-
O + O2 => O3
3O2 + 2e- => 2O3
Reaksi ini merupakan reaksi reversible, sekali ozone terbentuk, akan terurai menjadi
oksigen. Reaksi reversible ini terjadi di atas suhu 35oC.Oleh karena itu, diperlukan peralatan
sistem pendingin pada sistem penghasil ozon. Energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan
ozone adalah 0,82 kW-h per kg ozone.
Pemakaian ozone dalam pengolahan air minum yang paling umum adalah untuk disinfeksi
terhadap bakteri dan virus. Dosis ozone sebesar 0.4 mg/l dalam waktu 4 menit (faktor waktu
kontak (CT) = 1.6) direkomendasikan untuk menghilangkan bakteri patogenik dan polivirus.
Faktor CT sebesar 2 diperlukan untuk menjamin penghilangan total Giardia cysts.
Disinfeksi dengan ozone membutuhkan air input yang bebas dari mangan terlarut (Mn2+). Jika
terdapat kandungan Mn2+ lebih besar dari 0,03 mg/l, ozone akan mengoksidasi mangan menjadi
Mn(VII) yang berwarna jingga kecoklatan sebagai akibat presipitasi MnO2. Karena itu
diperlukan pengecekan warna air input yangberhubungan dengan kandungan bahan organik agar
tidak menghasilkan presipitasi setelah ozonasi.
Ozone sebagai oksidan yang sangat reaktif, dalam proses ozonasi akan langsung membunuh
mikroorganisme karena merusak dinding sel (lisis). Ozonasi tidak menghasilkan padatan terlarut
dan tidak dipengaruhi oleh ion ammonium atau pengaruh pH dalam proses.
Bila ozone masuk ke dalam air, akan terjadi dua kemungkinan, yaitu oksidasi langsung
yang berlangsung lambat dan selektif, dan auto-dekomposisi menjadi radikal hidroksil yang
berlangsung cepat. Auto-dekomposisi dipercepat oleh adanya radikal hidroksil, radikal organik,
hidrogen peroksida, sinar ultra violet, atau ion hidroksida dalam konsentrasi tinggi.Radikal
hidroksil dapat mengoksidasi organik dengan cepat dan tidak selektif. Oksidasi langsung akan
terjadi bila pH air rendah dan auto dekomposisi akan terjadi bila pH air tinggi.
Ozone bereaksi dengan senyawa anorganik seperti ion nitrat, besi, mangan, sulfida, dan
amonium.Oksidasi substansi anorganik ini dengan prosese ozonisasi sangat cepat dan
lengkap.Ozone, sebagai oksidan yang kuat dan efektif, merusak banyak senyawa organik
penyebab warna, rasa, dan bau dalam air minum. Oleh karena itu, ini secara luas digunakan
untuk mengendalikan rasa dan bau, menyisihkan warna dan menyisihkan besi dan mangan
b. Kaporit atau kalsium hipoklorit (CaOCl2 ) x H2O kandungan klor aktif (60-70) %
Adapun parameter desain untuk unit desinfeksi tergantung pada unit desinfektan yang digunakan
nantinya
3.8 Pengolahan Lumpur
3.8.1 Sludge Thickening
Merupakan proses yang bertujuan meningkatkan konsentrasi lumpur dengan
mengurangi bagian liquidnya agar volumenya berkurang. Proses yang berlangsung dalam
thickening biasanya secara fisik, yaitu pengendapan, gravitasi, flotasi, sentrifugasi dan gravity
belt.
Volume harus dikurangi berdasarkan pertimbangan:
Kebutuhan kapasitas tangki dan peralatan
Kebutuhan zat kimia pada conditioning
Panas pada digester dan bahan bakar untuk heat drying dan atau insinerasi atau keduanya.
Thickening digunakan di hampir seluruh unit pengolahan air buangan, baik pada bak
pengendap I, sludge digestion atau pada unit pengolahan lumpur yang terpisah.Apabila unit
pengolahannya terpisah, biasanya air efluen diresirkulasi ke dalam unit pengolahan air
buangan.
a) Gravity Thickener
Fungsi dari bangunan ini adalah untuk meningkatkan kandungan solid dengan cara
memisahkan sebagian cairan yang terdapat dalam lumpur. Lumpur mempunyai kadar air
yang besar, untuk mengurangi kadar air dilakukan dengan pengentalan lumpur kemudian
dikeringkan. Lumpur yang akan diolah berasal dari bak pengendap I dan bak pengendap II.
Keunggulannya yaitu :
Sering digunakan untuk memekatkan lumpur yang berasal dari BP I dan dari trickling
filter. Untuk instalasi relatif kecil diperoleh hasil yg memuaskan dimana konsentrasi
sludge berkisar antara 4–6 %
Cocok untuk memekatkan lumpur air buangan domestik yang memiliki kadar BOD dan
SS yang tinggi.
Pada prinsipnya sama dengan bak pengendap yang berfungsi untuk meningkatkan
kandungan solid lumpur dengan memisahkan cairan. Tingkat pemekatan bervariasi dari 2
sampai 5 kali dari konsentrasi solid pada lumpur pada influen. Maksimum konsentrasi solid
yang dicapai < 10 % ( Qasim, 1985 ).
Gambar 3.8-1 Gravity Thickener
(Sumber: JSIM, 2002)
b) Flotation Thickener
Ada 3 jenis flotation yang digunakan, yaitu : Dissolved Air Flotation (DAF), Vacuum
flotation dan Dispersed Air Flotation. DAF adalah yang paling umum digunakan. DAF
biasanya digunakan untuk pemisahan lumpur dari proses lumpur aktif ( activated sludge )
dan lumpur dari proses kimia.
Pemisahan padatan dilakukan dengan mendifusikan gelembung-gelembung udara halus
ke dalam lumpur buangan sehingga padatan lumpur akan melekat pada gelembung udara
tersebut dan mengapung ke permukaan untuk kemudian disisihkan.
Beban solid yang lebih besar dapat ditangani dengan flotation thickener dibanding
dengan cara gravity karena adanya pemisahan solid dengan cepat. Primary tank effluent
atau plant effluent diperlukan sebagai sumber air yang mengandung udara dibanding
flotation tank, kecuali jika ada penambahan zat kimia karena kemungkinan pencemaran
udara bertekanan dengan solid.Penggunaan polimer efektif untuk penambahan solid
recovery pada lumpur (85 – 99%) dan mengurangi beban pencemaran.
3.8.2 Digestion
A. Anaerobic Digester
Anaerob digester adalah proses stabilisasi dalam kondisi anaerob dimana yang bertugas adalah
mikroorganisme anaerob dimana proses stabil ini akan menghasilkan methan dan CO2. Secara
operasional relatif lebih murah. Keunggulannya adalah :
Dapat menghasilkan produk yang bergunan berupa biogas (terutama CH4) yang dapat
digunakan sebagai sumber energi
Dapat menghasilkan residu biomassa yang rendah
Mikroorganisme yang berfungsi menstabilkan lumpur adalah mikroorganisme anaerob maupun
yang fakultatif. Proses stabilisasi ini menghasilkan karbondioksida dan metan. Anaerobic
digestion merupakan proses biokimia yang kompleks dimana mikroorganisme fakutatif dan
anaerob secara simultan berasimilasi dan mendegradasi material organik.
Gambar 3.8-5 Anaerobic Digester
(Sumber: JSIM, 2002)
B. Aerobic Digester
Proses yang terjadi mirip dengan proses lumpur aktif. Pada saat suplai substrat menurun, maka
mikroorganisme akan mulai mengkonsumsi protoplasma untuk memenuhi kebutuhan energi
untuk aktivitas dalam sel (fase endogenous), dimana jaringan sel dioksidasi secara aerob
menjadi karbondioksida, air dan amonia. Hanya sekitar 70 – 80% jaringan sel yang dapat
dioksidasi sehingga sisanya merupakan komponen inert dan material organik yang tidak dapat
didegradasi. Apabila lumpur dari bak pengendap I dan II didigested secara aerobik maka akan
terjadi oksidasi material organik pada lumpur primer dan oksidasi endogenous pada jaringan
sel.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam desain aerobic digestion adalah temperatur,
penyisihan solid, kebutuhan energi untuk pengadukan, volume tangki, kebutuhan oksigen dan
proses operasinya. Sedangkan beberapa kelemahan dari aerobic digestion adalah biaya
investasinya cukup mahal dan memerlukan energi yang intensif.
C. Lime Stabilization
Stabilisasi lumpur secara aerob maupun anaerob memerlukan tangki dengan kapasitas besar.
Jika pengurangan investasi menjadi tujuan utama dan kemampuan lumpur dapat diturunkan
dengan penambahan bahan kimia, dimana penambahan tersebut tidak mengubah jumlah
material organik biodegradabelnya tetapi akan mempengaruhi aktivitas bactericidalnya. Bahan
kimia yang umum digunakan adalah kapur Ca(OH)2 karena murah dan alkalinitasnya tinggi.
Prosesnya dengan pembubuhan kapur ke dalam lumpur sampai pHnya diatas 12 sehingga
menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi pertumbuhan mikroorganisme.Akibatnya
lumpur tidak membusuk, membuat bau atau membahayakan kesehatan.
Metode: Pre treatment dan post treatment.
Pre treatment, tujuan mempertahankan pH lumpur diatas 12 selama 2 jam untuk
menghancurkan patogen dan menjaga cukupnya sisa alkalinitas agar pH tidak drop dibawah 11
selama beberapa hari.
Post treatment, menggunakan quicklime, CaO, yang reaksi eksotermalnya dengan air
mencapai 50oC. Kelebihan dibandingkan dengan pre treatment adalah digunakannya CaO
yang tidak perlu tambahan air, tidak ada perlakuan khusus terhadap dewatering dan
permasalahan yang minimal.
Efisiensi penyisihan
Kebutuhan lahan
Biaya oeprasional dan perawatan
Investasi
Keberlanjutan
Sumber Daya Manusia
Biaya investasi merupakan besarnya biaya awal yang digunakan untuk membangun sistem
pengolahan. Biaya investasi melingkupi pembiayaan bahan, alat yang diperlukan baik dalam
pekerjaan maupun dalam sistem pengolahan, tenaga kerja dan pajak yang perlu dibayarkan.
Pembobotan biaya investasi dipilih sebesar 15% dari total pembobotan. Nilai ini dipilih sebagai
bobot terbesar ketiga setelah kebutuhan lahan, biaya operasional, dan efektifitas. Biaya investasi
memiliki bobot yang cukup tinggi dikarenakan harus disesuaikan dengan kemampuan
Pemerintah atau investor yang akan membangun bangunan pengolahan tersebut. Biaya investasi
akan diurutkan sesuai dengan peringkat dari yang termurah hingga yang termahal. Nilai ini akan
turut memberikan kontribusi dalam pemilihan teknologi yang akan terpilih.
Efektifitas merupakan hal terpenting dibanding biaya investasi karena lebih dititkberatkan
terhadap effluen yang akan dihasilkan dibandingkan besar biaya yang perlu dikeluarkan. Untuk
nilai investasi memiliki bobot lebih rendah dibanding biaya operasional karena investasi yang
ditanamkan meskipun bernilai lebih besar tetapi jika biaya operasional yang dibutuhkan lebih
kecil maka akan diprioritaskan. Hal tersebut berkaitan dengan keberlanjutan pengolahan.
Sedangkan, terhadap kebutuhan lahan lebih diprioritaskan kebutuhan lahan dikarenakan lahan
Kota Bandung yang sempit dan harga yang cukup tinggi sehingga dipilih nilai untuk kebutuhan
lahan lebih tinggi dibanding harga investasi dalam pembangunan pengolahan.
Selanjutnya parameter keberlanjutan mencakup segala hal yang menyebabkan nilai lifetime atau
umur suatu unit. Hal-hal yang mencakup yaitu pengaruh dari cuaca dan iklim Indonesia terhadap
unit-unit pengolahan yang digunakan, umur suatu kompartemen suatu unit yang memengaruhi
keberjalanan dari unit tersebut, contohnya yaitu pompa. Parameter keberlanjutan memiliki bobot
persentase terkecil bersamaan dengan parameter sumber daya manusia (SDM) yaitu sebesar
10%. Nilai ini memiliki nilai terendah karena parameter ini dianggap tetap berpengaruh dalam
penentuan alternatif konfigurasi namun pengaruhnya tidak sebesar parameter lainnya. Karena
pada umumnya masalah dalam keberlanjutan ada pada rendahnya biaya operasional dan
perawatan unit maka kami mengutamakan parameter biaya operasional dan perawatan yang
dapat mendongkrak keberlanjutan dari unit-unit tersebut. Sehingga pada pertimbangan ini,
selama biaya operasioanal dan perawatan yang ada sudah sesuai dengan yang seharusnya maka
parameter keberlanjutan sudah ter-cover.
Nilai pembobotan pada parameter efisiensi adalah sebesar 25%, hal ini didasarkan karena
pada intinya setiap unit instalasi pengolahan air bersih harus mampu mengolah dan menyisihkan
parameter pencemar sehingga aman untuk dikonsumsi oleh konsumen, namun tiap tiap unit
instalasi pengolahan air bersih memiliki sistem dan cara kerja yang berbeda sehingga
mempengaruhi kemampuan dalam mengolah dan menyisihkan parameter pencemar tersebut.
Perbandingan efisiensi unit pengolahan pada ketia alternatif difokuskan pada unit aerasi dan juga
unit sedimentasi. Pada unit koagulasi dan juga flokulasi, ketiga alternatif menggunakan sistem
yang berbeda-beda yaitu hidrolis mekanis dan juga pneumatik. Ketia prinseip yang berbeda
tersebut tidak didapatkan efisiensi yang dapat dipastikan dikarenakan terdapat banyak faktor
lainnya yang dapat mempengaruhi nilai dari efisiensi reduksi beberapa parameter dalam iar.
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah koagulan yang dipakai, dosis koagulan, dosis
koagulan, hydraulic retention time (HRT), intensitas mixing (gradient velocity), bahan
tersuspensi, bakteri, dan organisme lainnya.
(1) Air terjun aerasi menggunakan prinsip desorpsi dan menyelesaikan transfer gas
dengan menyebabkan air masuk ke tetesan film tipis, meningkatkan permukaan kontak antara
udara dan air.
(2) Gelembung aerator terdiri dari tangki beton persegi panjang di mana pipa
berlubang, tabung diffuser berpori atau piring.
(3) Aerator mekanis menggunakan penggerak impeler motor saja atau dalam
kombinasi dengan perangkat injeksi udara.
(4) Aerator bertekanan biasanya digunakan untuk mengoksidasi besi dan mangan.
Pada ketiga alternatif ini dipakai aerator dengan tipe terjunan dan pipa yang berlubang.
Efektivitas aerasi tergantung pada metode aerasi yang dipilih, konstanta hukum Henry
kontaminan, faktor desain seperti rasio air terhadap air, laju aliran dan pemuatan, area
pemindahan massa yang tersedia, suhu, pH dan produksi ganggang. Ketika konstanta hukum
Henry meningkat, faktor desain seperti rasio air terhadap air menjadi kurang penting untuk
penghapusan yang efektif (Dyksen, 2005; URL 4).
Cascade
Efisiensi dari aerasi metode cascade bergantung pada ketinggian jatuh dari setiap tahap
terjunan dan juga jumlah terjunan pada unit. Tabel XX menunjukan nilai efisiensi untuk
beberapa gas yaitu oksigen karbon dioksida dan juga metan.
Tray Aerator
Surface loading dari tray aerator dengan nilai 40 hingga 100 m3 / (m2 • h) dan juga nilai dari
ketinggian pengemasan yang diterapkan, yang menentukan waktu retensi air di aerator menara,
bervariasi antara 3 dan 5 meter dapat mencapai eficiensi hingga bernilai 95%. Perubahan nilai
Kelemahan yang ditimbulkan dari tray aerator adalah sensitifnya unit ini dengan
timbulnya clogging dalam pengolahan besi.
Spray Aerator
Efisiensi untuk penambahan oksigen bisa bervariasi dari 65 hingga 80% dan untuk
menghilangkan karbon dioksida nilai efisiensi bervariasi dari 60 hingga 80%. Nilai dari efisiensi
ini bergantung pada desain nozzle dan juga tinggi jatuh dari air. Spray aerator ini merupakan unit
aerasi yang paling sensitif terhadap clogging.
Persentasi Reduksi
Didapatkan dari samsamwater.com, cascade aerator membutuhkan luas lahan sekitar 50-
200 m2/m3/s, maka untuk debit sebesar 946 L/s dibutuhkan luas estimasi untuk cascade aerator
sebesar 47-189 m2. Sedangkan, tray aerator (Waterfall aerator) biasanya memiliki kecepatan
0.02 m3/s/m2 luas tray. Maka dari itu membutuhkan lahan seluas 50 m2/m3/s untuk keseluruhan
tray aerator, dengan jumlah tray 4-8 tray per unitnya dipasang secara vertical ke atas, luas lahan
yang diperlukan sebesar kurang lebih 47 m2 untuk melayani beban pengolahan sebesar 946 L/s.
Spray aerator dapat diletakkan diatas bak koagulasi, hal tersebut dapat dilakukan untuk
menghemat tempat jadi tidak perlu menggunakan bak terpisah untuk mengaerasi air influen.
Maka untuk penggunaan spray aerator tidak membutuhkan lahan tambahan.
Volume bak pengadukan cepat untuk unit koalgulasi boasanya mencapai lebih dari 8 m3
dikarenakan peralatan mixing dan keterbatasan geometris. Waktu detensi untuk unit koagulasi,
baik hidrolis maupun mekanis yaitu sekitar 1-7 detik, maka jika dikalikan dengan 946 L/s
didapatkan volume estimasi dan dengan asumsi kedalaman 2 meter, didapatkan luas lahan yang
tercantum pada tabel x. Koagulasi secara pneumatis biasanya membutuhkan volume bak
koagulasi yang mirip dengan koagulasi menggunakan hidrolis dan mekanis, walaupun terkadang
volumenya dapat lebih kecil karena tergantung dengan udara yang dipasok (Letterman et.al,
1973 dan Amirtharajah, 1978).
Sesuai dengan SNI 6774:2008, didapatkan waktu tinggal penggunaan unit flokulasi.
Waktu tinggal unit flokulasi dapat dihubungkan dengan volume bak flokulasi yang dibutuhkan
untuk proses flokulasi. Debit beban pengolahan sebesar 946 L/s, waktu detensi dengan flokulator
hidrolis sebesar 30-45 menit, flokulator mekanis pedal 30-40 menit, dan asumsi untuk pneumatic
waktu detensinya adalah sekitar 30 menit, maka didapatkan volume untuk tiap bak flokulasi
dengan perkalian waktu detensinya. Setelah didapatkan volume bak flokulasi, dengan asumsi
kedalaman 4m, maka didapatkan luas lahan yang dibutuhkan sesuai pada tabel x.
Lahan untuk bak sedimentasi, dikarenakan perbedaan antara ketiga konfigurasi terdapat
pada jenis pelat yang terdapat dalam bak tersebut, maka diasumsikan untuk luas yang diperlukan
oleh bak itu sendiri hampir sama antara ketiga jenis pelat berbeda (plat settler, honeycomb, dan
tube settler). Diasumsikan bak sedimentasi merupakan bak persegi aliran vertical dengan pelat
pengendap, maka waktu tinggal yang dibutuhkan adalah 0,07 jam dengan debit 946 L/s maka
volume bak pengendap yang dibutuhkan adalah x. Maka dari itu dengan asumsi kedalaman 4
meter (sesuai dengan kriteria desain pada SNI 6774:2008), didapatkan luas lahan untuk bak
sedimentasi adalah 59.6 m2.
Dikarenakan pengoalahan lainnya untuk ketiga alternative sama, maka luas lahan untuk
pembobotan dipertimbangkan dari 4 pengolahan utama (aerasi, koagulasi, flokulasi, dan
sedimentasi). Jika dijumlahkan maka didapatkan hasil seperti pada tabel x. Dari tabel x dapat
disimpulkan bahwa konfigurasi 3 memiliki ranking 1 untuk kebutuhan lahan, karena estimasinya
untuk keseluruhan hanya membutuhkan lahan sebesar sekitar 488.6 m2 untuk hampir keseluruhan
rangkaian IPAM.
Pada alternatif konfigurasi pengolahan 1, diajukan pengolahan aerasi tipe cascade Pada
pengolahan aerasi tipe cascade, tidak dibutuhkan perawatan unit pengolahan yang rutin
dikarenakan hampir seluruh bagian konstruksi dari unit pengolahan aerasi : cascade terbuat dari
alumunium (stainless) menjadikan perawatan yang dibutuhkan tidak begitu rumit. Tidak pula
dibutuhkan head inlet dan juga desain dari unit cascade aerator terbilang cukup mudah dan
sederhana.
Aerasi: Tray
Pada alternatif konfigurasi Aerasi : Tray, berdasarkan beberapa refrensi dan spesifikasi
teknis, diketahui bahwa aerasi tray membutuhkan biaya yang lumayan mahal untuk
pengoperasiannya mengingat kebutuhan kokas, dan desain alat yang cukup kompleks. Adapun
diperlukan perawatan yang sedang, seiring dengan pergantian kokas dan pengecekan rutin.
Aerasi : Spray
Pada alternatif konfigurasi Aerasi : Spray, diketahui merupakan prinsip aerasi yang
memiliki banyak aplikasinya dalam penyisihan banyak unsur (removal). Memiliki desain yang
paling rumit diantara 2 aerator alternatif lainnya dengan banyak aksesoris seperti nozzle, layer,
dll menjadikan spray aerator menjadi alternatif aerator dengan biaya perawatan paling tinggi.
Adapun pada biaya perawatan dengan tenaga ahli yang cermat tidak dibutuhkan biaya
penggantian aksesoris yang tinggi.
Pada unit pengolahan koagulasi, biaya pada operasional dan perawatan sangatlah bergantung
pada jenis koagulan dan jenis metode koagulasinya. Untuk unit koagulasi hidrolis tidak
dibutuhkan biaya operasional yang tinggi dikarenakan memanfaatkan prinsip terjunan untuk
melakukan proses mixing yang dibutuhkan. Koagulasi secara pneumatis biasanya membutuhkan
kompresor pada bagian bawah bak koagulasi untuk menginjeksikan udara. Gradien kecepatan
diperoleh dengan pengaturan flow rate udara yang diinjeksikan, biaya yang dibutuhkan lebih
tinggi dari kedua pengolahan koagulasi lainya. Unit koagulasi lainnya adalah koagulasi mekanis
yang membutuhkan turbine impeller, propeller, atau paddle impeller sebagai instumen untuk
proses kebutuhan mixing-nya.
Urutan Pembobotan
Urutan Pembobotan
Efektifitas merupakan hal terpenting dibanding biaya investasi karena lebih dititkberatkan
terhadap effluen yang akan dihasilkan dibandingkan besar biaya yang perlu dikeluarkan. Untuk
nilai investasi memiliki bobot lebih rendah dibanding biaya operasional karena investasi yang
ditanamkan meskipun bernilai lebih besar tetapi jika biaya operasional yang dibutuhkan lebih
kecil maka akan diprioritaskan. Hal tersebut berkaitan dengan keberlanjutan pengolahan.
Sedangkan, terhadap kebutuhan lahan lebih diprioritaskan kebutuhan lahan dikarenakan lahan
Kota Bandung yang sempit dan harga yang cukup tinggi sehingga dipilih nilai untuk kebutuhan
lahan lebih tinggi dibanding harga investasi dalam pembangunan pengolahan.
Teknologi pertama yaitu dengan menggunakan aerasi tipe cascade, koagulasi dan flokulasi tipe
hidrolis, dan sedimentasi berbentuk lingkaran dengan plate settler. Besar biaya yang diperlukan
untuk konfigurasi tidak terlalu tinggi dikarenakan pengolahan hanya dengan menggunakan
sistem terjunan dan baffle dengan tidak menggunakan alat-alat mekanis. Biaya untuk bak
sedimentasi yaitu dengan menggunakan plate settler lebih murah dibanding settler jenis
lainnya. Rincian biaya yang dibutuhkan yaitu sebagai berikut:
Tabel 4.2–8 Rincian Pembiayaan Alternatif 1
Konfigurasi kedua menggunakan aerasi tipe tray aerator, koagulasi mekanis paddel,
flokulasi mekanis paddle, sedimentasi mekanis berbentuk circular dengan honey comb settler.
Konfigurasi ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi dikarenakan adanya penggunaan alat-alat
mekanis yaitu paddle dan settler yang digunakan berbentuk honey comb memiliki harga yang
lebih mahal. Tray aerator yang digunakan pun memiliki sistem yang lebih rumit dibandingkan
bangunan cascade. Rincian harga biaya pembangunan yaitu sebagai berikut:
Konfigurasi kedua menggunakan aerasi tipe tray aerator, koagulasi penumatis, flokulasi
pneumatis, sedimentasi mekanis berbentuk circular mekanis tube settler. Penyediaan air diffuser
membutuhkan biaya yang tinggi dan sulit untuk didapatkan terdapat kemungkinan harus diimpor
dari luar negeri. Dan harga tube settler paling mahal dibanding harga lainnya.
Berdasarkan total kebutuhan biaya investasi maka secara garis besar tingkat pembiayaan dari
masing-masing konfigurasi yaitu sebagai berikut:
Tabel 4.2–11 Tingkat Investasi Masing-masing Konfigurasi
4.2.1.5 Keberlanjutan
Parameter keberlanjutan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mencakup hal-hal yang yang
memegaruhi umur suatu unit. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai keberlanjutan yang
dibandingkan per unit.
No Unit Keterangan
1 Cascade aerator - Umur unit cukup lama yaitu dapat mencapai
lebih dari 30 tahun jika menggunakan
stainless steel dalam konstruksinya
(Jim Myers & Sons, Inc, 2018)
2 Multiple tray aerator - Terdapat sedikit kemungkinan clogging
sehingga perlu dilakukan pengurasan
berkala.
- Umur pompa rata-rata hanya 2 tahun.
(R.C. Worst & Company Inc, 2016)
3 Spray aerator - Terdapat kemungkinan clogging yang lebih
besar dibandingkan multiple tray aerator.
- Umur pompa rata-rata hanya 2 tahun.
- Kriteria desain yang lebih ketat.
Tabel 4.2–13 Tabel Perbandingan Koagulasi
No Unit Keterangan
1 Koagulasi dengan pengadukan - Pengecekan dan pergantian pada unit
hidrolis koagulasi.
- Pengecekan dan pergantian pada pompa
pembubuh/dosing yang memiliki umur
pakai rata-rata 5 – 11 tahun (Jim Carling,
2017)
2 Koagulasi dengan pengadukan - Pengecekan dan pergantian pada unit
mekanis paddle koagulasi.
- Pengecekan dan pergantian pada pompa
pembubuh/dosing yang memiliki umur
pakai rata-rata 5 – 11 tahun (Jim Carling,
2017).
- Pengecekan dan pergantian pada alat-alat
mekanis dan elektrik (Permen PU Nomor
18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pengembangan SPAM).
3 Koagulasi dengan pengadukan - Pengecekan dan pergantian pada unit
pneumatik koagulasi.
- Pengecekan dan pergantian pada pompa
pembubuh/dosing yang memiliki umur
pakai rata-rata 5 – 11 tahun (Jim Carling,
2017).
- Pengecekan dan pergantian pada blower
yang memiliki umur pakai rata-rata 3 – 4
tahun (Fuji MAC Japan)
Tabel 4.2–14 Tabel Perbandingan Flokulasi
No Unit Keterangan
1 Flokulasi dengan pengadukan - Pengecekan dan pergantian pada unit
hidrolis koagulasi.
2 Flokulasi dengan pengadukan - Pengecekan dan pergantian pada unit
mekanis paddle koagulasi.
- Pengecekan dan pergantian pada alat-alat
mekanis dan elektrik.
3 Flokulasi dengan pengadukan - Pengecekan dan pergantian pada unit
pneumatik koagulasi.
- Pengecekan dan pergantian pada blower
yang memiliki umur pakai rata-rata 3 – 4
tahun. (Fuji MAC Japan)
Tabel 4.2–15 Tabel Perbandingan Sedimentasi
No Unit Keterangan
1 Plate settler - Memiliki umur pakai yang lebih lama
dibandingkan dengan tube settler dengan
bahan yang sama yaitu PVC.
- Dapat memiliki umur pakai yang lebih
lama lagi apabila menggunakan bahan
stainless steel.
- Sangat jarang mengalami clogging.
- Pemeriksaan dan reparasi mudah untuk
dilakukan sehingga penggantian alat jarang
dilakukan.
(Jim Myers & Sons, Inc, 2018)
2 Honey Comb - Karena terbuat dari PVC, pemeriksaan dan
pergantian harus dilakukan berkala karena
dapat mengganggu kerja unit filtrasi.
(Jim Myers & Sons, Inc, 2018)
3 Tube settler - Terdapat kemungkinan terjadinya clogging
sehingga perlu adanya perawatan berkala.
- Karena terbuat dari PVC, pemeriksaan dan
pergantian harus dilakukan berkala karena
dapat mengganggu kerja unit filtrasi.
(Jim Myers & Sons, Inc, 2018)
4.2.1.6 SDM
Aerasi
Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam operasional aerasi adalah korosi, false binding,
dan maintainance dari unit aerasi tersebut. Dalam Cascade Aerator, Tray aerator, maupun spray
aerator dalam operasinya tidak memerlukan SDM. Karena air bergerak berdasarkan gravitasi
atau tenaga listrik. Maka yang perlu diperhatikan adalah kemudahan dalam operasional. Dengan
jenis cascade aerator, maintanance dapat dilakukan dengan mudah dan menyeluruh karena
bagian – bagian unit tersebut mudah dijangkau manusia. Sedangkan untuk Tray aerator,
meskipun operasionalnya juga tidak membutuhkan sumber daya manusia karena air juga jatuh
secara gravitasi, sama seperti cascade aerator, namun Tray aerator dibuat bertingkat – tingkat
sehingga maintanance akan lebih sulit dilakukan seperti membersihkan tray. Untuk spray aerator
operasional juga dapat dilakukan secara otomatis. Namun permasalahan dapat terjadi jika air
yang dikeluarkan mengandung sedimentasi yang dapat menyumbat pipa spray dan juga lubang
pada spray. Sehingga jika penyumbatan sering terjadi, maka kebutuhan untuk maintanance
secara manual untuk membersihkan saluran spray akan sering terjadi, membuat SDM menjadi
lebih dibutuhkan dan juga dibutuhkan kehandalan yang lebih karena pembersihan dibutuhkan
juga pada valve yang ada.
Koagulasi – flokulasi
Untuk kebutuhan SDM pada unit koagulasi dan flokulasi bergantung pada operasional
dan maintanance. Koagulasi dan flokulasi dengan ketiga tipe tersebut akan membutuhkan sedikit
SDM karena hanya dibutuhkan untuk maintanance, namun pada pneumatik ini akan lebih
membutuhkan kehandalan SDM karena masalah yang timbul pada unit tipe pneumatik bisa
muncul pada bagian pipa ataupun blower. Untuk secara mekanis dan hidrolis juga hanya
dibutuhkan untuk bagian maintanance, seperti pembersihan unit – unit. Namun untuk tindakan
maintanance nya akan lebih mudah karena pembersihan hanya akan pada paddle ataupun bagian
unit itu sendiri yang tidak perlu kehandalan khusus.
Sedimentasi
Untuk kebutuhan SDM pada unit sedimentasi juga bergantung pada operasional dan
maintanance. Sedimentasi dengan plat settler akan lebih mudah digunakan karena untuk
membersihkan plat settler akan lebih mudah dibanding dengan honey comb ataupun tube.
Karena pada plat settler, kompartemennya lebih sedikit dan lebih mudah dijangkau.
Persentase
Simbol Parameter Pembobotan Prioritas
A Efisiensi 25
B Kebutuhan Lahan 20
C Biaya OM 20
D Investasi 15
E Keberlanjutan 10
F SDM 10
Jumlah 100
Bobot
Simbol A B C D E F Fraksi
Nilai
A 1 1 1 1 1 5 0.083
B 3 2 1 1 1 8 0.133
C 3 2 1 1 1 8 0.133
D 3 3 3 1 1 11 0.183
E 3 3 3 3 2 14 0.233
F 3 3 3 3 2 14 0.233
Jumlah 60 1.000
poin yang dapat di rekapitulasi menjadi tabel berikut;
Berdasarkan data pada sub bab sebelumnya yang telah dijelaskan pada setiap parameter
per unitnya maka dibuat pembobotan sesuai seperti pada tabel yang di atas. Tabel di atas dibuat
pembobotan berdasarkan ranking 1 sampai dengan 3 dengan nilai 1 merupakan nilai terbaik dan
3 merupakan nilai terburuk. Dari tabel di atas didapati bahwa alternatif 1 berada pada peringkat
teratas secara keseluruhan dan memimpin pada parameter biaya operasional dan perawatan,
biaya investasi, keberlajutan, dan sumber daya manusia.
4.3 Perhitungan Unit Pengolahan
4.3.1 Intake, Bak Penenang dan saluran Transmisi
4.3.1.1 Intake
A. Kriteria Dasar
Kriteria dasar saluran intake bergantung pada sumber air baku yang yang dipilih dan
tersedia. Pada perencanaan kali ini intake berada pada sebuah sungai, sehingga bentuk intake
adalah berupa saluran. Kriteria dasar untuk intake berupa saluran adalah bergantung pada
kecepatan aliran sungai yang memiliki ketinggian muka air berfluktuatif.
Kriteria dasar kecepatan untuk saluran intake berada pada rentang 0,6-1,5 m/s hal tersebut
dikarenakan bila saluran memiliki kecepatan yang terlalu rendah akan menyebabkan
terjadinya endapan sedimen dalam saluran dan bila kecepatan aliran terlalu tinggi
dikhawatirkan akan terjadi penggerusan pada saluran.
B. Data Perencanaan
Tabel 5.1.1 menunjukan data perencanaan bangunan intake
C. Perhitungan
Jari-Jari Hidrolis
Perhitungan jari-jari hirolis dilakukan dengan 3 kedalaman aliran sungai
Jari-jari hirdolis pada kedalaman minimum :
0,3∗0,5
𝑅 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 = (0,3∗2)+0,5
𝑅 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 = 0,136 𝑚
Jari-jari hirdolis pada kedalaman rata-rata :
0,5∗0,5
𝑅 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = (0,5∗2)+0,5
𝑅 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 0, 𝑚
Jari-jari hirdolis pada kedalaman maksimum :
0,7∗0,5
𝑅 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 = (0,7∗2)+0,5
𝑅 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 = 0,184 𝑚
Slope
Ditentukan slope saluran sebesar 0.001
Kecepatan
Kecepatan pada kedalaman minimum :
2
1
𝑣 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 = 0,013 0,1363 0,0010,5
𝐻 = 0,7 + 0,2
𝐻 = 0,9 𝑚
D. Rekapitulasi Data
Tabel 5.1.2 menunjukan rekapitulasi data perencanaan bangunan saluran intake.
4.3.1.2 Barscreen
A. Kriteria Desain
Kriteria desain barscreen yang terdapat pada saluran intake disajikan pada Tabel 5.1.3
berikut
Tabel 4.3–3. Kriteria Desain Barscreen
No Parameter Simbol Satuan Besaran Sumber
1 Ukuran Batang Qasim,1985
No Parameter Simbol Satuan Besaran Sumber
Lebar tbar 0.8-1 cm
Jarak Antar Batang S 1.0-5.0 cm
2 Kedalaman d 5-7.5 cm
3 Kemiringan Vertikal Ѳ 60-85 o
4 Kecepatan Maksimal Va 0.6-1 m/s
5 Headloss maksimum Hl 0.8 m
6 Koefisien Tipe Batang Persegi dengan semi β 1.85
persegi di muka
B. Data Perencanaan
Data Perencanaan unit barscreen disajikan pada Tabel 5.1.4 berikut :
Tabel 4.3–4. Data Perencanaan Unit Barscreen
No Parameter Simbol Besaran Satuan
1 Jarak Antar Batang S 0.03 m
2 Lebar Batang tbar 0.01 m
3 Konstanta Headloss barscreen k 1.428571
C. Perhitungan
Luas Melintang
Luas Melintang pada saat kedalaman maksimum
Ac max = L x Ymax
Luas Melintang = 0,5 X 0,7
Luas Melintang = 0,35 m2
Luas Melintang pada saat kedalaman rata-rata
Ac max = L x Yrat
Luas Melintang = 0,5 X 0,5
Luas Melintang = 0,25 m2
Luas Melintang pada saat kedalaman minimum
Ac max = L x Ymin
Luas Melintang = 0,5 X 0,3
Luas Melintang = 0,15 m2
s
Anet max = luas melintang ∗ ( )
𝑠 + 𝑡𝑏𝑎𝑟
0,03
Anet max = 0,35 ∗ ( )
0,03 + 0,01
s
Anet max = Ac rat ∗ ( )
𝑠 + 𝑡𝑏𝑎𝑟
0,03
Anet max = 0,25 ∗ ( )
0,03 + 0,01
s
Anet max = luas melintang ∗ ( )
𝑠 + 𝑡𝑏𝑎𝑟
0,03
Anet max = 0,15 ∗ ( )
0,03 + 0,01
Kecepatan di Bar
Kecepatan saat tinggi maksimum
0,787 x 0,35
Vmax bar = 0,2625
𝑚
Vmax bar = 1,05 memenuhi
𝑠
D. Rekapitulasi Data
Rekapitulasi data pada perencanaan unit barscreen setelah perhitungan disajikan pada Tabel
5.1.5 berikut
Tabel 4.3–5 Rekapitulasi Data Unit Barscreen
Parameter Nilai Satuan
o
Kemiringan bar 60
Jumlah Bar 12 buah
B. Data Perencanaan
Data Perencanaan unit bak penenang disajikan pada Tabel 5.1.7 berikut :
Tabel 4.3–7 Data Perencanaan Unit Bak Penenang
No Parameter Simbol Satuan Besaran
1 Lebar Lintu Air Lp 0.4 m
2 Kecepatan Aliran vp <1 m/detik
3 Jumlah Bak n 2 buah
C. Perhitungan
Volume
0.946
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 = 𝑥 1.5 𝑥 60
2
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 = 42,57 𝑚3
Luas Permukaan
42,57
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 =
0.7
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 = 60,8 𝑚3
Panjang
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 = √4 𝑥 60,8
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 = 15,59 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
Dikarenakan bak terlalu panjang dan lahan terbatas mata dipilih panjang sebesar 12 meter,
sehigga diperlukan pengecekan waktu detensi pada akhir perhitungan
Lebar
12
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 =
4
𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 = 4 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
Dikarenakan bak terlalu panjang dan lahan terbatas mata dipilih panjang sebesar 4 meter,
sehigga diperlukan pengecekan waktu detensi pada akhir perhitungan
Waktu Detensi
0.7 ∗ 9 ∗ 3
𝑡𝑑 = /60
0.946
𝑡𝑑 = 35,52 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
D. Rekapitulasi Data
Rekapitulasi data pada perencanaan unit barscreen setelah perhitungan disajikan pada Tabel
5.1.8 berikut
Tabel 4.3–8 Rekapitulasi Data Unit Bak Penenang
Parameter Nilai Satuan
Panjang 9 m
Lebar 3 m
C. Perhitungan
Diameter
1/2,63
1,0406
𝐷𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 = [ 0.54 ]
30
0,2785 𝑥 100 𝑥 [ ]
5000
𝐷𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 = 0,819 𝑚
Dipilih diameter pasaran pipa HDPE sebesar 0,9 meter
Pengecekan Kecepatan
1,0406
𝐾𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 =
3,14 𝑥 𝑥0,25 𝑥 0,9
𝐾𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 = 1,4 𝑚/𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 memenuhi
D. Rekapitulasi Data
Data hasil perhitungan sistem transmisi yaitu diameter pipa pasaran transmisi yang
digunakan sebesar 0.9 m .
4.3.2 Aerasi
4.3.2.1 Kriteria Desain
Sistem aerasi menggunakan metode Gravity aerator (Cascade) dengan sistem inlet
menggunakan V-Notch.
𝐶𝑤,𝑒− 𝐶𝑤,𝑜
𝐾= = 1 − (1 − 𝑘)𝑛
𝐶𝑠 − 𝐶𝑤,𝑜
Keterangan:
Jumlah step :
𝐾 = 1 − (1 − 𝑘)𝑛
2ℎ
𝑡=√
𝑔
Kecepatan terjun
v g t
𝑣𝑜
𝑥=
𝑡
Qtotal
Q
jumlah bak
Q
As
a
Q pada V-Notch
Qbak
Qtiap V Notch
6
2
5
Q
H
8 Cd 2 g tan 2
15
𝑄𝑊 2
𝑑3 =
𝑔 𝑥 𝐿 𝑛𝑒𝑡
𝑄𝑤
𝑣𝑜 =
𝐿𝑛𝑒𝑡 𝑥 𝑑
𝑣𝑜
𝑥=
𝑡
𝐵 = 2𝑥𝑋
Outlet
Saluran outlet merupakan saluran yang terdapat pada tingkatan terbawah aerator yang berfungsi
untuk menyalurkan limpahan dari unit aerator ke unit selanjutnya. Desain saluran outlet
memiliki kriteria yang sama dengan kriteria saluran pada step, namun dibuat sedemikian rupa
agar memiliki kecepatan aliran dalam saluran yang lebih kecil dibandingkan dengan saluran pada
step.
4.3.2.3 Perhitungan
Inlet
Air baku akan dilirkan melalui pipa dengan diameter
𝑄 0,946
𝑣= = = 1,487 𝑚/𝑠
𝐴 0,25 𝑥 3,14 𝑥 (0,5)2
𝐶𝑤,𝑒− 𝐶𝑤,𝑜
𝐾=
𝐶𝑠 − 𝐶𝑤,𝑜
6−2
𝐾= = 95,23%
6,2 − 2
Lalu nilai K digunakan untuk menghitung jumlah step yang diperlukan dalam perancangaan
aerator:
𝐾 = 1 − (1 − 𝑘)𝑛
95,23% = 1 − (1 − 55%)𝑛
𝑛 = 3,8 = 4 𝑠𝑡𝑒𝑝
Dimensi:
2ℎ
𝑡=√
𝑔
2𝑥1,2
𝑡=√ = 0,5 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
9,8
Q pada V-Notch
𝑄 𝑏𝑎𝑘
𝑄𝑚𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔−𝑚𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑉−𝑛𝑜𝑡𝑐ℎ =
35
0,946
𝑄𝑚𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔−𝑚𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑉−𝑛𝑜𝑡𝑐ℎ = = 0,027 𝑚3 /𝑠
35
𝑄 2/5
𝐻 = (8 ∝)
𝑥 𝐶𝑑 (2𝑔. 𝑡𝑎𝑛 2
15
0,027 2/5
𝐻 = (8 90) = 0,113 𝑚
𝑥 0,6 (2𝑥 9,8. 𝑡𝑎𝑛
15 2
3
𝑄𝑊 2
𝑑 =
𝑔 𝑥 𝐿 𝑛𝑒𝑡
3
0,0272
𝑑 =
9,8 𝑥12
𝑑 = 0,09 𝑚
𝑄𝑤
𝑣𝑜 =
𝐿𝑛𝑒𝑡 𝑥 𝑑
0,946
𝑣𝑜 = = 0,81 𝑚/𝑠
12 𝑥 0,09
0,81
𝑥= = 0,58 𝑚
0,5
𝐵 = 2𝑥𝑋
𝐵 = 2 𝑥 0,58 = 1,16 𝑚 = 1 𝑚
Nilai tinggi muka air, H>3/2 h, maka didapat nilai tinggi antar tray yaitu 1,8 m.
Outlet
Untuk outlet dibutuhkan bak yang akan menampung dengan air hasil aerasi, dengan asumsi
waktu detensi yaitu selama 5 detik
𝑉 = 𝑄 𝑥 𝑡𝑑
Dipilih panjang sesuai dengan cascade yaitu 12 m dan tinggi 1 m maka lebar yang dibuthkan
yaitu 2,4 m.
Maka didapat dimensi yaitu sebagai berikut:
Lebar bak = 1 m
Tinggi Bak = 0.6 m
Panjang bak = 2 m
B. Data Perencanaan
Data perencanaan unit saluran bak sedimentasi di sajikan pada Tabel 5.3.2 berikut
Tabel 4.3–13 Data Perencanaan Saluran Bak Sedimentasi
Data Perencanaan Nilai Unit
Q periode 1 0.946 m3/s
Rentang Kecepatan 0,3 – 1,5 m/detik
Panjang Saluran Pengumpul 4 Meter
Lebar 1 Meter
Kecepatan Saluran Inlet 1 m/s
Slope Saluran Inlet 0,001
Koeffisien Manning 0,013 n
C. Perhitungan
Luas Potongan Melintang
𝑄
𝐴𝑐 =
𝑣
0,946
𝐴𝑐 =
1
𝐴𝑐 = 0,946 𝑚2
Ketinggian Aliran Hilir
𝑦𝑖 = 𝐴𝑐/𝐿
0,946
𝑦1 =
1
𝐴𝑐 = 0,946 𝑚
Ketinggian Aliran Hilir
𝑦𝑖 = 𝐴𝑐/𝐿
0,946
𝑦1 =
1
𝐴𝑐 = 0,946 𝑚
Jari-jari Hidrolis
𝐿 𝑥 𝑦𝑚𝑎𝑘𝑠
𝑅=
(𝑦𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑥 2) + 𝐿
1 𝑥 0,946
𝑅=
(0,946 𝑥 2) + 1
𝑅 = 0,327 m
Headloss
2
0,5
𝑣𝑥𝑛
ℎ𝑙 = [𝐿 2 ]
𝑅3
2
1 𝑥 0,013
ℎ𝑙 = [1,50,5 2 ]
0,323
ℎ𝑙 = 0,00918
D. Rekapitulasi Data
B. Perhitungan
Debit Pintu Air
𝐷𝑒𝑏𝑖𝑡
𝑞=
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐵𝑎𝑘
𝑞 = 0,946/8
𝑞 = 0,1182 𝑚3 /𝑠
4.3.3.2 Zona Sedimentasi
A. Kriteria Desain
Kriteria desain bak pra sendimentasi disajikan pada Tabel 5.3.4 berikut
Tabel 4.3–16 Kriteria Desain Unit Pra Sedimentasi
B. Data Perencanaan
Tabel 5.3.6 menunjukan data perencanaan dari zona pengendapat unit pra sedimentasi
Tabel 4.3–17 Data Perencanaan Zona Pengendapan Pra Sedimentasi
C. Perhitungan
Debit Tiap Unit
𝐷𝑒𝑏𝑖𝑡
𝑞=
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐵𝑎𝑘
𝑞 = 0,946/2
𝑞 = 0,473 𝑚3 /𝑠
94,6
𝐿=√
4
𝐿 = 4,8 𝑚
𝐿 ≈4𝑚
Dipilih 4 meter dikarenakan lahan dibatasi, sehingga diperlukan pengecekan SLR dan waktu
detensi
Panjang
𝑃 = 4𝑥𝐿
𝑃 = 4 𝑥 4,8 𝑚
P = 19,45
𝑃 ≈ 18 𝑚
Volume Koreksi
𝑉 =𝑃𝑥𝐿𝑥ℎ
𝑉 = 18 𝑥 4 𝑥 3
𝑉 ≈ 216 𝑚3
Jari-jari Hidrolis
(𝐿 𝑥 ℎ)
𝑅=
(2 𝑥 ℎ) + 𝐿
(4 𝑥 3)
𝑅=
(2 𝑥 3) + 4
𝑅 = 1,2 𝑚
Luas Penampang Vertikal
𝐴𝑐 = 𝐿 𝑥 ℎ
𝐴𝑐 = 4 𝑥 3
𝐴𝑐 = 12 𝑚2
Kecepatan Horizontal
𝑣ℎ = 𝑞/𝐴𝑐
0,473
𝑣ℎ =
12
𝑚2
𝑣ℎ = 0,0394
𝑠
Kecepatan Penggerusan
8 ∗ 𝐴 𝜌1 − 𝜌
𝑣ℎ = 𝑥 𝑥𝑞𝑥𝑑
𝐵 𝜌
8 ∗ 0,05 2650 − 996,33
𝑣ℎ = 𝑥 𝑥 9,81 𝑥 0,001
0,02 996,33
𝑣ℎ = 0,0722 𝑚/𝑠
Bilangan Reynold
𝑣ℎ 𝑥 𝑅
𝑁𝑟𝑒 =
𝑣𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑘𝑖𝑛𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑠
0,039 𝑥 1,2
𝑁𝑟𝑒 =
8,97 𝑥 10−8
𝑁𝑟𝑒 = 527019
Bilangan Froud
vh2
Nfr =
Rxg
0,01314
Nre =
1,2 x 9,81
Nre = 1,9 x 10−4 memenuhi
Headloss
𝐻𝑙 = 𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 𝑥 𝑃
𝐻𝑙 = 2% 𝑥 18
𝐻𝑙 = 0,36 m
D. Rekapitulasi Data
Panjang P 12 m
Lebar L 3 m
Kedalaman H 3 m
Headloss hl 0,24 m
B. Perhitungan
Waktu Pengurasan
Ditentukan waktu pengurasan adalah 3 kali untuk memperkecil ruang lumpur yang harus
disediakan
Volume Lumpur
𝐸𝑓% 𝑥 𝐶1 𝑥 𝑞 𝑥 86400
𝑉=( )/3
(𝜌𝑎𝑖𝑟 + (𝐶𝑣% 𝑥 (𝜌𝑙𝑢𝑚𝑝𝑢𝑟 − 𝜌𝑎𝑖𝑟))𝑥 𝐶𝑣%
16% 𝑥 0,315 𝑥 0,423 𝑥 86400
𝑉 = ((996+(5% 𝑥 (2600−996))𝑥 5%/3)
𝑉 = 9,5844 𝑚3
C. Perhitungan
Debit Pengurasan Lumpur
𝑉𝑙𝑢𝑚𝑝𝑢𝑟
𝑄𝑙 = ( )
𝑊𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑢𝑟𝑎𝑠𝑎𝑛
12,62𝑚3
𝑄𝑙 = ( 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
)
15 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 ∗ 60 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
𝑄𝑙 = 0,0151
Luas Penampang Pipa
1
𝐴= 𝑥 𝜋 𝑥 𝑑2
4
1
𝐴 = 𝑥 3,14 𝑥 (3,5 𝑥 0,0254)2
4
𝐴 = 0,0062 𝑚2
Cek Kecepatan
𝑄𝑙
𝑣=
𝐴
0,0151
𝑣=
0,0062
𝑚
𝑣 = 2,4
𝑠
Cek Kecepatan
1
𝑄𝑙 0,54
𝑠=( )
0,2785 𝑥 𝐶 𝑥 (𝑑 2,64 )
1
0,0151 0,54
𝑠=( )
0,2785 𝑥 120 𝑥 ((3,5 ∗ 0,0254)2,64 )
𝑠 = 0,0002449
Kehilangan Tekan
ℎ𝑙 = 𝑠 𝑥 𝐿
ℎ𝑙 = 0,0002449 𝑥 70
ℎ𝑙 = 0,0171
D. Rekapitulasi Data
Tabel 4.3–21 Rekapitulasi Data Zona Lumpur Unit Pra Sedimentasi
Parameter Simbol Nilai Besaran
Diameter Pipa Drain Lumpur d 3,5 inch
Waktu Pengurasan t 15 menit
Slope s 0,0001277
Headloss hl 0,00894 m
B. Data Perencanaan
C. Perhitungan
Beban Pelimpah
𝑞
𝑞𝑤 =
𝑛 𝑤𝑒𝑖𝑟
0,423
𝑞𝑤 =
20
𝑞𝑤 = 0,02365 𝑚3 /𝑠
𝑞𝑤 = 0,023 𝐿/𝑠 memenuhi
Lebar Weir
𝐿 − 𝑥 ((𝑛 − 1)𝑥 𝑏)
𝐿𝑤 =
𝑛
3 − 𝑥 ((20 − 1)𝑥 0,05)
𝐿𝑤 =
10
𝐿𝑤 = 0,1525 𝑚
𝐿𝑤 = 15 𝑐𝑚
Volume Bak Oulet
𝑉 = 𝑄 𝑥 𝑡𝑑 𝑥60
𝑉 = 0,946 𝑥 0,5 𝑥 60
𝑉 = 28,38 𝑚3
Kedalaman Aliran
𝑉
ℎ=
𝑃𝑥𝐿
28,38
ℎ=
24 𝑥 2
ℎ = 0,59
D. Rekapitulasi Data
Tabel 4.3–24 Rekapitulasi Data Zona Outlet Unit PraSedimentasi
Parameter Simbol Nilai Satuan
Zona Pelimpah
Jumlah Weir Tiap Bak n 10 Buah
Lebar Weir Lw 0,255 m
Zona Bak Pengumpul
Ketinggian Aliran h 0,59 m
Pipa Penyalur
Diameter Pipa D 0,8 m
4.3.4 Koagulasi
Kriteria Desain
Dalam perancangan unit, hal pertama yang harus dilakukan yaitu melakukan perhitungan untuk
desain unit. Dalam melakukan perhitungan, hal pertama yang harus diketahui adalah kriteria
desain. Kriteria desain unit koagulasi yang digunakan yaitu sebagai berikut:
Data Perencanaan
Sedangkan data perencanaan dalam merencanakan unit koagulasi ini yaitu sebagai berikut:
Data Perencanaan
No Parameter Simbol Satuan Besaran
1 Debit Q m3/s 0.946
2 Jumlah bak n Buah
3 tinggi terjunan H m3/s 0.8
4 lebar bak dalam b m3/s 1.1
gradien
G 1/detik 1500
5 kecepatan
6 waktu detensi td Detik 5
7 gravitasi g m/s2 9.81
8 berat jenis air p kg/m3 997.1
viskositas
m kg/m.det 0.000895
9 dinamis
Data Perencanaan
No Parameter Simbol Satuan Besaran Keterangan
1 Debit Q m3/s 0.946
2 Koefisien manning n 0.013 Beton
3 lebar saluran Lc m 1
4 panjang saluran P m 2
Tabel 4.3–28 Data Perencanaan Bak Pembubuh Koagulan Pada Unit Koagulasi
Tabel 4.3–29 Data Perencanaan Pompa Pembubuh Koagulan Pada Unit Koagulasi
Dengan data yang kami miliki dari kriteria desain dan data perencanan yang ada maka dapat
dilakukan perhitungan terhadap inlet koagulasi, saluran menuju bak koagulasi, outlet koagulasi,
bak pembubuh koagulan, dan pompa pembubuh koagulan.
Inlet koagulasi
Inlet koagulasi yang dirancang pada unit ini berupa pipa dengan diameter 0.9 meter yang
mengikuti pipa outfall tangki aerasi. Kecepatan pada pipa ini perlu diperhitungkan untuk
mengetahui jika kecepatannya berada pada batas aman yaitu antara 1.0 – 2.0 m/s dengan
menggunakan persamaan Hazzen Williams maka didapati kecepatan sebesar 1.94 m/s.
2.63
𝑠 0.54
𝑣 = 0.2785 × 𝑐 × 𝑑 ×
𝑑 2
𝜋 × (2)
Keterangan:
Dengan kecepatan tersebut maka didapatkan headloss minor inlet sebesar 0.1 meter dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
𝑣2
𝐻𝑙 𝑚𝑖𝑛𝑜𝑟 𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 = 𝑘 ×
2𝑔
Keterangan:
k = Konstanta(digunakan 0.5)
g = gravitasi (m/s2)
Namun headloss yang diterapkan pada perhitungan dapat dilakukan dengan persamaan sebagai
berikut:
𝐺2
𝐻𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑟𝑎𝑝𝑘𝑎𝑛 = × 𝑡𝑑 × 𝜇
𝜌×𝑔
Keterangan:
g = Gravitasi (m/s2)
Dengan menggunakan nilai gradien kecepatan (G) sebesar 1500/s dan waktu detensi sebesar 5
detik maka didapatkan nilai headloss sebesar 1.03 meter. Nilai ini sesuai dengan kriteria desain
yaitu headloss minimal sebesar 0.6 meter.
Selanjutnya untuk bilangan terjunan (D) dapat dicari dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
𝑄 2
(𝑤 )
𝐷=
𝑔𝐻 3
Keterangan:
Persamaan tersebut menghasilkan bilangan terjunan sebesar 0.0023 dengan asumsi tinggi
terjunan sebesar 0.8 meter, lebar bak dalam 1.1 meter. Namun pada perhitungan ini debit dibagi
dengan jumlah bak yang dimana pada perencanaan ini dibuat 2 (dua) bak. Dan lebar bak pada
perencanaan ini dikalikan dengan 4 (empat) karena pada desain yang direncanakan terdapat 4
(empat) sisi yang nantinya akan digunakan sebagai terjunan untuk pencampuran koagulan
dengan air. Sehingga perhitungan tersebut adalah sebagai berikut:
0.946 2
2
( 4×1.1 )
𝐷=
9.81 × 0.83
Sedangkan panjang terjunan (Ld) dapat dicari dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
𝐿𝑑 = 4.3 × 𝐻 × 𝐷0.27
Keterangan:
D = Bilangan terjunan
Dari persamaan di atas maka didapati panjang terjunan sebesar 0.67 meter. Kemudian terdapat 2
(dua) titik kedalaman yang berbeda yang dimana ditandai sebagai titik Y1 dan Y2. Perhitungan
untuk masing-masing titik tersebut dapat dicari dengan menggunakan persamaan berikut:
𝑌1 = 0.54 × 𝐻 × 𝐷0.425
𝑌2 = 1.66 × 𝐻 × 𝐷0.425
Keterangan:
D = Bilangan terjunan
Dengan persamaan yang telah dijelaskan di atas maka didapati bahwa nilai Y1 dan Y2 adalah
𝑌2
0.0.3 meter dan 0.10 meter dengan nilai perbandingan sebesar 3.07. Nilai perbandingan ini
𝑌1
telah memenuhi kriteria desain yang ada yaitu lebih dari 2.38.
Selanjutnya parameter yang juga harus diperhatikan yaitu bilangan froude (Nfr). Bilangan froude
ini dapat dicari dengan menggunakan cara sebagai berikut:
𝑌2
= (0.5 × √(1 + (8𝑁𝑓𝑟)2 ) − 1
𝑌1
Dengan persamaan di atas maka didapati bilangan froude pada aliran ini yaitu sebesar 2.50 yang
artinya sudah memenuhi kriteria desain yang ada yaitu lebih dari 2.0. Kemudian dengan
menggunakan grafik hubungan antara bilangan froude dengan panjang loncatan maka didapati
panjang loncatan dari bilangan froude 2.50 adalah sekitar 0.49 meter.
Pada awal asumsi, kami menggunakan asumsi bahwa waktu detensi pada unit koagulasi ini yaitu
sebesar 5 (lima) detik. Kemudian kami mengasumsikan kembali bahwa waktu loncatan (t2) dan
waktu terjunan (t1) masing-masing adalah 2 detik. Sehingga dengan asumsi-asumsi ini dapat
dicari nilai dari panjang bak setelah loncatan yaitu sebesar 1.07 meter. Nilai tersebut didapat
dengan menggunakan persamaan seperti berikut:
𝑄
𝐿𝑏 = (𝑡𝑑 − 𝑡1 − 𝑡2) ×
𝑌2 × 𝑏
Keterangan:
Sehingga dapat diketahui bahwa panjang bak total dapat dicari dengan menjumlahkan panjang
terjunan, panjang loncatan, dan panjang setelah loncatan. Dengan ini maka panjang bak
koagulasi akhir yang kami rencanakan yaitu sebesar 2.23 meter.
Kemudian perlu dicari besaran dari nilai ketinggian muka air bak dalam (h1) dan tinggi muka air
bak luar (h2) dengan cara sebagai berikut:
𝑡𝑑
ℎ1 = 𝑄 ×
𝑤2
𝑡𝑑
ℎ2 = 𝑄 ×
𝐿2 − 𝑤 2
Keterangan:
h = ketinggian muka air pada bak (m)
Dari perhitungan di atas didapati bahwa tinggi muka air pada bak dalam (h1) yaitu 1.95 meter
dan tinggi muka air pada bak luar (h2) yaitu 0.63 meter. Tahap selanjutnya yaitu perlu adanya
penentuan tinggi bak total baik pada bak dalam maupun bak luar yaitu dengan cara sebagai
berikut:
𝐻 =ℎ+𝐹
Keterangan:
F = freeboard (m)
Dengan menggunakan persamaan di atas maka didapati ketinggian total bak dalam yaitu 1.95
meter dan 1.2 meter dengan freeboard pada bak luar yaitu 57 cm. Tidak adanya freeboard pada
bak dalam dikarenakan oleh tujuan dari adanya bak dalam yaitu sebagai terjunan sehingga tidak
diperlukan adanya ruang kosong air. Sedangkan freeboard yang cukup besar pada bak luar
bertujuan untuk meminimalisir adanya percikan air yang mungkin keluar dari bak dan
meminimalisir adanya gangguan dari luar bak menuju kedalam bak akibat dari terlalu rendahnya
bak luar. Dengan ketinggian bak seperti ini maka terjunan air dari bak dalam ke bak luar dapat
terlihat dari luar unit.
Selanjutnya dapat diketahui juga debit dari koagulan yang dapat dicari dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
𝑚 𝑎𝑙
𝑞 𝑎𝑙 =
𝜌 𝑎𝑙 × 1000
Keterangan:
Dari persamaan di atas maka diketahui bahwa debit alum per hari yaitu sebesar 399.09 liter.
Selanjutnya dapat diketahui pula volume koagulan pada tiap pembubuhan yang dimana pada
perencanaan ini kami mengasumsikan dilakukan pembubuhan setiap 12 jam sekali.
𝑞 𝑎𝑙
𝑣 𝑎𝑙 =
𝑡𝑑 × 1000
Keterangan:
Dengan cara di atas maka volume koagulan yang perlu dibubuhan per 12 jam yaitu sebesar 0.4
m3. Selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap volume pelarut yaitu dengan cara sebagai
berikut:
1 − 𝑐 𝑎𝑙 𝑡𝑑
𝑣 𝑎𝑖𝑟 = × 𝑚 𝑎𝑙 ×
𝑐 𝑎𝑙 𝜌 𝑎𝑖𝑟
Keterangan:
v air = volume air yang dibutuhkan per pembubuhan
dari perhitungan di atas kami dapat bahwa diperlukan 9.22 m3 air untuk menjadi pelarut pada
larutan ini. Sehingga volume larutan yang merupakan penjumlahan antara volume koagulan dan
volume pelarut yaitu sebesar 9.62 m3.
Pada perencanaan ini digunakan asumsi diameter bak pembubuh yaitu sebesar 3.0 meter. Asumsi
diameter ini digunakan untuk mengetahui luas alas dari bak pembubuh yang direncanakan akan
memiliki bentuk silinder. Sehingga luas alas bak pembubuh yaitu sebesar 7.065 m2. Selanjutnya
dicari besaran dari tinggi air pada bak pembubuh yang dapat diketahui dengan membandingkan
volume larutan dengan luas alas bak penampung yang menghasilkan nilai 1.36 meter. Dengan
asumsi besaran nilai freeboard sebesar 0.19 meter maka ketinggian dari bak pembubuh yaitu
adalah 1.55 meter.
1
𝜌𝑐 = 𝑐𝑎𝑙 1−𝑐𝑎𝑙
(𝜌𝑎𝑙) + ( 𝜌𝑎𝑖𝑟 )
Keterangan:
𝜌𝑐 × 𝑔 × 𝐻 × 𝑞 𝑎𝑙
𝑃=
𝜇
Keterangan:
Dari perhitungan dengan menggunakan persamaan seperti di atas maka didapati daya pompa
minimum yang dibutuhkan yaitu sebesar 0.7108 watt. Rekapitulasi hasil perhitngan dapat dilihat
pada tabel berikut.
4.3.5 Flokulasi
Kriteria Desain
Data Perencanaan
1. Tahap 1 Flokulator
Perhitungan Tahap 1 :
Direncanakan :
Tinggi air (H1) =4m
Lebar dasar baffle (B1 = L1) =1m
Luas dasar (A1) = 2 m2
Gradien kecepatan (G) = 60 detik-1
Waktu detensi (td) = 12000 detik
Perhitungan :
Debit pengolahan tiap bak (qbak)
𝑄 0,946 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑞𝑏𝑎𝑘 = = = 0,47 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑛𝑏𝑎𝑘 2 𝑏𝑎𝑘
G x td
𝐺 𝑥 𝑡𝑑 = 60𝑑𝑡𝑘 −1 𝑥 1200 𝑑𝑡𝑘 = 72000
Kehilangan tekanan Tahap 1
𝐺 2 𝑥 𝑣 𝑥 𝐻 𝑥 𝐴 (60𝑑𝑡𝑘 −1 )2 𝑥 0,9055 𝑥 10−6 𝑥 4𝑚 𝑥 2𝑚2
𝐻𝑙1 = = = 0,52𝑚
𝑞𝑏𝑎𝑘 0,05 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
2. Tahap 2 Flokulator
Perhitungan Tahap 2 :
Direncanakan :
Tinggi air (H1) = 3.48 m
Lebar dasar baffle (B1 = L1) =1m
Luas dasar (A1) = 2 m2
Gradien kecepatan (G) = 55 detik-1
Waktu detensi (td) = 12000 detik
Perhitungan :
Debit pengolahan tiap bak (qbak)
𝑄 0,946 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑞𝑏𝑎𝑘 = = = 0,47 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑛𝑏𝑎𝑘 2 𝑏𝑎𝑘
G x td
𝐺 𝑥 𝑡𝑑 = 55 𝑥 1200 𝑑𝑡𝑘 = 66000
3. Tahap 3 Flokulator
Perhitungan Tahap 3 :
Direncanakan :
Tinggi air (H1) = 3,10 m
Lebar dasar baffle (B1 = L1) =1m
Luas dasar (A1) = 2 m2
Gradien kecepatan (G) = 50 detik-1
Waktu detensi (td) = 12000 detik
Perhitungan :
Debit pengolahan tiap bak (qbak)
𝑄 0,946 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑞𝑏𝑎𝑘 = = = 0,47 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑛𝑏𝑎𝑘 2 𝑏𝑎𝑘
G x td
𝐺 𝑥 𝑡𝑑 = 50𝑑𝑡𝑘 −1 𝑥 1200 𝑑𝑡𝑘 = 60000
Kehilangan tekanan Tahap 3
𝐺 2 𝑥 𝑣 𝑥 𝐻 𝑥 𝐴 (50𝑑𝑡𝑘 −1 )2 𝑥 0,9055 𝑥 10−6 𝑥 3,10𝑚 𝑥 2𝑚2
𝐻𝑙1 = = = 0,28𝑚
𝑞𝑏𝑎𝑘 0,05 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
4. Tahap 4 Flokulator
Perhitungan Tahap 4:
Direncanakan :
Tinggi air (H1) = 2,82 m
Lebar dasar baffle (B1 = L1) =1m
Luas dasar (A1) = 2 m2
Gradien kecepatan (G) = 45 detik-1
Waktu detensi (td) = 54000 detik
Perhitungan :
Debit pengolahan tiap bak (qbak)
𝑄 0,946 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑞𝑏𝑎𝑘 = = = 0,47 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑛𝑏𝑎𝑘 2 𝑏𝑎𝑘
Kecepatan Tahap 4 (v)
𝑞𝑏𝑎𝑘 0,47 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑣= = = 0,012 𝑚⁄𝑑𝑡𝑘
(𝐻1 𝑥 𝐵1 ) ( 4𝑚 𝑥 1𝑚)
G x td
𝐺 𝑥 𝑡𝑑 = 45 𝑑𝑡𝑘 −1 𝑥 1200 𝑑𝑡𝑘 = 54000
Kehilangan tekanan Tahap 4
𝐺 2 𝑥 𝑣 𝑥 𝐻 𝑥 𝐴 (45𝑑𝑡𝑘 −1 )2 𝑥 0,9055 𝑥 10−6 𝑥 4𝑚 𝑥 2𝑚2
𝐻𝑙1 = = = 0,21 𝑚
𝑞𝑏𝑎𝑘 0,05 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
Ketinggian air pada Tahap 5
𝐻2 = 𝐻1 𝑥 𝐻𝑙1 = 2,7 𝑚 − 0,21𝑚 = 3,478
𝑚
5. Tahap 5 Flokulator
Perhitungan Tahap 5 :
Direncanakan :
Tinggi air (H1) = 2,44 m
Lebar dasar baffle (B1 = L1) =1m
Luas dasar (A1) = 2 m2
Gradien kecepatan (G) = 40 detik-1
Waktu detensi (td) = 12000 detik
Perhitungan :
Debit pengolahan tiap bak (qbak)
𝑄 0,946 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑞𝑏𝑎𝑘 = = = 0,47 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑛𝑏𝑎𝑘 2 𝑏𝑎𝑘
6. Tahap 6 Flokulator
Perhitungan Tahap 6 :
Direncanakan :
Tinggi air (H1) = 2,30 m
Lebar dasar baffle (B1 = L1) =1m
Luas dasar (A1) = 2 m2
Gradien kecepatan (G) = 35 detik-1
Waktu detensi (td) = 12000 detik
Perhitungan :
Debit pengolahan tiap bak (qbak)
𝑄 0,946 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑞𝑏𝑎𝑘 = = = 0,47 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑛𝑏𝑎𝑘 2 𝑏𝑎𝑘
G x td
𝐺 𝑥 𝑡𝑑 = 35 𝑑𝑡𝑘 −1 𝑥 1200 𝑑𝑡𝑘 = 42000
Kehilangan tekanan Tahap 6
𝐺 2 𝑥 𝑣 𝑥 𝐻 𝑥 𝐴 (35 𝑑𝑡𝑘 −1 )2 𝑥 0,9055 𝑥 10−6 𝑥 2,30 𝑚 𝑥 2𝑚2
𝐻𝑙1 = = = 0,1 𝑚
𝑞𝑏𝑎𝑘 0,05 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
7. Tahap 7 Flokulator
Perhitungan Tahap 7 :
Direncanakan :
Tinggi air (H1) = 2,20 m
Lebar dasar baffle (B1 = L1) =1m
Luas dasar (A1) = 2 m2
Gradien kecepatan (G) = 30 detik-1
Waktu detensi (td) = 12000 detik
Perhitungan :
Debit pengolahan tiap bak (qbak)
𝑄 0,946 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑞𝑏𝑎𝑘 = = = 0,47 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑛𝑏𝑎𝑘 2 𝑏𝑎𝑘
G x td
𝐺 𝑥 𝑡𝑑 = 30𝑑𝑡𝑘 −1 𝑥 1200 𝑑𝑡𝑘 = 36000
Kehilangan tekanan Tahap 7
𝐺 2 𝑥 𝑣 𝑥 𝐻 𝑥 𝐴 (30 𝑑𝑡𝑘 −1 )2 𝑥 0,9055 𝑥 10−6 𝑥 2,20𝑚 𝑥 2𝑚2
𝐻𝑙1 = = = 0,07 𝑚
𝑞𝑏𝑎𝑘 2,13 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
8. Tahap 8 Flokulator
Contoh perhitungan Tahap 8 :
Direncanakan :
Tinggi air (H1) = 2,13 m
Lebar dasar baffle (B1 = L1) =1m
Luas dasar (A1) = 2 m2
Gradien kecepatan (G) = 25 detik-1
Waktu detensi (td) = 12000 detik
Perhitungan :
Debit pengolahan tiap bak (qbak)
𝑄 0,946 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑞𝑏𝑎𝑘 = = = 0,47 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑛𝑏𝑎𝑘 2 𝑏𝑎𝑘
G x td
𝐺 𝑥 𝑡𝑑 = 25 𝑑𝑡𝑘 −1 𝑥 1200 𝑑𝑡𝑘 = 30000
Kehilangan tekanan Tahap 1
𝐺 2 𝑥 𝑣 𝑥 𝐻 𝑥 𝐴 (25 𝑑𝑡𝑘 −1 )2 𝑥 0,9055 𝑥 10−6 𝑥 2,13 𝑚 𝑥 2𝑚2
𝐻𝑙1 = = = 0,05𝑚
𝑞𝑏𝑎𝑘 0,05 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
9. Tahap 9 Flokulator
Contoh perhitungan Tahap 9 :
Direncanakan :
Tinggi air (H1) = 2,08 m
Lebar dasar baffle (B1 = L1) =1m
Luas dasar (A1) = 2 m2
Gradien kecepatan (G) = 60 detik-1
Waktu detensi (td) = 12000 detik
Perhitungan :
Debit pengolahan tiap bak (qbak)
𝑄 0,946 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑞𝑏𝑎𝑘 = = = 0,47 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
𝑛𝑏𝑎𝑘 2 𝑏𝑎𝑘
G x td
𝐺 𝑥 𝑡𝑑 = 60𝑑𝑡𝑘 −1 𝑥 1200 𝑑𝑡𝑘 = 24000
Kehilangan tekanan Tahap 9
𝐺 2 𝑥 𝑣 𝑥 𝐻 𝑥 𝐴 (60𝑑𝑡𝑘 −1 )2 𝑥 0,9055 𝑥 10−6 𝑥 4𝑚 𝑥 2𝑚2
𝐻𝑙1 = = = 0,03 𝑚
𝑞𝑏𝑎𝑘 0,05 𝑚3 ⁄𝑑𝑡𝑘
Kontrol Aliran
Pintu Air
Kehilangan Tekan
0,946
𝐻𝑝 = = 2,52 𝑚
2,746 𝑥 0,20,66 𝑥 0,4
Saluran Outlet
Saluran Inlet
Kriteria Desain
Zona Pengendapan
Tabel 4.3–31 Kriteria Desain Zona Pengendapan Bak Sedimentasi Persegi Panjang dengan Plate
Settler
Zona Outlet
Pada zona outlet direncanakan terdiri dari pelimpah, saluran pelimpah, dan saluran outlet menuju
bak filtrasi. Kriteria desain yang digunakan yaitu besarnya beban pelimpah (Wl) tidak boleh
lebih dari 12.5 m3/m.jam
Zona Lumpur
Dasar zona lumpur memiliki kemiringan antara 1/200-1/300 menuju titik pengumpulan lumpur.
Pada perancangan ini zona lumpur menggunakan pipa drain lumpur yang berjarak 25 meter dari
zona lumpur ke sludge drying bed.
Jika tes pengendapan tidak dapat dilakukan, maka dapat dilihat sesuai dengan
referensi pada tabel x.
Bak sedimentasi yang akan digunakan berbentuk persegi panjang dengan aliran
horizontal, menggunakan plate settler. Unit ini akan terdiri dari zona pengendapan, zona inlet,
zona outlet, dan zona lumpur.
Zona Pengendapan
Data Perencanaan
Tabel 4.3–34 Data Perencanaan Zona Pengendapan
dengan:
RT = Total Removal
n = Performance dari bak, diasumsikan sangat baik maka n = 1/8
Vs = Kecepatan mengendap partikel (m/s)
Q/As = Beban Permukaan (Q/As)
1
1 𝑚 −1
𝑥 0.0002 8
95% = 1 − [1 + 8 𝑄
𝑠
]
𝐴𝑠
𝑄 𝑚3
= 5.504 𝑥 10−5 2
𝐴𝑠 𝑚 .𝑠
o Tinggi pengendapan, z:
𝑤
𝑧 = 𝐶𝐷 =
𝑐𝑜𝑠𝛼
dengan:
w = jarak tegak lurus antar plate settler (m)
Sesuai dengan tabel 4.3-12 maka nilai bilangan Froud pada aliran yang melewati plate
settler memenuhi kriteria desain, yaitu sebesar NFr > 10-5.
Zona inlet
Zona inlet terdiri dari saluran inlet dan orifice yang menyalurkan air limbah ke zona
pengendapan.
Saluran Inlet
Saluran inlet yang digunakan merupakan saluran yang terbuat dari beton.
1.1825
4= ; 𝐻 = 0.29 ~0.3 𝑚
𝐻
o Kecepatan aliran sebenarnya, vh:
𝑄𝑏𝑎𝑘
𝑣ℎ =
𝑤𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 𝑥 𝐻
0.2356 𝑚3 /𝑠 𝑚
𝑣ℎ = = 0.1971
4 𝑥 0.3 𝑠
o Jari-jari hidrolis saluran, R:
𝐴 𝑤𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 𝑥 𝐻
𝑅= =
𝑃 2𝑤𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 + 𝐻
dengan:
A = luas area penampang saluran, m
P = keliling basah penampang saluran, m
4 𝑥 0.3
𝑅= = 0.26 𝑚
2 𝑥 0.3 + 4
o Bilangan Reynold Saluran Inlet, NRe:
(𝑣ℎ 𝑥 𝑅)
𝑁𝑅𝑒 =
𝜐
dengan:
𝜐 = viskositas kinematis air pada suhu 25oC, 8.917 x 10-7 m2/s
(0.197𝑥 0.26)
𝑁𝑅𝑒 = = 57657.33
8.917 𝑥 10−7
o Bilangan Froud Saluran Inlet, NFr:
𝑣ℎ2
𝑁𝐹𝑟 =
𝑔𝑥𝑅
dengan:
𝑔 = percepatan gravitasi, 9.81 m2/s
0.1972
𝑁𝐹𝑟 = = 0.015
9.81𝑥 0.26
o Kemiringan saluran, S:
1 2 1
𝑣ℎ =
𝑥 𝑅3 𝑥 𝑆 2
𝑛
𝑚 1 2 1
0.197 = 𝑥 0.263 𝑚 𝑥 𝑆 2
𝑠 0.013
𝑆 = 3,9 𝑥 10−5
dengan:
n = koefisien saluran beton, 0.013
o Headloss saluran inlet, HLinlet
𝐻𝐿𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 = 𝑆 𝑥 𝐿
𝐻𝐿𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 = (3,9 𝑥 10−5 )𝑥 (1 𝑚) = 3.93 𝑥 10−5 𝑚
Orifice
𝐿
𝑛𝑜𝑟 =
𝑤𝑜𝑟
4𝑚
𝑛𝑜𝑟 = = ~13 𝑏𝑢𝑎ℎ
0.3 𝑚
𝑄𝑏𝑎𝑘
𝑄𝑜𝑟 =
𝑛𝑜𝑟
0.2365 𝑚3 /𝑠
𝑄𝑜𝑟 = = 0.018 𝑚3 /𝑠
13
2
𝑣𝑜𝑟
𝐻𝐿𝑜𝑟 = 𝑘 𝑥
2𝑔
dengan:
𝑔 = percepatan gravitasi, 9.81 m2/s
𝑘 = koefisien dischagre pada orifice, 0.5
0.5792
𝐻𝐿𝑜𝑟 = 0.5 𝑥 = 0.0085 𝑚
2 𝑥 9.81
Zona Outlet
Zona outlet terdiri dari pelimpah, saluran pelimpah, dan saluran outlet serta saluran
transmisi yang menghubungkan saluran outlet dengan pengolahan selanjutnya (Filtrasi).
Pelimpah
Saluran Pelimpah
Setiap saluran pelimpah terdapat 2 pelimpah, maka dari itu dapat dihitung:
o Panjang saluran pelimpah, Psal:
𝑃𝑠𝑎𝑙 = 𝑃𝑝 = 16,8 𝑚
o Lebar saluran pelimpah, Lp direncanakan: 0.2 meter
o Jumlah saluran pelimpah, ns:
𝑛𝑝𝑒𝑙
𝑛𝑠 =
2
6
𝑛𝑠 = = 3 𝑏𝑢𝑎ℎ
2
o Debit saluran pelimpah, qs:
𝑄𝑏𝑎𝑘
𝑞𝑠 =
𝑛𝑠
𝑚3
0.2365 𝑠
𝑞𝑠 = = 0.07883 𝑚3 /𝑠
3
o Tinggi muka air di atas saluran, hs:
2
𝑞𝑠 3
ℎ𝑠 = ( )
1.38 𝑥 𝐿𝑝
2
𝑚3 3
0.0788
𝑠
ℎ𝑠 = ( ) = 0.4337 𝑚
1.38 𝑥 0.2 𝑚
Saluran Outlet
o Dimensi perancangannya sama dengan dimensi zona inlet yaitu sesuai pada tabel
dibawah
0.2365 𝑚
𝑣𝑜𝑢𝑡 = = 1.48 𝑚/𝑠
0.45 2 𝑠
𝜋( 2 )
Dosis alum yang digunakan adalah 25 mg/L dengan kekeruhan air baku sebesar 185
NTU.
𝑙𝑏
𝑚𝑙𝑘 = (25 𝑥 2.2) + (185 𝑥 0.36 𝑥 8.34) = 610.444 = ~ 73.147 𝑚𝑔/𝐿
106 . 𝑔𝑎𝑙
o Massa jenis lumpur kering, ρlk:
𝜌𝑙𝑘 = 2200 𝑘𝑔/𝑚3
o Kadar air dalam lumpur, Cw:
𝐶𝑤 = 98%
o Berat lumpur, mlp:
𝑚𝑔
𝑚𝑙𝑘 𝐿
𝑚𝑙𝑝 =
𝐶𝑙𝑘
Dengan:
𝐶𝑙𝑘 = 100% − 𝐶𝑤
𝐶𝑙𝑘 = 100% − 98% = 2%
Maka:
𝑚𝑔
73.147 𝐿
𝑚𝑙𝑝 = = 3657.35 𝑚𝑔/𝐿
2%
o Massa jenis lumpur, ρlp:
1 𝐶𝑙𝑘 𝐶𝑤
= +
ρ𝑙𝑝 ρ𝑙𝑘 ρ𝑤
1 2% 98%
= 3
+ 3
= 1007.35 𝑘𝑔/𝑚3
ρ𝑙𝑝 2200 𝑘𝑔/𝑚 996.33 𝑘𝑔/𝑚
o Volume lumpur, Vl:
𝑚𝑙𝑝
𝑉𝑙 =
ρ𝑙𝑝
3657.35 𝑚𝑔/𝐿
𝑉𝑙 = = 3.6 𝑥 10−6 𝑚3 /𝐿
1007.35 𝑘𝑔/𝑚3
o Debit lumpur tiap bak, ql:
𝑞𝑙 = 𝑉𝑙 𝑥 𝑄𝑏𝑎𝑘
𝐿
−6
𝑚3 𝑚3 1000 𝑚3 3
𝑞𝑙 = 3.6 𝑥 10 𝑥 0.2365 𝑥 𝑠 = 3.09 𝑚 /𝑗𝑎𝑚
𝐿 𝑠 3600 𝑗𝑎𝑚
Untuk memudahkan maka periode pengurasan ruang lumpur dilakukan 3 kali sehari.
Pipa Drain Lumpur:
Pada perencanaan pipa drain lumpur direncanakan jarak katup penguras dengan SDB
(Ld) sejauh 20 meter, dengan waktu pengurasan lumpur (t) 10 menit dan diameter pipa penguras
(d) sebesar 10 inch (0.254 meter).
Volume lumpur dikeluarkan tiap periode, Vp:
𝑉𝑝 = 𝑞𝑙 𝑥 𝑇
𝑚3 24
𝑉𝑝 = 3.09 𝑥 𝑗𝑎𝑚 = 24.73 𝑚3
𝑗𝑎𝑚 3
Maka untuk sehari, dikarenakan pengurasan dilakukan 3x sehari, volume lumpur untuk
sehari menjadi:
𝑉 = 𝑉𝑝 𝑥 3 = 24.73 𝑥 3 = 74.19 𝑚3
Debit pengurasan lumpur, qpl:
𝑉𝑝
𝑞𝑝𝑙 =
𝑡
24.73 𝑚3 1 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 𝑚3
𝑞𝑝𝑙 = 𝑥 = 0.04122
10 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 60 𝑠 𝑠
Luas penampang pipa, A:
1
𝐴= 𝜋(𝑑)2
4
1
𝐴= 𝜋(0.254 𝑚)2 = 0.05 𝑚2
4
Kecepatan aluran lumpur, val:
𝑞𝑝𝑙
𝑣𝑎𝑙 =
𝐴
𝑚3
0.04122 𝑚
𝑠
𝑣𝑎𝑙 = 2
= 0.8134
0.05 𝑚 𝑠
Jika disesuaikan dengan kriteria desain yang mana kemiringan pipa pengurasan lumpur
berkisar pada 1/200 – 1/300, maka slope yang didapatkan sudah memenuhi kriteria desain.
Kehilangan tekanan pipa penguras lumpur HLpl:
𝐻𝐿𝑝𝑙 = 𝑆 𝑥 𝐿𝑑
𝐻𝐿𝑝𝑙 = 0.00382 𝑥 20 𝑚 = 0.07634 𝑚
Tabel 4.3–37. Tabel Rekapitulasi
Kriteria Desain
Tabel 4.3–38 Kriteria Desain Untuk Desain Sistem Filtrasi
Kecepatan untuk
0,74 – 0,9 m/menit Kawamura, 1991
backwash
Tabel 4.3–39 Kriteria Desain Untuk Media Filter Unit Saringan Pasir Cepat
Antrasit
Koefisien
1,6 -1,8 Reynolds, 1982
Keseragaman
Pasir
Koefisien
1,5 – 1,7 Reynolds, 1982
Keseragaman
Media Penyangga
Kecepatan untuk
5 -100 m/jam Fair et al, 1986
backwash
Waktu untuk
3 – 10 menit Fair et al, 1986
backwash
Kecepatan saluran
1,5 – 3,7 m/s Fair et al, 1986
pencuci (Vp)
Kecepatan saluran
1,2 – 2,5 m/s Fair et al, 1986
pembuang (Vb)
Luas orifice:
(1,5 – 5 ) x 10-3 : 1 Kawamura, 1991
Luas media
Diameter
0,25 – 0,75 inchi Fair et al, 1986
orifice
DataPerencanaan
Media Filtrasi
Tabel 4.3–20 Ukuran media penyaring
Debit perencanaan, Q = 0,946 m3/detik
Kecepatan filtrasi,Vf = 0,005 m/detik = 18 m/jam
Kecepatan backwash, Vb = 1200 m3/hari-m2 = 50 m/jam
Panjang: Lebar , p : l = 3 : 1
Media penyangga berupa kerikil yang terdiri dari 5 lapisan
Waktu backwash, tb = 10 menit
Tinggi air diatas pasir, ha = 1 m
Sistem Underdrain
Pengaturan Aliran
Kecepatan aliran dalam saluran inlet, Vin = 1,8 m/detik
Kecepatan aliran dalam saluran outlet, Vout = 1,8 m/detik
Kecepatan dalam saluran pencuci, Vp = 2 m/detik
Kecepatan dalam saluran pembuangan, Vb = 2 m/detik
Perhitungan
4.3.7.1 Desain Media Filtrasi
1. Karakteristik Media Penyaring
Pasir
- ES : 0,45
- UC : 1,5
- SG : 2,65
- Ф : 0,82
- ε : 0,42
- Kedalaman media pasir : 20 cm
Tabel 4.3–21 Distribusi lapisan media pasir
Antrasit
- ES : 1,1
- UC : 1,6
- SG : 1,6
- Ф : 0,72
- ε : 0,42
- Kedalaman media antrasit : 60 cm
Agar tidak terjadi intermixing setelah pencucian maka diameter antrasit yang digunakan harus
memenuhi persyaratan berikut:
𝑑1 𝜌2 − 𝜌 0,667
=( )
𝑑2 𝜌1 − 𝜌
0,564 1,6 − 𝜌 0,667
=( )
𝑑2 2,65 − 𝜌
𝑑2 = 1,11 𝑚𝑚
Jadi, agar intermixing tidak terjadi diameter antrasit terkecil yang boleh digunakan adalah
1,11mm.
Tabel 4.3–22 Distribusi lapisan media antrasit
Tebal Kumulatif
Diameter (mm) Tebal lapisan (cm)
(cm)
0,25 12 12,19
1 30 18,35
4 48,13 7,62
6,25 54 5,91
Total 54,8
Perhitungan
Jumlah bak filtrasi, N :
Dengan perencanaan 4 bak dengan kriteria desain batasan luas permukaan maksimum
100 m3/ bak (kuliah.ftsl.itb.ac.id)
Kapasitas tiap bak, q :
𝑄 0,946 𝑚3 /𝑠
𝑞= = = 0,2365 𝑚3 /𝑠
𝑁 4
Luas permukaan bak, Abak :
𝑞 0,2365 𝑚3 /𝑠
𝐴𝑏𝑎𝑘 = = = 47,3 𝑚2 ~ 48 𝑚2 → 𝑂𝐾
𝑉𝑓 0,005 𝑚/𝑠
Abak = p x l = 3l2
l = (Abak/3)0.5 = (48/3)0.5 = 4 m
p = 2l = 3 x 4 = 12 m
Kecepatan filtrasi sebenarnya, vf :
𝑞 0,2365 𝑚3 /𝑠 𝑚3 𝑚
𝑉𝑓 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎 = = = 0,00493 = 17,7375 → 𝑂𝐾
𝐴𝑏𝑒𝑑 4 𝑚 × 12 𝑚 𝑠 𝑗𝑎𝑚
Data Perencanaan
Perhitungan
Sistem underdrain terdiri dari orifice, lateral dan manifold
Orifice
Luas orifice, Aor :
𝐴𝑜𝑟𝑡𝑜𝑡 0,144 𝑚3
𝑛𝑜𝑟 = = = 1136,3 ~1137 𝑏𝑢𝑎ℎ
𝐴𝑜𝑟 1,2673 × 10−4 𝑚2
Pipa Lateral
Luas total lateral, Altot
2 2
𝐴𝑙𝑡𝑜𝑡 = × 𝐴𝑜𝑟𝑡𝑜𝑡 = × 0,144 𝑚2 = 0,288 𝑚2
1 1
𝑃𝑏𝑒𝑑 12
𝑛𝑙 = ×2 = × 2 = 118,11 ~ 135 𝑏𝑢𝑎ℎ
𝑗𝑙 0,1778 𝑚
Luas per lateral, Al :
𝐴𝑙𝑡𝑜𝑡 0,288 𝑚2
𝐴𝑙 = = = 2,13 × 10−3 𝑚2
𝑛𝑙 135
Diameter lateral, dl :
0,5
4𝐴𝑙 0,5 4 × 2,13 × 10−3 𝑚2
𝑑𝑙 = ( ) = ( ) = 0,052 𝑚 ~ 2,047 𝑖𝑛𝑐ℎ𝑖
𝜋 𝜋
= 2 𝑖𝑛𝑐ℎ𝑖 𝑑𝑖 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑟𝑎𝑛
𝑛𝑜𝑟 1137 𝑚2
𝑛0𝑙 = = = 8,42 𝑏𝑢𝑎ℎ ~ 8 𝑏𝑢𝑎ℎ
𝑛𝑙 135
Manifold
Luas total manifold, Amtot :
Data Perencanaan
Freeboard = 19 cm
Diameter lateral, dl = 2 inch = 0,0508 m
Panjang lateral, pl = 1,619 m
Tabel 4.3–24 Perhitungan kehilangan tekan pada media pasir saat permulaaan filtrasi
𝑘 (1 − 𝜀)2 6 2 𝐿𝐼
𝐻𝑝 = 𝑣𝑓 𝜐 3
( ) ∑ 2
𝑔 𝜀 𝜙 𝑑𝐼
Tabel 4.3–25 Perhitungan kehilangan tekan pada media antrasit saat permulaaan filtrasi
𝑘 (1 − 𝜀)2 6 2 𝐿𝐼
𝐻𝑎 = 𝑣𝑓 𝜐 ( ) ∑
𝑔 𝜀3 𝜙 𝑑𝐼 2
= 0,2102 𝑚
Tabel 4.3–26 Perhitungan kehilangan tekan pada media kerikil saat permulaaan filtrasi
𝑘 (1 − 𝜀)2 6 2 𝐿𝐼
𝐻𝑘 = 𝑣𝑓 𝜐 3
( ) ∑ 2
𝑔 𝜀 𝜙 𝑑𝐼
= 1,012 𝑚
Orifice
Zona Inlet
Zona inlet direncanakan memiliki dimensi sebagai berikut :
Lebar zona inlet = lebar bak filtrasi, L = 4 m
Panjang zona inlet, p = 0,8 m
Kedalaman zona inlet, h = 1 m
Data Perencanaan
Kecepatan pengaliran v =1,8 m/s
Debit Q = 0,2365m3/s
Panjang pipa terjauh rencana L = 10 m
Perhitungan
Luas penampang pipa, A :
𝑄 0,2365
𝐴 = = = 0,1314 𝑚2
𝑣 1,8
Diameter pipa, d :
0,5
4𝐴 0,5 4 × 0,1314 𝑚2
𝑑 =( ) = ( ) = 0,4089𝑚 ~ 0,45 𝑚 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑟𝑎𝑛
𝜋 𝜋
Kecepatan aliran yang sebenarnya, v :
𝑄 0,2365
𝑣 = = = 1,486 𝑚⁄𝑠 → 𝑂𝐾
𝐴 0,25 × 𝜋 × (0,45)2
Aksesoris pipa yang digunakan adalah sebagai berikut:
Tabel 4.3–27 Perhitungan kehilangan tekan minor saat permulaaan filtrasi
Pasir
Kondisi lapisan saat backwash
Tabel 4.3–28 Perhitungan ekspansi pada media pasir saat backwash
Antrasit
Kondisi lapisan saat backwash
Tabel 4.3–29 Perhitungan ekspansi pada media antrasit saat backwash
Tabel 4.3–30 Perhitungan kehilangan tekan pada media pasir saat backwash
𝑘 6 2 (1 − 𝜀𝑒 )2 𝐿𝑖𝑒
ℎ 𝑝𝑏𝑤 = 𝑣𝑏𝑤 𝜐 ( ) ∑ ∙ 2
𝑔 𝜙 𝜀𝑒 3 𝑑𝑖
4 6 2
ℎ 𝑝𝑏𝑤 = (0,1389 )(9,19 × 10−7 ) ( ) ∙ 809199
9,81 0,82
ℎ 𝑝𝑏𝑤 = 0,2255 𝑚
Antrasit
Tabel 4.3–31 Perhitungan kehilangan tekan pada media antrasit saat backwash
𝑘 6 2 (1 − 𝜀𝑒 )2 𝐿𝑖𝑒
ℎ 𝑎𝑏𝑤 = 𝑣𝑏𝑤 𝜐 ( ) ∑ ∙ 2
𝑔 𝜙 𝜀𝑒 3 𝑑𝑖
4 −7
6 2
ℎ 𝑎𝑏𝑤 = (0,1389 )(9,19 × 10 ) ( ) ∙ 569141
9,81 0,72
ℎ 𝑎𝑏𝑤 = 0,2057 𝑚
Media Kerikil
Tabel 4.3–32 Perhitungan kehilangan tekan pada media kerikil saat backwash
𝑘 6 2 (1 − 𝜀𝑒 )2 𝐿𝑖𝑒
ℎ 𝑘𝑏𝑤 = 𝑣𝑏𝑤 𝜐 ( ) ∑ ∙ 2
𝑔 𝜙 𝜀𝑒 3 𝑑𝑖
5 −7
(1 − 0,4)2 6 2
ℎ 𝑘𝑏𝑤 = (0,1389 )(9,19 × 10 ) ( ) ∙ 1 ∙ 3,59 ∙ 106
9,81 0,43 0,72
ℎ 𝑘𝑏𝑤 = 5,2336 𝑚
Orifice
Lateral
Debit melalui lateral, ql :
𝑞 0,6667 𝑚3 /𝑠
𝑞𝑙𝑏𝑤 = = = 4,93 × 10−3 𝑚3 /𝑠
𝑛𝑙 135
𝑞𝑏𝑤 0,6667
𝐴𝑝 = = = 0,333 𝑚2
𝑣𝑝 2
- Diameter pipa, dp:
0,5
4𝐴𝑝 0,5 4 × 0,333 𝑚2
𝑑𝑝 = ( ) = ( ) = 0,651 𝑚 ~ 0,65 𝑚 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑟𝑎𝑛
𝜋 𝜋
𝑣2 (2 𝑚⁄𝑠)2
𝐻𝑚𝑖𝑛𝑜𝑟 = ∑𝑘 = 6,7 = 1,365 𝑚
2𝑔 2(9,81) 𝑚⁄𝑠 2
2⁄3
3 𝑓𝑡 3 /𝑠
𝑞𝑏𝑤 2⁄3 0,6667 𝑚 /𝑠 × 35,22( ⁄ 3 )
𝑚 /𝑠
ℎ𝑝 = ( ) =( ) = 0,1078 𝑓𝑡 = 0,033𝑚
3,33 𝑙𝑝 3,33 × 20 𝑚 × 3,281 𝑓𝑡/𝑚
Saluran pembuangan
Saluran pembuangan direncanakan berupa pipa dengan kecepatan aliran pada saluran
pembuangan sebesar 2 m/s dan debit backwash sebesar 0,49m3/s.
Luas penampang pipa pembuangan, Ab :
𝑄 0,2365
𝐴 = = = 0,333 𝑚2
𝑣 2
Media
Media Penyaring
Keterangan Satuan Penyangga
4.3.8 Desinfeksi
Data Perencanaan
Dalam perencanaan unit desinfeksi ini terdapat kriteria desain yaitu sisa klor pada air yaitu
berada pada kisaran 0.2 s.d. 0.5 mg/l. Nilai ini yang menjadi pedoman dalam perencanaan unit
desinfeksi. Namun pada data yang didapat telah diketahui bahwa dosis klor yang dibutuhkan
yaitu 4 mg/l. Data perencanaan pada unit desinfeksi ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Pada penentuan desain dari unit desinfeksi ini perlu dicari terlebih dahulu kebutuhan terhadap
desinfektan. Hal pertama yang harus dicari yaitu kebutuhan kaporit per hari dengan persamaan
sebagai berikut:
𝑘𝑔 𝑄 × 86400
𝐾𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡 ( ) = 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑘𝑙𝑜𝑟 ×
ℎ𝑎𝑟𝑖 1000 × % 𝑘𝑒𝑚𝑢𝑟𝑛𝑖𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡
Keterangan:
Q (m3/s) = debit
Dari perhitungan dengan persamaan seperti di atas maka didapati kebutuhan kaporit yang
dibutuhkan per hari yaitu sebanyak 544.9 kg atau setara dengan 0.55 ton. Setelah itu hal yang
perlu dicari adalah debit kaporit dengan cara sebagai berikut:
𝑙 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡
𝑑𝑒𝑏𝑖𝑡 𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡 ( )=
ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡
Keterangan:
Dari perhitungan dengan persamaan berikut maka diketahui bahwa debit kaporit untuk unit
koagulasi ini yaitu sebanyak 633.6 l/hari. Setelah diketahui debit koagulan per harinya maka
dapat diketahui nilai volume kaporit per pelarutan yang akan dilakukan. Karena pada
perencanaan ini kami menggunakan asumsi bahwa akan dilakukan 2 (dua) kali pembubuhan
koagulan per hari yaitu tiap 12 jam sekali. Maka volume kaporit tiap pelarutan dapat dicari
dengan cara sebagai berikut:
1 − 𝐶𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡 𝑚𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑢𝑟𝑡 (𝑚3) = ( )×
𝐶𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡 𝜌𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡
Keterangan:
Dari persamaan tersebut kami menggunakan konsentrasi kaporit dalam larutan sebesar 10%
sehingga diketahui bahwa volume pelarut yaitu sebesar 5.70 m3. Sehingga dapat diketahui
bahwa volume larutan yaitu sebanyak 6.02 m3. Selanjutnya parameter yang dapat dicari yaitu
nilai dari luas permukaan bak yaitu dengan cara mencari luas lingkaran. Kami mengasumsikan
bahwa bak pembubuhan ini akan memiliki diameter sebesar 2.5 meter. Sehingga luasan
permukaan bak pembubuh yaitu sebesar 4.91 m2. Dengan ini maka dapat diketahui tinggi dari
muka air yaitu dengan membagikan volume larutan dengan luas penampang bak sehingga
diketahui bahwa tinggi muka air sebesar 1.23 meter. Pada unit ini kami mengasumsikan bahwa
freeboard unit koagulasi sebesar 0.37 meter dan dengan ini maka ketinggian bak total menjadi
1.60 meter.
Dosing pump
Selanjutnya pada unit koagulasi diperlukan 2 (dua) buah pompa yang identik dengan keterangan
1 (satu) untuk operasional dan 1 (satu) lainnya untuk cadangan. Pompa ini mengalirkan debit
yang dapat dihitung dengan cara:
𝑚3
𝑚3 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 (ℎ𝑎𝑟𝑖)
𝐷𝑒𝑏𝑖𝑡 𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡 ( ) =
𝑠 86400
Pehritungan di atas diperlukan untuk mengkonversi satuan debit larutan kaporit dan didapati nilai
debit tersebut yaitu 0.00007 m3/s. Selanjutnya untuk mengetahui daya pompa minimum yang
diperlukan dalam unit ini maka perlu terlebih dahulu dilakukan perhitungan terhadap massa jenis
campuran. Persamaan yang digunakan yaitu:
𝑘𝑔 1
𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑐𝑎𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛 ( 3 ) = 𝐶𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡 1−𝑐𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡
𝑚 ( )+( )
𝜌𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡 𝜌𝑎𝑖𝑟
Dengan menggunakan massa jenis air sebesar 997.1 kg/m3 yang merupakan massa jenis air pada
temperatur 25˚ maka diapati massa jenis campuran yaitu sebesar 981.5 kg/m3. Setelah diketahui
nilai tersebut maka langkah terakhir yang dapat dihitung yaitu daya pompa. Persamaan yang
digunakan yaitu sebagai berikut:
𝑞 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑝𝑜𝑟𝑖𝑡
𝑃 = 𝜌𝑐𝑎𝑚𝑝𝑢𝑟𝑎𝑛 × 𝑔 × 𝐻 ×
𝜇
Keterangan:
G (m/s2) = gravitasi
Dengan menggunakan head pompa sebesar 10 meter dan efisiensi pompa 65% maka didapati
daya pompa minimum yang dibutuhkan untuk dosing pump yaitu sebesar 10.32 watt.
Tabel Rekapitulasi
Tabel 4.3–41. Rekapitulasi bak pelarut
4.3.9 Reservoir
Kapasitas reservoir ini dapat ditentukan bila diketahui fluktuasi pemakaian air harian di kota
tersebut:
Berikut ini adalah contoh perhitungan fluktuasi pemakaian air:
Kolom 1
Waktu pemakaian air
Kolom 2
Jumlah jam pada waktu pemakaian air
24.00 – 05.00 = 5 jam
Kolom 3
Supply air per jam dalam % dari sistem transmisi
100% / 24 jam = 4.17%
Kolom 4
Diketahui dari survey/penelitian terhadap fluktuasi pemakaian air = 0,75%
Kolom 5
Total Supply air (%) = jumlah jam x supply air per jam
= (2) x (3)
= 5 jam x 4.17 % = 20.85 %
Kolom 6
Total pemakaian (%) = jumlah jam x pemakain per jam (%)
= (2) x (4)
= 5 jam x 0.75 % = 3,75%
Kolom 7
Supply demand (surplus) = Supply total (%) – Pemakaian total (%)
= 20,85% - 3,75% = (+) 17,1%
(jika nilai positif)
Kolom 8
Supply demand (deficit) = Supply total (%) – pemakaian total (%)
= 4,17% - 6 % = (-) 1,83 %
(jika nilai negatif)
Dengan cara yang sama maka didapat fluktuasi pemakaian air pada tabel 4.1 di bawah ini:
Tabel 4.3–42 Fluktuasi Pemakaian Air
Untuk mencari volume reservoir perlu dihitung terlebih dahulu besarnya permukaan yang lebih
besar dari debit yang disediakan ( defisit ) dari supply rata-rata harian reservoir selama
pengaliran 24 jam, supply rata-rata tiap jamnya adalah :
100 % / 24 jam = 4,17 %
Untuk menghitung volume reservoir, maka digunakan nilai rata-rata dari jumlah persentasi di
atas karena perbedaan diantara kedua jumlah tersebut sebenarnya hanya untuk menghitung
kapasitas reservoir dan perbedaan diantara kedua jumlah tersebut sebenarnya hanya merupakan
pembulatan. Dengan demikian maka diperoleh harga rata-rata kapasitas reservoir adalah sebesar
:
27.70+27.62 %
Z = 2
= 27.66
Volume reservoir adalah volume yang digunakan untuk menampung sejumlah air yang
dipergunakan apabila pemakaian debit melebihi dari pemakaian rata-rata atau untuk memenuhi
kebutuhan puncak.
P = 2L (P:L = 2:1)
2 L × L = 4075
4075
L2 = 2
L2 = 2037.5
L = 45,14 m
Panjang ( P ) = 2L
= 2 (45,14)
= 90.27 m
Kriteria Desain
Perhitungan
𝑉 = 𝑄𝑙 𝑥 𝑡𝑑
dengan:
Debit lumpur yang masuk setiap harinya dari pra-sedimentasi sebesar 27.25 m3/hari.
Debit lumpur yang masuk setiap harinya dari sedimentasi plate settler sebesar 296.75
m3/hari (74.187 m3/hari untuk tiap bak dengan total bak sedimentasi sebanyak 4 bak).
Maka dari itu debit lumpur yang masuk:
𝑄𝑙 = 𝑄𝑝𝑟𝑎𝑠𝑒𝑑 + 𝑄𝑠𝑒𝑑
𝑚3 𝑚3
𝑄𝑙 = 27.25 + 296.75 = 324.001 𝑚3 /ℎ𝑎𝑟𝑖
ℎ𝑎𝑟𝑖 ℎ𝑎𝑟𝑖
𝑚3
𝑉 = 324.001 𝑥 12 ℎ𝑎𝑟𝑖 = 3888.01 𝑚3
ℎ𝑎𝑟𝑖
𝑉
𝐴𝑠𝑙𝑢𝑑𝑔𝑒 =
𝐷
dengan:
3888.01 𝑚3
𝐴𝑠𝑙𝑢𝑑𝑔𝑒 = = 1944.01 𝑚2
2𝑚
𝐴𝑏𝑒𝑑 = 20 𝑚 𝑥 15 𝑚 = 300 𝑚2
d. Jumlah Unit SDB, nsdb:
𝐴𝑠𝑙𝑢𝑑𝑔𝑒
𝑛𝑠𝑑𝑏 =
𝐴𝑏𝑒𝑑
1944.01 𝑚2
𝑛𝑠𝑑𝑏 = = 6.48 ~ 7 𝑢𝑛𝑖𝑡
300 𝑚2
𝐻𝑠𝑑𝑏 = 𝐷 + 𝐻𝑏𝑒𝑑 + 𝑓𝑏
Dikarenakan pada proses pengeringan lumpur akan dikeluarkan air bekas yang
turun dari pengeringan lumpur, maka pipa pada bagian bawah sludge drying bed
diperlukan untuk mengalirkan kembali air limbah yang dihasilkan ke pengolahan
IPA. Biasanya diameter pipa yang digunakan sebesar 10 inch. Volume lumpur yang
dihasilkan dari pengeringan, akan dibuang ke TPA atau dimanfaatkan sebagai bahan
campuran paving block.
B. Cascade
Terdapat 7 segmen yaitu inlet, bak 1, bak 2, bak 3, bak 4, bak outlet dan outlet
Diketahui:
Nilai permukaan tanah = 700 mdpl
Nilai ketinggian cascade total = 7 m
Elevasi Awal saluran = 707 m
Headloss saluran inlet (HL 1) = 0,0072 m
Headloss Bak 1 (HL 2) = 1,2 m
Headloss Bak 2 (HL 3) = 1,2 m
Headloss Bak 3 (HL 4) = 1,2 m
Headloss Bak 4 (HL 5) = 1,2 m
Headloss Bak outlet (HL 6) = 0,67 m
Headloss outlet (HL 7) = 0,67 m
Perhitungan
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 = 707 − 0,0072
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 =706.9928
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 1 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 1 = 706,992 − 1,2
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 1 =705.7928
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 2 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 2 = 705.792 − 1,2
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 2 =704.5928
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 3 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 3 = 704.592 − 1,2
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 3 =703.3928
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 4 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 4 = 703.392 − 1,2
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 4 =702.1928
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 = 702.1928 − 0,67
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎𝑘 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 =701.5528
𝐸𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 = 701.5528 − 0,0005
𝐸𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑘 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 =701.5528
Untuk perhitungan jatuhan antar cascade maka digunakan nilai headloss sama dengan tinggi
jatuhan. Hasil yang didapatkan pada tabel 4.4-2.
Tabel 4.4–2. Rekapitulasi HGL Cascade
C. Prasedimentasi
Saluran Inlet
Diketahui :
Elevasi Awal saluran : 700,19 m
Headloss Inlet Prased ( Hl 1) = 0,048 m
Headloss Pintu air ( Hl 2 ) = 0,136 m
Headloss Baffle (Hl 3 ) = 0,063 m
Perbedaan Ketinggian = 0,4 m
Perhitungan
𝐸𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 = 700,19 − 0,048
𝐸𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 = 700,142
𝐸𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑖𝑛𝑡𝑢 𝑎𝑖𝑟 = 𝐸𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 − 𝐻𝐿2
𝐸𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑖𝑛𝑡𝑢 𝑎𝑖𝑟 = 700,142 − 0,136
𝐸𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑖𝑛𝑡𝑢 𝑎𝑖𝑟 = 700,006
𝐸𝑝𝑒𝑙𝑖𝑚𝑝𝑎ℎ = 𝐸𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑟𝑠𝑐𝑟𝑒𝑒𝑛 − 𝐻𝐿3
𝐸𝑝𝑒𝑙𝑖𝑚𝑝𝑎ℎ = 700,006 − 0,063
𝐸𝑝𝑒𝑙𝑖𝑚𝑝𝑎ℎ = 699,943
𝐸𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑚𝑝𝑢𝑙 = 𝐸𝑝𝑒𝑙𝑖𝑚𝑝𝑎ℎ − 𝑃𝑒𝑟𝑏𝑒𝑑𝑎𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑎𝑛
𝐸𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑚𝑝𝑢𝑙 = 699,943 − 0,4
𝐸𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑚𝑝𝑢𝑙 = 699,543
Headloss total
Titik Elevasi (m) HGL (m)
(m)
awal inlet 709.57 0.00 709.57
bend 90 709.67 2.80 706.87
bend 90 706.82 2.91 703.92
gabungan pipa 703.83 0.09 703.74
bend 90 710.28 2.77 707.50
bak dalam 701.81 0.64 701.17
bak luar 701.17 1.03 700.14
E. Flokulasi
Diketahui :
Elevasi Pipa dari Koagulasi = 700.14 m
Elevasi inlet titik awal = 700.14 m
Elevasi outlet = 697.83 m
Headloss inlet (HLinlet) = 0,03938117 m
Headloss orifice (HLor) = 0,00854 m
Headloss outlet (HLoutlet) = 0,03938117 m
Perhitungan
F. Sedimentasi
Diketahui :
Elevasi Pipa dari Flokulasi = 698,36 m
Elevasi inlet titik awal = 697,96 m
Elevasi outlet titik awal = 696,99 m
Headloss inlet (HLinlet) = 0,03938117 m
Headloss orifice (HLor) = 0,00854 m (nilai kor = 0,5)
Headloss outlet (HLoutlet) = 0,03938117 m
Perhitungan
𝐸𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝐼𝑛𝑙𝑒𝑡 𝑇𝑖𝑡𝑖𝑘 𝐴𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡
𝐸𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 697,96 − 0,03938117
𝐸𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 697.92 m
𝐸𝑜𝑟𝑖𝑓𝑖𝑐𝑒 = 𝐸𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝐻𝐿𝑜𝑟
𝐸𝑜𝑟𝑖𝑓𝑖𝑐𝑒 = 697.92 − 0,00854
𝐸𝑜𝑟𝑖𝑓𝑖𝑐𝑒 = 697.85 𝑚
𝐸𝑧𝑜𝑛𝑎 𝑣𝑜𝑖𝑑 𝑝𝑙𝑎𝑡𝑒 = 697,37 𝑚 (didapatkan dari perhitungan tinggi muka air pada
perhitungan unit)
𝐸𝑝𝑒𝑙𝑖𝑚𝑝𝑎ℎ = 697,27 𝑚 (didapatkan dari perhitungan tinggi muka air pada
perhitungan unit)
𝐸𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑖𝑚𝑝𝑎ℎ = 697,12 𝑚 (didapatkan dari perhitungan tinggi muka air pada
perhitungan unit)
𝐸𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑂𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 𝑇𝑖𝑡𝑖𝑘 𝐴𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡
𝐸𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 696,99 − 0,03938117
𝐸𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 696.95 m
𝐸𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑝𝑖𝑝𝑎 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = 696,69 𝑚 (diletakkan relatif terhadap unit filtrasi dan saluran
outlet titik akhir)
Tabel 4.4–5. Hasil HGL pada Sedimentasi
Unit Titik Permukaan air, Z=0 (mm) Aksesoris K HL minor (m) HL mayor (m) HL Total (m) HGL (mm) HGL, u/ z= 700 (m) HGL akhir (m)
pipa flokulasi 4200 0 0 0 4200 704.2 698.36
inlet awal 3800 0 0 3800 703.8 697.96
inlet akhir 3800 0 0.03938117 0.03938117 3760.61883 703.7606188 697.92
orifice 3700 orifice 0.5 0.008545684 0.008545684 3691.45432 703.6914543 697.85
zona void plate 3215 0 3215 703.215 697.37
Sedimentasi
pelimpah 3115 0 3115 703.115 697.27
saluran pelimpah 2965.7 0 2965.7 702.9657 697.12
outlet awal 2832 0 2832 702.832 696.99
outlet akhir 2832 0.03938117 0.03938117 2831.96062 702.8319606 696.95
titik pipa filtrasi 2530 0 2530 702.53 696.69
G. Filtrasi
Diketahui :
Elevasi Awal saluran = 696,69 m
Headloss inlet filtrasi (HL 1)= 0,0009 m
Headloss media filter (HL 2)= 2,0966 m
Head tekanan dari pipa (H1)= 4,2108 m
Headloss outlet filtrasi sampai reducer (HL 3)= 0,0103 m
Headloss reducer (HL 4)= 0,01689 m
Headloss gate valve (HL 5)= 0,0225 m
Headloss bend 90 pertama (HL 6) = 0,0439 m
Headloss bend 90 kedua (HL 7)= 0,0439 m
Perhitungan
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑖𝑝𝑎 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 – 0,0009 m
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑝𝑖𝑝𝑎 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = 696,69 𝑚 − 0,0009 𝑚 = 696,684 m
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑚𝑢𝑙𝑢𝑡 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑝𝑖𝑝𝑎 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 – 𝐻𝐿 2
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑚𝑢𝑙𝑢𝑡 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = 696,684 m– 2, 0966 m = 694,588 m
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑚𝑢𝑙𝑢𝑡 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 + 𝐻1
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = 694,588 m + 4,2108 m = 698,799 m
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑑𝑢𝑐𝑒𝑟 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 − 𝐻𝑙 3
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑟𝑒𝑑𝑢𝑐𝑒𝑟 = 698,799 m − 0,0103 m =698,789 m
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑔𝑎𝑡𝑒 𝑣𝑎𝑙𝑣𝑒 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑟𝑒𝑑𝑢𝑐𝑒𝑟 − 𝐻𝑙 4
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑔𝑎𝑡𝑒 𝑣𝑎𝑙𝑣𝑒 = 698,789 m − 0,01689 m =698,772 m
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑏𝑒𝑛𝑑 90 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑔𝑎𝑡𝑒 𝑣𝑎𝑙𝑣𝑒 − 𝐻𝑙 5
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑏𝑒𝑛𝑑 90 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 = 698,772 m − 0,0225 m = 698,750 𝑚
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑏𝑒𝑛𝑑 90 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑏𝑒𝑛𝑑 90 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 − 𝐻𝑙 6
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑏𝑒𝑛𝑑 90 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎 = 698,750 𝑚 − 0,0439 m = 698,706 𝑚
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑏𝑒𝑛𝑑 90 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎 − 𝐻𝑙 7
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = 698,706 𝑚 − 0,0439 m = 698,66 𝑚
Hasil perhitungan sesuai pada tabel 4.4-6.
H. Reservoir
Diketahui:
Nilai permukaan awal = 694,35 mdpl
Nilai ketinggian reservoir total = 10 m
Elevasi Awal saluran = 694,35 m
Headloss saluran inlet (HL 1) = 0,0033 m
Headloss baffle 1 (HL 2) = 4,89 x 10-7 m
Headloss baffle 2 (HL 2) = 4,89 x 10-7 m
Headloss baffle 3 (HL 3) = 4,89 x 10-7 m
Headloss baffle 4 (HL 4) = 4,89 x 10-7 m
Headloss baffle 5 (HL 5) = 4,89 x 10-7 m
Headloss baffle 6 (HL 6) = 4,89 x 10-7 m
Headloss baffle 7 (HL 7) = 4,89 x 10-7 m
Headloss baffle 8 (HL 8) = 4,89 x 10-7 m
Headloss baffle 9 (HL 9) = 4,89 x 10-7 m
Headloss outlet (HL10) = 1,65 x 10-5 m
Perhitungan
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 = 707 − 0,0033
𝐸𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑖𝑛𝑙𝑒𝑡 =694.3466263
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 1 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 1 = 707 − 4,89 x 10 − 7
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 1 =694.3466263
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 2 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 2 = 707 − 4,89 x 10 − 7
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 2 =694.3466263
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 3 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 3 = 707 − 4,89 x 10 − 7
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 3 =694.3466263
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 4 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 4 = 707 − 4,89 x 10 − 7
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 4 =694.3466263
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 5 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 5 = 707 − 4,89 x 10 − 7
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 5 =694.3466263
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 6 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 6 = 707 − 4,89 x 10 − 7
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 6 =694.3466263
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 7 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 7 = 707 − 4,89 x 10 − 7
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 7 =694.3466263
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 8 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 8 = 707 − 4,89 x 10 − 7
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 8 =694.3466263
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 9 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 9 = 707 − 4,89 x 10 − 7
𝐸𝑏𝑎𝑓𝑓𝑙𝑒 9 =694.3466263
𝐸𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 = 𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝐻𝐿1
𝐸𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 = 707 − 4,89 x 10 − 7
𝐸𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑜𝑢𝑙𝑒𝑡 =694.5015
Hasil perhitungan sesuai pada tabel 4.4-7.
Tabel 4.4–7. Rekapitulasi HGL Reservoir
Segmen Total Hl Minor HL mayor (m) HL Total (m) HGL
Inlet 0.003373724 0 0.003373724 694.3466263
in-B.1 0 4.89941E-07 0.003374214 694.3466258
B.1-B2 4.89941E-07 4.89941E-07 0.003374704 694.3466253
B.2-B.3 1.70206E-05 4.89941E-07 0.003375194 694.3466248
B.3-B.4 1.70206E-05 4.89941E-07 0.003375684 694.3466243
B.4-B.5 1.70206E-05 4.89941E-07 0.003376174 694.3466238
B.5-B.6 1.70206E-05 4.89941E-07 0.003376664 694.3466233
B.6-B.7 1.70206E-05 4.89941E-07 0.003377154 694.3466228
B.7-B.8 1.70206E-05 4.89941E-07 0.003377644 694.3466224
B.9-out 1.70206E-05 4.89941E-07 0.003378624 694.3466214
Outlet 1.65306E-05 0 0.003395155 694.3466048
Pipa Outlet 0 0.010393922 0.013789077 694.3362109
DAFTAR PUSTAKA
Steel, E. W. dan T. J. McGhee.1985. Water Supply and Sewerage. McGraw-Hill Inc., New York.
Yuliana, R. 2009. Mengatasi Zat Besi (Fe) Tinggi Dalam Air. Diakses 10 September 2018 dari
http:// www.advancebpp.com
Effendi.H. 2003. Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.Cetakan
kelima.Yogyakarta : Kanisius
Suripin.2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air.Yogyakarta: Penerbit Andi.
Suriawiria, Unus. 1996. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengelolaan Buangan Secara Biologi.
Bandung: Alumni
Sumber:
Water Treatment Handbook, 6th edition, Volume 1, Degremont Water and the Environment,
1991
Casey. T.J., Unit Treatment Processes in Water and Wastewater Engineering, John Wiley &
Sons, Singapore, 1997.
Droste, Ronald L., Theory and Practice of Water and Wastewater Treatment, John Wiley &
Sons, New York, 1997
Qasim, Syed R, Edward M. Motley, dan Guang Zhu, Water Works Engineering: Planning,
Design dan Operation, Prentice Hall PTR, Upper Saddle River, NJ 07458, 2000.
Mackenzie.2011. Water and waste water.
Siregar, A sakti.2005. Pengolahan Air Limbah. Jakarta: Kanisius
Kuliah.ftsl.itb.ac.id
M.E. Walsh, N. Zhao, S.L. Gora & G.A. Gagnon.2009.Effect of coagulation and flocculation
conditions on water quality in an immersed ultrafiltration process, Environmental Technology,
30:9, 927-938, DOI: 10.1080/09593330902971287
J. E. Dyksen.2005. “Aeration and Air Stripping,” In: E. E. Baruth, Tech. Ed., Water Treatment
Plant Design, American Water Works Association, American Society of Civil Engineers, Ch. 5,
4th Edition, McGraw-Hill, Inc., New York.
Water treatment: Principles and design, MWH (2005), (ISBN 0 471 11018 3) (1948 pgs)
Modellering van intensieve gasuitwisselingssystemen (in Dutch),A.W.C. van de Helm (MSc
thesis)