Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH EPIDEMIOLOGI GIZI

STUNTING

DISUSUN OLEH:

SYAHLA ALVIRA RAHMA 201702001

GHINA KHALISHAH 201702022

RIKA FEBRIANY 201702033

SITI ANISA RAHMAN 201702035

ASMANIYAH 201702043

TYAS ADHISTIANI 201702051

PROGRAM STUDI S1 GIZI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MITRA KELUARGA

BEKASI TIMUR

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Stunting” ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas  pada mata kuliah epidemiologi gizi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang stunting bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Guntari Prasetya, S.Gz., M.Sc., selaku
dosen mata kuliah epidemiologi gizi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Bekasi, 8 Juli 2020

Penulis

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................II
DAFTAR ISI.......................................................................................................................III
BAB I......................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1
1.2 Tujuan..................................................................................................................2
1.3 Metode Penulisan................................................................................................3
1.4 Sistematika Penulisan.........................................................................................3
BAB II....................................................................................................................................4
2.1 Epidemiologi Stunting........................................................................................4
2.2 Definisi Stunting..................................................................................................4
BAB III...................................................................................................................................5
3.1 Prevalensi Stunting.............................................................................................5
3.2 Faktor penyebab Stunting.................................................................................7
3.3 Pencegahan dan Penanggulangan Stunting.....................................................9
BAB IV.................................................................................................................................13
4.1 Kesimpulan (Belum).........................................................................................13
4.2 Saran (Belum)...................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................14

III
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi
kronis sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi
sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, tetapi baru nampak
setelah anak berusia 2 tahun. Stunting menurut WHO Child Growth Standart didasarkan
pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur
(TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD (WHO, 2010).

Berdasarkan data Global Nutrition Report (GNR), angka kejadian stunting pada tahun
2000 adalah 198,4 juta anak. Kejadian stunting pada anak mengalami penurunan setiap
tahunnya sampai pada tahun 2017 menjadi sebesar 150,8 juta anak (Hawkes, 2018).
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2016, angka kejadian stunting hanya
mengalami penurunan sebesar 4 juta anak yaitu 154,8 juta anak (WHO, 2018).

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki masalah stunting yang cukup
tinggi yaitu sebesar 30% – 39%. Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia dengan
jumlah anak pendek terbanyak (Trihono, 2015). Indonesia termasuk salah satu dari 117
negara di dunia yang mempunyai tiga masalah gizi pada balita yaitu stunting, wasting
dan overweight. Prevalensi tertinggi pada ketiga masalah gizi tersebut di Indonesia
yaitu stunting 37,2%, wasting 12,1% dan overweight 11,9% (Achadi, 2015).

Kekurangan gizi pada pra-hamil dan ibu hamil berdampak pada lahirnya anak yang
IUGR dan BBLR. Kondisi IUGR hampir separuhnya terkait dengan status gizi ibu,
yaitu berat badan (BB) ibu pra-hamil yang tidak sesuai dengan tinggi badan ibu atau
bertubuh pendek , dan pertambahan berat badan selama kehamilannya (PBBH) yang
kurang dari seharusnya. Ibu yang pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh
pendek pada saat meninjak dewasa. Apabila hamil ibu pendek akan cenderung

1
melahirkan bayi yang BBLR. Apabila tidak ada perbaikan terjadinya IUGR dan BBLR
akan terus berlangsung di generasi selanjutnya, sehingga terjadi masalah anak pendek
intergenerasi (Kemenko Kesra, 2013).

Target penurunan prevalensi kejadian stunting secara global adalah sebanyak 40% pada
tahun 2025. Fokus utama dalam upaya pencapaian target tersebut adalah penurunan
prevalensi anemia pada ibu, penurunan kejadian bayi dengan BBLR, dan peningkatan
pemberian ASI Eksklusif (WHA, 2012). Di Indonesia upaya penurunan prevalensi
balita stunting menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang tercantum di
dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2015-
2019 (Bappenas, 2014).

Pemerintah melakukan program untuk mencegah dan mengurangi prevalensi kejadian


stunting secara langsung (intervensi gizi spesifik) dan secara tidak langsung (intervensi
gizi sensitif). Upaya intervensi gizi spesifik difokuskan pada kelompok 1.000 Hari
Pertama Kehidupan (HPK, yaitu ibu hamil, ibu menyusui, dan anak 0-23 bulan.
Intervensi gizi sensitif yang dilakukan meliputi pada sanitasi dan lingkungan, jaminan
kesehatan, penanggulangan kemiskinan, keluarga berencana, dan pendidikan gizi bagi
semua kalangan. Realisasi dari upaya tersebut melalui pemeriksaan pada ibu hamil
berupa Antenatal Care (ANC) secara terpadu dan menerima standar pelayanan minimal,
Penetapan peraturan pemerintah mengenai Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
Eksklusif, posyandu 5 setiap bulan, dan promasi kesehatan mengenai Prilaku Hidup
bersih dan Sehat (PHBS). Namun, upaya yang telah berjalan tersebut belum mampu
menurunkan angka kejadian stunting, sebaliknya prevalensinya meningkat (Trihono,
2015).

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui tentang epidemiologi stunting.

2
1.3 Metode Penulisan
a. Sumber data
Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan makalah ini berasal dari berbagai
literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Beberapa
jenis referensi utama yang digunakan adalah jurmal yang berkaitan dengan stunting
di indonesia, dan pedoman dari pemerintah yang bersumber dari internet..
b. Pengumpulan Data
Metode penulisan bersifat studi pustaka. informasi didapatkan dari berbagai literatur
dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang diperoleh. Penulisan
diupayakan saling terkait antar satu sama lain dan sesuai dengan topik yang dibahas.

1.4 Sistematika Penulisan


a. BAB I Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang, tujuan, metode penulisan dan sistematika penulisan
b. BAB II Tinjauan Pustaka
Bab ini berisikan teori yang berupa epidemiologi dan definisi stunting yang diambil
dari jurmal yang berkaitan dengan stunting di indonesia, dan pedoman dari
pemerintah yang diupayakan saling berkaiatan anatara satu sama lain dan sesuai
denngan topik.
c. BAB III Pembahsan
Bab ini berisikan prevalensi stunting, faktor penyebab stunting pencegahan dan
penanggulangan stunting
d. BAB IV Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan stunting berdasarkan
yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
e. Daftar Pustaka
Berisi  tulisan yang tersusun di akhir sebuah karya ilmiah yang berisi nama penulis,
judul tulisan, penerbit, identitas penerbit dan tahun terbit sebagai sumber atau
rujukan seorang penulis. 

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Stunting


Epidemiologi stunting masih tergolong tinggi secara global maupun di Indonesia. Hasil
riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 menyatakan bahwa masih ada 30,8% balita di
Indonesia yang berperawakan pendek. Stunting diperkirakan dialami oleh 21,9% balita
atau 149 juta anak balita di seluruh dunia pada tahun 2018. Di Asia Tenggara
diperkirakan sekitar 14,4 juta balita mengalami stunting. Walaupun jumlahnya menurun
dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun tetap masih tinggi. WHO menyatakan
bahwa prevalensi stunting di atas 20% merupakan masalah kesehatan masyarakat.

Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 menyatakan bahwa masih ada 30,8% balita
di Indonesia yang stunted/berperawakan pendek. Meskipun angka ini lebih rendah
dibandingkan tahun–tahun sebelumnya (Riskesdas 2013 balita pendek dan sangat
pendek sebesar 37,2%), namun jumlah ini masih sangat besar dan masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat.

Stunting bukan merupakan penyebab langsung kematian. Mortalitas stunting


berhubungan dengan penyakit penyertanya. Stunting meningkatkan morbiditas dan
mortalitas infeksi, terutama pneumonia dan diare, serta sepsis, tuberkulosis paru,
meningitis, dan hepatitis. Dari sebuah studi kohort yang dilakukan di Inggris,
ditemukan bahwa dari 3877 anak, sebanyak 391 orang meninggal pada usia 36-64
tahun. Anak yang pendek (short stature) memiliki mortalitas yang lebih besar 30-60
tahun kemudian (Semba, et al. 2015).

2.2 Definisi Stunting


Stunting adalah kondisi kegagalan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-
anak yang disebabkan oleh asupan energi jangka panjang yang tidak mencukupi dan

4
infeksi berulang dalam 1.000 hari pertama kehidupan. Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) mendefinisikan stunting dengan nilai z-score tinggi badan menurut usia
(TB/U) kurang dari -2 SD dari standar deviasi berdasarkan standar WHO. Malnutrisi
dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan yang tertunda serta
meningkatkan risiko infeksi dan kematian dini pada anak-anak. Efek jangka pendek
dari pengerdilan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan melambat, peluang
lebih tinggi untuk mendapatkan infeksi, dan kematian dini pada anak-anak. Anak-anak
yang terhambat akan memiliki risiko lebih tinggi menderita penyakit kronis dan, dalam
jangka panjang, dari perkembangan kognitif yang buruk. Indonesia sekarang
menghadapi banyak beban kekurangan gizi, dan pengerdilan telah menarik perhatian
pemerintah. Stunting dapat memengaruhi perkembangan anak tidak hanya dalam
jangka pendek tetapi juga dalam jangka panjang. Indonesia berada di tempat kelima di
dunia untuk anak-anak terhambat dan tempat kedua di Asia Tenggara setelah Laos
(TNPK, 2017).

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Prevalensi Stunting

Secara global, pada tahun 2010 prevalensi anak pendek sebesar 171 juta anak-
anak di mana 167 juta kejadian terjadi di negara berkembang. Prevalensi stunting pada
anak menurun dari 39,7% pada tahun 1990 menjadi 26,7% pada tahun 2010 . Tren ini
diperkirakan akan mencapai 21,8% atau 142 juta pada tahun 2020 (Onis et al, 2011).
Prevalensi stunting di Afrika mengalami stagnasi sejak tahun 1990 sekitar 40%,
sementara di Asia menunjukkan penurunan dramatis dari 49 % pada tahun 1990
menjadi 28% pada tahun 2010 (Onis et al, 2011). Penerapan Manajemen Terpadu
Balita Sakit di Bangladesh dapat menurunkan prevalensi stunting pada anak-anak yang

5
berusia 24-59 bulan dari 63,1% menjadi 50,4% (Unicef, 2013). Pengurangan stunting
juga telah didokumentasikan di beberapa negara di Amerika Selatan. Prevalensi
stunting di Brazil menurun dari 37 % pada tahun 1974-1975 menjadi 7 % pada tahun
2006-2007, dengan kata lain adanya pengurangan relatif rata-rata 5,2 % per tahun
selama 32 tahun (Unicef, 2013). Di Meksiko prevalensi stunting menurun dari 27%
pada tahun 1988 menjadi 16 % pada tahun 2006. Studi observasional di sembilan
negara Sub Sahara Afrika pada anak-anak pada anak-anak yang berusia dibawah dua
tahun menunjukkan bahwa prevalensi stunting turun 43% dalam tiga tahun
pelaksanaan program Scaling Up Nutrition (SUN) (Unicef, 2013).
Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) menunjukan bahwa terjadi penurunan
prevalensi stunting di Indonesia dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30,8% pada
tahun 2018 (Riskesdas, 2018). Prevalensi tertinggi berada di Nusa Tenggara Timur
(NTT) dan terendah di DKI Jakarta.
Berdasarkan kelompok umur pada balita, semakin bertambah umur prevalensi
stunting semakin meningkat. Prevalensi stunting paling tinggi pada usia 24-35 bulan
yaitu sebesar 42,0% dan menurun pada usia 36-47 bulan. Stunting lebih banyak terjadi
pada anak laki-laki (38,1%) dibandingkan dengan anak perempuan (36,2%). Daerah
perdesaan (42,1%) mempunyai prevalensi stunting yang lebih tinggi dibandingkan
daerah perkotaan (32,5%). Menurut tingkat kepemilikan atau ekonomi penduduk,
stunting lebih banyak terjadi pada mereka yang berada pada kuintil terbawah
(Riskesdas, 2013).
Prevalensi kejadian stunting lebih tinggi dibandingkan dengan permasalahan gizi
lainnya seperti gizi sangat kurus dan kurus (10,2%) serta kegemukan (8%) (Riskesdas,
2018). Dibandingkan dengan negara ASEAN, prevalensi stunting di Indonesia berada
pada kelompok high prevalence, sama halnya dengan negara Kamboja dan Myanmar
(Bloem et al, 2013). Dari 556 juta balita di negara berkembang 178 juta anak (32%)
bertubuh pendek dan 19 juta anak sangat kurus (<-3SD) dan 3.5 juta anak meninggal
setiap tahun (Black et al, 2008; Cobham, 2013)

6
3.2 Faktor penyebab Stunting

Masalah Gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait. Stranas
Stunting mengadopsi kerangka penyebab masalah gizi, yaitu “The Conceptual
Framework of the Determinants of Child Undernutrition”, “The Underlying Drivers of
Malnutrition”, dan “Faktor Penyebab Masalah Gizi Konteks Indonesia”. Menurut
UNICEF 2012 dalam (Bagus Pratama, eatall, 2019) Pada kerangka teori UNICEF
(1997) menyatakan bahwa penyebab dari terjadinya kondisi malnutrisi dikarenakan
oleh 3 penyebab utama, yaitu penyebab dasar (basic cause), penyebab yang mendasari
(underlying cause) dan penyebab langsung (immediate cause). Kondisi stunting
merupakan salah satu masalah gizi kronis yang menggunakan kerangka teori ini
sebagai acuan penyebab dari kondisi tersebut. Penyebab dasar (basic cause) adalah
kuantitas dan kualitas sumber daya potensial yang ada di masyarakat misalnya
manusia, pendidikan, ekonomi, lingkungan, organisasi, dan teknologi. Penyebab ini
ditemukan pada populasi yang cukup besar seperti negara, wilayah ataupun daerah.
Penyebab ini juga menjadi tolok ukur dan pengaruh terhadap penyebab lainnya. Faktor
yang menjadi penyebab yang mendasari (underlying cause) masalah kekurangan gizi
pada level keluarga adalah tidak cukup akses terhadap pangan dan pola konsumsi
makanan, pola asuh anak yang tidak memadai dan akses pelayanan kesehatan serta
sanitasi air bersih yang tidak memadai. Hal ini dikarenakan pengaruh dari penyebab
dasar di level masyarakat yang berdampak ke level yang lebih rendah (level keluarga).
Faktor di level keluarga yang berperan adalah pendidikan, jumlah anggota keluarga,
sosial dan ekonomi (status pekerjaan), lingkungan dan budaya, serta agama dan
kepercayaan orang tua. Penyebab langsung (immediate cause) adalah akumulasi dari
penyebab yang mendasari dan penyebab dasar yang berperan langsung terhadap
kejadian stunting. Penyebabnya adalah asupan makanan yang tidak adekuat dan status
infeksi dan kesehatan pada anak.
Pencegahan stunting menitikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi,
yaitu faktor yang berhubungan dengan ketahanan pangan khususnya akses terhadap

7
pangan bergizi (makanan), lingkungan sosial yang terkait dengan praktik pemberian
makanan bayi dan anak (pengasuhan), akses terhadap pelayanan kesehatan untuk
pencegahan dan pengobatan (kesehatan), serta kesehatan lingkungan yang meliputi
tersedianya sarana air bersih dan sanitasi (lingkungan). Keempat faktor tersebut secara
tidak langsung mempengaruhi asupan gizi dan status kesehatan ibu dan anak.
Intervensi terhadap keempat faktor tersebut diharapkan dapat mencegah malnutrisi,
baik kekurangan maupun kelebihan gizi (Kemenko PMK, 2018).
Terdapat dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi individu, yaitu
faktor makanan dan status kesehatan, keduanya saling mempengaruhi. Faktor
penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi prinsip
gizi seimbang. Faktor penyebab langsung kedua adalah status kesehatan yang terkait
dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan
(Kemenko Kesra, 2013).
Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak
memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu
beragam, sesuai kebutuhan, bersih, dan aman, misalnya bayi tidak memperoleh ASI
Eksklusif. Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan
dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare, cacingan dan penyakit
pernapasan akut (ISPA). Faktor ini banyak terkait mutu pelayanan kesehatan dasar
khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku hidup sehat. Kualitas
lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan air bersih, sarana sanitasi dan perilaku
hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban,
tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah dan sebagainya. Faktor lain yang juga
berpengaruh yaitu ketersediaan pangan di keluarga, khususnya pangan untuk bayi 0—6
bulan (ASI Eksklusif) dan 6—23 bulan (MP-ASI), dan pangan yang bergizi seimbang
khususnya bagi ibu hamil. Semuanya itu terkait pada kualitas pola asuh anak. Pola
asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan keluarga, dan pelayanan kesehatan,
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, dan akses informasi terutama tentang
gizi dan kesehatan (Kemenko Kesra, 2013).

8
Penyebab tidak langsung masalah stunting dipengaruhi oleh berbagai
faktor,meliputi pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi,
globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian,
dan pemberdayaan perempuan. Untuk mengatasi penyebab stunting, diperlukan
prasyarat pendukung yang mencakup: (a) Komitmen politik dan kebijakan untuk
pelaksanaan; (b) Keterlibatan pemerintah dan lintas sektor; dan (c) Kapasitas untuk
melaksanakan. Gambar 1-1 menunjukkan bahwa pencegahan stunting memerlukan
pendekatan yang menyeluruh, yang harus dimulai dari pemenuhan prasyarat
pendukung (Kemenko PMK, 2018).

3.3 Pencegahan dan Penanggulangan Stunting


a. Pencegahan Stunting
Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals
(SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu
menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta

9
mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka
stunting hingga 40% pada tahun 2025.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai
salah satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39
Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting
di antaranya sebagai berikut :
1. Ibu Hamil dan Bersalin
a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan
b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu
c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan
d. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan
mikronutrien (TKPM)
e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular)
f. Pemberantasan kecacingan
g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku KIA
h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
eksklusif
i. Penyuluhan dan pelayanan KB.
2. Balita
a. Pemantauan pertumbuhan balita
b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk
balita
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak
d. d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
3. Anak Usia Sekolah
a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS
c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS)
d. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba

10
4. Remaja
a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS),
pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba
b. Pendidikan kesehatan reproduksi.
5. Dewasa Muda
a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB)
b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular)
c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak
merokok/mengonsumsi narkoba.
b. Penanggulangan Stunting
Landasan kebijakan program pangan dan gizi dalam jangka panjang
dirumuskan dalam Undang-Undang No.17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. Pendekatan
multi sektor dalam pembangunan pangan dan gizi meliputi produksi,
pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan, dengan kandungan gizi yang
cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya. Dalam RPJMN tahap ke-2 periode
tahun 2010-2014, terdapat dua indikator outcome yang berkaitan dengan gizi yaitu
prevalensi kekurangan gizi (gizi kurang dan gizi buruk) sebesar <15 persen
dan prevalensi stunting (pendek) sebesar 32 persen pada akhir 2014. Sasaran
program gizi lebih difokuskan terhadap ibu hamil sampai anak usia 2 tahun
(Republik Indonesia, 2012).
Fokus Gerakan perbaikan gizi adalah kepada kelompok 1000 hari pertama
kehidupan, pada tataran global disebut dengan Scaling Up Nutrition (SUN) dan
di Indonesia disebut dengan Gerakan Nasional Sadar Gizi dalam Rangka
Percepatan Perbaikan Gizi Pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000
Hari Pertama Kehidupan dan disingkat Gerakan 1000 HPK). SUN movement
merupakan upaya global dari berbagai negara dalam rangka memperkuat
komitmen dan rencana aksi percepatan perbaikan gizi, khususnya penanganan

11
gizi sejak 1.000 hari dari masa kehamilan hingga anak usia 2 tahun (Republik
Indonesia, 2012).
Gerakan SUN merupakan upaya baru untuk menghilangkan kekurangan gizi
dalam segala bentuknya. Prinsip gerakan ini adalah semua orang memiliki hak atas
pangan dan gizi yang baik. Hal ini merupakan suatu yang unik karena melibatkan
berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda baik pemerintah, swasta, LSM,
ilmuwan, masyarakat sipil, dan PBB secara bersama-sama melakukan tindakan
kolektif untuk peningkatan gizi. Intervensi yang dilakukan pada SUN adalah
intervensi spesifik dan intervensi sensitif (Scaling Up Nutrition, 2013).
Intervensi efektif dibutuhkan untuk mengurangi stunting, defisiensi
mikronutrien, dan kematian anak . Jika diterapkan pada skala yang cukup maka
akan mengurangi (semua kematian anak) sekitar seperempat dalam jangka pendek.
Dari intervensi yang tersedia, konseling tentang pemberian ASI dan fortifikasi atau
suplementasi vitamin A dan seng memiliki potensi terbesar untuk mengurangi
beban morbiditas dan mortalitas anak. Peningkatan makanan pendamping ASI
melalui strategi seperti penyuluhan tentang gizi dan konseling gizi, suplemen
makanan di daerah rawan pangan secara substansial dapat mengurangi stunting dan
beban terkait penyakit. Intervensi untuk gizi ibu (suplemen folat besi, beberapa
mikronutrien, kalsium, dan energi dan protein yang seimbang) dapat mengurangi
risiko berat badan lahir rendah sebesar 16%. Direkomendasikan pemberian
mikronutrien untuk anak-anak seperti suplementasi vitamin A (dalam periode
neonatal dan akhir masa kanak-kanak), suplemen zinc, suplemen zat besi untuk
anak-anak di daerah malaria tidak endemik, dan promosi garam beryodium. Untuk
intervensi pengurangan stunting jangka panjang, harus dilengkapi dengan perbaikan
dalam faktor-faktor penentu gizi, seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah,
beban penyakit, dan kurangnya pemberdayaan perempuan (Bhutta, 2008).
Intervensi penanggulangan stunting juga difokuskan pada masyarakat
termiskin. Hal ini penting dilakukan untuk mencapai target yang diusulkan WHO.
Perhatian khusus diberikan kepada 36 negara high burden (Cobham, 2013).
Kebijakan gizi nasional dan organisasi internasional harus memastikan bahwa

12
kesenjangan yang terjadi ditangani dengan mengutamakan gizi di daerah pedesaan
dan kelompok-kelompok termiskin dalam masyarakat. Kebijakan yang mendukung
distribusi yang lebih adil dari pendapatan nasional, seperti kebijakan perlindungan
sosial, memainkan peranan penting dalam meningkatkan gizi (Cobham, 2013).
Intervensi lainnya dilakukan untuk penangulangan stunting ditekankan kepada
pemberian imunisasi, peningkatan pemberian ASI eksklusif dan akses makanan
yang kaya gizi di kalangan anak-anak yang diadopsi dan keluarga mereka melalui
intervensi gizi berbasis masyarakat (Bloss, 2004).
Intervensi yang dilakulan dalam rangka mempercepat pengurangan stunting
di Asia Tenggara adalah meningkatkan ketersediaan dan akses makanan bergizi
dengan melakukan kolaborasi antara swasta dan sektor publik. Asosiasi Negara-
negara Asia Tenggara ( ASEAN) dapat memainkan peran sebagai fasilitator. Sektor
swasta dapat memproduksi dan memasarkan makanan bergizi, sedangkan sektor
publik menetapkan standar, mempromosikan makanan sehat dan bergizi, dan
menjamin akses makanan bergizi untuk daerah termiskin, misalnya melalui
programprogram jaring pengaman sosial (Bloem, 2013).

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Stunting diperkirakan dialami oleh anak balita dengan persentase 21,9% atau 149
juta anak balita di seluruh dunia pada tahun 2018. Dari sebuah studi kohort yang
dilakukan di Inggris, ditemukan bahwa dari 3877 anak, terdapat sebanyak 391
orang yang meninggal pada usia 36-64 tahun. Anak yang pendek (short stature)
memiliki mortalitas yang relative lebih besar yaitu 30-60 tahun kemudian .
4.2 Saran (Belum)

13
DAFTAR PUSTAKA

Achadi, Endang L. 2015. Masalah Gizi di Indonesia dan Posisinya secara Global.
Diseminasi Global Nasional Report dalam Rangka Peningkatan Hari Gizi Nasional
2015. Jakarta, 9 Februari 2015
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2014. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Jakarta: Bappenas
Bagus Pratama, eatall. 2019. Immediate Cause Affects Stunting in Children, JIKSH Vol 10
No 2 Hal : 299 – 303
Kemenko Kesra. 2013. Kerangka kebijakan gerakan nasional percepatan perbaikan gizi
dalam rangka seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK). Jakarta : kementrian
perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. 2018. Strategi
Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting). Jakarta: TNP2K
Trihono, dkk. 2015. Pendek (stunting) di Indonesia, Masalah dan Solusinya. Badan
Penelitian dan pengembangan Kesehatan. Jakarta : 23-37.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2018.
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_20 18/Hasil
%20Riskesdas%202018.pdf – Diakses Agustus 2018.
Semba, R. D. et al. Malnutrition and Infectious Disease Morbidity among Children Missed
by The Childhood Immunization Program In Indonesia. 38, (2015).
TNPK. (2017). 100 kabupaten / kota prioritas untuk penanganan anak kerdil (stunting) (1st ed.).
Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

World Health Assembly (WHA), 2012. Comprehensive Implementation Plan On Maternal,


Infant And Young Child Nutrition, In: Sixty-fifth Geneva, 21–26 May 2012. Resolutions
and decisions, annexes tersedia di
http://www.who.int/nutrition/topics/WHA65.6_resolution_en.pdf?ua=1, diakses tanggal
13 Maret 2018
WHO. (2010). Nutrition landscape information system (NLIS) country profile indicators:
Interpretation guide. Geneva: World Health Organization.

14

Anda mungkin juga menyukai