Anda di halaman 1dari 221

DRAFT COASS – ANGKATAN 2012

EDISI 1 – 2015/2016
KONTRIBUTOR

TIM STASE IPD

Supervisi:
Iva Reina, dr

Koordinator:
Try A Mirza, S.Ked

Ketua:
Robbani Istiqomah, S.Ked

Anggota:
Of Prengki, S.Ked, Deby Johor, S.Ked, Nur Rahmi, S.Ked, Ghita
Fazagania, S.Ked
Fitria Dewi, Nadia Ingridara, Ridho Grahadinta, Rina Permatasari,
Tammy Herliani
STASE ILMU PENYAKIT DALAM
A. IDK (MATERI YANG DIPRIORITASKAN) DAN MATERI YANG TELAH DIBAHAS

No Sistem Penyakit Pembahasan

1 Endokrin Diabetes Mellitus type 2 Langkah Diagnosis

Pilar tatalaksana DM

Rumus Brocca

Algoritma pengelolaan DM
perkeni

Obat-obatan DM

Komplikasi DM (akut,
kronis)

Kriteria Pengendalian DM

Ketoasidosis Diabetik (KAD) Diagnosis

Hipoglikemi Definisi

Etiologi

Gejala klinis

Tata laksana

HONK Diagnosis

Kaki Diabetes Klasifikasi

Sindrom Metabolik Diagnosis

Kriteria WHO

Tiroid Hipertiroid dan Hipotiroid


(Gejala Klinis dan
Pengobatan)
2 Rheumatologi dan Gout athritis All about
Immunologi
Rheumatoid athritis All about

Osteoathritis All about

SLE Definisi-Diagnosis-Foto
gambaran klinis

HIV Stadium I-IV

Tatalaksana obat (cukup


tau)

3 Kardiologi EKG

ACS Tabel/ bagan perjalanan


penyakit

STEMI-NON STEMI Gejala Klinis

Tata Laksana

Klasifikasi NYHA, AHA

Kriteria Framingham

4 Pulmonologi Asma bronkial Diagnosis

Klasifikasi

Tatalaksana

Obat-obatan asma

PPOK Definisi

Gejala Klinis

Tuberkulosis All about


Efusi pleura Diagnosis

Tatalaksana

5 Ginjal dan Saluran Kemih Hipertensi Klasifikasi

Tatalaksana

Obat anti hipertensi

Krisis Hipertensi Definisi

Klasifikasi

Tatalaksana

Acute Kidney Injury All about

Gangguan asam basa

Chronic Kidney disease All about

Infeksi saluran kemih Klasifikasi

Terapi

6 Gastroenterohepatologi Dispepsia Definisi

Klasifikasi

Tatalaksana

Ulkus Peptikum Klasifikasi

Tatalaksana

Sirosis Hepatis All about- klasifikasi child-


turcotte pugh

Derajat encephalopathy

Gambar siklus vena porta


Klasifikasi ikterus; pre-
hepatik-post

Hepatitis A dan B Interpretasi lab

Tata Laksana

Abses Hepar Tabel

Obat-obatan saluran cerna


dan sistem hepatik

7 Infeksi Tropis DHF All about

Demam tifoid All about

Leptospirosis Definisi

Etiologi

Obat

Malaria All about

Cacing Gambaran cacing


(morfologi)

Diagnosis

Tatalaksana

Jenis cacing

Filariasis Diagnosis

Tata Laksana

8 Golongan Antibiotik
Anjuran Referensi:
- Harrison Internal Medicine
- Buku IPD FK UI

ENDOKRIN

Diabetes Melitus Tipe 2

Definisi

Diabetes mellitus: Gangguan metabolisme yang
genetik dan klinis termasuk heterogen


dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, jika telah berkembang penuh
secara klinis maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial,
aterosklerosis dan penyakit vaskular mikroangiopati.

Diabetes Mellitus Tipe 2:

- Penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin


mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap
dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap
sebagai non insulin dependent diabetes mellitus.
- Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan
atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).

Diagnosis

Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200
mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam
setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali
abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia
dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun
cepat .

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM
(usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus
berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250
mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral
(TTGO) standar.

Kriteria Diagnostika DM untuk pasien dewasa tidak hamil

- Gejala klasik DM+GDS ≥200 mg/dL (11,1 mol/L)

- Gejala klasik DM+GDP ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)

- Kadar gula lasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dL (11,1 mmol/L

- Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%)

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM bergantung pada hasl
yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

- TGT diagnosa TGT bila pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam
setelah beban antara 140-199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L)

- GDPT GDP 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) dan TTGO gula darah 2 jam <140
mg/dL

Penatalaksanaan diabetes melitus


Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima sesuai dengan Konsensus
Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
DM.

Tujuan Penatalaksanaan DM adalah :

Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah.

Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,


makroangiopati dan neuropati.

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk mencapai
tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan
dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan
mandiri dan perubahan perilaku.

1. Diet

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing- masing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah
makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk menentukan status gizi,
dihitung dengan BMI (Body Mass Indeks). Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index
(BMI) merupupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Untuk
mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus
berikut:

IMT = BERAT BADAN (KG) / TINGGI BADAN (M)

2. Exercise (latihan fisik/olahraga)

Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit,
yang sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance
(CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh adalah olah raga
ringan jalan kaki biasa selama 30 menit.

Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.

3. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan.


Pendidikan kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok
masyarakat resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada
kelompok pasien DM. Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier
diberikan kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit menahun. 


4. Obat : oral hipoglikemik, insulin 


Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi tidak berhasil
mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik

Obat – Obat Diabetes Melitus

a. Antidiabetik oral
Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan kadar


gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan menghilangkan
gejala,optimalisasi parameter metabolik, dan mengontrol berat badan. Bagi pasien DM
tipe 1 penggunaan insulin adalah terapi utama. Indikasi antidiabetik oral terutama
ditujukan untuk penanganan

pasien DM tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal dikendalikan dengan pengaturan
asupan energi dan karbohidrat serta olah raga. Obat golongan ini ditambahkan bila setelah
4-8 minggu upaya diet dan olah raga dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200 mg%
dan HbA1c di atas 8%. Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet, melainkan
membantunya. Pemilihan obat antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan
keberhasilan terapi diabetes. Pemilihan terapi menggunakan antidiabetik oral dapat
dilakukan dengan satu jenis obat atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen
antidiabetik oral yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit
DM serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan
komplikasi yang ada. Dalam hal ini obat hipoglikemik oral adalah termasuk golongan
sulfonilurea, biguanid, inhibitor alfa glukosidase dan insulin sensitizing.

b. Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia.
Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan
dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut. Untuk
pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian hipoglikemik oral, kombinasi
insulin dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan
sementara, misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk,
penggantian insulin total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang
mempengaruhi metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi
insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar
jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan
glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi
pembentukan protein dan lemak dari glukosa.

Komplikasi diabetes melitus

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan kronis.
Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut

- Hipoglikemia, adalah kadar glukosa 
darah seseorang di bawahnilai normal (< 50 mg/dl).
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per
minggu, Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat
pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. 


- Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba,
dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain
ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis. 


- Penyakit jantung koroner (PJK),

gagal jantung kongetif, dan stroke. - Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler


terutama terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati
(kebutaan), neuropati, dan amputasi

Ketoasidosis Diabetik

Diagnosis ketoasidosis diabetik

Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas,
status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini
harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan
sehingga penatalaksaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.

Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa hari,
perubahan metabolic yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka waktu pendek
(<24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih
akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya.
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat polyuria, polydipsia, dan polifagia, penurunan
berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya
koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul,
takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD
menjadi muntah-muntah yang tampak seperti kopi. Perhatian lebih harus diberikan untuk
pasien dengan hipotermia karena menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demekian
pula pasien dengan abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah
indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut diperlukan
jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan asidosis metabolic
Referensi: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe-2 di Indonesia PERKENI, 2011

Hipoglikemia

Definisi

Kadar glukosa darah di bawah normal.

Etiologi

Peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah penyuntikan insulin subkutan
atau karena obat yang meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonylurea. Pasien rentan
terhadap hipoglikemia sekitar 2 jam sesudah makan sampai waktu makan yang berikutnya.
Oleh sebab itu waktu dimana risiko hipoglikemia paling tinggi adalah saat menjelang
makan berikutnya dan malam hari.

Faktor yang merupakan predisposisi atau mempresipitasi hipoglikemia:

1. Kadar insulin berlebihan


 Dosis berlebihan: kesalahan dokter, farmasi, pasien; ketidak sesuaian
dengan kebutuhan pasien atau gaya hidup; deliverate overdose (factitious
hipoglikemia).

 Peningkatan bioavailabilitas insulin: absorbs yang lebih cepat (aktivitas


jasmani, suntik di perut, perubahan ke human insulin; antibody insulin;
gagal ginjal (clearance insulin berkurang); ‘honeymoon’ periode

2. Peningkatan sensitivitas insulin

 Defisiensi hormone counter-regulatory: penyakit Addison;


hipopituitarisme;

 Penurunan berat badan

 Latihan jasmani, postpartum; variasi siklus menstruasi

3. Asupan karbohidrat kurang

 Makan tertunda atau lupa, porsi makan kurang

 Diet slimming, anorexia nervosa

 Muntah, gastroparesis

 Menyusui

4. Lain-lain

 Absorpsi yang cepat, pemulihan glikogen otot

 Alkohol, obat (salisilat, sufonamid meningkatkan kerja sulfonylurea;


penyakit β non-selektif; pentamidin)

Gejala klinis

Otonomik Neuroglikopenik Malaise

Berkeringat Mual
Bingung (confusion)
Jantung berdebar Sakit kepala
Mengantuk
Tremor
Sulit berbicara
Lapar
Inkoordinasi
Perilaku yang berbeda

Gangguan visual

Parestesi

Tata laksana

Glukosa oral

10-20 g glukosa oral dalam bentuk tablet, jelly, atau 150-200 ml minuman yang
mengandung glukosa seperti jus buah segar dan nondiet cola. Bila belum ada jadwal
makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20 g karbohidrat kompleks. Bila pasien
mengalami kesulitan menelan dan keadaan tidak terlalu gawat, pemberian madu atau gel
glukosa lewat mukosa rongga mulut dapat dicoba.

Glukagon intramuscular

Glukagon 1 mg intramuscular, hasilnya akan tampak dalam 10 menit. Bila pasien sudah
sadar pemberian glucagon diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 g dan dilanjutkan
dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan
pemulihan.

Glukosa intravena

Harus berhati-hati. Pemberian dengan konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan
75-100 ml glukosa 20% atau 150-200 ml glukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasasi
glukosa 50% dapat menimbulkan nekrosis yang memerlukan amputasi.

HONK

Diagnosis

Keluhan pasien ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula
ditemukan mual dan muntah, namun lebih jarang dibandingkan dengan KAD (keto asidosis
diabetic). Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi,
hemiparesis, kejang / koma.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk,
mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi
yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu
tinggi.

Secara klinis HHNK (koma hyperosmolar hiperglikemik non ketotik) akan sulit dibedakan
dengan KAD terutama bila hasil laboratorium seperti kadar glukosa darah, keton, dan
analisis gas darah belum ada hasilnya.

Perbandingan KAD dengan HHNK:

KAD
Variabel HHNK
Ringan Sedang Berat

Kadar Glukosa
> 250 > 250 > 250 > 600
Plasma (mg/dl)

Kadar pH arteri 7,25 – 7,30 7,00 - 7,24 < 7,00 > 7,30

Kadar
Bikarbonat 15 - 18 10 - < 15 <10 > 15
Serum (mEq/L)

Keton pada
Urine atau Positif Positif Positif Sedikit/negative
Serum

Osmolaritas
Serum Efektif Bervariasi Bervariasi Bervariasi > 320
(mOsm/kg)

Anion gap > 10 > 12 > 12 Bervariasi

Kesadaran Sadar Sadar, drowsy Stupor, koma Stupor, koma

Berikut gejala dan tanda:

 Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun, semakin muda
semakin berkurang, dan pada anak belum pernah ditemukan.

 Hampir separuh pasien tidak memiliki riwayat DM atau DM tanpa insulin.


 Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap penyakit ginjal
atau kardiovaskular, pernah ditemukan penyakit akromegali, tirotoksikosis, dan
penyakit Cushing.

 Sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain tiazid, furosemide, manitol,


digitalis, reserpine, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin, simetidin, dan
haloperidol (neuroleptic).

 Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardiovaskular, aritmia,


pendarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatic dan
operasi.

Kaki Diabetes

Klasifikasi

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari yang sederhana seperti klasifikasi
Edmonds dari King’s College Hospital London, Klasifikasi Liverpool yang sedikit lebih ruwet,
sampai klasifikasi Wagner yang lebih terkait dengan pengelolaan kaki diabetes, dan juga
klasifikasi Texas yang lebih kompleks tetapi juga lebih mengacu kepada pengelolaan kaki
diabetes. Suatu klasifikasi mutakhir dianjurkan oleh International Working Group on
Diabetic Foot (Klasifikasi PEDIS 2003).

Klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes (Edmonds 2004-2005):

 Stage 1: Normal Foot


 Stage 2: High Risk Foot
 Stage 3: Ulcerated Foot
 Stage 4: Infected Foot
 Stage 5: Necrotic Foot
 Stage 6: Unsalvable Foot

Untuk stage 1 dan 2, peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya dapat
dikerjakan pada pelayanan kesehatan primer, baik oleh podiatrist/chiropodist maupun
oleh dokter umum/dokter keluarga.

Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan perawatan di tingkat pelayanan


kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik.
Untuk stage 5 dan 6, jelas merupakan kasus rawat inap, dan memerlukan suatu kerja sama
tim yang sangat erat, di mana harus ada dokter bedah, utamanya dokter ahli bedah
vascular/ahli bedah plastic dan rekonstruksi.

Klasifikasi Texas:

Tingkat
Stadium
0 1 2 3

Tanpa tukak Luka superficial, Luka sampai Luka sampai


atau pasca tidak sampai tendon atau tulang atau
A tukak, kulit tendon atau kapsul sendi sendi
intak/utuh kapsul sendi
tulang

B Dengan infeksi

C Dengan iskemia

D Dengan infeksi dan iskemia

Klasifikasi PEDIS International Consensus on the Diabetic Foot 2003:

Impaired Perfusion 1 = None

2 = PAD + but not critical

3 = Critical limb ischemia

Size/Extent in mm2

Tissue Loss/Depth 1 = Superficial fullthickness, not deeper than dermis

2 = Deep ulcer, below dermis, involving subcutaneous


structures, fascia, muscle, or tendon

3 = All subsequent layers of the foot involved


including bone and or joint

Infection 1 = No symptoms or signs of infection


2 = Infection of skin and subcutaneous tissue only

3 = Erythema > 2 cm or infection involving


subcutaneous structure(s)

No systemic sign(s) of inflammatory response

4 = Infection with systemic manifestation:

Fever, leucocytosis, shift to the left

Metabolic instability

Hypotension, azotemia

Impaired Sensation 1 = Absent

2 = Present

Klasifikasi Wagner (klasifikasi yang saat ini masih banyak dipakai):

0. Kulit intak/utuh

1. Tukak superficial

2. Tukak dalam (sampai tendon, tulang)

3. Tukak dalam dengan infeksi

4. Tukak dengan gangrene pada 1-2 jari kaki

5. Tukak dengan gangrene luas seluruh kaki

Klasifikasi Liverpool:

Klasifikasi primer :- Vaskuler

- Neuropati

- Neuroiskemik

Klasifikasi sekunder :- Tukak sederhana, tanpa komplikasi

- Tukak dengan komplikasi


Sindrom Metabolik

Diagnosis & Kriteria WHO

The American Heart Association and National Heart, Lung, and Blood Institute, pada tahun
2005 mempublikasikan kriteria diagnosis baru sesuai dengan kriteria dari NCEP ATP III,
namun dengan beberapa modifikasi. Kriteria sindrom metabolic sebagai berikut:
peningkatan kadar trigliserid (>150 mg/dl), penurunan kadar kolesterol HDL (<40 mg/dl
pada pria, <50 mg/dl pada wanita), peningkatan tekanan darah (>130/85 mm Hg), dan
peningkatan glukosa darah puasa (>100 mg/dl), tanpa mengikutsertakan kriteria obesitas
jika kriteria lainnya telah ada.

Kriteria WHO-1999

Unsur Sindrom Metabolik WHO

Dalam pengobatan antihipertensi dan/atau TD >140/90


Hipertensi
mmHg

Plasma TG >150 mg/dL dan/atau HDL-C L <35 mg/dL, P


Dislipidemia
<40 mg/dL

IMT >30 kg/m2 dan/atau rasio perut-pinggul L >0,90, P


Obesitas
>0,85

Gangguan Metabolisme DM tipe 2 atau TGT


Glukosa

Lain-lain Mikroalbuminuria >20 µg/menit (30 mg/g Cr)

DM tipe 2 atau TGT dan 2 kriteria di atas. Jika toleransi


Kriteria Diagnosis
glukosa normal, diperlukan 3 kriteria

Tiroid

Hipotiroid (Gejala Klinis+Pengobatan)

Dapat dibedakan menjadi 2 kelompok: yang bersifat umum karena kekurangan hormone
tiroid di jaringan, dan yang spesifik disebabkan karena penyakit dasarnya.

Keluhan utama yaitu kurang energi, manifestasinya sebagai lesu, lamban bicara, mudah
lupa, obstipasi. Metabolisme rendah menyebabkan bradikardia, tak tahan dingin, berat
badan naik dan anoreksia. Psikologis: depresi, meskipun nervositas dan agitasi dapat
terjadi. Reproduksi: oligomenorea, infertile, aterosklerosis meningkat.

Keluhan dan tanda klinik pada hipotiroidisme dari satu seri kasus:

Keluhan Rel % Keluhan Rel %

Rasa capek 99 Obstipasi 58

Intoleransi terhadap dingin 92 Edema ekstremitas 56

Kulit terasa dingin 88 Kesemutan 56

Lamban 88 Rambut rontok 49

Muka seperti bengkak 88 Pendengaran kurang 45

Rambut alis mata lateral Anoreksia


81 43
rontok

Rambut rapuh 76 Nervositas 43

Bicara lamban 74 Kuku mudah patah 41

Berat meningkat 68 Nyeri otot 36

Mudah lupa 68 Menorrhagia 33

Dispnea 64 Nyeri sendi 29

Suara serak 64 Angina pectoris 21

Otot lembek 61 Dysmenorrhoea 18

Depresi 60 Eksoftalmos 11

Keluhan Rel % Keluhan Rel %

Kulit kering 88 Suara serak 64

Gerak lamban 88 Kulit pucat 63

Edema wajah 88 Otot lembek, kurang kuat 61

Kulit dingin 82 Obesitas 59


Alis lateral rontok 81 Edema perifer 56

Rambut rapuh 76 Eksoftalmos 11

Fase relaksasi reflex achilles Bradikardia


76 ?
menurun

Bicara lamban 7 Suhu rendah ?

Lidah tebal

Tersedia L-tiroksin (T4), L-triodotironin (T3), maupun pulvus tiroid. Pulvus tak digunakan lagi
karena efeknya sulit diramalkan. T3 tidak digunakan sebagai substitusi karena waktu
paruhnya pendek hingga perlu diberikan beberapa kali sehari. Obat oral terbaik ialah T4.
Tiroksin dianjurkan diminum pagi hari dalam keadaan perut kosong dan tidak bersama
bahan lain. Dosis rerata substitusi L-T4 ialah 112 ug/hari atau 1,6 ug/kgBB atau 100-125 mg
sehari. Untuk L-T3 25-50 ug. Kadar TSH awal seringkali dapat digunakan patokan dosis
pengganti: TSH 20 uU/ml butuh 50-75 ug tiroksin sehari, TSH 44-75 uU/ml butuh 100-150
ug. Sebagian besar kasus butuhkan 100-200 ug L-T4 sehari.

Hipertiroid (Gejala Klinis+Pengobatan)

Sistem Sistem Gejala dan Tanda Gejala dan Tanda

Umum Psikis dan saraf Tak tahan hawa Labil, iritabel,


panas hiperkinesis, tremor, psikosis,
capek, BB turun, nervositas, paralisis
tumbuh cepat, periodik
toleransi obat,
youthfullness

Gastrointestinal Jantung Hiperdefekasi, lapar, Hipertensi, aritmia,


makan banyak, haus, palpitasi, gagal
muntah, disfagia, jantung
splenomegali

Muskular Darah dan limfatik Rasa lemah Limfositosis, anemia,


splenomegali, leher
membesar

Genitourinaria Skelet Oligomenorea, Osteoporosis,


amenorea, libido epifisis cepat
turun, infertile, menutup dan nyeri
ginekomastia tulang

Kulit Rambut rontok,


berkeringat, kulit
basah, silky hair, dan
onikolisis

Spesifik untuk penyakit Graves ditambah dengan:

Optalmopati (50%) edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, visus menurun, ulkus
kornea.

Dermopati (0,5-4%)

Akropati (1%)

Prinsip pengobatan tergantung dari etiologic tirotoksikosis, usia pasien, riwayat alamiah
penyakit, tersedianya modalitas pengobatan, situasi pasien (misalnya apakah ia ingin
punya anak dalam waktu singkat?), risiko pengobatan, dsb.

Tirostatika (OAT – obat anti tiroid)

Terpenting adalah kelompok derivate tiomidazol (CBZ, karbimazol 5 mg, MTZ, metimazol
atau tiamazol 5, 10, 30 mg) dan derivate tiourasil (PTU propiltiourasil 50, 100 mg). Dosis
dimulai dengan 30 mg CMZ, 30 mg MTZ atau 400 mg PTU sehari dalam dosis terbagi.
Biasanya dalam 4-6 minggu tercapai eutiroidisme. Kemudian dosis dititrasi sesuai respons
klinis. Lama pengobatan 1-1,5 tahun, kemudian dihentikan untuk melihat apakah terjadi
remisi.

Tiroidektomi

Operasi baru dikerjakan kalau keadaan pasien eutiroid. Plumerisasi diberikan 3 kali 5 tetes
solusio lugol fortiori 7-10 jam preoperative, dengan maksud menginduksi involusi dan
mengurangi vaskularitas tiroid. Operasi dilakukan dengan tiroidektomi subtotal dupleks
mensisakan jaringan seujung ibu jari, atau lobektomi total termasuk ismus dan
tiroidektomi subtotal lobus lain.

Yodium radioaktif
Dosis RAI berbeda: ada yang bertahap untuk membuat eutiroid tanpa hipotiroidisme, ada
yang langsung dengan dosis besar untuk mencapai hipotiroidisme kemudian ditambah
tiroksin sebagai substitusi. Meski radioterapi berhasil, perlu dipantau efek jangka
panjangnya yaitu hipotiroidisme. Satu-satunya kontra indikasi adalah graviditas.

Referensi:

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Rheumatologi dan Immunologi

Reumathoid arthritis

Definisi

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit kronis multisystem yang penyebabnya masih
tidak diketahui. RA mempunyai banyak manifestasi tetapi terdapat manifestasi yang sering
muncul yaitu persistent inflammatorysynovitis, yangbiasanya disendi peripherdan simetris.

Epidemiologi

 Prevalensinya1%populasi, 80%pasien usia35-50 tahun.


 Perempuan 3x lebihsering daripadalaki-laki.
 Prevalensi meningkat sesuai bertambahnya usia. (perbedaan jeniskelamin
hilangpada kelompokusiayang lebihtua)
 Insidensi pada wanita usia 60-64 tahun 6x lipat disbanding wanitausia18-29 tahun.
 Adanya factorpredisposisi :
genetic adanyahubungan dengan produk MHCkelas II - HLA-DR4.lingkungan yang
mempengaruhi.

ETIOLOGY

- Masih belum diketahui, kemungkinan merupakan manifestasi respon terhadap


suatu agen inflamasi pada pejamu yang secara genetisrentan telah diperkirakan.
- Co agen : mycoplasma, Epstein BarrVirus, CMV, parvovirus& rubella.
- Kemungkinan adanya infeksi menetap di struktur sendi atau retensi produk
mikroba di dalam jaringan sinovium yang mencetuskan respon peradangan kronik.
- Dapat juga, mikroorganisme / respon terhadap mikroorganisme mencetuskan
suatu respon imun terhadap komponen sendi dengan mengubah integritasnya
serta menyebabkan peptida antigenic terpapar.
- Kemungkinan lain, mikroorganisme penginfeksi menyebabkan pejamu peka
terhadap determinan reaksi silang yang diekspresikan oleh struktur sendi akibat
adanya mimikri molecular.
- Mekanisme lain → terganggunya toleransi diri normal yang menimbulkan
reaktivitas terhadap antigen diri di dalam sendi, mis : kolagen tipe II / hilangnya
mekanisme kontrol imunoregulatorik yang menyebabkan pengaktifan sel T
poliklonal.
PATHOGENESIS & PATHOPHYSIOLOGY

Secara rinci, patomekanisme kasus RA belum diketahui, namun diyakini bahwa RA di


perantarai karena adanya kerentanan immunogenetik pada sel host yang diserang oleh
arthritogenic microbial antigen.Adanya aktivasi dari CD4+ helper T cell menyebabkan
terjadinya pelepasan mediator dan cytokines yang menyebabkan hancurnya
persendian. Hal tersebut dapat dijelaskan ke dalam 4 patomekanisme utama yaitu :

a. Genetic susceptibility

Dipercaya bahwa gangguan genetis ini memegang peranan utama dalam kasus RA
dengan persentasi sekitar 65%-80% dari kasus.

 Adanya produk yang dihasilkan dari adanya alel HLA-DR1/DR4 atau keduanya
pada rantai  MHC class II. Dengan adanya HLA-DR1 tersebut dapat
mempengaruhi peptide binding dan mengaktifkan T-cell sehingga dengan
sendirinya akan berikata dengan T-cell reseptor.
b. Microbial agent

Agen-agen yang biasanya berperan sebagai inisiasi dari penyakit ini, agen yang
terakhir kali diketahui peranannya dalam RA adalah Eipsten Barr virus, selain itu
terdapat agen-agen lain yang diyakini mempunyai peranan dalam terjadinya RA,
diantaranya : Retrovirus, Parvovirus, mycobacteria dan mycoplasma. EBV dapat
melakukan cross-linked kedalam colagen type II yang ada pada cartilage sendi
synovial, sementara EBV tersebut mempunyai homologous HLA-DR yang juga
dimiliki oleh colagen type II. Jadi pada saat tubuh akan menyerang EBV tersebut
colagen type II berperan sebagai mimic antigen yang juga akan ikut diserang oleh
sistem pertahanan tubuh karena tubuh tidakmlagi mampu untuk mmbedakan
antara self dan non-self.

c. Autoimmunity

 Dengan adanya agen eksogen, maka terjadi proses autoimmunity yang


utamanya diperantarai oleh T cell.
 Antigen yang berperannya belum diketahui secara pasti, tapi selain adanya
crosslinked EBV pada colagen type II (homologous antigen HLA-DR) ada juga
bukti bahwa human cartilage glycoprotein 39merupakan autoantigen.
 Protein ini adalah produk dari hyaline cartilage chondrocyte yang mana terlihat
berikatan dengan DR4 peptides yang membuat adanya aktivasi dari T cell.
 80% dari Rheumatoid arthritis terdapat autoantibodies pada Fc portion dari
IgG autologous (rheumatoid factor) yang kebanyakan adalah IgM
 Adanya Ra-Ig ini membentuk kompeks imun yang menyebabkan ekstracelullar
manifestations.
 RF akan terlokalisir pada kartilago yang mengalami inflamasi, mengaktifkan
komplemen, dan membuat adanya reaksi augumentasi synovial →
memperparah kerusakan kartilago.

Clinical Manifestation

a. Onset: biasanya usia20-40 tahun


b. Articular manifest
- Morning stiffness & joint pain
- Inflamasi pada persendian (bengkak, hangat, eritema dan nyeritekan)
- Arthritis yang simetris melibatkan sendi-sendi yang kecil dari tangan dan kaki.
- Keterlibatan selanjutnya (walaupun pada beberapa pasien, persendian besar
adalah tempat yang dominan terserang) sendi-sendi besar (lutut, paha, siku,
pergelangan kaki, dan bahu).
- Deformitasdari tangan :
o Ulnardeviation offinger
o Boutonniere deformity flexion of the proximal interphalanges joints
and hyperextension of distal inrterphalange joints, resulting from
vollar slippage of the lateral bands of the superficial extensortendons.
o Swan neck hyperextension of the proximal
interphalangesjointsresulting from contracture of intrinsicmuscles
ofhands.
c. Extraarticular manifestation
- 20%-25% (ussualy severe disease) terjadi subcutaneous/ subpriosteal
nodules (rheumatoid nodules)
- Rheumatoid nodules nekrosis fibroid yang memiliki zona central yang
berbentuk irregular dikelilingi mononuclear besar dengan zona eksternal
granulasinya berisi plasma cell dan lymphosit.
- Rheumatoid nodules dapat juga ditemukan pada myocardium,
pericardium, heart valve, pleura, lungs, sclera, duramatter, spleen,larynx,
& synovialtissue.

Lab finding

 Anemia : Normochromic & normocytic


 Thrombocytosis
 ESR ↑
 Synovial fluid more inflammatory than seen in degenerative osteoerthritis.
 WBC → 5000-20.000/ L dan predominance of neutrophil (kadang sampai
50.000/ L)
 Rheumatoid pleural exudate → 5000 mononuclear atau polynuclear leukocyte
per microliter.
 Kadar protein synovial fluid melebihi 3g/dL
 Kadar glukosa synovial fluid berkurang sampai di bawah 20mg/dL
 Rheumatoid dapat juga terdeteksi
 Kadar kompemen darah biasanya menurun.

Immunologic diagnosis

80% kasus → Rf (+) including complicated with rheumatoid nodules/ other manifest
(not spesific). Dan Rf ini dapat juga ada pada orang normal. Pada kebanyakan pasien
hasil tes ANA menunjukan hasil tes positive dan komplemen biasanya normal.
Ditemukan cryoglobulin pada pasien dengan rheumatoid vasculitis.

DIAGNOSIS

Kriteria revisi tahun 1987 untuk klasifikasi Arthritis Rematoid :


1. Petunjukuntukklasifikasi :
a. Diperlukan 4 dari 7 kriteria untuk mengklasifikasikan pasien sebagai penderita
Arthritis Rematoid.
b. Pasien dengan 2 / lebih diagnosis klinis tidak disingkirkan.
2) Kriteria :
a. Kekauanpagihari.
Kekauan di dan pada struktur sendi yang menetap 1 jam sebelum perbaikan
maksimal.
b. Arthritis pada 3 / lebihsendi.
Paling sedikit 3 daerah sendi → memperlihatkan pembengkakan jaringan lunak /
efusi sendi, tidak hanya pertumbuhan berlebih tulang. 14 daerah sendi yang
mungkin terkena : sendi antar phalang proksimal, metakarpophalang, pergelangan
tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, metatarsophalang.
c. Arthritis padasendi-senditangan.
Arthritis pada pergelangan tangan, sendi metakarpophalang / antarphalang
proksimal.
d. Arthritis Simetrik → keterlibatan simultan daerah sendi yang sama pada ke2 sisi
tubuh.
e. NodusRematoid.
Nodus subkutis diatas tonjolan tulang, permukaan ekstensor / daerah justa
artikularis.
f. Faktorrematoid serum.
Pembuktianjumlah abnormal factor rematoid serum olehmetodeapapun,
dimanamemberihasil (+) pada< 5% subyekkontrol normal.
g. Perubahanradiografik.
Khas Arthritis Rematoid pada pergelangan tangan & posteroanterior yang
mencakup erosi / dekalsifikasi tulang yang jelas & terletak di sendi yang terkena /
sekitarnya.
Kriteria a-d → harus terdapat paling sedikit 6 minggu.
Kriteria b-e → harus diamati oleh dokter.
Differential Diagnosis

- SLE
- Arthritis Psoriatik.
- Kostokondritik.
- Hepatitis Kronik

Management

- Prinsipumum :
1. Menghilangkannyeri.
2. Mengurangiperadangan / imunologik.
3. Mempertahankankapasitasfungsional.
4. Resolusi proses etiopatogenik.
5. Mempercepatpenyembuhan.
- Hanya bersifat paliatif ( karena etiologi tidak diketahui, petogenesis masih spekulatif,
mekanisme banyak obat belum diketahui pasti ).
- Terapifisik :
1. Istirhahat.
2. Pembidaian → menurunkan pergerakan sendi yang meradang untuk mengurangi
nyeri.
3. Olah raga → mempertahankan kekuatan otot & mobilitas sendi.
- Penatalaksanaan medis Arthritis Rematoid terdiri dari 3 pendekatan umum :
1. Penggunaan aspirin & obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) lain, analgesik
sederhana, bila perlu glukokortikoid dosis rendah → untuk mengontrol gejala &
tanda proses peradangan local.
2. Obat-obat antirematik → supaya penyakit bekerja lambat, menahan kadar rekatan
fase akut.
Obat-obtaimunosupresif&sitotoksik → menghilangkan proses penyakit.
3. Penggunaansejumlahmodalitaseksperimental
Co :iradiasilimfosit total, limpoplasmaferesis,
pemberianobatimunosupresifsiklosporin, pemberian antibody monoclonal
terhadapsel T & subset sel T.
Tapibelumterbuktiaman& cost-effective biladiberikandalamjangkapanjang.
- Asam lemak omega 6 dalam makanan & omega 3, seperti dalam minyak ikan →
memberikan perbaikan simtomatik (baru!).
- Pendekatannontradisional :
1. Diet
2. Ekstraktumbuhan&hewan.
3. Vaksin
4. Hormon.
5. Berbagaipreparat topical.
Complication

 Anemia
 Kanker
 Komplikasi cardiac
 Cervical spinedisease

Prognosis

 Sekitar 40% pasien dengan penyakit ini menjadi cacat setelah 10 tahun, tetapi
hasilyangsangat bervariasi.
 Beberapa pasien mengalami penyakit yang relatif self- limited, sedangkan yang lain
memiliki penyakit kronis progresif.

GOUT ARTHRITIS

1. Definisi :
Kumpulan gejala yang disebabkan oleh respon inflamasi terhadap produksi asam
uric di darah yang tinggi (hiperuricemia) dan cairan tubuh lain termasuk cairan
synovial.
2. Epidemiologi :
 Jarang pada anak-anak dan wanita premenopause
 Jarang pada laki-laki <30 tahun
 Puncak terjadi pada usia 40-50 tahun
 Resiko perempuan dan laki-laki sama besar
3. Etiologi :
 Gangguan metabolisme purin akibat mutasi gen X-linked yang menyebabkan
hiperuricemia.
 Gangguan ekskresi ginjal.
 Konsumsi alkohol yang meningkat.
 Obesitas.
 Obat-obatan : thiazides
4. Tanda dan gejala :
 Sakit yang sangat (50% di metatarsophalangeal joint di ibu jari kaki, sedangkan
50% lainnya di tumit, pergelangan tangan atau kaki, jari kaki, lutut, atau siku).
 Seringnya pada malam hari.
 Dalam beberapa jam, sendi yang terpengaruhi menjadi panas, merah, dan sakit
sekali, serta terkadang disertai benjolan.
 Pada beberapa tempat terdapat tophi (nodul putih di kulit yang mengandung
deposisi kristal).
 Pada gejala akut berupa monoarthritis asimetris, tetapi pada gejala kronis
berupa poliarthritis asimetris.
5. Metabolisme Asam Uric :
Pada arthritis gout, terjadi defisiensi atau tidak adanya enzim HGPRT akibat mutasi X-
linked sehingga terjadi gangguan metabolisme asam uric berupa hiperuricemia.
6. Patofisiologi
7. Manifestasi Klinis :
1) Konsentrasi serum urate meningkat.
2) Serangan berulang monoartikular arthritis.
3) Deposit kristal monosodium urate monohydrate (tophi) dan mengelilingi joint.
4) Renal disease
5) Terbentuk batu ginjal.
6) Muncul dalam 3 fase :
a) Asymptomatic hyperuricemia : serum urate meningkat dan negatif gejala.
b) Acute gouty arthritis : serum urate meningkat dan positif gejala.
c) Tophaceous gout : tahap kronis, mulai sejak 3 – 40 tahun sejak serngan
pertama, biasanya poliartikular asimetris.

8. Pemeriksaan :
1) Analisis cairan sinovial : terdapat kristal asam uric.
2) Asam uric darah meningkat.
3) Joint X-ray : dapat normal.
4) Biopsi sinovial.
5) Asam uric urin.

9. Treatment
 Serangan akut dapat diatasi dengan mengistirahatkan sendi dan memberikan
dosis besardari non steroidal antiinflamasi
 Kurangi BB, tidak boleh meminum alkohol, eliminasi diuretic
 Allopurinol sangat cocok untuk kronic goutdan pasien dengan renal
complication

Osteoathritis

Definisi

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi yang kronik yang progresif menjadi
softening dan disintegrasi pada articular cartilage yang diikuti dengan pertumbuhan
cartilage dan tulang yang baru pada bagian pinggir sendi (osteophytes) dan capsular
fibrosis

Epidemiologi

o Merupakan penyakit sendi yang paling sering


o Dapat terjadi pada semua ras dan jenis kelamin tetapi lebih sering pada
perempuan
o Prevalensi meningkat 1% pada usia kurang dari 30 tahun dan meningkat 50% pada
usia lebih dari 60 tahun
o Sering terjadi pada sendi di jari, hip, lutut dan spine

Etiologi

o Penurunan selularitas, penurunan konsentrasi proteoglikan, kehilangan elastisitas


o Perubahan pada matrix cartilago yang menjadi lemah
o Crystal deposition disease

Faktor risiko

o Joint dysplasia
o Trauma
o Pekerjaan seperti boxer
o Densitas tulang
o Obesitas
o Riwayat keluarga

Patogenesis dan patofisiologi

Kehilangan proteoglikan dan terdapat defect di cartilage. Cartilago menjadi kurang kaku
,chondrocyte mengalami kerusakan sehingga mereleasekan sel enzim dan terjadi
pemecahan matrix sehingga kehilangan integritasnya. Ketika integritasnya menghilang
maka akan meningkatkankan konsentrasi di subchondral bone sehingga hasilnya akan
menghasilkan focal trabecular degenerasi dan cyst formation dan juga meningkatkan
vascularitas dan reactive sclerosis

Pathology

Cardinal feature:

1. Progresive cartilage destruction


2. Subarticular cyst formation
3. Sclerosis di sekeliling tulang
4. Osteophyte formation
5. Capsular fibrosis

Manifestasi klinis

o Pain yang muncul secara tiba-tiba dan meningkat setelah berbulan bulan atau
tahun. Diperpatah saat exercise dan menghilang saat istirahat
o Stiffness
o Swelling
o deformitas

Diagnosis

Imaging

o X-Ray: sclerotic pada subchondralbone, cyst yang dekat dekat dengan articular
surface dan osteophytes pada margin joint
o Radionuclide scanning: dengan menggunakan 99m Tc-HDP memperlihatkan
peningkatan aktivitas pada subchondral region

Athroscopy

Terlihat kerusakan cartilage

Differential diagnosis

o Avascular necrosis
o Inflamatory arthropathies
o Polyathritis of finger
o Difuse idiopathic skeletal hyperostosis

Treatment

Early treatment

Prinsipnya:

a. Menjaga pergerakan dan kekuatan otot


b. Melindungi sendi dari overload
c. Menghilangkan rasa sakit
d. Modifikasi aktivitas sehari-hari
A. Physiotheraphy
- Untuk mempertahankan mobilitas sendi dan meningkatkan kekuatan otot.
- Contohnya seperti kegiatan aerobic
B. Load reduction
Melindungi sendi dari beban yang berlebih, seperti mengurangi BB untuk pasien yang
obesitas, menghindari aktifitas seperti naik tangga,menggunakan tongkat
C. Analgesic medication
Untuk menghilangkan rasa nyeri dapat menggunakan parasetamol, tetapi kalau tiidak
berespon dapat diberikan non-steroidal anti-inflamasi

Intermediate Treatment

- Joint debridement
- Cartilage transplantasi
- Jika tanda dan gejala pasien meningkat pertimbangkan osteotomy, tetapi harus
dilakukan dengan keadaan sendi yang masih stabil dan mobile

Late Treatment

Kerusakan sendi yang parah, dengan rasa sakit yang meningkat,instabilitas dan deformitas
maka harus dilakukan reconstructive surgery

KOMPLIKASI

o Capsular herniation
o Loose bodies
o Rotator cuff disfunction
o Spinal stenosis
o spondylolithesis

Referensi:

Apley’s system of Orthopedics and Fracture 8th edition halaman 77

Harrison’s principles of internal medicine 18th edition hal. 2738


SLE

Definisi

Sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit peradangan kronis yang memiliki
manifestasi protean dan mengikuti relaps dan remisi saja. Lebih dari 90% kasus SLE terjadi
pada wanita, sering dimulai pada usia subur.

Diagnosis

Diagnosis lupus eritematosus sistemik berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium. Kriteria
set dikembangkan oleh American College of Rheumatology (ACR) yaitu ditegakan bila
terdapat 4 dari 11 kriteria American College of Rheumatology (ACR):

D= Diskoid

O=Oral ulcer

P=Photosensitivity

A=Arthritis

M=Malar

I=Immunologic

N=Nerologic disorders

R= Renal disorders

A= Ana test (+)

S= Serositis (efusi perikardium, paru)

H=Hematologic disorders
Referensi:

Buku Ajar ilmu penyakt dalam FKUI, edisi V

Panduan pelayanan medik Perhimpunan Dokter spesialis penyakit dalam Indonesia, 2009
HIV

Definisi

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah, penyakit menular seksual virus melalui
darah. Virus ini biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, bersama intravena
kepemilikan obat, dan ibu-ke-bayi (MTCT), yang dapat terjadi selama proses kelahiran atau
selama menyusui.

Rute yang paling umum dari infeksi bervariasi dari satu negara ke negara dan bahkan di
antara kota-kota, mencerminkan populasi di mana HIV diperkenalkan awalnya dan lokal
praktek. Co-infeksi dengan virus lain yang berbagi rute yang sama dari transmisi, seperti
hepatitis B, hepatitis C, dan virus herpes manusia 8 (HHV8, juga dikenal sebagai Kaposi
sarcoma virus herpes [KSHV]), adalah umum.

Stdium Klinis HIV

Stadium 1 (asymptomatik):

Tidak ada gejala atau hanya ada limfadenpati generalisata persisten

Stadium 2 (sakit ringan):

- Penurunan BB 5-10% yang tidak diketahui penyebabnya

- Infeksi saluran nafas berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis media, faringitis)

- Herpes zoster

- Keilitis angularis

- Ulkus mulut yang berulang

- Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption/PPE)

- Dermatitis seboroik

- Infeksi jamur pada kuku

Stadium 3 (sakit sedang)

- Penurunan BB>10% yang tidak diketahui penyebabnya

- Diare kronis yang tidak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
- Kandidiasis pada mulut yang menetap

- Infeksi bakteri yang berat (penumonia, empiema, meningitis, piomiositis,


infkesi tulang atau sendi, bakterimia, penyakit inflamasi panggul yang
berat)

- Stomatitis nekrotikan ulserative akut, gingivitis, atau periodontitis

- Oral hairy leukoplakia

- Tuberkulosis paru

- Anemia yang tidak diketahui penyebabnya

Stadium 4 (sakit berat):

- Sindrom wasting HIV

- Pneumonia pneumocystis jiroveci

- Pneumonia bakteri berat yang berulang

- Infeksi herpes simpleks kronik

- Kandidiasis esofageal

- Tuberkulosis ekstraparu

- Sarkoma kaposi

- Penyakit cytomegaloirus

- Toksoplasmosis

- Enselopati HIV

- Pneumonia kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis

- Infeksi mycobacteria non tuberculosis yang menyebar

- Leukoencelopathy multifocal progressve

- Cryptoporidiosis kronis

- Isosporiasis kronis

- Mikosis desiminata (histoplasmosis, cocoodiomycosis


- Septikemia yang berulang (termasuk salmonella non-tifoid)

- Limfoma (serebral atau sel B non-hodgkin)

- Karsinoma serviks invasif

- Leismaniasis desiminata atipikal

- Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis

Management

Pengobatan HIV menggunakan kombinasi obat-obatan untuk melawan infeksi HIV. Hal ini
disebut terapi antiretroviral (ART). ART tidak menyembuhkan, tetapi dapat mengendalikan
virus sehingga Anda dapat hidup lebih lama, hidup sehat dan mengurangi risiko penularan
HIV kepada orang lain.ART melibatkan mengambil kombinasi obat HIV (disebut rejimen
HIV) setiap hari, persis seperti yang ditentukan.Obat-obatan HIV ini mencegah HIV dari
menggandakan (membuat salinan dirinya), sehingga dapat mengurangi jumlah HIV dalam
tubuh. Virus HIV dalam tubuh yang berkurang memberikan sistem kekebalan tubuh Anda
kesempatan untuk pulih dan melawan infeksi dan kanker. Meskipun masih ada beberapa
HIV di dalam tubuh, sistem kekebalan tubuh cukup kuat untuk melawan infeksi dan kanker.

Dengan mengurangi jumlah HIV dalam tubuh,obat-obatan HIV juga mengurangi risiko
menularkan virus kepada orang lain. ART direkomendasikan untuk semua orang dengan
HIV, terlepas dari berapa lama mereka sudah terdapat virus atau bagaimana sehat
mereka. Jika tidak diobati, HIV akan menyerang sistem kekebalan tubuh dan akhirnya
berkembang menjadi AIDS.

Saat ini pedoman pada waktu mulai ART adalah sebagai berikut:

- ART harus dimulai pada semua pasien dengan riwayat penyakit AIDS atau dengan
jumlah CD4 di bawah 350 / uL
- ART harus dimulai terlepas dari jumlah CD4 pada pasien hamil, pasien dengan
nefropati terkait HIV, dan orang-orang dengan virus hepatitis B (HBV) koinfeksi
ketika pengobatan infeksi HBV ditunjukkan
- Panel dibagi atas inisiasi terapi dengan jumlah CD4 350-500 / uL; 55% menganggap
ini rekomendasi kuat, 45% menganggap rekomendasi moderat
- Panel juga dibagi atas inisiasi terapi dengan jumlah CD4 di atas 500 / uL: inisiasi
setengah disukai dalam pengaturan ini, dan mulai pengobatan setengah dianggap
opsional
Referensi:

Pedoman nasional Tatalaksaa Klinis infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada orang
dewasa, Kemenkes RI 2011

http://emedicine.medscape.com/article/211316-overview
KARDIOLOGI

ELEKTROKARDIOGRAM

 Konduksi aksi potensial yang melewati miokardium selama cardiac cycle menghasilkan
arus elektrik yang dapat diukur pada permukaan tubuh.
 Elektroda-elektroda ditempelkan pada permukaan tubuh dan terhubung dengan suatu
alat perekam yang dapat mendeteksi perubahan voltase kecil dari aksi potensial pada
otot jantung.
 Elektroda-elektroda mendeteksi tambahan dari seluruh aksi potensial yang
ditransmisikan melalui jantung pada setiap waktunya.
 Elektroda-elektroda tidak dapat medeteksi individual action potentials.
 Jadi alat perekam aktifitas elektrikal dari sel jantung yang diperoleh dari permukaan
tubuh yang diinisiasi oleh kontraksi otot jantung untuk memompa darah ke jaringan
disebut elektrokardiogran (EKG).
 Setiap defleksi pada perekaman EKG menandai adanya suatu peristiwa elektrik di dalam
jantung dan berhubungan dengan suatu mekanisme berikutnya.
 EKG merupakan alat diagnostic yang mampu mengidentifikasi sejumlah kelainan-
kelainan jantung.
 Analisis dari EKG dapat menentukan kelainan laju denyut jantung atau iramanya,
kelainan jalur konduksi, hipertrofi atau atrofi dari bagian jantung, lokasi kira-kira
kerusakan otot jantung, pembesaran ruangan jantung, ketidak cukupan aliran darah
koroner, dan kelainan elektrolit.
Waktu dan Voltage

 EKG merekam voltage pada aksis vertical dan waktu pada aksis horizontal.
 Pengukuran sepanjang aksis vertical menunjukkan sumasi pada aktifasi eketrikal
dari seluruh otot jantung.
 Pengukuran sepanjang aksis horizontal Measurement along the horizontal axis
menunjukkan laju denyut jantung, regularitas, dan interval waktu yang dibutuhkan
untuk aktifitas elektrikal untuk bergerak dari satu bagian jantung ke bagian laninnya.
 Seperti halnya setiap macam gelombang lainnya, mempunyai tiga sifat utama,
yaitu:
1. Durasi, diukur dalam seperbagian detik
2. Amplitudo, diukur dalam milivolts (mV)
3. Komfigurasi, merupakan kriteria yang lebih subjektif sehubungan dengan bentuk
dan gambaran sebuah gelombang.

Keterangan: Sebuah gelombang khas yang mungkin terlihat pada setiap EKG. Gelombang
ini mempunyai amplitude dua kotak besar (atau 10 kotak kecil), suradi tiga
kotak besar (atau 15 kotak kecil). Dan konfigurasi yang sedikit asimetrik

Kertas EKG

 Kertas EKG merupakan segulungan kertas grafik panjang kontinu, biasanya


berwarna merah muda, dengan garis-garis tebal dan tipis vertical dan horizontal.
 Garis tipis membatasi kotak-kotak besar seluas 1x1 mm; garis tebal membatasi
kotak besar seluas 5x5 mm.
 Sumbu horizontal mengukur waktu dimana jarak satu kotak kecil adalah 0,04 detik
sedangkan jarak satu kotak besar adalah lima kotak, atau 0,2 detik.
 Sumbu vertical mengukur voltage dimana jarak satu kotak kecil sebesar 0,1 mV,
dan satu kotak besar sebesar 0,5 mV.
Keterangan: Kedua gelombang mempunyai durasi satu kotak besar (0,2 detik), namum
voltage gelombang kedua dua kali lebih besar daripada voltage gelombang
pertama (1 mV berbanding 0,5 mV). Segmen datar yang menghubungkan
kedua gelombang itu berdurasi lima kotak besar (5x0,2 detik = 1 detik)

Gelombang dan Garis Lurus Pada EKG

1. Setiap siklus kontraksi dan relaksasi jantung dimulai dengan depolarisasi spontan
pada nodus sinus. Peristiwa ini tidak tampak pada rekaman EKG.
2. Gelombang P merekam peristiwa depolarisadi dan kontraksi atrium. Bagian
pertama gelombang P menggambarkan aktivitas atrium kanan, bagian kedua
mencerminkan aktivitas
atrium kiri.

Keterangan: Komponen
gelombang P

3. Sewaktu aliran listrik sampai pada nodus AV, akan timbul masa istirahat yang
singkat dan gambaran EKG menjadi hilang.
4. Selanjutnya gelombang depolarisasi ini menyebar sepanjang sistem konduksi
vertikal (berkas His, cabang-cabang berkas, dan serabut Purkinje) dan keluar menuju
ke miokardium ventrikel. Bagian ventrikel yang pertama kali terdepolarisasi adalah
septum interventrikuler. Dan proses depolarisasi ventrikel inilah yang menimbulkan
kompleks QRS.
5. Gelombang T merekam repolarisasi ventrikel. Repolarisasi atrium tidak tampak
dalam rekaman EKG.
6. Berbagai segmen dan interval menyatakan jarak waktu antara peristiwa-peristiwa
berikut ini:
a. Interval PR mengukur waktu dari permulaan depolarisasi atrium sampai pada saat
mulainya depolarisasi ventrikel.
b. Segmen ST merekam waktu dari akhir depolarisasi ventrikel sampai saat mulainya
repolarisasi ventrikel.
c. Interval QT mengukur waktu dari mulainya depolarisasi ventrikel sampai pada
akhir repolarisasi ventrikel.

12 Sudut Pandang Jantung

 Dalam mempersiapkan penderita untuk ke 12 sadapan EKG itu, dua elektroda


ditempatkan pada pergelangan tangan dan dua elektroda lagi pada pergelangan
kakinya.
 Pemasangan ini merupakan dasar bagi enam sadapan ekstrimitas, yang terdiri dari
tiga sadapan standar dan tiga sadapan tambahan (augmented).
 Juga ditempatkan enam sadapan melintang dada, sehingga terbentuk enam
sadapan prekordial (sadapan dada).
Enam Sadapan Ekstremitas

 Sadapan ekstremitas memandang jantung pada sebuah bidang vertikal disebut sebagai
bidang frontal.
 Untuk menghasilkan ke enam sadapan pada bidang frontal tersebut, setiap elektrode
secara berubah-berubah ditandai positif atau negatif.
 Ketiga sadapan standar ektremitas ditetapkan sebagai berikut:
1. Sadapan I dibentuk dengan membuat lengan kiri positif dan lengan kanan negatif.
Sudut orientasinya adalah 0o
2. Sadapan II dibentuk membuat kedua kaki positif dan lengan kanan negatif. Sudut
orientasinya 60o
3. Sadapan III dibentuk membuat kedua kaki positif dan lengan kiri negatif. Sudut
orientasinya 120o
 Ketiga sadapan tambahan (augmented) ditetapkan sebagai berikut:
1. Sadapan AVL dibentuk dengan membuat lengan kiri positif dan anggota lainnya
negatif. Sudut orientasinya -30o
2. Sadapan AVR dibentuk dengan membuat lengan kiri positif dan ekstremitas yang
laionnya negatif. Sudut orientasinya -150o
3. Sadapan AVF dibentuk dengan membuat kaki positif dan ekstremitas lainnya
negatif.

 Sadapan II, III, dan AVF disebut sebagai sadapan inferior sebab sadapan ini paling
efektif menilai permukaan inferior jantung.
 Sadapan I dan AVL disebut sebagai sadapan lateral kiri sebab sadapan ini mempunyai
pandangan terbaik untuk dinding lateral kiri jantung
Enam Sadapan Prekordial

 Sadapan ini disusun menyilang dada pada suatu budang horizontal.


 Sadapan yang terletak pada bidang frontal menggambarkan gerakan listrik itu ke atas,
ke bawah, ke kanan, dan ke kiri, sedangakan sadapan prekordial merekam gambaran
tadi ke arah anterior dan ke posterior.
 Keenam elektroda positif tadi, membentuk sadapan prekordial V1 sampai V6 dan
ditelakkan sebagai berikut:
1. V1 diletakkan di ruang interkostal keempat di sebalah kanan sternum.
2. V2 diletakkan di ruang interkostal keempat di sebelah kiri sternum.
3. V3 diletakkan di antara V2 dan V4
4. V4 diletakkan di ruang interkostal kelima pada garis midklavikula.
5. V5 diletakkan di antara V4 dan V6
6. V6 diletakkan di ruang interkostal kelima pada garis midaksila.
 Sadapan V1 dan V2 terletak tepat di atas ventrikel kanan, V3 dan V4 di atas septum
intervetrikular dan V5 dan V6 di atas ventrikel kiri.

Sadapan Kelompok

V1, V2, V3, V4 Anterior

I, AVL, V5, V6 Lateral kiri

II, III, AVF Inferior

AVR -

Evaluasi Sistematik EKG

1. Irama (rythm)
• Irama jantung `yang normal disebut sinus rhythm karena irama ini dihasilkan oleh
impuls elektrik yang dibentuk didalam SA node.
• Sinus rhythm adalah sangat utama tetapi tidak mutlak reguler.
• Aksis gelombang P sinus rhythm antara 30o dan 75o.
• Kelainan aksis gelombang P biasanya disertai dengan kelaianan interval PR yang
memendek. Bagaimanapun, interval PR yang pendek dalam tampilan aksis
gelombang P memberi kesan adanya kelainan jalur konduksi.
2. Laju (rate) dan keteraturan (regularity)
 Gelombang P dan kompleks QRS digunakan untuk menerangkan laju jantung dan
keteraturannya.
3. Morfologi gelombang P
 Kontur: normalnya mulus dan monofasik pada semua sadapan kecuali V1 atau
kadangkala V2.
 Mengarah ke atas atau positif gelombang P normalnya terlihat pada sadapan I, II,
aVL, aVF, V4-V6 dan mengarah ke bawah pada sadapan aVR.
 Gelombang P pada sadapan III bisa mengarah ke atas ataupun ke bawah.
 Durasi gelombang P normalnya dibawah 0,12 detik.
 Amplitude maksimal normalnya tidak lebih dari 0,2 mV.

Keterangan: Vektor depolarisasi atrium mengarah ke kiri dan inferior. Oleh karena itu,
sadapan I akan merekam gelombang positif, AVR merekam gelombang
negatif, dan sadapan III merekam gelombang bifasik

Keterangan: Depolarisasi atrium pada bidang horizontal. V1 merekam gelombang bifasik,


dan V6 merekam gelombang positif
4. Interval PR
 Interval PR mengukur waktu yang dibutuhkan impuls elektrik dari mulainya
depolarisasi atrium sampai permulaan depolarisasi ventrikel.
 Durasi normalnya 0.11-0.20 detik
 Variasi interval PR dalam laju denyut jantung, bisa lebih cepat atau lebih lambat.

5. Morfologi Kompleks QRS


a. Gelombang Q
 Adanya gelombang Q di sadapan V1, V2, dan V3 menandakan adanya
kelaianan.
 Tidak adanya gelombang Q kecil pada sadapan V5 dan V6 menandakan
adanya kelainan.
 Gelombang Q ukurannya bervariasi, normal pada sadapan III dan aVR.
 Pada sadapan lain, normal gelombang Q sangat kecil (dibawah 0,04 detik
dan voltagenya dibawah 25% dari gelombang R).
b. Gelombang R
 Gelombang R positif normalnya meningkat pada amplitude dan durasinya dari
sadapan V1 hingga V4 atau V5.
 Tidak adanya tampilan normal gelombang R menandakan kelainan.
Keterangan: Depolarisasi ventrikel yang tampak pada sadapan I, II, dan aVR. Sadapan I
merekam gelombang Q kecil yang sesuai dengan depolarisasi septum dan
gelombang R yang tinggi. Sadapan II juga merekam gelombang R yang tinggi
dan, agak jarang, gelombang Q yang kecil. Kompleks QRS pada sadapan aVR
juga merupakan gelombang negatif yang dalam.

c. Gelombang S
Gelombang S harus besar pada V1 dan semakin mengecil pada V6.

d. Ratio amplitude R/S pada V1 dan V2 normalnya dibawah 1 mV.


R pada V5 atau V6 + S pada V1 atau V2 tidak lebih besar dari 35 mm.

Keterangan: Depolarisasi ventrikel pada sadapan-sadapan prekordial


e. Durasi kompleks QRS (interval QRS)
 Jarak normalnya 0.07 detik hingga 0.11 detik (dibawah 0.12 detik).
 Interval QRS tidak pada jarak tersebut menandai adanya kelainan.

f. Amplitude kompleks QRS


Kelianan kompleks QRS ketika ampilitudonya tidak lebih dari 0,5 mV pada setiap
sadapan ekstrimitas dan tidak lebih dari 1,0 mV pada setiap sadapan prekordial.

g. Aksis kompleks QRS


 Aksis normal: antara –30o dan +90o
 Deviasi aksis kanan (RAD): antara +90o dan ± 180o
 Deviasi aksis kiri (LAD): antara –30o dan –120o

6. Morfologi Segmen ST
1. Segmen ST menunjukkana waktu antara akhir depolarisasi ventrikel sampai pada
permulaan repolarisasi ventrikel.
2. Lokasi normal segmen ST segaris horizontal dengan segmen PR.
3. Variasi-variasi normal: Sedikit upsloping, downsloping, atau penurunan horizontal.
4. Segment ST bias berubah bila terjadi pemanjangan kompleks QRS.
7. Morfologi gelombang T
 Gelombang T positif mengarah pada seluruh sadapan kecuali aVR (negative) dan V1
(bifasik).
 Gelombang T normalnya tidak melebihi 0,5 mV pada sadapan ektrimitas atau 1,5
mV pada sadapan prekordial.

Keterangan: Repolarisasi ventrikel menghasilkan gelombang T pada EKG. Gelombang T


biasanya positif pada sadapan-sadapan yang menghasilkan gelombang R
tinggi.

8. Morfologi gelombang U
 Gelombang U tidak terlihat atau terlihat sebagai gelombang kecil yang
mengikuti gelombang T dan lebih mencolok pada sadapan V1 dan V2.
 Peningkatan gelombang U menunjukkan kemungkinan adanya hipokalemi.

9. Interval QTc
 Interval QT mengukur jarak waktu pengaktifan dan pengembalian elektrikal
miokardium ventrikel.
 Menurunnya interval QT ketika peningkatan laju denyut jantung meningkat dan
oleh karena itu harus di koreksi untuk laju jantung (interval QTc).
 QTc= QT/interval RR’ (dalam detik)
Batas atas QTc 0.46 detik (sedikit memanjang pada perempuan)

 Interval QT bervariasi antara sadapan yang berbeda.

Keterangan: Interval Qt kira-kira sepanjang 40% dari setiap siklus jantung (interval R-R’).
bila denyut jantung semakin cepat, interval QT semakin pendek. Pada
gambar B, denyut jantung jauh lebih cepat daripada di gambar A, dan
interval QT juga jauh lebih singkat (kurang dari satu setengah kotak
dibandingkan dengan dua kotak penuh)

Aksis
 Istilah aksis merujuk pada arah mean vector listrik, yang menujukkan arah rata-
rata aliran listrik.
 Aksis ini ditentukan hanya pada bidang frontal.
 Untuk menentukan aksis, carilah sadapan yang kompleks QRSnya paling mendekati
bifasik.
 Aksis QRS harus terletak mendekati tegak lurus terhadap aksis tersebut.
 Penentuan aksis secara cepat dapat dibuat dengan melihat pada sadapan I dan aVF

Aksis Sadapan I Sadapan aVF

Aksis normal Positif Positif

Deviasi aksis ke kiri Positif Negatif

Deviasi aksis ke kanan Negatif Positif

Deviasi aksis ke kanan ekstrem Negatif Negatif

Pembesaran Atrium

 Untuk mendiagnosa pembesaran atrium, lihat sadapan II dan V1.


 Pembesaran atrium kanan ditandai dengan hal-hal berikut:
1. Peningkatan amplitudo bagian pertama gelombang P
2. Tidak ada perubahan durasi gelombang P
3. Kemingkinan deviasi aksis ke kanan gelombang P

Keterangan: (A) Gelombang P normal di sadapan II dan V1. (B) pembesaran atrium kanan.
Perhatikan peninggian amplitudo komponen atrium kanan awal gelombang
P. Komponen atrium kiri akhir, dan juga durasi keseluruhan gelombang P,
pada dasarnya tidak berubah.

 Pembesaran atrium kiri ditandai dengan hal-hal berikut:


1. Amplitudo komponen terminal (negatif) gelombang P dapat meningkat, dan harus
turun setidaknya 1 mm di bawah garis isoelektrik.
2. durasi gelombang P meningkat, dan lebar bagian terminal (negatif) gelombang P
harus setidaknya 1 kotak kecil (0,04 detik).
3. tidak ada deviasi aksis yang berarti, karena atrium kiri normalnya mendominasi
aliran listriknya.
Keterangan: (A) gelombang P normal pada sadapan II dan V1. (B) Pembesaran atrium
kanan. Perhatikan peningkatan amplitudo dan durasi komponen terminal
gelombang P atrium kiri.

Hipertrofi Ventrikel

 Hipertrofi ventrikel kanan ditandai oleh hal-hal berikut:


1. Ada deviasi aksis ke kanan, dengan aksis QRS melebihi +100o
2. Gelombang R lebih besar daripada gelombang S di V1, sedangkan gelombang S
lebih besar daripada gelombang R di V6
 Hipertrofi ventrikel kiri ditandai dengan banyak kriteria. Dua yang paling berguna
adalah sebagai berikut:
1. Gelombang R di V5 atau V6 plus gelombang S di V1 atau V2 melebihi 35 mm
2. gelombang R di aVL melebihi 13 mm
Keterangan: Hipertrofi ventrikel kanan menggeser aksis kompleks QRS ke kanan. Rekaman
EKG memperkuat deviasi aksis ke kanan. Kompleks QRS di sadapan I agak
negatif.
Keterangan: Pada sadapan V1, gelombang R mebih besar daripada gelombang S. Pada
sadapan V6, gelombang S lebih besar dari gelombang R.
Keterangan: Hipertrofi ventrikel kiri pada sadapan-sadapn prekordial. Tiga dari empat
kriteria terpenuhi: amplitudo gelombang R di V6 plus amplitudo gelombang S
di V1 melebihi 35 mm,amplitudo gelombang R di V6 sedikit lebih tinggi
daripada amplitudo gelombang R di sadapan V5. Satu-satunya kruteria yang
tidak terpenuhi adalah gelombang R di sadapan V5 melebihi 26 mm

Source: Rapid EKG Intrepretation


ACUTE CORONARY SYNDROME DIAGNOSIS AND MANAGEMENT

ECG

Symptom Cardiac Marker

Angina Pectoris Acute Myocardial Infarction

Stable Unstable STEMI NON-STEMI

ISCHEMIC CHEST PAIN

Typical Angina Equivalent Angina

1. Chest Discomfort 1. NoChest Discomfort


2. Location 2. Location
3. Radiation 3. Indigestion
4. Unlikeliness 4. Unexplained Weakness
5. Diaporesis
6. Shortness Of Breath

ISCHEMIC CHEST PAIN ALGORHYTHM


Chest pain suggestive of ischemia

Assessment and
treatment 1 (a) Assess initial 12 lead ECG

ST elevation or new or ST depression or T Non diagnostic ECG,


presumably new BBB wave inversion strongly absence of changes in ST
strongly suspicious for injury suspicious for injury segment or T wave

Treatment 2 Treatment 3 Yes Meet criteria of unstable


(b) (c) or new onset angina

Time from onset of <12 hours Assess clinical


symptoms status
<12 hours Chest pain unit

Fibrinolytic therapy. Goal: Assessment and


door-to-drug < 30 minutes treatment 4 (d)
Assessment 5 (e)
Source: ILCOR Guidelines, Circulation
Klasifikasi Heart Failure
Source: Pathophysiology of Heart Disease- Leonard S. Lilly

Stages of Chronic Heart Failure (AHA)

Stage Description

A Pasien dengan risiko HF tapi belum terdapat


kelainan struktural jantung (pasien dengan
CAD, hipertensi, atau riwayat keluarga
cardiomyopathy).

B Pasien dengan penyakit struktural jantung


yang berhubungan dengan HF tapi gejala
belum muncul.

C Pasien dengan gejala HF yang berhubungan


dengan penyakit struktural jantung.

New York Heart Association Classification of Chronic Heart Failure

Class Definition

I Tidak ada pembatasan aktivitas.

II Aktivitas sedikit terbatas. Dyspnea dan


fatigue pada olahraga yang moderate
(berjalan naik tangga dengan cepat).

III Aktivitas dengan jelas terbatas. Dyspnea


pada olahraga yang minimal (berjalan naik
tangga dengan lambat).

IV Aktivitas sangat terbatas. Gejala muncul


pada saat istirahat.
D Pasien dengan penyakit struktural jantung
dan terdapat gejala HF, meskipun dalam
pengobatan maksimal dan membutuhkan
intervensi (cardiac transplantation).

Source: Pathophysiology of Heart Disease- Leonard S. Lilly


Diagnostic Criteria for Heart failure in Population-Based Studies (Framingham Criteria

Major Criteria Minor Criteria Major or Minor Criteria

 Paroxysmal nocturnal  Ankle edema  Weight loss > 4.5


dyspnea or  Night cough kg in 5 days in
orthopnea  Dyspnea on exertion response to
 Neck vein distention  Hepatomegaly treatment
 Rales  Pleural effusion
 Cardiomegaly  Vital capacity
 Acute pulmonary decreased by one
edema third from maximal
 S3 gallop capacity
 Increased venous  Tachycardia (rate
pressure >16 cmH20 >120 bpm)
 Hepatojugular reflux
Source: Braunwald’s Heart Disease
Cardiovascular Continuum

Source: PPT Minlect Coronary Artery Disease M.Rizky Akbar, dr.,SpJp

PULMONOLOGI

Asma Bronkial

Definisi:

Inflamasi kronis tersebut menimbulkan hiperaktivitas dari jalan nafas sehingga


timbulah gejala yag berulang dari wheezing, breathlessness, chest thightness,
batuk pada malam atau pagi hari. Episode gejala bervariasi, obstruksi jalan
nafas yang terjadi dapat diatasi secara spontan dengan menggunakan obat.

Klasifikasi:

1. Berdasarkan Level Kontrol Asma


A. Terkontrol
- Gejala siang : tidak ada atau hanya 1-2 kali seminggu
- Gejala malam : tidak ada
- Nocturnal Symptom : tidak ada
- Butuh Reliever : Tidak/hanya 1-2 kali seminggu
- PEV or FEV1 : Normal
B. Partly Controled (Salah satu dari parameter terpenuhi) - Gejala Siang :
lebih dari 1-2 kali seminggu
- Gejala malam : ada berapapun
- Nocturnal Symptom : Ada berapapun
- Butuh Reliever : lebih 1-2 kali seminggu
- PEV or FEV1 : < 80% predicted
C. Tidak Terkontrol
- 3 atau lebih parameter diatas terpenuhi

2. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa

Derajat Gejala Gejala Umum

Intermitten Bulanan ≤2x sebulan

- VEP1≥80% nilai Gejala <1x/minggu


prediksi
APE≥80% nilai Tanpa gejala di luar
terbaik serangan

- Variabiliti APE <20% Serangan singkat

Persiten Ringan Mingguan >2 kali sebulan

- VEP1≥80% nilai Gejala >1x/ minggu, tetapi


prediksi <1x/ hari
APE≥80% nilai
terbaik Serangan dapat
mengganggu aktivitas dan
- Variabiliti APE 20- tidur
30%
Persisten Sedang Harian >1x dalam seminggu

- VEP1 60-80% nilai Gejala setiap hari


prediksi
APE60-80% nilai Serangan mengganggu
terbaik akivitas dan tidur

- Variabiliti APE >30% Bronkodilator setiap hari

Persisten Berat Kontinu Sering

- VEP1 ≤60% nilai


prediksi Gejala terus menerus
APE ≤60% nilai
terbaik Sering kambuh

- Variabiliti APE >30% Aktivitas fisik terbatas

3. Klasifikasi asma menurut derajat serangan

Parameter Ringan Sedang Berat Ancaman henti


klinis, fungsi nafas
faal paru,
labratorium

Sesak Berjalan Berbicara Istirahat -

Bayi: Bayi: Tangis Bayi: tidak -


menangis pendek dan mau makan/
keras lemah minum
kesulitan
menetek/
makan

Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk -


duduk bertopang
lengan

Bicara Kalimat Penggal Kata-Kata -


kalimat

Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Kebingungan


iritabel iritabel iritabel

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata

Wheezing Sedang, Nyaring, Sangat Sulit/ tidak


hanya pada sepanjang nyaring, terdengar
akhir ekspirasi ekspirasi dan terdengar
insprasi tanpa
stetoskop
Penggunaan Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
otot bantu paradoktorako-
respiratorik abdominal

Retraksi Dangkal, Sedang- Dalam, Dangkal/ hilang


retraksi ditambah diambah
interkostal retraksi nafas cuping
suprasternal hidung

Frekuensi nafas Takipneu Taipneu Takipneu Bradipneu

Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi

Pulsus Tidak ada Ada (10-20 Ada (10-20 Ada (10-20


paradoksus (<10 mmHg) mmHg) mmHg) mmHg)

PEFR tau FEV1 >60% 40-60% <40%


(%nilai dugaan/
% nilai tebaik) >80% 60-80% <60%
Pra- Respon <2
bronkodilator jam
Pasca-
bronkodilator

SaO2% >95% 91-95% ≤90%

PaO2 Normal >60 mmHg <60 mmHg


(biasanya
tidak perlu
diperiksa)

PaCo2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

Penatalaksanaan:

Dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Pharmacological Intervention
a. Controller

Penggunaan jangka panjang untuk menjaga asthma di bawah control


sehingga tidak menimbulkan serangan.
- Inhaled Glucocorticoid (Sebagai agen
antiinflamasi)
o Budesonide : Low dose 200-400 ug , medium dose >500-1000 ug , high
dose >1000-2000 ug
o Ciclesonide : Low dose 80-160 ug , medium dose >160-320 ug , high
dose >320-1280 ug
- Glukokortikoid Sistemik
o Pada pasien yang tidak mempan per inhalasi dan asma berat tidak
terkontrol(sebagai reliever/control) Prednisolone/prednisone:30-40
mg once daily , 5-10 day.
- Leukotriene modifier
o E.g., cysteinyl leukotriene 1 receptor antagonist dan 5 lipoxygenase
inhibitor. Efek bronkodilator, mengurangi batuk, mneghambat
inflamasi .
- Long Acting Bronchodilator (inhaler) Beta 2 agonist per inhalasi
o Formoterol dan selmeterol dikombinasikan dengan
glukokortikoid .
- Long Acting oral B 2 agonist
o Salbutamol ,terbutaline , dan bambuterol
- Theophyline
o Dapat berperan sebagai anti inflamasi dan bronchodilator (High dose
dapat menyebabkan gangguan pencernaan , arrhythmia , kejang ,
hingga kematian).

b. Reliever

Pengobatan untuk mengatasi bronchoconstriction dan meredakan gejala.


- Rapid acting inhaled B2 agonist
Meredakan bronchospasm
o E.g., salbutamol, terbutaline, Formoterol. Digunakan apabila serangan
saja dengan dosis terendah.
- Glukokortikoid Sistemik
Hanya untuk serangan akut yang sangat berat .
o Oral Prednisolone : 40-50 mg
o Atau hydrocortisone IV
Setelah gejala mereda , tapering off lalu diganti dengan glukokortikoid per
inhalasi .
- Anticholinergic
o Ipatropium bromide / oxitropium bromide
- Theophyline

2. Non-pharmacological Intervention
- Menghentikan merokok dan menghindari paparan asap rokok
- Melakukan aktivitas fisik (e.g., renang)
- Hindari allergen yang menjadi pencetus munculnya asthma
- Hindari emotional stress
Reference: Global Initiative for Asthma, updated 2015

SIX-PART PROGRAM TO MANAGE AND CONTROL ASTHMA


1. Educate
Memberikan pendidikan kepada pasien untuk membentuk kerjasama dalam
pengobatan asthma
(+) dengan bantuan dokter, pasien dapat mencegah serangan asthma
dan dapat hidup lebih produktif. Pasien dapat mempelajari bagaimana.
2. Assess and Monitor
Menilai dan mengamati tingkat keparahan serangan asthma dengan
mengukur gejala dan fungsi paru.
(+) dokter dapat memberikan beberapa pertanyaan mengenai
keefektifan management, penggunaan inhaler, dan keluhan asthmanya.
Fungsi paru dapat dilihat dengan menggunakan spirometry.
3. Avoid
Hindari paparan terhadap faktor resiko.
(+) pasien diharapkan meningkatkan pengontrolan terhadap paparan
faktor yang dapat membuatnya asthma sehingga dapat menurunkan
penggunaan obat-obatan. Cara mengetahui allergen pasien dapat
dilakukan dengan cara skin prick test.
4. Establish control
Menetapkan rencana pengobatan asthma untuk manajemen dalam
jangka waktu yang panjang pada bayi, anak dan dewasa.
Pasien dapat memakai obat-obatan sehari-hari. Bisa berupa obat untuk
mengkontrol agar tidak terjadi serangan ataupun obat reliever ketika
terjadi serangan asthma.
5. Establish reliever
Menetapkan rencana pengobatan untuk memanajemen saat serangan asthma
Serangan asthma dapat berupa adanya peningkatan dari gejala-gejala seperti
sesak napas, batuk, mengi, atau perasaan seperti dada yang tertekan. Pasien
jangan mengabaikan serangan asthma, karena serangan asthma bisa tiba-tiba
menjadi parah.
6. Provide follow up care
Fasilitas kesehatan menyediakan follow up care yang reguler
Pasien asthma butuh perhatian dari tenaga kesehatan sehingga dapat memenuhi
target pengobatannya. Dari dokter umum sampai dokter spesialis ikut berperan.
Referensi: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2015

PPOK

Definisi (GOLD Penyakit yang dapat dicegah dan dapat diobati yang dikarakteristikan
2015) dengan hambatan aliran udara menetap yang biasanya progresif yang
disertai dengan peningkatan respon inflamasi kronis pada saluran
nafas dan paru-paru akibat gas atau partikel berbahaya
Gejala (GOLD  Dyspnea (sesak nafas ) yang progresif memburuk dan bertambah
2015) berat saat beraktifitas, serta menetap

 batuk kronis (dapat terjadi juga secara intermitten dan tidak


produktif)

 produksi sputum kronis

 Mudah lelah

EFUSI PLEURA
Diagnosis  Pemeriksaan Fisik (Kapita selekta Kedokteran- 2014):

 Pergerakan dada tidak simetris

 Perkusi redup, fremitus menghilang, suara nafas melemah-


hilang

 Trakea terdorong ke kontralateral

 Pemeriksaan Penunjang (Kapita Selekta kedokteran-2014):

 Pemeriksaan cairan pleura

o Tipe eksudat: (minimal 1 kriteria terpenuhi)

 Protein cairan pleura/ serum protein >0,5

 LDH cairan pleura/ LDH serum >0,6

 LDH cairan pleura: >200 IU atau 2/3 batas atas nilai normal di
dalam serum

o Tipe transudat: (Tidak memenuhi satupun poin kriteria eksudat)

*Jika secara pemeriksaan cairan lebih cenderung ke arah eksudat


sedangkan secara klinis lebih ke arah transudat, perlu dilakukan
pengukuran perbandingan protein di dalam serum dengan
cairan pleura. Jika hasilnya ≥ 31 g/dl berarti efusi transudat

 Foto Toraks

PA: sudut kostofrenikus tumpul (>500 cc)

Lateral: sudut kostofrenikus tumpul (>200 cc)

 USG Toraks

 Pungsi Pleura (torakosentesis) dan analisis cairan pleura

o Makroskopik: transudat (jernih, agak kuning), eksudat (warna


lebih gelap, keruh), empiema (opak, kental), efusi kaya
kolesterol (berkilau), chylous (susu)

o Mikroskopik: leukosit , leukosit meningkat,


limfosit matur, dominan leukosit PMN
 Periksa dahak jika batuk

 Tes HIV (rapid test)

Ta

Tata Laksana:
Penatalaksanaan berdasarkan penyakit yang mendasarinya.
- Gagal jantung
Pada pasien ini, terapi terbaik dengan diuretik. Jika setelah pemberian
efusi menetap diagnostik torakosinesis perlu dilakukan. Selain itu,
torakosintesis dilakukan pada efusi satu sisi, disertai demam atau nyeri
dada pleuritik. Jika nilai NT-probNP cairan pleura >1500 pg/cc,
mengartikan bahwa efusi terjadi karena gagal jantung.
- Empiema atau efusi parapneumonia
Terapi dengan torakosintesis, pemberian antibiotik dan drainase.
- Pleuritis TB
Pemberian obat anti TB minimal 9 bulan dan kortikosteroid dosis 0,75-1
mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu yang mana dosis akan diturunkan
bertahap; torakosentesis jika terdapat sesak atau efusi lebih tinggi dari sela
iga III.
- Kilotoraks
Pemasangan chest tube dan pemberian elektreotida. Jika gagal, dilakukan
pleuroperitoneal shunt. Jika dilakukan pemasangan tube torakostomi
dengan drainase chest tube, tidak boleh lama-lama karena bisa
mengakibatkan malnutrisi dan penurunan status imun.
- Hemotoraks
Jika dakam cairan pleura terlihat darah, perlu dilakukan pemeriksaan
hematokrin cairan pleura. Jika hasil hematokrit ≥1/2 dibandingkan dengan
hasil dari darah tepi, berarti mengarah ke hemotoraks. Tatalaksana yaitu
dengan chest tube torakostomi. Jika pendarahan >200 ml/jam,
torakostomi atau torakostopi menjadi pilihan pertama.
- Keganasan
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui tumor dan jenisnya.
Tuberkulosis

Definisi: Penyakit yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium tuberculosis. (PDPI,2006)

Epidemologi: Pada tahun 2012, diperkrakan 450.000 orang menderita TBMDR dan 170.000
orang meninggal dunia. (WHO, 2013)

Cara Penularan TB.


a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan
BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi
oleh karena jumlah kuman yang terkandung d dahak sehingga sulit dideteksi melalui
pemeriksaan mikroskopis langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit
TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif
dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur
negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik
renik dahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.

Upaya Pengendalian TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD
mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:
1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
Definisi Pasien TB:
Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:
Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat
yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa
memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.

Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:


Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB.
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi


bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.

2. Klasifikasi pasien TB:


Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien
juga diklasifikasikan menurut :
a. Lokasi anatomi dari penyakit
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB
paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
Tuberkulosis ekstra paru:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan
penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dar
28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB
terakhir, yaitu:
• Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena
reinfeksi).
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah
pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat
/default).
• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan
• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
cepat) atau metode fenotip (konvensional).
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT- KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam
satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping
pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.

Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya.


a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
•Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
•Pasien TB paru terdiagnosis klinis
•Pasien TB ekstra paru

Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 k 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Dosis per hari / kali Jumlah


Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/

Tahap Lama
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol kali
Pengobatan Pengobatan @ 300 @ 450 @ 250 menela
mgr mgr @ 500 mgr mgr n
obat
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang):
• Pasien kambuh
• Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

Tabel 7. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Berat tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
≥71 k 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin inj. ( > do maks ) + 5 tab Etambutol
Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

Jumla
Tablet Kaplet Tablet Etambutol h
@ 300 @ 450 @ 500 250 400
mgr mgr mgr mgr mgr
obat
Tahap
Awal 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian)
Tahap
Lanjutan
5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
semggu)
Catatan:
• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
• Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan
apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² )
• Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)
dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi
yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.
Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
• OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan
pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.

7. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB ( ²⁶)


a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk
memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji
dahak
(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak
tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan
harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara
terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap
awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA
positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap
lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada
semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada
bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis
pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir
pengobatan.

Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk


memantau kemajuan hasil pengobatan:
1) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :
• Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis
pengobatan tahap lanjutan
• Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5
dan Akhir Pengobatan)

2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :


Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1) :
• Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
 Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan).
Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap
lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif,
lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat.
• Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan
pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5
(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).

Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan


OAT kategori 2):
• Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
• Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR
• Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
• Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa
pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke
5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).

3) Pada bulan ke 5 atau lebih :


• Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil
pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai
seluruh dosis pengobatan selesai diberikan
• Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan
gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR .
• Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
• Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1),
pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa
dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR,
berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.
• Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan
paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan
semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau
dirujuk ke RS Pussat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum
bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR, berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya
terhadap upaya PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi).

Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat
dilihat pada tabel di bawah ini. ( ⁹)
Hasil Pengobatan Pasien TB

Hasil Definisi
pengobatan
Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada
Sembuh awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan
sebelumnya.
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap
Pengobatan dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan
lengkap hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan.
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil
Gagal laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai
atau sedang dalam pengobatan.
Putus Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
berobat pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.
(loss to
follow-up)

Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.


Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke
kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak
Tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.
dievaluasi

d. Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed Treatment) ( ¹¹ )


Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan
sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat.
Untuk tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan
seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh
seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat.
Pilihan tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar
dapat memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat
dengan kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila
tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.
1) Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

2) Siapa yang bisa jadi PMO


Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

3) Tugas seorang PMO


a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat
dari unit pelayanan kesehatan.

4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien
dan keluarganya:
a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke fasyankes.

e. Pengobatan TB pada keadaan khusus


1) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin
karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi
yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian
Piridoksin 50 mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan
TB, sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin
digunakan pada trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( ¹² )

2) Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada
bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

3) Pasien TB pengguna kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien
TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.

4) Pasien TB dengan kelainan hati ( ²⁶)


a) Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk
ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.

b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang
biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
• Pembawa virus hepatitis
• Riwayat penyakit hepatitis akut
• Saat ini masih sebagai pecandu alkohol
Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan
kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.

c) Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
• 2 obat yang hepatotoksik
2 HRSE / 6 HR
9 HRE
• 1 obat yang hepatotoksik
2 HES / 10 HE
• Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin
tidak direkomendasikan karena potensimya sangat lemah)
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB, harus
menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.
Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,
Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,
Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan
diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.

5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal


Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR.
H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan
dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis
pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan
tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer.
Hindari penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang
digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk
setiap kali pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. ( ²⁶)
Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek
samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar
dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama
dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi
ginjal sangat diperlukan. Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 11: Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada


penyakit ginjal kronis.

Tingkat Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK)


KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan
1 saluran
kencing, misalnya: ginjal polikistik, kelainan struktur

2 KK (60 – 90 ml/menit)
3 KK (30 – 60 ml/menit)
4 KK (15 – 30 ml/menit)
5 KK (< 15 ml/menit) dengan atau tanpa dialisis
Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan penyakit ginjal
kronis.

OAT Stadium 1-3 Stadium 4-5


Diberikan 3x/minggu
Isoniasid 300 mg/hari
Dosis 300 mg/setiap pemberian
<50 kg: 450 mg/hari <50 kg: 450 mg/hari
Rifampisin
≥50 kg: 60 ≥50 kg: 600 mg/
<50 kg: 1,5 g/hari 25-30 mg/kgBB/hari,
Pirasinamid
≥50 kg: 2 Diberikan 3x/minggu
15-25 mg/kgBB/hari,
Etambutol 15 mg/kgBB/hari
Diberikan 3x/minggu
6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM) ( ¹² )
TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes
mellitus.
Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:
a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi
pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
c) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM
sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas
obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan

7) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid


Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa
pasien seperti:
a) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
b) TB milier dengan atau tanpa meningitis
c) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial
d) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing
(untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening
dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.
e) Hipersensitivitas berat terhadap OAT.
f) IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome )

Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya
keluhan serta respon klinis.
Predinisolon (per oral):
• Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari
• Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari
Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus
diturunkan secara bertahap (tappering off).

8) Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru),
adalah:
a) Untuk TB paru:
• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
• Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.
b) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya
pasienTB tulang yang disertai kelainan neurologik.
Efek samping OAT dan penatalaksanaannya
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek
samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek
samping yang merugikan atau berat.
Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk memantau
kondisi klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat
segera diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara
rutin tidak diperlukan.
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan
kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta
menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan.
Selain daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan
dan aktif menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk
mengambil obat.
Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat
pada kartu pengobatannya.
Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap
melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau
pengobatan tambahan untuk menghilangkan keluhannya.
Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara
dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih
lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit.
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan
pendekatan keluhan dan gejala.
Efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila


keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan
Tidak ada nafsu makan, sedikit makanan
H, R, Z
mual, sakit perut Apabila keluhan semakin hebat disertai
muntah, waspada efek samping berat dan
segera rujuk ke dokter.
Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti
Nyeri Sendi Z
radang non steroid
Kesemutan s/d rasa ter- Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 – 75 mg
per
bakar di telapak kaki H
hari
atau tangan
Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi
Warna kemerahan pada
R obat penawar tapi perlu penjelasan kepada
air seni (urine)
pasien.
Flu sindrom (demam,
R dosis Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi
menggigil, lemas, sakit
intermiten setiap hari
kepala, nyeri tulang)
Tabel 14. Efek samping berat OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


Bercak kemerahan kulit (rash) Ikuti petunjuk
H, R, Z, S
dengan atau tanpa rasa gatal penatalaksanaan dibawah*
Gangguan pendengaran (tanpa
S S dihentikan
diketemukan serumen)
Gangguan keseimbangan S S dihentikan
Semua OAT dihentikan
Ikterus tanpa penyebab lain H, R, Z
sampai ikterus menghilang.
Bingung, mual muntah Semua OAT dihentikan,
Semua jenis
(dicurigai terjadi gangguan fungsi segera lakukan pemeriksaan
OAT
hati apabia disertai ikterus) fungsi hati.
Gangguan penglihatan E E dihentikan.
Purpura, renjatan (syok), gagal
R R dihentikan.
ginjal akut
Penurunan produksi urine S S dihentikan.

* Penatalaksanaan pasien dengan efek samping pada kulit


Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan
untuk memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab kulit.
Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila kemudian
terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau
fasyankes rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di
fasyankes rujukan dapat dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan
terjadinya reaksi dikulit dengan cara ”Drug Challengin ”:
• Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap satu persatu
dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H atau
R ) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid.
• Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila tidak
timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT
lagi.
• Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT yang
diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut.
• Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan dapat
dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut.

** Penatalaksanaan pasien dengan ”drugs induced hepatitis”


Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang mengalami keluhan
gangguan fungsi hati karena pemberian obat (drugs induced hepatitis). Penatalaksanaan
pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit penyerta pada hati, diuraikan
dalam uraian Pengobatan pasien dalam keadaan khusus.

OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z.
Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti gangguan
fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab lain
sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan
OAT.
Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB
tergantung dari:
• Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan
• Berat ringannya gangguan fungsi hati
• Berat ringannya TB
• Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat

Langkah langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai kondisi:


1. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena OAT,
pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan
yang diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik.
Bila fungsi hati normal atau mendekati normal, berikan Rifampisin dengan dosis
bertahap, selanjutnya Isoniasid secara bertahap.
2. TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien, dapat
diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu OAT
dari golongan fluorokuinolon.
3. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati
kembali normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai
pengobatan kembali.
4. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu
sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati
sudah tidak teraba sebelum memulai kembali pengobatan.
5. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat, paduan
pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan salah satu golongan kuinolon
dapat diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.
6. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan OAT semula dapat dimulai
kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala gangguan fungsi hati kembali
muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak normal, OAT yang
ditambahkan terakhir harus dihentikan. Beberapa anjuran untuk memulai
pengobatan dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada
pasien yang pernah mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali
pengobatan dengan H dan R, sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan
Pirazinamid.
7. Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan fungsi
hati. Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2HES/10HE.
Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE.
Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap awal, total
lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9 bulan.
Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT non
hepatotoksik terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon harus
dilanjutkan sampai 18-24 bulan.
8. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap awal
dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi,
berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk
menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan pemberian H dan R selama 6 bulan
tahap lanjutan.
9. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap lanjutan
(paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali
pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan.
sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak
Referensi:

Pedoman pengendalian tuberkulosis 2014 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

GINJAL DAN SALURAN KEMIH

Acute Kidney Injury

Definisi

Penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya
berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen,
dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Kriteria RIFLE

Klasifikasi Etiologi

1. Pre-renal AKI (55%)


- Penyakit yang menyebabkan terjadinya hipoperfusi ginjal tanpa terjadinya kerusakan
integritas parenkim ginjal.
2. Intrinsik renal AKI (40%)
- Penyakit yang langsung merusak parenkim ginjal
3. Post renal AKI (5%)
- Penyakit yang terkait obstruksi saluran kemih
Diagnosis

1) Anamnesis dan PE sesuai etiologi


2) Urinalisis
- Sedimen granular berwarna coklat (ATN)
- Sedimen eritrosit dismorfik (tanda injury pada glomerulus)
- Sedimen leukosit dan tidak berpigmen (nefritis interstisial)
- Albuminuria
3) Renal failure indices
Untuk membedakan pre-renal dan intra-renal dengan menggunakan rumus:

𝐻𝑎𝑠𝑖𝑙<1% 𝑝𝑟𝑒−𝑟𝑒𝑛𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑛 𝑔𝑙𝑜𝑚𝑒𝑟𝑢𝑙𝑜𝑛𝑒𝑓𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠


𝐻𝑎𝑠𝑖𝑙>2% 𝐴𝑇𝑁
Ket :
UNa = Na Urin
PNa = Na Plasma
4) Blood Laboratory Findings
- Darah lengkap
- Kreatinin serum
- Elektrolit (Na, K, fosfat, Ca)
- Asam urat
- Kreatinin kinase

5) Radiologi
- USG/CT digunakan untuk melihat adanya obstruksi dan ukuran serta echogenitas ginjal
- Vascular imaging digunakan unuk pasein dengan suspek oklusi vascular
6) Renal biopsy
7) Biomarkers
- BUN dan kreatinin
- KIM-1 (Kidney Injury Molecule-1)
- NGAL/ lipocalin-2/ siderocalin
- IL-18
- L-Type fatty acid binding protein

Perbedaan AKI prarenal dan postrenal

Klasifikasi albuminuria
Kategori Urin 24 jam (mg/24 Urin dalam waktu Urin sewaktu (µg/mg
jam) tertentu (µg/menit) kreatinin)
Normal <30 <20 <30
Mikroalbuminuria 30-299 20-199 30-299
Makroalbuminuria ≥300 ≥200 ≥300

Tatalaksana

 Tergantung Etiologi
1. Prerenal
Optimalisasi renal perfusion: isotonik crystalloid/coloid. Untuk hipovolemik ringan
berikan 0,45% salin, sedangkan hipovolemik berat 0,9% salin.
2. Renal
- Acute glomerulonephritis/vaskulitis: imunosupresif agent
- Allergic interstitial nephritis ec drug: hentikan obat
- Scleroderma: ACF inhibitor
- dll
3. Post-renal
- Urethral stricture/bladder impairment: transurethral/suprapubic bladder catheter
- Ureteric obstruction: percutaneous nephrostomy tube placement/ureteral stent
placement
 Prinsip Manajemen
1. Optimalisasi hemodinamik (sistemik & renal) + vasopresor (untuk yang hipotensi  jaga
tekanan darah sistemik  renal blood flow & function terjaga.
2. Perbaiki ketidakseimbangan air dan elektrolit
3. Hentikan obat obat yang bersifat nefrotoksik (untuk etiologi renal AKI) dan obat-obat
antihipertensi dan diuretik (untuk etiologi pre-renal AKI).
4. Inisiasi renal placement therapy (jika ada indikasi)

Indikasi inisiasi dialysis (segera):

Gagal ginjal yag disertai salah satu berikut:

a. Sindrom uremia: mual, muntah, gelisah


b. Kesadaran menurun
c. Hiperhidrasi
d. Asidosis (pH darah <7.2 yang tidak berhasil dikoreksi)
e. Hyperkalemia (lebih dari 7 mEq/L)
f. Kadar ureum 200mg% atau lebih
g. Kadar kreatinin serum 8mg% atau lebih
h. Anuria > 3 hari atau lebih

Kriteria oliguria: urin <500 cc/ 24 jam, anuria: 100 cc/ 24 jam, anuria total: tidak ada produksi urin
sama sekali.

Tatalaksana Komplikasi
Gangguan Asam-Basa
Sumber:

Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison’s principle of internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-
Hill, Inc; 2005.p.1644-53.

Sinto R, Nainggolan G. Acute Kidney Injury : Pendekatan Klinis dan Tata Laksana. 2010;81–8.

Chronic Kidney Disease

Definisi

Penurunan GFR  60 ml/min/173 m2 untuk  3 bulan disertai kelainan struktur histopatologi renal
atau petanda (marka) kelainan struktur ginjal yaitu kelainan biokimia dan urinalisis, atau kelainan
pencitraan ginjal (renal imaging)

GFR (Glomerular Filtration Rate), Creatinin Clearence (Ccr), dan Stadium

Nilai normal Ccr:


Cockcroft-Gault equation
Laki-laki: 97-137
mL/menit/1.73m2
Perempuan: 88-128
mL/menit/1.73m2
Stadium Deskripsi GFR (ml/min/173 m2) Rencana Tatalaksana
Terapi penyakit dasar
Evaluasi perburukan
Kerusakan ginjal disertai GFR normal
I  90 fungsi ginjal
atau meningkat
Perkecil risiko
kardiovaskular
II Kerusakan ginjal disertai penurunan 60 - 89 Menghambat
ringan GFR perburukan fungsi
ginjal
30 - 59 Evaluasi dan terapi
III Penurunan sedang (moderat) GFR
komplikasi
Persiapan untuk terapi
IV Penurunan berat GFR 15 – 39
pengganti ginjal
Terapi pengganti
V Gagal ginjal < 15 atau dialisis ginjal atau
hemodialisa (HD)

Diagnosis

1. Gejala subyektif (symptoms)

 Umum : Lemah badan, cepat lelah


 Saluran cerna : nafsu makan turun, mual & muntah, lidah, hilang rasa, cegukan
 Neuromuskuler : Tungkai lemah, parestesi, kram otot-otot, daya konsentrasi turun
insomnia dan gelisah
 Kelamin : Libido menurun (hilang), nokturia atau oliguria
 Kardiovaskuler : Sesak nafas, sembab, batuk, nyeri perikardial
2. Gejala obyektif (signs)
 Umum : Nampak sakit, mengurus
 Kulit : Hiperpigmentasi, kering (ekskoriasis)
 Kepala : Sembab (puffy), anemia, retinopati
 Kardiovaskuler : Hipertensi, kardiomegali, sembab
 Neuromuskuler : Neuropati perifir, asteriksis, mioklonus
3. Laboratorium rutin:
 Kenaikan BUN & Kreatinin serum
 anemia normokrom normositer
 leukopenia
 trombopati/ trombositopenia
 hiperurikemia, hiper-fosfatemia, hipokalsemia
 proteinuria, hematuria dan silinderuria
Sumber:

Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison’s principle of internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-
Hill, Inc; 2005.
Hipertensi

Definisi

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah >140 mm Hg (tekanan
sistolik) dan/atau ≥90 mmHg (tekanan diastolik) ( Joint National Committe on Prevention Detection,
Evaluation, and Treatment of High Pressure VII,2003).

Klasifikasi

Joint National Committee VII (JNC VII)

World Health Organization (WHO


Faktor Risiko
Algoritma Tatalaksana

JNC VII

Pemberian obat dengan indikasi khusus


Modifikasi gaya hidup
JNCVIII
Obat hipertensi

1. ACE Inhibitor
Generik Sediaan Dosis Contoh Merek
Captopril Tab  Awal 12.5 mg Scantensin, Lotensin,
12.5 mg 3x/hari, dapat Metopril, Captensin,
25 mg dinaikan bertahap Vapril
50 mg hingga 25 mg
3x/hari.
 Pemberian: 1 jam
a.c atau 2 jam p.c
Enapril Tab 5-10 mg  Awal 5 mg/hari, Meipril tab 5, 20 mg
naikan bertahap Rencardon tab 5, 10
10-40 mg/hari mg
dosis tunggal
 Dosis dewasa
dengan kelainan
ginjal: 2.5-5
mg/hari
Lisinopril Tab 5-10 mg  Awal 10 mg Odace tab 10 mg
1x/hari. Maintain Tensinop tab 5, 10
20 mg sebagai mg
dosis tunggal.
Dosis max terapi
jangka panjang: 80
mg/hari
 CHF: awal 2.5
mg/jam.
 Kisaran dosis
efektif: 5-20
mg/hari
Ramipril Tab 2.5-5 mg  HT: awal 2.5 mg Reductens, Triatec
1x/hari
 Maintain 2.5-5 mg/
hari. Max: 10
mg/hari
Quinapril Tab 20 mg  Awal 10-20 mg, Accupril
1x/hari. Bisa
naikkan jadi 20-40
mg. max: 80
mg/hari
 Pemberian:
sebelum makan
pada jam yang
sama setiap hari
Imidapril Tab 5-10 mg  5-10 mg 1x/hari Tanapress
Perindopril Arginine Tab 2, 4, 8 mg  HT: dosis 4 mg/hari Bioprexum
pagi hari dapat
dinaikan 8 mg
setelah 1 bulan
 gagal jantung: 2
mg/hari, dapat
ditingkatkan 4
mg/hari setelah 1
bulan
Efek samping ACEI: hipotensi, pruritus, batuk kering, ruam kulit, takikardi, hyperkalemia.
Efek hipotensi pada dosis awal sebaiknya selalu diwaspadai pada saat memulai terapi
hipertensi dengan ACEI pada penderita usia lanjut.

2. ARB (Angiotensin II Receptor Blocker)


Generik Sediaan Dosis Contoh Merek
Losartan Tab 50 mg Awal 50 mg 1x/hari, Lifezar tab 50-100
naikan sampai 100 mg, acetensa,
mg/hari. Beri dala 1- angioten, sartaxal
2 dosis
Valsartan Tab 40, 80, 160 mg HT: 80 mg/hari, Diovan,
dapat dinaikan Valsatran NI tab 80,
sampai 160 mg/hari 160 mg
CHF: awal 40 mg
2x/hari, naikkan jadi
80, 160  2x/hari
Candesartan Tab 8-16 mg Awal: 4 mg 1x/hari Canderin,
dapat dinaikan Biopress tab 8 mg,
sampai 16 mg 16 mg
1x/hari
Irbesatran Tab 150-300 mg 150-300 mg, pasien Aprovel, Iretensa,
lanjut usia dan HD Invask, Irvell, Irvask,
dosis awal 75 mg Fritens
Telmisartan Tab 20, 40, 80 mg 20-40 mg, max: 80 Micardis 80 mg
mg 1x/hari
Olmesartan Tab 20, 40 mg Awal: 20 mg 1x/hari Olmetec
dapat ditingkatkan
sampai 40 mg/hari
atau kombinasi
dengan HCT
3. CCB (Calcium Channel Blocker)
Generik Dosis Contoh Merek
Diltiazem Tab: 30 mg 4x/hari, Herbesser tab 30-60
I: tab untuk angina pectoris, vial dapat dinaikkan mg
untuk Fibrilasi atrium, sampai 360 mg/hari Dilmen tab 60 mg
superventrikular takikardia terbagi dalam 3-4 Farmabes tab 30 mg,
Non
dosis vial 5 mg/mL 5 mL
dihidro-
HT emergensi: 5-15
piridin
mcg/menit/kgBB
perdrips
Verapamil 80-320 mg Isoptin SR 240 mg
Cardiover tab 80 mg
Amlodipin 2.5-10 mg Norvask, Comdipin,
Sediaan: 5-10 mg Cardisan, Cardicap,
Dihidro-
Ethivask, Divask,
piridin
Amdixal
Felodipine Awal 5 mg 1x/hari. Nirmadil tab 5 mg,
Maintain: 5-10 Plendil tab 5 mg
mg/hari
Nifedipine 30-60 mg Vasdalat tab 5-10
mg,
Xepalat kaps 10 mg
Nicardipine Untuk turunkan Blistra 10 mL
tekanan darah Perdipine 1 mL, 10
dengan cepat: 10-30 mL
mcg/kg IV Tensilo inj 10 mg/10
Sediaan: amp 1 mL 10 mL
mg/mL  2 mL, 10
mL
4. Beta-Blocker  tidak untuk asma bronkial
Generik Sediaan Dosis Contoh Merek
Propanolol (non 5 mg, 10 mg Untuk HT: dosis awal Farmadral
kardioselektif) 20 mg 3x/hari,
ditingkatkan jadi 40
mg 3-4x/hari setelah
3 hari
Efeksamping:
bronkospasm,
bradikardi,
hiperglikemia
Atenolol 50 mg, 100 mg 50-100 mg Niften, Betablok
Bisoprolol 5 mg 2.5 mg-20 mg Concor
Metoprolol 100 mg Hipertensi: 100-200 Lopresor, Loprolol
mg/hari dosis
tunggal pada pagi
hari atau terbagi
dalam 2 dosis
Karvedilol Tab 6.25 mg, 25 mg Dosis: 1x12.5 atau 25 Vbloc 6.25 mg,
mg Carbloxal
Tablet 6.25
digunakan untuk
gagal jantung
5. DRI (Direct Renin Inhibitor)
Aliskiren Sediaan 150-300 mg, contoh merek: Razilez
Dosis: 150-300 mg 1x1
6. Alpha-1 Blocker
Terazosin Contoh merek: Hytrin tab 1 mg, 2 mg
Dosis: hipertensi 1 mg/hari sebelum tidur,
ditingkatkan 2 mg setelah 7 hari; dosis
penunjang lazim 2-4 mg/hari
Doksazosin Cardura tab 1 mg, 2 mg
Dosis: hipertensi 1 mghari sebelum tidur,
setelah 1-2 minggu ditingkatkan menjadi 2-4
mg/hari bila perlu, max: 8 mg/hari
7. Diuretic
Generik Sediaan Contoh Merek
Hidrochlorthiazide 25-50 mg Dosis: 50-200
Thiazide
mg/hari
HCT tab 25 mg
Bendroflumethiazide - -
Chlorothiazide - -
Furosamide Tab 40 mg, amp 10 Lasix, Farsix
mg/mL 2 mL Tab 40 mg
Amp 20 mg/2 mL
Dosis awal: 40 mg
Loop 2x/hari
Diuretic Torsemide Tab 5, 10, 20, 100 Dosis: edema 5
mg mg/hari pagi hari, HT
Amp 10 mg/mL 2.5 mg/hari dapat
ditingkatkan 5
mg/hari
Spironolactone Tab 25 mg, 100 mg Letonal, Aldactone
Tab 25 mg, 100 mg
Dosis: 50-100
Calcium-
mg/hari
sparing
Triamteren Tab 50 mg, 100 mg Dosis: 150-250
diuretic
mg/hari, dosis dibagi
setelah sarapan dan
makan siang
8. Alpha-2 Blocker
Metildopa Tab 250 mg, inj 50 mg/mL Aldomet
Dosis: oral 2-3x250 mg/hari,
dapat naik bertahap tiap 2
hari. Max: 3 gr/hari
Lansia 2x125 mg/hari, max: 2
gr/hari
Infus: IV 250-500 mg, boleh
diulang tiap 6 jam
Clonidin Tab 75 µg, vial 15 µg Catapres
Dosis: oral 3x50-100
mcg/hari, dapat naik tiap 2/3
hari.
Max: 1.2 mg/hari
Infus IV: lambat perlahan
150-300 mcg, max: 750
mcg/24 jam
9. Direct Vasodilator
Hidralazin
Minoxidin
Diazoksin

Contoh obat hipertensi kombinasi


Coaprovel
Micardis Plus
Irbesartan, HCT Biopress Plus
Telmisartan, HCT
Sediaan: tab Candesartan 16 mg, HCT
Sediaan: tab 40 mg/12.5 mg
150 mg/12.5 mg 12.5 mg
80 mg/12.5 mg
300 mg/12.5 mg
Exforge Lodoz
Amlodipine, valsartan Bisoprolol, HCT
Sediaan: tab 5 mg/80 mg; 5 Sediaan:
mg/160 mg; 10 mg/160 mg Lodoz 2.5  2.5 g/6.25 mg
Lodoz 5  5 mg/6.25 mg

Sumber:

Norman M. Kaplan, MD. Kaplan’s Clinical Hypertension. 2014; 11th Edition.

Joint National Comitte VII

Joint National Comitte VIII

WHO

Krisis Hipertensi

Definisi

Hipertensi krisis adalah keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah segera
karena akan memengaruhi keadaan pasien selanjutnya, yang ditandai dengan peningkatan tekanan
darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari
peningkatan darah tersebut.

Klasifikasi
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak
disertaikerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin
dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi intravena.

2. Hipertensi urgensi (mendesak)


Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai
kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24
jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.
Tatalaksana
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajemen penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan
memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial
Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal
penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg.
B. Obat-obatan Spesifik
Obat Golongan Dosis Onset Efek Samping
Captopril angiotensin-converting diberikan 25 15-30 menit batuk,
enzyme (ACE) inhibitor mg sebagai hipotensi,
dosis awal hiperkalemia,
kemudian angioedema,
tingkatkan dan gagal ginjal
dosisnya 50- (khusus pada
100 mg pasien dengan
setelah 90- stenosis pada
120 menit arteri renal
kemudian. bilateral).
Nicardipine calcium channel blocker (CCB) Penggunaan Efek samping
dosis oral yang sering
biasanya 30 terjadi seperti
mg dan dapat palpitasi,
diulang setiap berkeringat
8 jam hingga dan sakit
tercapai kepala.
tekanan darah
yang
diinginkan.
Labetalol gabungan antara α1 dan β- dapat antara 1-2 jam. Efek samping
adrenergic blocking diberikan yang sering
mulai dari muncul adalah
dosis 200 mg mual dan sakit
secara oral kepala.
dan dapat
diulangi setiap
3-4 jam
kemudian.
Clonidine obat-obatan golongan Dosis awal mulai kerja Efek samping
simpatolitik sentral (α2- bisa diberikan antara 15-30 yang sering
adrenergicreceptor agonist) 0,1-0,2 mg menit terjadi adalah
kemudian dan puncaknya sedasi, mulut
berikan 0,05- antara 2-4 jam. kering dan
0,1 mg setiap hipotensi
jam sampai ortostatik.
tercapainya
tekanan darah
yang
diinginkan,
dosis
maksimal
adalah 0,7
mg.

2. Hipertensi Emergensi
A. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada
kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan
parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar
monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat
ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial
Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan
tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung dan pembuluh
darah orak mengalami hipoperfusi.
B. Obat-obatan Spesifik
Sumber:

Norman M. Kaplan, MD. Kaplan’s Clinical Hypertension. 2014; 11th Edition.

Devicaesaria A. Hipertensi Krisis. 2014;27(3):9–17.

Infeksi Saluran Kemih

KLASIFIKASI

1. Anatomical level of nfection


a. Urethra; urethritis
b. Urinary bladder; cystitis
c. Kidney;pyelonephritis
d. Bloodstream; sepsis
2. Grade of severity f infection
3. Microbiological findings

Klasifikasi lainnya:

- ISK sederhana/ tak berkomplikasi: ISK yang terjadi pada wanita yang tidak hamil dan
tidak terdapat disfunsi struktural ataupun ginjal

- ISK berkomplikasi: ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pada anak-anak, laki-
laki, atau wanita hamil
GASTROENTEROHEPATIKA

DISPEPSIA

Definisi Suatu keadaan (bukan diagnosis, namun suatu sindrom) yang ditandai oleh salah satu atau lebih
gejala utama area gastroduodenal berikut : nyeri epigastrium, rasa terbakar epigastrium, rasa
penuh setelah makan, dan sensasi cepat kenyang.

Klasifikasi Dispepsia dibagi menjadi organik dan fungsional

I. Dispepsia Organik
Merupakan dispepsia yang disebabkan oleh kelainan struktur, biokimia, atau sistemik.
Kondisi ini tergantung pada etiologi. Berikut penyakit yang dapat menyebabkan dispepsia :

 Kelainan struktural pada saluran cerna


 Ulkus peptiku, ulkus duodenum, esofagitis refluks, gastritis kronis, gastritis OAINS
(NSAID), penggunaan obat-obatan seperti teofilin (obat xanthine bronchodilator),
digitalis (e.g digoxin, untuk CHF), dan antibiotik.
 Penyakit hepatobilier
 Kolestatis kronik, pankreatitis kronik, hepatitis, hepatoma, keganasan

II. Dispepsia Fungsional


Diagnosis dispepsia fungsional dapat ditegakkan bila setelah melalui pemeriksaan
endoskopi, biopsi, kultur, laboratorium, serta pencitraan tidak ditemukan penyebab
organiknya. Keluhan dispepsia harus berulang dalam 3 bulan, dan awitan setidaknya 6 bulan
sebelumnya.

Menurut ROME III, Dispepsia fungsional dibagi menjadi :

1. SINDROM DISTRESS POST-PRANDIAL (SDP)


Memenuhi salah satu dari dua syarat berikut :
 Rasa penuh setelah makan yang menganggu (makan dengan porsi biasa), terjadi
beberapa kali dalam seminggu
 Rasa cepat kenyang sehingga tidak menghabiskan makanan, terjadi beberapa kali
dalam seminggu
kriteria suportif :
 Kembung di perut bagian atas, mual atau bersendawa setelah makan.
 Dapat terjadi bersamaan dengan sindroma nyeri epigastrik
2. SINDROMA NYERI EPIGASTRIK (SNE)
Memenuhi semua syarat sebagai berikut: Nyeri atau rasa terbakar di epigastrium,
intensitas moderat, setidaknya sekali dalam seminggu.

 Nyeri intermiten
 Tidak tergeneralisasi atau terlokalisasi ke area selain abdomen
 Tidak membaik setelah defekasi atau buang gas
 Tidak memenuhi kriteria kelainan batu empedu atau kelainan sfingter oddi
Kriteria suportif :

 Nyeri seperti terbakar, tapi bukan di area retrosternal


 Nyeri diinduksi atau diredakan oleh makanan, namun dapat terjadi selama puasa
 Dapat terjadi bersamaan dengan SDP

Tata Pemeriksaan penunjang :


Laksana
1. Endoskopi : dilakukan jika usia diatas 55 tahun, atau dibawah 55 tahun namun memiliki
warning sign seperti : anemia, pendarahan, muntah terus menerus, penurunan berat
badan >10% tanpa sebab yang jelas, disfagia yang memberat, odinofagia, riwayat
keganasan lambung atau duodenum pada keluarga, riwayat keganasan esofagus,
riwayat ulkus peptikum sebelumnya yang terdokumentasi, massa intraabdomen, atau
limfadenopati.
2. USG
3. Pencitraan dengan barium meal
4. Gold Standard : Urease Breath Test (UBT)

Jika prevalensi infeksi H.pylori <10%, diberikan terapi empiris yaitu PPI, jika prevalensi
H.pylori >10%, dilakukan UBT.

Pilihan regimen terapi eradikasi infeksi H.pylori

Referensi : Kapita selekta Kedokteran edisi IV

PEPTIC ULCER

Klasifikasi Berdasarkan lokasi

1. Gastric ulcer
2. Duodenal ulcer
3. Esophageal ulcer
4. Meckel’s diverticulum ulcer : A Meckel's diverticulum is a pouch on the wall of the lower
part of the intestine that is present at birth (congenital).
Johnson Classification of Peptic Ulcer
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1477018/)

• Type I: Ulcer along the body of the stomach, most often along the lesser curve at
incisura angularis along the locus minoris resistentiae.
• Type II: Ulcer in the body in combination with duodenal ulcers. Associated with acid
oversecretion.
• Type III: In the pyloric channel within 3 cm of pylorus. Associated with acid
oversecretion.
• Type IV: Proximal gastroesophageal ulcer
• Type V: Can occur throughout the stomach. Associated with chronic NSAID use .

Forrest classification of peptic ulcer ( untuk surgical perspective)

Tata 1. Ulkus peptikum karena infeksi H.pilory


Laksana PPI dan antibiotik selama 14 hari, dilanjutkan terapi supresi asam selama 4 minggu, lalu
ulangi endoskopi untuk melihat penyembuhan ulkus.

2. Ulkus peptikum karena penggunaan NSAID


Obat NSAID dihentikan, jika dibutuhkan karena ada penyakit komorbid, maka
penggunaannya disertai PPI

3. Ulkus peptikum bukan karena infeksi H.pilory atau NSAID


 H2RA + Antacid untuk mensupresi asam
 Sukralfat untuk membentuk barier pada dinding mucosa, meningkatkan
pembentukan prostaglandin dan bikarbonat dan memberikan kesempatan pada
mukosa untuk sembuh
 PPI , namun hanya diberikan jika terapi dengan H2RA gagal atau memiliki
kontraindikasi.
4. Terapi on-demand
Setelah penyembuhan, maka pasien hanya diberikan terapi jika ada gejala, yaitu dengan
supresi asam selama 2-3 hari dengan dosis standar, dilanjutkan setengah dosis selama 2
minggu bila gejala muncul

5. Terapi pemeliharaan / maintanance


Pasien yang memiliki komplikasi seperti pendarahan atau perforasi, atau pasien ulkus
yang disertai dengan GERD, atau pasien dengan usia diatas 60 tahun. Diberikan terapi
H2RA dosis standar, sekali sehari, selama 1 bulan – 1 tahun. Tidak diberika PPI jika
pengobatan lebih dari 8 minggu.

Referensi :

Kapita selekta kedokteran edisi IV

KLASIROSIS HEPATIS

Klasifikasi

Sirosis

Sumber : http://www.hepatitisc.uw.edu/go/evaluation-staging-
monitoring/evaluation-prognosis-cirrhosis/core-concept/all
HEPATIC ENCELOPATHY

DERAJAT (GRADING OF) HEPATIC ENCEPHALOPATHY

Definisi Hepatic encephalopathy adalah suatu sindrom yang terjadi pada pasien sirosis. Didefinisikan
sebagai spektrum abnormalitas neuropsikiatrik pada pasien dengan disfungsi hepar, setelah
diagnosis gangguan pada otak di eksklusi. Dikarakteristikan dengan adanya perubahan
personalitas, gangguan kemampuan intelektual, dan penurunan kesadaran.

Klasifikasi 1. Berdasarkan underlying disease


- Tipe A : berasal dari ALF ( Acute Liver Failure)
- Tipe B : berasal dari portosistemik bypass atau shunting
- Tipe C : berasal dari cirrhosis
Gejala pada tipe B dan C hampir sama, sedangkan untuk tipe A, memiliki kaitan dengan
peningkatan tekanan intrakranisal dan resiko terjadinya herniasi otak.

2. Berdasarkan tingkat keparahan (grading)


Sumber :
https://www.aasld.org/sites/default/files/guideline_documents/hepaticencephenhanced.pdf
(american association for the study of liver disease)

SIRKULASI VENA PORTA

Darah yang beredar pada organ –organ pencernaan berasal dari aorta pada hiatus diaphragma pada level
sekitar T7, turun sedikit ke L4 dengan posisi sedikit kiri dari midline. Aorta bercabang menjadi visceral branch
dan parietal branch. Pembuluh-pembuluh darah yang akan memperdarahi GI tract berasal dari visceral branch,
yaitu celliac trunk, SMA, dan IMA, selain itu juga terdapat middle suprarenal artery, renal artery, internal
spermatic dan gonadal artery.

Untuk drainase, darah dari GI tract masuk ke dalam vena porta, lalu meninggalkan liver melalui hepativ veins
dan kemudian masuk ke inferior vena cava.

Semua drainase dari GI tract, spleen, pancreas, dan gallbladder (kecuali inferior part of rectum) masuk ke
portal sistem / vena porta yang merupakan gabungan dari sphlenic vein dan superior mesenteric vein.

Superior mesenteric vein

Menerima drainase dari small intestine,caecum,ascending colon,transverse colon. Berasal dari

- right gastroomental vein


- anterior pancreaticodudodenal arteri (melalui right gastroomental terlebih dahulu)
- posterior pancreaticoduodenal vein (langsung ke portal vein)
Sphlenic vein

- short gastric vein


- left gastroeplipoic vein
- pancreatic vein
- inferior mesenteric vein ( superior rectal vein, sigmoid vein, left colic vein)
Portal vein

- right and left gastric vein dan abdominal esophagus


- cystic vein dari gallbladder
- para umbilical vein

Terdapat area PORTOSYSTEMIC ANASTOMOSIS (anastomosis antara pembuluh darah yang berasal dari
portal system dan systemic system, disebut juga portocaval circulation)

1. Left gastric vein (yang letaknya di gastroesophageal junction) anastomosis dengan azygous vein (disini
bisa terjadi esophageal hemorrhoid)
2. Superior rectal vein anastomosis dengan middle dan inferior rectal veins dari systemic vein
3. Paraumbilical veins anastomosis dengan veins di anterior abdominal wall

sumber :

http://www.le.ac.uk/pa/teach/va/anatom
y/case5/liverani.gif
KLASIFIKASI IKTERUS

PRE-HEPATIC Disebabkan oleh peningkatan pemecahan RBC atau hemolisis sehingga terjadi
overproduction of bilirubin. Biasanya ditemukan dalam bentuk bilirubin unconjugated dan
urobilinogen

HEPATIC Terbagi menjadi dua, yaitu :

a. UNCONJUGATED hepatic hyperbilirubinemia


hal ini disebabkan gangguan pada proses konjugasi bilirubin sehingga kadar
bilirubin unconjugated meningkat, bilirubin conjugated menurun, dan penurunan
urin atau feces urobilinogen. Contohnya pada pasien yg mengalami defisiensi G6PD
b. CONJUGATED hepatic hyperbilirubinemia
disebabkan karena adanya inflamasi yang dapat menyebabkan edema pada sel sel
hepar, menyebabkan sel nekrosis dan bocornya bilirubin conjugated ke peredaran
darah.
POST-HEPATIC Disebabkan gangguan aliran bilirubin ke intestine, bisa terjadi karena adanya sumbatan,
sehingga tekanan di bile duct meningkat, terjadi regurgutasi sehingga bilirubin conjugated
bocor ke sirkulasi darah. Contohnya adanya keganasan, pancreatitis, atau batu empedu.
HEPATITIS

Hepatitis merupakan inflamasi yang terjadi pada hepar yang dapat disebabkan oleh berbagai
penyebab baik infeksi.(viral,bacterial,fungal,parasit) maupun non infeksi (alkohol,autoimun
desease,metabolic desease).

Klasifikasi :

1. akut : kebanyakan disebabkan oleh virus (kemungkinan sembuh spontan)


2. kronis : biasanya berdifferensiasi menjadi sirosis hati/hepatocelullar carcinoma
- fase immune tolerant : kadar DNA VHB tinggi, ALT normal
- fase immune clearance : fluktuasi ALT & DNA VHB
- fase pengidap inaktif : DNA VHB rendah (<2000 IU/ml), ALT normal, kerusakan hati
minimal
- fase reaktivasi : DNA VHB kembali > 2000 IU dan inflamasi hati kembali terjadi

e.c viral hepatitis :

- hepatitis A virus (HAV)

- hepatitis B virus (HBV)

- Hepatitis C virus (HCV)

- Hepatitis D virus (HDV)

- Hepatitis E virus (HEV)

HEPATITIS A

Merupakan RNA virus ,genus hepatovirus dan family picornavirus . Non envelope, pada virion
terdapat 4 kapsid polipeptida

Laboratorium hepatitis A
HEPATITIS B (DNA VIRUS)

Interpretasi lab hepatitis B :

Pemeriksaan lab yang digunakan antara lain :

1. HBs-Ag
Deteksi adanya antigen virus dalam tubuh ,sebagai penanda awal infeksi hepatitis B
2. Anti HBs
Deteksi adanya kekebalan atau antibodi terhadap virus hepatitis B
3. IgM Anti Hbc
Deteksi antibodi terhadap HBc-Ag (penanda pernah terinfeksi hepatitis B)
4. Hbe-Ag dan anti Hbe
Deteksi apa sedang terjadi replikasivirus aktif atau tidak dalam tubh penderita
5. HBV DNA kuantitatif
Mengetahui seberapa besar proses replikasi virus sedang terjadi di dalam tubuh, tetapi
hanya dilakukan bila penderita terinfeksi hepatitis B, sehingga dapat ditemukan pada tipe
mutant
Referensi : harison

Serologi Hasil Interpretasi &rekomendasi

HbsAg Negatif Tidak terinfeksi HBV, rentan terhadap


kemungkinan tertular dan
Anti-HBc Negatif direkomendasikan untuk vaksinasi
Anti-HBs Negatif

HbsAg Negatif Jika belum divaksinasi,


direkomendasikan untuk vaksinasi. Jika
Anti-HBc Negatif sudah divaksinasi dan titer < 10 mIU
maka direkomendasikan untuk diulang.
Anti-HBs Positif
Jika titer > 10 mIU dan sudah duvaksinasi
lengkap maka tidak lagi diperlukan
vaksinasi

HbsAg Positif Early acute infection

Anti-HBc Negatif

Anti-HBs Negatif

HbsAg Positif Infeksi akut

Anti- HBc Positif

IgM anti HBc Positif

Anti-HBs Negatif
HbsAg Negatif Infeksi kronik

Anti-HBc Positif

Anti-HBs Positif

HbsAg Negatif Proses infeksi telah berhenti dan pasien


mempunyai kekebalan terhadap HBV
Anti-HBc Positif (resolved infection)
Anti-HBs Positif

HbsAg Negatif Either distant resolved infection,


recovering from acute infection , false
Anti-HBc Positif positive, or occult chronic infection (HBV
DNA PCR positif)
Anti-HBs Positif
TREATMENT

Hepatitis A :

- Pemberian vaksin yang mengandung Anti-HAV : berfungsi sebagai prevention untuk


hepatitis .

Ex : casual contacts (office, factory, school, or hospital),

- Postexposure : pemberian prophylaxis (untuk seseorang yang kotak dekat dengan


hepatitis) ex : household, sexual, institutional

Prophylaxis : 0,02 ml/kg

- Untuk traveler ke daerah endemik/ yang tinggal di negara berkembang :


Prophylaxis sangat dianjurkan, travel lasted <3 months, 0.02 mL/kg was given; for longer
travel or residence in these areas, a dose of 0.06 mL/kg every 4–6 months was
recommended
- Vaksin Hepatitisdapat digunakan pada seseorang yang berumur kurang dari 1 (and
appear to provide adequate protection beginning 4 weeks after a primary inoculation).
Dapat juga diberikan 4 minggu pada sat akan terexposure , seperti : travel ke daerah
endemik.
- hepatitis A vaccine is the preferred approach to preexposure immunoprophylaxis. If
travel is more imminent, IG (0.02 mL/kg) should be administered at a different injection
site, along with the first dose of vaccine. Because vaccination provides long-lasting
protection (protective levels of anti-HAV should last 20 years after vaccination), persons
whose risk will be sustained (e.g., frequent travelers or those remaining in endemic
areas for prolonged periods) should be vaccinated, and vaccine should supplant the
need for repeated IG injections
Hepatitis B

- Pencegahan pada hepatitis B dapat diberikan passive immunoprophylaxis (either with


standard IG), mengandung level rendah anti-HBs, or hepatitis B immune globulin (HBIG),
mengandung high-titer anti-HBs.
- Untuk preexposure prophylaxis hepatitis B digunakan sesuai frequent exposure

Ex : (health workers exposed to blood; hemodialysis patients and staff; residents and staff of
custodial institutions for the developmentally handicapped; injection drug users; inmates of
long-term correctional facilities; persons with multiple sexual partners; persons such as
hemophiliacs who require long-term, high-volume therapy with blood derivatives;
household and sexual contacts of HBsAg carriers; persons living in or traveling extensively in
endemic areas; unvaccinated children under the age of 18; and unvaccinated children who
are Alaskan natives, Pacific Islanders, or residents in households of first-generation
immigrants from endemic countries),

three IM (deltoid, not gluteal) injections of hepatitis B vaccine are recommended at 0, 1, and
6 months .
ABSES HEPAR

PYROGENIC AMEBIC

Organisme : Umumnya akibat infeksi entamoeba


hystolitica
gram (-) E.coli 50-70% , gram (+) 25% dan
anaerob 50%

Gejala nonspesifik : Nyeri kuadran kanan atas lebih sering


ditemukan, demam pada 90% kasus
Demam (absen pada 30% kasus), chills,
nyeri kuadran kanan atas (45%), malaise,
BB ↓

Abses dari sistem bilier biasanya kecil Abses soliter dan besar, sering mengenai
dan multipel serta mengenai kedua lobus kanan hepar
lobus. Emboli septik via vena portal vein
biasanya soliter

Didominasi oleh penyakit yang Riwayat berpergian ke daerah endemic


mendasari : appendisitis, diverticulitis,
gangguan billier

OBAT-OBAT SALURAN CERNA DAN SISTEM HEPATIK

ANTAGONIS RESPTOR Cimetidine CORSAMET


HISTAMIN 2 (ARH-2) (cors) tab 200
Mengikat reseptor androgen
mg, 400 mg
Blokir efek sistem histamin dengan efek ginekomastia dan
pada sel parietal sehingga disfungsi seksual ULSIKUR kapl
tidak bisa dirangsang 400 mg, inj
untuk keluarkan asam Dosis : 2x400 mg 200 mg/2ml
lambung

Ranitidine

Dosis 1 x 300 mg FORDIN


(promed),
RADIN
(dexa),
RENATAC
(fahr) tab 150
mg, inj 50
mg/2ml,
Famotidine HEXER tab
150 mg, inj
Dosis : 1x 20 mg sebelum tdr
50 mg/2ml
1 x 40 mg (tukak aktif)

DENUFAM
(Capr) tab 20
mg

FAMOCID
(sanb) tab 20
mg, 40 mg

ANTASIDA Aluminium hidroksida AL(OH)3 ALLUDONA


(armo)
Daya menetralkan lambat tapi
masa kerjanya panjang Dosis : tab 1-
2 tab/hari
Efek samping utama :
kosntipasi . Dosis 0,6 gr/hari Susp 1-2
sdt/hari

Magnesium hidroksida
Mg(OH)2 PROMAG
DOUBLE
Digunakan sebagai kertartik
ACTION
dan antasida
Tiap tablet
Efek samping : diare mengandung
Ca bkarbonat
800 mg,
Magnesium trisiklat Mg(OH)2 165
mg
Dosis : 1-4 gr/ hari

DEXANTA
Kalsium bikarbonat
Tiap tablet
Dosis : 2-3 gr/hari
dan 5 ml susp
:Al(OH)3 200
mg, Mg(OH)2
200 mg,
simethicone
20 mg

Dosis : 1-2
tab/ 1-2 sdt
perhari

PPI Omeprazole OMZ (ferr)

Hambat pompa proton Dosis : 20 – 40 mg/ hari OZID


blok energi untuk (dava)Kaps
keluarkan HCL dari 20 mg, vial 40
kanaliuli sel parietal Lanzoprazole mg

Dosis : 30 mg/hari LAPRAZ


(sanb) kaps
30 mg

Esomeprazole PROSOGAN
kaps 15-30
Dosis : 20-40 mg/hari
mg

Pantoprazole LAZ kaps 30


mg
Dosis : 40 mg/hari
NEXIUM tab
20-40 mg,
vial 40 mg

PANSO vial
40mg/10 ml

PANTOZOL
tab 20-40
mg, vial 40
mg

MISOPROSTOL Analog prostaglandin E-1 CHROMALUX,


GASTRUL tab
Kontraindikasi : wanita hamil
200 mg
dan yang ingin hamil

Dosis : 200 mg 4 x 1

SUKRALFAT Membentuk lapisan INPEPSA susp


sitoprotektif yang melindungi 500 mg/5ml,
mukosa terhadap pengaruh botol 100 ml,
asam dan pepsin 200 ml

Dosis : 4x1 gr/hari MUCOGARD

ULSICRAL tab
500 mg, susp
500 mg/5ml

METOCHLORPAMIDE Antagonis dopamin, ETHIFERAN


merangsang pengosongan
lambung dan peristaltik SOTATIC tab
10 mg, susp 5
Dosis : 3x 10 mg mg/ml, inj 10
mg/2ml

ONDANSETRON Antagonis reseptor 5HT3 ONETIC tab 4


(serotonin) efek antiemetik mg,88 mg
sirup
Dosis : 4-8 mg 5mg/5ml,
Amp 4
mg/2ml, 8
mg/4ml

DOMPERIDON Dosis : 10-20 mg VOMETA,


VOSEDON
Tab 10 mg,
sirup 1
mg/ml, tetes
5 mg/ml

CISAPRIDE Agonis reseptor seretonin, PRIDESTA tab


agen gastroprokinetik 5 mg
(percepat pengosongan
STIMULIT tab
lambung
5 mg
Dosis : 3-4x 5 mg
ACPULSIF tab
5 mg

DISFLUX tab
5 mg

REBAMIDE Hambat pelepasan radikal MUCOSTA


bebas superoksida dan sitokin tab 100 mg
inflamasi, gastrobioregulator

Dosis : 3x100 mg

BISACODLYL Dosis : DULCOAX


tablet 5 mg,
Pencahar stimultant Per-oral 5-15 mg (malam) supp dewasa
Per-rectal 10 mg (pagi) 10 mg, supp
anak 5 mg

BICOLAX
tablet 5 mg

GLISERIL Dosis : 1x1-2 sdm (malam KOMPOLAX,


sebelum tdr) LAXADINE
Pencahar

LOPERAMIDE Dosis : 4 mg lalu 2 mg tiap BAB IMODIUM


encer Tab 2 mg
Anti- diare
Maksimal 16 mg/hari LODIA tab 2
mg

ATTAPULGITE Dosis : 2 tab setiap setelah DIAGIT


BAB. Maksimal 12 tab/hari attapulgite
Anti-diare 600 mg,
pectin 50 mg

NEW
DUATABS

BIODIAR

HYOSCINEN-BUTYL- Indikasi : spasme dan BUSCOPAN


BROMIDE hipermotilitas GI, spasme dan drag 10 mg ,
iskinestia saluran billier, kolik amp 20
ginjal, kolik abdomen mg/ml

Dosis : 1-2 tab 3-4 x/hari SCOPAMIN


tablet salut
Amp 1-2 amp IM/IV . maks 100 10 mg, amp
mg/hari 20 mg/ml

SCOBUTRIN
drag 10 mg

URSODEOXYCHOLIC ACID I : hepatitis kolestatis, URDALFALK


hepatitis kronik aktif, batu
empedu radioluscent dengan URDAHEX
diameter tidak > dari 20 mm Kaps keras
Dosis : 8-10 mg/kgBB/hari 250 mg
terbagi dalam 2-3 dosis .

MESALIZINE I : penyakit radang usus,untuk SALOFALK


pengobatan fase akut ringan
s/d sedang dan untuk cegah Tab 250
kekambuhan inflammatory mg,500 mg
bowel disease anema 4 gr,
supp 500 mg
Dosis : terapi akut 1,5 gr/hari
3x pemberian, rumatan 0,75-
1,5 gr/hr 3x pemberian MIDODRINE

Tab 250 mg,


500 mg

SPASMAL BRAXIDIN, KLIDIBRAX,


RENAGAS
Nethampyrone 500 mg
Chordiazepoxide 5 mg
Eks belladona 5 mg
Clinidium Br 2,5 mg
Papaverine HCL 30 mg Dosis : 3-4 tab/hari, lansia 1-2
tab/hr . berikan ½- 1 jam
Dosis : 1-2 tab sebelum makan

SPASMACINE STOBIOL

Paracetamol 500 mg, Bismuth subsalicylate


hyscine butylbromide 10
mg Dosis : dewasa 11/2- 2 tab
pada 1x pemberian, maks 11
Dosis : 1-2 tab 3x/hari tab/hari

Dosis total harian tdk lebih


dari 6 tab

NEO KAOLANA

Indikasi : terapi HP-PRO


simptomatik diare non-
spesifik yang tidak diketahi Ext .siccum kaps 7,5 mg
penyebab sebenarnya .

Dosis : dewasa dan anak


>12 tahun 2 sdm tiap habis
BAB, maks 12 sdm/hari .

Anak 6-12 tahun 1 sdm


setiap habis BAB ,maks 6
sdm/hari

CURLIV PLUS CURCUMA

Untuk proteksi dan Rhizoma curcuma


pemulihan liver
Tab 200 mg
Dosis : 1-2 kapl 3x/hari

PROLIVA, HEPA-BALANCE DIGEZYM

Selenium ,bloflanoids, I :membantu memelihara


alpha lipoic acid kesehatan saluran cerna

Dosis : 1-2 kapl/hari, beri 10


menit sebelum makan

ESCOL MAXILIV

I : suplemen untuk I :membantu memelihara


menyokong fungsi hati fungsi hati
Dosis : 3 kapl, 3x/hari Dosis : 1-2 kaps 3x/hari
sesudah makan

CIFLON HAEMOCAINE

I : untuk terapi hemmoroid I : hemmoroid akut interna


dan serangan hemmoroid dan eksterna,fissurani, prokitis
akut
Dosis : oles tipis tipis 2-4x/hari
Dosis : 2-6 kapl/hari

ARDIUM

Dosis : serangan
hemmoroid akut 6 tab
pada 4 hari pertama
kemudian 4 tab/hari
selama 3 hari, selanjutnya
2 tab/hari

Hemmoroid kronik 2
tab/hari

INFEKSI TROPIS

1. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)/ Demam Berdarah Dengue (DBD)

1.1. Definisi

Demam berdarah dengue merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang
ditandai dengan demam, tanda-tanda perdarahan, dan kebocoran plasma.

1.2. Faktor Risiko


- Sanitasi lingkunagn yang kurang baik, misalnya timbunan samah, timbunan
barang bekas, genangan air yang seringkali disertai di tempat tinggal pasien
sehari-hari
- Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti pada genangan air di tempat tinggal pasien
sehari-hari
- Adanya penderita demam berdarah dengue (DBD) di sekitar pasien.

Reference: Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014.

1.3. Etiologi

DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditransmisikan oleh nyamuk Aedes. Virus dengue
memiliki beberapa serotipe yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4.

Reference: Manson’s Tropical Infectious Disease, 23rd Edition

1.4. Klasifikasi

Reference: Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and Cotrol, WHO 2009
Reference: Comprehensive Guideline for Prevention and Control of Dengue Hemorrhagic
Fever, WHO 2011

1.5. Manifestasi Klinis

FASE FEBRIL - Demam tinggi, mendadak, 2-7 hari


- Facial flushing (muka kemerahan), Eritema kulit
- Nyeri seluruh badan, myalgia, arthralgia
- Sakit kepala
- Beberapa kasus ditemukan sakit tenggorokan, injeksi
farings dan konjungtiva
- Anoreksia, mual, muntah
- Perdarahan ringan seperti petechiae, perdarahan
membran mukosa (hidung, gusi). Dapat pula terjadi
perdarahan pervagina dan gastrointestinal, meskipun
jarang terjadi.

FASE KRITIS - Terjadi ketika suhu turun mencapai 37,5-38oC atau


kurang
- Biasanya terjadi pada hari 3-7 sakit
- Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler parallel
dengan peningkatan hematocrit dan terjadi kebocoran
plasma yang biasanya berlangsung 24-48 jam
- Kebocoran plasma sering didahului dengan leukopenia
progresif disertai penurunan hitung trombosit.
- Dapat terjadi syok
FASE - Terjadi setelah fase kritis
PENYEMBUHAN - Terjadi reabsorpsi cairan dari ekstravascular ke
intravascular secara perlahan setelah 48-78 jam
- Keadaan umum membaik, nafsu makan membaik,
hemodinamik stabil, diuresis membaik.

Reference: Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and Cotrol, WHO 2009

Reference: Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and Cotrol, WHO 2009

1.6. Diagnosis
A. Anamnesis
- Demam tinggi, mendadak, 2-7 hari, biphasic
- Manifestasi perdarahan: bintik-bintik merah di kulit, mimisan, gusi berdarah,
muntah berdarah atau buang air besar berdarah (gastrointestinal bleeding)
- Sakit kepala, myalgia, arthralgia, nyeri retroorbital (saat menggerakan mata
atau menekan mata)
- Gejala gastrointestinal: mual, muntah, anoreksia
- Pada kondisi syok, anak merasa lemah, gelisah, atau mengalami penurunan
kesadaran
- Pada bayi, demam yang tinggi dapat menimbulkan kejang.
- Faktor risiko

B. Pemeriksaan Fisik
- Demam > 37,5oC
- Petechiae, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa
- Rumple Leed (torniquiet) (+)
- Hepatospleomegaly
- Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma diperiksa tanda-tanda efusi
pleura dan ascites
- Hematesis atau melena

C. Penunjang
- Total WBC biasanya normal pada onset demam, kemudian terjadi leukopenia
dengan penurunan neutrophil
- Thrombocytopenia
- Kebocoran plasma Karena peningkatan permeabilitas kapiler yang ditandai
dengan:
o Peningkatan hematocrit ≥ 20% dari baseline
o Ditemukan adanya efusi pleura, ascites
o Hipoalbuminemia/hipoproteinemia
- Serology dengue, yaitu IgM dan IgG anti-dengue

New England Journal Medicine 2012;366:1423-32.

Reference:
o Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014.
o Comprehensive Guideline for Prevention and Control of Dengue Hemorrhagic
Fever, WHO 2011

1.7. Management

Pengobatan berdasarkan grup A,B,C

A. GRUP A
 Pasien yang mungkin dapat dirawat di rumah.
- Ajuran rehidrasi peroral dengan larutan rehidrasi oral, jus buah, dan minuman lain yang
mengandung elektrolit dan gula untuk menggantikan cairan yang hilang melalui demam dan
muntah.
- Beri paracetamol untuk demam tinggi jika pasien merasa tidak nyaman. Interval pemberian
paracetamol sebaiknya tidak kurang dari 6 jam. Tepid sponge jika demm masih tinggi.
Jangan berikan acetylsalicylic acid (aspirin), ibuprofen atau NSID lainnya karena dapat
merangsang terjadinya gastritis atau perdarahan. Aspirin dapat menyebabkan reye’s
syndrome.
- Bawa ke rumah sakit apabila: tidak ada perbaikan klinis, nyeri perut hebat, muntah terus-
menerus, akral dingin dan lembab, letargi atau gelisah, perdarahan (contoh: BAB warna
hitam atau munta seperti kopi), tidak BAK selama lebih dari 4-6 jam.

B. GRUP B
 Pasien yang sebaiknya dirujuk untuk penanganan rumah sakit.

Untuk pasien dengue dengan tanda bahaya (warning signs):

- Periksa hematocrit sebelum memulai terapi cairan. Berikan cairan isotonis seperti NaCl 0,9%,
Ringer’s lactate atau larutan hartmann. Mulailah dengan 5-7 mL/kgBB/jam selama 1-2 jam,
lalu kurangi menjadi 3-5 ml/kgBB/jam selama 2-4 jam, kemudian kurangi menjadi 2-3
ml/kgBB/jam atau kurang berdasarkan respon klinis.
- Periksa ulang keadaan klinis dan hematocrit. Jika hematocrit tetap sama atau meningkat
sedikit, maka lanjutkan pemberian cairan dengan kecepatan sama (2-3 ml/kgBB/jam) selama
2-4 jam. Jika tanda vital memburuk dan hematocrit meningkat cepat maka naikan cairan
menjadi 5-10 ml/kgBB/jam selama 1-2 jam. Periksa ulang keadaan klinis, hematocrit, dan kaji
ulang pemberian cairan.
- Berikan cairan IV minimal yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi adekuat dan
urine output sekitar 0,5 ml/kgBB/jam. Cairan IV biasanya diperlukan hanya 24-48 jam.
Kurangi cairan IV secara bertahap bila laju plasma leakage menurun ketika mendekati akhir
fase kritis. Hal ini diindikasikan dengan adekuatnya urine output dan/atau intake oral
adekuat, atau hematocrit menurun dibawah nilai batas pasien stabil.
- Pasien dengan tanda bahaya (warning signs) harus dipantau oleh tenaga kesehatan hngga
periode resiko berakhir. Keseimbangan cairan perlu dipertahankan. Parameter yang harus
dipantau adalah tanda vital dan perfusi perifer (pantau tiap 1-4 jam hingga pasien melewati
fase kritis), urine output (tiap 4-6 jam), hematocrit (sebelum dan sesudah terapi cairan, lalu
tiap 6-12 jam), glukos darah, dan fungsi organ lain (seperti ginjal, hepar, koagulasi, dll).

Untuk pasien dengue tanpa tanda bahaya (warning signs):

- Berikan cairan peroral. Jika tidak dapat ditoleransi, berikan cairan IV dengan NaCl 0,9% atau
Ringer’s Lactate dengan atau tanpa dextrose dengan kecepatan rumatan (maintenance
rate). Untuk pasien obesitas gunakan kalkulasi berdasarkan berat badan ideal. Pasien dapat
diberikan cairan peroral beberaapa jam setelah pemeberian cairan IV. Oleh karena itu,
pemeberian cairan harus terus direvisi. Berikan volume minimal yang diperlukan untuk
mempertahankan perfusi adekuat dan urine output. Cairan IV biasanya hanya diperlukan
selama 24-48 jam.
- Pasien harus dipantau oleh tenaga kesehatan untuk pola suhu, intake dan kehilangan cairan,
urine output (volume dan frekuensi), warning signs, hematocrit, leukocyte, serta platelet
count. Pemeriksaan lab lain (seperti fungsi hepar, ginjal) juga dapat dilakukan, tergantung dri
gamabaran klinis dan fasilitas rumah sakit.

C. GRUP C
 Pasien dengan dengue berat yang memerlukan penanganan darurat dan rujukan
darurat.

Resusitasi cairan intravena sangat penting dengan pemberian cairan isotonic crystalloid dan
volume yang cukup untuk menjaga sirkulasi yang efektif selama terjadi kebocoran plasma.
Kehilangan plasma harus segera digantikan dengan menggunakan cairan isotonic crystalloid,
atau pada kasus hypotensive shock dapat diberikan cairan colloid.

Penanganan syok terkompensasi


Penanganan syok hipotensi
Reference: Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and Cotrol, WHO 2009
Catatan:

Ini tambahan dari WHO 2012 (terserah mau menggunakan yang mana)
Reference: Handbook for Clinical Management of Dengue, WHO 2012

1.8. Indikasi Rawat


Reference: Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and Cotrol, WHO 2009

1.9. Indikasi Pulang

Reference: Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and Cotrol, WHO 2009

1.10. Komplikasi
- Metabolic acidosis
- Electrolyte imbalance
- Severe bleeding
- Multiple organ failure: hepatic, renal, encephalopathy etc
Reference: Comprehensive Guideline for Prevention and Control of Dengue Hemorrhagic Fever,
WHO 2011

2. Demam Tifoid
2.1. Definisi

Demam tifoid (enteric) merupakan penyakit sistemik yang dicirikan dengan demam dan
nyeri abdomen dan disebabkan oleh salmonella typhi atau salmonella paratyphi.

Reference: Harrison’s Principles of Internal Medicine, 19th edition

2.2. Faktor Risiko


- Personal hygiene yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan
- Hygiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang dicuci
dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan
yang tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat.
- sanitasi lingkungan yang kurang baik
- adanya outbreak demam tifoid di sekitae tempat tinggal sehari-hari
- adanya carrier tifoid di sekitar pasien
- kondisi imunodefisiensi

Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014.

2.3. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi untuk Salmonella typhi rata-rata 10-14 hari dengan range dari 5-21 hari,
tergantung kesehatan dan status imun pasien.

Symptoms:

- Prolonged fever (38,8-40,5oC)


o Step-ladder high fever (pedoman praktik dokter di fasilitas layanan kesehatan
primer, 2014)
o Lebih tinggi terutama saat sore dan malam hari
o Remittent pada minggu pertama (Manson’s Tropical Infectious Disease, 23rd
edition)
o Bisa continuous sampai 4 minggu jika tidak diobati
- Sakit kepala (80%)
- Menggigil (35-45%)
- Batuk (30%)
- Berkeringat (20-25%)
- Myalgia (20%)
- Malaise (10%)
- Arthralgia (2-4%)
Gastrointestinal Symptoms:

- Anoreksia (55%)
- Nyeri abdomen (30-40%)
- Mual (18-24%)
- Muntah (18%)
- Diarrhea (22-28%)
- Konstipasi (13-16%)

Reference: Harrison’s Principles of Internal Medicine, 19th edition

Signs:

- Coated tongue (lidah tifoid/lidah kotor) (51-56%)


- Relative Bradycardia (<50%)
- Rash (“rose spots”) (30%)
Bercak maculopapuar pada trunk dan chest.
- Splenomegaly (5-6%)
- Nyeri tekan pada abdomen (4-5%)
- Hepatosplenomegaly (3-6%)

Reference: Harrison’s Principles of Internal Medicine, 19th edition

2.4. Diagnosis
A. Anamnesis
- Demam tinggi terutama pada sore dan malam hari, peningkatan demam
seperti anak tangga (step-ladder high fever), remittent pada minggu pertama
dan demam tinggi dapat kontinu
- Sakit kepala terutama di area frontal
- Gejala penyerta lainnya seperti myalgia, arthralgia, batuk, malaise,
menggigil, berkeringat
- Gejala gastrointestinal, seperti anoreksia, mual, muntah, nyeri perut, diare,
konstipasi.
- Faktor risiko

B. Pemeriksaan Fisik
- Demam
- Relative bradycardia
- Lidah kotor
- Rose spots
- Hepatosplenomegaly
- Nyeri tekan abdomen

C. Penunjang
- Complete Blood Count (CBC)
Diawali dengan leukocytosis ringan, kemudian karena progresitas penyakit sehingga dapat
terjadi leucopenia dan neutropenia. Bahkan pada kasus uncomplicated, bisa terjadi low-
grade normocytic anemia, mild thrombocytopenia, peningkatan serum transaminases.
Reference: Manson’s Tropical Infectious Diseases, 23rd edition

- Serology
o Widal Test
- Dapat dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari
- Untuk mengukur reaksi antibody terhadap antigen flagellar (H) dan somatic (O) dari
organisme penyebebab.
- Interpretasi hasil positif bila
o titer aglutinin O minimal 1/320 atau
o titer aglutinasi H minimal 1/640 atau
o terdapat kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan
interval 5 – 7 hari.
Reference:
- Manson’s Tropical Infectious Diseases, 23rd edition
- Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014

o IgM Antigen 09 Salmonella typhi (Uji Tubex)


- Deteksi antibody IgM salmonella typhi
- Sensitivitas 75-80% dan spesifisitas 75-90%
- Dapat dilakukan 4-5 hari pertama demam
Reference: Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014

o Enzyme Immunoassay Test (Uji Typhidot)


- Deteksi IgM dan IgG salmonella typhi
- Hasil (+) diperoleh 2-3 hari setelah infeksi
- Spesifik identifikas IgM dan IgG terhadap Salmonellla typhi
- Sensitivitas 98% dan spesifisitas 76,6%
Reference: Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014

o Uji IgM Dipstick


- Deteksi khusus IgM specific Salmonella typhi
- Sensitivitas 67-77% dan spesifisitas 95-100%
- Akurasi diperoleh jika diperiksa 1 minggu setelah timbul gejala
Reference: Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014

- Culture

Dapat dilakukan pada specimen:


- Darah
Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit, saat demam tinggi
- Feses
Pada minggu kedua sakit (bagus pada minggu ketiga)
- Urin
Pada minggu kedua atau ketiga sakit
- Cairan empedu
Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi carrier typhoid
Reference: Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014

- Suspek demam tifoid (Suspect case)


Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna
dan petanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada pelayanan
kesehatan primer.

- Demam tifoid klinis (Probable case)


Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang menunjukkan
tifoid.
Reference: Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014

2.5. Management
a. Suportif
- Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi
- Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral.
- Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah serat
Reference: Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014

b. Simptomatik
- Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi keluhan
gastrointestinal.
Reference: Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014

c. Definitif
- Managemen komplikasi

- Managemen Carrier
Eradicate S. typhi carriage
o Amoxicillin or ampicillin (100 mg per kg per day) plus probenecid (Benemid®) (1
g orally or 23 mg per kg for children)or TMP-SMZ (160 to 800 mg twice daily) is
administered for six weeks.
o Chronic carriers can be achieved with the administration of 750 mg of
ciprofloxacin twice daily for 28 days or 400 mg of norfloxacin. Other quinolone
drugs may yield similar results

Reference:The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever, WHO 2003

Antibiotik lini pertama


- Kloramfenikol 4 kali sehari
- Ampisilin atau Amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil) 3 kali sehari
- Trimetroprim-sulfametoxazole (Kotrimoksazol). 2 kali sehari
Antibiotik lini kedua
- Seftriakson
- Sefiksim
- Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu
pertumbuhan tulang). 2 kali sehari

Reference: Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014

2.6. Pencegahan
- Safe water
o Mendidihkan air sebelum diminum, atau
o Menambahkan chlorine-releasing chemical
- Food safety
o Cuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan atau sebelum makan.
o Hindari makanan mentah, kerang, beras
o Makan makanan yang masak dan masih hangat atau dihangatkan.
- Sanitation
o Appropriate facilities for human waste disposal must be available for all the
community
o Collection and treatment of sewage, especially during the rainy season
- Health education
o Excellent personal hygiene
- Vaccination

Reference:The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever, WHO 2003

2.7. Komplikasi
Reference: feigin and cherry’s textbook of pediatric infectious diseases

3. Leptospirosis
3.1. Definisi

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosa yang disebabkan oleh spesies leptospira


patogen.

Reference: Manson’s Tropical Infectious Diseases, 23rd edition


Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang menyerang manusia disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interogans.

Reference: Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014

3.2. Etiologi
- Leptospirosis disebabkan oleh Leptospira interrogan dari genus leptospira dan family
treponemataceae.
- L.interrogan dibagi menjadi beberapa serogroup dan serovarian dengan jenis tersering
yang menyerang manusia adalah L.icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus,
L.canicola dengan reservoir anjing, dan L.pomona dengan reservoir babi dan sapi.

Reference: Kapita Selekta Kedokteran, UI, Edisi IV jilid II


3.3. Manifestasi Klinis
a. Symptoms
1. Anicteric leptospirosis
- Leptospirosis bisa muncul gejala seperti:
o Penyakit seperti influenza akut, dengan demam dan menggigil
o Sakit kepala
o Mual, muntah dan myalgia
- Nyeri otot, terutama pada betis, punggung, dan abdomen.
- Biasanya terdapat intense headache (frontal atau retroorbital) dan kadang-kadang
terdapat photophobia
- Mental confusion
- Jika melibatkan pulmonary, ditunjukan dengan adanya batuk dan nyeri dada dan kadang
adanya hemoptysis tapi jarang.

2. Severe leptospirosis (Weil’s syndrome)


- Weil’s syndrome merupakan bentuk berat dari leptospirosis yang ditandai dengan
jaundice, disfungsi ginjal, dan hemorrhagic diathesis.

b. Signs
- Dari pemeriksaan fisik yang paling sering diteukan adalah demam dengan conjunctival
suffusion.
- Muscle tenderness, lymphadenopathy, pharyngeal injection, rash, hepatomegaly, and
splenomegaly.
- Rash  macular, maculopapular, erythematous, urticarial, or hemorrhagic.
- Mild jaundice
- Most patients become asymptomatic within 1 week.

Reference: Harrison’s Infectious Disease, 1st edition 2010

3.4. Management

Chemoprophylaxis yang direkomendasikan adalah Doxycycline, diberikan 200 mg/minggu.

Reference: Manson’s Tropical Infectious Diseases, 23rd edition


4. Malaria
4.1. Definisi

Malaria merupakan infeksi sel darah merah oleh protozoa yang ditransmisikan melalui
gigitan nyamuk betina anopheline.
Reference: Manson’s Tropical Infectious Disease, 23rd edition

4.2. Faktor Risiko

- Riwayat menderita malaria sebelumnya.


- Tinggal di daerah yang endemis malaria.
- Pernah berkunjung 1-4 minggu di daerah endemik malaria.
- Riwayat mendapat transfusi darah.
Reference: Panduan Praktik Dokter di Fasilitas Layanan Kesehatan Primer, 2014

4.3. Etiologi

Malaria pada manusia disebabkan oleh Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malariae, P.


ovale dan juga oleh simian parasite P. knowlesi
Reference: Manson’s Tropical Infectious Disease, 23rd edition, 2014
4.4. Klasifikasi

Plasmodium Common Name Incubation Relapses

P. falciparum Malignant malaria/ 9 – 14 hari (12) No


malaria tropicana

P. vivax Tertian malaria/ 12 – 17 hari (15) Yes


malaria tertian
benigna

P. ovale Ovale malaria 16 – 18 hari (17) Yes

P. malariae Quartan malaria/ 18 – 40 hari (28) No


malaria kuartana

P. knowlesi Quotidian malaria/ 10 – 12 hari (11) No


malaria kuotidiana

Reference:

- Ruth Leventhal and Russell f. Cheadle: Medical Parasitology 6th edition


- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 tentang
Pedoman Tata Laksana Malaria

4.5. Diagnosis
1. Anamnesis
a. Malaria
- Keluhan utama:
o Trias (demam, menggigil, dan berkeringat)
o Dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, dan nyeri otot atau pegal-
pegal.
- Rwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemic malaria.
- Riwayat tinggal di daerah endemic malaria
- Riwayat sakit malaria
- Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir
- Riwayat mendapat transfuse darah

b. Malaria berat
- Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat
- Keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk/berdiri)
- Kejang-kejang
- Panas sangat tinggi
- Mata atau tubuh kuning
- Perdarahan dari hidung, gusi, atau saluran pencernaan
- Nafas cepat dan atau sesak nafas
- Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum
- Warna air seni seperti the tua dan dapat sampai kehitaman
- Jumlah air seni kurang (oliguria) sampai tidak ada (anuria)
- Telapak tangan yang sangat pucat

2. PE
a. Malaria
- Demam
- Konjungtiva atau telapak tangan pucat
- Pembesaran limpa (splenomegaly)
- Pembesaran hati (hepatomegaly)

b. Malaria berat
- temperature rectal 40oC
- nadi cepat dan lemah/kecil
- tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan pada anak-anak <50 mmHg
- frekuensi nafas >35x per menit pada orang dewasa atau >40 kali per menit pada balita,
anak di bawah 1 tahun >50 kali per menit
- penurunan derajat kesadaran dengan Glasgow coma scale (GCS) < 11
- manifestasi perdarahan (petekie, purpura, hematom)
- anda dehidrasi (mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang, bibir kering,
produksi air seni berkurang)
- tanda-tanda anemia berat (konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, lidah pucat dan
lain)
- terlhat mata kuning/ikterik
- adanya ronki pada kedua paru
- pembesaran limpa dan atau hepar
- gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria
- gejala neurologis (kaku kuduk, refex patologik)

3. Laboratory
a. Pemeriksaan Blood Smear

Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard (standar baku) untuk diagnosis
pasti malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan darah tebal dan
tipis.
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di rumah sakit/Puskesmas/lapangan untuk
menentukan:
o Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif) (thick)
o Spesies dan stadium Plasmodium (thin)
o Kepadatan parasite:
Semi Kuantitatif

(-) negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100


LPB/lapangan pandang besar)

(+) positif 1 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 100 LPB)

(++) positif 2 (ditemukan 11 –100 parasit dalam 100 LPB)

(+++) positif 3 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 1 LPB)

(++++) positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)

Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:

- Kepadatan parasit < 100.000 /ul, maka mortalitas < 1 %

- Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1 %

- Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas > 50 %

Kuantitatif

Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal (leukosit)
atau sediaan darah tipis (eritrosit).

Contoh :

- Jika dijumpai 1500 parasit per 200 lekosit, sedangkan jumlah lekosit
8.000/uL maka hitung parasit = 8.000/200 X 1500 parasit = 60.000
parasit/uL.
- Jika dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Jika jumlah eritrosit
4.500.000/uL maka hitung parasit = 4.500.000/1000 X 50 = 225.000
parasit/uL.

b. Rapid Diagnostic Test

Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan
metoda imunokromatografi. Tes ini digunakan pada unit gawat darurat, pada saat terjadi
KLB, dan di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas laboratorium mikroskopis.

c. Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sequensing DNA


d. Pada malaria berat pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan:
- pengukuran hemoglobin dan hematokrit;
- penghitungan jumlah leukosit dan trombosit;
- kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali fosfatase,
albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah); dan
- urinalisis.

Reference: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 tentang
Pedoman Tata Laksana Malaria
4.6. Management
1. Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi

Malaria Falciparum dan Malaria Vivax

Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini menggunakan Artemisinin Combination
Therapy (ACT) ditambah primakuin.
Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama dengan malaria vivaks, sedangkan obat primakuin
untuk malaria falsiparum hanya diberikan pada hari pertama saja dengan dosis 0,75
mg/kgBB dan untuk malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg/kgBB.
a. Lini Pertama (1)
Dosis obat :
o Dihydroartemisinin = 2 – 4 mg/kgBB
o Piperakuin = 16 – 32 mg/kgBB
o Primakuin = 0,75mg/kgBB (P. falciparum untuk hari I)
o Primakuin = 0,25 mg/kgBB (P. vivax selama 14 hari)

Keterangan :
Sebaiknya dosis pemberian ACT (DHA + PPQ) berdasarkan berat badan. Apabila
penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat dapat
berdasarkan kelompok umur.
1. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel
pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan.
2. Dapat diberikan pada ibu hamil trimester 2 dan 3
3. Apabila pasien P. falciparum dengan BB >80 kg datang kembali dalam waktu 2
bulan setelah pemberian obat dan pemeriksaan Sediaan Darah masih positif P.
falciparum, maka diberikan DHP dengan dosis ditingkatkan menjadi 5 tablet/hari
selama 3 hari.

b. Lini Pertama (2)


Dosis obat :
o Amodiakuin basa = 10mg/kgBB dan
o Artesunat = 4mg/kgBB
o Primakuin = 0,75mg/kgBB (P. falciparum untuk hari I)
o Primakuin = 0,25 mg/kgBB (P. vivax selama 14 hari)

c. Lini Kedua
1. Lini Kedua untuk Falciparum

Catatan:
o Dosis Kina diberikan sesuai BB (3x10mg/kgBB/hari)
o Dosis Doksisiklin 3.5 mg/kgBB/hari diberikan 2 x sehari (> 15 tahun)
o Dosis Doksisiklin 2.2 mg/kgBB/hari diberikan 2 x sehari (8-14 tahun)
Catatan :
o Dosis Tetrasiklin 4 mg/kgBB/kali diberikan 4 x sehari
o Tidak diberikan pada anak umur<8 tahun

*Dosis anak-anak 10 mg/kg bb/kali diberikan 2 x sehari Perkapsul Klindamisin


basa ~150 mg dan 300 mg

2. Lini Kedua untuk Vivax

3. Pengobatan Malaria Vivax yang Relapse

Dugaan Relaps pada malaria vivaks adalah apabila pemberian primakuin dosis 0,25
mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit kembali dengan
parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan.
Pengobatan Malaria Ovale

a. Lini Pertama untuk Malaria ovale


Pengobatan Malaria ovale saat ini menggunakan Artemisinin Combination Therapy (ACT),
yaitu Dihydroartemisinin Piperakuin (DHP) atau Artesunat + Amodiakuin. Dosis pemberian
obatnya sama dengan untuk malaria vivaks.
b. Lini Kedua untuk Malaria ovale
Pengobatan lini kedua untuk malaria ovale sama dengan untuk malaria vivaks.

Pengobatan Malaria Malariae

Pengobatan P. malariae cukup diberikan ACT 1 kali per hari selama 3 hari, dengan dosis
sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin.

Pengobatan Infeksi Campur P. falciparum dan P. vivax/P. ovale

Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P. vivaks/P. ovale dengan ACT. Pada penderita
dengan infeksi campur diberikan ACT selama 3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25
mg/kgBB/hari selama 14 hari.
Pengobatan Infeksi Campur P. falciparum dan P. malariae

Infeksi campur antara P. falcifarum dengan P. malariae diberikan regimen ACT selama 3 hari
dan Primakuin pada hari I.

2. Pengobatan Malaria Pada Wanita Hamil


Malaria Falciparum

Malaria Vivax

Catatan:
o Dosis klindamisin 10 mg/kgBB diberikan 2 x sehari
o Sebagai kelompok yang berisiko tinggi pada ibu hamil dilakukan
penapisan/skrining terhadap malaria yang dilakukan sebaiknya sedini mungkin
atau begitu ibu tahu bahwa dirinya hamil. Pada fasilitas kesehatan, skrining ibu
hamil dilakukan pada kunjungannya pertama sekali ke tenaga kesehatan/fasilitas
kesehatan. Selanjutnya pada ibu hamil juga dianjurkan menggunakan kelambu
berinsektisida setiap tidur.

3. Pengobatan Malaria Berat


a. Pilihan Utama

o Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan


artemeter ataupun kina hidroklorida intramuscular sebagai dosis awal sebelum
merujuk ke RS rujukan.
o Apabila rujukan tidak memungkinkan, pengobatan dilanjutkan dengan
pemberian dosis lengkap artemeter intra muscular.
o Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil di Puskesmas dilakukan dengan
memberikan kina HCl pada trimester 1 secara intra muscular dan artemeter
injeksi untuk trimester 2 dan 3.

Kemasan dan Cara Pemberian Artesunat:


o Artesunate parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam
artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%.
o Untuk membuat larutan artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering
artesunik dengan larutan 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Kemudian ditambah
larutan Dextrose 5% sebanyak 3-5 cc.
o Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgBB per-iv, sebanyak 3 kali jam
ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai
penderita mampu minum obat. Larutan artesunat ini juga bisa diberikan secara
intramuskular (i.m) dengan dosis yang sama.
o Apabila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan
dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari +
primakuin atau (Lihat dosis pengobatan lini pertama malaria falsiparum tanpa
komplikasi).

Kemasan dan Cara Pemberian Artemeter:


o Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter
dalam larutan minyak. Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB
intramuskular. Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kgBB intramuskular satu
kali sehari sampai penderita mampu minum obat.
o Apabila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan
dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari +
primakuin (Lihat dosis pengobatan lini pertama malaria falsiparum tanpa
komplikasi).

b. Pilihan Alternatif

o Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah
yang tidak tersedia derivat artemisinin parenteral dan pada ibu hamil trimester
pertama. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina hidroklorida 25%. Satu
ampul berisi 500 mg/2 ml. Pemberian Kina hidroklorida pada malaria berat
secara intramuskuler untuk pra rujukan
o Dosis dan cara pemberian kina pada orang dewasa termasuk untuk ibu hamil
Loading dose : 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5% atau
NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama. Selanjutnya selama 4 jam kedua
hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina
dengan dosis maintenance 10 mg/kgBB dalam larutan 500 ml dekstrose 5 % atau
NaCl selama 4 jam. Empat jam selanjutnya, hanya diberikan lagi cairan dextrose
5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu diberikan lagi dosis maintenance seperti di atas
sampai penderita dapat minum kina per-oral. Apabila sudah sadar/dapat
minum, obat pemberian kina iv diganti dengan kina tablet per-oral dengan dosis
10 mg/kgBB/kali, pemberian 3 kali sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung
sejak pemberian kina perinfus yang pertama).
o Dosis anak-anak : Kina HCl 25 % (per-infus) dosis 10 mg/kgBB (jika umur <2
bulan : 6-8 mg/kgBB) diencerkan dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% sebanyak
5-10 cc/kgBB diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita
sadar dan dapat minum obat.

Keterangan
- Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat
menimbulkan kematian.
- Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis maintenance kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
- Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kgBB.
- Dosis kina maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
- Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan
pemberiannya dalam Dextrose 5%

Reference: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 tentang
Pedoman Tata Laksana Malaria.

4.7. Profilaksis

Obat Pemakaian Dosis dewasa

Klorokuin fosfat* Daerah tanpa P. falciparum 500 mg/minggu


resisten

Meflokuin Daerah dengan P. falciparum 250 mg/minggu


resisten klorokuin

Doksisiklin Daerah dengan P. falciparum 100 mg/hari (1 kapsul per


yang resisten dengan banyak hari)
obat

Klorokuin fosfat + proguanil Regimen pilihan, pengganti klorokuin fosfat 500 mg/hari
meflokuin + proguanil 200 mg/hari

Atovakuon + proguanil** Regimen pilihan, pengganti Atovakuon 250 mg/hari +


meflokuin proguanil 100 mg/hari

Primakuin Profilaksis termina untuk P. 15 mg (basa) per hari sampai


vivax dan P. ovale 14 hari setelah kunjungan

Ketereangan:
* - obat diberikan 1-2 minggu sebelum memasuki daerah endemic dan
dilanjutkan sampai 4 minggu meninggalkan daerah endemic (kecuali
primakuin, doksisiklin dan proguanil yang diberikan 2 hari sebelum
memasuki daerah endemic)
- klorokuin basa setara dengan 3/5 bagian klorokuin fosfat
** Obat diberikan 1 hari sebelum memasuki daerah endemic dan dilanjutkan
sampai 1 minggu meninggalkan daerah endemic

4.8. Pemantauan Respon Pengobatan


- Pemantauan Pengobatan untuk Plasmodium falsiparum dan Plasmodium vivax
- Pemantauan pengobatan dilakukan pada : hari ke-3, hari ke-7, hari ke 14
sampai hari ke-28.

Rawat Jalan
Pemantauan dilakukan pada : hari ke-2, hari ke-3, hari ke-7, hari ke-14 dan hari ke-28 setelah
pemberian obat hari pertama, dengan memonitor gejala klinis dan pemeriksaan
mikroskopik. Apabila terjadi perburukan gejala klinis sewaktu-waktu segera kembali ke
fasilitas pelayanan kesehatan.

Rawat Inap
Evaluasi pengobatan dilakukan setiap hari dengan memonitor gejala klinis dan pemeriksaan
mikroskopik. Evaluasi dilakukan sampai bebas demam dan tidak ditemukan parasit aseksual
dalam darah selama 3 hari berturut-turut. Setelah pasien dipulangkan harus kontrol pada
hari ke-14 dan ke-28 sejak hari pertama mendapatkan obat anti malaria.

4.9. Kriteria Keberhasilan Pengobatan


1. Sembuh
Penderita dikatakan sembuh apabila : gejala klinis (demam) hilang dan parasit aseksual
tidak ditemukan pada hari ke-4 pengobatan sampai dengan hari ke-28
2. Gagal pengobatan dini/Early treatment failure
a. Menjadi malaria berat pada hari ke-1 sampai hari ke-3 dengan parasitemia
b. Hitung parasit pada hari ke-2 > hari ke-0
c. Hitung parasit pada hari ke-3 > 25% hari ke-0
d. Ditemukan parasit aseksual dalam hari ke-3 disertai demam
3. Gagal Pengobatan kasep/Late treatment failure
a. Gagal Kasep Pengobatan Klinis dan Parasitologis
1) Menjadi malaria berat pada hari ke-4 sampai ke-28 dan parasitemia
2) Ditemukan kembali parasit aseksual antara hari ke-4 sampai hari ke-28 disertai
demam
b. Gagal kasep Parasitologis
Ditemukan kembali parasit aseksual dalam hari ke-7, 14, 21 dan 28 tanpa demam.

4. Rekurensi
Rekurensi : ditemukan kembali parasit aseksual dalam darah setelah
pengobatan selesai. Rekurensi dapat disebabkan oleh :
1) Relaps : rekurens dari parasit aseksual setelah 28 hari pengobatan. Parasit
tersebut berasal dari hipnozoit P. vivax atau P. ovale.
2) Rekrudesensi : rekurens dari parasit aseksual selama 28 hari pemantauan
pengobatan. Parasit tersebut berasal dari parasite sebelumnya (aseksual
lama)
3) Reinfeksi : rekurens dari parasit aseksual setelah 28 hari pemantauan
pengobatan pasien dinyatakan sembuh. Parasit tersebut berasal dari infeksi
baru (sporozoit).
Reference: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 tentang
Pedoman Tata Laksana Malaria.

5. Cacing
5.1. Ankilostomiasis (infeksi cacing tambang)
a. Penyebab
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale.
b. Gambaran klinis

Migrasi larva
1. Larva menembus kulit  rasa gatal pada kulit (ground itch).
2. Serpiginous tract  karena migrasi larva di subcutaneous
3. Sewaktu larva melewati paru bisa menyebabkan mild transient pneumonitis  dry cough
and asthmatic wheezing. Fever and a high degree of eosinophilia are found
Cacing dewasa
1. Gangguan gastro-intestinal yaitu anoreksia, mual, muntah, diare, penurunan berat badan,
nyeri pada daerah sekitar duodenum, jejunum dan ileum (epigastric pain)
2. Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya dijumpai anemia hipokromik mikrositik.
Reference:

- Panduan praktik dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer, 2014


- Manson’s Tropical Infectious Diseases 23rd edition
- Essential of Medical Parasitology

c. Penatalaksanaan

Reference: Manson’s Tropical Infectious Diseases 23rd edition

Catatan tambahan:

- Mebendazole bisa juga diberikan 100 mg, 2x sehari, selama 3 hari berturut-turut
- Albendazole untuk anak di bawah 2 tahun diberikan dengan dosis separuhnya. Tidak diberikan
pada wanita hamil.
- Sulfasferosus 3x1 tablet (dewasa) atau 10 mg/kgBB (anak) untuk mengatasi anemia.
Reference: Panduan praktik dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer, 2014

5.2. Askariasis (infeksi cacing gelang)


a. Penyebab
infestasi parasit Ascaris lumbricoides
b. Gambaran klinis
o Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa
dan migrasi larva
o Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat larva berada diparu. Pada
orang yang rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan
timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, dan
eosinophilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang menghilang dalam
waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindroma Loeffler
o Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan, dan sangat
tergantung dari banyaknya cacing yang menginfeksi di usus. Kadang-kadang
penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu
makan berkurang, diare, atau konstipasi.
o Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi. Gejala klinis yang paling menonjol adalah
rasa tidak enak di perut, kolik akut pada daerah epigastrium, gangguan
selera makan, mencret. Ini biasanya terjadi pada saat proses peradangan
pada dinding usus. Pada anak kejadian ini bisa diikuti demam.
c. Penatalaksanaan

Reference:

- Paniker’s Textbook of Medical Parasitology 7th edition


- Manson’s Tropical Infectious Diseases 23rd edition
- Essential of Medical Parasitology
- Panduan praktik dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer, 2014

5.3. Trikuriasis (infeksi cacing cambuk)


a. Penyebab
Trichuris trichiura

b. Gambaran klinis
- Pada infeksi ringan gejala tidak terlihat
- Ketika infeksi disertai dengan Ascaris lumbricoides or hookworm gejala ringan akan
terjadi seperti:
o epigastric pain
o vomiting
o distension
o flatulence
o anorexia and weight loss
o Pain in the epigastrium and right iliac fossa is common
- Ketika infeksi disertai dengan E. histolytica, Balantidium coli or shigellosis, gejala akan
memburuk dan gejala disentri akan terjadi.
- Infeksi moderate T. Trichiura bisa menyebabkan terjadinya chronic Trichuris colitis,
sedangkan infeksi berat bisa menyebabkan Trichuris dysentery syndrome (TDS). Tanda
dan gejala TDS yaitu disentri berat dengan darah dan mukus pada feses dan prolaps
rectum.

c. Penatalaksanaan

Reference:

- Manson’s Tropical Infectious Diseases 23rd edition


- Essential of Medical Parasitology

5.4. Oksiuriasis (infeksi cacing kremi)


a. Penyebab
Enterobius vermicularis

b. Gambaran klinis
- Pruritus ani (mild itching to acute pain)  terutama pada malam hari.
- Garukan karena gatal dibagian perianal dapat menyebabkan munculnya ekskoriasi dan
infeksi sekunder.
- Masuknya cacing ke vulva bisa menyebabkan vulvitis sehingga munculnya gejala mucoid
discharge dan pruritus vulvi.
- Gejala umum: insomnia dan gelisah. Pada anak-anak bisa ditunjukan dengan kehilangan
nafsu makan, kehilangan berat badan, rewel, dan enuresis.
- Biasanya tidak ada eosinophilia atau anemia.

c. Penatalaksanaan

Note: aRepeated every 6 weeks until environment is clear.

Reference:

- Manson’s Tropical Infectious Diseases 23rd edition


- Essential of Medical Parasitology

5.5. Sistosomiasis (bilharzia)


a. Penyebab
Schistosoma
S. haematobium S. mansoni S. japonicum

- Africa, Middle East - South America, Caribbean, - Found in the far East, Japan,
- Intermediate host: Snail Africa, Middle East China, Taiwan, Philippines,
Bulinus - Intermediate host: Snail  and Indonesia (sulawesi).
- affects the urinary tract Biomphalaria - Intermediate host: Snail 
(venous plexus of - Affects the intestine(s) Oncomelania
bladder ) and liver (superior - Affects the intestine(s) and
mesenteric veins draining liver (superior mesenteric
of large intestine ) veins of small intestine )

b. Gambaran klinis
- Cercaria penetrasi ke kulit
 Pruritic rash dikenal dengan cercarial dermatitis atau swimmers itch.
- Selama maturasi dan saat dimulianya oviposisi (meletakan telur)/acute systemic
symptoms (yaitu 4-8 minggu setelah invasi kulit):
 Acute schistosomiasis atau Katayama fever (serum sickness-like syndrome)
ditandai dengan fever, rash, myalgia, arthralgia, cough, generalized lymph
adenopathy, and hepatosplenomegaly
- Chronic illness intestial
o Munculnya portal hypertension. Portal hypertension bisa menyebabkan
esophageal varices and gastrointestinal bleeding
o Intestinal disease ditandai dengan colicky abdominal pain, bloody diarrhoea and
anemia.
o Hepatomegaly disertai dengan periportal fibrosis (clay pipe stem fibrosis).
o Pembesaran spleen.

Catatan tambahan:
- S. haematobium cystitis dan ureteritis dengan hematuria yang bisa progres
menjadi kanker kandung kemih (bladder).

c. Penatalaksanaan
- Praziquantel is the drug of choice (40mg/kg for 1 day).
- Metriphonate is the alternative drug of choice in schistosomiasis due to S.
haematobium. (7.5 mg/kg. weekly for 3 weeks).
- Oxamniquine (single oral dose 15 mg/kg.)  used exclusively to treat intestinal
schistosomiasis caused by S. mansoni.

Reference:
- Paniker’s Textbook of Medical Parasitology 7th edition
- Manson’s Tropical Infectious Diseases 23rd edition
- Essential of Medical Parasitology

5.6. Taeniasis (infeksi cacing pita/tapeworm)


a. Penyebab
Disebabkan oleh:
- Taenia saginata (cacing pita sapi/beef tapeworm) penyebab intestinal taeniasis pada
manusia.
- Taenia solium (cacing pita babi/pork tapeworm) penyebab intestinal taeniasis dan
cysticercosis pada manusia.
b. Gambaran Klinis
- Intestinal taeniasis
o Sering asymptomatic, pasien menyadari terjadi infeksi ketika keluarnya
proglotid dalam feses dan pasien mengalami perianal discomfort (atau gatal)
ketika proglotid keluar.
o Bisa terjadi mild abdominal pain or discomfort, nausea, loss of appetite,
weakness, weight loss, headache and change in bowel habit (constipation or
diarrhea)

- Cystiserosis
o Disebabkan oleh larva stage (cysticercus cellulosae) T. solium  cysticercus
bisa tunggal atau multiple.
o Manifestasi tergantung lokasinya. Tempat paling sering adalah central nervous
system (CNS), subcutaneous tissue, skeletal muscle dan eye.
o Subcutaneous cysticercosis: biasanya asymptomatic tapi bisa ditandai dengan
palpable nodules
o Muscular cysticercosis: ditandai dengan muscular pain, weakness or pseudo
hypertrophy
o Ocular cysticercosis: bisa melibatkan eye lids, conjunctiva and sclera. Gejala
seperti proptosis, diplopia, loss of vision and slow growing nodule with focal
inflammation
o Neurocysticercosis (NCC): increased intracranial tension, hydrocephalus,
psychiatric disturbances, meningoencephalitis, transient paresis, behavioral
disorders aphasia, and visual disturbances.

c. Penatalaksanaan
- Single dose of praziquantel (10–20 mg/kg) is the drug of choice.
- Niclosamide (2 g), single dose, is another effective drug

Reference:

- Paniker’s Textbook of Medical Parasitology 7th edition


- Essential of Medical Parasitology

6. Filariasi
6.1. Diagnosis
a. Anamnesis
- Manifestasi akut
o Demam berulang ulang selama 3-5 hari. Demam dapat hilang bila istirahat dan
timbul lagi setelah bekerja berat
o Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha,
ketiak (lymphadentitis) yang tampak kemerahan, panas, dan sakit
o Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit menjalar dari
pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung (retrograde lymphangitis).
o Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening,
dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
o Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (Early Imphodema).

- Manifestasi kronik
o Pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah
zakar (elephantiasis skroti) yang disebabkan oleh adanya cacing dewasa pada
sistem limfatik dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis.

b. Pemeriksaan fisik
- Pada manifestasi akut dapat ditemukan adanya limfangitis dan limfadenitis yang
berlangsung 3 – 15 hari, dan dapat terjadi beberapa kali dalam setahun. Limfangitis
dan limfadenitis berkembang lebih sering di ekstremitas bawah daripada atas. Dapat
mengenai alat kelamin, (tanda khas infeksi W.bancrofti) dan payudara.
- Manifestasi kronik, Tanda klinis utama yaitu hidrokel, limfedema, elefantiasis dan
chyluria yang meningkat sesuai bertambahnya usia.
- Pada W.bancrofti, infeksi di daerah paha dan ekstremitas bawah sama seringnya,
sedangkan B.malayi hanya mengenai ekstremitas bawah saja.
- Pada keadaan akut infeksi filariasis bancrofti, pembuluh limfe alat kelamin laki-laki
sering terkena, disusul funikulitis, epididimitis, dan orkitis. Adenolimfangitis inguinal
atau aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh
sendiri dalam 3 –15 hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun.
- Pada filariasis brugia, limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering
terjadi setelah bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd.
Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada
pergelangan kaki dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari.
Serangan dapat terjadi 12 x/tahun sampai beberapa kali per bulan. Kelenjar limfe
yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan
parut yang khas, setelah 3 minggu sampai 3 bulan.

c. Penunjang

- Identifikasi mikrofilaria dari sediaan darah. Cacing filaria dapat ditemukan dengan
pengambilan darah tebal atau tipis pada waktu malam hari antara jam 10 malam
sampai jam 2 pagi yang dipulas dengan pewarnaan Giemsa atau Wright
- Pemeriksaan darah tepi terdapat leukositosis dengan eosinofilia sampai 10-30%
dengan pemeriksaan sediaan darah jari yang diambil mulai pukul 20.00 waktu
setempat
- Bila sangat diperlukan dapat dilakukan Diethylcarbamazine provocative test.

6.2. Tatalaksana
- Dosis DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari setelah makan, selama 12 hari, pada Tropical
Pulmonary Eosinophylia (TPE) pengobatan diberikan selama tiga minggu.
- Efek samping bisa terjadi sebagai reaksi terhadap DEC atau reaksi terhadap cacing
dewasa yang mati. Reaksi tubuh terhadap protein yang dilepaskan pada saat cacing
dewasa mati dapat terjadi beberapa jam setelah pengobatan, didapat 2 bentuk yang
mungkin terjadi yaitu reaksi sistemik dan reaksi lokal:
o Reaksi sistemik berupa demam, sakit kepala, nyeri badan, pusing, anoreksia,
malaise, dan muntah-muntah. Reaksi sistemik cenderung berhubungan dengan
intensitas infeksi
o Reaksi lokal berbentuk limfadenitis, abses, dan transien limfedema. Reaksi lokal
terjadi lebih lambat namun berlangsung lebih lama dari reaksi sistemik.
- Ivermektin diberikan dosis tunggal 150 ug/kgBB efektif terhadap penurunan derajat
mikrofilaria W.bancrofti, namun pada filariasis oleh Brugia spp. penurunan tersebut
bersifat gradual. Efek samping ivermektin sama dengan DEC, kontraindikasi
ivermektin yaitu wanita hamil dan anak kurang dari 5 tahun. Karena tidak memiliki
efek terhadap cacing dewasa, ivermektin harus diberikan setiap 6 bulan atau 12
bulan untuk menjaga agar derajat mikrofilaremia tetap rendah.
Reference: Panduan praktik dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer, 2014

OBAT GOLONGAN ANTIBIOTIK

MAKROLID

Makrolid mempengaruhi sinstesis protein bakteri dengan cara berikatan dengan subunit 50s
ribosom bakteri, sehingga menghambat translokasi peptida

1. Erythromycin dalam bentuk basa bebas dapat diinaktivasi oleh asam, sehingga pada
pemberian oral dibuat dalam sediaan enterik. Dapat melewati barrier plasenta dan ASI
Absorpsi : duodenum
Metabolisme : hepar
Ekresi : empedu dalam konsentrasi yang tinggi
2. Azitromycin lebih stabil terhadap asam jika dibandingkan erytromycin , sekitar 37%
diabsorpsi dan semakin menurun denegan adanya makanan .dapat meningkatkan kadar
SGOT dan SGPT pada hepar .
3. Clarithromycin . absorpsi peroral 55% dan meningkat jika diberikan bersama makanan .
Terdistribusi luas sampai ke paru,hati,sel dan fagosit serta jaringan lunak . Metabolit
clarihromycin mempunyao aktivitas antibakteri lebih besar daripada obat induk. Sekitar 30%
obat dieksresi melalui urin dan sisanya melalui feses .
4. Roxythronycin . waktu paruh yang lebih panjang dan aktivitas yang lebih tinggi melawan
haemophilus influenza . diberikan 2x1 .

AZITROMYCIN Dosis : IMS 1 gr dosis ZYCIN, ZITHROMAX,


tunggal, indikasi lain MEZATRIN
dosis total 1500 mg
dibagi menjadi 500 Tab 250-500 mg
mg selama 3 hari Susp. 200 mg/5 ml

Vial 500 mg

CLARITHROMYCIN Dosis : ISPA dan ISPB CLACINE, BICROLID


250-500 mg tiap 12
jam selama 10-14 hari Kapl salut selaput 250 mg

ERYTROMYCIN Dosis : 1-2 gr/hari tiap ERYSANBE,


6,812 jam 200mg/5ml CORSATROCIN

Tab 250 mg, kapl 500 mg

SPIRAMYCIN I : infeksi sal,nafas, OSMYCIN, SPIRI


telinga tengah,kulit
atau gigi

Dosis : 3x1 tab/hari

ROXYTHROMYCIN Dosis : 150 mg 2x/hari BIOSTATIK,ROLEXIT,SITRO


atau 300 mg 1x/hari
Tab 150 mg, 300 mg

AMINOGLIKOSIDA

Menghambat bakteri aerob gram negatif , memiliki indeks terapi sempit dengan toksisitas serius
pada ginjal dan pendengaran, khusunya pada pasien anak dan usia lanjut .

Efek samping : toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun vestibular), blokade neuromuskular
(lebih jarang)
Biasanya diberikan secara parental karena diserap sedikit di saluran cerna . Absorpsi dapat capat dan
komplit jika diberikan secara IM atau IV . aminoglikosida tidak dimetabolisme dan dieksresikan
dalam bentuk utuh melalui ginjal . Aminoglikosida didistribusikan kecairan ekstraseluler, dapat
melewati sawar plasenta. Tetapi tidak dapat melewati sawar darah diotak

GENTAMYCIN Dosis : infeksi sistemik ETHIGENT vial 20


3-7 mg/kgBB terbagi mg/2ml
dalam 2-3 dosis (7-10
hari) GARAMYCIN vial 20
mg/2 ml. 80 mg/ 2 ml
ISK 120 mg/hari (7-10
hari) Amp 60 mg/1,5 ml

AMIKACIN Dosis : 7,5 mg/kgBB/12 GLYBOTIC, MIKASIN


jam (7-10 hari).
Vial 250 mg/ 2 ml, 500
ISK 2x250 mg/hari mg/2 ml

DIBEKACIN Dosis : IM,IV 100 DIBEKACIN MEIJI


mg/hari dibagi dalam 2
dosis . IV infus selama Amp 50 mg/ml
30 menit- 1 jam 100 mg/2ml

KANAMYCIN Dosis : 10 KANAMYCIN


mg/kgBB/hari terbagi HEXPHARA
dalam 2 dosis
Vial 1 gr, 2 gr

Sirup 50 mg/ml, kaps


250 mg

STREPTOMYCIN Dosis : infeksi akut STREPTOMYCIN MEIJI

1-2 gr/hari (IM) Vial 1 gr, 5 gr

TETRACYCLIN

Sekitar 30-80% tetracyclin diabsorpsi disaluran cerna, salah satu faktor seperti adanya makanan
pada lambung, PH tinggi dapat menghambat proses absorpsi . Sebaiknya diberikan 2 jam sebelum
makan

TETRACYCLIN Dosis : 250 mg 4x/hari SANLIN, TETRASANBE,


atau 500 mg 2x/hari DUMOCYCLINE

Kaps 250 mg, 500 mg

DOXYCICLIN Dosis : 200 mg VIBRAMYCIN,


1x/sehari pada hari SICLIDON, DUMOXIN,
pertama, pemeliharaan DOTUR
100 mg/hari
Kaps 100 mg, tab 100
mg

OXYTETRACYCLINE Dosis : 250-500 mg CORSAMYCIN,


setiap 6 jam selama 5- TERRAMYCIN
10 hari
Kaps 250 g

Vial 50 mg 10 ml

FLUROQUINOLON

Dimetabolisme dihepar dan diekresikan primer melalui urin

CIPROFLOXACIN Dosis : oral (infeksi BAQUINOR,


ringan) 2x250 mg, BERNOFLOX,
(berat) 2x500-750 mg CETAFLOXO, STARQUIN

Injeksi : ISK 2 x 100 mg Tab 250-500 mg

Infeksi lain 2x 200 mg Vial 200 mg/ 100 ml

LEVOFLOXACIN Dosis : pasien dengan ARMOLEV, CRAVIT,


fungsi ginjal normal 500 FLOXACOM, LEVOCIN
mg/hari
Tab 500 mg,
ISK 250 mg/hari selama
10 hari Vial 500 mg/100 ml

OFLOXACIN Dosis : ISK 100-400 mg AKILEN


terbagi dalam 1-2 dosis
selama 1-10 hari, ANOFLOX
infeksi saluran nafas GRAFLOXACIN
bawah 200-600mg/hari
terbagi dalam 1-3 dosis FLOTAVID
selama 3-10 hari
Tab 200 – 400 mg

CHLORAMPHENICOL

Merupakan antibiotik berspektrum luas, ,menghambat bakteri gram positif serta negatif dan
anaerob, chlamidia ricketsia dan mikoplasma . chloramphenicol mencegah protein dengan berikatan
pada subuntit ribosom 50s. Efek smaping : supresi sumsum tuang, grey baby syndrome, neuritis
optik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam .

THIAMPHENICOL Dosis : 50 BIOTHICOL, LIPAFEN,


mg/kgBB/hari terbagi KALTICOL
dalam 3-4 dosis
Kaps 250-500 mg

Sirup 125 mg/5ml

CHLORAMPHENICOL Dosis : kaps 1-2, kaps 3- CHLORAMEX,


4x/hari COLSANCETINE

Sirup 3 sdt 3-6x/hari, Kaps 250 mg, sirup 125


vial 50 mg/kgBB/hari mg/5 ml, Vial 1 gram

KALMICETINE

Kaps 250 mg, sirup 125


mg/5 ml

BETALAKTAM

Obat-obat antibiotik betalaktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap
organisme gram positif dan negatif

PENICILIN

PENICILIN PROCAINE-G AMPICILIN AMOXICILIN


Dosis : 300,000-900,000 Dosis : oral 250-500 mg setiap 6 jam Dosis : 750-1500 mg/8 jam
u/hari terbagi 1-2 dosis Injeksi 250-500 mg 4x1

PROCAINE PENICILLIN-G SANPICILLIN, VICILLIN, PENBIOTIC KALMOXICILLIN, DEXYMOX


MEIJI Kaps, tab 250-500 mg, sirup 125 Kaps, tab 250-500 mg
Vial 3.000.000 u mg/5 ml, injeksi 0,5 gram/vial, 1 Sirup 125 mg/5 ml, injeksi 1
gr/vial gr/vial
CLAVAMOX
Amoxicilin+clavulunat acid
Tab 250 mg/125 mg, 500
mg/125 mg
Sirup 250 mg
Vial 500 mg/100 mg

CEPHALOSPORIN

Generasi 1 : efektif terhadap gram positif dan memiliki aktivitas sedang terhadap gram negatif
CEPHALEXIN Dosis : 1-4 gram/hari dibagi dalam 4 SOFAXIN
dosis Kaps 500 mg

CEFADROXIL Dosis : 500-1000 mg 2x/hari STAFPRIN, LAPICEF, DEXACEF


Kapsul 250-500 mg
Sirup kering 125 mg/5 ml
Generasi 2 : aktivitas antibiotik gram negatif lebih tinggi daripada generasi 1

CEFUROXIME Dosis : 1-6 gram/hari SOXIME


Kapsul 500 mg

Generasi 3 : aktivitas kurang aktif terhadap coccus gram positif dibanding generasi 1
CEFTAZIMIDE Dosis : 1-6 gr PHAROMIDE
Vial 0,5 gr- 1 gr

CEFOTAXIME Vial 0,5 gr-1 gr CLACEF, COMBICEF


Dosis 1 gram setiap 12 jam

CEFTRIAXONE Dosis : 1-2 gram 1x sehari BROSPEC, BIOTRIAX


Vial 1 gram

CEFIXIME BB > 30 kg : 50-100 mg, 2 kali sehari FIXEF, SOFIX, UPRAX


Infeksi berat dapat ditingkatkan Sirup kering 100 mg/5 ml
menjadi 200 mg. 2x/hari Botol 30 ml, tab 100 mg
Generasi IV : aktivitas lebih luas dibanding generasi III dan tahan terhadap beta-laktamase

CEFEPIME Dosis : ISK ringan s/d sedang 500-1000 EMAX, SOPIME


mg
Vial 1 gram
IM/IV : infeksi ringan s/d sedang selain
ISK 1000 mg

IM/IV : infekssi berat 2 gr IV

CEFTAZIMIDE Dosis : dewasa 1-6 gr/hari (IM/IV) LACEDIM, PHAROMIDE

Vial 1 gram

CARBAPENEM

IMIPENEM Dosis : 1-2 gr/hari dibagi dalam 3-4 ELASTYN


dosis. Dapat ditingkatkan sampai 4
gr/hari atau 50 mg/kgBB/hari Vial 1 gram

MEROPENEM Dosis : 500-1000 gram setiap 8 jam MERONEM, MEROPEX

Vial 0,5 gram-1 gram


DORIPENEM Dosis : 500 mg setiap 8 jam dengan DORIBAX
infus IV diberi selama 1 jam
Vial 1 gram

MONOBACTAMS

AZTREONAM Dosis : ISK 0,5-1 gr setiap 8-12 jam, VEBAC


infeksi sistemik cukup berat 1-2 gr
setiap 8-12 jam Vial 1 gram

Infeksi berat yang mengancam nyawa


2 gr setiap 6-8 jam . Maks 8 gr/hari

GOLONGAN LAIN

VANCOMYCIN Dosis : 500 mg setiap 6 VANCEP


jam atau 1 gr IV setiap
12 jam selama 10 menit Vial 0,5 gr

CLINDAMYCIN Dosis : infeksi ringan- CLINIUM, DACIN,


sedang 150-300 mg CLIMADAN
setiap 6 ja, infeksi berat
300-450 mg setiap 6 Kaps 150-300 mg
jam

LINCOMYCIN I : infeksi yang PRITALINC, TAMCOCIN,


disebabkan strep. TISMAMISIN
Pneumococcus dan
strap yang peka Kaps 500 mg

Dosis : infeksi ringan


3x/hari, infeksi berat
4x/hari

TRIMETROPIN 80 mg Dosis : 960-1,44 gr BACTRIM, PRIMADEX,


setiap 12 jam SANPRIMA
SULFAMETHOXAZOLE
400 mg

(COTRIMOXAZOLE)

METRONIDAZOLE Infeksi bakteri anaerob METROFUSIN,


7,5 mg/kgBB/hr setiap TRICHODAZOL
6 jam. Maksimal 4
gr/hari selama 7-10 Tab 500 mg, botol infus
hari . 500 mg/100 ml
Daftar antibiotik dengan eliminasi utama melalui ginjal dan memerlukan penyesuaian dosis

Sebagian besar betalaktam Nitrofurantoin

Aminoglikosida Fosfomisin

Cortrimoxazole Tetracyclin

Monobaktam Daptomisin

Ciprofloxacin Carbapenem

Levofloxacin Polimiksin B

Gatifloxacin Colistin

Gemifloxacin Flusitosin

Vancomycin

Daftar antibiotik dengan eliminasi utama melalui hepatobillier yang memerlukan penyesuain dosis
.

Chloramphenicol Nafsillin

Cefoperazon Linezoid

Doxycyclin Isoniazid/etambuto/rifampisin

Minucyclin Pirazinamid

Telitromycin Clindamycin

Moxifloxacyn Metronidazole

Makrolid tigecyclin

Referensi : Harrison InternalMedicine , Medical mini notes – Interna edition

Anda mungkin juga menyukai