Anda di halaman 1dari 75

LOGIKA KETUHANAN

DALAM EPISTEMOLOGI ILLUMINASI


SUHRAWARDI

Mohammad Muslih, MA.

LESFI
LOGIKA KETUHANAN DALAM EPISTEMOLOGI ILLUMINASI
SUHRAWARDI
Kata Pengantar
Penulis:
Mohammad Muslih, MA.

Editor: Menyusul, sedang di edit... :D


xxxxx

Sampul:
xxxxxxx

Setting Isi:
Wakhyudin

ISBN: xxxxxxxxxxxx

Penerbit:
LESFI
Jl. Solo Km.8, Nayan No. 105A Maguwoharjo
Depok, Sleman - Yogyakarta
Telp./Fax. 0274-486872

Mohammad Muslih, MA. v


Daftar Isi

Kata Pengantar .................................................................. v


Daftar Isi ........................................................................... vii

Pendahuluan .............................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................... 1
B. Kajian Riset Sebelumnya ............................... 3
C. Pendekatan dan Metode Kajian .................... 5
D. Sistematika Penulisan.................................... 12

BAB I Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan .... 13


A. Problem Keilmuan dan Posisi Logika .......13
B. Logika dan Problematikanya .................... 23
1. Al-Tajrid dan Al-Tashawwur, berawal dari
pengalaman.......................................... 28
2. Al-Qadliyah dan Al-Istidlal, dasar-dasar
penalaran ilmiah.................................. 33
C. Latarbelakang Kehidupan Suhrawardi..... 38
D. Diskursif dan Intuitif: Metode dasar Filsafat
Israqiyah ....................................................47

Mohammad Muslih, MA. vii


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi

BAB II Logika Ketuhanan Suhrawardi......................... 51


A. Logika Peripatetik, Momentum bagi
Suhrawardi ..................................................... 51
1. Problem Epistemologi .............................. 55
2. Problem Definisi....................................... 56
3. Problem Penalaran Logika ....................... 63
B. Struktur Dasar Logika Ketuhanan ................ 68
C. Tuhan, objek “kenal” bukan objek “tahu” ... 83
Pendahuluan
BAB III Logika Ketuhanan di Tengah Paradigma
Keilmuan Modern......................................... 99
A. Problem Keilmuan Modern .......................... 99
B. Posisi Asumsi Teologis dalam
Pengembangan Ilmu Pengetahuan ................ 112 A. Latar Belakang

Penutup ..................................................................... 121 Kajian ini berangkat dari keprihatinan terhadap


persoalan krisis pengetahuan dewasa ini yang diakibatkan
Indeks ..................................................................... 129 dari bangunan epistemologi yang menjadi dasar tumbuh-
kembangnya ilmu. Ada beberapa sikap yang menandai
Daftar Pustaka............................................................ 131 bangunan dasar episteme dewasa ini, yaitu rasionalitas mele-
bihi wahyu, kritik lebih dari sikap adaptif terhadap tradisi
dan sejarah, progresivitas lebih dari sekedar konservasi
tradisi, dan universalisme yang melandasi tiga elemen
sebelumnya. Tidak hanya para ilmuwan, para agamawanpun
juga prihatin atas kondisi seperti ini. Bangunan keilmuan
yang bercorak rasionalistik seperti itu memang berujung
pada pembentukan konsep, teori dan semacamnya. Ini
merupakan kelebihan sekaligus kelemahan model keilmuan
yang bertumpu pada rumus-rumus manthiqi. Persoalannya
kemudian, model pengetahuan rasionalistik tidak bisa
sampai pada pengenalan yang haqiqi. Sama dengan problem
keilmuan saat ini, Suhrawardi, seorang filsuf muslim abad 12

viii Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 1


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Pendahuluan

M memiliki keprihatinan yang sama. Dia melakukan kritik Begitulah, secara umum kajian ini dimaksudkan
terhadap model pengetahuan rasionalistik, sebelum akhir- untuk merekonstruksi “logika ketuhanan” yang menjadi ciri
nya menawarkan gagasannya, yaitu epistemologi Illuminasi. utama epistemologi Illuminasi Suhrawardi. Pemikiran demi-
Suhrawardi tidaklah menolak model pengetahuan kian kemudian dicoba diposisikan di tengah perkembangan
manthiqi dari para filsuf Peripatetik. Bagi Suhrawardi, keilmuan yang bercorak rasionalistik itu untuk menjadi
manthiq justru merupakan muqaddimah atau dasar untuk model keilmuan alternatif. Maka secara akademik, signi-
memasuki logika berpikir yang lain, termasuk ‘Isyraqiyah fikansi kajian ini adalah mengembangkan model penge-
Suhrawardi. Namun, Suhrawardi dengan tegas menunjukkan tahuan yang memberikan posisi bagi asumsi teologis atau
kelemahan-kelemahan logika “manthiqi” itu. Model pe- keimanan akan peran Tuhan dalam proses keilmuan.
ngetahuan manthiq itu baru sampai pada ‘ilm, bahkan hanya Lebih jauh temuan kajian ini bisa menjawab persoalan
idrak saja, belum pada ‘irfan. Inilah latarbelakang pemikiran krisis pengetahuan dewasa ini yang berada pada dominasi
Illuminasi Suhrawardi. paradigma positivistik, yang tidak hanya menafikan asumsi
Ada tiga syarat untuk dapat menggapai ‘irfan, penge- teologis, tetapi bahkan mengeliminasinya. Di samping itu,
tahuan sejati, yakni subjek yang hadir, objek yang hadir, dan kenyataan juga menunjukkan bahwa apapun model atau
cahaya (nûr). Dengan tiga syarat ini, Suhrawardi menjamin corak pengetahuan seseorang, langsung atau tidak langsung
manusia menangkap esensi objek, karena esensi objek hadir memiliki pengaruh, tidak saja terhadap keberagamaan, tetapi
dalam Kesadaran-Diri subjek secara intuitif, atau sebaliknya, bahkan terhadap kehidupan pada umumnya. Maka secara
Kesadaran-Diri subjek itu selalu dalam kesiapan menangkap sosiologis, kajian bisa menjadi pencerahan bagi masyarakat,
kehadiran esensi objek. Kondisi demikian ini terjadi dalam bahwa problem beragama dan problem kehidupan ini bisa
terang cahaya ilahi. Kerangka keilmuan ini yang disebut dilacak akar-akarnya pada persoalan corak pengetahuan.
proses ta’rif yang memungkinkan manusia sampai pada
ma’rifah (irfan), bukan proses hadd yang hanya sampai pada B. Kajian Riset Sebelumnya
‘ilm atau hanya idrak. Seperti telah disinggung di atas, pemikiran Suhra-
Dalam perspektif filsafat keilmuan kontemporer, bisa wardi masih belum banyak diungkap. Henry Corbin seorang
dikatakan logika ketuhanan sebagai model pengetahuan yang peneliti Barat yang memperkenalkan Suhrawardi, termasuk
memberikan posisi bagi asumsi teologis atau keimanan akan di dunia Islam ternyata hanya mengupas beberapa aspek
peran Tuhan dalam proses keilmuan. Dengan begitu, logika pemikiran saja. Demikian juga Fazlur Rahman dan Seyyed
ketuhanan yang menjadi corak epistemologi Illuminasi ini Hossein Nasr, dua peneliti muslim, bisa dikatakan, hanya
bisa menjawab persoalan krisis pengetahuan dewasa ini yang memberikan pembahasan awal atau semacam muqadimah,
berada pada dominasi paradigma positivistik, yang tidak hanya karena hanya memperkenalkan pemikiran Suhrawardi secara
menafikan asumsi teologis, tetapi bahkan mengeliminasinya. global.

2 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 3


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Pendahuluan

Namun demikian harus disebut, ada kajian yang kan kritiknya terhadap logika manthiqiyah Peripatetik dan
cukup mendalam, yaitu yang ditulis oleh Dr. Amroeni Drajat, kemudian memposisikannya dalam struktur pengetahuan
Suhrawardi, Kritik Falsafah Peripatetik”1. Kajian ini tampaknya manusia. Kontribusi kajian ini diharapkan untuk menjawab
merupakan pengembangan dari kajian penulis yang sama krisis pengetahuan yang dewasa ini dilandasi oleh episte-
dari kajian sebelumnya, Filsafat Illuminasi, Sebuah Kajian mologi dan paradigma modern.
terhadap Konsep “Cahaya” Suhrawardi2. Dua karya Amroeni
Drajat ini sudah tentu cukup membantu peminat pemikiran C. Pendekatan dan Metode Kajian
Filsafat Illmuminatif Suhrawardi, karena memang selama ini
Seperti tampak pada problem akademik, kajian ini
cukup sulit ditemukan. Dan, kalaupun ada, hanyalah berupa
akan menelusuri percikan-percikan pemikiran Suhrawardi,
“percikan” pemikiran Suhrawardi, karena ditulis dalam
terutama terkait bangunan keilmuan yang ia tawarkan. Oleh
bentuk makalah atau kontribusi bagian dari buku, seperti
karena itu, pendekatan yang digunakan pada kajian ini
yang ditulis oleh Dr. Khudori Sholeh.3
adalah epistemologi, sebagai suatu perspektif dalam kajian
Bagi kajian ini, beberapa karya di atas jelas merupakan filsafat yang secara khusus berbicara problem keilmuan.
bahan pertimbangan, bahkan sebagai rujukan yang cukup
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu
berharga. Namun harus diakui, beberapa karya di atas umum-
episteme, yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti
nya membahas pemikiran metafisika Suhrawardi, seperti
ilmu, maka epistemologi adalah ilmu tentang pengetahuan.
konsep Nur yang dikaitkan dengan penciptaan alam. Artinya,
Istilah lain juga biasa digunakan, yaitu filsafat pengetahuan
belum secara utuh membahas pemikiran epistemologinya.
(philosophy of knowledge) atau teori pengetahuan (theory of
Pembahasan mengenai pemikiran epistemologi Suhrawardi
knowledge).
memang bukan benar-benar tidak ada dalam karya-kar ya di
atas, namun sifatnya hanya sambil lalu, sebagai konsekuensi Secara umum, bidang ini menkaji tiga persoalan pokok,
dari penjelasan metafisika yang memang sulit itu. yaitu: (a). apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari
manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana
Berbeda dengan kajian-kajian di atas, kajian ini se-
kita mengetahuinya? (b). Apakah sifat dasar pengetahuan itu?
cara khusus bermaksud mengungkap argumen filsafat
Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita? Kalau
epistemologi Illuminasi Suhrawardi. Lebih jauh menunjuk-
ada, apakah kita dapat mengetahuinya? (ini adalah persoalan
yang mengarah pada problem phenomena dan noumena). (c).
1
Amroeni Drajat, Suhrawardi, Kritik Falsafah Peripatetik”, Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah
(Yogayakarta: LKiS, 2005) kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?4
2
Amroeni Drajat, Filsafat Illuminasi, Sebuah Kajian terhadap
Konsep “Cahaya” Suhrawardi, (Jakarta: Riora Cipta, 2001)
3
Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: 4
Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. HM.
Pustaka Pelajar, 2004), p. 119-139 Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), p. 187-188

4 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 5


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Pendahuluan

Tiga persoalan pokok ini sekaligus merupakan objek ‘arabiy (Mohammed Abed al-Jabiri).10 Beberapa istilah ini
formal dari epistemologi, yakni sebagai perspektif dalam sudah tentu memiliki kekhasan masing-masing, namun
melihat objek materialnya, dalam hal ini adalah pengetahuan. demikian semuanya menunjukkan bahwa pengetahuan itu
Dari sinilah kemudian dikenal istilah hakikat pengetahuan, memiliki sistem epistemologi sebagai basisnya. Dalam kajian
yang tak lain adalah basis paling mendasar dari pengetahuan ini, dengan pertimbangan tertentu beberapa istilah tersebut
yang pada dasarnya merupakan jawaban atas beberapa akan digunakan secara bergantian. Meski demikian, secara
persoalan epistemologis itu. Dengan demikian, mengkaji pe- lebih khusus, kajian ini akan menggunakan kerangka teori
ngetahuan dari sudut pandang epistemologi berarti melihat yang ditawarkan oleh Mohammed Abied al-Jabiri.11
pengetahuan pada wilayah logis dan historisitasnya sekali- Dengan mengikuti al-Jabiri, perspektif epistemologis
gus. Dalam pengertian, mengajak untuk memasuki wilayah mengajak untuk menganalisis struktur pemikiran (Bunyah
pengetahuan atau ilmu pengetahuan sebagai problem ke- al-’Aql) di satu sisi, dan melakukan penelusuran tehadap
manusiaan, karena terkait dengan pola pikir atau struktur proses pembentukan pemikiran (Takwīn al-’Aql) di sisi
pikir kolektif yang menjadi basis tumbuh-kembangnya yang lain. Formulasi inilah yang ditawarkan al-Jabiri dalam
pengetahuan itu, sekaligus proses pembentukannya. dua karyanya: Bunyah al-’Aql al-’Arabi dan Takwīn al-’Aql al-
Ada beberapa istilah yang dapat diindentifikasi sebagai ’Arabi. Buku pertama menganalisis secara mendalam seluk
technical concept dari epistemologi, seperti reason (Immanuel beluk mekanisme kinerja struktur nalar-nalar Arab yang tak
Kant),5 episteme (Michel Faucoult),6 dan scientific paradigm jarang saling berbenturan dalam memperebutkan hegemoni
(Thomas S. Kuhn).7 Sementara pemikir Muslim kontemporer, ditengah-tengah budaya Arab-Islam. Sedangkan buku kedua
ada yang menggunakan istilah al-khithab [al-khitab al-diniy, menganalisis background sosio-politik proses perumusan
Nasr Hamid Abu Zayd],8 ada juga yang menggunakan istilah (formulation) dan keterbentukan nalar Arab-Islam.
al-‘aql seperti al-‘aql al-islami (Mohammad Arkoun),9 ‘aql al- Untuk mendefinisikan ‘aql [-Arab], al-Jabiri me-
minjam teori Lalande tentang diferensiasi antara la raison
5
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, Translated by JMD.
Meiklejohn, (New York: Prometheus Books, 1990) Nafhamu al-Islam al-Yawm?, (Dar al-Thali’ah). Lihat juga Mukhtar al-
6
Lihat Michel Foucault, The Order of Think: An Archeology of Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhammad Arkoun, (Dar al-Thali’ah).
Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994) 10
Mohammed Abied al-Jabiri, Takwīn al-’Aql al-’Arabi, (Beirut:
7
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, (Chicago: Markaz Dirasah al-Wahdah al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2002); Binyah al-’Aql al-
The University of Chicago Press, 1970). Buku ini telah diterjemahkan ’Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2004)
kedalam bahasa Indonesia dengan judul, Peran Paradigma dalam Revolusi 11
Mohammad ‘Abied al-Jabiri, pemikir muslim kontemporer
Sains, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989) adalah seorang antropolog kelahiran Maroko, 1936. Gelar doktornya
8
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Diny, (Mesir: Sina diperoleh pada Universitas al-Khamis Rabat Maroko. Di tempat yang
li.al-Nashr, 1994) sama, sejak tahun 1976 menjadi dosen dalam bidang filsafat dan
9
Mohammad Arkoun, Qadhaya fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa pemikiran Islam pada Fakultas Sastra.

6 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 7


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Pendahuluan

constituante (al-’aql al-mukawwin) dengan la raison constituée eksplikasi yang terdapat dalam bidang filologi, yurisprudensi
(al-’aql al-mukawwan). La raison constituante adalah bakat in- Islam, ushul fiqh, teologi dialektis (kalam) dan balaghah.
telektual (al-malakah) yang dimiliki setiap manusia guna Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari akumulasi pro-
menciptakan teori-teori dan prinsip-prinsip universal, se- sedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of
dangkan la raison constituée adalah akumulasi teori-teori discourse) teks-teks primer keagamaan. Karakteristik episteme
atau prinsip-prinsip --bentukan la raison constituante-- yang eksplikasi secara umum menggunakan metode analogi. Para
berfungsi sebagai tendensi pencarian konklusi, atau kaidah- ahli hukum dan nahwu menyebutnya dengan istilah Qiyās,
kaidah sistematis yang ditetapkan, diterima dan dinilai para teolog menamakannya dengan al-istidlīl bi al-syīhid (far’)
sebagai nilai mutlak dalam suatu babak sejarah tertentu. La ‘ala al-ghīib (ashl), sementara ahli balaghah memilih istilah al-
raison constituée memiliki relativitas dan, oleh karenanya, ia tasybīh. La raison constituante dalam episteme bayāni berkerja
dicirikan dengan sifat berubah-ubah secara dinamis setiap menggunakan mekanisme berpikir yang sama, yakni “meng-
waktu dan berbeda-beda antara satu pemikir dengan pemikir kait-kaitkan” cabangan (far’) dengan asal (ashl). Kedua, ‘irfāni
lainnya. Nalar Arab tak lain adalah la raison constituée, yakni adalah episteme gnostik yang mengakomodir sufisme, pemi-
kumpulan prinsip dan kaidah yang diciptakan oleh ulama kiran Syi’ah, filsafat Isma’iliyyah, interpretasi esoterik ter-
Arab-Islam ditengah-tengah kultur intelektual Arab sebagai hadap teks-teks keagamaan, dan filsafat illuminasi. Episteme
alat produksi pengetahuan. Nalar ini, dalam teori Michel ini didasarkan pada metode “penyingkapan intuitif mistik”
Foucault, disebut dengan sistem kognitif (nidhīm ma’rifi) atau (al-kasyf) yang terpengaruhi oleh filsafat Hermetisme. Ketiga,
sistem pemikiran (episteme). burhāni adalah episteme demonstratif yang didasarkan pada
Objek kajian epistemologi, berdasarkan definisi ter- metode observasi empiris dan inferensi rasional (al-istintaj al-
sebut, adalah pembacaan terhadap mekanisme kinerja la raison ’aqly).13
constituante di satu sisi, dan terhadap la raison constituée di sisi Pertimbangan digunakannya perspektif al-Jabiri
lain. Dengan demikian, secara operasional, mesti melakukan dalam kajian ini, karena klasifikasinya terhadap tipologi epis-
analisis terhadap proses-proses kinerja la raison constituante teme menjadi bayāni, burhāni dan ‘irfāni dinilai oleh banyak
dalam membentuk la raison constituée pada babakan sejarah kalangan sebagai bentuk revolusi metodologis dalam pem-
tertentu dan mencari kemungkinan-kemungkinan la raison bacaan turāts. Lebih dari itu, al-Jabiri menyatakan bahwa
constituante membentuk teori-teori baru.12 klasifikasi itu sejatinya sejalan dengan klasifikasi epistemik
Dengan mengikuti al-Jabiri, kajian ini akan melihat yang telah digagas oleh para sufi seperti Dhu Nun al-
epistemologi Illuminasi Suhrawardi dari klasifikasi al-Jabiri Mashri, al-Qusyairi, Abi Ali al-Diqaq dan lain-lain. Para sufi
terhadap tipologi episteme, yaitu episteme bayāni, ‘irfāni ini, menurut al-Jabiri, telah menyadari adanya tiga sistem
dan burhāni. Pertama, bayāni adalah sistem epistemologi kognitif ini. Umat Islam menurut mereka terbagi menjadi

12
Abied al-Jabiri, Takwīn…, p. 5-6 & 13-16.
13
Abied al-Jabiri, Binyah…, p. 13, 251 & 383.

8 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 9


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Pendahuluan

tiga golongan; ahl naql (bayāniyyun), ahl al-wishīl (’irfāniyyun/ 1967), Mohd Ali Abu Rayan, Ushûl al-Falsafah al-Isrâqiyah ‘inda
gnostiques), dan ahl al-`aql (burhāniyyun).14 Maka perspektif Syihâb al-Dîn al Suhrawardî, (Iskandariyah: Dar al-ma’rifah al-
al-Jabiri ini menjadi sangat tepat jika digunakan untuk Jami’ah, tt), Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study
membaca pemikiran Suhrawardi yang juga bercorak intuitif- of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia: Brown University,
sufistik. 1990), Henry Corbin (ed.), Majmu’ah Mushannafat Syaikh
Secara metodologis, kajian ini melihat kaitan an- ‘Isyraq Syihab ad-Din Yahya Suhrawardi, Vol. 1, (Tehran:
tara keyakinan atau keimanan religious dalam proses penge- Anjuman Syahansyahay Falsafah Iran), dan lain-lain.
tahuan manusia, sebagai suatu proses rasional.15 Maka Penggalian data diarahkan pada tiga aspek, yaitu
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis, pertama data yang dianggap mewakili pemikiran subjek kajian;
utamanya filsafat epistemologi, yaitu cabang filsafat yang kedua data sejarah, terkait persoalan mendasar yang muncul
membahas persoalan pengetahuan.16 di masanya, dan ketiga data terkait tradisi dan aspirasi serta
Subjek kajian ini adalah pemikiran Suhrawardi. tabiatnya di mana Suhrawardi hidup.17 Untuk mendapatkan
Dengan demikian, jenis penilitian ini adalah library research pemahaman yang memadai terhadap pemikiran Suhrawardi,
(kajian kepustakaan), dengan memanfaatkan buku-buku analisis dilakukan dengan menggunakan model compare and
kepustakaan sebagai sumber datanya. Sumber ini dibedakan contras dengan mempertimbangkan pemikiran dari tokoh
menjadi dua, yaitu sumber primer terkait karya utama subjek maupun tradisi pemikiran lain. Dengan begitu akan diperoleh
kajian dan sumber sekunder yang berupa karya-karya lain pemahaman yang jelas terhadap pemikiran Suhrawardi,
yang baik langsung maupun tak langsung terkait dengan tema karena kesulitan memahami konsep-konsep teknis (technical
kajian ini. Dalam kajian ini, sumber pimer meliputi Karya concept) Suhrawardi sangat boleh jadi bisa dijelaskan dengan
Suhrawardi, Hikmah al-‘isyraq, dan al-Talwihat, sedang sumber konsep dari filosof lain, bahkan dari tradisi lain.
sekunder, antara lain: Corbin, Henry, “Suhrawardi, Shihab Seperti banyak disinggung di muka, bahwa kajian
al-Din Yahya” dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of ini tidak hanya dimaksudkan untuk menemukan “logika
Philosophy, (New York & London: Macmillan Publishing Co., ketuhanan” dalam epistemologi Illuminasi Suhrawardi,
tetapi juga memposisikannya pada problem keilmuan dewasa
14
Yahya Muhammed, Madkhal ila Fahm al-Islīm, (Beirut: al- ini, maka analisis selanjutnya adalah mengkaitkan percikan
Intisyar al-’Arabi, cet. I, 1999), p. 81 “logika ketuhanan” itu dengan krisis epistemologi dalam
15
Kajian demikian ada yang memasukkannya pada bidang keilmuan kontemporer, sekaligus sebagai tawaran solusinya.
studi agama. Di antara ciri utamanya adalah mengkaitkannya dengan
persoalan keyakinan terhadap Dzat yang mahatinggi. Lihat Peter Conoly
(ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama (Approaches to the Study of Religion), 17
Lihat Machasin, “Pendekatan Filosofis”, diktat kuliah
terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LkiS, 1999), p. 155 Metodologi Penelitian Agama, PPS UIN Sunan Kalijaga, 2007
16
Ibid., p. 170

10 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 11


D. Sistematika Penulisan
Dengan mempertimbangkan metodologi dan analisis
yang digunakan, kajian ini disusun dalam beberapa bab. Bab
pertama, merupakan bab pendahuluan sebagai pengantar
untuk melihat menarik dan signifikansi tema dalam kajian
ini. Bab kedua, membicarakan mengenai latar belakang
pemikiran Suhrawardi dan problematika logika keilmuan.
Pada pembahasan ini, pembaca akan diajak untuk melihat BAB I
logika baik sebagai ilmu maupun sebagai sarana penemuan
(logic of dscovery) serta melihat kehidupan Suhrawardi di
tengah-tengah filsuf Islam yang lain bahkan di tengah pemi- Suhrawardi
kiran pada “madzhab” yang sama dari tradisi lain. Selanjut-
nya pada bab ketiga akan dibahas gagasan pokok Suhrawardi dan Problem Logika
dalam hal proses keilmuan (epistemology), sekaligus kritiknya Keilmuan
terhadap pemikiran rasional-manthiqiyah yang berkembang
sebelumnya.
Bab keempat, berisi pembahasan ringkas tentang
kontribusi epistemology Suhrawardi dalam memberikan
Bab ini dimulai dengan pembahasan tentang pro-
tawaran di tengah dominasi paradigm positivistik pada
blematika logika baik sebagai ilmu maupun sebagai sarana
keilmuan modern dewasa ini. Dan bab kelima merupakan
memperoleh pengetahuan yang berbasis ‘rumus-rumus’
bab penutup, yang berisi kesimpulan hasil kajian ini dan
rasio. Sudah tentu pembahasan ini penting, untuk melihat
beberapa saran.
kelebihan logika sebagai kerangka berpikir sehingga cukup
dominan, sekaligus melihat celah sebagai kelemahan model
berpikir logis itu, sebelum akhirnya melihat posisi Suhra-
wardi terhadap logika yang kemudian diketahui ia melakukan
kritik dengan cukup tajam.

A. Problem Keilmuan dan Posisi Logika


Setidaknya terdapat tiga persoalan keilmuan paling
krusial saat ini, pertama soal dampak negatif perkembangan

Mohammad Muslih, MA. 13


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

ilmu pengetahuan modern, yang terdiri dari dampak mili- Krisis peradaban modern, banyak kalangan me-
ter, dampak ekologis, dampak sosiologis, dan dampak psi- ngatakan, bermula dari persoalan bangunan keilmuan
kologis.1 Kedua, soal bangunan episteme2 yang menjadi itu. Keprihatinan mendalam para agamawan khususnya
dasar tumbuhkembangnya ilmu, yaitu rasionalitas melebihi dan pemeluk agama pada umumnya, terkait problem
wahyu, kritik lebih dari sikap adaptif terhadap tradisi dan pengetahuan ini, adalah karena dominasi rasionalitas itu
sejarah, progresivitas lebih dari sekedar konservasi tradisi, telah jauh meninggalkan agama. Keyakinan adanya Tuhan
dan universalisme yang melandasi tiga elemen sebelumnya.3 dan peranNya sama sekali tidak disentuh, bahkan dinafikan
Ketiga, seiring dengan universalisme itu, elemen-elemen dalam proses pengetahuan.
episteme tersebut lalu menjadi kekuatan “hegemonik”, sehing- Tapi, benarkah Tuhan ikut berperan dalam proses
ga tidak tersedia lagi ruang tafsir lain atas realitas.4 pengetahuan manusia? Persoalan seperti ini sebenarnya
bukanlah hal baru dalam tradisi agama-agama, seperti yang
1
Menurut Armahedi, dampak pertama terkait potensi destruktif terjadi pada tradisi sufisme. Tetapi bagaimana penjelasannya.
yang ditemukan sains yang secara serta-merta dimanfaatkan langsung Inilah barangkali yang diperlukan. Kontribusi seperti itu bisa
sebagai senjata pemusnah massal oleh kekuatan-kekuatan militer dunia. jadi memberikan jalan keluar atas kebuntuhan epistemologis
Dampak kedua adalah dampak tak langsung berupa pencemaran dan saat ini atau paling tidak, menjadi model pengetahuan
perusakan lingkungan hidup manusia oleh industri sebagai penerapan
alternatif, semacam “second opinion”.
teknologi untuk kepentingan ekonomi. Dampak ketiga adalah keretakan
sosial, keterbelahan personal, dan keterasingan mental yang dibawa oleh Pada sisi yang lain, ketegangan, bahkan peperangan
pola hidup urban yang mengikuti industrialisasi ekonomi. Dampak karena sentimen agama kerap terjadi. “The Battle for God”,
keempat yang paling parah, adalah penyalahgunaan obat-obatan hasil demikian ungkap Karen Armstrong.5 Benarkah Tuhan
industri kimia. Lihat Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains
menghendaki perang? Secara epistemologis, sangat boleh
dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan,
2004), p. 221-222 jadi, tuhan yang diperjuangkan itu adalah tuhan yang ada
2
Episteme merupakan keseluruhan ruang makna dan prapengan-
daian yang mendasari kehidupan yang memungkinkan pengetahuan bisa
terlahir. Maka episteme berisi hal-hal yang bisa dipikirkan dan dipahami ilmiah”, lalu Positivisme Logis yang mengajukan prinsip “verifikasi”
pada suatu masa. Michel Foucault lebih jauh melihat, episteme merupakan untuk membedakan bahasa yang meaningful dan meaningless, juga Karl
‘medan’ penelusuran epistemologis dari kelahiran pengetahuan. Lihat Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar
Michel Foucault, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, ilmiah. Lihat buku penulis, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar,
(New York: Vintage Books, 1994), p. xxii Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar
3
Lihat Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Budaya, 2003)
Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, 5
Karen Armstrong, The Battle for God, Fundamentalism in Judaism,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), p. 194 Christianity and Islam, (New York: The Random House Publishing Group,
4
Lahirnya norma-norma ilmiah seperti pada Positivisme yang 2001); buku ini telah diterjemahkan dengan judul, Berperang Demi Tuhan:
hanya mempercayai fakta “positif” dan yang digali dengan “metodologi Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, (Bandung: Mizan dan
Serambi, 2001)

14 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 15


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

pada konsepsi manusia (umat beragama), bukan tuhan in meninggalnya. Hal ini dapat dilihat di hampir semua buku
Himself; bukan tuhan yang mencipta manusia (dan alam (literatur) yang berjudul ‘History of Muslim Philosophy’ atau
semesta) tetapi tuhan yang dicipta manusia dalam konsep- ‘History of Islamic Philosophy’.
konsepnya itu. Kedua, ia lebih ditampilkan sebagai tokoh sufi dan
Bangunan keilmuan yang bercorak rasionalis jelas karenanya iapun ‘duduk’ sejajar dengan al-Hallaj, al-Ghazali,
berujung pada pembentukan konsep, teori dan semacamnya. Ibn ‘Arabi, dan lain-lain. Hal ini terlihat jelas dalam buku-
Ini merupakan kelebihan sekaligus kelemahan model buku ‘tasawuf’ yang ditulis oleh pemikir Muslim atau buku-
keilmuan yang bertumpu pada rumus-rumus manthiqi. Tetapi buku yang bertema ‘Sufism’, ‘Mistical Dimension in Islam’
adakah alternatif lain, suatu bangunan keilmuan yang dapat dll. yang ditulis oleh pemikir Barat. Menurut Hossein Ziai,
mengantarkan “pengenalan” pada hakikat objek, termasuk para pemikir seperti Henry Corbin (dari Barat) dan Seyyed
Tuhan? Hossein Nasr (dari kalangan Muslim) yang mempopulerkan
Dalam tradisi Islam, menarik untuk dilihat percikan Suhrawardi, juga masih mengesankannya sebagai sosok sufi
pemikiran logika illuminasi Suhrawardi sebagai satu varian dan masih bercorak historis. Ajaran Suhrawardi, seperti juga
epistemologi Islam yang bercorak intuitif sekaligus bersifat tokoh-tokoh sufi tersebut, memang bercorak mistiko-filo-
teodesi. Mengapa harus Suhrawardi? Suhrawardi dalam sofis, tetapi yang mengesankan mengapa Suhrawardi disebut
wacana pemikiran Islam tampaknya masih penuh “misteri”. sebagai filosof (besar), sedang yang lain hanya tokoh sufi
Ia adalah seorang filosof Muslim besar yang, menurut Hasan saja. Sudah tentu Suhrawardi punya kekhasan; tentang pro-
Hanafi, filsafat Islam mencapai puncaknya, di tangannya,6 blematiknya, tawaran penyelesaiannya, metodologinya, dll.
namun pembicaraan tentang dirinya masih mencerminkan Ada sebuah teori bahwa pengetahuan intuitif atau
dua hal saja. Pertama, ia tampil sebagai tokoh ‘sejarah’, di lebih tepatnya ‘pilihan’ hidup sufistik itu adalah personal
mana perbincangannya sekitar nama, tempat dan tanggal experience dalam arti pengalaman pribadi. Jika pengalaman
lahir, nama guru dan pendidikannya sampai tahun demikian ‘diberlakukan’ pada dirinya sendiri dengan
menyadari bahwa hal itu terjadi pada dirinya tanpa disangka-
sangka, maka tidak akan menimbulkan persoalan, misalnya
6
Kehadiran Suhrawardi dalam dunia pemikiran Islam itu apa yang dialami oleh Abu Yazid al-Basthami. Sebaliknya
sendiri merupakan penyambung ujung-ujung kesempurnaan pemikiran.
Dalam segi pemikiran ia hidup pada akhir fase pertama perkembangan
akan menjadi masalah besar, jika pengalaman itu kemudian
kebudayaan Islam, ketika filsafat mencapai kesempurnaannya di tangan di’sulap’ menjadi sebuah ajaran (kefilsafatan), bahkan dalam
ibn Rusyd (1126-1198) dan tasawuf di tangan Ibn ‘arabi (1165-1240), banyak kasus, nasib pelakunya kemudian berakhir di tiang
kemudian pada abad berikutnya ilmu kalam di tangan al-Iji (w. 1388). gantungan atau tebasan pancung oleh penguasa, seperti
Jadi Suhrawardi datang setelah pemilahan metode penalaran dan zauq yang dialami oleh Al-Hallaj, Al-Sumatrani, Syekh Siti Jenar,
mencapai puncaknya. Lihat Hasan Hanafi, Dirasât Islâmiyyah, (Kairo: al-
Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, tt), p. 274
dan lain-lain. Inilah barangkali yang dialami juga oleh

16 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 17


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

Suhrawardi, makanya ia dijuluki al-Maqtīl atau al-Syahid,7 Dalam sejarah pemikiran Suhrawardi, tampak jelas,
yaitu hanya karena ajaran-ajarannya yang bercorak mistiko- hal ini juga terjadi padanya. Kecuali situasi perang (dalam
filosofis itu dianggap menyeleweng dari mainstream (sebagai hal ini perang salib) dari sisi ‘polkam’, logika Peripatetik
heterodoks [C.E.Farah]). rupanya merupakan ‘satu-satu’ nya model kerangka berpikir
Kecuali personal experience seperti dinyatakan di kala itu. Inilah logika monster itu. Bagi Suhrawardi logika
atas, pilihan hidup mistik lahir sebagai efek samping dari ini mempunyai banyak kelemahan. Inilah yang menjadi
‘kejenuhan’ formalisme (Mukti Ali, Simuh dll termasuk keprihatinan (kegelisahan akademik) Suhrawardi. Meski
Annimarie Schimmel mengakui hal ini). Jenuh, karena penulis memahami bahwa pemikiran Suhrawardi memiliki
--seakan-- hanya ada satu logika (dalam hidup ini) yang sejarah yang cukup panjang; perihal pendidikan, beberapa
disebut logika ‘monster’, yaitu suatu kerangka berpikir umum guru9 dan aliran filsafat yang mempengaruhinya,10 bahkan
di mana seseorang sulit untuk menghindar dan melepaskan ia pun melakukan meditasi dan berhalwat,11 namun harus
diri dari logika itu, seakan tidak punya pilihan lain, baik diakui bahwa puncak dari semua itu adalah ingin mendobrak
dalam berpikir, bersikap maupun bertindak. Jenuh dalam kejenuhan logika Peripatetik dengan segala karakteristiknya
pengertian seperti inilah yang dialami oleh Hasan al-Basri. itu. Menurut Hossein Ziai, persoalan logika illuminasi --yang
Hasan al-Basri, sebagaimana dimaklumi, memilih hidup merupakan ‘penyerangan’ terhadap logika Peripatetik ini--
sebagai zīhid atau ‘ībid karena ‘jenuh’ terhadap formalisme
atau logika ‘monster’, dalam hal ini, perdebatan yang ber-
larut-larut di sekitar suksesi sepeninggal Ali bin Abi Thalib, Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et.al., (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000), p. 35
yang sudah tentu disertai dengan klaim-klaim teologis dan 9
Konon, mula-mula ia belajar di bawah bimbingan Majduddin
hukum.8 Jili di Maraghah, dan kemudian belajar pada Zahiruddin di Isfahan serta
Fakhruddin al-Mardini (w. 1198 M), yang diduga sebagai gurunya yang
7
Disebut demikian karena ia mati terbunuh atau dihukum paling penting. Gurunya yang lain adalah Zahir al-Farsi, seorang ahli
mati. Menurut catatan Seyyed Hossein Nasr. Ketika ia menerima tawaran logika dan al-basa’ir. Suhrawardi juga berguru pada Umar ibn Sahlan
Malik al-Zhahir untuk tinggal di istana. Pamornya menjadi menurun, al-Sawi, seorang filosof dan ahli logika. Lihat Dr. Muhammad Ali abu
terutama di kalangan ulama. Mereka menuntut agar Suhrawrdi dihukum Rayyan, Ushûl al-Falsafah al-Isyrīqiyah ‘inda Syihīb al-Dîn al Suhrawardî,
mati, tetapi Malik al-Zhahir menolak. Mereka lalu mendekati Shalah al- (Iskandariyah: Dar al-Ma’rifah al-Jami’ah, tt), p. 19-20
Din al-Ayyubi yang kemudian mengancam akan menurunkan anaknya, 10
Tentang aliran filsafat yang mempunyai pengaruh terhadap
kecuali jika ia mau mengikuti aturan para ulama. Suhrawardi kemudian pemikiran Suhrawardi, mulai dari aliran filsafat Platonism, Aris-
dipenjarakan dan pada tahun 587/1191 ia meninggal dunia, entah totelianism, Peripatetik Ibn Sina sampai dengan pengaruh al-Ghazali dll.
karena dicekik atau karena dibiarkan kelaparan. Lihat Seyyed Hossein Lihat ibid., p. 71-119
Nasr, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, dalam MM. Sharif, A 11
Sebagaiana secara eksplisit dikatakan Suhrawardi dalam
History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963), p. 375 “Pengantar Hikmah al-Isyraq”, lihat Apendix A dalam Hossein Ziai,
8
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq,
Rajawali Press, 1997), p. 25; Annimarie Schimel, Dimensi Mistik Dalam (Georgia, Brown University, 1990), p. 173

18 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 19


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

adalah persoalan paling krusial dalam filsafat Isyraqiyah ini.12 Suhrawardi. Sebaliknya, ia menunjukkan pada adanya ke-
“Mengkaji filsafat illuminasi tidak dapat mengabaikan logika nyataan bahwa bagian-bagian atau dimensi-dimensi tertentu
illuminasi,” demikian Ziai.13 filsafat illuminasi sesuai dengan ajaran-ajaran Peripatetik.
Konon buku Surawardi yang harus dibaca pertama Argumen Ziai, seluruh karya Suhrawardi ditulis
kali, untuk dapat memahami filsafat Isyraqiyah ini adalah atas permintaan sahabat dan murid-muridnya. Ini berarti
al-Talwihīt, yaitu buku yang ditulis dengan memakai logika Suhrawardi telah menyampaikan ajaran-ajarannya pada saat
Peripatetik. Dari sinilah kemudian timbul berbagai pendapat, ia mengajar secara lisan sebelum diturunkan dalam bentuk
antara lain: bahwa Suhrawardi adalah penganut dan tulisan. Melihat usianya, Suhrawardi paling tidak hanya
pelanjut filsafat Peripatetik. Sebagian yang lain mengatakan punya waktu sepuluh tahun untuk menulis seluruh karyanya.
bahwa karena buku itu merupakan bagian tak terpisahkan Waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang cukup panjang
dari teori illuminasinya, maka sebenarnya dengan buku bagi seorang pemikir untuk mempunyai dua masa yang
itu, Suhrawardi ingin menunjukkan kelemahan-kelemahan berlawanan dari pemikiran yang dikembangkan seluruh-
logika Peripatetik itu, untuk selanjutnya menawarkan teori nya; Peripatetik dan illuminasionis, seperti ditunjukkan
‘alternatif’ nya itu. oleh beberapa peneliti seperti Seyyed Hossein Nasr, Louis
Di kalangan peneliti, rupanya perdebatan itu tidak Massignon, Carl Brockelman, Henry Corbin.
sesederhana itu. Suhrawardi menulis buku itu ketika ia Alasan yang terpenting adalah, sama seperti pro-
berusia 20-an tahun (didasarkan atas usia tamatnya dalam blem pengetahuan saat ini, problem mendasar di sekitar
menyelesaikan pendidikan), kalau benar buku itu merupakan kemunculan Suhrawardi adalah soal “validitas pengetahuan”,
bagian tak terpisahkan dari teorinya itu, berarti Suhrawardi di mana pemegang otoritas satu-satunya saat itu adalah logika
sudah menemukan ke-Benar-an dengan Isyraqiyahnya itu Peripatetik. Ciri paling menonjol dari model pengetahuan ini
pada usia yang relatif muda. Ini apa mungkin? adalah kebenaran silogisme, proposisi, konsep dan problem
Menurut Ziai, bahwa tujuan di balik penyusunan dari definisi. Makanya pengetahuan itu dapat dicari (mathlub)
masing-masing karya ini, tiada lain kecuali mengetengahkan meski terkait objek yang tidak dapat dicerap (al-syai’ al-ghaib).
filsafat illuminasi secara sistematis. Ini berarti ketika Bagi Suhrawardi, model pengetahuan rasionalis seperti itu
Suhrawardi menegaskan bahwa al-Talwihīt, misalnya ditulis banyak terjadi kelemahan.
sesuai dengan metode Peripatetik, bukanlah karya yang “Untuk pertama kalinya, saya tidak memperoleh (fisafat
berdiri sendiri yang ditulis semata-mata sebagai penerapan illuminasi) ini dengan pikiran, namun melalui sesuatu yang lain”
dalam filsafat Peripatetik, juga bukan menggambarkan (Opera II, hal. 10).14 Ini merupakan pernyataan metodologis
suatu periode Peripatetik dalam kehidupan dan karya-karya
14
Sebagaimana dikutip Hossein Ziai: lam yahsil (ya’ni hikmah al-
12
Ibid., p. 143 isyrīq) awwalan bil fikr, bal kīna husīluh bi amrin īkhar. Lihat. Hossein Ziai,
13
Ibid., p. 115 ibid., p. 43 footnote 2

20 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 21


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

Suhrawardi yang paling eksplisit, yang selanjutnya mengun- metode diskursif Peripatetik, hanyalah sampai pada idrīk,
dang komentar dari para pensyarah. Misalnya Syams al-Din belum ‘ilm.18
al-Syahrazuri menganggap “sesuatu yang lain” (amr īkhar) Kebijaksanaan, pada dasarnya diperoleh melalui
sebagai visi (musyīhadah) dan ilham pribadi (mukīsyafah). illmuninasi (Isyraqiyah) dan sebagian dibimbing dengan
Quthb al-Din al-Syirazi menganggapnya sebagai ilham dan memperkenalkan logika. Karenanya, dalam pandangan ini
intuisi (dzawq atau rasa) personal khas para filosof illumi- intuisi, inspirasi, dan wahyu adalah alat-alat yang diketahui
nasi. Sementara Muhammad Syarif Nizham al-Din al-Hara- sebelum investasi logis dan sebagai dasar bagi elaborasi pe-
wi menilainya sebagai inspirasi (ilhīm), ilham dan intuisi ngetahuan selanjutnya, dan lebih jauh berperan sebagai lang-
personal.15 kah pertama dalam membangun ilmu yang benar (al-‘ilm al-
Dari beberapa komentar di atas jelas bahwa dalam shahīh).19
filsafat illuminasi, pengetahuan dapat diperoleh dengan
menggunakan metode intuitif (dzawq). Perolehan ilmu B. Logika dan Problematikanya
demikian inilah yang kemudian dapat dijelaskan dengan
Logika20 merupakan bagian dari kajian epistemologi,
menggunakan metode diskursif (al-bahts).
yaitu cabang filsafat yang membicarakan pengetahuan. Logi-
Pengetahuan menurut Suhrawardi adalah pengetahu- ka bisa dikatakan ruhnya filsafat. Mungkin tidak ada filsafat
an yang benar-benar tahu. Istilah yang dipakainya adalah kalau tidak ada logika. Di dunia Islam, cabang filsafat ini lebih
yaqīnī atau haqīqī.16 Atau, dalam istilah kaun sufi, penge- dikenal dengan ilmu al-mantiq. Ilmu ini pernah mengalami
tahuan Suhrawardi adalah pengetahuan yang sudah sampai masa kejayaan terutama di saat berkembangnya tradisi
pada tingkat haqq al-yaqīn, bukan ‘ain al-yaqīn apalagi ‘ilm
al-yaqīn. Sementara pengetahuan yang hanya sampai pada
‘ilm al-yaqīn, menurut filsafat ini, sebenarnya bukanlah 18
Argumen Suhrawardi: lī yumkin ta’rifuh liman lī yusyīhidu kamī
pengetahuan dalam arti ‘ilm, tetapi hanya idrīk (persepsi). huwa.. Lihat Hossein Ziai, Knowledge and..., p. 133
19
Ibid., p. 44
Meskipun idrīk sendiri mempunyai beberapa tingkatan, yaitu 20
Berasal dari bahasa Latin “Logos” yang berarti “pekataan”
idrak bi al-hissi dan idrīk bi al-aql.17 Klaim Suhrawardi bahwa atau “sabda”. Dalam kata Arab digunakan kata “mantiq” yang berasal
pengetahuan yang dicari melalui definisi, sebagaimana pada dari kata “nathaqa” yang berarti “berkata” atau “berucap”. Lihat Louis
Ma’luf, Munjid, (Beirut: ,1973), p. 816’ Menurut istilah, logika adalah
penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar.
15
ibid. Lihat George F. Kneller, Logic & language of Education, (New York: , 1966),
16
ibid., p. 54 p. 13; Bandingkan dengan Irving yang mengatakan bahwa logika adalah
17
Muhammad Ali Abu Rayyan, Ushûl al-Falsafah al-Isyrâqiyah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan
‘inda Syihâb al-Dîn al Suhrawardî, (Iskandariyah: Dar al-Ma’rifah al-Jami’ah, untuk membedakan penalaran yang benar dari penalaran yang salah.
tt), p. 306 dan 316; dan ada beberapa literatur yang menyebut idrak bil Irving M. Copi, Introduvtion to Logic, (New York: MacMillan Publishing,
hissi, idrak bil fahm, dan idrak bil aql 1978), p. 3

22 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 23


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

intelektualisme yang memang membutuhkan kekuatan yang sehat untuk memperoleh pengetahuan yang benar.
berargumentasi, baik berujud karya tulis maupun kecakapan Maka logika merupakan (atau setidaknya menyediakan)
praktis dalam berdebat. Karena, memang bangunan argumen hukum atau peraturan formal, yang dengan melaluinya,
akan kokoh jika landasan logikanya kuat dan tepat. akan diperoleh pengetahuan yang benar. Disebut “akan
Studi filsafat serasa tidak sempurna jika tidak di- diperoleh” karena belum tentu benar-benar diperoleh.
lengkapi dengan studi logika, bahkan studi filsafat akan Itulah sebabnya, dengan mengikuti “jalan”nya, lo-
kehilangan arah jika tidak ada bekal logika. Logika juga gika “menjanjikan” hanya akan diperoleh pengetahuan yang
menjadi bangunan dasar (fundamental structure) pemikiran “tepat”. Dalam filsafat memang ada pemahaman, bahwa
sejumlah filsuf muslim, seperti al-Farabi, al-Kindi, Ibn pengetahuan yang tepat itu belum tentu benar tetapi pe-
Shina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd. Mereka lalu dijuluki ngetahuan yang benar itu pasti tepat.24 Dikatakan “tepat” ka-
filsuf peripatetik (masysyaiy) yang dinisbahkan kepada rena telah melalui hukum pikir yang sehat (logis), tetapi bisa
Aristotle, sebagai peletakdasar ilmu ini.21 Bahkan khusus al- jadi yang melalui hukum pikir itu adalah bahan yang tidak
Farabi sampai diberi gelar “guru kedua” (al-mu’allim al-tsani) pada kenyataannya.
atas keberhasilannya mengintegrasikan logika “sang guru Sebagaimana halnya filsafat, seseorang mempunyai pe-
pertama” Aristotle pada bangunan pemikirannya. mikiran yang teratur, lurus dan konsisten tidak harus terlebih
Dalam kajian epistemologi, pengetahuan disebut benar dulu belajar ilmu logika. Seiring dengan perkembangan
jika ia diperoleh melalui cara-cara yang bertanggungjawab usia dan pengalamannya, dalam banyak hal, orang sudah
dan menunjukkan adanya kesesuaian dengan kenyataan.22 melakukannya dengan benar. Di sinilah yang disebut lo-
Yang dimaksud dengan cara yang bertanggungjawab adalah gika natural, yaitu pola pikir teratur yang tumbuh secara
cara yang secara formal bisa diterima oleh akal sehat. Sedang alami. Sedang logika sebagai ilmu yang --di atas dikatakan--
yang dimaksud dengan sesuai dengan kenyataan adalah merupakan sarana memperoleh pengetahuan yang benar
pengetahuan yang secara materiil bisa dibuktikan pada ke- disebut logika artifisial atau logika saintifika.25 Maksudnya,
nyataan.23 Dalam proses pengetahuan itu, logika berperan logika yang diperoleh melalui belajar dan memang diguna-
pada posisi yang pertama, yaitu sebagai “jalan” atau cara kan untuk membangun pengetahuan. Ekstrimnya bisa di-
katakan bahwa logika saintifika ini digunakan untuk mere-
21
Konon, karena kebiasaan Aristotle dalam mengajarkan ilm u presentasikan fakta melalui bahasa, sebagaimana fakta itu
kepada murid-muridnya sambil berjalan-jalan mengitari para muridnya sendiri “berbicara”, bahkan orang mempelajari logika untuk
itu.
22
Lihat Randall & Buchler, Introduction to Philosophy, (New York:
Barnes and Noble, 1994), p. 133-135 24
Mudlor Achmad, Ilmu dan Keinginan Tahu, (Bandung: Trigenda
23
Makanya ada istilah logika formal dan logika material. Lihat Karya, 1995), p. 37
lebih jauh Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 25
Lihat W.Poespoprojo, Logika Scientifika, Pengantar Dialektika
1977), p. 147 dan Ilmu, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), p. 25

24 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 25


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

menyiapkan diri agar dapat berargumen dengan benar.26 dan revisi oleh filsuf zaman modern, bercorak induktif dan
Sejalan dengan itu, filsafat memang “mengandaikan” diperkaya dengan simbol-simbol, termasuk simbol matematis,
bahwa logika itu sesuai dengan hukum-hukum alam.27 Maka meski masalah bahasa tetap tidak ditinggalkan.
orang yang pola pikirnya logis disebut sedang “waras”, se- Karena bagi logika, bahasa adalah simbol dari pemikir-
baliknya orang yang tidak mengikuti hukum logika disebut an dan apa yang dipikirkan manusia bisa disimbolkan
tidak waras. Jika Firman mengatakan bahwa batu yang dengan bahasa. Itulah sebabnya mengapa logika mempunyai
dilemparkannya ke atas itu tidak akan jatuh ke bawah, maka kedekatan dengan ilmu bahasa, tetapi, sekali lagi, merupakan
orang lantas mempertanyakan kewarasan otak Firman. Pada bagian dari ilmu filsafat. Logika membicarakan hukum-
sisi ini, logika bisa disebut ilmu normatif. Maksudnya ilmu hukum pikiran, sedang ilmu bahasa membicarakan hukum-
yang berbicara apa yang seharusnya, buka apa adanya.28 Orang hukum bahasa. Keduanya memang tidak bisa dipisahkan,
harus mengikutinya, jika tidak mau, dikatakan tidak waras. tetapi tetap harus dibedakan.31
Dalam sejarah perkembangannya, ilmu logika me- Bagi logika, apa yang dipikirkan manusia mesti bisa
ngenal dua istilah yaitu logika tradisional dan logika modern.29 di-bahasa-kan. Itupun ternyata masih belum cukup, karena
Logika tradisional adalah logika yang menekankan pada analisis “bahasa” itu masih harus disampaikan, dipahamkan dan
bahasa, bercorak deduktif, dan secara historis memang temuan diujikan kepada banyak orang atau komunitas. Jika “umum”
filsuf klasik.30 Sedang logika modern merupakan modifikasi mengakui, itu berarti “logis”. Di sinilah sebabnya, mengapa logika
juga terlihat ‘berkutat’ pada analisis bahasa, meski penekanannya
26
Alex Lanur OFM, Logika Selayang Pandang, (Yogyakarta: lebih kepada persoalan makna (kandungan) bahasa.
Kanisius, 1990), p. 8
27
Lihat W.Poespoprojo, op.cit., p. 20 Ada banyak kata kunci yang harus dimengerti
28
Logika merupakan saluran yang harus dilalui oleh aliran untuk memahami struktur pikir logika, seperti konsep (al-
pemikiran. Lihat MJ. Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat (terj.), tashawwur), proposisi (al-qadliyah), dan silogisme (istidlal
(Jakarta: PT. Pembangunan, 1959), p.27 qiyasi), serta kata-kata kunci lain yang terkait dengan itu.
29
Lihat Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, Asas-Asas Penalaran
Sistematis, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), p. 14-15
30
Sekalipun istilah logika sudah dipergunakan oleh banyak
filsuf, seprti Zeno, Socrates, Plato, namun filsuf yang dinaggap paling 31
Namun demikian, tetap dapat dimaklumi pandangan
berjasa terhadap kelahiran ilmu logika adalah Aristoteles. Aristoteles yang menyebutkanka bahwa ilmu logika merupakan dari bagian ilmu
meninggalkan enam buku yang oleh muridnya diberi nama “Organon”, bahasa, karena pada umumnya kajian logika yang awalnya berfokus
yaitu Categoriae (mengenai pengertian [at-tashawwur]), De Interpretatiae pada penalaran namun harus menghabiskan banyak pembahasannya
(mengenai keputusan [at-tashdiq]), Analitica Priora (mengenai silogisme), pada persoalan bahasa sebagai simbol dari proses penalaran itu, seperti
Analitica Posteriora (mengenai pembuktian), Topika (mengenai berdebat) persoalan lafadz, pembagian lafadz, dst.
dan de Sophisticis Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir). Buku-
buku inilah yang menjadi dasar logika tradisional. Lihat Richad B. Angel,
Reasoning and Logic, (New York: Century Crafts, 1964), p. 41-42

26 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 27


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

1. Al-Tajrid dan Al-Tashawwur, berawal dari pengalaman Atau bisa juga, karena kita terbiasa hidup ditemani
Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita sudah oleh barang-barang, sehingga kita dapat menangkap ciri-
terbiasa memanfaatkan benda-benda di sekeliling kita, untuk ciri barang tersebut setelah kita terlibat proses identifikasi
itu wajar kalau kita mengenalnya dengan baik, atau paling sederhana. Dari situ kita pun kemudian memberinya sebutan
tidak mengetahuinya dengan benar.32 Mulai dari perabotan dengan istilah tertentu.
rumah tangga, seperti gelas, piring, mangkuk, dll; peralatan Dengan proses identifikasi sederhana terhadap
sekolah atau kantor, seperti pensil, penggaris, buku, dst. ciri-ciri benda yang diberi sebutan itu, kemudian kita pun
Kita juga mengenal berbagai jenis dan nama tumbuhan, dengan mudah menyebut dengan sebutan yang sama pada
jenis dan nama binatang yang juga bisa dimanfaatkan untuk benda lain, di saat dan di tempat lain, hanya karena memiliki
kehidupan kita. ciri-ciri yang sama.
Begitu juga, kita bisa membedakan bahwa si A Apa yang disebut “proses” di sini adalah proses dalam
adalah rajin, si B anaknya pandai, si C orangnya sopan dll. pengertian aktivitas pikir (bukan gerakan badani). Dalam
Pada saat yang lain, kita juga mengenal, atau bahkan telah filsafat, proses identifikasi sederhana terhadap ciri-ciri suatu
memanfaatkan hasil teknologi mutakhir, misalnya, radio, objek disebut abstraksi (al-tajríd)33, sedangkan “sesuatu” yang
TV, komputer, kulkas, kipas angin, AC, internet, telepon yang ditunjuk sejumlah “ciri-ciri tetap” yang tertangkap
seluler, dll. Pernahkan kita memikirkan bagaimana kita tiba- pikiran itu disebut konsep atau pengertian (al-tashawwur).
tiba memberi sebutan sesuatu dengan istilah tertentu? Sementara “kata” tertentu untuk memberi sebutan terhadap
Sadarkah kita, bahwa ternyata setiap saat kita terlibat “sesuatu” objek tertentu disebut ístilah atau term (al-kalimah).
dalam proses “pembiasaan”. Kita tampaknya telah terbiasa Selanjutnya jika ístilah dituangkan atau diuraikan dalam
mendengar orang menyebut sesuatu dengan istilah tertentu. bentuk kalimat dengan mempertimbangkan intensi dan
Sehingga disadari atau tidak, kita telah mengumpulkan ciri- ekstensinya,34 maka itulah yang disebut dengan definition
ciri sesuatu itu. Ketika ciri-ciri itu sudah dapat ditangkap, (hadd atau al-tahdid).
maka dengan mudahnya kita menyebut barang lain yang
berbeda bentuknya, ukurannya, warnanya, rasanya, dst., 33
Dalam arti, proses identifikasi atau pemilahan terhadap
bahkan yang ada di tempat yang lain sekalipun, dengan mana ciri-ciri yang tetap (al-jauhar atau substansi) dan mana ciri-ciri yang
sebutan yang sama. kebetulan “menempel” (al-’ardl atau aksidensi), selanjutnya dibuang ciri-
ciri yang kebetulan dan dipegangi ciri-ciri yang tetap. Demikian inilah
yang disebut proses abstraction (al-tajrid) atau proses immaterialisasi. Lihat
32
Ada perbedaan antara dua istilah ini, misalnya suatu W.Poespoprojo, op.cit, p. 69
ungkapan: “saya tahu tapi belum/tidak kenal”. Mengenai hal ini lihat 34
«Intensi dan ekstensi» biasanya juga disebut dengan «konotasi
misalnya uraian pada catatan kaki oleh penyunting atas buku Seyyed dan denotasi». Intensi adalah «isi» yang terkandung dalam term, sedang
Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), p. 20- ekstensi adalah «lingkup» yang ditunjuk term. Bandingkan Drs. Ali Abri,
24 MA, Pengantar Logika Tradisional, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), p. 54

28 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 29


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

Demikianlah, ístilah merupakan simbol dari konsep keterlibatan seseorang dalam proses abstraksi, dengan begitu
atau pengertian yang ‘tersimpan’ dalam pikiran. Dalam lalu punya konsep atau pengertian, konsep atau pengertian itu
prakteknya, bisa dilihat, biasanya (tidak selalu!) orang yang lalu dituangkan dalam bentuk istilah. Dengan ‘bekal’ ini, ia
mengerti tampak manggut-manggut ketika mendengarkan dapat mengkaitkan konsep yang dimiliki dengan benda lain,
pembicaraan. Meski demikian, banyak juga orang yang di waktu dan tempat lain. Hasil akhir dari proses ini disebut
sebenarnya mengerti tapi tidak tahu apa istilahnya (nama- pengetahuan, yaitu ketika sudah dapat mengumpulkan dua
nya). Di sini kemudian sering terjadi kesalahan dalam mem- konsep atau lebih dengan keterhubungan yang logis.
berikan istilah. Atau bisa juga, orang sudah mendengar Misalnya orang berkata: mangga ini manis, mangga
istilahnya, tapi tidak mengerti apa maksud istilah itu. Di sini ini tidak asem, mangga ini besar, dst. Artinya orang tersebut
kesalahan juga sering terjadi. Misalnya, biar tampak “keren”, punya pengetahuan bahwa ini mangga, kebetulan rasanya
seseorang sering memakai istilah-istilah asing, namun ketika manis; ini juga mangga, hanya saja yang ini asem, dst. Artinya
ditanya apa maksudnya, jawabannyapun berputar-putar. lagi, orang tersebut dapat mengkaitkan konsepnya tentang
Dua jenis kesalahan ini, bisa dikategorikan ke dalam istilah mangga dengan mangga ini, mangga itu, mangga yang di
misunderstanding. sana, bahkan mengkaitkan konsepnya tentang mangga
Untuk menghindari kesalahpengertian ini diperlukan dengan sifat-sifat tertentu, semisal: manis, asem, dan besar.
apa yang disebut dengan definisi konsep. Maka pembahasan “Hubungan logis” dua konsep itu yang dikenal
“definisi” (al-hadd) itu menjadi penting, dalam hal ini, agar dengan “tashdiq”. Bentuk hubungan logis itu adakalanya po-
didapat suatu pengertian atau maksud yang terkandung sitif (itsbat) seperti tampak pada kalimat “mangga ini manis”
dalam istilah tertentu. Karena, dengan definisi, pengertian dan ada kalanya negatif (nafy) seperti tampak pada kalimat
yang -notabene- tersimpan dalam pikiran dituangkan dalam “mangga ini tidak asem”.
bentuk bahasa dengan bantuan ‘norma-norma’ definisi.35 Selanjutnya, dalam “proses mengetahui” ini, kita
Maka definisi tak lain adalah penjelasan berupa uraian dihadapkan pada dua objek, yaitu objek konkrit (dalam hal
kalimat atas pengertian kita. ini, benda-benda konkrit) dan objek abstrak (dalam hal ini,
Maka demikianlah, “mengerti sesuatu” itu sebenarnya keadaan atau sifat sesuatu, misalnya rajin, susah, utara, hijau,
suatu rentetan proses aktivitas pikir, yang berawal dari dll). Itulah sebabnya pengetahuan itu ada disebut pengetahuan
konkrit dan pengetahuan abstrak. Pembagian pengetahuan
35
Agar dapat dengan tepat mendefinisikan sesuatu istilah, maka ini dilihat dari sisi objek. Terkait dengan ini, dalam kajian
harus lebih dulu mengenalinya dengan memperhatikan norma-norma logika dikenal ada konsep (tashawwur) yang bersifat awwali36
definisi. Ada lima predikat (predicable) yang harus dipertimbangkan, yaitu
genus (al-jins), species (al-nau’), defferentia (al-fashl), proprium (al-khashshah),
accident (al-’ardl). Lima predikat ini juga disebut al-kulliyat al-khamsah. 36
Terkait dengan objek konkrit yang mudah dikenali
Lihat Drs. H. Sukriadi Sambas, Mantik, Kaidah Berpikir Islami, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000 cet ke-3), p. 57-59

30 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 31


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

dan ada pula yang bersifat mathlubi.37 indera. Oleh karenanya tingkat kebenaran atau validitas
Dalam prakteknya yang lebih kompleks, proses me- pengetahuan ini adalah sejauh bisa dialami.
ngetahui itu terjadi atas dasar pengalaman. Seorang mbok Dalam filsafat, istilah pengalaman, kecuali bermakna
jamu (perempuan yang biasa menjual jamu tradisional) pengalaman indrawi, juga bermakna pengalaman psikis,
misalnya, menawarkan salah satu produk jamunya, yang bahkan pengalaman intuitif (batini). Pembahasan untuk ini
katanya dapat menyembuhkan orang yang sakit perut. Kalau memang telah menghabiskan banyak halaman buku. Di sini
ditanya, mengenai buktinya. Dia menjawab, bahwa khasiat hanya diberikan contoh illustrasi.
jamu ini sudah dibuktikan bertahun-tahun, tak lupa dia Misalnya pernyataan: Ali duduk termenung; Ali
juga menyebut nama si-A, si-B yang sembuh dari sakit perut sedang susah. Pernyataan pertama adalah ungkapan dari hasil
setelah minum jamu ramuannya itu. Contoh yang lain, para tangkapan indra, sedang pernyataan kedua adalah ungkapan
petani misalnya, mereka segera tahu, kapan mulai menggarap hasil dari tangkapan psikis. Demikian juga dengan contoh:
sawahnya, kapan waktunya memupuk tanamannya, dst. “kopi ini manis; gadis itu manis”, yang pertama berdasarkan
Petani ini melakukan tindakannya secara tepat. pada kesan indrawi sedang yang kedua berdasarkan pada
Kedua contoh ini menunjukkan bahwa proses pe- kesan psikis.
ngetahuan manusia itu juga terjadi karena proses pengalaman. Pengalaman ini berbeda dengan seseorang misalnya
Maka wajar jika ada pernyataan: karena pengalaman lalu yang merasakan ni‘mat “luar biasa” ketika sedang í‘tikaf di
menjadi tahu atau tahu karena pengalaman. antara malam bulan ramadlan. Dan pengalaman itu hanya
Pengetahuan jenis ini, sebenarnya juga melalui proses bisa dirasakan namun tidak bisa diungkapkan dengan
yang panjang. Sepanjang sejarah, terutama masyarakat tradi- kata-kata (unspeakable). Bahkan dengan pengalamannya
sional selalu mendasarkan pengetahuannya pada pengala- itu terjadi perubahan (transformasi) ruhani, biasanya dari
man. Metode yang dipakai adalah apa yang sekarang dikenal kekanak-kanakan religius ke kedewasaan religius. Inilah yang
dengan istilah trial and error (coba-coba salah); terus coba dan dimaksud dengan pengalaman intuitif.38
coba lagi. Maka selama dalam pengalamannya tidak terjadi
kasus kesalahan, maka itulah yang diambil sebagai kebenaran 2. Al-Qadliyah dan Al-Istidlal, dasar-dasar penalaran ilmiah
(dalam hal ini, pengetahuan yang benar), bahkan menolak Di atas telah disampaikan bahwa menurut logika, apa
segala apa yang dianggapnya di luar yang bisa dialami. yang dipikirkan manusia mesti bisa di-bahasa-kan, artinya
Maka begitulah, objek dari pengetahuan jenis ini harus disampaikan, dipahamkan dan diujikan kepada banyak
adalah objek empiris, yaitu objek yang dapat dialami oleh
38
Bandingkan misalnya dengan Miska Muhammad Amein yang
menjelaskan adanya dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan wahyu
37
Terkait dengan objek yang memerlukan kajian lebih mendalam dan pengetahuan ilham. Lihat Miska Muhammad Amein, Epistemologi
dan bersifat teoritis Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), p. 19

32 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 33


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

orang atau komunitas. Jika masyarakat pada umumnya tidak karena predikatnya merupakan keharusan bagi subjeknya.40
men-salahpahami, itu berarti “logis”. Ukuran kedua, dilihat dari ada-tidaknya kesesuaian
Dalam logika, orang disebut mengetahui jika ia bisa dengan kenyataan. Misalnya: “kelas ini bersih”. Kalimat
mem-bahasa-kannya atau menyatakannya dengan sarana ini mengandung kebenaran jika memang kenyataannya
bahasa sebagai simbolnya. Simbol minimal dari pengetahuan demikian, begitu sebaliknya. Bagaimana membuktikannya,
manusia itu adalah apa yang disebut dengan proposisi (al- ya.. harus dilihat dulu. Inilah yang disebut proposisi a
qadliyah). Yang dimaksud dengan proposisi adalah kalimat posteriori, yaitu proposisi yang benar-salahnya itu baru di-
berita yang sempurna, yang mana kalimat itu mengandung ketahui setelah membuktikan di lapangan. Proposisi ini
“makna” benar atau salah.39 Jadi, yang dimaksud “benar atau terkadang disebut proposisi sintesis, karena proposisi ini
salah” itu bukan kalimatnya, tetapi kandungannya. di putuskan (maka dalam logika, proposisi juga disebut
Proposisi memang berwujud kalimat, tetapi tidak keputusan!) setelah menimbang, dst., mendengar laporan,
semua kalimat bisa disebut proposisi. Kalimat perintah, dst., dan melihat kelas-kelas yang lain, lalu diputuskan bahwa
kalimat larangan, kalimat sanjungan, kalimat permohonan; “kelas ini bersih”.
semua ini adalah kalimat tetapi bukan proposisi. Hanya Begitulah, problem proposisi dalam kajian logika
kalimat berita yang sempurna dan mengandung benar-salah memang kompleks; banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi.
saja yang disebut proposisi. Initinya, agar proposisi itu benar-benar sehat, tidak cacat.
Apa kriteria “benar-salah” itu? jawabnya ada dua Termasuk pembahasan yang penting adalah soal unsur-
ukuran, yaitu: pertama, dilihat dari ada-tidaknya pertentangan unsur proposisi, yaitu terdiri dari tiga term. Term pertama
di dalam kalimat itu. Misalnya, “Jambu adalah sejenis disebut subjek, term kedua disebut predikat, dan term ketiga
buah-buahan”. Kalimat ini benar, karena memang tidak (penghubung) disebut kopula.41 Apa hakikat ketiga term
ada pertentangan dalam kalimat itu sendiri. Lain lagi jika ini, dalam logika juga merupakan pembahasan yang cukup
dinyatakan: “jambu adalah sejenis mamalia”. Proposisi yang menarik. Karena dengan ketiga term ini, proposisi bisa
demikian ini disebut proposisi a priori. Disebut demikian
karena benar-salahnya sudah ketahuan tanpa membuktikan 40
Adalah Immmanuel Kant yang memperkenalkan proposisi
di lapangan. Ada juga yang menyebutnya dengan proposisi analitik dan proposisi sintetik. Lihat lebih jauh Morton White, The Age
analitis, karena benar-tidaknya bisa diketahui dengan of Analysis, (New York: New American Library, 1960), p. 297
41
Term kopula pada kenyataannya dapat bersifat eksplisit
menganalisis term-termnya dan hubungan antar term atau (bariz) seperti prosisi “Hilman adalah guru” (yang tersusun dari subjek,
kopula dan predikat) atau dapat bersifat tersembunyi (mustatir) seperti
prosisi “Kelas itu kotor” (yang tersusun dari subjek dan predikat, sedang
39
Lihat Raymond J. McCall, Basic Logic, (New York: Barnes kopulanya tersembunyi). Makanya kopula pada hakikatnya merupakan
& Noble, 1966), p. 42; Lihat juga Muhammad Nur Ibrahimi, ‘Ilmu al- relasi logika yang menghubungan dua konsep yang awalnya benar-benar
Mantiq, (Surabaya: Maktabah Said ibn Nashir Nabhan, tt), p. 30 tak ada hubungan sama sekali. Lihat Raymond J. McCall, op.cit, p. 45

34 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 35


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

dilihat, baik kualitas maupun kuantitasnya.42 tidak ada lagi yang bisa diselamatkan.43
Pada prakteknya, logika sebenanarnya tidak hanya Lompatan berpikir itu dalam logika masuk dalam
menggunakan sarana rasio, tetapi juga imajinasi. Imajinasi pembahasan silogisme44 atau biasanya juga disebut istidlal
inilah yang mengajak kita untuk melanglang buanakan pi- qiyasi.45 Dengan berbekal dua proposisi yang sehat, kemudian
kiran (rasio) kita. Hal demikian ini diperlukan dalam berpi- ditentukanlah suatu kesimpulan (natijah). Dua proposisi yang
kir. Jika di arah situ terlihat asap tebal tak terkirakan. Orang sehat itu disyaratkan ada satu saja term yang sama, apapun
akan berteriak: “kebakaran, kebakaran…”. Ini namanya lom- kedudukannya. Satu term yang sama itu biasanya disebut
patan berpikir dan hanya bagi orang yang peka imajinasinya middle term (simbolnya: M), yaitu istilah yang disebut dua
yang bisa melakukannya. Itu karena di ‘kepala’ orang tadi, kali; pada premis mayor sekali dan pada premis minor sekali.
sudah ada file atau common sense (kesadaran umum): setiap Maka silogisme itu terdiri dari tiga proposisi: dua proposisi
ada asap pasti ada api, jika asap kecil api mesti kecil, jika pertama disebut premis (muqaddimah), yaitu premis mayor
asap tebal pasti api juga besar; sementara di situ terlihat asap (muqaddimah kubra) dan premis minor (muqaddimah sughra),
tebal, maka di situ pasti kebakaran. Memang belum tentu, sedangkan proposisi ketiga disebut kesimpulan (natijah).
tapi kebanyakan tentu juga. Premis mayor dimaksudkan sebagai dasar atau pangkal
Bagi logika, adanya lompatan berpikir ini yang disebut tolak berpikir dan akhirnya untuk menentukan kesimpulan,
ilmiah. Inilah yang selama ini dikenal dengan ‘ilm al-yaqín. sedang premis minor dimaksudkan sebagai penghubung
Dan ini memang targetnya. Ketika terlihat asap tebal seperti atau sarana yang memungkinkan untuk dibuat kesimpulan.46
tadi, orang bisa langsung telpon polisi atau tim pemadam
kebakaran. Tidak dengan membuktikannya lebih dulu, 43
Bahkan menurut kaum sufi, bisa jadi penglihatan (yang
apalagi jalan kaki dan baru sampai di TKP setelah sekian menghasilkan ain al-yaqin) itu hanya merupakan fatamorgana. Maka
menit/jam. Setelah terbukti baru menelpon tim pemadam akan lebih meyakinkan jika bara api itu langsung dirasakan, tidak hanya
kebakaran. Dibanding cara logika, bisa jadi, langkah ini dilihat. Pengetahuan sufi ini biasa dikenal dengan haqq al-yaqin.
lebih meyakinkan, dan karenanya disebut ‘ain al-yaqín, tetapi 44
Silogisme adalah suatu bentuk penarikan konklusi secara
dengan bermaksud membuktikannya saja barang kali sudah deduktif tak langsung yang ditarik dari premis ang disediakan serentak.
Karena bersifat “deduktis”, maka konklusinya tidak dapat mempunyai
sifat lebih umum dari premisnya, juga karena bersifat “tak langsung”,
42
Yang dimaksud kualitas proposisi adalah proposisi dilihat maka konklusinya ditarik dari dua premis bukan satu premis saja. Lihat
dari sudut bentuk positif dan negatifnya, sedangkan kuantitas proposisi Ali Abri, op.cit., p. 146-147
adalah proposisi dilihat dari sudut quatntifiernya, yang pada dasarnya 45
Lihat Drs. H. Sukriadi Sambas, op.cit., p. 102
kuantitas subjek, seperti ada kuantitas: universal (semua), partikular 46
Kedua premis (mayor dan minor) juga disebut dengan antese-
(sebagian/beberapa), atau singular (seorang/sebuah). Lihat Raymond J. dens, sedangkan konklusi disebut juga dengan konsekuens. Lihat Poed-
McCall, ibid, p. 52-53 jawiijatna, Logika, Filsafat Berpikir, (Jakarta: CV. Mutiara Agung, 1980),
p. 66

36 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 37


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

Melihat kerangka pikir logika seperti digambarkan ontologis maupun epistemologis. Aliran iluminasi (israqiyah)
di atas, setidaknya bisa disebut empat ciri paling menonjol lahir sebagai alternatif atas kelemahan-kelemahan yang ada
dari logika, yaitu formalisme, naturalisme, saintisme, dan pada filsafat sebelumnya, khususnya peripatetik Aristotelian.
instrumentalisme. Beberapa ciri itu, sementara pemerhati Menurut Suhrawardi, filsafat peripatetik yang sampai saat
melihatnya sebagai kelebihan logika, yang sekaligus menjadi itu dianggap paling unggul ternyata mengandung bermcam-
kelemahannya. Formalisme mengandaikan kebenaran diper- macam kekurangan.
oleh dengan rumus-rumus rasional. Naturalisme mengandai- Sebenarnya aliran ini dipercayai dimulai oleh Plato,
kan bahwa seluruh fenomena sejalan dengan hukum alam. meskipun deskripsi yang lebih akurat menunjukkan bahwa
Saintisme mengandaikan sains benar-benar merupakan aliran ini sesungguhnya telah lahir jauh lebih dini dari itu
representasi realitas. Dan instrumentalisme melihat subjek- yakni dalam masa sokratik dan pra Sokratik. Teori tentang
tivitas dan pra-andaian manusia tidak ada kaitannya dengan aliran ini telah berkembang didalam pemikirn kristiani
proses pengetahuan, karena manusia dengan rasionya hingga mencapai ungkapannya yang teringgi dalam karya
bertindak sebagai alat. Agustinus. Aliran ini menjadi mode diantara sejumlah
pemikir abad ke tiga belas dan juga bergema dalam pemikiran
C. Latarbelakang Kehidupan Suhrawardi sekelompok pemikir modern.
Klaim tentang matinya Filsafat Islam setelah wafatnya Suhrawardi, nama lengkapnya adalah Syihab al-Din
Ibnu Rusdy, oleh orang-orang Barat atau para Orientalis, Yahya bin Habasy bin Amirak, ia lahir pada tahun 549
sebenarnya sudah tidak tepat lagi dengan munculnya inter- H/1155 M di Suhraward, Mediterania kuno, Iran Barat
pretasi-interpretasi tentang Filsafat Illuminasi Suhrawardi Laut dan meninggal di Aleppo pada tahun 587 H/ 1191 M.47
yang dilakukan oleh para pengkaji baru, seperti Henry Berarti ia meninggal dalam usia yang sangat muda (+ 38 tahun
Corbin, Sayyid Hossein Nasr dan sebagainya. hijriah atau 36 tahun masehi). Dapat dibayangkan bahwa
Hal itu terjadi karena para orientalis yang mengklaim ia adalah seorang yang amat cerdas sekaligus mempunyai
filsafat Islam telah mati atau punah itu tidak memberikan ‘pikiran nakal.’ Disebut cerdas, tidak saja karena Suhawardi
perhatian pada periode setelah wafatnya Ibnu Rusdy di dalam telah menulis sekitar 50 judul buku dalam bahsa Arab dan
mempelajari filsafat Islam dan mereka hanya mengkaji dari Persia, dan sebagian besar telah sampai kepada kita, meski
sisi pengaruh dan hubungannya dengan filsafat Barat. Maka
hal tersebut akan merusak keutuhan filsafat itu sendiri. 47
Henry Corbin, “Suhrawardi, Shihab al-Din Yahya” dalam
Paul Edwards (ed.), Te Encyclopedia of Philosophy, (New York & London:
Suhrawardi mempunyai pengaruh sangat penting
Macmillan Publishing Co., 1967), p. 486; Seyyed Hossein Nasr, Science
pada perkembangan filsafat islam yang dibuktikan pada and Civilization in Islam, (New York, Toronto & London: New American
pemakaian luas sebutan iluminasionis (isyraqi) untuk mem- Library, 1968), p. 328
bedakan pendekatan iluminasionis dari peripatetik secara

38 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 39


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

masa hidupnya terbilang pendek,48 namun lebih dari itu yaitu hanya karena ajaran-ajarannya yang bercorak mistiko-
buku-buku itu merupakan karya yang utuh. Disebut punya filosofis (bahasa Azra) itu dianggap menyeleweng dari mains-
‘pikiran nakal’, karena biasanya para sufi hidupnya sederhana tream dan bersifat heterodoks (C.E. Farah)
menjahui ‘gemerlap’ dunia, Suhrawardi malah tinggal di Kecuali personal experience seperti dinyatakan di
istana, memenuhi undangan Malik al-Dzahir, seorang putra atas, pilihan hidup mistik lahir sebagai efek samping dari
Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.49 Artinya menjadi sufi tidak ‘kejenuhan’ formalisme (Mukti Ali, Simuh dll termasuk
harus meninggalkan kehidupan keduniaan. Tampaknya hal Annimarie Schimmel mengakui hal ini). Jenuh, karena –
ini yang kemudian dilakukan Jalaluddin Rumi.50 seakan- hanya ada satu logika (dalam hidup ini) yang disebut
Ada sebuah teori bahwa pengetahuan intuitif atau logika ‘monster’, yaitu suatu kerangka berpikir umum di
lebih tepatnya ‘pilihan’ hidup sufistik itu adalah personal mana seseorang sulit untuk menghindar dan melepaskan
experience dalam arti pengalaman pribadi. Jika pengalaman diri dari logika itu, seakan tidak punya pilihan lain, baik
demikian ‘diberlakukan’ pada dirinya sendiri dengan dalam berpikir, bersikap maupun bertindak. Jenuh dalam
menyadari bahwa hal itu terjadi pada dirinya tanpa disangka- pengertian seperti inilah yang dialami oleh Hasan al-
sangka, maka tidak akan menimbulkan persoalan, misalnya Basri. Hasan al-Basri, sebagaimana dimaklumi, memilih
apa yang dialami oleh Abu Yazid al Basthami. Sebaliknya hidup sebagai zahid atau ‘âbid karena ‘jenuh’ terhadap
akan menjadi masalah besar, jika pengalaman itu kemudian formalisme atau logika ‘monster’, dalam hal ini, perdebatan
di’sulap’ menjadi sebuah ajaran (kefilsafatan), bahkan dalam yang berlarut-larut di sekitar suksesi sepeninggal Ali bin
banyak kasus, nasib pelakunya kemudian berakhir di tiang Abi Thalib, yang sudah tentu disertai dengan klaim-klaim
gantungan atau tebasan pancung oleh penguasa, seperti teologis dan hukum.52 Dalam sejarah pemikiran Suhrawardi,
yang dialami oleh Al-Hallaj, Al-Sumatrani, Syekh Siti Jenar, tampak jelas, hal ini juga terjadi padanya. Kecuali situasi
dan lain-lain. Inilah barangkali yang dialami juga oleh
Suhrawardi, makanya ia dijuluki al-Maqtul atau al-Syahid,51
terutama di kalangan ulama. Mereka menuntut agar Suhrawrdi dihukum
mati, tetapi Malik al-Zhahir menolak. Mereka lalu mendekati Shalah al-
48
Seyyen Hossein Nasr, Three Muslem Sages, (New York: Caravan Din al-Ayyubi yang kemudian mengancam akan menurunkan anaknya,
Book), p. 56 kecuali jika ia mau mengikuti aturan para ulama. Suhrawardi kemudian
49
ibid, p. 57 dipenjarakan dan pada tahun 587/1191 ia meninggal dunia, entah
50
Mulyadhi Kertanegara, “Peran Agama Dalam Memecahkan karena dicekik atau karena dibiarkan kelaparan. Lihat Seyyed Hossein
Problem Etniko-Religiu: Perspektif Islam”, makalah disampaikan pada Nasr, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, dalam MM. Sharif, A
Seminar Sehari “Reaktualisasi Agama dalam Konteks Perubahan Soasial” History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963), p. 375
UGM, Yogyakarta, 23 Agustus 2001 52
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta,
51
Disebut demikian karena ia mati terbunuh atau dihukum Rajawali Press, II/1997), p. 25; Annimarie Schimel, Dimensi Mistik Dalam
mati. Menurut catatan Seyyed Hossein Nasr. Ketika ia menerima tawaran Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et.al., (Jakarta: Pustaka Firdaus,
Malik al-Zhahir untuk tinggal di istana. Pamornya menjadi menurun, 2000), p. 35

40 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 41


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

perang (dalam hal ini perang salib) dari sisi soasial-politik, logika illuminasi,” demikian Ziai.57 Poin inilah yang menjadi
logika Peripatetik rupanya merupakan ‘satu-satu’ nya model fokus pembicaraan kajian ini, meski harus diakui, justru
kerangka berpikir kala itu. Inilah logika monster itu. karena ini menyangkut persoalan yang rumit, maka banyak
Bagi Suhrawardi logika ini mempunyai banyak ke- terjadi penyederhanaan, sesuai tangkapan penulis.
lemahan. Inilah yang menjadi keprihatinan (kegelisahan Kata isyraq yang mempunyai padanan llumination
akademik, kata Amin Abdullah) Suhrawardi. Meski penulis dalam bahasa inggris mempunyai arti cahaya atau penerang-
memahami bahwa pemikiran Suhrawardi memiliki sejarah an. Dalam bahasa filsafat, iluminationisme berarti sumber
yang cukup panjang; perihal pendidikan, beberapa guru53 kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emo-
dan aliran filsafat yang mempengaruhinya,54 bahkan ia pun sional untuk mencapai tindakan dan harmoni. Bagi kaum
melakukan meditasi dan berhalwat,55 namun harus diakui isyraq apa yang disebut hikmah bukanlah sekedar teori yang
bahwa puncak dari semua itu adalah ingin mendobrak diyakini melainkan perpindahan rohani secara praktis dari
kejenuhan logika Peripatetik dengan segala karasteristinya alam kegelapan yang didalamya pengetahuan dan kebaha-
itu. Menurut Hossein Ziai, persoalan logika illuminasi -– giaan. Merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya
yang merupakan ‘penyerangan’ terhadap logika Peripatetik yang bersifat akali yang di dalamnya pengetahuan dan ke-
ini-- adalah persoalan paling krusial dalam flsafat Israqiyah bahagiaan dicapai bersama-sama. Karena itu menurut kaum
ini.56 “Mengkaji filsafat illuminasi tidak dapat mengabaikan isyraqi sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu ber-
upa semacam hads yang menghubungkan dengan subsatansi
53
Konon, mula-mula ia belajar di bawah bimbingan Majduddin cahaya.58
Jili di Maraghah, dan kemudian belajar pada Zahiruddin di Isfahan serta
Fakhruddin al-Mardini (w. 1198 M), yang diduga sebagai gurunya yang
Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat
paling penting. Gurunya yang lain adalah Zahir al-Farsi, seorang ahli isyraqi. Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan
logika dan al-basa’ir. Suhrawardi juga berguru pada Umar ibn Sahlan suatu faktor yang menentukan wujud, bentuk, materi, hal-
al-Sawi, seorang filsuf dan ahli logika. Lihat Dr. Muhammad Ali abu hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat
Rayyan, Ushûl al-Falsafah al-Isyrâqiyah ‘inda Syihâb al-Dîn al Suhrawardî, individual dan tingkat-tingakat intensitas pengalaman mis-
(Iskandariyah: Dar al-ma’rifah al-Jami’ah, tt), p. 19-20
54
Tentang aliran filsafat yang mempunyai pengaruh ter-
tik. Jelasnya penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan
hadap pemikiran Suhrawardi, mulai dari aliran filsafat Platonism, karakter dari bangunan filsafat isyraqiah.
Aristotelianism, Peripatetik Ibn Sina sampai dengan pengaruh al-Ghazali Simbolisme cahaya digunakan oleh suhrawardi un-
dll. Lihat ibid., p. 71-119 tuk menggambarkan masalah-masalah ontologis dan khu-
55
Sebagaiana secara eksplisit dikatakan Suhrawardi dalam
“Pengantar Hikmah al-Isyraq”, lihat Apendix A dalam Hossein Ziai,
susnya untuk memaparkan struktur-struktur kosmologis.
Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq,
(Georgia, Brown University, 1990), p. 173 Ibid., p. 115
57

56
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s
58
Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Hikmat al-Isyraq, (Georgia, Brown University, 1990), p. 143 Pustaka Pelajar, 2004), p. 120

42 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 43


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

Sebagai contoh wujud niscaya (swa ada) dalam peripatetik di- dirinya sendiri dan cahaya yang terang sekaligus menerangi
sebut cahaya dari segala cahaya (nur al-anwar), intelek-intelek lainnya. Cahaya yang terakhir ini menerangi sagala sesuatu,
terpisah disebut cahaya-cahaya abstrak (anwar mujarradah).59 namun bagaimana statusnya, cahaya tetaplah sesuatu yang te-
Tampaknya simbolisme cahaya dinilai lebih cocok dan sesuai rang dan sebagaimana disebutkan ia merupakan sebab tam-
untuk menyampaikan prinsip ontologis wujud ekuivokal, paknya sesuatu yang tidak bisa tidak beremanassi darinya.
karena lebih mudah dipahami bahwa cahaya mungkin mem- Konon buku Surawardi yang harus dibaca pertama
punyai intensitas yang berbeda meskipun esensinya sama. kali, untuk dapat memahami filsafat Israqiyah ini adalah al-
Dan juga dianggap lebih dapat diterima untuk membahas Talwihât,61 adalah buku yang ditulis dengan memakai logika
kedekatan dan kejauhan dari sumber sebgai indikasi akan Peripatetik. Dari sinilah kemudian timbul berbagai pendapat,
derajat kesempurnaan ketika simbolisme digunakan. Sebagai antara lain: bahwa Suhrawardi adalah penganut dan pe-
contoh semakin dekat suatu entitas dengan sumbernya yaitu lanjut filsafat Peripatetik. Sebagian yang lain mengatakan
cahaya dari segala cahaya, maka semakin terang cahaya enti- bahwa karena buku itu merupakan bagian tak terpisahkan
tas tersebut. Sedangkan ketidak adaan cahaya atau kegelapan dari teori illuminasinya, maka sebenarnya dengan buku
mengidentikkan ketidakwujudan (non wujud) itu, Suhrawardi ingin menunjukkan kelemahan-kelemahan
Hikmah yang didasarkan pada dualisme cahaya dan logika Peripatetik itu, untuk selanjutnya menawarkan teori
kegelapan yang ketimuran ini menurut Suhrawardi merupa- ‘alternatif’ nya itu.
kan warisan para guru mistis persia. Hikmah ini sebenarnya Di kalangan peneliti, rupanya perdebatan itu tidak
terwakili di barat seperti plato. Al-Bhusthomi dan al-Hallajj sesederhana itu. Suhrawardi menulis buku itu ketika ia
melanjutkan tradisi ini dan puncaknya ada pada diri Suhra- berusia 20-an tahun (didasarkan atas usia tamatnya dalam
wardi sendiri.60 menyelesaikan pendidikan), kalau benar buku itu merupakan
Inti Hikmah Iluminasi bagi Suhrawardi adalah ilmu bagian tak terpisahkan dari teorinya itu, berarti Suhrawardi
cahaya yang membahas sifat dan cara pembiasannya. Cahaya sudah menemukan ke-Benar-an dengan Israqiyahnya itu
ini menurutnya tidak dapat didefinisikan karena ia meru- pada usia yang relatif muda. Ini apa mungkin?
pakan realitas yang paling nyata sekaligus menampakkan se- Menurut Ziai, bahwa tujuan di balik penyusunan dari
suatu. Cahaya ini juga merupakan substansi yang masuk ke- masing-masing karya ini, tiada lain kecuali mengetengahkan
dalam komposisi semua substansi yang lain-meteril maupun filsafat illuminasi secara sistematis.62 Ini berarti ketika
imateril. hubungannya dengan objek-objek di bawahnya ca-
haya ini memiliki dua bentuk yaitu, cahaya yang terang pada 61
Menurut Abu Rayan, buku ini merupakan satu dari lima
buku Suhrawardi yang ditulis pada periode peripatetik. Empat yang lain
59
Sayyed Hossein Nasr, “Syihab al-Din Suhrawardi…, p. 558 adalah al-Lamahat, al-Muqawamat, al-Mutharahat, al-Munajah. Lihat
60
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis , Mohd Ali Abu Rayan, Ushûl al-Falsafah., p. 61
terj. Zainul AM, hal 130 62
Hossein Ziai, Knowledge and., p. 10-11

44 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 45


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

Suhrawardi menegaskan bahwa al-Talwihât, misalnya ditulis D. Diskursif dan Intuitif: Metode dasar Filsafat Israqiyah
sesuai dengan metode Peripatetik, bukanlah karya yang
Filsafat diskursif merupakan sikap, metodologi dan
berdiri sendiri yang ditulis semata-mata sebagai penerapan
bahasa teknis filsafat, yang kebanyakan (tapi bukan semua)
dalam filsafat Peripatetik, juga bukan menggambarkan
diasosiasikan dengan karya-karya Peripatetik. Istilah-istilah
suatu periode Peripatetik dalam kehidupan dan karya-karya
seperti bahts, al-hikmah al-bahtsiyyah, thariq al-masysya’in, semua
Suhrawardi. Sebaliknya, ia menunjukkan pada adanya ke-
menunjuk pada filsafat ini. Yang signifikan bagi Suhrawardi
nyataan bahwa bagian-bagian atau dimensi-dimensi tertentu
bukanlah penolakan bahts itu, tetapi justru penggabungan
filsafat illuminasi sesuai dengan ajaran-ajaran Peripatetik.
bahts yang diformulasi dalam filsafat illuminasi dan direkons-
Argumen Ziai, seluruh karya Suhrawardi ditulis truksinya. Inilah yang, menurut Suhrawardi, ia ambil dari
atas permintaan sahabat dan murid-muridnya.63 Ini berarti tradisi Peripatetik.66
Suhrawardi telah menyampaikan ajaran-ajarannya pada
Sedang filsafat intuitif, menurut Suhrawardi, adalah
saat ia mengajar secara lisan sebelum diturunkan dalam
metode dan titik berangkat bagi rekonstruksi filsafat, ter-
bentuk tulisan. Melihat usianya, Suhrawardi paling tidak
masuk sasaran filsafat illuminasi (yang ingin dicapai oleh
hanya punya waktu sepuluh tahun untuk menulis seluruh
para praktisi) dan dimasukkan sebagai suatu sistem yang
karyanya. Waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang
sempurna. Untuk menunjuk filsafat/metode intuitif ini,
cukup panjang bagi seorang pemikir untuk mempunyai dua
istilah yang digunakan seperti dzawq, al-hikmah al-dzawqiyyah,
masa yang berlawanan dari pemikiran yang dikembangkan
al-‘ilm al-hudhuri, al-‘ilm al-syuhudi, meski ada beberapa
seluruhnya; Peripatetik dan illuminasonis, seperti ditunjukkan
perbedaan. Metode ini yang ‘diklaim’ Suhrawardi sebagai
oleh beberapa peneliti seperti Seyyed Hossein Nasr,64 Louis
temuannya dan sekaligus melengkapi kekurangan metode al-
Massignon, Carl Brockelman, Henry Corbin.65
bahtsnya Peripatetik.67
Menurut Ziai,68 Suhrawardi secara jelas menegaskan
63
ibid., p. 17
bahwa filsafat diskursif adalah unsur penting filsafat in-
64
Seyyed Hossein Nasr, “Syihab al-Din, op.cit., p. 374 tuitif; hanya dengan sebuah kombinasi yang sempurna
65
Adalah beberapa sarjana yang mengakui karya-karya Suhrawar- dari dua metodologi itu yang akan membimbing ke arah
di seperti al-Talwihat, al-Muqawamat dan al-Masyari’ wa al-Mutharahat ke kebijaksanaan sejati (hikmah), tujuan filsafat illuminasi.
sebagai karya peripatetik, yang secara esensial tidak berkaitan dengan Ciri utama metode diskursif Peripatetik adalah apa yang
filsafat illuminasi yang pada masa sebelum Suhrawardi mengembang-
kan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan metode illuminasi. Hossein Ziai
sekarang dikenal dengan logika formal, yang menuntut
merujuk pada Louis Massignon, Recueil de textes inedis (Paris: Paul Geuth-
ner, 1929), p. 111-113; Carl Brockelman, GAL I, p. 437-438.GAL SI, p.
481-483; Henry Corbin, “Prolegomenes”, Opera II.
66
Hossein Ziai, ibid., p. 14 Footnote 3
67
ibid.
68
ibid., p. 22

46 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 47


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Suhrawardi dan Problem Logika Keilmuan

kebenaran proposisi. Menurut logika ini, pengetahuan yang Filsafat Israqiyah, dengan demikian, tidak sepenuhnya
benar dapat dicari (mathlub),69 meski tentang sesuatu yang menolak teori-teori dalam filsafat Peripatetik, tetapi dengan
tidak/belum tercerap (al-syai’ al-gha’ib; absent thing). Aplikasi melihat beberapa kelemahan kemudian disempurnakan
lebih jauh adalah dengan definisi, dalam arti essensialis dengan metode intuitif. Persoalannya, kapan metode diskursif
(hadd; essentialist definition).70 Singkat kata, sesuatu itu dapat itu digunakan dalam filsafat illuminasi?; dan pengetahuan
diketahui, dengan cara mendefinisikannya dengan benar yang bagaimana yang dikembangkan oleh Filsafat Israqiyah?
(maka ada dikenal syarat-syarat definisi yang benar). Inilah Persoalan ini akan dijawab pada bab-bab setelah ini.
proses “tahu” menurut filsafat Peripatetik.
Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pe-
ngetahuan mungkin dapat dicari tapi belum dapat diperoleh
(hushul).71 Pengetahuan baru dapat diperoleh, dengan terlebih
dulu subjek menyadari tentang ke-diri-annya (ana’iyya; self-
consciousness)72 dan menjalin hubungan langsung (fushul)
dengan objek (al-syai’ al-hadlir). Dengan demikian baik subjek
maupun objek disyaratkan sama-sama hadir. Perolehan
ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan ilmu hudluri
(knowledge by presence). Di samping itu, keduanya (subjek dan
objek ‘tahu’) harus berada dalam terang cahaya. Dengan
metode seperti ini realitas dapat diperoleh apa adanya (what
it is) atau kuiditas (mahiyyah) dengan keseluruhan maknanya
sebagaimana adanya (as it is). Inilah kira-kira metode intuitif
yang bisa digambarkan secara sederhana.

69
ibid., p. 136
70
Ini juga diantara perombakan Suhrawardi bahwa yang selama
ini disebut ta’rif oleh kaum peripatetik, sebenarnya adalah hadd, yang
hanya menekankan kebenaran essensi atau forma. Sedang ta’rif ia klaim
lebih dari sekedar itu, yaitu sampai kepada kebenaran material. Maka
ta’rif kemudian diterjemahkan dengan “mejadikan ditahui”; making
known.
71
Hossein Ziai, ibid., p. 141
72
ibid., p. 117

48 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 49


BAB II

Logika Ketuhanan
Suhrawardi

A. Logika Peripatetik, Momentum bagi Suhrawardi


Suhrawardi menempatkan Hikmah al-’Isyraq sebagai
magnum opus-nya, karena hampir semua karya sebelumnya
ditujukan untuk mendukung substansi Hikmah al-’Isyraq.
Dapat dikatakan bahwa Hikmah al-’Isyraq merupakan gam-
baran akhir dan menyeluruh dari sistem teosofi Suhrawardy.
Muhammad ‘Ali Abu Rayyan menyatakan, “dengan mem-
baca Hikmah al-’Isyraq, seseorang dapat mengetahui pemi-
kiran menyeluruh tentang madzhab Suhrawardi”. Selain itu,
Abu Rayyan juga menegaskan bahwa karya-karya Suhrawardi
lainnya merupakan pengurai dan penopang Hikmah al-’Isyraq.1
1
Muhammad 'Ali Abu Rayyan, Ushul al-Falsafah al-Isyraqiyyah
‘inda Syihab ad-Din as-Suhrawardi, (Beirut: Dar ath-Thalabah al-Arab, 1966),
p. 66-67

Mohammad Muslih, MA. 51


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

Dalam pembukaan kitab Hikmah al-’Isyraq, Suhra- dan sumber pengetahuan. Dalam kajian tentang sumber
wardi menganjurkan kepada para pembacanya agar me- pengetahuan, Suhrawardi membaginya ke dalam dua bagian,
nelaah terlebih dahulu karya-karya tertentu, seperti at-Tal- yakni pengetahuan hushuli dan hudhuri. Menurut Suhrawardi,
wihat al-Lawhiyyat wa al-’Arsyiyyat dan al-Lamahat, sebelum ada dua sarana untuk bisa sampai pada pengetahuan
membaca Hikmah al-’Isyraq.2 Karya selanjutnya yang harus hushuli: pertania dengan memaksimalkan fungsi indriawi
ditelaah sebelum membaca Hikmah al-’Isyraq adalah al-Mu- atau observasi empiris. Artinya, melalui indra yang dimiliki,
qawamat dan al-Masyari’ wa al-Mutharahat.3 Dua buku per- manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala
tama memuat pandangan-pandangan peripatetik yang objek indriawi (mahsusat), sesuai dengan pembenaran in-
telah disederhanakan, sementara dua buku yang terakhir, driawi, yaitu melihat, mendengar, merasa, meraba, dan
meskipun masih mengandung unsur-unsur peripatetik, mencium. Kedua, melalui sarana daya pikir (observasi rasio-
namun semakin mendekatkan kepada pembahasan yang nal), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam
terdapat di dalam kitab Hikmah al-Isyraq. Urut-urutan itu bentuk spiritual (metafisik, ma’qulat) secara silogisme, yaitu
dimaksudkan agar pembaca memahami bahwa Hikmah al- menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui pada hal-
‘Isyraq yang ditulisnya merupakan karya istimewa dan ber- hal yang belum diketahui. Sedangkan pengetahuan hudhuri,
beda dari buku-buku terdahulunya. Hikmah al-’Isyraq ditulis atau biasa juga disebut pengetahuan dengan kehadiran,
dengan menonjolkan aspek rasa (dzawq) daripada aspek hanya bisa diperoleh melalui observasi ruhani. Pengetahuan
rasional. Oleh karena itu, pembaca yang masih terpaku pada hudhuri ini bersumber dari sang pemberi pengetahuan
pola pemikiran diskursif tidak diladeni oleh Suhrawardi, tertinggi berdasarkan mukasyafah dan illuminasi.
wa laisa lana ma’ahu kalam.4 Pembagian pengetahuan seperti di atas mirip
Secara menyeluruh sistematika Hikmah al-’Isyraq terbagi dengan pembagian yang dilakukan oleh Syamsuddin
ke dalam dua bagian utama. Bagian pertama mengulas Muhammad Syahrazuri. Ia membagi ilmu ke dalam ilmu
sejumlah kritik terhadap pemikiran peripatetik, terutama hakikat (haqiqiyyah) dan ilmu ‘urfi (‘urfiyyah ishthilahiyyah).
terhadap konsep epistemologi, sementara bagian kedua Yang dimaksud dengan ilmu hakikat ialah pengetahuan
membahas konsep cahaya dengan berbagai dimensinya. sejati yang tidak berubah-ubah dengan perubahan waktu.
Pada bagian pertama, sejalan dengan arah kritik yang Pengetahuan ini merupakan hikmah perrenial, misalnya
dilancarkan, pembahasan difokuskan pada persoalan logika ilmu tentang Tuhan, akal-akal, jiwa, falak-falak, dan unsur-
unsur dasar. Sedangkan ilmu ‘urfi ialah pengetahuan yang
2
Suhrawardi, “Hikmah al-’Isyraq”, dalam Henry Corbin (ed.), bersifat elastis, dalam pengertian mengikuti perkembangan
Majmu’ah Mushannafat Syaikh Isyraq Syihab ad-Din Yaya Suhrawardi, (Tehran: zaman, misalnya ilmu sastra dan berbagai ragamnya.
Anjuman Syahansyahay Falsafah Iran), p. 10 Jelasnya, ilmu ‘urfi ialah pengetahuan yang memiliki kajian
3
Suhrawardi, al-Masyari’ wa al-Mutharahat, p. 194
4
Suhrawardi, “Hikmah al-’Isyraq”, p. 13.

52 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 53


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

selain ilmu sejati, hakikat.5 Lebih lanjut dijelaskan bahwa intensitas cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya berakhir
ilmu hakikat terbagi ke dalam dua bagian: dzauqiyyah pada kegelapan. Semua kajian pada bagian kedua mem-
kasyfiyyah dan bahtsiyyah nazhariyyah, di mana yang pertama bentuk bangunan teosofinya, yang merupakan perpaduan
berdasarkan atas pancaran cahaya ilahi, sementara yang ke- antara pemikiran filosofis dan sufistik. Oleh karena itu, Ian
dua bersandar pada kekuatan rasio, analogi, atau dengan Richard Netton menyebut Suhrawardi sebagai pencetus
definisi.6 konsep kesatuan iluminasi (wahdah al-’isyraq) sebab Suhrawardi
Bagian kedua dari Hikmah al-’Isyraq mengungkapkan mengoptimalkan pemakaian proses iluminasi sebagai ilus-
pemikiran teosofi Suhrawardi yang berkisar tentang konsep trasi holistik dari kesatuan wujud (wahdah al-wujud) yang
metafisikanya. Pada bagian ini, Suhrawardi menjelaskan kon- dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi.7 Jadi, ada perimbangan
sep teosofi yang berpusat pada kajian cahaya sebagai media yang paralel antara wahdah al-’isyraq dengan wahdah al-wujud;
simbolik. Dia mengelaborasi cahaya untuk mengungkapkan keduanya sama-sama menggunakan istilah kesatuan (unity).
kesatuan pemikirannya, baik pada tataran epistemologi, 1. Problem Epistemologi
teologi, maupun ontologi. Pembahasan utama pada bagian
ini meliputi hakikat cahaya dan Nur al-’Anwar, susunan Dari gambaran di atas diperoleh kesimpulan bah-
wujud, aktivitas Nur al-’Anwar dan cahaya dominan, karakter wa pengetahuan diperoleh melalui dua jalan: hushuli dan
khusus pembagian barzakh dan komposisinya, persoalan hudhuri. Pengetahuan hushuli adalah pengetahuan perole-
alam akhirat, kenabian dan nasib perjalanan jiwa manusia han yang dicapai melalui karsa manusia, baik melalui olah
menuju kelepasannya. Bahasan terakhir lebih menekankan bahasa (definisi), olah pikir (logika), maupun hasil pen-
pada proses penyucian jiwa. cerapan indriawi. Sedangkan pengetahuan hudhuri adalah
pengetahuan dengan kehadiran dalam diri setiap individu.
Pada tataran epistemologi, pengetahuan dibagi ke Pengetahuan hudhuri bersifat mandiri, muncul dalam diri
dalam pengetahuan kosmologis yang berkaitan dengan sendiri. Pengetahuan hudhuri tidak akan lenyap dan cen-
alam semesta (termasuk ke dalam kategori gelap, al-ghasiq); derung mistis. Sedangkan pengetahuan hushuli bersifat relatif
pengetahuan astronomis yang berhubungan dengan falak- dan memiliki ketergantungan dengan situasi dan kondisi
falak dan bendabenda langit; dan pengetahuan metafisis pemiliknya.
yang berkaitan dengan segala yang ada, maujud. Suhrawardi
menyatakan, seluruh alam semesta merupakan rentetan dari Menurut Mehdi Amin Razavi, ada dua kontribusi
yang disumbangkan Suhrawardi terkait dengan wacana
5
Lihat penjelasan Syahrazuri pada pembukaan kitab Syarh
epistemologi. Kontribusi pertama adalah kritik Suhrawardi
Hikmah al-Isyraq, dalam Henry Corbin (ed.), Majmu’ah Mushannafat terhadap sejumlah teori pengetahuan, khususnya penge-
Syaikh ‘Isyraq Syihab ad-Din Yahya Suhrawardi, (Tehran: Anjuman
Syahansyahay Falsafah Iran), p. 4. 7
Ian Richard Netton, Allah Trancendent, (Surrey Curzon Press,
6
Ibid., p. 5. 1994), p 258

54 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 55


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

tahuan yang diperoleh melalui definisi, persepsi indra, yang berarti menjadi diketahui.10 Secara historis, metode
dan logika. Suhrawardi menolak teori peripatetik dan me- untuk memperoleh pengetahuan melalui definisi sudah di-
nyatakan bahwa teori tersebut tidak mampu memberikan mulai sejak Plato yang mengikuti metode Socrates dalam
pengetahuan yang sejati. Suhrawardi menganggap bahwa mengetahui sesuatu. Socrates yang dikenal dengan metode
teori peripatetik gagal membangun teori pengetahuan dialog menggali pengertian segala sesuatu melalui tanya
yang mapan, yang dapat mendatangkan pengetahuan yang jawab yang terus-menerus sehingga diperoleh pengertian
sebenarnya.8 Kelemahan yang menonjol terdapat pada yang sebenarnya. Metode dialog itu kemudian dielaborasi
metode definisi, persepsi indra, dan logika. Dengan melihat dan dipertajam oleh Aristoteles dengan istilah definisi.
kelemahan dan kerapuhan teori Hushuli model peripatetik, Menurut Aristoteles, definisi adalah pintu pengetahuan
Suhrawardi kemudian menawarkan solusi dengan suatu teori menuju pengetahuan ilmiah selanjutnya. Pengetahuan
yang diyakini dapat mendatangkan pengetahuan sejati yang yang dicapai dengan mengetahui definisi adalah alamiah.
disebut ilmu hudhuri (al-’ilm al-hudhuri; ittishali, syuhudi), yaitu Definisi dapat memberikan penjelasan atas segala sesuatu
pengetahuan dengan kehadiran, sejenis penyinaran langsung dan bersifat universal. Teori definisi yang ditawarkan
dari sumber cahaya (‘isyraq hudhuri) dan menempatkan Suhrawardi merupakan perpaduan antara teori definisi
jiwa manusia sebagai penerima cahaya.9 Komponen yang Plato dengan Aristoteles. Ia berupaya memadukan antara
sangat mendasar bagi ‘ilm al-hudhuri adalah penyingkapan teori definisi Aristoteles dengan definisi yang dibangun
(mukasyafah) dan penyaksian (musyahadah). Konsep ilmu berdasarkan atas intuisi intelektual Plato ke dalam satu
hudhuri ini dipelopori Suhrawardi sebagai salah satu cara bentuk definisi tentang pengetahuan.11
untuk memperoleh pengetahuan sejati setelah ia tidak Pada bagian pertama buku Hikmah al-’Isyraq, ter-
puas dengan metode epistemologi peripatetik. Jadi, dengan dapat bahasan tentang ragam pengetahuan dan definisi (fi al-
caranya sendiri Suhrawardi menunjukkan sisi kelemahan ma’arif wa at-ta’rif).12 Menurut Suhrawardi, kaum peripatetik
metode peripatetik untuk menopang pendiriannya. melakukan kesalahan besar dalam membedakan antara
2. Problem Definisi esensi umum (al -jins) dan diferensia khusus (al fashl).13 Se-
bab menurutnya, esensi umum dan diferensia khusus ha-
Salah satu teori untuk memperoleh pengetahuan rus menyatu secara menyeluruh. Namun demikian, satu
adalah melalui definisi. Dalam tradisi falsafah dan logika,
semua jenis definisi sering disebut dengan istilah ta’rif, 10
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s
Hikmah al-’Isyraq, (Atlanta Georgia: Scholars Press, 1990), p 77.
8
Mehdi Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of 11
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination,
Illumination, Get I, (Surrey: Curzon Press, 1997), p. 92. p. 93
9
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, (London and New 12
Suhrawardi, Hikmah al-‘Isyraq, p 20
York Kegan Paul International, 1993), p. 210 13
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination,
p. 93.

56 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 57


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

hal yang mesti dicamkan adalah bahwa Suhrawardi tidak Definisi seperti ini tidak benar karena tidak mendatangkan
mencampakkan begitu saja teori definisi sebagai media pengetahuan baru.16 Demikian juga definisi peripatetik ten-
yang valid untuk memperoleh pengetahuan. Dia hanya tang ‘manusia’ misalnya, di mana ‘manusia’ didefinisikan
menegaskan bahwa untuk mencapai pengetahuan sejati sebagai hewan rasional’. Definisi semacam ini mengabaikan
tidak selayaknya mengandalkan definisi. Dalam sejumlah aspek spiritual yang non-empiris, dan karena itu, Suhrawardi
karyanya, Suhrawardi mengemukakan kelemahan-kelema- menolak pandangan materialis yang hanya mengakui realitas
han definisi peripatetik dan menawarkan teori baru jasmani saja. Dia tidak sejalan dengan model definisi seperti
sebagai alternatifnya. Dalam Hikmah al-’Isyraq,14 Suhrawardi itu, sebab menurutnya tidak mungkin mendefinisikan X
menguraikan tentang definisi dan syarat-syaratnya. Menurut melalui Y yang mana Y termasuk bagian dari X.
nalar peripatetik, sesuatu yang akan diketahui melalui Menurut Suhrawardi, pengetahuan tentang manu-
definisi harus dispesifikasi terlebih dahulu, sebab ketika sia, atau apa saja, harus didasarkan pada pengetahuan
seseorang membangun sebuah definisi maka ia mesti individu mengenai esensi dirinya sendiri. Oleh karenanya,
mengetahui terlebih dahulu ciri khas sesuatu itu. Dengan pengetahuan sejati tidak akan pernah bisa dicapai melalui
cara itu, sesuatu yang diberi definisi harus lebih jelas dan formula-formula definisi yang dibangun peripatetik17 Ke-
ada terlebih dahulu. Menurut Suhrawardi keharusan gagalan metode “definisi” untuk memperoleh pengetahuan
mengetahui atribut khusus dari sesuatu yang didefinisikan, sejati disebabkan karena terbentur oleh kompleksitas atribut
yang tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain, mengakibatkan yang dimiliki oleh tiap entitas yang hendak diberi definisi.
kita tidak sampai pada pengetahuan yang baru apabila Hambatan yang paling mendasar ialah adanya pengalaman
kita belum pernah mengetahuinya. Sebagai contoh adalah empiris tiap individu yang tidak sempuma, dan karena-
ketika kita mendefinisikan “kuda” sebagai hewan yang nya, menghasilkan pengetahuan yang juga tidak sempurna,
“meringkik”, karena ciri khusus yang dimiliki kuda adalah bersifat parsial.
meringkik. Yang menjadi problem adalah apakah definisi Di dalam bagian kedua dari buku at-Talwihat, Suhra-
kuda sebagai hewan yang meringkik itu akan mendatangkan wardi menampilkan bahasan khusus tentang definisi. Ia
pengetahuan baru bagi orang yang belum pernah melihat mengatakan bahwa untuk mendefinisikan sesuatu tidak
kuda.15 cukup hanya dengan menyebutkan esensi alaminya saja,
Suhrawardi menambahkan bahwa definisi bukanlah sebab di samping ciri khusus yang dimiliki oleh sesuatu itu,
sekadar mengganti istilah nominal belaka, misalnya men- di dalamnya juga terdapat sifatsifat lain yang menyertainya,
definisikan ‘ayah’ dengan orang yang memiliki anak. yang dapat menjadi pertimbangan dalam proses definisi.
Oleh karena itu, sebuah definisi tidak cukup hanya dengan
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq, p 18-21
14

Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysics in Persia,


15 16
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq, p. 18.
(London: Luzac & Co, 1908), p. 125. 17
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, p. 66.

58 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 59


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

menyebutkan esensi paling khusus dari sesuatu, tetapi Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan
juga harus menyertakan sifat-sifat lainnya. Dari keharusan bahwa pengetahuan tentang sesuatu ditentukan oleh hu-
menyebut sifat-sifat lain yang berdampingan dengan sifat bungan langsung antara subjek dan objek, tanpa ada
khusus yang dimiliki sesuatu yang didefinisikan, maka kita halangan apa pun. Hubungan langsung antara subjek dan
dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan melalui definisi objek yang diketahui itulah yang dimaksud oleh Suhrawardi
tidak sempurna, sebab kita tidak pernah akan mengetahui sebagai hubungan iluminasi (idhafa isyraqiyyah). Suhrawardi
semua sifat-sifat bawaan yang terdapat pada segala sesuatu.18 menyatakan, jika sesuatu sudah terlihat maka seseorang
Selain kelemahan yang berasal dari manusia, hambatan sudah tidak lagi memerlukan definisi. Dalam hal ini, bentuk
juga timbul dari sesuatu yang akan diberi definisi. Misalnya sesuatu yang terdapat di dalam pikiran adalah sama dengan
adanya sesuatu yang memiliki genus dan diferensia yang bentuk sesuatu yang ada dalam persepsi indra (shuratuhu fi
sama, jadi baik genus dan diferensia adalah satu dan sama, al-’aql ka shuratihi fi al-hi ss). 23 Bagi Suhrawardi, pengetahuan
seperti warna-warna atau suara.19 Warna tertentu tidak dapat diperoleh melalui persepsi yang disebut musyīhadah. Bentuk
didefinisikan, seperti halnya manusia sebagai hewan rasional. pengetahuan ini lebih tinggi daripada pengetahuan predi-
Warna adalah genus tanpa diferensia sehingga ia tidak katif. Ini merupakan bukti dari ketidakmampuan definisi
dapat diberi definisi. Warna hanya dapat didefinisikan oleh menghasilkan pengetahuan baru.
dirinya sendiri.20 Suhrawardi mencontohkan warna “hitam”. Berdasarkan argumen tersebut, Suhrawardi ber-
la menegaskan bahwa “hitam” sebagai suahi wujud tunggal kesimpulan bahwa definisi bukanlah sarana yang tepat
(syai’ wahid basith) yang apabila dipahami sebagaimana untuk sampai pada pengetahuan sejati.24 Menurutnya,
adanya, maka ia tidak memiliki bagian-bagian.21 Menurut sebuah definisi dikatakan valid manakala ia mampu secara
Suhrawardi, “hitam” tidak dapat didefinisikan oleh orang benar menyebutkan satu demi satu semua atribut esensial
yang belum pernah melihatnya sama sekali. Artinya, jika yang, secara kolektif, ada pada benda yang didefinisikan
warna hitam tersebut dilihat maka ia akan dapat diketahui, itu, walaupun atribut-atribut itu bisa saja secara tersendiri
tetapi sebaliknya, apabila tidak dilihat maka ia tidak dapat ada pada benda lain.25 Sebagai konsekuensinya, definisi
diketahui melalui definisi.22 mesti dideskripsikan dengan semua atribut yang melekat
pada sesuatu yang didefinisikan. Dalam hal ini dia
18
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of menyatakan: “innama takunu al-haqiqah ‘urifat idza ‘urifa
Illumination, p. 94.
19
Suhrawardi, al-Muqawamat, dalam Henry Corbin (ed.),
Majmu’ah Mushannatat Syaikh ‘Isyraq Syihab ad-Din Yahya Suhrawardi, 23
Ibid., p. 73-74.
(Tehran: Anjuman Syahansyahay Falsafah Iran), p. 170. 24
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination,
20
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq, p. 73. p 95.
21
Ibid. 25
Muhammad lqbal, The Development of Metaphysycs in Persia,
22
Ibid. p. 126

60 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 61


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

jami’u dzatiyyatiha.”26 Konsekuensi logis dari hal ini adalah yang dapat menjadikannya lebih jelas.28 Apa yang perlu
akan timbul deretan kerumitan yang semakin panjang dan dijelaskan lagi dari cahaya? Terlebih lagi Nur al-’Anwar, se-
tidak ada habisnya. Pertanyaan yang kemudian muncul bagai sumber utama semua cahaya, Dialah yang paling kaya
adalah, mungkinkah setiap orang dapat mengetahui se- (al -ghani) dan paling sempurna (al-kamil).29
suatu secara pasti dan lengkap dengan pengalaman dan Dari penjelasan di atas, Suhrawardi sebenarnya hen-
pengetahuannya yang terbatas? Dalam kaitan ini, bisa jadi dak menyatakan bahwa definisi tidak mampu mengantarkan
sesuatu hal, bagi sekelompok orang sudah lazim diketahui, pada semua pengetahuan dari objek yang bersifat materiil
akan tetapi tidak/belum lazim bagi orang lain, sebab sekalipun, sebab masih terdapat objek materi yang tidak
tujuan paling esensial dari pemberian definisi adalah mem- mampu didefinisikan. Karena itu, dia berkesimpulan bah-
buat sesuatu yang belum terang menjadi terang melalui wa definisi peripatetik tidak dapat mengantarkan pada
rangkaian kalimat yang benar. pengetahuan, dan kesulitan ini diakui sendiri oleh Aristoteles
Paparan di atas menjadi landasan bagi Suhrawardi selaku pendiri peripatetik.30 Namun demikian, hal itu tidak
untuk mendefinisikan Cahaya menjadi tak terdefinisikan berarti bahwa Suhrawardi menolak sama sekali keabsahan
(definisi tanpa definisi). Menurutnya, definisi adalah upaya definisi untuk memperoleh pengetahuan. Dia hanya mene-
untuk memperjelas suatu entitas. Dan, untuk menjadikan gaskan bahwa definisi tidak akan mampu mengantarkan
sesuatu menjadi lebih jelas mesti dengan sesuatu yang pasti seseorang pada pengetahuan yang sebenarnya, namun pada
lebih jelas dari yang dijelaskan, bukan sebaliknya. Dalam batas tertentu dia masih mengakui metode definisi sebagai
salah satu pernyataannya, Suhrawardi menegaskan: salah satu sarana untuk mencapai pengetahuan.
Definisi harus dibangun dengan sesuatu yang lebih 3. Problem Penalaran Logika
jelas, bukan dengan sesuatu yang memiliki kejelasan serupa,
terlebih dengan sesuatu yang tidak jelas, atau tidak diketahui Logika berperan sebagai mata rantai dari sah
kecuali melalui yang akan diberi definisi.27 (benar) atau tidaknya suatu definisi. Aristoteles mene-
kankan pentingnya logika sebagai sarana berpikir
Dalam realitanya, tidak ada entitas yang lebih terang lurus dan tepat. Ia memelopori penggunaan silogisme
atau lebih jelas daripada cahaya, sebab cahayalah yang sebagai salah satu cara berpikir dalam menarik suatu
membuat segala sesuatu menjadi terang. Oleh karenanya, kesimpulan. Setiap silogisme terdiri atas premis mayor
cahaya tidak mungkin dapat didefinisikan. Menurut dan minor, dan dengan berdasar pada kedua premis itulah
Suhrawardi, segala yang tidak memerlukan penerangan
berarti sudah jelas dan nyata, dan tidak ada sesuatu yang 28
Ibid., p. 106.
lebih jelas daripada cahaya, sehingga ia tidak perlu definisi 29
Ibid., p. 107
30
Ibid., p. 21
26
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq, p. 21
27
Ibid., p. 18

62 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 63


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

ditarik suatu kesimpulan.31 Dari formula silogisme yang Suhrawardi juga membagi pengetahuan manusia menjadi
diketengahkan Aristoteles, Suhrawardi memberi sejumlah dua bagian, yakni: pengetahuan bawaan (fithri) dan pe-
ulasan dan merevisi silogisme Aristoteles yang dianggap ngetahuan perolehan (ghair al-fithri). 34 Pada bagian selan-
belum sempurna. Dalam pendahuluan kitab At-Talwihat, jutnya Suhrawardi menjelaskan proses pengetahuan per-
Suhrawardi mengatakan: olehan yang disebut pemikiran (fikr). Perbedaan antara
Saya tidak merujuk kepada tradisi peripatetik yang pengetahuan yang diperoleh melalui proses pemikiran (fikr)
terkenal, bahkan saya memperbaikinya semampuku, dan dan pengetahuan yang diperoleh melalui proses yang ia sebut
akan menyebutkan intisari dari ajaran Guru Pertamanya; ‘amr ‘īkhar merupakan persoalan mendasar dalam falsafah
Aristoteles.32 iluminasi.
Suhrawardi memberi ulasan-ulasan penting mengenai Dalam pendahuluan kitab Hikmah al-’Isyraq di-
logika di dalam karyanya yang bertitel At-Talwihat, al-Masyari’ sebutkan: wa lam yahshul li… awwalan bi al-fikr, bal kana
wa al-Mutharahat, dan Hikmah at-’Isyraq. Ulasan-ulasan hushuluhu bi ‘amrin ‘īkhar.35 Dari pernyataan Suhrawardi
Suhrawardi tentang logika keniudian dijadikan bahan per- tersebut dapatlah disimpulkan bahwa terdapat sarana lain
bandingan dengan logika peripatetik. Ulasannya secara untuk memperoleh pengetahuan selain menggunakan
spesifik dibandingkan dengan logika yang dikembangkan aktivitas pikiran. Sedangkan pengetahuan bawaan
oleh Ibn Sina, sebab logika Ibn Sina dianggap sebagai yang (fithri) dianggap sebagai pengetahuan yang independen
paling sistematik dan dapat dikatakan mewakili logika dari data indriawi atau yang lainnya. Ia terbukti dengan
peripatetik.33 sendirinya, dan keabsahannya itulah buktinya. Ketika sese-
Dalam paragraf pertama dari pendahuluan kitab orang menggunakan proses pemikiran untuk memper-
At-Talwihat Suhrawardi mengawali kajiannya dengan mem- oleh sesuatu yang belum diketahui maka ia perlu pada
bagi pengetahuan ke dalam dua kategori, yakni: konsepsi suatu perangkat lain yang dapat dijadikan acuan untuk
(tashawwur) dan pernyataan (konfirmasi, tashdiq). Konsepsi menentukan keabsahannya. Untuk kepentingan inilah
(tashawwur) adalah pencerapan bentuk sesuatu dalam maka disusun sebuah perangkat penyimpulan yang me-
pikiran, sementara pernyataan (tashdiq) adalah pengakuan nurut pengikut peripatetik disebut logika. Orang yang
atau penyangkalan suatu hukum dari suatu konsep. pertama kali menyadari akan perlunya aturan-aturan
berpikir yang benar ini adalah Aristoteles. Aturan-aturan
berpikir yang benar tersebut dia tuangkan dalam karyanya
31
Lihat Fuad Hassan, Pengantar Filsafat Barat, Cet, II, yang bertitel Organon.
(Jakarta Pustaka Jaya, 2001), p. 41
32
Suhrawardi, Al-Talwihat al-Lauhiyyah wa al-’Arsyiyyah, dalam
Henry Corbin (ed.), Majmu’ah Mushannafat Syaikh Isyraq Syihab ad-Din 34
Suhrawardi, Hikmah al-‘Isyraq, p. 18.
Yahya Suhrawardi, (Tehran: Anjuman Syahansyahay Falsafah Iran), p. 4. 35
Ibid., p. 10
33
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, p. 42.

64 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 65


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

Di dalam falsafah iluminasi Suhrawardi, posisi logika Di dalam Hikmah al-’Isyraq, Suhrawardi membekali
sendiri hanya sebagai subordinat kemampuan potensi para pembaca hanya dengan beberapa kaidah yang di-
jiwa untuk diberi inspirasi oleh ruh Ilahi yang mampu anggap memadai bagi landasan falsafah iluminasinya.
membimbing manusia dari kesalahan putusan dan pe- Oleh karena itu, bahasan logika dalam Hikmah al-’Isyraq
nyimpulan. Kebijaksanaan ini pada dasarnya diperoleh sangat singkat namun padat yang dirumuskan dalam
melalui Isyraqi dan hanya sebagian kecil saja yang diperoleh seperangkat aturan, dengan judul “kaidah-kaidah berpikir”. 38
melalui logika. Dengan pandangan seperti ini maka intuisi, Pembahasan dilanjutkan dengan “hujah-hujah dan dasar-
inspirasi, dan wahyu ialah seperangkat alatyang diketahui dasar logika” (al-hujaj wa mabadiha). Dalam bagian ini
sebelum investigasi logika untuk membangun pengetahuan dibicarakan mengenai proposisi dan analogi, serta jenis-
yang benar (al-’ilm ash-shahih).36 Logika sendiri-sebagai jenis proposisi dan pembahasan-pembahasan lain yang
alat menyusun pengetahuan yang sah dan benar terdiri berkaitan dengan Iogika.39 Pembahasan selanjutnya adalah
atas proposisi penjelas dan pembuktian (al-bayan wa al- mengenai “penyangkalan-penyangkalan (al-mughklathat)
hujjah). Proposisi penjelas bertungsi sebagai penghubung dan perbandinganperbandingan antara analogi peripatetik
konsep yang masih dalam pikiran, yaitu yang menjelaskan dengan analogi iluminasi”. 40
sebuah hasil dari detinisi atau pemyataan-pernyataan lain. Sebenarnya Suhrawardi tidak begitu berkepentingan
Sedangkan proposisi pembuktian adalah segala yang dengan logika formal dan dia juga tidak ingin turut cam-
bcrkaitan dengan konfirmasi (tashdiq) yang diberikan pikiran, pur terlalu jauh. Namun penguasaannya terhadap logika
baik berdasarkan demonstrasi (burhani) maupun pem- telah memaksa Suhrawardi untuk membuktikan kekeliruan
buktian visi (intuisi). Bagi Suhrawardi, proposisi penjelas mereka dan merumuskan pandangannya sendiri. Perhatian
dan pembuktian merupakan hal yang sangat penting. De- Suhrawardi tertuju pada penyangkalan sofistik. Dengan
ngan uraian di atas, maka pandangan logika Suhrawardi memfokuskan kajiannnya pada penyangkalan sofistik,
dapat disimpulkan sebagai berikut: logika Suhrawardi Suhrawardi ingin menunjukkan kepada murid-muridnya
menekankan pengetahuan bawaan dan perolehan; logika bahwa di dalam penyangkalan sofistik terdapat sejumlah
berfungsi sebagai alat pengetahuan perolehan; intuisi kesalahan, dan bahkan kesalahannya lebih banyak daripada
dan inspirasi secara esensial ada mendahului pembuktian kebenarannya.41 Topik-topik yang dipermasalahkan Suhra-
yang dibangun dengan metode-metode formal; dan logika wardi kemudian diberi judul khusus, seperti “teorema
dibagi menjadi proposisi-proposisi penjelas dan pembuktian- iluminasi” (qa’idah ‘Isyraqiyah); 42 “hikmah iluminasi”
pembuktian.37
38
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq, p. 12-21.
36
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination. p 44.
39
Ibid., p. 22-45.
37
Ibid., p. 45
40
Ibid., p. 46-84.
41
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, p. 49.
42
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq, p 20.

66 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 67


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

(hikmah ‘isyraqiyyah); dan “rincian iluminasi° (daqiqah tidak/belum tercerap (al-syai’ al-gha’ib; absent thing). Aplikasi
‘Isyraqiyyah). Semua kajian dalam pokok bahasan ini sangat lebih jauh adalah dengan definisi, dalam arti essensialis
berbeda dari prinsip-prinsip standar logika Aristoteles. Semua (hadd; essentialist definition).44 Singkat kata, sesuatu itu dapat
topik itu mengacu pada logika baru yang ditawarkan oleh diketahui dengan cara mendefinisikannya dengan benar
Suhrawardi sendiri. (maka ada kita kenal syarat-syarat definisi yang benar). Inilah
Sejumlah pembahasan logika yang dipaparkan proses “tahu” menurut filsafat Peripatetik.
Suhrawardi dalam karya-karyanya itu dimaksudkan untuk Refleksi filsafat Illuminasi Suhrawardi bertumpu pada
memperlihatkan adanya kelemahan-kelemahan logika peri- “kesadaran diri” atau yang ia sebut dengan anī’iyah (ke-aku-an)
patetik. Suhrawardi ingin menunjukkan bahwa kemampuan yang juga bersifat intuitif. Bersandarkan pada anī’iyah (ke-aku-
logika dalam proses mengetahui dianggap tidak sempurna an) yang bersifat intuitif itu, Suhrawardi mengkritik model
(belum mapan), meskipun masih tetap bermanfaat untuk pengetahuan diskursif-rasionalistik (manthīqi) Peripatetik.
mengetahui hal-hal yang sederhana, terutama dalam menjaga Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pengetahuan
pola pikir manusia sebelum mengambil suatu kesimpulan. mungkin dapat “dicari” (mathlīb) tapi belum tentu dapat
Logika peripatetik dianggap kurang sempurna karena masih “diperoleh” (hushīl).45 Pengetahuan, baru dapat diperoleh,
terdapat aturan-aturan yang diperdebatkan dalam aplikasinya. dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang ke-diri-annya
Oleh karena itu, Suhrawardi mengemukakan keberatannya ter- (anī’iyya; self-consciousness)46 dan menjalin hubungan langsung
hadap logika sebagai sarana memperoleh pengetahuan sejati. (fushīl) dengan objek (al-syai’ al-hadlir). Dengan demikian baik
subjek maupun objek disyaratkan sama-sama hadir. Perolehan
B. Struktur Dasar Logika Ketuhanan ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan ilmu hudlīri
(knowledge by presence). Di samping itu, keduanya (subjek dan
Pengetahuan model manthīqi Peripatetik yang digali
objek ‘tahu’) harus berada dalam terang cahaya (nīr). Dengan
dari proses hadd (pembatasan; definisi essensialis), me-
metode seperti ini realitas dapat diperoleh apa adanya (what
ningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlīl)
it is) atau kuiditas (mahiyyah) dengan keseluruhan maknanya
ternyata hanya sampai pada idrīk (persepsi). Dengan
sebagaimana adanya (as it is).
kerangka keilmuan seperti itu ternyata esensi objek belum
tertangkap, sekalipun objek fisik, apalagi objek metafisik. 44
Ini juga diantara perombakan Suhrawardi bahwa yang selama
Ciri utama metode diskursif Peripatetik adalah apa yang ini disebut ta’rīf oleh kaum peripatetik, sebenarnya adalah hadd, yang
sekarang kita kenal dengan logika formal, yang menuntut hanya menekankan kebenaran essensi atau forma. Sedang ta’rīf ia klaim
kebenaran proposisi. Menurut logika ini pengetahuan yang lebih dari sekedar itu, yaitu sampai kepada kebenaran material. Maka
benar dapat dicari (mathlīb),43 meski tentang sesuatu yang ta’rīf kemudian diterjemahkan dengan “mejadikan diketahui”; making
known.
45
Hossein Ziai, ibid., p. 141
43
Hossein Ziai, Knowledge and..., p. 136 46
ibid., p. 117

68 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 69


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (konsepsi/ Banyak penulis filsafat menyatakan bahwa fenomenologi
pemikiran) atau persepsi (idrīk) atas sesuatu yang tidak ada Husserl termasuk filsafat yang sangat pelik.52 Adalah
(al-syay’ al-gha’ib) bisa saja terjadi, yaitu ketika idea (mitsīl) Merleau-Ponty, filsuf Prancis, yang paling bertanggung jawab
realitas (haqīqah) sesuatu itu sudah diperoleh, yaitu oleh memperkenalkan gagasan Husserl ke filsafat existensialisme.53
subjek mengetahui.47 Ketika idea sesuatu diperoleh, kesan Di samping, karena memang pengaruhnya yang sangat besar
atau pengaruh (atsīr) yang nampak dalam wujud seseorang bagi para penulis Existensialist umumnya.54
yang memahami, memantulkan keadaan pengetahuan yang Kehadiran Husserl juga disebut telah melakukan peru-
ia capai.48 Di sinilah sekali lagi perbedaan antara Peripatetik bahan secara revolusioner terhadap filsafat Barat.55 Selama
yang menghasilkan pengetahuan formal (al-‘ilm al-shīry) ini filsafat Barat telah memposisikan manusia dan realitas
dengan illuminasi yang menekankan kehadiran (al-‘ilm al- eksternal secara terpisah. Misalnya pemikiran Descartes,
Isyrīqi al-hudīri).49 realitas ini berdiri tegak di atas prinsip-prinsip yang diakui
Berbeda dengan pengetahuan Peripatetik, yang me- benar oleh rasio (clear and distinct). Prinsip ini merupakan
ngambil bentuk konsepsi kemudian konfirmasi, pengetahuan innate ideas yang sudah “built in” pada manusia. Dari prinsip
illuminasi bukanlah pengetahuan predikatif.50 Pengetahuan ini realitas kemudian dideduksikan. Selajutnya, pendapat
illuminasi didasarkan pada adanya hubungan yang diperoleh, kaum empirisis yang menyatakan bahwa realitas ini sejauh
dengan tanpa ekstensi waktu atau terjadi dalam waktu yang bisa dialami, tak ada dunia lain. Kemudian Immnuel Kant
sangat singkat (‘īn), antara “objek” yang hadir dan “subjek” memperjelas, dengan menyatakan bahwa realitas ini adalah
yang mengetahui, dan ini diyakini Suhrawardi sebagai jalan konstruksi a priori manusia.
yang paling valid bagi pengetahuan.
Melihat pemikiran Suhrawardi sebagaimana diuraikan (1859-1938), meski sebenarnya istilah tersebut telah digunakan oleh
di atas, mengingatkan kita untuk melihat Husserl, seorang beberapa filsuf sebelumnya. Lihat Dorion Cairns, “Phenomenology”
filsuf Jerman yang dikenal dengan filsuf fenomenologi.51 dalam Dagobert D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy, (Totowa, New
Jersey: Littlefeild, Adam & Co., 1976), p. 231
52
Bambang Sugiharto menulis dalam salah satu artikelnya:
47
Ibid., p. 140 dan terutama footnote 4: huwa (idrak) bi husul “Fenomenologi Husserl sebetulnya sangat pelik”. Lihat Bambang Sugiharto,
mitsal haqiqatihi fika “Kebudayaan, Filsafat, dan Seni (Redefinisi dan Reposisi)” di Kompas.
48
ibid., p. 61 53
Mary Warnoek, Existensialism, (Oxford, New York: Oxford
49
Bandingkan dengan Seyyed Hossein Nasr, Pengantar, dalam University Press, 1989), p. 44
Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat 54
Warnoek menulis: “I shall to extract from the philosophy of
Islam, (Bandung: Mizan, 1994), p. 14 Husserl those features which appear to have had the greatest influence
50
Hossein Ziai, Knowledge and…, p. 141 on existensialist writers.” Lihat, Ibid., p. 23
51
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: phainestai 55
Lihat James M. Edie, Edmund Husserl’s Phenomenology, a
yang berarti “menunjukkan” dan “menampakkan diri sendiri”. Sebagai Critical Commentary, (Bloomington Indianapolis: Indiana University
‘aliran’ epistemologi, fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl Press, 1987), p. 1

70 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 71


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

Seperti kita ketahui, konsepsi Kant tentang proses kenal.58 Noumena selalu tetap menjadi teka-teki dan tinggal
pengetahuan manusia adalah suatu proses sintesa antara sebagai “x” yang tidak dapat dikenal karena ia terselubung
apa yang ia sebut dengan apriori dan aposteriori. Yang dari kesadaran kita. Sarana indrawi yang dikenalkan kaum
pertama merupakan aktivitas rasio yang aktif dan dinamis empirisis dan sarana rasio sebagaimana dipakai kaum
dalam membangun, dan berfungsi sebagai bentuk (form) rasionalis, juga kategori “Kantian” yang bersifat apriori
pengetahuan, sedang yang kedua merupakan cerapan telah membuat manusia berjarak dan terpisah dari realitas
pengalaman yang berfungsi sebagai ‘isi’ (matter) pengetahuan, eksternalnya. Manusia “ada”, tetapi “tidak berada”.
yang terdiri dari fenomena objek. Karena rasio bersifat aktif Husserl memperkenalkan kesadaran intuisi untuk
dalam mengkonstruk fenomena menjadi pengetahuan se- melihat langsung kompleksitas realitas, tanpa perantara,
suai dengan kategori-kategori rasio. Menurut Kant ada dua tanpa perspektif. Sudah tentu gagasan Husserl dipandang
belas kategori di dalam akal budi. Kategori-kategori yang sebagai sesuatu yang ganjil dalam pemikiran Barat, termasuk
bersifat asasi adalah kategori yang menunjukkan kuantitas sampai dewasa ini. Bagi Husserl, realitas bukan sesuatu yang
(kesatuan, kejamakan, keutuhan); kualitas (realitas, ne- berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati.
gasi, dan pembatasan); relasi (substansi dan aksidensi, se- Realitas itu mewujud diri atau menurut ungkapan Martin
bab-akibat [kausalitas], interaksi); modalitas (mungkin-mus- Heideger yang juga seorang fenomenolog: “sifat realitas
tahil, ada-tiada, keperluan-kebetulan).56 Karena sifatnya itu membutuhkan keberadaan manusia”.59 Noumena
aktif mengkonstruk, maka dengan kategori-kategori itu membutuhkan tempat tinggal (unterkunft) ruang untuk
pengetahuan manusia tidak mungkin menjangkau noumena.57 berada, ruang itu adalah manusia.
Dari sini tampak bahwa Kant menggunakan kata Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk
fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu, menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita
sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa
berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia memasukkan kategori pikiran kita padanya atau menurut
hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang tampak, ungkapan Husserl: zuruck zu den sachen selbt60 (kembalilah
bukan noumena yaitu realitas di luar (berupa benda-benda kepada realitas itu sendiri). Berbeda dengan Kant, Husserl
atau nampak tetap menjadi objek kesadaran kita) yang kita
58
Lihat Philip Blosser, “Kant and phenomenology”, dalam
Philosophy Today, vol. xxx, no. 2/4, 1986, p. 168
56
Lihat Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, Translated by 59
Heideger menulis: “..des Wesen des Sin dan Menscenhenwesen
JMD. Meiklejohn, (New York: Prometheus Books, 1990), p. 61 brauch”. Lihat Martin Heideger, Die Tecnik und die Kehre, (Plullingen,
57
Untuk lebih mamahami konsepsi Kant ini, lihat pembahasan 1962), p. 38
“Kritisisme Kant” dalam buku penulis, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi 60
Samuel Ijsselina, “Hermeneutics and Textuality: Question
Dasar, Paradigma, dan Teori Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Concerning Phenomenology”, dalam Studies of Phenomenology and Human
Budaya, 2005). Sciences, (Atlantics Highlands NJ: Humanities Press, 1979), p. 5

72 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 73


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

menyatakan, bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas setiap keterangan yang diperoleh dari sesuatu fenomena yang
itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan tampil,64 tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih
realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari dahulu. Dalam hal ini Husserl mengatakan, bahwa epochè
yang esensial atau eidos dari apa yang disebut fenomena.61 merupakan thesis of the natural standpoint65 (tesis tentang
Metode yang digunakan untuk mencari yang esensial adalah pendirian yang natural), dalam arti bahwa fenomena yang
dengan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa
dibarengi dengan prasangka (presuppositionlessness). Dalam dicampuri oleh presupposisi pengamat.
hubungan ini Husserl menjelaskan: Metode epochè merupakan langkah pertama untuk
“…that at first we shall put out of action the conviction we mencapai esensi fenomena dengan menunda putusan lebih
have been accepting up to now, including all our science. dahulu. Langkah kedua, Husserl menyebutnya dengan eidetic
Let the idea guiding our meditation be at Cartesian idea vision atau membuat ide (ideation). Eidetic vision ini juga
of science that shall be established as redically as genuine, disebut “reduksi”, yakni menyaring fenomena untuk sampai
ultimately all-embracing science.”62 ke eideosnya, sampai ke intisarinya atau yang sejatinya (wesen).
Hasil dari proses reduksi ini disebut wesenschau, artinya
Meskipun Husserl menyebut ide Cartesian sebagai
sampai pada hakikatnya.66
salah satu upaya memahami realitas, tetapi terdapat perbedaan
antar keduanya. Husserl bukan menyangsikan “ada” atau Sebagaimana Husserl, Suhrawardi menganggap
“tidak ada” nya sesuatu sebagaimana pada Descartes yang pengetahuan bergantung pada hubungan antara subjek dan
menyangsikan segalanya sebelum memutuskan “ada”nya objek. Argumentasinya, bahwa essensi sesuatu pertama-tama
sesuatu, tetapi semacam netralisasi atau sikap tidak memihak, harus diperoleh oleh subjek, baru kemudian sesuatu dapat
tanpa prasangka akan keberadaan sesuatu.63 diketahui, jika tidak demikian, keadaan (hīl) subjek berarti
mendahului dan sesudah itu menjadi sama, yang tak sesuatu
Metode yang diajukan Husserl adalah epochè. Kata
pun dapat disebut telah diperoleh. Karenanya, keadaan
epochè berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda
(respon psikologis) subjek terhadap objek merupakan
putusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu.”
salah satu faktor yang membatasi apakah pengetahuan itu
Epochè bisa juga berarti tanda kurung (breaketing) terhadap
diperoleh atau tidak. Kondisi subjektif atas pengetahuan
dengan pengalaman, kehadiran dan intuisi ini sebenarnya
61
Antonio Barbosa da Silva, The Phenomenology of Religion as
Philosophical Problem, (Swiss: CWK Gleerup, 1982), p. 32
62
Edmund Husserl, Cartesian Meditation, (The Hague Martinus Antonio Barbosa da Silva, The Phenomenology of..., p. 36
64

Nijhoff, 1960), p. 7 Allen S. Weiss, “Marleau-Ponty’s Interpretation of Husserl’


65

63
Lihat John D. Caputo, “Transcendent and Transcendental Phenomenological Reduction”, dalam Philosophy Today, vol. xxvii, no.
in Husserl’s Phenomenology”, dalam Philosophy Today, vol. xxiii, no, ¾, 4/4, 1983, p. 343
1979, p. 208-209 66
Lihat Antonio Barbosa da Silva, The Phenomenology of..., p. 39

74 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 75


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

bukan merupakan bagian dari teori predikatif dan formal perubahan antara apa yang dapat kita sebut pendekatan
Peripatetik tentang pengetahuan.67 mental terhadap pengetahuan dengan pendekatan yang
Harus terdapat korespondensi yang sempurna menekankan “visi” langsung terhadap esensi sesuatu yang
antara “idea” yang diperoleh dalam subjek dan objek: ha- nyata dan menegaskan bahwa pengetahuan disebut valid
nya korespondensi itu yang dapat menunjukkan bahwa hanya jika objek-objeknya “dirasakan.”71 Kesatuan antara
pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dapat subyek tahu dan objek tahu dalam kesadaran intuitif yang
diperoleh. Ini berarti, untuk memperoleh pengetahuan, bersifat mental disertai visi (musyīhadah) inilah sebenarnya
suatu bentuk “kesatuan” harus dibangun antara subjek prinsip pengetahuan fenomenologi dalam terang ilmu
dan objek, dan keadaan psikologis subjek merupakan hudluri.
faktor yang menentukan dalam membangun kesatuan ini. Seperti dijelaskan di atas, bahwa pengetahuan
Kesatuan subjek dan objek diperoleh dalam diri orang yang tentang sesuatu tidak akan dapat diperoleh dengan
mengetahui dengan melakukan penyadaran diri, dan ini cara mendefinisikannya, dalam arti essensialis. Apa
dapat terjadi karena tidak ada keterpisahan dalam realitas, yang dilakukan kaum Peripatetik hanyalah reduksi atau
tetapi hanya gradasi manifestasi esensi. Dengan kata lain, pembatasan terhadap genus (jins). Suatu organisme mustahil
pengetahuan illuminasi didasarkan pada kesatuan antara diketahui hanya dengan mendekatkan antara yang substansi
subjek dan objek dengan cara “idea” objek diperoleh dalam dan yang aksidensi; antara genus (al-jins) dengan diferensia
“kesadaran diri-subjek”.68 (al-fashl). Menurut Suhrawardi, “bahkan kesulitan itu juga
Prinsip yang diajukan Suhrawardi adalah bahwa diakui oleh guru kaum Peripatetik sendiri (Aristoteles).”72
untuk dapat diketahui, sesuatu harus terlihat (dalam arti Karena ta’rif hanya bisa terjadi dengan perantara benda-
musyīhadah) sebagaimana adanya (kama huwa), khususnya benda yang mengkhususkan totalitas suatu benda (ijtima’),
jika sesuatu itu benda tunggal (basith). Dengan demikian, yaitu keseluruhan organik.73
pengetahuan yang diperoleh seseorang yang melihat Sejalan dengan itu, untuk dapat mendefinisikannya,
sesuatu sebagaimana adanya akan memungkinkannya tidak sesuatu itu harus lebih dulu dispesifikasi, yaitu sesuai
memerlukan lagi definisi, istaghna ‘an al-ta’rīf,69 dalam arti dengan sesuatu yang lebih nampak jelas atau lebih jelas (al-
“bentuk sesuatu dalam pikiran adalah sama bentuknya dalam azhhar).74 Inilah sebagian gagasan epistemologi illuminai
persepsi indria.”70 Argumen-argumen ini memberikan suatu tentang mengetahui sesuatu berdasarkan “melihat” sesuatu
67
ibid., p. 142
68
ibid., p. 143
71
ibid., p. 133 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 42, 134-135
69
Hossein Ziai, ibid., p. 134 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p.
72
Hossein Ziai, ibid., p. 78 dikutip dari Suhrawardi, Opera II,
73-74 “barangsiapa sudah menyaksikan, maka tidak butuh lagi definisi” p. 21
(man yusyīhiduh, istaghnī an la-ta’rīf)
73
ibid.
70
Hossein Ziai, ibid. “shurītuh fil al’aql ka shurītih fi al-hissi”
74
ibid., p. 65

76 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 77


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

sebagaimana adanya. Maka konsep sesuatu, “kursi” misalnya, (real value) bagi seseorang yang berusaha mengetahui wujud
sebagaimana diakui oleh Peripatetik, tidak pernah ada. manusia, yang diketahui, yaitu idea “manusia.”76
Karena itu tidak lebih dari konsep formal yang diciptakan Suhrawardi mengemukakan dasar-dasar pandangan-
dengan menyingkirkan sifat partikularnya. Berbeda dengan nya mengenai bagaimana pengetahuan diperoleh. Sesuatu
itu, logika Illuminasi tidak terbatas oleh kategori (ten categories) yang tunggal, yaitu sesuatu yang esensinya satu dan tidak
dan sebaliknya menekankan pada tangkapan essensi sesuatu tersusun dari dua unsur atau lebih, bagi Peripatetik, adalah
itu. Sehingga, menurut penulis, manusia tidak mungkin me- hal-hal yang tidak diketahui, namun bagi penganut illuminasi
ngetahui “kursi”, tetapi mereka mengetahui “kursi ini” atau hal itu dapat diketahui. Prinsip yang diajukan Suhrawardi
“kuda balap”, dan lain-lain. Inilah yang dimaksud dengan adalah bahwa untuk dapat diketahui, sesuatu harus terlihat
“menghususkan totalitas sesuatu.” Atau “kursi itu” ada (dalam arti musyīhadah) sebagaimana adanya (kama huwa),
karena yang ini “meja”. Maka logika Illuminasi tidak hanya khususnya jika sesuatu itu benda tunggal (basith). Dengan
benar secara formal tetapi juga material. demikian, pengetahuan yang diperoleh seseorang yang
Untuk dapat mempunyai pengetahuan yang me- melihat sesuatu sebagaimana adanya akan memungkinkannya
yakinkan (al-ma’rifah al-mutayaqqinah) tentang sesuatu, seperti tidak memerlukan lagi definisi istaghna ‘an al-ta’rif,77 dalam
dijelaskan di atas, keseluruhan essensi (al-jami’ al-dzatiyyat) arti “bentuk sesuatu dalam pikiran adalah sama bentuknya
harus diketahui. Ini tidak dapat dilakukan hanya dengan dalam persepsi indria.”78 Argumen-argumen ini memberikan
proses mengurangi secara khas essensi-essensi (diferensia) suatu perubahan antara apa yang dapat kita sebut pendekatan
sesuatu, karena bisa jadi masih terdapat berbagai-bagai mental terhadap pengetahuan dengan pendekatan yang
sifat ‘tersembunyi” (sifat ghayr zhahirah) yang berhubungan menekankan “visi” langsung terhadap esensi sesuatu yang
dengan sesuatu, karena tidak mungkin membuat uraian nyata dan menegaskan bahwa pengetahuan disebut valid
yang sempurna.75 Lagi-lagi inilah yang tidak dilakukan oleh hanya objek-objeknya “dirasakan.”79
Peripatetik. Seperti tampak dengan konsep “manusia”, Menurut Ziai, Suhrawardi mengawali dengan se-
mereka mendefinisikannya dengan “hewan yang berakal.” buah contoh. “Hitam,” tegasnya adalah “suatu wujud tung-
Menurut Suhrawardi bahwa kemampuan manusia menalar gal” (syay’ wahid basith) yang jika diketahui sebagaimana
adalah aksidental dan posterian terhadap realitas manusia,
dan karenanya “hewan yang berfikir” tidak menunjukkan
esensi manusia. Ini berarti bahwa formula bagi definisi 76
ibid., p. 118-9
esensialis tentang manusia hanya valid secara formal, dan
77
Hossein Ziai, ibid., p. 134 dikutip dari Suhrawardi, Opera II,
p. 73-74
hanya sesuai dengan kaum Peripatetik. Kenyataannya,
‫( من شاهده (الشيئ) استغنى عن التعريف‬barangsiapa sudah menyak-
formula ini adalah sebuah tautologi, dan tanpa nilai nyata sikan, maka tidak butuh lagi definisi)
78
Hossein Ziai, ibid. ‫صورته فى العقل كصورته فى احلس‬
75
ibid., p. 66 79
ibid., p. 133 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 42, 134-135

78 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 79


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

adanya, tidak mempunyai bagian-bagian. “Hitam” tidak Dalam pandangan Suhrawardi, cahaya tidak memerlukan
dapat didefinisikan sama sekali oleh orang yang tidak me- definisi, sebab tujuan dari pemberian definisi adalah untuk
lihat sebagaimana adanya.80 Artinya, jika benda tunggal menerangkan sesuatu. Suhrawardi membagi cahaya ke
“hitam” tersebut terlihat, ia dapat diketahui; sebaliknya dalam dua bagian: cahaya temaram (nur al-’aridh) dan cahaya
jika tidak, maka tidak ada definisi tentangnya yang murni (nur al-mujarrad, nur al-mahdhi).82 Adapun sesuatu
dapat menggambarkan pengetahuan tentangnya secara yang bukan cahaya dibagi ke dalam: al-jauhar al-jismani al-
keseluruhan atau secara benar. Tuntutan Suhrawardi bahwa ghasiq dan al-hai’ah azh-zhulmaniyyah.
hal ini merupakan entitas tunggal, bukan majemuk adalah Cahaya temaram (nur al-’aridh) ialah cahaya yang tidak
sesuai dengan pandangan Peripatetik. Tetapi pandangannya mandiri. Ia berhajat kepada lokus lain, seperti al-’anwar al-
yang mensyaratkan subjek harus memahami keseluruhan mujarradat al-’aqliyyah, atau jasad-jasad yang memiliki cahaya.
objek agar dapat diketahui ini berasal dari proposisi umum Sedangkan cahaya murni (mir al-mujarrad, nur al-mahdhi)
bahwa pengetahuan tentang sesuatu terletak pada hubungan ialah cahaya yang berdiri sendiri, mandiri dengan dzatnya
antara objek dan subjek yang mengatahui dan seterusnya. sendiri. Adapun yang dimaksud al-jauhar al-jismani al-ghasiq
Pengetahuan ini menuntut subjek yang mengetahui ialah sesuatu yang tidak memiliki cahaya dalam dirinya (al-
berada dalam posisi tempat pengetahuan tersebut; memahami muzhlim fi dzatihi), jasad gelap yang tidak memiliki cahaya,
benda secara langsung, dengan cara menghubungkan panda- terangnya bukan karena dzatnya, melainkan karena
ngan, sebagai suatu pertemuan aktual antara subjek yang datangnya cahaya dari yang lain. Sementara al-barzakh
melihat dan objek yang terlihat; suatu hubungan antara adalah pembatas antara dua hal. Jasad yang tebal dapat
dua hal tanpa halangan apa pun, dan yang diperoleh adalah dijadikan sebagai pembatas, sehingga al-jism dinamakan
hubungan antara keduanya. Jenis “hubungan illuminasi” juga al-barzakh yang dapat dikenali posisinya.83 Al-jism, seperti
(idhafah isyraqiyah) inilah yang mencirikan pandangan disinggung di atas, merupakan barzakh, sedangkan barzakh
Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan. sendiri ialah sesuatu yang tidak mempunyai cahaya dalam
Bagi Suhrawardi, sesuatu yang tidak memerlukan dirinya. Karena itu, al-jism senantiasa memerlukan cahaya
definisi dan penjelasan maka berarti sesuatu itu jelas, murni (nur al-mujarrad), yaitu nur yang memiliki cahaya
terang dengan sendirinya. Dalam kenyataannya, tidak ada pada dirinya sendiri.84
sesuatu yang lebih terang dan lebih jelas daripada cahaya.81
(Tehran: Anjuman Syahansyahay Falsafah Iran), 106.
Hossein Ziai, ibid. ‫( ال ميكن تعريفه ملن ال يشاهده كما هو‬tidak
80 82
Ibid., 107.
mungkin mengenalnya bagi orang yang tidak menyaksikan sebagaimana 83
Ibid., 108. Lihat juga Syams ad-Din Muhammad Syahrazuri,
adanya) Syarh Hikmah al-’Isyraq, dalam Hossein Ziai (ed.), (Tehran: Institute for
81
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq dalam Henry Corbin (ed.), Cultural Studies and Research. 1993), 288.
Majmu’ah Mushannafat Syaikh ‘Isyraq Syihab ad-Din Yaya Suhrawardi, 84
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq..., 109.

80 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 81


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

Menurut Suhrawardi, setiap cahaya yang ada pada Tiap individu yang mengetahui dzatnya, dia adalah
dirinya, itu merupakan cahaya murni (nur al-mujarrad). Setiap nur mahdh, dan tiap nur mahdh adalah terang bagi dirinya
individu yang mengetahui dzatnya sendiri maka ia merupakan dan ia menyadari dirinya sendiri, oleh karenanya, yang
nur al-mujarrad. Setiap orang tentu tidak pernah lalai akan ke- mengetahui, yang diketahui, dan pengetahuan itu sendiri,
diriannya, ia selalu sadar akan dirinya, dan tiap orang berdiri di sini menyatu menjadi satu, seperti halnya, akal, yang
sendiri dalam mengetahui dzatnya sendiri, tanpa melalui citra berpikir, yang dipikirkan, dan pikiran itu sendiri, semuanya
dirinya pada dirinya sendiri.85 jika orang mengetahui dirinya adalah satu.87
sendiri melalui cilia dirinya, samalah artinya orang itu tidak
mengetahui citra dirinya dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak C. T uhan, objek “kenal” bukan objek “tahu”
dapat dibayangkan bagaimana mengetahui dzatnya sendiri
Setelah mengupas kelemahan-kelemahan pengeta-
melalui sesuatu yang menyertai dirinya.
huan semantis dan empiris yang disebut dengan ‘ilm al-
Tidak terbayangkan bagi seseorang untuk mengetahui Hushuli (melalui definisi, logika, dan persepsi indra), Suhra-
dirinya melalui sesuatu yang melekat pada dirinya sendiri, wardi kemudian menawarkan metode lain untuk mencapai
karena sesuatu itu merupakan sifatnya sendiri. Jika setiap sifat pengetahuan sejati, yakni dengan apa yang ia sebut ‘ilm al-hudhuri
merupakan bagian dari dzatnya sendiri, (sifat) tahu atau (sifat- (ilmu dengan kehadiran). Langkah pertama yang mesti dilalui
sifat) yang lainnya merupakan dzatnya sendiri, maka seseorang untuk bisa sampai pada pengetahuan sejati ialah dengan
akan mengetahui dzatnya sendiri sebelum dia mengetahui sifat- mengenal terhadap diri sendiri. Dalam membahas metode
sifat dan hal-hal yang lain, dan seseorang tidak mengetahui barunya itu, Suhrawardi memulai dengan menjelaskan istilah-
dzatnya sendiri melalui sifat-sifat yang ada pada dirinya.86 istilah kunci yang banyak ia gunakan. Ia memulai dengan
Pengetahuan-diri tiap individu sendirilah yang pa- mempertentangkan antara terang dan gelap, cahaya (nur) dan
ling jelas mengetahui dzatnya sendiri, bukan melalui sifat-sifat kegelapan (zhalam), ghani dan faqr, serta husluli dan hudhuri.
bawaan yang melekat pada dirinya. Tiap individu menge- Pertama-tama Suhrawardi menjelaskan hakikat
tahui dirinya dengan dirinya sendiri, sebab di dalamnya cahaya (nur). Menurutnya, sesuatu yang tidak memerlukan
terdapat cahaya murni (nur al-mujarrad, nur al-mahdhi). Jadi, definisi dan penjelasan maka berarti sesuatu itu jelas, te-
pengetahuan yang sebenarnya ialah pengetahuan yang datang rang dengan sendirinya. Dalam kenyataannya, tidak ada
dari dalam, bukan dari luar dirinya, yaitu pengetahuan man- sesuatu yang lebih terang dan lebih jelas daripada cahaya.88
diri, tanpa campur tangan apa pun selain dirinya sendiri. Dalam pandangan Suhrawardi, cahaya tidak memerlukan
definisi, sebab tujuan dari pemberian definisi adalah untuk
85
Ibid., 110-111. Lihat juga Syams ad-Din Muhammad
Syahrazuri, Syarh Hikmah al-’Isyraq, 294-295.
86
Ibid, 295. 87
Ibid., 301.
88
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq, p. 106.

82 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 83


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

menerangkan sesuatu. Suhrawardi membagi cahaya ke dalam maka ia merupakan nur al-mujarrad. Setiap orang tentu tidak
dua bagian: cahaya temaram (nur al-’aridh) dan cahaya pernah lalai akan kediriaruiva, ia selalu sadar akan dirinya,
murni (nur al-mujarrad, nur al-mahdhi).89 Adapun sesuatu dan tiap orang berdiri sendiri dalam mengetahui dzatriya
yang bukan cahaya dibagi ke dalam: al-jauhar al-jismani al- sendiri, tanpa melalui citra dirinya pada dirinya sendiri.92
ghasiq dan al-hai’ah azh-zhulmaniyyah. jika orang mengetahui dirinya sendiri melalui cilia dirinya,
Cahaya temaram (nur al-’aridh) ialah cahaya yang samalah artinya orang itu tidak mengetahui citra dirinya
tidak mandiri; ia berhajat kepada lokus lain, seperti al-’anwar dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak dapat dibayangkan
al-mujarradat al-’aqliyyah, atau jasad-jasad yang memiliki bagaimana mengetahui dzatnya sendiri melalui sesuatu yang
cahaya. Sedangkan cahaya murni (mir al-mujarrad, nur al- menyertai dirinya.
mahdhi) ialah cahaya yang berdiri sendiri, mandiri dengan Tidak terbayangkan bagi seseorang untuk mengetahui
dzatnya sendiri. Adapun yang dimaksud al-jauhar al-jismani dirinya melalui sesuatu yang melekat pada dirinya sendiri,
al-ghasiq ialah sesuatu yang tidak memiliki cahaya dalam karena sesuatu itu merupakan sifatnya sendiri. Jika setiap
dirinya (al-muzhlim fi dzatihi), jasad gelap yang tidak memiliki sifat merupakan bagian dari dzatnya sendiri, (sifat) tahu
cahaya, terangnya bukan karena dzatnya, melainkan karena atau (sifat-sifat) yang lainnya merupakan dzatnya sendiri,
datangnya cahaya dari yang lain. Sementara al-barzakh maka seseorang akan mengetahui dzatnya sendiri sebelum
adalah pembatas antara dua hal. Jasad yang tebal dapat dia mengetahui sifatsifat dan hal-hal yang lain, dan seseorang
dijadikan sebagai pembatas, sehingga al-jism dinamakan tidak mengetahui dzatnya sendiri melalui sifat-sifat yang ada
juga al-barzakh yang dapat dikenali posisinya.90 Al-jism, seperti pada dirinya.93
disinggung di atas, merupakan barzakh, sedangkan barzakh Pengetahuan diri tiap individu sendirilah yang pa-
sendiri ialah sesuatu yang tidak mempunyai cahaya dalam ling jelas mengetahui dzatnya sendiri, bukan melalui sifat-
dirinya. Karena itu, al-jism senantiasa memerlukan cahaya sifat bawaan yang melekat pada dirinya. Tiap individu me-
murni (nur al-mujarrad), yaitu nur yang memiliki cahaya ngetahui dirinya dengan dirinya sendiri, sebab di dalamnya
pada dirinya sendiri.91 terdapat cahaya murni (nur al-mujarrad, nur al-mahdhi). Jadi,
Menurut Suhrawardi, setiap cahaya yang ada pada pengetahuan yang sebenarnya ialah pengetahuan yang
dirinya, maka cahaya itu merupakan cahaya murni (nur al- datang dari dalam, bukan dari luar dirinya, yaitu penge-
mujarrad). Setiap individu yang mengetahui dzatnya sendiri tahuan mandiri, tanpa campur tangan apa pun selain
dirinya sendiri:
89
Ibid., p. 107
90
Ibid., 108. Lihat juga Syams ad-Din Muhammad Syahrazuri, 92
Ibid., p. 110-111. Lihat juga Syams ad-Din Muhammad
Syarh Hikmah al-’Isyraq, dalam Hossein Ziai (ed.), (Tehran: Institute for Syahrazuri, Syarh Hikmah al-’Isyraq, p. 294-295
Cultural Studies and Research. 1993), p. 288 93
Syams ad-Din Muhammad Syahrazuri, Syarh Hikmah al-
91
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq, p. 109. ’Isyraq, p. 295.

84 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 85


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

Tiap individu yang mengetahui dzatnya, dia adalah setengah jaga (syibh al-naum); setelah saling memberi salam
nur mahdh, dan tiap nur mahdh adalah terang bagi dirinya dan saling menyapa, Suhrawardi kemudian mengadukan
dan ia menyadari dirinya sendiri, oleh karenanya, yang me- permasalahan tentang kepelikan epistemologi yang tengah
ngetahui, yang diketahui, dan pengetahuan itu sendiri, di dihadapinya.
sini menyatu menjadi satu, seperti halnya, akal, yang ber- Dalam dialog tersebut, kerumitan epistemologi
pikir, yang dipikirkan, dan pikiran itu sendiri, semuanya yang diadukan Suhrawardi kepada Aristoteles meliputi:
adalah satu.94 apa pengetahuan sejati, bagaimana cara mendapatkannya,
Dalam kajian tasawuf, pengetahuan diri menempati dan apa muatannya? Setelah menyilnak pertanyaan yang
posisi yang sangat penting. Pengetahuan diri (ma’rifah an- diajukan oleh Suhrawardi, Aristoteles lantas menjawab “irji’
nafs) menjadi sentral kajian tasawuf. Banyak pernyataan para ila nafsika” (kembalilah kepada dirimu). Dalam kondisi
ahli hikmah yang menunjukkan keutamaan tahu diri. Nabi yang masih dilanda kebingungan menanggapi jawaban yang
Saw. bersabda: diberikan Aristoteles, Suhrawardi kemudian mengajukan
Barangsiapa mengetahui dirinya sendiri, maka ia pertanyaan lagi, bagaimana caranya? Kembali Aristoteles
mengetahui Tuhannya, dan barangsiapa di antara kamu menjawab “sesungguhnya engkau mengenali dirimu sendiri,
yang paling mengetahui dirimu sendiri, maka kamulah yang maka kenalilah esensi dirimu melalui esensimu sendiri.”96
paling mengetahui Tuhannya.95 Maksudnya adalah berpikirlah tentang dirimu sendiri sebelum
Pengetahuan dengan kehadiran (‘ilm al-hudhuri) berpikir tentang yang lain. Jika hal itu kamu lakukan maka
yang di bangun oleh Suhrawardi selain didasarkan pada kamu akan menemukan bahwa kedirian dirimu sendirilah
argumen-argumen rasional, ia juga dikuatkan dengan “pe- yang akan membantu menyelesaikan masalahmu.97
ngetahuan diri” melalui mimpi. Oleh karena itu, latar Dialog yang berlangsung dalam mimpi ini menjadi
belakang munculnya metode baru untuk mengenal diri penopang teori pengetahuan-dengan-kehadiran (‘ilm al-
sendiri tergolong unik, sebab metode tersebut bermula hudhuri, dan sekaligus sebagai dasar untuk menetapkan
dari kebingungan Suhrawardi dalam memecahkan problem peringkat para filsuf.98 Dari dialog tersebut dapatlah disim-
epistemologi yang kemudian terpecahkan lewat mimpi. pulkan bahwa pengetahuan, dalam perspektif Suhrawardi,
Diceriterakan bahwa ketika Suhrawardi tengah berjuang adalah persepsi seseorang melalui kesadaran akan kehadiran
keras memecahkan problem epistemologis, ia bermimpi ber- dirinya. Pengenalan diri ini pula yang dalam tradisi sufi, menjadi
jumpa dengan sesosok bayangan yang disebutnya sebagai
imam al-hikmah, (Guru Pertama, Aristoteles) dalam keadaan 96
Suhrawardi, At-Talwihat, p. 70-74.
97
Mehdi Ha'iri Yazdi, Ilmu Huduri; Prinsip-Prinsip Epistemologi
dalam Falsafah Islam: Dari Suhrawardi via Wittgenstien, Cet. I, (Bandung:
94
Ibid. p. 301 Mizan, 1994), p. 50.
95
Ibid 98
Lihat Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq, p. 11-12.

86 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 87


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

kata kunci untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Ha’iri asalnya, untuk apa eksistensinya di dunia, siapa kawan dan
Yazdi, istilah kehadiran atau kesadarandengan-kehadiran ini lawannya, dan hendak ke mana akhir tujuannya.
sering muncul dalam karya-karya Plotinus dan uraian-uraian Kebenaran isi mimpi Suhrawardi sebenarnya masih
pengikut Neo-Platonis.99 Melalui pengetahuan diri, orang dapat diperdebatkan, mengingat di dalam mimpi terdapat
akan sampai pada pengetahuan tentang Tuhan. pertentangan metodologis yang signifikan. Aristoteles adalah
Dari kajian ini dapat ditarik suatu benang merah seorang empiris yang sangat menekankan pengalaman luar
akan relevansi hadits qudsi yang populer di kalangan penganut dalam mencapai pengetahuan, sedangkan dialog yang terjadi
sufi “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” (Barang siapa di dalam mimpi, Aristoteles menganjurkan Suhrawardi agar
yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya). menoleh kepada dunia yang ada di dalam manusia sendiri.
Hadits ini menjadi penopang utama kajian tasawuf. Dengan Jadi, terdapat kontradiksi secara diametris. Kalau merujuk pada
mengenal diri sendiri, seseorang akan mencapai pengetahuan ajaran yang menganjurkan pada pengenalan diri, sebenarnya
tentang Allah, tetapi bukan Allah sebagai esensi-Nya, sebab yang lebih pas adalah Socrates, karena dialah yang memelopori
tidak mungkin manusia mengetahui esensi Allah, dan tidak manusia untuk mengenal dirinya sendiri. Socrates menekankan
ada yang mengetahui Allah selain Allah sendiri, tidak ada pengetahuan manusia akan dirinya sebelum melangkah pada
yang melihat Dia selain Dia sendiri.100 pencarian pengetahuan tentang sesuatu yang ada di luar dirinya.
Ketika Dzu al-Nun al-Mishri ditanya perihal cara ia Sebab, menurut Socrates, bagaimana mungkin manusia akan
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, ia mengatakan: mencapai pengetahuan tentang berbagai fakta sebelum manusia
(Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku, dan sekiranya mengenal dirinya sendiri. Kata-kata Socrates yang terkenal adalah
bukan karena Tuhanku niscaya aku tidak akan mengetahui “Kenalilah dirimu!” (Gnothi seauton).103 Jadi, secara substansial,
Tuhanku).101 Perjalanan spiritual dimulai dari jiwa ren- isi dialog Suhrawarcli lebih sesuai dengan pendirian Socrates,
dah menuju Jiwa Tertinggi; ketika seseorang mencapai pe- nneskipun Suhrawardi menyatakan bahwa dialog dalani mimpi
ngetahuan tentang Jiwa Tertinggi maka ia telah mencapai tersebut dilakukan bersama Aristoteles.
pengetahuan tentang Tuhannya.102 Penempatan diri pada Di dalam tradisi sufi, “pengetahuan diri” dikenal
posisi sentral ini menjadikan manusia mengenal dari mana dengan istilah ma’rifah. Ma’rifah adalah pengetahuan Ilahi,
yaitu cahaya yang disorotkan kepada hati setiap orang yang
99
Mehdi Ha'iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, p. 50 dikehendaki-Nya, yakni melalui penyingkapan ( kasyf), penyak-
100
Amatullah Armstrong, Sufi Terminology (Al-Qamus ash-Shufi): sian (musyahadah), dan cita rasa (dzawq).104 Dalam tradisi
The Mystical Language of Islam, (Kuala Lumpur: A.S.Noordeen, 1995), p.
134.
101
Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Cet IX, 103
Lihat Fuad Hassan, Pengantar Filsafat Barat, Cet. II, (Jakarta
(Jakarta- Bulan Bintang, 1995), p 76-77 Pustaka Jaya, 2001), p. 21
102
Amatullah Armstrong, Sufi Terminology (AI-Qamus ash-Shufi), 104
Amatullah Armstrong, Sufi Terminology (AI-Qamus al-Shufi),
p. 134 p 142.

88 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 89


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

sufi, konsep ma’rifah dipelopori oleh Dzu al-Nun al-Mishri Dengan kata lain, mukīsyafah adalah pengetahuan jiwa,
(w. 860). Ia menjelaskan adanya tiga jenis ma’rifah tentang baik melalui proses kegiatan berpikir, estimasi, maupun
Tuhan: (1) ma’rifah orang awam, yakni pengetahuan ten- lintasan-lintasan gaib yang berhubungan dengan kejadian-
tang Tuhan yang diperoleh melalui syahadat; (2) ma’rifah kejadian tertentu pada masa lalu atau masa yang akan datang.107
ulama, pengetahuan tentang Tuhan yang didapat melalui Kedua intsrumen ini sangat vital dalam falsafah ‘Isyraqi
logika akal; dan (3) ma’rifah sufi, pengetahuan tentang Suhrawardi. Al-Ghazali mengatakan, ilmu mukīsyafah ada-
Tuhan yang diperoleh melalui perantaraan hati-sanubari.105 lah ilmu khusus yang tersembunyi, ia hanya diketahui
Seperangkat pertanyaan yang dimajukan dapat diketahui oleh kalangan tertentu yang benar-benar mengenal Allah
oleh manusia secara rasional dan juga dapat dirasakan lang- SWT. Oleh karena itu, mereka sering menggunakan simbol-
sung secara intuitif. Oleh karena itu, al-hikmah ‘isyraqiyyah, simbol khusus yang tidak boleh diungkapkan kepada
pengetahuan tertinggi ialah pengetahuan yang didasarkan kalangan awam. Pengetahuan yang ditangkap melalui isyarat
pada kehadiran dan visi (al-’ilm al-hudhuri asy-syuhudi) tidak boleh diekspos ke masyarakat awam, begitu juga bagi
yang diperoleh seseorang melalui proses musyīhadah dan seseorang yang tersingkapkan pengetahuan-Nya ia tidak
mukīsyafah. 10 6 boleh membukanya kepada orang lain.108
Musyīhadah adalah penyinaran langsung cahaya atas Hossein Ziai menguraikan bahwa dalam kaitannya
jiwa yang mampu menghilangkan keragu-raguan (wahm). dengan persoalan penyingkapan, di dalam falsafah ‘isyra-
Sedangkan mukīsyafah ialah sesuatu yang terlintas di dalam qiyyah terdapat tiga fase, yakni: fase persiapan, fase me-
hati sehingga terpatri dengan kuat kesan yang didapat dalam nerima, dan fase menyusun pengetahuan yang diterima-
ingatan tanpa ada keraguan sedikit pun. Hal ini juga berarti nya.109 Lebih jauh diterangkan bahwa fase persiapan diawali
tersingkapnya sesuatu melalui ilham. Proses mukīsyafah dengan sejumlah aktivitas khusus, yaitu mengasingkan
ini bisa terjadi pada saat seseorang sedang tidur ataupun diri selama empat puluh hari, tidak mengonsumsi daging,
pada saat ia terjaga, yakni dengan tersingkapnya tirai dan mempersiapkan diri menerima inspirasi dan ilham.110
penutup sehingga terlihat dengan jelas halhal ukhrawi. Aktivitas seperti itu menyerupai praktik hidup asketik dan
mistik, meskipun tidak sama persis dan tidak seketat aturan
105
Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme, p. 76.
106
Ada tiga macam penyingkapan atau mukasyafah: 107
Lihat Appendix, dalam Henry Corbin (ed.), Majmu’ah
penyingkapan dalam dimensi lahiriyah, penyingkapan kelezatan Mushannafat Syaikh ‘Isyraq Syihab adDin Yahya Suhrawardi, jilid II, (Teheran
dalam dimensi batiniyah, dan penyingkapan melalui Tuhan. Adapun Anjuman Syahansyahay Falsafah Iran, 1397 H.), p 299.
musyahadah adalah penyaksian atau visi, sejenis pengetahuan langsung 108
Abu al-Wafa al-Ghanimi at-Taftazani, Al-Madkhal ila Tashawuf
tentang hakikat oleh seorang sufi, baik menyaksikan Allah dalam segala al-Islam, Cet. IV, (Kairo Dar atsTsaqafah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1983).
sesuatu, sebelum, sesudah, atau bersama sesuatu, atau menyaksikan p 181
Allah sendiri. Lihat Amatullah Armstrong, Sufi Terminology (Al-Qamus 109
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, p. 35
al-Shufi), p. 154 dan 160-161. 110
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq, p 258

90 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 91


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

pola hidup sufi yang pernah ditemui Suhrawardi pada Kesadaran intuitif memungkinkan seseorang mema-
masanya. Pada diri seorang filsuf terdapat kekuatan intuitif hami (verstehen) esensi realitas secara langsung. Bahkan, ke-
yang merupakan cahaya Tuhan (al-bariq al-ilahi). Dengan sadaran itu tak pernah sedemikian mandiri dan terlepas
cahaya Tuhan ini, seorang filsuf dapat mencerap suatu kebe- dari realitas di luarnya. Kesadaran selalu merupakan kesa-
naran melalui ilham atau penyaksian dan penyingkapan daran “tentang sesuatu”. Demikian juga, realitas tak lain
diri (Musyīhadah wa al-mukīsyafah). Jadi, tahap pertama ini merupakan realitas dalam kesadaran. Ada interdependensi
terdiri atas: aktivitas, kondisi yang ditemui melalui intuisi yang inheren antara kesadaran dan realitas itu.
seseorang, dan ilham personal.111 Dengan intensionalitas, batas-batas inderawi dan
Tahap kedua, cahaya Tuhan masuk ke dalam wujud akali dapat dilampaui (transcendent). Maka manusia tidak saja
manusia. Cahaya ini mengambil bentuk serangkaian ca- mendapatkan ‘pengalaman’ atau ‘konsep’ tentang realitas,
haya penyingkap (al-’anwar al-sanihah) dan melalui cahaya- bahkan keduanya tidak penting, tetapi lebih dari itu, manusia
cahaya tersebut, manusia dapat memperoleh pengetahuan dapat menemukan hakikat realitas, bahkan secara given.
sejati (al-’ulum al-haqiqiyyat). Sedangkan tahap ketiga adalah Warnoek menulis: Husserl on other hand, while agreeing that the
fase merekonstruksi ilmu yang benar (al-’ilm al-shahih), dan general was not in the mind, insisted that it could be immediately
setelah itu sampai pada fase menurunkan falsafah iluminasi given in experience, indeed that the content of consciousness was
dalam bentuk tulisan.112 it self perfectly unintelegible unless it was thought of as ‘meaning’
Refleksi filsafat Illuminasi Suhrawardi bertumpu the general.113 Dengan begitu manusia bermakna bagi realitas,
pada “kesadaran diri” atau yang ia sebut dengan anī’iyah (ke- dan realitas bermakna bagi manusia. Karena memang ada
aku-an) yang juga bersifat intuitif. Tidak mudah memahami kaitan erat antara manusia dengan realitas.
apa yang dimaksud “anī’iyah” itu. Fenomenolog Husserl Tampaknya antara fenomenologi Husserl dan Ilmu
mempunyai konsep “intensionalitas” yang kurang lebih Hudluri Suhrawardi, bisa dikatakan, satu sama lain saling
bisa memberikan penjelasan. Intensionalitas adalah asumsi menjelaskan. Intensionalitas lebih mudah dimengerti de-
ontologis yang menyatakan bahwa esensi realitas dengan ngan menggunakan penjelasan-penjelasan Ilmu Hudluri.
sendirinya menampakkan diri pada kesadaran intuitif Demikian juga sebaliknya penjelasan Ilmu Hudluri lebih
subjek. Begitu juga sebaliknya, kesadaran subjek merupakan mudah dipahami dengan menggunakan asumsi-asumsi
keinsyafan mendalam di tengah penampakan (kehadiran, ontologis dari intensionalitas.
pen.) esensi realitas. Kesadaran subjek dan esensi realitas
menyatu secara intensional dalam kesadaran subjek. 113
Lihat Mary Warnoek, Existensialism..., p. 32. maksud
pernyataan itu kurang lebih: bahwa sesuatu yang general adanya bukan
dalam pikiran, yang diminta dengan tegas bahwa itu bisa jadilah dengan
111
Ibid. seketika terjadi dalam pengalaman, tentu saja bahwa isi kesadaran adalah
112
Ibid. p. 36. secara diri sendiri secara sempurna bersifat unintelegible kecuali jika
pemikiran itu sebagai makna general

92 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 93


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

Kesadaran intuitif yang dimaksudkan oleh Husserl cahaya murni (nīr al-mujarrad, nīr al-mahdhi) ialah cahaya
juga tidak jauh beda dengan anī’iyah dalam “konsepsi” yang berdiri sendiri, mandiri dengan dzatnya sendiri. Ada-
Suhrawardi. Demikian juga esensi realitas dalam “fenomena” pun sesuatu yang bukan cahaya dibagi ke dalam: al-jauhar
Husserlian bisa dimengerti sebagai identik dengan prinsip al-jismani al-ghasiq dan al-hai’ah al-zhulmaniyyah. al-jauhar al-
hudlīr atau “kehadiran objek” Suhrawardi. Bahkan kesadaran jismani al-ghasiq ialah sesuatu yang tidak memiliki cahaya
intuitif dan “fenomena” Husserlian merupakan dua pilar dalam dirinya (al-muzhlim fi dzatihi), jasad gelap yang tidak
kunci dari tiga pilar yang disyaratkan oleh Suhrawardi un- memiliki cahaya, terangnya bukan karena dzatnya, me-
tuk memperoleh irfīn (pengetahuan intuitif; pengenalan, lainkan karena datangnya cahaya dari yang lain. Sementara
pen.) atas esensi realitas. Ada satu pilar lagi yang tidak bisa al-barzakh adalah pembatas antara dua hal. Jasad yang tebal
dipisahkan dari dua pilar sebelumnya, yaitu nīr atau ca- dapat dijadikan sebagai pembatas, sehingga al-jism dinama-
haya. Maka pengenalan atas esensi realitas dalam konsepsi kan juga al-barzakh yang dapat dikenali posisinya.116 Al-jism
Suhrawardi disyaratkan terkumpulnya tiga pilar, yaitu keha- merupakan barzakh, sedangkan barzakh sendiri ialah sesuatu
diran subjek (dalam arti kesadaran diri), kehadiran objek yang tidak mempunyai cahaya dalam dirinya. Karena itu, al-
(dalam arti esensi realitas objek), dan adanya nīr atau cahaya. jism senantiasa memerlukan cahaya murni (nīr al-mujarrad),
Konsep nīr atau cahaya ini adalah khas Suhrawardi, yaitu nīr yang memiliki cahaya pada dirinya sendiri.117
yang tidak ditemukan pada intensionalitas Husserl, bahkan Menurut Suhrawardi, setiap cahaya yang ada pada
juga berbeda dengan pemikiran filsuf muslim lainnya, dirinya, maka cahaya itu merupakan cahaya murni (nīr al-
seperti teori emanasi (al-faidl),114 atau Hikmah al-Mutī’aliyah mujarrad). Setiap individu yang mengetahui dzatnya sendiri
Mulla Shadra. Itu sebabnya Suhrawardi disebut “Syaikh al- maka ia merupakan nīr al-mujarrad. Setiap orang tentu tidak
Isyrīq atau filsuf illuminasi (Isyrīqiyah). Suhrawardi membagi pernah lalai akan kediriannya, ia selalu sadar akan dirinya, dan
cahaya ke dalam dua bagian: cahaya temaram (nīr al-’aridh) tiap orang berdiri sendiri dalam mengetahui dirinya sendiri,
dan cahaya murni (nīr al-mujarrad, nīr al-mahdhi).115 Cahaya dengan tanpa melalui citra diri pada dirinya sendiri.118 Jika
temaram (nīr al-’aridh) ialah cahaya yang tidak mandiri; ia orang mengetahui dirinya sendiri melalui dirinya, akan
berhajat kepada lokus lain, seperti al-’anwar al-mujarradat al- sama artinya orang itu tidak mengetahui citra dirinya dalam
’aqliyyah, atau jasad-jasad yang memiliki cahaya. Sedangkan dirinya. Oleh karena itu, tidak dapat dibayangkan bagaimana
mengetahui dzatnya sendiri melalui sesuatu yang menyertai
dirinya.
114
Emanasi (al-faidl) adalah teori tentang keluarnya sesuatu
wujud yang mumkīn (alam makhluk) dari Zat yang wījib al-wujīd (Zat 116
Ibid., p.108. Lihat juga Syams ad-Din Muhammad Syahra-
yang Mesti adanya; Tuhan). Teori ini dirintis oleh al-Farabi sehubungan zuri, Syarh Hikmah al-’Isyraq, dalam Hossein Ziai (ed.), p. 288
dengan temuannya tentang akal sepuluh. Ahmad Hanafi, MA, Pengantar 117
Ibid., p. 109.
Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991 cet. Ke-5), p. 92-93 118
Syams ad-Din Muhammad Syahrazuri, Syarh Hikmah al-
115
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq, p. 107 ’Isyraq, p. 294-295

94 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 95


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan Suhrawardi

Pengetahuan diri tiap individu sendirilah yang pa- merupakan salah satu syarat di antara tiga syarat perolehan
ling jelas mengetahui dzatnya sendiri, bukan melalui sifat-sifat pengetahuan (tentang esensi realitas), maka keberadaannya
bawaan yang melekat pada dirinya. Tiap individu mengetahui tidak bisa ditawar-tawar.
dirinya dengan dirinya sendiri, sebab di dalamnya terdapat Jalan pemikiran demikian inilah yang memungkinkan
cahaya murni (nīr al-mujarrad, nīr al-mahdhi). Jadi, pengetahuan “intensionalitas” berada pada terang cahaya, bahkan ca-
yang sebenarnya ialah pengetahuan yang datang dari dalam, haya ilahiyah. Konsekuensi lebih jauh dari “cahaya inten-
bukan dari luar dirinya, yaitu pengetahuan mandiri, tanpa sionalitas” dalam konsepsi Suhrawardi ini berujung pada
campur tangan apa pun selain dirinya sendiri. Tiap individu problem ketuhanan atau lebih tepatnya ma’rifatullīh, seka-
yang mengetahui dzatnya, dia adalah nīr mahdh, dan tiap nīr ligus merupakan klimaks dari seluruh kritik Suhrawardi atas
mahdh adalah terang bagi dirinya dan ia menyadari dirinya logika Peripatetik yang rasionalis.
sendiri, oleh karenanya, yang mengetahui, yang diketahui, Pengetahuan model manthīqi Peripatetik yang di-
dan pengetahuan itu sendiri, di sini menyatu menjadi satu, gali dari proses hadd (pembatasan; definisi essensialis), me-
seperti halnya, akal, yang berpikir, yang dipikirkan, dan ningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlīl)
pikiran itu sendiri, semuanya adalah satu. 119 ternyata hanya sampai pada idrīk (persepsi). Dengan kerangka
Selain itu, “cahaya” dalam Filsafat illuminasi (Isyrīqi- keilmuan seperti itu ternyata esensi objek belum tertangkap,
yah) bisa bermakna materiil juga immateriil. Cahaya dalam sekalipun objek fisik, apalagi objek ghaib-metafisik. Maka
arti materiil adalah cahaya yang dengannya objek fisik- wajar jika Tuhan tampil dalam banyak persepsi. Inilah awal
materiil menjadi tampak, yang dengan begitu, sesuatu objek malapetaka kehidupan beragama, sebagaimana crusada yang
bisa dikenali (lebih dari sekedar diketahui). Tanpa cahaya, juga disaksikan Suhrawardi.
perkenalan atas objek materiil tidak akan terjadi, sekalipun Tiga syarat pengetahuan Illuminasi, yakni subjek
subjek dan objek sama-sama hadir. Itulah sebabnya cahaya yang hadir, objek yang hadir, dan cahaya (nīr), menurut
dalam arti materiil juga penting dalam proses pengetahuan. Suhrawardi, menjamin manusia menangkap esensi objek.
Sementara dalam arti immateriil, cahaya dimak- Karena esensi objek hadir dalam Kesadaran-Diri subjek
sudkan sebagai cahaya ilahiyah atau cahaya Tuhan. Tuhan secara intuitif, atau sebaliknya, Kesadaran-Diri subjek selalu
dalam keiimanan Suhrawardi adalah Nīr al-Anwīr (seterang- dalam kesiapan menangkap kehadiran esensi objek. Kondisi
terangnya cahaya). Pemahaman ini, tampaknya merupakan demikian ini terjadi dalam terang cahaya ilahi. Kerangka
interpretasi Suhrawardi atas nash al-Qur’an surat 24, ayat keilmuan ini yang disebut proses ta’rīf yang memungkinkan
35.120 Cahaya ini merupakan anugerah Tuhan dan memantul manusia sampai pada ma’rifah (irfīn), bukan proses hadd
kepada siapa saja yang menginsyafinya. Karena cahaya yang hanya sampai pada ‘ilm atau hanya idrīk. Pengetahuan
illuminasi memungkinkan manusia mengenal objek, lebih
119
Suhrawardi, Hikmah al-’Isyraq. p. 301
120
“Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS: 24; 35).

96 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 97


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi

dari sekedar tahu.121


Bagaimana objek ghaib dapat hadir? Tentu tidak sulit
menghadirkan objek riil (al-syahid) di hadapan subjek, tetapi
bagaimana dengan objek ghaib? Pertanyaan ini tentu tidak
mudah menjawabnya, terutama bagi sebagian kalangan yang
melihat satu-satu realitas ini adalah dunia riil yang berjalan
di atas hukum-hukum logika-rasional. Konsep “hadir” dalam
keilmuan Illuminasi sebenarnya bukan dalam pengertian
fisik, di depan mata kepala. Tetapi “hadir” dalam pengertian BAB III
ruhani, yaitu hadir dalam Kesadaran-Diri. Kehadiran objek
bukan dalam bentuk fisik-materiil, bukan pula dalam bentuk
konsepsi (al-tashawwur), tetapi berupa esensi (mīhiyah) yang Logika Ketuhanan
menyatu dalam Kesadaran Diri subjek.
Ma’rifatullīh mungkin dapat digapai atau dicapai di Tengah Paradigma
hanya dengan kerangka keilmuan demikian ini. Esensi Keilmuan Modern
ketuhanan mungkin dapat hadir hanya dalam kesiapan
atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiranNya. Artinya,
kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiran
Tuhan memungkinkan kehadiranNya. Dalam tradisi Islam,
sebenarnya juga tidak sulit penjelasannya. Ada penjelasan A. Problem Keilmuan Modern
Rasul yang menyatakan: “engkau beribadah seakan engkau
melihat-Nya, jika engkau tidak dapat melihatNya, maka Pada uraian sebelumnya, tampak jelas bahwa episte-
yakinlah bahwa Dia melihatmu”. mologi Illuminasi memberikan penekanan pada aspek spi-
ritual atau intuitif. Dengan berazaskan pada anī’iyah (ke-
Problem ketuhanan atau lebih tepatnya ma’rifatullah se-
sadaran diri), sekat-sekat formalitas lahiriyah (yang diciptakan
kali lagi merupakan klimaks dari seluruh kritik Suhrawardi atas
oleh tradisi epistemologi manthiqiyah atau burhani) baik
logika Peripatetik yang rasionalis sekaligus puncak dari bangunan
dalam bentuk bahasa, agama, ras, etnik golongan, kultur,
epistemologi intuitif Illuminasi, alternatif yang ia tawarkan.
tradisi yang ikut andil merenggangkan dan mengambil jarak
hubungan interpersonal antar umat manusia, semuanya
121
Ada perbedaan antara dua istilah ini, misalnya suatu ungka-
akan diketepikan oleh tradisi pola pikir Illuminatif yang
pan: “saya tahu tap i belum/tidak kenal”. Mengenai hal ini lihat misalnya
uraian pada catatan kaki oleh penyunting atas buku Seyyed Naquib al- bercorak irfani ini. Corak nalar yang ditekankan epistemo-
Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), p. 20-24 logi irfani adalah spiritualitas esoterik yang bersifat lintas

98 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 99


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan di Tengah Paradigma Keilmuan Modern

bahasa, agama, ras, etnik golongan, kultur, dan tradisi, bu- Dalam konteks paradigma keilmua modern, model
kan sebaliknya pada wilayah eksternal-eksoterik yang lebih epistemologi yang bercorak intuitif, bisa jadi dianggap aneh,
menekankan identitas lahiriyah di kala rasionalitas cukup dominan. Namun, di tengah
Untuk itulah prinsip memahami keberadaan orang, terjadinya krisis pengetahuan modern ini, diangkatnya
kelompok dan penganut agama lain (verstehen; understanding model epistemologi yang bercorak intuitif ini bisa menjadi
others) dengan cara menumbuhkansuburkan sikap empati, second opinion, bahkan diharapkan bisa menjadi alternatif
simpati, social skill serta berpegang teguh pada prinsip uni- untuk pengembangan keilmuan di masa depan.
versal-reciprocity, akan mengantarkan tradisi epistemologi Sebaagaimana dimaklumi, banyak kalangan melihat
irfani pada pola pikir yang lebih bersifat unity in difference, bahwa Dunia Modern saat ini sedang diliputi oleh berbagai
tolerant, dan pluralist. Sikap demikian ini sekaligus sebagai krisis, di antaranya dua krisis besar: krisis ekologi dan kri-
tolok ukur (validity) kebenaran epistemologi irfani, yang sis spiritual yang ditengarai sebagai dampak negatif sains
hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung (al-ru’yah modern.1 Tentu saja dua krisis tersebut menjadi persoalan
al-mubasyarah). global dan mendorong para tokoh dunia untuk men-
Dengan demikian, dari sudut pandang epistemologi, cari solusinya. Nalar modernitas tampaknya tidak bisa
hubungan subjek dan objek, bukannya subjektif dan bukan mewujudkan janji-janjinya dalam membangun masyarakat
pula objektif, tetapi lebih pada intersubjektif. Kebenaran baru yang sejahtera.2
apapun, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan kehi- Krisis ekologi (environmental crisis) sudah begitu meng-
dupan sosial keagamaan adalah bersifat intersubjektif. khawatirkan. Meningkatnya pemanasan global, rusaknya
Apa yang dirasakan oleh penganut agama, ras, etnik golo-
ngan, kultur, dan tradisi dapat dirasakan oleh yang lain. 1
Menurut Fritjof Capra, berbagai krisis terjadi karena “krisis
Dari sini kemudian bisa dimengerti, jika doktrin wahdah perspeksi”, yakni kemiskinan perspektif untuk memahami realitas
al-adyan juga berkembang subur dalam tradisi irfani. Begitu yang kompleks karena terjebak dalam paradigma Cartesian-Newtonian.
Lihat Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, terj. M. Thoyibi, (Yogyakarta:
pula konsep wahdah al-wujud, tidak hanya dipahami sebagai
Bentang, 1990), p. xx.
“manunggaling kawula gusti”, tetapi bisa diberi makna unity 2
Mengikuti pendapat Marquis de Condorcet tentang janji-janji
of multiplecity atau unity in difference. Karena menyatunya modernitas, R.J. Bernstein menyatakan bahwa penyebaran kekuatan-
unsur-unsur ketuhanan dan kemanusiaan itu sebenarnya kekuatan rasional dalam masyarakat tidak hanya akan menciptakan
mengandung arti menyatunya basic human need. Inilah pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan material, tapi juga akan
menghancurkan segala ketimpangan kultural, politik, ekonomi,
yang dimaksud dengan ittihad al-arif wa al-ma’ruf. Demikian
menghilangkan segala bentuk diskriminasi dan melenyapkan perang
halnya dengan istilah bila washithah, bila hijab dan kasyf al- dari muka bumi. Lihat R.J. Bernstein, The New Constelation, (Cambridge:
mahjub pada dasarnya bisa dipahami sebagai suatu peristiwa Polity Press-Brasil Blacwell Ltd., 1991), p. 33-34 Lihat juga F. Budi
mencairnya sekat-sekat formal antara masing-masing tradisi Hardiman, “Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-
tersebut. Modernisme,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.1, Vol. V, 1994

100 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 101


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan di Tengah Paradigma Keilmuan Modern

lapisan ozon, musnahnya begitu banyak jenis flora dan fauna ekologi sebenarnya merupakan dampak dari krisis dalam diri
merupakan beberapa contoh krisis ekologi. Krisis tersebut manusia sendiri.6 Selain krisis spiritual berupa krisis makna
juga mengancam seluruh struktur kehidupan masyarakat hidup, juga terjadi krisis kesadaran tentang kesucian alam
dunia.3 Bumi menjadi tempat yang tidak lagi menyenangkan. sebagai realitas yang tidak semata-mata material. Alam juga
Pertambahan penduduk yang begitu cepat membuat memiliki dimensi spiritual seperti halnya manusia, karena
“ruang bernafas” menjadi semakin sesak seiring semakin sama-sama merupakan perwujudan dari realitas yang lebih
menipisnya sumber daya alam. Keindahan panorama alami tinggi. Bahkan secara umum realitas terdiri dari level-level
menjadi berantakan oleh mesin yang digerakkan oleh hingga level puncak, yaitu Realitas Absolut.7
kerakusan manusia. Kerusakan juga menyerang manusia Seperti disinggung di atas, problem keilmuan mem-
dengan munculnya berbagai jenis penyakit baru berikut miliki andil cukup besar dan mendasar terhadap krisis
pertambahan pesat penderita gangguan mental. Inilah modernitas. Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang
dampak nyata “dominasi terhadap alam” yang menjadi dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam domi-
jargon manusia modern.4 nasi dan otoritas paradigma positivisme, tidak hanya dalam
Persoalan lainnya adalah krisis makna dan tujuan ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu
hidup sebagai akibat pemahaman yang dangkal tentang humanities. Seiring dengan proses universalisasi norma
diri dan marginalisasi dimensi spiritual. Manusia modern dan paradigma tersebut, temuan-temuan sains mengalami
merumuskan makna hidup sebagai usaha untuk mencapai eskalasi (escalation) menjadi apa yang disebut Lyotard sebagai
kebahagiaan dengan standar material. Standar material grandnarrative8 yang mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi
yang menjadi orientasi tunggal juga selalu mengantar pada kekuatan kuasa yang memarginalkan apa saja yang dianggap tidak
ketertekanan mental yang marak di negara-negara maju.5
Selain itu, konsepsi yang dangkal, juga mempengaruhi
prilaku manusia. Eksploitasi alam tanpa ampun demi ambisi 6
Lihat, Nasr, The Encounter…, p. 14
materialistik merupakan wujud kongkritnya. Maka krisis
7
Menurut Huston Smith, antara realitas alam dan realitas
diri manusia terdapat empat level yang sama. Pada diri manusia (levels
of selfhood) terdiri level body, mind, soul dan spirit; sedang dalam realitas
3
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature, terdiri dari: terrestrial, intermediate, celestial dan infinit. Lihat H. Smith,
(New York: Oxford University Press, 1996), p. 5 The Forgotten Truth, the Common Vision of the World Religion, Harper San
4
Seyyed Hossein Nasr, The Encounter of Man and Nature, Francisco, 1992, p. 63; “Perennial Philosophy, Primordial Tradition,”
(London: George Allen & Unwin Ltd. 1968), p. 18 dalam Beyond the Post-modern Mind, (New York: Crossroad, 1982), p. 68;
5
Erich Fromm memiliki data cukup memadai soal: angka Lihat juga Osman Bakar, Tauhid & Sains, terj. Yuliani Liputo, (Bandung:
bunuh diri dan pengidap penyakit mental yang justru semakin tinggi di Pustaka Hidayah, 1994), p. 35; Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis,
negara yang lebih maju secara material. Lihat Erich Fromm, Masyarakat Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2002), p. 93
yang Sehat, terj. Thomas Bambang Murtianto, (Jakarta: Yayasan Obor 8
Lyotard, The Postmodern Condition, A Report and Knowledge,
Indonesia, 1995), p. 6 (Manchester: Manchester University Press, 1984), p. 37

102 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 103


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan di Tengah Paradigma Keilmuan Modern

rasional sebagaimana diungkap Foucault.9 Emmanuel Kant memulai untuk metafisika,12 Alexander
Lahirnya norma-norma ilmiah sebagai garis demarkasi Gottleib Baumgarten (1750) dengan estetika ilmiah (inde-
antara yang ilmiah dan non-ilmiah, bisa dikatakan sebagai buah rawi) memulai untuk seni,13 sementara tradisi segera digan-
dari refleksi filsafat positivisme. Auguste Comte, sang pelopor tikan misalnya oleh teori-teori developmentalisme, dan
positivisme, hanya mempercayai fakta positif10 yang digali dengan agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology
metodologi ilmiah. Lalu dilanjutkan oleh para filsuf Lingkaran of the secular city yang dipopulerkan Harvey Cox.14 Sejarah
Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan mencatat, upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna
bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper metafisika, seni, tradisi dan agama menjadi tereduksi, bah-
yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar kan hilang dan mati. Maka dari sini, sebenarnya wacana
ilmiah.11 Beberapa prinsip ini memberikan andil besar bagi dikotomi “ilmu umum dan ilmu agama” dapat dilacak jali-
tereliminasinya sistem pengetahuan lain dan sistem kebe- nan akar geneologinya.
naran lain yang berada di luar jangkauan norma-norma ilm- “Keangkuhan” paradigma keilmuan, sebagaimana
iah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan lebih-lebih agama. digambarkan itu, oleh Kuhn disebut dengan incommensurable,15
Konsekuensinya, jika ingin disebut ilmiah, maka
metafisika, seni, tradisi dan termasuk agama harus mengikuti 12
Rumusan kegelisahan Kant sebenarnya, antara lain dinyata-
patok-patok ilmiah secara rigid sebagaimana sains. Di sini kan: How is Pure Mathematics Possible?, How is Pure Natural Science Possible?,
derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang How is Pure Metaphysics in General Possible?, How is Pure Metaphysics Possible
as Science? Lihat Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics,
disebut totalitarianisme in the new fashion. Era modern bisa
terj. The Paul Carus, revisi oleh James W. Ellington (Indianapolish/
dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap Cambridge: Hackett Publishing Company, 1977)
saintifikasi metafisika, seni, tradisi dan agama. Misalnya 13
Nyoman Kutha Ratna, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), p. 2
14
Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and
9
Lihat Michel Faucoult, Diciplin and Punish: The Brith of Prison, Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan
trans. Alan Sheridan, (New York: Peregrine, 1979); Bandingkan dengan Company, 1967). Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre agama di luar
Budi Hardiman, “Kritik atas Patologi Modernitas dan [Post]Modernisme: jangkauan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan
Habermas dan Para Ahli Waris Neitzsche” dalam Driyarkara, Tahun XIX, ‘best-seller’ di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa
No. 2 kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang menarik
10
Auguste Comte, perintis positivisme, lebih tajam lagi, men- perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty, bebe-
jelaskan istilah ‘positif’ itu dengan membuat beberapa distingsi: antara rapa kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual
‘yang nyata’ dan ‘yang khayal’; ‘yang pasti’ dan ‘yang meragukan’; ‘yang untuk bebas lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. Lihat
tepat’ dan ‘yang kabur’; serta ‘yang berguna’ dan ‘yang sia-sia’. Lihat F. Martin E. Marty, “Does Secular Theology Have a Future” dalam The
Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967)
Menyelamatkan Subjek” dalam Basis, Maret 1991 15
Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolution,
11
Uraian lebih luas lihat Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu... (Chicago: The University of Chicago Press, 1970), p. 150

104 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 105


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan di Tengah Paradigma Keilmuan Modern

yaitu suatu gambaran dari paradigma-paradigma yang terus untuk menunjukkan “Kontras” keduanya. Ini mirip dengan
berkompetisi dalam sains dan cenderung menegasikan lawan- Independensi Barbour.
lawannya. Paradigma sebagai kerangka bagi penyelesaian Langkah berikutnya, setelah perbedaan kedua bidang
teka-teki keilmuan (puzzle solving) tidak pernah akur satu sama ini jelas, baru bisa dilakukan “Kontak”. Langkah ini didasari
lain; tidak ada jalinan komunikasi (communication) dan terus oleh dorongan psikologis yang kuat bahwa bagaimanapun
bersikukuh pada cara pandang masing-masing. Inilah yang bidang-bidang ilmu yang berbeda perlu dibuat koheren. Di
membuat para pendukungnya tak pernah saling sepakat. sini implikasi-teologis teori ilmiah ditarik ke wilayah teologis,
Dalam konteks Kristen kontemporer, wacana “inte- bukan untuk “membuktikan” doktrin keagamaan, melainkan
grasi sains dan agama” ini dipopulerkan Ian G. Barbour, sekadar menafsirkan temuan ilmiah dalam kerangka makna
sebagai salah satu dari empat tipologi hubungan sains- keagamaan demi memahami teologi dengan lebih baik.
agama. Teolog-fisikawan ini dianggap sebagai salah seorang Dasarnya adalah keyakinan bahwa apa yang dikatakan sains
peletak dasar wacana sains dan agama yang berkembang di mengenai alam punya relevansi dengan pemahaman keagama-
Barat, tetapi pengaruhnya kini telah amat menyebar berkat an kita. Batang tubuh sains sendiri tak berubah sama sekali;
penerjemahan buku-bukunya, termasuk di Indonesia. Barbour tak ada data empiris yang disentuh.18 Gerakan ini melangkah
memetakan empat tipologi hubungan sains dan agama yaitu: lebih jauh pada “konfirmasi” dalam upaya mengakarkan sains
konflik, independensi, dialog, dan integrasi.16 pada asumsi metafisis. Asumsi metafisis sains yang disebut
Pandangan yang kurang lebih sama dengan Barbour Haught di antaranya bahwa alam semesta adalah suatu keter-
diajukan John F. Haught, yang membagi hubungan sains aturan (“tertib wujud”) yang rasional. Tanpa ini, sains sebagai
dan agama menjadi konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi. upaya pencarian intelektual tak dapat melakukan langkah
Keempat pendekatan ini bisa dilihat sebagai semacam pertamanya sekalipun.19 Ini bisa dibayangkan sebagai semacam
tipologi sebagaimana dibuat Barbour, namun Haught le- “premis awal” Aristotelian yang sifatnya a priori, yang diperlukan
bih melihatnya sebagai semacam perjalanan. “Konflik” untuk menggerakkan silogisme pertama. Bagi kaum beragama,
terjadi akibat pengaburan batas-batas sains dan agama; “premis awal” ini merupakan objek keimanan.
keduanya dianggap bersaing dalam menjawab pertanyaan- Bagi Haught, sebagai sebuah perjalanan, saat ini
pertanyaan yang sama sehingga orang harus memilih salah hubungan sains dan agama telah sampai pada hubungan “kon-
satunya.17 Karenanya, langkah kedua menarik garis pemisah firmasi”. Demikian pula pada Barbour, hubungan “integrasi”
tampaknya merupakan pilihan yang paling “menjanjikan”.20
16
Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan (When Science Meets Religion),
(Bandung: Mizan Pustaka, 2003). Ibid., p. 17-19
18

17
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik Ibid., p. 27-29
19

ke Dialog (Science and Religion: From Conflict to Conversation), (Bandung: 20


Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer
Mizan Pustaka, CRCS, dan ICAS, 2004), p. 20-21 dan Agama, terj. (Bandung: Mizan, 2005), p. 33

106 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 107


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan di Tengah Paradigma Keilmuan Modern

Di sini terlihat keduanya lebih memilih kesatupaduan da- for Humanities and Cultural Studies, 2004).24 Golshani
lam melihat hubungan sains dan agama. Menurut Zainal membuat distingsi antara apa yang disebutnya “Islamic
Abidin Bagir, wacana ini penting artinya terutama sebagai science” dan “Secular science” dengan alasan bahwa asumsi-
“pertimbangan etis” dalam melihat perkembangan sains dan asumsi metafisis kerap dapat “diakarkan” (atau berakar) pada
perkembangan pemikiran keagamaan.21 pandangan dunia agama.25
Di kalangan muslim, wacana sains dan agama atau Maka, apa yang merupakan persoalan serius yang
--lebih tepatnya-- sains dan Islam sempat populer antara menandai krisis pengetahuan ini bukanlah pola pikir po-
tahun 1970 sampai tahun 1990-an. Nama-nama yang ke- sitivistis yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu
rap muncul adalah Syed M. Naquib AI-Attas, Seyyed alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, lebih-
Hossein Nasr, Isma’il Al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar.22 Al- lebih nantinya juga dalam ilmu keagamaan. Konsekuensi
Attas menyebut gagasan awalnya sebagai “dewesternisasi pandangan ini, membuat keilmuan modern menganut
ilmu”; Isma’il Al-Faruqi berbicara tentang islamisasi tiga prinsip: bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis,
ilmu; sedangkan Sardar menusung gagasan “sains Islam instrumental-bebas nilai.26
kontemporer”. Kecuali Al-Attas yang memasuki wilayah Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya
metafisika, yang lainnya bergerak terutama pada tingkat upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis
epistemologi. baru yang memberi posisi pada peran subjek dan peran pra-
Kecuali mereka, harus disebut di sini fisikawan andaian metafisik, termasuk pra-andaian keagamaan, dalam
Mehdi Golshani. Pada 1980 akhir ia populer dengan karyanya proses keilmuan. Demikian juga, secara ontologis, pandangan
The Holy Quran and Sciences of Nature,23 yang bisa dikatakan awal
dari upayanya memadukan sains dengan Islam. Lalu pada tahun 24
Edisi Terjemahan: Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, (Bandung:
2004, ia menulis Issues in Islam and Science, (Tehran: Institute Mizan Pustaka dan CRCS, 2004)
25
Ibid., p. 48
26
Ketiga prinsip positivistis dalam ilmu-ilmu sosial ini, menurut
21
Zainal Abidin Bagir, “Sains dan Agama: Perbandingan Anthony Giddens, membawa implikasi sebagai berikut. Pertama, prose-
beberapa tipologi Mutakhir” dalam Zainal Abidin Bagir, Liek Wilardjo, dur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan
Arqom Kuswanjono, dan Mohamad Yusuf (eds.), Ilmu, Etika & Agama, pada ilmu-ilmu sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial
Menyingkap Tabir Alam dan manusia, (Yogyakarta: CRCS, 2006), p. 12-14 disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil riset dapat diru-
22
Pembahasan yang agak lebih terperinci, lihat Zainal Abidin muskan dalam bentuk ‘hukum-hukum’ seperti dalam ilmu-ilmu alam.
Bagir, “Pergolakan Pemikiran di Bidang Ilmu Pengetahuan”, dalam Taufik Dan ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan
Abdullah, et.al., (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid 6, (Jakarta: pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), p. 137-159 dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan
23
Buku ini terbit dalam edisi terjemahan dengan judul: Filsafat juga tidak terkait pada dimensi politis. Artinya, seperti ilmu-ilmu alam,
Sains menurut Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1988) ilmu-ilmu sosial bersifat bebas-nilai (value-free). Lihat A. Giddens (ed.),
Positivism and Sociology, (London: Heinemann, 1975), p. 3-4

108 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 109


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan di Tengah Paradigma Keilmuan Modern

spiritualis tentang alam, manusia, dan realitas menunjukkan “Pertemuan” Husserl dan Suhrawardi tampaknya
signifikansinya. Maka “cahaya intensionalitas” tidak saja menjadi kekuatan yang luar biasa. “Intensionalitas di ba-
merupakan temuan baru, tetapi bisa jadi memberikan wah terang cahaya ilahiyah” bisa menjadi alternatif, kalau
sumbangan bagi upaya keluar dari krisis modernitas. bukan malah sebagai jalan keluar dari pandangan ontologis
Dalam perkembangan pemikiran Barat, gagasan tentang realitas yang selama ini cenderung materialistis dan
intensionalitas dalam fenomenologi Husserl, mengkritik mekanistis. Pandangan materialistis-mekanistis seperti itu,
keras model pengetehuan yang bersifat logis-formalis di pada kenyataannya telah menimbulkan berbagai krisis pada
satu sisi dan bersifat empiris-positivistis pada sisi yang lain. kehidupan modern.
Pemikiran intensional Husserl memang lebih bersifat intuitif, Sebagai asumsi ontologis, “cahaya intensionalitas”
yang menempatkan ruang manusia dan realitas benar-benar dapat menjadi dasar bagi pengembangan pemikiran pada
membentuk suatu jalinan sejarah, dalam arti “beruang” berbagai aspek kehidupan, seperti etika, antropologi (filsafat
dan “berwaktu”. Dengan “beruang” dan “berwaktu” dunia tentang hakikat manusia), epistemologi, dll. Pengetahuan suci
akan menjadi penuh makna. Adanya bukan hanya masuk (scientia sacra) bisa dikatakan sebagai formulasi epistemologis
dalam bilangan tetapi dalam hitungan. Inilah makna awal dari “cahaya intensionalitas”. Pengembangan lebih jauh
eksistensialisme. Demikian juga pengetahuan model manthīqi bisa dilakukan terkait aspek-aspek yang lain.
yang berkembang pada tradisi Islam. Pengetahuan demikian Dari perspektif filsafat ilmu atau science studies, “in-
digali dari proses abstraksi (al-tajrid) untuk pembentukan tegrasi ilmu” dalam arti, penyatuan antara nalar saintifik
konsep (al-tashawwur), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), dengan teologi, tampaknya menjadi tema studi yang cu-
lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak kup menarik dan menggelisahkan. Dalam konteks ini, “in-
(persepsi). Ini kelemahan mendasar dari logika Peripatetik. tegrasi ilmu” tentu lebih dari sekedar wacana, tetapi dapat
Sementara visi illuminasi (al-musyahadah al-isyraqiyah) dilihat sebagai semacam tawaran paradigma baru bagi
memungkinkan subjek mengetahui sesuatu sebagaimana pengembangan sains. Benarkah akan lahir sains generasi baru?
adanya, yaitu mengetahui esensinya. “Kesadaran–Diri” Sepanjang penglihatan filsafat ilmu, sains (modern)
menempati posisi penting dalam filsafat ini. Prinsip dasar telah mengalami dua tahap perkembangan. Pertama, saat
pengetahuan ini adalah hubungan antara “aku” (ana, dzat sains berada pada klaim objektifitas. Di sini, sains berdiri
subjek) dengan esensi sesuatu melalui jalan “wujud” (huwa, tegak di atas logika saintifik yang, disebut, terlepas dari ruang
dzat yang diobjektivikasi, keituan [the that ness]) sesuatu. dan waktu serta aspek sosio-historis komunitas ilmiah, baik
Sebagai epistemologi berbasis agama (spiritualitas), posisi pada taraf pra, proses, hasil, hingga pasca pengembangan
anugrah Tuhan, sebagaimana konsep cahaya, menempati ilmu. Kedua, saat sains mengakui dan bahkan menyediakan
posisi yang penting. Ini yang menyebabkan ilmu tidak hanya perangkat metodologis bagi aspek sosio-historis dalam
dicari (mathlub) tetapi diperoleh (hushul). pengembangan ilmu. Di sini, sains tidak hanya berdiri di

110 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 111


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan di Tengah Paradigma Keilmuan Modern

atas basis logika keilmuan, tetapi juga basis sosio-historis, memberikan kerangka, mengarahkan, menentukan corak
bahkan sains dimengerti sebagai produk sejarah dan produk dari keilmuan yang dihasilkannya. Landasan filosofis dimak-
sosial-budaya. sud adalah kerangka teori (theoretical framework), paradigma
Setelah dua tahap ini, sekali lagi, benarkah akan keilmuan dan, asumsi dasar. Ketiga hal inilah yang lazim
lahir sains generasi baru? Apakah paradigma keilmuan disebut dengan filsafat ilmu atau filsafat keilmuan, dalam
yang selama ini saling klaim akan bertemu dan saling arti, basis filosofis yang mendasari bangunan keilmuan dan
berkomunikasi? Mungkinkah lahir paradigma keilmuan aktifitas ilmiah pada umumnya. “Kerja” ketiga landasan
baru yang memberikan posisi bagi asumsi metafisis-teologis filosofis ini, memang tidak serta merta bisa ditunjukkan
dalam pengembangan sains? dalam wilayah praktis, namun jelas sangat menentukan
‘corak’ ilmu yang dihasilkan. Dalam sejarah perkembangan
B. Posisi Asumsi T eologis dalam Pengembangan Ilmu ilmu, ketiga hal ini memiliki keterkaitan tidak saja historis,
Pengetahuan tetapi juga sistematis. Disebut demikian, karena suatu
paradigma tertentu lahir berdasarkan asumsi dasar tertentu,
Dalam perspektif Filsafat Ilmu, kualitas keilmiahan begitu pula teori tertentu bekerja tidak keluar dari ‘wilayah’
dari bangunan keilmuan atau aktifitas ilmiah pada umum- paradigmanya.
nya memang sangat ditentukan oleh ketepatan dalam
Ddengan demikian, semua cabang ilmu (ilmu alam,
penggunaan teori dan pada akhirnya juga metodologinya.
ilmu sosial, dan ilmu humanities) sangat ditentukan oleh
Ketepatan itu dapat diukur dari terbukanya perspektif baru
kerangka teori (theoretical framework) yang mendasarinya, yang
dan perspektif yang lebih luas dari teori sehingga ditemukan
‘wilayahnya’ lebih umum, abstrak dan filosofis, sementara
lebih banyak bukti pendukungnya, juga diukur dari ke-
kerangka teori lahir dan berdiri di atas basis paradigma ter-
tahanannya dari proses falsifikasi dan refutasi. Namun demi-
tentu yang sifatnya juga lebih abstrak dan filosofis lagi, begitu
kian tetap tidak mengabaikan sisi-sisi sosiologis-historis dari
pula paradigma tertentu juga tergantung dari asumsi-asumsi
paradigma ilmiah, juga sisi teologis-metafisis dari asumsi da-
yang mendasarinya.
sar. Karena bagaimanapun ketiganya merupakan bagian tak
terpisahkan dari bangunan kailmuan. Jika yang pertama me- Setiap teori memiliki kerangka kerja (theoretical
rupakan basis logis dan objektifitas sains, lalu yang kedua framework) yang lazim disebut metodologi, sehingga setiap
merupakan aspek kemanusiaan dari sains, maka yang ketiga teori berkonsekuensi metodologis tertentu. Berbeda teori
adalah basis keyakinan, keimanan, dan keberagamaan dari akan berbeda metodologinya. Dalam bangunan keilmuan,
sains. metodologi merupakan aspek logis dan objektif yang
memungkinkan temuan-temuan ilmiah dapat diterima
Berdasarkan uraian di atas, proses dan hasil keilmuan
(atau ditolak) secara rasional dan objektif. Itulah sebabnya,
pada jenis ilmu apapun, ternyata sangat ditentukan oleh
metodologi sering dimaknai sebagai logic of discovery (logika
landasan filosofis yang mendasarinya, yang memang berfungsi

112 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 113


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan di Tengah Paradigma Keilmuan Modern

penemuan). Dengan begitu, metodologi berbeda dengan dengan metodologi, membuat pengetahuan kita tentang
metode yang maknanya adalah process and prosedure. Bedanya, fakta dapat kita komunikasikan dengan orang lain. Meski
yang disebut pertama bersifat filosofis, sedang yang disebut harus diingat bahwa komunikasi bukanlah sekedar saling
belakangan bersifat teknis. Dalam kegiatan keilmuan, bicara, apalagi “yang penting disampaikan” (secara monolog),
sekalipun keduanya tak dapat dipisahkan, namun tetap namun lebih menekankan pada saling memahami, dalam
memiliki wilayahnya sendiri-sendiri. arti, apa yang disampaikan bisa dipahamkan dan karenanya
Jika dalam filsafat ilmu ditemukan beberapa teori, itu juga dapat dipahami.
berarti tersedia beberapa tawaran metodologi sebagai kerangka Berkaitan dengan problem komunikasi ini, ‘kerja’
dalam proses keilmuan. Hal ini, harus dipahami bahwa suatu metodologi ditunjukkan dengan penggunaan istilah-
masing-masing teori, tengah ‘berdiskusi’ tentang persoalan istilah kunci (keyword) yang menjadi ‘hak paten’ dari teori
metodologi. Karena setiap teori memang menyediakan logic tertentu. Dengan metodologi, fakta yang panjang-lebar dan
of discovery sesuai dengan kerangka logikanya masing-masing. semrawut bisa dikomunikasikan secara sederhana, hanya
Setiap teori berkonsekuensi metodologis tertentu. Dalam dengan menggunakan istilah-teoritis tertentu. Oleh karena
kegiatan keilmuan, metodologi harus dipahami sebagai itu pemahaman terhadap definisi operasional (?) istilah-
‘kaca mata’ atau perspektif dalam membaca, memahami teoritis sangat diperlukan, agar tidak terjadi kesalahpahaman,
dan menafsirkan objek ilmu pengetahuan, sehingga fakta yang sudah pasti akan mengarah pada kesalahan langkah.
dapat ditata dan dipetakan menjadi data sesuai dengan Menyomot istilah-teoritis tanpa disertai pemahaman, berarti
karasteristiknya berdasarkan peta pikir (mind mapping, dalam telah melakukan tindakan ceroboh, dan bisa saja disebut
istilah quantum learning) suatu teori tertentu. Fakta atau melakukan eksploitasi teori, yang memang sudah menjadi
data akan sulit ditemukan jalinan konsistensinya, jika tidak ‘hak cipta’ dari para ilmuwan atau filsuf sebagai penemu
dibaca, ditata dan dikerangkakan dengan sarana metodologi teori tersebut.
atau perspektif tertentu. Sementara paradigma ilmiah adalah pola pikir ko-
Dalam prakteknya misalnya terlihat dalam beberapa lektif ilmuwan (scientific community) yang menjadi basis
karya ilmiah, buku, dalam ceramah-ceramah, atau khutbah, tumbuhkembangnya segala aktivitas keilmuan. Pada sisi
yang terkadang ditemukan uraian yang sulit ditemukan yang lain, paradigma juga dapat dipahami sebagai tempat
ujung pangkalnya, sulit dimengerti, ini karena data tidak bernaung teori-teori. Dalam bangunan keilmuan, paradigma
ditata dalam kerangka yang jelas. Ini artinya, peran ilmu merupakan basis sosiologis, antropologis, dan historis sains.
pengetahuan untuk menyederhanakan kompleksitas fakta Sehingga posisi eksistensi ilmuwan sebagai manusia tidak
atau peristiwa, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dengan diabaikan begitu saja, dan sebaliknya, bahkan diakui sebagian
demikian, lebih jauh dapat dipahami, bahwa metodologi juga bagian tak terpisahkan dalam bangunan keilmuan. Ber-
merupakan persoalan komunikasi. Dalam pengertian bahwa satunya para ilmuwan dalam kolektifitasnya dan menyatunya

114 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 115


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan di Tengah Paradigma Keilmuan Modern

teori-teori dalam satu paradigma didasarkan pada adanya rupakan “postulat” atau “aksioma”28 yang berperan sebagai
ikatan logis maupun sosiologis-historis. Berbeda dengan asumsi, orientasi dan arah bagi kerja ilmiah. Oleh karena
teori yang dapat dijatuhkan, paradigma ilmiah, karena itu, keberadaannya di luar jangkauan pembuktian teoretis-
bernaung di bawahnya banyak teori dan didukung oleh empiris.29
scientific community maka tidak bisa dijatuhkan begitu saja. Sementara dalam perspektif Filsafat Ilmu kontem-
Perubahannya memiliki proses tersendiri. Kalaupun harus porer, asumsi dasar itu justru menjadi “inti” (hard core)
dikritik, bukanlah pada paradigmanya, tetapi lebih terkait dalam segala aktivitas ilmiah sebagaimana ditawarkan
pada alasan pemilihannya. Lakatos. Hard core bersifat negative heuristic sehingga tidak
Sedangkan asumsi dasar adalah sisi terdalam dari bisa dikritik atau disalahkan. Posisinya sangat kuat karena
bangunan keilmuan. Sifatnya lebih halus dari paradigma dan dijamin oleh protective belt (lingkaran pelindung). Di luarnya
teori. Dalam bangunan keilmuan, asumsi dasar dimaksudkan masih terbangun sejumlah teori yang secara koheren saling
sebagai basis teologis-metafisis, karena memang terkait mendukung dan berkembang sesuai dengan perkembangan
dengan keyakinan atau bahkan keimanan ilmuwan. Dalam hipotesa (auxillary hypotheses). Teori-teori ini bersifat positif
perspektif “filsafat ilmu” klasik, posisi basis teologis-metafisis heuristic yang berkemungkinan bisa berkembang dan
ini bisa diidentikkan dengan “premis mayor” sebagaimana disalahkan. Hard core, negative heuristic dan protective belt
dalam logika tradisional Aristoteles, atau berkedudukan
sebagai “idea transendental” sebagaimana epistemologi Im- 28
Lihat, F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli
manuel Kant. “Idea transendental” ini merupakan cita yang sampai Nietzsche, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), p. 143
menguasai segenap pemikiran.27 Idea ini sifatnya semacam
29
Menurut Kant, ada tiga Idea transendental. Pertama Idea
psikis (jiwa) yaitu merupakan gagasan mutlak yang mendasari segala gejala
“indikasi-indikasi kabur”, yang berupa petunjuk-petunjuk batiniah. Kedua, gagasan yang menyatukan segala gejala lahiriah, yakni
yang membimbing “akal murni” dan “akal praktis. Seperti Idea kosmologis (dunia). Dan akhirnya, gagasan yang mendasari segala
juga kata “barat” dan “timur” yang merupakan petunjuk-pe- gejala, baik yang lahiriah maupun yang batiniah, yaitu yang terdapat
tunjuk: “timur” an sich tidak pernah bisa diamati. Kaitan- dalam suatu pribadi mutlak, yakni Tuhan sebagai Idea Teologis. Kendati
nya dengan pengembangan ilmu, idea transendental itu me- Kant menerima ketiga Idea itu, ia berpendapat bahwa ide-ide itu tidak
bisa diketahui lewat pengalaman. Lihat S.P. Lili Tjahyadi, Hukum Moral,
Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, (Yogyakarta:
27
Sifat idea ini, menurut Kant: inteligible, clear, and decisive….. Kanisius, 1991), p. 38-39; Dengan Kritiknya ini, Kant sekaligus
the transcendental ideas therefore express the peculiar application of reason as menunjukkan kekeliruan argumen ontologis, kosmologis dan teleologis
a principle of systematic unity in the use of understanding. Lihat Immanuel dalam metafisika tradisional yang dikatakan dapat membuktikan adanya
Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. The Paul Carus, revisi Tuhan. Menurut Kant, argumen metafisika tradisional itu telah jatuh
oleh James W. Ellington (Indianapolish/Cambridge: Hackett Publishing ke dalam paralogisme (penalaran sesat). Bagaimana kekhasan argumen-
Company, 1977), p. 89-90 argumen tersebut dan bagaimana kritik Kant, lihat Drs. Amsal Bakhtiar,
MA, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), p. 169-188

116 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 117


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Logika Ketuhanan di Tengah Paradigma Keilmuan Modern

dalam konsepsi Lakatos inilah yang memungkinkan sains Dengan begitu, penolakan, apriori, sikap ragu dan
yang berbasis agama seperti Sains Islam menjadi bangunan pesimistik terhadap lahirnya Sains Islam telah mendapat
keilmuan yang ilmiah. Lebih dari itu, menempatkan kata jawabannya dari sudut pandang filsafat ilmu. Sekedar
Islam di belakang kata Sains kemudian terkesan menjadi mempertegas lagi, bahwa dalam perspektif filsafat ilmu
sangat wajar dan tidak aneh. kontemporer, terdapat tiga model pengembangan sains,
Model pengembangan sains seperti ini sudah tentu pertama, pengembangan sains yang menekankan pada basis
berbeda dengan model justifikasi Bucaillian yang beresiko metodologi ilmiah. Ini jelas kontribusi Francis Bacon dan
menyalahkan ayat-ayat kitab suci jika teori terbukti salah Positivisme. Bagi ilmuwan yang hanya mengakui metodologi
sebagaimana diprihatinkan para pemerhati sains Islam. ilmiah dan teori sebagai basis filosofis sains, sudah tentu
Maka jika harus mengutip sebagian ayat kitab suci, itu sudah mereka menolak adanya sisi sosiologis-historis dari sains,
tentu dalam kerangka menguatkan asumsi teologis-metafisis apa lagi sisi teologis-metafisisnya; kedua pengembangan sains
dari bidang yang sedang dikaji, yang posisinya sebagai asumsi yang memberi penekanan pada basis metodologi ilmiah plus
dasar dan dilindungi oleh protective belt. basis sosio-historis. Ini merupakan jasa dari Thomas Kuhn.
Sudah tentu asumsi teologis-metafisis yang di- Pengakuan adanya paradigma ini meniscayakan ilmuwan
maksud di sini terkait dengan konsep asasi, seperti hakikat untuk memahami bahwa sains itu juga human and social
kehidupan, dunia, ilmu, dan bahkan keagamaan dan ke- construction.
tuhanan. Beberapa hal ini bisa disebut fundamental elements Dan, model ketiga, pengembangan sains yang
of the worldview. Maka Islamic worldview sebagaimana dimak- sekaligus memberi penekanan pada tiga elemen filsafat
sudkan oleh Alparslan dan Al-Attas, dalam perspektif keilmuan, yaitu: basis metodologi ilmiah, basis sosio-historis,
Filsafat Ilmu, tidak lain merupakan basis teologis-metafisis dan basis teologis-metafisis. Yang terakhir ini merupakan
atau hard core atau premis mayor atau ide transendental kontribusi Lakatos. Pengembangan sains pada model ketiga
dalam keilmuan Sains Islam. Inilah yang membedakan sains itulah yang memungkinkan sains yang berbasis agama
yang berbasis agama Islam dengan sains yang berbasis agama seperti Sains Islam menjadi ilmiah. Atau dengan kata lain,
lain, atau dengan sains yang tidak berbasis agama, jika ada. keyakinan bahkan keimanan Islam sebagai basis teologis-
Dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer, asumsi metafisis ilmuwan telah memiliki posisi yang jelas sebagai
teologis-metafisis ini bisa diidentikkan dengan problem al- bagian tak terpisahkan dalam bangunan keilmuan. Untuk
tsawabit (yang mapan) sementara paradigma dan teori bisa lebih jelasnya tiga model pengembangan sains ini dapat
diidentikkan dalam wilayah al-mutahawwil (yang berubah), digambarkan pada tabel berikut:
sekalipun ada perbedaan dalam perubahannya.30
Kajian atas kreativitas dan konservativitas menurut bangsa Arab). Buku ini
telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Khoiron Nahdiyin
30
Lihat Adonis, Ats-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahtsfi al-Ibda’ wa
dengan judul: Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, (Yogyakarta: LkiS,
al-Ittiba’ inda al-Arab (Yang Mapan-Statis dan Yang Berubah-Dinamis:
2007)

118 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 119


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi

Model I Model II Model III


Basis Metodologi Basis Metodologi Basis Metodologi
Ilmiah Ilmiah Ilmiah
Basis Sosio-Historis Basis Sosio-Historis
Basis Teologis-
Metafisis

Penutup

Sebagai sistem pikir, logika ternyata dapat dipahami


mulai dari yang paling sederhana sekalipun, yakni dalam pe-
ngalaman dan kebiasaan sehari-hari. Dari pengalaman dan
kebiasaan itu sebenarnya logika bermula, lalu meningkat
menjadi sarana ilmiah yang dengannya akan diperoleh
pengetahuan ilmiah. Selain itu, perkembangan selanjutnya,
logika juga dapat menjadi semacam cara pandang terhadap
dunia (worldview), yang disebut dengan epistemologi.
Logika diletakkan dasar-dasarnya oleh Aristoteles,
filsuf Yunani Kuna. Dalam pandangan logika, pengetahuan
mesti melalui proses abstraksi untuk membangun konsep
yang benar sebelum dibuat suatu proposisi, dan dari proposisi
lalu dibuat silogisme. Proses demikian ini oleh Aristoteles
disebut dengan hylemorphy, yaitu menyatunya antara form dan
matter, antara hukum pikir dengan isi pemikiran. Konsep-
konsep kunci dari Aristoteles ini menjadi pembahasan me-
narik dalam Ilmu Logika (‘ilm manthiq), suatu ilmu yang

120 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 121


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Penutup

membicarakan satu model berpikir yang menjadi basis bagi Pengetahuan menurut Suhrawardi adalah pengetahu-
terbangunnya pengetahuan yang benar. an yang benar-benar tahu. Istilah yang dipakainya adalah
Logika baik sebagai ilmu maupun sebagai sarana yaqīnī atau haqīqī. Atau, dalam istilah kaun sufi, pengetahuan
memperoleh pengetahuan yang berbasis ‘rumus-rumus’ rasio, Suhrawardi adalah pengetahuan yang sudah sampai pada
berkembang cukup pesat dalam tradisi Islam. Beberapa filsuf tingkat haqq al-yaqīn, bukan ‘ain al-yaqīn apalagi ‘ilm al-yaqīn.
Muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Shina, al-Ghazali, dan Sementara pengetahuan yang hanya sampai pada ‘ilm al-yaqīn,
Ibn Rusyd, bahkan tidak hanya berjasa mengembangkan ilmu menurut filsafat ini, sebenarnya bukanlah pengetahuan
manthiq di dunia Islam, tetapi juga menjadikannya sebagai dalam arti ‘ilm, tetapi hanya idrīk (persepsi). Meskipun idrīk
basis filosofis untuk pengembangan keilmuan yang mereka sendiri mempunyai beberapa tingkatan, yaitu idrak bi al-hissi
bangun. Dalam tradisi Islam, logika kemudian menjadi satu dan idrīk bi al-aql. Klaim Suhrawardi bahwa pengetahuan
mode pemikiran tersendiri yang terkenal dengan masysya’i yang dicari melalui definisi, sebagaimana pada metode
(peripatetik) yang diidentikkan dengan pemikiran Aristoteles. diskursif Peripatetik, hanyalah sampai pada idrīk, belum ‘ilm.
Sebagai episteme, logika memang tidak hanya dijadi- Bagi Suhrawardi, pengetahuan tentang sesuatu tidak
kan sebagai basis pengembangan keilmuan, tetapi juga se- akan dapat diperoleh dengan cara mendefinisikannya, dalam
bagai cara pandang terhadap dunia dan bahkan dalam hidup arti essensialis. Apa yang dilakukan kaum Peripatetik hanya-
beragama. Artinya, konsepsi-konsepsi tentang dunia dan lah reduksi atau pembatasan terhadap genus (jins). Suatu
agama, termasuk tentang tuhan sangat menentukan sikap organisme mustahil diketahui hanya dengan mendekatkan
dan prilaku manusia. Inilah yang menjadi keprihatinan antara yang substansi dan yang aksidensi; antara genus (al-jins)
Suhrawardi, sekaligus menjadi latarbelakang dari bangunan dengan diferensia (al-fashl). Menurut Suhrawardi, “bahkan
epistemologinya. kesulitan itu juga diakui oleh guru kaum Peripatetik sendiri
Pengetahuan model manthiqi Peripatetik yang di- (Aristoteles).” Karena ta’rīf hanya bisa terjadi dengan peran-
gali dari proses tajrid (abstraksi), tashawwur (konsepsi), tara benda-benda yang menghususkan totalitas suatu benda
hadd (batasan; definisi essensialis), meningkat ke poposisi (ijtima’), yaitu keseluruhan organik. Maka, hadd itu bukan
(al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal), dalam penglihatan ta’rīf.
Suhrawardi, ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Sejalan dengan itu, untuk dapat mendefinisikannya,
Dengan kerangka keilmuan seperti itu esensi objek belum sesuatu itu harus lebih dulu dispesifikasi, sesuai dengan se-
tertangkap, sekalipun objek fisik, apalagi objek ghaib-meta- suatu yang lebih nampak jelas atau lebih jelas (al-azhhar).
fisik, seperti persoalan ketuhanan misalnya. Maka wajar Inilah sebagian gagasan epistemologi illuminasi tentang me-
jika Tuhan tampil dalam banyak persepsi. Inilah awal mala- ngetahui sesuatu berdasarkan “melihat” sesuatu sebagaimana
petaka kehidupan beragama, sebagaimana crusada yang juga adanya. Maka konsep sesuatu, “kursi” misalnya, sebagaimana
disaksikan Suhrawardi. diakui oleh Peripatetik, tidak pernah ada. Karena itu tidak

122 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 123


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Penutup

lebih dari konsep formal yang diciptakan dengan me- Dalam perspektif Filsafat Ilmu kontemporer, model
nyingkirkan sifat partikularnya. Berbeda dengan itu, logika keilmuan demikian memang terkesan cukup aneh, di tengah-
Illuminasi tidak terbatas oleh kategori (ten categories) dan tengah bangunan episteme yang menempatkan rasionalitas
sebaliknya menekankan pada tangkapan essensi sesuatu melebihi wahyu, kritik lebih dari sikap adaptif terhadap tradisi
itu. Maka logika Illuminasi tidak hanya benar secara formal dan sejarah, dan progresivitas lebih dari sekedar konservasi
tetapi juga material. tradisi. Maka keyakinan adanya Tuhan dan peranNya sama
Untuk dapat mempunyai pengetahuan yang me- sekali tidak disentuh, bahkan dinafikan dalam proses
yakinkan (al-ma’rifah al-mutayaqqinah) tentang sesuatu, pengembangan ilmu. Namun, kontribusi seperti itu bisa jadi
keseluruhan essensi (al-jami’ al-dzatiyyat) harus diketahui. memberikan jalan keluar atas kebuntuhan epistemologi saat
Ini tidak dapat dilakukan hanya dengan proses mengurangi ini atau paling tidak, menjadi model pengetahuan alternatif,
secara khas essensi-essensi (diferensia) sesuatu, karena bisa semacam “second opinion”.
jadi masih terdapat berbagai-bagai sifat ‘tersembunyi” (sifat Bangunan keilmuan yang bercorak rasionalis jelas
ghayr zhahirah) yang berhubungan dengan sesuatu, karena berujung pada pembentukan konsep, teori dan semacamnya.
tidak mungkin membuat uraian yang sempurna. Ini merupakan kelebihan sekaligus kelemahan model keilmu-
Tiga syarat pengetahuan Illuminasi, yakni subjek an yang bertumpu pada rumus-rumus manthiqi. Maka logika
yang hadir, objek yang hadir, dan cahaya (nûr), menurut ketuhanan Suhrawardi bisa menjadi alternatif, sebagai suatu
Suhrawardi, menjamin manusia menangkap esensi objek. bangunan keilmuan yang dapat mengantarkan “pengenalan”
Karena esensi objek hadir dalam Kesadaran-Diri subjek pada hakikat objek, termasuk Tuhan.
secara intuitif, atau sebaliknya, Kesadaran-Diri subjek selalu Dalam perspektif Filsafat Ilmu kontemporer, keilmiah-
dalam kesiapan menangkap kehadiran esensi objek. Kondisi an dari bangunan keilmuan atau aktifitas ilmiah pada
demikian ini terjadi dalam terang cahaya ilahi. Kerangka umumnya memang sangat ditentukan oleh ketepatan dalam
keilmuan ini yang disebut proses ta’rif yang memungkinkan penggunaan teori dan pada akhirnya juga metodologinya.
manusia sampai pada ma’rifah (irfan), bukan proses hadd Ketepatan itu dapat diukur dari terbukanya perspektif baru
yang hanya sampai pada ‘ilm atau hanya idrak. Pengetahuan dan perspektif yang lebih luas dari teori sehingga ditemukan
illuminasi memungkinkan manusia mengenal objek, lebih lebih banyak bukti pendukungnya, juga diukur dari ke-
dari sekedar tahu. tahanannya dari proses falsifikasi dan refutasi. Namun demi-
Begitulah struktur fundamental epistemologi Illumi- kian tetap tidak mengabaikan sisi-sisi sosiologis-historis dari
nasi yang bercorak ketuhanan, atau yang memberikan posisi paradigma ilmiah, juga sisi teologis-metafisis dari asumsi
bagi “nalar ketuhanan” sebagai bagian tak terpisahkan dalam dasar. Karena bagaimanapun ketiganya merupakan bagian
proses pembangunan pengetahuan, yang dalam penelitian tak terpisahkan dari bangunan kailmuan. Jika yang pertama
ini disebut “logika ketuhanan”. merupakan basis logika dan objektifitas ilmu pengetahuan,

124 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 125


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Penutup

lalu yang kedua merupakan aspek kemanusiaan dari sains, keberagamaan, tetapi bahkan terhadap kehidupan pada
maka yang ketiga adalah basis keyakinan, keimanan, dan umumnya. Maka bisa dimengerti jika problem keberagamaan
keberagamaan dari ilmu pengetahuan. dan problem kehidupan ini msti bisa dilacak akar-akarnya
Dengan demikian, penelitian ini bisa menjawab pada persoalan corak pengetahuan. Maka pencerahan
persoalan krisis pengetahuan dewasa ini yang berada pada terhadap kerangka berpikir, dan bangunan keilmuan masya-
dominasi paradigma positivistik, yang tidak hanya menafikan rakat mesti menjadi perhatian kita semua, termasuk sektor
asumsi teologis, tetapi bahkan mengeliminasinya. logika pendidikan dan dakwah.
ketuhanan Suhrawardi bisa disebut sebagai satu model
pengembangan ilmu yang memberikan posisi bagi asumsi
teologis atau keimanan akan peran Tuhan dalam proses
keilmuan.
Berdasarkan beberapa temuan penelitian ini, dapat
disampaikan catatan bahwa, dalam perspektif filsafat ilmu,
model epistemologi yang bercorak rasionalistik di satu
sisi dan bercorak positivistik di sisi yang lain, dewasa ini
tampaknya cukup hegemonik dalam proses pengembangan
ilmu atau aktivitas ilmiah pada umumnya. Hal ini terjadi
karena belum tersedianya paradigma alternatif, bahkan
kalau perlu, “paradigma tandingan” sebagai upaya kritik.
Kalaupun ada, suaranya sangat kecil, sehingga perlu terus
diwacanakan, agar public space dalam dunia ilmiah bisa terisi
juga oleh model keilmuan yang lain. Upaya demikian, mesti
dibarengi dengan pembangunan filsafat keilmuan yang
kuat, dengan didukung oleh kerangka metodologis yang
operasional. Sudah tentu, beberapa persoalan ini belum
semuanya terjawab dalam penelitian ini. Maka penelitian
dan kajian seperti ini masih sangat diperlukan, dengan objek
dan perspektif yang lain.
Seperti ditunjukkan pada hasil penelitian ini, bahwa
apapun model atau corak pengetahuan seseorang, langsung
atau tidak langsung memiliki pengaruh, tidak saja terhadap

126 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 127


Indeks

al-‘ilm al-syuhudi dzauqiyyah kasyfiyyah


al-Basthami, Abu Yazid Dzawq
al-Farabi eksistensialisme
al-Ghazali, Imam Episteme
al-Hallaj falsifikasi
Al-Istidlal genus
al-Kindi Hermetisme
al-tajríd Husserl, Edmund
al-Talwihīt Hylemorphy
ana’iyya Ibn ‘Arabi
anwar mujarradah Ibn Rusyd
Aristoteles Ibn Shina
bahtsiyyah nazhariyyah Idrak
Balaghah ilmu hudluri
Barzakh innate ideas
Cartesian Intensionalitas
Corbin, Henry istidlal qiyasi
Descartes Kant, Immnuel
diferensia ma’rifah
Diskursif manthiq

Mohammad Muslih, MA. 129


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi

masysya’i
metafisika
musyīhadah
Nasr, Seyyed Hossein
Organon
Peripatetik
Plato
positivistik
refutasi
Daftar Pustaka
Saintisme
Schimmel, Annimarie
Silogisme
Socrates Abri, Ali, Drs. MA, Pengantar Logika Tradisional, (Surabaya:
tashawwur Usaha Nasional, 1994)
Tashdiq
Achmad, Mudlor, Ilmu dan Keinginan Tahu, (Bandung:
transcendent
Trigenda Karya, 1995)
al-Ahwani, Ahmad Fuad, al-Madrasah al-Falasafiyyah, (Kairo:
al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1965)
Al-Attas, Seyyed Naquib, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung:
Mizan, 1995)
al-Jabiri, Mohammad ‘Abied, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut:
al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993)
al-Jabiri, Mohammed Abied, Takwīn al-’Aql al-’Arabi, (Beirut:
Markaz Dirasah al-Wahdah al-’Arabiyyah, cet. VIII,
2002)
Amein, Miska Muhammad, Epistemologi Islam, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1983)
Angel, Richad B., Reasoning and Logic, (New York: Century
Crafts, 1964)

130 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 131


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Daftar Pustaka

Arkoun, Mohammad, Qadhaya fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa Copi, Irving M., Introduvtion to Logic, (New York: MacMillan
Nafhamu al-Islam al-Yawm?, (Dar al-Thali’ah). Lihat Publishing, 1978)
juga Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Corbin, Henry, (ed.), Majmu’ah Musannafat Shaikh al-Ishraq
Muhammad Arkoun, (Dar al-Thali’ah). Shihab al-Din Yahya Suhrawardi, (Teheran: Anjuman
Armstrong, Karen, The Battle for God, Fundamentalism in Shahanshahay Falsafah Iran, 1397H)
Judaism, Christianity and Islam, (New York: The Corbin, Henry, “Suhrawardi, Shihab al-Din Yahya” dalam
Random House Publishing Group, 2001); buku ini Paul Edwards (ed.), Te Encyclopedia of Philosophy, (New
telah diterjemahkan dengan judul, Berperang Demi York & London: Macmillan Publishing Co., 1967)
Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Corbin, Henry, History of Islamic Philosophy, (London: Kegan
Yahudi, (Bandung: Mizan dan Serambi, 2001) Paul International, 1993)
Bakar, Osman, Tauhid & Sains, terj. Yuliani Liputo, (Bandung: Cox, Harvey, The Secular City: Secularization and Urbanization
Pustaka Hidayah, 1994 in Theological Perspective (New York: The Macmillan
Bernstein, R.J., The New Constelation, (Cambridge: Polity Company, 1967)
Press-Brasil Blacwell Ltd., 1991) Drajat, Amroeni, Filsafat Illuminasi, Sebuah Kajian terhadap
Blosser, Philip, “Kant and phenomenology”, dalam Philosophy Konsep “Cahaya” Suhrawardi, (Jakarta: Riora Cipta,
Today, vol. xxx, no. 2/4, 1986 2001)
Cairns, Dorion, “Phenomenology” dalam Dagobert D. Drajat, Amroeni, Suhrawardi, Kritik Falsafah Peripatetik”,
Runes (ed.), Dictionary of Philosophy, (Totowa, New (Yogayakarta: LKiS, 2005)
Jersey: Littlefeild, Adam & Co., 1976) Edie, James M., Edmund Husserl’s Phenomenology, a Critical
Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban, terj. M. Thoyibi, Commentary, (Bloomington Indianapolis: Indiana
(Yogyakarta: Bentang, 1990) University Press, 1987)
Caputo, John D., “Transcendent and Transcendental in Eliade, Mirciea, The Encyclopedia of Religion, Vol. XIV, (New
Husserl’s Phenomenology”, dalam Philosophy Today, York: Simon & Schuster Macmillan, 1995)
vol. xxiii, no, 3/4, 1979 Elliston, Federick, “Phenomenology Reinterpreted: from
Connant, James B., Modern Science and Modern Man, (Garden Husserl to Heiddeger”, dalam Philosophy Today, vol.
City: Doubleday Co., 1954) xxi, no, 3/4, 1977
Conoly, Peter (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama (Approaches Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, (London:
to the Study of Religion), terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: Longman Group Limited, 1983)
LkiS, 1999) Faucoult, Michel, Diciplin and Punish: The Brith of Prison,
trans. Alan Sheridan, (New York: Peregrine, 1979)

132 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 133


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Daftar Pustaka

Foucault, Michel, The Order of Think: An Archeology of Human Ijsselina, Samuel, “Hermeneutics and Textuality: Question
Sciences, (New York: Vintage Books, 1994) Concerning Phenomenology”, dalam Studies of
Fromm, Erich, Masyarakat yang Sehat, terj. Thomas Bambang Phenomenology and Human Sciences, (Atlantics
Murtianto, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995) Highlands NJ: Humanities Press, 1979)
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, Kant, Immanuel, Critique of Pure Reason, Translated by JMD.
1977) Meiklejohn, (New York: Prometheus Books, 1990)
Giddens, A. (ed.), Positivism and Sociology, (London: Kertanegara, Mulyadhi, “Peran Agama Dalam Memecahkan
Heinemann, 1975) Problem Etniko-Religiu: Perspektif Islam”, makalah
Hamersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: disampaikan pada Seminar Sehari kerjasama Studi
Gramedia, 1983) Perbandingan Agama PPS UGM dengan Jemaat
Ahmadiyah, dengan tema “Reaktualisasi Agama
Hanafi, Hasan, Dirasât Islâmiyyah, (Kairo: al-Maktabah al- dalam Konteks Perubahan Sosial” UGM, Yogyakarta,
Anjlu al-Mishriyyah, tt) 23 Agustus 2001
Hardiman, Budi, “Kritik atas Patologi Modernitas dan Kneller, George F., Logic & language of Education, (New York:
[Post]Modernisme: Habermas dan Para Ahli Waris , 1966)
Neitzsche” dalam Driyarkara, Tahun XIX, No. 2
Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolution,
Hardiman, Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970).
Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa
Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003 Indonesia dengan judul, Peran Paradigma dalam
Hardiman, F. Budi, “Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Diskursus Revolusi Sains, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989)
Modernisme dan Pasca-Modernisme,” dalam Jurnal Langeveld, MJ., Menuju ke Pemikiran Filsafat (terj.), (Jakarta:
Ulumul Qur’an, No.1, Vol. V, 1994 PT. Pembangunan, 1959)
Hardiman, F. Budi, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Lyotard, The Postmodern Condition, A Report and Knowledge,
Usaha untuk Menyelamatkan Subjek” dalam Basis, (Manchester: Manchester University Press, 1984)
Maret 1991
Ma’luf, Louis, Munjid, (Beirut: ,1973)
Heideger, Martin, Die Tecnik und die Kehre, (Plullingen, 1962)
Machasin, “Pendekatan Filosofis”, diktat kuliah Metodologi
Husserl, Edmund, Cartesian Meditation, (The Hague Martinus Penelitian Agama, PPS UIN Sunan Kalijaga, 2007.
Nijhoff, 1960)
Macquarrie, John, Existentialism, (New York: Penguin Books,
Ibrahimi, Muhammad Nur, ‘Ilmu al-Mantiq, (Surabaya: 1977)
Maktabah Said ibn Nashir Nabhan, tt)

134 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 135


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Daftar Pustaka

Mahzar, Armahedi, Merumuskan Paradigma Sains dan Nasr, Seyyed Hossein, The Encounter of Man and Nature,
Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam, (London: George Allen & Unwin Ltd. 1968)
(Bandung: Mizan, 2004) Nasr, Seyyed Hossein, The Islamic Intelectual Tradition in Persia,
Marty, Martin E., “Does Secular Theology Have a Future” (Surrey: Curzon Press, 1996)
dalam The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, (Cambridge:
Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967) Harvard University Press, 1964)
McCall, Raymond J., Basic Logic, (New York: Barnes&Noble, OFM, Alex Lanur, Logika Selayang Pandang, (Yogyakarta:
1966) Kanisius, 1990)
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Poedjawiijatna, Logika, Filsafat Berpikir, (Jakarta: CV. Mutiara
Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, Agung, 1980)
(Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003) Poespoprojo, W., Logika Scientifika, Pengantar Dialektika dan
Nasr, Seyyed Hossein, (ed.), World Sprituality : Islamic Ilmu, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999)
Sprituality Manifestations, Vol. XX, (New York: The Rahman, Budhy Munawar-, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan
Crossroad Publishing Company, 1991) Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2002)
Nasr, Seyyed Hossein, “Pengantar”, dalam Mehdi Ha’iri Randall & Buchler, Introduction to Philosophy, (New York:
Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Barnes and Noble, 1994)
Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994)
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika, Asas-Asas Penalaran
Nasr, Seyyed Hossein, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, Sistematis, (Yogyakarta: Kanisius, 1996)
dalam MM. Sharif, A History of Muslim Philosophy,
(Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963) Ratna, Nyoman Kutha, Estetika, Sastra dan Budaya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Nasr, Seyyed Hossein, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”,
dalam MM. Sharif, A History of Muslim Philosophy, Rayyan, Muhammad ‘Ali Abu, Ushul al-Falsafah al-Ishraqiyyah
(Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963) ‘Inda Shihab al-Din as-Suhrawardi, (Beirut : Dar al-
Talabat al-Arab, 1969)
Nasr, Seyyed Hossein, Pengantar, dalam Mehdi Ha’iri Yazdi,
Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Razavi, Mehdi Amin, Suhrawardi and the School of Illumination,
Islam, (Bandung: Mizan, 1994) (Surrey: Curzon Press, 1997)
Nasr, Seyyed Hossein, Religion and the Order of Nature, (New Sambas, Drs. H. Sukriadi, Mantik, Kaidah Berpikir Islami,
York: Oxford University Press, 1996) (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000 cet ke-3)
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, (New York, Schimmel, Annimarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj.
Toronto&London: New American Library, 1968) Sapardi Djoko Damono, et.al., (Jakarta: Pustaka

136 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 137


Logika Ketuhanan dalam Epistemologi Illuminasi Suhrawardi Daftar Pustaka

Firdaus, 2000) Warnoek, Mary, Existensialism, (Oxford, New York: Oxford


Sharif, M.M. (ed.), History of Muslim Philosophy, Vol. I, (Delhi: University Press, 1989)
Santosh Offset, 1961) Weiss, Allen S., “Marleau-Ponty’s Interpretation of Husserl’
Sholeh, Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Phenomenological Reduction”, dalam Philosophy
Pustaka Pelajar, 2004) Today, vol. xxvii, no. 4/4, 1983
Silva, Antonio Barbosa da, The Phenomenology of Religion as White, Morton, The Age of Analysis, (New York: New
Philosophical Problem, (Swiss: CWK Gleerup, 1982) American Library, 1960)
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta: Zayd, Nasr Hamid Abu, Naqd al-Khitab al-Diny, (Mesir: Sina
Rajawali Press, II/1997) li.al-Nashr, 1994)
Smith, Huston, “Perennial Philosophy, Primordial Ziai, Hossein, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi
Tradition,” dalam Beyond the Post-modern Mind, (New Hikmah al-Ishraq, Terj., (Bandung: Zaman Wacana
York: Crossroad, 1982) Ilmu, 1998)
Smith, Huston., The Forgotten Truth, the Common Vision of the Ziai, Hossein, Knowledge and Illumination: A Study of
World Religion, (Harper San Francisco, 1992) Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia: Brown
Sugiharto, Bambang, “Kebudayaan, Filsafat, dan Seni University, 1990)
(Redefinisi dan Reposisi)” di Kompas
Suhrawardi, “Pengantar Hikmah al-Isyraq”, lihat Apendix
A dalam Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A
Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia, Brown
University, 1990
Suhrawardi, Syihabuddin Yahya, Majmu’ah Mushannafat
Syaykh Isyraq, (Teheran: Anjuman Syahansyahay
Falsafat Iran, 1397 H) Jilid I dan II
Suhrawardi, Syihabuddin Yahya, Majmu’ah Mushannafat
Syaykh Isyraq, (Teheran: Anjuman Syahansyahay
Falsafat Iran, 1397 H) Jilid I dan II
Titus, Harold H., dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. HM.
Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), p. 187-188

138 Mohammad Muslih, MA. Mohammad Muslih, MA. 139

Anda mungkin juga menyukai