Sutan Syahrir (Soetan Sjahrir) lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909 dan
meninggal di Zürich, Swiss, 9 April 1966 pada umur 57 tahun adalah seorang intelektual,
perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia. Beliau juga merupakan satu diantara begawan
revolusi.
Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia
menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Sutan
Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar
Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat
Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Syahrir
bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.
Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang.Syahrir diketahui
membangun jaringan bawah tanah anti-fasis. Karena keyakinan beliau bahwa Jepang tidak akan
memenangkan perang, sehingga mesti mempersiapkan kemerdekaan Indoensia. Syahrir yang
didukung oleh para pemuda mendesak dua tokoh proklamator untuk memproklamirkan
kemerdekaan pada tanggal 15 Agustus, karena Jepang sudah mengalami kekalahan.
Awalnya kabar tersebut belum diketahui oleh Hatta sehingga sesuai rencana awal
kemerdekaan akan di proklamirkan pada 24 September 1945. Agar tidak terjadi persepsi bahwa
kemerdekaan adalah pemberian Jepang, para pemuda akhirnya menculik dua tokoh ini pada
tanggal 16 Agustus. Dan secara resmi pada keesokan harinya Soekarno dan Hatta membacakan
proklamasi pada 17 Agustus 1945.
Pergerakan Syahrir
Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam
pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sutan Syahrir
ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 April 1966
melalui Keppres nomor 76 tahun 1966 Sjahrir adalah a man of paradox dalam berbagai arti.
Tubuhnya kecil dengan tinggi tidak mencapai satu setengah meter, 145 sentimeter, dan berat
badan hanya 45,5 kilogram. Namun di sana tersimpan ocial dahsyat. Inteligensinya
mengagumkan.
Namun atau sebenarnya justru karena inteligensinya yang besar itu dia meninggalkan
studinya di Leiden, Belanda, tanpa berminat sedikit pun untuk menyelesaikannya, sebagaimana
Hatta dan kawan-kawannya yang lain. Tentang ini, dengan enteng dia hanya berkata bahwa
seorang pemegang titel itu hanya “pemegang titel sahadja”, tidak lebih dari itu. Namun
pandangan Sjahrir jauh melampaui masalah sepele ijazah. Sjahrir menukik tajam ke dalam soal
ilmu dan keilmuan ketika dia memberikan jawaban yang paling serius dalam Indonesische
Overpeinzingen (IO):
SJAHRIR adalah satu dari Tujuh Begawan Revolusi Indonesia. Ketujuh orang
ini Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Tan Malaka, Sudirman, dan A.H.
Nasution dalam kadar berbeda menentukan arah dan produk revolusi. Republik Indonesia pada
zaman revolusi, dengan demikian, bukan merupakan akibat dari proses ocial yang impersonal
dan tak terhentikan, melainkan hasil interaksi ribuan orang dan organisasi, kelompok angkatan
bersenjata dan badan perjuangan, politikus nasional dan lokal, ocial a dan oportunisme,
ocial a m dan banditisme, pahlawan dan pengecut. Semua ingar-bingar itu berakhir dengan
ajaib: pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Desember 1949.
Ketujuh pemimpin ini dengan caranya masing-masing berkontribusi bagi jalannya revolusi.
Setelah revolusi, mereka mengalami peruntungan berbeda, aliansi berbeda, dan perimbangan
kekuatan berbeda. (Harry Poeze))
DALAM sejarah Indonesia, Sutan Sjahrir adalah eksponen utama garis ideologis yang
dapat disebut perpaduan antara tradisi ocial demokrasi dan ocial a m. Sebagai ocial ocial a,
ia merupakan tokoh gerakan buruh yang andal pada 1930-an, dan menaruh perhatian amat besar
terhadap masalah pendidikan rakyat. Liberalismenya terlihat antara lain dalam perhatiannya yang
besar pula terhadap masalah perlindungan hak-hak individu dari tirani ocial. Tak mengherankan
bila ia menjadi musuh besar fasisme, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri.
Tidaklah mengejutkan bahwa ocial a yang diperjuangkan Sutan Sjahrir mengalami
rintangan pada masa Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru yang otoriter. Tetapi, Indonesia
sekarang adalah ocial demokrasi, bahkan ocial demokrasi yang paling tegak di seluruh Asia
Tenggara mengingat beberapa perkembangan anti-demokratis di Filipina, dan terutama Thailand,
belakangan ini. Sebagai ocial demokrasi, barangkali kita berharap menemukan para ahli waris
garis ocial a yang diperjuangkan oleh Sutan Sjahrir di antara berbagai kekuatan politik yang
sekarang bersaing secara bebas dan terbuka untuk memimpin Indonesia. (VEDI R. HADIZ)
M. Chatib Basri menyatakan :” SUTAN Sjahrir seperti sebuah kekecualian bagi zamannya.
Mungkin ia terlalu di depan bagi masanya. Ketika nasionalisme adalah tungku yang
memanggang anak-anak muda dalam elan kemerdekaan, Sjahrir justru ocial dengan sesuatu
yang mendinginkan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan nasional tidak final. Tujuan akhir dari
perjuangan politiknya adalah terbukanya ruang bagi rakyat untuk merealisasi dirinya, untuk
memunculkan bakatnya dalam kebebasan. Tanpa halangan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan adalah
sebuah jalan menuju cita-cita itu. Itu sebabnya Sjahrir menganggap nasionalisme harus tunduk
kepada kepentingan demokrasi.”
Pamflet Perdjoeangan Kita ditulis dan diterbitkan pada 10 November 1945, lima hari
sebelum Sjahrir menjadi perdana menteri, bertepatan dengan bentrok fisik para pemuda dengan
tentara Inggris di Surabaya. Hari yang ditandai dengan pekik “Merdeka atau Mati” itu kini
dikenang sebagai Hari Pahlawan. Bagi Sjahrir, peristiwa itu satu contoh Indonesia masih labil
dan lemah. Dengan penuh gelora dan kritik tajam, Sjahrir melukiskan situasi Indonesia di awal
kemerdekaan itu pada bagian pertama Perdjoeangan Kita. Dengan jernih Sjahrir menunjukkan
bahwa kerusuhan, pemecahan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok, serta agitasi kebencian
kepada ras bangsa Jepang akan menimbulkan sebuah kekuatan fasis baru dari dalam negeri
sendiri.
Ia mengkritik, pekik merdeka hanya ocial kosong dari ocial a kebebasan. Proklamasi 17
Agustus 1945 ia hantam sebagai peluang menyusun kekuasaan tapi tak dipakai oleh para
pemimpin karena mereka “terbiasa membungkuk dan berlari untuk Jepang dan Belanda”. Sjahrir
sendiri absen saat Soekarno-Hatta membacakan pernyataan Indonesia merdeka itu. Dalam
sebuah esai yang penting Sjahrir menuntut agar demi perjuangan, seseorang harus bebas dari
perasaan-perasaan yang menghalangi orang berpikir jujur sesuai dengan kebutuhan perjuangan.
Pikiran dan tindakan hendaknya “tidak dikuasai oleh unsur psikologis, melainkan oleh ocia akal
budi dan otak yang sanggup berpikir dan bertindak menurut keadaan dan perubahan”.
Tampaknya ada dialektik antara Sjahrir dan kebudayaan masyarakatnya, dan tuntutan
Sjahrir mungkin hanya separuh benar. Dia lupa bahwa akal harus memperhatikan perasaan, rasio
perlu menimbang psikologi, dan logika bertugas menerangi yang irasional. Kalau tidak, dialektik
itu akan menelan korban, dan, tragisnya, korban itu tak lain dari diri Sjahrir sendiri, dengan
meninggalkan ocial-demokrasi bagaikan yatim piatu.
PENGHARGAAN
1. Bintang Kartika Eka Paksi Nararya
2. Satya Lencana Kesetiaan XVI Tahun
3. Satya Lencana Seroja Ulangan–III
4. Satya Lencana Raksaka Dharma
5. Satya Lencana Dwija Sistha
6. Satya Lencana Wira Karya
7. The First Class The Padin Medal Ops Honor dari Pemerintah Kamboja
8. Bintang Yudha Dharma Nararya