Halaman
Daftar Isi 1
Daftar Pustaka 49
1
INGGIT GARNASIH
Pernahkah Anda mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa “ dibalik
keberhasilan (kesuksesan) laki-laki terdapat peran perempuan di belakangnya”.
Anda boleh setuju atau pun tidak dengan ungkapan tersebut. Akan tetapi
ungkapan tadi akan sangat tepat apabila kita sandingkan dengan sosok yang akan
kita kupas berikut ini yaitu seorang perempuan yang bernama Inggit Garnasih.
Nama Inggit Garnasih banyak dikenal sebagai nama lain dari Jalan Ciateul di
Kota Bandung. Ketika ditanya siapa Inggit Garnasih, jawaban singkat yang
muncul adalah ‘istri Soekarno yang dulu’. Padahal, lebih dari itu, Inggit Garnasih
bukan hanya sekedar istri Soekarno yang kemudian diceraikan karena menolak
untuk dimadu; Inggit Garnasih adalah sosok seorang wanita tangguh dan
penyayang, seorang wanita yang selalu ada untuk Soekarno, bahkan pada masa-
masa tersulit sekali pun. Inggit termasuk sosok yang berperan dalam kehidupan
Soekarno yang mengantarkan pada gerbang kesuksesan sebagai pemimpin besar
bangsa Indonesia. Marilah selanjutnya kita kupas lebih lanjut tentang sosok Inggit
Garnasih pada penjelasan selanjutnya.
2
Garnasih lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya merupakan seorang petani,
akan tetapi bukan seperti kebanyakan. Sejarawan Zakaria (dalam
http://blogs.unpad.ac.id/mumuhmz/2009/01/14/inggit-garnasih) [diakses pada 12
Juni 2013] menuliskan pendapat Tito Asmara Hadi, menantu angkat dari Inggit
dan Soekarno, yang menggambarkan bahwa Ardjipan merupakan sosok yang
disegani di desanya, ia menguga asai ilmu silat dan konon warga desa
mempercayainya memiliki semacam ajian. Sementara itu, ibunya, Amsi,
merupakan sosok seorang ibu yang dapat membesarkan anak-anaknya dengan
baik.
3
dikhususkan bagi lapisan rendah seperti rakyat biasa (Djumhur dan Danasuprata:
1976: 132).
Pihak kolonial Belanda mengelompokkan pendidikan formal kaum pribumi
kelas atas dengan sebutan Sekolah Kelas I. Di sini, siswa-siswanya dididik untuk
menjadi pegawai pemerintah. Mereka belajar membaca, menulis, berhitung, ilmu
bumi, sejarah, dan pengetahuan alam. Sementara itu, Sekolah Kelas II merupakan
golongan pendidikan bagi rakyat biasa, di mana yang dipelajari hanya
kemampuan yang sederhana, yakni membaca, menulis, dan berhitung (Djumhur
dan Danasuprata: 1976: 132). Awalnya, Sekolah Kelas II ini hanya berupa sakola
desa atau volgschool, didirikan oleh para bupati lokal, sehingga sifatnya tidak
formal, namun akhirnya disetujui oleh pemerintah kolonial sebagai salah satu
tingkatan sekolah dasar. Sayang sekali, pada mulanya, mereka yang bersekolah di
Sekolah Kelas II ini hanya tidak dapat melanjutkan studinya karena adanya
kesenjangan pengetahuan dengan sekolah dasar bagi kaum pribumi atas, apalagi
dengan sekolah khusus kalangan Belanda.
Lantas bagaimana golongan sekolah yang ditempuh oleh Garnasih? Seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya, Garnasih bersekolah di Madrasah Ibtidaiyyah,
atau setingkat dengan sekolah dasar dengan penekanan pada corak agama Islam.
Pendidikan Islam kerap kali kurang tersorot pada masa kolonial karena pada saat
itu segala hal lebih diarahkan untuk mengikuti pengaruh dari Belanda. Pada
kenyataannya, jenis-jenis pendidikan yang bercorak Islam telah ada jauh sebelum
pemdidikan a la Barat masuk ke Nusantara, hal ini tentu dipengaruhi oleh
kedatangan Islam itu sendiri. Madrasah Ibtidaiyyah merupakan salah satu
pendidikan Islam yang masih ada pada saat itu. Madrasah sendiri merupakan
bentuk yang paling menyerupai pendidikan formal dengan sistem klasikal.
Sederhananya, jika dilihat pula dari latar belakang keluarganya, pendidikan
Garnasih dapat dikatakan digolongkan seperti Sekolah Kelas II dan dengan corak
Islam yang kental, di mana di sana dididik pula ilmu-ilmu agama Islam.
Ada catatan menarik perihal perempuan dalam dunia pendidikan. Sebagai
tambahan, Nina Lubis mencatat bahwa pada akhir abad ke-19, atau tepatnya pada
tahun 1897, perempuan yang bersekolah di Sekolah Kelas II di Jawa dan Madura
4
hanya berjumlah 713 orang (2006: 94). Tahun berapa Garnasih bersekolah
memang tidak ada sumber yang mencantukan dengan jelas. Akan tetapi, angka
tersebut dapat menggambarkan keadaan sosial kaum perempuan dari kalangan
rakyat yang dapat mengenyam pendidikan di mana pada saat itu masih begitu
rendah. Garnasih adalah salah satu perempuan yang beruntung.
Paparan di atas menunjukkan bahwa Inggrit dibesarkan dalam lingkungan
yang baik. Dikatakan baik di sini dapat dilihat dari keluarganya yang berusaha
membesarkan Garnasih agar dapar bersekolah. Lingkungan pendidikan Garnasih
yang bersifat keislaman juga tentu berpengaruh pada perkembangan budinya.
Kesederhanaan mengajarkannya untuk dapat menjadi orang yang bersahaja. Tidak
bergelimang harta dan sebagai bagian dari kaum pribumi biasa, membuatnya
sadar bahwa di kemudian hari ia tetap harus bekerja keras.
5
ataupun di dalam rumah. Pada kala itu, laki-laki yang bertemu Garnasih kerap kali
memberinya mahugi berupa uang sejumlah satu ringgit. Ketika di dalam rumah,
bahkan ada laki-laki yang nekat melemparkan uang satu ringgit yang dibungkus.
Nuryanti (2007) menuliskan dalam bukunya, jumlah satu ringgit itu berkaitan
dengan perumpaan bahwa saking cantiknya paras Garnasih, ketika ia tersenyum,
ibarat seperti mendapatkan uang sebanyak satu ringgit. Jumlah uang satu ringgit
sendiri adalah jumlah uang yang besar pada kala itu, setara dengan 2,6 gulden.
Hal-hal seperti ini yang kemudian membuat Garnasih diberi julukan ‘Si Ringgit’,
dan lambat laun menjadi panggilan akrabnya, ‘Inggit’.
Dengan begitu, pada modul ini, kita pun kini akan mulai menyebut Garnasih
dengan nama panggilannya yang begitu manis, ‘Inggit’.
6
masyarakat pribumi di wilayah Priangan saat itu. Sudah merupakan sesuatu yang
lumrah jika ada seorang anak gadis yang rumahnya didatangi oleh pria yang
usianya sudah lebih tua guna disunting untuk dijadikan istri. Pria yang berani
seperti itu tentu saja pria yang sudah mapan dan siap untuk menikah. Hal ini bisa
terjadi di kalangan pribumi mana saja. Nina Lubis pada disertasinya yang
diterbitakan menuliskan bahwa perempuan santana (tingkatan di bawah kaum
menak) menikah dengan pria yang lebih tinggi derajatnya guna menaikan status
sosial (Lubis, 1998: 68), dan orang tua wanita somah (rakyat biasa) senang jika
anaknya dijadikan selir oleh kaum menak (Lubis, 2000: 186).
7
seperti pernikahan muda sebagaimana yang telah dijelaskan di atas terjadi pula
pada diri Inggit.
Mardani (dalam http://merdeka.com/peristiwa/inggit-istri-kedua-soekarno-
yang-jadi-rebutan-pria-bandung.html [diakses pada 12 Juni 2013]) melukiskan
kisah cinta Inggit dimulai pada usia yang masih belia, masih pada kisaran belasan
tahun. Diceritakan bahwa Inggit menyukai seseorang yang bernama Sanusi,
mereka memiliki kedekatan tersendiri. Akan tetapi, kemudian Inggit mendengar
Sanusi akan menikah dengan perempuan lain. Inggit yang merasa cemburu
berpikir untuk menikahi orang lain juga saja. Pada tahun 1904, atau pada usia 16
tahun, Inggit dilamar oleh Kopral Residen Belanda, ia bernama Nata Atmadja.
Inggit mengiyakan lamaran itu. Akan tetapi, Inggit segera merasakan
ketidakcocokan dengan suaminya itu. Inggit merenung, barangkali menikah
dengan Nata Atmadja merupakan sebuah keputusan yang terlalu tergesa-gesa dan
tidak matang. Masih di tahun yang sama, Inggit pun bercerai dengan Nata
Atmadja. Inggit menjadi janda di usia yang masih belia.
Pucuk dicinta ulam tiba. Usai perceraian, Inggit kembali menjalin hubungan
dengan cinta lamanya, Kang Uci, panggilan akrab Sanusi. Ternyata Sanusi pun
masih menyimpan hati pada Inggit. Tidak lama berselang, Inggit menikah dengan
Sanusi pujaan hatinya. Sanusi sendiri adalah seorang pengusaha yang tinggal di
wilayah Kota Bandung sekarang ini. Sanusi memiliki usaha bahan bangunan,
menjual kayu, kapur, semen, gudang beras, dan lain-lain (Ramadhan, 2002: 5).
Rumahnya di pusat kota, di daerah Kebon Jati. Sanusi juga merupakan seorang
pria yang aktif dalam perpolitikan saat itu. Sanusi merupakan aktivis Sarekat
Islam (SI). Selain itu, Sanusi juga berteman dengan tokoh SI yang sangat terkenal,
yakni HOS Tjoroaminoto, dari SI Surabaya.
Pernikahan Inggit dengan Sanusi tentu saja berbeda dengan pernikahannya
sebelumnya dengan Nata Atmadja. Tahukah Anda, bagaimana perbedaan kondisi
pernikahan Inggit-Nata dengan Inggit-Sanusi? Pada tabel berikut ini akan
dipaparkan perbedaan pernikahan Inggit- Nata dengan Inggit- Sanusi. Silahkan
Anda perhatikan dengan seksama!
8
INGGIT-NATA INGGIT-SANUSI
Dasar Keputusan menikah dengan Pernikahan dengan Sanusi
pernikahan Nata lebih kepada mencari didasarkan karena memang
pelarian karena cemburu ada perasaan cinta.
dengan hubungan Sanusi
terhadap wanita lain .
Latar belakang Nata bekerja sebagai kopral Sanusi adalah aktivis SI
suami residen Belanda, tentu saja Bandung yang notabenenya
keadaan hidupnya dapat vokal untuk mengkritisi
dikatakan terjamin. pemerinta kolonial pada saat
itu. Bukan sebuah kondisi
yang menjamin keselamatan
tentu saja. Meskipun
demikian, Inggit tidak
berkeluh kesah.
9
Inggit mengikuti Sanusi ke manapun Sanusi pergi. Kala itu tahun 1916,
usianya 28 tahun, diadakan Kongres SI di Bandung. Kongres SI ini disebut
dengan National Congres (NATICO SI). Kongres ini dilaksanakan di Gedung
Concordia, atau yang kemudian menjadi tempat berlangsungnya Konperensi Asia
Afrika tahun 1955, alias Gedung Merdeka. Sementara itu, acara jamuan makan
dilaksanakan di Alun-Alun Bandung. Inggit yang sudah terdaftar sebagai anggota
SI menjadi ketua bagian konsumsi (Ramdhan, 2002: 32). Inggit rupanya
menyiapkan konsumsi bersama dengan kelompoknya yang merupakan guru-guru
dari Sekolah Kautamaan Istri (Suryanegara, 2009: 384), sebuah sekolah
perempuan yang dibentuk oleh Dewi Sartika. Para ibu guru ini rupanya memiliki
kesadaran nasional yang tinggi, hal ini dilihat dari upaya mereka untuk
menyukseskan kongres SI ini. Tim konsumsi menyiapkan banyak sekali makanan
dan minuman bagi para peserta kongres, salah satunya tentu termasuk Agus
Salim, Abdul Moeis, dan Tjokroaminoto, para tokoh SI yang sangat terkenal kala
itu.
Dua tahun kemudian, dilaksanakan kongres SI di Surabaya. Sanusi datang
ke sana dengan membawa Inggit. Di sana, seorang murid dari Tjokroaminoto
memulai pidatonya. Inggit memperhatikan orator muda tersebut. Inggit
menganggap sosok yang sedang berpidato ini memang dapat berpidato dengan
cukup memukau. Seusai acara, Inggit pulang ke Bandung bersama Sanusi. Inggit
mengetahui nama sosok tersebut, namun ia jelas tidak mengetahui bahwa di kurun
waktu yang akan datang, ia akan bertemu lagi dengan orator tersebut. Terlebih, ia
akan menjadi seseorang yang sangat penting dalam kehidupan orator itu. Orator
yang ia temui di Surabaya ini bernama Soekarno.
10
bar pada stigma masyarakat. Meski sudah menkah, Inggit masih berusaha untuk tidak bergantung secara finansial kepada s
eorang kopral residen Belanda, namun ini tidak berlangsung lama. Pernikahan keduanya dengan seorang aktivis Sarekat Isl
enjadi salah satu sanak perempuan yang beruntung karena dapat mengenyam penddikan dasar yang ditempuhnya di Madr
ggit didapatnya ketika ia beranjak dewasa. Nama Inggit berasal dari kata ‘seringgit’, di mana pada saat itu, karena begitu ca
Ringkasan
Evaluasi
Dalam modul ini, Anda dipersilakan untuk menjawab beberapa soal sebagai
evaluasi materi. Jika Anda dapat menjawab 75% dari dari pertanyaan di bawah
ini, maka Anda dipersilakan untuk melanjutkan ke bagian setelahnya. Jika belum,
perdalamlah kembali bagian pertama modul ini.
Kerjakanlah di kertas selembar. Jika sudah selesai, Anda dapat berdiskusi dengan
rekan Anda perihal jawaban dari soal-soal yang ada. Selamat mengerjakan!
11
e. Soreang
12
8. Suami pertama dari Inggit Garnasih bernama ….
a. Nata Atmadja
b. Sanusi
c. Soekarno
d. Kusno
e. HOS. Tjokroaminoto
9. Kehidupan pernikahan Inggit tidak bisa dilepaskan dari tradisi masa itu
yang masih kental dengan perjodohan. Kehidupan pernikahan Inggit yang
diawali dengan upaya perjodohan terjadi dengan suami yang bernama …..
a. Nata Atmadja
b. Sanusi
c. Soekarno
d. Kusno
e. HOS. Tjokroaminoto
II.Soal Uraian
1. Tuliskan dengan singkat mengenai profil Inggit Garnasir, mencakup tempat
tanggal lahir, keluarga, dan pendidikan! Anda dapat pula menuliskan hal-hal
lainnya yang dianggap perlu.
2. Jelaskan makna dari nama Garnasih!
3. Bandingkanlah keadaan perempuan pada masa kini dengan keadaan
perempuan pada zaman Inggit Garnasih, minimal pada tiga aspek!
13
4. Menurut Anda, perlukah perempuan untuk dapat mencari penghasilan
sendiri? Mengapa?
14
II. KISAH ENGGIT-KUSNO
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang penggalan kehidupan Inggit yang
barangkali paling berharga dalam kehidupan Inggit. Ya, kisah tentang bagaimana
kehidupan Inggit bersama dengan Soekarno, sang proklamator kemerdekaan
Republik Indonesia. Pada bagian ini akan dijelaskan sejak dari awal pertemuan
Inggit dengan Soekarno, peran Inggit dalam kehidupan Soekarno sampai pada
akhir kisah antara Inggit dan Soekarno. Silahkan Anda baca dengan seksama
paparan berikut ini !
15
Pada suatu hari, Sanusi menerima sepucuk surat dari Tjokroaminoto. Pak
Tjokro menuliskan bahwa ada murid sekaligus menantunya akan menetap di
Bandung untuk kuliah di Technische Hogere School (THS). Katanya, dia bernama
Soekarno, dan dia membutuhkan tempat tinggal yang sederhana saja selama
menempuh pendidikannya di THS. THS sendiri adalah perguruan tinggi pertama
di Hindia Belanda. THS didirikan pada 1920, dan THS jugalah yang merupakan
cikal bakal berdirinya Institut Teknologi Bandung (ITB) di kemudian hari.
Mulanya Inggit bingung perihal akan ditempatkan di mana Soekarno nanti.
Akan tetapi, Sanusi berkata bahwa Soekarno tinggal di rumahnya mereka saja.
Sanusi berkata akan membanggakan jika ada seorang student (mahasiswa) yang
tinggal di rumah mereka. Maka sepakatlah mereka berdua. Soekarno datang, ia
disambut dengan baik oleh Sanusi dan Inggit. Sanusi terlihat tertarik untuk
mengobrol dengan Kusno, panggilan akrab Soekarno, namun itu hanya terjadi di
permulaannya saja. Selebihnya Sanusi sering berada di luar rumah lagi. Inggit
merasa sedih.
Inggit selain sibuk dengan kegiatan usaha yang sudah ia tekuni sejak lama,
kini ia menjadi seorang ibu kos. Selayaknya ibu kos yang baik, Inggit menyiapkan
hal-hal yang diperlukan oleh Soekarno, seperti membuatkan sarapan dan
minuman. Inggit juga memperhatikan kuliah Soekarno. Inggit sadar Soekarno
punya keinginan besar dan aktif di perpolitikan, namun Inggit tetap mengingatkan
Soekarno agar tetap pada tujuan utamanya saat berada di Bandung ini, yakni
menjadi insinyur. Soekarno pun senang menceritakan berbagai hal kepada ibu
kosnya itu jika sedang ada waktu untuk mengobrol.
Inggit menerima satu tamu lagi setelah kedatangan Soekarno, yakni Utari,
istri Soekarno. Akan tetapi, Inggit melihat hubungan Soekarno dengan Utari
tidaklah harmonis. Pernah pada suatu ketika Soekarno bercerita kepadanya perihal
masalah rumah tangga ini. Saat itu Utari masih berumur 16 tahun, Soekarno
merasa Utari masih terlalu muda dan kekanak-kanakan. Soekarno tidak merasa
sebagai suaminya, melainkan sebagai kakaknya. Hingga pada suatu hari, Utari
tidak tinggal satu kamar lagi dengan Soekarno. Alasannya, karena Soekarno suka
kedatangan teman-temannya di kamar itu.
16
Suatu ketika, Inggit ditanya Soekarno bagaimana untuk menyelesaikan
masalah dengan Utari. Inggit teringat pernikahannya dulu dengan Nata. Inggit
merasakan bahwa menikah muda dan tidak didasari rasa cinta itu serasa kosong
(Ramdhan, 2002: 13). Meski demikian, Inggit tetap menyarankan agar Soekarno
tetap mempertahankan rumah tangganya, terlebih lagi Utari adalah anak
Tjokroaminoto, tokoh besar SI, tidak enak jika nantinya hubungan Soekarno
dengan Tjokroaminoto menjadi tidak baik.
Apa mau dikata, Soekarno sudah merasa tidak nyaman dengan
pernikahannya itu. Pernah ketika Inggit sedang berdua dengan Soekarno,
Soekarno bercerita bahwa ia menikahi Utari untuk menghormati Tjokroaminoto.
Namun, sosok Utari itu bukanlah sosok idamannya. Soekarno mengidamkan
sosok wanita yang dapat menjadi ibu, istri, dan teman baginya. Beberapa saat
kemudian, Soekarno pun mengambil keputusan untuk menceraikan Utari. Ia
memulangkan Utari ke Surabaya dengan baik-baik dan bisa diterima kedua belah
pihak.
Inggit masih dengan keadaan pernikahannya yang lambat laun tidak
membuatnya nyaman. Siang hari Sanusi pergi bekerja, malam hari selepas isya
Sanusi keluar rumah lagi. Inggit merasa kesepian. Sering kali Inggit di rumah
hanya berdua dengan Soekarno. Soekarno menceritakan cita-citanya untuk bangsa
Indonesia. Inggit mendengarkan dan menyemangatinya. Inggit juga tetap
mengingatkan Soekarno agar jangan terlalu larut dalam perpolitikan, utamakan
studi di THS. Inilah yang terus mendekatkan Inggit dan Soekarno satu sama lain.
Hingga akhirnya, pada suatu malam yang hening, Inggit kembali berdua dengan
Soekarno, dan Soekarno pun mengutarakan ketertarikannya pada Inggit. Inggit
tidak bisa berbohong bahwa ketidakhadiran Sanusi dapat sedikit terobati ketika
ditemani Soekarno. Inggit memilili ketertarikan kepada Soekarno. Namun, Inggit
sadar bahwa ia tidak bisa seperti ini terus.
Soekarno dengan baik-baik dan berani membicarakan perasaannya terhadap
Inggit kepada Sanusi. Sanusi akhirnya sadar bahwa selama ini ia memang tidak
ada untuk Inggit. Ia terlalu sibuk mengurusi urusannya sendiri hingga melupakan
istrinya itu. Kemudian, Sanusi berbicara berdua dengan Inggit mengenai hal ini.
17
Sanusi tahu ia tidak lagi dapat membahagiakan Inggit. Sanusi mulai
membicarakan perpisahan dengan Inggit dengan penuh pengertian dan untuk
kebaikan semua pihak. Sanusi rela dan dapat menerima perceraian asalkan Inggit
nanti benar menikah dengan Soekarno, karena Sanusi sadar bahwa Soekarno
benar merupakan laki-laki yang baik dan dapat membahagiakan Inggit. Inggit pun
setuju untuk bercerai dengan Sanusi.
“… Kami adalah keluarga miskin, anakku Inggit sudah janda; lagi pula tidak
terpelajar, tidak sepadan untuk menjadi istrimu. Dan terus terang, saya khawatir,
sebagaimana yang lazim terjadi, perjodohan yang demikian tidak akan
panjang….”
“…karena ada saja yang membuat kau malu. Ada saja yang akan membikin
anakku sakit hati.”
18
Waktu bergulir, menguasai ruang dan waktu. Hanya diam dan sunyi untuk
sementara waktu. Bung Karno harus segera menanggapi kata-kata calon
mertuanya. Ia pun menarik napas panjang sebelum mengeluarkan tanggapan.
“Bapak, semua itu sudah saya ketahui lebih dulu, dan saya tambahkan bahwa saya
pun sudah tahu bahwa Inggit lebih tua lima tahun dari saya….” (Soekarno
berusaha mengecil-ngecilkan bilangan selisih usianya dengan Inggit, demi lebih
meyakinkan calon mertuanya)… “Apakah niat saya kurang suci, walau sudah saya
tahu keadaan semua itu, kemudian saya pikirkan dan akhirnya melamar dengan
sadar?”
19
Pernikahan Inggit dengan Soekarno merupakan sebuah lembaran baru dalam
hidup Inggit. Pada lembaran ini, Inggit dapat melepaskan diri dari keadaan
perempuan Priangan yang selama ini tergambar pada stigma masyarakat umum.
Inggit menjadi seorang perempuan Sunda yang utuh. Gambaran perempuan Sunda
adalah seperti yang dituliskan di bawah ini:
“Dalam masyarakat Sunda, kaum perempuan menduduki posisi yang sangat
penting dan terhormat. Kaum perempuan ditempatkan sebagai pelindung
sekaligus pengasuh yang memandu anak-anaknya. Karena itu pula, kaum
perempuan tidak hanya disebut ‘ibu’, tetapi lebih dari itu, mereka disebut
‘indung’. Indung berarti tak sekedar perempuan yang mengandung dan
melahirkan kita, tetapi indung juga sekaligus memiliki makna tempat berlindung.”
(Aksan, 2007)
Inggit sadar dia begitu berbeda dari Soekarno. Pendidikannya Inggit tidak
setinggi Soekarno, usianya juga tidak lagi muda. Namun, Inggit selalu berusaha
yang terbaik bagi Soekarno. Inggit paham bahwa Soekarno membutuhkan sosok
seorang ibu, istri, dan teman; Inggit siap untuk itu. Inggit akan selalu ada untuk
Soekarno.
20
Usia Inggit Garnasih yang berbeda 12 tahun lebih tua dibandingkan
suaminya, tidak membuat rumah tangga mereka berdua berjalan kaku. Mereka
berdua selayaknya pasangan muda yang saling mendukung satu sama lain. Bisa
dikatakan beliau adalah sosok perempuan dibalik kesuksesan sang proklamator.
Perannya sangat penting, dimana ia membentuk, menampung, dan mengayomi
Soekarno muda yang kala itu tengah berapi-api menjadi seorang pemimpin dan
pejuang tangguh, dan Inggit pula yang serta merta mengantarkannya ke gerbang
kejayaan.
“Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika
dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang
setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah
terbang burung itu sama sekali.” (Sarinah, hlm 17/18 Bung Karno)
21
Adams “Penyambung Lidah Rakyat” berikut ini : "Aku telah mengamati, kalau
engkau membelah dada seseorang, temasuk aku, akan terbaca dalam dadanya
bahwa kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tercapai apabila si istri
merupakan perpaduan dari seorang ibu, kekasih, dan seorang teman. Aku ingin
teman hidupku bertindak sebagai ibuku. Kalau aku pilek, aku ingin dipijitnya.
Kalau aku lapar, aku ingin menyantap makanan yang dia masak sendiri. Kalau
bajuku koyak, aku ingin istriku menambalnya.”
Selanjutnya dalam biografi “Penyambung lidah Rakyat” dapat kita telusuri
bagaimana perasaan Soekarno terhadap Inggit. Seperti dapat disimak dari tulisan
berikut ini :
"Inggit dengan matanya yang besar dan gelang di tangan itu tidak memiliki latar
belakang yang menonjol. Dia sama sekali tidak terpelajar, tetapi bagiku
intelektualisme tidaklah penting dalam diri seorang perempuan. Untukku, yang
menjadi ukuran adalah sifat kemanusiaan. Perempuan ini sangat mencintaiku.
Dia tidak memberikan pendapat. Dia hanya memandang dan memperhatikan,
mendorong dan memuja. Dia memberikan segala sesuatu yang tidak bisa
diberikan oleh ibuku. Dia memberiku cinta, kehangatan, sikap tidak
mementingkan diri sendiri yang kuperlukan dan tidak pernah kuperoleh sejak aku
meninggalkan rumah ibuku".
"Psikater akan mengatakan bahwa ini adalah pencarian kembali kasih sayang
ibu. Mungkin juga, siapa tahu? Jika aku mengawini Inggit karena alasan ini, itu
terjadi secara tidak sadar. Dia waktu itu, dan sampai sekarang, masih seorang
perempuan yang budiman. Pendeknya, kalau dipikirkan secara sadar, perasaan-
perasaan yang dia bangkitkan kepadaku tidak berbeda dengan yang dia berikan
pada seorang anak kecil".
22
Belanda. Bagaimanakah peran Inggit dalam mendampingi Soekarno ? Silahkan
Anda simak penjelasan berikut ini!
Semasa Soekarno terlibat dalam kegiatan politik, Inggit Garnasihlah yang
membiayai segala bentuk kegiatan politik Soekarno, termasuk menjamu semua
tamu Soekarno yang setiap hari datang berkunjung untuk diskusi. Pengabdian
Inggit sebagai istri tercermin saat ia menemani dan menghibur Soekarno yang
tengah kesepian. Inggit mampu memerankan 3 sosok sekaligus, yaitu sebagai
kekasih, kawan dan ibu yang hanya memberi tanpa menuntut balas.
Meskipun menjadi istri kedua, Inggit Garnasih tetap setia mendampingi
Soekarno dalam suka maupun duka. Ia adalah istri yang perhatian terhadap
Soekarno, setiap hari ia mengantarkan makanan, koran, dan uang ketika Soekarno
menjalani hukuman di Penjara Banceuy dan Sukamiskin. Meskipun jarak jauh
harus dilewati dengan berjalan kaki bersama Ratna Djuami (anak angkat Inggit
dan Soekarno) namun kesetiaan Inggit terhadap Soekarno tidak pernah pudar.
Inggit juga tabah mendampingi Soekarno hidup di pengasingan, baik selama di
Ende maupun Bengkulu. Ia menjadi sumber kekuatan bagi kehidupan Soekarno
yang penuh ujian keras.
Untuk memenuhi kebutuhan Soekarno yang haus akan ilmu pengetahuan,
ia berusaha keras menyelundupkan buku-buku untuk Soekarno di dalam penjara.
Lewat buku-buku itu Soekarno bisa menyusun tulisan yang berjudul ‘Indonesia
Menggugat’. Kelak tulisan Soekarno tersebut akan menimbulkan kekhawatiran
dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda terhadap organisasi-organisasi
pergerakan nasional yang dicurigai akan memberontak. Dampaknya, pemerintah
kolonial Hindia-Belanda bersikap reaktif setelah tulisan ‘Indonesia Menggugat’
diterbitkan surat kabar. Pemerintah membubarkan semua organisasi pergerakan
nasional kemudian mengasingkan tokoh-tokohnya dengan tujuan ide-ide
nasionalismenya dapat diredam.
Inggit selalu setia memberikan dukungan pada perjuangan Soekarno,
termasuk mendampinginya saat beliau mengalami masa pembuangan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ke pembuangan di Ende (1934), sebuah
tempat terpencil di Pulau Flores, Inggit setia mendampingi suaminya. Bahkan di
23
tempat pembuangan itu, ibunda Inggit yang bernama Amsi, akhirnya meninggal
dunia dan dimakamkan. Di Ende, Inggit adalah satu-satunya teman bicara dan
diskusi bagi Soekarno.
Pada pembuangan selanjutnya ke Bengkulu (1938), Inggit pun menemani
Soekarno. Dan di Bengkulu inilah prahara rumah tangga mereka mulai meruak
dengan kehadiran Fatimah yang kemudian kita kenal dengan Fatmawati yang
akhirnya dinikahi oleh Soekarno.
Bagaimana kelanjutan hubungan pernikahan Inggit dengan Soekarno?
Penjelasan tentang hal ini dapat Anda simak pada paparan berikut ini :
Setelah sekian lama berumah tangga Inggit Garnasih dan Soekarno tidak
juga dikaruniai seorang anak sehingga mereka mengangkat dua orang anak yang
diberi Ratna Djuami dan Kartika. Dari pernikahan sebelumnya pun, Inggit belum
pernah melahirkan seorang anak dari rahimnya sendiri. Soekarno sudah lama
menantikan seorang anak yang lahir dari rahim Inggit Garnasih namun takdir
berkata lain karena Inggit Garnasih ternyata mandul.
Demi keinginannya itu, Soekarno kemudian berniat meminang wanita lain
yaitu Fatimah yang dikenal sebagai Fatmawati. Peristiwa ini terjadi ketika
Soekarno mencapai puncak kejayaan ketika Indonesia sedang berusaha mencapai
kemerdekaan. Pada tahun 1943 itu, Soekarno menjadi tokoh nasionalisme yang
begitu berpengaruh bagi bangsa Indonesia. Kehadirannya selalu dinantikan rakyat
untuk menyimak pidatonya yang berapi-api. Saat itu, ia berusia 40 tahun
sedangkan Inggit 53 tahun, Inggit mulai terguncang oleh keinginan Soekarno
yang beralibi menginginkan keturunan langsung darinya.
Sampai suatu saat, terucaplah keinginan Soekarno untuk memperistri
sesosok wanita muda bernama Fatimah yang kemudian dikenal Fatmawati.
Padahal Fatmawati sudah dinggap sebagai anak sendiri ketika mereka berada di
pengasingan di Bengkulu. Dengan tegas Inggit mengucapkan, “Itu mah pamali,
ari di candung mah cadu”(itu pantang, kalau dimadu pantang). Setelah melewati
berbagai pembicaraan dan pertengkaran, sampailah inggit pada keputusannya, ia
enggan dimadu dan memilih untuk bercerai dari seorang Soekarno.
24
Perceraian pun akhirnya ditempuh pada 29 Januari 1942 sebagai jalan
terbaik setelah melalui proses pertimbangan dan diskusi dengan beberapa sahabat
Soekarno, yaitu Moh. Hatta, K.H. Mas Mansjur, dan Ki Hadjar Dewantara, yang
sekaligus ikut bertindak sebagai saksi perceraian keduanya.
Soekarno ditemani oleh KH. Mas Mansjur kemudian mengantar Inggit ke
Bandung, mengembalikan kepada pihak keluarga yang disambut dengan dingin.
Inggit kembali tinggal di jalan Ciateul No. 8 (yang sejak tahun 1977 berubah
menjadi Jl. Inggit Garnasih), sedang Soekarno sendiri kembali ke Jakarta.
Kesedihan dan kesengsaraan yang diarungi bersama selama hampir 20
tahun tidak dirasakan buahnya saat Soekarno mencapai gemilang. Ia telah
menuntun Soekarno menuju gerbang. Sampai disitulah tugasnya, kemudian ia
memilih membalikan badan menerima kenyataan tidak ada lagi Soekarno sebagai
pendampingnya. Ia mencoba melanjutkan hidup dengan menjual bedak dan
meramu jamu.
Soekarno pun akhirnya menikahi Fatmawati, yang setelah mencapai
kemeredekaan pada tahun 1945 menjadi First Lady. Namun sampai akhir hayat
pun bisa dipastikan inggit masih menyimpan cintanya yang begitu besar terhadap
Soekarno, termasuk melayat saat Soekarno meninggal dunia. Ia sungguh
perempuan berhati tulus, memberi tanpa meminta dan memberi tanpa pamrih.
Kini kita mengenal Soekarno sebagai negarawan besar yang menjadikan negeri ini
pusat perhatian dunia. Kita mengenal Soekarno sebagai Sang Penyambung Lidah
Rakyat. Namun tanpa Inggit, peran Soekarno takkan bisa sebesar sekarang.
Bisa jadi, Bung Karno tidak bisa menamatkan kuliahnya di THS Bandung,
karena Inggit Garnasihlah yang selalu membangkitkan semangatnya dengan
dukungan moral dan material supaya Bung Karno menamatkan studinya. Bung
Karno mungkin tidak akan berhasil mendirikan PNI pada tahun 1927, karena
Inggitlah yang memfasilitasi pertemuan demi pertemuan para mahasiswa di
Bandung, yang merelakan rumahnya jadi markas tempat menggodog beragam ide
dan pemikiran tentang Indonesia masa depan; bukan hanya menyediakan rumah,
tapi sekaligus menyediakan makanan dan minumannya, karena Inggit berpendapat
“tidak mungkin mereka bisa berpikir bila perutnya lapar”. Bung Karno pun
25
mungkin akan mengakhiri semangat juangnya di balik terali besi penjara Banceuy
dan Sukamiskin. Bung Karno akan mati di Ende Flores karena serangan nyamuk
malaria dan kesepian.
Inggit adalah satu-satunya sosok wanita yang mampu mengisi 3 peran
dalam hidup Soekarno, yakni sebagai ibu, kekasih, dan sahabat. Sastrawan S.I.
Poeradisastra menggambarkan pula peran Inggit dalam Sekapur Sirih roman besar
Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan K.H. “Inggitlah yang memperbesar hatinya,
memberi dorongan, semangat dan harapan kepada Kusno-nya (panggilan Inggit
kepada Soekarno) sayang. Ialah yang menempa seorang pemimpin dari seorang
romantikus pemimpi. Tanpa ditopang Inggit Garnasih, Soekarno akan hilang bagi
pergerakan kemerdekaan nasional ketika ia dibuang ke Endeh. Ia akan hancur
secara jasmani atau menyerah kalah di dalam waktu singkat.” Maka tidak heran
kalau Poeradisastra menyebutkan “… separuh daripada semua prestasi Soekarno
dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam ‘Bank Jasa Nasional
Indonesia.’”
26
bersama anak-anak dan cucu-cucu angkatnya. Tetap dengan menekuni kegiatan
meramu jamu dan membuat bedak serta parem. Bagaimana hubungan Soekarno
dan Inggit tetap terjalin dengan baik dengan beberapa kali Bung Karno datang
mengunjungi Inggit. Hubungan baik ini juga terlihat ketika Inggit menyempatkan
diri untuk melayat mantan suaminya tersebut yang meninggal lebih dulu dari
dirinya. Inggit sendiri meninggal pada usia 96 tahun, tepatnya pada tanggal 13
April 1984, dan dimakamkan di TPU Porib di kawasan Caringin, Bandung.
27
28
Ringkasan
mberanikan diri melamar Inggit pada tahun 1923. Saat itu, usia Inggit 12 tahun lebih tua dibanding suaminya. Inggit adalah pere
ggitlah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ia membiayai rumah tangga dan juga uang kuliah, dengan cara meracik ja
ng. Ia telah menuntun Soekarno menuju gerbang. Sampai disitulah tugasnya, kemudian ia memilih membalikan badan me
Evaluasi
Dalam modul ini, Anda dipersilakan untuk menjawab beberapa soal sebagai
evaluasi materi. Jika Anda dapat menjawab 75% dari dari pertanyaan di bawah
ini, maka Anda dipersilakan untuk melanjutkan ke bagian setelahnya. Jika belum,
perdalamlah kembali bagian kedua modul ini.
Kerjakanlah di kertas selembar. Jika sudah selesai, Anda dapat berdiskusi dengan
rekan Anda perihal jawaban dari soal-soal yang ada. Selamat mengerjakan!
29
c. Kusno
d. Ratna Djuami
e. Sampurna
6. Buku biografi tentang kehidupan Soekarno yang ditulis oleh Cindy Adams
berjudul …….
a. Indonesia Menggugat
b. Di bawah Bendera Revolusi
c. JASMERAH
d. Penyambung Lidah Rakyat
e. Soekarno sang Proklamator
30
b. Bengkulu
c. Digu;
d. Ende
e. Sukamiskin
31
II.Soal Uraian
1. Tuliskan dengan singkat bagaimana kisah awal pertemuan Inggit dengan
Soekarno!
2. Bagaimana peran Inggit Garnasih dalam perjuangan politik yang dilakukan
oleh Soekarno ?
3. Mengapa Inggit Garnasih pada akhirnya memilih berpisah dengan
Soekarno!
4. Apabila Anda menjadi seorang Inggit Garnasih, apakah Anda akan ikut
Soekarno dalam pembuangannya ke daerah terpencil? Mengapa?
32
Kunci Jawaban Soal Pilihan Majemuk
1. B
2. D
3. D
4. D
5. B
6. D
7. E
8. A
9. B
10. C
33
III. PERAN INGGIT DALAM
PERSPEKTIF PERJUANGAN PEREMPUAN
34
35
INGAT!
at bersama feminisme yang bagaimana yang dapat diterima pada budaya kita.
hargai sebagaimana mestinya, bahwa peran perempuan di ruang privat itu tidak kalah penting dengan peran laki-laki di ru
m ruang privat maupun publik. Misalnya, kesempatan mendapatkan pendidikan, kesempatan untuk berkerja, dan sebagainy
nya dan menelantarkan anak-anaknya sehingga keluarga kacau balau. Bagaimana pun, perempuan adalah guru pertama ba
aum laki-laki juga harus tetap melakukan kewajibannya, jangan menjadikan feminisme ini sebagai kesempatani untuk mele
perihal perannya masing-masing.
pemimpin, namun secara struktural laki-laki dan perempuan haruslah sejajar
dirinya. Padahal, meskipun secara fungsional peran laki-laki adalah sebagai
memandang rendah perempuan yang hanya diam di rumah dan bergantung pada
dan sebagainya. Laki-laki yang tidak menghargai peran privat perempuan kerap
di mana ia tampil di tengah-tengah masyarakat, mendapat pendidikan, bekerja,
Kebutuhan wanita untuk mengaktualisasikan dirinya merupakan suatu hal
yang harus dilakukan. Perempuan harus dibekai dengan pendidikan yang
memadai untuk mengurus dirinya sendiri, dan untuk keluarga ke depannya.
Pendidikan bagi wanita bukan saja perihal masalah privat atau publik. Kita bisa
melihat dari kodrat wanita yang dapat hamil, melahirkan, dan menyusui.
Katerhubungan dengan kodrat wanita ini menjadikan perempuan mau tidak harus
menjadi sosok yang cerdas.
Di bawah ini merupakan tulisan Siti Sundari, seorang redaktris majalah
wanita ‘Wanito Sworo’, yang dibuat pada tahun 1914.
“Seorang ibu adalah guru bagi anak-anaknya, baik yang laki-laki maupun
yang perempuan. Ibulah yang pertama-tama mengajar mereka berbicara
meenunjukkan apa yang baik melarang berbuat jahat dan selalu membiming sejak
kecil. ... Dengan demikian seorang ibu adalah guru. ... Akan tetapi kalau si ibu
seorang bodoh, maka ajaran-ajaran baik itu dan keinginan-keinginannya yang
banyak itu tidaklah meresap ke dalam hati anak-anaknya. ... Jadi jelaslah sudah,
bahwa seorang ibu haruslah cakap dalam seni mengajar dan mengasuh anak-anak.
Dari mana akan diperdapatnya pengetahuan itu? Dari mana lagi, kalau tidak dari
sekolah, bukan?” (Sundari, 1978: 124)
36
tambahan yang melengkapi hidup laki-laki. Tidak banyak ditemui tulisan yang
benar-benar mengangkat perempuan sebagai tokoh sejarah.
Fatimah (2008, 385-386) menuliskan dua alasan khusus perihal kurangnya
penulisan sejarah perempuan. Pertama, paradigma tentang sejarah perempuan
bahwa perempuan ada pada ranah domestik (privat), sementara urusan keilmuan
merupakan ranah publik yang menjadi ranah pria. Di sini berarti ada kesan tidak
begitu perlu untuk menulis sejarah tentang perempuan. Kedua, kalau pun ada
yang hendak menulisnya, hal ini terbentur pada tahapan penelitian ketika
pencarian sumber. Urusan perempuan yang merupakan urusan privat membuat
dokumen atau catatan masa lalu yang berkaitan akan hal itu sulit didapatkan.
Di pihak lain, sejarawan Asvi Warman Adam (dalam Rumadi dan
Fathurahman, 2010: 19) menyampaikan bahwa sejarah Indonesia banyak ditulis
oleh laki-laki dan mereka kurang memberi ruang pada kelompok perempuan. Pada
era sekarang ini ketika perempuan telah mulai banyak tampil di ruang publik,
dibutuhkan dorongan lebih agar sejarawan perempuan menulis mengenai
kaumnya sendiri.
Penulisan sejarah dengan penempatan perempuan sebagai tokoh utama
masih tidak lepas dari pengaruh feminisme yang ingin mengangkat tentang
perempuan agar dipandang pula dalam dunia ilmiah akademik yang dahulu hanya
bersifat publik. Di Indonesia, penulisan sejarah wanita ini merupakan hal baru.
Tema penulisan ini baru dikenal di akhir abad ke-20, dan diberi tempat pada awal
abad ini. Penulisan sejarah perempuan sendiri digolongkan pada kategori
penulisan sejarah sosial (Kuntowijoyo, 2003: 115). Kategori ini banyak
mengangkat peran-peran sosial tertentu yang biasanya dianggap sebagai bagian
sub-marjinal.
Kini, mari kita kaji bersama bagaimana perjuangan Inggit Garnasih selaku
seorang ibu rumah tangga, istri, sekaligus pelindung bagi Soekarno.
37
memperlihatkan peran laki-laki yang begitu dominan, meskipun sesungguhnya
membicarakan laki-laki tanpa mengikutsertakan wanita merupakan suatu hal yang
tidak adil atau berat sebelah (Winarti, 2007: 255).
Mari kita memandang Inggit Garnasih bukan sekadar sebagai pendamping
Soekarno, lebih dari itu, Inggit adalah sosok yang membuat Soekarno hingga
sedemikian berpengaruhnya dalam sejarah Indonesia. Tidak heran kemudian saat
sejarawan Mumuh. M. Zakaria (dalam
http://blogs.unpad.ac.id/mumuhmz/2009/01/14/inggit-garnasih) [diakses pada 12
Juni 2013] menyebutkan peran Inggit dengan menggunakan pengandaian dalam If
Theory sebagai berikut:
“Seandainya Bung Karno tidak pernah menikahi Inggit Garnasih, bisa jadi
Bung Karno pun bukan siapa-siapa. ... Bisa jadi, Bung Karno tidak bisa
menamatkan kuliahnya di THS Bandung, karena Inggit Garnasihlah yang selalu
membangkitkan semangatnya dengan dukungan moral dan material supaya Bung
Karno bisa menamatkan studinya. Bung Karno mungkin tidak akan berhasil
mendirikan PNI tahun 1927, karena Inggitlah yang memfasilitasi pertemuan demi
pertemuan para mahasiswa di Bandung, yang merelakan rumahnya jadi markas
tempat menggodog beragam ide dan pemikiran tentang ndonesia masa depan;
bukan hanya menyediakan rumah, tapi sekaligus menyediakan makanan dan
minumannya, karena Inggit berpendapat ‘tidak mungkin mereka bisa berpikir jika
perutnya lapat’. Bung Karno pun mungkin akan mengakhiri semangat juangnya di
balik terali besi penjara Banceuy dan Sukamiskin. Bung Karno akan mati di Ende
Flores karena serangan nyamuk malaria dan kesepian.”
Dari uraian singkat di atas, kita sudah dapat melihat peran Inggit dalam
berbagai bidang kehidupan. Bandingkan dengan stigma yang berkembang di
masyarakat kala itu yang mengatakan bahwa perempuan hanya sebagai manusia
tambahan dari laki-laki! Ketika stigma sudah melekat pada masyarakat, maka hal
itu sudah menjadi sebuah konsensus tersendiri. Ketika stigmanya adalah
perempuan bergantung pada laki-laki, maka keadaan sosial yang ada pun
dipengaruhi oleh stigma tersebut, dan sayangnya hal itu banyak diterima begitu
saja. Inggit bukanlah perempuan seperti yang dicerminkan oleh stigma
masyarakat mengenai wanita secara umum saat itu. Inggit dengan prinsipnya
menolak stigma tersebut dengan tindakan-tindakan nyata, ditunjukkan dengan
38
bahwa ia mampu tampil di ruang publik. Jauh sebelum feminisme itu datang
sebagai sebuah gerakan yang masif, Inggit telah melakukan banyak hal yang
mencerminkan emansipasi perempuan.
Faktor lingkungan dekat Inggit juga nampaknya merupakan lingkungan
yang dapat mendukung Inggit berkembang. Dapat dikatakan bahwa lingkungan
keluarga Inggit mendukung mengembangan diri Inggit, hal ini dapat dilihat dari
disekolahkannya Inggit. Sanusi pun rupakan laki-laki yang pengertian, dia tidak
memaksakan untuk terus bersama Inggit di penghujung pernikahannya, ia dengan
hati terbuka dapat melepaskan Inggit. Begitu pun Soekarno, sudah jelas bahwa
Soekarno dapat menghargai perempuan. Soekarno dengan pendidikan yang tinggi
sudah selayaknya dapat menghargai perempuan dengan sangat baik.
Mari kita uraikan bersama, apa-apa saja bentuk perjuangan Inggit yang telah
dilakukan.
BENTUK PERJUANGAN
Kualitas seseorang di luar rumah tentu saja ditentukan oleh
Rumah Tangga
39
Sejak masih bersama Sanusi, Inggit telah sadar betul bahwa
perempuan jangan melulu bergantung pada laki-laki. Oleh karena
itu, Inggit membiasakan diri melakukan usaha kecil-kecilan guna
menambah pemasukan keuangannya. Kesadaran bahwa perempuan
Ekonomi
harus dapat mandiri inilah yang jarang ditemui pada masa itu.
Namun, Inggit telah berhasil melakukan tersebut. Bahkan ketika
keadaan ekonomi keluarga pas-pasan ketika bersama Soekarno,
ialah yang banyak berperan dalam pembiayaan rumah tangga.
Bayangkan jika Inggit adalah tipe perempuan yang bergantung pada
suami,Inggit juga mengembangkan
tentu keadaan finansisal rumah dirinya
tangganyaketika bergabung
tidak akan lebih
menjadi anggota SI dan menjadi ketua bagian konsumsi bersama
guru-guru sekolah Kautamaan Istri yang dibentuk oleh Dewi
Politik
40
“Aku orang Banjaran dari keluarga yang pantangannya adalah dimadu dalam
keadaan bagaimanapun…Sudah aku jelaskan, kalau mau mengambil dia,
ceraikanlah aku! Aku pantang dimadu!” (hal 405)
Pahlawan Perempuan
Dari 156 pahlawan nasional yang ada di Indonesia, hanya 12 orang yang
berjenis kelamin perempuan. Perempuan-perempuan tersebut adalah Cut Nyak
Din, Cut Mutia, Kartini, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, Walanda
Maramis, Nyai Ahmad Dahlan Nyi Ageng Serang, Hajjah Rangkayo Rasuna Said,
Tien Soeharto, Fatmawati Soekarno, dan Opu Daeng Risadju (Adam, 2012: 199-
2000). Ini merupakan komposisi yang tidak begitu ideal. Tentu saja, kesenjangan
ini terjadi karena diangkatnya tokoh wanita pun masih kurang.
Modul sejarah tentang wanita yang ada di tangan Anda ini, sejarah tentang
Inggit Garnasih ini, selayaknya menjadi awal baru bagi disorotnya peran wanita
41
dalam perjalanan sejarah Indonesia. Mengharapkan Inggit untuk dijadikan
pahlawan nasional barangkali bukanlah keinginan yang muluk. Namun, yang
paling penting adalah bagaimana lebih menghargai perjuangan Inggit Garnasih,
dan sosok perempuan lainnya..
Inggit memang bukan perempuan yang tampil langsung mengahadapi pihak
penjajah seperti Cut Nyak Din atau Cut Mutia, bukan perempuan yang sampai
bisa membuat sekolah seperti Raden Dewi Sartika, bukan juga perempuan yang
terjun langsung ke kancah perpolitikan. Inggit berjuang dengan cara dan jalannya
sendiri. Inggit Garnasih sungguh menjadi seorang perempuan yang hegar dan
asih, sesuai namanya, menghidupi dan memberikan kasih sayang setulus hatinya
untuk kehidupannya, terutama untuk terus mendukung Soekarno dan memastikan
pria ini benar dapat memimpin Indonesia. []
Evaluasi
adalah sosok yang membuat Soekarno menjadi seorang figur besar seperti yang dikenal orang selama ini. Tanpa adanya Ing
. Padahal, pada saat itu, stigma yang berkembang di masyarakat adalah bahwa perempuan adalah makhluk yang bergantun
arakat. Kedudukan perempuan pada ranah privat seharusnya tidak menjadikan ia sebagai golongan di bawah laki-laki. Tug
Ringkasan
42
Dalam modul ini, Anda dipersilakan untuk menjawab beberapa soal sebagai
evaluasi materi. Jika Anda dapat menjawab 75% dari dari pertanyaan di bawah
ini, maka Anda dipersilakan untuk melanjutkan ke bagian setelahnya. Jika belum,
perdalamlah kembali bagian pertama modul ini.
Kerjakanlah di kertas selembar. Jika sudah selesai, Anda dapat berdiskusi dengan
rekan Anda perihal jawaban dari soal-soal yang ada. Selamat mengerjakan!
43
4. Inggit Garnasih melakukan banyak hal yang mencerminkan emansipasi
perempuan, diantaranya beliau menjangkau kehidupan di ranah publik ketika
berperan sebagai ….
a. Pendamping Soekarno
b. Pengusaha
c. Istri Sanusi
d. Anak
e. Ibu kos
6. Inggit bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, akan tetapi dia mampu
menunjukkan keterampilan di bidang informal yang bahkan keterampilannya
mampu menopang kehidupan rumah tangganya. Peran Inggit tersebut dapat
dikategorikan sebagai bentuk perjuangan pada ranah …..
a. Rumah Tangga
b. Politik
c. Psikologi
d. Pendidikan
e. Ekonomi
44
b. HOS. Tjokroaminoto
c. Nata Atmadja
d. Sanusi
e. Soekarno
9. Peran Inggit yang tidak hanya berperan sebagai istri melainkan juga pencari
nafkah bagi keluarga digambarkan dengan istilah …..
a. Istri Binangkit
b. Hegar Asih
c. Sarinah
d. Penyambung Lidah Rakyat
e. Kautamaan Istri
10. Berapakah jumlah pahlawan perempuan yang sampai saat ini tercatat sebagai
pahlawan nasional ?
a. 156
b. 165
c. 12
d. 21
e. 7
45
1. Jelaskan dua faktor yang menyebabkan masih kurangnya penulisan sejarah
mengenai perempuan!
2. Uraikanlah minimal tiga bentuk perjuangan yang telah dilakukan Inggit
selama hidupnya yang mencerminkan contoh emansipasi wanita!
3. Menurut pendapat Anda, bagaimana kedudukan ibu rumah tangga jika
dilihat dari sisi emansipasi wanita?
46
Kunci Jawaban Pilihan Majemuk
1. A
2. D
3. B
4. B
5. A
6. E
7. D
8. B
9. A
10. C
47
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Adam, A.M. (2012). Menyingkap Tirai Sejarah: Soekarno dan Kemeja Arrow.
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Djumhur, I, dan Danasuarta, H. (1976). Sejarah Pendidikan. Bandung: CV ILMU.
Fatimah, S. (2008). “Perspektif Gender dalam Historiografi Indonesia: Pentingnya
Penulisan Sejarah Androginous” dalam Titik Balik Historiografi Indonesia.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan Departemen Sejarah FIB UI.
Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah (Edisi Kedua). Yogyakarta: PT Tiara
Wacana Yogya.
Lubis, N.H. (1998). Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung:
Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
--------------. (2000). Tradisi & Transformasi Sejarah Sunda. Bandung:
Humaniora Utama Press.
--------------. (2006). 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat. Bandung: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Penelitian UNPAD.
Nuryanti, R. (2007). Biografi Inggit Garnasih: Perempuan dalam Hidup
Soekarno. Yogyakarta: Ombak.
Ramadhan, K.H. (2002). Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Inggit dengan
Soekarno. Bandung: PT Kiblat Buku Utama
Rumadi dan Fathurahman, W.K. (2010). Perempuan dalam Relasi Agama dan
Negara.Jakarta: Komnas Perempuan.
Soekarno. (1963). Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik
Indonesia. Jakarta: Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden
Soekarno.
Sundari, S. (1978). “Orang Jawa Tidak Akan Lekas Maju, Kalau Kaum
Wanitanya Tetap Bodoh” dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Supardan, D. (2007). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan
Stuktural. Jakarta: Bumi Aksara.
Suryanegara, A M. (2009). Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
Stuers, C.V. (2008). Sejarah Perempuan Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
48
Winarti, M. (2007). “Sejarah Wanita di Tingkat Lokal” dalam Sejarah Lokal:
Penulisan dan Perkembangan di Sekolah.
Sumber Internet:
Mardani. (2013). Inggit, Istri Kedua Soekarno yang Jadi Rebutan Pria Bandung.
[Online]. Tersedia: http://merdeka.com/peristiwa/inggit-istri-kedua-
soekarno-yang-jadi-rebutan-pria-bandung.html [12 Juni 2013]
Zakaria, M.M. (2009). Inggit Garnasih. [Online]. Tersedia:
http://blogs.unpad.ac.id/mumuhmz/2009/01/14/inggit-garnasih [12 Juni
2013]
Sumber Surat Kabar:
49
BIOGRAFI
INGGIT GARNASIH
OLEH
Yeni Kurniawati Sumantri, S.Pd, M.Pd
50