Anda di halaman 1dari 13

Bab 2 Modernisasi dimulai dari ‘belajar manner’

Pada tahun 1858, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia dan Belanda berhasil memaksa
pemerintah Jepang (rezim Tokugawa) untuk menandatangani perjanjian dagang. Berdasarkan
perjanjian, warga negara dari 5 negara tersebut juga diizinkan untuk tinggal di sejumlah kota di
pesisir Jepang. Dengan demikian, sejak tahun 1859, orang-orang Amerika dan Eropa mulai tinggal
di Jepang.

Ketika kelompok masyarakat dari latar belakang budaya dan adat yang berbeda harus
tinggal di wilayah yang sama, biasanya pasti akan timbul friksi. Demikian juga di kota-kota di
pesisir Jepang pada sekitar tahun 1860. Orang-orang Amerika dan Eropa mengeluh, betapa orang-
orang Jepang tidak beradab: baik anak-anak maupun orang dewasa buang air (air besar maupun
air kecil) sembarangan di pinggir jalan di siang bolong; di musim panas, warga seenaknya
seliweran di jalan umum dalam kondisi setengah telanjang, laki-laki dan perempuan dalam kondisi
telanjang bulat mandi di bak mandi yang sama di tempat pemandian umum (waktu itu hampir
semua rumah pribadi tidak ada kamar mandi), laki-laki dan perempuan bercumbu dengan vulgar
di depan umum, tong-tong terbuka (tanpa tutup) berisi kotoran manusia diangkut di jalan raya, dan
sebagainya.

Untuk memperbaiki citra Jepang di mata orang asing (=Barat), pemerintah Meiji (berdiri
tahun 1868) menetapkan agenda pembangunan nasional BUNMEI KAIKA, yang secara harafiah
berarti ‘membangun masyarakat yang beradab.’

Konkritnya, pada tahun 1871, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Larangan


Telanjang di Tempat Umum. Pada tahun 1872, pemerintah kota Tokyo mengeluarkan ‘Peraturan
mengenai Sanksi Pelanggaran’ (Ishiki Kaii Jourei). Selanjutnya, sejak tahun 1873, pemerintah
kota-kota lain juga mengeluarkan Peraturan yang serupa. Jenis pelanggaran serta hukuman dan
denda untuk masing-masing pelanggaran tercantum dengan jelas (lihat tabel 1).

Tabel 1 Jenis pelanggaran serta hukuman dan denda, berdasarkan Ishiki Kaii Jourei

Pelanggaran yang dapat dikenai sanksi Kelalaian yang dapat dikenai sanksi denda
denda atau cambuk atau kurungan
Mengganggu Menyerobot jalan umum di depan rumah Melintas dengan kereta kuda di jalan yang
lalu lintas Mengebut dengan kereta kuda dan sempit
menabrak orang lain sampai jatuh Melintas dengan kereta kuda di malam hari
tanpa menyalakan lampu
Melintasi jalan umum dengan kereta Mengebut dengan kereta kuda sehingga
kuda tanpa menyalakan lampu mengganggu kepentingan umum
Merusak lampu jalan Memarkirkan kereta kuda, becak atau
Melintas dengan kereta kuda di jalan gerobak di jalan umum
yang dilarang melintas Mengganggu ketertiban umum ketika
Menaruh pot tanaman atau kotoran di mengoperasikan gerobak atau becak
jalan Memadamkan lampu jalan
Mengganggu arus lalu lintas dengan Melintasi sawah
alasan upacara keagamaan Mengganggu lalu lintas dengan gerobak
atau becak
Menaikkan layang-layang ukuran besar
(dan tersangkut kabel tiang listrik)
Mabuk-mabukan
Melepas hewan ternak di luar tempat
peternakan
Merusak plang penunjuk jalan dengan
mengikat ternak di tiang
Menambatkan perahu ke tiang atau
jembatan
Mengganggu Dengan sengaja menjual barang palsu Membuang bangkai unggas atau ternak
kesehatan dan atau makanan busuk atau kotoran lainnya di jalan
sanitasi umum Dengan sengaja menjual daging dari sapi Mengangkut kotoran manusia dengan tong
yang mati karena sakit tanpa tutupan
Membuang puing ke sungai atau selokan
Menangkap ikan atau unggas dengan
menggunakan racun
Menguliti sapi atau kuda mati di jalan
umum
Melanggar tata Memperjualbelikan lukisan porno Perempuan memotong rambut tanpa izin
susila (telanjang)
Membuat tatto
Mengoperasikan tempat pemandian
umum dengan tempat mandi laki-laki dan
perempuan tidak dipisahkan
Laki-laki dan perempuan bergulat di
depan umum serta memperlihatkan
tontonan lain yang vulgar
Melanggar Memberi penginapan kepada orang asing Mengoperasikan tempat penginapan tanpa
ketertiban tanpa lapor izin dan tanpa registrasi
umum Memberikan penginapan kepada orang
asing di daerah pemukiman orang Jepang
tanpa izin
Merusak atau mengotori tempat
pengumuman
Melanggar Menunggak pajak
ketentuan Masuk ke hutan milik negara tanpa izin
pemerintah Menggunakan penerang jalan milik
negara tanpa izin
Merusak tanaman di hutan milik negara
maupun milik swasta
pelanggaran Merusak batu nisan pada makam orang Corat coret di dinding kuil Budha atau kuil
terkait tempat lain Shinto
ibadah Merusak benda-benda pada kuil Budha
maupun kuil Shinto
Pelanggaran Bermain api di tempat pemukiman padat Menyalakan api di hutan dan padang
terkait penduduk rumput
pencegahan Pihak luar yang berkuda melintasi tempat
kebakaran kebakaran
Pelanggaran Mengambil rumput laut di lokasi usaha Mengganggu orang lain yang menangkap
terkait usaha milik orang lain tanpa izin ikan
dan harta Memasang alat penangkapan ikan di Merusak peralatan bambu atau kayu milik
lokasi milik orang lain atau di lokasi yang orang lain
dilarang menangkap ikan Mengganggu orang lain yang berburu
Mengalirkan air sawah dari lokasi milik Merusak pagar milik orang lain
orang lain atau milik paguyuban tanpa Mengemplang ongkos perahu
izin penyeberangan sungai
Memetik tanaman dari kebun milik orang Merusak sesajen pada makam orang lain
lain tanpa izin Merusak jaring ikan milik orang lain
Menggali di bantaran sungai atau sawah Masuk ke area penangkapan ikan milik
milik orang lain tanpa izin orang lain tanpa izin
Mengambil rumput untuk ternak dari
desa lain atau lokasi milik orang lain
tanpa izin
Membentuk paguyuban kusir atau kuli
dan menghalangi usaha orang lain
Menggunakan perahu milik orang lain
tanpa izin
Pelanggaran Mengganggu orang lain yang sedang Merusak papan nama dan sebagainya
terkait dengan melaksanakan pesta pernikahan dan Membuat keonaran setelah bertengkar atau
kehidupan sebagainya, baik di jalan umum maupun berkelahi
bermasyarakat di rumah Melempari orang lain dengan kotoran atau
batu
Lalai sehingga sapi atau kuda masuk ke
rumah orang lain
Membujuk anjing untuk menyalak ke
orang lain
Ikut nimbrung dalam pertengkaran pihak
ketiga
Memalak orang lain di jalan
Menyuruh anjing untuk menyerang hewan
peliharaan orang lain
Pelanggaran Memasang tarif yang tidak wajar untuk
aturan niaga jasa penyeberangan sungai dengan perahu,
sengaja mengganggu kelancaran
penyeberangan sungai
Kusir atau pemilik rumah penginapan
menarik tamu dengan paksa
Pelanggaran Merusak tempat penjemuran ikan
lain Merusak tempat penjemuran rumput laut
Merusak irigasi
Merusak atau mencabut pondasi bangunan
Merusak pohon-pohon di pinggir jalan
Merusak kincir air
Membuang puing ke sawah dan ladang
Merusak pohon dan tanaman di taman dan
di pinggir jalan
Melempari pohon-pohon di pinggir jalan
dengan alas kaki dan sebagainya
Sumber: Kunio Haruta. A Research of Ishiki Kaii ordinance –The conflict of Westernization and the common
people’s life in Japan- In: Bulletin of Beppu University Junior College, no. 13 (1994)

Dan oleh karena rakyat Jepang waktu itu sebagian besar adalah buta huruf, maka teks
undang-undang tersebut juga dilengkapi dengan gambar. Misalnya, pasal 49 dan pasal 50,
mengenai larangan buang air di tempat umum, disertai dengan gambar berikut ini:

Memasuki tahun 1880an, konsolidasi politik nasional mulai menunjukkan hasil nyata,
gerakan radikal anti pemerintah berhasil diredam1, dan mulai terbangun konsensus nasional untuk
bersama-sama membangun Jepang menjadi negara yang kuat vis a vis negara-negara Barat, dan
membangun Jepang menjadi negara yang lebih unggul dibandingkan dengan negara-negara Asia
lainnya.

1
Sebelumnya, kelompok oposisi menuduh pemerintah otoriter karena memerintah tanpa konstitusi. Pemerintah
menanggapi dengan janji akan menyusun dan mengesahkan konstitusi .
Kendala utama yang dihadapi Jepang untuk menjadi setara dengan negara-negara Barat
waktu itu, adalah pasal-pasal di dalam 5 perjanjian perdagangan, yang ditandatangani oleh
pemerintah sebelumnya (rezim Tokugawa) dengan 5 negara Barat. Dalam perjanjian-perjanjian
tersebut dicantumkan bahwa warga dari 5 negara tersebut memiliki hak kekebalan politik selama
berada di Jepang; artinya, jika melakukan pelanggaran, tidak dapat dijerat dengan undang-undang
di Jepang, karena Jepang belum dianggap sebagai negara yang beradab.

Oleh karena itu, pemerintah maupun para tokoh oposisi sepakat untuk lebih proaktif
mengubah ‘adat’ masyarakat Jepang, mengarahkan masyarakat luas agar ‘membuang adat
tradisional yang tidak beradab’ dan menggantikannya dengan adat yang ‘beradab’ = adat Barat.

Pada akhir dekade 1880an, di berbagai tempat di Jepang dibentuk asosiasi reformasi adat
(fuzoku kairyo), dengan tujuan sosialisasi adat baru yang ‘beradab.’ Misalnya, pada tahun 1890,
Asosiasi Reformasi Adat Jepang (Dainippon Fuzoku Kairyokai) cabang Osaka, mengagendakan
pembahasan mengenai pemindahan kawasan pelacuran ke luar kota Osaka. Dalam asosiasi
tersebut terdapat anggota bernama Dohi Masataka, yang karyanya akan dibahas di bawah ini.

Salah seorang tokoh yang paling aktif dalam kampanye pentingnya reformasi adat, adalah
Itagaki Taisuke, pemimpin partai oposisi yang sebelumnya paling lantang mengecam pemerintah
sebagai otoriter. Itagaki sadar bahwa fakta di lapangan, yaitu Jepang sebagai negara yang lemah,
terkebelakang dan diremehkan oleh negara-negara Barat, tidak akan berubah hanya dengan
menjatuhkan pemerintah yang otoriter; bahwa Jepang hanya akan bisa menjadi negara yang kuat,
jika rakyatnya berubah dari ‘tidak beradab’ menjadi ‘beradab.’2

Kampanye Itagaki didukung oleh Saigo Tsugumichi, seorang jenderal angkatan laut. Pada
tahun 1900, para tokoh reformasi membentuk Asosiasi Reformasi Adat Nasional (Chuo Fuzoku
Kairyokai), dengan Saigo sebagai ketua. Para anggota organisasi tersebut adalah tokoh-tokoh kelas
menengah, termasuk kaum perempuan, yang pernah berkunjung atau studi di Amerika atau Eropa,

2
Itagaki Taisuke menulis dalam surat kabar yang terbit di daerah asalnya, prefektur Kochi (di pulau Shikoku, Jepang
selatan), bahwa di dalam kereta api di Jepang sering dijumpai penumpang yang telanjang dada dan mabuk-
mabukan, sampai menjadi tontonan publik; ada bapak2 berpakaian rapi, tapi bercumbu dengan pelacur di depan
umum; banyak penumpang yang bertengkar atau melontarkan kata-kata porno; ada perempuan berpenampilan
rapi tapi buang air kecil sambil berdiri di toilet di depan stasiun; ada penumpang yang seakan-akan menganggap
gerbong kereta itu seperti rumah sendiri, ganti pakaian seenaknya; tidak mau memberi tempat duduk kepada
penumpang wanita dan anak2.(Itagaki Taisuke ‘Reformasi Pola Hidup’ harian Doyo, edisi 8 Maret 1906)
dan menyadari pentingnya mengarahkan seluruh rakyat Jepang agar mengubah adat (pola hidup
dan pola pikir), yaitu membuang adat yang dipegang selama ini, dan menggantikannya dengan
adat Barat.

Gerakan ini juga didukung oleh para misionaris Protestan dari Amerika, yang di negara
mereka dikenal sebagai Christian reformers; mereka proaktif dalam kampanye anti alkohol dan
sosialisasi kehidupan keluarga yang lebih sehat. Di Jepang, mereka bekerja sama dengan umat
Kristen Jepang, dengan harapan mengubah Jepang menjadi negara yang ‘beradab’ sesuai dengan
ajaran dan semangat Kristen.

Pada tahun 1891, ketua Asosiasi Reformasi Adat Jepang, Dohi Masataka, menerbitkan
buku yang diberi judul ‘Reformasi Adat di Jepang’. Melalui buku tersebut, ia memaparkan kondisi
masyarakat Jepang waktu itu, mengapa perlu segera dilakukan reformasi adat, dan usul mengenai
metode reformasi tersebut3.

Melalui buku tersebut, kita bisa mengetahui kondisi masyarakat Jepang waktu itu, dan
harapan para tokoh masyarakat melalui reformasi adat. Berikut ini adalah rangkuman dari buku
tersebut.

Kelas sosial dihapuskan, masyarakat kehilangan panutan

Dohi dalam buku ini pertama-tama memaparkan kondisi Jepang di tahun 1880an. Bahwa sejak
pemerintahan baru dibentuk pada tahun 1868, strata sosial feodal dihapuskan4, semua rakyat bebas
memilih profesi, pola hidup dan tempat tinggal. Akibatnya, semua orang merasa bebas melakukan
apa saja demi kesenangan dan kepentingan diri sendiri. Pejabat korup, moral dan tata susila
masyarakat rusak. Masuknya ilmu pengetahuan modern menyebabkan ajaran agama Budha dan
ajaran Konfusianisme tidak digubris lagi. Masyarakat terobsesi dengan ilmu pengetahuan dan pola
hidup (terutama cara berpakaian) ala Barat. Karena tiadanya panutan, banyak orang bertindak

3
土肥正孝『日本風俗改良論』風俗改良雑誌社、1891(Dohi Masataka. Nihon Fuzoku Kairyoron (Usul
Reformasi Adat di Jepang). Fuzoku Kairyo Zasshisha, 1891)Diunduh dari:
http://dl.ndl.go.jp/info:ndljp/pid/767962/47
4
Sebelum 1868, Jepang adalah masyarakat dengan hierarki sosial yang ketat, yang terdiri dari 4 kasta, yaitu
bangsawan (penguasa; disebut samurai), petani, pengrajin dan pedagang.
dengan prinsip tujuan menghalalkan cara. Orang-orang yang sukses secara ekonomi, berlomba-
lomba pamer kekayaaan.

Pemerintah telah mengesahkan sejumlah UU, namun tetap saja banyak terjadi pelanggaran
sehingga penjara penuh; pencatatan transaksi telah dimulai, namun tetap saja banyak terjadi
sengketa; ada puluhan sekte agama, namun masyarakat justru semakin egois; sudah dibentuk
sejumlah partai politik, namun tetap saja banyak orang yang bertindak seenaknya saja; tempat
hiburan selalu penuh tapi acara ceramah dan kotbah sepi pengunjung; majalah porno laris manis
tapi majalah ilmiah minim pembeli; surat kabar diramaikan oleh berita-berita pembunuhan,
perampokan, penipuan, sengketa, pertengkaran, perselingkuhan, pelacuran dan berita2 mesum.

Ada pepatah Barat yang berbunyi: kebiasaan adalah karakter kedua. Artinya, dengan
mengubah kebiasaan hidup (adat), maka karakter seseorang akan berubah. Oleh karena itu, jika
ingin mengubah karakter orang Jepang yang bobrok, maka yang harus dilakukan adalah mengubah
kebiasaan hidup (adat) mereka.

1. Definisi adat

Penulis mendefinisikan adat sebagai perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Para pengrajin
bekerja dengan tekun demi menghasilkan hasil karya yang bermutu baik. Perilaku mereka itu, yang
dilakoni setiap hari, lama kelamaan menjadi karaker mereka (rajin dan teliti). Jika di suatu negara,
rakyat terbiasa menghisap candu, maka menghisap candu menjadi karakter dari bangsa tersebut.
Jika di suatu negara, pejabat selalu meremehkan rakyat, maka dapat dikatakan adat dari negara
tersebut adalah rakyat diremehkan oleh pejabat.

2. Kacaunya adat di Jepang

Penulis memaparkan permasalahan kacaunya adat di Jepang saat itu, sebagai berikut:

(1) Antar masyarakat dan antara rakyat dengan pemerintah tidak kompak. Pejabat menekan
rakyat (represif), rakyat memusuhi pemerintah. Tanpa kerja sama rakyat dengan
pemerintah, negara tidak akan bisa maju.
(2) Negara maju karena rakyat pandai; rakyat pandai karena pendidikan yang baik; pendidikan
yang baik tergantung pada peran ibu. Napoleon, Washington dan Mencius (filsuf China)
menjadi tokoh besar berkat jasa ibu mereka. Sedangkan di Jepang, status sosial perempuan
masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karena itu, adat meremehkan
perempuan harus dihilangkan.
(3) Dengki dan iri sesama anggota masyarakat, kecurangan merajalela; pejabat publik
bertindak tidak adil; partai politik hanya mendukung calon dari partai sendiri, tanpa peduli
kualitas calon tersebut, bahkan menyuap pemilih agar memilih calon dari parpol sendiri;
peraturan pemerintah berubah dalam waktu singkat sehingga rakyat bingung.
(4) Penganut agama Budha, Kristen dan Shinto rajin ke rumah ibadah, waktu sedang ibadah
sampai menangis meraung-meraung memanggil Tuhan; mereka antusias menyumbang
untuk keperluan ibadah, namun seenaknya saja menunggak pajak dan uang sekolah anak-
anak mereka; mereka antusias ikut kegiatan di tempat ibadah, tapi enggan menyumbang
untuk fakir miskin; banyak orang rela meninggalkan pekerjaan dan orang tua mereka demi
ziarah ke tempat jauh; ada orang yang rela memutus hubungan keluarga dengan orang tua
dan sanak saudara demi masuk Kristen. Dengan tingkah laku seperti itu, apa yang mereka
inginkan dari beribadah? Banyak orang berdoa minta kesembuhan, tapi tidak mau berobat
ke dokter. Banyak orang berdoa supaya menang perkara, supaya orang lain celaka, supaya
bisa bercerai dengan pasangannya. Apakah mungkin doa mereka dikabulkan? Bukankah
sikap-sikap tersebut menunjukkan mereka tidak beragama, tetapi hanya percaya pada
takhayul saja?
(5) Terobsesi dengan semua hal yang berbau Barat. Banyak orang sok meniru Barat dalam
berpakaian maupun tata krama. Seharusnya selektif: budaya Barat yang bermanfaat boleh
diterapkan, budaya Jepang yang sudah tidak bermanfaat harus dibuang.
(6) Belum ada penyeragaman bahasa. Orang Jepang dari masing-masing daerah berbicara
dalam dialek daerah masing-masing, sehingga menimbulkan kekacauan.
(7) Mentalitas mau enak saja, bergantung pada pihak lain, tidak mau berusaha, kurang ulet.
Misalnya, banyak orang tua menjual putri mereka untuk dijadikan pelacur atau istri muda,
supaya orang tua bisa hidup tanpa bekerja; banyak anak mengharapkan warisan dari orang
tua, supaya bisa hidup berfoya-foya dan tidak perlu bekerja; banyak orang hidup dengan
menumpang di rumah sanak saudara; banyak pedagang menyuap pejabat agar
mendapatkan proyek; banyak orang memilih berjudi daripada bekerja, karena ingin cepat
kaya tanpa bekerja.
(8) Kurang ambisi, selalu mencari alasan supaya tidak perlu berusaha: saya kan sudah tua, saya
kan masih terlalu muda, saya kan perempuan, saya kan orang kecil, saya kan orang bodoh,
saya kan hanya seorang tukang becak, dsb; tidak mudah memperbaiki moral, mengubah
adat, menghapus pelacuran, mengembangkan usaha, dan sebagainya; singkatnya, ini susah,
itu tidak mungkin, pasrah tanpa berusaha.
(9) Tidak menghargai waktu, tidak menepati janji. Contoh: kerja seperti main-main, kerja tapi
dibarengi dengan banyak basa basi, tidak menepati janji, tidak pernah tepat waktu ketika
menghadiri rapat atau pesta; merasa terlambat itu biasa dan seenaknya menyuruh orang
lain menunggu. Orang Jepang harus mencontoh orang Inggris dan Amerika, belajar disipin
dan menghargai waktu5.
(10) Boros, gaya hidup (sandang, pangan, papan, kehidupan sosial) tidak sesuai dengan
kemampuan ekonomi, sok kaya tapi malah menyengsarakan diri sendiri.
(11) Banyak gengsi dan basa basi. Upacara pernikahan, kematian, perayaan tahunan dan
kelahiran bayi, dijadikan ajang pamer. Upacara pernikahan yang seharusnya berlangsung
dengan khidmat, justru jadi ajang berpesta pora, dan seringkalinya kacau karena tamu
mabuk-mabukan, bahkan bertengkar setelah mabuk6; pada upacara kematian, keluarga
yang berduka mungkin sedang dalam kesulitan keuangan, tapi akan dikatai pelit jika tidak
menjamu para pelayat. Tidak jarang ada keluarga yang bangkrut setelah menikahkan anak
atau setelah ada anggota keluarga yang meninggal. Selain itu, ritual-ritual seperti
merayakan kelahiran bayi (harus siapkan sekian jenis ikan), tahun baru (harus siapkan
sekian jenis hidangan) dan sebagainya, adalah ritual-ritual yang konyol, yang ujung-
ujungnya menyengsarakan.
(12) Pelacuran yang dilegalkan oleh pemerintah, merusak keharmonisan rumah tangga,
menurunkan produktivitas dan menghambat kemajuan bangsa.
3. Mengapa perlu reformasi adat?

Penulis memberi contoh, sekarang (akhir abad ke-19), Turki dan India jatuh terpuruk, karena
buruknya adat rakyat. Sedangkan Jerman dan Amerika justru berjaya, karena adat rakyatnya yang

5
‘time is money’ pertama kali dilontarkan oleh Benjamin Franklin (1706-1790; Presiden Amerika yang ke-6)
6
Sejak awal abad ke-20, dengan mencontoh upacara pernikahan di gereja di negara-negara Barat, pemerintah
Jepang (melalui kementerian dalam negeri) mulai menganjurkan pernikahan di rumah ibadah (kuil Shinto), dengan
tujuan agar upacara dilaksanakan dengan khidmat dan hemat. Sebelum itu, di Jepang tidak ada tradisi
menyelenggarakan upacara pernikahan di rumah ibadah atau melibatkan pemuka agama.
unggul. Oleh karena itu, selain reformasi di bidang politik, hukum, industri, dunia usaha dan
sebagainya (sudah dilakukan oleh pemerintah Jepang sejak 1870an), reformasi adat rakyat juga
tidak kalah pentingnya. Dan jika adat rakyat sudah diperbaiki, maka niscaya sistem politik, industri,
perdagangan dan sebagainya akan berjalan dengan baik.

Tokoh masyarakat dan tokoh agama selama ini hanya mementingkan penampilan luar saja
(sistem dan ritual), tanpa memperhatikan mentalitas rakyat. Akibatnya, rakyat Jepang memang
sudah berpenampilan modern, tapi mentalitasnya tetap pada tahap tradisional, yaitu egois, tidak
mau memikirkan kepentingan umum dan kepentingan negara, dan tidak punya rasa tanggung
jawab sosial. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformasi adat, mendidik rakyat agar punya jiwa
dan rasa tanggung jawab sosial

4. Cara reformasi adat

Penulis memulai dengan slogan ‘heaven helps those who help themselves’ (Tuhan akan
menolong orang-orang yang mau berusaha)7. Artinya, jika mau maju, kita harus berusaha; kalau
kita tidak mau berusaha, Tuhan juga tidak ada menolong kita.

Selanjutnya, penulis mengajak pembaca untuk meliaht, apakah ajaran agama, ajaran moral dan
sanksi hukum dapat dipakai untuk melakukan reformasi adat.

(1) Himbauan reformasi adat melalui pemuka agama seharusnya paling efektif, namun pada
kenyataannya, biksu Budha di Jepang8 hanya mengurusi ritual kematian saja; mereka juga
sibuk minta sumbangan untuk renovasi / membangun kuil baru. Hampir-hampir tidak ada
biksu yang peduli dengan umat yang berjiwa korup dan masyarakat yang semakin bobrok.

7
Slogan ini dipopulerkan oleh Samuel Smiles dalam buku “Self Help”. Buku ini terbit tahun 1859, berisi riwayat
hidup lebih dari 300 orang di Eropa dan Amerika, yang sukses di bidang industri dan perdagangan, berkat kerja
keras dan hidup hemat. Buku ini mewakili semangat Inggris di era Victoria (abad ke-19). Pada tahun 1871,
terjemahan bahasa Jepang dari buku ini terbit di Jepang, dan menjadi bestseller, terjual lebih dari 1 juta kopi. Pada
jaman itu, populasi Jepang diperkirakan sekitar 30 juta jiwa, tingkat literasi (melek huruf) sekitar 20%, berarti ada 6
juta orang yang melek huruf, dengan tingkat kemampuan membaca yang berbeda-beda. Success stories dari para
tokoh yang berpedoman rajin dan hemat, menjadi inspirasi bagi para pemuda kelas menengah ke atas
(berpendidikan menengah) di Jepang pada jaman itu.
8
Sejak tahun 1600an sampai dengan 1868, pemerintah mewajibkan semua rakyat berafiliasi pada salah satu kuil
Budha; biksu Budha berperan sebagai aparat negara untuk mengontrol kehidupan rakyat. Selama periode
tersebut, Shinto hampir tidak berperan dalam kehidupan rakyat. Agama Kristen dilarang dan larangan baru dicabut
pada tahun 1873.
Masyarakat yang fanatik dalam beragama, sebagian besar berasal dari kelas bawah (miskin
dan tidak berpendidikan). Mereka hanya percaya dan takut pada hantu, tidak paham esensi
dari ajaran agama. Akibatnya, iman berubah menjadi takhayul. Umat menjalankan ritual
agama karena takut tertimpa nasib sial, bukan karena ingin hidup sebagai manusia yang
baik bagi masyarakat.
Mengingat besarnya pengaruh agama, seharusnya pemerintah berusaha merangkul para
pemuka agama agar semua bekerja sama. Namun ini sulit, karena masing-masing sekte
agama saling bertikai dan selalu menganggap diri paling benar.
(2) Himbauan melalui ajaran moral, contohnya adalah mensosialisasikan ajaran moral
Konfusianisme dan ajaran filsafat. Ini juga kurang efektif. Ajaran Konfusianisme sarat
dengan larangan, dan minim anjuran yang positif. Selain itu, dalam ajaran Konfusianisme
tidak ada prinsip kesetaraan karena aturan hierarki sangat kuat. Pejabat diberi banyak hak
namun tidak dibebani kewajiban, sedangkan rakyat jelata dibebani dengan sejumlah
kewajiban namun tidak diberi hak. Kesetaraan gender juga tidak diakui.
Ajaran moral oleh para filosof, umumnya hanya teori saja, minim penerapan.
(3) Sanksi hukum memang membawa efek jera, membuat orang takut berbuat jahat; namun
tidak secara proaktif mendorong orang untuk berbuat baik. Orang bisa saja berbuat baik di
hadapan publik atau di depan penegak hukum, namun berani berbuat jahat jika Selain itu,
hukum dibuat oleh penguasa, sehingga belum tentu cocok diterapkan pada rakyat.

Setelah menyimpulkan bahwa ajaran agama, ajaran moral dan sanksi hukum kurang efektif
dalam mendorong reformasi adat, penulis mengutip kata-kata Napoleon ‘jika kita mengikuti
arah opini publik, maka tidak akan ada program kerja yang tidak bisa terlaksana. Di dunia ini
tidak ada kekuatan yang dapat melawan opini publik,’ dan mengusulkan untuk membangun
opini publik, menyadarkan publik akan penting dan perlunya reformasi adat. Langkah-langkah
konkrit yang diusulkan adalah sebagai berikut:

(1) Mendirikan asosiasi nasional dengan cabang-cabang di seluruh Jepang, untuk membangun
kesadaran akan pentingnya reformasi adat, dan mensosialisasikan metode reformasi adat
(2) DPP menerbitkan surat kabar dan majalah untuk membangun opini publik; para anggota
berkeliling ke daerah memberikan ceramah mengenai pentingnya reformasi adat; dalam
sosialisasi, dipaparkan contoh-contoh dan data statistik mengenai adat masyarakat di
berbagai daerah dan di berbagai jaman, serta upaya dan keberhasilan dalam reformasi adat,
untuk dijadikan bahan pembanding dengan kondisi di Jepang saat itu
(3) Masing-masing kantor DPC mengadakan rapat terbuka untuk minta masukan dari
masyarakat, serta mendiskusikan metode reformasi adat yang sesuai dengan kondisi
setempat
(4) DPP secara rutin menyelenggarakan rapat kerja nasional untuk membahas perkembangan
opini publik, dan menetapkan kebijakan terkait reformasi adat, untuk kemudian
disosialisasikan oleh anggota-anggota DPC
(5) Dana operasional DPC berasal dari iuran anggota dan dari donatur tokoh masyarakat;
mengingat upaya mengumpulkan dana untuk pembangunan patung pahlawan sukses, maka
seharusnya proyek reformasi adat yang merupakan faktor penentu keberhasilan
pembangunan bangsa, juga akan berhasil.
5. Kriteria reformasi adat

Kriteria dalam menilai berhasil tidaknya reformasi adat, tidak bisa diseragamkan, karena
kondisi di setiap daerah berbeda-beda, latar belakang dan tingkat pendidikan masyarakat di tiap
daerah pun berbeda-beda.

Keberhasilan di negara-negara Barat, belum tentu akan berhasil juga di Jepang. Demikian pula
adat yang selama ini berlaku di Jepang, belum tentu sesuai lagi dengan perkembangan jaman
modern. Oleh karena itu, adat di Barat juga harus dicontoh dengan cara yang selektif; demikian
pula adat yang selama ini berlaku di Jepang, juga tidak boleh dipertahankan jika sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan jaman modern.

6. Sedikit bicara, banyak kerja

Pada bagian kesimpulan, penulis mengakui bahwa reformasi adat tidak mungkin berhasil
dalam waktu singkat, dan tidak mungkin semudah merevisi undang-undang; perlu kerja keras
dalam jangka waktu lama. Perubahan adat akan terjadi tanpa disadari. Yang paling penting adalah
kerja nyata, bukan berargumentasi. Seorang Patrick Henry9 lebih mulia daripada Rousseau10 atau
Montesquieu11.

Demikian rangkuman buku Reformasi Adat Jepang karya Dohi Masataka. Kritik tajam dan
konkrit terhadap kondisi masyarakat Jepang pada era 1880an, dan penekanan akan pentingnya
reformasi adat, tergambar dengan jelas dalam buku tersebut. Contoh keteladanan yang diambil,
sebagaimana semangat jaman pada era itu, adalah konsep ‘self help’ yang lahir dari semangat
Protestanisme, yang telah terbukti mengantar negara-negara Protestan pada waktu itu menjadi
negara-negara paling makmur dan kuat di dunia.

Tidak jelas berapa lama asosiasi ini bertahan, dan seberapa besar pengaruh terhadap
masyarakat Jepang. Namun, sejumlah pejabat kementerian dalam negeri Jepang pada waktu itu
juga mulai mengusung ide yang sama. Dan pada tahun 1909, kementerian dalam negeri Jepang
secara resmi memulai kampanye nasional perbaikan adat. Istilah yang digunakan adalah Local
Improvement Movement, agak berbeda dengan istilah yang digunakan oleh asosiasi ini, namun
argumen dan metode sosialisasi serta target yang dicanangkan, bisa dikatakan persis sama dengan
apa yang dicetuskan oleh asosiasi ini.

Kampanye nasional oleh kementerian dalam negeri tersebut lebih terorganisir dan merata ke
seluruh pelosok negeri Jepang, dengan dokumentasi yang jauh lebih lengkap. Kampanye tersebut
terus berlanjut (dengan nama yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan jaman) hingga awal tahun
1970an. Melalui serangkaian kampanye oleh pemerintah inilah, terbentuk karakter bangsa Jepang
yang kita kenal sekarang. Rajin, hemat, disiplin, sopan dan sebagainya.

9
Patrick Henry (1736-1799), politisi Amerika dan orator yang berhasil membakar semangat rakyat Amerika dalam
perang kemerdekaan Amerika.
10
Jean Jacques Rousseau (1712-1778), filsuf Perancis, terkenal dengan teori Kontrak Sosial antara pemerintah
dengan rakyat.
11
Montesquieu (1689-1755), filsuf dan ahli hukum Perancis, pencetus ide pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif
dengan yudikatif.

Anda mungkin juga menyukai