Anda di halaman 1dari 18

LITERASI POLITIK

IAN DAVIES
The Sage Handbook of Education
For Citizenship and Democracy Chapter 29
PEMBAHASAN IAN DAVIES

?
Membahas teori dan penelitian yang dilakukan Crick
FOKUS CRICK

Ada tiga poin yang menjadi fokus Crick dalam program


pendidikan politik yaitu:
1. Pendidikan politik tidak lagi bisa dihindari
2. Adanya proses yang panjang, perhatian, maupun waktu
dalam perkembangan pendidikan dan literasi politik
3. Politik harus diajarkan dengan metode yang menyenangkan
POIN PERTAMA

Tahun 1970 di Inggris, setiap penduduk berusia 18 tahun sudah


diperbolehkan untuk memilih
Ketidaktepatan paradigma politik bagi kaum muda pada tahun
1960-an
Kecenderungan peningkatan aksi kekerasan dan kurangnya
partisipasi politik masyarakat
Oleh karena itu, pendidikan politik tidak lagi bisa dihindari.
Partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi dan hubungannya
dengan pemerintah bukan hanya hubungan saling mempengaruhi
namun juga hubungan fungsional. Pendidikan politik dipandang
perlu untuk diintegrasikan dalam program pendidikan
POIN KEDUA
(PERIODE TAHUN 1970-1990)

Heater (1977), Brennan (1980) dan Batho (1990), merupakan tokoh-tokoh


yang setuju dengan gagasan oposisi aktif untuk pendidikan politik di Inggris.
Sangat sedikit pendidikan politik yang dilakukan secara eksplisit sebelum tahun
1970-an.
Pendidikan politik secara fundamental dilakukan oleh Dewey (1916 dan 1966),
dikembangkan dan diteliti secara relevan oleh Oliver dan Shaver (1966), dan
dilanjutkan oleh Crick di tahun 1970 untuk mempromosikan politik melalui
Program Pendidikan Politik
Selama tahun 1980 dan 1990-an, pendidikan politik dan politik literasi ditolak
dalam berbagai pendekatan pembelajaran.
Baru setelah periode tahun 1990-an, pendidikan kewarganegaraan (yang
mencakup pendidikan politik didalamnya) dipandang baik dan memiliki
signifikansi tinggi.
POIN KEDUA
(PERIODE TAHUN 1990-2000)

Perlu ditekankan bahwa akar dari laporan Crick yang menekankan melek
politik belum diperkuat dengan upaya agar subjek pembahasan dijadikan
sebagai bagian dari Kurikulum Nasional (QCA/DfEE, 2000).
Pada saat itu, komunitas terfokus pada agenda politik penguasa.
Penguasaan konsepsi sangat minim karena terbatasnya pemahaman politik;
sarana yang profesional bisa mulai mengembangkan ide mendasar dalam
penemuan cara mengajar yang menarik tetapi dalam konteks kontroversial
Pendidikan politik diperebutkan oleh pendidikan IPS dan dikelola secara
sentral oleh guru sehingga bukannya memperjelas, tapi menambah
kebingungan dan pengabaian lebih lanjut dari politik.
Disini Crick (2000) melihat pendidikan kewarganegaraan hanya sebagai
konjungsi sederhana politik dan ilmu sosial adalah politik yang cerdas.
POIN KETIGA

Apa yang dibutuhkan pada saat ini dalam pengembangan literasi politik secara
praktis, terorganisir, dan sistematis.
Crick memandang bahwa pendidikan politik harus dilakukan secara
menyenangkan
Adapun konsep dasar yang dipandang perlu dalam membentuk literasi politik
masyarakat adalah:
a) rasionalitas didasarkan pada apresiasi kritis realitas sosial dan politik;
b) toleransi dalam konteks demokrasi pluralistik;
c) partisipasi yang timbul dari penerimaan seseorang akan topik sospol;
d) tanggung jawab, penghargaan hak-hak orang lain, dan hak sendiri.
Lebih lanjut, guru harus mempu mendorong siswa dalam hal:
a) keterbukaan pikiran dan mobilisasi
b) pengetahuan dan pemahaman, baik dengan jalan diskusi terbuka atau
penggunaan bahasa yang pesuasif.
ANGKA LITERASI
POLITIK DI INDONESIA

Berapa sih angka melek politik di Indonesia

???
Jangankan MELEK POLITIK, angka MELEK HURUF pada orang dewasa
di Indonesia menurut data UNESCO (2012) sebesar 65.5%.
35.5% orang dewasa di Indonesia masih BUTA.
Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negara yang diteliti
PERSOALAN DATA!

Jika mengacu pada pendapat Crick (2005) bahwa literasi


merupakan gabungan antara pengetahuan, sikap, dan
keterampilan maka dapat dikatakan bahwa data yang mengulas
tentang literasi di Indonesia belum ada.

Yang sejauh ini diteliti di Indonesia adalah angka partisipasi


politik yang sebenarnya tidak cukup menggambarkan ketiga aspek
literasi sebagaimana yang dipaparkan oleh Crick
PARTISIPASI POLITIK

ORDE LAMA ORDE BARU PASCA REFORMASI


(1945 - 1965) (1965 - 1998) (1998 - sekarang)
PERIODE

1955 1971 1977 1982 1987 1992 1997 1999 2004 2009 2014

PERSENTASE
91.4 96.6 96.5 96.5 96.4 95.1 93.6 92.6 84.1 70.9 75,1
PARTISIPAN

PERSENTASE
8.6 3.4 3.5 3.5 3.6 4.9 6.3 7.3 15.9 29.1 24.9
GOLPUT

PARTISIPASI: 80.7% dan GOLPUT:


RATA-RATA PARTISIPASI: 95.8% dan GOLPUT: 4.2%
19.3%
KESALAHAN PERSEPSI

Seringkali keberhasilan pendidikan politik diukur dengan persentase partisipasi


masyarakat dalam Pemilu.
Pertanyaannya adalah:
1. Apakah jika tingkat partisipasi politik masyarakat tinggi, bisa dikatakan
bahwa tingkat literasi politik masyarakat juga tinggi?
2. Apakah tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu merupakan tolok
ukur keberhasilan pendidikan politik dalam menciptakan literasi politik?

Gun Gun Heryanto dalam buku Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi
(2012) mengatakan bahwa rasio attentive public (publik yang berperhatian) di
sebuah negara jarang melampaui angka 15% walau statistik mencatat bahwa
tingkat partisipasi politik di beberapa negara seperti India, Tanzania, Nigeria,
Mexico, Brazil mencapai 64,5%
MODEL PENDIDIKAN POLITIK

Crick (2005) menggambarkan pendidikan politik sebagai sarana untuk


membentuk literasi politik masyarakat melalui pendidikan formal maupun
informal dengan penekanan pada penguasaan konsep, kemahiran berbahasa,
dengan menguraikan masalah faktual yang dekat dengan kehidupan
masyarakat. Konsep politik disini dimaknai konsep mengenai negara,
masyarakat, dan hubungan diantara keduanya.
Merujuk pada studi yang dilakukan oleh Paulo Friere dalam bukunya Politik
Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (2004), ada gagasan
bahwa pendidikan politik tidak hanya hanya dipandang sebagai alat untuk
mempertahankan nilai atau dukungan pada rejim yang berkuasa namun
berfungsi untuk melakukan proses penyadaran.
Penyadaran disini bisa dimaknai sebagai proses pendidikan dan pembinaan
untuk melahirkan nilai dan budaya baru, serta merekonstruksi masyarakat.
INSTRUMEN PERKEMBANGAN
LITERASI POLITIK
DI INDONESIA

1. Pendidikan Kewarganegaraan
2. Partai Politik
3. Media/Pers
4. Non Government Organisation/LSM
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN

ORDE LAMA ORDE BARU PASCA REFORMASI


(1945 - 1965) (1965 - 1998) (1998 - sekarang)
1954 1970-an 2000
Dimulai dengan Filsafat Pancasila Perbaikan dan
Pendidikan 1973 pembenahan konten
Kemasyarakatan PKN, Civic Hukum 2004
(Negara, Bumi, 1975/1984 Namanya menjadi
KWN) Pendidikan PKN dengan fokus
1960-an Moral/PMP pada politik, hukum,
MANIPOL, 1989-1990-an dan moral.
USDEK, Pancasila Pendidikan Kewiraan 2006
& UUD 1945 + Pendidikan Karakter
2013
Fokus: kognitif
(pengetahuan), afektif
(sikap), dan konatif
(perilaku)
PARTAI POLITIK

ORDE LAMA ORDE BARU PASCA REFORMASI


(1945 - 1965) (1965 - 1998) (1998 - sekarang)
1953 1966 1999
(Pra Pemilu) (Pra Pemilu 1971) (Pra Pemilu)
UU No.7 Tahun 1953 TAP MPRS No. XX/1966 UU No. 2 Tahun 1999 tentang Parpol.
Tentang Parpol Penyederhanaan Parpol dan keikutsertaan Diikuti 48 Parpol. Mulai ada istilah koalisi.
1955 TNI/POLRI dalam MPR/DPR Peran Parpol belum maksimal dalam
(Pemilu Pertama) 1971 penyelesaian konflik
29 Partai Perpol disaring sehingga hanya 10 yang 2004
1959 berhak ikut Pemilu 24 Parpol. Tidak ada lagi dominasi politik
Dekrit Pancasila dan 1973 oleh satu partai
Demokrasi (Pra Pemilu 1977) 2009
Terpimpin. Presiden Konsep Fusi diterima Dewan. Dikukuhkan 38 Parpol. +6 Parpol Lokal di Aceh.
membubarkan dengan UU No.3 Th.1975 tentang Parpol Stabilitas tergantung pada kompromi di
Konstituante. dan Golongan. Hanya ada 2 Parpol yaitu masing-masing koalisi. Untuk
PPP dan PDI serta 1 Golongan Karya dalam menciptakan kestabilan perlu adanya
Pemilu. sharing of power.
1977-1997 2014
(5 kali Pemilu) 12 Parpol. +3 Parpol Lokal di Aceh.
Pendidikan Politik dalam Parpol mengarah Muncul 2 koalisi besar: KMP dan KIH.
pada hegemoni kekuasaan Alih-alih menjadi sarana pendidikan
Parpol pada era orde baru tidak lagi berfungsi politik, partai politik kini lebih disibukkan
sebagai alat penyadaran masyarakat. Dengan kata dengan penyelesaian konflik antar dua
lain , fungsi Parpol pada era orde baru telah koalisi besar dan saling berebut
DIKEBIRI oleh penguasa. kekuasaan.
MEDIA/PERS

ORDE LAMA ORDE BARU PASCA REFORMASI


(1945 - 1965) (1965 - 1998) (1998 - sekarang)
1945 1966 Pasca 1998
Wartawan mengambilalih Ada slogan bahwa pers di Tuntutan akan kebebasan
percetakan asing pada masa ini adalah Pers pers semakin besar
saat itu. Pancasila sehingga lahir
1959 1974 UU No. 39 Tahun 1999
Semua pemberitaan Peristiwa Malari tentang HAM
disensor. Media harus 1994 UU No. 40 Tahun 1999
punya SIT untuk menulis. Pers kembali dibredel. tentang Pers
Jurnalisme telah kehilangan Perlu punya SIUPP untuk Namun sayangnya, fungsi
fungsinya sebagai instrumen menulis. Hanya TEMPO pers sebagai pendidikan
pendidikan politik. pada saat itu yang politik kini direduksi oleh
konsisten melawan market.
pemerintah.
NON GOVERNMENT
ORGANISATION/LSM

ORDE LAMA ORDE BARU PASCA REFORMASI


(1945 - 1965) (1965 - 1998) (1998 - sekarang)
1970
Awal munculnya LSM. Dimulai dengan keterlibatan penuh
1974-1998 LSM didalam Pemilu 1999, sekarang
Perkembangan LSM hampir semua aspek lembaga
pada masa Orde Baru Negara diawasi oleh LSM. Publik
tak berjalan sesuai Indonesia mengenal berbagai
Maaf, belum ada
dengan fungsi yang macam organisasi,
LSM di Masa Orde
seharusnya dilakukannya misalnya Indonesian Corruption
Lama
ditengah masyarakat. Watch (ICW), Legislative
Lembaga tersebut lebih Watch (DPR-Watch), Government
dikekang oleh Watch (GOWA), Police
Pemerintah untuk Watch (PolWatch) dan Pemantauan
kepentingan politik Anggaran (FITRA).
tersendiri.
SEKIAN
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai