Anda di halaman 1dari 10

Relasi Kuasa Peran Guru dan Murid Di Lingkungan Sekolah

(Studi Terhadap Siswa-Siswi Di Yogyakarta)

Rita Dwi Purnama Sari (19105040039)

A. PENDAHULUAN

Pendidikan di sekolah bukan hanya ditentukan oleh usaha murid secara

individual atau berkat interaksi murid dan guru dalam proses belajar-mengajar,

malainkan juga oleh interaksi murid dengan lingkungan sosialnya dalam berbagai

situasi sosial yang dihadapinya di dalam maupun di luar sekolah. Guru memiliki

kuasa penuh dalam penerapan metode mengajar yang digunakan dalam proses

pembelajaran di dalam kelas. Michel Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan

bersifat menyebar dan dimiliki oleh siapa saja. Bagaimana cara guru mengajar juga

memiliki pengaruh membuat suasana kelas yang nyaman serta mempengaruhi

kebebasan muridnya dalam menungkan buah pikirannya dan mengembangkan

kreativitasnya tanpa ada rasa pengekangan dari seorang guru.

Adler menganggap kecenderungan otoritarisme suatu unsur fundamental di

dalam jiwa manusia. Baginya, naluri untuk menguasai adalah sumber utama

perilaku manusia, yang menggantikan libido-naluri kesenangan- di dalam konsepsi

Freudian. Adalah menarik untuk memperbandingkan teori ini dengan konsep lama

abad tengah tentang concpiscentia dominandi.

Pendidikan di sekolah disebut juga sebagai pendidikan formal karena

lebih terstruktur. Sekolah memberikan pendidikan nilai-nilai agama Islam yang

diajarkan secara tersusun dalam sebuah kurikulum. Istilah kurikulum asal

mulanya dari dunia olahraga pada zaman Yunani kuno. Curir yang berarti
“pelari” dan Curere artinya “tempat berpacu”. Kurikulum kemudian diartikan

sebagai “jarak yang harus ditempuh” oleh pelari (Sudjana,1989).

Frank Hart pada tahun (1934) menanyakan kepada 10.000 siswa Sekolah

Menengah Atas guru yang bagaimana yang paling mereka sukai dan apa sebab

mereka menyukainya. Alasannya yang paling banyak dikemukakan ialah bahwa

guru disukai bila ia “berperilaku kemanusiaan, bersikap ramah, bersahabat”. Juga

sering disebut alasan seperti “suka membantu dalam pelajaran, riang, gembira,

mempunyai rasa humor, menghargai lelucon”. Sifat-sifat yang dihargai murid-

murid itu sesuai dengan gambaran guru yang demokratis. Ternyata bahwa guru

yang paling disukai itu kebanyakan juga termasuk guru yang terbaik dalam hal

pengajaran.

B. RUMUSAN MASALAH

Dengan mengacu pada latar belakang permasalahan, pokok penelitian ini

adalah melihat bagaimana relasi kuasa antara guru dan murid di sekolah apakah

adanya relasi yang otoritarisme yang mana guru selalu bertindak paling menguasai

anak didiknya dan tidak sama sekali mendengar ide-ide kreatif dari murid-

muridnya. Sehingga menimbulkan pertanyaan;

1. Apakah murid selalu didengar pendapatnya dalam sebuah diskusi kelas?

2. Bagaimana sikap seorang guru terhadap murid apakah hanya sebatas relasi

guru-murid atau dapat juga lebih seperti teman sharing?

3. Dan tipe guru seperti apa yang selalu disukai oleh murid-muridnya?

C. METODE DAN TEORI YANG DIGUNAKAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

campuran antara analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan paradigma


kritis. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMP/SMA di

daerah Yogyakarta.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Teori Kritis

Tanpa disadari hubungan guru dengan murid memiliki relasi kuasa mulai

dari segi bahasa atau tuturan murid dengan guru sampai pada praktik-praktik sosial

di sekolah. Kekuasaan dapat terjadi di mana saja, termasuk dalam kelas (Taylor,

Vlach, & Mosley Wetzel, 2018:24). Sejalan dengan pendapat tersebut, Foucault

(dalam Eriyanto, 2001:71–72) mengemukakan bahwa kontrol bertujuan

membentuk individu patuh dan disiplin merupakan wujud kekuasaan yang ada di

mana-mana, termaksuk dalam kelas. Praktik kekuasaan tersebut terjadi melalui

tindak tutur guru yang menggambarkan, menampilkan, mewakilkan kekuasaan

(mendominasi, memengaruhi, memaksa aktivitas siswa) (Biria & Mohammadi,

2012:1292).

Dalam penelitian ini menggunakan teori kritis, Teori kritis lahir dari tradisi

pemikiran Marxian. Dengan kata lain, seorang tokoh intelektual Karl Marx

menjadi salah satu sosok inspiratif teori ini. Fondasi teori kritis juga tidak lepas

dari pengembangan teori Marx yang dilakukan oleh intelektual Marxist seperti

Gyorgy Lukacs dan Antonio Gramsci. Keduanya menginspirasi secara toritis dan

praksis pemikiran tokoh intelektual dari Universitas Frankfurt, German seperti

Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Erich Fromm, Walter

Benjamin dan Juergen Habermas. Tokoh-tokoh dari Frankfurt tersebut menyebut

dirinya sebagai komunitas epistemik yang dikenal dengan sebutan the Frankfurt

School. Mereka itulah yang mengembangkan konsep dan definisi dari teori kritis.

Berkaitan dengan yang disebutkan di awal, teori kritis bertujuan untuk menggali
“kebenaran” yang beroperasi di bawah permukaan kehidupan sosial, seperti adanya

praktik dominasi kekuasaan secara kultural dan ideologis. Teori ini juga sering

secara frontal menyerang teori-teori sosial tradisional yang dianggap hanya

menjelaskan suatu fenomena tanpa mau mengubahnya. Dari tindakannya itulah

teori kritis sering disebut sebagi kritik teori atas teori.

Hasil

Kaitannya antara teori kritis dan relasi kuasa antara guru dan murid dapat

dilihat dari survey kecil lima responden menjawab hal demikian;

1.1 Diagram tentang survey dalam kegiatan pematerian di dalam kelas

Dari teori hasil survey diagram diatas muncul kesimpulan bahwa murid

sebagai pihak yang dikuasai dalam hal pembelajaran soal materi. Pada konteks

wacana kelas, guru memiliki kekuasaan untuk mendominasi dan mengontrol

siswa. Dahl (dalam dan Faules, 2006:252) mengemukakan bahwa kekuasaan

berarti kemampuan untuk mengarahkan orang lain untuk melakukan tindakan.

Seseorang yang memiliki jabatan dan keahlian mempunyai kemampuan untuk

memengaruhi seseorang. Dari bentuk yang muncul dalam wacana kelas, bentuk

yang paling dominan adalah bentuk perintah, permintaan, dan larangan. Hal ini

dikarenakan posisi guru yang dalam merepresentasikan kekuasaan menggunakan

kekuasaan jabatan dan paksaan dalam tuturan. Bentuk saran dan persilaan masih
jarang digunakan oleh guru sehingga pilihan tuturan yang digunakan guru saat

merepresentasikan kekuasaan terkesan bergaya otoriter.

Berbicara mengenai tipe guru yang mendominatif atau menguasai murid

dan terkadang suka mencampuri apa yang dilakukan murid dan hal ini dapat

menimbulkan konflik. Kelakuan murid berhubungan dengan kelakuan guru. Bila

diambil tipe guru yang dominatif dan integratif, maka kelakuan guru dapat di

klasifikasikan sebagai berikut;

a. Dominasi guru menimbulkan konflik

b. Dominasi guru tanpa menimbulkan konflik

c. Dominasi guru dengan mengakibatkan adanya kerjasama di kalangan

murid

d. Integrasi tanpa bukti adanya kerjasama

e. Integrasi dengan adanya tanda kerjasama

Selanjutnya, fungsi untuk dihormati terdapat pula dalam wacana kelas.

Guru menempatkan dirinya sebagai pihak yang harus dihormati dan dipatuhi. Salah

satu bentuk dominasi dalam pendidikan adalah otoritas guru dalam menuntut

kepatuhan siswa (Zamroni, 2001:92). Hasil penelitian menununjukkan guru

merepresentasikan fungsi kekuasaan jabatan yang dimiliki guru untuk dihormati.

Disamping itu dari hasil survey mengenai pemberian tugas dari guru

kepada muridnya diperoleh hasil demikian.


1.2 Diagram tentang survey pemberian tugas guru terhadap muridnya.

Kuasa guru terhadap muridnya memang terlihat pada praktik-praktik

pembelajaran di sekolah. Guru sebagai pengajar menempatkan posisinya diatas

atau pihak yang bertugas mendisiplinkan, mengatur, dan membimbing murid-

muridnya sesuai metode yang di rasa baik untuk muridnya. Salah satunya diatas

siswa diberikan tugas yang bagi guru tugas ini dapat meningkatkan akademik

muridnya. Akantetapi, disisi lain justru berbanding dari tujuh responden dengan

terbagi menjadi tiga bagian, murid yang menjawab tidak keberratan dan mungkin

yakni 28,6% sedangkan yang memilih guru selalu memberikan tugas yang

membuat murid keberatan yakni 42,9%. Artinya dari diagram tersebut lebih

banyak murid yang merasa keberatan akan tugas yang diberikan guru.

Semisal pada contoh Guru seolah memberikan Ancaman yang merupakan

strategi tutur dalam merepresentasikan kekuasaan di dalam wacana kelas. Guru

menggunakan pendekatan ancaman sebagai bentuk pengelolaan pembelajaran yang

bertujuan mengontrol tingkah laku anak didik. Berikt contohnya;

G: Pokoknya tidak ada yang kerjasama! ini tugas individu, kalau ada yang

sama pekerjaannya. Mam anggap kalian tidak mengumpulkan tugas!

(Konteks: Tuturan terjadi pada saat guru memberikan tugas individu kepada

muridnya).
Karena guru dianggap murid sebagai sebuah teladan yang semustinya di

hormati dan juga di contoh maka apapun dilakukan murid untuk menghormati sang

guru. Disamping kedudukan guru dan murid berbeda usia jauh karena memang

selayaknya tugas guru mendisiplinkan, serta mengajarkan murid-muridnya untuk

tidak merasa jenuh dengan materi yaitu dengan cara pemberian tugas-tugas.

Foucault menyebutkan bahwa kekuasaan bersifat menyebar dan berada

dimana-mana. Tidak terkecuali dalam proses pembelajaran pendidikan di sekolah.

Dalam proses pembelajaran kekuasaan dapat berada pada cara mengajar guru,

tugas yang diberikan, peraturan yang dibuat, dan masih banyak lagi. Seperti

pekerjaan rumah yang di berikan oleh guru kepada siswa. Guru tidak berada di

rumah secara fisik untuk mengawasi anak tersebut. Tetapi siswa tetap

mengerjakanya karena terdapat kuasa di dalam tugas tersebut. Hal tersebut

merupakan bentuk kuasa secara umum yang dimiliki oleh guru.

Kekuasan dalam pendidikan dilakukan melalui wacana khusus secara resmi

dalam bentuk kebijakan pendidikan meliputi kurikulum dan sistem asesmen.

Wacana akan membentuk seperangkat konstruk yang akan dipahami sebagai

realitas (Wiradnyana, 2018). 

Kaitannya dengan teori kritis bahwa pendidikan memiliki peran penting

yakni dalam penyampaian sebuah kebenaran yang dilakukan penguasa dapat

melalui berbagai ranah salah satunya melalui institusi pendidikan. Melalui institusi

pendidikan penyampaian kebenaran akan lebih mudah. Institusi pendidikan

mengajarkan individu untuk berpikir secara logis, sistematis, dan kritis atau

rasional. Salah satu aspek pengetahuan dikatakan benar apabila dapat dijelaskan

secara empiris atau rasional pada masanya. Pengetahuan harus bersifat terbuka

untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi mendapatkan kebenaran yang lebih
pasti. Institusi pendidikan mendistribusikan pengetahuan dan kebenaran agama

dibantu dengan individu yang relevan. Salah satu bentuk pengetahuan di sekolah

adalah buku pelajaran dan pengajar sebagai individu yang relevan. Murid

mendapatkan pengetahuan melalui buku-buku yang dipinjamkan oleh sekolah. Di

dalam praktiknya pengajar tidak membebaskan murid mencari refrensi

bacaan. Jadi pendidikan di sekolah tidak hanya tentang pendidikan akademik saja

melainkan juga tentang pendidikan agama yang membentuk akhlak yang baik bagi

murid.

Relasi Kuasa di Sekolah

Praktiknya guru juga dapat diposisikan sebagai unsur kekuasaan yang

berhubungan secara langsung dengan siswa. Guru diposisikan sebagai pemberi

penilaian secara langsung disekolah (Martono, 2014). Lembaga-lembaga yang

telah menghasilkan ilmu pengetahuan tersebut secara tidak langsung telah

menyusupi kekuasaanya (Wiradnyana, 2018). Foucault menguraikan beberapa

aspek sosial dalam proses pendisiplinan dan penghukuman melalui sistem penjara.

Sistem ini secara tidak langsung dalam perkembanganya berimplikasi dalam

praktik pendidikan modern. Di dalam praktik tradisional pendisiplinan sangat

identik dengan hukuman atau punishment yang dilakukan di tempat umum. Pada

perkembanganya hukuman secara fisik mulai dianggap tidak manusiawi di dalam

masyarakat modern. Hal seperti itu tentu untuk saat ini tidak dapat dibenarkan

(Wiradnyana, 2018).

Misalnya dalam praktik belajar mengajar dikelas pengajar cenderung

menggunakan buku pelajaran sebagai media pembelajaran bagi murid di dalam

kelas. Pengajar mencoba menghindari perbedaan pendapat di dalam kelas.

Pengajar hanya menggunakan refrensi buku pelajaran yang di pinjamkan sekolah.


Murid tidak di bebaskan mencari refrensi bacaan sendiri untuk menghindari

benturan paham. Contoh pada pelajaran yang berkaitan dengan praktik keagamaan

islam seperti tatacara doa sholat yang memilki berbagai macam-macam doa.

Berbagai macam pandangan mengenai hukum bacaan akan tetapi di sekolah hanya

mengajarkan apa yang tertulis dalam kurikulum materi yang telah ditetapkan dan

disamratakan di seluruh jenjang pendidikan SD, SMP, ataupun SMA.

E. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan guru merepresentasikan kekuasaan melalui

beragam wujud, strategi, dan fungsi. Representasi bentuk kekuasaan dalam wacana

kelas terwujud melalui penggunaan tindak tutur perintah, larangan, permintaan,

persilaan, saran yang telah menggunakan kekuasaan jabatan, paksaan,

penghargaan, keahlian, dan kharisma. Terutama kuasa guru dari riset diatas

mengenai bagaimana sikap guru memberikan metode pembelajaran yang membuat

siswa merasa dikuasai. Meskipun disisi lain banyak siswa yang berharap guru

mimiliki peran selayaknya teman. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan

bahwa kekuasaan dalam kelas digunakan sebagai bentuk pengontrolan,

pembatasan, penegasan, dan pendominasian guru dalam pembelajaran untuk

mengatur kelancaran proses pembelajaran dan mendisiplinkan perilaku siswa yang

tidak sesuai dengan etika dan aturan sekolah. Namun, di lain hal harus pula kontrol

dan batasan yang bersifat dominatif dalam hal ini menggunakan gaya otoriter

(memaksa, mengekang, mencemooh, dan menghina) di dalam kelas sebaiknya

dihindari.

F. DAFTAR PUSTAKA

https://sosiologis.com/teori-kritis (diakses tgl 01 Desember 2021)


Duverger, Maurice. 1972. Sosiologi Politik. Penerjemah Daniel Dhakidae

penyunting Alfian. Jakarta: cv.Rajawali

Zamroni. 2001. Pendidikan untuk Demokrasi. Tantangan Menuju Civil Society.

Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Taylor, L. A., Vlach, S. K., & Mosley Wetzel, M. (2018). Observing, Resisting,

and Problem-Posing Language and Power: Possibilities for Small Stories in

Inservice Teacher Education. Linguistics and Education, 46, 23–32.

Prof.Dr. S. Nasution, M.A. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Asrianti. 2019. Representasi Kekuasaan Dalam Wacana Kelas Di Sekolah

Menengah Pertama. Sulawesi Tengah.

Anda mungkin juga menyukai