Anda di halaman 1dari 7

POLEMIK BRAHMARUPA

Oleh : Y.M. Maha Dhammadhiro Thera*

(Artikel ini merupakan bagian dari tulisan berjudul ‘Buddharupa’)

Brahmarûpa atau bentuk Brahma banyak dikenal belakangan ini dengan


sebutan Dewa Empat Muka. Sebagian masyarakat suku Tiong Hoa
menyebutnya Sie Mien Fuo (Buddha empat muka) atau Sie Mien Sen(Sie Bin
Sin, Dewa empat muka). Sesungguhnya, apakah Brahma itu? Artikel di
bawah ini ditampilkan untuk membantu mengkaji tentang keberadaan
Brahma melalui pandangan beberapa sudut.

Arti Kata Brahma

Kata Brahma menurut konteks katanya berarti ‘besar’; makhluk yang


berbadan besar disebut Brahma (mahantasarîratâya brahma, akar
kata Braha = besar). Menurut pengertiannya, brahma berarti pembesar atau
penguasa tiga alam, yakni; alam manusia, alam dewa dan alam brahma.
Istilah Brahma memiliki banyak pengertian lain disesuai dengan ciri dan
fungsinya, seperti: kakek (pitâmaha), bapak, bapak makhluk alam (pitu),
penguasa tiga alam (lokesa), makhluk yang lebih luhur di antara para dewa
(surajettha), pemelihara makhluk hidup (pajâpati), dsb.

Brahma dalam Tradisi Brâhmana/Hindu

Brahma, sebagaimana yang kita kenali, adalah salah satu dari tiga dewa
utama dalam agama Hindu. Pengikut Hindu mempercayai dewa ini sebagai
dewa pencipta, dewa yang kekal, yang lebih tinggi dari dewa lainnya.
Apabila berpasangan dengan dua dewa yang lainnya, yakni: Visnu dan Siva,
ketiganya ini dikenal dengan julukan Trimurti. Istilah Trimurti ini muncul
sekitar dua ratus tahun setelah Buddhaparinibbâna, yakni saat kaum
Brâhmana menamakan ajarannya sebagai ajaran Hindu atau Jaman Hindu.

Sebenarnya, istilah Brahma ini telah muncul lama sebelum kemunculan


jaman Hindu; yakni muncul pada Jaman Veda. Jaman Veda adalah jaman
kedua dari empat jaman dalam agama Brâhmana, yakni: jaman Ariyaka,
jaman Veda, jaman Brâhmanaka, dan jaman Upanisada (Hindu). Teori
pembedaan masyarakat berdasarkan warna kulitnya atau yang dinamakan
‘kasta’ muncul di jaman Veda ini. Dan, Brahma pada masa ini diyakini
sebagai sumber dari keempat kelompok kasta di atas. Rinciannya secara
berturut-turut adalah, kasta Brâhmana muncul dari mulut Brahma, kasta
Ksatriya muncul dari lengan Brahma, kasta Vaisa muncul dari paha Brahma
dan kasta Sudra muncul dari kaki Brahma. Kemudian pada jaman
Brâhmanaka, Brahma dijadikan sebagai objek pujaan tertinggi dengan
menyisihkan kebesaran dewa Indra yang sebelumnya telah menjadi pujaan
tertinggi sejak awal mula berdirinya agama ini, yakni sejak jaman Ariyaka
dan awal jaman Veda. Brahma dianggap sebagai dewa pencipta
menggantikan dewa Indra. Dan kaum Brâhmana menyatakan diri bahwa
kaum mereka adalah keturunan Brahma.

Terhitung sejak jaman Ariyaka, yakni jaman awal kaum Ariyaka menduduki
wilayah India sekarang, kepercayaan terhadap dewa-dewa di jaman
Brâhmanaka ini kian lama kian bertambah kompleks dan timpang tindih
asal-usul maupun tugasnya. Satu sosok nama dewa bisa berasal dari
bermacam-macam sumber kemunculannya dan berlainan kwalitas dan
kekuasaannya. Dewa-dewa yang dulunya berderajat tinggi pada satu jaman
menjadi merosot sebagai dewa lumrahan di jaman lainnya. Sebaliknya, yang
dulu berderajat rendah naik menjadi berderajat tinggi yang berperanan
penting dalam mengatur kelangsungan alam semesta, termasuk alam
manusia. Brahma misalnya, dalam kitab Manûdharmasastra dikatakan
muncul dari telor emas dan sebagai pencipta dewa Visnu. Tetapi dalam
kitab Varâhapurâna disebutkan bahwa Brahma muncul dari teratai yang
muncul dari pusar dewa Visnu. Dalam kitab Padmapurânadikatakan, dewa
Visnu ingin menciptakan alam, kemudian ia membagi diri dengan
menciptakan Brahma dari pundak kanannya, menciptakan dirinya sendiri
dari pundak kirinya dan menciptakan dewa Siva dari badannya. Kecuali di
atas, masih banyak dewa-dewa objek pujaan lain yang kian lama kian
tumpang tindih keberadaannya. Ketimpang tindihan sosok dewa berikut
kwalitas dan kekuasaannya ini salah satu sebabnya adalah karena masing-
masing kelompok masyarakat pemuja dewa tertentu berusaha mengorbitkan
dewanya masing-masing. Dan terhadap dewa yang bukan pujaan mereka,
keberadaannya akan dikesampingkan, bahkan didiskreditkan.

Sehingga, setelah jaman Brâhmanaka yang bertahan selama beberapa ratus


tahun di mana dewa-dewa agama Brâhmana pada masa itu berada pada
titik puncak ketidak-jelasan dan sebagai salah satu subjek pertikaian antar
kepercayaan, muncullah jaman Hindu yang berhasrat mengatur kembali,
baik segi ajaran maupun objek-objek pujaan mereka. Di jaman Hindu, kaum
Brâhmana berhasil meringkas bentuk-bentuk dewa yang beraneka macam
itu dalam satu bentuk berupa Trimurti. Terbit satu kesepakatan bahwa,
Brahma adalah sosok pencipta, Visnu adalah sosok pemelihara, dan Siva
adalah sosok penghancur.

Mengapa dewa Brahma memiliki empat muka? Pertanyaan sejenis ini banyak
terlontar. Keberadaan Brahma dengan empat muka ini muncul dari kalangan
kaum Brâhmana sendiri. Asal usul dewa Brahma bukanlah memiliki empat
muka, melainkan lima muka. Muka yang kelima terletak di ubun-ubun
kepala. Namun muka yang kelima ini sirna karena adanya satu peristiwa.

Ceritanya adalah sebagai berikut. Dulu, dewa Brahma hanya bermuka satu,
seperti dewa-dewa lainnya. Ia mempunyai seorang shakti (dewi) bernama
dewi Sarasvati, sebagai pendampingnya. Saat sang dewi, yang adalah
sesosok dewi bertubuh indah, sedang memberikan pelayanan di dekat sang
Brahma, sekonyong-konyong timbul sorot mata berbaur nafsu birahi
tertampak di wajah sang Brahma. Karena tekanan perasaan gelisah atas
pandangan itu, sang dewi menghindar sorotan mata sang Brahma dengan
berpindah di sebelah kanan Brahma. Sang Brahma, atas dorongan nafsu
birahinya untuk bisa mengagumi keindahan tubuh sang dewi, menciptakan
muka di sisi kanan kepalanya. Sang dewi yang pemalu itu pindah lagi ke
sebelah kirinya. Sang Brahma tidak pantang menyerah. Dia ciptakan muka
di sisi kiri kepalanya mengikuti arah sang dewi. Sang dewi pindah lagi ke
belakang dengan harapan bisa lepas dari sorot mata Brahma. Namun, sang
Brahma tidak putus asa. Ia menciptakan muka di sisi belakang kepalanya.
Karena merasa tidak ada tempat nyaman lagi baginya, sang dewi pun
berdiam di angkasa. Di pihak lain, atas dorongan nafsu yang tiada tanda
reda, sang Brahma menciptakan muka kelimanya di bidang atas kepalanya.
Akhirnya, sang dewi yang tidak tahu apa yang harus diberbuat, pergi
melaporkan hal tersebut kepada dewa Siva (versi lain mengatakan kepada
dewa Visnu). Dewa Siva membantu mengatasi masalah sang dewi dengan
menebas muka yang berada di bidang atas kepala. Brahma kehilangan muka
atasnya. Dan mulai dari situlah Brahma menjadi bermuka empat. Cerita ini
tampak seperti dongeng seribu satu malam. Tetapi inilah yang tercantum
dalam kitab milik kaum Brâhmana tentang asal mula Brahma empat muka
atau Sie Mien Sen dalam bahasa Mandarinnya.

Brahma dalam Tradisi Buddhis

Tidak seperti dalam tradisi Brâhmana/Hindu yang menempatkan Brahma di


alam surgawi dan masih berlumur gairah nafsu (Kâmâvacarabhava), Brahma
dalam ajaran Buddha diletakkan di alam tersendiri, yakni alam Brahma,
yang bebas nafsu gairah (Rûpârûpabhava). Dalam kitab-kitab agama
Buddha, istilah Brahma sering disebut di sana. Artinya, agama Buddha
mengakui keberadaan Brahma. Namun, istilah brahma dalam kitab agama
Buddha itu memiliki pengertian yang berbeda dari kepercayaan kaum
Brâhmana. Batasan pengertian brahma diubah sedemikian rupa hingga
sesuai dengan doktrin agama Buddha. Perlu diketahui juga, bahwa Sang
Buddha banyak memberikan makna baru atas kata-kata yang sebelumnya
telah dipakai di jaman itu, seperti misalnya kata arahanta, brâhmana,
mokkha, bhagavantu, dsb. Pengubahan ini utamanya ditujukan agar para
pendengar ajaran Beliau memiliki pengertian baik dan benar.

Sebuah kata atau nama bisa mengandung makna lebih dari satu arti. Tiap-
tiap makna berperan dalam memahami suatu ucapan atau ajaran. Karena
itu, pemilahan makna kata dari makna-makna adalah satu tugas yang amat
penting untuk mencapai maksud sebenarnya si pengucap. Pengertian lebih
penting daripada nama itu nama yang menjulukinya sendiri. Karena, nama
adalah sekadar julukan. Sedangkan pengertian adalah arahan dari suatu
nama diucapkan. Untuk kata ‘brahma’ misalnya, umat Buddha tidak
diarahkan untuk memahaminya sebagai pusat dari makhluk alam semesta,
sosok makhluk yang kekal, yang menentukan nasib setiap insan (yang
sebenarnya juga termasuk nasib hewan dan makhluk lain), atau sosok
makhluk yang secara langsung memberi anugerah sekaligus kutukan
terhadap makhluk lain. ‘Brahma’ dalam pengertian sebagai sesosok
makhluk, adalah makhluk-makhluk yang telah mengembangkan kebajikan
besar sehingga mampu menempati alam brahma. Brahma dalam agama
Buddha bukanlah mewaliki satu makhluk saja, melainkan mewakili
sekelompok makhluk dengan berbagai macam tingkatannya. Alam Brahma
memiliki banyak tingkat. Tiap tingkat memiliki ciri khas, kemampuan, dan
batas usia penghuninya. Dewa Brahma, meskipun berusia amat lama, juga
akan habis masa usianya (meninggal dari alamnya). Ia pun akan
melanjutkan kehidupannya di alam-alam lain seperti halnya makhluk
manusia dan binatang. Dan, semasih belum mencapai tingkat-tingkat
kesucian, mereka semua tak terlepaskan dari alam samsara.

Kembali pada pengertian Brahma, Sang Buddha sendiri dalam sabdanya,


pernah menyebut diri beliau sebagai Brahma, “Brahmâti kho bhikkhave
tathâgatassetam adhivacanam”1 Para bhikkhu, kata brahma ini merupakan
nama Tathâgata. Brahma juga dipakai untuk pengertian ‘orangtua’, seperti
dalam Buddhavacana ini, “Brahmâti mâtâpitaro pubbâcariyâti vuccare”2 Ibu
dan ayah pemelihara anak, disebut brahma dan disebut guru awal. Brahma
berarti ‘luhur’, “Brahmacakkam pavatteti”3 Memutar roda nan luhur.
“… setthatthena brahmam sabbaññutaññânam …”4 Pengetahuan si
pengetahu segala yang merupakan ‘brahma’ dalam pengertian ‘luhur’.
Brahma mengacu pada ‘empat keberadaan luhur’ (mettâ, karunâ, muditâ,
upekkhâ), “Brahmam, bhikkhave … muditâya cetovimuttiyâ.”5 Duhai para
bhikkhu, di kala itu para bhikkhu berada dalam kediaman yang luhur yakni
tempat berdiam dalam muditâ, kebebasan pikiran. Keberadaan Brahma
sebagai sosok penentu nasib, pemberi rejeki, kesehatan, keselamatan, dsb.
tidak dikenal dalam pengertian Buddhis.

Perbandingan Brahma menurut Brâhmana dan Buddhis

Brahma dalam Ajaran Brâhmana:

1. Dikenal dalam ajaran para brâhmana sejak Jaman Veda.


2. Sebagai sang pencipta dan bersifat kekal. Pada jaman Veda dianggap
merupakan bagian dari segala sesuatu.
3. Dalam cirinya sebagai paramâtman, dianggap sebagai sumber semua
jiwa (âtman).
4. Pada Jaman Brâhmanaka, Brahma bersifat nonperson dan tak berjenis
kelamin.
5. Masa berikutnya, bentuk Brahma lebih berbentuk person menyerupai
manusia dengan memiliki empat muka.
6. Belakangan, Brahma mempunyai istri atau Shakti bernama Sarasvati
(dewi kebijaksanaan) dan mempunyai angsa sebagai wahananya.
7. Dilengkapi dengan Brahmavihâradharma.

Brahma dalam Ajaran Buddha

1. Bukan makhluk kekal, bukan pencipta, bukan penentu garis hidup


makhluk lain.
2. Berasal dari makhluk yang telah mengembangkan batin hingga di
tingkat rûpajjhâna dan arûpajjhâna. Kehidupannya dibatasi oleh
waktu.
3. Bersifat person, bermuka satu dan tidak memiliki istri atau Shakti.
4. Dilengkapi dengan Brahmavihâradhamma.
5. Istilah Brahma juga dipakai untuk pengertian ‘luhur’, ‘dewasa’,
‘orangtua’, dsb.

Menimbang perbandingan di atas, penerimaan brahmarûpa sebagai bentuk


pujaan dalam tradisi Buddhis dengan hanya beralasan bahwa brahma
dikenal baik dalam ajaran Buddha tidaklah cukup. Baik bentuk dan konsep
brahmarûpa maupun persepsi pemuja terhadap brahmarûpa perlu mendapat
pelurusan sedemikian rupa sehingga penghormatan yang dilakukan itu bisa
dikatakan sebagai penghormatan secara Buddhis. Namun pernyataan ini
adalah terlepas dari sikap kebebasan berkehendak dari pemuja sendiri. Satu
hak penuh bagi seseorang, dengan dasar pemikiran dan tujuan yang
disadarinya, untuk memuja satu bentuk pujaan. Ulasan ini hanya
memberikan kejelasan tentang prinsip brahma di masing-masing
kepercayaan. Sebab, penerimaan satu bentuk pujaan ‘luar’ ke dalam tradisi
Buddhis akan berarti juga menghalalkan bentuk pujaan lain untuk masuk
dalam tubuh Buddhis. Apa yang terjadi dalam agama Buddha apabila dalam
tubuhnya penuh terisi dewa-dewa pujaan kepercayaan lain?

Brahmarûpa di Thailand

Berikut ini adalah sekilas tentang kehadiran Brahmarûpa ditengah-tengah


masyarakat Thai. Artikel ini mengambil Thai sebagai kajian karena objek
pujaan brahma yang sedang dibahas di sini berkaitan erat dengan yang ada
di sana. Bisa dikatakan bahwa menjamurnya objek pujaan brahma oleh
umat Buddha di Indonesia adalah pemasukan budaya dari negara itu.
Selain mewarisi tradisi Buddhis, masyarakat Thai mewarisi tradisi kaum
Brâhmana pula. Ajaran Brâhmana berpengaruh di masyarakat ini tak kurang
dari seribu tahun yang lalu dan masih tersisa pengaruhnya hingga kini.
Kendati, ajaran Buddha telah menyebar luas di hampir keseluruhan negara
sejak lebih dari seribu tahun. Ajaran Brâhmana datang ke negara ini hampir
bersamaan dengan kedatangan agama Buddha ke sana. Namun, ajaran
Brâhmana di sana lebih dikenal dari segi tradisi dan tata upacaranya, alih-
alih dari ajarannya. Di sisi lain, agama Buddha mendapatkan tempat yang
lebih resmi sebagai ‘agama’ panutan mereka. Tradisi dan tata upacara
Brâhmana pun seolah menjadi bagian dari tradisi Buddhis. Para brâhmana
sendiri, sebelum memulai upacara ala tradisinya, memimpin peserta upacara
memohon Pañcasîla kepada bhikkhu.

Seiring dengan berlangsungnya pengaruh tradisi Brâhmana, kehidupan


masyarakat sana pun tak terpisah dari hal-hal yang berkaitan dengan
kepercayaan ini. Pura-pura Brâhmana, ritual-ritual, pemujaan kepada para
dewa, seperti: dewa Brahma, dewa Râhû, dewi Umâ atau Durga
(pendamping dewa Siva), dewa Ganesa dan lain-lain bisa dijumpai di sana.
Di antara para dewa di atas, Brahma adalah paling populer dipuja, yang
mana adalah hal yang jarang terjadi dalam masyarakat penganut
kepercayaan Brâhmana di wilayah lain, meski di India sekalipun. Umat
Brâhmana di wilayah lain justru cenderung memuja dewa Siva, dewa Visnu
atau dewa-dewa lainnya. Jadi, meskipun masyarakat Thai mengaku
penganut Buddhis, yang sebagian memang adalah penganut buddhis yang
taat, sebagian lagi adalah pemuja Brahmarûpa juga. Brahmarûpa yang
dipuja adalah brahma dalam kepercayaan Brâhmana, sosok dewa bermuka
empat, yang mampu sang pencipta makhluk, pemberi anugerah, rejeki, dan
penentu garis hidup.

Berhubungan dengan Brahmarûpa di Thai, ada sebuah legenda yang


membuat patung dewa ini melejit tingkat kepopulerannya. Meskipun
sebelumnya Brahma sudah dipuja oleh sebagian masyarakat Thai, puncak
kepopuleran patung ini adalah baru sekitar duapuluh tahunan yang lalu.
Satu hotel dengan nama Erawan, yang adalah nama seekor Gajah, dibangun
di pusat pertokoan kota Bangkok. Konon pemilik hotel ingin membangun
sebuah patung dewa yang menjadi penunggang gajah Erawan. Maka
dibangunlah patung Brahma di pojok sebelah depan hotel, yang semestinya
bukanlah patung dewa Brahma melainkan patung dewa Indra. Sebab gajah
Erawan adalah wahana atau tunggangan dari dewa Indra. Sedangkan, dewa
Brahma memiliki angsa sebagai wahana. Tidak diketahui kesalahan ini
adalah suatu kesengajaan atau tidak. Belakangan, ada satu cerita tentang
seorang wanita yang sedang di landa permasalahan, tidak tahu kemana
harus bersandar, datanglah ia ke depan patung dewa Brahma yang
kebetulan ia lihat di pojok sebuah hotel. Ia memohon penyelesaian masalah
di hadapan sang patung. Tekadpun ia keluarkan, bahwa kalau masalahnya
bisa terselesaikan, ia akan bertelanjang menari dihadapan sang patung.
Alkisah, ia benar-benar terlepas dari kegundahan akan permasalahannya.
Dilakukanlah tekadnya itu. Dari mulut ke mulut, peristiwa ini mengundang
sensasi besar bagi masyarakat sekitar. Para pemandu jalan pun
berpropaganda kepada para pelancong manca negara, terutama yang
berasal dari wilayah Asia. Para pelancong pun, yang bak sembari menyelam
minum air, beradu nasib dengan memohon segala hal yang mereka
inginkan. Alhasil, meskipun yang terkabulkan permohonannya itu tidak lebih
dari 1 persen dari keseluruhan jumlah pemohon, gema ketenaran sang
patung di pojok sebuah hotel ini menjadi ke mana-mana. Dan, celakanya,
sang patung ini akhirnya dikenal dengan istilah Sie Mien Fuo (Buddha 4
muka) alih-alih Sie Mien Sen (Dewa 4 muka), hanya karena untuk
memudahkan pendengaran para pelancong. Asal berupa sebuah patung dan
berada di kota Bangkok, satu kota yang padat dengan pemeluk Buddhis,
semuanya dianggap sebagai Fuo, patung Buddha saja.

Dari ulasan yang cukup panjang lebar di atas, kira-kira jelaslah apa yang
dimaksud Brahmarûpa; bagaimana konsep dewa Brahma menurut
Brâhmana dan menurut Buddhis; dan, bagaimana pula sepantasnya seorang
buddhis mengerti dan menghormat dewa Brahma. Sorot baliknya tentunya
kembali kepada pengikut Buddhis masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai