Brahma, sebagaimana yang kita kenali, adalah salah satu dari tiga dewa
utama dalam agama Hindu. Pengikut Hindu mempercayai dewa ini sebagai
dewa pencipta, dewa yang kekal, yang lebih tinggi dari dewa lainnya.
Apabila berpasangan dengan dua dewa yang lainnya, yakni: Visnu dan Siva,
ketiganya ini dikenal dengan julukan Trimurti. Istilah Trimurti ini muncul
sekitar dua ratus tahun setelah Buddhaparinibbâna, yakni saat kaum
Brâhmana menamakan ajarannya sebagai ajaran Hindu atau Jaman Hindu.
Terhitung sejak jaman Ariyaka, yakni jaman awal kaum Ariyaka menduduki
wilayah India sekarang, kepercayaan terhadap dewa-dewa di jaman
Brâhmanaka ini kian lama kian bertambah kompleks dan timpang tindih
asal-usul maupun tugasnya. Satu sosok nama dewa bisa berasal dari
bermacam-macam sumber kemunculannya dan berlainan kwalitas dan
kekuasaannya. Dewa-dewa yang dulunya berderajat tinggi pada satu jaman
menjadi merosot sebagai dewa lumrahan di jaman lainnya. Sebaliknya, yang
dulu berderajat rendah naik menjadi berderajat tinggi yang berperanan
penting dalam mengatur kelangsungan alam semesta, termasuk alam
manusia. Brahma misalnya, dalam kitab Manûdharmasastra dikatakan
muncul dari telor emas dan sebagai pencipta dewa Visnu. Tetapi dalam
kitab Varâhapurâna disebutkan bahwa Brahma muncul dari teratai yang
muncul dari pusar dewa Visnu. Dalam kitab Padmapurânadikatakan, dewa
Visnu ingin menciptakan alam, kemudian ia membagi diri dengan
menciptakan Brahma dari pundak kanannya, menciptakan dirinya sendiri
dari pundak kirinya dan menciptakan dewa Siva dari badannya. Kecuali di
atas, masih banyak dewa-dewa objek pujaan lain yang kian lama kian
tumpang tindih keberadaannya. Ketimpang tindihan sosok dewa berikut
kwalitas dan kekuasaannya ini salah satu sebabnya adalah karena masing-
masing kelompok masyarakat pemuja dewa tertentu berusaha mengorbitkan
dewanya masing-masing. Dan terhadap dewa yang bukan pujaan mereka,
keberadaannya akan dikesampingkan, bahkan didiskreditkan.
Mengapa dewa Brahma memiliki empat muka? Pertanyaan sejenis ini banyak
terlontar. Keberadaan Brahma dengan empat muka ini muncul dari kalangan
kaum Brâhmana sendiri. Asal usul dewa Brahma bukanlah memiliki empat
muka, melainkan lima muka. Muka yang kelima terletak di ubun-ubun
kepala. Namun muka yang kelima ini sirna karena adanya satu peristiwa.
Ceritanya adalah sebagai berikut. Dulu, dewa Brahma hanya bermuka satu,
seperti dewa-dewa lainnya. Ia mempunyai seorang shakti (dewi) bernama
dewi Sarasvati, sebagai pendampingnya. Saat sang dewi, yang adalah
sesosok dewi bertubuh indah, sedang memberikan pelayanan di dekat sang
Brahma, sekonyong-konyong timbul sorot mata berbaur nafsu birahi
tertampak di wajah sang Brahma. Karena tekanan perasaan gelisah atas
pandangan itu, sang dewi menghindar sorotan mata sang Brahma dengan
berpindah di sebelah kanan Brahma. Sang Brahma, atas dorongan nafsu
birahinya untuk bisa mengagumi keindahan tubuh sang dewi, menciptakan
muka di sisi kanan kepalanya. Sang dewi yang pemalu itu pindah lagi ke
sebelah kirinya. Sang Brahma tidak pantang menyerah. Dia ciptakan muka
di sisi kiri kepalanya mengikuti arah sang dewi. Sang dewi pindah lagi ke
belakang dengan harapan bisa lepas dari sorot mata Brahma. Namun, sang
Brahma tidak putus asa. Ia menciptakan muka di sisi belakang kepalanya.
Karena merasa tidak ada tempat nyaman lagi baginya, sang dewi pun
berdiam di angkasa. Di pihak lain, atas dorongan nafsu yang tiada tanda
reda, sang Brahma menciptakan muka kelimanya di bidang atas kepalanya.
Akhirnya, sang dewi yang tidak tahu apa yang harus diberbuat, pergi
melaporkan hal tersebut kepada dewa Siva (versi lain mengatakan kepada
dewa Visnu). Dewa Siva membantu mengatasi masalah sang dewi dengan
menebas muka yang berada di bidang atas kepala. Brahma kehilangan muka
atasnya. Dan mulai dari situlah Brahma menjadi bermuka empat. Cerita ini
tampak seperti dongeng seribu satu malam. Tetapi inilah yang tercantum
dalam kitab milik kaum Brâhmana tentang asal mula Brahma empat muka
atau Sie Mien Sen dalam bahasa Mandarinnya.
Sebuah kata atau nama bisa mengandung makna lebih dari satu arti. Tiap-
tiap makna berperan dalam memahami suatu ucapan atau ajaran. Karena
itu, pemilahan makna kata dari makna-makna adalah satu tugas yang amat
penting untuk mencapai maksud sebenarnya si pengucap. Pengertian lebih
penting daripada nama itu nama yang menjulukinya sendiri. Karena, nama
adalah sekadar julukan. Sedangkan pengertian adalah arahan dari suatu
nama diucapkan. Untuk kata ‘brahma’ misalnya, umat Buddha tidak
diarahkan untuk memahaminya sebagai pusat dari makhluk alam semesta,
sosok makhluk yang kekal, yang menentukan nasib setiap insan (yang
sebenarnya juga termasuk nasib hewan dan makhluk lain), atau sosok
makhluk yang secara langsung memberi anugerah sekaligus kutukan
terhadap makhluk lain. ‘Brahma’ dalam pengertian sebagai sesosok
makhluk, adalah makhluk-makhluk yang telah mengembangkan kebajikan
besar sehingga mampu menempati alam brahma. Brahma dalam agama
Buddha bukanlah mewaliki satu makhluk saja, melainkan mewakili
sekelompok makhluk dengan berbagai macam tingkatannya. Alam Brahma
memiliki banyak tingkat. Tiap tingkat memiliki ciri khas, kemampuan, dan
batas usia penghuninya. Dewa Brahma, meskipun berusia amat lama, juga
akan habis masa usianya (meninggal dari alamnya). Ia pun akan
melanjutkan kehidupannya di alam-alam lain seperti halnya makhluk
manusia dan binatang. Dan, semasih belum mencapai tingkat-tingkat
kesucian, mereka semua tak terlepaskan dari alam samsara.
Brahmarûpa di Thailand
Dari ulasan yang cukup panjang lebar di atas, kira-kira jelaslah apa yang
dimaksud Brahmarûpa; bagaimana konsep dewa Brahma menurut
Brâhmana dan menurut Buddhis; dan, bagaimana pula sepantasnya seorang
buddhis mengerti dan menghormat dewa Brahma. Sorot baliknya tentunya
kembali kepada pengikut Buddhis masing-masing.