Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU ANESTESI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2017


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

RESUSITASI JANTUNG PARU

Oleh:

Andi Nurlaely Hamid, S.Ked

10542 0267 11

PEMBIMBING :

dr. Zulfikar Tahir, M.Kes, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2017
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Andi Nurlaely Hamid, S.Ked

Nim : 10542 0267 11

Judul Kasus : Resusitasi Jantung Paru

Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Agustus 2017

Pembimbing,

( dr. Zulfikar Tahir, Sp.An )


KATA PENGANTAR

Bismillahi rohmani rohim

Syukur alhamdulillahi Robbil ‘alamin, tiada kata terindah selain puja dan
puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam atas segala
rahmat dan karuniaNya yang telah memberikan nikmat kesehatan dan hidayah-
Nya kepada penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai
dengan waktu yang telah direncanakan. Salawat serta salam selalu tercurah
kepada tauladan sepanjang masa, Nabi Muhammad SAW, beserta para keluarga,
sahabat, dan para pengikutnya yang senantiasa istiqomah dalam sunnahnya hingga
akhir zaman.
Kata demi kata terangkai sehingga menjadi sebuah kalimat dan kalimat
menjadi sebuah paragraf yang bermakna yang akhirnya menjadi sebuah referat
dengan judul “Resusitasi Jantung Paru” disusun sebagai suatu tugas dalam
kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Kepada dokter pembimbing, dr. Zulfikar Tahir, Sp.An, penulis mengucapkan
terima kasih atas bimbingan dan ilmu yang diberikan, dan kesabarannya dalam
membimbing penulis sampai referat ini selesai.
Akhir kata, Penulis menyadari referat ini masih jauh dari ukuran
kesempurnaan oleh karena itu saran dan kritikan yang membangun sangat
diperlukan untuk perbaikan laporan kasus ini. Semoga ada manfaat yang bisa di
ambil untuk para pembaca. Amin.

Makassar, Agustus 2017

Andi Nurlaely Hamid


BAB 1
PENDAHULUAN

Resusitasi jantung paru adalah serangkaian penyelamatan hidup pada henti


jantung. Walaupun pendekatan yang dilakukan dapat berbeda-beda, tergantung
penyelamat, korban, dan keadaan sekitar, tantangan mendasar tetap ada, yaitu
bagaimana melakukan RJP yang lebih dini, lebih cepat dan lebih efektif. Untuk
menjawabnya, pengenalan akan adanya henti jantung dan tindakan segera yang
harus dilakukan menjadi prioritas dari tulisan ini.1

Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa Negara. Terjadi


baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan 350.000
orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada.
Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti
jantung dan tidak sempat di resusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan
resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak
dilakukannya resusitasi. 1,2

Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan bayi
dan anak juga mengalaminya setiap tahun. Henti jantung akan tetap menjadi
penyebab utama kematian yang premature, dan perbaikan kecil dalam usaha
penyelamatannya akan menjadi ribuan nyawa yang dapat diselamatkan setiap
tahun. 1,2

Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang
terlatih dalam bidang kesehatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan
dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam. 1,2

Menurut American Heart Associaton, rantai kehidupan mempunyai hubungan


erat dengan tindakan jantung paru, karena penderita yang diberikan RJP,
mempunyai kesempatan yang amat besar untuk data hidup kembali . 1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Resusitasi Jantung Paru yang biasa kita kenal dengan nama RJP atau
Cardiopulmonary Resuscitation adalah usaha untuk mengembalikan fungsi
pernafasan dan atau sirkulasi akibat terhentinya fungsi dan atau denyut jantung.
Resusitasi sendiri berarti menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-
usaha untuk mencegah berlanjutnya episode henti jantung menjadi kematian
biologis. Dapat diartikan pula sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi
pernapasan dan atau sirkulasi yang kemudian memungkinkan untuk hidup normal
kembali setelah fungsi pernafasan dan atau sirkulasi gagal.3

2. 2 Indikasi

2.2.1. Henti nafas

Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernafasan dari korban atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus
dilakukan tindakan Bantuan Hidup dasar. Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan
seperti: 7

- Tenggelam atau lemas


- Stroke
- Obstruksi jalan nafas
- Epiglotitis
- Overdosis obat-obatan
- Tesengat listrik
- Infark Miokard
- Tersambar petir

Pada awal henti nafas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk
beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ
vital lainnya, jika henti napas mendapat pertolongan segera, maka hidup pasien
akan terselamatkan dan sebaliknya jika terlambat akan berakibat henti jantung
yang mungkin menjadi fatal.3

2.2.2. Henti Jantung

Henti jantung primer ( cardiac arrest ) ialah ketidak sanggupan curah jantung
untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara
mendadak dan dapat kembali normal jikadilakukan tindakan yang tepat atau dapat
menyebabkan kematian atau kerusakan otak menetap jika tindakan tidak adekuat.
Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tertentu tidak
termasuk henti jantung atau cardiac arrest.

Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi
tanpa denyut ( 80 – 90 % ) terutama jika terjadi di luar rumah sakit, kemudian
disusul ventrikel asistol ( ±10% ) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik ( ±
5% ).

Henti jantung ditandai ditandai oleh denyut nadi besar tidak teraba ( karotis,
femoralis, radialis ), disertai kebiruan ( sianosis ) atau pucat, pernapasan berhenti
atau satu- satu ( gasping, apneu ), dilatasi pupil, refleks pupil tidak ada dan pasien
dalam keadaan tidak sadar.

Pengiriman oksigen ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin


( Hb ), saturasi Hb terhadap Oksigen dan fungsi pernapasan. Resusitasi jantung
paru diperlukan jika oksigen ke otak tidak cukup, hal ini dapat mengakibatkan
otak tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Iskemia melebihi 3 – 4
menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap.
Kerusakan otak pasca resusitasi disebabkan karena keterlambatan memulai
resusitasi.

2.3 Fase – Fase Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase yaitu4:
1)      Fase I : Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan
darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan
bagaimana melakukan RJP secara benar. Terdiri dari :
  A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
  B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
  C (circulation): sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.
2)      Fase II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan
hidup dasar ditambah dengan :
  D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
  E (electrocardiogram) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah
dimulai KJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau
agonal ventricular complexes.
  F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
3)      Fase III : Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
  G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus
menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
  H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah
terjadinya kelainan neurologik yang permanen.
  H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf
pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
  H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia
yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan
perikemanusiaan.
  I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu tunjangan ventilasi, sonde
lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, serta
mengendalikan kejang.

2.4. Prosedur Resusitasi Jantung Paru


Pada dasarnya resusitasi jantung paru terdiri dari dua elemen yaitu
kompresi dada dan napas buatan.

2.4.1 Bantuan Hidup Dasar

Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif
pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi
buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan
sendiri secara normal. Resusitasi mencegah agar supaya sel-sel tidak rusak akibat
kekurangan oksigen. Bantuan hidup dasar (Basic Life Support) atau resusitasi
kardiopulmoner berarti menjaga jalan napas tetap paten (A), membuat napas
buatan (B) dan membuat sirkulasi buatan dengan pijatan jantung (C). Tindakan ini
dilakukan tanpa alat atau dengan alat yang sederhana dan harus dilakukan dengan
cepat dalam waktu kurang dari 4 menit pada suhu normal secara baik dan terarah.3

Menurut AHA Guidlines tahun 2005, tindakan BHD ini dapat disingkat
dengan teknik ABC pada prosedur RJP, yaitu :

- A (airway ) : menjaga jalan nafas tetap terbuka


- B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
- C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru

Pada tahun 2015, AHA ( American Hearth Association ) mengumumkan


perubahan prosedur RJP yang sebelumnya menggunakan A – B – C menjadi C –
A–B

Sebelum melakukan tahapan BHD terlebih dahulu dilakukan prosedur


awal pada pasien/korban, yaitu:

a. Memastikan keamanan lingkungan


Aman bagi penolong maupun aman bagi pasien/korban itu
sendiri.
b. Memastikan kesadaran pasien/korban
Dalam memastikan pasien/korban dapat dilakukan dengan
menyentuh atau menggoyangkan bahu pasien/korban dengan
lembut dan mantap, sambil memanggil namanya atau Pak!!!/
Bu!!!!/ Mas!!!/Mbak!!!, dll.
c. Meminta pertolongan
Bila diyakini pasien/korban tidak sadar atau tidak ada respon
segera minta pertolongan dengan cara : berteriak ”tolong !!!!”
beritahukan posisi dimana, pergunakan alat komunikasi yang ada,
atau aktifkan bel/sistem emergency yang ada (bel emergency di
rumah sakit).
d. Memperbaiki posisi pasien/korban
Tindakan BHD yang efektif bila pasien/korban dalam posisi
telentang, berada pada permukaaan yang rata/keras dan kering.
Bila ditemukan pasien/korban miring atau telungkup
pasien/korban harus ditelentangkan dulu dengan membalikkan
sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencegah
cedera/komplikasi.
e. Mengatur posisi penolong
Posisi penolong berlutut sejajar dengan bahu pasien/korban agar
pada ssat memberikan batuan nafas dan bantuan sirkulasi
penolong tidak perlu banyak pergerakan.

Gambar 1. Cek kesadaran dan Aktifkan Sistem Emergensi

2.4.1.1. C   (CIRCULATION)  bantuan sirkulasi


Terdiri dari 2 tahap :

1.      Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban

Ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher pasien/korban


dengan cara dua atau tiga jari penolong meraba pertengahan leher sehingga
teraba trakea, kemudian digeser ke arah penolong kira-kira 1-2 cm, raba
dengan lembut selam 5 – 10 detik. Bila teraba penolong harus memeriksa
pernafasan, bila tidak ada nafas berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila ada
nafas pertahankan airway pasien/korban.7,8

2.      Memberikan bantuan sirkulasi

Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan sirkulasi atau
kompresi jantung luar dengan cara:

- Tiga jari penolong ( telunjuk,tengan dan manis) menelusuri tulang iga


pasien/korban yang dekat dengan sisi penolong sehingga bertemu
tulang dada (sternum).
- Dari tulang dada (sternum) diukur 2- 3 jari ke atas. Daerah tersebut
merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong.
- Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu
telapak tangan diatas telapak tangan yang lain.Hindari jari-jari
menyentuh didnding dada pasien/korban.
- Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada pasien/korban
dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali
dengan  kedalaman   penekanan 1,5 – 2 inchi ( 3,8 – 5 cm).
- Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan mengembang
kembali ke posisi semula setiap kali kompresi.Waktu penekanan dan
melepaskan kompresi harus sama ( 50% duty cycle).
- Tangan tidak boleh berubah posisi.
- Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30 : 2 baik oleh satu
penolong maupun dua penolng.Kecepatan kompresi adalah 100 kali
permenit. Dilakukan selama 4 siklus.  
Tindakan kompresi  yang benar akan menghasilkan tekanan sistolik 60
– 80 mmHg dan diastolik yang sangat rendah.Selang waktu mulai dari
menemukan pasien/korban sampai dilakukan tindakan bantuan sirkulasi tidak
lebih dari 30 detik.8

Gambar 7. Kompresi dada

2.4.1.2. A  (AIRWAY) Jalan Nafas

Jika diagnosis henti jantung telah ditegakkan, maka resusitasi harus segera
dimulai. Letakkan pasien pada posisi telentang pada alas keras ubin atau selipkan
papan jika pasien diatas kasur. Jika tonus otot pasien hilang, lidah menyumbat
faring dan epiglottis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglottis penyebab utama
tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar.3 Untuk menghindari hal ini,
maka dilakukan beberapa tindakan atau parasat misalnya:

1. Head tilt-chin lift Maneuver


Tindakan ini dilakukan jika tidak ada traumapada leher. Satu tangan
penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan
lain mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung
menghadap keatas dan epiglottis terbuka, sniffing position, posisi cium,
posisi hirup.3
2. Jaw-Thrust Maneuver
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat
didorongkedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher.
Karena lidah melekat pada rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan
jalan napas terbuka.3

Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit: letakan pasien dalam posisi
terlentang, lakukan ‘manuever triple airway’ (kepala tengadah, rahang didorong
kedepan, mulut dibuka) dan jika mulut ada cairan, lender atau benda asing
lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan napas buatan.3

(a) (b)

Gambar 2. Pembebasan Jalan Nafas teknik Head tilt chin lift (a) dan tehnik jaw thrust manuver
(b)

2.4.1.3. B  (BREATHING) Bantuan Nafas


Pasien dengan henti napas, tidurkan dalam posisi terlentang. Napas
buatan tanpa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (the kiss of
life, mouth-to-mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma
trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup muka. 3
a. Mulut ke mulut (mouth-to-mouth)
Merupakan cara yang  cepat dan efektif. Pada saat memberikan
penolong tarik nafas dan mulut penolong menutup seluruhnya mulut
pasien/korban dan hidung pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk
dan ibu jari penolong.Volume udara yang berlebihan dapat
menyebabkan udara masuk ke lambung. 3

Gambar 4. Pemberian nafas dari mulut ke mulut

b. mulut ke hidung (mouth-to-nose),


Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak
memungkinkan,misalnya pasien/korban mengalami trismus atau luka
berat.Penolong sebaiknya menutup mulut  pasien/korban pada saat
memberikan bantuan nafas. 3

Gambar 5. Pernafasan dari mulut ke hidung

c. mulut ke stoma trakheostomi


Dilakukan pada pasien/korban yang terpasang trakheostomi atau
mengalami laringotomi.3
Gambar 6. Pernafasan mulut ke stoma.

2.4.2 Bantuan Hidup Lanjut


Tujuan bantuan hidup lanjut yakni mengupayakan agar jantung berdenyut
kembali dan mencapai curah jantung yang adekuat.
Komponen bantuan hidup lanjut antara lain, pengamanan jalan napas
menggunakan alat bantu, ventilasi yang adekuat, pembuatan akses intravena atau
jalur alternatif untuk induksi obat, menginterpretasikan hasil EKG, mengupayakan
sirkulasi spontan dengan cara defibrilasi jantung dan pengunaan obat – obat
emergensi yang sesuai indikasi.
2.4.2.1. D (Drugs): Pemberian obat-obatan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:
1.      Penting:
a.       adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang
diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu
diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi
ventrikel(4).
b.      Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv
dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah
selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi
spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi
metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi
yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama(4).
c.       Sulfat Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler
dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna
dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark
miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv.
Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi >
60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler
derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
d.      Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan
cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada
dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard,
tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif
menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah
defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang
mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv
sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan
infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa
lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml) (4).

2.      Berguna:
a.       Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat
karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai
20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur
untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna
untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine(4).
b.      Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti
berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi
ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine.
Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan
pengawasan yang ketat(4).
c.       Kortikosteroid: Sekaranfg lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB
methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat)
untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada
kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon
sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru
seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap
6 jam(4).

2.4.2.2. E (EKG)
Untuk diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi
ventrikel dan monitoring.

2.4.2.3 F: (Fibrilation Treatment)


Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik
tidak teratur baik amplitudo maupun frekuensinya. Terapi definitifnya adalah syok
electric (DC-Shock) dan belum ada satu obatpun yang dapat menghilangkan
fibrilasi. Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda
dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.

Gambar 8. Defibrilasi

2.4.3   Bantuan Hidup Berkepanjangan


Tujuan bantuan hidup berkepanjangan yakni, pengelolaan intensif setelah
resusitasi. Adapun tahap- tahapnya yaitu :
G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus-menerus
terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan system saraf.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic
yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf
pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia
yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan
perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran
pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.

2.5. Panduan RJP 2010

2.5.1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus


AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 mengutamakan kebutuhan RJP
yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup:

a. Kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit (perubahan dari ”kurang


lebih” 100 x/menit)
b. Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan paling
sedikit sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada penderita anak-
anak dan bayi (sekitar 1,5 inchi [4cm] pada bayi dan 2 inchi [5cm] pada
anak-anak)
Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan
kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi
sebelumnya dari AHA Guidelines for CPR and ECC
c. Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap setiap
kali selesai kompresi
d. Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada
e. Menghindari ventilasi yang berlebihan

Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi


yaitu sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang
baru lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi
untuk memberikan nafas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan nafas telah
dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan
kecepatan paling sedikit 100 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi.
Nafas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali nafas setiap 6 sampai 8 detik
(sekitar 8-10 nafas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari. 1,2

2.5.2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B


Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-
Circulation berubah menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk
menghindari penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan
efektif. Mengamankan jalan nafas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu
yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong
yang seorang diri.

Menurut penelitian AHA, beberapa menit setelah penderita mengalami


henti jantung, masih terdapat oksigen pada paru – paru dan sirkulasi darah. Oleh
karena itu memulai kompresi dada lebih dahulu diharapkan akan memompa darah
yang mengandung oksigen ke otak dan jantung sesegera mungkin. Kompresi dada
dilakukan pada tahap awal selama 30 detik sebelum melakukan pembukaan jalan
napas ( airway ) dan pemberian napas buatan ( breathing ) seperti prosedur yang
lama.
Mayoritas besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling
umum adalah Ventricular Fibrilation atau pulseless Ventricular Tachycardia.
Pada penderita tersebut, elemen paling penting dari Basic Life Support adalah
kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada
seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan nafas untuk memberikan nafas
buatan, mencari alat pembatas (barrier devices), atau mengumpulkan peralatan
ventilasi. Setelah memulai emergency response system hal berikutnya yang
penting yaitu untuk segera memulai kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang
merupakan perkecualian dari protokol ini, dimana urutan yang lama tidak
berubah. Hal ini berarti tidak ada lagi look, listen, feel, sehingga komponen ini
dihilangkan dari panduan.1,2

Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai


sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus
pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar
penderita yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan
pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal
tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang
dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan nafas dan
memberikan nafas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat
mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP.

2.5.3. Kompresi Dada


Sebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100 kali/ menit. Jumlah kompresi
dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan
kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation [ROSC]) dan
fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada
per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya
gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan nafas,
memberikan nafas buatan, dan melakukan analisis AED [Automated Electrical
Defibrilator]. 7,8,9
Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan
dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit
dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah.
Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan
tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan
gangguan pada komponen penting dari CPR tersebut. Kompresi yang inadekuat
atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total
kompresi yang diberikan per menit.

2.5.4. Kedalaman kompresi


Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1½ - 2 inch
menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan
cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada
jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan
meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.
Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk
dialirkan ke jantung dan otak.

2.5.5. RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR)


Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA
mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih
diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka.
Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk dilakukan oleh
penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli
melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil
yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi. 7,8

2.5.6. Identifikasi pernafasan agonal oleh pengantar (Dispatcher


Identification of Agonal Gasps)
Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas atau
sulit bernafas. Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan untuk memulai
RJP jika korban tidak bernafas atau pernafasan yang tidak normal. Pengecekan
kecepatan pernafasan seharusnya dilakukan sebelum aktivasi emergency response
system. 1,2

2.5.7. Penekanan krikoid


Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian
tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior
dan menekan esophagus ke vertebra servikal. Penekanan krikoid dapat
menghambat inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi
selama ventilasi dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat
ventilasi. Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi
direkomendasikan. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat
menghambat kemajuan airway dan aspirasi dapat terjadi meskipun dengan
aplikasi yang tepat. 7

2.5.8. Aktivasi Emergency Response System.


Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah
penilaian respon penderita dan pernafasan, namun seharusnya tidak ditunda.
Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan
dilakukan setelah korban yang tidak merespon. Jika penyedia pelayanan kesehatan
tidak merasakan nadi selama 10 detik, RJP harus segera dimulai dan
menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia. 7

2.5.9 Tim Resusitasi


Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif.
Misalnya : satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan
sedangkan penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu
ventilasi atau memakaikan bag mask untuk membantu pernafasan dan penolong
ke-empat mempersiapkan dan defibrilator. 8,9

Tabel perbandingan dasar BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk RJP
pada neonatus).
2.6. Bebrapa Perbedaan RJP 2010 dan 2015
Pada AHA 2015, Penolong tidak terlatih harus memberikan RJP hanya
kompresi dengan atau tanpa panduan operator untuk korban serangan jantung
dewasa. Penolong harus melanjutkan RJP hanya kompresi hingga AED atau
penolong dengan pelatihan tambahan tiba. Semua penolong tidak terlatih, pada
tingkat minimum harus memberikan kompresi dada untuk serangan jantung.
Selain itu, jika penolong terlatih mampu melakukan napas buatan, ia harus
menambahkan napas buatan dalam rasio 30 kompresi berbanding 2 napas buatan.
Pada orang dewassa yag menjadi korban serangan jantung, penolong perlu
melakukan kompresi dada dengan kecepatan 100 – 120 x / menit. Penolong harus
melakukan kompresi dada hingga kedalaman minimum 2 inci ( 5cm ) untuk
dewasa rata-rata, dengan tetap menghindari kedalaman kompresi dada yang
berlebihan ( lebih dari 2,4 inci ( 6 cm )).
Sedangkan pada AHA 2010, jika tidak menerima pelatihan tentang RJP,
endamping harus memberikan RJP hanya kompresi untuk korban dewasa yang
jatuh mendadak, dengan menegaskan untuk “ kuat dan cepat” dengan kecepatan
kompresi dada pada kecepatan minimum 100 x/menit. Tulang dada orang dewasa
harus ditekan minimum sedalam 2 inci ( 5 cm).

Anjuran dan larangan BLS untuk CPR pada orang dewasa 2015

Ringkasan komponen RJP tahun 2015


Algoritma BLS pasien serangan jantung pada orang dewasa tahun2015
Algoritma BLS pasien serangan jantung pada pediatri dengan 1 penolong
tahun2015
Algoritma BLS pasien serangan jantung pada pediatri dengan 2 penolong atau
lebih tahun2015
BAB 3

KESIMPULAN

Resusitasi jantung paru adalah usaha yang dilakukan untuk apa-apa yang

mengindikasikan terjadinya henti nafas atau henti jantung. Kompresi dilakukan

terlebih dahulu dalam kasus yang terdapat henti pernafasan atau henti jantung

karena setiap detik yang tidak dilakukan kompresi merugikan sirkulasi darah dan

mengurangkan survival rate korban. Prosedur RJP terbaru adalah kompresi dada

30 kali dengan 2 kali napas buatan. Fase-fase pada RJP adalah Bantuan Hidup

Dasar, Bantuan Hidup Lanjut dan Bantuan terus-menerus. Sistem RJP yang

dilakukan sekarang adalah adaptasi dan pembahauan dari pedoman yang telah

diperkenalkan oleh Peter Safar dan kemudiannya diadaptasi oleh American Heart

Association.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association. 2010. Part 4 Adult Basic Life Support in

Circulation Journal.

2. American Heart Association. 2005. Part 4 Adult Basic Life Supprt in

Circulation Journal

3. Latief S.A. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit

FKUI. Jakarta.

4. Bantuan Hidup Dasar. Diakses dari

http://www.scribd.com/doc/4535323/bantuan-hidup-dasar.

5. Siahaan, Olan SM. Resusitasi Jantung Paru dan Otak. Cermin Dunia

Kedokteran. 1992.

6. Resusitasi Jantung dan Paru. Diaskes dari

http://itja.wordpress.com/2010/10/07/resusitasi-jantung-paru/.

7. Bantuan Hidup Dasar. Diaskes dari

http://www.scribd.com/doc/4535323/bantuan-hidup-dasar.

8. Mayo Clinic staff. 2008. Cardiopulmonary Resusistation. Diakses dari

http://www.mayoclinic.com/health/first-aid-cpr/FA00061

9. Andrey, 2008. Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler.

Diakses dari http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasi-

jantung-paru-pada-kegawatan-kardiovaskuler/

10. American Heart Association. 2015. Fokus Utama Pembaruan Pedoman

American Heart Association 2015 untuk CPR dan ECC

Anda mungkin juga menyukai