Disusun Oleh :
Elisabeth Sri Intan Ikun, S.Ked
Pembimbing :
dr. I Made Artawan, Sp.An
i
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing klinik
Ditetapkan di : Kupang
Tanggal : Januari 2019
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Resusitasi Jantung Paru yang biasa kita kenal dengan nama RJP atau
dan atau sirkulasi akibat terhentinya fungsi dan atau denyut jntung. Resusitasi sendiri
berlanjutnya episode henti jantung menjadi kematian biologis. Dapat diartikan pula
sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi yang kemudian
memungkinkan untuk hidup normal kembali setelah fungsi pernafasan dan atau sirkulasi
gagal.3
2. 2 Indikasi
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernafasan dari korban atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus
dilakukan tindakan Bantuan Hidup dasar. Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan
seperti: 4
- Stroke
- Epiglotitis
- Overdosis obat-obatan
- Tesengat listrik
- Infark Miokard
3
- Tersambar petir
Pada awal henti nafas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk
beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ
vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan resusitasi, ini sangat bermanfaat
pada korban.4,5
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti
sirkulasi ini akan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis, radialis)
disertai kebiruan atau pucat sekali, pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil
tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Bantuan hidup dasar
merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan untuk:4
b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang
mengalami henti jantung atau henti jantung melalui resusitasi jantung paru (RJP).
b. Survei sekunder: dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis terlatih
Tubuh manusia terdiri dari beberapa sistem, diantaranya yang utama adalah
sistem pernafasn dan sistem sirkulasi. Kedua sistem ini merupakan komponen utama
4
dalam mempertahankan hidup. Terganggunya salah satu fungsi ini dapat mengakibatkan
ancaman kehilangan nyawa. Tubuh dapat menyimpan makanan untuk beberapa minggu
dan menyimpan air untuk beberapa hari, tetapi hanya dapat menyimpan oksigen
1. Jantung
Jantung berfungsi untuk memompa darah dan kerjanya sangat berhubungan erat
dengan sistem pernafasan, pada umumnya semakin cepat kerja jantung semakin cepat
1. Penyakit jantung
2. Gangguan pernafasan
3. Syok
5. Penurunan kesadaran
Bantuan hidup dasar adalah upaya oksigenasi darurat yang terdiri dari penguasaan
jalan nafas (Airway Control), bantuan pernafasan (Breathing Control), dan bantuan
5
sirkulasi (Circulation Control). Penguasaan jalan nafas dapat dilakukan dengan
membebaskan jalan nafas dari kemungkinan adanya sumbatan jalan nafas, baik total
maupun partial, yang disebebkan karena lidah jatuh ke belakang, benda padat ataupun
benda cair, serta adanya edema jalan nafas. Bantuan pernafasan dapat dilakukan dengan
ventilasi buatan dan oksigenasi pada paru secara darurat. Bantuan sirkulasi dapat
dilakukan dengan menentukan ada tidaknya denut nadi dan mengadakan sirkulasi buatan
dengan kompresi jantung, mengatasi perdarahan, dan meletakkan pasien dalam posisi
syok.2
6
gunakan AVPU untuk membantu menentukan tingkat kesadaran korban. AVPU terdiri
dari :6
A - Alert/Awas: korban bangun, meskipun mungkin masih dalam keadaan
bingung terhadap apa yang terjadi.
V - Verbal/Suara: korban merespon terhadap rangsang suara yang diberikan
oleh penolong. Oleh karena itu, penolong harus memberikan
rangsang suara yang nyaring ketika melakukan penilaian pada
tahap ini.
P - Pain/Nyeri: korban merespon terhadap rangsang nyeri yang diberikan oleh
penolong. Rangsang nyeri dapat diberikan melalui penekanan
dengan keras di pangkal kuku atau penekanan dengan
menggunakan sendi jari tangan yang dikepalkan
pada tulang sternum/tulang dada. Namun, pastikan bahwa tidak
ada tanda cidera di daerah tersebut sebelum melakukannya.
U - Unresponsive/tidak respon: korban tidak merespon semua tahapan yang ada
di atas.
Jika korban tidak merespon, inilah saatnya untuk mencari pertolongan sebelum memulai
ventilasi dan kompresi dada. Selain itu, upaya harus dilakukan untuk mendapatkan
defibrilator. Waktu untuk terapi khusus ritme, terutama defibrilasi untuk takikardia
ventrikel atau fibrilasi ventrikel, sangat penting untuk pemulihan korban dalam serangan
jantung.6
• Manuver Heimlich
Dijelaskan oleh Dr. Heimlich pada tahun 1975. Manuver ini menciptakan
batuk buatan melalui peningkatan diafragma dan mendesak udara dari paru-paru.
Ini dapat diulang beberapa kali. Setiap dorongan individu harus dilakukan dengan
korban berdiri, duduk, atau berbaring, atau bisa dikelola sendiri. Untuk korban
berdiri atau duduk, penolong berdiri di belakang korban dan meletakkan sisi
jempol dari kepalan tangan ke garis tengah perut korban tepat di atas pusar dan
jauh di bawah prosesus xiphoid. Sambil memegang kepalan tangan dengan tangan
yang lain, penolong menekan kepalan tangan ke perut korban dengan dorongan
cepat ke atas. Hal ini diulang sampai sumbatan keluar atau korban menjadi tidak
sadarkan diri. Untuk korban yang tidak sadar, individu ditempatkan telentang di
permukaan yang keras dengan penolong duduk mengangkang paha korban.6
11
Tumit tangan diposisikan di garis tengah tepat di atas umbilikus korban, dan
tangan kedua ditempatkan tepat di atas yang pertama. Penolong kemudian
memberikan dorongan ke atas yang cepat. Untuk dorongan yang diberikan
sendiri, individu tersebut dapat menggunakan kepalan tangannya sendiri untuk
mengirim dorongan atau bersandar pada objek yang kokoh. Potensi komplikasi
manuver Heimlich meliputi cedera atau ruptur viscera abdomen atau toraks atau
regurgitasi isi perut.6
• Chest Thrust
Manuver ini digunakan terutama jika seseorang mengalami obesitas atau
pada tahap akhir kehamilan dan penolong tidak dapat menjangkau sekitar perut
korban untuk melakukan dorongan perut. Untuk melakukan dorong dada dengan
korban berdiri atau duduk, penolong berdiri di belakang korban dan meletakkan
sisi ibu jari dari kepalan tangan terhadap sternum korban, menjauhi batas kosta
dan prosesus xiphoid. Sambil memegang kepalan tangan dengan tangan satunya,
penolong menekan kepalan tangan ke dada korban dengan dorongan cepat ke
belakang. Hal ini diulang sampai sumbatan keluar atau korban menjadi tidak
sadarkan diri.7 Untuk korban yang tidak sadar, individu tersebut ditempatkan
telentang di permukaan yang tegas dengan penolong berlutut di dekat sisi korban.
Tangan diletakkan di posisi yang sama seperti untuk kompresi dada, yaitu pada
sternu bawah dan melakukan dorong dengan cepat.6
• Finger Sweep
Manuver ini hanya digunakan pada korban yang tidak sadar. Dengan
menggunakan ibu jari dan jari lain pada tangan yang sama, penolong menangkap
lidah dan rahang bawah lalu mengangkatnya. Hal ini dapat menghilangkan
penyumbatan sebagian dengan mengangkat lidah dari belakang tenggorokan.
Dengan cara lain, penolong kemudian memasukkan jari telunjuknya ke bagian
belakang tenggorokan dan menggunakan tindakan pembukaan dalam upaya untuk
mengeluarkan benda asing tersebut secara manual. Hal ini harus dilakukan secara
hatihati agar tidak mendorong benda asing lebih dalam ke tenggorokan.6
13
2.4.5 Penggunaan Automated External Defibrillator (AED)
Automated external defibrillator (AED) aman dan efektif bila digunakan oleh
orang awam dengan pelatihan minimal atau tidak terlatih. Disarankan bahwa program
AED untuk korban dengan OHCA diterapkan di lokasi umum tempat adanya
kemungkinan korban serangan jantung terlihat relatif tinggi (misalnya, bandara dan
fasilitas olahraga). Terdapat bukti mengenai perbaikan tingkat kelangsungan hidup
korban setelah serangan jantung bila penolong melakukan RJP dan dengan cepat
menggunakan AED. Dengan begitu, akses cepat ke defibrilator merupakan komponen
utama dalam sistem perawatan.3 AED memungkinkan untuk mengalami defibrilasi
beberapa menit sebelum bantuan profesional tiba. Penyedia RJP harus melanjutkan RJP
saat memasang AED dan selama penggunaannya. Penyedia RJP harus berkonsentrasi
untuk mengikuti suara segera saat AED berbicara, khususnya melanjutkan RJP segera
setelah diinstruksikan, dan meminimalkan interupsi pada kompresi dada. Memang,
kejutan pra-shock dan pasca-shock pada penekanan dada harus sesingkat mungkin.
Standard AED sesuai untuk digunakan pada anak-anak di atas 8 tahun.1 Agar AED
efektif, penolong harus menggunakannya dengan benar dengan melakukan hal berikut:6
• Hidupkan dulu.
• Pastikan dada pasien terekspos dan kering. Jika perlu, lepaskan atau potong
pakaian dalam yang mungkin menghalangi. Bantalan harus dipatuhi kulit agar
syok bisa diantar ke jantung.
• Letakkan pads berukuran sesuai untuk usia pasien di dada. Tempatkan satu pad
di dada kanan atas di bawah klavikula kanan sebelah kanan sternum, tempatkan
pad yang lain di sebelah kiri sisi dada pada midaxillary line beberapa inci di
bawah ketiak kiri.
• Colokkan konektornya, dan tekan tombol analisa, jika perlu.
• Beritahu semua orang untuk "clear" sementara AED menganalisis untuk
memastikan analisis yang akurat. Pastikan tidak ada yang menyentuh pasien
selama analisis atau kejutan.
• Saat "clear" diumumkan, penolong berhenti melakukan kompresi dan melayang
beberapa inci di atas dada, namun tetap dalam posisi untuk melanjutkan
penekanan segera setelah kejutan diantarkan.
• Amati analisis AED dan siapkan kejutan untuk disampaikan jika disarankan.
Minta penyelamat di posisi siap untuk segera melanjutkan kompresinya setelah
kejutan disampaikan atau AED menyarankan agar kejutan tidak diindikasikan.
• Kirimkan kejutan dengan menekan tombol kejutan, jika diindikasikan.
14
• Setelah terjadi kejutan, segera mulailah kompresi dan lakukan 2 menit RJP
(sekitar 5 siklus 30:2) sampai AED meminta agar analisis ulang, pasien
menunjukkan tanda ROSC atau penolong diinstruksikan oleh pemimpin tim atau
personil yang lebih profesional untuk berhenti.
• Jangan menunggu AED untuk segera memulai RJP setelah pesan mengejutkan
atau tidak ada kejutan.
Kegiatan yang dilakukan untuk memulai kembali sirkulasi yang spontan dan
mendekati normal. Tahap ini meliputi obat-obatan dan cairan (Drugs and fluids) melalui
15
2.5.1 Drug and fluid
Pemasangan infus dua tempat bersamaan dengan dilakukannya RJP. Bila
memungkinkan dilakukan pemasangan kateter untuk memonitor central venous
pressure (CVP).
a. 1mg adrenalin diberikan setelah 3 kali syok dan kemudian setiap 3 – 5 menit
(selama siklus RJP berlangsung).
b. Amiodarone 300mg juga diberikan setelah 3 kali syok.
c. Atropin sudah tidak direkomendasikan lagi pemakaiannya dalam asystole atau
pulseless electrical activity (PEA).
Untuk mengatasi hipotensi diberikan dopamine 200mg dilarutkan dalam 250
– 500 ml garam fisiologis. Untuk mengatasi asidosis metabolic yang biasanya timbul
beberapa menit setelah henti jantung, diberikan Na-bikarbonat. Dosis awal yang
dianjurkan adalah 1mEq/kgBB i.v. atau 1 ampul 50ml (7.5%) yang mengandung 44,6
mEq ion Na.
a. Obat vasoaktif
Golongan obat vasoaktif mempunyai efek vasopresor, inotropik, dan vasodilator.
Obat vasopresor mempunyai aktifitas adrenergik α1 yang mengakibatkan
konstriksi arteriol, peningkatan tahanan vaskuler sistemik, peningkatan tekanan
darah. Obat inotropik akan meningkatkan kontraktilitas jantung akibat efek
adrenergik β1.
Epinefrin
Epinefrin tersedia dengan konsentrasi 1:10.000 dan 1:1000
Cara pemberian:
Kasus henti jantung
IV/IO: 1 mg (10 ml dari 1:10.000) diberikan tiap 3-5 menit selama
resusitasi, setiap pemberian diikuti dengan flush 20 ml Nacl 0,9%
dan menaikkan lengan selama 10-20 detik setelah pemberian dosis.
16
Dosis tinggi (0,2 mg/kg) dapat digunakan untuk indikasi spesifik
(overdosis beta blocker atau calcium channel blocker).
Infus kontinu: dosis inisial 0,1-0,5 μg/kg/menit (untuk pasien
dengan BB 70 kg= 7-35 μg/menit)
Kasus bradikardia/hipotensi berat
Infus: 2-10 μg/menit, dititrasi sesuai respon pasien.
Infus kontinyu: dosis inisial 0,1-0,5 μg/kg/menit (untuk pasien
dengan BB 70 kg= 7-35 μg/menit).
Kasus overdosis obat-obat golongan beta blocker atau calcium
channel blocker diberikan dosis yang lebih tinggi: injeksi intravena
0,2 mg/Kg BB
Norepinefrin
Cara pemberian:
Hanya diberikan secara intravena: BB <70 kg: 0,1-0,5 μg/kg/menit atau 7-
35 μg/menit; dititrasi sesuai respon.
Dopamin
Cara pemberian:
Infus: 2-20 μg/kg/menit, dititrasi sesuai respon pasien, dosis dinaikkan
perlahan.
Dobutamin
Cara pemberian
Infus: 2-20 μg/kg/menit dititrasi. Peningkatan denyut jantung lebih dari
10% dapat menimbulkan atau menyebabkan eksaserbasi iskemik miokard.
b. Obat antiaritmia
Sama halnya dengan vasopressor, bukti mengenai manfaat obat-obat anti aritmia
dalam penanganan henti jantung terbatas. Tidak ada obat anti aritmia yang
diberikan saat henti jantung pada manusia yang menunjukkan peningkatan
kelangsungan hidup hingga keluar rumah sakit, namun amiodaron disebutkan
dapat meningkatkan angka kelangsungan hidup hingga perawatan di rumah sakit
setelah VF/VT refrakter-shock. Tidak ada data mengenai penggunaan
17
amiodarione untuk VF?VT refrakte-shock bila yang digunakan adalah shock
tunggal. Meskipun data mengenai prognosis jangka panjang pada manusia
terbatas, tapi tetap banyak yng mendukung penggunaan oat anti aritmia untuk
penanganan aritmia pada henti jantung.
Amiodarone
Amiodaron adalah obat anti aritmia membrane-stabilising yang
meningkatkan durasi aksi potensial dan periode refrakter pada
miokardium atrium dan ventrikel. Selain itu, konduksi atrioventrikular
juga diperlambat, dan efek yang sama juga terjadi pada jalur aksesorius.
Hipotensi yang terjadi setelah pemberian amiodarone diduga tergantung
pada kecepatan pemberian dan juga diduga terjadi lebih karena efek
pelarutnya (Polysorbate 80 dan benzyl alcohol), yang menyebabkan
pelepasan histamine dibandingkan karena efek obatnya sendiri.
Berdasarkan consensus para ahli, bila VF/VT menetap, beri 300
mg amiodarone (setelah itu beri 20 mL NaCl 0,9% atau Dextrosa 5 %)177
setelah shock yang ketiga. Dosis selanjutnya, 150 mg, dapat diberikan bila
terjadi VF/VT rekuren atau refrakter, dan setelah itu diikuti denan
pemberian infuse 900 mg dalam 24 jam.
Lidokain
Lidokain bolus 1 mg/kg dapat digunakan sebagai alternative bila
amiodarone tida tersedia, tapi jangan berikan lidokain bila sebelumnya
telah diberi amiodarone.
Oksigen
18
Oksigen 100% sebaiknya diberikan sedini mungkin pada keadaan
henti nafas dan henti jantung. Begitu juga oksigen harus diberikan kepada
semua penderita yang dicurigai menderita hipoksemia apapun
penyebabnya. Pemberian oksigen diharapkan akan menaikkan tekanan
parsial oksigen dalam arteri (PaO2) mempertinggi saturasi hemoglobin
dengan oksigen sehingga memperbaiki oksigenasi jaringan.
2.5.2 Elektrocardiograph
Pemeriksaan EKG penting untuk melihat apakah pasien mengalami suatu
fibrilasi ventrikel, asistol atau yang lain.
a. Fibrilasi ventikular
Aritmia yang ditandai dengan kontraksi fibrilar otot ventrikular akibat
eksitasi berulang yang cepat pada serabut miokardial tanpa disertai kontraksi
ventrikel yang terkoordinasi. Ini merupakan ekspresi pergerakan siklus acak
atau suatu fokus ektopik dengan siklus yang sangat cepat.
Penyebab tersering adalah kurangnya aliran darah ke otot jantung karena
penyakit arteri koroner atau serangan jantung. Penyebab lain adalah syok dan
sangat rendahnya kadar potasium di dalam darah (hipokalemia).
Fibrilasi ventrikular menyebabkan ketidaksadaran sementara. Jika tidak
diobati penderita biasanya mengalami konvulsi dan berkembang menjadi
rusaknya otak setelah 5 menit karena oksigen tidak lagi mencapai otak.
b. Asystole
Asistole adalah keadaan dimana tidak adanya denyut jantung. Tidak ada
detak jantung primer terjadi ketika fungsi metabolisme selular tidak lagi utuh dan
impuls listrik tidak bisa dihasilkan. Dengan iskemia berat, sel pacu jantung tidak
dapat mengangkut ion yang diperlukan untuk mempengaruhi potensial aksi
transmembran.
c. Electromechanical dissociation
Irama elektris jantung yang kontinu tanpa adanya fungsi mekanis yang
efektif. Ini disebabkan oleh kontraksi otot ventrikel yang tidak berpasangan dari
aktivitas elektris atau mungkin setelah gangguan yang menyebabkan
penghentian aliran balik vena.
19
PEA disebabkan oleh ketidakmampuan otot jantung untuk menghasilkan
kekuatan yang cukup dalam menanggapi depolarisasi listrik. Situasi yang
menyebabkan perubahan mendadak di preload, afterload, atau kontraktilitas
sering mengakibatkan PEA.
21
g. Ketika defibrilator sedang mengisi, peringatkan ke semua penolong
kecuali yang sedang melakukan kompresi dada, agar melakukan “stand
clear” dan melepaskan semua peralatan penghantar oksigen. Pastikan
bahwa penolong yang mengompresi dada merupakan satu-satunya
orang yang menyentuh pasien
h. Ketika defibrilator telah terisi penuh, beritahu penolong yang sedang
mengompresi dada untuk minggir/stand clear; jika sudah aman, maka
berikan kejutan
i. Tanpa memeriksa ulang ritme jantung maupun mengecek denyut nadi,
lanjutkan RKP dengan rasio 30:2, yang diawali dengan kompresi dada
j. Lanjutkan RKP selama 2 menit; sementara itu, ketua tim menyiapkan
tim untuk jeda RKP berikutnya
k. Hentikan kompresi sesaat untuk mengecek monitor
l. Jika pada monitor terlihat VF/VT, maka ulangi langkah 1-6 lalu
berikan kejutan kedua
m. Jika tetap VF/VT, maka ulangi langkah 6-8 lalu berikan kejtan ketiga.
Lanjutkan kompresi dada sesegera mungkin lalu berikan adrenaline 1
mg IV dan amiodarone 300 mg IV sambil melanjutkan RKP selama 2
menit.
n. Ulangi urutan <RKP 2 menit – cek ritme/denyut –defibrilasi> ini jika
masih VF/VT
o. Berikan adrenaline tambahan 1 mg IV tiap akhir kejutan (tiap 3-5
menit)
Jika aktivitas elektrik yang teratur serta curah jantung mulai terdeteksi,
maka segera cari tanda-tanda Return Of Spontaneous Circulation (ROSC):
• Periksa denyut sentral dan jejak end-tidal CO2 jika tersedia
• Jika terdapat bukti ROSC, segera mulai perawatan pasca-resusitasi
• Jika tidak ada tanda-tanda ROSC, lanjutkan RKP dan segera mulai algoritma
untuk kasus henti jantung non-shockable (ritme jantung yang tak dapat diberi
kejut listrik)
Jika terdapat tanda-tanda asistol, maka lanjutkan RKP dan segera mulai
algoritma untuk kasus henti jantung non-shockable (ritme jantung yang tak dapat
diberi kejut listrik). Interval antara penghentian kompresi dan pemberian kejut
22
listrik harus diminimalisasi dan kalau bisa tidak lebih dari beberapa detik
(idealnya kurang dari 5 detik). Semakin lama interupsi pada kompresi dada, maka
semakin rendah kesempatan untuk mengembalikan sirkulasi spontan.
Jika ritme yang teratur telah terlihat selama RKP 2 menit, jangan interupsi
kompresi dada untuk mempalpasi denyut kecuali pasien telah menunjukkan
tandatanda kehidupan (seperti peningkatan end-tidal CO2 [ETCO2]) yang
menandakan ROSC. Jika ada keraguan telah timbul denyutan, maka tetap
lanjutkan RKP. Jika pasien telah mengalami ROSC, segera mulai perawatan
pasca-resusitasi.
Ritme jantung yang non-shockable/tidak dapat diberi kejut listrik (PEA dan
asistol)
Pulseless electrical activity (PEA) merupajan suatu kondisi di mana tidak
terdapat denyut arteri teraba yang mampu menghasilkan curah jantung meskipun
masih ada aktivitas listrik jantung. Pasien seperti ini masih mengalami kontraksi
miokardial namun terlalu lemah untuk menghasilkan denyut arteri atau tekanan
darah – hal ini kadang disebut sebagai pseudoPEA. PEA dapat disebabkan oleh
berbagai kondisi reversibel yang dapat dikoreksi. Pasien yang bertahan hidup dari
henti jantung asistol atau PEA jarang terjadi, meskipun penyebab reversibel telah
ditemukan dan diberi tatalaksana secara efektif.
Langkah-langkah untuk mengatasi PEA
a. Mulai RKP 30:2
b. Berikan adrenaline 1 mg sesegera mungkin ketika akses intravaskuler
berhasil didapatkan
c. Lanjutkan RKP 30:2 hingga jalan napas berhasil diamankan, lalu
lanjutkan kompresi dada tanpa henti selama memberikan ventilasi
d. Pertimbangkan penyebab reversibel PEA dan koreksi penyebab
tersebut jika telah diidentifikasi
e. Periksa ulang pasien setelah 2 menit
Jika tetap tidak terdapat denyutan dan tidak ada perubahan pada tampilan
EKG, maka:
a. Lanjutkan RKP
b. Periksa ulang pasien setelah 2 menit dan lakukan secara berurutan
23
c. Berikan adrenaline tambahan 1 mg tiap 3-5 menit (tiap pergantian
siklus)
Jika timbul VF/VT, segera jalankan algoritma shockable. Jika terjadi
denyut, mulai perawatan pasca-resusitasi
24
2.6 Bantuan Hidup Jangka Panjang (Prolonged Life Support).
26
Henti jantung adalah berhentinya sirkulasi darah secara mendadak pada
pasien yang masih memiliki harapan hidup. Diagnosis henti jantung dapat
ditegakkan apabila terdapat tanda dan gejala pasien tidak sadar, tidak
bergerak, tampak pucat ataupun sianosis, dilatasi pupil, dan dengan diagnosis
pasti denyut nadi besar tidak teraba.8
Penyebab henti jantung terbagi menjadi faktor primer dan faktor sekunder.
Faktor primer penyebab henti jantung adalah kelainan sistem konduksi
jantung atau kelainan pada otot jantung, seperti infark, fibrilasi ventrikel, atau
trauma petir. Faktor sekunder penyebab henti jantung adalah asfiksia akibat
gagal nafas akut yang menyebabkan kegagalan pasokan oksigen ke otak, dan
perdarahan akut/ masif akibat trauma yang menyebabkan kekosongan volume
sirkulasi sehingga tidak ada curah jantung. 8
Berikut adalah penanganan pasien paska henti jantung (post cardiac arrest
patient).8
a. Pemasangan angiografi koroner pada pasien henti jantung di luar rumah sakit
dengan suspek etiologi henti jantung dan terdapat ST elevasi pada
EKG
27
b. Semua pasien dewasa yang tidak sadar dengan ROSC setelah henti jantung
harus mendapat TTM (Targeted Temperature Management), dengan suhu
target antara 32o – 36o C, dan dipertahankan konstan selama minimal 24 jam.
c. Cegah terjadinya demam setelah dilakukan TTM. Demam setelah
dihangatkan kembali setelah dilakukan TTM berhubungan dengan
perburukan injuri neurologis
d. Cegah dan segera perbaiki hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg, MAP
<65 mmHg) selama penanganan paska henti jantung.
e. Semua pasien yang terresusitasi dari henti jantung namun tidak menunjukkan
adanya kematian atau kematian otak, dapat dievaluasi sebagai donor organ
yang berpotensi.
28
a. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif
b. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang bertanggung jawab
meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter)
c. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tidak ada dokter
sebenernya)
d. Penolong terlalu capai sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi
e. Pasien dinyatakan mati
f. Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien
berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan
atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih
(sesudah 30 – 60 menit terbukti tidak adanya denyut nadi pada keadaan
normotermia tanpa RJP).
29
Otak merupakan organ yang paling terpengaruh selama henti jantung
karena hipoksemik dan iskemik. Apabila setelah henti jantung dan dilakukan
resusitasi pasien tetap sadar, hendaknya dilakukan usaha untuk memelihara
perfusi dan oksigenasi otak.8
Tahap mentasi manusia adalah tahapan untuk melakukan resusitasi otak.
Tindakan – tindakan bantuan hidup yang berorientasi otak adalah sebagai berikut.
2.6.2.1 Homeostasis Ekstrakranium
Usaha – usaha yang dapat dilakukan dalam rangka hemeostasis
ekstrakranium antara lain:8
30
ml/kgBB/jam; bayi 4 – 6 ml/kgBB/jam; dan neonatus 3 ml/kgBB/jam.
Kehilangan cairan melalui urin, feces, keringat, dan uap air saat
ekspirasi sedikit sekali mengandung elektrolit, oleh sebab itu cairan
pengganti yang digunakan adalah cairan hipotonis – isotonis, dengan
perhatian khusus untuk natrium, contohnya cairan dextrose 5% dalam
NaCl 0,9%, dextrose 5% dalam ringer laktat. Selain cairan hipotonis
– isotonis dapat pula digunakan cairan nonelekterolit, contohnya
maltose 5%.
b. Cairan pengganti
Tujuan diberikan cairan pengganti adalah untuk mengganti
kehilangan caiaran tubuh yang disebabkan oleh sekuestrasi atau
proses patologi lain, contohnya drainase lambung, dehidrasi, dan
perdarahan. Cairan pengganti yang digunakan adalah cairan
kristaloid, misalnya NaCl 0,9%, atau cairan kristaloid, misalnya
dextrans 40.
Cairan kristaloid diindikasikan untuk mengganti cairan dan
eletrolit, namun dapat juga digunakan untuk ekspansi cairan.
Elektrolit pada kristaloid akan terdistribusi dengan mudah melalui
cairan ekstraselular, yang akan diikuti oleh berpindahnya air karena
gradien osmotik. Hal ini menyababkan distribusi cairan kristaloid
pada seluruh cairan ekstravaskuler dengan menyisakan hanya 20%
pada intravaskuler.8 Edema jaringan, seperti pada paru, lambung, dan
jaringna lunak, akan meningkat apabila cairan kristaloid diberikan
pada pasien dengan normovolum.8
c. Cairan untuk tujuan khusus
Cairan tujuan khusus diberikan untuk mengoreksi khusus terhadap
gangguan keseimbangan elektolit, misalnya dengan pemberian
natrium bikarbonat 7,5%.
d. Cairan nutrisi
Cairan nutrisi diberikan untuk memberikan nutrisi parenteral pada
pasien yang tidak dapat, tidak boleh, dan tidak bisa makan per oral.
31
2.6.2.1.2 Obat – obatan vasoaktif
Tujuan diberikannya obat-obatan vasoaktif adalah untuk memelihara
tekanan darah sistemik agar dalam batas normal.8 a. Epinefrin
Epinefrin merupakan katekolamin endogen yang disintesa di
medulla adrenal. Stimulasi lansung reseptor ß1 miokakardium oleh
epinefrin akan meningkatkan tekanan darah, curah jantung (cardiac
output), dan permintaan oksigen miokardial dengan meningkatkan
kontraktilitas jantung dan denyut jantung (peningkatan laju
depolarisasi spontan fase IV). Stimulasi α1 akan menurunkan aliran
darah ginjal dan limfa, namun akan meningkatkan tekanan perfusi
koroner dengan meningkatkan tekanan diastol aorta. Tekanan darah
sistolik meningkat, walaupun stimulasi ß2 yang memediasi terjadinya
vasodilatasi pada otot-otot skeletal akan menurunkan tekanan darah
diastol.
Dosis epinefrin dalam keadaan emergensi adalah 0,05 – 1 mg
intravena dengan pemberian bolus, bergantung seberapa kompromi
kardiovaskuler. Dalam upaya peningkatan kontraktilitas jantung atau
denyut janutng, infus kontinu disiapkan dengan 1 mg epinefrin dalam
250 mL dan diberikan dengan laju 2 – 2 mcg/menit.
b. Norepinefrin
Stimulasi langsung α1 dengan sedikit aktivitas ß2 menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah vena dan arteri. Peningkatan
kontraktilitas miokardial akibat efek dari stimulasi ß1 bersamaan
dengan vasokonstriksi perifer berkontribuasi dalam peningkatan
tekanan darah arteri. Tekanan sistolik dan diastolik mengalami
peningkatan namun peningkatan afterload dan refleks bradikardia
mencegah peningkatan curah jantung. Ekstravasasi noreinefrin pada
daerah injeksi intravena dapat menyebabkan nekrosis jaringan.
Noreponefrin dapat diberikan melalui bolus (0,1 mcg/kg) atau
menggunakan infus kontinu dengan laju 2 – 20 mcg/menit.
c. Methoxamine
Methoxamine secara farmakologi bekerja seperti phenylephrin
dan bekerja langsung pada agonis reseptor α1. Methoxamine akan
memperpanjang peningkatan tekanan darah karena vasokonstriksi,
32
dan menyebabkan bradikardi yang yang dimediasi oleh refleks vagal.
Methoxamine tersedia dalam sediaan untuk pemberian parenteral,
namun jarang digunakan.8
d. Dopamin
Dopamin merupakan adrenergik direk dan indirek yang
nonselektif dan juga dopaminergikagonis. Penggunaan dopamine
dosis rendah (0,5 – 3 mg/kgBB/menit) mengaktivasi reseptor
dopaminergik, dimana stimulasi reseptor dopaminergik ini
mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal sehingga terjadi
diuresis dan natriuresis. Penggunaan dopamin dosis sedang (3 – 10
33
Dobutamin diberikan secara infus kontinu dengan laju 2 – 20
mcg/kgBB/menit.
f. Vasopressin
Vasopresin merupakan hormon peptida yang dihasilkan oleh
pituitari posterior sebagai respon terhadap peningkatan tonisitas
plasma atau penurunan tekanan darah. Vasopresin mengaktivasi dua
subtipe reseptor G protein – coupled, dimana reseptor V1 ditemukan
di sel vaskular otot polos dan memediasi vasokonstriksi, dan reseptor
V2 ditemukan di sel tubulus ginjal dan menurunkan diuresis melalui
peningkatan permeabilitas air dan reabsorpsi air di tubulus kolektifus
ginjal.
Dosis pemberian vasopresin adalah 10 – 40 mcg (0,1 – 0,4 ml)
dibagi dalam dua sampai tiga dosis diberikan via nasal spray atau via
tablet oral. Vasopresin dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
pemberiannya harus dilakukan secara hati – hati terhadap pasien
dengan penyakit jantung koroner.
34
a. Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV)
Intermittent Positive Pressure Ventilation atau pernafasan tekanan
positif intermiten merupakan pola umum berupa pengembangan paru
oleh pernerapan tekanan positif ke jalan nafas dan dapat mengempis
secara pasif pada kapasitas fungsi residu. Variabel utama yang
dikendalikan pada pola ventilasi ini meliputi volume tidal, frekuensi
nafas, durasi inspirasi versus ekspirasi, kecepatan aliran inspirasi, dan
konsentrasi oksigen inspirasi.
b. Positive End – Expiratory Pressure (PEEP)
PEEP memungkinkan konsentrasi oksigen inspirasi diturunkan
sehingga mengurangi resiko toksisitas oksigen. PEEP sering berguna
untuk meningkatkan PO2 arterial pada pasien dengan gagal nafas.
Terkadang, penambahan PEEP yang terlalu besar menurunkan PO2
arteri, bukan meningkatkannya. Mekanisme yang mungkin terjadi
meliputi curah jantung sangat menurun sehingga menurunkan PO2
dalam darah vena campuran, penurunan ventilasi daerah dengan
perfusi baik (karena peningkatan ruang mati dan ventilasi ke daerah
dengan perfusi buruk), dan peningkatan aliran darah dari daerah
dengan ventilasi ke daerah tidak dengan ventilasi oleh peningkatan
tekanan jalan nafas. Efek membahayakan PEEP pada PO2 jarang
terjadi.8
35
Metode PEEP diaplikasikan apabila dengan FiO2 sampai 60%
pasien tidak mampu mencapai PaO2 >60 mmHg, misalnya pada kasus
edema paru akut diberikan metode PEEP dengan tujuan untuk
melawan tekanan hidrostatik/ mendorong cairan dari alveoli menuju
kapiler. Tekanan yang digunakan adalah 5 – 15 cm H2O, apabia
diberikan lebih tinggi dari 15 cm H2O akan meningkatkan tekanan
intratoraks sehingga menyebabkan aliran darah balik menurun dan
drainase cairan likuor terhambat. Oleh sebab itu, aplikasi metode
PEEP perlu dipertimbangkan pada kasus hipovolemik dan hipertensi
intrakranial.8
Pola ventilasi ini dapat digunakan sebagai alternatif lain dari nafas
kendali. Apabila digunakan sebagai alternatif nafas kendali, dimulai
dengan pemberian volume semenit 100 ml/kgBB dengan frekuensi 8
– 10 kali per menit, selanjutnya diatur berdasarkan hasil evaluasi
analisi gas darah dan respons pasien.6
e. Ventilasi Frekuensi Tinggi
Gas darah dapat dipertahankan normal dengan ventilasi tekanan
positif berfrekuensi tinggi (±20 siklus/detik) dengan volume
36
sekuncup yang rendah (50 – 100 ml). Paru digetarkan bukan
dikembangkan seperti cara konvensional, dan transpor gas terjadi
melalui kombinasi difusi dan konveksi. Salah satu pemakaian pola
ventilasi ini adalah pada pasien yang mengalami kebocoran gas dari
paru melalui fistula bronkopleura.8
37
c. Pemantauan
Pemantauan dilakukan secara ketat dan kontinu pada pasien dan
pada alat. Pemantauan terhdapat beberapa penyulit yang mungkin
terjadi, misalnya barotrauma, juga harus dilakukan. Kejadian penyulit
yang berhubungan dengan masalah ventilasi paling sering disebabkan
karena diskoneksi antara penderita dan mesin atau kebocoran pada
sirkuit pernafasannya.
d. Kebersihan saluran nafas
Pipa endotrakeal dan aplikasi ventilasi mekanik menimbulkan
hipersekresi kelenjar saluran nafas. Timbunan hipersekresi ini,
apabila tidak dibersihkan, dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas
dan atelektasis yang dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas
dan media infeksi.
Upaya cuci bronkus merupakan merupakan tindakan rutin dalam
upaya pemeliharaan kebersihan jalan nafas. Pembersihan jalan nafas
dapat dilakukan dengan melakukan hiperinflasi manual dengan
oksigen 100% memakai alat bantu nafas manual selama 2 – 3 menit.
Sputum yang didapat kemudian dibiakkan dan dilakukan uji
sensitivitas antibiotika minimal satu minggu sekali.
e. Penderita melawan mesin (fighting)
Fighting menunjukkan keadaan dimana penderita dan mesin sudah
tidak padu lagi. Ketidakpaduan ini dapat disebabkan oleh pasien tidak
nyaman, nyeri, hipoksemia, hiperkarbia, pneumotoraks, atau
kerusakan pada mesin ventilator. Perlawanan ini menyebabkan proses
ventilasi – oksigenasi tidak teratur, kebutuhan oksigen meningkat,
dan resiko komplikasi meningkat.
f. Penyulit
1) Infeksi nosokomial
Resiko terjadinya infeksi nosokomial pada pasien dengan
ventilator mekanik sangat tinggi. Resiko inu berkaitan dengan
lamanya aplikasi dan manipulasi yang dilakukan pada jalan nafas
dan manipulasi lain yang tidak mempertahankan asepsis.
38
VAP (Ventilator Associated Pneumonia) merupakan infeksi
nosokomial kedua tersering dan menempati urutan pertama
penyebab kematian akibat infeksi nosokomial pada pasien
perawatn intensif. Angka mortalitas penderita VAP berkisar 24%
– 76% dengan resiko kematian dua sampai sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan penderita tanpa pneumonia. Kuman
tersering penyebab terjadinya VAP adalah Pseudomonas
aeruginosa, Acetinobacter spp, dan Stenophomonas maltophilia.
2) Pneumotoraks
Kecurigaan terhadap pneumotoraks dimulai saat pasien mulai
melawan mesin, bentuk dan gerak dada tidak simetris, suara nafas
tidak simetris antara paru kanan dan kiri, dan terdapat hipotensi
tanpa penyebab yang jelas.
3) Atelektasis
Penyulit ini terjadi karena sumbatan sputum dalam waktu
cukup lama dan immobilisasi dalam waktu yang lama. Pencegahan
terhadap kondisi ini dapat dilakuka dengan mobilisasi, fisioterapi
dada, drainase postural, dan penghisapan sputum. Apabila belum
berhasil, bisa dihisap dengan bantuan bronkoskop lewat pipa
endotrakeal atau trakeostomi.
4) Luka dekubitus
Luka dekubitus disebabkan oleh immobilisasi yang lama.
Kejadian ini dapat dihindari dengan perubahan posisi sessering
mungkin dan dengan pemakaian kasur anti dekubitus.
g. Tunjangan nutrisi
Pasien dengan pemasangan ventilator mekanik tidak dapat makan
sendiri. Oleh karena itu, kebutuhan nutrisinya harus dipenuhi melalui
pipa nasogastrik. Penderita yang tidak boleh makan karena fungsi
saluran cerna tidak berfungsi normal, kebutuhan nutrisi dipenuhi
melalui parenteral.
Kebutuhan kalori per hari berkisar antara 30 – 40 kal/kgBB,
protein 1 – 2 g/kgBB dan kebutuhan elemen – elemen lain seperti
mineral dan vitamin. Apabila kebutuhan kalori tidak tercukupi, pasien
akan mengalami kelaparan yang dapat menyebabkan otot – otot
39
mengecil, enzim – enzim sebagai katalisator berkurang, dan
immunoglobulin serta fraksi protein juga menurun. Hal ini
menyebabkan daya tahan tubuh menurun, sehingga mudah terkena
infeksi, penyembuhan luka terhambat, dan kesulitan dalam proses
penyapihan karena otot nafas yang lemah.
b. Rocuronium
Rocuronium dieliminasi di hati dan sebagian kecil dieliminasi di
ginjal. Durasi kerja dari rocuronium tidak secara signifikan
dipengaruhhi oleh penyakit ginjal, namun durasi kerja rocuronium
dapat memanjang apabila pasien memiliki kegagalan fungsi hati dan
kehamilan. Rocuronium merupakan pilihan terbaik, dibandingkan
vecuronium, untuk pemilihan obat – obat pelemas otot untuk pasien
yang membutuhkan infus lama di ruang terapi intensif.
40
bolus. Kerja rocuronium dapat memanjang pada pasien tua, karena
massa hati pasien tua berkurang. Rocuronium memiliki onset aksi
yang menyerupai succinylcholine (60 – 90 detik) dan dapat
digunakan pada rapid-sequence induction.
c. Atracurium
Atracurium memiliki struktur benzylisoquinolone. Obat ini
termasuk obat – obatan pelumpuh otot nondepolarisasi.
Dosis yang diberikan untuk intubasi adalah 0, 5 mg/kg intravena.
Relaksasi intraoperatif dapat diberikan dengan dosis awal 0,25
mg/kg. Kemudian diberikan dengan dosis pemeliharaan 0,1 mg/kg
setiap 10 – 20 menit. Atracurium bekerja lebih singkat pada anak dan
balita dibanding pada dewasa.
41
b. mengendalikan tekanan intrakranium pada tekanan ≤15 mmHg
dengan:
1) hiperventilasi lebih lanjut (PaCO2 sampai 20 mmHg)
2) drenase CSS ventrikel
3) manitol 0,5 g/kg IV ditambah dengan 0,3 g/kg/jam intravena
4) obat-obatan diuretik, misalnya furosemid 0,5 – 1,0 mg/kg
intravena
5) tiopenton atau pentobarbital 2 – 5 mg/kg intravena, diulangi
seperlunya
6) kortikosteroid, misalnya metilprednisolon 5 mg/kgBB intravena
diikuti dengan 1 mg/kgBB tiap 6 jam intravena, atau deksametason
1 mg/kgBB intrevena diikuti dengan 0,2 mg/kgBB tiap 6 jam
selama 2 – 5 hari
7) hipotermia (32o – 36oC) jangka pendek (dengan ventilasi kendali,
pelumpuh otot, anestetika, vasodilator).
8) Obat – obatan sedatif, hipnotik, atau analgetik narkotik apabila
diperlukan
c. Monitor fungsi otak, dengan:
1) EEG
2) EEG komputer (monitor fungsi otak = “cerebral function
monitor”)
2.6.2.2.1 Diuretik
a. Mannitol
Mannitol merupakan obat – obatan osmotik diuretik. Penyerapan
mannitol sangat buruk pada sistem pencernaan saat diberikan per oral,
sehingga menyebabkan diare osmotik. Mannitol diberikan secara
intravena apabila ingin mendapatkan efek sistemik. Obat ini tidak
dimetobolisme dan disekresikan melalui filtrasi glomerulus setelah
30 – 60 menit tanpa adanya reabsorpsi tubular ataupun sekresi.
Sifat osmotik diuretik yang dimiliki oleh mannitol menyebabkan
cairan meninggalkan sel sehingga menurunkan volume intraselular.
Sifat inilah yang digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial
pada pasien dengan kondisi neurologis. Dosis mannitol yang
42
diberikan 1 – 2 kg/kgBB intravena. Tekanan intrakranial harus
dimonitor selama 60 – 60 menit.
2.6.2.2.2 Steroid
Beberapa penelitian menunjukkan steroid mampu menurunkan
vasogenik serebral edema. Penurunan tekanan intrakranial akan
menurun dalam dua sampai lima hari. Regimen yang sering digunakan
adalah deksamethasome 4 mg tiap 6 jam. Pemberian steroid pada
kelainan neurologis, seperti traumatic brain injury atau spontaneous
intracerebral hemorrhage, tidak memberikan suatu keuntungan.
2.6.2.2.3 Hipotermia
Hipotermia adalah keadaan dimana suhu tubuh <36oC. Keadaan ini
mampu mengurangi kebutuhan oksigen yang dimetabolisme dan dapat
menjadi faktor protektif dalam keadaan iskemi otak dan jantung.
Hipotalamus mempertahankan suhu inti tubuh dalam kondisi normal.
Kenaikan suhu inti tubuh dapat memicu berkeringat dan vasodilatasi,
sebaliknya penurunan suhu inti tubuh dapat menyebabkan
vasokonstriksi dan menggigil.
Hipotermia dapat menjadi faktor neuro protektif dengan
menurunkan kadar rangsangan asam amino. Selain itu, hipotermia
memiliki efek antioksidan dan efek antiinflamasi. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa hipotermia efektif dalam penanganan hipoksia/
iskemia pada dewasa dan neonatus. Mekanisme protektif hipotermia
terhadap penurunan tekanan intrakranial berhubungan dengan
penurunan konsumsi energi dengan menghambat sinyal intraseluler,
seperti pergerakan kalsium yang dapat mencegah kehabisan ATP dan
produksi radikal bebas. Hipotermia memodulasi kaskade apoptosis dan
inflamasi, sehingga menyebabkan sintesa protein apoptotic dan trofik,
sehingga terjadi penurunan eksitasi neurotransmitter dan respons
inflamasi.
43
2.6.2.2.4 EEG
Electroencephalogram (EEG) menunjukkan aktifitas elektrik neuron
otak yang ditunjukkan dengan sinyal elektik. Aktifitas elektrik otak
ditangkap oleh elektroda yang dipasangkan pada kulit kepala dan
teramplikasi pada mesin EEG yang ditunjukkan sebagai gelombang
otak.
Batasan EEG terkait sensitifitasnya meliputi: 1) aktifitas abnormal
otak tidak dapat terdeteksi saat lokasi keabnormalitasan terlalu sempit
pada permukaan otak (keterlibatan permukaan korteks ±4 cm2), foci
terletak terlalu dalam di otak (mesial aspect and inferior aspect of the
cortex), dan keterbatasan waktu pengambilan sampel; 2) kualitas teknik
yang buruk; dan 3) interpretasi signifikasi abnormalitas EEG pada
setting klinis. Batasan EEG terkain spesifitasnya meliputi: 1) ditemukan
sampai 10% abnormalitas EEG non spesifik pada orang normal; 2)
aktifitas paroxysmal epileptiform tanpa adanya tanda klinis kejang; 3)
benign focal epileptiform dilepaskan pada anak-anak tanpa kejang.
44
Delta < 4 Hz tidur tahap IV
a. Tanda vital
Pasien yang layak masuk perawatan intensif memiliki tanda – tanda vital
sebagai berikut:
45
1) Nadi <40x/menit atau >140x/menit
2) Tekanan darah sistolik arteri <80 mmHg atau 20 mmHg di bawah
tekanan darah pasien sehari – hari
3) Mean arterial pressure <60 mmHg
4) Tekanan darah diastolik arteri >120 mmHg
5) Frekuensi nafas >35x/menit
b. Nilai laboratorium
Pasien yang layak masuk perawatan intensif memiliki nilai laboratorium
sebagai berikut:
1) Natrium serum <110 mEq/L atau >170 mEq/L
2) Kalium serum <2,0 mEq/L atau 7,0 mEq/L
3) PaO2 <50 mmHg
4) pH <7,1 atau >7,7
5) Glukosa serum >800 mg/dl
6) Kalsium serum >15 mg/dl
7) Kadar toksik obat atau bahan kimia lain dengan gangguan
hemodinamik dan neurologis
c. Radiografi/ ultrasonografi/ tomografi
Pasien yang layak masuk perawatan intensif memiliki gambaran
radiografi/ ultrasonografi/ tomografi sebagai berikut:
1) Perdarahan vaskular otak, kontusio atau perdarahan subarchnoid
dengan penurunan kesadaran atau tanda defisit neurologis fokla
2) Ruptur organ dalam, kandung kemih, hepar, varises esophagus atau
uterus dengan hemodinamik tidak stabil
3) Diseksi aneurisma aorta
d. Elektrokardiogram
Pasien yang layak masuk perawatan intensif memiliki gambaran
elektrokardiogram sebagai berikut:
1) Infark miokard dengan aritmia kompleks, hemodinamik tidak stabil
atau gagal jantung kongestif
2) Ventrikel takikardi menetap atau fibrilasi
3) Blokade jantung komplit dengan hemodinamik tidak stabil
e. Pemeriksaan fisik (onset akut)
46
Pasien yang layak masuk perawatan intensif memiliki hasil pemeriksaan
fisik sebagai berikut:
1) Pupil anisokor pada pasien tidak sadar
2) Luka bakar >10% BSA
3) Anuria
4) Obstruksi jalan nafas
5) Koma
6) Sianosis
7) Kejang berlanjut
8) Tamponade jantung
47
mempertimbangkan nitrogen urin 24 jam, dalam bentuk nitrogen urea urin
(NUU), dan nitrogen dari protein dalam makanan:
48
mengalami stress, pemberian infus dianjurkan selambat mungkin, yaitu
pemberian emulsi Long Chain Triglyseride (LCT) <0,1 g/kgBB/mjam dan
emulsi campuran Medium Chain Triglyseride (MCT) / Long Chain
Triglyseride (LCT) dengan kecepatan pemberian < 0,15 g/kgBB/jam.
49
adalah dengan gastrotomi dan jejuunum perkutans. Pemberian nutrisi
enteral adalah faktor resiko independen pneumonia nosokomial yang
berhubungan dengan ventilasi mekanik. Cara pemberian sedini dan benar
akan menurunkan kejadian pneumonia.
50
BAB 3
KESIMPULAN
51
berorientasikan otak pada penderita dengan kegagalan organ multipel pasca
resusitasi. Bantuan hidup jangka panjang diteruskan sampai penderita sadar
kembali.2
52
DAFTAR PUSTAKA
53