Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara Mojopahit. Waktu
itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh
Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong
Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: “Sabda Palon sekarang saya
sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan
baik.”
Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat.
Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi),
saya sebar seluruh tanah Jawa.
Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-
lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda
akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan
laharnya.
Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang.
Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu
sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah
lagi.
Sanget-sangeting sangsara,
Kang tuwuh ing tanah Jawi,
Sinengkalan tahunira,
Lawon Sapta Ngesthi Aji,
Upami nyabrang kali,
Prapteng tengah-tengahipun,
Kaline banjir bandhang,
Jerone ngelebne jalmi,
Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.
Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji.
Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya
banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.
Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin
disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya
dunia ini ada yang membuatnya.
Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak
mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang
bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang
hilang di hutan
Bumi ilang berkatira,
Ama kathah kang ndhatengi,
Kayu kathah ingkang ilang,
Cinolong dening sujanmi,
Pan risaknya nglangkungi,
Karana rebut rinebut,
Risak tataning janma,
Yen dalu grimis keh maling,
Yen rina-wa kathah tetiyang ambegal.
Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang hilang
dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia.
Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal.
Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat
aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul
datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan
pagi sakit sorenya telah meninggal dunia
Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin
besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila
dilihat persis lautan pasang
Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang
hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut
dengan gemuruh suaranya.
Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga
menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi
habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.
Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga.
Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di
sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh.
Kebanyakan mereka meninggal dunia.
Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya.
Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara.
Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi
kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi