Best Practice Mediasi PDF
Best Practice Mediasi PDF
*drg. suryono, SH, Ph.D
Abstract
Perbedaan antara harapan dan hasil sering menjadi pemicu ketidak puasaan dari pasien atau
keluarga pasien terhadap dokter atau lembaganya. Sengketa kesehatan ini timbul sebagian besar
karena komunikasi yang tidak efektif yang berakibat mispersepsi bagi parapihak. Penyelesain sengketa
kesehatan dapat melalui pendekatan litigasi dan non litigasi keduanya memiliki berbagai keuntungan
dan kerugian. Penyelesaian sengketa melalui litigasi mempunyai sifat terbuka,memerlukan banyak
waktu, mengikuti prosedur beracara yang formal, membutuhkan pengacara dan berakhir dengan
menang atau kalah. Penyelesaian sengketa melalui non litigasi (mediasi) bersifat tertutup, tidak
mengharuskan adanya pengacara dan bersifat fleksibel.
Sengketa kesehatan mempunyai karakter yang berbeda dengan sengketa perdata lainnya, hal ini
dikarenakan sengketa dalam pelayanan kesehatan tidak hanya berdampak pada individu sebagai subjek
hukum saja tetapi juga profesi yang diemban dan atau lembaganya. Karakter dari profesi dan lembaga
akan sangat dirugikan bila proses penyelesaian sengketa kesehatan dilakukan bersifat terbuka melalui
proses litigasi, sifat terbuka akan memberikan peluang terhadap terjadinya pembunuhan karakter dari
profesi yang diembannya. Mediasi merupakan pendekatan non litigasi dalam penyelesaian sengketa
yang diakui oleh hukum positif di Indonesia, musyawarah untuk mencapai mufakat dengan bantuan
mediator dapat ditempuh melalui pendekatan kekeluargaan, prinsip kemanusiaan, keadilan dan dalam
rangka menjaga hubungan baik untuk mengakhiri sengketa yang ada. Akhir penyelesaian sengketa
melalui mediasi dapat berupa nota perdamaian atau akta perdamaian yang bersifat final dan binding.
Berdasarkan Akta Perdamaian lembaga peradilan dapat melakukan eksekusi bila terjadi pelanggaran
terhadap isi kesepakatan tersebut.
Mediasi Kesehatan sebagai bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan pendekatan yang
tepat dalam penyelesaian sengketa kesehatan yang ada, karena menguntungkan bagi parapihak , dan
bentuk akhir penyelesaiannya diakui oleh hukum positif di Indonesia. Mediasi kesehatan sebagai
komplementer dari proses litigasi akan sangat membantu lembaga peradilan dalam menyelesaikan
sengketa yang ada, sehingga tidak terjadi penumpukan perkara di lembaga peradilan.
I. Pengantar
Kemajuan teknologi dan bioteknologi dalam bidang kedokteran memberikan harapan positif bagi
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Dengan teknologi diagnose dapat dideteksi
Created by Drg.Suryono, SH, Ph.D – Pusat Mediasi Indonesia, Yogyakarta, winsuryo@hotmail.com 1
sedini mungkin dengan presisi yang maksimal, begitu juga dengan teknologi hasil perawatan yang di
capai bisa optimal dengan resiko atau dampak negative yang minimal. Teknologi dan bioteknologi dalam
pelayanan kesehatan hanya sebatas memberikan upaya maksimal dan minimalisasi dampak negative
belum bisa sampai pada tataran kepastian hasil. Hal inilah yang sebenarnya harus dipahami oleh
penggunanya baik untuk dokternya maupun oleh pasiennya. Dokter maupun pasien kadang mudah
sekali terjebak dalam nuansa promosi dari keunggulan suatu teknologi yang ditawarkan sehingga timbul
imej bahwa dengan teknologi tersebut semuanya bisa dipastikan, padahal hasil teknologi dan
bioteknologi tersebut adakalanya terjadi error ataupun menghasilkan reaksi yang berbeda terhadap
individu yang berbeda karena variasi biologi.
Kenyataan dilapangan teknologi dan bioteknologi dalam pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh suatu
lembaga pemberi layanan kesehatan seperti, rumah sakit, poliklinik, klinik khusus , ataupun praktik
pribadi sering dijadikan daya tarik tersendiri untuk kepentingan promosi, dan guna keperluan tersebut
tak jarang pihak lembaga pemberi layanan kesehatan menginformasikan keuntungan teknologi yang
digunakan secara berlebihan tanpa adanya informasi kerugian/dampak yang mungkin muncul dari
penggunaanya, bahkan sering ditambahkan pula gambar hasil sebelum dan sesudah
perawatan/pengobatan. Pemberian informasi yang tak berimbang inilah yang sering menimbulkan
miskomunikasi dan mispersepsi yang akhirnya memunculkan adanya kekecewaan karena harapan
pasien tak terpenuhi. Kekecewaan yang diekspresikan oleh pasien atau keluarga pasien inilah yang akan
memunculkan adanya sengketa terbuka dalam pelayanan kesehatan yang disebut dengan sengketa
kesehatan.
Sengketa kesehatan dapat diselesaikan melalui proses beracara di pengadilan (litigasi) maupun
upaya perdamaian (nonlitigasi) melalui mediasi.
Penyelesaian sengketa kesehatan yang terjadi antara pihak lembaga pemberi layanan kesehatan
dengan pihak pasien sebenarnya bisa dilakukan secara berjenjang melalui proses negosiasi, mediasi,
dan litigasi. Sengketa yang terjadi bila areanya masih sempit masih sebatas pihak lembaga pemberi
layanan kesehatan dengan pihak pasien maka bisa dilakukan secara informal dengan proses negosiasi
dan mediasi dan bila telah melibatkan pihak lembaga penegak hukum (formal) maka proses
menyelesaiannya bisa melalui mediasi atau persidangan di pengadilan. Mediasi mempunyai peranan
yang luas dalam penyelesaian sengketa kesehatan karena bisa masuk dalam ranah informal dan ranah
formal.
Created by Drg.Suryono, SH, Ph.D – Pusat Mediasi Indonesia, Yogyakarta, winsuryo@hotmail.com 2
Mediasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa dengan pendekatan musyawarah untuk
mencapai suatu kesepakatan perdamaian guna mengakhiri sengketa yang ada dengan dibantu oleh
pihak ke‐3 yang bersifat netral. Penyelesaian sengketa melalui proses mediasi telah diakui dalam hukum
positif Indonesia, hal ini dapat kita lihat dalam Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 1 tahun 2008,
dimana secara tegas disebutkan bahwa semua sengketa perdata wajib dilakukan mediasi terlebih dahulu
sebelum dilakukan proses persidangan. Dalam hal sengketa kesehatan, Undang Undang Kesehatan
Nomor 36 tahun 2009 juga mewajibkan untuk dilakukan mediasi terlebih dahulu bila terjadi sengketa
dalam pelayanan kesehatan.
II. Sengketa dalam Pelayanan Kesehatan dan tataran penyelesaiannya
Pelayanan kesehatan tidak selalu bisa memberikan hasil sebagaimana yang diharap oleh pasien atau
keluarga pasien, kesenjangan inilah yang sering menjadikan ketidakpuasan sehingga timbul sengketa
kesehatan. Sengketa kesehatan jika dilihat dari periodenya bisa muncul dalam periode pra perawatan,
saat perawatan maupun paska perawatan, begitu juga kalau kita lihat dari areanya bisa muncul pada
ranah kode etik, disiplin kedokteran maupun , ranah yuridis.
Pada Lembaga pemberi layanan kesehatan seperti rumah sakit, sengketa yang terjadi pada pra
perawatan dapat terjadi pada saat penerimaan awal (pendaftaran, Kegawat Daruratan), biasanya terjadi
karena pelayanan yang tidak bisa ramah atau cepat, waktu menunggu yang lama berakibat
pasien/keluarga merasa diterlantarkan, Pada periode perawatan biasanya diakibatkan oleh tenaga
kesehatan yang tidak bisa memberikan komunikasi yang efektif karena kesibukan/banyak pasien, ada
kecenderungan tidak menempatkan pasien p ada posisi yang simetris tapi lebih pada posisi patron‐
klien, sedang sengketa pasca perawatan bisa muncul karena pembiayaan yang besar, hasil dari
perawatan yang tidak sesuai dengan harapan atau munculnya efek samping atau resiko medis lainnya.
Penyelesaian sengketa ini seharusnya dilakukan secara berjenjang, mengingat profesi tenaga
kesehatan atau lembaga yang menaunginya ini rentan terhadap pembunuhan karakter oleh media
massa atau rentan terhadap pemerasan oleh oknum yang tak bertanggungjawab.
Pada tataran pertama, bila gejala sengketa terbuka mulai muncul (surat ketidakpuasan hanya
ditujukan ke pihak RS), sebaikanya pihak rumah sakit melalui bagian humas segera melakukan
pendeketan guna menjawab atau klarifikasi terhadap permasalahan yang ada sehingga pihak
pengadu/pelapor merasa puas dan terselesaikan permasalahannya. Pada tataran ke‐2 bila sengketa
Created by Drg.Suryono, SH, Ph.D – Pusat Mediasi Indonesia, Yogyakarta, winsuryo@hotmail.com 3
telah meluas (laporan ketidakpuasan pelayanan ditujukan ke RS dan ditembuskan ke
LSM/LPK/Ombudsman) dan melibatkan pihak ke‐3 (kuasa hukum/LSM/masyarakat) maka diperlukan
adanya mediator yang dianggap netral untuk membantu pneyelesaian sengketanya. Pada tataran ke‐3
jika laporan sengketa kesehatan sudah meluas pada lembaga peradilan
(kepolisian,kejaksaan,pengadilan) maka mutlak mediator bersertifikat menjadi sangat diperlukan bila
pendekatan penyelesaian sengketa secara tertutup masih di inginkan oleh pihak Rumah Sakit/ lembaga
pemberi layanan kesehatan/tenaga kesehatan. Bila proses mediasi gagal maka penyelesaian sengketa
akan dilanjutkan melalui proses persidangan di pengadilan (litigasi)
III. Penyelesaian sengketa kesehatan melalui mediasi
Pelayanan kesehatan dilakukan berdasarkan keilmuan kedokteran, dan ilmu kedokteran bukanlah
ilmu pasti layaknya matematik atau fisika yang hasilnya bisa dipastikan melalui perhitungan, oleh karena
itu kadang hasil dari perawatan tidak membuahkan hasil penyembuhan sesuai dengan harapan pasien,
misalnya penyakit tidak kunjung sembuh, penyakit berkembang menjadi parah, bahkan bisa jadi muncul
efek samping lainnya dari pengobatan yang dilakukan. Mendasarkan pada alasan tersebut sebenarnya
dugaan malpraktik yang sering dilaporkan sebenarnya bukanlah tindak pidana kejahatan karena tenaga
kesehatan, dalam memberikan pengobatan semata‐mata hanyalah untuk membantu dalam proses
penyembuhan dan tidak mempunyai motivasi untuk mencelakakan/merugikan/menghilangkan nyawa
orang lain sebagaimana sering kita temukan dalam poin laporan/tuntutan/gugatan perbuatan melawan
hukum.
Penyelesaian sengketa yang saat ini banyak diketahui oleh masyarakat adalah melalui cara litigasi
yaitu beracara di pengadilan, karakteristik penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi adalah bersisifat
terbuka, rigid yakni mengikuti prosedur formal beracara di pengadilan, otoritas ada dipengadilaan,
diperlukan adanya pengacara, dan putusan berupa menang atau kalah, karakteristik ini tentu kurang
tepat jika diterapkan pada sengketa kesehatan, karena pada umumnya inti pada sengketa kesehatan
Created by Drg.Suryono, SH, Ph.D – Pusat Mediasi Indonesia, Yogyakarta, winsuryo@hotmail.com 4
lebih pada permintaan dan pemberian penghargaan diri dari pasien, perbaikan pelayanan dari lembaga
dan atau ganti rugi terhadap kelainan yang timbul dari suatu proses pelayanan kesehatan.
Mediasi merupakan bentuk alternative penyelesaian sengketa yang diakui oleh hokum dan lembaga
penegak hukum di Indonesia, bahkan setiap sengketa yang masuk dalam pengadilan diharuskan untuk
di mediasi terlebih dahulu sebelum masuk dalam proses peradilan, ketentuan ini diatur dalam Perma
nomor 1 tahun 2008. Dalam hal penyelesaian sengketa kesehatan melalui mediasi, Pasal 29 Undang‐
Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 sebagai dapat dijadikan dasar hukum pelaksanaannya.
Mediasi dalam penyelesaian sengketa kesehatan dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral yang
disebut Mediator. Untuk bisa menjadi mediator bersertifikat, seseorang harus mengikuti pendidikan
mediator yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah mendapatkan akreditasi dari Mahkamah Agung
RI,
Mediator dengan menggunakan teknik bermediasi akan menjembatani dan memfasilitasi parapihak
untuk menemukan titik tengah dalam rangka membuat perdamaian guna mengakhiri sengketa yang
ada. Akhir dari proses mediasi adalah mediasi dinyatakan gagal atau berhasil. mediasi yang berhasil
menghasilkan nota perdamaian untuk di implemetasikan oleh parapihak, atau sebelum
diimplementasikan dapat dimintakan putusan dari hakim pengadilan menjadi akta perdamaian yang
bersifat final dan binding dan bisa dilakukan eksekusi. Akta perdamainan yang dihasilkan dari proses
mediasi memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat, tindak tunduk pada upaya hukum biasa,
oleh karena itu tidak ada proses banding maupun kasasi
IV. Pemasyarakatan mediasi dan dasar hukum mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa
Pengembangan mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa mempunyai dasar hokum hokum
yang kuat yaitu Pasal 6 UU No.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa,
Pasal 130 HIR/154 Rbg dan Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2003 yang disempurnakan dengan
Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008. Dalam penyelesaian sengketa kesehatan melalui
proses mediasi di akomodir dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh konsil kedokteran Indonesia begitu
juga dalam Undang‐Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal (29) “Dalam hal tenaga kesehatan
diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi”
Created by Drg.Suryono, SH, Ph.D – Pusat Mediasi Indonesia, Yogyakarta, winsuryo@hotmail.com 5
Mediasi pada dasarnya bersifat universal berlaku lintas suku, lintas agama bahkan lintas Negara asal
permasalahan tersebut tidak termasuk dalam permasalahan pidana dan tidak bertentangan dengan
system hukum suatu negara. Berdasarkan ketentuan dalam Perma No.1 tahun 2008 bahwasannya
perkara yang masuk di pengadilan tingkat pertama meliputi pengadilan umum dan Pengadilan agama,
Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung dapat dilakukan mediasi. Mediasi bisa dilakukan di dalam
pengadilan maupun diluar pengadilan, baik oleh hakim mediasi maupun mediator bersertifikat yang
disetujui oleh para pihak. Pada Pengadilan tingkat pertama, semua perkara perdata wajib untuk lebih
dahulu deselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Adanya ketentuan tersebut
hendaknya bisa kita respon secara lebih baik dan kita sosialisasikan pada masyarakat karena prosedur
penyelesaian dengan jalan mediasi disamping menghasilkan hasil akhir yang saling menguntungkan
kedua belah pihak yang mampu menjaga hubungan baik para pihak, juga tidak memerlukan waktu yang
lama maupun biaya yang mahal, disamping itu juga bisa membantu beban kerja lembaga peradilan
untuk mengurangi penumpukan perkara di lembaga tersebut.
Pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan adalah dalam rangka untuk
meningkatkan taraf hidup khususnya dalam bidang kesehatan sebagaimana di amanahkan dalam UUD
1945, Roh dasar dalam pelayanan kesehatan adalah memberikan pertolongan untuk meringankan
beban penderitaan pasien, upaya penyembuhan dan tidak ada sedikitpun tujuan kriminal untuk
mencelakakan atau merugikan pasien. Proses perawatan yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan
adalah dalam rangka memberikan upaya optimal untuk meringankan atau menyembuhkan penyakit
bukan suatu kepastian hasil untuk kesembuhan penyakit, oleh karena dilihat dari motivasinya sangatlah
tidak tepat bila resiko medis yang muncul akibat perawatan itu dikatakan sebagai akibat tindak
kriminal/pidana. Majelis Kehormatan Disiplin Tenaga Kesehatan/Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran dan ikatan profesi Kesehatan (PDGI,IDI,ISFI,IBI,PPNI )hendaknya bisa bekerja sama dalam
proses penyidikan dengan kepolisian agar tidak terjadi kerancuan dalam proses penyelesaian sengketa
medis yang terjadi seperti saat ini.
V. Kesimpulan
Created by Drg.Suryono, SH, Ph.D – Pusat Mediasi Indonesia, Yogyakarta, winsuryo@hotmail.com 6
Sengketa kesehatan merupakan sengketa perdata yang mempunyai karakteristik unik, dan rentan
terhadap upaya pembunuhan karakter, oleh karena itu pendekatan yang bersifat tertutup melalui
proses mediasi merupakan cara yang tepat yang bermanfaat bagi parapihak dan hubungan antara para
pihak bisa terjaga dengan baik.
Daftar Pustaka
Bagir Mana`Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa”, 2006
Puslitbang Mahkamah Agung RI, Naskah Akademik “court Dispute Resolution”Penerbit Mahkamah
Agung RI , 2003
Yashiro Kusano,Wakai terobosan baru penyelesaian sengketa,Grafindo,2008
Suryono, Mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa kesehatan, Disampaikan pada seminar
Malpraktik dan Penyelesaiannya ,Jogjakarta tahun 2009
Suryono, Penyelesaian sengketa dugaan malpraktik tenaga kesehatan, Pertemuan IBI Yogyakarta, RS
Sardjito, 2010
Susanti Adi Nugroho,Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Wawasan Kedepan, naskah akademis Litbang
MA‐RI”Mediasi”2006
Susanti Adi Nugroho,Mediasi Sebagai alternative penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta,
2009
Created by Drg.Suryono, SH, Ph.D – Pusat Mediasi Indonesia, Yogyakarta, winsuryo@hotmail.com 7