Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang.

Farmasi klinik adalah suatu keahlian profesional dalam bidang

kesehatan yang bertanggung jawab atas keamanan kerasionalan,

dan penggunaan terapi obat oleh pasien melalui penerapan ilmu

pengetahuan dan fungsi terspesialisasi.

Farmasi klinik menggunakan pengetahuan pasien untuk

memperdayakan pasien yang memperdayakan pengobatan pasien

dan kebutuhannya untuk terapi penyembuhan obat. Memerlukan data

dan data interprestasi penderita serta bantuan penderita dan interaksi

langsung dengan penderita.

Menurut siregar tahun 2004 Farmasi klinik didefinisikan sebagai

suatu keahlian khas ilmu kesehatan yang bertanggungjawab untuk

memastikan penggunaan obat yang aman dan sesuai dengan

kebutuhan pasien, melalui penerapan pengetahuan dan berbagai

fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan

pendidikan khusus dan atau pelatihan terstruktur.

Kesimpulannya, farmasi klinis merupakan suatu disiplin ilmu

kesehatan di mana farmasis memberikan asuhan (care) dan bukan

hanya memberikan jasa pelayanan klinis saja kepada pasien tetapi

juga bertujuan untuk mengoptimalkan terapi obat

dan.mempromosikan kesehatan dan preventif terhadap penyakit.


Dalam farmasi klinik terdapat handling cytostatica, pembungan

limbah obat, high alert, LASA, PTO atau DRPs, pencatatan efek

samping obat dan obat rasional.

I.2 Rumusan Masalah.

1. Apa dimaksud dari handling cytostatica?

2. Apa dimaksud dengan pembuangan limbah obat?

3. Apa dimaksud dengan high alert?

4. Apa dimaksud dengan LASA?

5. Apa dimaksud dengan PTO atau DRPs?

6. Apa dimaksud dengan pencatatan obat samping?

7. Apa dimaksud dengan obat rasional?

I.3 Tujuan.

1. Untuk mengetahui apa-apa saja yang dimaksud handling

cytostatica?

2. Untuk mengetahui apa-apa saja yang dimaksud pembuangan

limbah obat?

3. Untuk mengetahui apa-apa saja yang dimaksud high alert?

4. Untuk mengetahui apa-apa saja yang dimaksud LASA?

5. Untuk mengetahui apa-apa saja yang dimaksud PTO atau DRPs?

6. Untuk mengetahui apa-apa saja yang dimaksud pencatatan obat

samping?

7. Untuk mengetahui apa-apa saja yang dimaksud obat rasional?


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Handling Cytostatica.

II.1.1 Pengertian.

Kata cytostatic yang mempunyai arti “pembunuh sel”

banyak digunakan pada terapi kanker. Senyawa ini bersifat

karsinogen, dapat merusak jaringan hidup sehingga

penanganan terhadap obat-obat ini harus dilakukan secara

khusus. Pada tahun 1979 Fach dkk, melakukan penelitian

terhadap petugas (perawat) yang melakukan penyiapan obat

sitostatika kepada pasien. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa absorpsi sitostatika ternyata terjadi pada perawat yang

melakukan penyiapan obat sitostatika tersebut. Contoh obat-

obat yang tergolong sitostatika ialah mustin, siklofosfamid,

mefalan, ifosfamid, metotrexat, vinkristin, doxorubicin, dan

lain-lain.

II.1.2 Penanganan Obat.

Penanganan sediaan sitostatika selain kontaminasi juga

memperhatikan perlindungan terhadap petugas, produk, dan

lingkungan. Penanganan sediaan sitostatika yang aman perlu

dilakukan secara disiplin dan hati-hati untuk mencegah risiko

yang tidak diinginkan karena sebagian besar sediaan

sitostatika bersifat:
1. Karsinogenik yang berarti dapat menyebabkan kanker

2. Mutagenik yang berarti dapat rnenyebabkan mutasi genetic

3. Teratogenik yang berarti dapat membahayakan janin

Kemungkinan pemaparan yang berulang terhadap

sejumlah kecil obat-obat kanker akan mempunyai efek

karsinogenik, mutagenik, dan teratogenik yang tertunda lama

terhadap petugas yang menyiapkan dan memberikan obat-

obat ini. Adapun mekanisme cara terpaparnya obat kanker ke

dalarn tubuh ialah:

1. Inhalasi -. terhirup pada saat rekonstitusi

2. Absorpsi -. masuk ke dalam kulitjika tertumpah

3. Ingesti -. kemungkinan masukjika tertelan

II.1.3 Penanganan Obat.

Limbah obat berbahaya harus ditangani secara khusus,

dikemas dalam wadah yang terpisah, dan diberi label atau

tanda khusus. Petugas yang membawa wadah berisi limbah

obat berbahaya harus menggunakan sarung tangan untuk

mencegah exposure obat berbahaya pada petugas tersebut.

Limbah obat sitostatika dapat dimusnahkan dengan

incenerator bersuhu tinggi> 1.000°C atau beberapa obat

tertentu dapat dimusnahkan dengan penambahan suatu

bahan kimia tertentu. Termasuk limbah obat berbahaya ialah


sisa obat yang tidak terpakai, kemasan obat, spuit, j arum,

infus set, vial, ampul, dan lain-lain.

Pengelolaan limbah dari sisa buangan pencampuran

sediaan sitoatatika (seperti: bekas ampul,vial, spuit, needle,dll)

harus dilakukan sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan

bahaya pencemaran terhadap lingkungan.

Langkah – langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai

berikut:

1. Gunakan Alat Pelindung Diri (APD).

2. Tempatkan limbah pada wadah buangan tertutup. Untuk

bendabenda tajam seperti spuit vial, ampul, tempatkan di

dalam wadah yang tidak tembus benda tajam, untuk

limbah lain tempatkan dalam kantong berwarna (standar

internasional warna ungu) dan berlogo sitostatika

3. Beri label peringatan (Gambar 2) pada bagian luar wadah.

4. Bawa limbah ke tempat pembuangan menggunakan troli

tertutup.

5. Musnahkan limbah dengan incenerator 1000ºC.

6. Cuci tangan.

II.2 Pembungan Limbah.

II.2.1 Cara Pengolahan Limbah Farmasi.

Pengolahan limbah farmasi merupakan suatu kegiatan yang

cukup banyak diantara lain:


1. Penimbunan Limbah (pemisahan dan pengurangan)

Limbah farmasi dapat berasal dari industri farmasi,

rumah sakit (tempat pelayanan kesehatan), dan

perumahan. Kawasan pemukiman mengahasilkan limbah

farmasi seperti obat – obatan, tetapi karena jumlahnya tidak

banyak. Proses pemilahan dan reduksi limbah maka

penggunaanya dilakukan bersama-sama dengan limbah

domestik. Bila suatu daerah dengan tata ruang terencana

baik, yaitu kawan industri terpisah dengan kawasan

pemukiman maka penanganan buangan akan lebih mudah.

2. Penyimpanan (storage)

Penyimpanan merupakan kegiatan penampungan

sementara limbah farmasi hingga dipindahkan ke tahap

penampungan.Hal ini dilakukan dengan pertimbangan

efisiensi dan nilai ekonomis.

Penyimpanan limbah farmasi untuk waktu yang lama

tanpa kepastian yang jelas untuk memindahkan ke tempat

penampungan tidak di perbolehkan. Penyimpanan dalam

jumlah banyak dapat dikumpulkan di lokasi pengumpulan

limbah farmasi. Limbah farmasi yang dihasilkan disimpan

sementara di dalam kontainer yang tertutup dan kedap air.

Kapasitas kontainer penyimpanan harus diperhatikan agar

limbah tidak berkeluaran atau overload.


3. Penampungan atau Pengumpulan Limbah Sebelum di

Angkut.

Wadah penampungan limbah ini harus memiliki sifat

kuat, tidak mudah bocor, terhindar dari sobek atau pecah,

mempunyai tutup dan tidak overload. Penampungan dalam

limbah farmasi dilakukan perlakuan standarisasi seperti

telah ditetapkan dalam Permenkes RI no.

986/Men.Kes/Per/1992.

Penampungan limbah cair farmasi dapat dimasukkan

kedalam drum dan disimpan dalam gudang atau tempat

yang terlindung dari panas dan hujan. Limbah dalam

bentuk padat disimpan dalam wadah yang kuat (tidak

mudah bocor atau rusak) dan kedap air. Penyimpanan

harus mempertimbangkan jenis dan jumlah limbah yang

dihasilkan. Contoh, untuk buangan/limbah yang korosif

disimpan dalam wadah yang terbuat dari fiberglass.

4. Pengangkutan

Pengangkutan eksternal (pengangkutan ke tempat

pengolahan yang tidak berada pada tempat penimbunan

limbah) adalah pengangkutan limbah ke tempat

pembuangan di luar (of site). Pengangkutan eksternal

memerlukan prosedur pelaksanaan yang tepat dan harus

dipatuhi petugas yang terlibat. Prosedur tersebut termasuk


memenuhi peraturan angkutan lokal. Limbah farmasi

diangkut dalam kontainer khusus, harus kuat dan tidak

bocor.

5. Pengolahan

Limbah farmasi memerlukan pengolahan sebelum

dibuang ke lingkungan. Pengolahan ditujukan untuk

mengurangi dan menghilangkan racun atau detoksitasi,

merubah bahan berbahaya menjadi kurang berbahaya atau

untuk mempersiapkan proses berikutnya.

II.2.2 Teknik pengolahan limbah.

Metode yang digunakan untuk mengolah dan membuang

limbah farmasi tergantung pada faktor – faktor khusus yang

sesuai dengan intstitusi yang berkaitan dengan peraturan

yang berlaku dan aspek lingkungan yang berpengaruh

terhadap masyarakat.

Teknik pengolahan limbah farmasi yang mungkin

diterapkan adalah:

a. Insenerasi suhu tinggi dan rendah

b. Inaktivasi suhu tinggi

c. Sterilisasi suhu tinggi

d. Microwave treatment

e. Enkapsulasi (peng-imobilisasian)

II.2.3 Klasifikasi Limbah Farmasi


Limbah yang dihasilkan dibagi 3 macam, yaitu limbah

padat, limbah cair, cemaran debu/gas (Betalaktam dan non

Betalaktam). Pengolahan limbah Industri dilakukan sebagai

berikut:

A. Larutan Padat

Limbah padat industri farmasi dapat bersumber dari :

1) Obat-obat kadaluarsa.

2) Kegiatan produksi, meliputi: Kegagalan produksi, debu

bahan formulasi yang terkumpul dari dust collector dan

vacuum cleaner, bekas kemasan bahan baku dan

bahan pembantu serta kemasan yang rusak.

3) Kegiatan laboratorium, contohnya agar dari sampel

kadaluarsa.

4) Kegiatan kantin karyawan, terdiri dari kotoran/sampah

dapur.

5) Kegiatan administrasi perkantoran, terdiri dari arsip-

arsip kadaluarsa.

6) Sampah kebun/halaman.

Adapun penanganan untuk limbah padat ini antara lain:

1. Limbah padat termasuk dalam limbah B-3 diolah kerjasama

dengan pengolah limbah B-3 padat misalnya PT. Prasada

Pamusnah Limbah Industri (PT. PPLI).


2. Limbah media agar diolah dengan cara disterilisasi dengan

alat autoklaf, ditampung dengan wadah tertutup, kemudian

dikirim ke PT. PPLI.

3. Kotoran dan sampah dari kantin dan kebun, bekerjasama

dengan Dinas Kebersihan DKI Jakarta untuk dibuang ke

TPA.

4. Kertas berkas arsip dan berkas kemasan dihancurkan dan

di daur ulang bekerjasama dengan pihak ketiga.

B. Limbah cair

Limbah cair dapat berasal dari :

1. Kegiatan produksi.

2. Kegiatan laboratorium.

3. Kegiatan sarana penunjang.

4. Limbah domestik pencucian.

5. Limbah kantin

C. Limbah gas atau debu

Limbah gas atau debu berasal dari :

1. Kegiatan sarana penunjang : Gas yang berasal dari

sisa pembakaran bahan bakar boiler.

2. Kegiatan produksi : Debu yang berasal dari kegiatan

proses, antara lain dari proses granulasi, proses

pencetakan tablet, proses coating dan proses massa

kapsul.
Upaya pengelolaan limbah debu atau gas antara lain :

1. Limbah asap dan gas yang keluar dari boiler.

2. Limbah debu yang terjadi dalam proses produksi

dikurangi dengan pemasangan dust collector pada

ruang-ruangan yang banyak menghasikan debu.

3. Pembersihan debu-debu dengan menggunakan

vacuum cleaner, kemudian ditampung dab

dikumpulkan, untuk selanjutnya di tangani seperti

limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

II.3 High Alert.

II.3.1 Pengertian.

Obat kewaspadaan tinggi adalah obat-obatan yang

memiliki risiko Iebih tinggi untuk menyebabkan / menimbulkan

adanya komplikasi / membahayakan pasien secara signifikan

jika terdapat kesalahan penggunaan (dosis, interval, dan

pemilihannya).

II.3.2 Yang termasuk obat high alert.

1. Elektrolit pekat terdiri dari: KCl 7,46 % 25 mL

MgSO4 20% 25 mL

MgSO4 40% 25 mL

Ca Gluconas

Na Bicarbonat 8,4 % 25 mL

NaCl 3 %
Destrose 40 % 25 mL

2. Amiodaron injeksi.

3. Epinefrin.

4. Norepinefrin.

5. Lovenox.

6. Heparin.

7. Obat kanker

II.3.3 Hal-hal penting yang perlu diperhatikan

1. Setiap depo farmasi, ruang rawat, poliklinik harus memiliki

daftar obat High Alert.

2. Setiap tenaga kesehatan harus mengetahui penanganan

khusus untuk obat High Alert.

3. Obat high alert disimpan di tempat terpisah, akses terbatas,

diberi label High Alert.

4. Elektrolit pekat KCl 7,46 % dan obat kanker harus

diencerkan terlebih dahulu di depo farmasi dengan pelarut

yang sesuai sebelum diberikan kepada perawat untuk

diberikan kepada pasien.

5. Penyiapan injeksi Heparin dilakukan di depo farmasi sesuai

dosis yang diperlukan.


II.3.4 Pemberian obat high alert kepada pasien

1. Sebelum Perawat memberikan obat high alert kepada

pasien, Perawat lain harus melakukan pemeriksaan

kembali secara independen (double check):

a. Kesesuaian antara obat dengan rekam medik/ instruksi

dokter dan dengan kardeks.

b. Ketepatan perhitungan dosis obat.

c. Identitas pasien.

2. Obat high alert infus harus dipastikan:

a. Ketepatan kecepatan infus.

b. Jika obat lebih dari satu, tempelkan label nama obat

pada syringe pump dan di setiap ujung jalur slang.

3. Setiap kali pasien pindah ruang rawat, Perawat pengantar

menjelaskan kepada Perawat penerima pasien, bahwa

pasien mendapatkan obat high alert.

II.4 Lasa.

II.4.1 Pengertian.

Obat-obat LASA atau NORUM adalah obat-obat yang

terlihat bentuknya dan/atau terdengar pelafalannya mirip

dengan obat yang lain. Look Alike Sound Alike merupakan

kemiripan nama obat, bentuk kemasan dan pelafalan yang

dapat menimbulkan kesalahan dalam pemberian obat ke

pasien sehingga meningkatkan medication error, terlebih


apabila kedua/lebih jenis obat tersebut memiliki indikasi yang

berbeda. Selain itu kesalahan obat tersebut juga dapat

disebabkan oleh order yang tidak jelas, tulisan dokter yang

buruk, ada order lisan yang tidak tepat, kurangnya

pemeriksaan/verifikasi kembali, banyaknya jumlah jenis obat,

dan lingkungan kerja yang buruk.

Obat LASA tergolong obat yang rentan terhadap

Medication Error(ME) sehingga perlu penanganan dan

penandaan khusus, sehingga obat LASA lebih terjamin

keamanannya dan mencegah terjadinya kesalahan

penggunaan obat agar tercapai patient safety.

II.4.2 Penandaan obat LASA.

1. Obat LASA tergolong obat yang rentan terhadap

medication error sehingga perlu penanganan dan

penandaan khusus.

2. Setiap obat LASA yang masuk dan diterima di gudang

farmasi sentral Rumah Sakit diberi tanda “OBAT LASA”

pada kotak pembungkus (BOX OBAT). Sedangkan

penandaan pada tiap sediaan obat (ampul,vial ataupun

obat oral) dilakukan di masing-masing satelit farmasi

sebelum obat diberikan kepada pasien.

3. Tanda obat LASA adalah sebagai berikut :


II.4.3 Penyimpanan obat LASA

1. Obat LASA disimpan terpisah dengan obat LASA lainnya

yang sama jenisnya, dan disesuaikan dengan stabilitas

penyimpanan.

2. Terdapat tanda LASA di tempat penyimpanan.

3. Tanda LASA pada kotak kemasan luar harus berada di sisi

sebelah luar sehingga mudah terlihat.

4. Bila perlu disimpan di dalam lemari pendingin, maka

usahakan dimasukkan dalam lemari pendingin yang

terpisah.

5. Obat LASA yang berada di bangsal perawatan disimpan

sesuai dengan stabilitas obat dalam tempat terpisah

dengan obat lain yang diberi tanda LASA.

II.4.4 Solusi yang dapat kita terapkan untuk menghindari terjadinya

LASA yaitu :

1. Penyusunan obat-obat LASA yang menyesuaikan dengan

SPO yang ada.

2. Sebisa mungkin menghindari order obat secara lisan

terutama melalui telepon, kemungkinan kesalahan

mendengar sangat tinggi. Apabila dilakukan dengan lisan


sebaiknya memberikan penekanan intonasi pada obat

tersebut atau dengan mengeja huruf.

3. Apoteker mengidentifikasi obat yang diresepkan dengan

teliti, disesuaikan nama dagang, nama generik, indikasi,

serta kekuatan sediaannya.

4. LASA disimpan dengan jarak yang berjauhan satu sama

lain dan diberi tanda LASA yang jelas dan mudah terbaca.

II.5 Problem Terapi Obat (PTO).

II.5.1 Pengertian.

Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang

tidak diharapkan, berupa pengalaman pasien yang melibatkan

atau diduga melibatkan terapi obat dan pada kenyataannya

atau potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang

diharapkan. Drug Related Problem merupakan maslah yang

terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas

kualitas hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi

dan sosial pasien. Pharmaceuticaal care Network Europe

mendefinisikan masalah terkait obat (DPRs) adalah kejadian

suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata

atau potensial mengganggu hasil klinik kesehatan yang

diinginkan.

II.5.2 Klasifikasi DRP (Drug Related Problem)


Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE

Classification V5.01) mengelompokkan masalah terkait obat

sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006)

1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug

Reaction/ADR) Pasien mengalami reaksi obat yang tidak

dikehendaki seperti efek samping atau toksisitas.

2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)

Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh

atau akan memperoleh obat yang salah (atau tidak

memperoleh obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah

pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapi indikasi

tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai, kontraindikasi

dengan obat yang digunakan, obat tidak diresepkan untuk

indikasi yang jelas.

3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)

Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh

dosis yang lebih besar atau lebih kecil dar ipada yang

dibutuhkannya.

4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug

use/administration problem)
Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak

memberikan/tidak menggunakan obat sama sekali atau

memberikan/menggunakan yang tidak diresepkan.

5. Interak siobat (Interaction)

Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-

makanan yang bermanifestasi atau potensial.

6. Masalah lainnya (Others)

Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi,

kesadaran yang kurang mengenai kesehatan dan penyakit,

keluhan yang tidak jelas(memerlukan klarifikasi lebih

lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahui penyebabnya,

perlu pemeriksaan laboratorium.

II.5.3 Secara ringkas langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan

menangani DRPs adalah sebagai berikut :

1. Menentukan klasifikasi permasalahan terapi obat yang

terjadi.

2. Menentukan penyebab terjadinya DRPs.

3. Menentukan tindakan intervensi yang paling tepat terhadap

DRPs.

4. Melakukan assesmen (penilaian) terhadap intervensi yang

telah dilakukan untuk evaluasi

II.5.4 Jenis-jenis DRPs dan kemungkinannya.


1. Terapi obat tambahan kemungkinan penyebabnya pasien

dengan kondisi kesehatan terbaru membutuhkan terapi

obat terbaru. Pasien kronik membutuhkan obat lanjutan.

2. Terapi obat yang tidak perlu kemungkinan penyebabnya

pasien mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi. Pasien

mendapatkan obat atau hasil pengobatan yang toksik.

Pasien dengan masalah gabungan penyalahgunaan obat,

pengguna alcohol, atau merokok.

3. Obat salah kemungkinan penyebabnya pasien dengan

masalah obat yang tidak efektif. Pasien alergi dengan

pengobatan. Pasien menerima obat efektif terapi mahal.

Pasien menerima obat efektif tetapi terapi tidak aman.

4. Dosis terlalu rendah kemungkinan penyebabnya dosis yang

digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon pada

pasien. Obat, dosis, rute atau formulasi tidak mencukupi

untuk pasien. Dosis dan interval fleksibilitas tidak

mencukupi untuk pasien.

5. Reaksi obat yang merugikan kemungkinan penyebabnya

pasien dengan pemberian obat yang terlalu cepat. Pasien

yang memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan. Pasien

mendapatkan resiko berbahaya jika obat digunakan. Hasil

dari tes laboratorium pasien dapat berubah karena

gangguan obat lain.


6. Dosis terlalu tinggi kemungkinan penyebabnya dosis terlalu

tinggi untuk pasien. Pasien dengan dosis obat meningkat

terlalu cepat. Pasien dengan akumulasi obat dari

pemberian obat kronik.

7. Kepatuhan kemungkinan penyebabnya pasien tidak

menerima aturan pemakaian obat yang tepat. Pasien tidak

patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan.

Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena

harganya terlalu mahal.

II.6 Pencatatan Efek Samping Obat.

II.6.1 Pengertian.

Efek samping dalam pembahasan ini adalah setiap

efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau

membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu

pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan

sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal

mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang

sebagian besar sudah diketahui.

Beberapa contoh efek samping misalnya:

a. Reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi

imunologik),

b. Hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek

farmakologik yang berlebihan),


c. Osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid

jangka lama (efek samping karena penggunaan

jangka lama),

d. Hipertensi karena penghentian pemberian klonidin

(gejala penghentian obat - withdrawal syndrome),

e. Fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan

talidomid pada masa awal kehamilan (efek

teratogenik)

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) adalah program

pemantauan keamanan obat yang sudah beredar ( pasca-

pemasaran). Meso atau monitoring efek samping obat sangat

diperlukan hal ini bertujuan untuk pemantauan efek samping

obat yang sudah beredar masih perlu dilakukan karna

penelitian atau ijin yang dilakukan sebelum obat diedarkan,

baik uji preklinis maupun uji klinis belum sepenuhnya

mengungkapkan efeksamping obat utamanya efek samping

yang jarang terjadi atau pun yang timbul setelah penggunaan

obat untuk jangka waktu yang lama.

II.6.2 Tindak Lanjut Setelah Dilakukan Monitoring Efek Samping

Obat.

Setelah melakukan monitoring efek samping obat, data

tersebut akan dikirmkan ke pada pusat meso di Jakarta,

kemudian semua informasi yang terkumpul akan digunakan


sebagai bahan untuk melakukan penilaian kembali terhadap

obat yang beredar serta melakukan tindakan pengamanan

atau penyesuaian yang di perlukan. Selanjutnya data

tersebut akan dikirimkan kembali kepada pelapor. Dan

menyusun rekomendasi untuk tindak lanjut regulatori. Tindak

lanjut regulatori berupa :

a. Pembatasan dosis

b. Pembatasan indikasi

c. Pembatasan besar kemasan

d. Pembekuan izin edar

e. Penarikan dari peredaran.

II.6.3 Problema terapi obat pada pasien dapat dikategorikan menjadi

8 (delapan) tipe utama:

a. Indikasi yang tidak diberi terapi. Pasien memerlukan terapi

obat untuk indikasi spesifik tetapi pasien tidak

memperolehnya.

b. Pemilihan obat yang tidak tepat. Obat yang diberikan pada

pasien tidak efektif atau toksis.

c. Dosis subterapi. Dosis yang diberikan pada pasien terlalu

kecil.

d. Dosis berlebihan. Dosis yang diterima pasien terlalu besar.

e. Pasien tidak memperoleh obat. Pasien tidak meminum atau

tidak menerima obat.


f. Reaksi obat tidak dikehendaki (ROTD). Pasien memperoleh

suatu kondisi sebagai akibat reaksi obat yang tidak

dikehendaki.

g. Interaksi obat. Problem medik dapat timbul sebagai akibat

interaksi antara:

1) Obat – obat; Obat – makanan; Obat – nutrisi,

2) Obat – minuman; Obat – penyakit; dan Obat – bahan dari

lingkungan.

h. Pasien memperoleh obat tanpa ada indikasi. Pasien

memperoleh obat tetapi pasien itu tidak mempunyai indikasi

valid bagi obat tersebut.

II.7 Obat Rasional.

II.7.1 Pengertian.

Barangkali setiap orang mempunyai persepsi dan pengertian

berbeda tentang penggunaan obat rasional. Tapi WHO dalam

konferensi tahun 1985 di Nairobi menyampaikan bahwa

penggunaan obat rasional itu artinya pasien mendapatkan

pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinis mereka,

dengan dosis tepat serta dalam periode waktu yang tepat

pula, dan dengan biaya yang paling terjangkau.

II.7.2 Istilah penggunaan obat yang rasional mencakup kriteria

berikut:

1. Obat yang benar.


2. Indikasi yang tepat, yaitu alasan menulis resep didasarkan

pada pertimbangan medis yang baik.

3. Obat yang tepat, mempertimbangkan kemanjuran,

keamaanan, kecocokan bagi pasien dan harga.

4. Dosis pemberian dan durasi pengobatan yang tepat.

5. Pasien yang tepat yaitu tidak ada kontra indikasi dan

kemungkinan reaksi merugikan minimal.

6. Dispending yang benar, termasuk informasi yang tepat bagi

pasien tentang obat yang di tulis.

7. Kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

II.7.3 Penggunaan Obat Tidak Rasional Menurut WHO

1. Meresepkan terlalu banyak obat untuk tiap satu pasien

( polypharmacy).

2. Menggunakan antibiotik yang tidak tepat (termasuk

pemberian dosis yang tidak tepat dan meresepkan

antibiotik untuk penyakit yang bukan disebabkan oleh

bakteri).

3. Menggunakan injeksi berlebihan padahal masih bisa

memakai obat yang diminum.

4. Gagal memberikan resep yang sesuai dengan pedoman

klinis.
5. Mengobati diri sendiri dengan tidak tepat misalnya

meminum dosis tidak sesuai anjuran atau membeli obat

sendiri yang harusnya hanya boleh lewat resep dokter.

II.7.4 Faktor-Faktor Penyebab Ketidakrasionalan

WHO dan The International Network for Rational Use of

Drugs (INRUD) telah membuat klasifikasi faktor yang

mendalangi terjadinya pengobatan tidak rasional ini. Dan

salah satu penyebabnya memang si pembuat resep alias sang

dokter. Selain dokter, pasien juga turut menjadi penyebab.

Umumnya hal ini terjadi karena pasien mendapat informasi

yang salah tentang obat-obatan, pasien memiliki keyakinan

yang salah kaprah atau karena pasien memaksa petugas

kesehatan untuk mendapatkan obat.

Tempat kerja juga menjadi salah satu faktor penyebab

ketidakrasionalan. Dokter yang terlalu banyak tekanan dan

pihak luar untuk meresepkan obat, kurangnya fasilitas

laboratorium, dan staf yang kurang, merupakan factor-faktor

penyebab ketidakrasionalan di tempat kerja.

Selain itu, sistem pemasokan obat (pemasok yang tidak

bisa dipercaya), peraturan obat-obatan (seperti kurang

tegasnya pemerintah dalam penerapan aturan), dan kegiatan

promosi perusahaan-perusahaan obat yang kerap


mcmberikan klaim yang menyesatkan, juga turut menjadi

penyebab utama terjadinya ketidakrasionalan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim., 2016., Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Puskesmas.

Pharmaceutical Care Network Europe Foundation, 2006, PCNE


Classification for drug-related problems. Pharmaceutical
care research.

Seto, S., Nita, Y., Triana, L., 2015., Manajemen farmasi : lingkup apotek,
farmasi rumah sakit,industri farmasi, pedagang besar
farmasi., Airlangga; Surabaya.

Siregar JP charles dan kurnolosasi E., 2004., Farmasi klinik., buku


kedokteran EGC; Jakarta

Spillane, James J. 2010. Ekonomi Farmasi. Jakarta : PT. Gramedia


Widiasarana Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai