Tonsilofaringitis-Akut PDF
Tonsilofaringitis-Akut PDF
TONSILOFARINGITIS AKUT
Oleh:
06120081
Pembimbing:
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada
faring, termasuk tonsilitis (tonsiloffaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari.
Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di
sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi
hanya infeksi lokal pada faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian faringitis secara
luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring
dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri tenggorok. Faringitis Streptokokus Beta
Hemolitikus grup A (SBHGA) adalah infeksi akut orofaring dan atau nasofaring oleh
SBHGA.
II. Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis sebagai
manifestasi tunggal ataupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan
etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia <3 tahun (prasekolah).
Virus penyebab penyakit respiratori seperti adenovirus, Rhinovirus, dan virus
Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis. Virus Epstein Barr (EBV) dapat
menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan gejala infesi mononukleosis seperti
splenomegali dan limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus
campak, cytomegalovirus (CMV), virus Rubella, dan berbagai virus lainnya juga dapat
menunjukkan gejala faringitis akut.
Streptokokus Beta Hemolitikus Grup A adalah bakteri penyebab terbanyak
faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% (di luar kejadian
epidemik) dari penyebab faringitis akut pada anak, sedangkan pada dewasa hanya
sekitar 5-10% kasus. Streptokokus Grup A biasanya bukan merupakan penyebab yang
umum pada anak usia prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi outbreak di tempat
penitipan anak.
III. PATOGENESIS
Nasofaring dan orofaring merupakan tempat untuk organisme ini, kontak
langsung dengan mukosa nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan
benda yang terkontaminasi sepertii sikat gigi merupakan cara penularan yang
kurang berperan, demikian juga penularan melalui makanan.
Penyebaran SBHGA memerluka pejamu yang rentan dan difasilitasi dengan
kontak yang erat. Infeksi jarang terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun,
mungkin karena kurang kuatnya SBHGA melekat pada sel-sel epitel. Infeksi pada
toddlerrs paling sering melibatkan nasofaring atau kulit (impetigo). Remaja
biasanya telah mengalami kontak dengan organisme beberapa kali sehingga
terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi SBHGA lebih jarang pada kelompok
ini.
Tidak ada penjelasan yang lengkap mengenai masuknya Streptokokus Grup A
ke dalam tubuh atau adanya protein tipe M yang menimbulkan farigitis atau
tonsilitis. Infeksi primer tenggorok menimbulkan kerusakan epitel sel faring.
Untuk hal ini Streptokokus Grup A harus bersaing dengan flora di faring, dan
bersama Streptococcus alfa hemolytic dan Streptococcus viridans berkoloni di
tenggorok menghasilkan bacteriocin like substance. Substansi inilah yang
menimbulkan infeksi saluran napas.
Kontak erat dengan sekumpulan besar anak, misalnya pada kelompok anak
sekolah, akan mempertinggi penyebaran penyakit. Rata-rata anak prasekolah
megalami 48 kali episode infeksi saluran respiratori atas setiap tahunnya,
sedangkan anak usia sekolah mengalami 2-6 episode setiap tahunnya.
Faringitis akut jarang disebabkan oleh bakteri, diantara penyebab bakteri
tersebut, SBHGA merupakan penyebab terbanyyak. Streptokokus Grupp C dan D
telah terbukti menyebabkan epidemi faringitis akut, sehingga berkaitan dengan
makanan (foodborne) dan air (waterborne) yang terkontaminasi. Pada beberapa
kasus dapat menyebabkan glomerulonefritis akut (GNA). Organisme ini mungkin
juga dapat menyebabkan kasus-kasus faringitis sporadik yang menyerupai
faringitis SBHGA, tetapi kurang berat. Infeksi Streptokus C dan D lebih sering
terjadi pada dewasa.
Arcanobacterium hemolyticum relatif jarang menyebabkan faringitis dan
tonsilitis akut, tetapi sering menyerupai faringitis Streptokokus. Penyakit ini
cenderung terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Saat ini faringitis difteri jarang ditemukan di negara maju. Penyakit ini
terutama terjadi pada anak yang tidk diimunisasi dan yang berasal dari kelompok
sosial ekonomi rendah. Infeksi mononukleosis disebabkan oleh EBV, anggota dari
famili Herpesviridae, dan sebagian besar terjadi pada anak berusia 15-24 tahun.
Frekuensi kejadian faringitis Mycoplasma pneumoniae masih belum jelas.
Clamydia pneumoniae menyebabkan faringitis baik sebagai suatu sindrom
tersendiri, bersamaan dengan pneumonia, atau mendahului pneumonia. Apabila
tidak terdapat penyakit saluran srepratori bawah, biasanya tidak teridentifikasi.
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang
kemudian meyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi
mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan
melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah
terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan eritema faring,
tonsil, atau keduanya. Infeksi Strepokokus ditandai dengan invasi lokal serta
penglepasan toksin ekstraselular dan protease. Transmisi dari virus yang khusus
dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung
dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi
yang pendek, yaitu 24-72 jam.
Faringitis Streptokokus sangat mungkin jika dijumpai gejala dan tanda berikut:
Pada faringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole
dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan
dengan eksudat faringits Streptokokus. Gejala yang timbul dapat menghilang
dalam 24 jam, berlangsung 4-10 hari (self limiting disease), jarang
menimbulkan komplikasi, dan prognosis yang baik.
V. DIAGNOSIS
Pada saat ini terdapat metode yang cepat untuk mendeteksi antigen
Streptokokus grup A (rapid antigen detection test). Metode uji cepat ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi (sekitar 90% dan 95%)
dan hasilnya dapat diketahui dalam 10 menit, sehingga metode ini setidaknya
dapat digunakan sebagai pengganti pemeriksaan kultur. Secara umum, bila uji
tersebut negatif, maka apusan tenggorok seharusnya dikultur pada dua cawan
agar darah untuk mendapatkan hasl yang terbaik untuk S. Pyogenes.
Pemeriksaan kultur dapat membantu mengurangi pemberian antibiotik uang
tidak perlu pada pasien faringitis.
VI. TATALAKSANA
TERAPI ANTIBIOTIK
TONSILEKTOMI
Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk
mengurangi frekuensi tonsilitis rekuren. Dasar ilmiah tindakan ini belum jelas.
Pengobatan dengan adenoidektomi dan tonsilektomi telah menurun dalam 2
dekade terakhir. Ukuran tonsil dan adenoid bukanlah indikator yang tepat.
Tonsilektomi biasanya dilakukan pada tonsilofaringitis berulang atau kronis.
- Tujuh atau lebih episode infeksi tenggorok yag diterapi dengan antibiotik
tahun sebelumnya
- Lima atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik
setiap tahun selaa dua tahun sebelumnya
- Tiga atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan atibiotik
setiap tahun selma 3 tahun sebelumnya
VII. KOMPLIKASI
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama :A
Umur : 7 tahun
Alloanamnesis
Seorang anak perempuan berumur 7 tahun tahun berobat ke poli IKA RS Dr. M. Djamil
Padang pada tanggal 9 Februari 2011 dengan :
Demam sejak 3 hari yang lalu, panas tinggi, terus menerus, tidak menggigil, tidak
berkeringat, tidak kejang
Nyeri menelan sejak 3 hari yang lalu
Batuk dan pilek tidak ada, sesak napas tidak ada
Mual tidak ada, muntah tidak ada
Nafsu makan berkurang sejak sakit
Berat badan tidak naik-naik 3 bulan terakhir
Riwayat kontak dengan penderita batuk lama disangkal
Buang air kecil warna dan jumlah biasa
Buang air besar warna dan konsistensi biasa
Anak telah diberi obat penurun panas sirup yang dibeli Ibunya di toko obat, namun
panas hanya turun beberapa jam kemudian naik lagi
Riwayat Penyakit Dahulu:
Anak menderita demam dan nyeri menelan sekitar 7 hari yang lalu. Waktu itu anak diberi obat
penurun panas saja, kemudian keluhan berkurang.
Sebelumnya anak juga sering menderita demam, namun tidak tinggi. Biasanya hanya diberi obat
penurun panas oleh Ibunya dan dikompres.
Anak menderita caries gigi hampir di semua gigi. Pernah dibawa berobat ke dokter gigi, dikatakan
bahwa gigi anak rapuh kemungkinan karena Ibu kekurangan kalsium sewaktu hamil.
Saudara laki-laki dari pasien menderita peradangan tonsil dan telah dioperasi pengangkatan tonsil
sebanyak dua kali
Riwayat Kehamilan:
Selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit berat, tidak mengkonsumsi obat-
obatan/jamu, tidak pernah mendapatkan penyinaran, kontrol kehamilan teratur ke bidan,
mendapatkan imunisasi TT 2X dan lama hamil cukup bulan.
Riwayat Kelahiran:
Anak ke dari 2 bersaudara. Lahir spontan, ditolong bidan, saat lahir menangis kuat dengan
berat badan lahir 3500 gr dan panjang badan lahir 50 cm .
Riwayat Keluarga:
Pasien merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara. Ayah tamat SMA dan Ibu tamat SMA, pekerjaan
Ayah pegawai swasta dengan penghasilan Rp 1.500.000,- sebulan.
Perkembangan fisik
Ketawa : 4 bulan
Miring : 4 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 1 tahun
Perkembangan mental:
Isap jempol (-), gigit kuku(-), sering mimpi(-), mengompol(-), aktif sekali(-), apati (-), membangkang
(-), ketakutan (-).
Tinggal di rumah perumnas, sumber air dari PDAM, buang air besar di WC dalam rumah, sampah
diangkut petugas kebersihan 2 kali seminggu, pekarangan cukup luas.
Pemeriksaan Fisik:
Tanda vital
Suhu : 36,5oC
Berat badan : 18 kg
Pemeriksaan Sistemik
Pe : Sonor
Au : Vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung :
Abdomen :
I : distensi tidak ada
Pe : timpani
Pemeriksaan Laboratorium:
Tidak dilakukan
Diagnosis Kerja:
Terapi:
- Diet TKTP
- Paracetamol 4x200 mg per oral
- Amoxicilin 3x300 mg per oral selama 6 hari
- Vitamin C 3x1 tablet
- Edukasi orang tua tentang gizi anak
BAB III
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien anak perempuan umur 7 tahun 5 bulan dengan diagnosis
kerja tonsilofarigitis akut bakteri. Diagnosis kerja ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
Data yang diperoleh dari anamnesa yaitu demam sejak 3 hari yang lalu, panas tinggi, terus
menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat, tidak kejang, nyeri menelan sejak 3 hari yang lalu, batuk
dan pilek tidak ada, sesak napas tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, nafsu makan
berkurang sejak sakit, berat badan tidak naik-naik 3 bulan terakhir, nyeri saat buang air kecil tidak
ada, buang air kecil biasa, riwayat berak-berak encer tidak ada, buang air besar warna dan
konsistensi biasa, anak telah diberi obat penurun panas sirup yang dibeli Ibunya di toko obat, namun
panas hanya turun beberapa jam kemudian naik lagi.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan bahwa anak tampak sakit sedang, tekanan darah 100/60
mmHg, napas 26 x/menit, nadi 113 x/menit, dan suhu 36,50 C. Dari pemeriksaan status gizi anak
didapatkan bahwa BB/TB=83,7%. Pada pemeriksaan orofaring didapatkan tonsil ukuran T2-T2,
tampak hiperemis, faring hiperemis, dan caries pada gigi. Pada pemeriksaan di daerah leher, teraba
pembesaran kelenjar di regio coli sinistra bersifat kenyal, tidak nyeri, mobile, ukuran 1x1x0,5 cm.
Sesuai dengan literatur, gejala yang ditemukan tersebut merupakan gejala dari
tonsilofaringitis akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Dan juga ada kecurigaan ke arah TB
karena demam sering muncul dan terdapat pembesaran KGB di daerah leher. Anak juga menderita
gizi kurang dan caries pada gigi.
Pengobatan yang dilakukan adalah diet tinggi kalori tinggi protein, Paracetamol 4 x 200 mg,
dan Amoxicillin 3 x 300 mg. Anak juga diberikan vitamin C untuk meningkatkan kekebalan tubuhnya.
Selain itu, orang tua dari anak perlu diberikan pengetahuan tentang pentingnya peningkatan kualitas
makanan pada anak untuk memperbaiki status gizinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Naning Roni,dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak, Jakarta:IDAI. Hal 288-293
2. Soedarmo S, dkk. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis. Jakarta :
IDAI. Hal 376-383