Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN KASUS KELOLAAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN ANTERIOR CRUCIATE


LIGAMENTS (ACL) DIRUANG PERAWATAN MELATI 3
RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Tugas Individu


Stase Praktek Keperawatan Medikal Bedah

Disusun oleh :
Rafita Ramdan Nurul. F
18/436146/KU/21002

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
ANTERIOR CRUCIATE LIGAMENTS

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Anterior Cruciate Ligament (ACL) membentang secara miringdari aspek posterior
dan lateral tulang femur, berorigin pada aspek medial dari condylus lateral femur dan
berinsersi pada area intercondylar tibia di sebelah belakang dari meniscus medial.
Ligamen ini memiliki panjang kira kira 31 hingga 38 mm. Ligamen ACL terdiri dari dua
berkas yang terpisah, yaitu berkas anteromedial (AM) dan berkas posterolateral (PL),
dinamakan berdasarkan letak insersi relatifnya pada tibia. Pada saat lutut dalam posisi
ekstensi maksimal, kedua berkas ligamen berjajar paralel dan pada saat lutut dalam posisi
fleksi, kedua berkas ligamen saling menyilang. Berkas PL mencapai ketegangan maksimal
saat posisi lutut ekstensi sementara berkas AM mencapai ketegangan maksimal saat posisi
lutut fleksi 60°( Kocher et al ,2005)

ACL dipertimbangkan sebagai stabilisator utama sendi lutut, karena berkontribusi


terhadap 85% stabilitas lutut, memungkinkan gerakan fleksi dan rotasi lutut yang halus.
Dan sebagai konsekuensinya, ACL menjadi ligamen pada lutut yang paling sering
mengalami cedera dan menjadi fokus studi dalam beberapa dekade terakhir. ACL berperan
untuk mencegah terjadinya translasi anterior tibia terhadap femur. Selain itu juga berperan
penting dalam mencegah rotasi internal tibia yang berlebihan (Fabricant et al, 2013)

B. PENGERTIAN
Anterior Cruciate Ligament (ACL) adalah ligamen yang terdapat pada sendi lutut.
Ligamenini berfungsi sebagai stabilisator yang mencegah pergeseran ke depan yang berlebih
daritulang tibia terhadap tulang femur yang stabil, atau mencegah pergeseran ke belakang
yangberlebih tulang femur terhadap tulang tibia yang stabil. Setiap cedera yang terjadi
padaACL berpotensi menimbulkan gangguan kestabilan pada sendi lutut.Cedera ACL adalah
cedera lutut tersering yang dialami oleh atlet. Cedera ini umumnyaterjadi pada olahraga yang
melibatkan gerakan-gerakan zig-zag, perubahan arah gerak, danperubahan kecepatan yang
mendadak (akselerasi-deselerasi) seperti sepak bola, basket, bolavoli, dan futsal. Mayoritas
cedera yang terjadi adalah non-kontak dengan mekanismevalgus lutut dan twisting
(puntiran). Situasi ini sering terjadi ketika atlet menggiring bolaatau salah posisi lutut ketika
mendarat. Trauma juga dapat menyebabkan robeknya ACL, terutama trauma langsung pada
lutut dengan arah gaya dari samping.Robekan ACL lebih dari 50 % atau robekan total dapat
menyebabkan ketidakstabilan sendi lutut. Ketidakstabilan sendi lutut jugaakan menimbulkan
cedera lanjutan berupa rusaknya bantal sendi/meniskus dan tulang rawan sendi. Menurut
Lawrance etal. (1996) penilaian derajat cedera ACL dapat dilakukan berdasarkan robekan
yang terjadi, yaitu:

1. Derajat 1: Robekan mikro pada ligamen. Umumnya tidak menimbulkan gejala


ketidakstabilan dan dapat kembali bermain setelah proses penyembuhan.

2. Derajat 2: Robekan parsial dengan perdarahan. Terjadi penurunan fungsi dan dapat
menimbulkan gejala ketidakstabilan.

3. Derajat 3: Robekan total dengan gejala ketidakstabilan yang sangat bermakna.

C. ETIOLOGI
Menurut Fabricant et al (2013) Kebanyakan cedera ACL terjadi selama kegiatan olahraga dan
kebugaran yang dapat menyebabkan stress pada lutut, seperti :
1. Tiba-tiba melambat dan mengubah arah (memotong)
2. Berputar dengan kaki tertanam kuat
3. Mendarat dari lompatan yang salah
4. Berhenti tiba-tiba
5. Menerima pukulan langsung ke lutut atau tabrakan seperti menangani bola basket.

D. PATOFISIOLOGI
ACL mencegah translasi anterior tibia tehadap femur dan berfungsi untuk
meminimalisasi rotasi tibia. Fungsi sekunder ACL adalah untuk mencegah posisi valgus
dan falrus pada lutut, terutama saat ekstensi. Cedera ACL menyebabkan perubahan
kinematika lutut. Terkait dengan patologi yang terjadi, penundaan rekontruksi ACL
dapat mengakibatkan terjadinya Osteoarthitis. Sekitar 15% dari kasus rupture ACL
menjalani Total Knee Replacement (TKR) (Graft et al ,2002)
ACL menerima suplai darah dari arteri middle genuelate, sehingga jika terjadi rupture
ACL akan terjadi haemoarthrosis. Namun, meskipun lokasinya intra-artikular, ACL
adalah Ektrasinovial karena tidak memiliki zat-zat penyembuh luka, maka jika terjadi
ruptur ACL akan sulit sembuh dengan sendirinya (Anderson,2003)

E. TANDA DAN GEJALA


Gejala yang sering dirasakan oleh penderita ACL menurut Kocher et al (2002) adalah :
1) Kehilangan kemampuan untuk menggerakkan anggota tubuh yang sakit

2) Nyeri yang sering timbul

3) Kehilangan keseimbangan

Pemeriksaan rontgen dengan posisi anteroposterior (AP) dan lateral sangat bermanfaat
untuk mengetahui adanya fraktur tulang pada atlet berusia muda. Gambaran rontgen lateral
biasanya dapat memberikan gambaran fraktur eminantia intercondylaris tibia dibanding
rontgen posisi AP. Pemeriksaan penunjang Magnetic Resonance Imaging (MRI) bisa
memberikan gambaran yang jelas untuk mengetahui cedera jaringan lunak (ligamen, tendon
dan bantal sendi). MRI memiliki sensitivitas sebesar 95 % dan spesitivitas sebesar 88 %
dalam penegakan diagnosis robekan ACL pada atlet berusia muda. Meskipun Lawrance etal.
(1996) pernah berpendapat bahwa MRI memiliki sensitivitas yang rendah untukmemeriksa
robekan parsial ACL, namun pemeriksaan ini tetap bermanfaat dalam membantu penegakan
diagnosis kasus-kasus robekan total dan fraktur eminantiaintercondylaris tibia.

Gambar 1. Foto MRI Robekan ACL pada Atlet Berusia Muda


(Foto diunduh dari http://www.jaaos.org/content/15/6/356/F2.large.jpg)

F. TERAPI
Tata laksana cedera ACL berupa terapi non-operatif dan operatif. Terapi non-operatif
dilakukan dengan menggunakan modalitas terapi seperti ultrasound dan diatermi, pemakaian
brace lutut, serta program penguatan otot, sedangkan terapi operatif dilakukan dengan
metode rekonstruksi. Rekonstruksi menjadi pilihan utama karena tindakan penjahitan
ligamen ACL sering mengalami kegagalan. Hal itu disebabkan karena ligamen ACL tidak
memiliki fibrin sehingga setiap robekan yang terjadi tidak dapat mengalami penyembuhan
sendiri.Rekonstruksi adalah metode operatif untuk mengganti ligamen ACL dengan bahan
yang lain (graft). Umumnya bahan tersebut diambil dari tendon hamstring atau tendon
patella pasien itu sendiri sehingga disebut autograft (Aichroth, 2002)

Terapi non-operatif dapat diberikan pada kasus-kasus robekan ACL parsial yang tidak
menimbulkan gejala ketidakstabilan, sedangkan operatif sebaiknya dilakukan pada kasus
robekan di atas 50 % karena umumnya menimbulkan keluhan. Kocher et al (2002)
menunjukkan bahwa kurang lebih 1/3 remaja dengan rata-rata umur 13,7 tahun yang
mengalami robekan parsial dan melakukan terapi non-operatif akhirnya tetap
membutuhkantindakan rekonstruksi karena keluhan ketidakstabilan lutut yang menetap. Hasil
penelitian dari Graft et al (2002) menunjukkan bahwa dari total 60 pasien anak dan remaja
yang mengalami cedera ACL didapatkan sebanyak 23 anak yang diterapi non-operatif
mengalami perburukan kondisi lutut dan ketidakstabilan sendi. Terjadi 15 kasus robekan
bantal sendi, 2 kasus fraktur osteochondral dan 10 kasus perkembangan osteoartritis.

Fabricant et al (2013) telah menyusun sebuah alur penanganan cedera ACL pada atlet
berusia muda dan merekomendasikan tindakan rekonstruksi berdasarkan beberapa
pertimbangan, yaitu: (1) keluhan ketidakstabilan yang menetap, (2) cedera lutut lain yang
menyertai ACL, seperti: robekan bantal sendi, robekan ligamen lutut lain, dan fraktur, (3)
usia tulang, (4) target dan harapan pasien, seperti: kembali ke olahraga kompetitif atau tidak.

Apabila tindakan rekonstruksi telah menjadi keputusan, hal selanjutnya yang harus
dipertimbangkan adalah pemilihan teknik rekonstruksi dan bahan graft yang akan digunakan.
Saat ini, telah berkembang beberapa teknik yang biasa digunakan dalam rekonstruksi atlet
berusia muda, yaitu: (1) Physeal sparing dan (2) Non-Physeal sparing.Prinsip teknik physeal
sparing adalah menghindari pembuatan lubang yang melintasi lempeng pertumbuhan tulang
tibia dan femur. Saat ini terdapat dua teknik physeal sparing yang berkembang, yaitu teknik
dari Kocher et al (2005) yang memodifikasi prosedur McInthosh dan dari Anderson (2003)
yang disebut all epiphyseal reconstruction. Kedua teknik tersebut menunjukkan hasil yang
memuaskan pada kasus ACL anak dan remaja.

Teknik non-physeal sparing atau disebut juga transphyseal adalah pemasangan graft
melintasi lempeng pertumbuhan tulang tibia dan femur. Disebut parsial apabila pengeboran
dilakukan pada salah satu tulang dan disebut complete apabila fiksasi dilakukan pada kedua
tulang. Teknik ini menyerupai rekonstruksi pada atlet dewasa sehingga sebaiknya digunakan
pada atlet dengan Tanner IV-V (remaja akhir-dewasa) karena lempeng pertumbuhan
tulangnya hampir menutup. Mc Carrol (1994) melaporkan hasil pengamatan selama 4,2 tahun
terhadap 60 atlet dengan usia rata-rata 14,2 tahun (rentang umur 13-17 tahun) yang menjalani
rekonstruksi dengan teknik transphyseal menggunakan bahan graft tendon patella
menunjukkan bahwa tidak ada gangguan pertumbuhan atau deformitas tulang. Penelitian
Aichroth (2002) juga menunjukkan tidak adanya gangguan pertumbuhan pada 45 remaja
(usia rata-rata 12,5 tahun) yang melakukan rekonstruksi transphyseal menggunakan tendon
hamstring. Rata-rata waktu pengamatan selama 49 bulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa
teknik transphyseal yang melubangi lempeng pertumbuhan tidak akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan yang bermakna apabila pemilihan graft dan pemasangan di titik
anatomis dilakukan dengan saksama.Pemilihan graft dipengaruhi oleh teknik rekonstruksi
yang digunakan, umumnya bahan yang digunakan adalah tendon hamstring atau tendon
patella.

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan ACL, antara lain :
1. Nyeri akut/kronik
2. Hambatan mobilitas fisik
3. Resiko jatuh
4. Resiko cedera
RENCANA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA NOC NIC
1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Pain Management
.......x24 jam, diharapakan nyeri berkurang dengan  Kaji tingkat nyeri,meliputi: lokasi,karakteristik,dan
kriteria: onset,durasi,frekuensi,kualitas, intensitas/beratnya
Kontrol Nyeri nyeri, faktor-faktor presipitasi
- Mengenal faktor penyebab  Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat
- Mengenal reaksi serangan nyeri mempengaruhi respon pasien terhadap
- Mengenali gejala nyeri ketidaknyamanan
- Melaporkan nyeri terkontrol  Berikan informasi tentang nyeri
Tingkat Nyeri  Ajarkan teknik relaksasi
- Frekuensi nyeri - Ekspresi akibat nyeri  Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
 Turunkan dan hilangkan faktor yang dapat
Keterangan Penilaian NOC meningkatkan nyeri
1. tidak dilakukan samasekali
 Lakukan teknik variasi untuk mengurangi nyeri
2. jarang dilakukan
3. kadang dilakukan
Analgetik Administration
4. sering dilakukan
 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat
5. selalu dilakukan
nyeri sebelum pemberian obat
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgetik
 Berikan analgetik yang tepat sesuai dengan resep
 Catat reaksi analgetik dan efek buruk yang
ditimbulkan
 Cek instruksi dokter tentang jenis obat,dosis,dan
frekuensi
2 Risiko Cidera Physical injury severity Environmental management: safety
Definisi: rentan mengalami  Klien terhindar dari luka laserasi dan luka bakar  Mengidentifikasi kebutuhan keamanan pasien
cedera fisik akibat kondisi  Klien terhindar dari fraktur ekstremitas, fraktur berdasarkan tingkat fungsi kognitif dan fisik dan
NO DIAGNOSA NOC NIC
lingkungan yang pelvis, fraktur spinal dan fraktur cranial perilaku sebelumnya
berinteraksi dengan sumber  Klien terhindar dari cedera kepala terbuka maupun  Mengidentifikasi bahaya dan keamanan pada suatu
adaptif dari sumber defensif cedera kepala tertutup lingkungan (fisik, kimia dan biologi)
individu yang dapat  Klien terhindar dari gangguan mobility dan  Memodifikasi lingkungan untuk meminimalkan
mengganggu kesehatan gangguan kognisi bahaya dan risiko
Faktor risiko:  Menggunakan alat-alat perlindungan untuk mengatasi
 Agen nosokomial keterbatasan fisik dalam mobilisasi atau akses pada
 Hambatan fisik situasi yang berbahaya
 Pajanan pada patogen  Sediakan nomor telepon penting untuk situasi gawat
 Disfungsi imun darurat
 Gangguan mekanisme  Menghilangkan lingkungan yang dapat menyebabkan
pertahanan primer bahaya jika memungkinkan
(misal kulit robek)
 Malnutrisi
Resiko jatuh Fall prevention behaviour Fall prevention
Definisi: resiko untuk jatuh Definisi: tindakan personal atau keluarga untuk Definisi: pencegahan khusus pada pasien dengan resiko
yang dapat menyebabkan meminimalkan faktor resiko yang dapat mencetuskan cedera karena jatuh.
cedera fisik. kejadian jatuh Aktivitas:
Faktor resiko: Kriteria hasil:  Identifikasi penurunan kognitif dan fisik yang dapat
 Anak-anak (usia 2 tahun  Adanya penghalang untuk mencegah jatuh meningkatkan resiko jatuh
NO DIAGNOSA NOC NIC
atau kurang)  Penggunaan prosedur transfer atau pemindahan  Identifikasi perilaku dan faktor yang mempengaruhi
 Lingkungan (lingkungan yang aman resiko jatuh
asing)  Penggunaan alat dengan benar  Kaji riwayat jatuh pasien
 Fisiologi (penyakit akut,  Pencahayaan yang mencukupi  Identifikasi lingkungan yang meningkatkan resiko
kurang tidur) jatuh
 Gunakan teknik transfer yang aman
 Gunakan side rail sesuai panjang dan tinggi yang
dapat mencegah pasien jatuh dari bed
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, A.F. (2003). Transepiphyseal Replacement of the Anterior Cruciate Ligament


inSkeletally Immature Patients. A Preliminary Report. J Bone Joint Surg
Am,85(7):1255-63.
B. Frank C., W. Jackson D. 1997. Current Concept Review-the Science of Recontruction of
the Anterior Cruciate Ligament. J Bone Joint Surgery.
Fabricant, P.D., Jones, K.J., Delos, D., Cordaso, F.A., Marx, R.G., dan Pearle, A.D., (2013).
Reconstruction of the Anterior Cruciate Ligement in Sekeletally ImmatureAthlete: a
Review concept. J Bone Joint Surg Am, 95(5);e28:1-13.
Graf, B.K., Lange, R.H., Fujisaki, C.K., Landri, G.L., dan Saluja, R.K. (1992).
AnteriorCruciate Ligament Tears in Skeletally Immature Patients: Meniscal
Pathology at Presentation and After Attempted Conversative Treatment.
Arthroscopy, 8(2):229-33.
H.Fu F, B.Cohen S. 2008. Current Concept in ACL Reconstruction: SLACK Incorporated,
pp 21-61.
Kocher, M.S., Grag, S., Micheli,L.J.(2005). Physeal Sparing Reconstruction of theAnterior
Cruciate Ligament in Skeletally Immature Prepubescent Children and Adolescents. J
Bone Joint Surg Am, 87(11):2371-9.
Kocher, M.S., Saxon, H.S.,Hovis, W.D., dan Hawkins, R.J. (2002). Management
andComplicatons of Anterior Cruciate Ligament Injuries in Skeletally Immature
Patients: Survey of the Herodicus Society and the ACL Study Group. J Pediatr
Orthop, 22(4):452-7.
Lawrance, J.A., Ostlere, S.J., dan Dodd, C.A. (1996). MRI Diagnosis of Partial Tears ofthe
Anterior Cruciate Ligament. Injury, 27(3):153-5.
McCarroll, J.R., Shelbourne, K.D., Porter, D.A., Rettig, A.C., dan Murray., S. (1994).
Patellar Tendon Graft Reconstruction for Midsubstance Anterior Cruciate Ligament
Rupture in Junior High School Athletes. An Alogrithm for Management Am J Sports
Med, 22(4):478-84.

Anda mungkin juga menyukai