Cekungan Sedimen Benua
Cekungan Sedimen Benua
JURUSAN GEOFISIKA
IRWAN WAHYUDDIN L
F1H1 14 009
KENDARI
2016
ISI
CEKUNGAN SEDIMEN BENUA
Pembentukan cekungan sedimen erat hubungannya dengan gerakan kerak dan proses
tektonik yang dialami lempeng. Ingersol dan Busby (1995) menunjukkan bahwa cekungan
sedimen dapat terbentuk dalam 4 (empat) tataan tektonik: divergen, intraplate, konvergen
dan transform). Menurut Dickinson, 1974 dan Miall, 1999; klasifikasi cekungan sedimen
dapat berdasarkan pada:
Selley (1988) memberikan klasifikasi cekungan sedimen secara sederhana seperti dalam
Tabel. , sedang Boggs (2001) membagi cekungan sedimen lebih rinci dan lebih komplit.
Mekanisme penendatan disariakan dari Dickinson (1993 dan Ingersol dan Busby (1995)
Klasifikasi cekungan sedimen (Selley, 1988)
Renggang (Rift)
Cekungan akibat perenggangan ini umumnya sempit tetapi memanjang, dibatasi oleh
lembah patahan. Ukuran berkisar dari beberapa km sampai sangat lebar seperti pada Sistem
Renggangan Afrika Timur, dimana mempunyai lebar 30-40 km dan panjang hampir 300 km.
Cekungan ini dapat terbentuk oleh berbagai tataan tektonik, namun yang paling umum oleh
divergen. Perenggangan lempeng benua seperti antara Amerika Utara dan Eropa terjadi
pada Trias menghasilkan Punggungan Tengah Atlantik (Mid-Atlantic Ridge). Sistem
renggangan pada Afrika Timur merupakan contoh sistem renggangan modern.
Aulakogen (Aulacogen)
Aulakogen adalah jenis khusus dari renggangan yang menyudut besar terhadap tepian
benua, dimana umumnya dianggap sebagai renggangan tetapi gagal dan kemudian
diaktifkan kembali selama tektonik konvergen. Palung yang sempit tapi panjang dapat
menggapai sampai kraton benua dengan sudut besar dari lajur sesar. Sedimen yang mengisi
cekungan jenis ini dapat berupa sedimen darat (misalnya kipas aluvium), endapan paparan,
dan endapan yang lebih dalam seperti endapan turbit. Contoh aulakogen di antaranya
Renggangan Reelfoot yang berumur Paleozoik dimana Sungai Misisipi mengalir dan Palung
Benue yang berumur Kapur dimana Sungai Niger membelahnya.
Subduksi ditunjukkan dengan aktifnya tepian benus yang mana umumnya dicirikan oleh
adanya palung laut dalam, busur gunungapi aktif, rumpang parit-busur (arc-trench gap)
yang memisahkan ke duanya. Tataan subduksi terjadi lebih banyak pada tepian benua
dibandingkan pada besur samodra.
Sedimen terendapkan pada sistem subduksi ini lebih dikuasai oleh endapan silisiklastik yang
umumnya berupa batuan gunungapi berasal dari busur gunungapi. Endapan ini dapat
berupa pasir dan lumpur yang terendapkan pada paparan, lumpur dan endapan turbit
terendapkan dalam air yang lebih dapam pada lereng, cekungan, dan parit. Sedimen pada
parit dapat berupa endapan terigen yang terangkut oleh arus turbit dari daratan, bersamaan
dengan sedimen dari lempeng samodra yang tersubduksikan. Ini umumnya membentuk
kompleks akrasi. Batuan campuraduk (melange) dapat terbentuk pada daerah akrasi ini,
yang dicirikan oleh percampuran dari batuan berbagai jenis yang tertanam pada masa dasar
yang mengkilap (sheared matrix).
Contoh yang baik dari sistem subduksi ini adalah subduksi Sumatra, Jepang, Peru, Chili dan
Amerika Tengah. Contoh cekungan busur muka purba di antaranya adalah cekungan busur
muka Great Valley, Kalifornia; Midland Valley, Inggris dan Coastal range, Taiwan. Contoh
cekungan busur belakang di antaranya terjadi pada Jura Akhir – Awal Kapur terbentuk di
belakang Busur Andean di Chili selatan.
Cekungan berhubungan patahan mendatar/transform
Patahan yang dapat membentuk cekungan ini adalah patahan mendatar yang menoreh
dalam kerak sampai membatasai dua lempeng yang berbeda (transform fault) dan patahan
yang terbatas dalam suatu lempeng dan hanya menoreh bagian atas kerak (Sylvester,
1988). Cekungan yang berhubungan dengan patahan mendatar regional terbentuk
sepanjang punggung pemekaran, sepanjang batas patahan antar lempeng, pada tepian
benua dan daratan dalam lempeng benua. Gerakan sepanjang patahan mendatar regional
dapat membentuk berbagai cekungan nendatar (pull-apart basin). Cekungan yang dibentuk
karena patahan mendatar umumnya kecil, garis tengahnya hanya beberapa puluh kilometer,
walaupun ada beberapa yang sampai 50 km. Karena patahan mendatar terbentuk pada
berbagai tataan geologi, cekungan ini dapat diisi sedimen laut maupun darat. Ketebalan
sedimen cenderung sangat tebal, karena kecepatan sedimentasi yang tinggi yang dihasilkan
oleh erosi dari daerah sekitarnya yang berelevasi tinggi, dan boleh jadi ditandai dengan
banyaknya perubahan fasies secara lokal. Di Indonesia Cekungan jenis ini banyak terdapat
sepanjang Patahan Sumatra.
Laju subsidensi itu menentkan volume sedimen yang terakumulasi dalam cekungan,
setelah dimodifikasi oleh efek pembebanan, kompaksi dan guntara. Extensional basin dapat
terbentuk pada berbagai tatanan tektonik lempeng, namun umumnya terbentuk pada tepi
lempen konstruktif. Dalam extensional basin, laju perubahan subsidensi tektonik
berlangsung secara sistematis dari waktu ke waktu. Subsidensi pada cekungan ini diawali
oleh perioda subsidensi awal yang berlangsung cepat akibat peneraan isostatis, kemudia
diikuti oleh perioda subsidensi termal yang berlangsung lambat dan berangsur (60-100 juta
tahun) akibat pendinginan astenosfer. Perubahan yang sistematis dari laju subsidensi
tektonik sangat mempengaruhi geometri endapan pengisi cekungan. Hubba (1988)
membagi endapan cekungan ini ke dalam 3 paket: (1) megasekuen yang terbentuk
sebelum terjadinya retakan (pre-rift megasequence); (2) megasekuen yang terbentuk
selama berlangsungnya retakan (syn-rift megasequence); dan (3) megasekuen yang
terbentuk setelah terjadinya retakan (post-rift megasequence). Pada model syn-rift
megasequence sederhana sedimen diendapkan dalam deposenter-deposenter yang
keberadaannya dikontrol oleh sesar-sesar aktif dalam cekungan itu. Subsidensi diferensial
di sepanjang sesar-sesar ekstensi mengontrol penyebaran fasies dalam deposenter-
deposenter tersebut. Dalam post-rift megasequence, setiap topografi yang terbentuk
selama syn-rift phase sedikit demi sedikit akan tertutup oleh sedimen yang diendapkan
pada post-rift phase. Sedimen-sedimen itu akan memperlihatkan pola onlap terhadap tepi
cekungan sehingga menghasilkan geometri “streers head” (McKenzie, 1978). Syn-rift
megasequence dan post-rift megasequence dalam cekungan bahari mengandung sekuen-
sekuen yang pembentukannya dikontrol oleh perubahan muka air laut frekuensi tinggi.
Foreland basin terbentuk sebagai hasil tanggapan litosfir terhadap beban pada sabuk
anjakan. Litosfir akan melengkung dan amblas akibat beban baru yang diletakkan di atas
litosfir itu melalui proses pensesaran naik. Subsidensi tidak sama di setiap empat.
Subsidensi paling tinggi terjadi pada pusat beban. Sedimen pengisi cekungan ini
memiliki ciri khas, yaitu bentuknya membaji, dimana ketebalan sedimen bertambah ke
arah sabuk anjakan. Lebar cekungan ini sebanding dengan ketegaran litosfir yang ada di
bawah sabuk anjakan, sedangkan kedalamannya sebanding dengan besarnya beban.
Foreland basin di dekat sabuk pegunungan yang sedang tumbuh umumnya besar
serta memperoleh pasokan sedimen dalam jumlah dan laju yang tinggi. Penghentian
sementara pensesaran naik serta tererosinya sabuk pegunungan menyebabkan
berkurangnya beban yang dipikul oleh litosfir dan, pada gilirannya, menyebabkan cekungan
terangkat.
Strike-slip basin tidak memiliki pola subsidensi yang khas. Walau demikian, secara umum
laju subsidensi dan pengangkatan pada cekungan itu sangat tinggi. Di Lanos Basin, pasokan
sedimen lebih tinggi daripada subsidensi. Karena itu, cekungan tersebut terisi penuh oleh
sedimen. Sedimen lain yang masuk ke dalam cekungan tersebut di-bypass menuju laut
yang lebih dalam. Kurva subsidensi cekungan itu menunjukkan bahwa subsidensi Jaman
Kapur dan Tersier berlangsung lambat dan ditafsirkan sebagai subsidensi termal dalam
cekungan belakang busur. Dua kali penambahan laju subsidensi yang terjadi pada Eosen
Tengah-Akhir dan Miosen Tengah ditafsirkan terjadi pada dua fasa pembentukan
Pegunungan Andes.
Di South Viking Graben, sebuah rift basin, sedimentasi tidak selalu sejalan dengan
subsidensi tektonik. Pada Jaman Kapur, cekungan ini kekurangan sedimen sehingga laju
subsidensi lebih lambat daripada yang sewajarnya. Pada Jaman Tersier, sewaktu
daratan Skotlandia dan North Sea Basin terangkat, sedimen banyak diangkut ke dalam
cekungan ini sehingga kembali mengalami subsidensi (Milton dkk, 1990). Bagian-bagian lain
dari cekungan ini kemudian terisi oleh sedimen sehingga akhirnya terbentuk laut dangkal
seperti keadaannya sekarang. Pemisahan fasa subsidensi syn-rift dan post-rift dalam
cekungan ini sukar dilakukan karena adanya perioda kekurangan sedimen yang menjadi
perioda transisi dari kedua fasa tersebut (Milton, 1993).
Sewaktu subsidensi berlangsung cepat, batas-batas sekuen yang terbentuk akibat
penurunan muka air laut akan terhapus sehingga sukar dikenal. Di lain pihak,
batas-/batas sekuen yang terbentuk pada waktu subsidensi atau pengangkatan yang
lambat akan tampak jelas.
http://geophysicsgeologys.blogspot.co.id/2015/03/cekungan-sedimen.html
http://seageost.blogspot.co.id/2014_10_01_archive.html
https://gprgindonesia.wordpress.com/2014/04/18/ringkasan-cekungan-sedimen-based-on-
sam-boggs-jr/
https://smiatmiundip.wordpress.com/2012/09/18/pembentukan-cekungan/