Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

TERAPI NUTRISI UNTUK MENINGKATKAN


IMUNITAS PADA GANGGUAN PERNAFASAN

Pembimbing:
Dr. dr. Meilani Kumala, MS, Sp.GK(K) dr. Frisca, M.Gizi
dr. Idawati Karjadidjaja, MS, Sp.GK dr. Dorna Silaban, M.Gizi, Sp.GK
dr. Alexander Halim Santoso, M.Gizi dr. Olivia Charissa, M.Gizi, Sp.GK

Disusun oleh :

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIZI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 1 MEI – 22 MEI 2020

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB 1 Pendahuluan ............................................................................................................... 1
BAB 2 Tinjauan Pustaka ....................................................................................................... 3
2.1 Gangguan Pernafasan ..................................................................................................... 3
2.1.1 Definisi Gangguan Pernafasan .............................................................................. 3
2.1.2 Epidemiologi Gangguan Pernafasan ..................................................................... 3
2.1.3 Faktor Resiko Gangguan Pernafasan..................................................................... 4
2.1.4 Patofisiologi Gangguan Pernafasan ....................................................................... 5
2.1.5 Tanda dan Gejala Gangguan Pernafasan ............................................................... 6
2.1.6 Tatalaksana Gangguan Pernafasan ...................................................................... 12
2.2 Hubungan antara Nutrisi dengan Imunitas Sistem Pernafasan ............................... 15
2.3 Terapi Nutrisi Medik Gangguan Pernafasan .............................................................. 17
2.3.1 Karbohidrat .......................................................................................................... 18
2.3.2 Lemak .................................................................................................................. 20
2.3.3 Protein.................................................................................................................. 21
2.3.4 Vitamin dan Mineral............................................................................................ 23
2.3.5 Fitokimia.............................................................................................................. 29
BAB 3 Kesimpulan ............................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 37

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Paru-paru merupakan organ interna yang paling rentan mengalami infeksi dan kerusakan dari
lingkungan luar akibat paparan yang terus menerus terhadap partikel, kimia sertaorganisme
infeksius dari udara. Gangguan pernafasan menyebabkan disabilitas dan kematian di seluruh
dunia. Kemiskinan, lingkungan yang terlalu padat dan paparan dari lingkungan dengan kondisi
buruk merupakan beberapa faktor resiko penyebab gangguan pernafasan. Lima penyakit
tersering saluran nafas yang menjadi beban kesehatan di seluruh dunia yaitu penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK), asma, infeksi saluran nafas akut, tuberkulosis dan kanker paru-paru.
Sekitar 65 juta orang di dunia memiliki PPOK sedang hingga berat, dimana 3 juta orang
mengalami kematian, sehingga PPOK merupakan penyebab kematian tersering ketiga di
seluruh dunia. Prevalensi kejadian asma di seluruh dunia sebanyak 334 juta orang. Asma juga
merupakan penyakit kronis tersering yang terjadi pada masa kanak-kanak yaitu sebesar 14%
dari populasi anak di seluruh dunia. Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi paru-paru
tersering yang menyerang 10,4 juta orang di dunia menderita tuberkulosis dan 1,4 juta
mengalami kematian di tahun 2015. Penyakit paru-paru terakhir adalah kanker paru-paru yang
merupakan kasus neoplasma paling mematikan di seluruh dunia. Kanker paru-paru membunuh
1,6 juta orang di dunia setiap tahunnya.1
Infeksi saluran nafas bawah terutama pneumonia adalah penyebab utama kematian di
usia anak dan beban dari penyakit ini cukup tinggi di daerah Asia Tenggara. Estimasi insiden
pneumonia pada anak di bawah 5 tahun adalah sebesar 156 juta kasus baru di dunia, dimana
61 juta kasus terjadi di Asia Tenggara. Pneumonia juga menyebabkan kematian sekitar 120
juta laki-laki dan 76 juta perempuan berusia 15-59 tahun.2 Indonesia memiliki beban terhadap
penyakit menular, salah satunya yaitu tuberkulosis dan pneumonia. Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa insidensi pneumonia meningkat dari 2,1% pada
tahun 2007 menjadi 2,7% pada tahun 2013, sedangkan jumlah insiden tuberkulosis tetap sama
yaitu 0,4%.3 Faktor resiko utama terjadinya pneumonia antara lain kemiskinan, status imunisasi
yang buruk, polusi udara, lingkungan terlalu padat dan malnutrisi. Malnutrisi berkontribusi
terhadap lebih dari sepertiga kematian anak dengan pneumonia. Pneumonia pada anak dengan
malnutrisi berat sulit terdiagnosa dan menjadi lebih mematikan.2 Selain itu, masalah nutrisi
juga berpengaruh pada penyakit paru lainnya. Penurunan berat badan dan kaheksia pada pasien
dengan PPOK dan kanker paru, serta obesitas pada pasien dengan asma dan sindrom

1
Obstructive Sleep Apnea (OSA) juga sering menjadi masalah kesehatan.4 Status nutrisi yang
buruk dapat menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi karena gangguan dari
sistem imunitas tubuh terutama integritas mukosa dan respon imun. Selain itu, infeksi itu
sendiri juga menyebabkan kehilangan cadangan protein, energi, mineral dan vitamin di tubuh,
sehingga lingkaran setan dari malnutrisi dan infeksi tidak dapat diputuskan tanpa perubahan
diet yang benar.7
Permasalahan pola makan dan nutrisi terhadap sistem imunitas tubuh mulai
menimbulkan kesadaran di tengah-tengah masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Wypych
et al tahun 2017 menemukan bahwa diet Western yang memiliki karakteristik tinggi protein
hewani, gula, pati dan kandungan lemak serta rendah serat memiliki hubungan terhadap
terjadinya peningkaan prevalensi inflamasi (termasuk alergi dan asma) dan penyakit
autoimun.5 Penelitian lain yang dilakukan oleh McKeever dkk tahun 2010 membandingkan
antara hasil Forced Expiration Volume 1 (FEV1) pada subjek dengan pola diet kosmopolitan
dengan pola diet tradisional. Pola diet tradisional ditandai dengan konsumsi daging merah,
makanan yang telah diproses, lemak tambahan, kopi, bir dan kurang konsumsi produk soya,
produk susu rendah lemak, sedangkan pola diet kosmopolitan ditandai dengan konsumsi sayur,
ikan, aya, anggur dan nasi yang lebih tinggi dari konsumsi produk susu tinggi lemak, produk
makanan dengan gula dan lemak tambahan maupun kentang. Hasil dari penelitian
menunjukkan subjek dengan pola makan tradisional mengalami penurunan FEV1 yang diukur
dengan spirometri. Hasil FEV1 yang menurun berhubungan dengan peningkatan resiko
terjadinya mengi dan asma. 6
Diet mediteranian yang memiliki karakteristik diet dengan konsumsi tinggi serat serta
rendah atau minimal produk susu, ikan, unggas dan daging merah. Pola diet ini ditemukan
memiliki efek protektif terhadap penyakit saluran pernafasan. Efek antioksidan yang tinggi,
vitamin, mineral, serat dan fitokimia yang tinggi dari sayur dan buah menurunkan inflamasi
sistemik dan stres oksidatif di jalan nafas. Penelitian yang dilakukan di Spanyol menemukan
bahwa diet mediteranian selama masa kehamilan bersifat protektif terhadap mengi persisten
pada anak usia 6,5 tahun. Penelitian lain di Jepang menunjukkan hubungan yang kuat antara
diet mediteranian dan kontrol penyakit asma serta mencegah terjadinya PPOK di masa dewasa.
Pengertian lebih dalam mengenai imunometabolisme dan hubungannya dengan penyakit
pernafasan dapat memberikan pilihan terapi yang sesuai. Ranah penelitian mengenai hubungan
nutrisi dan gangguan pernafasan terus berkembang dan meluas, meskipun diperlukan
penelitian lebih untuk menyediakan informasi mengenai bahan makanan dan kandungan nutrisi
tertentu yang dapat dijadikan rekomendasi dalam terapi kondisi pernafasan tertentu. 8

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gangguan Pernafasan


2.1.1. Definisi Gangguan Pernafasan
Gangguan penapasan adalah istilah medis yang mencangkup kondisi patologis yang
memengaruhi organ dan jaringan sehingga memungkinkan petukaran gas pada organisme yang
lebih tinggi, dan mencangkup kondisi saluran penapasan bagian atas, trakea, bronkus,
bronkiolus, alveoli, rongga pleura, pleura, saraf dan otot-otot pernapasan. Gangguan pada
sistem penapasan dapat dikelompokkan dalam 4 macam yaitu gangguan obstruksi (emfisema,
bronchitis, serangan asma), gangguan restriksi (fibrosis, sarkoidosis, kerusakan alveoli, efusi
pleura), penyakit vascular (edema paru, emboli paru, hipetensi pulmonal), dan infeksi seta
penyakit karena lingkungan (pneumonia, tuberkulosis, asbestosis, polutan). 1
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan iritasi paru-paru yang dapat
meyebabkan asma, emfisema, dan bronkitis kronik. PPOK merupakan penyakit tersering, dapat
dicegah dan diobati, ditandai dengan gejala respirasi pesisten dan keterbatasan aliran udara
dan/atau alveoli yang abnormal. Umunya disebabkan oleh paparan yang signifikan. Sedangkan
penyakit asma adalah konstriksi pada bronkus dan bronkiolus secara periodik yang
menyebabkan sulit untuk bernapas. Gangguan pernapasan yang disebabkan oleh infeksi bakteri
diantaranya adalah infeksi tuberkulosis dan pneumonia. Tuberkulosis adalah suatu penyakit
menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan
gangguan pada saluran nafas. Pneumonia didefinisikan sebagai kondisi radang paru-paru yang
memengaruhi alveolus. Pneumonia dapat disebabkan oleh virus atau bakteri dan
mikroorganisme lain.10,11,12
2.1.2. Epidemiologi
Sistem pernafasan terdiri dari rongga hidung, faring, laring, trakea bronkus, bronkiolus dan
paru-paru sebagai organ primer. Penyakit pada sistem pernafasan sepeti peyakit paru obstruksi
kronis, pneumonia dan asma merupakan salah satu penyebab kematian di Eropa. Paru-paru
sangat rentan terhadap infeksi dan cidera dari lingkungan eksternal dikarenakan paparan
langsung terhadap partikel, bahan kimia dan organisme infeksius yang terdapat di udara. Secara
global, setidaknya terdapat 2 milyar orang yang terpapar terhadap zat racun dari rokok. Satu
milyar orang menghirup udara yang terpolusi, dan 1 milyar orang terpapar dengan asap rokok.
Gangguan pernafasan menyebabkan disabilitas dan kematian di seluruh dunia. Kemiskinan,

3
lingkungan yang padat, paparan zat di lingkungan dan kondisi kehidupan yang buruk
meningkatkan kerentanan tehadap penyakit paru-paru.1
Infeksi saluran napas bawah akut merupakan penyebab ketiga kematian dan disabilitas
pada anak-anak dan orang dewasa. Diperkirakan infeksi saluran pernafasan bawah
menyebabkan hampir 4 juta kematian setiap tahun dan merupakan penyebab utama kematian
pada anak di bawah 5 tahun. Selain itu, infeksi saluran pernafasan bawah akut pada anak-anak
cenderung untuk penyakit pernafasan kronis di kemudian hari. Infeksi saluran pernafasan yang
disebabkan oleh influenza membunuh antara 250.000 dan 500.000 orang dan menelan biaya
antara 71dolar amerika dan 167 miliar per tahun. Sekitar 65 juta orang mengalami PPOK
sedang hingga berat, dan 3 juta orang meninggal tiap tahun akibat penyakit ini. Penyakit ini
merupakan penyebab kematian peringkat ketiga di dunia. Selain PPOK, gangguan saluran
pernafsan lain yang ada dijumpai adalah penyakit asma. Sebanyak 334 juta orang bertahan dari
penyakit asma. Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang terjadi sekitar 14% pada masa
kanak-kanak secara global. Prevalensi asma pada anak-anak mengalami peningkatan. Sekitar
10,4 juta orang terkena penyakit tuberkulosis (TBC) pada tahun 2015 dan 1,4 juta orang
meninggal karena penyakit ini. Neoplasma merupakan masalah global saat ini dan merupakan
peyakit mematikan paling umum di dunia. Kanker paru-paru merupakan peyakit neoplasma
mematikan yang membunuh 1,6 juta orang setiap tahun; dan jumlahnya terus bertambah tiap
tahunnya.1
2.1.3 Faktor Resiko Gangguan Pernafasan
Penyakit paru kronik memiliki faktor resiko modifiable dan non-modifiable. Faktor resiko
modifiable mencakup riwayat pekerjaan, paparan terhadap alergen, polusi udara, merokok,
kurang aktivitas fisik dan pola makan yang tidak sehat. Faktor resiko non modifiable mencakup
usia dan herediter. Selain faktor resiko tersebut, faktor globalisasi, urbanisasi, peningkatan
populasi lansia dan westernisasi juga memengaruhi terjadinya penyakit paru kronik. Proses
penuaan berhubungan erat dengan terjadinya penyakit kronik dan disabilitas. Penyakit paru
kronis adalah penyakit yang paling sering terjadi dan paling parah dari semua.
Urbanisasi memengaruhi terutama untuk negara dengan pendapatan menengah ke
bawah. Penduduk yang tinggal di perkotaan cenderung memiliki gaya hidup yang tidak sehat
sehingga memiliki resiko lebih tinggi. Tingkat polusi udara yang tinggi sering menimbulkan
masalah pernafasan, terutama jika bersamaan dengan lingkungan tempat tinggal yang padat
penduduk. Polusi udara baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan memiliki resiko
menyebabkan kerusakan jaringan paru akibat zat beracun, selain itu juga dapat memperburuk
prognosis penyakit paru terutama asma dan PPOK. Negara dengan pendapatan menengah ke

4
bawah cenderung bergantung kepada sumber bahan bakar padat seperti kayu, arang dan bahan
sisa tanaman maupun hewan. Bahan-bahan ini menimbulkan hasil pembakaran dengan radikal
bebas yang tinggi. Perokok aktif maupun pasif memiliki resiko yang sama untuk mengalami
penyakit paru kronik. Faktor nutrisi berpengaruh signifikan untuk gangguan pernafasan.
Obesitas merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya penyakit kronik khususnya pada
pasien dengan asma, yaitu meningkatkan kejadian dipsnea. Sedangkan untuk pasien dengan
PPOK, indeks massa tubuh yang rendah merupakan penanda prognosis buruk.9
Gangguan pernafasan akut paling sering disebabkan oleh penyebab infeksius seperti pada
pneumonia dan tuberkulosis. Penyebab yang paling sering seperti virus dan bakteri, yang lebih
jarang seperti jamur dan parasit. Kebiasaan buruk seperti merokok, konsumsi alkohol
berlebihan, kurang menjaga kesehatan mulut dan etika batuk yang tidak benar dapat menjadi
faktor resiko terjadinya infeksi paru. Faktor lainnya seperti faktor sistem imun yang tidak
adekuat terutama pada anak dan lansia disertai penyakit penyerta juga dapat meningkatkan
kejadian infeks pernafasan. Kebersihan tangan dan saluran pernafasan sangat penting dalam
meminimalisir penyebaran organisme yang bertanggung jawab untuk infeksi saluran
pernafasan akut. Edukasi masyarakat terutama ibu yang kurang juga dapat meningkatkan
kejadian pneumonia berat pada anak-anak. Pada ibu yang lebih berpengalaman dalam
mengasuh anak, tanda-tanda awal pneumonia seperti nafas yang cepat dan retraksi dada dapat
dikenali dengan cepat. 2
2.1.4. Patofisiologi Gangguan Pernafasan
Gangguan pernafasan berdasarkan patologi secara umum terbagi menjadi kelainan restriksi dan
obstruksi. Gangguan restriksi memiliki karakteristik masalah dalam ekspansi yang dapat
disebabkan oleh kelainan parenkim paru, kelainan dinding dada dan pleura maupun masalah
neuromuskular. Kelainan parenkim paru paling sering adalah fibrosis. Fibrosis dapat terbentuk
secara idiopati atau karena penyebab kondisi respirasi ataupun sistemik. Inflamasi dan infiltrasi
yang terdapat di alveolar dan dinding bronkus akan membentuk jaringan kolagen sehingga
terbentuklah fibrosis. Fibrosis ini mengubah struktur parenkim paru sehingga menurunkan
besar permukaan area yang efektif untuk pertukaran udara dan menurunkan elastisitas.
Gangguan restriksi lain disebabkan oleh kelainan dinding dada misalnya karena kifoskoliosis,
obesitas dan kehamilan. Kondisi restriktif pada paru-oaru menyebabkan peningkatan usaha
nafas karena penurunan komplians paru-paru, penurunan kapasitas total paru-paru, atelektasis,
hipoksemia dan akhirnya gagal nafas.
Kondisi kedua yaitu kelainan obstruksi yang terbagi menjadi 2 tipe yaitu obstruksi umum
dan obstruksi terlokalisasi. Obstruksi umum terdapat pada PPOK dan asma. Gejala asma

5
muncul setelah paparan antigen ke sel dendritik saluran nafas. Sel dendritik kemudian
mengaktivasi sel T-helper sehingga menyebabkan pelepasan sitokin dan sel inflamasi lainnya.
Proses selanjutnya adalah pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien
yang menyebabkan inflamasi saluran nafas, konstriksi, edema dan peningkatan produksi
mukus. Kejadian ini akan menyebabkan obstruksi jalan nafas dan hiperreaktivitas bronkus
yang bersifat intermiten dan biasanya reversibel, namun inflamasi kronik menyebabkan
remodeling jalan nafas sehingga mengganggu klirens mukosilier dan berakibat peningkatan
resiko infeksi. Inflamasi kronik juga terjadi pada PPOK, namun dari segi patologi dibagi lagi
menjadi emfisema dan bronkitis kronik. Kelainan pada emfisema adalah kerusakan alveoli dan
jaringan kapiler karena kehilangan dinding sel elastin sehingga permukaan pertukaran udara
menurun dan terjadi penyempitan jalan nafas. Sedangkan pada bronkitis, terdapat kronik
inflamasi, edema di parenkim paru dan produksi mukus berlebihan sehingga menyempitkan
jalan nadas dan membentuk plug.
Obstruksi terlokalisasi biasanya terjadi pada beberapa situasi tertentu seperti obstruksi
trakeal, obstruksi bronkus dan infeksi. Kelainan akibat infeksi contohnya pada pneumonia
menyebabkan aktivasi makrofag pejamu dan kaskade inflamasi. Selanjutnya terbentuk edem
alveolar dan masuknya darah serta fibrin ke alveoli. Sel goblet dan epitelial rusak dan
tertumpuk di jalan nafas sehingga terjadi konsolidasi yang mengganggu pertukaran jalan nafas.
2.1.5 Tanda dan Gejala Gangguan Pernafasan
Keluhan tersering pada gangguan sistem pernafasan adalah sesak nafas dan batuk. Keluhan
yang lebih jarang yaitu batuk darah dan nyeri pada dada. Selain keluhan dari pasien,
pemeriksaan fisik sangat penting untuk menemukan tanda dan gejala gangguan pernafasan.
Pemeriksaan penunjang seperti Rontgen foto thoraks maupun CT scan digunakan untuk
melihat kelainan anatomi. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan secara
keseluruhan, dilanjutkan dengan pemeriksaan toraks yang terdiri dari inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi.10
Dispneu merupakan istilah medis dari kesulitan bernapas atau napas memendek.
Dispneu akut pada anak – anak berbeda dengan orang dewasa. Penyebab dispneu tersering
pada anak-anak yaitu infeksi pada pernafasan bagian atas (contoh epiglotitis, faringitis,
laringitis, dan laringotrakeobronkitis). Penyebab dispneu tersering pada orang dewasa adalah
gagal ventrikel kiri, tromboemboli paru, pneumonia, dan pneumotoraks spontan. Dispneu
kronik ditandai dengan kesulitan bernapas saat beraktivitas, yang seiring waktu muncul saat
istirahat. Para pulmonolog meggunakan istilah dispneu kronik pada pasien PPOK, sedangkan

6
para kardiolog menggunakan istilah dispneu kronik pada pasien degan gagal jantung kongestif
kronis.10
Gejala gangguan paru lainnya adalah gejala batuk yang merupakan gejala gangguan
penapasan tersering ketika pasien datang berobat ke dokter. Batuk dapat terjadi secara disadari
maupun tidak. Tiga macam kategori stimulus pada batuk involunter yaitu mekanik, inflamasi,
dan psikogenik. Penyebab mekanikal dan kimia adalah inhalasi iritan seperti rokok atau debu
yang menyebabkan fibrosis paru atau atelektasis. Batuk juga dapat terjadi saat inflamasi di
trakeobronkial. Hal yang perlu di perhatikan pada batuk diantaranya batuk akut atau kronik,
berdahak atau tidak, dan bagaimana kondisi pasien secara umum. Sebagai contoh batuk akut
tidak berdahak yang disertai coryza, nyeri tenggorok, malaise, dan demam menunjukkan gejala
infeksi pernafasan atas yang disebabkan oleh virus. Episode asma dapat dimulai dari batuk dan
wheezing. Batuk berdahak berwarna purulen menggambarkan terjadi infeksi pernafasan di
cabang trakeobronkial. Warna dahak coklat kemerahan dapat menjadi tanda dari penyakit
pneumonia pneumococcal. Sputum purulen dengan bau biasanya mengindikasikan adanya
infeksi anaerob, biasanya oleh streptokokus atau Bakteroides pada abses paru.10
Gejala hemoptisis dapat disebabkan oleh infeksi, neoplasma, penyakit kardiovaskular,
trauma, maupun hematologi. Hemoptisis harus dibedakan dengan hematemesis. Hemoptisis
berwana merah segar yang menandakan darah berasal dari saluran pernafasan, becampur
dengan dahak bebusa, memiliki pH basa, dan megandung makrofag alveolar, sementara
hematemesis adalah darah dari lambung bewarna gelap, memiliki pH asam, menganduung
partikel makanan, dan sering terjadi pada pasien degan riwayat penyakit lambung yang kronis.
Gejala lainnya dapat berupa nyeri dada yang harus dibedakan dengan nyeri dada akibat
kelainan pada kardiovaskular. Nyeri dada pada paru-paru biasanya disertai dengan trakeitis
atau trakeobronkitis. Rasa nyeri terjadi sesaat setelah batuk. Rasa nyeri pada dada bagian
tengah biasanya terjadi akibat adanya infeksi pada pernafasan bagian atas. 10
a. Asma
Asma merupakan penyakit dengan berbagai variasi, terutama ditandai dengan inflamasi kronik
saluran pernafasan. Asma menyebabkan gejala seperti wheezing, nafas pendek, sesak, dan
batuk. Gejala tesebut disertai dengan variasi aliran nafas ekspirasi, yaitu kesulitan untuk
mengeluarkan udara paru dikarenakan bronkokonstriksi, penebalan dinding saluran
pernafasan, dan peningkatan mukus. Penyakit asma memiliki dua kata kunci tanda dan gejala
yang dapat kita temui saat pasien datang yaitu riwayat gejala respirasi seperti mengi, nafas
pendek, nyeri dada, batuk dan terbatasnya aliran ekspirasi.

7
Gambar 1. Alur Diagnosis Asma10
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan forced expiratory flow dalam 1
detik (FEV1), penurunan PEF, preserved forced vital capacity (FVC), dan rasio FEV1/FVC
0,7 atau lebih besar, tetapi pada kasus yang mengalami perburukan, FEV1 kurang dari 60%
yang menandakan rasio FEV1/FVC <0,7. Pada pemeriksaan darah biasanya tidak membantu
dalam diagnosis. Hitung eosinofil pada darah perifer dapat meningkat pada kondisi atopi dan
eosinofilia dapat mendukung diagnosis asma. Pada kasus yang dicurigai dikarenakan oleh
aeroallergen spesifik dengan gejala tipikal alergi seperti konjungtivitis atau rhinitis, skin prick
test dapat membantu untuk mengetahui apakah pasien alergi, dan untuk mengetahui peran
allergen spesifik sebagai penyeab asma. Pemeriksaan Rontgen dada biasanya dalam batas
normal pada pasien asma ringan hingga sedang, namun pada asma berat didapatkan gambaran
hiperinflasi, penebalan hilus, dan penebalan dinding bronkus.

8
b. Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Penyakit Paru Obstruktif Kronis harus dicurigai pada pasien yang memilki gejala dispneu,
batuk kronis atau batuk berdahak, dan/atau memiliki riwayat terpapar oleh faktor risiko
penyakit.
Tabel 1. Tanda dan Gejala PPOK

Pemeriksaan fisik pasien PPOK pada awal penyakit mungkin tidak menunjukkan
kelainan saat dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik pada pasien PPOK berat biasanya
didapatkan suara wheezing dan ekspirasi memanjang. Tanda hiperinflasi seperti barrel chest
juga dapat ditemukan. Sianosis, kontraksi otot-otot aksesori pernafasan, dan pursed lips
breathing dapat muncul pada pasien PPOK sedang sampai berat. Tanda-tanda penyakit kronis
seperti muscle wasting, kehilangan berat badan, berkurangnya jaringan lemak merupakan
tanda-tanda progresivitas PPOK.
Spirometri digunakan untuk diagnosis dalam konteks klinis; nilai FEV1/FVC <0,70
setelah pemberian bronkodilator menandakan terdapat hambatan pada aliran udara. Nilai
spirometri dapat digunakan sebagai penilaian klasifikasi PPOK. Analisa gas darah, radiografi
dapat digunakan dalam penegakan diagnosis PPOK, dan CT scan dilakukan untuk melihat
adanya emfisema pada alveoli.

Gambar 2. Klasifikasi PPOK berdasarkan Hasil Spirometri

9
Combined COPD assessment adalah penilaian untuk menilai efek PPOK terhadap
masing-masing penderitanya berdasarkan assessment terhadap gejala yang dialami, klasifikasi
spirometri berdasarkan GOLD dan kejadian eksaserbasi.

Gambar 3. Combined COPD assessment11


Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment:11
1. Kelompok A –Risiko rendah, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2,
mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami
perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC
grade 0-1.1
2. Kelompok B –Risiko rendah, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2,
mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami
perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC
grade ≥2.1
3. Kelompok C – Risiko tinggi, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4,
dan/ atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per tahun atau ≥1 kali mengalami
perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC
grade 0-1.1
4. Kelompok D –Risiko tinggi, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4,
dan/ atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per tahun atau ≥1 kali mengalami
perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC
grade ≥2.

10
Gambar 4. COPD Assessment Test (CAT)11
c. Infeksi pada Paru
Penyakit respirasi akut sering disebabkan oleh virus yang dapat menyerang pada orang dewasa
maupun anak-anak. Infeksi pernafasan yang disebabakan oleh virus diantaranya adalah
common cold, faringitis, trakeobronkitis, croup, bronkiolitis, dan pneumonia (dewasa). Tanda
dan gejala pada common cold yaitu gejala rinitis dengan berbagai derajat faringitis. Gejala yang
sering muncul diantaranya hidung tersumbat, bersin, pilek, dan nyeri tenggorok. Variasi gejala
lainnya berupa menggigil, batuk dan suara serak. Pemeriksaan fisik pada common cold tidak
spesifik, namun dapat ditemukan sekret pada hidung dan tanda inflamasi pada faring. Gejala
dapat bertahan hingga 10 hari pada orang dewasa. Faringitis dan laringitis menimbulkan gejala
nyeri tenggorokan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda inflamasi pada faring dan laring.
Pada pneumonia akibat virus biasanya disertai dengan gejala batuk yang tidak produktif,
walaupun dapat ditemukan sputum berbusa berwarna merah muda pada beberapa individu,
selain itu terdapat gejala konjungtivitis dan rinitis. Pada pemeriksaan Rontgen dada dapat
ditemukan infiltrat lobaris, namuan secara umum penumonia virus primer infiltrat terlihat
difus, dan infiltrat interstisial bilateral.10
Infeksi pernafasan karena bakteri paling sering adalah infeksi oleh mycobacteria
tuberculosis (TBC) yang ditularkan melalui batuk pada orang dengan TBC. Tanda gejala pada

11
orang dengan TBC diantaranya batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat
diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak berampur darah, batuk darah, sesah nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pemeriksaan dahak mikroskopis
berfungsi untuk mennegakan diagnosis, menilali keberhasilan pengobatan dan menentukan
potensi penularan. Pemeriksaab foto thoraks dapat berupa gambaran infiltrat atau kavitas pada
apeks paru.11,12
2.1.6 Tatalaksana Gangguan Pernafasan
a. Asma
Tujuan tatalaksana asma adalah untuk menurunkan resiko dan mengkontrol gejala. Pengobatan
pada pasien asma tidak hanya untuk mengobati gejala, namun mengurangi fakor risiko dan
kormobid yang berkontribusi dalam perkembangan penyakit dan prognosis yang buruk.
Pemberian inhalasi kortokosteroid (ICS) merupakan terapi utama jika diagnosis asma sudah
ditegakkan, karena efektif dalam mencegah eksaserbasi berat, menurunkan gejala,
memperbaiki fungsi paru-paru, dan mencegah bronkokonstriksi yang dipicu oleh aktivitas.
b. PPOK
Terapi farmakologi untuk PPOK meliputi pemberian bronkodilator yang berfungsi dalam
meningkatkan FEV1. Obat-obatan bronkodilator diantaranya β2Agonist (short-acting dan
long-acting) yang berfungsi dalam relaksasi otot polos jalan napas dengan menstimulasi
reseptor β2adrenergik dengan meningkatkan CAMP dan menghasilkan antagonis fungsional
terhadap bronkokonstriksi. Inhalasi long acting β2 agonist memiliki waktu kerja 12 jam atau
lebih. Formoterol dan salmeterol dapat memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas dan
frekuensi eksaserbasi. Obat lainnya yaitu antikolinergik (ipratropium, oxitropium dan
tiopropium bromide) yang bekerja memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik.
Efek bronkodilator dari inhalasi antikolinergik kerja pendek lebih lama daripada short acting
β2 agonist.
Kortikosteroid inhalasi diberikan secara regular dapat memperbaiki gejala, fungsi paru,
kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1 <60%.
Phosphodiesterase-4-inhibitor dapat mengurangi inflamasi dengan menghambar pemecahan
intraselular C-AMP. Efek samping yang dapat ditimbulkan berupa penurunan nafsu makan,
sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala. Terapi antiinflamasi lainnya dapat diberikan
glukokortikoid peroral, PDE4 inhibitor, antibiotik, mukolitik dan antioksidan untuk
menurunkan eksaserbasi.

12
c. Infeksi
• Virus
Tatalaksana pada virus bersifat simptomatik. Pemberian antihistamin seperti brompheramine,
chlorpheniramine, arau clemastine fumarate dapat menghilangkan gejala rhinitis pada common
cold. Pemberian pseudoefedrin bekerja sebagai dekongestan. Sedangkan penanganan pada
kasus influenza diantaranya adalah memberikan vaksin. Pemberian antivirus amantadine dan
rimantadine bekerja sebagai M2 inhibitor, karena mekanismenya aksi menghasilkan inhibisi
protein M2 pada virus. terapi ini ditujukan untuk penderita influenza.10
Tatalaksana pneumonia virus tergantung pada keparahan penyait, usia dan status imun, dan
penyebab spesifik. Tatalaksana suportif umum biasanya untuk menangani hipoksia, dan
beberapa pasien yang memerlukan ventilasi. Pemberian antivirus diberikan pada kasus yang
berat pada pasien imunokompromais. Antivirus yang digunakan untuk mengatasi virus RNA
diantaranya adalah ribavirin namun masih sedikit penelitian yang menguji ektivitasnya. Agen
antiviral untuk mengatasivirus korona masih belum ada. Berbagai macam agen yang memiliki
aktivitas yang poten dalam terapi SARS-CoV, termasuk klorokuin, protease inhibitor,
ribavirin, interferin I, niklosamid, dan agen inflamasi seperti indometasin. 10\
• Bakteri
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan ratai penularan dan mencegah terjadinya resistemsi kuman terhadap
OAT. Dalam pengobatan TB digunakan OAT dengan jenis, sifat, dan dosis yang terdapat pada
tabel 112
Tabel 2. Jenis, Sifat dan Dosis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampisin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterizid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterizid 15 (12-18)
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

13
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukupdan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
• Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT=
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
• Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secaralangsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
• Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menularmenjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
• Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan
• Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktuyang lebih lama
• Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinyakekambuhan

Tabel 3. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 112


Berat badan Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 klai
selama 56 hari RHZE seminggu selama 16 minggu
(150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

14
Tabel 4. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 212
Berat badan Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan
RHZE (150/75/400/275) + S 3 kali seminggu
RH (150/150) +
E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT + 500 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tab
mg Streptomisin inj. Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT + 750 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT + 3 tab
mg Streptomisin inj. Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT + 1000 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT + 4 tab
mg Streptomisin inj. Etambutol
≥71 kg 5 tablet 4KDT + 1000 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT + 2 tab
mg Streptomisin inj. Etambutol

2.2. Hubungan antara Nutrisi dan Imunitas Sistem Pernafasan


Sistem imun yang normal mampu menimbulkan respon imun yang efektif terhadap patogen
asing atau sel tumor tanpa menimbulkan kerusakan terhadap sel tubuh sendiri. Kedua sistem
imun innate dan adaptif bergantung pada aktivitas sel darah putih. Pertahanan imun innate
memberikan pertahanan pertama terhadap patogen dan bersifat non spesifik karena tidak
memerlukan paparan sebelumnya terhadap antigen tertentu. Sistem imun innate saluran
pernafasan mencakup makrofag, monosit, sel dendritik dan neutrofil serta sel sitotoksik seperti
sel Natural Killer (NK), selanjutnya protein komplemen dan protein fase akut. Sedangkan
respon imun didapat/adaptif berkembang dari respon terhadap antigen spesifik dan patogen
sehingga dapat memberikan respon apabila antigen yang sama terpapar kedua kalinya. Respon
imun pertama berasal dari sel epitelial yang melapisi permukaan interna dan eksterna tubuh
dan fagosit yang dapat mencerna mikroorganisme. Selain membunuh mikroorganisme, fagosit
berfungsi untuk mengaktifkan sistem imun adaptif.7
Pasien dengan PPOK memiliki respon imun yang terganggu sehingga berkontribusi
terhadap seringnya terjadi infeksi dan perburukan proses inflamasi jaringan paru. Fungsi
fagosit terganggu pada pasien dengan PPOK, akibatnya terdapat peningkatan jumlah neutrofil
di saluran nafas. Peningkatan jumalah neutrofil di saluran nafas diikuti dengan peningkatan

15
sitokin inflamasi, sehingga menyebabkan peningkatan inflamasi di saluran nafas. Merokok
sebagai faktor resiko utama PPOK juga terbukti dapat mengganggu fungsi sel dendritik dan
menyebabkan supresi imun dengan induksi anergi sel T sehingga mengganggu respon imun.
Penurunan fungsi protektif sistem imun dan respon inflamasi yang berlebihan mengakibatkan
peningkatan mortalitas.13Sedangkan pada pasien dengan asma, terdapat peningkatan limfosit
B dan IgE yang mengindikasikan adanya aktivasi sistem imun humoral. Pasien asma memiliki
peningkatan respon inflamasi lebih tinggi dibandingkan pasien dengan PPOK. Proses alergi
yang persisten menyebabkan penurunan respon kontrol terhadap penyakit sehingga
memperburuk perjalanan penyakit dan menurunkan fungsi sistem imun.14
Malnutrisi disebabkan oleh defisiensi atau tidak adanya nutrien tertentu. Keparahan
malnutrisi tergantung dari penyebab, intensitas dan durasi dari defisiensi nutrien. Malnutrisi
dapat disebabkan dari diet yang inadekuat atau malnutrisi primer maupun penurunan absorpsi
gastrointestinal dan atau peningkatan kebutuhan atau malnutrisi sekunder. Penelitian
epidemiologis maupun eksperimental menemukan bahwa malnutrisi dapat menyebabkan
peningkatan resiko terhadap penyakit infeksius, terutama pada usia di bawah 5 tahun. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa hubungan antara malnutrisi dan infeksi bersifat
bidireksional. Kompleks malnutrisi-infeksi dapat dilihat dari 2 aspek, dimana malnutrisi
menurunkan kemampuan sistem imun pejamu atau infeksi dapat memperburuk status nutrisi
yang sebelumnya sudah mengalami defisiensi. Akibatnya, status nutrisional pejamu
memengaruhi hasil akhir infeksi.7
Respon metabolik terhadap infeksi mencakup hipermetabolisme, keseimbangan nitrogen
negatif, peningkatkan glukoneogenesis dan peningkatan oksidasi lemak yang dimodulasi oleh
hormon, sitokin dan mediator inflamasi lainnya. Balans nitrogen negatif terjadi selama masa
demam suatu infeksi dan meningkat selama beberapa hari hingga minggu, akibatnya
menyebabkan penurunan berat badan. Malnutrisi energi protein secara signifikan menurubkan
fungsi epitel mukosa pada saluran nafas. Imunitas pada lapisan mukosa yang terganggu pada
pejamu yang mengalami malnutrisi menyebabkan penurunan sekresi IgA yang merupakan
komponen penting dalam sistem imun melawan organisme patogenik. Selain itu respon dan
sintesis protein fase akut maupun komplemen juga terganggu sehingga menyebabkan
gangguan signifikan dari fungsi mikrobisid neutrofil. Level leukotrien serum yang berfungsi
untuk meningkatkan akumulasi leukosit dan kapasitas fagosit juga menurun. 7

16
Gambar 5. Hubungan Malnutrisi dengan Infeksi7

2.3 Terapi Nutrisi Medik Gangguan Pernafasan


Evaluasi nutrisi individual dan perencanaan intervensi nutrisi penting dalam merawat pasien
dengan gangguan pernafasan. Pemberian terapi nutrisi untuk gangguan pernafasan harus
disesuaikan dengan jenis penyakit yang dihadapi. Kelainan paru primer seperti tuberkulosis,
asma bronkial dan kanker paru-paru dibedakan dengan kelainan paru sekunder seperti pada
penyakit paru hipertensi, obesitas, infeksi HIV, penyakit sel sabut dan skoliosis. Kondisi akut
dan kronik juga harus dipertimbangkan. Kondisi akut seperti pada obstruksi jalan nafas karena
aspirasi ataupun reaksi anafilaksis dari alergi makanan, maupun kondisi kronis seperti pada
kistik fibrosis dan kanker paru-paru memengaruhi pemilihan nutrisi yang tepat.
Evaluasi yang dilakukan pada pasien dengan gangguan pernafasan kronik seperti PPOK
meliputi riwayat medis, pengobatan, status nutrisi yang lalu dan saat ini, pengukuran
antropometri dan apakah saat ini pasien merupakan pasien rawat inap atau rawat jalan. →
Setelah evaluasi dilakukan, selanjutnya adalah menentukan kebutuhan energi karena
menyeimbangkan balans energi krusial dalam mencegah perburukan perjalanan penyakit paru
kronik. Peningkatan kebutuhan energi biasanya berhubungan dengan derajat obstruksi saluran
nafas sehingga terjadi peningkatan usaha nafas. Pasien PPOK kerap mengalami penurunan
kekuatan otot dan kelelahan. Kesusahan mengunyah makanan dan menelan dikarenakan sering
merasa sesak juga harus diperhatikan dalam pemberian makanan tambahan untuk PPOK,
karena itu pasien PPOK sebaiknya diberi pilihan makanan yang disukai dan sering disarankan
untuk beristirahat sebelum makan. Prinsip yang sama juga diberikan pada pasien dengan
penyakit kronis seperti tuberkulosis dan asma. Tersedianya makanan yang tinggi kalori, protein
serta suplementasi penting untuk mencegah defisit energi.15

17
2.3.1 Karbohidrat
Terapi imunomodulasi merupakan intervensi preventif dan terapeutik terhadap aktivitas sistem
imun yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi sistem imun. Penelitian yang dilakukan oleh
Jesenak dkk menemukan bahwa β-glukan sebagai komponen polisakarida aktif dapat
memperbaiki sistem imun innate maupun adaptif. Beberapa sumber β-glukan antara lain jamur,
ragi, bakteri, algae, gandum, dan oats. Dectin-1 adalah reseptor paling penting yang dapat
memediasi efek biologis dari β-glukan dan terdapat di sel imunitas non spesifik seperti pada
makrofag, neutrofil dan sel dendritik. Dectin-1 berkolaborasi dengan Toll-like receptor (TLR)
2 dan 6 untuk mengaktifkan jalur intraselular dalam melepaskan sitokin serta maturasi sel
dendritik. Proses ini meningkatkan aktivitas sel neutrofil dan makrofag, efektivitas fagositosis,
stimulasi fungsi sel NK dan modulasi fungsi Antigen presenting cells (APCs) sehingga
menyebabkan kondisi yang mendukung limfosit Th1 dan produksi antibodi.16
Selain β-glukan, penelitian yang dilakukan oleh Fujita dkk tentang efek konsumsi susu
fermentasi dengan kandungan Lactobacillus casei strain Shirota (LcS) yang dilakukan
terhadap 154 subjek menunjukkan konsumsi LcS dapat menurunkan durasi perjalanan penyakit
infeksi saluran pernafasan atas. Lactobacillus spp adalah contoh bakteri yang baik, sering
disebut probiotik karena dapat mencegah infeksi, supresi alergi dan antitumor yang berasal dari
efek perangsangan sistem imun. Lactobacillus casei strain Shirota (LcS) adalah strain
Lactobacillus spp yang resisten terhadap asam lambung dan empedu. Karena tahan terhadap
asam dari saluran cerna, maka dapat memberikan efek menyeimbangkan flora intestinal dan
merangsang sistem imun yang diproduksi di saluran cerna bawah sehingga memperkuat sistem
imun pejamu. LcS memiliki efek memulihkan aktivitas sel NK dengan mempromosikan
ekspresi dari CD69. Meskipun LcS tidak dapat mencegah paparan patogen virus namun dapat
memperpendek durasi infeksi.17
Susu manusia mengadung lebih dari 200 human milk oligosakarida (HMO) yang tidak
dapat dicerna dibandingkan dengan susu sapi yang tidak mengandung oligosakarida. Karena
itu, pada neonatus yang diberi ASI memiliki leboh banyak bifidobacteria di saluran cernanya.
Komposisi mikrobiota saluran cerna neonatus berdampak besar dalam perkembangan sistem
imun. Perkembangan sistem imun yang kurang maksimal dapat menyebabkan peningkatan
resiko terjadinya alergi dan infeksi terutama atopi dan asma. Prebiotik tertentu seperti
Galaktooligosakarida (GOS) dan inulin memiliki efek bifidogenik jika ditambahan ke susu
formula. Efek yang diamati dari penambahan kedua prebiotik ini terhadap neonatus yaitu pola
defekasi lebih baik, menurunkan resiko gastroenteritis dan infeksi saluran nafas serta insidensi
atopi dan meningkatkan absorpsi mineral. Efek protektif ini hampir menyerupai ASI.

18
Berdasarkan penelitian oleh Ranucci dkk ditemukan bahwa pemberian prebiotik GOS dan
inulin di susu formula menurunkan angka infeksi saluran nafas dan atopi sebesar 20%.18
Insidensi terjadinya infeksi saluran nafas atas yang tinggi pada anak-anak menyebabkan
peningkatan konsumsi obat batuk yang berbahaya karena dapat menyebabkan distonia,
anafilaksis, psikosis, mania, ataksia, somnolen dan kematian pada dosis yang lebih tinggi,
terutama untuk anak dengan usia di bawah 2 tahun. Karena itu madu dapat digunakan untuk
substitusi obat batuk yang mudah didapat dan aman. Madu memiliki efek antioksidan dan
antimikrobial terhadap bakteri gram positif dan negatif serta aktif melawan bakteri umum yang
terdapat di saluran pernafasan seperti Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia,
Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Salmonella spp dan Shigella sp. Madu juga
memiliki efek antivirus. Madu Buckwheat merupakan variasi madu yang lebih pekat dan gelap.
Madu jenis ini memiliki komponen fenolik yang lebih tinggi sehingga efek antioksidan lebih
baik. Meskipun demikian madu mungkin mengandung spora dorman dari Clostridium
botulinum yang dapat menimbulkan racun terhadap neonatus di bawah 1 tahun karena itu
sebaiknya memilih madu yang sudah terpasteurisasi. Selan itu substansi yang manis dapat
merangsang reflek salivasi dan sekresi mukus saluran nafas sehingga memberi lapisan mukus
tambahan yang dapat mengurangi batuk.19Selain memberikan keuntungan untuk anak-anak
dengan infeksi saluran nafas, madu juga menguntungkan untuk perokok karena bersifat
antioksidan dan antiinflamasi. Penelitian yang dilakukan oleh Wan Ghazali dkk menunjukkan
bahwa pemberian madu 20 gram/hari selama 2 minggu terhadap perokok menurunkan kadar
high sensitive C-reactive protein (hsCrp) dan meningkatkan TNF-alfa. Roko memengaruhi
proses inflamasi melalui efeknya trhadap sel imunoinflamasi sehingga menyebabkan keadaan
imunosupresan. Madu dapat meningkatkan produksi TNF-alfa yang penting dalam proses
inflamasi melalui TLR-4. TLR-4 berfungsi sebagai sensor untuk mengenali berbagai
komponen mikrobial sehingga mengaktikan NF-kB yang berfungsi untuk mengontrol ekspresi
sitokin inflamasi, salah satunya TNF-alfa. High sensitive C-reactive protein (hsCrp)
merupakan penanda inflamasi vaskular yang tinggi pada perokok. Komponen alfa-tokoferol di
madu dapat menurunkan kadar hsCRP sehingga dapat menurunkan resiko aterotrombosis pada
perokok.20

19
2.3.2 Lemak
Asam lemak adalah komponen diet yang penting terutama sebagai sumber energi, namun
metabolisme makanan yang tinggi lemak dapat menyebabkan efek yang berbahaya jika
dimakan dalam jumlah berlebih. Berdasarkan penelitian oleh Wood et al, aktivasi Nucleotide
oligomerization domain-like receptor protein 3 (NLRP3) memegang peran integral dalam
proses ini. NLRP 3 dapat diaktivasi oleh asam lemak jenuh yang berlebihan, kolestrol dan
debris seluler setelah apoptosis adiposit sehingga selanjutnya merangsang sekresi IL-1β. Selain
itu asam lemak jenuh juga merangsang terjadinya inflamasi jalan nafas postprandial dengan
peningkatan sitokin inflamasi meskipun pada pasien yang tidak obesitas.21
Metabolisme asam lemak menginisiasi sistem imun innate melalui peningkatan aktivasi
TLR4, TLR2 dan NF-κB dan pengeluaran sitokin seperti TNF-alfa dan IL-6. Konsumsi
berlebihan asam lemak dalam waktu lama akan menyebabkan kondisi lipotoksik yang
berakibat kerusakan vaskuler, resistensi insulin dan peningkatkan sel inflamasi sistemik.
Sistem imun innate berkontribusi pada inflamasi jalan nafas pada pasien asma. Meskipun
alergen akan menginduksi eosinofilia di jalan nafas, pada pasien asma juga dapat menyebabkan
inflamasi oleh neutrofil yang berhubungan dengan dengan disfungsi sistem imun atau dapat
juga dianggap sebagai bentuk parah dari asma. Berdasarkan penelitian oleh Wood et al,
ditemukan bahwa jenis lemak yang dikonsumsi juga memengaruhi hasil akhir dari penyakit
asma. Asam lemak trans dan omega 6 (PUFA) berhubungan dengan peningkatan resiko,
sedangkan lemak susu dan omega 3 (PUFA) atau ikan berhubungan dengan penurunan resiko
asma pada beberapa individu meskipun tidak semua. Namun dari semuanya, asam lemak jenuh
memiliki aktivitas inflamasi yang paling poten dari semuanya. Inflamasi yang diakibatkan oleh
lemak juga berhubungan dengan penurunan respon jalan nafas terhadap bronkodilator. Karena
itu, strategi gizi yang baik adalah untuk menyeimbangkan asupan lemak untuk menurunkan
reaksi inflamasi pada pasien asma.22
Minyak ikan mengandung omega 3 (PUFA) rantai sangat panjang, asam
eikosapentaenoik (EPA) dan asam dokosaheksanoik (DHA) yang dapat memengaruhi fungsi
sistem imun dan proses inflamasi. Anak yang diberi minyak ikan cenderung lebih jarang
terkena penyakit terutama demam. Neonatus yang diberi formula yang mengandung DHA dan
asam arakidonat juga memiliki resiko lebih rendah mengalami bronkitis/bronkiolitis (fish oil).
Penelitian yang dilakukan oleh Thienprasert et al, juga menemukan bahwa pemberian minyak
ikan terkhusus omega 3 (PUFA) efektif dalam meningkatkan konsentrasi sitokin yang berperan
dalam sistem imun unuk meningkatkan daya tahan tubuh, menurunkan jumlah episode
penyakit dan durasi lama perjalanan penyakit.23

20
Omega 3 (PUFA) juga dapat meningkatkan kadar asam lemak esensial terutama pada
pasien dengan kistik fibrosis yang mengalami defisinsi asam lemak esensial. Penelitian yang
dilakukan oleh Morin et al mempelajari efek makanan yang mengandung asam
dokosaheksanoik monogliserida (MAG-DHA) dapat memengaruhi mediator inflamasi pada
pasien dengan kistik fibrosis. Kistik fibrosis (KF) adalah penyakit autosomal resesif dengan
kelainan mutasi di lengan panjang kromosom 7 yang berfungsi untuk mengkode channel
klorida. Mutasi ini menyebabkan malfungsi channel klorida akibatnya terdapat peningkatan
viskositas dari duktus dan sering juga terdapa insufisiensi kelenjar eksokrin pankreas.
Insufisiensi kelenjar pankreas menyebabkan malabsorpsi lemak dan malnutrisi sehingga
mengalami defisiensi asam lemak esensial. Status nutrisi yang buruk menimbulkan masalah
terutama saat berada dalam kondisi inflamasi. Abnormalitas plasma pada pasien KF yg paling
sering dilaporkan adalah penurunan kadar asam linoleik dan DHA, serta peningkatan asam
arakidonat (AA). Ketidakseimbangan antara AA/DHA menyebabkan inflamasi paru-paru.
Suplementasi DHA dapat menjadi strategi yang penting karena bersifat antiinflamasi.
Suplemen DHA dalam bentuk monoasilgliserida meningkatkan bioavailabilitasnya
dibandingkan dalam bentuk trigliserida. Suplemen MAG-DHA didapat dari campuran teri,
sardin dan minyak makerel yang tinggi DHA. Minyak yang dihasilkan dikombinasi dengan
gliserol dan lipase untuk menjadi MAG-DHA. Hasil dari suplementasi MAG-DHA
menunjukkan penurunan kadar plasma human leukocyte elastase (pHLE) dan IL-6. Keduanya
adalah penanda inflamasi penting yang menjadi target dari terapi KF. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk menentukan apakah terdapat peningkatan fungsi paru dengan suplemen ini.24
2.3.3 Protein
Asam amino adalah substrat metabolik yang penting untuk limfosit. Banyak penelitian
membuktikan proliferasi limfosit, sekresi sitokin dan sitotoksisitas bergantung pada
availabilitas asam amino. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Witard et al terhadap
atlit sepeda yang rentan mengalami infeksi saluran pernafasan, konsumsi makanan tinggi
protein dapat menurunkan gejala infeksi saluran nafas dibandingkan dengan makanan normal.
Pada atlit baik atlit sepeda maupun yang lain, terjadi redistribusi limfosit T CD8 sebagai respon
terhadap latihan intensitas tinggi. Malnutrisi protein akut dapat mencegah transit limfosit ke
jaringan limfoid dan mengganggu produksi molekul yang bertugas untuk eksravasasi limfosit
ke jaringan perifer, akibatnya limfosit tidak dapat keluar ke sirkulasi. Karena CD8 berfungsi
sebagai respon imun terhadap virus di tubuh, maka penurunan kadar CD8 dalam sirkulasi dapat
menjelaskan adanya peningkatkan jumlah infeksi saluran pernafasan akut terhadap atlit.
Mekanisme yang mungkin mendasari efek protektif makanan tinggi protein terhadap proses

21
redistribusi limfosit T CD8 yaitu melalui stimulasi asam amino terhadap jalur sinyal
intraseluler mammalian target of Rapamycin (mTOR). Aktivasi kaskade mTOR penting untuk
regulasi sintesis protein limfosit dengan demikian memengaruhi fungsi selnya. Mekanisme lain
yang mendasari adalah protein dapat meningkatkan availabilitas karbohidrat yang penting
untuk mencegah gangguan fungsi limfosit setelah latihan fisik dengan cara meningkatkan
cadangan glikogen otot melalui proses glukoneogenesis selama latihan intensitas tinggi. Teori
ini didukung karena glukoneogenesis terbukti meningkat sebesar 40% dengan makanan tinggi
protein. Efek proteksi protein tidak terbatas pada sistem imun adaptif saja namun juga
berdampak pada granulosit di darah perifer yang sebagian besar terdiri dari neutrofil. Neutrofil
banyak terdapat di otot rangka beberapa jam setelah latihan fisik untuk meregulasi perbaikan
jaringan dengan cara fagositosis sel yang telah rusak dan mengeliminasi infeksi mikroba. Asam
amino, khususnya glutamin merupakan substrat yang penting untuk fungsi neutrofil.25
Infeksi saluran nafas akut tidak hanya sering terjadi pada atlit namun juga merupakan
penyakit yang paling sering diderita oleh masyarakat luas, terutama common cold. Terapi
terhadap common coldsaat ini hanya terbatas untuk mengatasi gejala seperti paracetmol, kodein
dan dekongestan, sehingga terapi berbasis nutrisi semakin diminati terutama untuk tujuan
pencegahan. Penelitian yang dilakukan oleh Vitetta dkk mengenai pemberian kombinasi
laktoferin bovine dengan fraksi whey protein terbukti efektif menurunkan kejadian flu dan
meningkatkan pemulihan gejala. Laktoferin (Lf) adalah komponen natural dari cairan eksokrin
seperti air mata, saliva, sekresi bronkis, kolostrum dan ASI yang merupakan glikoprotein
sebagai bagian dari protein transferin dan merupakan komponen mayor dari sekresi granula
neutrofil ke lokasi inflamasi. Laktoferin menyediakan profilaksis potensial untuk common
cold. Sedangkan whey protein adalah protein dengan nilai biologis yang tinggi sebagai faktor
pembentuk imunoglobulin sehingga dapat meningkatkan sistem imun serta fungsinya sebagai
antivirus dan antibakterial. Kombinasi Lf dan whey dapat menyediakan pilihan terapi untuk
infeksi saluran pernafasan.26
Makanan tinggi protein juga terbukti bermanfaat pada pasien dengan pneumonia berat.
Pasien dengan pneumonia berat berada dalam kondisi stres fisik yang tinggi, sehingga
kebutuhan terhadap protein dan karbohidrat meningkat secara signifikan. Terutama pada pasien
dengan ventilator, sebagian besar tidak dapat makan dan rentan terhadap malnutrisi berat.
Malnutrisi tidak hanya menurunkan kontraktilitas otot pernafasan, memengaruhi pemulihan
fungsi paru-paru namun juga menghambat fungsi sistem imun sehingga menyebabkan susah
mengontrol infeksi. Pemberian antibiotik kini semakin tidak efektif karena tingginya angka
resistensi, karena itu diperlukan terapi non antibiotik yang jua dapat meningkatkan sistem imun

22
tubuh. Berdasarkan penelitian oleh Tang et al terhadap 108 pasien dengan pneumonia berat,
pemberian susu keledai yang mengandung protein tinggi dapat meningkatkan fungsi proteksi
mukosa, meningkatkan fungsi saluran pencernaan, dengan menurunkan kadar endotoksin
bakteri di dalam darah.27
Intervensi perilaku yang terdiri dari aktivitas fisik dan pola makan dapat meningkatkan
kondisi pasien asma. Latihan fisik intensitas rendah sedang disertai dengan konsumsi makanan
tinggi protein dan angka glikemik yang rendah terbukti efektif untuk menurunkan berat pasien
asma dengan obesitas. Angka glikemik rendah terbukti menurunkan inflamasi sistemk.
Obesitas terbukti dapat meningkatkan inflamasi sistemik dan dapat memengaruhi kondisi
pasien asma. Penurunan berat badan dan massa lemak berhubungan dengan efek
mengenyangkan dari protein, peningkatan konsumsi kalori dan penurunan nafsu makan dari
hasil aktivitias fisik. Aktivitas fisik sendiri juga terbukti dapat menurunkan hiperresponsivitas
dan inflamasi jalan nafas. Selain itu, intervensi perilaku terhadap perubahan diet dan
melakukan aktivitas fisik juga dapat meningkatkan kepatuhan penderita asma dalam
mengonsumsi obat.28

2.3.4 Vitamin dan Mineral


Vitamin merupakan mikronutrien esensial yang memenuhi kriteria berikut: (1) senyawa
organik (atau golongan senyawa) yang berbeda dari lemak, karbohidrat, dan protein; (2)
komponen makanan alami, ada dalam jumlah kecil; (3) tidak disintesis oleh tubuh dalam
jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan fisiologis normal; (4) penting untuk fungsi
fisiologis normal; dan (5) menyebabkan sindroma spesifik jika terjadi defisiensi.15
Vitamin terbagi menjadi vitamin larut lemak dan vitamin larut air. Yang termasuk
dalam kelompok vitamin larut lemak antara lain vitamin A, vitamin D, vitamin E, dan vitamin
K. Vitamin yang larut dalam lemak diserap secara pasif dan harus diangkut bersama lemak
makanan. Vitamin larut lemak umumnya dikeluarkan melalui feses melalui sirkulasi
enterohepatik. Tiamin, riboflavin, niasin, vitamin B6, asam pantotenat, biotin, asam folat,
vitamin B12, dan vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air. Kelarutan dalam air
adalah satu-satunya karakteristik yang mereka miliki. Mikronutrien bisa didapatkan dari
berbagai jenis makanan, sebagai berikut:15

23
Tabel 5. Sumber makanan mikronutrien15
Mikronutrien Sumber Dietary Reference Intakes
Vitamin A Hati sapi, hati ayam, susu, keju, telur, 700-900 RAE/hari
wortel, bayam, kale, aprikot, papaya,
mangga, oatmeal, tomat.
Vitamin D Ikan sarden, salmon, tuna, susu, yogurt, 15 mcg/hari (600 IU)
margarin, hati sapi, telur, dan keju
Vitamin E Margarin, olive oil, minyak jagung, dan 15 mg/hari
kacang panggang
Vitamin K Sayuran berdaun hijau, susu, daging, 90-120 mcg/hari
telur, buah-buahan dan sereal.
Vitamin B1 Ragi, hati, babi, ham, tuna, pasta, nasi, 0.2-1.4 mg/hari
(Thiamine) kentang, sereal.
Vitamin B2 Sayuran hijau, daging, susu, hati, babi, 0.3-1.6 mg/hari
(Riboflavin) ayam, sereal, yogurt, keju.
Vitamin B3 Daging sapi, daging ayam, ikan, 2-18 mg/hari
(Niacin) kacang, ragi, susu, telur.
Vitamin B6 Daging sapi, gandum utuh, sayuran, 0.1-2 mg/hari
(Pyridoxine) kacang-kacangan.
Vitamin C Aprikot, pear, apel, kentang, jeruk, 15-120 mg/hari
(Asam Askorbat) stroberi, brokoli, kembang kol, kiwi,
jambu, lada, buah acerola, plum.
Biotin Kacang, almond, telur, yogurt, susu -
rendah lemak, kentang manis.
Zink Oysters, sereal yang difortifikasi 8-11 mg/hari
dengan zink, daging sapi, daging ayam,
yogurt, kacang mede, keju, susu.
Selenium Kacang brazil, tuna, oysters, lobster, 55 mcg/hari
ayam, telur, roti gandum utuh, susu,
ayam.

Diet suplementasi vitamin dan mineral digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
yang sangat bermanfaat dalam memperkuat sistem imun. Beberapa penelitian menunjukkan

24
suplementasi mikronutrien yang adekuat menunjukan perbaikan berbagai faktor imunologik.
Selain mikronutrien, diet suplemen yang fokus pada imunitas dapat juga didasarkan pada
ekstrak tumbuhan atau kombinasi mikronutrien dengan ekstrak tumbuhan. 29
Penelitian yang dilakukan oleh Fernanda MB et al, tahun 2015 menunjukkan kejadian
infeksi pernafasan akut yang rendah secara signifikan pada kelompok yang diberi suplemen
dibandingkan dengan kelompok plasebo pada musim dingin dan awal musim semi. Subjek
yang menerima suplementasi 38% lebih rendah untuk mengalami episode infeksi pernafasan
akut. Suplemen yang digunakan adalah diet suplemen yang bebas kalori, yang diberikan
pemanis bebas kalori dan mengandung vitamin (vitamin C, A, D, E, B1, B2, B6, B12), mineral
(selenium, zinc, copper, biotin, mangenese), serta ekstrak tanaman yang digunakan untuk
memperkuat sistem kekebalan tubuh atau yang memiliki efek adaptogenik (meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap stres), seperti Gotu kola, Laminaria, Schizandra, Chrorella, Espirulina,
Equinacea, dan lalin-lain. Dari mikronutrien yang ada dalam suplemen, yang dapat
mempengaruhi respon imun lebih lanjut adalah vitamin B12, piridoksin, vitamin C, vitamin A,
seng, vitamin E, selenium, vitamin D dan tembaga. Antioksidan dan mineral berperan dalam
mengatasi kerusakan yang disebabkan oleh produksi radikal bebas yang digunakan untuk
mematikan patogen. Antioksidan dan mineral juga dapat mengatur faktor transkripsi dalam
fungsi kekebalan tubuh yang sensitif terhadap redoks dan meningkatkan produksi sitokin dan
prostaglandin. Selain itu, asupan dan suplementasi yang memadai dari piridoksin, vitamin B12,
C dan E, serta selenium, seng dan tembaga, meningkatkan respon imun proinflamasi yang
dimediasi oleh sel T helper (Th) 1 dan imunitas bawaan. Hal tersebutdikarenakanzaat
mikronutrien tersebut mempromosikan produksi sitokin proinflamasi yang cukup, yang
membantu mempertahankan respon imun yang efektif. Vitamin A dan D memainkan peran
yang penting dalam kedua tipe imunitas dan memicu repon anti-inflamasi yang dimediasi sel
Th2.29
Beberapa penelitian telah mengevaluasi efek multivitamin dan / atau multimineral pada
kejadian infeksi pernafasan. Mengenai efektivitas kombinasi mikronutrien dalam mencegah
ISPA, Stephen dan Avenell melakukan tinjauan sistematis tentang efektivitas kombinasi
setidaknya dua mikronutrien (diambil secara oral, intravena atau sebagai suntikan) dalam
kejadian penyakit pernafasan. Dalam penemuannya, suplementasi yang diberikan pada usai
dibawah 65 tahun mengalami episode penyakit yang signifikan lebih sedikit secara statistik
daripada subyek yang menggunakan plasebo. Dapat disimpulan bahwa konsumsi suplemen
kaya akan vitamin, mineral dan ekstrak tanaman dapat menurunkan kejadian infeksi pernafasan
akut pada orang dewasa.29

25
Pada penderita penyakit tuberkulosis (TBC), pemberian suplemen vitamin dan mineral
memberikan 50% sampai 150% dari Recommended Dietary Allowances (RDA) yang sangat
membantu, karena pasien dengan TBC mengalami peningkatan kebutuhan yang tidak mungkin
dipenuhi dengan diet saja. Nutrisi seperti vitamin A, vitamin B, vitamin C, dan E, seng, dan
selenium biasanya kurang pada pasien TBC. Kekurangan vitamin D pada TBC sering
ditemukan dikarenakan asupan vitamin D dan paparan sinar matahari yang kurang. Isoniazid
merupakan antagonis dari vitamin B6 sering diberikan pada pasien dengan TBC. Izoniasid
dapat menyebabkan neupati perifer yang teradi akibat deplesi nutrisi vitamin B6. Anjuran dosis
vitamin B6 pada pasien dengan TBC adalah 25 mg per hari. Penelitian Visser ME, et al tahun
2010, pemberian vitamin A/retinyl palmitate 200.000 IU dosis tunggal dan zinc 15 mg per hari
tidak menunjukkan efek pengobatan dalam hasil pewarnaan atau kultur sputum, peningkatan
berat badan atau perbaikan paru-paru secara radiologis dalam 8 minggu pada kelompok
intervensi maupun plasebo.15,30
Menon B. et al melakukan penelitian pemberian suplementasi vitamin D pada pasien
dengan rhinitis alergi. Rhinitis alergi merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan
yang disebabkan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh imunitas setelah paparan alergen.
Rhinitis alergi tidak menyebabkan kematian namun rhinitis alergi yang berat menyebabkan
gangguan signifikan terhadap kualitas hidup, tidur dan kinerja kerja. Identifikasi terhadap
reseptor vitamin D di limfosit diduga merupakan peran vitamin dalam meregulasi fungsi
imunitas. Vitamin D memiliki efek langsung terhadap sel dendritik, sel T-helper dan sel T-
regulator dan sel B yang teraktivasi. Terdapat peningkatan kejadian yang menghubungkan
vitamin D dengan berbagai kondisi yang berhubungan dengan imunitas termasuk alergi.
Penelitian ini mengevaluasi kadar vitamin D pada pasien rhinitis alergi dan hubungannya
dengan keparahan penyakitnya dan efek dari suplementasi vitamin D dengan dosis
Cholecalciferol 1000 IU pada perjalanan penyakitnya. Pasien dengan rhinitis alergi yang
menunjukkan defisiensi vitamin D diindikasikan oleh nilai rata-rata vitamin D 17,32+8,26
ng/ml untuk kelompok percobaan dan 18,19+2,90 ng/ml untuk kelompok kontrol. Berdasarkan
total nasal symptom score (TNSS) yaitu 9,92+1,37 pada kelompok percobaan dan 10,17+2,90
pada kelompok kontrol. Setelah diberikan intervensi didapatkan kadar vitamin D pada
kelompok yang diuji sebesar 29,71+2,28 ng/ml dan 18,67+4,75 ng/ml pada kelompok kontrol,
sedangkan berdasarkan TNSS yaitu 2,81+3,04 pada kelompok percobaan dan 5,42+7,78 pada
kelompok kontrol. Hasil tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik
antara kedua kelompok. Terdapat korelasi yang signifikan antara keparahan penyakit seperti

26
yang telah ditunjukkan oleh perbedaan TNSS kelompok percobaan dan kontrol dan kadar
vitamin D.31
Kadar vitamin D yang rendah dapat ditemukan pada pasien pasien yang memiliki
rhinitis alergi, kadar vitamin D berhubungan dengan keparahan dari penyakit, dan terdapat
perbaikan yang signifikan pada kadar serum vitamin D dan penurunan yang sangat signifikan
pada TNSS setelah diberikan suplementasi vitamin D. Penelitian tersebut didukung oleh
penelitian Bakhshaee et al yang menunjukkan suplementasi vitamin D dengan dosis 50.000 IU
dalam 8 minggu bersamaan dengan pemberian antihistamin menunjukkan perbaikan gejala
pada pada pasien rhinitis alergi dan defisiensi vitamin D. Pemberian suplementasi vitamin D
dengan dosis 100.000 IU bolus secara intramuskular ditambah 50.000 IU peroral tiap minggu
sebagai kontroler asma pada pasien dengan asma menunjukkan FEV 1 membaik secara
signifkan pada kelompok intervensi, terutama pada kelompok perlakuan selama 16 minggu
dibandingkankan dengan perlakuan 8 minggu.31.32.33
Penelitian yang dilakukan oleh Gindle et al, tahun 2017 terdapat penurunan kejadian
infeksi respirasi atas akut pada pemberian vitamin D dosis tinggi (3000-4000 IU per hari)
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan dosis standar (400-1000 IU per
hari) pada pasien yang telah mendapatkan supplement vitamin D sebelumnya dengan dosis
400-1000 IU per hari. Kadar rata-rata 25-hydroxyvitamin D (25OHD) meningkat pada kedua
kelompok, dengan nilai 25OHD pada kelompok dosis tinggi melewati target (30 ng/ml) dan
lebih tinggi signifikan dari kelompok kontrol. Selain itu, kelompok intervensi memilki kejadian
infeksi kulit lebih rendah daripada kelompok kontrol. Namun tidak terdapat perberdaan pada
kejadian infeksi respirasi bawah akut, hospitalisasi yang disebabkan oleh infeksi respirasi akut,
infeksi saluran kemih atau infeksi lainnya. Pada kelompok intervensi didapatkan kejadian jatuh
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompom kontrol, sehingga dianjurkan untuk menggunakan
suplemen vitamin D dalam dosis harian untuk mengurangi resiko jatuh. 34
Penelitian oleh Arihiro S. et al menunjukkan rendahnya kejadian infeksi pernafasan
atas pada pasien dengan penyakit inflammatory bowel disease pada musim dingin dan awal
musim semi dengan pemberian vitamin D 500 IU per hari dibandingkan dengan kelompok
yang diberi plasebo, walaupun tidak ada perbedaan pada kejadian influenza pada kedua
kelompok. Kadar serum 25OHD meningkat secara signifikan pada kelompok intervensi,
sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi pernafasan atas, sedangkan pada kelompok
plasebo didapatkan kadar 25OHD menurun.35
Penelitian Hemila H et al yang meneliti pemberian zinc asetat lozenges yang
mengandung 13 mg zinc elemental yang diberikan 6 kali dalam sehari maksimal pemberian 5

27
hari untuk terapi common cold. Pada penelitianya, zinc asetat lozenges tidak efektif dalam
mengobati common cold. Selain itu terdapat masalah dalam rasa pada zinc asetat lozenges yang
membuat partisipan tidak nyaman. Hasil tersebut dapat dikarenakan durasi pemberian
suplemen yang singkat, dan dosis yang lebih rendah (78 mg per hari) dari rekomendasi literatur
yang digunakan oleh peneliti (80-92 mg per hari). Namun pada penelitian oleh Kim TK et al,
tahun 2019 yang memberikan suplementasi vitamin C dengan dosis 6000 mg/hari selama 1
bulan pada tentara Korea Selatan yang sedang melakukan pelatihan militer menunjukkan hasil
yang signifikan dalam mengatasi common cold.36,37
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) menjadi penyebab kamtian ketiga di dunia dan
terprediksi menjadi peringkat kelima penyebab disabilitas pada tahun 2020. Pasien dengan
PPOK mengalami penurunan asupan makanan dan malnutrisi menyebabkan kelemahan otot
pernafasan, meningkatkan disabilitas, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, dan
perubahan hormon. Bersama dengan makronutrien, kebutuhan vitamin dan mineral untuk
individu dengan PPOK yang stabil tergantung pada kondisi patologis dasar paru-paru, penyakit
penyerta lainnya, perawatan medis, status berat badan, dan kepadatan mineral tulang. Bagi
orang yang terus merokok, diperlukan konsumsi vitamin C tambahan.15
Peran mineral seperti magnesium dan kalsium pada kontraksi otot dan relaksasi sangat
penting pada pasien PPOK. Asupan setidaknya sesuai dengan anjuran asupan diet. Bergantung
pada hasil tes densitas mineral tulang, hubungan riwayat makan dan penggunakan obat
glukokortikoid, tambahan vitamin D dan vitamin K sangat diperlukan. Pasien dengan
hipertensi pulmonal akibat PPOK akan mengalami retensi cairan sehingga membutuhkan
pembatasan natrium dan cairan. Bergantung pada duretik, peningkatan konsunsi suplementasi
potassium sangat diperlukan, dan vitamin larut air lainnya seperti thiamin. Pasien
direkomendasikan untuk minum cairan yang adekuat dan tetap terhidrasi untuk membantu
sputum menjadi cair dan mudah untuk dikeluarkan. Anjuran asupan cairan menurut Pareneral
and Enteral Nutritional Group (PENG) yaitu 35 ml/kg berat badan untuk orang dewasa usia
18 sampai 60 tahun dan 30 ml/kg berat badan untuk pasien usia lebih dari 60 tahun. Penelitian
Cassano PA. et al yang memberikan vitamin E 400 IU per hari saja atau kombinasi dengan
selenium 200 µg per hari dengan studi acak terkontrol pada pasien dewasa perokok berat
dengan menggunakan infrastruktur selenium and vitamin E cancer prevention trail (SELECT)
menunjukkan tidak ada efek utama pada volume ekspirasi paksa pada detik pertama (FEV1)
atau forced expiratory flow (FEF25-75). Tidak ada hasil untuk FEV1, namun selenium
mengurangi kejadian penurunan FEF25-75 pada perokok. Pada perokok yang diberikan selenium

28
dengan atau tanpa vitamin E, angka penurunan FEF25-75 hampir sama dengan orang yang tidak
pernah merokok.15,38

2.3.5 Fitokimia
Mikronutrien makanan atau fitokimia dengan aktivitas anti-oksidatif atau anti-inflamasi yang
kuat merupakan agen yang menjanjikan sehubungan dengan menjaga fungsi paru-paru.
Antioksidan quercetin, merupakan antioksidan flavonoid yang ditemukan dalam buah-buahan
dan sayuran, telah terbukti memberikan aktivitas anti-virus yang kuat ketika dikultur dengan
sel target dan agen penyebab infeksi saluran pernafasan atas seperti koronavirus terkait sindrom
pernafasan akut berat (SARS-CoV) dan beberapa adenovirus. Quercetin juga dilaporkan
mempengaruhi fungsi sistem imun melalui regulasi IFN-γ. Sebuah studi double-blind, plasebo
terkontrol dengan 40 pengendara sepeda, di mana fungsi kekebalan dianalisis secara paralel
dengan kejadian dan tingkat keparahan infeksi saluran pernafasan atas. Hasil uji coba
menunjukkan bahwa suplementasi quercetin 1000 mg / hari selama 3 minggu secara signifikan
meningkatkan kadar plasma kuersetin dan mengurangi kejadian infeksi saluran napas atas yang
dilaporkan selama periode 2 minggu setelah 3 hari latihan lengkap. Disfungsi kekebalan tubuh,
peradangan, dan stres oksidatif, tidak terpengaruh oleh quercetin, menunjukkan bahwa
quercetin mungkin telah menggunakan efek antioksidan melalui kegiatan anti-virus langsung.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa suplementasi quercetin jangka panjang akan
mengurangi kejadian dan gejala infeksi saluran pernafasan atas di masyarakat umum, terutama
di antara kelompok risiko tinggi seperti wanita dewasa muda dan individu lain dengan faktor
risiko untuk infeksi saluran pernafasan atas seperti obesitas, kesehatan fisik yang buruk, atau
tingkat stres mental yang tinggi. 39,40
Penelitian oleh Heinz SA, et al, tahun 2010 memberikan dua dosis quercetin (500 dan
1000 mg per hari) dengan tambahan vitamin C 50 dan 1000 mg per hari dan niacin 20 dan 40
mg per hari yang dibandingkan dengan plasebo pada kejadian infeksi saluran pernafasan atas
pada kelompok komunitas besar pada usia 18-85 tahun. Subjek diberikan suplemen selama 12
minggu dan mencatat gejala infeksi saluran pernafasan atas setiap hari menggunakan
Wisconsin Upper Respiratory Symptom Survey(WURSS). Pada penelitian tersebut
menunjukkan terdapat peningkatan signifikan quersetin plasma pada kedua kelompok yang
diberikan dosis 500 dan 1000 mg per hari, tidak menimbulkan efek samping, namun tidak
berpengaruh pada jumlah total sakit pada infeksi saluran napas atas, keparahan infeksi saluran
napas atas, atau skor gejala infeksi saluran napas atas, walaupun penelitian sebelumnya
menemukan bahwa pengendara sepeda yang ditambah dengan quercetin 1000 mg / hari

29
sebelum, selama, dan setelah berolahraga berat selama tiga hari berturut-turut mengalami
penurunan kejadian infeksi saluran napas atas yang signifikan dibandingkan dengan plasebo.40
Buah beri banyak mengandung antosianin dan proantosianin yang memiliki potensial
untuk menurunkan inframasi eosinofil pada penyakit asma. Selain itu, buah beri tidak
mengandung fruktosa. Penelitian in-vivo menggunakan ovalbumin yang menginduksi
inflamasi paru kronik pada tikus menunjukkan konsumsi varian beri spesifik menurunkan
angka sel untuk memproduksi mucus dan menurunkan deposisi kolagen yang diduga memberi
efek remodeling pada jalan napas. Secara objektif, penelitian menilai efek ekstrak polifenol
buah beri pada penykit asma ringan. Ekstrak polifenol buah beri menurunkan fraksi nitric oxide
(FeNO), merupakan biomarker inflamasi eosinofil pada jalan nafas, yang meningkat pada
pasien asma dan sangat sensitive terhadap terapi antinflamasi kortikosteroid inhalasi.
Pemberian ekstrak polifenol buah beri dengan dosis 1000 mg per hari dibandingkan dengan
plasebo selama 4 minggu, diikuti dengan periode washout selama 4 minggu, dan dilanjutkan
secara acak selama 4 minggu berikutnya. Pada peserta asma ringan yang belum pernah
mendapatkan teapi steroid dan terdapat peningkatan FeNO, tidak terjadi perubahan pada FeNO
pada pemberian efek polifenol buah beri. Selain itu tidak terdapat perubahan pada kadar
eosinofil di darah perifer dan tidak terdapat perbedaan antara pemberian ekstrak polifenol buah
beri dengan plasebo. Hasil tersebut dikarenakan FeNO merupakan variasi hasil primer sebagai
biomarker terhadap adanya eosinofil pada inflamasi di saluran napas yang dimediasi oleh jalur
sel Th2. Pada pasien asma ringan yang belum pernah mendapatkan steroid, FeNO yang
berhubungan dengan respon bronkus yang berlebihan, yang merupakan proses fisiologis
terhadap keparahan asma. FeNO sangat sensitive terhadap kortikosteroid inhalasi dan sangat
berespon terhadap terap antiinflamasi.41
Curcumin adalah pigmen berwarna kuning cerah yang merupakan bahan aktif dalam
obat herbal dan rempah-rempah seperti kunyit. Curcumin adalah molekul lipofilik yang secara
cepat melewati membrane sel. Ini mempengarui fungsi dan struktur membrane sel dan meniru
berbagai kejadian selama proses apoptosis. Namun respon selular terhadap curcumin bertolak
belakang dengan proses apoptosis dimana curcumin menginduksi secara cepat dan sebagian
integritas membrane dapat dibalikkan, dimana sel-sel dapat pulih dalam waktu yang relative
singkat. Curcumin dapat ditoleransi dengan sangat baik pada manusia, tetapi
bioavailabilitasnya buruk. Studi terbaru membahas tentang bioavailabilitas curcumin yang
buruk karena penyerapan yang buruk, metabolisme yang cepat, dan eliminasi sistemik yang
cepat. Dalam uji klinis fase I oleh Cheng et al (2001) pada 25 kasus dengan resiko tinggi lesi
premaligna, curcumin diberikan dalam dosis awal 500 mg/hari, dan setelah tidak menyebabkan

30
toksisitas, dosis kemudian ditingkatkan menjadi 1000 , 2000, 4000, 8000, dan 12.000 mg / hari.
Tidak ada toksisitas yang diamati hingga 8 g / hari. Namun, konsentrasi serum curcumin tidak
dapat diterima dalam dosis yang lebih rendah. Tingkat serum biasanya memuncak pada 1 - 2
jam setelah asupan oral dan secara bertahap menurun dalam 12 jam. Selain itu, ekskresi
curcumin dalam urin tidak terdeteksi. Curcumin memiliki efek anti inflamasi, nuclear factor
kappa-B (NF-B) berperan penting dalam jalur tranduksi sinyal yang terlibat dalam penyakit
inflamasi dan berbagai jenis kanker. Protein NF-kB berada di sitoplasma seluler yang tidak
aktif yang membutuhkan aktivasi berbagai kinase dan fosforilasi dan degradasi dari aktivasi
inhibitor seperti IkB, mereka ditranslokasi ke nucleus. Curcumin terbukti menghambat
Aktivasi NF-kB yang bergantung pada TNF, serta jalur aktivasi lainnya yang diinduksi oleh
berbagai agen yang beberapa di antaranya digunakan untuk memproduksi reactive oxygen
intermediates yang juga terbukti dikeluarkan oleh curcumin. COX-2, bentuk diinduksi dari
siklooksigenase, mendominasi di lokasi inflamasi, dan dalam beberapa jurnal menunjukkan
peran penting COX-2 dalam tumor promotion. Curcumin down-regulates ekspresi enzim
COX-2 dan menghambat ekspresi enzim pro-inflamasi 5-LOX yang juga menginduksi regulasi
berbagai sitokin inflamasi seperti TNF, IL-1, IL-6, IL-8, interferon dan beberapa kemokin
lainnya. Curcumin memiliki 2 effek selain anti-inflamasi yaitu sebagai pro-oxidan dan
antioxidan. Pada penelitian curcumin menunjukkan perannya sebagai free radical scavenger,
agen pereduksi, dan DNA damage inhibitor. Curcumin mampu berikatan dengan Fe, Mn dan
Cu yang dilaporkan dapat memodulasi sifat antioxidant dan efek radical scavenging. Pada
penilitian in vitro menunjukkan bahwa curcumin menghambat nitric oxide dan reactive oxygen
species (ROS) dalam produksi makrofag juga menghambat lipo-oksigenase serta
siklooksigenase dalam sel fibroblast tikus. Stimulasi oksidatif protein-G dalam membran otak
manusia oleh pro-oxidan metabolik, homocysteine, dan hidrogen peroksida terbukti secara
signifikan ditekan oleh curucumi. Cedera paru yang disebabkan oleh siklofosfamid yang
disebabkan oleh mekanisme pertahanan antioksidan meningkat dengan pemberian kurkumin.
Pemberian curcumin juga menghambat peroksidasi lipid dalam mikrosom hati serta di
homogenat otak tikus laboratorium.42
Curcuminoid merupakan diet polifenol yang terdapat pada tanaman rhizoma Curcuma
longa L. yang merupakan salah satu tanaman rempah yang terkenal. Curcuma longa L.
mengandung 3 struktur yaitu Diferuloylmethane/Curcumin, Demethoxycurcumin dan
Bisdemethoxycurcumin. Sebagian besar efek farmakologis dari curcuminoids berasal dari
antioksidan kuat dan sifat anti-inflamasi. Curcuminoid memiliki beberapa kelompok
fungsional dalam strukturnya yang berperan sebagai antioksidan melalui berbagai mekanisme

31
termasuk dalam menghilangkan radikal bebas melalui transfer atom-H dari kelompok OH
fenolik, degradasi menjadi produk antioksidan seperti asam ferrulic dan vanillin, dan induksi
enzim antioksidan seperti superoksida dismutase, katalase dan peroksidase GSH. Penelitian di
Iran oleh Panahi et al, tahun 2014, yang memberikan kombinasi Curcuminoid-Piperine pada
pasien dengan komplikasi paru kronik akibat sulfur mustard akibat zat toksin selama perang
Iraq dan Iran. Curcuminoid yang digunakan adalah C3 Complex® ditambah dengan bioperine
5 mg untuk mengatasi bioavailabilitas curcuminoid yang buruk. Bioperine® adalah ekstrak
standar yang mengandung 95% piperin. Hasil penelitian menunjukkan penurunan serum MDA,
dan peningkatan signifikan pada serum GSH pada kelompok intervensi dibandingkan dengan
plasebo. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Assesment Test (CAT)
menunjukkan perbaikan yang signifikan pada kelompok intervensi dibandingkan dengan
plasebo. St. George respiratory Questionnaire (SGRQ) adalah 50 pertanyaan yang dibuat dan
divalidasi untuk pasien COPD, asma dan bronkiektasis. Penilaian diberikan dari angka 0
sampai 100, semakin tinggi nilai mengindikasikan semakin berat gangguan pada kualitas hidup
karena penyakit. Pada penelitian tersebut, nilai SGRQ menunjukkan menurun secara
signifikan43
Selain kurkuma, di pulau Crete telah lama menggunakan herbal untuk mengatasi
common cold. Penelitian Greece et al menduga infus tumbuhan aromatik tradisional Cretan
yang sering digunakan sebagai ethnofarmakologikal di Mediteranian Timur, dapat efektif
dalam mencegah dan terapi infeksi saluran pernafasan atas, termasuk infeksi oleh karena virus.
Dalam beberapa waktu, aktivitas antioksidan pada herbal di daerah Crete menunjukkan bahwa
ekstrak herbal dapat menurunkan peroksidasi lipid di kultur sel paru yang terpapar oleh besi
atau ozone. Tujuan dari penelitian adalah untuk menunjukkan efektivitas ekstrak minyak
esensial dari tiga tanaman aromatik Crete dalam pengobatan kasus-kasus dengan infeksi
saluran pernafasan bagian atas. Formula ekstrak minyak esensial diambil dari tumbuhan timi
atau oregano Spanyol (Corido thymus capitatus (L.)/Thymbra
capitata(L.)),dictamnusorCretandittany(Origanum dictamnus L.) dan tumbuhan
sage(Salviafruticosa Mill., SalviapomiferaL.). minyak esensial diformulasikan sebagai gel
kapsul 0,5 ml, dikondumsi dua kapsul dalam sehari. Berdasarkan keparahan gejala seiring
dengan waktu, penilaian menggunakan nilai dari kuisioner WURSS-21 menunjukkan nilai
yang lebih rendah pada kelompok intervensi dibandingkan dengan plasebo, namun tidak
menunjukkan perberdaan yang signifikan (p=0.803). Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak
tanaman tidak menunjukkan manfaat atau bahaya yang signifikan secara statistik pada pasien
dengan penyakit pernafasan atas dengan penyebab apa pun, meskipun sedikit perbaikan gejala

32
yang tidak signifikan terdeteksi pada pasien yang diobati. Ini juga terbukti pada pasien yang
positif virus. Penelitian tersebut juga sejalan dengan penelitian Somerville V et al, tahun 2019,
yang memberikan ekstrak daun zaitun pada atlit sekolah menengah yang memiliki masalah
pernafasan atas yang merupakan akibat dari latihan dan kompetisi dalam bidang atletik. Ekstrak
daun zaitun diberikan 20 g yang mengandung 100 mg oleuropein dibandingkan dengan
plasebo. Ekstrak daun zaitun di konsumsi 1 tablet per hari selama 2 bulan dan menyeyelsaikan
kuisioner setiap 2 minggu sekali. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kejadian
penyakit pernafasan atas, namun terdapat penurunan signifikan sebesar 28% terhadap lamanya
sakit.44,45
Pemberian ekstrak jahe dan goldenrod (BDI-630) dalam bentuk kapsul (300mg)
diberikan dua kali sehari dalam 10 hari menunjukkan hasil yang signifikan dalam menurunkan
gejala flu. Mekanisme fisiologis dari senyawa ini tidak jelas, ada sejumlah penelitian yang
menunjukkan fungsi mengatasi radikal bebas dan fungsi anti-oksidan. Goldenrod telah terbukti
memiliki aktivitas antioksidan juga. Penyebab flu paling umum adalah virus, dan ada bukti
keterlibatan bakteri dengan beberapa subjek. Kaiser et al. menyelidiki infeksi saluran
pernafasan atas pada lebih dari 300 subjek yang datang di klinik rawat jalan di Inggris. Para
penulis menyimpulkan bahwa mayoritas subjek dengan infeksi saluran pernafasan atas tidak
mendapat manfaat dari antibiotik. Namun, untuk individu yang sekresi nasofaringnya
mengandung H. influenzae, M. carrarrhalis, atau S. pneumoniae, antibiotik secara klinis
bermanfaat. Ekstrak jahe dilaporkan memiliki sifat anti-bakteri yang tergantung dosis. Selain
itu, ekstrak metanol Goldenrod menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap S. Aureus, E. Coli
dan B. cereus. Apáti et al. melaporkan bahwa Goldenrod mengandung saponin yang cukup
besar yang dianggap penting karena sifat obatnya. Dapat dihipotesiskan bahwa campuran
ekstrak paten Jahe dan Goldenrod yang tertunda dalam BDI-630 berdampak pada jalur
fisiologis dan kimia yang terkait dengan respons inang dan penangkal radikal bebas. Namun,
dalam temuan yang tidak dipublikasikan, ada bukti yang menunjukkan bahwa BDI-630
memberikan perlindungan anti-virus. BDI-630 menurunkan unit pembentukan plak (PFU)
dalam lini sel Hela setelah terpapar dengan Rhinovirus tipe 1 dan tipe 2. Selain itu, BDI-630
lebih disukai dibandingkan dengan oseltamivir sebagai senyawa kuratif pada tikus CD-1 yang
diberi virus influenza (H1N1) secara intranasal.46

33
BAB 3
KESIMPULAN

Paru-paru merupakan sistem pernafasan yang paling rentan mengalami infeksi dan kerusakan
dari lingkungan luar karena paparan yang terus menerus terhadap partikel, kimia dan organisme
infeksius dari udara. Gangguan pernafasan menyebabkan disabilitas dan kematian di seluruh
dunia dan menjadi beban kesehatan di seluruh dunia terutama kelima penyakit ini yaitu
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), asma, infeksi saluran nafas akut, tuberkulosis dan
kanker paru-paru. Indonesia memiliki beban terhadap penyakit menular, salah satunya yaitu
tuberkulosis dan pneumonia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
insidensi pneumonia meningkat dari 2,1% di tahun 2007 menjadi 2,7% di tahun 2013.
Gangguan pernafasan dibagi memjadi akut dan kronik. Gangguan pernafasan kronikDD
paling sering adalah PPOK dan asma, sedangkan gangguan pernafasan akut paling sering
disebabkan oleh penyebab infeksius seperti virus, bakteri dan mikroorganisme lainnya. Faktor
resiko tersering penyebab gangguan pernafasan adalah merokok, kebersihan yang kurang dan
faktor nutrisi. Status nutrisi yang buruk dapat menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap
infeksi karena gangguan dari sistem imunitas tubuh terutama integritas mukosa dan respon
imun. Selain itu, infeksi itu sendiri juga menyebabkan kehilangan cadangan protein, energi,
mineral dan vitamin di tubuh, sehingga lingkaran setan dari malnutrisi dan infeksi tidak dapat
diputuskan tanpa perubahan diet yang benar.
Terapi nutrisi medik pada pasien dengan gangguan pernafasan memiliki prinsip kontrol
inflamasi dan menyeimbangkan kebutuhan energi untuk membantu pemulihan kondisi
penderita. Komponen karbohidrat seperti polisakarida aktif berupa dapat memperbaiki sistem
imun innate maupun adaptif. Sumber karbohidrat polisakarida adalah makanan pokok seperti
nasi, oat, kentang dan gandum. Proses ini meningkatkan aktivitas sel neutrofil dan makrofag,
efektivitas fagositosis, stimulasi fungsi sel NK dan modulasi fungsi Antigen presenting cells
(APCs) sehingga menyebabkan kondisi yang mendukung limfosit Th1 dan produksi antibodi.
Susu manusia mengadung lebih dari 200 human milk oligosakarida (HMO) yang tidak dapat
dicerna dibandingkan dengan susu sapi yang tidak mengandung oligosakarida. Karena itu, pada
neonatus yang diberi ASI memiliki lebih banyak bifidobacteria di saluran cernanya. Komposisi
mikrobiota saluran cerna neonatus berdampak besar dalam perkembangan sistem imun.
Perkembangan sistem imun yang kurang maksimal dapat menyebabkan peningkatan resiko
terjadinya alergi dan infeksi terutama atopi dan asma.

34
Obesitas meningkatkan resiko keparahan asma karena adanya peningkatan inflamasi
sistemik kronik karena asam lemak jenuh menginisiasi sistem imun innate melalui peningkatan
aktivasi TLR4, TLR2 dan NF-κB dan pengeluaran sitokin seperti TNF-alfa dan IL-6. Konsumsi
berlebihan asam lemak dalam waktu lama akan menyebabkan kondisi lipotoksik yang
berakibat kerusakan vaskuler, resistensi insulin dan peningkatkan sel inflamasi sistemik.
Namun, tidak semua jenis lemak yang dikonsumsi memperburuk kondisi penderita gangguan
pernafasan. Minyak ikan mengandung omega 3 (PUFA) rantai sangat panjang, asam
eikosapentaenoik (EPA) dan asam dokosaheksanoik (DHA) yang efektif dalam meningkatkan
konsentrasi sitokin yang berperan dalam sistem imun unuk meningkatkan daya tahan tubuh,
contohnya pada pasien dengan kistik fibrosis. Pemberian minyak ikan umumnya sebesar 2
gram, namun dalam bentuk suplemen 1 kapsul minyak ikan mengandung EPA 720mg dan
DHA 480mg.
Asam amino adalah substrat metabolik yang penting untuk limfosit. Banyak penelitian
membuktikan proliferasi limfosit, sekresi sitokin dan sitotoksisitas bergantung pada
availabilitas asam amino.Efek proteksi protein tidak terbatas pada sistem imun adaptif saja
namun juga berdampak pada granulosit di darah perifer yang sebagian besar terdiri dari
neutrofil.Asam amino, khususnya glutamin merupakan substrat yang penting untuk fungsi
neutrofil. Makanan tinggi protein juga terbukti bermanfaat pada pasien dengan pneumonia
berat karena rentan mengalami malnutrisi. Subjek yang diberikan protein sebesar 20 gram/hari
dalam bentuk makanan yang berasal dari campuran susu keledai, Badanmu dan Chamagu.
Pemberian susu keledai atau laktoferin yang mengandung protein tinggi dapat mengubah
fungsi mukosa saluran cerna dan menurunkan endotoksin bakteri. Selain itu, latihan fisik
intensitas rendah sedang disertai dengan konsumsi makanan tinggi protein dan angka glikemik
yang rendah terbukti efektif untuk menurunkan berat pasien asma dengan obesitas.
Suplementasi vitamin dan mineral digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang
sangat bermanfaat dalam memperkuat sistem imun. Pemberian suplementasi kaya akan
berbagai macam vitamin (C,A,D,E,B1,B2,B6,B12) dan mineral (selenium, zinc, copper, biotin,
manganese) dapat menurunkan kejadian infeksi pernafasan akut. Rekomendasi pemberian
vitamin B6 25 mg pada pasien tuberkulosis per hari dapat diberikan untuk mengatasi gejala
efek samping pengobatan izoniasid. Vitamin D memiliki efek langsung terhadap sel dendritik,
sel T-helper dan sel T-regulator dan sel B. Rekomendasi pemberian vitamin D tegantung pada
usia. Pembeian pada anak usia <1 tahun yaitu 400 IU per hari, sedangkan anak diatas 1 tahun
hingga dewasa usia 70 tahun dapat dibeikan 600 IU pe hari. Pada pasien usia >70 tahun dapat
diberikan 800 IU per hari. Pemberian vitamin D 1000 IU pada pasien rhinitis alergi

35
menunjukkan perbaikan yang signifikan. Sementara, pemberian vitamin D pada pasien asma
dapat menunjukkan perbaikan pada FEV1. Pemberian suplementasi vitamin C 6000 mg/hari
selama 1 bulan dapat menunjukkan hasil yang signifikan dalam mengatasi common cold.
Sumber makanan kaya akan vitamin D yang baik ada pada susu, kacang kedelai, kacang-
kacangan, yoghurt, ikan salmon, ikan tuna, hati sapi, keju dan kuning telur.
Senyawa fitokimia dapat digunakan secara baik dalam mencegah, mengontrol atau
menghentikan perjalanan penyakit dengan menurunkan stress oksidatif dan mediator inflamasi.
Antioksidan quercetin, merupakan antioksidan flavonoid yang ditemukan dalam buah-buahan
dan sayuran, telah terbukti memberikan aktivitas anti-virus yang kuat ketika dikultur dengan
sel target dan agen penyebab infeksi saluran pernafasan atas seperti koronavirus terkait sindrom
pernafasan akut berat (SARS-CoV) dan beberapa adenovirus. Curcuminoid merupakan
polifenol dari tanaman rhizoma Curcuma longa L. dapat meningatkan serum GSH dan
penurunan gejala pada penyakit paru kronik akibat sulfur mustard. Ekstrak jahe dan goldenrod
pada BDI-631 memiliki fungsi antioksidan. Pemberian 300 mg dua kali sehari menunjukkan
penurunan gejala flu. Selain itu, ekstrak metanol Goldenrod menunjukkan aktivitas
antimikroba terhadap S. Aureus, E. Coli dan B. cereus.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Forum of International Respiratory Societies. The Global Impact of Respiratory Disease. 2nd
ed. 2017: World Health Organization.
2. Ghimire M, Bhattacharya S.K, Narain J.P. Pneumonia in South-East Asia Region: public
health perspective. Indian J Med Res. 2012; 135(4): 459-68.
3. Adnani H, Subiyanto A.A, Hanim D, Sulaeman E.S. Risk factor mapping and case map of
environmentally based disease in Yogyakarta. Med J Indones. 2019; 28: 174-82.
4. Annemie M.W.J. Nutritional advances in patients with respiratory diseases. Eur Respir Rev.
2015; 24: 17-22.
5. Wypych T.P, Marsland B.J, Ubags N.D.J. The impact of diet on immunity and respiratory
diseases. Ann Am Thorac Soc. 2017; 14(5): S339-47.
6. McKeever T.M, Lewis S.A, Cassano P.A, Ocke M, Burney P, Britton J, et al. Patterns of
dietary intake and relation to respiratory disease, forced expiratory volume in 1 s, and decline
in 5-y forced expiratory volume. Am J Clin Nutr. 2019; 92:408-15.
7. Rodriguez L, Cervantes E, Ortiz R. Malnutrition and gastrointestinal and respiratory
infection in children: a public health problem. Int J Environ Res Public Health. 2011; 8(4):
1174-205.
8. Berthon B.S, Wood L.G. Nutrition and respiratory health-feature review. Nutrients. 2015;
7(3): 1618-43.
9. World Health Organization. Risk factors for chronic respiratory diseases. Available from:
https://www.who.int/gard/publications/Risk%20factors.pdf?ua=1.
10. Grippi MA., Elias JA., Fishman JA., Kotloff RM., Pack AI., Senior RM. Fishman’s
Pulmonary Disease and Disorders. 5th ed. United States, 2015; p.1992-2008
11. Soeroto AY, Suryadinata H. Penyakit Paru Obstruktif. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RS Dr Hasan Sadikin. 2014;1(2);83-8.
12. Kementrian Kesehatan. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2009.; 1-91.
13. Bhat T.A, Panzica L, Kalathil S.G, Thanavala Y. Immune dysfunction in paients with
chronic obstructive pulmonary disease. Ann Am Thorac Soc. 2015; 12(2): S169-75.
14. Kalinina E.P, Denisenko Y.K, Vitkina T.I, Lobanova E.G, Novgorodtseva T.P, Antonyuk
M.V, et al. The mechanisms of the regulation of immune response in patients with comorbidity
of chronic obstructive pulmonary disease and asthma. Canadian Respiratory Journal. 2016; 1-
8.

37
15. Mahan LK, Escott-Stump S. Krause's food & nutrition therapy. 14th edition. Saunders
EIsevier; 2018:p903-16.
16. Jesenak M, Urbancikova I, Banovcin P. Respiratory tract infections and the role of
biologically active polysaccharides in their management and prevention. Nutrients. 2017;
9(779): 1-12.
17. Fujita R, Iimuro S, Shinozaki T, Sakamaki K, Uemura Y, Takeuchi A, et al. Decreased
duration of acute upper respiratory tract infections with daily intake of fermented milk: a
multicenter, double blinded, randomized comparative study in users of day care facilities for
the elderly population. American Journal of Infection Control. 2013; e1-5.
18. Ranucci G, Buccigrossi V, Borgia E, Piacentini D, Visentin F, Cantarutti L, et al. Galacto-
Oligosaccharide/polidextrose enriched formula protects against respiratory infections in infants
at high risk of atopy: a randomized clinical trial. Nutrients. 2018; 10(286): 1-14.
19. Mani J, Laxman S, Merina S. Role of honey in children with acute cough in upper
respiratory tract infection: randomized, placebo controlled study. J Pediatr Neonatal Carfe.
2019; 9(3): 71-5.
20. Ghazali S, Romli A.C, Mohamed M. Effects of honey supplementation on inflammatory
markers among chronic smokers: a randomized controlled trial. BMC Complementary and
Alternative Medicine. 2017; 17: 175.
21. Wood L.G, Li Q, Scott H.A, Rutting S, Berthon B.S, Gibson P.G, et al. Saturated fatty
acids, obesity, and the nucleotide oligomerization domain-like receptor protein 3 (NLRP3)
inflammasome in asthmatic patients. J Allergy Clin Immunol. 2018; 1-11.
22. Wood L.G, Garg M.L, Gibson P.G. A high-fat challenge increases airway inflammaton and
impairs bronchodilator recovery in asthma. J Allergy Clin Immunol. 2011; 127: 1133-40.
23. Thenprasert A, Samuhaseneetoo S, Popplestone K, West A.L, Miles E.A, Calder P.C. Fish
oil N-3 polyunsaturated fatty acids selectively affect plasma cytokines and decrease illness in
Thai schoolchildren: a randomized, double-blind, placebo-controlled intervention trial. J
Pediatr. 2009; 154: 391-5.
24. Morin C, Cantin A.M, Vezina F.A, Fortin S. The efficacy of MAG-DHA for correcting
AA/DHA imbalance of cystic fibrosis patients. Marine Drugs. 2018; 16(184): 1-10.
25. Witard O.C, Turner J.E, Jackman S.R, Keukendrup A.E, Bosch J.A, Tipton K.D. High
dietary protein restores overreaching induced impairments in leukocyte trafficking and reduces
the incidence of upper respiratory tract infection in elite cyclists. Brain, Behaviour and
Immunity. 2014; 39: 211-9.

38
26. Vitetta L, Coulson S, Beck S.L, Gramotnev H, Du S, Lewis S. The clinical efficacy of a
bovine lactoferrin/whey protein Ig-rich fraction (Lf/IgF) for the common cold: a double blind
randomized study. Complementary Therapies in Medicine. 2013; 21: 164-71.
27. Tang W, Shao X, Chen Q, Zhu L, He Y, Lu E. Nutritional status of protein intake in severe
pneumonia patients based on dietary nutrition information system. 2019; 1-5.
28. Toannesen L.L, Meteran H, Hostrup M, Geiker N.R.W, Jensen C.B, Porsbjerg C, et al.
Effects of exercise and diet in nonobese asthma patients- a randomized controlled trial. J
Allergy Clin Immunol. 2018; 6(3): 803-11.
29. Fernanda MB., Falomir MP., RO., Ortega R., Villanueva EES., Ojeda GM, Sandoval YF.,
Lamotte BV. Effect of dietary supplement on the incidence of acute respiratory infection in
susceptible adults: a randomized controlled trial. Nutricion hospitaria, 2015: 32(2): 722-31.
30. Visser, M. E., Grewal, H. M., Swart, E. C., Dhansay, M. A., Walzl, G., Swanevelder, S.,
Maartens, G. The effect of vitamin A and zinc supplementation on treatment outcomes in
pulmonary tuberculosis: a randomized controlled trial.The American Journal of Clinical
Nutrition, 2010;93(1), 93–100.
31. Menon B., kaur C., dar MY. Placebo controlled trial of vitamin D supplementation in
Allergic Rhinitis. Research, 2016; 3(1501): 1-7.
32. Bakhshaee, M., Sharifian, M., Esmatinia, F., Rasoulian, B., & Mohebbi, M. Therapeutic
effect of vitamin D supplementation on allergic rhinitis. European Archives of Oto-Rhino-
Laryngology. 2019;22(6);1-5.
33. Arshi, S., Fallahpour, M., Nabavi, M., Bemanian, M. H., Javad-Mousavi, S. A., Nojomi,
M., Akbarpour, N. The effects of vitamin D supplementation on airway functions in mild to
moderate persistent asthma. Annals of Allergy, Asthma & Immunology, 2014;113(4), 404–
409.
34. Ginde, A. A., Blatchford, P., Breese, K., Zarrabi, L., Linnebur, S. A., Wallace, J. I., &
Schwartz, R. S. High-Dose Monthly Vitamin D for Prevention of Acute Respiratory Infection
in Older Long-Term Care Residents: A Randomized Clinical Trial. Journal of the American
Geriatrics Society, 2016;65(3), 496–503.
35. Arihiro, S., Nakashima, A., Matsuoka, M., Suto, S., Uchiyama, K., Kato, T. Urashima,
M. Randomized trial of vitamin D supplementation to prevent seasonal influenza and upper
respiratory infection in patients with inflammatory bowel disease. Inflammatory Bowel
Diseases,2019;2: 1-8.
36. Hemilä, H., Haukka, J., Alho, M., Vahtera, J., & Kivimäki, M. Zinc acetate lozenges for
the treatment of the common cold: a randomised controlled trial. BMJ Open, 2020;10(1),1-8.

39
37. Kim, T. K., Lim, H. R., & Byun, J. S. Vitamin C supplementation reduces the odds of
developing a common cold in Republic of Korea Army recruits: randomised controlled trial.
BMJ Military Health, bmj military, 2019;1-7.
38. Cassano, P. A., Guertin, K. A., Kristal, A. R., Ritchie, K. E., Bertoia, M. L., Arnold, K. B,
Klein, E. A randomized controlled trial of vitamin E and selenium on rate of decline in lung
function. Respiratory Research, 2015;16(1)1-9.
39. Pop, R. M., Popolo, A., Trifa, A. P., & Stanciu, L. A. Phytochemicals in Cardiovascular
and Respiratory Diseases: Evidence in Oxidative Stress and Inflammation. Oxidative Medicine
and Cellular Longevity, 2018: 1–3.
40. Heinz, S. A., Henson, D. A., Austin, M. D., Jin, F., & Nieman, D. C. Quercetin
supplementation and upper respiratory tract infection: A randomized community clinical trial.
Pharmacological Research, 2010: 62(3), 237–242).
41. Power, S., Williams, M., Semprini, A., Munro, C., Caswell-Smith, R., Pilcher, J.,
Braithwaite, I. RCT of the effect of berryfruit polyphenolic cultivar extract in mild steroid-
naive asthma: a cross-over, placebo-controlled study. BMJ Open, 2017: 7(3).

42. Noorafshan A, A. Esfahani S. A Review of Therapeutic Effect of Curcumin. Current


Pharmaceutical Design, 2013: 19, 2032-2046
43. Panahi, Y., Ghanei, M., Hajhashemi, A., & Sahebkar, A. Effects of curcuminoids-piperine
combination on systemic oxidative stress, clinical symptoms and quality of life in subjects with
Chronic Pulmonary Complications Due to sulfur mustard: A randomized controlled trial.
Journal of Dietary Supplements, 2014: 13(1), 93–105.
44. Duijker, G., Bertsias, A., Symvoulakis, E. K., Moschandreas, J., Malliaraki, N., Derdas, S.
P., Lionis, C. Reporting effectiveness of an extract of three traditional Cretan herbs on upper
respiratory tract infection: Results from a double-blind randomized controlled trial. Journal of
Ethnopharmacology, 2015: 163, 157–166.
45. Somerville, V., Moore, R., & Braakhuis, A. The Effect of Olive Leaf Extract on Upper
Respiratory Illness in High School Athletes: A Randomised Control Trial. Nutrients, 2019:
11(2), 358.
46. Guay J., Champahne P., Guibord P., Gruenwald J. The Efficacy and Safety of a Patent
Pending Combination of Ginger and Goldenrod Extracts on the Management of Cold
Symptoms: A Randomized, Double-Blind Controlled Trial. Scientific research, 2012: 3, 1651-
57.

40
47. Kimber C, Fang L. Pathophysiology of respiratory disease and its significance to
anaesthesia. Anaesthesia and Intensive Care Medicine. 2017; 18(1): 10-5.

41

Anda mungkin juga menyukai