Anda di halaman 1dari 223

Bahasan Teori & Penuntun Praktis

Menerjemahkan
Edisi Revisi

Zuchridin Suryawinata &


Sugeng Hariyanto

i
Bahasan Teori & Penuntun Praktis
Menerjemahkan
Edisi Revisi

Penulis :
Zuchridin Suryawinata
Sugeng Hariyanto

Desain Cover & Penata Isi


Tim MNC Publishing

Cetakan pertama tahun 2003 oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta


Edisi revisi, 2016

Diterbitkan oleh:
Media Nusa Creative
Anggota IKAPI (162/JTI/2015)
Bukit Cemara Tidar H5 No. 34, Malang
Telp. : 0341 – 563 149 / 08223.2121.888
e-mail : mnc.publishing.malang@gmail.com
Website : www.mncpublishing.com

ISBN : 978-602-6397-28-7

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian


atau seluruh isi buku ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk
fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72,
Ayat (1), (2), dan (6)

ii
KATA PENGANTAR EDISI REVISI

Buku ini telah beredar cukup lama di tangan para mahasiswa dan
sudah cukup lama pula tidak dicetak ulang. Mungkin karena alasan itu
buku ini pernah dibajak penulis lain beberapa bab, langsung disalin-rekat
ke dalam bukunya. Selain itu saya masih menerima banyak pertanyaan
tentang di mana buku ini bisa dibeli. Dengan kedua alas an tersebut buku
ini dicetak ulang dan sekaligus direvisi disesuaikan dengan perkembangan
zaman.
Buka teori dengan gaya tutur santai ini dulunya saya tulis dengan
pembimbing saya saat saya menulis tesis, yaitu Prof. Dr. Zuchridin
Suryawinata. Beliau adalah pembangkit kecintaan saya terhadap dunia
penerjemahan dan dunia tulis-menulis. Beliau pula yang menuntun saya
untuk memasuki industri penerjemahan. Sang inspirator saya tersebut kini
telah tiada, tetapi semangat menulis saya dan kecintaan saya terhadap
dunia penerjemahan yang beliau semaikan di hati saya tidak pernah
padam. Namun, kepergian beliau membuat saya menjadi penanggung
jawab tunggal atas perbaikan buku ini.
Dengan rasa takzim kepada beliau, dalam edisi revisi ini saya
memperbaiki Bab I mengenai perkakas penerjemahan, dengan
menambahkan bahasan tentang mesin penerjemah dan CAT Tool dan
menambahkan strategi penerjemahan pragmatik di Bab IV. Sementara itu
bab tentang penelitian di bidang penerjemahan dihapus karena tidak
terkait langsung dengan judul buku ini.

Malang 17 Oktober 2016


SGH

iii
KATA PENGANTAR
(Cetakan Pertama)

Buku ini telah lama direncanakan untuk terbit. Tetapi karena


beberapa kendala yang dihadapi oleh kedua penulis, maka akhirnya buku
ini baru dapat muncul di hadapan para peminat terjemahan sekarang.
Buku-buku teori penerjemahan pada tahun 1980-an sampai
sekarang telah banyak yang diterbitkan, tetapi sebagian besar buku-buku
tersebut ditulis di dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Prancis, dan disertai
contoh-contoh di dalam ketiga bahasa asing itu pula. Oleh karena itu,
penulis mencoba menyajikan buku ini dalam bahasa Indonesia, beserta
contoh-contohnya dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Buku ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan para
mahasiswa, dosen, dan praktisi penerjemahan. Di samping pembahasan
teori yang agak mendalam, dengan membandingkan beberapa teori yang
dikemukakan oleh beberapa pakar penerjemahan, buku ini juga
menyertakan contoh-contoh dalam penerjemahan dari bahasa Inggris ke
dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya.
Di dalam ranah teori dibahas definisi, proses, ragam, dan prinsip-
prinsip penerjemahan, serta kaitan antara makna dan penerjemahan.
Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan teori dan contoh penelitian di
bidang penerjemahan. Di dalam ranah praktis disajikan strategi
penerjemahan beserta contoh-contohnya, penyesuaian leksikal dan
gramatikal, cara menerjemahkan teks-teks IPTEK dan teks-teks
humaniora, cara mencari dan membentuk istilah yang belum ada di dalam
bahasa Indonesia, dan diberikan pula alamat-alamat situs internet yang
dapat dimanfaatkan oleh para penerjemah.
Semoga buku ini bermanfaat.
Malang 17 Agustus 2000
ZS dan SGH

iv
DAFTAR ISI

BAB I. PENERJEMAHAN, PENERJEMAH DAN PERKAKASNYA ........... 1


1.1 Definisi Penerjemahan ............................................................. 1
1.2 Proses penerjemahan ............................................................... 7
1.3 Penjurubahasaan .................................................................... 16
1.4 Perkakas Penerjemah ............................................................. 19

BAB II. RAGAM TERJEMAHAN ..................................................... 28


2.1 Terjemahan Intrabahasa, Antarbahasa, Intersemiotik........... 28
2.2 Terjemahan Sempurna, Memadai, Komposit, Dan
Ilmu Pengetahuan .................................................................. 31
2.3 Terjemahan Harfiah, Dinamik, Idiomatik, Semantik
dan Komunikatif ..................................................................... 34

BAB III. PRINSIP-PRINSIP PENERJEMAHAN .................................. 53


3.1 Prinsip-prinsip Terjemahan yang Setia kepada Teks
Bsu ......................................................................................... 55
3.2 Prinsip-prinsip Terjemahan yang Setia kepada
Pembaca Teks Bsa ................................................................. 57

BAB IV. STRATEGI PENERJEMAHAN ............................................. 64


4.1 Strategi Struktural .................................................................. 64
4.2 Strategi Semantik ................................................................... 67
4.3 Strategi pragmatik .................................................................. 72

BAB V. PADANAN GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL ........................... 78


5.1 Padanan dan Penyesuaian Gramatikal ................................... 78
5.2 Padanan dan Penyesuaian Leksikal ........................................ 90

BAB VI. KATA DAN PENERJEMAHAN ............................................ 95


6.1 Imbuhan ................................................................................ 96
6.2 Modifikasi Kata ....................................................................... 99
6.3 Kata dengan Seberkas Makna .............................................. 101
6.4 Hubungan antar Butir-butir Leksikal .................................... 102
6.5 Ketidakpadanan Leksikal antar Bahasa ................................ 106
v
6.6 Padanan Leksikal dengan Konsep yang Sama ...................... 109
6.7 Padanan Leksikal dengan Konsep yang Tidak
Diketahui di dalam BSa ........................................................ 111
6.8 Hampa Padanan (Translation Void)/Tanpadan .................... 114
6.9. Kata Majemuk ..................................................................... 114
6.10 Lakuran (blending), Penggalan (clipping), dan
Akronim (acronym)............................................................. 116
6.11 Makna figuratif ................................................................... 118

BAB VII. MAKNA DAN TERJEMAHAN ......................................... 125


8.1 Macam-macam makna ......................................................... 125

BAB VIII. PENERJEMAHAN TEKS IPTEK ....................................... 133


8.1 Fungsi Bahasa dan Komunikasi IPTEK................................... 133
8.2 Ciri Khas Bahasa IPTEK .......................................................... 138
8.3. Ciri-ciri Wacana IPTEK.......................................................... 144
8.4 Langkah-langkah Penerjemahan IPTEK ................................ 158

BAB IX. PENERJEMAHAN KARYA SASTRA .................................. 162


9.1 Syarat-syarat Penerjemahan Karya Sastra ........................... 162
9.2 Menerjemahkan Prosa Fiksi ................................................. 163
9.3 Menerjemahkan Puisi .......................................................... 168

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 184

LAMPIRAN
Lampiran 1: Daftar terjemahan akronim bahasa Indonesia....... 188
Lampiran 2: Contoh Terjemahan Cerita Pendek ........................ 207

TENTANG PENULIS ................................................................... 215

vi
BAB I
PENERJEMAHAN DAN PENERJEMAH

Buku ini memuat teori-teori dasar penerjemahan. Oleh karena itu


sudah selayaknya jika kami membuka buku ini dengan uraian tentang
definisi penerjemahan. Setelah itu disajikan juga bahasan mengenai
proses penerjemahan. Paparan tentang proses penerjemahan ini berguna
untuk memahami hakikat penerjemahan. Di bagian akhir bab ini
disinggung syarat-syarat penerjemahan yang baik dan sumber daya yang
bisa dimanfaatkan oleh para penerjemah

1.1 Definisi Penerjemahan


Seperti halnya ilmu-ilmu lain, di dalam bidang penerjemahan
ditemukan banyak sekali definisi penerjemahan. Berbagai definisi
penerjemahan yang bisa ditemukan ini mencerminkan pandangan ahli
yang membuat definisi tersebut tentang hakikat terjemahan dan proses
penerjemahan. Berikut akan disajikan beberapa definisi yang sering
dikutip dalam buku-buku tentang penerjemahan.
Definisi pertama berasal dari Catford (1965: 20). Ia menulis:
(Translation is) the replacement of textual material in one language by
equivalent textual material in another language. (Catford, 1965: 20)

Penerjemahan adalah penggantian materi tekstual dalam suatu bahasa


dengan materi tekstual yang padan dalam bahasa lain.

Mungkin pembaca sedikit bertanya-tanya karena di dalam definisi


tersebut tidak ditemukan konsep tentang makna. Sementara itu secara
garis besar terjemahan tidak bisa dipisahkan dari persoalan makna atau
informasi. Sebagai ganti dari konsep “makna” adalah materi tekstual yang
padan: ini tentu saja lebih operasional (Suryawinata, 1989: 3), tetapi bisa
menjebak. Kesepadanan sebuah materi tekstual bisa dipandang dari
beberapa segi. Secara sederhana, materi tekstual bisa padan maknanya,
panjangnya, gaya tulisannya, atau bahkan padan kualitas cetakannya.
Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud materi tekstual oleh
Catford tidak harus naskah tertulis. Jadi penerjemahan bisa saja berasal
1
dari bahasa lisan atau tertulis.
Ungkapan tentang hakikat penerjemahan berikut ini dikemukakan
oleh Savory (1968) di dalam bukunya The Art of Translation.
Translation is made possible by an equivalent of thought that lies behind
its different verbal expressions (Savory, 1968).

Kutipan di atas bisa diterjemahkan secara bebas sebagai berikut:

Penerjemahan menjadi mungkin dengan adanya gagasan yang sepadan di


balik ungkapan verbal yang berbeda.

Di dalam ungkapan Savory ini disebutkan dengan jelas bahwa yang


padan adalah gagasannya. Savory tidak lebih jauh lagi menyebut hal-hal
yang operasional atau hal-hal yang terkait dengan proses.
Dalam definisinya, Nida dan Taber (1969) menyatakan secara
lebih jelas proses penerjemahannya. Mereka menyatakan:
Translating consists of reproducing in the receptor language the closest
natural equivalent of the source language message, first in terms of
meaning and secondly in terms of style.

Secara bebas kutipan di atas bisa diterjemahkan sebagai berikut:


Penerjemahan adalah usaha mencipta kembali pesan dalam bahasa
sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa) dengan padanan alami yang
sedekat mungkin, pertama-tama dalam hal makna dan kemudian gaya
bahasanya.

Di sini Nida dan Taber tidak mempermasalahkan bahasa-bahasa


yang terlibat dalam penerjemahan, tetapi lebih tertarik pada cara kerja
penerjemahan, yakni mencari padanan alami yang semirip mungkin
sehingga pesan dalam BSu bisa disampaikan dalam BSa.
Dalam bukunya Translation: Aplications and Research, Brislin
(1976: 1) menulis:
Translation is the general term referring to the transfer of thoughts and
ideas from one language (source) to another (target), whether the
languages are in written or oral form; whether the languages have
established orthographies or do not have such standardization or whether
one or both languages is based on signs, as with sign languages of the deaf.

2
Secara bebas, definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut.
Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada proses pengalihan
buah pikiran dan gagasan dari satu bahasa (sumber) ke dalam bahasa lain
(sasaran), baik dalam bentuk tulisan maupun lisan; baik kedua bahasa
tersebut telah mempunyai sistem penulisan yang telah baku ataupun
belum, baik salah satu atau keduanya didasarkan pada isyarat
sebagaimana bahasa isyarat orang tuna rungu.

Dari definisi ini dapat diketahui bahwa Brislin memberi batasan


yang luas pada istilah penerjemahan. Bagi dia penerjemahan adalah
pengalihan buah pikiran atau gagasan dari satu bahasa ke dalam bahasa
lain. Kedua bahasa ini bisa serumpun, seperti bahasa Sunda dan Jawa, bisa
dari lain rumpun, seperti bahasa Inggris dan Indonesia, atau bahkan
bahasa yang sama tetapi dipakai pada kurun waktu yang berbeda,
misalnya bahasa Jawa jaman Majapahit dan bahasa Jawa masa sekarang.
Hanya sayang dalam definisi ini tidak tersirat proses penerjemahan dan
kriteria terjemahan yang baik.
Sejenis dengan definisi ini adalah definisi Pinhhuck (1977: 38). Dia
menulis bahasa "Translation is a process of finding a TL equivalent for an
SL utterance". Dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan bahwa
"Penerjemahan adalah proses penemuan padanan ujaran bahasa sumber
di dalam bahasa sasaran."
Dalam definisi-definisi yang muncul dalam kurun waktu 1960-
1970an di atas bisa dilihat adanya tiga kesamaan. Kemiripan pertama
adalah adanya perubahan dari bahasa satu ke bahasa yang lainnya. Yang
kedua adalah adanya makna atau pesan yang dipertahankan, dan yang
terakhir adalah adanya kewajiban dari penerjemah untuk mengusahakan
padanan yang sedekat mungkin.
Di antara ketiga hal di atas, konsep tentang padananlah yang
menarik untuk dicermati karena setiap penulis di atas mempunyai konsep
atau lingkup yang berbeda. Catford (1969), misalnya, hanya menyebutkan
equivalent textual material. Tambahan lagi, dia tidak menyebutkan kata
makna atau pesan dalam definisinya. Jadi yang harus padan menurut
Catford adalah materi tekstualnya. Ini bisa jadi kosa katanya, strukturnya
(gayanya), dan juga maknanya karena tidak mungkin penerjemahan dapat
mengabaikan maknanya demi padanan struktur bahasanya saja.
Catford (1969) lebih jauh menyatakan bahwa masalah utama dalam
3
penerjemahan adalah bagaimana menemukan padanan terjemahan di
dalam BSa. Sementara itu, tugas utama teori penerjemahan adalah
memberi batasan akan hakekat dan syarat-syarat padanan terjemahan.
Seperti yang dikutip Wilss (dalam Noss, 1982), Catford menyatakan
bahwa di dalam penerjemahan total, teks atau butir-butir BSu dan BSa
adalah padanan terjemahan jika teks-teks atau butir-butir itu bisa saling
ditukar dalam situasi yang sama. Jadi idealnya padanan terjemahan
haruslah berkorespondensi satu-satu: jika X ada di dalam BSu, maka Y ada
di dalam BSa; jika Y ada di dalam BSa, maka X ada di dalam BSu.
Sementara itu, Savory menyebutkan bahwa yang seharusnya padan
adalah buah pikiran atau gagasannya. Yang sangat jelas membahas
masalah ini adalah Nida dan Taber yang menyebutkan closest natural
equivalent of the SL message. Jadi, menurut kedua ahli itu yang harus
padan dulu adalah pesan dari naskah yang diterjemahkan, dan
padanannya pun harus yang alami dan semirip mungkin sehingga bisa
membawa pesan yang sama. Untuk memahami masalah ini, lebih baik
kiranya bila kita mengingat kembali contoh yang diajukan Nida dan Taber.
Kedua ahli ini adalah ahli penerjemahan kitab Injil. Dalam kitab Injil
versi bahasa Inggris, ada ungkapan lamb of God, yang kalau diterjemahkan
secara harfiah menjadi domba Tuhan dalam bahasa Indonesia. Tetapi,
pada saat itu orang tersebut mau menerjemahkannya ke dalam bahasa
orang Eskimo yang tentu saja dalam kehidupan sehari-harinya tidak
pernah melihat domba. Bila ungkapan itu diterjemahkan secara harfiah,
maka makna yang ingin disampaikan, yakni suatu gambaran
ketidakberdosaan, tidak akan bisa ditangkap. Oleh karena itu, harus dicari
padanan alami yang sedekat mungkin, yang mempunyai makna konotasi
yang nyaris mirip. Akhirnya ditemukanlah padanan alaminya, yakni anjing
laut. Akhirnya, terjemahan yang padan dari lamb of God dalam bahasa
Eskimo adalah anjing laut Tuhan dalam bahasa Eskimo.
Konsep Nida dan Taber ini, yang juga dikenal dengan konsep
padanan dinamis, memang menarik dan menghasilkan terjemahan yang
luwes dan mampu memberikan pesan yang sama dengan pesan BSu-nya.
Namun tetap ada pertanyaan, apakah hasil tersebut tetap sama untuk
penerjemahan naskah-naskah ilmu pengetahuan.
Mulai tahun 1980-an, rupanya perbincangan dalam teori
penerjemahan tidak lagi disibukkan oleh masalah padanan. Mungkin
4
orang telah paham bahwa dalam setiap terjemahan, penerjemah memang
harus mengusahakan tercapainya padanan. Definisi-definisi pada tahun-
tahun terakhir rupanya lebih mengarah pada hal-hal yang praktis atau
prinsip-prinsip operasional. Hal ini bisa dilihat pada definisi-definisi
berikut. Hal ini membawa akibat bahwa kita bisa merumuskan proses
penerjemahan menurut pikiran mereka.
McGuire (1980: 2) menulis:
Translation involves the rendering of a source language (SL) text into the
target language (TL) so as to ensure that (1) the surface meaning of the two
will be approximately similar and (2) the structure of the SL will be
preserved as closely as possible, but not so closely that the TL structure will
be seriously distorted.

Secara bebas definisi tersebut bisa diterjemahkan sebagai berikut:


Penerjemahan mencakup usaha menjadikan BSu ke BSa sehingga (1)
makna keduanya menjadi hampir mirip dan (2) struktur BSu dapat
dipertahankan setepat mungkin, tetapi jangan terlalu tepat sehingga
struktur BSa-nya menjadi rusak.

Definisi ini mengandung beberapa hal yang kurang mengena.


Pertama, yang dibicarakan adalah BSu dan BSa yang sangat umum,
sehingga tidak khusus mengacu pada suatu terjemahan. Selain itu pada
bagian kedua definisi tersebut mengandung kontroversi, yaitu setepat
mungkin namun jangan terlalu tepat. Dari sini kita tidak tahu batas
ketepatan yang dimaksud.
Newmark (1981: 7) menulis bahwa:
Translation is a craft consisting in the attempt to replace a written message
and/or statement in one language by the same message and/or statement
in another language.

Secara bebas definisi tersebut bisa diterjemahkan sebagai berikut:


Penerjemahan adalah suatu kiat yang merupakan usaha untuk mengganti
suatu pesan atau pernyataan tertulis dalam satu bahasa dengan pesan
atau pernyataan yang sama dalam bahasa lain.

Ada dua hal yang bisa diperbincangkan dalam definisi ini. Pertama,
Newmark memandang penerjemahan (translation) menyangkut teks
tertulis. Ada kemungkinan ini dimaksudkan untuk membedakannya
5
dengan "interpretation" untuk penerjemahan lisan. Yang kedua, pakar
penerjemahan ini tidak menggunakan istilah, tetapi ia memakai istilah
yang sama dalam bahasa yang lain.
Wolfram Wilss (1984) mengajukan tiga definisi penerjemahan
sekaligus, yakni yang berorientasi pada penerjemah, pada teks, dan pada
komputer. Pada ketiga-tiganya dia menyebut bahwa penerjemahan
adalah suatu proses. Dalam definisinya yang kedua, yang berorientasi
pada naskah yang diterjemahkan ia menulis:
Translation is a transfer process which aims at the transformation of a
written SL text into an optimally equivalent TL text, and which requires the
syntactic, the semantic and the pragmatic understanding and analytical
processing of the SL (Wills dalam Noss, 1982: 3).

Secara bebas definisi tersebut bisa diterjemahkan sebagai berikut:


Penerjemahan adalah suatu proses transfer yang bertujuan untuk
mentransformasikan teks tertulis dalam BSu ke dalam teks BSa yang
optimal padan, dan memerlukan pemahaman sintaktik, semantik dan
pragmatik, serta proses analitis terhadap BSu.

Dalam definisi tersebut, Wilss menganggap bahwa penerjemahan


adalah suatu proses, suatu transfer. Lebih lanjut ia membatasi pada teks
tertulis, seperti halnya pandangan Newmark. Kalau Wilss menganggap
penerjemahan sebagai proses transformasi, Newmark menggunakan
istilah mengganti. Kalau Wills masih memakai istilah padanan, Newmark
memakai sama tetapi dalam bahasa yang lain. Dalam masalah ini, kami
lebih sepakat dengan Wilss dalam hal penggunaan istilah padan dan
padanan, karena secara linguistik tidak ada kata-kata yang sama dalam
bahasa yang berlainan. Kata yang sekilas terlihat sama, mungkin
mempunyai makna konotatif yang berbeda, atau malah cakupan makna
yang berbeda. Kita bisa melihat kembali contoh yang diajukan oleh Nida
dan Taber di depan.
Meskipun kata equivalent masih disebut, tetapi tekanan
utamanya terletak pada proses. Bahkan ahli ini menggambarkan proses
yang dimaksud segera setelah definisi tersebut.
Dalam bukunya Meaning-based Translation: A Guide to Cross-
language Equivalence, Larson (1984) justru tidak pernah mendefinisikan
kata "translation' atau penerjemahan. Dia malah dengan singkat saja

6
menulis:
Translation is basically a change of form. When we speak of the form of a
language, we are referring to the actual words, phrases, clauses,
sentences, paragraphs, etc., which are spoken or written. ... In translation
the form of the source language is replaced by the form of the receptor
(target) language.

Secara bebas definisi tersebut bisa diterjemahkan sebagai berikut:


Penerjemahan pada dasarnya adalah suatu perubahan bentuk. Apabila kita
berbicara tentang bentuk bahasa, kita mengacu pada kata-kata, frasa,
klausa, kalimat, paragraf yang sesungguhnya, yang lisan atau tertulis. ... Di
dalam terjemahan bentuk bahasa sumber disalin dengan bentuk bahasa
sasaran.

Yang dapat menjadi pertanyaan adalah bahwa Larson di sini


membicarakan pergantian bentuk. Sedangkan buku yang ditulisnya adalah
tentang penerjemahan berdasarkan makna. Dengan demikian, kita kurang
dapat memahami mengapa Larson mengacu kepada bentuk dan bukan
makna dalam definisi di atas. Meskipun begitu, dalam bahasan di butir 1.2.
kita bisa lebih memahami pikiran Larson tersebut.
Demikian, kutipan-kutipan definisi penerjemahan yang kami sajikan
di atas menunjukkan bahwa pada tahap awal, perbincangan sekitar
definisi penerjemahan berfokus pada makna ekuivalen atau padanan.
Sementara itu, mulai awal 1980-an, fokus pembicaraan mulai bergeser
pada proses penerjemahan. Lebih lanjut kita perdalam bahasan kita
tentang proses penerjemahan pada bagian 1.2. berikut.

1.2 Proses Penerjemahan


Yang dimaksud proses penerjemahan di sini adalah suatu model
yang dimaksudkan untuk menerangkan proses pikir (internal) yang
dilakukan manusia saat melakukan penerjemahan.
Dahulu orang berpendapat bahwa penerjemahan terjadi secara
langsung dan terjadi satu arah. Proses ini sering digambarkan dalam
gambar berikut (lihat Suryawinata, 1989: 12).

teks BSu teks BSa

Gambar 1.1 Proses penerjemahan linier


7
Gambar di atas dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa
penerjemah langsung menuliskan kembali teks BSu dalam teks BSa. Sekilas
memang begitulah tampaknya. Perhatikan contoh berikut.

She kicked the farmer. Dia menendang petani itu.

Jika Anda diberi kalimat tersebut, tentu Anda pun langsung


menerjemahkan begitu. Langsung dan satu arah bukan? Akan tetapi
bagaimana jika yang harus diterjemahkan adalah kalimat yang lebih
kompleks? Coba terjemahkan kalimat berikut.

Social control is a process whereby conformity to norms is


maintained in a society.

Kita tidak bisa secepat menerjemahkan She kicked the farmer tadi.
Kita terpaksa dengan hati-hati berusaha mendapatkan makna dari kalimat
itu dengan segala cara, dengan melihat kamus, dengan
mempertimbangkan struktur yang disebut relative clause, dan sebagainya.
Jadi, apakah proses penerjemahan untuk kedua kalimat di atas
berbeda? Tentu saja tidak. Hanya saja, untuk kalimat pertama, proses itu
berlangsung begitu cepat, sementara untuk kalimat kedua prosesnya
berjalan lambat. Oleh karena itu, Nida dan Taber (1969:33)
menggambarkan proses penerjemahannya, yakni penerjemahan dinamis,
seperti dalam Gambar 1.2.
Dalam proses ini terdapat tiga tahap, yaitu tahap analisis, transfer, dan
restrukturisasi. Dalam tahap analisis, penerjemah menganalisis teks BSu
dalam hal (a) hubungan gramatikal yang ada dan (b) makna kata dan
rangkaian kata-kata untuk memahami makna atau isinya secara
keseluruhan. Hasil tahap ini, yaitu makna BSu yang telah dipahami,
ditransfer di dalam pikiran penerjemah dari BSu ke dalam BSa. Baru
setelah itu, dalam tahap restrukturisasi, makna tersebut ditulis kembali
dalam BSa sesuai dengan aturan dan kaidah yang ada dalam BSa.

8
bentuk bentuk
teks BSu teks BSa

analisis restrukturisasi

isi teks ----transfer----» isi teks


BSu BSa

Gambar 1.2 Proses penerjemahan menurut Nida dan Taber (1969)

Proses di atas kelihatannya rumit, tetapi setelah dimengerti


sebenarnya cukup mudah untuk dipahami. Meskipun demikian,
Suryawinata (1989: 14) berusaha memperjelas skema tersebut dengan
meminjam konsep struktur batin dan struktur lahir Tata Bahasa Generatif
Transformasi (TGT) menjadi seperti yang terlihat dalam Gambar 1.3.
Evaluasi dan
revisi

Teks asli Teks terjemahan


dalam BSu dalam BSa

proses eksternal
analisis/ restrukturisasi/

pemahaman penulisan kembali


proses internal

konsep, makna, transfer konsep, makna,


pesan dari teks BSu padanan pesan dalam BSa

Gambar 1.3 Proses penerjemahan menurut Nida dan Taber (1969) yang
disempurnakan

9
Di dalam gambar tersebut bisa dilihat proses sebagai berikut:
1. Tahap analisis atau pemahaman. Dalam tahap ini struktur lahir (atau
kalimat yang ada) dianalisis menurut hubungan gramatikal, menurut
makna kata atau kombinasi kata, mana tekstual, dan bahkan makna
kontekstual. Ini merupakan proses transformasi balik.
2. Tahap transfer. Dalam tahap ini materi yang sudah dianalisis dan
dipahami maknanya tadi diolah penerjemah dalam pikirannya dan
dipindah dari BSu ke dalam BSa. Dalam tahap ini belum dihasilkan
rangkaian kata; semuanya hanya terjadi di dalam batin penerjemah.
3. Restrukturisasi. Dalam tahap ini penerjemah berusaha mencari padanan
kata, ungkapan, dan struktur kalimat yang tepat dalam BSa sehingga
isi, makna dan pesan yang ada dalam teks BSu tadi bisa disampaikan
sepenuhnya dalam BSa.
4. Evaluasi dan revisi. Setelah didapat hasil terjemahan di BSa, hasil itu
dievaluasi atau dicocokkan kembali dengan teks aslinya. Kalau dirasa
masih kurang padan, maka dilakukanlah revisi.
Keempat proses ini kadang berlangsung dengan sangat cepat,
kadang juga sangat lambat. Untuk lebih jelasnya, kita perhatikan proses
penerjemahan untuk kalimat contoh She kicked the farmer. Berikut tahap-
tahapnya.
1. Analisis. Dalam tahap ini penerjemah memikirkan hal-hal berikut. She
adalah subjek kalimat asli. Kicked adalah kata kerjanya. She adalah
orang ketiga tunggal dan berjenis kelamin perempuan. Harus ada
tambahan "ed" pada kata kerjanya untuk menunjukkan bahwa
kejadiannya sudah berlangsung. Sedangkan the farmer adalah objek
yang dikenai kata kerja kick. Objek ini adalah manusia yang
pekerjaannya mengolah tanah untuk menumbuhkan tanaman yang
bisa menghasilkan bahan pangan.
2. Transfer. Dalam tahap ini, penerjemah memikirkan hal-hal sebagai
berikut. Orang ketiga tunggal adalah ia, dia, dan beliau dalam bahasa
Indonesia. Jenis kelamin perempuan tidak bisa diwakili dengan kata
lain selain kata perempuan atau wanita. Kick adalah perbuatan
mengayunkan kaki dengan kuat ke arah depan. Orang yang
pekerjaannya menanam tanaman pangan disebut juga petani dalam
bahasa Indonesia. (Harus diingat, semua yang dilakukan dalam tahap
ini hanya terjadi di dalam pikiran penerjemah saja.)
10
3. Restrukturisasi. Dalam tahap ini mulailah penerjemah menuliskan
sesuatu, misalnya Beliau (perempuan) menendang petani.
4. Evaluasi dan revisi. Dalam tahap ini penerjemah kembali mengamati
hasil kerjanya. Dia merasa bahwa kalimat itu kurang luwes dalam
bahasa Indonesia. Maka kata perempuan dia buang. Kata beliau
dirasanya terlalu sopan. Dan kata petani bisa terlalu umum. Maka
penerjemah bisa merevisi kalimat itu menjadi Dia menendang petani
itu.
Selain Nida dan Taber, Larson (1984: 3-4) juga mengajukan model
proses terjemahan. Model tersebut secara garis besar sama, tetapi
kelihatannya lebih sederhana. Lihat gambar 1.4.

Gambar 1.4 Proses penerjemahan menurut Larson (1984)

Proses ini kelihatannya lebih sederhana daripada proses yang


diajukan Nida dan Taber (1969). Itu hanya kelihatannya, tetapi sebenarnya
proses itu sama rumitnya. (Bukankah proses yang dimaksud sama?).
Menurut Larson (1984), proses terjemahan itu terdiri atas mempelajari
dan menganalisis kata-kata, struktur gramatikal, situasi komunikasi dalam
teks BSu, dan konteks budaya BSu untuk memahami makna yang ingin
11
disampaikan oleh teks BSu. Ini sama persis dengan tahap analisis menurut
Nida dan Taber. Kemudian, makna yang telah dipahami tadi diungkapkan
kembali dengan menggunakan kosa kata dan struktur gramatikal BSa yang
baik dan cocok dengan konteks budaya BSa. Proses ini sama dengan proses
restrukturisasi Nida dan Taber (1969). Yang berbeda adalah tahap
transfer. Larson (1984) tidak mengemukakan secara terpisah tahap ini,
tetapi dari uraian dan skemanya, tahap ini jelas ada. Mungkin Larson
menganggap bahwa proses ini otomatis hadir jika penerjemah
mengungkapkan kembali makna yang dipahami di dalam BSa.
Skema Larson (1984) ini terasa kurang rinci. Oleh karena itu, Said
(1994: 20) melengkapi skema ini menjadi Gambar 1.5.

Gambar 1.5 Proses penerjemahan Larson (1984) yang dilengkapi oleh


Said (1994)

12
Dari Gambar 1.5, kita dapat melihat gambaran proses ini. Sebagai
contoh kita gunakan proses penerejmahan kalimat asli: I fell and hurt my
knee. Berikut prosesnya tahap demi tahap.
1. Analisis leksikon:
I --» pembicara
fell --» bergerak menuju ke tanah tanpa bisa dikendalikan.
and --» ada tambahan ide
hurt --» perbuatan melukai orang lain atau diri sendiri
my --» milik pembicara
knee --» sendi antara tulang paha dan tulang kering
2. Analisis struktur gramatikal
Dari analisis gramatikal diperoleh hal-hal berikut: (a) kalimat ini
kalimat majemuk rapatan dalam jenis kalimat positif atau kalimat
afirmasi, dan (b) kalimat ini untuk menceritakan kejadian pada masa
lalu, karena kata fell adalah bentuk lampau dari kata fall.
3. Analisis konteks situasi menghasilkan pemahaman bahwa kalimat ini
mungkin sekali diucapkan oleh seseorang kepada temannya.
4. Analisis konteks budaya menghasilkan pengertian bahwa tidak ada
hal-hal yang sifatnya sangat khusus dalam budaya Inggris dalam
kalimat ini. Ini bisa dimengerti bahwa tidak ada konsep budaya
khusus dalam ujaran ini.
Dari hasil analisis teks asli ini dapat diperoleh makna bahwa si
pembicara ingin menceritakan kepada temannya bahwa pada waktu yang
lampau dia terjatuh dan karenanya ada luka di sekitar sendi yang
menghubungkan tulang paha dan tulang keringnya. Makna ini kemudian
diungkapkan kembali dengan mempertimbangkan segi-segi leksikon
(kata), struktur gramatikal, konteks situasi, dan konteks budaya bahasa
sasaran, yakni bahasa Indonesia. Langkah ini bisa digambarkan sebagai
berikut:
1. Pertimbangan leksikon bahasa sasaran
Langkah ini adalah pencarian kata-kata BSa yang bisa digunakan untuk
mengungkapkan makna BSu. Langkah ini bisa digambarkan dengan
sederhana sebagai berikut.
I ---» saya, aku, hamba, patik
fell --» jatuh

13
and --» dan, serta
hurt --» melukai
my --» milikku, milik saya, punyaku, punya saya
knee --» lutut
2. Pertimbangan struktur gramatikal.
Dalam bahasa Indonesia tidak ada pemarkah waktu lampau seperti
halnya bahasa Inggris. Konsep ini harus dikatakan eksplisit, dulu atau
beberapa hari yang lalu.
Lebih jauh lagi, struktur kalimat majemuk rapatan dalam bentuk
afirmasi seperti struktur aslinya tidak bisa dipakai untuk
mengungkapkan makna yang sama dalam bahasa Indonesia. Tentu kita
merasa tidak pas jika mendengar ada kalimat Saya jatuh dan saya
melukai lutut saya kemarin. Oleh karena itu, harus dicari struktur
kalimat yang bisa diterima di dalam bahasa Indonesia.
3. Pertimbangan konteks situasi dan budaya
Dalam mencari struktur yang pas ini, penerjemah harus pula
mempertimbangkan konteks situasi yang akrab (dari ini kata patik,
saya, hamba mungkin tidak tepat. Karena tidak ada konsep yang khas
Inggris, maka ia bisa mengabaikan masalah ini.
Pada akhirnya, mungkin bisa ditemukan kalimat akhir sebagai
terjemahan kalimat aslinya, yaitu Aku terjatuh dan lututku terluka.
Sebagai tambahan, perlu kita perhatikan bahwa kata-kata fall,
hurt, cut, sprain dan kata lain sejenis ini di dalam bahasa Inggris
merupakan kata kerja berbentuk aktif transitif meskipun untuk diri sendiri.
Tetapi di dalam bahasa Indonesia dalam kata tersebut terkandung makna
tidak sengaja, sehingga padanannya di dalam bahasa Indonesia yang
paling tepat adalah terjatuh, terluka, teriris, dan terkilir.
Dari uraian dalam bab ini bisa ditarik dua kesimpulan. Pertama,
dari definisi penerjemahan bisa disimpulkan bahwa penerjemahan adalah
suatu kegiatan untuk mengungkapkan kembali makna dari teks BSu
dengan padanan yang tepat di dalam teks BSa. Dari bahasan tentang
proses penerjemahan bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya proses
penerjemahan terdiri atas dua tahap: (a) analisis teks asli dan pemahaman
makna dan/atau pesan teks asli dan (b) pengungkapan kembali makna
dan/atau pesan tersebut di dalam BSa dalam kata-kata atau kalimat yang
berterima di dalam BSa.
14
Perhatikan kutipan berikut yang diikuti oleh dua terjemahannya
dalam bahasa Indonesia. Teks terjemahan yang pertama ini adalah hasil
terjemahan seseorang yang baru belajar menerjemahkan. Di dalamnya
terdapat beberapa kesalahan yang mungkin saja bersifat serius. Kemudian
bandingkan dengan teks terjemahan kedua, yang merupakan hasil
penyempurnaan teks terjemahan yang pertama. Menurut Anda, kenapa
teks terjemahan pertama mengandung banyak kesalahan?

Teks Asli
Social control is the process whereby conformity to norms is maintained in
a society. Without social control, society and human system would not be
possible. We can see instances of social control by simply calling attention
to everyday, taken-for-granted events around us. Your professor shows up
each day at approximately the correct time. So do you. Most students sit
quietly in class. Most are polite and follow the proper procedure for asking
questions. We all drive on the right side of the road, stop at red lights, and
use our turn signals. We go to the bank and we are sure that people will be
there to help us. These are commonplace events, but they are what makes
society possible. Despite tendencies for deviation, most people, most of
the time, are willing to occupy key status positions, recognize relevant
norms, and play appropriate roles.

Teks terjemahan 1 Teks terjemahan 2


Kontrol sosial adalah proses Kontrol sosial adalah proses untuk
penyesuaian norma-norma yang memelihara penyesuaian tingkah
dipelihara di dalam masyarakat. laku terhadap norma-norma di
Tanpa kontrol sosial, masyarakat dalam masyarakat. Tanpa kontrol
dan sistem kemanusiaan tidak sosial, masyarakat dan sistem
mungkin ada. Kita dapat melihat kemanusiaan tidak mungkin ada.
contoh-contoh kontrol sosial Kita dapat melihat contoh-contoh
melalui panggilan perhatian kontrol sosial dengan
sehari-hari, mengambil hal-hal memperhatikan kejadian sehari-hari
yang benar di sekitar kita. yang kita lakukan begitu saja di
Profesor Anda menunjukkan lingkungan sekitar kita. Dosen Anda
waktu yang kira-kira tepat setiap datang pada waktu yang hampir
hari. Begitu juga Anda. Banyak sama tiap hari. Begitu juga Anda.
murid duduk tenang di dalam Kebanyakan mahasiswa duduk
kelas. Banyak yang sopan dan tenang di dalam kelas. Kebanyakan
mengikuti prosedur yang pantas sopan dan mengikuti prosedur yang
untuk mengajukan pertanyaan. tepat untuk mengajukan
Kita semua mengendarai di jalan pertanyaan. Kita semua mengemudi
sebelah kanan, berhenti pada di jalan sebelah kiri, berhenti pada
lampu merah, dan mengikuti lampu merah, dan menggunakan
tanda-tanda yang berikutnya. Kita lampu sein (tanda belok) kita. Kita
pergi ke bank dan kita yakin pergi ke bank dan kita yakin bahwa
bahwa orang-orang akan berada orang-orang akan ada di sana untuk
15
di sana untuk menolong kita. Itu membantu kita. Itu semua adalah
semua adalah hal-hal yang biasa kejadian biasa, tetapi itulah yang
terjadi. Meskipun ada bisa menjaga masyarakat kita.
kecenderungan penyimpangan, Meskipun ada kecenderungan
banyak orang biasanya ingin penyimpangan, tetapi kebanyakan
menempati kunci status tempat, orang biasanya sudi menempati
mengenali norma-norma yang posisi kunci, menaati norma-norma
berhubungan dan memainkan yang sesuai, dan memainkan peran
aturan-aturan yang tepat. yang tepat.

Di dalam teks terjemahan kedua, semua kesalahan yang


diakibatkan oleh kesalahan di dalam pemahaman teks BSu di benahi.
Selain itu, struktur kalimatnya juga disesuaikan dengan kaidah BSa.
(Perhatikan kalimat pertama.) Selain itu, penyesuaian juga dilakukan.
Mengendarai di sebelah kanan diganti menjadi mengemudi di jalan
sebelah kiri karena di Indonesia orang memang harus mengemudi di jalan
sebelah kiri.

1.3 Penjurubahasaan
Di dalam bahasa Inggris orang membedakan terjemahan dalam
bahasa tulis, yang disebutnya translation, dan terjemahan dalam bahasa
lisan, yang disebutnya interpretation. Di dalam bahasa Indonesia
penerjemahan lisan ini lebih dikenal dengan sebutan penjurubahasaan.
Sementara itu di dalam bahasa Indonesia kita tidak mempunyai istilah
khusus untuk terjemahan lisan. Di dalam buku ini, istilah interpretasi dan
interpreter digunakan karena istilah ini lebih singkat bila dibandingkan
dengan istilah terjemahan lisan dan penerjemah lisan.
Dilihat sekilas, interpretasi dan terjemahan hampir sama, yang
berbeda adalah media yang digunakan. Dalam terjemahan, media yang
digunakan adalah teks tulis, sedangkan satunya menggunakan wacana
lisan. Tetapi sebenarnya keterampilan, latihan dan bakat yang diperlukan
dalam kedua bidang ini berbeda cukup jauh. Salah satu keterampilan
utama yang dituntut dari seorang penerjemah adalah kemampuan
menulis atau mengungkapkan gagasan dalam BSa secara tertulis. Jadi
mungkin saja, seorang penerjemah yang baik tidak dapat berbicara
dengan baik dalam sasaran atau bahasa sumber. Kemampuan lain yang
dituntut dari seorang penerjemah adalah kemampuan memahami bahasa
dan budaya dari teks BSu serta kemampuan menggunakan kamus dan
16
bahan referensi lainnya. Penerjemahannya pun bisa dilakukan di mana
saja dan kapan saja, dengan bantuan kamus atau bahkan dengan bantuan
teman..
Di lain pihak, seorang interpreter harus mampu mengalihkan isi
informasi dari bahasa sumber ke bahasa sasaran tanpa menggunakan
kamus atau bahan referensi lain secara langsung. Tempatnya pun telah
ditentukan, misalnya di ruang seminar atau konferensi. Keterampilan yang
diperlukan tidak hanya keterampilan memahami ujaran pembicara, tetapi
juga keterampilan di dalam membuat catatan dan mengungkapkan hasil
pemahaman dan catatannya di dalam bahasa sasaran secara lisan. Sering
kali semua kegiatan ini dilakukan pada saat yang bersamaan.
Ada dua macam interpretasi, yaitu interpretasi simultan dan
interpretasi konsekutif (bergantian). Di dalam interpretasi bergantian,
interpreter mendengarkan dulu ujaran asli sambil membuat catatan.
Setelah ujaran asli tersebut selesai, biasanya satu kalimat atau satu
paragraf pendek, interpreter mengungkapkan isi dari ujaran tersebut
dalam bahasa sasaran. Biasanya panjang ujaran berkisar antara 1 sampai
5 menit. Di sini mulai jelas bahwa pembuatan catatan adalah kecakapan
penting dalam interpretasi. Catatan ini tidak dibuat dalam bahasa sumber
karena jika demikian, interpreter akan bekerja ganda pada saat
mengungkapkan isi informasi, yaitu menerjemahkan dulu baru
mengungkapkan. Oleh karena itu, catatan itu langsung dibuat dalam
bahasa sasaran. Beberapa interpreter profesional bahkan ada yang
mengembangkan sistem simbol idiogramiknya sendiri. Di dalam sistem ini
mereka langsung merekam gagasan atau isi ujaran pembicara dengan
sistemnya sendiri, bukan kata-katanya. Umumnya hasil interpretasinya
lebih idiomatik.
Penjurubahasaan simultan jauh lebih sulit lagi. Interpreter tidak
menunggu sampai pembicara selesai menyampaikan ujarannya untuk
mulai menyampaikan isi suatu ujaran. Ia mulai kerjanya begitu ia sudah
menangkap penggalan ujaran yang bisa dimengerti. Penggalan ini bisa saja
frasa, klausa, atau, tetapi ini jarang terjadi, kalimat. Ini berarti pada saat ia
mengungkapkan isi penggalan yang sudah dipahaminya tadi, pada saat
yang sama ia harus mendengarkan dan mencatat penggalan berikutnya.
Dari sisi terlihat betapa beratnya kerja seorang interpreter simultan. Oleh
karena itu jurubahasa simultan harus menguasai topik pembicaraan atau
17
wacana yang diinterpretasi. Hal lain yang harus dimiliki interpreter
simultan adalah keberanian dalam mengambil keputusan karena sama
sekali tidak ada waktu untuk menimbang-nimbang pilihan kata atau untuk
mengingat-ingat idiom tertentu dari bahasa sasaran. Biasanya interpreter
simultan bekerja dalam sebuah kotak kaca dilengkapi dengan headphone
dan mikrofon. Penundaan keputusan akan mengakibatkan kesulitan untuk
memahami dan menginterpretasi penggalan berikutnya. Sementara itu
kesalahan-kesalahan interpretasinya tidak bisa diperbaiki sama sekali.
Kesamaan antara penerjemah dan interpreter adalah mereka harus
mengetahui pengetahuan yang bagus tentang bahasa sumber dan bahasa
sasaran, serta memahami topik teks atau wicara. Berikut ini (Tabel 1.1.)
adalah syarat-syarat bagi penerjemah dan interpreter yang baik.

Tabel 1.1. Syarat-syarat penerjemah dan jurubahasa


No Penerjemah Jurubahasa
1 Menguasai bahasa sumber Menguasai bahasa sumber dan
dan bahasa sasaran bahasa sasaran
2 Mengenal budaya bahasa Mengenal budaya bahasa sumber
sumber dan bahasa sasaran dan bahasa sasaran
3 Menguasai topik atau Menguasai topik atau masalah
masalah teks yang dalam wicara yang
diterjemahkan diinterpretasikan
4 Kemampuan untuk Kemampuan untuk memahami
memahami bahasa bahasa lisan/tingkat reseptif
tulis/tingkat reseptif
5 Kemampuan untuk Kemampuan untuk
mengungkapkan gagasan mengungkapkan gagasan secara
secara tertulis/tingkat lisan/tingkat produktif
produktif
6 - Kemampuan untuk mendengarkan,
mencatat dan mengungkapkan isi
informasi pada saat yang
bersamaan.
7 Kemampuan untuk -
menggunakan kamus dan
sumber referen yang lain
8 - Kemampuan untuk mengambil
keputusan secara cepat (langsung)
18
1.4 Perkakas Penerjemah
Bila seorang interpreter membutuhkan perkakas kertas, pensil,
headphone dan mikrofon, maka seorang penerjemah membutuhkan
perkakas yang lebih banyak lagi. Selain memerlukan kertas dan pensil, ia
bisa mendayagunakan perkakas lainnya, baik yang konvensional maupun
yang modern.

1.4.1 Perkakas Konvensional


Perkakas konvensional selain kertas dan pensil yang biasa
dipergunakan penerjemah adalah kamus. Kamus adalah sekumpulan
informasi tentang sebuah kata atau kombinasi kata. Kata yang diterangkan
ini disebut lema atau entri (entry).
Ada banyak macam kamus. Menurut bahasa yang digunakan,
kamus bisa dibedakan menjadi kamus ekabahasa, kamus dwibahasa, dan
kamus nekabahasa. Kamus ekabahasa adalah kamus yang hanya
menggunakan satu bahasa saja, contohnya adalah Oxford Advanced
Dictionary, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bausastra Jawa, dan lain-lain.
Kamus dwibahasa menggunakan dua bahasa, contohnya adalah Kamus
Indonesia-Inggris, karangan John M. Echols dan Hasan Sadily. Sedangkan
kamus nekabahasa berisi padanan kata atau keterangan tentang kata lema
di dalam dua bahasa atau lebih. Contohnya adalah kamus bahasa Inggris-
Indonesia-Arab. Yang perlu diperhatikan oleh penerjemah adalah karena
makna kata di dalam satu bahasa tidak sama benar dengan makna kata
dalam bahasa lain, maka kamus dwibahasa dan nekabahasa tidak selalu
sesuai untuk mencari makna suatu kata.
Berdasarkan isinya, kamus bisa dibedakan menjadi dua: kamus
umum dan kamus khusus. Kamus umum adalah kamus yang berisi
keterangan mengenai lema, contohnya: Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Kamus Oxford, dan lain-lain. Sedangkan kamus khusus adalah kamus yang
berisi keterangan mengenai lema di dalam suatu bidang tertentu,
misalnya kamus teknik, kamus perminyakan, kamus kedokteran, kamus
biologi dan lain-lain. Menilik bahasanya, kamus umum dan khusus ini bisa
berupa kamus ekabahasa, dwibahasa dan nekabahasa. Seorang
penerjemah sudah selayaknya memiliki kamus umum dan khusus ini
terutama kamus khusus yang terkait dengan bidang spesialisasinya.
Jenis perkakas konvensional lain adalah tesaurus (thesaurus). Di
19
dalam tesaurus sebuah lema diikuti oleh sejumlah kata yang memiliki
kemiripan makna. Beberapa tesaurus bahkan menambahkan lawan kata
di bagian akhir setiap lema. Tesaurus ini berguna untuk membantu
penerjemah memilih kata-kata yang paling cocok. Ensiklopedi juga
merupakan salah satu perkakas penerjemahan. Dengan bantuan
ensiklopedi, seorang penerjemah bisa mendapatkan wawasan yang lebih
luas sehingga ia lebih mampu mencari padanan/konsep yang sesuai
dengan teks yang sedang dikerjakan. Bahan-bahan rujukan di atas secara
langsung membantu kerja penerjemah. Selain itu penerjemah juga harus
selalu meningkatkan keterampilannya, untuk itu diperlukan sumber daya
lain, yaitu jurnal atau majalah mengenai terjemahan.

1.4.2 Perkakas Modern


Perkakas modern bagi penerjemah yang kami bahas di sini adalah
kamus elektronik, kamus daring (dalam jaringan atau on-line), mesin
penerjemah dan alat penerjemahan berbantuan komputer. Kamus
elektronik adalah kamus yang datanya di simpan di dalam alat elektronik
dan dibaca dalam alat itu juga. Alat ini ada yang dibuat dengan bentuk
mirip kalkulator, dan bisa dibawa ke mana-mana. Kekurangan kamus jenis
ini adalah tidak mempunyai penjelasan yang lengkap atau tanpa contoh
seperti halnya kamus konvensional. Kelebihannya adalah penerjemah bisa
mencari kata dengan cepat.
Jenis kamus modern yang lain adalah kamus yang sudah dibuat
dalam bentuk program komputer. Kamus ini sangat membantu bagi
penerjemah yang biasa bekerja dengan komputer. Ia bisa membuka
program pengolah kata, misalnya Microsoft Word, untuk menulis hasil
terjemahannya dan program kamus sekaligus. Kapan saja ia ingin mencari
makna kata atau padanan kata tertentu, ia tinggal pindah ke program
kamus. Dengan mengetikkan kata BSu lalu menekan sebuah tombol,
semua alternatif padanan kata terpampang di depan mata. Setelah itu
penerjemah pindah lagi ke program pengolah kata, lalu memakai padanan
yang telah dipilihnya. Hampir semua kamus konvensional sekarang
memiliki jenis ini, misalnya kamus Longman dan Collins Cobuild. Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun memiliki versi perangkat lunak.
Di era internet ini, penerjemah juga bisa mendayagunakan
sumber daya daring. Kamus daring inilah perkakas modern yang kedua.
20
Hampir semua kamus yang dahulu kita kenal versi cetakan kertas,
sekarang tersedia di internet. Dan kami rasa ini yang paling praktis
sekarang. Berikut adalah beberapa contoh kamus, glosarium, atau
tesaurus daring yang berguna bagi penerjemah dengan pasangan bahasa
Inggris – Indonesia.
 http://kbbi4.portalbahasa.com/ (Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) edisi IV)
 http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/ (Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi III, yang akan diganti dengan edisi IV)
 http://kateglo.com/ (kamus KBBI, tesaurus, dan glosari yang
mencakup segala jenis bidang dengan pasangan bahasa Inggris –
Indonesia atau sebaliknya.
 http://www.collinsdictionary.com/ (kamus dan tesaurus beberapa
bahasa)
 http://www.ldoceonline.com/ (kamus)
 http://www.thefreedictionary.com/ (kamus, tesaurus, ensiklopedia,
idiom, dll.)
Perkakas berikutnya adalah perangkat lunak mesin penerjemah
(MP). Untuk yang satu ini orang sering salah mengerti kegunaan mesin
penerjemah. (Di Indonesia perangkat lunak mesin penerjemah yang
sangat populer bermerek Transtool). Apakah mesin penerjemah itu
sebenarnya? Lihat alur kerja dengan mesin penerjemah di gambar berikut
ini.
Dari sisi proses penerjemahan, sebenarnya ada perbedaan yang
sangat jauh antara Mesin Penerjemah (MP) yang “mengotomatiskan”
(automate) dan CAT Tool yang “membantu” (assist). Tegasnya, perbedaan
antara MP dan CAT Tool terletak pada siapa yang menduduki peran sentral
di dalam proses penerjemahan. Apabila MP dimanfaatkan, komputer
(atau mesin) memegang peran sentral. Mesinlah yang melakukan
penerjemahan. Manusia dapat membantu mesin dengan cara
memperbaiki hasil kerja mesin. Kalau CAT TOOL yang digunakan,
manusialah yang melakukan penerjemahan, sedangkan komputer (atau
mesin) hanya membantu manusia. Perhatikan Gambar 1.6 berikut ini.

21
Naskah Mesin pe- Naskah Penyun- Naskah
sumber nerjemah hasil tingan sasaran

aturan linguistik korpus linguistik


Gambar 1.6 Proses menerjemahkan dengan Mesin Penerjemah
Di dalam gambar di atas, naskah sumber merupakan masukan bagi
MP. MP menerjemahkan naskah BSa dengan menerapkan aturan-aturan
linguistik dan memanfaatkan pangkalan data yang dimilikinya yang berupa
korpus linguistik untuk menghasilkan naskah BSa. Apabila manusia yang
bertanggung jawab kurang puas, dia dapat menyuntingnya untuk
menghasilkan naskah BSa versi jadi (akhir). Apabila dirasa hasil terjemahan
sudah memuaskan, maka hasil kerja MP bisa langsung dijadikan naskah
sasaran (hasil akhir).
Yang terpenting di dalam MP adalah ‘otaknya’ yang memroses
naskah masukan. Seperti apa cara kerja ‘otak’ MP? Ada dua arsitektur
utama mesin penerjemah. Yang pertama adalah mesin penerjemah
berbasis aturan linguistik. Secara sederhana, mesin penerjemah jenis ini
adalah perangkat lunak yang terdiri atas algoritma (aturan-aturan) yang
dapat menganalisis unit penerjemahan bahasa sumber yang diproses,
kemudian mencocokkannya dengan database di bidang struktur kalimat
dan kosakata, dan akhirnya menyusun ulang potongan-potongan data
linguistik yang didapat berdasarkan analisis awal tadi di dalam bahasa
sasaran. Semakin lengkap aturan yang diciptakan sang perancang,
semakin bagus hasil kerjanya. Kelemahannya adalah perancangnya harus
senantiasa melengkapi aturan-aturan linguistik ini agar kualitas hasilnya
semakin bagus. Karena sifatnya ini mesin penerjemah sesuai untuk
menerjemahkan dokumen-dokumen teknis tertentu, yang aturan dan
database-nya sudah disesuaikan untuk itu. Dokumen sejenis dengan
ramalan cuaca, laporan kesehatan. dll. cocok untuk mesin penerjemah.
Sedangkan novel dan puisi tentu saja tidak bisa ditangani dengan mesin
penerjemah.
Mesin penerjemah jenis kedua adalah mesin penerjemah yang
berbasis statistik. Mesin penerjemah berbasis statistik menghasilkan
terjemahan tidak berdasar pada aturan linguistik, tetapi pada model
22
statistik yang diterapkan pada korpus linguistik dari teks dwibahasa.
Korpus adalah sampel teks yang diambil dari dunia nyata, buat imajinasi.
Pidato di PBB yang telah diterjemahkan menjadi beberapa bahasa adalah
contoh korpus untuk pasangan bahasa terkait. Sederhananya, jika kita
memasukkan satu kalimat ke dalam alat ini untuk diterjemahkan, otak alat
ini akan memenggal kalimat ini menjadi beberapa unit kemudian dicarikan
padanannya yang paling sering muncul di beberapa korpus (dari sini istilah
statistik muncul). Kemudian MP menyusun ulang bagian-bagian ini
menjadi kalimat utuh. Jadi, tidak ada aturan linguistik di dalam arsitektur
MP jenis ini.
Penggalan-penggalan data yang dipakai sebagai dasar ini bisa
berupa kata, frasa, dan bentuk sintaksis. Google Translate yang
diluncurkan Google pada tahun 2006 adalah MP dengan arsitektur
berbasis statistik dengan unit identifikasi frasa, atau di dalam bahasa
Inggris disebut phrase-based machine translation1. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika Google Translate kadang bisa ‘menerjemahkan’
dengan sangat luwes. Itu karena kebetulan database dwibahasanya
memuat frasa tersebut.
Sekarang, Google menambahkan kecerdasan buatan ke dalam
mesin penerjemahnya untuk bahasa-bahasa tertentu. Sistem mesin
penerjemahnya sekarang disebut Google’s Neural Translation Machine
System. Sistem ini dikatakan bisa menjembatani kesenjangan antara
penerjemahan manusia dan mesin. Dengan kecerdasan buatan ini mesin
penerjemah Google bisa mempelajari pola-pola tertentu di dalam teks
masukan dan kemudian mencarikan padanannya yang paling pas. Dengan
kecerdasan buatan ini, Google Translate mampu mempelajari kata-kata
yang baru ditemuinya, memecahnya menjadi beberapa bagian, baru
kemudian membuatkan kata di bahasa sasaran. Menurut saya ini
semacam kombinasi antara arsitektur berbasis aturan linguistik dan
statistik, hanya saja aturan linguistik yang ditanamkan di dalam sistem ini
tidak seperti aturan linguistik di masa-masa awal pengembangan MP.
Terkait dengan perkembangan ini penerjemah harus menyikapinya dan
memanfaatkannya secara tepat dengan mempertimbangkan tujuan
penerjemahannya atau persyaratan dari klien terjemahannya.

1
https://research.googleblog.com/2016/09/a-neural-network-for-machine.html
23
Perkakas selanjutnya adalah alat penerjemahan berbantuan
komputer yang dalam bahasa Inggris disebut CAT Tool (Computer Assisted
Translation Tool). Fitur yang sangat terkenal dari jenis ini adalah
Translation Memory. Lihat Gambar 1.7.

Naskah masukan Penerjemahan Naskah jadi


(BSu) dgn sistem (BSa)
CAT Tool

Glosarium Data pasangan


unit BSu dan BSa
Gambar 1.7 Proses menerjemahkan dengan CAT Tool
Dari Gambar 1.7 jelas bahwa naskah BSu langsung diproses oleh
manusia (penerjemah) dengan bantuan glosari dan memori yang
mengandung pasangan BSu dan BSa yang disediakan oleh CAT TOOL.
Secara umum sistem CAT Tool memiliki tiga fungsi: pengelolaan istilah
(term management), memori terjemahan (translation memory) dan
tempat bekerja atau kadang disebut “Translation Workstation”.
Fitur pengelolaan istilah memberi fasilitas untuk membuat
glosarium yang akan digunakan di dalam menerjemahkan sebelum
penerjemahan dimulai atau sambil melakukan penerjemahan. Sistem CAT
Tool akan memberitahukan kepada penerjemah apabila di dalam unit
terjemahan yang sedang dikerjakannya mengandung istilah yang aa di
dalam glosarium. Penerjemah bisa memakai istilah yang sudah tersimpan
di glosarium itu secara utuh, memodifikasinya, atau bahkan memakai kata
yang sama sekali berbeda. Dengan adanya glosarium ini konsistensi
terjemahan istilah-istilah kunci bisa dijaga.
Memori Terjemahan (MT) adalah arsip teks multilingual yang
tersegmentasi, yang dapat dibaca ulang pada berbagai kondisi pencarian.
Dengan kata lain, memori terjemahan terdiri atas database (pangkalan
data) yang menyimpan segmen teks sumber dan teks sasaran yang dapat
dibaca ulang dan menjadi masukan untuk proses penerjemahan di masa
mendatang. Jika digunakan dengan baik, memori terjemahan dapat
meningkatkan konsistensi terjemahan dan kualitasnya. Memori
24
terjemahan ini pun dapat dipakai bersama-sama oleh beberapa
penerjemah. Secara sederhana alur kerja dengan memori terjemahan
dapat dilihat di Gambar 1.8.

PROSES
UP BSu d Ya dgn Memori
Penulis Teks BSu
dikenali Terjemahan
MT?

Penerjemah Tidak
menerjemahkan secara UP mirip
konvensional (fuzzy match)

UP sama persis
Tawaran (Exact match)
(fuzzy match)

Penerjemah menerima, Teks BSa


memodifikasi, menolak

Pembaca

Gambar 1.8 Proses menerjemahkan dengan Memori Terjemahan atau


CAT TOOL

Dari gambar di atas, dapat dipahami bahwa pada awalnya Penulis


menghasilkan naskah BSu. Penerjemah menerjemahkan naskah ini dengan
bantuan Memori Terjemahan (MT). Setelah Unit Penerjemahan BSu (UP
BSu) dikenali oleh MT, maka akan ada tiga kemungkinan. Kemungkinan
pertama UP BSu benar-benar baru, jadi tidak ada UP yang mirip di MT.
Oleh karena, itu penerjemah harus menerjemahkannya secara
konvensional (dan hasilnya akan disimpan di dalam MT). Ini di gambarkan
oleh panah ke bawah sebelah kiri.
25
Kemungkinan kedua adalah UP BSu sama persis dengan UP yang
ada di dalam MT. Kondisi ini disebut “exact match”. Maka, sistem CAT
TOOL langsung memakai data yang tersimpan. Campur tangan
penerjemah tidak diperlukan. Lihat panah ke bawah sebelah kanan.
Kemungkinan ketiga, UP BSu tidak sama persis dengan sembarang
UP di MT, tetapi cukup mirip dengan salah satu atau beberapa UP di dalam
MT. Kondisi ini disebut “fuzzy match”. Dalam kondisi ini MT akan
menawarkan hasil terjemahan yang telah disimpan di dalam MT dan MT
menandai bagian-bagian UP baru yang tidak sama dengan UP yang telah
tersimpan di MT. Kemudian penerjemah dapat menerima, memodifikasi,
atau menolak tawaran ini. Lihat panah diagonal dari sudut kanan atas ke
kiri bawah.

Workstation
“Translation Workstation” adalah istilah yang dulu sering digunakan untuk
menyebut sistem yang menggabungkan glossary management dengan
translation memory. Sekarang istilah itu dikenal dengan nama CAT Tool
saja. Fiturnya tidak lagi hanya menggabungkan fasilitas pengelolaan istilah
dan memori penerjemahan, tetapi juga penjaminan mutu secara teknis.
Ada juga yang dihubungkan dengan mesin penerjemah dan pemeriksa
ejaan.
Ada dua ciri khas CAT Tool. Ciri khas pertama adalah
kemampuannya untuk melakukan penerjemahan awal (pre-translation)
berdasarkan glosari maupun data yang ada dalam memori terjemahan.
Dengan penerjemahan awal berdasar glosari, semua kata yang sesuai
dengan glosari dapat diganti langsung di UP BSa-nya. Dengan
penerjemahan awal berdasar memori terjemahan, semua UP BSu yang
sama atau mirip dengan UP BSu yang telah tersimpan di memori
terjemahan dapat di terjemahkan langsung. Sekilas, melihat hasil dan
kecepatan kerjanya, ini mirip dengan Mesin Penerjemah. Tetapi melihat
proses kerjanya, penerjemahan awal ini sangat berbeda dengan proses
kerja Mesin Penerjemah. Dalam penerjemahan awal, komputer hanya
memuat ulang memori tanpa melakukan proses yang melihatkan aturan-
aturan linguistik, tetapi memanfaatkan logika statistik dalam menentukan
derajat kemiripan yang diungkapkan dalam bentuk persentase.
Ciri khas kedua adalah kemampuan “alignment”, atau
26
kemampuan untuk mengonversi hasil terjemahan lama yang belum
menggunakan "workstation" menjadi database memori terjemahan.
Dengan kemampuan ini, hasil-hasil pekerjaan lama tidak terbuang
percuma.
Ada banyak sistem perangkat lunak CAT TOOL yang saat ini
dipasarkan dan dipakai. Yang paling populer saat ini adalah SDL Trados
Studio dan Word Fast. Memang harga perangkat lunak ini relatif mahal.
Bagi penerjemah yang menginginkan perangkat lunak CAT Tool yang gratis
ada OmegaT. Silakan unduh dari www.omegat.org.
Dengan semakin majunya teknologi internet dengan apa yang
disebut komputasi awan (cloud computing), CAT Tool juga dikembangkan
untuk memakai teknologi itu dan karenanya berbasis internet. Semakin
banyak system CAT Tool yang seperti ini dan semakin populer saja
penggunaannya. Contohnya adalah Memsource yang oleh pembuatnya
dikalim menggabungkan fungsi CAT Tool tradisional dan manajemen
proyek serta penjaminan mutu penerjemahan. CAT Tool berbasis awan
yang ditawarkan gratis untuk penerjemah mandiri juga ada, namanya
Smartcat. Hanya saja mungkin tawaran gratis ini tidak selamanya. Untuk
mencobanya, salakan akses www.smartcat.ai/free_cat-tool
Dengan berbagai jenis perangkat lunak ini, kita dapat
menerjemahkan hampir semua jenis file digital dengan jauh lebih efisien.
Termasuk di dalam kategori file (berkas) ini adalah: semua file MS Office,
Framemaker, halaman web, termasuk antarmuka program yang Anda
pakai, dll. Dengan demikian, kerja penerjemah sekarang menjadi sangat
terbantu dengan perkakas-perkakas modern.

27
BAB II
RAGAM TERJEMAHAN

Di dalam literatur penerjemahan, ada beberapa ragam


terjemahan yang pernah dikemukakan oleh para ahli. Ragam-ragam
tersebut ada yang digolongkan menurut jenis sistem tanda yang terlibat
(misalnya menurut Jacobson), jenis naskah yang diterjemahkan (misalnya
menurut Savory), dan juga menurut proses penerjemahan serta
penekanannya (menurut Nida & Taber, Larson, dan Newmark). Di dalam
bab ini dibahas beberapa ragam terjemahan tersebut.

2.1 Terjemahan intrabahasa, antarbahasa, intersemiotik


Roman Jakobson (1959: 234) membedakan terjemahan menjadi
tiga jenis, yaitu terjemahan intrabahasa (intralingual translation),
terjemahan antar bahasa (interlingual translation), dan terjemahan
intersemiotik.
Yang dimaksud terjemahan intrabahasa adalah pengubahan suatu
teks menjadi teks lain berdasarkan interpretasi penerjemah, dan kedua
teks ini ditulis di dalam bahasa yang sama. Jadi, bila kita menuliskan
kembali puisi Chairil Anwar Aku ke dalam bentuk prosa di dalam bahasa
Indonesia juga, maka kita melakukan penerjemahan intrabahasa. Proses
ini memang merupakan proses kreatif, dan sering dilakukan di dalam
matakuliah penulisan kreatif di fakultas sastra. Tetapi bila direnungkan,
jenis ini belum bisa dikatakan sebagai terjemahan yang sesungguhnya
seperti yang didefinisikan di dalam Bab I buku ini.
Sebagai contoh konkretnya, perhatikan penulisan kembali puisi
Gunawan Muhammad dengan judul Dongeng Sebelum Tidur menjadi
suatu prosa pendek berikut ini.

Teks asli:
"Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita.
Yaitu nonsens".

Itulah yang dikatakan baginda kepada permaisurinya,


pada malam itu. Nafsu di ranjang telah teduh
dan senyap merayap antara sendi dan sprei.
28
"Mengapakah tak percaya? Mimpi akan meyakinkan
seperti matahari pagi."

Perempuan itu terisak, ketika Anglingdarma menutupkan


kembali kain ke dadanya dengan nafas yang dingin,
meskipun ia mengecup rambutnya.
Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api.

Dan baginda pun mendapatkan akal bagaimana is harus


melarikan diri -- dengan pertolongan dewa-dewa entah
dari mana -- untuk tidak setia.
"Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa harus, patihku?
Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari
kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?"
(Gunawan Muhamad, 1992: 43)

Teks prosa:
Malam di istana Prabu Anglingdarma. Terdengar suara dari kamar
tidur sang raja dan permaisuri. Sebentar mereka terdiam. Nafsu di ranjang
telah mereda dan kecapaian merayap diantara sendi-sendi kedua manusia
itu.
"Kenapa Kakanda tersenyum?" sang ratu bertanya sedikit kecut di
hatinya.
"Cicak itu, cicak itu, sayangku. Mereka bercakap tentang kita," kata
baginda kepada permaisurinya.
Sang permaisuri tak percaya. Di dalam hati terbetik prasangka, lelaki
itu tentu telah menertawakan kekurangan dirinya. Ada semacam
ketersinggungan di hati..
"Mengapakah tak percaya? Ramalan pun bisa meyakinkan,
sepertihalnya mentari pagi," kata Anglingdarma.
Sang ratu diam. Anglingdarma menutupkan kembali kain ke dadanya.
Perempuan itu terisak; ia diam saja saat lelaki raja itu mengecup
rambutnya.
Ketidakpercayaan atau mungkin ketersinggungan itu terus berlarut.
Sang permaisuri mengancam mau membakar diri jika sang Raja tetap tidak
mau berterus terang tentang alasan yang membuatnya tersenyum saat
mereka memadu kasih malam itu. Ketidakpercayaan itu tak mampu
tersembuhkan. Ketersinggungan itu tak bisa lagi terobati.
Baginda Anglingdarma bingung dibuatnya. Segala yang ada dihatinya
telah dikeluarkannya. Dengan ajian dewata, ia memang bisa memahami
percakapan hewan; dan mengajari orang lain, tentulah melanggar janji
dengan para dewata. Tetapi, membiarkan sang ratu membunuh diri, ia
ngeri dikatakan lelaki tidak setia hati.
Maka, pagi pun tiba. Permaisuri membakar diri. Saat sang Raja ingin
juga menceburkan diri dalam kobar api, dewa-dewa pun
29
memperingatkannya. Sang Raja turun, berjalan pelan mendekati patihnya.
"Batik Madrim, Batik Madrim. Mengapa harus, patihku. Mengapa
harus seseorang mencintai kesetiaan lebih dari cintanya terhadap
kehidupan ini, dan segala yang ada di dalamnya?" kata sang raja dengan
lemah.

Setelah menyimak contoh di atas kita semakin paham bahwa jenis


ini bukanlah terjemahan yang sesungguhnya.
Jenis terjemahan yang kedua menurut Jakobson adalah
terjemahan antarbahasa. Terjemahan jenis ini adalah terjemahan dalam
arti yang sesungguhnya, seperti yang dimaksud di dalam Bab I. Dalam jenis
ini, penerjemah menuliskan kembali makna atau pesan teks BSu ke dalam
teks BSa. Contohnya adalah terjemahan McGlynn atas puisi Andre
Hardjana berikut ini.

Teks BSu:
Salju
batang-batang itu adalah kenangan
yang semakin kurus
dan akhirnya hilang di balik salju

cemara yang biasa gaduh dalam canda


dengan angin tenggara
kini bungkam dalam derita
menunduk berat ditindih salju
pucat dan semakin berat
dalam kenangan cinta
tiada hati buat mengaduh

pucat, putih dan semakin putih


lenyap segala kenangan
lenyap duka dan sedih
putih cintaku
adalah cinta dalam kenang dan rindu

Teks BSa:
Snow
branches are a memory
now growing ever more faint
to be lost behind the snow

pines that usually dance in delight


with the wind from the south
30
are silent now in suffering
bowing with the weight
of the pale snow and memories

of a love with no heart


to complain

pale white, and ever more white


all memories disappear
misery and sadness vanish
my longing is white, my love is white
is my love in memory and longing
(McGlynn, 1991: 115-116)

Jenis yang terakhir menurut Jakobson adalah terjemahan


intersemiotik. Jenis ini mencakup penafsiran sebuah teks ke dalam bentuk
atau sistem tanda yang lain. Sebagai contohnya adalah penafsiran novel
"Karmila" karya Marga T. menjadi sinetron dengan judul yang sama.
Sinetron ini pernah ditayang oleh salah satu stasiun TV swasta di Indonesia
pada tahun 1998. Karena inti kajian kita adalah terjemahan yang
sesungguhnya, maka sudah selayaknya bila kita lebih mendalami jenis
kedua ini.

2.2 Terjemahan Sempurna, Memadai, Komposit, dan Ilmu Pengetahuan


Sepuluh tahun setelah usaha pengkategorisasian terjemahan oleh
Jakobson, Savory (1969: 20-24) menggolong-golongkan terjemahan yang
sebenarnya ini menjadi 4 kategori.

2.2.1 Terjemahan Sempurna (Perfect Translation)


Kadang-kadang kita terkecoh oleh kata sempurna di sini. Kata
sempurna pada umumnya berarti tanpa cacat. Tetapi kata sempurna di
sini tidak terkait langsung dengan arti umum tersebut, dan harus dipahami
khusus dalam konteks sesuai dengan penjelasan Savory (1969).
Kategori pertama ini mencakup terjemahan semua tulisan
informatif yang sering ditemui di jalan-jalan dan tempat-tempat umum
lainnya. Di tempat-tempat umum tersebut sering kita lihat beberapa
tulisan berikut :

31
BSu: Dilarang merokok.
BSa: No smoking.

BSu: Dilarang bermain di dalam taman.


BSa: Keep out!

BSu: Dilarang masuk tanpa ijin.


BSa: Private property. Trespassers will be prosecuted.

BSu: Awas copet.


BSa: Beware of pickpocket.

BSu: Periksa barang-barang anda sebelum turun


BSa: Check your luggage.

BSu: Awas anjing galak


BSa: Beware of the dog.

Dalam jenis terjemahan ini yang paling penting adalah pengalihan


pesan dari bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa) dan
pembaca teks BSa menunjukkan respons yang sama dengan pembaca teks
BSu. Terjemahan jenis ini jarang sekali yang merupakan terjemahan kata-
demi-kata karena terjemahan jenis ini sering kali tidak luwes. Sementara
itu untuk menghasilkan efek himbauan atau larangan yang sama seperti di
atas, diperlukan kalimat yang luwes.

2.2.2 Terjemahan Memadai (Adequate Translation)


Terjemahan ini dibuat untuk pembaca umum yang ingin
mendapatkan informasi tanpa mempedulikan seperti apa kira-kira naskah
aslinya, dan yang ia inginkan adalah bacaan yang enak. Termasuk di dalam
terjemahan ini adalah terjemahan novel-novel pop berbahasa Inggris ke
dalam bahasa Indonesia. Di dalam prosesnya, penerjemah bisa saja
menghilangkan frasa-frasa yang sulit, atau bahkan kalimat yang tak
dimengerti. Ia juga bebas memparafrase kalimat atau bagian kalimat
tertentu. Ini bisa dilakukan karena yang paling penting bagi pembaca
adalah ceritanya, bukan gaya kalimat demi kalimat.
32
Secara singkat, terjemahan memadai adalah sebuah terjemahan
yang mementingkan keluwesan teks BSa sehingga pembaca teks BSa bisa
membaca dengan nyaman. Contoh terjemahan jenis ini adalah cerita
detektif oleh Agatha Christie, Nick Carter dan petualangan cinta Barbara
Cartford.

2.2.3 Terjemahan Komposit (Composite Translation)


Terjemahan jenis ini meliputi terjemahan sastra serius yang
digarap dengan serius pula. Sebuah puisi bisa diterjemahkan kedalam puisi
atau prosa, prosa ke dalam prosa atau puisi. Proses penerjemahan dan
hasilnya mungkin menjadi kepuasan tersendiri bagi penerjemah, jadi
unsur komersial yang ada di dalam terjemahan tidak dipertimbangkan di
sini. Sebagai contohnya adalah terjemahan The Old Man and the Sea
menjadi Laki-laki Tua dan Laut (oleh Sapardi Djoko Damono) dan The
Adventures of Huckleberry Finn menjadi Petualangan Huckleberry Finn
(oleh Djokolelono). Dengan kata lain, terjemahan komposit adalah
terjemahan yang dilakukan dengan sebaik mungkin sehingga semua aspek
teks BSu bisa dialihkan ke dalam teks BSa. Aspek-aspek ini meliputi makna,
pesan, dan gaya.

2.2.4 Terjemahan Naskah Ilmiah dan Teknik


Secara garis besar jenis ini bisa dibedakan dari jenis terjemahan
yang lain bila dilihat dari isi naskah yang diterjemahkan. Jenis ini mencakup
hanya terjemahan naskah tentang ilmu pengetahuan atau teknik. Ciri
lainnya adalah terjemahan ini dilakukan karena faktor pentingnya naskah
itu untuk masyarakat BSa, baru kemudian mungkin ada pertimbangan
bisnis. Jadi buku-buku tentang komputer diterjemahkan dari bahasa
Inggris ke dalam bahasa Indonesia karena terutama orang Indonesia
merasa perlu untuk mengetahui dunia perkomputeran.
Sebenarnya, selain naskah ilmu pengetahuan dan teknik,
terjemahan buku pedoman pengoperasian mesin atau alat-alat elektronik
bisa juga digolongkan ke dalam terjemahan jenis ini. Tentu saja, dalam hal
ini pendorong utama penerjemahannya adalah pertimbangan bisnis dari
produsen alat-alat tersebut.
Penggolongan terjemahan menurut Savory ini mengandung
ketidakkonsistenan. Ketiga jenis pertama dikenali dengan dasar ciri-ciri
33
teks BSa-nya. Sementara jenis keempat didasarkan pada isi atau jenis
informasi teks BSu. Dengan demikian, kategorisasi ini bisa dikembangkan
menjadi lebih baik dengan membuat dua dasar kategorisasi, yaitu ciri-ciri
teks BSa dan jenis isi atau informasi teks BSu. Perhatikan gambar berikut.

Terjemahan sempurna
Menurut ciri-ciri Terjemahan memadai
Teks Bsa Terjemahan komposit
Terjemahan
Terjemahan IPTEK
Menurut jenis isi/ Terjemahan sastra
informasi teks Bsu Terjemahan berita
(koran/majalah)
dll.
Gambar 2.1. Kategorisasi terjemahan

Dari diagram di atas bisa dipahami bahwa berdasarkan ciri-ciri teks


BSa, terjemahan bisa dibedakan menjadi terjemahan sempurna,
terjemahan memadai, dan terjemahan komposit. Sedangkan menurut
jenis isi atau informasi dalam teks BSu, terjemahan bisa digolongkan
menjadi terjemahan IPTEK, terjemahan sastra, terjemahan berita, dll.
Penggolongan terjemahan menurut Jacobson dan Savory di atas
memang membantu kita mengenali ragam-ragam terjemahan yang kita
temui. Namun penggolongan di atas tidak mengindikasikan proses
penerjemahannya. Dengan demikian, penggolongan itu tidak banyak
membantu bagi pembaca yang ingin mempelajari cara penerjemahan.
Pembahasan berikut ini terutama akan difokuskan pada jenis-jenis
terjemahan bila dilihat dari cara penerjemahannya. Ragam-ragam
terjemahan ini biasanya dikemukakan oleh para ahli untuk mendukung
pendapatnya tentang terjemahan yang baik.

2.3 Terjemahan Harfiah, Dinamik, Idiomatik, Semantik, dan


Komunikatif
Di dalam subbab ini dibahas pendapat Nida dan Taber, Larson dan
Newmark sekaligus. Karena konsep-konsep mereka ini berimplikasi
terhadap proses penerjemahan, maka bahasan yang cukup mendalam ini
34
juga dimaksudkan sebagai kajian perbandingan antara teori-teori
terjemahan.

2.3.1 Terjemahan Harfiah


Secara umum, terjemahan harfiah adalah terjemahan yang
mengutamakan padanan kata atau ekspresi di dalam BSa yang mempunyai
rujukan atau makna yang sama dengan kata atau ekspresi dalam BSu.
Sebagai contoh, kata cat adalah kucing di dalam bahasa Indonesia dan
tidak boleh ditafsirkan lebih dari binatang berkaki empat bertubuh kecil,
dan berada dalam famili feline.
Dalam hal struktur kalimat, ada dua pendapat yang berbeda. Bagi
Nida dan Taber (1969) dan Larson (1984), terjemahan harfiah harus
mempertahankan struktur kalimat BSu-nya meskipun struktur itu tidak
berterima di dalam BSa.
Kalau struktur ini diubah sedikit agar bisa diterima di BSa, Larson
menyebutnya terjemahan harfiah yang dimodifikasi (modified literal
translation).
Perhatikan contoh berikut:

BSu : This series offers an introduction to a wide range of popular


topics for young readers.
BSa-1 : Ini seri menawarkan sebuah pengenalan pada sebuah lebar
rentang dari populer topik untuk muda pembaca.
BSa-2 : Seri ini menawarkan sebuah pengenalan terhadap rentang
topik populer yang luas untuk pembaca muda.

Di dalam contoh di atas, BSa-1, tidak bisa dibenarkan di dalam


bahasa Indonesia. Tentu saja, terjemahan ini tidak dianjurkan. Di dalam
literatur lain, terjemahan jenis ini disebut terjemahan terbatas (restricted
translation) yang fungsinya untuk mempelajari struktur BSu. Karena topik
utama kita disini adalah terjemahan yang sesungguhnya, maka
terjemahan semacam BSa-1 di atas tetap tidak bisa diterima.
BSa-2 adalah terjemahan harfiah yang dimodifikasi pada struktur
beberapa frasanya sehingga sesuai dengan struktur bahasa Indonesia.
Jenis terjemahan ini, menurut Newmark, masih dikategorikan ke dalam
terjemahan harfiah, tetapi oleh Larson dikategorikan sebagai terjemahan
35
harfiah modifikasi.
Berbeda dengan pendapat di atas, Newmark membedakan antara
terjemahan kata-demi-kata dengan terjemahan harfiah. Terjemahan yang
disebut terjemahan harfiah oleh Nida dan Taber dan Larson di atas adalah
terjemahan kata-demi-kata menurut Newmark. Dalam terjemahan ini,
tata bahasa BSu dan susunan katanya dipertahankan di dalam BSa
(Newmark, 1988: 69). Sebagai contoh: He works in the house bisa
diterjemahkan menjadi Dia bekerja di dalam itu rumah.
Terjemahan harfiah menurut Newmark, harus menggunakan
struktur kalimat yang berterima di dalam BSa. Jadi terjemahan harfiah
versi Newmark ini sama dengan terjemahan harfiah yang dimodifikasi
versi Larson. Menurut Newmark, terjemahan harfiah bisa saja berupa
terjemahan satu-demi-satu (misalnya, garden diterjemahkan menjadi
taman, tetapi tidak harus kebun), frasa-demi-frasa (a beautiful garden
menjadi sebuah taman yang indah), klausa demi klausa (When that was
done menjadi begitu hal itu selesai), atau bahkan kalimat demi kalimat
(There comes the man menjadi Datanglah orang itu). Terjemahan ini
mungkin juga kurang tepat karena yang dimaksud bisa saja Itu dia
orangnya datang).
Kalau kita perhatikan, batasan Newmark ini terlalu luas sehingga
kita sulit membedakannya dengan jenis terjemahan yang lain. Mungkin
ada baiknya bila kita membatasi terjemahan harfiah ini dengan
terjemahan yang menggunakan padanan harfiah, atau padanan yang
mempunyai makna utama yang sama dengan kata BSu, yang susunan kata-
katanya sedikit diubah sehingga tidak bertentangan dengan susunan
kalimat BSa. Dan untuk terjemahan yang tidak mengindahkan
keberterimaan susunan kata-kata BSa dapat disebut terjemahan kata
demi kata.
Dalam pembahasan-pembahasan berikut ini, terjemahan harfiah
berulang kali disebut-sebut dan dikritik maupun dibela. Semua ini dibahas
selengkap mungkin dengan harapan bahwa pemahaman kita akan
terjemahan harfiah menjadi lebih jelas.

2.3.2 Terjemahan Dinamik


Konsep terjemahan dinamik sebenarnya tidak pernah disebutkan
secara eksplisit di literatur-literatur tentang penerjemahan, kecuali
36
Suryawinata yang sekilas menulis bahwa terjemahan dinamis adalah
terjemahan yang mengandung ke lima unsur dalam batasan yang dibuat
oleh Nida dan Taber yaitu: (1) reproduksi pesan, (2) ekuivalensi atau
padanan, (3) padanan yang alami, (4) padanan yang paling dekat, (5)
mengutamakan makna (Suryawinata, 1989: 8). Dari sini jelas bahwa yang
dimaksud terjemahan dinamis adalah terjemahan seperti yang dianjurkan
Nida dan Taber di dalam bukunya The Theory and Practice of Translation
(1969). Jenis terjemahan ini berpusat pada konsep tentang padanan
dinamis dan sama sekali berusaha menjauhi konsep padanan formal atau
bentuk. (Konsep padanan formal atau padanan bentuk ini dekat sekali
dengan konsep terjemahan harfiah.)
Kedua ahli penerjemahan kitab Injil itu menyatakan bahwa
keterbacaan sebuah terjemahan, derajat mudah-sukarnya sebuah
terjemahan dipahami, tidak bisa diukur dari apakah kata-kata BSa yang
digunakan mudah dipahami dan tata-bahasanya berterima di BSa saja.
Lebih dari itu, sebuah terjemahan dikatakan mempunyai keterbacaan
yang tinggi apabila pengaruh atau dampak yang ditimbulkannya pada
pembaca BSa sama dengan yang ditimbulkannya pada pembaca BSu (Nida
dan Taber, 1969: 22). Tetapi hal ini sulit untuk diketahui atau diukur.
Terjemahan yang baik tentu saja terjemahan yang mempunyai
keterbacaan yang tinggi. Keterbacaan yang tinggi, menurut kedua ahli
tersebut, dapat dicapai apabila si penerjemah mampu melahirkan
padanan alami dari kata BSu yang sedekat mungkin di dalam BSa. Sebuah
padanan dikatakan dinamis apabila padanan itu mampu membuat
pembaca teks BSa merespon teks terjemahan tersebut dengan respon
yang sama seperti respon pembaca teks BSu. Respon yang dimaksud di sini
bisa saja tindakan, sikap, atau perasaan. Dengan kata lain, terjemahan
dinamis adalah terjemahan yang bisa membuat pembaca BSanya
bertindak, bersikap, berperasaan yang sama seperti halnya pembaca BSu.
Seperti yang telah diuraikan di atas, terjemahan dinamis harus
mengandung padanan yang alami. Dilihat dari teori semantik, hal ini
sepertinya tidak mungkin diwujudkan karena pada dasarnya tidak ada dua
kata yang mempunyai makna yang persis sama, apalagi bila kedua kata itu
berasal dari bahasa dengan latar sosial-budaya yang betul-betul berbeda.
Namun demikian, penerjemah harus tetap mengusahakan agar
padanannya sealami dan sedekat mungkin dengan kata BSu-nya sehinga
37
pesan yang disampaikan dan respon yang ditimbulkannya sama seperti
aslinya. Sebagai contoh padanan dinamis ini, baiklah kita lihat sekali lagi
contoh yang diajukan oleh Nida dan Taber yang sudah disampaikan di
dalam bab I. Frasa Lamb of God di dalam kitab Injil tidak bisa
diterjemahkan ke dalam Domba Tuhan di dalam suatu bahasa yang berasal
dari kultur yang tidak pernah melihat domba karena padanan frase (yakni
padanan harfiahnya) itu tidak menimbulkan kesan khusus. Lamb adalah
simbol kebersihan jiwa, apalagi bila dihubungkan dengan konteks
pengorbanan dalam kehidupan rohani. Oleh karena itu, padanan alaminya
yang paling dekat dengan frasa tersebut di dalam bahasa orang Eskimo
adalah Anjing Laut Tuhan karena anjing laut menyimbulkan
ketidakberdosaan di budaya Eskimo.
Contoh yang lain adalah kata summer dalam kalimat Shall I
compare thee with a summer day? Kalimat ini adalah pujian bagi seorang
wanita yang kecantikannya, menurut Shakespeare, melebihi kecantikan
musim panas di Inggris. Musim panas di Inggris ditandai oleh bunga-bunga
yang bermekaran. Matahari muncul, tetapi tidak terik seperti di Indonesia.
Sedangkan kita tahu bahwa musim panas di Indonesia adalah
musim kemarau yang sering kali terlalu panjang, yang menyebabkan
rumput-rumput pun tak mampu bertahan, dan tanah-tanah merekah
menyeramkan. Apabila kata summer diterjemahkan menjadi musim
panas, maka kalimat yang aslinya berupa pujian ini bisa menjadi kalimat
penghinaan. Dan tentu saja, sang penerima pesan akan marah karenanya.
Di dalam buku Nida dan Taber tersebut di atas, kedua ahli ini
membandingkan ekuivalensi dinamis dengan ekuivalensi formal atau
harfiah. Di dalam padanan formal atau harfiah, bentuk BSu dimunculkan
pada BSa. Lamb of God adalah Domba Tuhan ke dalam bahasa apapun
frasa itu diterjemahkan. Summer adalah musim panas meskipun untuk
pembaca bahasa Arab yang tinggal di gurun pasir. Terjemahan harfiah
yang memakai padanan harfiah ini biasanya menyimpang dari pola
gramatika dan gaya bahasa BSa, dan karenanya pembaca BSa mungkin
saja salah mengerti pesan yang disampaikan. Jadi, acuan utama dalam
terjemahan harfiah menurut Nida dan Taber ini adalah bentuk-bentuk
semantis (kata), gramatika (susunan kalimat), dan gaya bahasa di dalam
BSu. Sebuah kata dalam BSu tidak boleh diganti dengan kata yang
mempunyai rujukan yang berbeda. Kalimat elipsis, misalnya, harus
38
diterjemahkan menjadi kalimat elipsis di dalam BSa.
Di lain pihak, terjemahan dinamis tidak mementingkan bentuk
semantis, gramatika atau gaya bahasa. Yang paling penting adalah pesan
yang ingin disampaikan. Kata-kata BSu bisa saja diganti dengan kata-kata
BSa meskipun rujukannya berbeda asalkan kata-kata tersebut bisa
menimbulkan respon yang sama. Demikian juga, kalimat yang tidak
lengkap, harus dilengkapi bila hal itu memang bisa membantu
penyampaian pesannya. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh-contoh
berikut ini. Coba bandingkan secara cermat antara terjemahan harfiah dan
terjemahan dinamis.

Bsu : Pada pagi buta ia pulang dari mengayuh becak. Ia masuk


angin dan minta dikeroki.
Dinamis: Before dawn he came back from pedalling the pedicab. He
got a cold and asked for a massage.

BSu : Alat-alat elektronik itu harus dilengkapi dengan penyerap


kelembaban.
Harfiah : The electronic tools must be completed with dampness
absorber.
Dinamis: The electronic tools must be equipped with dehumidifier.

Dari contoh di atas bisa dibahas hal-hal berikut. Bahasa Inggris


tidak mengenal frasa masuk angin, tetapi mengenal ungkapan cold, begitu
juga dengan konsep kerokan. Jadi padanan yang terdekat adalah massage.
Di dalam contoh terakhir, kata dilengkapi secara harfiah memang be
completed. Tetapi penutur asli bahasa Inggris tidak menggunakan kata ini
dalam konteks yang sama. Mereka menggunakan be equipped with.
Demikian juga, penyerap kelembaban secara harfiah bahasa Inggrisnya
adalah dampness absorber. Meskipun begitu, orang Inggris sendiri
menggunakan dehumidifier.

Bsu : Banyak jalan di desa kami yang diperlebar.


Harf. : There are some roads in our village which are widened.
Idiom.: Many roads in our village are widened.

39
Setelah melihat contoh-contoh di atas, mungkin Anda
berpendapat bahwa terjemahan dinamis sepertinya kurang akurat,
terutama dalam hal pemilihan padanan katanya. Nida dan Taber (1969:
28) menyatakan, pendapat Anda bisa dibenarkan apabila kata "akurat"
ditinjau dari segi bentuk bahasa. Tetapi kedua ahli ini menyatakan lebih
lanjut bahwa kata "akurat" dalam terjemahan seharusnya tidak ditinjau
dari segi bentuk bahasa BSu, tetapi lebih baik ditinjau dari segi pesan yang
ingin disampaikan teks BSu, karena tujuan utama setiap kalimat atau teks
adalah menyampaikan pesan bukan mempertontonkan bentuk. Dengan
demikian, kedua ahli ini berpendapat bahwa justru terjemahan dinamislah
yang paling akurat. Pendapat kedua ahli ini memang betul untuk bidang
yang ditekuninya, yaitu penerjemahan Kitab Injil. Untuk penerjemahan
teks IPTEk, hal ini jelas tidak mungkin karena teks IPTEK memerlukan
ketepatan acuan dari kata yang digunakan atau konsep yang dibahas.

2.3.3 Terjemahan Harfiah dan Terjemahan Idiomatik


Terjemahan harfiah, menurut Larson (1984: 16), adalah
terjemahan yang berusaha meniru bentuk BSu. Yang dimaksud bentuk di
sini adalah kata-kata dan struktur yang digunakan. Dengan kata lain, dalam
terjemahan harfiah, penerjemah menggunakan kata-kata BSa yang
mempunyai arti literal yang sama dengan kata-kata BSu-nya. Sementara
itu, struktur dalam hasil terjemahannya masih menggunakan struktur BSu-
nya. Kadang-kadang struktur aslinya ini bisa diterima atau bahkan tidak
bisa diterima di dalam BSa.
Oleh Larson (1984:16-17), ragam terjemahan ini dikontraskan
dengan terjemahan idomatis. Terjemahan jenis ini menggunakan bentuk,
dalam hal ini kata-kata dan struktur kalimat, BSa yang luwes. Terjemahan
ini berusaha menciptakan kembali makna dalam BSu, yakni makna yang
ingin disampaikan penulis atau penutur asli, di dalam kata dan tata kalimat
yang luwes di dalam BSa. Dengan demikian, terjemahan yang betul-betul
idiomatik tidak akan terasa seperti terjemahan, tetapi terasa seperti
tulisan asli. Oleh karena itu, menurut Larson (1984:16) tujuan akhir setiap
penerjemahan hendaknya terjemahan idiomatik.
Di dalam contoh berikut bisa dilihat bahwa struktur BSu dan BSa
sama persis. Jadi terjemahan harfiah sudah memadai, atau lebih tepatnya,
terjemahan harfiah dan idiomatik sama saja.
40
BSu: I love her
BSa: Aku mencintainya.

Akan tetapi, dalam banyak kasus, struktur ini tidak bisa diterima di
dalam BSa. Perhatikan contoh-contoh berikut:

BSu : What is your name?


Harf. : Apa namamu?
Idiom.: Siapa namamu? atau Siapa nama Anda?

BSu : Can I have your name?


Harf. : Bisakah saya memperoleh namamu?
Idiom.: Siapa nama Bapak? (Siapa nama Ibu? Siapa nama Anda?)

Terjemahan di atas tidak bisa dikatakan berterima karena orang


Indonesia tidak akan pernah menanyakan nama orang lain dengan ucapan
Apa namamu?
Jika BSu dan BSa mempunyai kekerabatan yang dekat, atau dari
satu rumpun, maka terjemahan harfiah jenis ini masih bisa diterima.
Perhatikan contoh di bawah ini:

BSu: Apa kowe wis mangan?


BSa: Apakah kamu sudah makan?

Kalimat asli dalam bahasa Jawa itu maknanya sama persis dengan
kalimat terjemahannya. Strukturnya pun tidak terasa begitu janggal, atau
bahkan sudah dianggap struktur bahasa Indonesia. (Struktur bahasa
Indonesia yang baku adalah Sudahkan kamu makan?)
Kalau kita perhatikan, dalam terjemahan harfiah di atas, rupanya
penerjemah menerjemahkannya kata demi kata. Oleh karena itu,
terjemahan jenis ini disebut juga terjemahan word-for-word, terjemahan
kata demi kata.
Dalam kehidupan sehari-hari, jarang sekali terjemahan kata-demi-
kata ini dilakukan. Yang sering adalah terjemahan harfiah yang sudah
dimodifikasi. Penyesuaian atau modifikasi ini terentang dari sekedar
penyesuaian susunan frasa nominal sampai struktur klausa. Hal ini
dilakukan untuk menghindari ketakterbacaan dan ketakbermaknaan
41
terjemahan. Perhatikan contoh berikut.

BSu: The remarkable Monica Lewinski


BSa: Monica Lewinski yang luar biasa

Penerjemahan harfiah yang sudah disesuaikan itu akan mengubah


bentuk gramatikalnya jika tidak ada pilihan lain agar terjemahannya bisa
dipahami, tetapi kata-kata yang digunakan tetap terjemahan harfiah dari
kata-kata naskah aslinya. Namun, jika masih mungkin, ia akan mengikuti
struktur teks BSu-nya meskipun terjemahannya terasa kurang luwes.
Meskipun demikian, dalam terjemahan jarang sekali bisa terjadi
terjemahan idiomatik seluruhnya. Yang sering adalah campuran antara
idiomatik dan harfiah; sebagian diterjemahkan secara harfiah, karena
dengan jenis ini sudah cukup, dan sebagian lagi terjemahan idiomatik.
Menurut Larson (1984: 17) terjemahan bisa digolongkan dan
digambarkan seperti di dalam gambar berikut.

Gambar 2.2. Jenis-jenis terjemahan menurut Larson

Menurut diagram di atas, terjemahan bisa dikategorikan menjadi


beberapa jenis, dari yang sangat harfiah sampai yang sangat idiomatik.
Ujung kiri, yang sangat harfiah, menggambarkan bahwa terjemahan itu
sangat terikat dengan naskah BSu dalam hal kata dan struktur kalimat.
Semakin jauh ke kanan, terjemahannya semakin mementingkan
penyampaian makna dalam struktur yang luwes di dalam BSa.
Ujung kiri, terjemahan sangat harfiah, mungkin tidak akan dilaku-
kan karena menghasilkan terjemahan yang sangat kaku dan mungkin
membingungkan. Sementara itu, jenis di ujung kanan, terjemahan sangat
bebas atau saduran, juga tidak bisa disebut terjemahan. Terjemahan
dikatakan sangat bebas bila penerjemah menambahkan beberapa
informasi yang sebenarnya tidak terdapat di BSu atau mengurangi,
menghilangkan beberapa informasi yang ada dalam teks BSu.
Di samping itu, perlu disampaikan di sini bahwa pada
42
kenyataannya akan sangat sulit untuk membedakan jenis terjemahan
harfiah yang dimodifikasi dengan terjemahan campuran-tak-konsisten,
terjemahan campuran dengan terjemahan mendekati idiomatik, dan
mendekati terjemahan idiomatik dengan terjemahan idiomatik.
Kalau diperhatikan dengan seksama, pembahasan tentang
terjemahan harfiah dan idiomatik yang dipaparkan oleh Larson
merupakan lanjutan dari perdebatan antara terjemahan literal dan
terjemahan bebas yang sudah berlangsung sejak jaman dulu. Larson dalam
hal ini berpihak pada penerjemahan "bebas" yang disebutnya
penerjemahan idiomatik.
Hatim dan Mason (1990: 5) mencatat bahwa seorang penerjemah
Arab, Saleh Al-Din al Safadi pada abad 14 mengkritik generasi-generasi
penerjemah sebelumnya yang lebih banyak mempraktekkan
penerjemahan harfiah. Ia mengeluhkan bahwa para penerjemah tersebut
mempelajari setiap kata Yunani yang ada dalam BSu dan maknanya.
Kemudian mereka mencari padanan istilahnya dalam Bahasa Arab, lalu
menuliskannya dan meletakkannya dalam susunan yang sama.
Al Safadi menyalahkan pendapat yang mengatakan bahwa adalah
salah bila orang beranggapan bahwa padanan satu-satu selalu ada untuk
setiap kata BSu dan BSa. Tambahan lagi, sering kali struktur kalimat BSu
dan BSa tidak sama. Sementara itu Hatim dan Mason (1990)
menambahkan bahwa sangatlah salah bila kita beranggapan bahwa
makna sebuah kalimat atau teks sama dengan jumlah makna dari kata-
kata yang menyusunnya. Jadi, setiap usaha untuk menerjemahkan pada
tingkat kata selalu mengundang risiko untuk kehilangan elemen makna
yang penting.
Perdebatan tentang hal ini terus berlanjut sampai sekarang
dengan nuansa yang mungkin sedikit berbeda. Dan terjemahan harfiahpun
tetap mempunyai pendukung. Newmark (1988:68-69), misalnya membela
penerjemahan harfiah dengan cara membedakannya dari penerjemahan
kata demi kata. Dengan demikian yang dimaksud penerjemahan harfiah
oleh Newmark ini adalah penerjemahan harfiah yang telah dimodifikasi
menurut istilah Larson. Ia menyatakan bahwa penerjemahan harfiah
adalah betul dan tidak boleh dihindari, jika cara ini mampu mentransfer
padanan referensial (makna) dan padanan pragmatik (pesan) dari teks
BSu.
43
2.3.4 Terjemahan Semantik dan Komunikatif
Konsep terjemahan semantis dan komunikatif diajukan oleh Peter
Newmark (1981, 1988) dan ia mengakuinya sebagai sumbangan
terpentingnya pada teori penerjemahan (Newmark,1991). Dalam rangka
memperkenalkan kedua konsep terjemahan ini, ia meletakkannya dalam
suatu gambar yang memuat beberapa jenis penerjemahan. Perhatikan
gambar berikut.

Berpihak pada BSu Berpihak pada BSa


harfiah (literal) bebas (free)
setia (faithful) idomatik (idiomatic)

semantis komunikatif

Gambar 2.3 . Jenis-jenis terjemahan menurut Newmark (1991)

Di dalam gambar di atas, ragam terjemahan dilihat dari derajat


keberpihakannya terhadap teks atau kepada /pembacanya. Terjemahan
yang sangat berpihak pada teks BSu adalah terjemahan harfiah.
Terjemahan jenis ini berusaha untuk mempertahankan bentuk (gaya) dan
makna yang ada di dalam teks BSu di dalam terjemahannya tanpa
memperhitungkan apakah bentuk atau gaya bahasa itu wajar di dalam
BSa, apakah pembaca teks BSa-nya bisa mengerti terjemahan itu dengan
mudah atau tidak.
Di ujung atau ekstrem yang lain adalah terjemahan bebas yang
sangat berpihak pada pembaca BSa. Hasil terjemahannya harus bisa
dengan mudah dibaca oleh pembaca BSa. Terjemahan pun tidak perlu
memperhatikan gaya bahasa teks aslinya. Gaya bahasa dan contoh-contoh
pun bisa berubah, yang penting para pembaca BSa tidak akan kesulitan
membaca teks BSa-nya.
Ragam terjemahan setia berpihak pada penulis asli dan teks BSu.
Gaya bahasa dan pilihan kata diperhatikan karena gaya bahasa adalah ciri
ekspresi penulis yang bersangkutan. Meskipun begitu, kadar kesetiaannya
sedikit lebih rendah dibandingkan dengan terjemahan harfiah. Struktur
BSu pun sedikit masuk dalam pertimbangannya.
Ragam terjemahan idiomatik berpihak pada pembaca BSa, namun
begitu keberpihakannya masih di bawah terjemahan bebas. Terjemahan
44
idiomatik berusaha untuk tidak menambah contoh-contoh, meskipun
berusaha untuk membuat teks BSu-nya bisa dibaca dengan lancar dan
terasa luwes.
Di antara terjemahan setia dan idiomatik ini ada terjemahan
semantis dan komunikatif. Keduanya bersinggungan. Keduanya mungkin
saja tidak bisa dibedakan untuk beberapa kasus, namun untuk kasus-kasus
yang lain mereka memang berbeda. Mereka tidak berbeda bila struktur
atau gaya bahasa teks BSu sama dengan struktur atau gaya bahasa teks
BSa, dan isinya bersifat umum. Perhatikan contoh berikut:

BSu : The young man is wearing a heavy light blue jacket.


Sem./Kom.: Pemuda itu memakai jaket tebal berwarna biru muda.
Harfiah : Lelaki muda itu memakai jaket berat biru muda.

Bila struktur atau gaya bahasa di teks BSu bersifat unik, artinya BSa tidak
mempunyai struktur itu, maka kedua terjemahan ini berbeda karena
terjemahan semantis harus mempertahankan gaya bahasa itu sedapat
mungkin, sementara terjemahan komunikatif harus mengubahnya
menjadi struktur yang tidak hanya berterima di BSa, tetapi harus luwes
dan cantik.
Perhatikan contoh-contoh berikut.

BSu : It is wrong to assume that our people do not understand


what a real democracy is.
Sem. : Adalah keliru untuk menganggap bahwa rakyat kita tidak
memahami apa demokrasi yang sesungguhnya.
Kom. : Kelirulah kalau kita menganggap bahwa rakyat kita tidak
memahami makna demokrasi yang sebenarnya.

BSu : Keep off the grass.


Sem. : Jauhi rumput ini.
Kom. : Dilarang berjalan di atas rumput.

Terjemahan komunikatif berusaha menciptakan efek yang dialami


oleh pembaca BSa sama dengan efek yang dialami oleh pembaca BSu. Oleh
karena itu, sama sekali tidak boleh ada bagian terjemahan yang sulit
dimengerti atau terasa kaku. Elemen budaya BSu pun harus dipindah ke
45
dalam elemen budaya BSa. Biasanya teks terjemahan ragam ini terasa
mulus dan luwes.
Dalam terjemahan ini, penerjemah bisa membetulkan atau
memperbaiki logika kalimat-kalimat BSu-nya, mengganti kata-kata dan
struktur yang kaku dengan yang lebih luwes dan anggun, menghilangkan
bagian kalimat yang kurang jelas, menghilangkan pengulangan, serta
memodifikasi penggunaan jargon (Newmark, 1981: 42). Hal ini semua
tidak bisa dilakukan di dalam terjemahan semantis.
Penerjemahan komunikatif pada dasarnya merupakan
penerjemahan yang subjektif karena ia berusaha mencapai efek pikiran
atau tindakan tertentu pada pihak pembaca BSa. Dalam proses nyatanya,
mungkin sekali penerjemah melakukan penerjemahan semantis dulu baru
kemudian dimodifikasi sampai hasil terjemahan itu bisa membangkitkan
efek yang dikehendaki. Jadi pertanyaan penerjemahnya adalah "sudahkah
terjemahan ini memuaskan", dan bukan "apakah terjemahan ini betul"?
Dari sana bisa dimengerti bahwa salah satu kelemahan
terjemahan komunikatif adalah hilangnya sebagian makna teks BSu.
Menurut Newmark (1981: 51) makna mempunyai lapis-lapis yang banyak,
bersifat luwes dan sekaligus ruwet. Satu kata yang dihubungkan dengan
kata lain mempunyai tafsiran yang beragam. Oleh karena itu setiap
penyederhanaan, seperti yang dilakukan di dalam terjemahan
komunikatif, selalu mengakibatkan hilangnya sebagian makna itu.
Sementara itu terjemahan semantis berusaha mempertahankan
struktur semantis dan sintaktik serta makna kontekstual dari teks BSu.
Dengan demikian, elemen budaya BSu harus tetap menjadi elemen
budaya BSu meskipun ia hadir di dalam teks terjemahan BSa. Terjemahan
semantis bisa membantu menjelaskan makna konotatif yang mengacu
pada hal-hal yang universal saja. Penjelasan ini tidak boleh dilakukan di
dalam terjemahan setia. Oleh karena itu, pada umumnya terjemahan
semantis terasa lebih kaku dengan struktur yang lebih kompleks karena ia
berusaha menggambarkan proses berpikir penulis aslinya,
mempertahankan idiolek penulis atau mungkin kekhasan ekspresi penulis.
Dalam terjemahan jenis ini, penerjemah melakukan proses yang objektif.
Ia berusaha untuk netral, berdiri di luar pagar. Ia hanya berusaha
menerjemahkan apa yang ada, tidak menambah, mengurangi, atau
mempercantik. Dia tidak berniat membantu pembaca. Dia hanya ingin
46
memindahkan makna dan gaya teks BSu ke dalam teks BSa. Gaya tidak bisa
dikorbankan selama bisa dimengerti, meskipun dengan agak susah, di
dalam BSa karena makna dan gaya pada dasarnya adalah satu, dan itu
adalah ekspresi pribadi penulis.
Agaknya praktik penerjemahan Kitab Al Qur'an memakai
beberapa dari prinsip penerjemahan semantis ini. Penerjemahan kitab
suci umat Islam ini mempunyai ragam yang berbeda dengan
penerjemahan Kitab Injil yang, sesuai dengan anjuran Nida dan Taber,
menggunakan ragam terjemahan dinamis atau komunikatif. Untuk
sekedar menilik perbedaan tersebut, perhatikan perbandingan berikut ini.

Penerjemahan Kitab Injil


Nida dan Taber (1969) memaparkan perlunya beberapa prioritas
yang diutamakan dalam penerjemahan Kitab Injil, di antaranya:
1. Bentuk bahasa yang didengar atau bahasa lisan harus lebih
diprioritaskan daripada bentuk bahasa tulis. Hal ini didasarkan pada
alasan bahwa Kitab Injil sering diperdengarkan secara lisan dalam
khutbah keagamaan daripada dibaca perorangan sebagai bacaan.
2. Kitab Injil ini sering kali dibacakan kepada sekelompok pendengar
(jamaah) sebagai perintah atau petunjuk.
3. Di beberapa bagian dunia ada semacam kebiasaan membaca lantang
(reading aloud); oleh karena itu orang-orang tersebut harus dapat
memahami Kitab Injil itu dalam bentuk lisan.
4. Kitab Injil itu sering kali dikhutbahkan melalui media elektronik radio
dan televisi.
Lebih lanjut kedua ahli penerjemahan Bible itu memaparkan
prioritas selanjutnya yang harus diperhatikan oleh penerjemahnya,
diantaranya (1) hal-hal yang tidak bermakna harus dihindari; (2)
kebutuhan pendengar (audience) harus didahulukan; (3) kelompok non-
Kristen harus diprioritaskan ketimbang kelompok Kristen; (4) penggunaan
bahasa orang dewasa, 25-30 tahun, lebih diutamakan daripada bahasa
orang tua dan anak-anak; (5) dalam beberapa situasi tuturan wanita lebih
diprioritaskan daripada tuturan pria.
Sebagai rangkuman dapat dikatakan bahwa kedua pakar
terjemahan tersebut lebih memprioritaskan pendengar (audience), yaitu
dengan penerjemahan komunikatif.
47
Penerjemahan Al Quran
1. Menurut keyakinan orang Islam, Al Quran adalah kumpulan wahyu
Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang berisikan
aqidah, perintah dan larangan. Oleh karena itu teks Al Quran adalah
wacana otoritatif (authoritative), sehingga penerjemahannya harus
sedekat dan setepat mungkin dengan teks aslinya baik gramatika,
kosakata, konsep, makna, amanat maupun stilistikanya. Dengan
demikian dalam penerjemahan ayat-ayat itu harus selalu disertakan
teks aslinya, sehingga dapat dihindari kesalahan atau penyimpangan
terjemahan sekecil apa pun dengan merujuk kembali kepada teks Al
Quran-nya.
2. Bahasa Arab Klasik atau Bahasa Arab Quran sejak zaman kebangkitan
kembali Islam di akhir abad ke-19 Masehi dikaji dan dilestarikan dalam
bentuk formal, baku dan dalam bahasa tulis (F. Al Hasyim,1969). Al
Quran sendiri menyebutkan dalam Surat Iqra (ayat 1 s.d. 5) bahwa
manusia diperintahkan untuk membaca dan Tuhan mengajar manusia
dengan perantaraan kalam (tulisan).
3. Al Quran diperuntukkan bagi seluruh umat manusia, jadi bersifat
universal inklusif: tua-muda, laki-laki-perempuan, dewasa-anak, kaya-
miskin, sehingga bahasa Al Quran dan terjemahannya tidak membeda-
bedakan jantina (gender), usia, maupun status sosial manusia.
4. Penerjemah Al Quran harus selalu mempertimbangkan aspek-aspek
yang mengiringi dan menyertai diturunkannya suatu ayat, mana yang
lebih dulu, mana yang kemudian, mana yang memperkuat, mana yang
meniadakan, dan yang lebih penting juga harus mempertimbangkan
sebab-sebab (situasi dan kondisi) diturunkannya suatu perintah,
larangan, penguatan suatu hal. Inilah yang di kalangan para ahli
penerjemahan Al Quran disebut asbabun nuzul yaitu sebab
diturunkannya suatu ayat.
5. Di dalam Al Quran terdapat ungkapan-ungkapan yang merupakan
misteri sehingga sebagian besar para ahli tafsir tidak
menerjemahkannya, meskipun ada beberapa ahli lain yang
menerjemahkannya. Sebagai contoh: Alif Laam Miim I am Allah the all
knowing, atau Akulah Allah yang maha mengetahui, yang
mengandung amanat bahwa hanya Allah yang mengetahui maknanya.
6. Kalau ada hal-hal yang menimbulkan perbedaan pendapat di antara
48
para penerjemah, biasanya disebutkan berbagai pendapat itu dan
penerjemahnya memasukkannya ke dalam catatan khusus yang
disebut tafsir, yang berarti tafsiran atau pendapat penerjemah
terhadap ayat tersebut. Tafsir ini biasanya menyertai teks asli dan
terjemahannya.
Sebagai kesimpulan dapat dirangkum di sini bahwa penerjemahan Al
Quran harus dengan ancangan semantis, formal, tertulis, sedangkan
pendapat para ahli penerjemahan dimasukkan dalam tafsirnya.
Dalam pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa, menurut
Newmark, terjemahan harfiah juga harus menghormati struktur sintaktik
BSu. Lalu, apa perbedaan terjemahan harfiah dan terjemahan semantis?
Terjemahan harfiah berusaha menerjemahkan kata-kata seolah-olah
bebas dari konteks, sedangkan terjemahan semantis memperhatikan
konteks. Kadang-kadang terjemahan semantis harus menafsirkan
metafora jika metafora itu tidak mempunyai makna di dalam BSa. Prioritas
kesetiaan terjemahan semantis adalah pada penulisnya, sedangkan
terjemahan harfiah seluruhnya pada teks BSu-nya (Newmark, 1981: 63)

Perhatikan contoh berikut:


Bsu : Nasib kesebelasan itu bagai telur di ujung tanduk.
Harf. : The fate of the football team is like an egg on a horn.
Sem. : The fate of the football team is dangerous.
Kom.: The football team is hanging on a thread.

Newmark (1993:1) menyatakan bahwa terjemahan semantis biasa


digunakan untuk menerjemahkan teks-teks otoritatif (authoritative) atau
teks ekspresif, yakni teks-teks yang isi dan gayanya, gagasan dan kata-kata
serta strukturnya sama-sama pentingnya. Jenis teks ini meliputi teks-teks
sastra, teks-teks lain yang ditulis dengan indah dan bagus, atau bahkan
teks-teks yang sengaja ditulis dengan bahasa yang kurang baik. Yang
penting teks ini ditulis oleh penulis yang mempunyai status yang tinggi
atau ditulis untuk menuangkan emosi atau perasaan. Biasanya terjemahan
semantis tetap dalam lingkup budaya BSu, tetapi penerjemah bisa
memberi sedikit konsesi bagi pembaca BSa dengan sekedar mengubah
makna yang bersifat tidak begitu penting kalau itu memang bisa
membantu pembaca untuk membaca teks BSa tersebut. Sementara itu
49
terjemahan komunikatif cocok untuk sebagian besar teks non-sastra.
Meskipun pada tataran teori kedua macam terjemahan ini bisa
dipisahkan, tetapi dalam praktek penerjemahan teks yang cukup panjang
keduanya bisa sama-sama diterapkan. Newmark (1991: 10) menyatakan
bahwa sebenarnya tidak ada terjemahan semantis atau komunikatif
murni. Yang ada adalah sebuah terjemahan yang lebih cenderung ke arah
semantis atau komunikatif, atau bahkan dalam bagian-bagian tertentu
bersifat semantis dan pada bagian lain bersifat komunikatif.
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan ciri-ciri kedua
terjemahan ini:
Tabel 2.1. Ciri-ciri terjemahan semantis dan komunikatif
(di adaptasi dari Newmark, 1991: 11-13)
Terjemahan semantik Terjemahan komunikatif
1. Berpihak pada penulis asli berpihak pada pembaca BSa
2. Mengutamakan proses berpikir mengutamakan maksud penulis Bsu
penulis BSu
3. Mementingkan penulis BSu mementingkan pembaca BSa agar
sebagai individu bisa memahami pikiran, kandungan
budaya BSu
4. Sedapat mungkin Bsu bisa dengan mudah
mempertahankan panjang kalimat, dikorbankan
posisi klausa dan posisi kata teks
BSu
5. Setia pada penulis asli BSu, lebih Setia pada pembaca BSa, lebih
harfiah luwes
6. Informatif Efektif (mengutamakan penciptaan
efek pada pembaca)
7. Biasanya lebih kaku, lebih rinci, Lebih mudah dibaca, lebih luwes,
lebih kompleks, tetapi lebih lebih mulus, lebih sederhana, lebih
pendek daripada BSu. jelas, lebih panjang dari pada BSu
8. Bersifat pribadi Bersifat umum
9. Terikat pada BSu Terikat pada BSa
10. Lebih spesifik daripada teks asli Menggunakan kata-kata yang lebih
(over-translated) umum daripada kata-kata teks asli
(under-translated)
11. Kesan yang dibawa lebih Kurang mendalam
mendalam
50
12. Lebih "jelek" daripada teks asli Mungkin lebih bagus daripada teks
asli karena adanya penekanan
bagian teks tertentu atau usaha
memperjelas bagian teks tertentu
13. Abadi, tidak terikat waktu dan Terikat konteks, waktu
tempat. penerjemahan dan tempat
pembaca BSa.
14. Luas dan universal. Khusus untuk pembaca tertentu
dengan tujuan tertentu pula.
15. Ketepatan adalah keharusan. Tidak harus tepat (kata dan gaya)
asalkan pembaca mendapat pesan
yang sama
16. Penerjemah tidak boleh Penerjemah boleh memperbaiki
memperbaiki atau membetulkan atau meningkatkan kualitas logika
logika atau gaya kalimat BSu. kalimat yang buruk, atau gaya
bahasa yang tidak jelas
17. Kesalahan di dalam teks BSu Kesalahan di dalam teks BSu bisa
harus ditunjukkan di dalam langsung dibetulkan dalam BSa.
catatan kaki.
18. Targetnya adalah terjemahan yang Targetnya adalah terjemahan yang
benar. memuaskan.
19. Unit penerjemahannya cenderung Unit penerjemahannya biasanya
kata, sanding kata, dan klausa. kalimat atau paragraf.
20. Bisa digunakan untuk semua jenis Bisa digunakan untuk teks yang
teks ekspresif. bersifat umum, tidak ekspresif.
21. Penerjemahan adalah seni. Penerjemahan adalah keterampilan.
22. Karya satu orang. Mungkin juga karya sebuah tim.
23. Sesuai dengan pendapat kaum Sesuai dengan pendapat kaum
relativis bahwa penerjemahan universalis bahwa penerjemahan
sempurna tidak mungkin sempurna masih mungkin.
24. Mengutamakan makna. Mengutamakan pesan.

Dari pembahasan di muka, bisa dilihat adanya kesamaan dan


sedikit perbedaan di antara pendapat beberapa ahli yang dibahas di dalam
bab ini. Nida & Taber dan Larson (1984) sama-sama menyatakan bahwa
terjemahan harfiah adalah terjemahan yang tidak tepat dan harus
dihindari. Sementara itu, Newmark (1991) menyatakan bahwa terjemahan
harfiah tidak selalu jelek. Terjemahan harfiah adalah pilihan yang terbaik
dan harus dipakai bila terjemahan itu tidak melanggar gramatika BSa dan
51
makna serta pesan yang dikandungnya sama dengan yang ada di dalam
BSu.
Sementara itu, terjemahan dinamis, terjemahan idiomatik, dan
terjemahan komunikatif mempunyai kesamaan mendasar, yaitu
menghasilkan teks Bsa yang baik dan mudah dimengerti. Meskipun begitu,
kalau dicermati, mereka mempunyai sedikit perbedaan. Terjemahan
dinamis lebih menekankan pada pentingnya padanan alami. Dengan kata
lain, fokusnya adalah bentuk semantis (kata atau frasa). Sedangkan Larson
(1984) sepertinya mementingkan ekspresi yang idiomatik atau keluwesan
teks BSa. Demikian juga terjemahan komunikatif. Pada dasarnya
terjemahan idiomatik adalah terjemahan komunikatif. Terjemahan jenis
terakhir ini menekankan struktur kalimat dan ekspresi yang wajar.
Dalam hal tingkat keterbacaan yang tinggi ini pun Newmark (1991)
setuju karena dengan konsep terjemahan komunikatifnya ia memang
menganjurkan bahwa sebuah teks BSa harus mudah dibaca oleh
pembacanya. Namun ada juga perbedaan di antara mereka. Nida & Taber
menganjurkan terjemahan dinamis tanpa pandang jenis teksnya dan
Larson (1984) pun demikian juga dengan terjemahan idiomatiknya.
Sementara itu, Newmark (1991) menyatakan bahwa baik terjemahan
harfiah, semantik, atau pun komunikatif bisa digunakan dan sama baiknya,
tetapi tergantung pada jenis teks BSu-nya. Yang pertama dicoba haruslah
terjemahan harfiah. Kalau terjemahan harfiah tidak cocok, barulah
melihat jenis teksnya. Kalau teks BSa bersifat ekspresif maka terjemahan
semantik mungkin lebih baik. Tetapi bila jenis teksnya umum, maka yang
harus diusahakan adalah terjemahan komunikatif.
Akhirnya, bisa dikatakan bahwa argumen Newmark (1991) lebih
mudah untuk diikuti secara logika, karena pada dasarnya dalam
terjemahan tidak ada sesuatu yang mutlak. Yang ada adalah serangkaian
pilihan yang harus diambil oleh penerjemah. Bahkan untuk satu kalimat
pun, penerjemah mungkin menggunakan lebih dari satu jenis terjemahan.

52
BAB III
PRINSIP-PRINSIP PENERJEMAHAN

Yang dimaksud prinsip-prinsip penerjemahan di sini adalah


seperangkat acuan dasar yang hendaknya dipertimbangkan oleh para
penerjemah. Di dalam dunia penerjemahan tidak ada satu pun prinsip
dasar yang berlaku umum. Setiap prinsip mempunyai syarat, setiap acuan
mempunyai tumpuan. Meskipun begitu, secara garis besar dapat
dikatakan bahwa pemilihan prinsip-prinsip ini didasari oleh tujuan
penerjemahan. Berdasarkan prinsip-prinsip inilah muncul ragam-ragam
terjemahan.
Di dalam Bab II telah dibicarakan ragam-ragam terjemahan.
Namanya memang bermacam-macam, dari terjemahan kata-demi-kata,
harfiah, sampai yang idiomatik atau komunikatif. Dari pembahasan kita
pada bab tersebut kita memperoleh gambaran bahwa pada dasarnya
ragam-ragam tersebut bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok besar,
yaitu kelompok yang setia pada penulis atau teks BSu dan kelompok yang
setia terhadap pembaca atau teks BSa.
Yang dimaksud terjemahan yang setia kepada penulis aslinya
adalah terjemahan yang penerjemahnya berusaha mempertahankan ciri-
ciri ekspresi atau gaya ungkap penulisnya. Karena ciri-ciri ekspresi ini
tercermin di dalam teks BSu, baik dalam hal pilihan kata maupun struktur
kalimat, maka ini berarti penerjemah juga berusaha mempertahankan
gaya tulisan teks BSu. Secara lebih rinci, penerjemah dikatakan
mempertahankan pilihan kata teks BSu apabila ia menerjemahkan setiap
kata teks BSu tanpa atau dengan penyesuaian sesedikit mungkin.
Mempertahankan struktur kalimat teks BSu dilakukan dengan tidak
mengubah bentuk kalimat teks BSu di dalam teks BSa. Misalnya, kalimat
aktif diterjemahkan menjadi kalimat aktif, kalimat pasif menjadi kalimat
pasif, dll.
Sementara itu, penerjemah yang setia kepada pembaca teks BSa
akan berusaha menuliskan kembali makna atau pesan teks BSu di dalam
teks BSa dengan kata yang mudah dimengerti dan struktur yang enak
dinikmati. Terjemahan yang setia terhadap teks BSa akan selalu terbaca
53
seperti layaknya teks asli, bukan teks terjemahan.
Untuk lebih jelasnya mengenai dua kecenderungan ini, perhatikan
diagram berikut:

penulis pembaca
teks BSu teks BSa

penerjemah

Gambar 3.1. Kedudukan penerjemah di antara teks BSu dan teks BSa

Di dalam diagram tersebut terlihat bahwa penerjemah tepat


berada di tengah-tengah. Ia bisa berpihak pada penulis atau teks BSu
maupun pembaca atau teks BSa kapan pun ia mau. Pada awalnya, penulis
mempunyai gagasan di dalam batinnya. Lalu gagasan itu dituangkannya di
dalam tulisan (teks BSu). Idealnya, teks BSu itu sama dengan gagasan
penulis. Tetapi kadang kala kata-kata tidak bisa mewakili pikiran. Maka
teks BSu pun mungkin saja tidak bisa mewakili gagasan-gagasan penulis
sepenuhnya. Teks BSu itu dibaca oleh penerjemah. Gagasan yang termuat
di dalam teks BSu mungkin bisa dimengerti semuanya oleh penerjemah,
atau mungkin juga tidak. Penerjemah mungkin berpendapat bahwa
penulis mempunyai kedudukan istimewa, jadi penerjemah merasa tidak
berhak mengubah sedikit pun kata-kata di dalam teks BSu. Ia mungkin
berpendapat bahwa susunan kata dan gaya bahasa itu sangat penting, jadi
ia merasa tidak boleh mengubahnya, karena mengubah gaya tulisan
sepertinya berarti merusak "wajah" dalam potret penulis. Ia sangat
menghormati kedudukan penulis/teks BSu. Ia lebih berpihak pada
penulis/teks BSu. Ragam terjemahannya kita sebut terjemahan kata-demi-
kata, terjemahan harfiah, atau terjemahan semantik.
Kemungkinan kedua, penerjemah tidak berpendapat bahwa gaya
bahasa teks BSu harus dipertahankan karena baginya yang penting adalah
agar pembaca teks BSa bisa menikmati karya terjemahan itu. Pembaca
tidak merasa perlu tahu gaya bahasa asli, atau bahkan mungkin tidak
54
merasa perlu tahu siapa penulisnya. Yang ingin ia ketahui adalah isinya,
ide dasarnya. Masalahnya bukan lagi ketepatan kata-kata atau gaya
bahasa, tetapi kenikmatan yang bisa didapat pembaca. Nikmat ini berarti
keluwesan gaya bahasa teks BSa. Dalam hal ini penerjemah berpihak pada
pembaca. Lalu muncullah ragam terjemahan idiomatik, dinamis, dan
komunikatif.
Di dalam paragraf-paragraf berikut dibahas secara lebih rinci butir-
butir dari kedua prinsip utama di atas.

3.1 Prinsip-prinsip terjemahan yang setia kepada teks BSu


Untuk penerjemahan yang setia kepada penulis/teks BSu ini,
prinsip-prinsip yang bisa dipakai adalah sebagai berikut.
1. Terjemahan harus memakai kata-kata teks BSu
2. Kalau dibaca, terjemahan harus terasa seperti terjemahannya
3. Terjemahan harus mencerminkan gaya bahasa teks BSu
4. Terjemahan harus mencerminkan waktu ditulisnya teks asli
(contemporary of the author).
5. Terjemahan tidak boleh menambah atau mengurangi hal-hal yang ada
di teks BSu.
6. Genre sastra tertentu harus dipertahankan di dalam terjemahan
Menurut prinsip 1 di atas, terjemahan atau teks BSa harus
memakai terjemahan harfiah dari kata-kata yang dipakai di dalam teks
Bsu. Jadi yang dimaksudkan di sini adalah terjemahan harfiah. Sedangkan
prinsip 2 dan 3 berarti bahwa penerjemah harus mempertahankan gaya
bahasa teks BSu. Kalau gaya bahasa dipertahankan, maka dengan
sendirinya bila dibaca, hasilnya akan terasa seperti terjemahan. Menurut
prinsip 5, penerjemah tidak boleh menambah atau mengurangi kata-kata
dari teks BSu. Dan menurut prinsip 6, sebuah puisi harus diterjemahkan
menjadi puisi, sebuah prosa diterjemahkan menjadi sebuah prosa.
Menurut Rachmadie (1988: 1.24), penerjemah yang berusaha
untuk mengikuti prinsip-prinsip di atas akan segera menemui beberapa
kesulitan karena di dalam kenyataan sehari-hari, jarang sekali ada teks
yang bisa diterjemahkan secara harfiah dengan ketepatan, kejelasan, dan
ketelitian yang sama dengan teks BSu. Secara umum, hal ini disebabkan
oleh perbedaan cakupan makna kata-kata di dalam BSu dan BSa (kita akan
membahasnya di dalam bab mengenai makna kata kemudian) dan juga
55
struktur kedua bahasa tersebut. Pendapat ini ada benarnya kalau
penerjemah ingin menurutinya secara ketat atau mutlak. Tetapi bila
mengizinkan sedikit penyesuaian demi keterbacaan teks BSa, prinsip-
prinsip tersebut bisa dipakai. Pada kenyataannya, bila ada satu
penyesuaian atau pelanggaran terhadap salah prinsip-prinsip itu,
terjemahannya tetap terasa mengandung prinsip-prinsip di atas secara
keseluruhan.
Komentar lain yang bisa diajukan adalah sebagai berikut.
Pendapat ini sepertinya menempatkan jenis penerjemahan kata-demi-
kata, harfiah, dan semantik pada posisi yang lebih rendah. Mungkin, yang
lebih tepat, kita harus memperhatikan tujuan dan bentuk teks BSu. Sebuah
terjemahan yang tujuannya untuk mempelajari struktur kalimat BSu, maka
yang paling tepat adalah terjemahan kata-demi-kata. Untuk
menerjemahkan teks sakral yang penerjemahnya merasa tidak berhak
atau tidak mampu memahami makna teks BSu secara penuh, terjemahan
harfiah adalah yang terbaik. Contohnya adalah penerjemahan Kitab Suci
Al Qur'an yang sudah dibahas pada Bab II. Sedangkan untuk
menerjemahkan teks yang sarat dengan ekspresi pribadi penulisnya, tentu
saja yang paling tepat adalah terjemahan semantik.
Sebagi contoh perhatikan terjemahan puisi berikut.

Teks BSu:
Heal my impatient heart
which burns within me like a cancer.
Teach me not to be annoyed
by faults which buzz
in my ears as loudly as mosquito's wings.
Help me to love the small, the damaged,
the three-legged dog, without sorrow.
Fill me with understanding
as a pear tree fills with wind--
Touch my leaves, let my blooms shake down
and cover those I love with love.
(Mosby, no date: 29)

56
Teks BSa :
Sembuhkan hatiku yang tak sabar
yang membakar dalam diri seperti kanker
Ajari aku untuk tidak merasa jengkel
oleh kesalahan yang selalu terngiang
di telingaku sekeras dengung nyamuk.
Bantu aku untuk mencintai anjing kecil, penyakitan,
yang berkaki-tiga, tanpa kesedihan.
Limpahi aku dengan pengertian
seperti halnya pohon pear dimanja angin
Sentuhlah daun-daunku, biarkan bungaku berjatuhan
dan melingkupi orang-orang yang kucintai dengan cinta

Untuk terjemahan puisi di atas, terjemahan kata-demi-kata tidak


mungkin karena ada ekspresi yang bila diterjemahkan kata-demi-kata
tidak mempunyai makna. Misalnya baris keempat. Kalimat itu sulit
diterjemahkan secara harfiah. Baris kelima as loudly as mosquito wings
juga sulit karena yang berdengung adalah suara nyamuk di dalam bahasa
Indonesia, bukan suara sayap nyamuk meskipun sebenarnya yang
berdengung itu sayapnya juga. Untuk menerjemahkan baris 6 dan 7, kita
tidak bisa menggunakan terjemahan kata-demi-kata lagi, tetapi
terjemahan harfiah yang memungkinkan penyesuaian struktur frasa
benda. Terjemahan ini tidak bisa sepenuhnya memenuhi semua prinsip-
prinsip yang telah kita sebutkan di atas, contohnya prinsip 1. Akan tetapi
jelas bahwa secara umum terjemahan ini menggunakan seperangkat
prinsip di atas, yaitu prinsip 2, 3, 4, 5, dan 6. Dari sini bisa kita katakan
bahwa dalam hal mengikuti prinsip-prinsip ini, penerjemah tidak bisa
mengikutinya secara mutlak. Penyesuaian memang harus tetap ada. Yang
ada adalah sebuah terjemahan yang didominasi oleh prinsip-prinsip ini.

3.2 Prinsip-prinsip terjemahan yang setia kepada pembaca teks BSa


Untuk penerjemahan yang setia kepada pembaca/teks BSa,
prinsip-prinsip berikut bisa dipedomani.
1. Terjemahan harus memberikan ide teks BSu, dan tidak perlu kata-
katanya,
2. kalau dibaca, terjemahan harus terasa seperti teks asli dalam hal
keluwesannya
57
3. Terjemahan harus memiliki gayanya sendiri
4. Terjemahan harus menggambarkan waktu saat teks BSu itu
diterjemahkan.
5. Terjemahan boleh menambah atau mengurangi teks Bsu.
6. Terjemahan tidak harus mempertahankan genrenya.
Jadi, menurut prinsip-prinsip ini, terjemahan harus bisa
menyampaikan ide teks BSu dengan luwes dan mudah dimengerti
pembacanya. Keberpihakan pada pembaca membuat terjemahan ini tidak
harus mengikuti gaya bahasa teks BSu dan bahkan boleh menambah dan
mengurangi elemen yang tidak begitu penting. Khusus untuk prinsip 6, ada
beberapa pihak yang merasa keberatan. Mereka berpendapat sebuah
cerpen hendaknya diterjemahkan menjadi cerpen, puisi menjadi puisi, dan
drama menjadi drama. Hal ini bisa dimengerti. Dengan kebebasan yang
diberikan dalam prinsip 1 sampai 5, penerjemah tentunya bisa
menyampaikan ide teks BSu dengan memadai dengan tidak perlu
mengubah genre teks BSu.
Jenis terjemahan yang sedikit banyak memakai prinsip-prinsip ini
adalah terjemahan dinamis, idiomatik, dan komunikatif.
Tidak seperti seperangkat prinsip yang pertama, seperangkat
prinsip ini bisa diikuti semuanya. Perhatikan contoh berikut:

Teks BSu:
A recent explosion of interest in trust has generated a large and
rapidly expanding body of literature, demonstrating trust's
importance to economic life. Trust seems to be a good markets and
firms can't get enough of: it helps facilitate cooperation, lowers
agency and transaction costs, promote smooth and efficient market
exchanges, and improves firms' ability to adapt to complexity and
change. (Wicks et. al. in Academy of Management Review, 1999, Vol
24, No. 1., p. 99)

Teks BSa:
Perkembangan minat yang besar pada masalah kepercayaan (trust)
telah melahirkan literatur yang banyak dan berkembang pesat.
Literatur ini menunjukkan betapa pentingnya peran kepercayaan
terhadap kehidupan ekonomi. Kepercayaan sepertinya menjadi
barang yang tidak bisa diperoleh oleh pasar dan perusahaan dalam

58
jumlah yang cukup. Kepercayaan membantu terbentuknya kerja
sama, menekan biaya keagenan dan transaksi, meningkatkan
hubungan pasar yang mulus dan efisien serta meningkatkan
kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan diri dengan
kompleksitas dan perubahan.

Dari contoh di atas bisa dilihat bahwa sering kali penerjemah


memecah satu kalimat menjadi dua, dan beberapa katanya tidak
diterjemahkan secara harfiah. Kata explosion diterjemahkan menjadi
peningkatan, bukan ledakan. Kata body of dihilangkan, sehingga yang
diterjemahkan hanya literaturenya saja.
Perhatikan juga contoh berikut. Teks BSu-nya adalah bab 14 novel
Eric Segal yang berjudul Love Story dan terjemahannya yang diterbitkan
oleh Gramedia pada tahun 1995.

Teks asli:
We finished in that order.
I mean, Erwin, Bella and myself were the top three in the Law School
graduating class. The time for triumph was at hand. Job interviews. Offers.
Pleas. Snow jobs. Everywhere I turned somebody seemed to be waving a
flag that read: "Work for us, Barret!"
But I followed only the green flags. I mean, I wasn't totally crass, but
I eliminated the prestige alternatives, like clerking for a judge, and the
public service alternatives, like Department of Justice, in favor of a
lucrative job that would get dirty word "scrounge" out of our goddamn
vocabulary.
Third though I was, I enjoyed one inestimable advantage in
competing for the best legal spots. I was the only guy in the top ten who
wasn't Jewish. (And anyone who says it doesn't matter is full of it.) Christ,
there are dozens of firms who will kiss the ass of a WASP who can merely
pass the bar. Consider the case of yours truly: Law Review, All-Ivy, Harvard
and you know what else. Hordes of people were fighting to get my name
and numeral onto their stationery. I felt like a bonus baby--and I loved
every minute of it.
There was one especially intriguing offer from a firm in Los Angeles.
The recruiter, Mr. ______ (why risk a lawsuit?), kept telling me:
"Barret baby, in our territory we get it all the time. Day and night.I
mean, we can even have it sent up to the office!"
Not that we were interested in California, but I'd still like to know
59
precisely what Mr. _____ was discussing. Jenny and I came up with some
pretty wild possibilities, but for L.A. they probably weren't wild enough. (I
finally had to get Mr. ____ off my back by telling him that I really didn't
care for "it" at all. He was crestfallen.)
Actually, we had made up our minds to stay on the East Cost. At it
turned out, we still had dozens of fantastic offers from Boston, New York
and Washington. Jenny at one time thought D.C. might be good ("You
could check out the White House, Ol"), but I leaned toward New York. And
so, with my wife's blessing, I finally said yes to the firm of Jonas and Marsh,
a prestigious office (Marsh was a former Attorney General) that was very
civil-liberties oriented ("You can do good and make good at once," said
Jenny). Also, they really snowed me. I mean, old man Jonas came up to
Boston, took us to dinner at Pier Four and sent Jenny flowers the next day.
Jenny went around for a week sort of singing a jingle that went
"Jonas, Marsh and Barret." I told her not so fast and she told me to go
screw because I was probably singing the same tune in my head. I don't
have to tell you she was right.
Allow me to mention, however, that Jonas and Marsh paid Oliver
Barret IV $11,800, the absolute highest salary received by any member of
our graduating class.
So you see I was only third academically.

Teks BSa:
Urutannya memang seperti itu.
Erwin, Bella, dan aku sendiri merupakan lulusan terbaik di sekolah
hukum. Kini tiba waktunya untuk menikmati jerih payah kami. Wawancara
untuk mengisi lowongan. Tawaran kerja. Permohonan. Sanjungan.
Rasanya ke mana pun aku menoleh, aku melihat seseorang mengibarkan
bendera dengan tulisan: "Bekerjalah untuk kami, Barret!"
Tapi aku hanya mengikuti bendera-bendera hijau. Maksudnya, aku
tidak bodoh. Sejak pertama aku mengabaikan alternatif-alternatif
bergengsi, seperti menjadi asisten hakim, serta alternatif-alternatif
pengabdian masyarakat, seperti Departemen Kehakiman. Yang kuincar
adalah pekerjaan "basah", yang akan menghapus istilah "pas-pasan" dari
perbendaharaan kata kami.
Meski hanya menduduki peringkat ketiga, aku memiliki satu
keuntungan tak ternilai dalam perebutan posisi-posisi terbaik dalam
bidang hukum. Aku satu-satunya orang dalam sepuluh besar yang bukan
Yahudi. (Dan siapa pun yang berkata itu tidak berpengaruh, sebaiknya
diam saja.) Ada lusinan biro hukum yang mau berbuat apa saja untuk
60
memperoleh WASP yang lolos hanya dengan nilai pas-pasan. Aku sendiri,
misalnya: Law Review, tim utama, Harvard, dan sebagainya. Entah berapa
banyak orang saling bersaing agar bisa mencantumkan nama dan nomorku
pada kertas surat mereka. Aku merasa seperti anak emas, dan aku benar-
benar menikmatinya.
Aku menerima satu tawaran yang sangat menarik dari biro hukum di
Los Angeles. Orang yang ditugaskan merekrut aku, Mr. X (untuk apa harus
mengambil risiko dituntut?), terus mendesakku, "Barret, Baby. Di tempat
kami, kami bisa mendapatkannya kapan saja. Siang dan malam. Bahkan
bisa diantar ke ruang kerja!"
Terus terang, aku kurang tertarik pada California, tapi aku penasaran
apa persisnya yang dimaksudkan Mr. X. Jenny dan aku memikirkan
beberapa kemungkinan yang cukup seru, namun untuk ukuran L.A. tentu
masih kurang seru. (Akhirnya aku terpaksa memberitahu Mr. X bahwa aku
tidak berminat untuk "mendapatkannya", sekedar agar ia berhenti
mendesak-desakku. Ia tampak kecewa sekali.)
Sebenarnya kami sudah memutuskan untuk tetap di Pantai Timur. Dan
ternyata masih ada lusinan tawaran dari Boston, New York, dan
Washington. Jenny cenderung memilih D.C. ("Kau bisa lihat-lihat Gedung
Putih. Ol."), tapi aku condong ke New York. Dan karena itu, dengan restu
istriku, aku akhirnya menerima tawaran Biro Hukum Jonas & Marsh,
sebuah biro bergengsi (Marsh mantan Kepala Departemen Kehakiman)
yang berorientasi pada kebebasan perorangan. ("Kau bisa berbuat baik
sekaligus menikmati penghasilan yang baik," kata Jenny.) Mereka benar-
benar membuatku merasa tersanjung. Bayangkan saja, Mr. Jonas sendiri
yang datang ke Boston, mengajak kami makan malam di Pier Four, lalu
mengirim bunga untuk Jenny keesokan harinya.
Selama kira-kira satu mingu Jenny sibuk membayangkan "Jonas, Marsh
& Barret". Aku mengingatkannya agar jangan terburu-buru, dan ia
menyahut persetan denganku sebab ia yakin aku pun diam-diam
membayangkannya. Dan ia benar.
Ijinkanlah aku menambahkan bahwa Jonas & Marsh membayar Oliver
Barrett IV 11.800 dolar, gaji tertinggi di antara semua yang lulus
seangkatan denganku.
Jadi, aku memang nomor tiga, tapi hanya dari segi akademik.

Dari contoh di atas, bisa di kemukakan hal-hal berikut. Pertama,


secara keseluruhan terjemahan tersebut adalah contoh untuk prinsip
keempat, terjemahan menggambarkan kurun waktu saat dilakukannya

61
penerjemahan. Dalam contoh di atas, naskah tersebut diterjemahkan
dengan kata-kata khas anak muda tahun 1990-an.
Kata snow job dihilangkan di dalam BSa. Kata tersebut artinya
pekerjaan yang menyenangkan. Di bagian lain, kata Sejak pertama
ditambahkan di dalam BSa (paragraf 2). Sebenarnya sedikit terjadi
kesalahpengertian oleh penerjemah. Kata public service sebenarnya
berarti jabatan pegawai negeri. Tetapi kata ini diterjemahkan menjadi
pengabdian masyarakat. Meskipun begitu, secara keseluruhan masih bisa
diterima.
Penerjemah ternyata juga melakukan penyesuaian agar
ekspresinya tidak terlalu kasar di dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh
adalah ekspressi kiss the ass (par. 4) yang diterjemahkan ke dalam mau
berbuat apa saja. Sebenarnya ada terjemahan yang lebih dekat yakni
menjilat pantat, tetapi mungkin penerjemahnya memandang terlalu
kasar.
Disamping itu, penerjemah juga menyederhanakan beberapa
ekspresi yang cukup sulit. Contohnya adalah ekspresi consider the case of
yours trully (par. 4). Yours trully ini merujuk pada penulisan surat, yaitu
salam penutup. Di dalam bahasa Indonesia tentu saja, hormat kami.
Setelah salam penutup ini tentu diikuti tanda tangan dan nama lengkap
beserta gelar. Dari nama dan gelar ini akan tampak jelas siapa pengirimnya
dan kualifikasinya. Ekspresi ini disederhanakan menjadi Aku sendiri
misalnya.
Contoh penyederhanaan yang lainnya adalah saat Jenny sort of
singing a jingle that went 'Jonas, Marsh and Barret' (par. 9). Sebenarnya
di sini Jenny menyenandungkan lagu yang populer sekitar Pearn Dunia II
yang berjudul Roll out the barrel. Hanya saja liriknya diganti menjadi Jonas,
Marsh and Barret. Dan ini semua diterjemahkan menjadi membayangkan
'Jonas, Marsh & Barret'. Ekspresi yang lainnya adalah to go screw (par. 9),
Sebenarnya ekspresi ini berarti mengatakan tidak, tetapi hatinya ingin.
Dalam BSa ekspresi ini diterjemahkan menjadi persetan denganku. Dan
ekspresi I don't have to tell you she was right (par. 9) cukup diterjemahkan
menjadi Dan ia benar. Secara umum hal ini bisa diterima. Inilah salah satu
ciri penerjemahan yang berpihak pada pembaca.
Meskipun begitu, kami juga mencatat bahwa terjemahan ini masih
bisa ditingkatkan kualitasnya dengan memperhatikan hal-hal berikut.
62
WASP (par. 4) dipungut begitu saja ke dalam BSa (bahasa Indonesia).
Karena banyak pembaca yang mungkin tidak tahu makna WASP. maka
lebih baik singkatan itu diterjemahkan atau paling tidak diberi penjelasan
orang kulit putih, asli Inggris, dan beragama Kristen. Barret, Baby (par. 6)
lebih baik diterjemahkan Nak Barret karena baby ini memang padanannya
nak dalam konteks tersebut. Yang terakhir, Attorney General (par. 8)
seharusnya tidak diterjemahkan menjadi mantan Kepala Departemen
Kehakiman, tetapi menjadi mantan Jaksa Agung karena memang itulah
yang benar.
Di depan telah dikemukakan bahwa memang tidak ada aturan
khusus mengenai pemilihan prinsip ini. Tetapi perlu diperhatikan adanya
jenis-jenis teks yang mencerminkan posisi penulis terhadap isi tulisannya,
yaitu teks sastra dan filsafat, teks informasi umum dan teks informasi
khusus. Di dalam teks sastra (serius), kedudukan penulis istimewa. Oleh
karena itu, prinsip terjemahannya biasanya condong ke terjemahan yang
setia pada teks BSu. Teks informasi umum, misalnya koran, bisa
diterjemahkan dengan prinsip terjemahan yang setia pada pembaca teks
BSa karena kedudukan penulis tidak penting di sini. Yang terakhir, teks
informasi khusus, misalnya dokumen hukum, teks ekonomi, dan teks
IPTEK seyogyanya didekati dengan prinsip terjemahan yang setia kepada
pembaca teks BSa, tetapi penerjemah tidak bisa seleluasa penerjemah
teks informasi umum. Ia harus memperhatikan ekspresi-ekspresi khas di
dalam tiap-tiap bidang atau konteks itu. Ekspresi ini biasanya disebut
register atau jargon.
Demikianlah penjelasan tentang prinsip-prinsip terjemahan ini.
Dapat dikemukakan lagi di sini bahwa seorang penerjemah tidak harus
setia pada satu prinsip penerjemahan selama kariernya sebagai
penerjemah. Ia boleh, atau bahkan harus, mengubah prinsip-prinsipnya
tergantung pada tujuan penerjemahannya.

63
BAB IV
STRATEGI PENERJEMAHAN

Prinsip-prinsip terjemahan adalah acuan umum. Ragam atau


metode terjemahan adalah petunjuk teknis yang masih umum juga, yang
hendaknya dipertimbangkan pada level keseluruhan teks atau wacana.
Sedangkan tuntunan teknis untuk menerjemahkan frasa demi frasa atau
kalimat demi kalimat disebut teknik penerjemahan atau strategi
penerjemahan.
Yang dimaksud strategi penerjemahan di sini adalah taktik
penerjemah untuk menerjemahkan kata atau kelompok kata, atau
mungkin kalimat penuh bila kalimat tersebut tidak bisa dipecah lagi
menjadi unit yang lebih kecil untuk diterjemahkan. Dalam literatur tentang
terjemahan, strategi penerjemahan disebut prosedur penerjemahan
(translation procedures). Kata prosedur berarti urutan yang formal. Oleh
karena itu kata strategi dipilih untuk digunakan di sini.
Berikut ini adalah beberapa strategi penerjemahan yang dibagi
menjadi tiga jenis utama. Pertama adalah strategi yang berkenaan dengan
struktur kalimat. Strategi-strategi ini sebagian besar bersifat wajib
dilakukan karena kalau tidak hasil terjemahannya akan tidak berterima
secara struktural di dalam BSa, atau mungkin sekali tidak wajar. Jenis ini
disebut strategi struktural. Jenis kedua adalah strategi yang langsung
terkait dengan makna kata yang sedang diterjemahkan. Ini disebut strategi
semantik. Jenis ketiga adalah strategi pragmatik, yang terkait dengan
pesan yang ada di dalam kalimat yang diterjemahkan. Di bab ini kami
mengubah pembagian jenis strategi penerjemahan yang telah kami buat
di edisi pertama. Dahulu hanya ada dua jenis, sekarang berdasarkan
pengamatan dan bacaan, strategi tersebut kami identifikasi menjadi tiga
jenis.

4.1 Strategi Struktural


Ada tiga strategi dasar yang berkenaan dengan masalah struktur,
yaitu penambahan, pengurangan, dan transposisi.

64
a. Penambahan (addition)
Penambahan di sini adalah penambahan kata-kata di dalam BSa
karena struktur BSa memang menghendaki begitu. Penambahan jenis ini
bukanlah masalah pilihan tetapi suatu keharusan. Sebagai contoh
perhatikan berikut ini:
BSu: Saya guru.
BSa: I am a teacher.

Di dalam contoh di atas, kata "am" dan "a" harus ditambahkan demi
keberterimaan struktur BSa. Di dalam contoh berikut, kata "do" juga harus
ditambahkan karena alasan yang sama.

BSu: Saya tidak mengira kalau kamu bisa datang hari ini.
BSa: I do not expect that you can come today.

b. Pengurangan (Subtraction)
Pengurangan artinya adanya pengurangan elemen struktural di dalam
BSa. Seperti halnya penambahan, pengurangan ini merupakan
keharusan. Perhatikan contoh berikut.

BSu: You should go home.


BSa: Kamu mesti pulang.
BSu: Her husband is an engineer.
BSa: Suaminya insinyur.

Di dalam contoh di atas kata elemen struktural yaitu kata kerja "go"
dan "is an" dikurangkan dari BSa.

c. Transposisi (Transposition)
Strategi penerjemahan ini digunakan untuk menerjemahkan klausa
atau kalimat. Berbeda dengan kedua strategi sebelumnya, transposisi bisa
dipandang sebagai suatau keharusan atau sebagai pilihan. Transposisi
adalah suatu keharusan apabila tanpa strategi ini makna BSu tidak
tersampaikan. Transposisi menjadi pilihan apabila transposisi dilakukan
karena alasan gaya bahasa saja. Artinya, tanpa transposisi pun makna BSu
sudah bisa diterima oleh pembaca teks BSa. Yang paling sering transposisi
dilakukan karena alasan kedua ini.
65
Dengan strategi ini penerjemah mengubah struktur asli BSu di
dalam kalimat BSa untuk mencapai efek yang padan. Pengubahan ini
dilakukan jika terdapat perbedaan antara struktur BSu dan BSa yang wajar.
Pengubahan ini bisa pengubahan bentuk jamak ke bentuk tunggal, posisi
kata sifat, sampai pengubahan struktur kalimat secara keseluruhan
(Newmark, 1988: 85; Rachmadie dkk., 1988: 1.36). Pemisahan satu kalimat
BSu menjadi dua kalimat BSa atau lebih, atau penggabungan dua kalimat
BSu atau lebih menjadi satu kalimat BSa juga termasuk di dalam strategi
ini.
Pengubahan letak kata sifat di dalam frasa nomina dan pengubahan
dari bentuk kata jamak menjadi tunggal atau sebaliknya merupakan
keharusan bagi penerjemah. Sebagai contoh adalah sebagai berikut.

BSu: Musical instruments can be divided into two basic groups.


BSa: Alat musik bisa dibagi menjadi dua kelompok dasar.

Di dalam contoh di atas, letak kata sifat di dalam dua frasa nomina
"musical instruments" dan "two basic groups" diubah letaknya. Di dalam
bahasa Inggris, kata sifat yang berfungsi sebagai unsur "menerangkan"
harus berada di depan yang "diterangkan". Untuk banyak hal, bahasa
Indonesia mempunyai hukum D-M (Diterangkan - Menerangkan). Jadi
letak kata sifat tersebut harus diubah. Pengubahan itu bisa digambarkan
sebagi berikut.

musical instruments = alat musik


two basic groups = dua kelompok dasar

Selain pengubahan letak kata sifat di atas, di dalam terjemahan di


atas juga ada pengubahan dari bentuk kata jamak menjadi tunggal.
"Instruments" (jamak) diterjemahkan menjadi "alat" saja (tunggal).
Demikian juga kata "groups" menjadi "kelompok" saja.
Pada contoh-contoh berikut ini transposisi dilakukan karena
struktur kalimat BSu tidak ada di dalam BSa. Transposisi model ini berada
pada tataran kalimat, bukan pada tataran frasa seperti sebelumnya

BSu: I find it more difficult to translate a poem than an article.


BSa: Bagi saya menerjemahkan puisi lebih sulit daripada

66
menerjemahkan artikel.

BSu: It is a great mistake to keep silent about the matter.


BSa: Berdiam diri tentang masalah itu merupakan kesalahan besar.

d. Modulasi
Ada contoh transposisi yang khas, yang juga dikenal sebagai
modulasi. Modulasi adalah strategi untuk menerjemahkan frasa, klausa,
atau kalimat. Di sini penerjemah memandang pesan dalam kalimat BSu
dari sudut yang berbeda atau cara berpikir yang berbeda (Newmark, 1988:
88). Strategi ini digunakan jika penerjemahan kata-kata dengan makna
literal tidak menghasilkan terjemahan yang wajar atau luwes. Perhatikan
contoh berikut:

BSu: I broke my leg.


BSa: Kakiku patah.

Pada contoh di atas, penerjemah memandang persoalannya dari


objeknya, yaitu "kaki", bukan dari segi pelaku "Saya". Cara pandang ini
merupakan suatu keharusan karena struktur bahasa Indonesia memang
menghendaki begitu.

4.2 Strategi Semantik


Strategi semantik ini adalah strategi penerjemahan yang dilakukan
dengan mempertimbangkan makna. Strategi ini ada yang dioperasikan
pada tataran kata, frasa maupun klausa atau kalimat. Strategi semantik
terdiri atas strategi-strategi berikut.

a. Pungutan (borrowing)
Pungutan adalah strategi penerjemahan yang membawa kata BSu
ke dalam teks BSa. Jadi penerjemah sekedar memungut kata BSu yang ada,
oleh karena itu strategi ini disebut pungutan. Salah satu alasan
digunakannya strategi ini adalah untuk menunjukkan penghargaan
terhadap kata-kata tersebut. Alasan yang lain adalah belum ditemuinya
padanan di dalam BSa. Pungutan bisa mencakup: transliterasi dan
naturalisasi. Transliterasi adalah strategi penerjemahan yang
mempertahankan kata-kata BSu tersebut secara utuh, baik bunyi atau
tulisannya.
67
Naturalisasi adalah kelanjutan dari transliterasi. Dengan
naturalisasi kata-kata BSu itu ucapannya dan penulisannya disesuaikan
dengan aturan bahasa BSa. Naturalisasi ini juga sering disebut dengan
adaptasi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh-contoh berikut.

Kata BSu transliterasi naturalisasi


mall mall mal (bunyi dan tulisan)
sandal sandal sandal (bunyi)
orangutan orangutan orangutan (bunyi)

Yang perlu ditambahkan lagi, naturalisasi atau adaptasi ini bisa


juga menghasilkan kata BSa dengan makna yang berbeda dari makna kata
BSu-nya. Sebagai contoh adalah kata "ambition" dan "sentiment". Di
dalam bahasa Inggris "ambition" adalah kata yang berarti "cita-cita yang
kuat" dan bersifat netral. Tetapi setelah dipungut menjadi bahasa
Indonesia "ambisi", kata ini berarti keinginan untuk berkuasa, keinginan
yang terlalu tinggi dan mengisyaratkan makna yang negatif. Demikian juga
kata "sentiment" yang berarti ungkapan perasaan di dalam Bahasa Inggris,
setelah dipungut ke dalam bahasa Indonesia ia mengalami gaya bahasa
pejoratif. Artinya bukan lagi pengungkapan perasaan, tetapi "kebencian".
Gejala seperti inilah yang disebut "faux amie", atau "teman palsu", dua
kata yang secara bentuk nyaris sama, tetapi maknanya tidak sama.
Penerjemah seharusnya selalu waspada akan "teman palsu" ini.
Lebih lanjut bisa dikatakan, bahwa strategi pungutan ini biasanya
digunakan untuk kata-kata atau frasa-frasa yang berhubungan dengan:
nama orang, nama tempat, nama majalah, nama jurnal, gelar, nama
lembaga, dan istilah-istilah pengetahuan yang belum ada di BSu.
Perhatikan contoh berikut.

BSu:
The skin consists of two main regions: the epidermis and the dermis. The
epidermis is the outer layer and consists chiefly of dead, dry, flattened cells
which rub off from time to time. More cells are produced from the layers
of living cells at the bottom of the epidermis. The dermis is the deeper layer
and consists of living cells of connective tissue, the lowest layer being the
cells which contain stored fat.

68
BSa:
Kulit terdiri atas dua bagian: epidermis dan dermis. Epidermis adalah
lapisan luar dan terutama terdiri atas sel-sel pipih yang telah kering dan
mati, yang selalu mengelupas. Banyak sel diproduksi dari lapisan sel hidup
yang berada di dasar bagian epidermis. Bagian dermis adalah lapisan
dalam dan terdiri atas sel-sel hidup yang membentuk jaringan
penghubung, dan lapisan yang terdalam adalah sel-sel yang mengandung
simpanan lemak.

Di dalam contoh di atas, kata epidermis, dermis, dan sel dipungut


dari teks BSu-nya. Kata-kata ilmu biologi ini tidak mengalami
perubahan makna seperti yang disebutkan di atas.

b. Padanan budaya (cultural equivalent)


Dengan strategi ini penerjemah menggunakan kata khas dalam
BSa untuk mengganti kata khas di dalam BSu. Hal utama yang perlu
diperhatikan adalah, kata yang khas budaya BSu diganti dengan kata yang
juga khas di dalam BSa. Oleh karena budaya dari suatu bahasa dengan
budaya dari bahasa yang lain kemungkinan besar berbeda, maka
kemungkinan besar strategi ini tidak bisa menjaga ketepatan makna.
Meskipun begitu, strategi ini bisa membuat kalimat dalam BSa menjadi
mulus dan enak dibaca. Untuk teks yang bersifat umum, misalnya
pengumuman atau propaganda, strategi ini bisa digunakan karena pada
umumnya pembaca BSa tidak begitu peduli akan budaya BSu (Newmark,
1988: 82-83).
Sebagai contoh, perhatikan kalimat atau kutipan:

BSu: Minggu depan Jaksa Agung Andi Ghalib akan berkunjung ke


Swiss.
BSa: Next week the Attorney General Andi Ghalib will visit
Switserland.

BSu: I answered with the term I'd always wanted to employ.


"Sonovabitch." (Segal, 1970: 28)
BSa: Aku menjawab dengan istilah yang sejak dulu sudah hendak
kugunakan. "Si Brengsek". (p. 38)

Pada contoh di atas, Jaksa Agung diterjemahkan menjadi Attorney


69
General di dalam bahasa Inggris (bukan Great Attorney). Demikian juga
kata bahasa Inggris "Sonovabitch" diterjemahkan menjadi "Si brengsek",
bukan "anak anjing".

c. Padanan deskriptif (descriptive equivalent) dan analisis komponensial


(componential analysis)
Seperti yang tercermin dalam namanya, padanan ini berusaha
mendeskripsikan makna atau fungsi dari kata BSu (Newmark, 1988: 83-
84). Strategi ini dilakukan karena kata BSu tersebut sangat terkait dengan
budaya khas BSu dan penggunaan padanan budaya dirasa tidak bisa
memberikan derajat ketepatan yang dikehendaki. Sebagai contoh, kata
"samurai" di dalam bahasa Jepang tidak bisa diterjemahkan dengan kaum
bangsawan saja kalau teks yang bersangkutan adalah teks yang
menerangkan budaya Jepang. Untuk itu, padanan deskriptif harus
digunakan. Kaum Samurai harus diterjemahkan menjadi aristokrat Jepang
pada abad 11 sampai 19 yang menjadi pegawai pemerintahan. Padanan
deskriptif ini sering kali ditempatkan menjadi satu dalam daftar kata-kata
atau glossary.
Strategi lain yang sangat mirip dengan padanan deskriptif ini
adalah analisis komponensial. Di sini sebuah kata BSu di terjemahkan ke
dalam BSa dengan cara memerinci komponen-komponen makna kata BSu
tersebut. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya padanan satu-satu di BSa
dan sementara itu penerjemah menganggap bahwa pembaca perlu tahu
arti yang sebenarnya. Bila padanan deskriptif digunakan untuk
menerjemahkan kata yang terkait budaya, maka analisis komponensial
digunakan untuk menerjemahkan kata-kata umum.

BSu: Gadis itu menari dengan luwesnya.


BSa: The girl is dancing with great fluidity and grace.

Dengan strategi ini, "luwes" bisa diterjemahkan menjadi


"bergerak dengan halus dan anggun" atau "move with great fluidity and
grace" di dalam bahasa Inggris.

d. Sinonim
Penerjemah bisa juga menggunakan kata BSa yang kurang lebih
sama untuk kata-kata BSu yang bersifat umum kalau enggan
70
menggunakan analisis komponensial. Strategi ini diambil karena analisis
komponensial dirasa bisa mengganggu alir kalimat BSa (Newmark, 1988:
83-84). Perhatikan contoh berikut:

BSu: What a cute baby you've got!


BSa: Alangkah lucunya bayi Anda!

Di dalam contoh di atas "cute" diterjemahkan menjadi "lucu".


"Cute" dan "lucu" hanyalah sinonim. "Cute" mengindikasikan ukuran kecil,
ketampanan atau kecantikan, dan daya tarik untuk diajak bermain.
Sementara itu "lucu" hanya menunjukkan bahwa anak tersebut menarik
hati untuk diajak bermain saja.

e. Terjemahan resmi
Strategi lain yang sering digunakan adalah terjemahan resmi yang
telah dibakukan. Untuk itu, penerjemah yang mengerjakan naskah dari
bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia perlu memiliki "Pedoman
Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing" yang dikeluarkan oleh Pusat
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Depdikbud R.I. Sebagai contoh
saja, "read-only memory" diterjemahkan menjadi "memori simpan tetap"
di dalam buku itu. Dengan menggunakan strategi ini penerjemah bisa
memperoleh dua keuntungan. Pertama, ia bisa menyingkat waktu dan,
kedua, ia bisa ikut serta memberi arah perkembangan bahasa Indonesia
pada jalur yang benar.

f. Penyusutan dan perluasan


Penyusutan artinya penyusutan komponen kata BSu. Contohnya
adalah penerjemahan kata "automobile" menjadi "mobil". Di sini elemen
kata "auto" dihilangkan. Jadi kata "automobile" mengalami penyusutan.
Perluasan adalah lawan penyusutan. Di sini unsur kata diperluas
di dalam BSa. Contohnya adalah penerjemahan "whale" menjadi "ikan
paus". Di dalam contoh ini elemen "ikan" ditambahkan karena kalau
diterjemahkan menjadi "paus" saja kurang baik. Di dalam bahasa
Indonesia "Paus" berarti pemimpin umat Katolik sedunia, atau "the Pope"
di dalam bahasa Inggris.
Satu hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa strategi struktural dan
strategi semantik sebenarnya secara bersama-sama digunakan
71
penerjemah. Semua penerjemah pasti menggunakan strategi tertentu di
dalam proses penerjemahannya. Strategi-strategi itu sering kali sukar
dibeda-bedakan karena merupakan kombinasi dari beberapa jenis. Selain
itu, kadang strategi itu sudah sedemikian otomatisnya sehingga hampir
tidak dapat disadari langkah-langkahnya. Oleh karena itu, kadang seorang
penerjemah tidak bisa menguraikan strategi yang ditempuhnya.

4.3 Strategi Pragmatik


Strategi pragmatik mengubah pesan. Karena mengubah pesan,
maka strategi ini kemungkinan besar melibatkan pengubahan yang lebih
besar daripada yang dilakukan strategi sintaktik dan semantik. Strategi ini
sering digunakan dengan mempertimbangkan pesan keseluruhan teks
atau bagian dari teks. Chesterman (1997) menyebutkan sepuluh jenis
strategi pragmatik. Menurut kami beberapa termasuk dalam strategi
semantik, yang dalam pemahaman kami adalah strategi yang didasarkan
ada makna kata atau frasa. Misalnya, strategi pemfilteran budaya menurut
Chesterman (1997) menurut hemat kami adalah sama dengan padanan
budaya dalam strategi semantik kami. Oleh karena itu jenis ini tidak kami
masukkan ke dalam strategi pragmatik. Yang kami maksud sebagai strategi
pragmatik adalah sebagi berikut: (a) Pengubahan kejelasan makna, (b)
penambahan dan pengurangan informasi, (c) pengubahan hubungan
interpersonal, (d) pengubahan ilokusi, (e) pengubahan susunan informasi,
(f) penerjemahan parsial (g) pengubahan visibilitas penerjemah, (h)
transediting, dan (i) penyaduran.

a. Pengubahan kejelasan makna


Strategi pragmatis kedua adalah perubahan kejelasan pernyataan.
Dengan strategi ini, makna di BSa dibuat baik lebih eksplisit (disebut
eksplisitasi) atau lebih implisit (disebut implisitasi) (Chesterman, 1997).
Dalam eksplisitasi penerjemah secara eksplisit menambahkan komponen
di dalam BSa. Sebaliknya, implisitasi meninggalkan beberapa elemen
tersurat di dalam BSa dan menjadikannya tersirat (implicit). Pembaca
sasaran memahami maknanya dari konteks. Lihat contoh berikut.

72
BSa: The police officers will help the women.
BSu: Polwan akan membantu ibu-ibu.

Di dalam contoh ini “petugas polisi” diganti menjadi “polwan”. Inilah


contoh eksplisitasi. Jenis polisi itu dibuat menjadi lebih eksplisit.
b. Penambahan dan pengurangan informasi
Berbeda dengan penambahan pada strategi struktural,
penambahan informasi ini dilakukan karena pertimbangan kejelasan
makna. Di sini penerjemah memasukkan informasi tambahan di dalam
teks terjemahannya karena ia berpendapat bahwa pembaca memang
memerlukannya. Informasi tambahan ini bisa di letakkan di dalam teks, di
bagian bawah halaman (berupa catatan kaki), atau di bagian akhir dari teks
(Newmark, 1988: 91-92).
Prosedur ini biasanya digunakan untuk membantu
menerjemahkan kata-kata yang berhubungan dengan budaya, teknis, atau
ilmu-ilmu lainnya. Perhatikan contoh-contoh berikut.

BSu: The skin, which is hard and scaly, is greyish in color, thus helping
to camouflage it from predators when underwater.

BSa: Kulitnya, yang keras dan bersisik, berwarna abu-abu. Dengan


demikian, kulit ini membantunya berkamuflase, menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungan untuk menyelamatkan diri dari
predator, hewan pemangsa, jika berada di dalam air.

Di dalam contoh di atas, "camouflage" dan "predator" dipungut ke


dalam BSa. Di samping itu, informasi tambahan tentang masing-masing
istilah ilmu biologi ini juga diberikan. Tambahan itu adalah "menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungan" dan "hewan pemangsa".
Di samping alasan di atas, penambahan bisa juga dilakukan karena
pertimbangan stilistika atau kelancaran kalimat BSa. Perhatikan contoh
berikut:

BSu: "Tetapi Bagaimana si Dora? Dia sudah terima itu cincin?" (Burung-
burung Manyar, 8)
BSa: "But what about Dora?" I asked my friend. "Did she get the ring?"
(The Weaverbirds, 16)
73
Di dalam contoh satu klausa utuh ditambahkan agar teks BSa
menjadi lebih mulus.
Pengurangan informasi terwujud dalam penghapusan kata atau
bagian teks BSu di dalam teks BSa. Dengan kata lain, penghapusan berarti
tidak diterjemahkannya kata atau bagian teks BSu di dalam teks BSa.
Pertimbangannya adalah kata atau bagian teks BSu tersebut tidak begitu
penting bagi keseluruhan teks BSa dan biasanya agak sulit untuk
diterjemahkan. Jadi, mungkin penerjemah berpikir, daripada harus
menerjemahkan kata atau bagian teks BSu itu dengan konsekuensi
pembaca BSa agak bingung, maka lebih baik bagi penerjemah untuk
menghilangkan saja bagian itu karena perbedaan maknanya tidak
signifikan dan mungkin hanya membuat bingung pembaca sasaran.
Perhatikan contoh berikut:

BSu: "Sama dengan raden ayu ibunya," katanya lirih. (BBM: 11)
BSa: "Just like her mother," she whispered.

Strategi penambahan dan penghapusan informasi ini secara


bersama-sama oleh Chesteman (1997) disebut pengubahan informasi.
Semua informasi yang diubah tidak dapat disimpulkan dari konteks. Jika
informasi tersebut dapat disimpulkan dari konteks, strategi itu disebut
pengubahan kejelasan.

c. Pengubahan hubungan interpersonal


Strategi pragmatik ketiga adalah pengubahan hubungan
interpersonal. Pengubahan hubungan antara penulis dan pembaca ini bisa
dilakukan dengan mengubah tingkat formalitas, tingkat pelibatan
pembaca, pilihan istilah teknis, dll.
Contoh:

BSa: This article will discuss demicrazy in developed countries.


BSu: Kita akan membahas demokrasi di negraa-negara maju di dalam
tulisan ini.

Dalam contoh di atas, hubungan di penulis dan pembaca dalam teks BSu
terasa jauh atau impersonal. Dengan dipakainy akata “kita”, hubungan

74
itu menjadi lebih dekat di BSa.

d. Pengubahan ilokusi
Strategi pragmatik berikutnya adalah pengubahan ilokusi. Perubahan
ilokusi mengacu pada perubahan tindak tutur, misalnya dari pernyataan
menjadi permintaan.
Contoh:

BSa: It is too late. It’s not good for me to be here.


BSu: Malam telah larut. Bolehkah saya pulang?

Di dalam contoh di atas, penerjemah mengubah pernyataan di dalam BSu


menjadi permintaan izin di BSa.

e. Pengubahan susunan informasi


Strategi kelima adalah pengubahan susunan informasi. Strategi ini
disebut pengubahan koherensi oleh Chesterman (1997) dan oleh
Newmark digolongkan menjadi transpoisi. Jenis ini mencakup pemecahan
satu kalimat BSu menjadi dua kalimat BSa atau lebih dan juga sebaliknya
(Newmark, 1988). Di dalam bahasa Inggris, sebuah kalimat bisa terdiri atas
beberapa klausa dan maknanya masih tetap jelas. Di dalam bahasa
Indonesia, sebuah kalimat akan menjadi kabur kalau terdiri atas lebih dari
dua klausa. Perhatikan contoh berikut. Coba bandingkan BSa-1 dan BSa-2.

BSu:
Some species are very large indeed and the blue whale, which can exceed
30 m in length, is the largest animal to have lived on earth. Superficially,
the whale looks rather like a fish, but there are important differences in
its external structure: its tail consists of a pair of broad, flat, horizontal
paddles (the tail of a fish is vertical) and it has a single nostril on the top
of its large, broad head.

BSa:
Beberapa spesies sangatlah besar. Ikan paus biru, yang bisa mencapai
panjang lebih dari 30 meter, adalah binatang terbesar yang pernah hidup
di bumi. Sepintas ikan paus tampak mirip ikan biasa. Ekornya terdiri atas
sepasang "sirip" lebar, pipih, dan mendatar (sementara ekor ikan biasa
tegak). Ikan paus mempunyai satu lubang hidung di atas kepalanya yang
75
besar dan lebar.

Pada BSa kalimat-kalimat BSu-nya dipecah menjadi dua kalimat


BSa atau lebih. Hasilnya, BSa-2 bisa menyampaikan gagasan BSu dengan
lebih jelas.
Dalam kategori ini paragraf-paragraf bisa disusun ulang urutannya di
dalam BSa. Bisa juga satu paragraf yang panjang dipecah menjadi dua tau
lebih paragraf. Tapi isi kalimat pada dasarnya sama.

f. Penerjemahan parsial
Strategi pragmatik keenam adalah penerjemahan parsial atau tidak
menerjemahkan kata-kata atau kalimat yang ada sepenuhnya, tetapi
meringkasnya. Di sini isi informasi masih tetap sama.

g. Pengubahan visibilitas penerjemah


Strategi berikutnya adalah pengubahan visibilitas penerjemah.
Penerjemah dapat membuat dirinya lebih terlihat atau tersembunyi
dengan berbagai cara, misalnya dengan menambah catatan kaki,
menambah penjelasan di dalam kurung, dll. Dengan demikian pembaca
sasaran mengetahui bahwa penerjemah memasukkan hasil pemikiran
mandirinya ke dalam karya terjemahannya.

h. transediting
Strategi pragmatik kedelapan adalah transediting. Ini dilakukan
dengan cara menyunting telebih dahulu teks BSu kemudian baru
menerjemahkannya. Hal ini dilakukan karena mutu teks BSU sangat buruk.

h. Penyaduran
Strategi yang terakhir adalah adaptasi atau penyaduran. Dengan
strategi ini pesan bisa diubah untuk disesuaikan dengan pembaca sasaran.
Penerjemahan novel yang aslinya ditujukan kepada orang dewasa di BSu
menjadi novel untuk anak-anak di BSa adalah juga contoh strategi ini.
Penerjemahan jenis ini tentu melibatkan pengubahan pilihan kata,
kerumitan ekspresi, dll.
Jika kita perhatikan strategi-strategi pragmatik ini, semakin ke
belakang semakin sulit untuk dikatakan sebagai penerjemahan jika kita

76
mengacu pada definisi konvensional penerjemahan. hingga tercapai
derajat penerjemahan yang paling rendah yakni strategi penyaduran.

77
BAB V
PADANAN GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL

5.1 Padanan dan Penyesuaian Gramatikal


Pada bab sebelumnya telah dibahas dua jenis strategi
penerjemahan: strategi struktural dan strategi semantik. Pada dasarnya
strategi struktural dimaksudkan untuk mencapai padanan gramatika.
Sering kali penerjemah tidak bisa sekedar menerjemahkan kata-demi-kata
atau secara harfiah karena hasilnya mungkin kalimat terjemahan dengan
struktur yang aneh.
Sebagai pegangan teoritis, kita bisa meminjam asumsi analisis
kontrastif dalam bidang pengajaran bahasa asing. Bila struktur BSu dan
BSa sama, maka penerjemahan akan cenderung lebih mudah
menerjemahkan teks BSu tersebut ke dalam BSa secara struktural. Akan
tetapi bila BSu dan BSa berbeda dalam hal struktur atau gramatikanya,
maka penerjemah akan berpotensi untuk menghadapi kesulitan dalam hal
penyesuaian gramatika. Dari ilmu bahasa diketahui bahwa bahasa yang
serumpun mempunyai ciri-ciri gramatika yang hampir sama. Akan tetapi
bahasa yang berasal dari rumpun yang berbeda, misalnya bahasa
Indonesia dan Inggris, mempunyai ciri-ciri gramatika yang sangat berbeda.
Dengan demikian bisa diasumsikan bahwa secara gramatika,
penerjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau
sebaliknya akan mengalami masalah penyesuaian gramatika.
Di bawah ini disajikan beberapa perbedaan gramatika di antara
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang berpotensi menimbulkan
masalah bagi penerjemah. Semua perbedaan ini menuntut penyesuaian
gramatika. Secara teknis, penyesuaian gramatika ini berarti penerapan
stategi penerjemahan struktural, yaitu penambahan, pengurangan, dan
transposisi.

a. Kata sandang tentu dan tak tentu


Kata sandang tentu di dalam bahasa Inggris adalah the. Padanannya
di dalam bahasa Indonesia adalah -nya, itu, ini, tadi, dan tersebut. Kata
sandang tak tentu di dalam bahasa Inggris adalah a atau an. Sedangkan di
78
dalam bahasa Indonesia adalah sebuah, sebutir, seekor, sekuntum,
seorang, dll. Yang perlu diperhatikan adalah kata sandang ini tidak selalu
harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Demikian juga
sebaliknya. Sebuah kalimat bahasa Indonesia yang tidak mengandung kata
sandang bisa saja diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang
mengandung kata sandang jika tata bahasa Inggris menghendakinya.
Perhatikan contoh berikut:

BSu: The horse is grazing in the yard.


BSa: Kudanya sedang merumput di halaman. (Bukan: Kudanya
sedang merumput di halaman tersebut.)

BSu: My vehicle is a horse.


BSa: Kendaraanku adalah kuda. (Bukan: Kendaraanku adalah
seekor kuda.)

Mengapa the pada bagian pertama kalimat pertama diterjemahkan


dan dihilangkan pada bagian kedua dari kalimat BSa? Mengapa a pada
kalimat kedua dihilangkan dari kalimat BSa-nya?
Kata sandang tentu (the) harus diterjemahkan bila tanpa kata the
tersebut makna BSa menjadi kabur. Kata the lebih baik dihilangkan bila
kata benda yang diterangkan dengan the tersebut sudah jelas dari
konteksnya. Ambil contoh saja kalimat di atas. Kata tersebut yang diulang-
ulang akan membuat kalimat bahasa Indonesia menjadi tidak baik, seperti
hasil tulisan anak kecil. The yang pertama di dalam kalimat di atas harus
dipertahankan karena frasa "the horse" itu merujuk pada kuda tertentu,
bukan sembarang kuda. Karenanya the harus diterjemahkan. Sedangkan
the yang kedua dihilangkan karena tanpa kata sandang itu pun pembaca
sudah tahu bahwa halaman yang dimaksud adalah kebun yang ada di
dekat pembicara.
Pada contoh kedua, a tidak diterjemahkan. Mengapa? Perlu
diketahui bahwa kata sandang tak tentu adalah suatu keharusan di dalam
bahasa Inggris apabila benda yang dirujuk bisa dihitung (countable) dan
baru pertama kali disebut atau belum bisa diketahui dari konteksnya.
Tetapi bahasa Indonesia tidak mempunyai aturan seperti ini.

79
Di dalam bahasa Inggris sendiri, frasa benda yang dibentuk dengan
kata sandang tak tentu dan kata benda mempunyai dua makna. Frasa
benda itu mungkin mewakili benda yang betul-betul ada dan hanya satu
jumlahnya, atau mungkin juga untuk mewakili semua benda yang
bersangkutan di dunia ini (konsep umum) seperti dalam kalimat Horse is a
strong animal. Di dalam contoh di atas, the horse mewakili kuda secara
keseluruhan. Oleh karena itu padanan kata sandang the tidak perlu
dihadirkan di dalam bahasa Indonesia sehingga terjemahannya menjadi
Kuda (adalah) binatang yang kuat. Persoalannya lain lagi di dalam contoh
berikut.

BSu: She ate an apple on the way and she did not realize that it was
not hers.
BSa: Ia makan sebuah apel di perjalanan dan ia tidak sadar bahwa
apel itu bukan miliknya.

Di dalam contoh di atas a harus diterjemahkan untuk menekankan


bahwa ia memang makan satu apel, tidak dua atau tiga.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh yang lebih panjang berikut
ini.

BSu: It was an old table she had bought at a junk sale for two dollars
and painted pink. There were some cosmetic jars on it and a
silver-backed brush she had gotten as a present on her
eighteenth birthday and three small bottles of perfumes and
a manicure set all neatly laid out on a clean towel. (Rich Man
Poor Man, 1979:22)

BSa: Meja tersebut adalah sebuah meja tua yang dibelinya di pasar
loak seharga dua dolar dan bercat merah muda. Di atasnya
ada beberapa botol kosmetik, sebuah sisir berpunggung
perak yang didapatnya sebagai hadiah ulang tahunnya yang
kedelapan belas, tiga botol kecil parfum dan seperangkat
manikur semuanya terjajar rapi pada selembar handuk
bersih.

80
b. Bentuk jamak
Bentuk jamak di dalam bahasa Inggris tidak selalu harus
diterjemahkan menjadi bentuk jamak yang berupa kata ulang di dalam
bahasa Indonesia. Bahasa Inggris memang mengenal nominal concord
atau agreement. Aturan ini mengharuskan bahwa kata benda harus dibuat
dalam bentuk jamak apabila ada bilangan atau kata lain yang menyatakan
jamak menyertainya. Sedangkan di dalam bahasa Indonesia, bilangan atau
kata yang menunjukkan jamak justru tidak boleh diikuti kata yang berarti
jamak. Perhatikan contoh berikut.

two books = dua buku (bukan: dua buku-buku)


some books = beberapa buku (bukan beberapa buku-buku)
few people = beberapa orang (bukan: beberapa orang-orang)

Perhatikan juga contoh berikut ini.


BSu: The book is about the two most important questions of life.
“Where am I going and who will go with me?” All of us must
answer these questions sometime during our lives, and the
order in which we answer them is as important as the
answers themselves. (The Ten Laws of Lasting Love, 1993: 36)

BSa: Buku ini tentang dua pertanyaan paling penting tentang hidup.
“Ke mana aku akan pergi, dan siapa yang akan pergi
denganku?” Kita semua harus menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut suatu saat dalam hidup kita, dan urutan
kita menjawabnya sama pentingnya dengan pertanyaan-
pertanyaan itu sendiri.

c. Kata ganti
Di dalam bahasa Inggris ada kata ganti she, her, hers, he, him, his,
it, its, they, them their, theirs, we, our, dan ours. Di dalam bahasa Indonesia
kata gantinya tidak serumit itu, terutama mengenai jenis kelamin. She
sebenarnya berarti ia dengan jenis kelamin perempuan dan he bermakna
ia dengan jenis kelamin laki-laki. They adalah mereka untuk manusia
maupun benda. Sedangkan it adalah ia untuk benda. Yang perlu
diperhatikan adalah she dan her tidak harus diterjemahkan dengan ia
81
perempuan dan nya perempuan serta he dan him tidak perlu
diterjemahkan dengan ia laki-laki dan -nya laki-laki. Hal ini tidak lazim di
dalam bahasa Indonesia. Biasanya konteks membantu pembaca
mengidentifikasi jenis kelaminnya. Oleh karena itu, her, hers pun tidak
perlu diterjemahkan dengan miliknya perempuan, dan his tidak perlu
diterjemahkan dengan miliknya laki-laki.
Selain itu, di dalam bahasa Indonesia kata benda tidak lazim
diganti dengan "ia" atau "mereka". Kata benda bisa diulang-ulang saja.
Perhatikan contoh berikut.”
BSu: In the darkness, the big old house looks so frightening. It stands
with no neighbors, alone in the middle of the forest. Its
windows locked all time, nobody knows what’s behind them.

BSa: Dalam kegelapan, rumah tua yang besar itu nampak sangat
menakutkan. Rumah tersebut terpencil tanpa tetangga,
sendirian di tengah hutan itu. Jendela-jendelanya terkunci
sepanjang waktu, tanpa seorang pun tahu ada apa di balik
(jendela-jendela) itu.

d. Frasa benda
Di dalam bahasa Inggris, frasa benda biasanya terdiri atas
konstruksi "kata sandang + kata sifat + kata benda". Di dalam bahasa
Indonesia biasanya frasa benda terdiri atas "(kata sandang) + kata benda
+ kata sifat". Perhatikan contoh berikut.
a patient man = (seorang) lelaki yang sabar
an intelligent young girl = (seorang) gadis muda yang cerdas
a tall water tower = (sebuah) menara air yang tinggi
a long winding road = (sebuah) jalan yang panjang dan berliku
atau jalan panjang yang berliku

Dari contoh di atas, frasa benda di dalam bahasa Indonesia tidak


pernah didahului kata sifat. Sementara itu, di dalam bahasa Inggris kata
sifat tidak harus berada di depan kata benda seperti rumus di atas. Ada
juga konstruksi yang mengandung kata sifat atau kata keterangan yang
berada di belakang kata benda. Perhatikan contoh berikut.
something interesting = sesuatu yang menarik.

82
a girl in red = (seorang) gadis berpakaian merah.
paintings to admire = lukisan untuk dikagumi
rooms available = kamar yang tersedia
a beautiful intelligent young girl in red = (seorang) gadis cantik,
cerdas, muda, (dan) berpakaian merah

e. Kata benda verba (gerund)


Kata benda verba (gerund) di dalam bahasa Inggris adalah bentuk
"verb1 + ing" yang diperlakukan seperti kata benda. Oleh karenanya kata
benda verba ini bisa menduduki posisi subjek, objek kalimat, maupun
objek preposisi. Karena di dalam bahasa Indonesia tidak dikenal konstruksi
sejenis kata benda verba, maka ada dua kemungkinan penerjemahannya,
yaitu dengan kata kerja atau kata benda turunan dari kata kerja tersebut.
Perlu diingat bahwa kata kerja bisa berfungsi menjadi subjek atau objek
kalimat bahasa Indonesia. Perhatikan contoh berikut.

BSu: You will study the history of whaling and the present critical
situation of this magnificent animal.
BSa: Anda akan mempelajari sejarah penangkapan ikan paus dan
situasi kritis saat ini dari binatang yang hebat tersebut.

BSu: Whaling has been done by man for centuries and, in places,
provides a main source of food.
BSa: Penangkapan ikan paus telah dilakukan manusia selama
berabad-abad, dan di beberapa tempat, menjadi sumber
pangan utama.

BSu: Fishermen cast nets in the whale area in order to catch the
fish. In the process of drawing in the nets, a good many get
caught under water and, on being hauled into the boats
with the fish, are found to have died from drowning.
BSa: Para nelayan memasang jaring di area ikan paus untuk
menangkap ikan tersebut. Dalam proses penarikan jaring,
banyak ikan paus yang tertangkap di bawah air dan ketika
diangkat ke kapal ikan-ikan itu didapati telah mati karena
tenggelam.

83
Di dalam terjemahan terakhir frasa with the fish tidak perlu
diterjemahkan karena telah dapat diketahui maknanya dari bagian kalimat
berikutnya ikan-ikan itu.

f. Participle
Di dalam bahasa Inggris ada konstruksi yang disebut present
participle dan past participle. Present participle bentuknya sama dengan
"verb1 + ing" dan past participle adalah bentuk "verb3" dari kata kerja.
Bentuk ini bisa digunakan untuk membentuk frasa benda dan mempunyai
karakteristik kata sifat. Kedua jenis ini biasanya diterjemahkan dengan
kata benda dari bentuk participle tersebut. Yang perlu disadari adalah
present participle membawa serta sifat aktif dan past participle sepertinya
membawa sifat pasif. Jadi ada perbedaan antara "stealing robot" dan
"stolen robot" di dalam kalimat-kalimat berikut.
BSu: Is it the stealing robot? (BSa: Inikah robot pencuri itu?)
BSu: Is it the stolen robot? (BSa: Inikah robot curian itu?)

Perhatikan contoh-contoh berikut:


BSu: While swimming whales take in air and dive vertically,
sometimes to great depths. They then surface and expel air
from their lungs, which is audible from some distance and can
be seen largely because of the concentration of condensing
water vapour in the expelled gases.

BSa: Pada saat berenang ikan-ikan paus menghirup udara dan


menyelam dengan tegak lurus, kadang-kadang sampai ke
kedalaman yang luar biasa. Kemudian ikan-ikan itu akan
muncul ke permukaan dan menghembuskan udara dari paru-
paru mereka, yang bisa didengar dari kejauhan dan bisa
dilihat terutama karena konsentrasi uap air yang
mengembun dalam gas yang dihembuskannya.

g. Konsep kala (Tenses)


Bahasa Inggris mengenal adanya tense atau konsep kala. Bentuk
kata kerja berubah-ubah sesuai dengan waktu dilakukannya kerja
tersebut. Jadi "berjalan" atau walked bentuknya bisa walked, walks, walk,
84
will walk, have walked, had walked, dan walking. Sedangkan di dalam
bahasa Indonesia cukup "berjalan" saja. Konteksnya membantu para
pembaca untuk memahami waktu terjadinya peristiwa. Memang kata
sudah dan telah bisa membantu menjelaskan bahwa kejadian itu
berlangsung pada masa lampau. Tetapi bila konteksnya sudah cukup
menjelaskan, kata-kata macam ini pun tidak diperlukan lagi. Demikian juga
dengan kata "nanti" untuk menunjukkan kala akan datang. Mungkin kata
"sedang" yang sangat berguna. Perhatikan contoh-contoh berikut:

BSu: He is writing a very long letter. Don't disturb him. He will be


here soon. I know it for sure that he has visited his wife last
month. He also talked about her yesterday in the cafe. I could
see from his eyes that he always said he would always love
her. You know, new couple!

Jika kita memikirkan kaitan antara bentuk kata terkait kala (tense)
yang ada di dalam contoh teks BSu di atas, kita mungkin sedikit ragu-ragu.
Tetapi kalau kita mencoba memikirkan maknanya, atau mungkin
membayangkan kejadiannya, di dalam bahasa Indonesia, teks di atas bisa
diterjemahkan dengan mudah menjadi sebagai berikut:

BSa: Ia sedang menulis surat yang sangat panjang. Jangan ganggu


dia. Ia akan ke sini segera. Aku tahu dengan pasti bahwa ia
telah mengunjungi istrinya bulan lalu. Ia juga berbicara
tentang istrinya di cafe kemarin. Aku bisa melihat dari
matanya bahwa ia selalu berkata bahwa ia akan selalu
mencintainya. Maklum, pengantin baru!

Perhatikan juga contoh berikut ini.

BSu: Nowadays, more and more people realize that the world is
moving into critical period and whether we survive depend
on how we deal with the crisis. One of the biggest issues is
the world's food supply in relation to its growing population.
As far as we can estimate, world population was almost stable
at something under ten million for about a million years. The
increase began with the development of agriculture eight to
85
ten thousand years ago. After about seventeen hundred,
when industrialization began, the population started to grow
at about two per cent a year. Today there are about four
thousand million people and, if there are no major disasters,
there'll be six thousand million in the year two thousand. A
hundred years after that, there would be, in theory, be
anything up to sixteen thousand million. Even today there
isn't enough food for everyone and, unless major changes
occur, the situation is going to deteriorate rapidly.

BSa: Dewasa ini semakin banyak orang yang menyadari bahwa


dunia ini bergerak ke arah masa kritis dan apakah kita akan
bertahan hidup tergantung pada bagaimana kita menghadapi
krisis tersebut. Salah satu masalah terbesarnya adalah
persediaan pangan dunia dalam kaitannya dengan
pertumbuhan jumlah penduduk. Sejauh yang bisa kita
perkirakan, penduduk dunia hampir stabil pada kisaran
kurang dari 10 juta selama sekitar satu juta tahun.
Peningkatannya diawali dengan perkembangan pertanian
delapan sampai sepuluh ribu tahun yang lalu. Setelah tahun
1700-an, ketika industrialisasi dimulai, penduduk bertambah
sekitar dua persen setiap tahunnya. Saat ini ada sekitar empat
miliar jiwa penduduk dunia dan, jika tidak ada bencana-
bencana besar, jumlah itu akan mencapai enam miliar pada
tahun 2000. Seratus tahun kemudian, secara teori, jumlah
tersebut akan menjadi 16 miliar. Bahkan sekarang pun tidak
ada pangan yang mencukupi bagi setiap orang dan, kecuali
jika terjadi perubahan-perubahan besar, situasinya akan
dengan cepat menjadi kian memburuk.

h. Question tag
Di dalam bahasa Inggris sebuah pertanyaan jenis tertentu, yakni
yang mempunyai tempelan di belakang klausa utama, berguna untuk
menguji keyakinan atau pendapat pembicara. Kalimat ini disebut question

86
tag. Di dalam bahasa Indonesia pun ada juga jenis kalimat ini. Hanya saja
bentuk imbuhan di akhir kalimat itu berbeda. Perhatikan contoh berikut.

BSu: You are not serious, are you?


BSa: Anda tidak sungguh-sungguh, bukan?

BSu: You didn't keep your promise, did you?


BSa: Kau tak penuhi janjimu, kan?

BSu: She really means it, doesn't she?


BSa: Ia sengaja, kan?

Di dalam contoh di atas bisa dilihat bahwa semua jenis tag bisa
diterjemahkan menjadi bukan atau bila disingkat kan.

i. Kalimat pengandaian (conditional sentences)


Di dalam bahasa Inggris ada tiga jenis kalimat pengandaian. Jenis
pertama mengindikasikan adanya kemungkinan sesuatu terjadi apabila
persyaratannya dipenuhi. Biasanya kalimat ini menggunakan bentuk kala
kini (simple present) dan kala akan datang (future). Penerjemahannya
mudah saja. Gunakan kata jika untuk memulai klausa persyaratan dan kata
akan untuk memulai klausa utamanya. Yang sedikit memerlukan perhatian
lebih adalah kalimat pengandaian jenis kedua dan ketiga. Bentuk kala
(tenses) kalimat pengandaian jenis kedua adalah kombinasi simple past
dan past future tense. Kalimat ini mengindikasikan sesuatu yang
kemungkinan besar tidak akan terjadi karena potensi atau kekuatan untuk
itu tidak ada. Sedangkan jenis ketiga adalah pengandaian untuk sesuatu
yang telah terjadi di masa lampau dan bentuk kalanya menggunakan
gabungan antara past perfect tense dan past future perfect tense. Untuk
menerjemahkan ini, Rachmadie dkk. (19..: 2.18) merumuskan sebagai
berikut.
Bahasa Inggris Bahasa Indonesia
I. If ... V1, ... will V1. Jika ... V, ... akan V.
II. If ... V2, ... would V1. Jika saja ... V, ... akan V.
III. If ... had V3, ... would have V3. Seandainya ... V, ... akan V.

87
Perhatikan contoh berikut.
BSu: If you come to the party, you will meet him personally.
BSa: Jika kamu datang ke pesta itu, kamu akan bertemu
dengannya secara pribadi.

BSu: If you came to the party, you would meet him personally.
BSa: Jika saja kamu datang ke pesta itu, kamu akan bertemu
dengannya secara pribadi. (Catanan: Ini artinya ada kondisi
lain yang menyebabkan "kamu" untuk tidak datang.)

BSu: If you had come to the party, you would have met him
personally.
BSa: Seandainya kamu datang ke pesta itu, kamu tentu bertemu
dengannya secara pribadi. (Catatan: Ini artinya "kamu"
memang tidak datang ke pesta yang dimaksud.)

Pada tahap penerjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa


Indonesia ini kelihatannya bisa dilakukan dengan mudah dengan
mempertimbangkan rumus di atas. Masalah yang sedikit lebih sukar
mungkin pada saat menerjemahkan kalimat kondisional dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Untuk itu penerjemah harus
memperhatikan betul-betul situasi atau konteks yang menyertai kalimat
tersebut. Perhatikan contoh berikut:

BSu: Karyo memang keras kepala. Berkali-kali adiknya


menyuratinya agar dia pulang saja ke desa. Tapi dia ngotot
ingin bertahan di Jakarta, meneruskan usaha ilegal itu.
Semakin hari, bukannya semakin utung, justru dia kian dililit
utang. Bahkan sekarang polisi menjebloskannya ke penjara.
Andai saja dulu ia mau sedikit saja mendengar nasihat
adiknya, tentunya akan lain nasibnya.
BSa: Karyo was really stubborn. His sister had many times written
him letters to ask him return to his home-village. But he
insisted to stay in Jakarta, and continued his black business.
As days went by, instead of reaping much benefit, he was
piled up by debts. Even today the police took him into the
88
jail. His fate would have been different, if only he had heard
his sister’s advice for a little.

Sejenis dengan kalimat pengandaian ini adalah kalimat bahasa


Inggris yang menggunakan verba "wish" atau kalimat "subjunctive". Pada
dasarnya ini adalah kalimat pengandaian juga, yaitu kalimat pengandaian
jenis II dan III. Perhatikan contoh berikut.

BSu: I wish I were with you now.


BSa: Seandainya saja aku bersamamu sekarang.

BSu: I wished you had been with me that time.


BSa: Aku berharap kau bersamaku saat itu. (Tapi sayang, kamu
tidak ada di sampingku.)

j. Kalimat elipsis
Kalimat elipsis adalah suatu kalimat yang salah satu komponennya
dihilangkan. Untuk melacak kembali elemen yang dihilangkan ini pembaca
karus merujuk pada kalimat sebelumnya. Di dalam struktur bahasa Inggris,
kata kerja, kata benda, atau kata lainnya bisa dihilangkan di dalam kalimat
yang mengandung kesejajaran struktur (paralelisme). Di dalam bahasa
Indonesia kadang-kadang elemen yang bisa dihilangkan di dalam bahasa
Inggris bisa dihilangkan. Kadang juga tidak. Perhatikan contoh berikut.

BSu: Bill brought some meat to the camping ground and Tony
some sugar.
BSa: Bill membawa sedikit daing ke perkemahan itu dan Tony
membawa sedikit gula.

BSu: Most of the students looked sleepy, but the teacher wasn't.
BSa: Kebanyakan murid tampak mengantuk, tetapi gurunya tidak.

BSu: Few of the students were not satisfied, and neither was the
teacher.
BSa: Beberapa murid tidak puas, dan tidak juga gurunya.

BSu: Few of the students were disappointed. The teacher was too.
BSa: Beberapa murid kecewa. Gurunya juga.
89
k. Kata ganti It di awal kalimat
Bahasa Inggris mempunyai struktur kalimat sebagai berikut:
It + to + be + ....... + infinitive phrase.
It + to + be + ....... + that-clause atau relative clause.
Penerjemah perlu berhati-hati karena kata it itu tidak selalu
berarti ini, itu, hal itu, hal ini atau sejenisnya. Kata it di sini berfungsi
sebagai subjek tetapi artinya tidak ada. Gunanya untuk menekankan
penuturan atau bagian kalimat yang berada di posisi titik-titik di dalam
kalimat di atas. Ada bermacam-macam cara memberi tekanan di dalam
bahasa Indonesia. Perhatikan contoh-contoh berikut.

BSu: It is frightening to realise that nuclear plant could be a total


catastrope for the environment.
BSa: Sungguh mengerikanlah menyadari bahwa pembangkit
tenaga listrik dapat menjadi bencana bagi lingkungan.

BSu: It is to him that Marry owes very much.


BSa: Kepadanyalah Marry banyak berhutang budi.

Konstruksi yang memakai it lainnya yang juga harus diwaspadai


bisa ditemukan di dalam contoh berikut.

BSu: I find it more difficult to talk to my wife than to my boss.


BSa: Bagi saya berbicara kepada istri saya lebih sukar daripada
kepada atasan saya.

BSu: You have to keep it in mind that every citizen has right to
control his country.
BSa: Anda harus mencamkan bahwa setiap warga negara
mempunyai hak mengatur negara ini.

5.2 Padanan dan Penyesuaian Leksikal


Penerjemahan tidak sekedar mengganti kata-kata BSu dengan
kata-kata BSa. Sering kali penerjemah dihadapkan pada suatu pilihan yang
tidak gampang. Sebuah kata di dalam BSu mungkin mempunyai banyak

90
padanan di dalam BSa. Untuk itu penerjemah harus pandai-pandai
mempertimbangkan kata dengan padanan yang paling tepat sebelum ia
menjatuhkan pilihan.
Penerjemah harus memperhatikan konteks jika ia ingin
mendapatkan padanan yang sesuai. Bahkan, ia sering kali harus pula
melakukan penyesuaian leksikal, tidak sekedar mengambil padanan
harfiah dari suatu kata BSu.
Penerjemah secara khusus harus memperhatikan masalah
padanan leksikal ini terutama kalau ia menemui fenomena berikut:

a. Satu kata BSu mempunyai banyak padanan di BSa.


Sebagai contoh kata BSu yang memiliki banyak padanan, perhatikan
kalimat berikut.

BSu: They surely needed rice.

Di dalam bahasa Indonesia kata rice mempunyai banyak padanan. Kata


tersebut bisa padi, gabah, beras, atau nasi. Untuk menerjemahkan kalimat
di atas, maka penerjemah harus melihat konteks yang lebih besar.
Seandainya ada kalimat lainnya, maka ia tidak akan menemui kesulitan.
Perhatikan contoh berikut.

BSu: They all looked tired and pale. They surely needed rice.
BSa: Mereka semua kelihatan letih dan pucat. Mereka tentunya
membutuhkan nasi.

Kata-kata bahasa Indonesia di atas adalah kata-kata yang terkait


budaya. Orang Indonesia sangat berkepentingan terhadap padi sebagai
makanan pokoknya, sehingga mereka menciptakan banyak sekali kosa
kata yang berhubungan dengan itu. Sedangkan budaya Inggris yang tidak
memerlukan "padi" tidak pernah berpikir tentang padi secara rinci. Kosa
katanya tentang "padi" pun sederhana dan dalam jumlah sedikit saja.
Dengan kata lain, kosa kata bahasa Indonesia tentang "padi" lebih rinci
daripada kosakata bahasa Inggrisnya.
Kesulitan penerjemahan mungkin hadir jika penerjemah
mengerjakan penerjemahan dari kosakata yang lebih umum menjadi kosa
kata yang lebih rinci.

91
Larson (1984: 89) menyebut fenomena ini dengan istilah
mismatching of reference atau ketidaksamaan acuan. Acuan adalah
benda, kejadian atau karakteristik yang dirujuk oleh suatu kata. Jadi selalu
ada kemungkinan bahwa suatu benda atau kejadian ada di dalam budaya
atau masyarakat tertentu tetap tidak ada di dalam masyarakat lainnya.
Meskipun benda, kejadian, atau karakteristik yang sama ada juga di dalam
dua budaya yang berbeda, tetapi sistem acuannya tidak mesti sama persis,
karena menurut teori medan makna di dalam kajian semantik, tiap-tiap
bahasa akan membagi wilayah makna dengan cara yang tidak sama.
Perhatikan contoh berikut:

Bahasa Indonesia Bahasa Inggris


Tidur lie, sleep
Terlentang lie (facing up)/lie on one's back
Tengkurap lie (facing down)/lie on one's belly
Membawa carry
Menjinjing carry
Menggendong carry (on the back)
Memanggul carry (on the shoulder)
Memikul carry (on the shoulder using a pole)

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa makna


"memindahkan benda dari satu tempat ke tempat yang lain dengan
tenaga manusia" sepenuhnya diberikan kepada kata "carry" di dalam
bahasa Inggris. Tetapi, di dalam bahasa Indonesia makna itu dibagikan
kepada kata "menjinjing, menggendong, memanggul, dan memikul." Di
dalam kasus itu, penerjemah mungkin saja menemui kesulitan di dalam
menerjemahkan kata tersebut dari bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia. Jika sebaliknya, kesulitan itu kemungkinan besar tidak ada.
Sangat mirip dengan hal di atas, Larson (1984: 92) juga menyebut
"mismatching of semantic sets" atau ketidakcocokan perangkat semantik.
Setiap kata pasti berhubungan secara semantis dengan kata-kata yang
lain. Kata-kata yang saling berhubungan mengenai suatu topik tertentu ini
disebut perangkat semantik. Perangkat semantik mungkin saja berbeda
untuk tiap-tiap budaya. Di dalam bahasa Inggris, breakfast atau sarapan
berkaitan dengan kata "milk, orange juice, egg, roll," dan "bread".
Sementara itu di dalam budaya Indonesia secara umum, kata "sarapan"
92
terkait dengan kata "teh, kopi, nasi." Jadi memang mudah
menerjemahkan "breakfast" menjadi "sarapan". Tetapi perlu diingat
bahwa pembaca mungkin membayangkan hal yang berbeda dengan yang
dimaui oleh penulis asli di BSu-nya.
Fenomena yang ada diantara "breakfast" dan "sarapan" ini juga
merupakan contoh ketidakcocokan budaya yang tercermin di dalam kosa
kata. Larson (1984: 95) juga mengutip contoh antara kata "house", "oikos"
(bahasa Yunani) dan "numuno" (bahasa Papua Nugini). Untuk lebih
jelasnya perhatikan gambar berikut adaptasi gambar tersebut di bawah
ini.

rumah (Ind.) oikos (Yunani) numuno (Papua Nugini)

Gambar 5.1 Bentuk rumah khas Indonesia, Yunani, dan Papaua Nugini

Suatu kalimat bahasa Yunani yang mengatakan "Peter went up to


the housetop to pray" bila diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa
Indonesia, tentunya menggelitik untuk dibahas bila benar-benar
diterjemahkan begitu. Pertanyaan yang cukup menarik adalah, "Tidakkah
aneh Peter naik ke atas atap rumah untuk berdoa?" Lebih aneh lagi adalah
"Peter naik ke atas numuno untuk berdoa". Peter mungkin harus ekstra
hati-hati di Indonesia dan mungkin harus siap jatuh di Papua Nugini.
Pembahasan di atas membimbing kita pada suatu kesimpulan
bahwa sebuah kata sering kali tidak merujuk ke acuan yang sama persis
dengan acuan yang dirujuk oleh padanannya di dalam BSa. Karena tugas
penerjemah adalah untuk mencarikan padanan yang setepat mungkin,
maka ia harus pandai-pandai mengukur dan memilih kata yang sekiranya
bisa menyampaikan makna dengan benar di dalam BSa.

b. Polisemi dan homonimi


Polisemi adalah satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna.
Contoh berikut adalah polisemi di dalam bahasa Inggris tetapi
93
terjemahannya bukan polisemi sama sekali.
Kata "fresh" di dalam frasa "fresh air" dan "fresh water" adalah
polisemi. Kata "fresh" di dalam "fresh air" artinya "segar". Sedang "fresh"
pada "fresh water" artinya tawar. Bahkan di dalam frasa bahasa pergaulan
(slang) "fresh boy", "fresh" ini artinya "kurang ajar". Fenomena ini bisa
digambarkan sebagai berikut.

Fresh segar
tawar
kurang ajar

Homonim adalah dua kata atau lebih yang mempunyai wujud yang
sama. Contohnya adalah kata "can" di dalam kalimat berikut.

BSu: How can you can a can into a can?


BSa: Bagaimana kamu bisa memasukan kaleng ke dalam kaleng?

Di dalam kalimat itu sebetulnya ada dua macam kata "can". Yang
pertama berarti "bisa" dan yang kedua berarti "mengalengkan" (sebagai
kata kerja) dan "kaleng" (sebagai kata benda). Di dalam bahasa Indonesia
dapat dicontohkan kata-kata berikut.

bisa - can
bisa - poison

Kata-kata tersebut bisa ditemui di dalam kalimat "Bagaimana bisa


dia kena bisa itu?"
Contoh yang lain adalah kata-kata:

madu - honey
madu - second wife of one's husband

Kata-kata ini bisa dilihat di dalam kalimat "Semua orang suka


madu, tetapi semua wanita tidak suka dimadu."
Pembahasan di atas adalah selintas gambaran masalah padanan
leksikal. Di samping harus memilih padanan yang sudah tersedia,
penerjemah sering kali juga harus menyesuaikan padan kata yang telah
ada. Hal-hal ini dibahas lebih rinci pada Bab VI berikut ini.
94
BAB VI
KATA DAN PENERJEMAHAN

Bahan mentah seorang penerjemah adalah kata. Ia berusaha


mengerti makna kata BSu dan kemudian mengungkapkan makna itu
kembali dalam kata BSa. Memang benar bahwa makna bisa diungkapkan
dengan struktur kalimat. Tetapi kata lebih pekat kandungan maknanya
daripada struktur kalimatnya. Terjadinya bahasa pidgin adalah bukti
bahwa sebagian besar makna terkandung di dalam kata.
Menurut Larson (1984: 6), bahasa, atau lebih tepatnya kosakata,
mempunyai ciri-ciri khusus yang sangat mempengaruhi penerjemahan.
Pertama, komponen makna selalu dikemas di dalam butir-butir leksikal
(kata), tetapi cara pengemasan ini berbeda-beda dari satu bahasa ke
bahasa yang lain.
Ciri kedua, komponen makna yang sama bisa muncul di beberapa
butir kata yang berbeda. Di dalam bahasa Inggris ada kata sheep. Di
samping itu ada juga kata lamb, ram, dan ewe. Ketiga kata terakhir ini juga
mengandung komponen sheep, yakni sejenis kambing tetapi berbulu putih
dan bulunya ini bisa untuk membuat bahan pakaian. (Di dalam bahasa
Indonesia, komponen makna ini dikemas di dalam kata "domba".)
Meskipun begitu, ketiga kata terakhir itu juga mengandung komponen
makna tambahan. Komponen makna tambahan inilah yang berbeda.
Komponen makna muda dimiliki oleh lamb, dewasa dan jantan oleh ram,
dan dewasa serta betina oleh ewe. Di dalam bahasa Indonesia tidak ada
padanan kata lamb, ram, dan ewe ini. Komponen 'muda', 'betina', dan
'jantan' atau 'dewasa' ditambahkan begitu saja. Jadi lamb adalah domba
muda, ram domba jantan, dan ewe domba betina. Sebaliknya kata padi,
gabah, beras, nasi, dalam Bahasa Indonesia hanya memiliki padanan rice
dalam Bahasa Inggris, padahal kata padi mengandung komponen umum
dan/atau hasil produksi, dan/atau tanamannya. Kata gabah mengandung
makna butir tanpa tangkai; sedangkan kata beras mengandung makna
jenis, dan/atau makna bahan yang siap dimasak. Kata nasi mengandung
makna sudah dimasak, seperti nasi liwet, nasi uduk, nasi kebuli, dan
95
seterusnya.
Ketiga, satu wujud kata bisa digunakan untuk mewakili beberapa
makna. Di dalam bahasa Inggris ada kata run, yang makna sentralnya
adalah berlari. Tetapi wujud kata ini bisa juga digunakan untuk mewakili
beberapa makna yang lain. Perhatikan beberapa penggunaan kata run
berikut ini:
- The river runs slowly. (Sungai itu mengalir pelahan.)
- His nose runs badly. (Hidungnya ngocor.)/Dia pilek.
- He runs his business very well. (Ia menjalankan bisnisnya dengan
sangat baik.)

Di dalam kalimat pertama, run membawa makna "mengalir" dan


pada kalimat kedua membawa makna "berair" atau "ngocor" atau "pilek".
Sedangkan dalam kalimat ketiga kata tersebut membawa makna
"menjalankan".
Ciri keempat adalah kebalikan dari ciri ketiga ini. Sebuah makna
bisa diungkapkan dengan beberapa butir kata. Makna "tidak jelek" bisa
diungkapkan dengan kata "bagus", "baik", "tampan", "rapi", "cantik", dll.
Keempat karakteristik bahasa di atas membuat penerjemahan
sebagai suatu kegiatan yang rumit. Di dalam bagian berikut ini akan
dibahas beberapa masalah yang berkaitan dengan kosakata yang mungkin
bisa mempengaruhi keberhasilan penerjemahan.

6.1 Imbuhan
Dalam banyak kasus, suatu kata BSu tidak bisa begitu saja
diterjemahkan apa adanya. Beberapa penyesuaian diperlukan.
Pembicaraan mengenai hal ini dimulai dengan sistem imbuhan.
Di dalam bahasa Inggris terdapat banyak sekali imbuhan, baik
yang berakar dari bahasa Latin maupun imbuhan asli bahasa Inggris yang
digunakan untuk mengubah jenis kata (derivational affixes) maupun
sekedar mengubah bentuk kata tanpa perubahan makna (inflectional
affixes). Demikian juga, bahasa Indonesia juga mempunyai banyak
imbuhan, baik yang asli Indonesia, seperti "ber-, me-, pe-, per-, di-, ke-,
ter-, se-", dan lain-lain, ada juga imbuhan yang berasal dari bahasa
Sansekerta, seperti "nir-, tan,- pasca-, swa-," dan lain-lain, serta yang dari
bahasa Latin, seperti "pra-, anti-, oto-," dan lain-lain. Di dalam bahasa
96
Inggris kita kenal beberapa imbuhan serta fungsinya sebagai berikut.
1. Awalan
a. berarti tidak, atau lawan kata yang diberi awalan
awalan contoh Inggris padanan Indonesia
non- nonsense, tidak masuk akal,
nontoxic tidak mengandung racun
dis- displace, salah menempatkan,
dissatisfy tidak memuaskan
mis- misprint, salah cetak,
miscommunication salah komunikasi
im- impolite tidak sopan
in- insoluble, tidak teruraikan,
incapable tidak mampu
il- illogical tidak logis
ir- irrational tidak rasional
un- unavoidable tak terelakkan
b. berarti satu
mono- monorail rel tunggal
c. berarti dua
bi- bicycle sepeda (dua roda)
bilingual dwibahasa
d. berarti tiga
tri- tricycle sepeda roda tiga
triangle segitiga
e. berarti lagi/kembali
re- relocation penempatan kembali
relokasi
rejoin menghubungkan kembali
bergabung lagi
f. berarti berubah atau berpindah
trans- transport angkutan
transform berubah bentuk
g. berarti bekas atau keluaran
ex- ex-wife mantan istri
ex-works keluar pabrik (di luar
pabrik)
97
2. Akhiran
a. untuk membuat kata benda
awalan contoh Inggris padanan Indonesia
-er, -or researcher peneliti
supervisor penyelia
-ist economist ahli ekonomi
-ance,-ence endurance daya tahan
-ment government pemerintahan
-ness hardness kekerasan
-ity activity kegiatan
-ion connection hubungan
-ing meeting pertemuan

b. untuk membuat kata sifat


awalan contoh Inggris padanan Indonesia
-able,-ible edible bisa dimakan
-less wingless tak bersayap
-ly,-y lively semarak
sunny penuh cahaya matahari,
cerah
-ive destructive merusak
-ant,-ent resistant tahan
permanent permanen
-ing interesting menarik
-ed interested tertarik
purified termurnikan

c. untuk membuat kata kerja


awalan contoh Inggris padanan Indonesia
-en harden memperkeras
-fy,-ify liquify mencairkan
-ate compensate mengompensasi
-ise,-ize sterilise mensterilkan
Pengetahuan tentang beberapa imbuhan ini memang sangat
berguna bagi penerjemah untuk memahami arti kata. Tetapi
penerjemahan langsung dari kata tersebut kadang-kadang tidak berterima
98
di dalam BSa. Untuk itu perlu diadakan penyesuaian dengan cara
mengganti imbuhan dengan kata lain atau bahkan mengganti keseluruhan
kata dengan kata yang sama sekali baru. Perhatikan beberapa contoh di
atas, misalnya kata: bicycle (bukan roda dua, tetapi sepeda), tricycle
(bukan roda tiga, tetapi becak atau sepeda roda tiga), triangle (bukan
sudut tiga tetapi segitiga), dan transport (bukan berpindah pelabuhan
melainkan transportasi atau angkutan).
Selain itu, imbuhan bahasa Inggris kadang tidak mempunyai
padanan imbuhan Bahasa Indonesia, sehingga imbuhan itu diterjemahkan
dengan satu kata penuh. Perhatikan kebanyakan contoh di atas. Imbuhan
yang mempunyai padanan imbuhan hanyalah awalan bi- bila
diterjemahkan menjadi "dwi-", seperti dalam "dwibahasa", serta
beberapa akhiran, terutama akhiran untuk membuat kata kerja.

6.2 Modifikasi Kata


Sangat erat hubungannya dengan masalah imbuhan di atas adalah
masalah penerjemahan suatu kata sebagai hasil modifikasi kata yang lain
dengan menggunaan imbuhan. Pemahaman tentang makna tiap-tiap
imbuhan saja belum cukup memadai bagi seorang penerjemah karena
makna yang terkandung di dalam imbuhan BSu mungkin saja diungkapkan
tidak dalam imbuhan di dalam BSa.
Di dalam suatu teks mungkin ada beberapa kata yang dimodifikasi
menjadi kata baru dengan kelas kata yang berbeda dari kata asalnya.
Dalam hal ini kata bahasa Inggris terkenal keluwesannya dalam
pemodifikasian ini.

Tabel 6.1 Perubahan kata “humid”


Kata asal kelas kata modifikasi kelas kata padanan
humid sifat humidity kata benda kelembaban
humid sifat humidify kata kerja melembabkan
humidify kerja humidifier kata benda pelembab
humidify kerja dehumidify kata kerja mengeringkan
dehumidify kerja dehumidifier kata benda pengering

Kata humid pada awalnya adalah konsep atribut, yang masuk


dalam kelas kata sifat. Dari kata ini bisa dimodifikasi untuk membentuk
99
kata baru humidity dan humidify. Dari kata humidify bisa dibentuk kata
dehumidify. Dari kata humidify bisa dibentuk kata humidifier, dan dari kata
dehunidify bisa dibentuk dehumidifier. Untuk lebih jelasnya lihat tabel
pemodifikasian kata tersebut di bawah ini.
Dari contoh di Tabekl 6.1 ada hal yang bisa dicatat. Pemodifikasian
kata sebagian besar melibatkan pemberian imbuhan. Oleh karena itu,
pencarian padanan kata baru itu pun bisa dilakukan dengan pemberian
imbuhan padanan kata asal BSu-nya. Contohnya adalah padanan kata
humidity, humidify, dan humidifier. Meskipun begitu, cara kerja ini tidak
selalu bisa dipakai karena pada kasus tertentu, hal itu tidak
memungkinkan di dalam BSa. Sebagai contoh adalah penerjemahan kata
dehumidify. Dengan cara mencari padanan imbuhan, bisa ditunjukkan
bahwa imbuhan "de-" artinya tidak. Jadi dehumidify artinya "penidak-
lembabkan". Tetapi kata ini tentu tidak umum di dalam bahasa Indonesia.
Komponen makna ini dikemas di dalam kosa kata yang sama sekali lain,
yaitu "mengeringkan". Hal yang sama juga terjadi pada "dehumidifier".
Hal lain yang perlu diperhatikan di dalam masalah modifikasi ini
adalah adanya beberapa kata yang bisa dipakai di dalam beberapa kelas
berbeda. Sebagai contoh, kata bahasa Inggris step bisa dipakai untuk kata
kerja dan juga untuk kata benda. Sedangkan di dalam bahasa Indonesia,
hal demikian amat jarang terjadi. Untuk membentuk kata kerja, awalan
"me-" hampir selalu dipakai. Jadi padanan step tersebut adalah
"melangkah" dan "langkah".
Jadi di dalam kasus ini penerjemah perlu menganalisis secara rinci
kelas kata dan makna kata BSu agar mampu menangkap makna secara
benar. Bila suatu teks BSu mengandung kata-kata yang dimodifikasi secara
besar-besaran, mungkin penerjemah agak sulit menangkap maknanya.
Larson (1984) memberi saran agar penerjemah menuliskan kembali teks
itu menjadi teks yang lebih sahaja dengan menghilangkan bentuk-bentuk
modifikasi, tetapi masih di dalam BSu.

Contoh berikut diambil dari Larson (1984: 60).

Word and reading games can sometimes be used for motivation and
reading readiness. Some of these are also useful for additional drills
when more normal instruction begins. They may actually teach the pupil
hist first words while he thinks he is only playing. They make good relief
100
from concentrated study. (Gudschinsky dalam Larson, 1984: 60).

Playing games in which the pupils use words and read can sometimes
motivate them and prepare them to read. Persons who teach may also
use some of these games to drill the pupils more when they are later
instructing them in regular classes.

The games actually teach the pupil his first words while he thinks he is
only playing. They relief/relax pupils who have been concentrating as
they study.

Tulisan ulang dalam bentuk yang lebih sahaja di atas tentu saja
memudahkan penerjemah untuk memahami makana teks BSu. Tetapi
perlu diingat bahwa yang diterjemahkan bukan teks penulisan kembali
tersebut. Teks itu hanya sebagai pembantu pemahaman makna BSu saja.

6.3 Kata dengan Seberkas Makna


Dari karakteristik pertama di atas bisa disimpulkan bahwa sebutir
kata tidak hanya mempunyai sebuah makna. Sebutir kata bisa saja
mempunyai seberkas makna (seperti halnya sinar matahari yang bening
yang sebenarnya terdiri atas seberkas cahaya dengan warna yang
berbeda-beda). Untuk itu seorang penerjemah perlu mengurai makna-
makna tersebut agar mampu memilih kata yang benar-benar bisa
mewakili makna yang ingin disampaikan. Perhatikan lagi proses
penerjemahan: pada tahap 1 penerjemah harus mencari makna yang
sesungguhnya, yang benar-benar sesuai dengan makna yang dimaksud
dengan menggunakan makna BSu; kemudian ia harus mencari padanan
kata atau ungkapan yang paling tepat dala, BSa.
Setiap kata mewakili konsep. Konsep ini pun ada bermaca-macam:
konsep benda, konsep kejadian, konsep hubungan, dan konsep atribut
(Larson, 1984: 56). Konsep ini disebut kandungan makna dari kata yang
bersangkutan. Kandungan makna ini lebih jauh bisa dibagi menjadi
beberapa komponen makna. Konsep ram mempunyai paling tidak tiga
komponen makna, yaitu: domba, jantan dan dewasa. Konsep "gabah" di
dalam bahasa Indonesia mempunyai komponen makna "padi", "tua",
"sudah dipetik dari pohonnya". Perlu diperhatikan di sini bahwa bahasa
Indonesia tidak mempunyai konsep ram. Untuk menyampaikan konsep itu

101
bahasa Indonesia perlu menggabungkan dua konsep atau kata yaitu
"domba" dan "jantan". Sebaliknya, bahasa Inggris tidak mempunyai
konsep "gabah". Untuk menyampaikan konsep itu, bahasa Inggris perlu
menggunakan konsep yang amat umum dan luas, yaitu "rice".
Dari contoh-contoh terakhir, kita mengetahui bahwa memang
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia mempunyai konsep yang mirip,
tetapi berbeda. Maknanya hampir sama, tetapi tetap berbeda. Di sini kita
juga tahu bahwa realitas dikonsepkan secara berbeda (Larson, 1984: 56).
Realitas tentang domba dikonsepkan secara lebih rinci di dalam bahasa
Inggris. Sedangkan realitas tentang padi, dikonsepkan jauh lebih detail di
dalam bahasa Indonesia.

6.4 Hubungan antar Butir-butir Leksikal


Seperti telah dibahas sebelumnya, komponen makna yang sama
mungkin terdapat di dalam beberapa kata yang berbeda. Adanya
persamaan dan perbedaan komponen makna di antara butir-butir leksikal
(kata) ini menyebabkan adanya hubungan diantara beberapa butir leksikal
(kata) tersebut bisa dikenali. Pengetahuan tentang jenis-jenis hubungan
antar kata ini penting diketahui agar penerjemah bisa memilih kata yang
betul-betul padan di dalam Bsa. Hubungan-hubungan yang sudah dikenali
selama ini adalah umum-khusus, kata-kata saling mengganti, sinonim,
antonim, kata resiprokal (Larson, 1984: 66-75)

6.4.1 Umum-Khusus
Beberapa kata bisa mempunyai hubungan umum-khusus apabila
komponen makna sebutir kata dimiliki oleh beberapa kata yang lain, tetapi
beberapa kata yang lain tersebut mempunyai komponen makna yang lebih
khusus. Di dalam bahasa Inggris ini tampak pada kata-kata contoh seperti
di dalam tabel berikut ini.

Tabel 6.2 Kata khusus dalam BSu (diadaptasi dari Larson, 1984: 66)
Sheep Horse Chicken Dog Deer
Dewasa Jantan ram stallion rooster dog buck
Betina ewe mare hen bitch doe
Muda Jantan/Betina lamb colt/foal chick puppy fawn

102
Di dalam contoh di atas, kata 'sheep' adalah kata umum, sedangkan ketiga
kata yang lainnya 'ram', 'ewe', 'lamb' adalah kata-kata khusus. Oleh karena
itu hubungan kata pertama dengan ketiga kata ini disebut hubungan
umum khusus. Di dalam bahasa Indonesia bisa contohkan hubungan
antara kata 'bunga' dan 'melati', 'mawar', 'bakung' dan lain-lain.
Perlu disadari bahwa pada beberapa bahasa satu kata bisa dipakai
di dalam beberapa tingkat. Pada contoh di atas adalah kata 'dog' yang
dipakai pada tingkat yang paling umum, dan 'dog' yang dipakai untuk
merujuk pada anjing dewasa jantan.
Pemahaman penerjemah akan konsep ini akan sangat berguna
baginya untuk menganalisis kata di dalam BSu dan BSa dan juga di dalam
mencari padanan yang tepat di dalam BSa. Sebagai contoh perhatikan
kalimat berikut.

BSu: He rode the black stallion up the hill.

Di dalam contoh di atas ada kata 'stallion'. Di dalam bahasa Indonesia tidak
ada satu kata dengan makna yang persis sama. Yang ada adalah kata
dengan makna umum, yaitu 'kuda'. Oleh karena itu penerjemah bisa
menggunakan kata umum itu tetapi dengan menambahkan komponen
makna yang belum ada yaitu jenis 'dewasa dan jantan'. Maka penerjemah
bisa menggunakan kata 'kuda jantan' untuk menerjemahkannya. Maka
jadilah kalimat BSa sebagai berikut.

BSa: Ia menunggang kuda jantan menaiki bukit.

Dari contoh di atas sekilas bisa dimengerti bahwa distribusi makna


di antara beberapa kata sejenis ini tidak sama dari satu bahasa ke bahasa
yang lainnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan Tabel 6.3. berikut yang
merupakan terjemahan dari tabel 6.2.

103
Tabel 6.3 Terjemahan kata dalam BSa
Domba Kuda Ayam Anjing Rusa
Dewasa Jantan domba kuda jago anjing rusa
(jantan) (jantan) (jantan) (jantan)
Betina domba kuda (induk) anjing rusa
(betina) (betina) ayam (betina) (betina)
Muda Jantan/Betina (anak) (anak) (anak) (anak) (anak) rusa
domba kuda ayam anjing

Dari perbandingan Tabel 6.2. dan Tabel 6.3. di atas bisa dipahami
bahwa Bahasa Indonesia tidak mempunyai kata-kata khusus untuk
sebagian besar kata-kata Bahasa Inggris dengan makna khusus seperti
yang tercantum dalam Tabel 6.2.

6.4.2 Kata yang Saling Mengganti


Kata-kata yang saling mengganti adalah kata-kata yang bisa
digunakan untuk merujuk sebuah kata di dalam suatu naskah. Jadi,
termasuk ke dalam kelas hubungan ini adalah pronomina, atau bahkan
mungkin juga kata-kata yang termasuk di dalam hubungan umum-khusus
di atas. Perbedaan lain dari kelas kata ini dari jenis hubungan umum-
khusus adalah kata-kata ini mengganti sebuah kata yang telah digunakan
di dalam teks yang terkait. Perhatian contoh berikut.

Dengan santai Handoko menyetir mobilnya menyusuri jalan Ijen.


Starlet itupun berjalan mulus di bawah pohon-pohon palem.
Pemuda itu jadi ingat kejadian lima tahun yang lalu, saat ia
menyusuri jalan kebanggaan Malang bersama Esti.

Di dalam contoh di atas, antara 'Handoko', 'pemuda', dan 'ia'


mempunyai hubungan saling mengganti. Demikian juga antara kata 'mobil'
dan 'Starlet'.

6.4.3 Sinonim
Kata-kata yang mempunyai makna yang sama atau hampir sama
di dalam suatu bahasa disebut sinonim. Sebagai contoh adalah:

104
- berkata
- bergumam
- berbisik
- bertanya
- berujar
- bertutur
Dalam kaitannya dengan hal ini, penerjemah perlu mengetahui
perbedaan antara kata-kata yang bersinonim itu dalam hal kapan kata-
kata tertentu harus digunakan. Sebagai contoh 'bergumam' dan 'berbisik'
memang hampir sama maknanya. Tetapi dalam konteks, berbeda
penggunaannya. Perhatikan contoh berikut.
- Ani bergumam sendirian.
- Ani berbisik kepada Anto.

6.4.4 Antonim (lawan kata)


Antonim (lawan kata) adalah kata-kata yang mempunyai makna
berlawanan. Semua bahasa memang mempunyai pasangan-pasangan
antonim, tetapi konsep yang dipasang-pasangkan dalam hubungan
perlawanan makna ini bisa berbeda. Perhatikan contoh berikut.

Bahasa Inggris Bahasa Indonesia


tall - short tinggi - rendah; jangkung - pendek
long - short panjang - pendek
much - little banyak - sedikit
many - few banyak - sedikit

6.4.5 Kata-kata resiprokal (kata-kata berbalasan)


Jenis hubungan antara kata-kata yang terakhir adalah hubungan
resiprokal (hubungan berbalasan). Contoh hubungan berbalasan ini hadir
di dalam pasangan kata-kata berikut.
Bahasa Inggris Bahasa Indonesia
memberi - menerima give - take
bertanya - menjawab ask - answer
Meskipun begitu penerjemah juga harus tetap hati-hati bahwa
pasangan tertentu mungkin ada di dalam suatu bahasa tertentu tetapi

105
tidak ada di dalam bahasa yang lain. Perhatikan daftar kata berbalasan
berikut ini.
Bahasa Inggris Bahasa Indonesia
borrow - lend meminjam - meminjamkan
teach - learn mengajar - belajar
loan - loan hutang - piutang

Akhirnya, para penerjemah harus selalu menyadari bahwa sebuah


kata mungkin mempunyai padanan kata di BSa, atau mungkin saja tidak
mempunyai padanan kata-demi-kata. Jadi penerjemah harus menganalisis
kata BSu sebelum mencari padan kata atau membentuk sendiri kata baru
di dalam BSa. Pembentukan struktur kata baru ini sangat terbantu oleh
pemahaman penerjemah dalam hal hubungan antar kata seperti yang
telah diuraikan di depan.

6.5 Ketidakpadanan Leksikal antar Bahasa


Telah disebutkan di beberapa bagian dalam bab ini bahwa salah
satu masalah leksikal (kosa kata) bagi penerjemah adalah adanya
ketidakpadanan leksikal antar BSu dan BSa. Menurut Larson (1984: 89-97)
ada beberapa macam ketidakpadanan, yaitu ketidakpadanan acuan,
ketidakpadanan perangkat semantik, dan ketidakpadanan butir leksikal
secara budaya.

6.5.1 Ketidakpadanan Acuan


Setiap kata selalu mempunyai acuan yang bisa berupa benda,
kejadian, atau keadaan. Mungkin sekali acuan tertentu ada di dalam BSu
dan BSa, tetapi mungkin juga sistem acuan yang dipakai berbeda.
Sebagai contoh, kata 'rice' di dalam Bahasa Inggris mempunyai
acuan berupa benda yang juga ada di dalam Bahasa Indonesia. Tetapi di
dalam Bahasa Indonesia, benda tersebut diacu dengan lebih dari satu kata:
di dalam Bahasa Indonesia ada kata 'padi', 'gabah', 'beras', dan 'nasi'. Jadi
penerjemah harus hati-hati kalau menerjemahkan kata 'rice' ke dalam
bahasa Indonesia. Ia harus memilih satu di antara keempat kata tersebut.
Kejadian yang sama pun bisa diacu secara berbeda dalam bahasa
Inggris dan Bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris ada kata 'bring' dan
'carry'. Tetapi di dalam bahasa Indonesia ada kata: 'membawa',
106
'menggendong', 'memanggul', 'memikul', dan 'menjinjing'. Bahkan di
dalam Bahasa Jawa, selain kata 'nggawa', 'nggendhong', 'mikul', dan
'nyangking', ada juga kata 'ngindhit' dan 'nyunggi' atau 'nyuwun'
(membawa di atas kepala).

6.5.2 Ketidakpadanan Perangkat Semantik


Kelompok-kelompok kata tertentu di dalam semua bahasa
mewakili sekelompok atau perangkat makna yang tertentu saja. Hanya
kadang kala kelompok makna di dalam suatu bahasa tidak diwakili oleh
kelompok kata yang sama di dalam bahasa lain. Untuk ilustrasi, ambil misal
kata-kata yang berhubugan dengan pertanian di Bahasa Inggris dan di
Bahasa Indonesia. Meski perangkat makna yang diacu sama, yaitu segala
sesuatu yang berhubungan dengan pertanian, tetapi kata-kata yang
digunakan atau konsep-konsep yang berhubungan berbeda. Perhatikan
tabel berikut ini.

Bahasa Inggris Bahasa Indonesia


plow bajak
hoe cangkul
sickle sabit
rake garu
plant menanam
harvest memanen
wheat -
rice padi
corn jagung
binder gedheng
thrashing machine mesin giling

Contoh yang lain adalah tentang topik 'keluarga'. Perhatikan tabel berikut.

Bahasa Inggris Bahasa Indonesia


mother ibu
father ayah
uncle paman
aunt bibi
107
son anak
daugther anak
grandfather kakek
grandmother nenek
- kakak
- adik
in-laws ipar

Dalam hal ini bahasa Indonesia membedakan kakak-adik menurut


perbedaan tua-muda, sedangkan dalam bahasa Inggris menurut
gendernya. Jadi brother, sister, uncle dan unt dapat bermakna adik atau
kakak, pakde-bude, dan seterusnya.
Secara kultural Bahasa Indonesia mengenal keluarga inti (nuclear
family) dan keluarga besar (extended family). Orang Indonesia pada
umumnya sangat menyukai konsep keluarga kesar, sedangkan orang
Amerika dan Eropa Barat hanya mengenal konsep keluarga inti saja. Hal
ini memang tidak tampak mencolok dari sederetan kata-kata di atas,
tetapi simak saja penggunaan kata Pak, Bu, Mas, Dik, mBak, Yu, dan
sebagainya sebagai panggilan akrab dan lebih hormat kepada orang yang
kita sapa. Perhatikan contoh-contoh panggilan Bung Karno, Bung Hatta,
Bung Tomo; Pak Nas, mBak Mega, Gus Dur, dan lain-lain. Akan terdengar
janggal dan kurang hormat kalau kita memanggil orang lain hanya dengan
nama kecilnya saja, kecuali terhadap orang-orang yang sangat akrab atau
orang yang berposisi "lebih rendah" daripada kita, contohnya Sidin. Cara
ini pun sekarang sudah tidak lazim lagi, dan kita memanggil mereka Bang
Sidin, Bi Inem, dsb.
Di lain pihak, kultur Bahasa Inggris hanya mengenal keluarga inti:
father, mother, brother, sister, uncle, aunt, grandfather dan grand mother.
Untuk panggilan kepada orang lain mereka menggunakan Mr, Miss, Mrs,
Ms, Sir, dan lain-lain. Sedangkan kata Father, Mother, dan Brother diikuti
oleh nama diri digunakan untuk menyapa pendeta dan biarawan atau
biarawati, seperti Mother Theresa, Father Ximenes, dan sebagainya.

108
6.5.3 Ketidakpadanan Butir Leksikal secara Budaya
Dari pembahasan tentang ketidakpadanan perangkat semantik di
atas, dapat diperkirakan bahwa pengelompokan kata berbeda dari satu
budaya ke budaya yang lain. Budaya jawa mempunyai banyak kata yang
terkonsentrasi di sekitar topik 'kelapa' dan 'padi', tetapi tidak mempunyai
banyak kata dalam konsentrasi 'salju', misalnya. Demikian juga tentang
kata sekitar topik keluarga (perhatikan kembali contoh di atas.)
Kata-kata dalam BSu dan BSa yang sekilas tampak sama sekalipun,
sebenarnya berbeda secara budaya. Ambil contoh kata 'house' dan
'rumah'. 'House' biasanya mempunyai sistem penghangat baik itu berupa
perapian atau penghangat listrik. Sedangkan 'rumah' tidak pernah punya
sistem penghangat. Ruang-ruang yang menjadi bagian sebuah 'house' pun
berbeda dengan ruang-ruang yang menjadi bagian 'rumah' orang Jawa,
misalnya. Di 'rumah' orang Jawa ada 'senthong', 'pendhapa', dan
'pringgitan. Sementara 'house' mempunyai 'living room', 'kitchen', dan
'bedroom'.
Kalimat "Orang-orang mengadakan rapat di ruang depan" akan
janggal bila diterjemahkan menjadi "The people have a meeting in the
front room", karena 'house' tidak mempunyai front room, yang ada adalah
'living room'.
Perhatikan pula perbedaan kata house dan home. Dalam konsep
bahasa Inggris, house adalah rumah yang dimiliki, sedangkan home adalah
rumah yang ditempati.
Kesimpulannya, dari pembahasan ini bisa dilihat bahwa seorang
penerjemah tidak hanya berkutat dengan konsep di dalam satu bahasa,
tetapi konsep di dalam dua bahasa. Setiap bahasa mungkin akan
membungkus konsep itu secara berbeda atau unik di dalam butir-butir
leksikalnya. Jika penerjemah ingin mencapai ketepatan yang bisa
dipertanggungjawabkan di dalam menerjemahkan, maka ia harus
mengetahui sesuatu yang berkenanan dengan kemungkinan kepadanan
(yang akan dibahasa di dalam sub bab berikut ini) atau ketidakpadanan
antara sistem leksial kedua bahasa tersebut.

6.6 Padanan Leksikal dengan Konsep yang Sama


Seperti yang telah disinggung di atas, salah satu tugas penerjemah
adalah mencari padanan leksikal di dalam BSa. Ada dua hal yang perlu
109
diperhatikan berkenaan dengan padanan leksikal ini. Pertama, tentunya
akan ada konsep yang sama-sama dimiliki oleh BSu dan BSa.
Penerjemahan kata jenis ini mungkin bisa diterjemahkan secara harfiah,
atau mungkin juga penerjemahan harfiah tidak memadai. Kedua, mestinya
ada juga konsep yang tidak dikenal didalam BSa, untuk ini tentu saja
meminta kreatifitas sang penerjemah.
Kreativitas ini diperlukan karena bahasa, seperti yang telah
dibahas sebelumnya, memang merangkai komponen makna secara
berbeda dan membagi komponen makna ini ke dalam beberapa kata
secara berbeda pula. Demikian juga cara mengekspresikan gagasan:
bahasa-bahasa itu mempunyai cara yang berbeda. Satu bahasa
mengekspresikan secara positif, yang lain secara negatif; yang satu secara
aktif, yang lain negatif. Oleh karena itu, penerjemah harus terlebih dulu
menyadari hal-hal berikut: (1) sebuah kata BSu mungkin diterjemahkan
menjadi satu kata BSa atau lebih, (2) beberapa kata di dalam BSu mungkin
juga bisa diterjemahkan menjadi satu kata saja dalam BSa, (3) kata-kata
dalam BSu mungkin juga diterjemahkan menjadi kata-kata BSa yang sama
sekali berbeda (Larson, 1984: 154). Lebih lanjut Larson (1984: 154)
menyatakan bahwa hal di atas terjadi karena dua alasan: (1) setiap bahasa
mempunyai perbedaan dalam jumlah dan cara pemilihan komponen
makna yang terrangkum dalam sebuah kata, dan (2) setiap bahasa
berbeda dalam hal hubungan semantis antara beberapa kata.
Apabila terjemahan harfiah tidak bisa digunakan, maka
penerjemah bisa menyusun frasa deskriptif di dalam BSa (Larson, 1984:
155). Frasa deskriptif ini dibentuk dengan cara menerjemahkan sebuah
kata BSu dengan sebuah kata BSa yang mempunyai makna yang hampir
sama dengan kata BSu, tetapi serangkaian kata lain ditambahkan agar
makna yang akan disampaikan tetap utuh seperti makna kata BSu-nya. Bila
ditulis dengan rumus, rumus itu adalah a=a'+b, di mana a adalah kata BSu,
a' adalah kata BSa yang mirip kata BSu dalam hal makna, dan b adalah
kata-kata lain yang digunakan untuk memperjelas makna. Sebagai contoh,
perhatikan kalimat berikut.
BSu: Pak Karto memanggul sendiri bakul padinya.
BSa: Pak Karto carried the rice basket himself on his shoulder.
BSu: He gave me a nickel.
BSa: Ia memberiku uang logam lima senan.
110
Di dalam contoh di atas, kata 'memanggul' diterjemahkan menjadi
frasa desktiptif 'carry on his shoulder'. Sementara itu di dalam contoh ke
dua, 'nickel' diterjemahkan menjadi 'uang logam lima senan'.
Frasa deskriptif tersebut digunakan apabila penerjemah memang
merasa perlu benar-benar untuk menyampaikan makna kata BSu secara
utuh (mungkin untuk mengenalkan kebiasaan atau budaya BSu). Tetapi
bila makna kata BSu tersebut tidak dipandang sepenting itu, maka sinonim
atau kata BSa yang lebih umum atau khusus, atau bahkan bentuk negasi
dari lawan katanya pun bisa digunakan. Perhatikan contoh berikut ini.

BSu: Pak Karto memanggul sendiri bakul padinya.


BSa: Pak Karto carry the rice basket himself.

BSu: He gave me a nickel.


BSa: Ia memberiku uang logam.

Di dalam contoh di atas, 'memanggul' bisa diterjemahkan dengan


kata 'carry' saja, dan 'nickel' dengan 'uang logam saja'.

6.7 Padanan Leksikal dengan Konsep yang Tidak Diketahui di dalam BSa
Salah satu tugas berat penerjemah, menurut Larson (1984: 163)
adalah mencari padanan leksikal dengan acuan konsep yang tidak dimiliki
oleh BSa. Bila ini terjadi, BSa sudah barang tentu tidak mempunyai butir
leksikal untuk konsep ini. Kesulitan penerjemah tidak hanya mencari
padanan kata dalam BSa, tetapi juga dalam mencari cara bagaimana
mengenalkan konsep itu ke dalam BSu. Ada tiga cara yang bisa ditempuh
oleh penerjemah bila ia menghadapi masalah ini: (1) menggunakan kata
umum dan frasa deskriptif (seperti yang telah dibahas di depan), (2)
menggunakan kata pinjaman atau jumputan, dan (3) penggantian kultural
(Beekman dan Callow dalam Larson, 1984: 163). Meskipun begitu
penerjemah harus sadar bahwa setiap pilihan mempunyai kelemahan dan
kelebihan.
Kata umum yang ditambah dengan frasa deskriptif tentu saja
membuat kalimat terjemahan lebih panjang dan terasa bebas, tetapi
makna yang ditransfer lebih utuh. Kata pinjaman membuat teks BSa terasa
asing, tetapi lebih efektif dan ekonomis. Sementara itu penggantian secara
kultural (cultural substitutues) memang membuat teks BSa terasa luwes
111
seperti teks asli, tetapi sebenarnya ada perbedaan makna antara kata BSu
dan Bsa yang bersangkutan. Oleh karena itu, tujuan penerjemahan akan
menjadi pertimbangan utama bagi penerjemah.
Alternatif pertama bisa dilakukan dengan baik bila penerjemah
mau mempertimbangkan fungsi dan bentuk fisik dari konsep yang diacu
oleh kata BSu. Lalu padanan deskriptifnya mencakup kata umum ditambah
rincian fungsi dan/atau bentuknya.
Kata pungutan adalah kata BSu yang langsung dimasukkan ke
dalam BSa baik dengan atau tanpa modifikasi. Kita mempunyai banyak
sekali kata pinjaman, terutama dari bahasa Inggris, misalnya 'komputer',
'motor', 'efektif', dan dari bahasa Arab, misalnya 'setan', 'malaikat', 'hadir',
dll.
Penggantian kata BSu dengan kata lain dengan fungsi kultural yang
sama bisa dilakukan bila kata ini memang pada dasarnya menyngkut
fungsinya, bukan bentuknya. Untuk lebih jelasnya perhatikan kalimat
berikut.

BSu: Ia mengunyah buah duwet dengan lahapnya.


BSa: He eats the cherry fruit eagerly.
BSa: He eats the small fruit called duwet eagerly.

Pada teks BSa yang pertama, 'buah duwet' diganti dengan 'chery
fruit' karena bahasa Inggris tidak mengenal 'duwet' dan maksud penulis
asli dengan 'buah duwet' itu adalah untuk sekedar pelega rasa haus dan
laparnya. Oleh karena itu 'chery fruit' sudahlah cukup. Tetapi bila tujuan
penulis asli adalah untuk memperkenalkan 'buah duwet' kepada sidang
pembaca bahasa Inggris, maka frasa deskiptif seperti teks BSa yang
kedualah yang lebih cocok. Di bawah ini ada beberapa contoh penggunaan
penggantian
Dengan kata lain dengan fungsi yang sama ini. Contoh-contoh ini
diambil dari novel "Burung-burung Manyar" karya Mangunwijaya dan
terjemahnnya buah karya T.M. Hunter, "The Weaverbirds".

BSu: Nanti saatnya kan datang sendiri, rekannya itu


mengungkapkan "hikayat-nya". Tetapi itu harus membugil
spontan, seperti kalau perempuan mandi di sumur pada
112
petang gelap itu. Atau kalau sedang minta dikeroki. (p. 14)

BSa: In time the story would come out of her all by itself.
Nonetheless, she would slip in a suggestion here and there.
Show her, in a flash, her real intent, as a woman reveals her
nakedness when she's about to bathe at a spring in the chill
of the setting sun. Perhaps asking Mbok Ranu to massage her
back would provide the opportunity. (p. 23)

BSu: Dan pernah sesudah menang curang gobag sodor ia


memaksakan hadiah ciuman. Padahal sudah disepakati: jika
Atik menang, Atik digendong Teto. Tetapi karena Atik terlalu
lemah untuk menggendong Teto bila Teto menang, Atik
sanggup untuk memberi kecik sawo (biji sawo) tiga biji, yang
sering dibutuhkan Teto untuk adu kecik sawo dengan kawan-
kawannya. (pp. 22-23)

BSa: Once he had cheated to win a game of hide-and-seek and had


forced a kiss from Atik as his reward. Before the game they
had agreed that if she won, he would have to carry her on his
hip like a baby. But because she wasn't strong enough to carry
Teto that way, she had promised him that if he won she would
give him two sapodilla seeds. Sapodilla seeds were important
for boys, who use them as marbles to see who could shoot
the farthest. (p. 33)

Di dalam contoh di atas kata "dikeroki" dan "gobag sodor" tidak


begitu penting untuk ditransfer maknanya secara keseluruhan. Yang
penting adalah fungsi kedua kata tersebut di dalam teks. Oleh karena itu
'dikeroki' diganti dengan 'massage' dan 'gobag sodor' dengan 'game of
hide-and-seek'.
Alternatif ini tidak boleh digunakan bila penerjemah tidak ingin
merubah fakta yang disampaikan. Tentu saja seorang petani Jawa yang
sederhana makan 'nasi pecel' dan minum 'kopi' sebagai sarapan tidak bisa
diganti dengan makan 'telor rebus' dan minum segelas 'susu' sebagai
sarapan, apabila tujuan penerjemah in gin melaporkan kebiasaan sarapan
113
petani Jawa. Alternatif ini juga tidak bisa digunakan untuk menerjemahkan
teks dokumen sejarah, hal ini akan mengakibatkan kekacauan waktu atau
anakronisme. Seorang primitif yang meluangkan waktu dengan melukis di
dinding gua dengan goresan kapak batunya tentu saja tidak bisa diganti
dengan melukis dengan cat minyak di atas kanvas.

6.8 Hampa Padanan (Translation Void)/Tanpadan


Hampa padanan dari sudut yang berbeda disebut juga tanpadan
(untranslatable) Ini adalah suatu keadaan apabila padanan dalam bentuk
satu kata atau ungkapan (one-to-one equivalent) tidak bisa ditemukan di
dalam BSa. Kasus tanpadan ini sering hadir di dalam penerjemahan kata
majemuk, lakuran, penggalan, dan akronim. Meskipun begitu harus
dicermati bahwa tidak semua kasus penerjemahan kata majemuk,
lakuran, penggalan, dan akronim adalah kasus tanpadan.

6.9. Kata Majemuk


Ada dua macam kata majemuk. Yang pertama adalah kata
majemuk yang maknanya bisa diturunkan dari makna elemen kata yang
menyusunnya. Kata majemuk ini bisa disebut kata majemuk transparan.
Jenis kedua adalah kata majemuk yang maknanya tidak bisa ditelusuri dari
elemen kata penyusunnya. Jenis ini bisa disebut kata majemuk buram.
Kedua jenis kata majemuk ini mempengaruhi cara penerjemahannya.
Untuk jenis pertama biasanya bisa diterjemahkan dengan terjemahan
literal, tetapi jenis kedua biasanya tidak bisa diterjemahkan dengan cara
literal: beberapa penyesuaian diperlukan. Perhatikan contoh kedua kata
majemuk berikut.

Contoh jenis 1
bookstore = book + store = toko buku
(buku) (toko)
toothache = tooth + ache = sakit gigi
(gigi) (sakit)
notebook = note + book = buku catatan
(catatan) (buku)

114
sunflower = sun + flower = bunga matahari
(matahari) (bunga)
cold blooded = cold + blooded = berdarah dingin
(dingin) (berdarah)

Contoh jenis kedua:


hot dog = hot + dog = sejenis roti ...
(panas) (anjing)
green eyed = green + eyed = iri
(hijau) (bermata)
green stuff = green + stuff = sayur
(hijau) (bahan)
grasshopper = grass + hopper = belalang
(rumput) (pelompat)
street walker = street + walker = wanita tuna susila
(jalan) (pejalan)
lighthouse = light + house = mercusuar
(cahaya) (rumah)
dengue fever = dengue + fever = demam berdarah
(sejenis nyamuk) (demam)
chatter box = chatter + box = pembual ulung
(pembual) (kotak)

Yang diantara jenis 1 dan 2:


wrist watch = wrist + watch = jam tangan
(pergelangan tangan) (jam)

book worm = book + worm = kutu buku


(buku) (cacing)
dry clean = dry + clean = binatu kering
(kering) (bersih)
115
cease fire = cease + fire = gencatan senjata
(berhenti) (menembak)

Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian saja. Para pembaca bisa


dengan mudah mencari contoh-contoh lain dari buku pedoman
pengindonesiaan istilah asing dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Indonesia, Jakarta.

6.10 Lakuran (blending), Penggalan (clipping), dan Akronim (acronym)


Lakuran adalah penggabungan dua kata menjadi satu. Biasanya
bagian pertama dari kata pertama dan bagian terakhir dari kata terakhir
yang diambil. Di dalam bahasa Inggris kita bisa menemukan motel
(motorway hotel), brunch (breakfast lunch), fridge (freezer referigerator),
smog (smoke fog), edutainment (education entertainment), dan beberapa
lagi. Di dalam bahasa Indonesia kita bisa menemukan kata Patas (cepat
terbatas), Aremania (Arema maniak), habibienomics (Habibie economics),
asbut (asap dan kabut), gibol (gila bola), dan lain-lain.
Berbeda dengan lakuran, di dalam proses penggalan (clipping)
sebuah kata yang biasanya terdiri atas beberapa suku kata dan, oleh
karenanya, panjang, dipenggal menjadi bagiannya saja. Di dalam bahasa
Inggris kita bisa menemukan zoo (dari zoological garden), dorm
(dormitory), mag (magazines), pub (public bar), dan lain-lain. Di dalam
bahasa Indonesia kita pun bisa menemukan lab (laboratorium), dan kata
sapaan Pak (Bapak), Bu (Ibu), Bang (Abang), Dik (Adik), dan seterusnya.
Akronim adalah cara pembentukan kata, mirip sekali dengan
singkatan, di mana setiap huruf pertama di dalam kata asal diambil dan
untuk menyusun singkatan baru. Di dalam bahasa Inggris kita mengenal
NASA (National Aeronotics and Space Administration), VIP (very important
person), YMCA (Young Men's Christian Association), AIDS (Acquired
Immunity Deficiency Syndrome), NATO (North Atalantic Treaty
Organization), dan lain-lain. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal ABRI
(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), RSU (Rumah Sakit Umum),
AMD (Abri Masuk Desa), RT (Rukun Tetangga), dan lain-lain.
Untuk menerjemahkan butir-butir leksikal semacam ini
penerjemah mungkin harus memahami dulu asal butir leksikal itu,
memahami maknanya, lalu ada tiga cara yang ditempuh. Kalau ada
116
padanan untuk konsep itu di dalam BSa, maka ia hendaknya memakai
padanannya itu. Strategi ini biasanya digunakan untuk akronim bagi
konsep-konsep pemerintahan seperti M.A., D.P.R., dan sebagainya. Kalau
tidak ada, maka ia bisa menerangkan makna dari masing-masing
komponennya. Tetapi kalau hal ini dirasa terlalu bertele-tele, maka ia
langsung bisa memungut kata itu, terutama akronimnya. Strategi terakhir
ini biasanya digunakan dalam teks yang bersifat ilmiah dan sangat khusus
dengan pembaca yang khusus pula. Akronim ini sudah menjadi akronim
internasional, jadi keterangan yang panjang tidak diperlukan lagi. Berikut
ini adalah akronim pungutan dari bahasa Inggris atau bahasa lainnya:
NASA, CIA, ILO, WHO, UNICEF, UNAMET, VIP, AIDS, UFO, ASEAN, UN,
CNRT, dan masih banyak lagi.
Di bawah ini adalah contoh dari kemungkinan pertama, yaitu
seorang penerjemah mencarikan padanan kata BSa dari sebuah akronim
di BSu.
p.m. (post merediem) = sore
a.m. (ante merediem) = pagi
UFO (unidentified Flying Object) = piring terbang
P.M. (Prime Minister) = Perdana Menteri (bukan Menteri Utama)
Di bawah ini adalah kemungkinan kedua, yaitu penerjemah
menerangkan makna dari masing-masing elemen.
motel = motorway + hotel = hotel bagi pelancong
berkendaraan mobil
brunch = breakfast + lunch = makan pagi dan siang sekaligus
hansip = pertahanan + sipil = civil defense
Kanwil = Kantor + Wilayah = Regional Office

Perlu diingat bahwa di dalam Bahasa Indonesia masalah lakuran,


penggalan, dan akronim ini sering kali menjadi sulit difahami dan sulit
diterjemahkan. Kesulitan ini adalah akibat pencampur-adukan ketiga cara
di atas. Mengenali maknaya saja kadang-kadang sulit bagi orang Indonesia
sendiri. Perhatikan contoh-contoh berikut: Denpom (Detasemen Polisi
Militer), Korsik (Korps Musik), Pemilu (Pemilihan Umum), Yonzipur
(Batalyon Zeni Tempur), Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia),
Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional), Posyandu (Pos Pelayanan
Terpadu), Siaga (Siap Antar Jaga), dan Sembako (Sembilan bahan pokok).
117
Di dalam contoh di atas, aturan pembentukan akronim, yaitu menggambil
huruf pertama dari tiap-tiap kata, tidak ditepati, terutama untuk kata yang
kedua dan ketiga. Untuk kata kedua dan ketiga dalam bentuk leksikal ini
dipakailah prinsip lakuran. Di sini Bahasa Indonesia mementingkan
keserasian bunyi, bukan aturan yang konsisten. Contoh terjemahan
akronim dapat dilihat di Lampiran 1.

6.11 Makna figuratif


Makna figuratif biasanya ditemukan penerjemah saat ia
menerjemahkan teks-teks karya sastra. Penggunaan makna figuratif ini
termasuk gaya penulis yang tidak boleh dihilangkan begitu saja. Oleh
karena itu penerjemah harus berhati-hati dalam mengerjakan penerjemah
yang menyangkut makna figuratif atau gaya bahasa ini. Memang ada
banyak gaya bahasa, tetapi yang paling sering dipakai adalah efimisme,
simile dan metafora, dan personifikasi. Selain itu makna figuratif sering kali
hadir di dalam ungkapan idiomatik. Oleh karena itu berikut ini kita akan
membahas keempat hal tersebut secara singkat.

6.11.1 Eufemisme
Eufemisme adalah penggunaan kata-kata untuk mengganti kata-
kata atau ungkapan tertentu yang dianggap kasar atau dapat
menyinggung perasaan. Sebagai contoh adalah kata "mati". Kata ini dalam
konteks tertentu dianggap terlalu kasar. Oleh karena itu kata ini bisa
diganti dengan kata "berpulang". Perhatikan contoh-contoh berikut.
- Ibunya telah mati tiga tahun yang lalu.
- Ibunya telah berpulang tiga tahun yang lalu.

- Anak Pak Bupati gila.


- Putera Pak Bupati terganggu ingatannya.

Di dalam contoh di atas kalimat pertama menggunakan kata yang


sebenarnya tepat sesuai maknanya, dan kalimat kedua mengganti kata
tersebut dengan kata lain, yang meskipun tidak tepat sekali makna
literalnya tetapi terasa halus.
Di dalam menerjemahkan eufemisme, penerjemah juga harus
memilih ungkapan yang berupa eufemisme pula. Efemisme di dalam BSu
118
ini bisa berupa terjemahan literal dari efemisme BSu apabila mempunyai
kedekatan makna figuratif. Hanya kalau terpaksa saja, eufemisme bisa
diganti dengan kata yang mempunyai makna literal sama. Di bawah ini
adalah contoh-contoh penerjemahan kalimat yang menggunakan
eufemisme.

BSu: Ibunya telah berpulang tiga tahun yang lalu.


BSa: His mother passed away three years ago. (diganti eufemisme
di BSa.)

BSu: Putera Pak Bupati terganggu ingatannya.


BSa: The Regent's son is mentally imbalanced. (mengganti dengan
eufemisme BSa.)

BSu: He is a little slow.


BSa: Ia sedikit lambat. (Menerjemahkan efemisme BSu secara
literal.)

BSu: She is not feeling well.


BSa: Ia sedang tak enak badan.

6.11.2 Simile dan metafora


Simile adalah gaya bahasa yang dibentuk dengan cara
membandingkan dua hal atau objek secara explisit. Di dalam Bahasa
Indonesia simile diandai dengan kata "bagaikan", "bak", dan "seperti". Di
dalam Bahasa Inggris, simile ditandai dengan penggunan "as", "like", "as
though", dan "as if". Ada dua cara menerjemahkan simile ini. Cara pertama
adalah menerjemahkan secara langsung atau literal dan yang kedua
adalah menerjemahkan secara tidak langsung atau menerjemahkan
dengan simile di dalam BSa atau menerangkan makna yang dimaksud.
Untuk lebih jelasnya, lihat contoh-contoh sebagai berikut.

He's as quick as lightning - Ia cepat seperti kilat.


- Ia secepat kilat.
- Ia cepat sekali.
119
Di dalam contoh di atas, terjemahan yang ketiga adalah
terjemahan tidak langsung atau penerjemahan dengan makna yang
dimaksud. Sedangkan terjemahan kedua sebenarnya terjemahan
langsung, tetapi gaya bahasanya sedikit diubah. Yang paling baik tentunya
alternatif pertama bila terjemahan itu berterima di dalam BSa.
Simile sendiri mempunyai dua jenis: simile klise dan simile kreatif.
Simile klise adalah simile yang sudah berulang kali dipakai. Sedangkan
simile kreatif adalah simile yang belum klise. Salah satu atau kedua
alternatif ini, terjemahan langsung dan tak langsung, bisa digunakan untuk
kedua jenis simile tersebut. Di bawah ini adalah contoh simile tradisional
(klise) dan terjemahannya.

- as hard as a rock - keras bagai karang


- sekeras karang
- keras sekali
- as poor as a church mouse - sangat melarat
(catatan: terjemahan langsung tidak berterima.)
- as old as the hills - tua bangka
- tua sekali
(catatan: terjemahan langsung tidak berterima.)
- as warm as toast - hangat sekali
(catatan: terjemahan langsung tidak berterima.)
- as pale as a ghost - pucat bagaikan kapas
- pucat sekali
(catatan : terjemahan langsung tidak berterima.)

- as silent as the grave - sangat sunyi


- sunyi senyap

Selain simile tradisional yang sudah klise tersebut, penerjemah


mungkin lebih sering menemui simile kreatif karya-karya penulis baru.
Perhatikan contoh-contoh berikut ini. Teks aslinya adalah "The Broken
Wings" karya Kahlil Gibran.

120
BSu: My life was a coma, empty like that of Adam in paradise (p.
344)
BSa: Hidupku adalah sebuah koma, kosong, seperti hidup Adam di
surga.

BSu: Beirut, free from the mud of winter and the dust of summer, is
like a bride in the spring, or like a mermaid sitting by the side
of a brook drying her smooth skin in the rays of the sun (p.
352)
BSa: Beirut, terbebas dari lumpur musim dingin dan debu musim
panas, bagaikan pengantin wanita di musim semi, atau bagai
puteri duyung yang sedang duduk berjemur untuk
mengeringkan kulitnya yang halus di pinggir sungai.

BSu: An old man likes to return in memory to the days of his youth
like a stranger who longs to go back to his own country (p.
352)
BSa: Orang tua ingin mengingat kembali masa mudanya seperti
seorang asing yang rindu pulang ke negaranya.

Metafora mirip dengan simile, hanya saja kata yang menunjukkan


perbandingan "as", "like", "bagai", dan "seperti" tidak ada. Jadi metafora
adalah perbandingan langsung.
Di dalam kehidupan sehari-hari, ada dua macam metafora, yakni
metafora yang bersifat universal dan yang terikat oleh budaya. Meetafora
universal adalah metafora yang mempunyai medan semantik yang sama
bagi sebagian besar budaya yang ada di dunia ini. Sebagai contoh,
metafora yang tekandung dalam kalimat "Engkaulah matahariku" ini
besifat universal karena matahari di mana pun mempunyai sifat yang
selalu menyinari. Dan sinar pun juga simbol universal yang menunjukkan
semangat, kesenangan, dan sejenisnya. Jenis metafora ini bisa secara
langsung diterjemahkan ke dalam BSa. Jadi terjemahan Bahasa Inggris dari
Engkaulah matahariku adalah "You are my sun".
Metafora yang terikat oleh budaya adalah metafora yang
memakai lambang dengan maknanya hanya dimengerti oleh satu budaya
saja. Lambang ini mungkin juga mempunyai makna yang lain lagi di dalam
121
budaya (bahasa) yang lain. Untuk menghadapi hal ini, penerjemah juga
hendaknya mempertimbangkan seberapa pentingkah metafora itu bagi
keseluruhan teks. Jika peran metafora itu tidak sekedar untuk
menyampaikan pikiran yang netral di dalam teks, maka penerjemah bisa
mencari padanan metafora di dalam Bsa, atau mengubah atau bahkan
menambahkan citraan yang mampu membuat metafora itu bermakna
dalam BSa.
Contoh:

BSu: Nasibku di ujung tanduk


BSa: I'm hanging on a thread.

Tetapi jika metafora itu dianggap sangat penting dan harus


dipertahankan, misalnya sebagai ciri khas penyair di dalam sebuah pusisi,
maka penerjemah terpaksa menggunakan terjemahan harfiah. Tetapi hal
ini sangat jarang terjadi.
Singkatnya, cara menerjemahkan metafora pun mirip dengan cara
menerjemahkan simile. Secara konkret ada tiga jalan: (1) menerjemahkan
secara harfiah bila metafora itu bersifat universal, (2) menerjemahkan
dengan metafora BSa bila metafora itu terikat budaya dan perannya tidak
sangat penting bagi keseluruhan teks, dan (3) menerangkan makna
metafora itu di dalam BSa bila metafora itu terikat budaya, tidak begitu
penting bagi keseluruhan teks, dan tidak ada padanan metaforanya di
dalam BSa.

6.11.3 Personifikasi
Personifikasi adalah gaya bahasa yang memberikan sifat-sifat
manusia kepada benda dan makluk tak bernyawa lain, termasuk
tumbuhan dan alam. Untuk menerjemahkan personifikasi penerjemah
bisa langsung menerjemahkannya secara harfiah asal tidak bertentangan
dengan kaidah tata bahasa BSa. Kalau terjemhan harfiah tidak berterima,
penerjemah bisa mengubah terjemahannya sedikit lebih bebas sehingga
makna dan gaya bahasa itu bisa tersampaikan. Perhatikan contoh-contoh
berikut. Kalimat BSu di ambil dari The Broken Wings karya Kahlil Gibran.
BSu: ... when love opened my eyes with its magic rays and touched
122
my spirit for the first with its fiery fingers, ... (p. 343)
BSa: ... saat cinta membuka mataku dengan sinar ajaibnya dan
untuk pertama kali menyentuh jiwaku dengan tangan-tangan
hangatnya, ...

BSu: ... and when I sat by the seashore I heard the waves singing the
song of Eternity (p. 383)
BSa: ... dan saat aku duduk di tepi laut aku dengar ombak
menyanyikan lagu keabadian.

BSu: ... and the passion that drew tears from my eyes was replaced
by perflexity that sucked the blood from my heart, ... (p. 400)
BSa: ... dan cinta yang mengeringkan air mata dari mataku berganti
menjadi kebingungan yang menyedot darah dari hatiku, ...

6.11.4 Idiom (Kiasan)


Idiom atau kata kias adalah kata-kata yang tidak bisa dimengerti
dan diterjemahkan secara harfiah dan biasanya menyimpang dari kaidah
gramatika yang umum. Untuk itu penerjemah harus memahami maknanya
dalam kaitannya dengan konteksnya, meskipun ada beberap idiom yang
sudah sangat umum. Setelah itu usaha penerjemahan baru bisa dimulai.
Pasti, modifikasi diperlukan agar makna yang sesungguhnya bisa
tersampaikan. Terjemahan idiom ini adalah idiom lain di dalam BSa bila
ada, dan bila tidak (sayangnya ini yang sering terjadi), maka penerjemah
bisa mencari kata umum di dalam BSa yang mengandung makna yang
sama dengan idiom BSu yang bersangkutan. Perhatikan contoh-contoh
berikut.

BSu: Ia adalah seorang kuli tinta yang handal.


BSa: He is a reliable journalist.

BSu: Don't just take it for granted. Study it first, speak later.
BSa: Jangan hanya menerima apa adanya. Pelajari dulu, baru bicara.

Bsu: Don't lose your heart. The sun always rises in the morning.
BSa: Jangan patah semangat. Matahari selalu terbit tiap pagi.
123
BSu: Michael Jackson is one of the living legends.
BSa: Michael Jackson adalah salah satu dari legenda hidup.

BSu: You cannot fly off the handle here.


BSa: Kamu tak boleh marah-marah di sini.

BSu: Don't ever spill the bean.


BSa; Jangan pernah membuka rahasia.

Dari pembahasan tentang makna figuratif atau makna kias ini dapat
disimpulkan bahwa penerjemah selayaknya berusaha menerjemahkan
teks secara langsung (harfiah) jika berterima di dalam BSA secara tata
bahasa dan semantis. Tetapi jika hal ini tidak mungkin, penerjemah bisa
lebih bebas untuk menuliskan kembali teks BSu menjadi teks BSa. Hal
pertama adalah mencari padanan yang ungkapan, gaya bahasa, atau kata
kias yang telah ada di dalam BSa. Bila hal ini pun tidak mungkin, cara
terakhir adalah menggunakan kata lain dengan makna yang sama dengan
ungkapan, gaya bahasa, atau kata kias BSu, yang bersifat universal, atau
kalau perlu menerangkan maksudnya.

124
BAB VII
MAKNA DAN TERJEMAHAN

Makna dan terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat.


Menurut Newmark, (1991: 27) menerjemahkan berarti memindahkan
makna dari serangkaian atau satu unit linguistik dari satu bahasa ke bahasa
yang lain. Yang perlu dicermati adalah di dalam sebuah wacana terdapat
lebih dari satu macam makna.

8.1 Macam-macam makna

Menurut Suryawinata (1989: 21-22) ada lima macam makna, yaitu makna
leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual atau situasional, dan makna
sosiokultural. Leksikal adalah butir linguistik yang terdapat di dalam
kamus. Jadi makna leksikal adalah makna yang diberikan di dalam kamus.
Sebagai contoh perhatikan makna leksikal dari kata "hand" yang terdapat
di dalam kamus Longman berikut.

Hand--the moveable parts at the end of the arms, including the fingers

Makna gramatikal adalah makna yang diperoleh dari bentukan,


susunan atau urutan kata dalam frasa atau kalimat. Lebih jelasnya makna
ini dihasilkan oleh imbuhan atau makna yang ditimbulkan oleh susunan
antara satu kata dengan kata yang lainnya yang menyusun kalimat.
Perhatikan perbedaan makna dari beberapa pasang kata atau kalimat di
bawah ini.

a. menidurkan
b. meniduri
c. tertidur

a. memijat
b. memijati
c. memijatkan
125
a. Seekor anjing menggigit orang.
b. Orang menggigit seekor anjing.

a. I go to the office.
b. I went to the office.
c. To the office I went.

Makna tekstual adalah makna suatu kata yang ditentukan oleh


hubungannya dengan kata-kata lain di dalam suatu kalimat (Suryawinata,
1989: 22). Kata bahasa Inggris "hand" bisa mempunyai berbagai makna
tergantung pada kata-kata lain yang membentuk kalimat. Suryawinata
memberi contoh berikut ini:

1. Hand me your paper (menyerahkan)


2. Just give me a hand. (membantu)
3. All hands up! (anak buah kapal)
4. They're always ready at hand. (siap)
5. Hands up! (angkat tangan)

Seperti halnya kata bahasa Inggris "hand" yang mempunyai makna


yang bermacam-macam, kata bahasa Indonesia "tangan" pun mempunyai
makna yang bermacam-macam pula, yang sebagian besar tidak mirip
dengan makna kata "hand". Kedua kata ini makna leksikalnya memang
sama. Perhatikan contoh-contoh berikut.
1. Ia sekarang menjadi tangan kanan pimpinan perusahaan.
2. Orang yang bertampang sopan itu ternyata kaki tangan sindikat
pengedar narkoba.
3. Kapan masalah ini ditangani pihak berwajib?
4. Uluran tangan para dermawan diperlukan untuk
menyelamatkan tunas bangsa ini.
5. Puisi ini buah tangan seorang penyair muda yang penuh
dinamika.

Makna kontekstual atau makna situasional, menurut Suryawinata


(1989: 23), adalah makna yang timbul dari situasi atau konteks di mana
frasa, kalimat, atau ungkapan tersebut dipakai. Di dalam ilmu pragmatik
126
atau analisis wacana, yang termasuk elemen konteks atau situasi ini
adalah partisipan (pelibat), seting (waktu dan tempat), tujuan, topik, dan
sarana komunikasi yang dipakai.
Sebuah ungkapan "good morning" bisa mempunyai makna yang
berbeda meskipun sama-sama diucapkan oleh seorang atasan kepada
pegawainya kalau waktunya berbeda. "Good morning" berarti sapaan
yang ramah jika diucapkan oleh seorang atasan kepada seorang
pegawainya yang datang lebih dahulu, mungkin sebelum pegawai-
pegawai lain datang. "Good morning" berarti sebuah teguran yang sinis
bila diucapkan oleh atasan yang sama beberapa menit kemudian kepada
seorang pegawai lain yang datang terlambat.
Di dalam menerjemahkan hal ini, seorang penerjemah harus hati-
hati. Ia bisa langsung menerjemahkan keduanya menjadi "Selamat pagi"
apabila konteks yang ada memang dirasakan cukup sehingga bisa
mengamankan makna yang sebenarnya. Kalau tidak, "Good morning"
kedua bisa diterjemahkan menjadi kelimat bahasa Indonesia yang lain
yang mempunyai makna yang sama dengan makna situasional yang ada:
"Kamu terlambat lagi".
Lebih jauh lagi, Suryawinata (1989: 23) mencatat bahwa ungkapan
"Good morning" pun tidak selalu padan dengan "Selamat pagi" bila
ditinjau dari seting waktu pengucapannya.
1. Kalau kita bertemu dengan seorang kawan pada jam 08:00 kita
menyalaminya dengan "Selamat pagi". Dalam hal ini terjemahannya
memang "Good morning."
2. Pada jam 11:00 kalau kita bertemu seorang teman, salam kita bukan lagi
"Selamat pagi", tetapi sudah "Selamat siang." Di dalam bahasa Inggris,
salam ini harus tetap diterjemahkan menjadi "Good morning."
3. Selain itu, pada jam 01:00 pagi hari, salam kita adalah "Selamat malam",
tetapi bahasa Inggrisnya adalah "Good morning".
4. Sementara itu "Good night" tidak pernah digunakan untuk memberi
salam kalau kita bertemu seseorang di dalam bahasa Inggris. Ungkapan
ini malah digunakan untuk memberi salam perpisahan di malam hari.
Orang Inggris mengucapkan "Good evening" saat kita mengucapkan
"Selamat malam" pada kurun waktu setelah waktu Isya' sampai sekitar
jam 00:00 malam.
Makna sosiokultural adalah makna kata sesuai dengan faktor-
127
faktor budaya masyarakat pemakai bahasa itu. Suryawinata (1989: 24)
memberi contoh-contoh berikut.
1. Orang-orang Jawa biasanya bertanya kepada seorang kawan yang baru
pulang dari bepergian dengan pertanyaan: "Endi oleh-olehe?"
Ungkapan ini secara harfiah berarti "Mana oleh-olehnya?" Tetapi
ungkapan ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa si penanya betul-
betul minta oleh-oleh atau buah tangan si kawan. Ini hanyalah salam
akrab. Apa pun jawabnya tidaklah menjadi soal benar. Setelah itu
mereka akan bercakap-cakap akrab.
Di dalam kebiasaan masyarakat Jawa, pertanyaan itu dijawab
dengan "Slamet". Artinya oleh-olehnya adalah keselamatan. Sering kali
jawabannya berupa sedikit gurauan, yaitu "Kesel" atau "capai".
Tentu saja ungkapan ini sulit diterjemahkan secara harfiah ke
dalam bahasa Inggris. Konsep "oleh-oleh" pun tidak mempunyai makna
yang sama dengan "gift" atau "present" di dalam bahasa Inggris. Tetapi
secara kultural bahasa Inggris juga mempunyai ungkapan yang kurang
lebih sama, yaitu "How's your trip?" Dan jawabannya adalah "It was
marvelous."
2. Selain itu konsep Jawa "kadingaren" atau di dalam bahasa Indonesia
"tumben" juga tidak ada di dalam konsep bahasa Inggris. Konsep ini
mengandung unsur "surprise" karena kejadian yang dikomentari
dengan "tumben" itu tidak biasa terjadi. Mungkin alternatif
penerjemahannya adalah "It's a surprise!" meskipun maknanya tidak
sama benar.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, menerjemahkan berarti
memindahkan makna dari serangkaian atau satu unit bahasa dari satu
bahasa ke bahasa yang lain. Tetapi yang dimaksud dengan makna di sini,
menurut Newmark (1991: 26) bukanlah keseluruhan makna. Hariyanto
(1999: 41) mencontohkan bahwa di dalam kalimat "She just arrived"
terkandung makna bahwa seorang wanita sudah datang, apakah
datangnya itu baru saja ataukah sekian jam yang lalu. Demikian juga
kalimat bahasa Jerman "die Sonne geht auf" memberitahu kepada
pembaca bahwa sekarang matahari sedang terbit atau memang biasanya
terbit setiap pagi. Yang jelas, dengan kalimat ini pembaca juga diberi tahu
bahwa matahari berjenis kelamin perempuan. Tetap dalam konteksnya,
penerjemah tidak perlu menerjemahkan semua ragam makna ini. Jadi
128
makna yang mana yang harus diterjemahkan? Tentu saja makna yang
paling penting disampaikan sesuai dengan tujuan penulisannya.
Newmark (1991), berpendapat bahwa makna bisa dikategorikan
menjadi tiga golongan, yaitu makna kognitif, makna komunikatif, dan
makna asosiatif. Ketiga makna ini sama-sama berkenaan dengan proses
penerjemahan. Untuk menerjemahkan ungkapan sederhana bahasa
Inggris "You know" saja (dalam kalimat, "I don't like it, you know."),
seorang penerjemah perlu mengetahui ketiga makna ini. Makna kognitif
dari ucapan itu adalah bahwa si pengujar mengatakan bahwa apa yang
baru diucapkannya itu benar. Makna komunikatifnya adalah si pengujar
minta perhatian pendengarnya, dan makna asosiatifnya adalah kedua
orang tersebut sedang berbicara tentang sesuatu yang sama-sama mereka
ketahui. Newmark lebih jauh menyatakan bahwa setiap jenis makna bisa
dipindahkan ke dalam BSa meskipun dia juga mengakui bahwa tidak
semua jenis makna ini harus diterjemahkan. Oleh karena itu penerjemah
harus selalu mampu menganalisis jenis makna ini dan memprioritaskan
makna yang lebih penting bagi keseluruhan teks.
Lebih jauh Newmark (1991; 29) membagi makna kognitif menjadi
beberapa makna lagi, yaitu makna linguistik, makna rujukan, makna
implisit, dan makna tematik. Makna linguistik adalah ide dasar yang ada di
dalam teks yang bersangkutan. Bisa dikatakan bahwa makna ini sama tidak
berbeda jauh dari serangkaian makna leksikal.
Makna rujukan adalah kata atau makna kata yang dirujuk oleh
sebuah pronomina atau kata di dalam satu atau serangkaian kalimat.
Sebagai contoh perhatikan kalimat berikut.
Ayahnya tetaplah seorang yang sabar. Ia tidak marah meskipun
Gudang Garamnya basah kena tumpahan susu.
Di dalam kalimat di atas, makna rujukan kata "ia" adalah
"ayahnya" dan kata "Gudang Garam" merujuk pada rokok cap Gudang
Garam.
Makna implisit adalah gagasan atau makna yang ditentukan di
dalam nada sebuah teks. Makna implisit tidak bisa ditemukan langsung
dari baris-baris kalimat yang ada. Pembaca harus bisa mencari ini sendiri
setelah membaca seluruh teks. Perhatikan contoh berikut.

129
Tentang Demokrasi
Sekarang, orang bilang, Demokrasi
Ya demokrasi!
Demokrasi lebih baik kan?
Toko hancur, buruh mogok
Orang saling bunuh
Petinggi saling fitnah
Dan anak-anak kurang makan
Tak mampu menatap masa depan?

Dari contoh ini, pembaca tentu tahu bahwa kata demokrasi tidak
bermakna seperti yang diuraikan baris-baris di atas. Makna implisit utama
yang bisa ditarik dari puisi di atas adalah "orang berbuat semaunya dengan
mengatasnamakan demokrasi". Makna ini baru bisa dipahami setelah
pembaca membaca keseluruhan puisi.
Yang terakhir, makna tematik adalah makna yang dilihat dari
kedudukan sebuah kata di dalam kalimat. Kata pertama di dalam kalimat
disebut tema, dan mengandung informasi yang sudah sama-sama
diketahui oleh para pelibat pembicaraan. Informasi barunya diletakkan di
dalam bagian kalimat yang ada di belakang tema, yang disebut rema. Jadi
makna tematik adalah makna yang dipentingkan berdasarkan kedudukan
kata (tema-rema) di dalam kalimat. Kata yang pertama atau tema biasanya
lebih ditekankan di dalam kalimat, oleh karena itu maknanya tidak bisa
diabaikan begitu saja di dalam terjemahan. Makna tematik, atau makna
kata yang berkedudukan sebagai tema, ini merupakan dasar formal
ekuivalensi makna antara BSu dan BSa. Jadi kalimat "Ke sana dia pergi"
menurut makna tematik ini harus diterjemahkan menjadi, "There he goes"
karena makna tematik kata "Ke sana" itu penting.
Jenis kedua, makna komunikatif, juga bisa dibagi lagi menjadi
beberapa makna, yaitu: makna ilokusi, makna performatif, makna
inferensial, dan makna prognostik. Makna ilokusi adalah kekuatan atau
maksud dasar sebuah kalimat. Kalau kalimat itu kalimat tanya maka
dinyatakan dalam susunan kata yang bagaimana pun, makna ilokusinya
menuntut adanya jawaban. Kalimat BSu yang mempunyai makna ilokusi
seperti ini tentu saja tidak boleh diterjemahkan menjadi kalimat yang
hanya berupa himbauan.
Makna makna performatif adalah tindakan yang benar-benar
130
dilakukan jika sebuah kalimat ditulis atau sebuah ujaran diujarkan. Jadi,
sebuah kalimat bermakna memberi kekuatan hukum di dalam surat
perjanjian dan di dalam peristiwa perkawinan. Maksudnya adalah kalimat-
kalimat di dalam surat perjanjian mengikat kedua belah pihak secara
hukum. Sementara itu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pengantin
laki-laki dalam menjawab pertanyaan penghulu di dalam adat perkawinan
Islam adalah sebuah tindakan yang bisa mengesahkan atau tidak
mengesahkan hubungan perkawinan sepasang manusia itu.
Makna inferensial adalah makna yang bisa disimpulkan dari
sebuah kalimat. Kalimat "Seandainya saja kamu tahu hatiku" mempunyai
makna penyesalan. Kalimat itu menyiratkan makna bahwa pengujar atau
penulis menyesal bahwa pendengar atau pembaca dulu tidak mengetahui
isi hatinya.
Makna prognostik adalah makna kalimat untuk memberi tanda
bahwa sesuatu akan terjadi sebentar lagi. Kalimat "Tunggu apa lagi?"
memberi tanda bahwa pendengar harus segera bertindak.
Di dalam sebuah kalimat, biasanya hanya terdapat satu buah
makna komunikatif. Mungkin hal ini tidak begitu menyebabkan masalah
bagi penerjemah, tidak seperti makna kognitif di atas, atau makna
asosiatif. Makna asosiatif adalah makna yang berhubungan dengan latar
belakang penulis, situasi, atau bahkan nilai bunyi kalimat BSu. Bila
dihubungkan dengan latar belakang penulis, makna ini bisa ditangkap dari
sosioleknya. Jadi kita bisa membedakan makna kata "bersantap" dan
"makan". Maknya juga bisa diturunkan dari dialeknya, apakah kata yang
dipakai adalah "kenape" atau "kenapa". Makna bisa juga dilihat dari jenis
kata menurut kapan kata itu biasa digunakan. Jadi kalau kita mendengar
seseorang mengucapkan kata "diabaiken" kita bisa menebak bahwa
pengujar itu golongan tua yang menerima pendidikan bahasa Melayu
lama, bukan generasi muda yang menerima pendidikan bahasa Indonesia.
Makna asosiatif bisa ditangkap dari situasinya, apakah situasinya
formal atau informal, universal atau ekslusif, subjektif atau objektif
(Newmark, 1999: 29-31). Makna ini terutama meliputi makna pragmatis,
yaitu makna yang berkenaan dengan efek yang diingin diciptakan pada
pembaca tertentu.
Mengenai derajat keformalan ini, kita bisa melihat apakah kalimat
itu menggunakan kata "wafat", atau "mati, meninggal," atau "tewas."
131
Dalam hal keuniversalannya, kita bisa melihat apakah suatu kalimat
menggunakan kata-kata yang umum atau khusus untuk kalangan tertentu
saja, misalnya apakah menggunakan kata "perut" atau "abdomen." Dalam
hal keobjektifan, bisa dipertanyakan apakah sebuah kalimat menggunakan
kata-kata faktual atau kata-kata yang bermuatan emosi. Kita bisa
membedakan makna ini di dalam kalimat "Ada tiga bekas luka yang
mengeluarkan darah di bagian dada" dan "Darah mengucur deras dari
dadanya."
Makna kata asosiatif bisa juga ditinjau dari budaya pengguna atau
penulisnya. Kata "berambisi" yang digunakan oleh penulis Indonesia tentu
tidak bermakna sama dengan "ambition" yang dipakai oleh penulis Inggris.
Kata "demokrasi" mungkin berbeda maknanya dari kata "democracy" bagi
penulis yang berasal dari budaya berbeda.
Makna yang terkait dengan nilai bunyi atau efek suara dan
beberapa hasil manipulasi kata-kata bisa dilihat secara khusus pada gejala-
gejala yang disebut onomatopoeia, asonansi, aliterasi, rima, dan lain-lain.
Permainan kata ini bisa secara langsung digunakan utuk mengutarakan
makna.
Akhirnya bisa dimengerti bahwa di dalam sebuah teks terdapat
banyak sekali makna. Makna mana yang harus dipindahkan di dalam
proses penerjemahan? Jawabnya tentu saja makna yang dimaksudkan
oleh si penulis, bukan makna yang disusun sendiri oleh penerjemah.
Karena makna yang dikehendaki oleh penulis BSu ini hadir di dalam
tulisannya yang juga mengandung makna yang menurutnya kurang
penting, maka seorang penerjemah harus berhati-hati agar makna ini tidak
hilang di dalam proses penerjemahan. Makna ini harus diturunkan dari
keseluruhan teks sebagai hasil proses mempertimbangkan sekian banyak
makna yang telah disebut. Seorang penerjemah harus mampu
menentukan apakah di dalam sebuah kalimat makna kognitif, makna
komunikatif, atau makna asosiatifnya yang paling penting. Di samping itu
ada juga kemungkinan bahwa makna kognitif, makna komunikatif, dan
makna asosiatif ini menyatu dan oleh karenanya, kalau bisa, hendaknya
ditransfer ke dalam BSa secara utuh.

132
BAB VIII
PENERJEMAHAN TEKS IPTEK

Tujuan utama penguasaan bahasa asing di Indonesia adalah untuk


melancarkan alih teknologi. Sebenarnya di samping pengajaran bahasa
asing, ada satu cara yang dapat ikut mendorong, meningkatkan, dan
mempercepat proses transfer IPTEK itu, yakni penerjemahan naskah-
naskah IPTEK ke dalam Bahasa Indonesia (Suryawinata, 1990: 45).
Suryawinata lebih jauh menyatakan bahwa dengan penerjemahan naskah-
naskah IPTEK kita memperoleh beberapa keuntungan, misalnya (1)
dengan satu buku terjemahan, salah satu bidang IPTEK dapat
disebarluaskan kepada ribuan pembaca atau pembelajar; (2)
penerjemahan dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja.
Lalu siapa yang akan menjadi penerjemah di bidang ini? Tentu saja
jawabnya siapa saja yang berminat melakukannya asalkan ia memenuhi
beberapa syarat: (1) menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran
dengan baik, dan (2) menguasai atau paling tidak mengenal bidang IPTEK
yang akan diterjemahkan. Secara personal, mereka ini bisa saja para
penerjemah profesional, para dosen bidang ilmu yang bersangkutan, atau
para ahli di bidang tersebut. Tetapi umumnya, para peneliti dan para ahli
ini tidak mempunyai cukup banyak waktu untuk melakukan penerjemahan
ini. Oleh karena itu, menurut Suryawinata, para cendekia yang berpotensi
bisa juga menyumbangkan karya nyata bagi bangsa ini dengan cara
menerjemahkan buku-buku IPTEK. Mereka ini adalah para pensiunan
peneliti, para pakar ilmu tertentu yang sudah tidak aktif lagi, bahkan ibu
rumah tangga yang memiliki keahlian tertentu dalam bidang IPTEK, yang
karena sesuatu hal terpaksa tidak dapat memanfaatkan ilmu yang
dikuasainya.

8.1 Fungsi Bahasa dan Komunikasi IPTEK


Untuk lebih memahami hakikat teks IPTEK, terlebih dahulu ada
baiknya jika kita tinjau fungsi teks. Dalam suatu teks sebenarnya terjadi
komunikasi antara penulis dan pembaca. Jadi menerjemahkan suatu teks
berarti menerjemahkan komunikasi. Dan seperti telah kita ketahui,
133
komunikasi ini mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut para ahli,
fungsi komunikasi ini dikategorikan menjadi enam (Suryawinata, 1990:
49).

1. Fungsi referensial.
Fungsi referensial terutama mengacu pada referen atau rujukan kata.
Di sini yang dipentingkan adalah acuannya, bendanya, atau konsepnya.
Perhatikan contoh di bawah ini:

"A pidgin is a language with no native speakers: it is no one's first


language but is a contact language. That is, it is the product of a
multilingual situation in which those who wish to communicate must
find or improvise a simple language system that will enable them to do
so." (Wardhaugh, 1998: 57)

Di dalam kutipan di atas, referen atau acuannya adalah konsep


tentang "pidgin" yang sedang diterangkan. Di dalam kutipan di atas,
fungsi referensial sangatlah dominan. Di dalam teks IPTEK fungsi ini
sangat penting karena suatu teks IPTEK harus memiliki acuan yang
jelas, unsur-unsur yang mengandung makna, konsep yang tidak
bermakna ganda.
Di dalam teks di atas, kata ganti "it" digunakan berulangkali untuk
merujuk pada "pidgin". Jelasnya, "it" di sini berarti "pidgin". Di teks lain,
arti "it" bukan lagi "pidgin", tetapi konsep atau kata lain yang
mendahuluinya. Dalam kalimat "Money is one of the best human
achievement. It enables a very practical exchange of goods", "it" berarti
"money".
Di dalam Bahasa Indonesia kata ganti ini mirip sekali dengan "ia"
atau "dia". Hanya saja, "ia" dan "dia" jarang sekali dipakai untuk
merujuk benda. Sebaliknya, "it" di dalam bahasa Inggris selalu dipakai
untuk merujuk benda. Untuk merujuk pada orang, maka Bahasa Inggris
mempunyai "I", "we", "you", "they", "he", dan "she"; dan Bahasa
Indonesia mempunyai "saya", "kami", "kita", "anda", "mereka", dan
"ia" atau "dia". Di dalam Bahasa Indonesia, pengulangan sering dipakai
dan ini suatu kewajaran. Di dalam Bahasa Inggris, pengulangan kata
benda dipandang sebagai kekurangan. Oleh karena itu, di dalam
menerjemahkan kata-kata yang mengandung fungsi referensial ini,
134
penerjemah harus pandai-pandai menimbang untuk menentukan
apakah ia harus menerjemahkan kata ganti tersebut atau mengulang
saja kata yang dirujuk.
Sebagai ilustrasi, berikut ini disajikan terjemahan dari paragraf
Bahasa Inggris di atas. Perhatikan bahwa kata ganti "it" diganti dengan
rujukannya "pidgin" agar lebih terasa Indonesia.

Pidgin adalah bahasa yang tidak mempunyai penutur asli. Pidgin


bukanlah bahasa ibu siapapun, tetapi pidgin merupakan bahasa
pergaulan. Ini berarti bahwa pidgin merupakan produk situasi
multilingual, yang pada saat itu orang-orang yang ingin
berkomunikasi harus mencari atau berimprovisasi terhadap
sistem bahasa sederhana yang akan membuat mereka mampu
berkomunikasi.

2. Fungsi estetis
Fungsi estetis sering juga disebut fungsi puitis. Fungsi yang terutama
mementingkan keindahan komunikasi ini sering kali dijumpai pada
teks-teks sastra dan juga lirik-lirik lagu. Fungsi ini biasanya dihadirkan
dengan pemakaian kata-kata yang berbunga-bunga atau bahkan
bermakna ganda. Oleh karena itu, fungsi ini sangat jarang terdapat
dalam teks-teks IPTEK sebab teks IPTEK harus disajikan dengan lugas
tanpa memakai bahasa yang bisa menimbulkan kegandaan tafsir.
Sebagai contoh kalimat yang mengantung fungsi ini adalah salah
satu bait lagu "Candle in the Wind" yang ditulis oleh Elton John untuk
mengantar kepergian Lady Diana berikut ini.

It seems to me you lived your life like a candle in the wind.


Bagiku, rasanya kau menjalani hidupmu bagai sebuah lilin
diterpa angin.

Klausa "bagai lilin diterpa angin" tidak lugas dan menimbulkan


banyak tafsir. Bagaimana yang dimaksud dengan "hidup bagai lilin
diterpa angin"? Kalimat ini sangat berbeda dengan kalimat "Lilin itu
mati karena teritup angin". Kalimat ini lugas, tidak menimbulkan
kegandaan tafsir. Maknanya jelas sekali dan pasti: ada lilin menyala.
135
Udara di tempat itu bergerak ke arah tertentu. Oleh karenanya, lilin itu
mati.

3. Fungsi ekspresif
Fungsi ekspresif sering kali disebut juga fungsi emotif. Fungsi ini
berfokus pada pembicara atau penulis, yaitu proses pengungkapan
kehendak dan perasaan pembicara atau penulis. Contoh teks yang
kental dengan fungsi ini adalah buku harian, otobiografi, memoar,
ulasan dan komentar atau resensi. Karya sastra pun sangat sering
mengandung fungsi ini.
Teks IPTEK jarang menonjolkan fungsi ini karena yang terpenting
di dalam teks IPTEK adalah acuannya bukan cara menerangkan acuan
itu yang mungkin saja khas bagi tiap-tiap penulisnya. Kalau toh fungsi
ini hadir di dalam teks IPTEK, maka fungsi ini bisa saja diabaikan.

4. Fungsi direktif
Fungsi direktif sering juga disebut fungsi konatif atau fungsi imperatif.
Fungsi ini berfokus pada penerima pesan, pendengar atau pembaca.
Fungsi ini hadir dengan nyata bila si penerima pesan, pendengar atau
pembaca itu bisa memberi tanggapan, reaksi, atau perbuatan sesuai
dengan kehendak penulis. Fungsi ini sering kali dijumpai di dalam teks
IPTEK terutama teks mengenai petunjuk melakukan sesuatu, mulai dari
buku manual alat-alat listrik sampai petunjuk pelaksanaan percobaan
di laboratorium. Perhatikan contoh berikut:

If your monitor fails to operate correctly consult the following


check points for possible solutions before calling for help.
1. No picture: check to make sure the AC power cord is plugged in.
Check to make sure there is power at the AC outlet by plugging
in another piece of equipment (such as a lamp) to the outlet.
2. No picture, yet LED indicator is on: make sure the PC is turn on.
Check to make sure the video signal cable is firmly connected in
the video card socket. Check to make sure that the video card
in securely seated in the PC.

136
5. Fungsi fatis
Fungsi ini berfokus pada kelangsungan jalannya komunikasi atau
terjaganya hubungan komunikasi antara pembicara/penulis dengan
pendengar/pembaca. Biasanya fungsi ini ada di dalam komunikasi yang
tidak langsung, misalnya lewat telepon antara seseorang dengan orang
lain, lewat radio (ORARI, KRAP), lewat satelit antara petugas menara
kontrol pelabuhan udara, dan lain-lain. Selain itu, di dalam buku IPTEK
pun kadang juga terdapat fungsi ini. Ada banyak cara penulis
mengingatkan pembacanya bahwa ia sedang membahas masalah A
dan bukan B. Sebagai contoh, setelah dalam beberapa paragraf penulis
membahas ciri pertama dari gunung berapi, penulis memulai alenia
baru dengan kata "Ciri kedua dari gunung berapi aktif adalah …".

6. Fungsi metalingual
Fungsi ini berfokus pada lambang, yaitu perlambangan unsur, konsep,
dan relasi. Fungsi ini sangat penting bagi teks IPTEK. Di dalam
matematika terdapat banyak rumus. Dan rumus-rumus ini adalah
perwujudan nyata akan pentingnya fungsi metalingual ini. Huruf-huruf
di dalam rumus tersebut adalah lambang-lambang yang mewakili
konsep-konsep. Cobalah ingat rumus luas persegi panjang yang sangat
sederhana itu, L= p x l. Di dalam rumus ini L mewakili konsep luas, dan
p dan l mewakili konsep panjang dan lebar. Jangan lupa juga bahwa x
mewakili konsep perkalian atau penjumlah berulang. Contoh lain
adalah lambang-lambang unsur dan reaksi dalam ilmu kimia. Tentunya
kita sangat kenal dengan lambang-lambang ini: H2O (air), O2 (oksigen),
dll.
Selain sistem lambang di atas, cara merepresentasikan konsep
dan hubungan bisa dilakukan dengan skema, diagram, grafik, dll.
Tujuan utama fungsi metalingual ini adalah untuk mencegah
terjadinya salah tafsir terhadap konsep yang disampaikan penulis.
Dengan kata lain ketunggalan makna di dalam teks IPTEK sangatlah
penting. Hal ini, menurut Suryawinata (1990: 52) bertolak belakang
dengan karya sastra yang justru akan sangat menarik bila ada
kegandaan makna atau ketaksaan.
Di dalam teks-teks IPTEK sering kali terdapat fungsi referensial,
direktif, dan metalingual, dan kadang-kadang juga fungsi fatis untuk
137
menjaga kesatuan teks. Tetapi yang perlu disadari bahwa fungsi-fungsi
ini mungkin sekali berada secara bersama-sama di dalam sebuah teks,
atau paling tidak lebih dari satu fungsi yang menonjol. Pemahaman
akan fungsi yang dominan di dalam sebuah teks akan membantu
penerjemah untuk tidak melakukan kesalahan di dalam memahami
tujuan sebuah teks.

8.2. Ciri Khas Bahasa IPTEK


8.2.1. Lugas, logis, runtut
Semua bahasa mempunyai ciri arbitraris atau manasuka. Semua
bahasa mempunyai pengakuan, penerimaan, dan pemakaian oleh penutur
bahasa itu. Sebuah bangunan tempat tinggal manusia di dalam bahasa
Indonesia di sebut rumah, di dalam Bahasa Inggris di sebut house, di dalam
bahasa Jerman disebut Hause, dan di dalam bahasa Belanda disebut huis.
Sebenarnya tidak seorang pun memaksa agar orang menyebut bangunan
itu rumah, house, Hause, atau huis. Orang boleh saja menyebut bangunan
itu dengan kata lain. Namun anehnya orang-orang menerima dan sepakat
bahwa bangunan itu disebut dengan rumah, house, Hause, dan huis dalam
bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, dan Belanda. Ciri inilah yang disebut
manasuka.
Bahasa IPTEK adalah bahasa manusia juga. Jadi ia tentunya juga
memiliki ciri di atas. Tetapi kemanasukaan di dalam dunia IPTEK mengikuti
pola-pola yang sudah dibakukan di dalam ilmu yang bersangkutan. Di
dalam ilmu biologi, misalnya, banyak digunakan kata dasar bahasa Latin.
Bila Anda menemukan jenis tumbuhan baru, cara penamaan itu pun sudah
harus mengikuti pola tertentu yang telah lazim digunakan di dunia biologi.
Menurut Suryawinata (1990: 63) penggunaan bahasa Latin dan
Yunani kuno di dalam dunia IPTEK mempunyai keuntungan khas karena
kedua bahasa tersebut telah mati (tidak ada lagi penggunanya) sehingga
kedunya menjadi statis dan tak lagi berubah-ubah. Ini berakibat pada
konsistennya kata atau istilah yang telah dibentuk.
Selain itu bahasa IPTEK juga mempunyai ciri langsung atau lugas,
logis, dan runtut. Teks IPTEK harus runtut di dalam paparannya, baik
runtut secara waktu maupun ruang. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah pembaca memahami pokok masalah di dalam teks
tersebut. Bila keruntutan yang dituntut ini terkait dengan penalaran, maka
138
namanya adalah logis. Teks IPTEK haruslah logis karena logika adalah ciri
utama IPTEK. Selain itu teks IPTEK juga harus langsung. Yang dimaksud
langsung ini adalah teks IPTEK hanya mencakup data-data dan kalimat-
kalimat yang memang ada kaitannya dengan topik yang sedang
dibicarakan. Cara pembahasan tidak menggunakan isyarat-isyarat yang
bisa ditafsirkan lain. Sebagi contoh, teks tentang reproduksi manusia harus
secara langsung menjelaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan alat-
alat reproduksi dan proses reproduksi meskipun untuk sementara
masyarakat, cara ini dianggap kurang sopan. Di dalam menyebut alat dan
proses reproduksi ini harus secara lugas agar tidak terjadi kesalahan tafsir.
Konsep-konsep ini biasanya disajikan dengan istilah-istilah Latin yang
bersifat netral, tanpa muatan emosi apa-apa. Yang masuk dalam contoh
ini adalah ovarium, vulva, penis, vagina dll. Tentu akan terasa tidak sopan
jika istilah-istilah ini diterjemahkan ke dalam kata-kata Bahasa Sunda,
misalnya.

8.2.2 Jargon atau Laras (register) dan cara pembentukannya


Ciri khas kedua dari wacana IPTEK adalah dipakainya jargon atau
register tertentu sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan. Jargon
atau laras adalah istilah-istilah khusus di dalam suatu profesi atau disiplin
ilmu tertentu. Sebuah kata mungkin dipakai di dalam banyak cabang ilmu
dan artinya pun berbeda-beda. Di dalam bahasa Inggris, misalnya, kata
"interest" berarti "minat". Kata yang sama dapat berarti "kepentingan" di
dalam dunia politik dan diplomasi, dan berarti "bunga" di dalam dunia
bisnis.
Seorang penerjemah naskah IPTEK harus mengenal istilah-istilah
khusus ini. Khusus mengenai penerjemahan IPTEK dari Bahasa Inggris ke
dalam Bahasa Indonesia, bisa dikatakan di sini bahwa Bahasa Indonesia
masih sangat kekurangan akan padanan istilah IPTEK ini. Hal disebabkan
oleh kenyataan bahwa kita tidak mempunyai konsep tentang kata-kata itu
karena konsepnya pun baru saja ditemukan oleh orang-orang Barat
(Amerika) sebagai hasil dari jerih payah mereka di dalam melakukan
penelitian dan usaha-usaha penemuan. Sebagai contoh sederhana, pada
awalnya kita tidak mempunyai konsep tentang "computer", "gen",
"enzym", "oxygen". Konsep terdekat kita dengan konsep-konsep 'asing'
tersebut, tetapi sama sekali tidak sama, adalah "mesin hitung",
139
"keturunan", "getah", "udara". Kita pun bisa menebak alangkah kacaunya
ilmu pengetahuan bisa di dalam menerjemahkan kita memakai konsep-
konsep yang tidak sama tersebut. Oleh karena itu, penerjemah bisa
membentuk istilah-istilah baru yang bisa membantu pekerjaannya.
Namun demikian tidak boleh dilupakan bahwa ada juga istilah Indonesia
asli yang bisa digunakan untuk menerjemahkan istilah Bahasa Inggris,
misalnya "pemadatan" untuk menerjemahkan "condensation".
Istilah dicipta atau dipinjam dari bahasa asing hanya jika tidak ada
padanannya di dalam Bahasa Indonesia dan terjemahannya terlalu
panjang. Berikut adalah skema pemungutan atau pembentukan dari istilah
asing "linearity" dikutip dari Suryawinata dan Suyitna (1991: 28).

Istilah Diserap dan Istilah dalam bahasa


asing diadaptasi Indonesia

Linearity linear linear linearitas


--ity itas

Gambar 8.1 Proses penyerapan istilah asing ke dalam bahasa


Indonesia
Bila penerjemah ingin menerjemahkan sebuah jargon atau istilah
ke dalam Bahasa Indonesia, ada tiga bahasa yang bisa dijadikan sumber
pencarian atau penciptaannya, yaitu kosa kata umum Bahasa Indonesia,
kosa kata bahasa serumpun/daerah, dan kosa kata bahasa asing (Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud RI, 1975). Berikut ini
adalah uraian dari ketiga kemungkinan di atas. Contoh-contohnya diambil
dari Suryawinata dan Suyitno (1991: 33-35).
a. Sumber istilah dari bahasa Indonesia
Kosakata bahasa Indonesia, baik yang masih aktif dipakai maupun
yang sudah lama tidak dipakai, dapat digunakan sebagai sumber istilah,
dengan catatan harus memenuhi satu atau lebih dari syarat berikut ini:
(1) kata yang paling tepat dan tidak menyimpang maknanya, jika ada dua
atau lebih kata yang rujukannya sama; misalnya:

140
unsur -- komponen--elemen--aspek
keadaan -- suasana--kondisi
(2) kata yang paling singkat jika ada dua kata atau lebih yang rujukannya
sama; misalnya:
zat kecil partikel
sejenis batu kristal
terbagi-bagi kuantisasi
pemantulan cahaya refleksi
derajat panas temperatur
(3) kata yang bernilai rasa baik dan sedap didengar, misalnya:
kewajiban darma
percobaan eksperimen
(4) kata umum yang diberi makna baru/khusus, misalnya:
galak menggalakkan
acu acuan/mengacu
rujuk rujukan/merujuk

b. Sumber istilah dari bahasa daerah/serumpun


Kosakata bahasa daerah/serumpun yang dapat diambil menjadi
istilah harus memenuhi satu atau lebih syarat berikut ini:
(1) lebih cocok karena konotasinya; misalnya:
tuntas ajeg
lugas tataran
wawasan baku
(2) lebih singkat daripada terjemahan Indonesianya; misalnya:
wibawa kekuasaan dan hak memberikan perintah yang harus
ditaati.
gaduhan sistem bagi hasil pemeliharaan ternak

c. Sumber istilah dari bahasa asing


Kosakata bahasa asing yang dapat diambil atau dipungut menjadi
istilah harus memenuhi satu atau lebih syarat berikut ini:
(1) lebih cocok karena konotasinya; misalnya
oksigen lebih cocok daripada gas asam
nitrogen lebih cocok daripada gas lemas
radiasi lebih cocok daripada penyinaran
141
(2) lebih singkat daripada terjemahan Indonesianya, misalnya:
polisakarida : suatu polimer yang terdiri atas banyak monomer
sakarida.
nukleon : sebuah proton atau netron bila berada dalam inti
atom.
amplitudo : jarak antara puncak gelombang atau lembah
gelombang dengan garis sumbu.
rekristalisasi : memurnikan zat yang terlarut dengan pengkristalan
berturut-turut dari suatu pelarut.
(3) memudahkan pengalihan antarbahasa karena corak seinternasional-
annya; misalnya:
reaktor atom katode
atmosfer alkohol alotrop
refleksi foton amplitudo
(4) dapat mempermudah tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia
terlalu banyak sinonimnya.
Secara garis besar istilah dapat dibentuk dengan cara (1)
mengambil kata/gabungan kata umum dan memberinya makna atau
definisi yang tetap, (2) meminjam atau menyerap istilah dari bahasa
daerah, dan (3) menyerap istilah dari bahasa asing dengan cara (a)
mengadopsi, (b) mengadaptasi, dan (c) menerjemahkan. Berikut ini
disajikan keterangan singkat mengenai butir-butir di atas beserta contoh-
contohnya.
a. Mengambil kata/gabungan kata umum dan memberinya makna atau
definisi yang tetap dan tertentu, misalnya
Kata umum Istilah
garam (dapur) garam (NaCl)
air (minum) air (H2O)
asam asam arang (CO2)
b. Meminjam atau menyerap dari bahasa daerah; misalnya:
(1) dari bahasa Jawa: lugas, tuntas, kadaluwarsa, dsb.
(2) dari bahasa Sunda: talimarga, anjangsana, dsb.
(3) dari bahasa Banjar: gambut, dsb.
c. Menyerap istilah dari bahasa asing dengan cara:
(1) mengadopsi, misalnya:
(2)
142
Asing Indonesia
neutron, netron
hydrogen hidrogen,
ion, ion
neon neon
nitrogen nitrogen
elevator elevator
ozone ozon
(3) mengadaptasi; misalnya:
Asing Indonesia
reflection refleksi
catode katode
emultion emulsi
cristalisation kristalisasi
(3) menerjemahkan; misalnya:
Asing Indonesia
network jaringan
triangle segitiga
input masukan
Sehubungan dengan penerjemahan istilah asing ini perlu
diperhatikan bahwa setiap istilah asing tidak selalu perlu dihasilkan bentuk
yang berimbang satu-lawan-satu. Yang harus diutamakan adalah
kesamaan dan kesepadanan makna, konsep, bukan kemiripan bentuk
luarnya atau makna harfiahnya. Untuk itu, medan makna (semantic field)
dan ciri makna istilah bahasa asing dan bahasa Indonesia perlu
diperhatikan. Lihat contoh berikut.
Asing Indonesia
(begrotings) post mata anggaran
brother-in-law abang/adik ipar
dry well rumah pompa
medical treatment pengobatan
network jaringan
Istilah dalam bentuk positif perlu tetap diterjemahkan dengan
istilah bentuk positif. Misalnya bound morpheme diterjemahkan dengan
morfem terikat bukan dengan morfem tak bebas.
Untuk lebih lengkapnya, pedoman penulisan istilah hasil adaptasi
143
dari bahasa Asing ke dalam Bahasa Indonesia, bisa dilihat di Pedoman
Umum Pembentukan Istilah Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departmen Pendidikan dan
Kebudayaan RI (1975) yang sudah diperbanyak oleh banyak penerbit dan
bisa diperoleh dengan mudah di toko-toko buku.

8.3. Ciri-ciri Wacana IPTEK


Pada dasarnya struktur wacana IPTEK mengikuti pola retorika
Anglo-Saxon, yaitu linier. Wacana IPTEK hanya memuat kalimat-kalimat
yang ada kaitanya dengan topik yang sedang dibicarakan. Topik ini
diperkenalkan di awal tulisan di dalam paragraf pembuka (atau bila
wacana itu buku pembuka ini berupa bab pengantar). Lalu topik ini pun
dipersempit sampai kepada masalah yang akan dibahas. Setelah itu
beberapa paragraf (atau bab kalau wacananya buku) akan mengupas topik
atau masalah yang diperkenalkan di depan. Di bagian akhir pasti terdapat
paragraf (atau bab) penutup yang biasanya berisi kesimpulan dan mungkin
juga saran yang sifatnya juga umum. Secara visual pembagian paragraf-
paragraf itu bisa digambarkan berikut ini.

Pendahuluan

Teks Utama

Penutup

Gambar 8.1: Gambar alur wacana IPTEK

Di dalam pembicaraan tentang paragraf ini sering


diperbincangkan dua macam paragraf, yaitu paragraf fisik dan paragraf
konsep (Trimble, 1985: 15). Paragraf fisik adalah sejumlah informasi yang
terkait dengan generalisasi atau kesimpulan umum dari keseluruhan
wacana yang terpisah dari bagian lain wacana tulis tersebut dengan
pemisah berupa indentasi atau spasi. Inilah paragraf yang karena bentuk
fisiknya biasa disebut sebuah paragraf. Sementara itu paragraf konsep bisa
berupa satu atau sekumpulan paragraf bentuk dan mempunyai satu ide
144
dasar. Paragraf konsep terdiri atas semua informasi yang dipilih oleh
penulis untuk mengembangkan sebuah generalisasi, kesimpulan umum,
atau ide dasar. Sebuah paragraf konsep bisa berupa sebuah paragraf fisik
atau bisa saja terdiri atas beberapa paragraf fisik. Para penerjemah
hendaknya menyadari hal ini sehingga ia bisa menentukan hubungan
antar paragraf sebagai bagian dari pertimbangannya untuk
menerjemahkan teks IPTEK.
Berdasarkan cara penyajian topik tersebut, pada dasarnya wacana
IPTEK mengikuti cara penyajian yang naratif, deskriptif, ekspositoris, atau
argumentatif (kisahan, perian, paparan atau bahasan) (lihat Suryawinata,
1990: 77-84). Di dalam teks yang panjang, berbagai jenis penyajian
tersebut biasa dipakai secara bersama-sama.
Penyajian naratif biasanya dipakai dalam menguraikan suatu
perkembangan, misalnya sejarah fisika nuklir. Biasanya penyajian ini
mengikuti urutan waktu atau kronologis. Teknik penyajian ini juga dipakai
di dalam buku petunjuk.
Cara penyajian deskripsi biasanya mengikuti keruntutan ruang
atau spasial. Contohnya adalah sebuah teks yang menerangkan lapisan-
lapisan bumi. Di dalam penyajian deskriptif ini sering kali dijumpai bagan,
denah, diagram, dll. Menurut Trimble (1985: 73-74), ada tiga macam
deskripsi atau perian, yaitu deskripsi fisik, deskripsi, fungsi, dan deskripsi
proses.
Deskripsi fisik meliputi deskripsi karakteristik fisik dan hubungan
spasial. Karakteristik fisik mencakup dimensi, bentuk, berat, warna,
tekstur, bahan, dan volume. Hubungan spasial meliputi deskripsi umum
(biasanya dinyatakan dengan kata-kata, di atas, di bawah, di samping, dll.)
dan deskripsi khusus (yang biasanya dinyatakan dengan ukuran standar.
Untuk mengatakan "tinggi", deskripsi khusus akan menulis "berada papa
ketinggian 700 m di atas permukaan laut". Yang perlu diperhatikan di
dalam hal ini adalah ukuran-ukuran standar yang dipakai di dalam bahasa
Inggris tidak sama dengan ukuran standar di dalam bahasa Indonesia.
Untuk ukuran jarak, bahasa Inggris sering menggunakan "feet, yard, mile"
dll. Untuk bahasa Indonesia yang lebih sering digunakan adalah "meter"
dan "kilometer". Demikian juga untuk satuan berat. Bahasa Inggris sering
menggunakan "pound", sementara bahasa Indonesia menggunakan
"kilogram". Untuk memudahkan pembaca penerjemah lebih baik
145
mengonversikan ukuran-ukuran tersebut ke dalam ukuran yang sering
dipakai dalam bahasa Indonesia. Kendati demikian, masih ada beberapa
ukuran metrik yang tetap digunakan, khususnya dalam bidang
perminyakan: galon dan barel; begitu pula masih digunakan acre
(0.446Ha) yang sering dikacaukan dengan are (100m2)
Deskripsi fungsi adalah perian tentang tujuan atau kegunaan
sebuah objek dan bagaimana bagian-bagian dari objek tersebut berfungsi
untuk mencapai tujuan tertentu.
Deskripsi proses adalah perian mengenai langkah-langkah sebuah
prosedur dan tujuan prosedur tersebut. Deskripsi ini bisa berwujud
paragraf atau instruksi. Berikut ini adalah contoh sebuah paragraf
deskripsi karakteristik dan fungsi.

There are two main types of cranes--the jib and the overhead. The jib has a
long arm--the jib--which point outward horizontally or up at an angle. The
crane works of the principle of the lever. The front wheel of the crane acts
as the fulcrum of the lever, which is the pivot about which movement takes
place. The load arm (the length of the lever) is measured from the load to
the front wheel. The force arm (the length of the lever between the applied
force and the fulcrum) is measured from the height of the crane to the front
wheels. If the crane tries to lift too heavy a load, it tips forwards. Many
cranes ring a warning bell if the load is dangerously heavy. (Methold,
Waters, Cohler, 1980:54)

Penyajian ekspositoris dipergunakan untuk menerangkan sesuatu,


menjelaskan masalah atau fenomena, yang biasanya bersifat abstrak dan
rumit. Di sini biasanya juga terdapat bagan, denah, diagram, dll. Sebagai
contoh wacana ekspositori bisa memaparkan masalah narkoba yang
terkait dengan beberapa aspek, yaitu aspek sosial, pendidikan, keamanan
dan lain-lain.
Model penyajian argumentatif pada praktiknya juga dipakai dalam
tulisan IPTEK. Wacana argumentatif lebih menekankan pada sikap
penulisnya untuk menyatakan pendapat dengan alasan-alasan yang
dikemukakannya. Jenis ini banyak dijumpai di dalam jurnal-jurnal ilmiah
atau makalah-makalah seminar. Sebagai contoh seseorang bisa menulis
sebuah wacana argumentatif untuk mengemukakan idenya bahwa
membangun reaktor nuklir di gunung Muria, Jepara, Jawa Tengah
146
sangatlah berisiko. Wacana ini bisa didukung dengan deskripsi fungsi dan
proses reaktor nuklir diikuti dengan paparan kemungkinan risikonya. Jadi
di sini bisa dilihat bahwa beberapa jenis wacana ini bisa bergabung
menjadi satu dalam sebuah teks, tidak harus berdiri sendiri secara terpisah
(diskret). Berikut ini sekali lagi adalah contoh teks bahasa Indonesia dan
terjemahannya dalam bahasa Inggris. Menurut jenisnya secara garis besar,
teks ini adalah eksposisi tetapi dikembangkan dengan deskripsi, dan juga
argumentasi.

Teks BSu:
Merokok dan Kehamilan
1. Kehamilan merupakan hasil dari pertemuan antara sperma
dengan sel telur. Untuk terjadi suatu kehamilan yang baik
diperlukan sperma yang baik, sel telur yang normal dan kondisi
lingkungan yang menunjang perkembangan dan pertumbuhan
embrio/janin.

2. Didalam asap rokok terdapat lebih dari 4000 jenis polutan/zat


kimia yang berbahaya. Polutan yang paling dikenal secara umum
adalah Nikotin, Karbonmonoksida (CO), Tar, Cadmium, Arsen,dan
Hidrogen Cianida. Polutan yang terdapat didalam asap rokok
selain berbahaya, juga merupakan sumber dari terbentuknya
Oksigen Radikal Bebas yang bersifat mengoksidasi. Radikal
Oksigen Bebas ini dapat merusak jaringan, juga bersifat
mutagenik.

Pengaruh Merokok pada Kesuburan


3. Untuk dapat menjadi hamil tentunya wanita harus mempunyai
tingkat kesuburan/fertilitas yang baik, demikian pula dengan
pasangan suaminya. Pada umumnya wanita perokok akan
memerlukan waktu lebih lama untuk menjadi hamil, dan bila hamil
akan mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
tidak perokok.

4. Polutan yang terdapat dalam asap rokok dapat mempengaruhi


tingkat fertilitas wanita dan pria. Secara umum, pengaruh yang
147
terjadi akibat polutan didalam asap rokok adalah terjadinya
penyempitan pembuluh darah halus, peningkatan denyut jantung
dan kebutuhan akan Oksigen yang meningkat. Nikotin merupakan
penyebab menyempitnya pembuluh darah dan peningkatan
denyit jantung. CO akan berkompetisi dengan sangat baik dengan
Oksigen untuk berikatan dengan Hemoglobin (Hb). Ikatan CO
dengan Hb lebih baik dibandingkan dengan Oksigen, dan ini
berarti tingkat oksigenasi jaringan akan berkurang pada perokok.

5. Pengaruh Nikotin dan Cadmium pada sel telur adalah mengganggu


proses pembelahan-pematangan sel telur, demikian pula pada
sperma. Oksigen Radikal Bebas juga akan mengganggu
kemampuan gerak dan kapasitasi sperma.

6. Asap rokok dengan komponen didalamnya akan berdampak buruk


kepada tingkat fertilitas melalui terjadinya :
1. Kuantitas dan kualitas sperma berkurang.
2. Morfologi sperma lebih banyak mengarah kebentuk abnormal.
3. Sel telur akan lebih sedikit jumlahnya
4. Sel telur imatur (diploid) akan lebih banyak, sebagai akibat
gangguan pembelahan-pematangan.
5. Embrio abnormal (triploidi) lebih banyak, sehingga tingkat
abortus lebih tinggi.
6. Terjadi gangguan gerak di rambut getar (cilia) di saluran telur,
sehingga risiko kehamilan diluar kandungan lebih tinggi.
7. Menopause terjadi lebih dini.

7. Pengaruh Merokok pada Kehamilan


Embrio kemudian berkembang menjadi janin memerlukan nutrien
dari ibu. Nutrien ini diperoleh melalui plasenta dan disalurkan
melalui tali pusat ke embrio/janin. Semua zat yang terdapat
didalam darah ibu akan dapat berpengaruh terhadap kualitas
nutrisi ke Embrio/janin dan berrpengaruh kepada pertumbuhan-
perkembangan janin. Ibu hamil yang sehat, memakan makanan
yang sehat ,tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol
merupakan sumbangan penting untuk perkembangan dan
148
kehidupan janin. Plasenta terdiri antara lain dari pembuluh darah
halus, pada plasenta juga terdapat “barier plasenta” yang
berfungsi menghambat zat tertentu untuk tidak melintasi plasenta
dan memasuki darah janin.

8. Komponen yang terdapat pada asap rokok ternyata mampu


melintasi barier plasenta, sehingga dengan bebas masuk ke tubuh
janin. Nicotin dan CO akan menyebabkan pengecilan diameter
pembuluh darah halus diplasenta juga di tali pusat bayi, dengan
demikian akan mengurangi aliran darah dari ibu ke janin dan
menurunkan tingkat oksigenasi janin. Fungsi plasenta juga akan
terganggu, sehingga fungsi nutrisi ke janin juga akan mengalami
gangguan.

9. Nikotin yang terdapat di darah janin akan mengganggu latihan


pernafasan janin (exercise breathing) karena gangguan pada otot
otot pernafasan janin. Keadaan ini akan juga berpengaruh setelah
bayi lahir. CO dan Nikotin juga mengakibatkan denyut jantung
janin berlebihan karena oksigenasi yang berkurang. Hidrogen
Cianida akan mengganggu pertumbuhan rambut getar (cilia) pada
saluran pernafasan.

10. Ibu hamil perokok merupakan lingkungan yang tidak menunjang


untuk tumbuh-kembang janin dengan sempurna, dengan
demikian berbagai risiko dapat terjadi. Risiko yang mungkin terjadi
pada ibu hamil perokok adalah :
1. Risiko terjadi abortus lebih tinggi.
2. Kualitas nutrisi embrio/janin tidak maksimal.
3. Fungsi palsenta tidak maksimal.
4. Gerak Otot Pernafasan janin berkurang, dan berakibat pada
bayi setelah lahir.
5. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah lebih sering terjadi,
sehingga risiko terjadinya gangguan kesehatan pada bayi lebih
tinggi.
6. Risiko terjadinya kelahiran prematur lebih sering.
7. Risiko terjadinya Kematian Bayi Mendadak (Sudden Infant
149
Death Syndrome) lebih sering.
8. Janin mengalami stress yang tidak perlu.
9. Kematian Perinatal lebih tinggi.

11. Setelah bayi dilahirkan dari ibu perokok maka bayi akan berada
dalam lingkungan perokok, sehingga ia menjadi :
1. Perokok pasif, yang juga mempunyai risiko sama dengan
perokok aktif.
2. Polutan yang terdapat pada ibu akan terdapat pula di air susu
ibu.
3. Bayi akan mempunyai masalah saluran pernafasan.

Teks BSa:
SMOKING AND PREGNANCY

1. Pregnancy happens after a sperm fertilizes an ovum. To result in a


good pregnancy, healthy sperms, normal ovum, and healthy
environment that can facilitate the fetal growth are necessary.

2. Cigarette smoke contains more than 4000 hazardous chemical


pollutants. The most well known ones are nicotine, carbon
monoxide (CO), tar, cadmium, arsenic, and hydrogen cyanide.
Besides being hazardous, the pollutants are also sources for free
radical oxygen which is also an oxidant. The free radical oxygen can
harm tissues and is mutagenic.

The Influence of Smoking on Fertility


3. To be able to get pregnant, a woman should have a good fertility
degree, and so should the husband. In general, it takes a longer
time for a smoking woman to get pregnant. If she is, she has higher
risks for disturbances compared to non-smoking women.

4. The pollutants contained in the cigarette smoke can affect women


and men’s fertility. In general, the pollutants contained in the
cigarette smoke can cause the narrowing of arteries, the increasing
frequency of heartbeat and the oxygen need. Nicotine causes the
150
narrowing of arteries and increasing of the heartbeats. Carbon
monoxide (CO) will compete well with oxygen to bind with
hemoglobin (Hb). The compound of CO and hemoglobin is better
than that of CO and oxygen, and this means that the oxygenation
of the tissue is less on smokers.

5. Nicotine and cadmium influence ovum because they affect the


maturation and fission of the ovum. This also happens to the
sperm. Free radical oxygen will also disturb the motility and
capacity of sperms.

6. The cigarette smoke with its components will create a bad impact
on the fertility degree by:
1. decreasing the quantity and quality of the sperms,
2. decreasing the tendency of the sperms to be abnormal
morphologically,
3. decreasing the quantity of the ovum,
4. increasing the quantity of immature ovum (diploid) as a result
of disturbance of the cell fission
5. decreasing the number abnormal embryo (triploid), so the
aborting degree is higher
6. disturbing the cilia in the fallopian tube, so the possibility for
ectopic pregnancy is increased.
7. increasing the possibility of early menopause

The Influence of Smoking on Pregnancy


7. The embryo growing up into a fetus needs good nutrient from the
mother. The nutrient is taken in from the placenta which is
channeled in through an umbilical cord. All substances contained
in the mother's blood do affect the fetal growth. A healthy
pregnant mother who eats healthy diet, does not smoke, does not
consume alcohol is a great help for the fetal growth. Placenta is
composed of, among others, tender arteries and also barrier
placenta that stops certain substances from entering the fetus'
body.

151
8. Components contained in the cigarette smoke, however, can pass
through this barrier so that they can freely flow into the fetus'
body. Nicotine and CO narrows the artery's diameter in the
placenta and the umbilical cord. Thus, they decrease the flow of
blood from the mother and decrease the fetus' oxygenation. The
function of placenta will also be disturbed so that the nutrient
supply is disturbed, too.

9. The nicotine contained in the fetus' blood disturbs its exercise


breathing because its respiratory muscles are disturbed, too. This
also influences the baby after the birth. CO and nicotine causes the
heart to work hard because of the lack of oxygenation. Oxygen
cyanide will disturb the growth of the cilia in the respiratory
channel.

10. A smoking mother is an unhealthy environment for the perfect


fetal growth, and, therefore, she is open to many risks. The risks
that may face a smoking mother are:
1. Higher risks for abortions
2. Low fetal nutrient quality
3. Non-optimal placenta function
4. Decreasing the fetus' respiratory muscle movement after the
birth
5. Underweight baby who is vulnerable to diseases
6. Higher risks for premature delivery
7. Higher risks for sudden infant death syndrome
8. Unnecessary stress of the fetus
9. Higher risks for prenatal death

11. After delivery, the baby of a smoking mother will be in a smoking


environment so that:
1. It will be a passive smoker, who has similar risks with the active
smoker.
2. The pollutant in the mothers body is also present in the
mother's milk
3. The baby may have respiratory disorders.
152
Seluruh teks berupa wacana konsep tentang bahaya merokok
terhadap ibu hamil. Masing-masing paragraf di dalamnya disajikan melalui
paragraf fisik dengan tipe penyajian yang berbeda-beda.
Paragraf 1 : ekspositoris
Paragraf 2 : deskriptif
Paragraf 3 : argumentatif-ekspositoris
Paragraf 4 : argumentatif-ekspositoris
Paragraf 5 : argumentatif-ekspositoris
Paragraf 6 : ekspositoris-argumentatif
Paragraf 7 : naratif-argumentatif
Paragraf 8 : ekspositoris-argumentatif
Paragraf 9 : argumentatif-ekspositoris
Paragraf 10 : ekspositoris-deskriptif
Paragraf 11 : ekspositoris

Pada waktu menerjemahkan teks IPTEK, penerjemah harus sadar


akan tipe apa atau gabungan dari tipe apa yang sedang dipakai dalam teks
BSu. Karena ada ciri-ciri tertentu untuk setiap jenis dalam hal kata-kata
dan struktur kalimat. Wacana naratif ditandai dengan kata-kata yang
menandai urutan peristiwa seperti first, second, next, afterwards, dan
seterusnya. Tenses (bentuk kala) yang dipakai bisa berupa kala lampau
(past) atau kala kini (present), tergantung pada apakah wacana itu
menceritakan sesuatu yang telah terjadi atau proses umum terjadinya
sesuatu. Untuk wacana deskriptif dan naratif sering digunakan struktur
yang paralel (sejajar). Sementara itu wacana ekspositori dan argumentatif
menggunakan struktur yang sejajar, kalimat majemuk rapatan, kalimat
majemuk bertingkat atau campuran antara kalimat majemuk rapatan dan
majemuk bertingkat. Dari semua elemen-elemen gramatika bahasa Inggris
yang mungkin membuat bingung pembaca non bahasa Inggris, menurut
Trimble (1985:115), ada empat: (1) kalimat pasif dan statif di dalam
deskripsi dan instruksi, (2) penggunaan modalitas di dalam instruksi, (3)
penggunaan kata sandang tentu di dalam deskripsi dan instruksi, dan (4)
pemilihan bentuk kala (tense) di dalam deskripsi dan informasi pendukung
di dalam deskripsi itu.
Berikut ini adalah keterangan mengenai butir-butir yang sulit
tersebut disarikan dari tulisan Trimble (1985: 115-126).
153
Perbedaan antara pasif dan statif
Kata kerja pasif dan statif paling banyak ditemui di dalam wacana
deskripsi dan kadang-kadang juga di dalam bentuk teks instruksi. Kalimat
statif adalah kalimat yang kelihatannya mirip dengan pasif, terdiri atas
kata kerja to be diikuti oleh bentuk past participle, tetapi sebenarnya
bukanlah kalimat pasif karena memang tidak ada pelaku (agent) kata kerja
yang past participle-kan. Sebuah kalimat pasif selalu menunjukkan adanya
aktivitas, sedangkan kalimat statif selalu menunjukkan keadaan atau
kondisi dari subjek kalimat itu. Jadi sebuah kata kerja statif sebenarnya
adalah sejenis frasa kata kerja diikuti oleh kata sifat. Dalam kaitannya
dengan penerjemahan kata kerja pasif sering diterjemahkan dengan di +
kata dasar sedangkan kata kerja statif sering diterjemahkan dengan ter +
kata dasar tetapi tidak selalu.

Contoh kalimat pasif:


BSu: The door is closed by the child.
BSa: Pintunya ditutup oleh anak tersebut.

Contoh kalimat statif:


BSu: I have been here for several month. The door is never open.
It's always closed.
BSa: Saya sudah di sini berbulan-bulan. Pintu itu tidak pernah
terbuka. Pintu itu selalu tertutup.
Contoh berikut ini diambil dari Trimble (1985: 115-116)
Kalimat pasif:
The heat exchanger assembly is lowered from the compartment
while resting on the platform. The platform is lowered and raised by
the hoist crank.

Kalimat statif:
The RS-5 system is composed of an undersea acoustic beacon, a
surface-vessel mounted array….a vertical reference unit….[and]
control unit. The sensor is housed on a support assembly…When the
gear is down and locked….

154
Paragraf yang terdiri atas kalimat pasif di atas mempunyai tiga
bentuk pasif. Bentuk pasif yang pertama tanpa pelaku (agent). Jadi is
lowered bisa diterjemahkan menjadi diturunkan dan is raised menjadi
dinaikkan. Paragraf yang terdiri atas empat bentuk statif is composed of
bisa diterjemahkan menjadi tersusun atas. Is housed diterjemahkan
menjadi terletak, is down diterjemahkan menjadi (pada posisi) di bawah
dan is locked diterjemahkan menjadi (dalam posisi) terkunci. Jadi sekali
lagi yang membedakan adalah ada tidaknya aktivitas yang dirujuk oleh
bentukan to be + past participle tersebut.

Penggunaan modalitas
Modal, terutama modal pasif, sering dijumpai dalam wacana
IPTEK. Banyak sekali ditemui kalimat yang dibuka dengan It should be
made clear that… Tetapi yang sedikit lebih sulit lagi adalah adanya
pergeseran makna dari makna standard dari modal-modal tersebut
dengan apabila modal-modal tersebut digunakan dalam tulisan IPTEK.
Sebagai contoh should dan may di dalam bahasa Inggris biasa digunakan
untuk mengungkapkan makna yang artinya sebenarnya must. Untuk lebih
jelasnya perhatikan paragraf berikut ini.

Weld backing
Steel weld backing should be sufficiently thick so that the molten
metal will not burn through the backing. In most cases the steel
weld backing is fused and remains part of the weldment.
One of the best possible nonfusible weld backings is
copper. Copper should be of a sufficient mass or liquid cooled so as
to readily dissipate the heat. For steel thicknesses other than gage
material, a relief groove may be necessary. The depth of this relief
groove may be as little as 0.02" or as much as 1/8" or more.
(Teks dikutip dari Trimble; 1985:120)

Modal should di dalam paragraf pertama sebenarnya berarti harus


atau must. May memang sepintas berarti dapat, tetapi dalam praktiknya
pengelas tidak mempunyai pilihan bila dihadapakan pada kondisi tersebut.
Sehingga may di sini pun sebenarnya berarti must.

155
Penggunaan kata sandang/artikel tentu (the)
Penggunaan artikel the sering kali tidak konsisten, terutama di
dalam teks manual teknis dan sejenisnya. Sebenarnya penulis harus
menggunakan artikel the, tetapi entah disengaja atau tidak ia
mengabaikannya begitu saja. Bagi penutur asli bahasa Inggris hal ini tidak
menjadi soal, tetapi bagi pembaca yang bukan penutur asli bahasa Inggris,
ia menjadi ragu-ragu apakah harus membutuhkan artikel tentu tersebut di
dalam terjemahannya atau tidak. Perhatikan contoh wacana direktif
berikut ini.

Rubber plug method of tubeless tire repair


1. Remove  puncturing object if still in the tire ( Tire is not
dismounted from the rim)
2. Fill  tire with air to 30 psi. Dip  probe into  cement, insert it
into  injury and work up and down to lubricate  injury.
3. Grasp each end of  patch. Stretch and roll center of  patch into
 eye of  needle. Remove  protective covering from both sides
of the patch, being careful not to touch  raw rubber.
4. Dip  perma strip into  cement, making sure that all surfaces
are coated.
5. Insert  patch slowly and steadily into  injury, up to  handle.
Then turn  needle 1/4 turn and remove.
6. Without strecthing the path, cut it 1/8" from the tread.
7. Inflate to  proper pressure.  Tire is now ready for service.
(Teks dikutip dari Trimble; 1985:121)

Tanda  menunjukkan bahwa sebenarnya artikel the harus


disisipkan. Dalam penerjemahannya, penerjemah seharusnya
menganggap bahwa ada the disana.
Kesulitan dalam penggunaan the berikutnya adalah dipakainya
artikel the secara khusus di dalam wacana deskriptif IPTEK yang mungkin
saja menurut aturan tatabahasa baku the tidak perlu dipakai dalam hal ini.
Misalnya, the tidak pernah digunakan di depan kata benda yang baru
pertama kali disebutkan. Tetapi hal ini sering terjadi di dalam wacana
IPTEK. Kalimat-kalimat kedua dan seterusnya, juga sering menggunakan
the untuk semua kata bendanya, dengan anggapan bahwa penulis sedang
156
memerikan sebuah benda atau bagian dari benda tersebut. Fenomena
tersebut bisa dilihat pada contoh berikut ini, untuk the yang dicetak
miring.

The gas turbine engine fires continuously. The engine draws air
through the diffuser and into the compressor, raising its
temperature. The high pressure air passes into the combustion
chamber, where it is mixed with a fuel and produces an intense
flame. The gas from the combustion chamber is directed through
the turbine, where the pressure of the gas decreases and its velocity
increases. The turbine drives the compressor. The gas increases in
speed as it passes through the exhaust nozzle before it is finally
expelled from the turbine. A net force results from the change in
momentum of the gases between the inlet and the exhaust. If a gas
turbine is intended to drive an automobile, it must be designed so
that as much energy as possible is absorbed by the turbine and
transferred to the drive shaft.
(Teks dikutip dari Trimble; 1985: 122)

Penggunaan tenses non-temporal


Yang dimaksud dengan menggunakan tenses non temporal adalah
tidak menggunakan waktu terjadinya kegiatan untuk menentukan jenis
tenses. Di dalam wacana IPTEK, ada tiga wilayah yang biasanya tidak
memerlukan penggunaan tenses secara temporal, yaitu (1) pada saat
penulis memerikan sebuah alat, (2) pada saat penulis sedang
menerangkan sebuah gambar, dan (3) pada saat penulis merujuk sebuah
penelitian yang sudah dipublikasikan.
Biasanya penulis yang memerikan sebuah alat di dalam bahasa
Inggris menggunakan bentuk kala lampau untuk memerikan sebuah alat
yang pernah dipakai dan kemudian tidak pernah lagi dipakai pada saat tulis
tersebut dibuat. Sementara itu, ia akan menggunakan bentuk kala kini
apabila objek yang diperikan masih berfungsi dengan baik atau masih
digunakan pada saat tulisan tersebut dikerjakan. Di dalam
menerjemahkan teks semacam itu ke dalam bahasa Indonesia, mungkin
penerjemah bisa mengabaikan perbedaan bentuk kala tersebut.
Terkait dengan penggunaan gambar di dalam teks, penulis IPTEK
157
di dalam bahasa Inggris biasanya menggunakan bentuk kala kini bila
membahas gambar tersebut dalam kaitannya dengan subjek tulisannya.
Namun apabila ia menerangkan aktivitas pengumpulan data untuk
membuat ilustrasi dan merancang gambar tersebut maka ia lebih sering
menggunakan bentuk kala lampau. Perhatikan contoh berikut.

BSu:
The results which are shown in Table 5 were achieved by developing
a new computer program. These results indicate that it is no longer
necessary to budget at the 7% rate for repair.

BSa:
Hasil yang ditampilkan dalam Tabel 5 diperoleh dengan cara
mengembangkan program komputer baru. Hasil ini menunjukkan
bahwa tidak lagi perlu membuat anggaran 7% untuk perbaikan.

Pada contoh di atas, cara pencapaian Tabel 5 diungkapkan dengan


kala lampau (were achieved), sementara keterangan lain disampaikan
dalam kala kini (are shown, indicate, is). Seperti pada kasus sebelumnya,
penerjemah ke dalam bahasa Indonesia bisa mengabaikan perbedaan kala
ini.
Para penulis IPTEK sering menggunakan bentuk kala kini bila
merujuk kepada riset yang sudah dilakukan sebelumnya. Hanya kadang-
kadang saja ia menggunakan bentuk kala lampau di dalam melaporkan
riset yang sudah dilakukan sebelumnya, tetapi tidak begitu penting
kaitannya dengan kerja atau karya yang sedang dilakukan.
Untuk menerjemahkan laporan tentang riset yang pernah
dilakukan sebelumnya ini, penerjemah bisa menerjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan penanda waktu yang sesuai, misalnya: dulu,
pada tahun …., dan lain-lain, kalau memang konsep pembedaan waktu itu
diperlukan untuk memperjelas kaitan riset atau karya yang sedang
dilaporkan dengan riset-riset terdahulu.

8.4 Langkah-langkah Penerjemahan IPTEK


Masalah yang mungkin dihadapi oleh penerjemah saat
menerjemahkan teks IPTEK bisa dipahami dengan lebih jelas dengan
158
mengingat tahap-tahap penerjemahan yang telah kita bahas di dalam BAB
I, yang pada umumnya terdiri atas tiga tahap: (1) tahap memahami makna
BSu, (2) tahap mencari padanan konsep, isi, dan makna dari BSu ke dalam
BSa, (3) mencari kata, istilah, dan ungkapan yang tepat di dalam BSa serta
menuliskan kembali konsep, ini, dan makna BSu di dalam BSa.
Untuk lebih jelasnya kita coba menerjemahkan salah satu teks kita
tentang masalah monitor di bawah ini.

If your monitor fails to operate correctly consult the following check


points for possible solutions before calling for help.
1. No picture: check to make sure the AC power cord is plugged in.
Check to make sure there is power at the AC outlet by plugging in
another piece of equipment (such as a lamp) to the outlet.
2. No picture, yet LED indicator is on: make sure the PC is turn on.
Check to make sure the video signal cable is firmly connected in the
video card socket. To make sure that the video card in securely
seated in the PC.

Tahap I , penerjemah membaca teks BSu. Untuk bisa memahami


dengan benar, ia harus mengerti betul jargon-jargon ilmu pengetahuan
tersebut. Jargon adalah kata-kata khusus di dalam bidang yang
bersangkutan, yang mungkin saja mempunyai makna yang berbeda
dengan makna kata yang sama dalam bidang lain.
Jargon-jargon yang ada dalam teks BSu di atas adalah: AC, power
cord, AC outlet, LED, video signal cable, dan video card socket.
Tahap II, memindahkan makna dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran. Dalam tahap ini penerjemah berusaha mencari padanan dari
kata-kata tersebut di dalam bahasa sasaran (bahasa Indonesia). Sebagai
contoh langkah ini di dalam menerjemahkan teks di atas, penerjemah
harus mencari padanan dari kata-kata yang digunakan di dalam teks Bsy,
terutama kata-kata yang termasuk jargon. Jargon di dalam teks tersebut
adalah: AC, power cord, AC outlet, LED indicator, video signal cable, dan
videa card socket. Perhatikan tabel berikut yang memuat kemungkinan
padanan dari jargon-jargon dari teks contoh.

159
Tabel 8.1. Contoh makna dan padanan jargon dalam bidang
komputer
Jargon dalam Makna Padanan dalam
Bsu BSa
AC Arus bolak-balik Arus listrik
Power cord Kabel yang menghubungkan Kabel listrik
ke sumber daya
AC outlet Alat tempat penancapan soket
kabel listrik dari alat
elektronik
LED indicator Lampu petunjuk yang berupa Lampu petunjuk
dioda yang mengeluarkan
cahaya
PC Komputer pribadi Komputer
Video signal Kabel penghubung monitor Kabel sinyal video
cable dengan alat pemroses
sentral
Video card Tempat tancapan dari Soket kartu video
socket rangkaian elektronik untuk
pengolah sinyal gambar

Tahap III, menuliskan ide yang telah ditransfer ke dalam bahasa


Indonesia secara utuh. Hasil dari tahap ini bisa berupa terjemahan sebagai
berikut:

If your monitor fails to operate correctly consult the following check


points for possible solutions before calling for help.

Jika monitor Anda tidak bisa beroperasi dengan benar, lihatlah butir-
butir pengecekan berikut ini untuk mendapatkan pemecahan
masalahnya sebelum mencari bantuan.

1. No picture: check to make sure the AC power cord is plugged in.


Check to make sure there is power at the AC outlet by plugging in
another piece of equipment (such as a lamp) to the outlet.
(1) Tidak ada gambar: periksalah untuk memastikan bahwa kabel
160
listriknya telah dihubungkan. Periksalah untuk memastikan apakah
ada daya listrik di soket listrik dengan cara menghubungkan
perangkat listrik lain (misalnya lampu) ke soket tersebut.

2. No picture, yet LED indicator is on: make sure the PC is turn on. Check
to make sure the video signal cable is firmly connected in the video
card socket. Check to make sure that the video card is securely
seated in the PC.
(2). Tidak ada gambar, tetapi lampu petunjuknya menyala. Perhatikan
bahwa komputernya dihidupkan. Periksa untuk memastikan bahwa
kabel sinyal videonya terhubung dengan kuat di dalam soket kartu
video. Periksalah untuk memastikan bahwa kartu videonya
tertancap kuat di dalam komputer.

Tahap IV, merevisi. Pada tahap ini penerjemah membaca kembali


hasil terjemahannya dan kalau perlu meminta tanggapan dari orang lain
tentang kualitas terjemahannya tersebut. Berdasarkan langkah tersebut,
hendaknya ia merevisi karyanya.

161
BAB IX
PENERJEMAHAN KARYA SASTRA

9.1 Syarat-syarat Penerjemah Karya Sastra


Dilihat dari fungsinya, suatu terjemahan bertujuan untuk
menjembatani perbedaan ruang dan waktu (Savory, 1968). Yang pertama,
memindahkan makna dan pesan dalam BSu ke dalam BSa. Kemungkinan
yang kedua adalah memindahkan makna dan pesan dari suatu kurun
waktu ke waktu lain yang berbeda. Misalnya menerjemahkan sebuah
naskah Jawa Kuno ke dalam Bahasa Jawa sekarang.
Karena kekhususan tugasnya, diperlukan syarat khusus bagi
penerjemah karya sastra. Nida (1975), dan Savory (1968) menyatakan
bahwa penerjemah karya sastra perlu memiliki syarat-syarat berikut ini:
1. memahami BSu secara hampir sempurna. Dalam tingkat
rekognisi kemampuannya diharapkan mendekati seratus persen.
2. menguasai dan mampu memakai BSa dengan baik, benar, dan
efektif.
3. mengetahui dan memahami sastra, apresiasi sastra, serta teori
terjemahan.
4. mempunyai kepekaan terhadap karya sastra.
5. memiliki keluwesan kognitif dan keluwesan sosiokultural.
6. memiliki keuletan dan motivasi yang kuat.
Karya sastra lebih mengandung unsur ekspresi si sastrawan dan
kesan khusus yang ingin ditimbulkannya terhadap si pembaca. Karya
sastra juga mengandung unsur-unsur emosional, efek keindahan kata dan
ungkapan, efek keindahan bunyi, dengan segala nuansa yang
mengiringinya. Inilah yang disebut fungsi esetis. Oleh sebab itu
penerjemah karya sastra perlu mempunyai pengetahuan yang luas
tentang latar belakang sosiokultural dari BSu itu, sebab hal ini sangat
diperlukan untuk memahami benar-benar karya sastra yang sedang
digarapnya. Savory (1968) menyebutkan tingkat pemahaman ini sebagai
pemahaman yang kritis, artinya penerjemah mampu memahami teks
dalam BSu itu dari segala segi dan aspeknya. Semua itu memerlukan
kemampuan yang hampir sempurna dalam mempergunakan BSa. Oleh
162
karena itu penerjemahan karya sastra hanya mungkin dilakukan oleh
seorang penutur asli bahasa itu. Banyak di antara para penerjemah itu
yang sekaligus juga sastrawan kreatif sebab menerjemahkan karya satra
memerlukan kemampuan kreatif mengolah bahasa itu agar padanan yang
didapatkan benar-benar sesuai. Ini yang disebut penguasaan praktis-
kreatif. Dapat disebutkan di sini beberapa orang yang telah
menerjemahkan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris yaitu
Burton Raffel, John McGlynn dan John Hunter; dan beberapa sastrawan
Indonesia yang telah menerjemahkan karya sastra Inggris ke dalam bahasa
Indonesia: Sapardi Djoko Damono, Trisno Sumardjo, W.S. Rendra dan
Djokolelono.
Seorang penerjemah perlu memahami bahan yang akan di
terjemahkan. Untuk memahami bahan itu ia memerlukan pengetahuan
dasar yang cukup dalam bidang ilmu yang bersangkutan. Oleh karena itu
seorang penerjemah karya sastra perlu memiliki kemampuan untuk
memahami dan mengapresiasi suatu karya sastra. Menerjemahkan karya
sastra merupakan usaha untuk menjembatani dua kultur yang berbeda,
dengan dua bahasa yang berbeda. Sudah barang tentu usaha ini cukup
sukar (Robinson, 1977:17).
Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa karya sastra yang paling
banyak diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia
adalah novel (prosa fiksi) dan puisi. Untuk itu dua sub-bab berikut akan
membahas penerjemahan kedua hal ini.

9.2 Menerjemahkan Prosa Fiksi


Yang disebut prosa fiksi adalah tulisan hasil rekanaan semata yang
mengandung cerita. Secara sederhana, kalau tulisan ini panjang disebut
novel, dan kalau pendek serta dimaksudkan untuk diselesaikan dengan
sekali baca disebut cerita pendek.
Tetapi secara umum kedua jenis prosa ini mempunyai kesamaan
karakteristik; selain isi ceritanya hanya hasil rekaan semata, keduanya
punya plot, punya pelaku, dan menggunakan bahasa yang lugas, tidak
sepadat serta sehemat puisi. Tentu saja ini batasan cerpen dan novel
konvensional. Karena karakteristik dan sifat-sifat yang relatif sama, maka
cara menerjemahkannya pun relatif sama juga.
Menurut Peter Newmark (1988), masalah-masalah yang
163
menghadang penerjemah dalam menerjemahkan prosa fiksi adalah
pengaruh budaya sumber dan pesan moral yang ingin disampaikan oleh
penulis aslinya. Dalam hal pengaruh budaya BSa, kesulitan ini bisa berupa
aturan-aturan BSu, gaya bahasa, latar, dan tema. Sedang dalam hal pesan
moral, penerjemah bisa menemukan kesulitan dalam hal idiolek dan ciri-
ciri khas penulis.
Selain masalah tersebut di atas, perlu diperhatikan juga ciri-ciri
konvensi kesusastraan pada saat karya itu ditulis. Dengan demikian,
penerjemah tidak akan salah memahami naskah aslinya, terutama dalam
hal gaya penulisannya.
Sementara orang memandang bahwa menerjemahkan cerpen
atau novel lebih mudah daripada menerjemahkan puisi karena kata-kata
yang digunakan tidak sehemat dan seterpilih kata-kata puisi. Keindahan
dalam sebuah cerpen atau novel tidak begitu tergantung pada pilihan kata,
rima, dan irama, tetapi lebih terletak pada alur cerita dan pengembangan
tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita itu. Pendapat ini memang tidak
salah. Hanya saja kalau tidak hati-hati, penerjemah bisa saja terjerumus ke
dalam penerjemahan kalimat per kalimat, yang kalau dibaca sepintas
terlihat bagus dan runtut, tetapi secara keseluruhan tidak membawa
pesan seperti yang diamanatkan oleh naskah aslinya. Mengapa demikian?
Menurut Basnett-McGuire (1980), penerjemah yang melakukan kerja
seperti hipotesis di atas memang sudah bekerja keras untuk menghasilkan
naskah dalam BSa yang enak dibaca. Tetapi ternyata dia gagal untuk
menemukan hubungan antara tiap-tiap kalimat yang diterjemahkannya
dengan struktur cerpen atau novel secara keseluruhan. Akibatnya banyak
pesan yang tak tersampaikan.
Menurut Wolfgang Iser (dalam Basnett-McGuire, 1980), dalam
sebuah cerpen atau novel suatu kalimat tidak sekedar ujaran yang berdiri
sendiri, tetapi kalimat itu bertujuan untuk mengatakan sesuatu diluar apa
yang tertulis itu, karena kalimat dalam teks sastra selalu berfungsi sebagai
indikasi akan datangnya serangkaian ide yang akan menyusul. Dengan cara
demikian, sebuah cerita bisa terasa pekat dan mengasyikkan untuk terus
diikuti, sehingga bila penerjemah hanya menggarap kalimat-kalimatnya itu
sebagai kalimat-kalimat yang berdiri sendiri, hanya berdasarkan makna
dari tiap-tiap kalimat saja, maka hasil terjemahannya akan kehilangan
dimensi, kedalaman dan keluasan makana yang ingin disampaikan oleh
164
penulis aslinya.
Menurut Peter Newmark (1988), masalah-masalah yang mungkin
ditemui para penerjemah dalam menerjemahkan prosa fiksi adalah:
1. pengaruh budaya bahasa sumber (BSu) dalam teks asli. Pengaruh
budaya ini bisa muncul dalam gaya bahasa, latar, dan tema.
2. Tujuan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Dalam operasionalnya, masalah ini berada dalam proses
penerjemahan nama diri, baik nama karakter atau nama tempat, yang
mungkin tidak dikenal dalam bahasa sasaran (BSa). Selain itu
penerjemahan aturan-aturan BSu pun potensial sekali untuk menjadi
masalah. Belum lagi masalah idiolek penulis, dialek karakter, dan lain-lain.
Sebagai contoh, dialek orang kulit hitam rendahan seperti tokoh
Huckelberry Finn itu bagaimana harus diterjemahkan?
Selain proses penerjemahan hal-hal di atas, perlu pula
diperhatikan ciri-ciri konvensi kesusastraan pada saat karya itu ditulis.
Dengan demikian, penerjemah tidak akan salah memahami naskah
aslinya, terutama dalam hal gayanya.
Kalau begitu bagaimana sebaiknya menerjemahkan cerpen atau
novel? Sebelum kita membicarakan prosedur operasionalnya, marilah kita
simak usulan Hilaire Belloc tentang aturan umum dalam menerjemahkan
cerpen atau novel.
Menurut Belloc, seperti yang dikutip oleh Basnett-McGuire (1980:
116), ada enam aturan umum bagi penerjemah naskah prosa fiksi:
1. Penerjemah tidak boleh menentukan langkahnya hanya untuk
menerjemahkan kata per kata atau kalimat per kalimat saja, tetapi dia
harus selalu mempertimbangkan keseluruhan karya, baik karya aslinya
atau pun karya terjemahannya. Ini berarti penerjemah harus
menganggap naskah aslinya sebagai satu kesatuan unit yang integral,
meskipun saat menerjemahkannya ia mengerjakan bagian per bagian
saja.
Inti dari peraturan pertama ini sebenarnya berbicara tentang unit
terjemahan terkecil dalam cerpen atau novel. Dan masalah ini,
menurut Basnett-McGuire, memang masalah pokok terjemahan prosa
fiksi. Dalam terjemahan puisi dengan mudah penerjemah bisa
membagi puisi itu menjadi unit-unit terjemahan dalam baris-baris.
Kalau baris-baris ini terasa tidak sesuai pasti bisa dibagi dalam bait-bait.
165
Memang betul bahwa novel terbagi menjadi beberapa bab yang
berturutan. Tetapi struktur cerita yang sebenarnya tidak mesti linier
seperti bab-bab tersebut. Kadang-kadang banyak kilas balik yang
terselip di dalam bab-bab itu. Sehingga kalau penerjemah menganggap
kalimat-kalimat tersebut sebagai unit terjemahan terkecil dan
menerjemahkannya tanpa menghubungkannya dengan struktur
keseluruhan cerita, maka kemungkinan besar dia akan menghasilkan
terjemahan yang dangkal, tanpa dimensi sama sekali. Justru dimensi
inilah yang membuat sebuah cerita menjadi berbobot.
2. Penerjemah hendaknya menerjemahkan idiom menjadi idiom pula. Di
sini harus diingat bahwa idiom dalam BSu mungkin sekali mempunyai
padanan idiom dalam BSa, meskipun kata-kata yang dipergunakan
tidak sama persis. Sebagai contoh idiom kambing hitam dalam Bahasa
Indonesia mempunyai padanan scape goat dalam Bahasa Inggris, dan
bukan black goat. Contoh lain adalah ekspresi "It doesn't pay". Dalam
menerjemahkan ekspresi itu, penerjemah tentu tidak bisa
menerjemahkannya menjadi "Itu tak bisa membayar", tetapi "Itu tak
ada gunanya" tentu lebih benar. Jadi, dalam kasus seperti ini
penerjemah perlu mencari padanan dari idiom atau ekspresi dari BSu
di dalam BSa. Kalau memang betul-betul tidak ada padanannya,
barulah idiom itu bisa diterjemahkan.
3. Penerjemah harus menerjemahkan "maksud" menjadi "maksud" juga.
Kata "maksud" di sini menurut Belloc berarti muatan emosi atau
perasaan yang dikandung oleh ekspresi tertentu. Bisa saja muatan
emosi dalam ekspresi BSu-nya lebih kuat daripada muatan emosi dari
padanannya dalam BSa, atau ekspresi tertentu terasa pas dalam BSu
tetapi menjadi janggal dalam BSa, bila diterjemahkan literal. Oleh
karenanya, sering kali penerjemah prosa fiksi terpaksa menambahkan
kata-kata yang sebenarnya tidak ada dalam teks asli untuk
menyesuaikan "maksud"nya di dalam BSa. Tetapi bagaimanapun,
sebisa mungkin penerjemah menahan diri untuk tidak cepat
menambah atau mengurangi hal-hal dalam teks aslinya. Untuk itulah,
penerjemahannan "maksud" ini perlu diperhatikan.
Sebagai contoh di sini penulis ambilkan dari contoh yang diajukan
Suryawinata (1989). Penulis tersebut mencontohkan suatu situasi
sewaktu seorang suami sedang marah-marah pada istrinya dan
166
mengoceh melulu. John, sang suami, tak ada henti-hentinya
mengomel. Lalu istrinya bilang dalam bahasa Ingris, "John, please".
Bagaimana cara menerjemahkan ekspresi singkat itu? Tentu akan
terdengar lucu bila kita terjemahkan menjadi "John, silakan." Kita lihat
dulu maksudnya. Si istri bermaksud meredakan amarah sang suami
dengan menyuruhnya menahan diri atau bersabar. Setelah
mengetahui hal ini mungkin lebih baik kalau ekspresi itu kita
terjemahan menjadi "John, sudahlah."
It's a cake bisa juga berarti mudah sekali bila terdapat dalam wacana
berikut:
A: The problem is nobody will drive.
B: It's a cake. I got my license yesterday.
(dari Batman: The Knightfall)

4. Penerjemah harus waspada terhadap kata-kata atau struktur yang


kelihatannya sama dalam Bsu dan Bsa, tetapi sebenarnya sangat
berbeda.
Sebagai contoh kalimat "I won't be long" dalam bahasa Inggris sekilas
sama dengan kalimat dalam bahasa Indonesia "Saya tak akan panjang."
Setelah didimak lagi ternyata bukan itu padanannya dalam bahasa
Indonesia. Padanannya adalah "Saya tak akan lama." Contoh lain
adalah kalimat bahasa Inggris, "It doesn't pay." Meskipun sekilas
kalimat ini sama dengan kalimat bahasa Indonesia, "Hal itu tidak
membayar," tetapi padanan yang betul adalah "Itu tak ada gunanya."
Selain struktur kalimat, ada kalanya kata-kata pun menjadi masalah
bila penerjemah tidak teliti. Kata "map" dalam bahasa Inggris bukanlah
"map" dalam bahasa Indonesia, tetapi "peta." Contoh lainnya adalah:
"Map" (Indonesia) sama dengan "folder" bukan "map" (Inggris).
"Fabric" (Inggris) sama dengan "serat kain" (Indonesia) bukan "pabrik".
Sedangkan kata "pabrik" dalam bahasa Indonesia sama dengan
"factory, mills, plants" dalam bahasa Inggris.
5. Penerjemah hendaknya berani mengubah segala sesuatu yang perlu
diubah dari BSu ke dalam BSa dengan tegas. Lebih jauh Belloc
mengatakan bahwa inti dari kegiatan menerjemahkan cerita fiksi
adalah kebangkitan kembali "jiwa asing" dalam tubuh "pribumi". Tentu
saja yang dimaksud dengan "jiwa asing" ini adalah makna cerita dalam
167
BSu dan "tubuh pribumi" ini adalah bahasa sasarannya (BSa).
6. Meskipun penerjemah harus mengubah segala yang perlu diubah,
tetapi pada langkah keenam, Belloc (dalam Basnett-McGuire, 1980)
mengatakan bahwa penerjemah tidak boleh membubuhi cerita aslinya
dengan "hiasan-hiasan" yang bisa membuat cerita dalam BSa itu lebih
buruk atau lebih indah sekali pun. Tugas penerjemah adalah
menghidupkan "jiwa asing" tadi, bukan mempercantiknya, apalagi
memperburuknya.
Dengan keenam prinsip utama di atas, rasanya Belloc ingin
menekankan bahwa para penerjemah prosa fiksi perlu
mempertimbangkan bahwa naskah merupakan satu keseluruhan yang
berstruktur, di samping dia juga mempertimbangkan pentingnya hal-hal
yang berhubungan dengan gaya dan tata kalimat. Belloc juga mengakui
bahwa ada kewajiban moral bagi para penerjemah untuk setia pada
naskah aslinya. Tetapi dia juga merasa bahwa penerjemah juga punya hak
untuk menambah atau mengurangi kata-kata dalam naskah asli dalam
proses penerjemahannya agar hasil terjemahannya nanti sesuai dengan
aturan-aturan idiomatik dan gaya bahasa BSa.
Dengan demikian jelas sekali bahwa dalam penerjemahan prosa
fiksi (cerpen/novel), penerjemah mementingkan makna, pesan, kemudian
gaya, persis seperti apa yang dikemukakan oleh Nida dan Taber (1982).
Sebagai contoh utuh penerjemahan prosa fiksi ini, lihat lampiran 2.

9.3 Menerjemahkan Puisi


Sebagai salah satu bentuk seni sastra, puisi mempunyai ciri-ciri
yang dimiliki oleh bentuk-bentuk seni sastra yang lain. Ada dua ciri
menonjol dalam sastra, yaitu keindahan dan ekspresi. Tetapi kalau
dicermati, puisi adalah salah satu jenis seni sastra yang cukup berbeda dari
jenis-jenis yang lain, seperti drama, cerpen dan novel. Dalam puisi
keindahan tidak hanya dicapai dengan sarana pilihan kata saja, tetapi di
sana penyair mencipta ritme, irama, serta emosi-emosi yang khas dengan
cara membuat ungkapan-ungkapan yang khas pula, yang kadang kala
ditulis dengan tidak mengikuti kaidah yang umum. Di samping itu, puisi
juga merupakan wahana bagi penyair untuk mengungkapkan gagasannya
dan perasaannya. Pesan atau makna yang disampaikan oleh penyair ini
biasanya kaya sekali akan nuansa yang dihasilkan dari efek bunyi, kiasan
168
tertentu, dan sebagainya. Dan ini semua bisa saja luput dari penangkapan
seorang pembaca.
Seperti dalam terjemahan-terjemahan jenis lain, penerjemah
dalam terjemahan puisi juga berperan sebagai jembatan penghubung
antara pengarang dengan pembaca. Kalau pembaca tidak menguasai
bahasa Inggris misalnya, maka dia tidak bisa memahami dan menikmati
karya penyair Inggris atau Amerika. Untuk itulah seorang penerjemah
diperlukan. Tetapi mengingat betapa uniknya puisi seperti yang diuraikan
di atas, muncullah pertanyaan, "Mungkinkah menerjemahkan puisi?
Seperti seorang pelukis yang melukiskan suara hatinya dengan
bahan-bahan cat yang berwarna-warna, seorang penyair mencipta puisi
untuk menuangkan suara jiwanya dengan bahan kata-kata. Tentu saja
kata-kata ini adalah hasil pemilihan yang cermat dengan memperhatikan
efek bunyi tertentu untuk mengungkapkan emosi tertentu serta makna
dan pesan tertentu pula. Seperti halnya cat atau bahan pewarna, kata-kata
adalah milik semua bahasa dan dapat dipakai oleh semua orang. Dengan
kata lain, semua bahasa mempunyai satuan bunyi yang disebut kata. Dan
semua kata-kata dalam segala jenis bahasa di dunia ini, termasuk Bahasa
Inggris dan juga Bahasa Indonesia, sama-sama bisa dipakai untuk menulis
puisi, mengungkapkan perasaan, dan menyampaikan pesan. Jadi, suatu
pesan yang disampaikan dalam Bahasa Inggris, mungkin sekali bisa
disampaikan juga dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena inilah, menurut
Theodore Savory (1969: 75), terjemahan puisi yang memadai masihlah
mungkin dilakukan.

9.3.1 Jenis-jenis Terjemahan Puisi


Ada beberapa metode yang biasa diterapkan oleh para
penerjemah puisi. Andre Lefevere (dalam Bassnett-McGuire, 1980: 81-82)
mencatat tujuh metode terjemahan puisi yang biasa digunakan oleh para
penerjemah Inggris dalam menerjemahkan puisi-puisi karya Catullus.
Ketujuh metode tersebut adalah:
1. Terjemahan Fonemik
Metode terjemahan ini berusaha mencipta kembali suara dari bahasa
sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa). Dan dalam waktu
bersamaan, penerjemah berusaha mengalihkan makna puisi asal
kedalam BSa. Menurut kesimpulan Lefevere, meskipun hasil
169
terjemahan metode ini cukup lumayan dalam hal penciptaan bunyi
dalam BSa yang sesuai dengan bunyi di dalam puisi asli, tetapi secara
keseluruhan terasa kaku dan sering kali menghilangkan makna puisi
aslinya.

2. Terjemahan Literal
Terjemahan dengan metode ini menekankan proses penerjemahan
dari kata ke kata dalam BSa. Kebanyakan terjemahan puisi dengan cara
ini betul-betul menghilangkan makna dalam puisi aslinya. Selain
menghilangkan makna, struktur frasa dan kalimatnya akan melenceng
jauh dari struktur dalam BSa.

3. Terjemahan Irama
Terjemahan irama (metrical translation) adalah penerjemahan puisi
dengan penekanan utama pada pencarian atau pereproduksian irama
atau matra puisi aslinya dalam puisi hasil terjemahannya. Strategi
terjemahan jenis ini biasanya akan menghasilkan terjemahan yang
mengacaukan makna dan juga memporak-porandakan struktur BSa
karena secara umum tiap-tiap bahasa mempunyai sistem tekanan
dalam pelafalan kata yang berbeda-beda.

4. Terjemahan Puisi ke Prosa


Dalam terjemahan dari puisi menjadi prosa ini terdapat beberapa
kelemahan, seperti hilangnya makna, musnahnya nilai komunikatif
antar penyair dan pembaca, serta yang paling kentara, hilangnya
pesona puisi aslinya yang telah dibangun dengan susah payah dari
bahan-bahan pilihan kata dan bunyi serta ungkapan-ungkapan
tertentu.

5. Terjemahan Bersajak
Dalam metode terjemahan ini, penerjemah mengutamakan
pemindahan rima akhir larik puisi aslinya ke dalam puisi
terjemahannya. Hasil terjemahan ini adalah sebuah terjemahan yang
secara fisik kelihatan sama tetapi menilik maknanya, hasilnya tidak
memuaskan.

170
6. Terjemahan Puisi Bebas
Dalam terjemahan dengan metode ini mungkin penerjemah bisa
mendapatkan ketepatan padanan kata dalam BSa dengan baik, dan
kadar kesastraannya pun bisa dipertanggungjawabkan. Di lain pihak,
masalah rima dan irama dalam jenis terjemahan ini cenderung
diabaikan. Dengan demikian, secara fisik, mungkin puisi hasil
terjemahan ini kelihatan berbeda dari puisi aslinya, tetapi dalam hal
makna, puisi ini terasa sama.

7. Interpretasi
Interpretrasi di sini tidak sama dengan intepretasi yang artinya
terjemahan lisan seperti yang sudah dibahas di dalam Bab. Dalam jenis
terjemahan interpretasi ini Lefevere mengajukan dua jenis terjemahan
yang masing-masing disebutnya versi dan imitasi. Suatu versi puisi
dalam BSa mempunyai isi atau makna yang sama bila dibandingkan
dengan puisi aslinya dalam BSu tetapi bentuk "wadag"nya telah
berubah sama sekali. Sedangkan dalam imitasi, penerjemah betul-
betul telah menuliskan puisinya sendiri dengan judul dan topik serta
titik tolak yang sama dengan puisi aslinya.
Kalau disimak, dalam kajiannya tersebut rupanya Lefevere ingin
menegaskan kembali pendapat Anne Cluysenaar. Anne Cluysenaar (dalam
Bassnett-McGuire, 1980: 82) menyatakan bahwa kelemahan metode-
metode terjemahan puisi umumnya disebabkan oleh adanya penekanan
pada satu atau beberapa elemen puisi dalam proses penerjemahannya.
Dari sini jelas bahwa metode penerjemahan yang demikian akanlah
mengorbankan elemen-elemen puisi yang lain. Oleh karena puisi tersusun
dari elemen-elemen tadi yang tertata secara seimbang, maka
pengorbanan salah satu atau beberapa elemen dalam penerjemahannya
tentu akan merusak keseimbangan yang telah dibangun dengan susah
payah oleh si penyair. Dengan demikian proses tersebut juga merusak
puisi secara keseluruhan.
Secara garis besar, ketujuh metode penerjemahan puisi di atas
ternyata mengarah pada dua kutub yang saling menjauh. Dalam metode
terjemahan literal, metrikal (irama) dan terjemahan bersajak, penerjemah
mementingkan segi bentuk luar dan karenanya rela mengorbanan
maknanya. Umumnya kalangan penerjemah ini percaya bahwa unsur
171
keindahan yang dibangun dari irama dan bunyilah yang paling berharga
untuk dipertahankan dalam terjemahan puisi.
Sedang metode terjemahan puisi ke prosa, puisi bebas, dan
interpretasi lebih meletakkan tekanan pada pengabadian makna atau
pesan dari puisi aslinya, karena unsur inilah yang merupakan jiwa puisi,
unsur yang membuat puisi menjadi bermakna bagi pembacanya. Salah
seorang pendukung pendapat ini, Popovic (Basnett-McGuire, 1980: 82),
mengatakan bahwa penerjemah puisi mempunyai hak untuk bebas
merdeka dari penyair aslinya asalkan kebebasan itu diabdikan sepenuhnya
untuk menghidupkan kembali puisi asli itu di dalam BSa. Seorang penyair
Inggris, Ezra Pound (dalam Bassnett-McGuire, 1980: 83), malah lebih
ekstrim lagi. Dalam rangka menjawab kritik tentang terjemahannya atas
"Homage to Sextus Propertius" dia mengatakan bahwa tujuannya
menerjemahkan puisi tersebut adalah untuk menghidupkan kembali
"seseorang" yang telah mati. Tentu saja seseorang yang dimaksud di sini
adalah si penyair asli yang memang telah mati.
Sementara itu Peter Newmark (1988) berpendapat bahwa
pemberian penekanan pada salah satu unsur, baik makna atau pun
bentuk, bisa saja terjadi meskipun yang paling sering adalah penekanan
pada maknanya. Hal ini tergantung pada nilai puisi itu sendiri dan juga
pendapat si penerjemah tentang puisi tersebut. Memang secara mandiri,
puisi mempunyai watak sendiri, apakah dia lebih menonjolkan bentuk
untuk mencapai keindahan ataukah mementingkan makna yang
dikandungnya. Kalau puisi asli memang menonjolkan bentuk maka
penerjemah harus mempertahankan bentuknya, tetapi bila puisi itu
memang mementingkan makna yang dikandungnya, maka sudah
selayaknya penerjemah mementingkan makna, sedang keindahan bentuk
boleh menjadi nomor dua.
Tetapi nilai puisi seperti di atas bukan satu-satunya faktor
penentu. Pendapat si penerjemah tentang puisilah yang kiranya lebih
berperanan. Penerjemah bisa saja memandang bahwa yang terpenting
dalam puisi itu adalah fungsi estetik. Untuk itu bentuk yang merupakan
wahana keindahan itu harus terjaga dengan baik. Penerjemah yang lain
memandang bahwa di dalam puisi fungsi ekspresiflah yang terpenting,
sehingga makna yang terkandung di dalam puisi harus bisa tersampaikan
secara utuh.
172
Penulis sendiri berpendapat bahwa penekanan-penekanan
elemen-elemen tertentu seperti itu tidak perlu terjadi. Sekuat apapun
fungsi estetik dalam sebuah puisi, pasti puisi itu mengandung makna yang
tertata rapi dalam kata-kata terpilih. Karena keindahan dalam puisi adalah
keberhasilan si penyair menghadirkan makna yang ingin disampaikan
dengan bahasa yang indah. Keindahan kata-kata ini kadang-kadang begitu
menonjol, tapi kadang-kadang sepertinya tidak begitu diperhatikan.
Apapun alasannya, makna itu merupakan isi dan bentuk lahir itulah
wadahnya. Wadah memang kadang dibuat sangat indah, tetapi kadang
juga lusuh tak karuan. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa
makna masihlah yang utama, setelah itu gaya (bentuknya). Dan idealnya,
dalam terjemahan, maknanya bisa terjaga utuh dan keindahan gayanya
bisa ternikmati oleh pembaca BSa. Hal ini sejalan dengan pendapat Nida
dan Taber bahwa menerjemahkan berarti mencari padanan dari BSu di
dalam BSa, yang pertama dalam hal makna kemudian dalam hal gayanya.
Coba simak contoh berikut. Puisi aslinya ditulis oleh Sutrosno
Martoatmojo dan terjemahannya dikerjakan oleh John McGlynn.
BSu:
Salju

salju!
salju!
salju!
salju!
salju!

putih!
putih!
putih!
putih!
putih!

impian menjadi kenyataan,


kenyataan cuma impian.

salju kuputihkan,
putih kusaljukan.
(McGlynn, 1990: 28)
173
BSa:
Snow

snow!
snow!
snow!
snow!
snow!

white!
white!
white!
white!
white!

Dreams become reality


Reality is only a dream

The snow I make white


The white I make snow.
(McGlynn, 1990: 29)

Di dalam contoh di atas, baik gaya maupun makna bisa dialihkan dengan
sempurna.
Ada kalanya penerjemah dihadapkan pada situasi yang sulit,
dimana dia harus memilih salah satu antara dua hal yang sama-sama
penting yakni makna atau gaya. Kesulitan ini hadir manakala penerjemah
harus mencari padanan pasangan kata yang bersajak baik sekali dalam
BSu, misalnya hound and wound. Dalam BSa memang ada padanan
katanya yakni anjing dan luka, tetapi pasangan ini tidaklah seindah
pasangan hound and wound. Ada pasangan yang sejenis dan cukup enak
didengar dalam Bahasa Indonesia, misalnya kuda dan luka. Tetapi tentu
saja maknanya sudah tidak sama. Dalam situasi sulit semacam ini
penerjemah hendaknya ingat batasan terjemahan menurut Nida dan
Taber (1982) yang menyatakan bahwa menerjemahan berarti mencari
padanan teks asli dalam teks BSa dalam hal makna dan baru kemudian
gayanya. Dengan demikian penerjemah seyogyanya "memenangkan"
makna atau pesannya. Selain itu perlu pula dipertimbangkan terlebih
174
dahulu apakah kata anjing dalam kasus di atas betul-betul tak bisa diganti
dengan kata kuda?

9.3.2 Metafora, Ungkapan dan Bunyi dalam Puisi


Di dalam menerjemahkan puisi, ada dua hal yang pantas
diperhatikan dengan baik; metafora, ungkapan dan bunyi.
Di dalam kehidupan sehari-hari, ada dua macam metafora atau
ungkapan, yakni metafora/ungkapan yang bersifat universal dan
metafora/ungkapan yang terikat oleh budaya. Seperti yang telah diuraikan
di muka, metafora universal adalah metafora yang mempunyai medan
semantik yang sama bagi sebagian besar budaya yang ada di dunia ini.
Sebagai contoh, metafora yang tekandung dalam kalimat "Engkaulah
matahariku" ini besifat universal karena matahari di mana pun
mempunyai sifat yang selalu menyinari. Dan sinar pun juga simbol
universal yang menunjukkan semangat, kesenangan, dan sejenisnya. Jadi,
seandainya kita harus menerjemahkan baris puisi yang berbunyi seperti di
atas ke dalam Bahasa Inggris, dengan cepat kita bisa menerjemahkannya
menjadi "You are my sun".
Yang agak merepotkan adalah bila metafora yang harus
diterjemahkan itu adalah metafora yang terikat oleh budaya, yakni
metafora yang memakai lambang yang maknanya hanya dimengerti oleh
satu budaya saja. Lambang ini mungkin juga mempunyai makna yang lain
lagi di dalam budaya yang lain. Untuk menghadapi hal ini, penerjemah bisa
melihat seberapa pentingkah metafora itu bagi puisi, atau apakah
ungkapan itu metafora umum ataukah murni buatan si penyair sendiri.
Tentu saja dari kedua hal ini metofora atau ungkapan jenis yang terakhir
ini lebih penting untuk dipertahankan.
Menurut Peter Newmark (1981, 1988), kalau metafora atau
ungkapan itu bersifat umum, meskipun bersumber dari budaya tertentu,
si penerjemah bisa mencari padanan metafora di dalam BSa, atau
mengubah atau bahkan menambahkan citraan yang mampu membuat
metafora itu bermakna dalam BSa. Sebagai contoh dari ungkapan macam
ini adalah ungkapan yang terdapat pada baris berikut:
aku pun bagai makan buah simalakama
Akan tetapi bila metafora atau ungkapan itu asli hasil citraan si
penyair dan bersifat penting bagi puisi tersebut, maka, menurut Peter
175
Newmark, penerjemah harus menghadirkan metafora itu apa adanya
dalam BSa dan budayanya. Sebagai contoh, simaklah baris-baris puisi
Shakespeare berikut:

Shall I compare thee with a summer's day?


Thou are more lovely and more temperate
Rough winds do shake the darling buds of may,
And summer's lease hath all too short a date:

"Summer's day" di Inggris adalah waktu yang betul-betul indah.


Matahari bersinar terang dan bunga-bunga bermekaran dimana-mana.
Tetapi apakah artinya citraan "musim panas" dalam Bahasa Indonesia?
Selokan-selokan kering, sawah-sawah kerontang, tanah retak-retak
karena lamanya tak mendapat guyuran air. Dan musim panas adalah
kesengsaraan. Alangkah bertolakbelakangnya kedua citraan ini. Dan lagi,
kuncup-kuncup bunga mawar di bulan Mei bukanlah hal yang khusus di
Indonesia, tetapi hal itu keindahan yang luar biasa di Inggris sana. Tetapi
mengingat citraan ini amat penting bagi puisi secara keseluruhan, maka
penerjemah harus menghadirkannya utuh di dalam Bahasa Indonesia. Dan
biarkan gambaran tentang indahnya musim panas di Inggris ini masuk
dalam benak pembaca, meskipun sulit pada awalnya.
Masalah kedua adalah penerjemahan bunyi. Dalam menulis puisi,
seorang penyair memilih kata-kata tidak hanya dengan pertimbangan
makna saja, tetapi juga dengan pertimbangan bunyi sehingga tercipta
aliterasi, sajak akhir baris, nuansa suasana, dan lain-lain. Tidak bisa
dipungkiri, inilah salah satu faktor yang menyebabkan puisi itu indah.
Sementara itu padanan kata di dalam bahasa sasaran jarang sekali
mempunyai bunyi yang sama. Oleh karena itu, menurut Theodore Savory
(1969), dalam terjemahan puisi bunyi-bunyi itu sering sekali berubah dari
aslinya. Maka pola sajak pun ikut berubah pula.
Tidak hanya itu, pasangan kata yang indah karena adanya aliterasi,
bisa saja menjadi tidak indah dalam bahasa yang lain. Sebagai contoh,
pasangan kata "horse and hound" dalam bahasa Inggris terdengar cukup
indah. Tetapi begitu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi
"kuda dan anjing", maka sirnalah keindahan aliterasi dalam baris aslinya.
Adakah penerjemah yang mempu mempertahankan keindahan bunyi ini
dalam situasi seperti di atas? Oleh karena itu, masalah bunyi dalam
176
terjemahan puisi memanglah penting, tetapi dia tidak menduduki
peringkat pertama karena bunyi dan rima ini hanyalah bagian dari gaya.
Sedang yang menduduki peringkat pertama tentulah makna. Dengan
demikian penerjemah memang harus berusaha sebaik mungkin untuk
mereproduksi bunyi-bunyi dan rima yang indah dalam puisi hasil
terjemahan seperti bunyi-bunyi dan rima aslinya dalam BSu, tapi tentu
saja tak boleh memaksakan diri, lebih-lebih kalau sampai menyingkirkan
makna.

9.3.4 Rambu-rambu dalam Menerjemahkan Puisi


Secara umum ada dua kegiatan pokok yang dilakukan penerjemah
dalam menerjemahkan puisi: membaca dan menulis. Penerjemah
membaca dahulu puisi yang ingin diterjemahkan untuk menangkap makna
atau pesan yang ingin dikatakan oleh si penyair dalam bahasa sumbernya.
Dalam tahap ini si penerjemah harus berusaha sedapat-dapatnya untuk
menangkap makna puisi aslinya dengan segala strategi yang ada. Tidak
bisa dipungkiri bahwa hasil akhir pemahaman ini nanti akan beragam dari
seorang penerjemah ke penerjemah yang lain. Tetapi, inilah bahan yang
harus ada untuk ditulis kembali nanti ke dalam bahasa sasaran.
Setelah makna berhasil ditangkap dan segala elemen-elemennya
dipahami, maka penerjemah bisa memulai kerja menuliskan kembali
pesan yang berhasil ditangkap tadi menjadi sebuah puisi berbahasa
Indonesia. Dan memang, kualitas puisi hasil terjemahan ini tak bisa lepas
dari kualitas penerjemah untuk merasakan keindahan dan
mengungkapkan keindahan dengan sarana bahasa. Dari uraian di atas,
jelas bahwa seorang penerjemah puisi harus lebih dahulu mampu
menangkap pesan penyair dalam bahasa sumber, baru kemudian
menuliskan kembali pesan itu dalam bahasa sasaran.
Dalam tahap membaca, penerjemah tentunya juga memahami
elemen-elemen dasar puisinya seperti ungkapan, metafora, rima, struktur,
dan lain-lain yang merupakan gaya khas penyairnya. Maka, kalau
penerjemah mengikuti pemahaman Nida dan Taber bahwa dalam
terjemahan kita harus memperhatikan makna dan kemudian gaya, maka
penerjemah harus berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan gaya
penyair aslinya juga. Oleh karena itu, menurut Suryawinata, penerjemah
puisi paling tidak akan menemui problema-problema dalam hal: (1) faktor
177
kebahasaan, (2) faktor kesastraan dan estetika, dan (3) faktor sosial
budaya. Faktor kebahasaan akan menyangkut bagaimana penerjemah
menemukan padanan kata, struktur frasa, kalimat dan lain-lain dalam
bahasa sasaran. Dalam faktor kesastraan, penerjemah akan dihadapkan
pada masalah bagaimana menuliskan kembali sebuah puisi dalam bahasa
sumber yang indah penuh makna menjadi puisi dengan nilai sastra yang
sama dalam bahasa sasaran.
Di dalam puisi itu tentu saja ada makna yang menyiratkan budaya
puisi asli, ada ungkapan dan metafora yang berakar pada budaya penyair
asli. Nah, dalam faktor sosial budaya, penerjemah akan dipaksa
menjawab, mampukah dia memindahkan semua ini ke dalam bahasa
sasaran sehingga pesan dan keindahan yang dikirim penyair asli bisa
sampai pada pembaca dalam bahasa sasaran dengan selamat. Di sinilah
kepiawaian seorang penerjemah benar-benar diuji.
Karena peran penerjemah adalah sebagai perantara antara
penyair dan pembaca agar pembaca bisa menikmati karya penyair, maka
penerjemah perlu juga memperhatikan kepentingan pembaca dalam porsi
yang cukup. Meskipun begitu, dia juga tidak boleh terlalu longgar dalam
menerjemahkan sehingga ada hal-hal yang penting dari puisi asli yang
tercecer. Dalam hal ini ada seorang ahli penerjemahan mengajukan satu
rambu saja dalam penerjemahan puisi, hormatilah teks aslinya.
Kalau penerjemah menghormati teks asli berarti dia akan betul-
betul memperhatikan isi puisi asli dan keinginan penyair meskipun gaya
puisi terjemahan mungkin bisa beragam menurut penerjemahnya. Inilah
pokok pertama yang harus diperhatikan dalam terjemhan menurut Nida
dan Taber, makna.
Kalau begitu, bagaimana dengan elemen-elemen puisi yang lain
seperti rima, nada, bunyi, dan lain-lain, yang dapat pula disebut gaya?
Rambu "hormatilah teks aslinya" mengisyaratkan bahwa
penerjemah harus mencari padanannya di dalam bahasa sasaran sebisa
mungkin. Kata sebisa mungkin dalam hal ini berarti "tidak harus" tetapi
selayaknya diusahakan seoptimal mungkin, terutama kalau itu
menyangkut bunyi. Bukankah bunyi dalam sebuah puisi sangat
mempengaruhi nada dan suasana puisi yang bersangkutan? Meskipun
begitu penerjemah juga harus mengakui bahwa efek bunyi dalam BSu
tidak sama dengan efek bunyi yang sama dalam BSa. Dalam hal ini Peter
178
Newmark (1988) menganjurkan bahwa penerjemah memindahkan
tempat kata-kata tertentu untuk mencapai efek bunyi yang sama, atau
bahkan menggantinya dengan bunyi-bunyi yang lain di dalam BSa. Dan hal
ini merupakan kesulitan yang yang tidak remeh.
Oleh karena itu, penerjemah sebaiknya tidak memaksakan
mencari padanan bunyi atau mengejar rima di akhir baris saja. Kalau hal
ini yang dilakukan, ada kemungkinan penerjemah terpaksa menambah
beberapa kata baru yang berrima dengan kata-kata sebelumnya, agar
menjadi persis puisi aslinya. Dengan demikian berarti penerjemah
menambah citraan-citraan baru yang tak perlu dalam karya
terjemahannya. Dan ini tentunya tidak seperti puisi aslinya. Tentu saja
keadaan yang demikian tidak menghormati teks asli.
Berikut ini adalah bait pertama sajak W.S. Rendra yang berjudul
Kepada M.G. dan terjemahannya yang dikerjakan oleh John McGlynn.
BSu:
Engkau masuk ke dalam hidupku
di saat yang rawan
Aku masuk ke dalam hidupmu
di saat engkau bagai kuda
beringas
butuhkan padang
(McGlynn, 1990: 44)

BSa:
You came into my life
at a critical time.
I came into your life
when you were like
a wild horse
in need of a plain.
(McGlynn, 1990: 45)

Di dalam contoh di atas kita melihat bahwa McGlynn berusaha untuk


mempertahankan rima di akhir baris. Usaha ini cukup berhasil dengan
terciptanya pola sajak aaaaba di dalam teks BSa meskipun pola aslinya
adalah ababbb.
Dari perbandingan antara puisi alsi dan terjemahannya di atas,

179
harus diakui bahwa rima akhir barisnya tidak sama, tetapi pesannya sama;
tak ada penambahan,

9.3.4 Bunyi dan Pilihan Kata dalam Terjemahan Puisi


Pentingnya unsur bunyi dalam suatu puisi bukan hanya untuk
mencipta rima. Bunyi-bunyi tertentu membawa nada tertentu pula.
Misalnya, bunyi "i" dalam bahasa Indonesia terasa lincah, bunyi "u" dan
"e" (pepet) terasa berat dan serius, dan lain sebagainya. Untuk bisa
menghormati puisi asli, hal-hal yang menyangkut nada, suasana jiwa dari
puisi asli ini juga harus dipertahankan, sekali lagi "sebisa mungkin". Prosa
liris hendaknya diterjemahkan menjadi prosa liris juga. Puisi yang lincah
dan ringan janganlah diterjemahkan menjadi puisi yang berat dan serius.
Dan bagi penerjemah yang menggunakan bahasa sasaran bahasa
Indonesia, mungkin penggunaan bahasa daerah akan bisa menolong
manakala kosa kata bahasa Indonesia tidak mampu lagi.
Mengenai matra atau irama, yang di dalam puisi Bahasa Inggris di
dominasi oleh matra iambic, memang sulit dialihkan ke dalam Bahasa
Indonesia. Puisi-puisi Inggris, terutama puisi-puisi lama, memang
mempunyai matra yang kental karena pada dasarnya kata-kata Bahasa
Inggris mempunyai sistem penekanan yang hampir konsisten. Sedangkan
kata-kata Bahasa Indonesia tidaklah begitu. Oleh karena itu, amatlah sulit
bila penerjemah harus mengalihkan matra puisi Bahasa Inggris ke dalam
puisi Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, seandainya penerjemah
memaksakan diri untuk mengalihkan matra itu, bahan apa yang mau
dipakai?
Bagaimana tentang pilihan kata? Yang dimaksud pilihan kata
(ragam bahasa) di sini adalah seperti yang terkandung dalam kasus berikut
ini. Haruskah puisi Bahasa Inggris dari abad IX diterjemahkan pula ke
dalam bahasa Melayu abad IX? Menurut Barnstone (dalam Basnett-
McGuire, 1980), hal demikian tidaklah perlu. Mungkin lebih baik Bahasa
Inggris abad IX itu diterjemahkan saja ke dalam Bahasa Indonesia jaman
sekarang, sehingga para pembaca tidak akan kesulitan memahaminya.
Sebagai contoh, puisi karya Shakespeare yang berbahasa Inggris modern
awal, yang notabene berbeda dari Bahasa Inggris yang dipakai sekarang,
bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia jaman sekarang, bukan
bahasa Melayu tempo doeloe. Memang, ada sedikit yang hilang dari puisi
180
aslinya, yakni suasana jaman Shakepeare hidup. Tetapi penerjemah juga
harus ingat bahwa tujuannya adalah untuk menjembatani pesan dari
penyair asli pada pembaca dalam bahasa sasaran. Lagi pula ada unsur lain
yang bisa membawa semangat jaman Shakespeare, tema atau isi. Dari
alasan inilah, hasil terjemahan kebanyakan ditulis dalam gaya bahasa dan
cita rasa pada saat puisi itu diterjemahkan.
Demikianlah rambu-rambu penerjemahan puisi yang perlu
diperhatikan. Tentu saja secara operasional setiap penerjemah
mempunyai kecenderungan masing-masing. Hasil terjemahan satu puisi
oleh beberapa penerjemah yang berbeda sering kali berbeda pula. Sebagai
penutup. Perhatikan fenomena ini dalam contoh penerjemahan puisi
Chairil Anwar berikut ini.
BSu (Puisi asli):

BSu:
Senja di Pelabuhan Kecil
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali, kapal, perahu tidak berlaut,
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang


menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan


menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
(1946)

Hasil terjemahan berikut adalah karya Burton Raffel:

BSa-1:
Twilight at a Little Harbor
This time no one's looking for love
between the sheds, the old jouse, in the make-believe
of poles and ropes. A boat, a prau without water
181
puffs and blows, thinking there's something it can catch

The drizzle comes harder and darkens. There's an eagle flapping,


pushing silkily off, and the day swimming silkily
to meet temptations yet come. Nothing moves.
And now the sand and the sea are asleep, the waves are gone.

There's no one else. I'm alone. Walking


combing the cape, still drowning the hope
of just once getting to the end of it and saying goodbye to everything
from the fourth beach, where the last sob could be hugged tightly by me

Berikut ini juga terjemahan dari puisi Chairil Anwar di atas.


Terjemahan berikut adalah karya orang Indonesia sendiri, Boen S.
Oemarjati. Kalau dalam uraian di muka dikatakan bahwa satu karya yang
sama tetapi bila dikerjakan oleh dua orang yang berbeda, hasilnya akan
berbeda juga, maka simaklah hasil terjemahan berikut. Apa bedanya
dengan karya Burton Raffel?

BSa-2:
Twilight at a Little Harbour

This time there's no one looking for love


among the sheds, old houses, near the tale
of the masts and riggings. Ships (and) boats (that) have not gone to sea
are puffing themselves (out) in the belief (they) will be united

The drizzle speeds the darkness. There is still the flapping of an eagle
flicking the gloom, the rustling (of the) day glides away
to meet the lures of a future harbour. Motionless
and Now the land and water are asleep, the waves vanished.

Nothing is left. I'm alone. Walking


(I) comb the peninsula, still with a stifled hope
of some time reaching the tip (of the peninsula) as (saying) goodbye to
everyone
from the four beaches, the last sob can be embraced (by me).

Sekarang jelas bahwa sebenarnya tidak ada prosedur baku untuk


menerjemahkan sebuah karya sastra, terutama sekali puisi. Sekali lagi cara
182
dan hasil penerjemahan tergantung pada bagaimana si penerjemah
memandang proses terjemahan itu dan puisi asli yang akan
diterjemahkan. Yang jelas adalah sebagus apapun hasil terjemahan,
menurut Peter Newmark (1988), maknanya dan/atau keindahannya akan
berbeda dari puisi aslinya dalam beberapa hal.

183
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. (ed.) 1985. Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing.
Jakarta: Balai Pustaka.

Bassnett-McGuire. 1980. Translation Studies. New York: Mathuen & Co.


Ltd.

Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice.


London: Longman Group Ltd.

Brislin, Richard. W. 1976. Translation: Application and Research. New York:


Gardner Press Inc.

Catford. J.C. 1969. Linguistic Theory of Translation. Oxford: Oxford


University Press.

Chesterman, Andrew. 1997. Memes of Translation. Amsterdam and New


York: John Benjamins

Chukovsky. 1984. The Art of Translation, trans. Lauren G. Leighton.


Knoxville: The University of Tennessee Press.

Duff, Alan. 1981. The Third Language: Recurrent Problems of Translation


into English. Oxford: Pergamon Press.

Eppert, Franz (ed.). 1983. Papers on Translation: Aspects, Concepts,


Implications. SEAMEO RELC, Singapore.

Frawley, William. 1953. Translation: Literary and Philosophical


Perspectives. Cranbury: Associated University Press.

Gibran, Kahlil. 1985. The Broken Wing: The Treasured Writing of Kahlil
Gibran. Castle USA.

Hariyanto, Sugeng. 1996. Of Poetry Translation. ELE Journal 2:1, 91-104.

184
Hariyanto, Sugeng. 1997. An Evaluation of the English Translation of An
Indonesian Novel: A Case Study on the Translation of
Mangunwijaya's "Burung-Burung Manyar". Singapore: Proyek
Penelitian untuk Program Diploma in Applied Linguistics, SEAMEO
RELC Singapore.

Hasyim, Yuzef Al. 1969. Al-Mufi:d Fi: al-Adab al-Arabi. Beirut: Al Maktab
at-Tijari.

Hatim, Basil and Ian Mason. 1990. Discourse and the Translator. Longman:
Longman Group Limited.

Hertanto, Arif. 1994. Problems in Translation Encountered by Translation


Learners of the English Department. tesis Magister, IKIP Malang.

Larson, L. Mildred. 1984. Meaning Based Translation: A Guide to Cross-


language Equivalenve. Lanham: University Press of America.
Mangunwijaya, Y.B. 1993. Burung-Burung Manyar, 6th edition. Jakarta:
Penerbit Djambatan.

Mangunwijaya, Y.B. 1989. The Weaverbirds. trans. by Thomas M. Hunter.


Jakarta: Lontar Foundation.

McGlynn, John. 1990. On Foreign Shores. Jakarta: Yayasan Lontar

McGuire, Susan Basnett. 1980. Translation Studies. London: Methuen &


Co. Ltd.

Muhamad, Gunawan. 1992. Asmaradana, Jakarta: Grasindo.

Mosby, Katherine. No Date. The Book of Uncommon Prayer. San Fransisco:


HarperSan Fransisco.

Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon


Press.

Newmark, Peter. 1988. Textbook of Translation. Oxford: Pergamon Press.

Newmark, Peter. 1991. About Translation. Clevedon: Multilingual Matters


185
Ltd.

Newmark, Peter. 1993. Paragraphs on Translation. Clevedon: Multilingual


Matters Ltd.

Nida, Eugene A., and Taber, Charles R.. 1982. The Theory and Practice of
Translation. Leiden: E.J. Brill.

Noss, Richard B. (ed.). 1982. Ten Papers on Translation. Singapore:


SEAMEO Regional Language Centre.

Rachmadie, Sabrony., Zuchridin Suryawinata, and Achmad Efendi. 1988.


Materi Pokok Translation, Modul 1-6. Jakarta: Penerbit Karunika
dan Universitas Terbuka.

Pearsall, Paul. 1993. The Ten Laws of Lasting Love. New York: Simon &
Schuster.

Rose, Marilyn G. (ed.) 1981. Translation Spectrum: Essays in Theory and


Practice. New York: State University of New York.

Said, Mashadi. 1994. Socio-cultural Problems in the Translation of


Indonesian Poems into English: A Case Study on "On Foreign
Shore". Tesis Magister, IKIP Malang.

Savory, Theodore. 1969. The Art of Translation. London: Jonathan Cape


Ltd.

Shaw, Irwin. 1969. Rich Man Poor Man. New York: Dell Publishing Co., Inc.

Snell-Hornby, Marry. 1988. Translation Studies: An Integrated Approach.


Amsterdam: John Benjamins B.V.

Soemarno, Thomas. 1983. Studi tentang Kesalahan Terjemahan Bahasa


Inggris ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mahasiswa yang
berbahasa Ibu Bahasa Jawa. tesis magister, IKIP Malang.

Soemarno, Thomas. 1988. Hubungan Antara Lama Belajar dalam Bidang


Penerjemahan, Jenis Kelamin, Kemampuan Bahasa Inggris, dan
186
Tipe-tipe Kesilapan Terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam
bahasa Indonesia. Disertasi Doktor, IKIP Malang.

Suryawinata, Zuchridin. 1982. Analisis dan Evaluasi terhadap Terjemahan


Novel Sastra The Advanture of Huckleberry Finn dari Bahasa
Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Disertasi Doktor, IKIP Malang.

Suryawinata, Zuchridin. 1989a. Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek.


Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, PPLPTK.

Suryawinata, Zuchridin, 1989b. Kapita Selekta Bahasa, Pengajaran, dan


Penerjemahan. Malang: PPS IKIP Malang.

Suryawinata, Zuchridin dan Suyitno Imam. 1991. Bahasa Indonesia untuk


Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Malang: Yayasan Asah Asih
Asuh.

Toury, Gideon. 1980. In Search of a Translation Theory. Tel Aviv: Porter


Institute.

Trimble, Louis. 1985. English for Science and Technology: a Discourse


Approach. Cambridge: Cambridge University Press.

Widyamartaya. A. 1989. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Penerbit


Kanisius.

Wilss, Wolfram. 1982. The Science of Translation. Stuttgart: Gunter Narr


Verlag Tubingen

187
LAMPIRAN 1
Daftar terjemahan akronim bahasa Indonesia.

Daftar terjemahan akronim atau singkatan berikut bersumber dari The


Jakarta Post on-line. (www.thejakartapost.com).

AAI Indonesian Advocates' Association


AAPMI Association of Indonesian Fashion Designers
ABRI Indonesian Armed Forces
ADRI Indonesian Army
AEI Indonesian Public Companies Association
AFA ASEAN Federation of Accountants
AICE Association of Indonesian Coffee Exporters
AICESSCC Indonesia-China Economic Social and Cultural Cooperation
Association
AIMMI Association of Indonesian Edible Oil Industries
AIPI Association of Indonesian Political Scientists
AIPO ASEAN Inter-Parliamentary Organization
AJI Alliance of Independent Journalists
AKABRI Armed Forces Academy
ALRI Indonesian Navy
Amdal The Environmental Impact Analysis
AMM ASEAN Ministerial Meeting
AMN National Military Academy
AMT Tangerang Military Academy
ANEX ASEAN News Exchange
AP3I Indonesian Retailers Association
APBN State Budget
APEC Asia Pacific Economic Cooperation
APECC Asia Pacific Exhibition and Convention Council
APEI Indonesian Securities Companies
Apfindo Indonesian Meat Producers and Feedlot
APHI Association of Indonesian Forest Concessionaires
API Indonesian Textile Association 2nd ref association
188
Apindo Indonesian Employers Association
APJATI Association of Labor Export Companies
APKI Indonesian Pulp and Paper Association
Apkindo Association of Indonesian Wood Panel Producers
Apnatel Indonesian Telecommunications Association
Apodeti Prointegration group in East Timor
Aprindo Association of Indonesian Retailers
Arpindo Indonesian Association of Pager Operators
Askindo Indonesian Cocoa Association
ASEAN Association of Southeast Asian Nations
ASEAN CCI ASEAN Chamber of Commerce and Industry
ASEM Asia-Europe Meeting
Asirevi Video Film Importers Association, 2nd ref association
ASIRI Recording Industry Association
ASITA Association of Indonesian Tour and Travel Agencies
Askes State-owned Health Insurance Company
Aspadin Association of Indonesian Producers of Packaged Drinking Water
Aspiluki Indonesian Computer Software Association
ASRI Indonesian Fine Arts Academy
Astek State insurance program
ATF ASEAN Tourism Forum
ATNI National Theater Academy of Indonesia
AURI Indonesian Air Force

Bapebti Indonesian Commodities Exchange Agency


Bakin State Intelligence Coordinating Board 2nd ref board
BAKN Institute of State Personnel Administration
Bakorlak An interdepartmental agency for drug control
Bakornas PB National Disaster Management Coordination Board
Bakorstanas Agency for the Coordination of Support for the Development
of National Stability
Bakorstanasda The Jakarta Agency for the Coordination of Support for the
Development of National Stability
Bakosurtanal Coordinating Body for Survey and National Charting
Development Board
189
Bakom-PKB Coordinating Body for National Unity
Bamus House's Consultative Body
Bamus Betawi Native Jakartans Association
Bandungwangi Mutual Support for Friendship and Protection (a help
group for Kramat Tunggak prostitutes)
Banpro Bandung Promotion Group (setup by leading Bandung hotels)
Bapedal Environmental Impact Management Agency
Bapeka Supreme Audit Body
Bapeksta Export Service Facilitating Agency
Bapedalda Regional Environmental Impact Management Agency
Bapepam Capital Market Supervisory Agency,
Bapfida Film Control Agency or City Film Control Agency
Bapindo Indonesian Development Bank
Bappeda City's Development Planning Board
Bappebti Futures Exchange Supervisory Board
Bappenas National Development Planning Board
Batan National Atomic Energy Agency
BAZIS an (Islamic) board which oversees the collection of alms
Bepedti Commodities Trading Board
BIA Armed Forces Intelligence
BIDA Batam Industrial Development Authority
BIDSUS An agency responsible for fighting certain crimes, like subversion,
corruption and smuggling
BIMP-EAGA East Asian Growth Area composed of Brunei, Indonesia,
Malaysia and the Philippines.
BKKBN National Family Planning Board
BKKKS Social Welfare Coordinating Body
BKPM Investment Coordinating Board
BKPMD Regional Investment Coordinating Board
BKSDA Natural Resources Conservation Center a local natural
conservation office
BKSP Greater Jakarta Coordination Board
BLHI Board of the Indonesian Environment Management
BMG Meteorology and Geophysics Agency
Bopunjur Bogor-Puncak-Cianjur
Botabek Bogor, Tangerang and Bekasi
190
BP7 an agency for the study of the state-ideology Pancasila and Agency for
the Propagation of Pancasila) OR an agency entrusted with the task of
disseminating the state-ideology Pancasila
BPD Regional Development Bank
BPEN National Agency for Export Development, 2nd ref agency
BPHN Agency for National Legal Development
BPI The over-the-counter market, the Indonesian Parallel Bourse (stock
exchange)
BPIS Strategic Industries Supervisory Agency whose 10 strategic industries
also include rail, weapons, explosives and telecommunications companies.
BPK Supreme Audit Agency (was Bapeka)
BPKP Development Finance Controller
BPN National Land Agency
BPPC Clove Marketing and Buffer Stock Agency
BPPI Indonesian Tourism Promotion Board
BPPK An agency to supervise the affairs of national heroes and their
widows
BPPKA Foreign Contractors Management Body
BPPT Agency for the Assessment and Application of Technology
BPS Central Bureau of Statistics
BPUT Land Affairs Office
BRIEF Business Review Indonesia Forum
BRN State Secrets Agency, later became Bakin
BSF See LSF
Bulog State Logistics Agency
BUMN State-owned enterprises

CBSA Indonesian "active learning method" education system


CESDA Center for the Study of Development and Democracy
CGI Consultative Group on Indonesia (was IGGI)
CIDES Center for Information and Development Studies
CIFOR Center for International Forestry Research
CNPPA-SEA Commission on National Parks and Protected Areas for South
East Asia
CNRT Conselho National de Resistancia Timorese
191
CPIS Center for Policy and Implementation Studies (of the Ministry of
Finance)
CRP Community Recovery Program

DAMRI State-run bus company


Dekopin Indonesian Cooperatives Council
Depanri National Aeronautics and Aviation Council
DFN National Film Board
DIA Aceh Special Province
Dinas Autonomous agency offices under the governor or mayor/regent
DIY Yogyakarta Special Province
DKI Jakarta Special Province
DKP Officers Honor Council or Honorary Press Council
DKS Surabaya arts council
DLLAJ City Land Transportation Agency
DOM Military operation areas
DPA Supreme Advisory Council (this body advises the President on matters
in various sectors)
DPIS Agency for the Supervision of Strategic Industry
DPKEKU Indonesian Economic and Finance Reselience Council
DPN National Productivity Council
DPR House of Representatives
DPRD I Provincial Legislative Council for provinces; City Council for cities
DPRD II Regional Legislative Council for provinces; City Council for cities
DRN National Research Council
DSN National Standardization Board (environmental)

EAGA East ASEAN Growth Area, encompassing Indonesian provinces of


North Sumatra and Aceh, the western parts of Malaysia and Thailand's
southern areas.
ECONIT Advisory Group on Economic Industry and Trade
EJIP East Jakarta Industrial Park
EKONID German-Indonesian Chamber of Commerce and Industry
ELSAM Institute for Policy Research and Advocacy
192
ET (Ex-political prisoner/former political detainee
ETAN East Timor Alert Network

FASI Indonesian Aerosport Federation


FCHI A Hindu intellectual organization.
FEUI University of Indonesia's School of Economics
FISIP School of Social and Political Science of University of Indonesia
FKI Indonesia Working Forum
FKKP Forum of Communication for Counterbalance Group
FKPGA Communications Forum for Retired Garuda Employees
FKPPI Communication Forum of Indonesian Veterans' Children
FKSH Forum of Social and Humanistic Studies in Yogyakarta.
Foreri Forum for the Reconciliation of the Irian Jaya Community
Forki Indonesian Karate Federation
Fosko 66 Forum, Studi dan Komunikasi, a study and communication forum
FPMR Forum for Students and People Movement
FPR Reformed Entrepreneurs Forum

G30S Abortive coup by the Indonesian Communist Party on Sept. 30, 1965.
Gabsi Indonesian Contract Bridge Association
Gaikindo Association of Indonesian Automotive Industries
Gapensi Indonesian Builders Association
Gapkindo Indonesian Rubber Producers Association
Gappindo Association of Indonesian Fishing Companies
GAPPRI Association of Indonesian Cigarette Producers
GBHN State Policy Guidelines
GBSI Federation of Independent Trade Unions
GDN National discipline movement Gegana bomb squad
Gerkatin Organization For Care of the Deaf
Gestapu Gerakan 30 September (Sept. 30 Movement 1965)
Ginsi Indonesian Importers Association
GKBI Federation of Indonesian Batik Cooperatives
GKJ Gedung Kesenian Jakarta (Jakarta Playhouse)
GMF Garuda Maintenance Facility
193
GMKI Indonesian Christian Students Movement
GMNI The Indonesian Nationalist Students Movement
GNOTA National Foster Parents Movement
GOI Government of Indonesia
Golkar Functional Group
Golput The acronym for Golongan Putih, literally meaning "white group",
coined to describe people who refuse to vote during the general elections.
GPBSI All Indonesian Theater Organization
GPK The government term meaning peace-disturbing movement or
security disturbance groups
GRM Marhaen's People Movement, an organization grouping disciples of
the late president Sukarno
GUS Coordinating Agency for the Development of the Informal Sector
GUSK Small-scale business task force

Hankamnas National Defense and Security Board


Hati Hapus Hukuman Mati (ban capital punishment)
HGB Right of Building
Himasita Association of Students for Plant Protection
Himpala Association of Nature Lovers (in Uni)
Hiperkes The occupational health and safety program
Himni Indonesian Nuclear Society
Hipmi Association of Young Indonesian Businessmen
HIPPI Indonesian Indigenous Businessmen's Association
HKBP Congregation of Toba Batak Protestant Churches
HKI Indonesian Christian Church
HKTI Indonesian Farmers Association
HMI Association of Islamic Students
HMWI Indonesian Women Managers Association
HPPIA Association of Indonesian Researches and Students in Australia
HSBI Association of Islamic Art and Culture
HTI Industrial timber estate

194
IAI Indonesian Architects Association
IAIN State Islamic Institute or State Academy of Islamic Studies
IBF International Badminton Federation
IBI Indonesian Midwives Association
IBRA Indonesian Bank Restructuring Agency
IBT Eastern part of Indonesia
ICEL Indonesian Center for Environmental Law
ICIP Indonesian Cleaner Industrial Production Program
ICMI Association of Indonesian Muslim Intellectuals
ICW Indonesian Corruption Watch
ICWA Indonesian Council on World Affairs
IDI Indonesian Doctors Association
IDT Presidential instruction on least developed villages program
IGGI Inter-Governmental Group on Indonesia (now CGI)
IIEE Foundation Foundation of Indonesian Institute for Energy Economics
IIP Institute of Public Administration
IJEG Indonesian Japanese European Group
IJS Jakarta Social Institute
Ikadin Indonesian Bar Association
Ikapi Indonesian Publishers Association
Ikasi Indonesian Fencing Association
IKIP Teachers Training Institute
IKJ Jakarta Arts Institute
IKPM Indonesian Fashion Designers Association
IKPN Civil Servants Cooperatives Organization
IMAMI Indonesian Mosques Association
IMB Building permits
IMI Indonesia Motorsports Association
IMM Muhammadiyah Students Association
IMS-GT Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle
IMT-GT Indonesian-Malaysia-Thailand Growth Triangle
INACA Indonesian Nati
Inkopar Federation of Employees Cooperative
INDRA Indonesian Debt Restructuring Agency
INFA Indonesian Forwarders Association
INFID International NGO Forum on Indonesian Development
195
INPI Indonesian NGOs Partners Initiatives
INPI-PACT Indonesian NGOs Partners Initiatives Private Agencies
Collaborating Together
IGA Indonesian Gas Association
Inkopkar Workers' Central Cooperative
INPRES Presidential instruction program
INSA Indonesian National Shipowners Association
Insus An agricultural intensification program
INTI Chinese-Indonesians Association
IPA Indonesian Petroleum Association
IPB Bogor Institute of Agriculture
IPCOS Institute for Policy and Community Studies
IPHI Association of Indonesian Lawyers
IPKI Independence Vanguard Party
IPKIN Indonesian Association of Computer and Information Professionals
IPMI Indonesian Management Institute
IPMI Indonesian Fashion Designers Association
Ipoleksosbud Ideology, politics, economic, social and cultures
IPSI Indonesian Pencak Silat Association
IPTN Bandung-based PT Industri Pesawat Terbang Nusantara,
IPU Inter-Parliamentary Union
ISAI Institute for the Studies on Free Flow of Information
ISEI Indonesian Economists Association
ISHI Institute of Study on Human Interests
ISI Indonesian Fine Arts Institute
ISSI Indonesian Cycling Association (lnt 4/98)
ISWI Association of Indonesian Women Graduates
ITB Bandung Institute of Technology
ITI Indonesian Technical Institute
ITPB Indonesia Tourism Promotion Board different from BPPI ??
ITTO International Tropical Timber Organization

Jabotabek Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Greater Jakarta)


Jakprom Jakarta Tourism Promotion Board
JATS Jakarta Automated Trading System
196
Jibor Jakarta interbank offered rate
JITC Jakarta International Trade Fair Corporation
JSX Jakarta Stock Exchange

Kadin Indonesian Chamber of Commerce and Industry


KABI Association for Action of Indonesian Workers
KAMI Indonesian Students Action Front
KAMMI Indonesian Muslim Students Action Front
Kamra People's Security
KAMURRI Students Action Front for Reformation
Kanwil District offices of the central government located in the provinces
Kapci Committee of Indonesian Advocates for the Disabled
Kapet Biak Integrated Economic Development Zone
KARMA Action Coalition of Acehnese Students
KCBI Indonesian Buddhists Association
KDEI Indonesian Securities Central Depository
KDF District development fund
KFT Indonesian Television Workers Association
KIP Kampong Improvement Program
KIPP Independent Election Monitoring Committee
KISDI Indonesian Committee for World Muslems Solidarity
KISS Coordination, Integration, Synchronization and Simplification
(system)
KITAS Temporary Stay Permit
KMHDI Association of Indonesian Hindu Students
KMPAN Nusantara Youths-Students Committee
KNIP Indonesian National Central Committee
KNPI Indonesian National Youth Committee
Kodiklat Military Education and Training Command in Bandung
Kodim District military command
Komnasham National Commission on Human Rights
KONI National Sports Council
Konphalindo National Consortium for Nature and Forest Conservation in
Indonesia
Kontras Commission for Missing Persons and Victims of Violence
197
Kopassus The Army's Special Force (red berets)
Kopkamtib Operational Command for the Restoration of Security and
Order a now defunct internal security agency
Kopti Indonesian Soybean Curd and Soybean Cake Cooperative
Korem Military command post
Korpri Indonesian Civil Servants Corps
Kosgoro Multipurpose Cooperative of Mutual Assistance
Kostrad Army Strategic Reserves Command (green berets)
Kowani Indonesian Women's Congress
KPB State Joint Marketing Office
KPLP Indonesian Coast and Sea Guard Unit
KPPRI Indonesian Successors Struggle Association
KPR Housing loan/home loan
KTI Indonesian Boxing Committee
KUD Village cooperatives
KUHAP Criminal Code Procedures
KUHP Criminal Code
KUHPer or KUH Perdata Civil Law Code
KUK Credit for small enterprises
Kukesra People's Prosperity Business Credit (antipoverty drive)
KPU General Elections Commission (name changed from National
Elections Committee March 1999)
KUT Credit for farmers
KWI Bishop Council of Indonesia
KWK Koperasi Wahana Kalpika, a bus cooperative established in 1996

LAKA Aceh Custom and Culture Institute


Lamindo Latin America-Indonesia trading firm
LAN National Institute of Administration
Lapan National Space and Aviation Agency
LBH Legal Aid Institute , also see YLBHI
LEI Indonesian Ecolabeling Foundation
Lekra People's Cultural Institute
Lemhannas National Resilience Institute
LIPI National Institute of Sciences
198
LKMD Community Welfare Organization, at village level
LP2K Institute for Consumers' Protection and Fostering
LP3ES Institute of Research, Education and Information of Social and
Economic Affairs
LP3M Institute of Rural, Coast and Societal Studies
LPSI Institute for Strategic Studies of Indonesia,
LPU General Elections Institute
LSAF Institute of Religious and Philosophical Studies
LSF Film Censorship Institute, formerly called the Film Censorship Board
(BSF)
LUBER Langsung, umum, bebas, rahasia (direct, public, free and secret
{elections})
LVRI Indonesian Veterans Legion

MA Supreme Justice
MANI Anti-Nuclear Society
MARA Council for People's Mandate
Masyumi Indonesian Muslim Congregation)
Masjumi Defunct Islamic political party Majelis Syurro Muslimin Indonesia
MCK Mandi, cuci, kakus — public bathing, washing and toilet facilities
Menwa University military group, recruited and trained by ABRI
MIPPA Indonesian Society for Alternative Press (Australia-based)
MKGR Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong, a mass organization
affiliated to Golkar which broke away in May 1998
Mobnas National car
Monas The National Monument in Medan Merdeka Square, Centra
Jakarta
MPI Indonesian Forestry Society
MPR People's Consultative Assembly
MPRS Provisional People's Consultative Assembly
MUI Indonesian Ulemas Council
NAFED National Agency for Export Development
NCO Nusantara Chamber Orchestra
NEM Grade point average from the final school exam
NERIC Natural Resources Information Center
199
NU Nahdlatul Ulama, a 30-million-strong Muslim organization.

OIC Organization of Islamic Conference


ONH Haj pilgrimage fund
OPM Free Papua Movement
Organda Organization of Land Transportation Owners
Ormas Mass organizations
Orsos Social organizations
Orpol Political organizations
OT Organisasi terlarang, (prohibited organization)
OTB Organisasi tanpa bentuk (formless organizations)

P3DT Infrastructure development program in less-developed villages


P3M Indonesian Society for Pesantren and Community Development
P4 Guidelines for the comprehension and practical application of Pancasila
P4D Regional Committee for the Settlement of Labor Disputes (attached
to the Ministry of Manpower)
PABBSI Indonesian Weightlifting, Powerlifting and Bodybuilding
Association
Panwaslak or Panwaslakpus Election Supervisory Committee
Pantura Java's northern coast (pantai utara)
Parkindo Ddefunct Indonesian Christian Party
PASI Indonesian Amateur Athletics Association
Paskas Air Force's special force
Paspampres Presidential Security Detail (old acronym was Paswalpres)
PBB (Indonesian acronym for) United Nations
PBHI Indonesian Legal Aid and Human Rights Association
PBI Indonesian Bowling Association
PBSI Badminton Association of Indonesia
PBVSI Indonesian Volleyball Association
PCPP Association of Intellectuals for Pancasila Development
PDBI Indonesian Business Data Center
PDI Indonesian Democratic Party (Partai Demokrasi Indonesia)
PDII-LIPI Center for Scientific Documentation and Information at the
200
Indonesian Science Institute
Pefindo PT Pemeringkat Efek Indonesia, the state (bond) rating agency,
Pelindo PT Pelabuhan Indonesia, a state-owned company assigned to
managed several seaports in West Java,
Pelti Indonesian Tennis Association
PEPABRI Armed Forces Veterans Association
Peradah Association of Hindu Youths
Peradin Association of Indonesian Advocates
Perbakin Indonesian Target Shooting and Hunting Association
Perbanas Federation of Private Domestic Banks
Perbasi Indonesian Basketball Association
Perbasasi Indonesian Baseball and Softball Association
Percasi Indonesian Chess Association
Perhapi Association of Indonesian Mining Professionals
Perhepi Association of Agriculture Experts
Perkemi Indonesian Kempo Association
Perpani Indonesian Archery Association
Perpobin Indonesian Power Boating Association
Persagi Indonesian Nutrition Association
Persani Indonesian Gymnastics Association
Persetasi Indonesian Sepaktakraw Association
Persija Jakarta Soccer Association
Persis Persatuan Islam
Persit Association of wives of servicemen
Pertina Indonesian Amateur Boxing Association
Perum State company
Perumka State railway company (Perusahaan Umum Kereta Api)
Perumnas State Housing Company
Peruri State-owned securities paper and bank note printing company
Pesti Indonesian Soft Tennis Association
PETA Pembela Tanah Air (Defenders of the Fatherland)
PFN State-owned Movie Industry
PGI Indonesian Communion of Churches (Protestant)
PGI Indonesian Golf Association
PGN PT Perusahaan Gas Negara
PGRI Indonesian Teachers Union
201
PGSI Indonesian Wrestling Association
PHDI Indonesian Hindu Religious Council
PHRI Indonesian Hotel and Restaurant Association
PHSI Indonesian Hockey Association
PIFA Portugal-Indonesia Friendship Association
PII Institute of Indonesian Engineers
Pijar Center of Information and Action Network for Reform (an NGO)
PIKI Association of Protestant Intelligentsia
PIN National Immunization Week
Pindad Army Industrial Affairs Center (includes its weaponry industry)
PIPM Three stock market outlets established by JSX or capital market
information centers
PIR Smallholders estate
PJKA Old name of state railway company, now Perumka
PJSI Indonesian Judo Association (lnt 4/98)
PKBI Indonesian Planned Parenthood Association
PKI (Defunct) Indonesia Communist Party
PKK Family Welfare Movement, a community family welfare organization
PKWA American Studies Center (at the University of Indonesia)
PLN PT Perusahaan Listrik Negara, state-owned electricity company
PLTN Nuclear Power Plant
PMI Indonesian Red Cross
PMII Indonesian Quality Management/Control Association
PMII Indonesian Islamic Students Movement
PMKRI Association of Catholic Students
PMPD Pro-Democracy Students Party
PMU Project Management Unit (for Jakarta subway)
PN State company
PNI Indonesian National Unity established Oct. 1995 also Indonesian
National Party
PNRI State-owned Printing Company
PPK/S District/Subdistrict Polling Committees
PODSI Indonesian Rowing Association
POGI Indonesian Society of Obstetrics and Gynecology
POLRI National Police
POMG Parent-teacher association
202
PON National Games
Poperi The Association of Indonesian Lawyers Organizations
Pordasi Indonesian Equestrian and Horse Racing Association
Porlasi Indonesian Yachting Association
Porserosi Indonesian Roller Skating Association
Posindo PT Pos Indonesia, state-owned postal service company
POSSI Indonesian Diving Association
PPBI Center for Indonesian Workers Struggle
PPD State-run city or municipal bus company
PPFI Indonesian Film Company Organization
PPI Indonesian Workers Party
PPD I Provincial Elections Committee
PPD II Regional Elections Committee
PPIP Portugal-Indonesia Friendship Association
PPS Polling Committee
PPMKI Vintage Car Lovers Association
PPN Value-added tax (VAT)
PPP United Development Party
PPPM The Association for the Development of Pesantren (traditional
Islamic schools) and Society
PPSK Center for Strategy and Policy Studies
PPTI Organization for Eradication of Tuberculosis
PPW-LIPI Center for Political and Regional Studies, Indonesian Institute of
Sciences
PRD Democratic People's Party
Prokasih Clean River Program
PRSI Indonesian Swimming Association
PSASI Indonesia Water Skiing Association
PSI Indonesian Socialist Party (defunct)
PSI Indonesian Squash Assoc
PSPI Center for the Study of Indonesian Property
PSRSI Indonesian Squash Association
PSSI All Indonesian Football Federation,
PTIK Police Staff College
PTMSI Indonesian Table Tennis Association
PTO Entertainment tax
203
PTPN State plantation company
PTS Systematic Land Registration
PTTUN State Administrative High Court
PTUN State Administrative Court
PUDI Indonesian Democratic Union Party
Puskopau Indonesian Air Force Cooperative
PWI Indonesian Journalists Association

Ratih Civilian militia


REI Indonesian Real Estate Developers Association,
Repelita Five-Year Development Plan
Pelita Five-Year Development Program
RKL Environmental Management Plan
RMS South Maluku Republic (a separatist movement quashed in the
1950s)
RPL Environmental Monitoring Plan
RSCM Cipto Mangunkusumo General Hospital
RSUD City hospitals
RT Neighborhood unit
RW Community unit

SARA Tribal affiliations, religion, race and societal groups


Satgasus Special Jakarta traffic police squad
SBIs /SBI Bank Indonesia promissory notes
SBKRI Evidence of Indonesian Citizenship certificate (for Chinese
Indonesians only.
SBSI Indonesian Prosperous Labor Union
SCBD Sudirman Center for Business Development
SD Elementary School
SD IMBAS Satellite schools (of a Gugus Sekolah) (school affiliation)
Sembako The nine basic comodities
Sesko Staff and command colleges
Seskoad Army Staff and Command School (not College, not SESKOAD)
SGP Indonesian Press and Graphics Association
204
SHS State-owned Perum Sang Hyang Seri rice seed company
Sijori Triangle of growth involving Indonesia's Riau province, Singapore
and Johor, Malaysia.
Sipora Foreigners Control Coordination
SIPPT Land-use permit
Siskamling Neighborhood watch
SIUPP Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (publishing license) issued by the
Ministry of Information
SKEPHI Network for Forest Conservation in Indonesia
SKU General Agency Permit for shipping
SMI Indonesian Independent Union
SMID Indonesian Students Solidarity for Democracy
SMP Senior high school
SMPI Indonesian Press Solidarity Society
SNI Indonesian National Standards (environmental standards)
Somaka Students Solidarity for Aceh Cases
SPP Educational Management Contribution
SPS Newspaper Publishers Union
SPSI All-Indonesia Workers Union
FSPSI All-Indonesia Workers Union Federation
SPT Yearly tax assessment
SRI Survey Research Indonesia
SSE Surabaya Stock Exchange
STO Automatic telephone system
STSI Indonesian Arts High School
Supersemar the March 11 Indonesian (Presidential) Executive Order

Taperum Civil Servants Housing Savings


Taspen Civil Servants Pension Fund
TIM Taman Ismail Marzuki arts center
TIME Tourism Indonesia Mart and Expo
TNI Indonesian National Army
TUK Card operated public telephone (telefon umum kartu)

205
UDT Timorese Democratic Union
UGM Gadjah Mada University in Yogyakarta
UI University of Indonesia in Jakarta
UKI Christian University of Indonesia
UKSW Satya Wacana Christian University in Salatiga, Central Java
Unfrel University Network for Free and Fair Elections (a poll watchdog)
URC The police's rapid reaction unit

Walhi Indonesian Forum for Environment


Walubi Council of Buddhist Communities
Wanhankamnas National Defense and Security Council
Wanra People's Resistance
Wapam Warung Pasar Modal
Wasantaranet Wawasan Nusantara Network, Posindo's Internet service,
WCFSD World Commission on Forests and Substainable Development
WI Indonesian Wushu Association
WIB Indonesian Western Time Zone
WIT Indonesian Eastern Time Zone
WITA Indonesian Central Time Zone
WKS Compulsory posting for university graduates
WPI Indonesian Women in Development

Yapusham Center for Human Rights Studies


Yasco Scorpio Foundation
YKAI Indonesian Children's Welfare Foundation
YKCI Indonesian Creativity Foundation
YKPK National Brotherhood Foundation
YLBHI Foundation of the Indonesian Legal Aid Institute
YLKI Indonesian Consumers Foundation
YLLI Yayasan Laut Lestari Indonesia, an environmental organization
YPAC Foundation for the Rehabilitation of Disabled Children.
YPSDMI Foundation of Indonesian Human Resources Development

206
LAMPIRAN 2
Contoh Terjemahan Cerita Pendek

Cerita pendek aslinya berjudul The Luncheon karya W. Somerset Maugham


dan terjemahannya dikerjakan oleh Sugeng Hariyanto (Harian Surya, 7
Februari 1993).

Teks BSu:
The Luncheon
I caught sight of her at the play, and in answer to her beckoning I went
over during the interval and sat down beside her. It was long time sine I had last
seen her, and if someone had not mentioned her name I hardly think I would have
recognized her. She addressed me brightly.
“Well, it’s many years since we first met. How time does fly! We’ve none
of use getting any younger. Do you remember the first time I saw you? You asked
me to luncheon.”
Did I remember?
It was twenty years ago and I was living in Paris. I had a tiny apartment in
the Latin quarter overlooking a cemetery, and I was earning barely enough money
to keep body and soul together. She had read a book of mine and had written to
me about it. I answered, thanking her, and presently I received from her another
letter saying that she was passing through Paris and would like to have a chat with
me; but her time was limited, and the only free moment she had was on the
following Thursday; she was spending the morning at the Luxembourg and would
I give her a little luncheon at Foyot’s afterwards? Foyot’s is a restaurant at which
the French senators eat, and it was so far beyond my means that I had never even
thought of going there. But I was flattered, and I was too young to have learned
to say no to a woman. (Few men, I may add, learn this until they are too old to
make it of any consequence to a woman what they say.) I had eighty (gold francs)
to last me the rest of the month, and a modest luncheon should not cost more
than fifteen. If I cut out coffee for the next two weeks I could manage well enough.
I answered that I would meet my friend—by correspondence—at Foyot’s
on Thursday at half-past twelve. She was not so young as I expected and in
appearance imposing rather than attractive. She was, in fact, a woman of forty (a
charming age, but not one that excites a sudden and devastating passion at first
sight), and she gave me the impression of having more teeth, white and large and
even, than were necessary for any practical purpose. She was talkative, but since

207
she seemed inclined to talk about me I was prepared to be an attentive listener.
I was started when of fare was brought for the prices were a great deal
higher than I had anticipated. But she assured me.
“I never eat anything for luncheon,” she said.
“Oh, don’t say that !” I answered generously.
“I never eat more than one thing. In think people eat fart more
nowadays. A little fish, perhaps. I wonder if they have any salmon.”
Well, it was early in the year for salmon and it was not on the bill of fare,
but I asked the waiter if there was any. Yes, a beautiful salmon had just come in,
it was the first they had had. I ordered for my guest. The waiter asked her if she
would have something while it was being cooked.
“No,” she answered, “I never eat more than one thing. Unless you have
a little caviare. I never mind caviare.”
My heat sank a little. I knew I could not afford caviare, but I could not
very well tell her that. I told the waiter by all means bring caviare. For myself I
chose a cheapest dish on the menu and that was a mutton chop.
“I think you are unwise to eat meat,” she said. “I don’t know how you can
expect to work after eating heavy things like chops. I don’t believe in overloading
my stomach.”
Then came the question of drink.
“I never drink anything for luncheon,” she said.
“Neither do I,” I answered promptly.
“Except white wine,” she proceeded as though I had not spoken. “These
French white wines are so light. They’re wonderful for the digestion.”
“What would you like?” I asked, hospitable still, but not exactly effusive.
She gave me a bright and amicable flash of her white teeth.
“My doctor won’t let me drink anything but champagne.”
I fancy I turned a trifle pale. I ordered half a bottle. I mentioned casually
that my doctor had absolutely forbidden me to drink champagne.
“What are you going to drink, then?”
“Water.”
She ate the caviare and she ate the salmon. She talked gaily of art and
literature and music. But I wondered what the bill would come to. When my
mutton chop arrived she took me quite seriously to ask.
“I see that you’re in the habit of eating a heavy luncheon. I’m sure it’s a
mistake. Why don’t you follow my example and just eat one thing? I’m sure you’d
feel ever so much better for it.”
“I am only going to eat one thing,” I said, as the waiter came again with
the bill of fare.
She waved him aside with an airy gesture.
208
“No, no, I never eat anything for luncheon. Just a bite, I never want more
than that, and I eat that more as an excuse for conversation than anything else. I
couldn’t possibly eat anything more unless they had some of those giant
asparagus. I should be sorry to leave Paris without having some of them.”
My heart sank. I had seen them in shops, and I knew that they were
horribly expensive. My mouth had often watered at the sight of them.
“Madame wants to if you have any of those giant asparagus,” I asked the
waiter.
I tried with all my might to will him to say no. A happy smile spread over
his broad, priest-like face, and he assured me that they had some so large, so
splendid, so tender, that it was a marvel.
“I’m not in the least hungry,” my guest sighed, “but if you insist I don’t
mind having some asparagus.”
I ordered them.
“Aren’t you going to have any?’
“Never, I never eat asparagus.”
“I know there are people who don’t like them. The fact is, you ruin your
palate by all the meat you eat.”
We waited for the asparagus to be cooked. Panic seized me. It was not a
question now how much money I should have left over for the rest of the month,
but whether I had enough to pay the bill. It would be mortifying to find myself ten
francs short and be obliged to borrow from my guest. I could not bring myself do
that. I knew exactly how much I had, and if the bill came to more I made up my
mind that I would put my hand in my pocket and with a dramatic cry start up and
say it had been picked. Of course, it would be awkward if she had not money
enough either to pay the bill. Then the only thing would be to leave my watch and
say I would come back and pat later.
The asparagus appeared. They were enormous, succulent, and
appetizing. The smell of melted butter tickled my nostrils as the nostrils of
Jehovah were tickled by the burned offerings of the virtuous Semites. I watched
the abandoned woman thrust them down her throat in large voluptuous
mouthfuls, and in my polite way I discoursed on the condition of the drama in the
Balkan. At last she finished.
“Coffee?” I said.
“Yes, just an ice-cream and coffee,” she answered.
I was past caring now, so I ordered coffee for myself and an ice-cream
and coffee for her.
“You know, there’s one thing I thoroughly believe in,” she said, as she at
the ice-cream. “One should always get up from a meal feeling one could eat a little
more.”
209
“Are you still hungry?” I asked faintly.
“Oh, no, I’m not hungry; you see, I don’t eat luncheon. I have a cup of
coffee in the morning, and then dinner, but I never eat more than one thing for
luncheon. I was speaking for you.”
“Oh, I see!”
Then a terrible thing happened. While we were waiting for the coffee the
head waiter, with an ingratiating smile on his false face, came up to us bearing a
large basket full of huge peaches. They had the blush of an innocent girl; they had
the rich tone of an Italian landscape. But surely peaches were not in season then?
Lord knew what they cost. O knew too—a little later, for my guest, going on with
her conversation, absentmindedly took one.
“You see, you’ve filled your stomach with a lot of meat”—my one
miserable little chop—“and you can’t eat any more. But I’ve just had a snack and
I shall enjoy a peach.
The bill came, and when I pad it I found that I had only enough for a quite
inadequate tip. Her eyes rested for an instant on the three francs I left for the
waiter, and I knew that she thought me mean. But when I walked out of the
restaurant I had the whole month before me and not a penny in my pocket.
“Follow my example,” she said as we shook hands, “and never eat more
than one thing for luncheon.”
“I’ll do better than that,” I retorted. “I’ll eat nothing for dinner tonight.”
“Humorist!” she cried gaily, jumping into a cab. “You’re quite a
humorist!”
But I have had my revenge at last. I do not believe that I am a vindictive
man, but when the immortal gods take a hand in the matter it is pardonable to
observe the result with complacency. Today she weighs twenty-one stone.


Teks BSa:
Makan Siang
Saya bertemu dengannya pada suatu pertunjukkan drama. Dan sebagai balasan
terhadap lambaian tangannya, saya hampiri dia saat istirahat dan saya duduk di
sampingnya. Itu terjadi setelah cukup lama kami tidak saling bertemu, sejak
terakhir kali saya berjumpa dengannya. Dan, jika saat itu tidak ada seseorang yang
menyebutkan namanya, saya kira saya tidak akan mampu mengenalinya lagi. Saat
itu saya sapa dia dengan ceria.
"Yaah,…telah bertahun-tahun sejak pertemuan pertama itu. Waktu
berlalu begitu cepat! Kita semua kelihatan semakin tua. Ingatkah Anda waktu
pertama kali kita berjumpa? Anda mengundang saya untuk makan siang."
210
Ingatkah saya?
Waktu itu dua puluh tahun yang lalu, dan saat itu saya tinggal di Paris.
Saya tinggal di sebuah apartemen sempit yang menghadap ke kuburan di kawasan
permukiman orang-orang Amerika Latin. Penghasilan saya sangat kecil, cukup
untuk sekadar menyatukan raga dan nyawa. Dia telah membaca buku saya dan
berkirim surat kepada saya tentang buku itu. Saya membalasnya sebagai ucapan
terimakasih. Dan, akhirnya, saya menerima suratnya yang lain yang mengatakan
bahwa ia akan singgah di Paris. Ia ingin ngobrol dengan saya. Tapi waktunya
sangat terbatas. Satu-satunya waktu luang adalah hari Kamis berikutnya. Di pagi
harinya, katanya, ia akan menghabiskan waktunya di Luksemburg dan setelah
itu… saya boleh mengundangnya makan siang sederhana di Restoran Foyot's.
Foyot's adalah restoran tempat para senator Prancis bersantap. Selama
ini, restoran itu di luar jangkauan kantong saya, sehingga saya tidak pernah
berpikir untuk pergi ke sana. Tetapi, saya telah terbujuk, dan saya terlalu muda
untuk berkata "tidak" kepada seorang wanita. (Banyak orang, perlu saya
tambahkan di sini, baru belajar pada usia yang terlalu tua untuk mengatakan
dengan jujur apa yang sebenarnya ia inginkan kepada seorang wanita.) Saya
punya delapan puluh frank emas untuk biaya hidup sampai akhir bulan, dan
makan siang yang sederhana tidak akan menghabiskan uang lebih dari 15 frank.
Jika saya puasa tidak minum kopi selama dua minggu berikutnya, saya akan dapat
mengatur pengeluaran saya dengan cukup baik.
Saya balas suratnya bahwa saya akan menemui teman saya itu di Foyot's
Kamis jam 12:30. Dan, ternyata, dia tidak begitu muda seperti yang saya
bayangkan. Penampilannya lebih terkesan lebih norak, bukan menarik. Ternyata,
dia seorang wanita 40 tahun (usia yang menawan, tetapi bukan usia yang
mengobarkan nafsu ganas dan sontak pada pandangan pertama.) Dan, saya
mempunyai kesan, giginya yang putih, besar, dan tidak teratur terlalu banyak
jumlahnya daripada yang ia butuhkan untuk tujuan praktis. Dia banyak bicara.
Tetapi, karena pembicaraannya menjurus kepada saya, maka saya bersiap-siap
untuk menjadi pendengar yang penuh perhatian.
Saya terkejut saat pelayan memberikan daftar menu kepada saya, karena
harga-harganya jauh lebih tinggi dari perhitungan saya. Tapi dia menenangkan
saya.
"Saya tidak pernah makan apa-apa untuk makan siang," katanya.
"Ah, jangan begitu!" Saya pun menjawabnya dengan tulus.
"Saya tak pernah makan lebih dari satu jenis makanan. Menurut saya,
orang-orang sekarang terlalu banyak makan. Seekor ikan kecil, mungkin, sudah
cukup. Apakah mereka punya salmon, ya?"
Yah, waktu itu terlalu awal untuk musim salmon dan makanan itu tidak
tertera pada daftar menu. Tetapi, saya tanyakan kepada pelayan kalau-kalau
211
mereka punya salmon. Ya, seekor ikan salmon yang menyenangkan telah datang.
Itu adalah salmon pertama yang dipunyai restoran itu. Saya pun memesannya
untuk tamu saya. Seorang pelayan bertanya kepadanya apakah dia ingin
memesan sesuatu selama menunggu ikan salmon itu dimasak.
"Tidak," jawabnya. "Saya tidak pernah makan lebih dari satu jenis
makanan. Kecuali Anda punya sedikit kaviar. Saya tidak keberatan untuk makan
sedikit kaviar."
Hati saya sedikit mengkerut. Saya tahu, saya tidak mampu membeli
kaviar, tapi saya tak bisa begitu saja berterus-terang kepada tamu saya itu. Tentu
saja saya katakan kepada pelayan itu untuk membawakannya kaviar. Untuk saya
sendiri, saya pilih makanan yang paling murah dalam daftar menu itu. Dan
makanan itu adalah daging kambing.
"Saya kira Anda kurang bijak makan daging," katanya. "Saya heran
bagaimana Anda bisa bekerja setelah makan makanan berat seperti daging
kambing. Saya tidak suka menjejali perut saya dengan makanan seperti itu."
Setelah itu datang pertanyaan tentang minuman.
"Saya tidak pernah minum apa pun selama makan siang," katanya.
"Tidak juga saya," saya jawab dengan cepat.
"Kecuali anggur putih," dia melanjutkan kaata-katanya seolah-olah saya
tidak pernah berbicara sepatah pun. "Anggur putih Prancis begitu ringan.
Minuman itu baik sekali untuk pencernaan."
"Apa yang Anda suka?" tanya saya masih dengan sepenuh hati, tapi
tanpa kegembiraan yang pura-pura.
Dia tersenyum dengan manis. "Dokter saya tidak mengizinkan saya
minum apa pun kecuali champagne."
Saya membayangkan, muka saya pasti kelihatan pucat. Saya pesan
setengah botol. Saya katakan sambil lalu bahwa dokter saya betul-betul melarang
saya minim champagne.
"Lalu Anda ingin minum apa?"
"Air putih."
Dia melahap kaviar itu, setelah itu ikan salmonnya. Dengan ceria dia
berbicara tentang seni, sastra dan musik. Tetapi saya cemas, berapa bon yang
harus saya bayar nantinya. Waktu daging kambing saya datang, dia bertanya
kepada saya dengan pertanyaan yang menyudutkan.
"Saya tahu Anda punya kebiasaan makan siang dengan makanan yang
berat-berat. Tetapi, saya yakin itu keliru. Mengapa Anda tidak mengikuti contoh
saya dan hanya makan satu jenis makanan saja? Saya yakin, Anda akan merasa
lebih nyaman karenanya."
"Saya hanya akan makan satu jenis," kata saya saat pelayan datang lagi
dengan menu di tangan.
212
Dia menyuruh pelayan itu pergi dengan isyarat ringan.
"Tidak, tidak, saya tidak pernah makan apa pun untuk makan siang.
Hanya satu gigit, saya tidak ingin lebih banyak daripada itu. Dan saya makan ini
tidak lebih sebagai sekadar alasan percakapan, bukan karena alasan lain. Saya
mungkin tidak akan makan apa-apa lagi kecuali jika mereka mempunyai sedikit
asparagus besar. Saya akan sangat menyesal bila meninggalkan Paris tanpa
menikmati sedikit asparagus itu."
Hati saya menciut. Saya pernah melihat asparagus-asparagus itu di toko,
dan saya tahu bahwa harganya minta ampun mahalnya. Sering mulut saya ngiler
melihatnya.
“Tamu saya ini ingin tahu apakah Anda memiliki asparagus raksasa,”
tanya saya pada pelayan.
Saya berdoa dengan sepenuh hati agar pelayan itu berkata tidak. Tetapi,
sebuah senyuman bahagia mengembang di wajahnya yang seperti wajah
pendeta, lebar. Dan dia mengatakan pada saya bahwa restoran itu punya banyak
asparagus dan malah beberapa sangat besar, sangat menyenangkan, sangat
lunak, sehingga asparagus itu menjadi istimewa.
“Sebetulnya saya tidak begitu lapar,” kata tamu saya. “Tetapi bila Anda
mendesak saya, saya pun tidak keberatan menikmatinya.”
Saya pesan asparagus itu.
“Tidakkah Anda akan menikmatinya juga?”
“Tidak, saya tidak pernah makan asparagus.”
“Saya tahu ada orang yang tidak menyukainya. Tetapi, Anda merusak cita
rasa Anda dengan makan daging yang telah Anda makan tadi.”
Kami menunggu asparagus itu dimasak. Kepanikan melilit saya. Ini bukan
karena masalah berapa sisa uang saya pada akhir bulan ini, tetapi masalahnya
apakah saya punya cukup uang untuk membayar bon restoran itu nanti. Pasti
sangat memalukan bila saya kekurangan 10 frank saja, misalnya, dan terpaksa
harus menghutang kepada tamu saya. Saya tidak sanggup menanggung malu itu.
Saya tahu pasti berapa banyak uang di dompet saya. Sebab itu, saya
berpikir nekat, jika bon restoran melebihi yang ada di dompet saya, saya akan
berpura-pura merogoh saku dan segera berteriak keras-keras seolah-olah saya
telah kecopetan. Tentu saja akan memalukan bila tamu saya itu tidak cukup uang
untuk menalangi membayar bon itu. Jadi, satu-satunya jalan adalah meninggalkan
jam tangan saya dan mengatakan kepada pemilik restoran bahwa saya akan
kembali lagi untuk membayar bon tersebut.
Asparagus itu muncul. Makanan itu sangat besar, berlemak, dan
mengundang nafsu makan. Bau mentega yang meleleh menggoda lubang hidung
Jehovah yang digoda persembahan kurban orang Semit yang baik hati. Saya lihat
wanita kasar itu menelan hidangan melalui kerongkongannya dengan suapan-
213
suapan besar. Saya sendiri dengan sopan bercerita tentang situasi drama di
Balkan. Akhirnya, dia selesai makan.
“Kopi?” tanya saya.
“Ya, es krim dan kopi saja,” jawabnya.
Saya tidak peduli lagi sekarang. Makanya, saya memesan kopi untuk saya
sendiri dan es krim serta kopi untuknya.
“Anda tahu, ada satu hal yang saya percaya,” katanya, saat dia makan es
krim itu. “Orang itu harus bangkit dari meja makan dengan perasaan dia mampu
makan sedikit lagi.”
“Anda masih lapar?” tanya saya dengan lemah.
“Oh, tidak, saya tidak lapar. Saya tidak makan siang, ya kan? Saya minum
secangkir kopi di waktu pagi dan kemudian makan malam, tetapi saya tidak
pernah makan lebih dari satu jenis untuk makan siang. Saya sudah katakan itu
kepada Anda.”
“Oh, ya!?”
Kemudian suatu hal yang menakutkan terjadi. Saat kami menunggu kopi,
pelayan kepala dengan senyum palsunya datang kepada kami dengan membawa
sekeranjang penuh buah persik besar-besar. Buah-buah itu berwarna kemerah-
merahan seperti pipi perawan polos yang merah. Buah-buah itu begitu menarik
seperti pemandangan alam Itali. Tetapi, waktu itu tentu bukan musim persik.
Tuhan tahu berapa harganya. Saya tahu juga sebentar kemudian, karena tamu
saya itu, di tengah-tengah percakapan, serta-merta mencomotnya sebuah.
“Anda tahu, Anda telah mengisi perut Anda dengan banyak daging.
Karena daging kambing kecil itu saja, Anda tak dapat makan apa-apa lagi. Sedang
saya baru saja menikmati makan kecil dan masih akan menikmati buah persik.”
Bon pun datang. Saat saya bayar, ternyata sisa uang saya hanya sedikit
lagi untuk tip pelayan. Dengan cepat mata tamu saya itu melihat pada uang tiga
frank yang saya tinggalkan untuk pelayan, dan saya tahu dia mengira saya ini pelit.
Tetapi, saat saya berjalan ke luar restoran, saya harus hidup sebulan penuh tanpa
uang sepeser pun di saku.
“Ikuti contoh saya,” katanya saat kami berjabat tangan. “Jangan sampai
makan lebih dari satu jenis untuk makan siang.”
“Saya akan melakukan lebih baik lagi daripada itu,” jawab saya. “Malam
ini, saya tidak akan makan apa-apa.”
“Humoris!” teriaknya dengan ceria sambil meloncat ke dalam mobil.
“Anda cukup humoris!”
Tetapi, akhirnya saya merasa dendam. Saya tidak percaya bahwa saya
seorang pendendam, tetapi jika Tuhan Yang Mahakekal menghukum saya karena
hal ini, saya kira saya boleh melihat hasilnya dengan berpuas diri. Dia sekarang
berbobot 133 kilo.
214
TENTANG PENULIS

Sugeng Hariyanto, lahir 8 Maret 1968 di Magetan, Jawa Timur. Setelah


menamatkan SPG di Magetan di tahun 1986, ia meneruskan kuliah di
Jurusan Bahasa Inggris IKIP Malang. Setamat kuliah (1991), ia menjadi
dosen Bahasa Inggris di Politeknik Negeri Malang sampai sekarang.
Pada tahun 1997 ia mengikuti program Diploma in Applied
Linguistics di SEAMEO RELC, Singapura, dan pada tahun 1999 ia
menamatkan progam S-2 Bahasa Inggris dari Pasca Sarjana IKIP Malang
dan tahun 2009 menyelesaikan program doktor dari Program Pasca
Universitas Negeri Malang. Tahun 2008/2009 dia mengikuti kursus singkat
di bidang Penelitian Penerjemahan di University of Queensland, Australia.
Di antara karya tulisannya tentang Terjemahan adalah: Of Poetry
Translation (1996), An Evaluation of the English Translation of an
Indonesian Novel “Burung-Burung Manyar” (1997), The Translation
Procedures for Translating Indonesian Culturally-Bound Words and
Expression into English (A case Study on the English Translation of
Mangunwijaya’s Burung-Burung Manyar” (1999), dan The Implication of
Culture on Translation Theory and Practice (2000).
Edisi pertama buku ini Translation: Bahasan Teori dan Penuntun
Praktis (2003) diterbitkan oleh Penerbit Kanisius Yogyakarta and dia
menulis satu bab berjudul “The Implication of Culture on Translation
Theory and Practice” dalam buku “Simultaneous Translation” (2012)
edited by Dr. Fatma El-shafey, of Open Learning Center, Benha University,
Egypt. Buku terakhirnya adalah Website Translation yang diterbitkan oleh
Inspira Publisher (2015). Dalam bidang pengajaran penerjemahan dia
menulis modul dengan judul Modul Pengantar Penerjemahan Teks Hukum
Perundang-undangan yang diterbitkan dan digunakan oleh Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia (2016).
Sebagai konsultan terkait penerjemahan dan pengajaran
penerjemahan, dia pernah menjadi konsultan untuk Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin (2006), CIFOR - BMZ , Bandung, (2007 - 2008),
Unisma Malang (2009), Balai Bahasa Jawa Timur (2012-2013), dan
Sekretariat Kabinet RI (2015-2016).

215
Zuchridin Suryawinata, lahir 27 Agustus 1931. Pada tahun 1952 ia
menyelesaikan pendidikan menengahnya di SMA-B Negeri Yogyakarta.
Kursus B1/STC Bahasa Inggris Yogyakarta diselesaikannya pada tahun
1956. Pada tahun 1963, ia menamatkan program Doctorandus, FKIP
Universitas Airlangga. Setelah itu ia menjadi dosen pada Jurusan Bahasa
Inggris di almamaternya. Pada tahun 1982 ia menamatkan program
Doktornya di Program Pasca Sarjana IKIP Malang. Sekarang ia adalah Guru
Besar bidang Terjemahan pada Fakultas Sastra dan Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Malang (dahulu IKIP Malang).

Beberapa tulisannya mengenai Terjemahan antara lain: Analisis dan


Evaluasi terhadap Terjemahan Novel Sastra “The Advanture of
Huckleberry Finn” dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. (IKIP
Malang, 1982), Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek (Depdikbud,
1989), Kapita Selekta Bahasa, Pengajaran, dan Penerjemahan (IKIP
Malang, 1989), dan Modul Universitas Terbuka Translation (UT, 1991). Ia
juga menerjemahkan beberapa cerita pendek Indonesia ke dalam Bahasa
Inggris dalam buku New York after Midnight, ed. Satyagraha Hoerip
(Lontar, 1991)

216

Anda mungkin juga menyukai