Anda di halaman 1dari 203

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang

Hak Cipta, sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002, bahwa:

Kutipan Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp. 4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).

ii
Rudy Sofyan
Rusdi Noor Rosa

iii
Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan
Penulis: Rudy Sofyan, Rusdi Noor Rosa
Layout: Imam Mahfudhi
Design Cover: Hardinalsyah

Katalog Dalam Terbitan

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan


.–/ Rudy Sofyan, Rusdi Noor Rosa
Kota Tangerang: Mahara Publishing, 2020.
x, 189 hal.; 23 cm
ISBN 978-602-466-171-7

1. Buku I. Judul
2. Majalah Ilmiah
3. Standar

ISBN 978-602-466-171-7

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak dan menerjemahkan sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit dan penulis

Penerbit:
Mahara Publishing (Anggota IKAPI)
Jalan Garuda III B 33 F Pinang Griya Permai
Kota Tangerang Banten Indonesia 15145
Narahubung: 0813 6122 0435
Pos-el: maharapublishing@yahoo.co.id
Laman: www.maharapublishing.com

iv
KATA PENGANTAR

B uku yang berjudul “Kajian Terjemahan: Panduan


Praktik dan Penelitian Terjemahan” ini
merupakan perpaduan dari hasil penelitian dan
telaah pustaka yang dilakukan penulis terhadap proses dan
produk terjemahan. Pembahasan dalam buku ini mencakup
perkembangan penerjemahan dimulai dari penerjemahan yang
bersifat preskriptif sampai dengan yang bersifat deskriptif serta
mendukung kemajuan teknologi. Di samping itu, buku ini juga
menyajikan pendekatan atau metodologi penelitian di bidang
kajian terjemahan. Oleh karena itu, buku ini sangat bermanfaat
bagi para penerjemah, pembelajar bahasa khususnya bidang
penerjemahan, pengajar, dan peneliti. Buku ini dapat dijadikan
sebagai referensi dalam melakukan penelitian terjemahan
berorientasi pada proses terjemahan dan penelitian yang
berorientasi pada produk terjemahan.
Buku ini disajikan dalam 8 (delapan) Bab yang
menjelaskan masing-masing topik secara aktual dan dilengkapi
dengan kesimpulan di setiap Bab. Bab I mencakup pengertian
dasar terjemahan, perkembangan kajian terjemahan, dan
pemetaan penelitian terjemahan. Bab 2 menjelaskan secara
khusus isu-isu mutakhir dalam penelitian yang berorientasi pada
produk terjemahan. Bab 3 menjelaskan secara rinici isu-isu
terkait dengan penelitian terjemahan yang berorientasi pada
proses dan memperkenalkan beberapa instrumen yang dapat
membantu peneliti dalam mengumpulkan data, seperti Translog,
Camtasia Studio, TAP, dan kuesioner. Bab 4 menjelaskan
keterlibatan teori linguistik dalam kajian terjemahan yaitu teori
linguistik fungsional sistemik (LFS). Bab 5 menjelaskan hakikat
kesepadanan makna dan beberapa prinsip atau sudut pandang
tentang kesepadanan makna dalam penerjemahan. Bab 6
menjelaskan tentang teknik penerjemahan. Bab 7 menjelaskan
v
penilaian kualitas terjemahan dengan menyajikan beberapa
model penilaian kualitas terjemahan yang mutakhir berdasarkan
hasil-hasil penelitian terbaru. Bab 8 menjelaskan tentang
perkembangan kajian terjemahan yang tidak hanya berperan
sebagai suatu disiplin ilmu akan tetapi juga sebagai sebuah
profesi.

Penulis

vi
DAFTAR SINGKATAN

AW : Analisis Wacana
AWK : Analisis Wacana Kritis
BSa : Bahasa sasaran
BSu : Bahasa sumber
CAT : Computer Assisted Translation
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
KTD : Kajian Terjemahan Deskriptif
KTT : Kajian Terjemahan Teoritis
LFS : Linguistik Fungsional Sistemik
LK : Linguistik Korpus
MPS : Mesin Penerjemah berbasis Statistik
PKT : Penilaian Kualitas Terjemahan
PUEBI : Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
TAP : Think Aloud Protocol
TSa : Teks sasaran
TSu : Teks sumber

vii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ....................................................... v


DAFTAR SINGKATAN ................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................... xiii

BAB 1 PENERJEMAHAN SEBAGAI DISIPLIN...... 1


1.1 Pengertian Penerjemahan ................................... 1
1.2 Perkembangan Penerjemahan Sebelum
Abad Ke-20 ........................................................ 2
1.3 Kajian Terjemahan ............................................. 6
1.4 Tujuan dan Struktur Penulisan Buku Ini ............ 11

BAB 2 KAJIAN TERJEMAHAN BERORIENTASI


PADA PRODUK ............................................... 15
2.1 Penerjemahan sebagai Produk ............................ 15
2.2 Penerjemahan yang Berorientasi pada Produk .... 16
2.3 Model-Model Penerjemahan .............................. 20
2.4 Pendekatan Metodologi Penelitian pada Kajian
Terjemahan yang Berorientasi pada Produk ....... 24
2.4.1 Pendekatan Analisis Wacana Kritis
dalam Kajian Terjemahan ....................... 25
2.4.2 Pendekatan Linguistik Korpus
dalam Kajian Terjemahan ....................... 29
2.5 Kesimpulan ......................................................... 33

BAB 3 KAJIAN TERJEMAHAN BERORIENTASI


PADA PROSES ................................................ 35
3.1 Penerjemahan sebagai Proses ............................. 35

viii
3.2 Penerjemahan yang Berorientasi pada Proses .... 37
3.3 Pause pada Proses Penerjemahan ....................... 39
3.4 Swa-Koreksi dalam Proses Penerjemahan ......... 44
3.4.1 Substitusi .............................................. 46
3.4.2 Pengurangan ......................................... 47
3.4.3 Penambahan ......................................... 49
3.4.4 Kapitalisasi ........................................... 50
3.4.5 Koreksi Makna ..................................... 52
3.4.6 Koreksi Tata Bahasa ............................. 54
3.4.7 Koreksi Ejaan ....................................... 55
3.5 Pemanfaatan Sumber Daring dalam
Proses Penerjemahan .......................................... 57
3.6 Penggunaan Instrumen dalam Penelitian
Penerjemahan yang Berorientasi pada Proses .... 62
3.6.1 Think Aloud Protocol (TAP) ................ 62
3.6.2 Translog ................................................ 63
3.6.3 Camtasia Studio .................................... 65
3.7 Kesimpulan ......................................................... 66

BAB 4 PENERJEMAHAN DAN LINGUISTIK


FUNGSIONAL SISTEMIK ............................. 69
4.1 Penerjemahan dan Linguistik ............................. 69
4.2 Penerapan Teori LFS dalam Penerjemahan ....... 71
4.2.1 Makna Ideasional ................................. 73
4.2.2 Makna Antarpersona ............................ 77
4.2.3 Makna Tekstual .................................... 80
4.3 Pola Gerak Tema ................................................ 83
4.3.1 Pola Gerak Linear ................................. 84
4.3.2 Pola Gerak Tema Konstan .................... 85
4.3.3 Pola Gerak Tema Dengan Hipertema ... 87
4.4 Pergeseran Metafungsi Bahasa pada Penerjemahan 88
4.5 Kesimpulan ......................................................... 96

BAB 5 KESEPADANAN MAKNA DALAM


PENERJEMAHAN .......................................... 99
5.1 Pendahuluan ....................................................... 99
5.2 Kesepadanan Makna sebagai Pemertahanan
Makna .......................................................... 100

ix
5.3 Keterkaitan Budaya dalam Proses Pemadanan
Makna .......................................................... 104
5.4 Kesimpulan ......................................................... 111

BAB 6 TEKNIK PENERJEMAHAN ......................... 113


6.1 Pengertian Teknik Penerjemahan ....................... 113
6.2 Klasifikasi Teknik Penerjemahan ....................... 114
6.2.1 Adaptasi ................................................ 115
6.2.2 Penambahan ......................................... 116
6.2.3 Peminjaman .......................................... 116
6.2.4 Kalke .................................................... 117
6.2.5 Kompensasi .......................................... 118
6.2.6 Deskripsi ............................................... 119
6.2.7 Kreasi Diskursif .................................... 119
6.2.8 Padanan Lazim ..................................... 120
6.2.9 Generalisasi .......................................... 121
6.2.10 Amplifikasi Linguistik ......................... 121
6.2.11 Kompresi Linguistik ............................. 122
6.2.12 Terjemahan Harfiah/Literal .................. 123
6.2.13 Modulasi ............................................... 124
6.2.14 Partikularisasi ....................................... 125
6.2.15 Reduksi ................................................. 125
6.2.16 Transposisi ........................................... 126
6.3 Varian Tunggal, Kuplet, Triplet, dan Kuartet .... 127
6.4 Kesimpulan ......................................................... 130

BAB 7 PENILAIAN KUALITAS TERJEMAHAN .. 133


7.1 Pengertian Penilaian Kualitas Terjemahan ......... 133
7.2 Model Penilaian Kualitas Terjemahan ............... 136
7.2.1 Model PKT Hurtado Albir ................... 136
7.2.2 Model PKT Waddington ...................... 139
7.2.3 Model PKT Nababan dkk. .................... 141
7.2.4 Model PKT Sofyan dan Tarigan .......... 144
7.3 Subjektifitas dan Relativitas dalam PKT ............ 149
7.4 Kesimpulan ......................................................... 151

BAB 8 PENERJEMAHAN SEBAGAI PROFESI ..... 153


8.1 Pendahuluan ....................................................... 153
8.2 Profesionalisme dalam Dunia Penerjemahan ..... 154
x
8.3 Etika Profesionalisme dalam Penerjemahan ...... 157
8.4 Kesimpulan ......................................................... 161

DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 163


INDEKS ........................................................................... 183

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Variabel register dan realisasinya ................... 26


Tabel 2.2 Kategorisasi penelitian di bidang penerjemahan
dengan menggunakan pendekatan AW
(Diadaptasi dari Zhang dkk., 2015) ............... 27
Tabel 3.1 Pemanfaatan sumber daring oleh penerjemah
dalam proses penerjemahan ........................... 59
Table 3.2 Situs web sebagai sumber daring .................... 61
Tabel 4.1 Variabel register, realisasi metafunsi,
dan leksikogramatika (Halliday, 1994) .......... 73
Tabel 4.2 Penentuan tema dan rema klausa ................... 82
Tabel 7.1 Model PKT Hurtado Albir ............................. 137
Tabel 7.2 Model PKT Waddington ................................ 139

Tabel 7.3 Kategori keakuratan dalam model PKT


Nababan dkk. ................................................. 141
Tabel 7.4 Kategori keberterimaan dalam model PKT
Nababan dkk. ................................................. 142
Tabel 7.5 Kategori keterbacaan dalam model PKT
Nababan dkk. ................................................. 142
Tabel 7.6 Pembobotan nilai Model PKT Nababan dkk. 143
Tabel 7.7 Model PKT Sofyan dan Tarigan ..................... 144

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Pemetaan kajian dalam penerjemahan


oleh Holmes ................................................... 8

Gambar 2.1 Proses penerjemahan (Larson, 1984: 4) ......... 20

Gambar 2.2. Proses penerjemahan Larson yang


dikembangkan oleh Said (1994) .................... 21

Gambar 2.3 Model penerjemahan wacana dan komunikasi 22

Gambar 2.4 Model penerjemahan berorientasi pada proses 23

Gambar 3.1 Tampilan hasil rekaman Translog .................. 64

Gambar 3.2 Kegiatan salin-rekat oleh penerjemah ............ 66

Gambar 4.1 Metafungsi bahasa .......................................... 72

Gambar 4.2 Jaringan sistem modus ................................... 78

Gambar 4.3 Pola gerak tema linear .................................... 84

Gambar 4.4 Pola gerak tema konstan ................................ 85

Gambar 4.5 Pola gerak tema dengan hipertema ................. 87

Gambar 5.1 Proses penerjemahan ...................................... 102

Gambar 5.2 Prinsip V dalam penerjemahan ...................... 106

xiii
BAB 1
PENERJEMAHAN SEBAGAI DISIPLIN

1.1 Pengertian Penerjemahan


Dalam bahasa sehari-hari, terjemahan dianggap sebagai
teks yang merupakan “representasi” atau “reproduksi” teks asli
yang ditulis dalam bahasa lain (House, 2001: 247). Senada
dengan “representasi” atau “reproduksi”, Sofyan (2016: 15)
menyatakan bahwa penerjemahan merupakan proses “menulis
kembali” suatu teks yang melibatkan sedikitnya dua bahasa
yang memainkan peran berbeda, di mana salah satunya
merupakan bahasa sumber (BSu) dan lainnya merupakan bahasa
sasaran (BSa). Ide-ide tersebut menyiratkan bahwa
penerjemahan adalah proses menulis ulang suatu teks dari BSu
ke dalam BSa tanpa mengubah makna yang terkandung dalam
teks sumber (TSu). Oleh karena itu, penerjemahan harus
memberikan pembaca BSa pemahaman yang sama ketika
membaca TSu dan teks sasaran (TSa).
Perhatikan penerjemahan kalimat pada (1) berikut ini.
(1) TSu : The man in a blue jacket gave her a bunch
of flowers.
TSa : Laki-laki dalam jaket biru itu memberinya
bunga.
Kalimat pada (1) menunjukkan bahwa bahasa yang
berperan sebagai BSu adalah bahasa Inggris, dan bahasa
Indonesia berperan sebagai BSa. Dikatakan sebagai
“representasi”, hasil terjemahan yang terdapat pada (1)
merupakan ‘perwakilan’ makna yang terkandung dalam TSu, di
mana ada “laki-laki” sebagai representasi dari “the man”,
“dalam jaket biru” sebagai representasi dari “in a blue jacket”,

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan |1


“memberinya” sebagai representasi dari “gave her”, dan
“bunga” sebagai representasi dari “a bunch of flower”.
Selanjutnya, penerjemahan dikatakan sebagai reproduksi karena
penerjemahan menghasilkan atau memproduksi suatu teks dari
teks yang sudah ada. Unsur-unsur BSu yang sudah
direpresentasikan ke dalam BSa diproduksi ulang dengan cara
merangkai unsur-unsur tersebut menjadi sebuah kalimat dengan
tata bahasa yang berlaku pada BSa. Proses perangkaian unsur-
unsur yang telah direpresentasikan ke dalam BSa inilah yang
disebut dengan “penulisan ulang”.
Meskipun demikian, penerjemahan kalimat pada (1)
belum sepenuhnya dikatakan sebagai penerjemahan yang sudah
sesuai dengan definisi yang diungkapkan di paragraf awal tadi
karena penerjemahan tidak hanya sekadar “representasi”,
“reproduksi”, atau “penulisan kembali”, akan tetapi
penerjemahan juga harus melihat apakah hasil penulisan
kembali tersebut juga sudah merepresentasikan atau mewakili
makna yang terkandung dalam TSu secara keseluruhan.
Terdapat beberapa pemilihan kata dan struktur kalimat yang
harus diperbaiki dari hasil terjemahan pada (1). Pertama,
penggunaan “dalam jaket biru” tidak lazim digunakan dalam
bahasa Indonesia meskipun mungkin saja beberapa pembaca
BSa dapat memahaminya. Dalam bahasa Indonesia, frasa
tersebut seharusnya diterjemahkan menjadi klausa “yang
memakai jaket biru”. Penggunaan klausa pada Tsa sebagai
representasi frasa pada TSu mengisyaratkan bahwa, dalam
penerjemahan, struktur dan gaya bahasa yang digunakan dapat
saja (atau seharusnya) berbeda dengan yang terdapat pada BSa.
Hal kedua yang harus diperbaiki pada penerjemahan
kalimat (1) adalah pemilihan kata “nya” sebagai representasi
“her”. Kekurangtepatan pemilihan kata tersebut disebabkan
perbedaan perlakuan pronomina dalam BSu dan BSa. Dalam
bahasa Inggris, pronomina “her” merupakan pronomina persona
yang berfungsi sebagai objek dan yang merujuk kepada orang
ketiga perempuan tunggal. Sementara itu, dalam bahasa

2| Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Indonesia, pronomina “nya” berfungsi sebagai rujukan orang
ketiga tunggal baik perempuan maupun laki-laki. Dengan
demikian, pemilihan kata yang tepat sebagai representasi
pronomina “her” pada konteks kalimat (1) adalah “wanita itu”.
Selanjutnya, hal ketiga yang harus diperbaiki pada
penerjemahan kalimat (1) adalah penghilangan makna “a bunch
of” pada TSa. Penghilangan tersebut menyebabkan interpretasi
yang berbeda-beda dari pembaca TSa, khususnya dari segi
kuantitas bunga yang diberikan. Dalam bahasa Indonesia,
kuantitas bunga dapat diwakili oleh kata-kata seperti
“sekuntum” atau “seikat”. Berdasarkan konteks kalimat yang
terdapat pada TSu, maka representasi yang tepat untuk frasa “a
bunch of” adalah “seikat”, dan kalimat pada TSu dapat ditulis
kembali menjadi seperti yang terdapat pada (1a).
(1a) Laki-laki yang memakai jaket biru itu memberi
wanita itu seikat bunga.
Berdasarkan pengertian penerjemahan yang telah
dijelaskan di atas, maka dapat dikatakan bahwa penerjemahan
merupakan suatu kegiatan representasi dan reproduksi makna
TSu dengan menulis kembali representasi dari makna tersebut
ke dalam kalimat dengan menggunakan tata bahasa yang benar
dan berterima dalam BSa. Definisi ini juga mengungkapkan
bahwa penerjemahan merupakan kegiatan yang melibatkan
pembuatan makna (Rosa, 2017: 5), dan suatu kegiatan tidak
akan dikatakan sebagai penerjemahan jika tidak melibatkan
pembuatan makna tersebut (Halliday, 1992: 15).
Di samping itu, penerjemahan juga berfungsi sebagai
media komunikasi. Sebagai media komunikasi, penerjemahan
melibatkan tiga komponen, yaitu penulis TSu sebagai orang
yang menetapkan tujuan komunikatif TSu, penerjemah sebagai
mediator, dan klien sebagai pembaca TSa (Nababan, Nuraeni, &
Sumardiono, 2012: 43). Dengan demikian, representasi maupun
reproduksi yang dilakukan dalam penerjemahan harus
berorientasi pada tujuan komunikatif terjemahan tersebut. Untuk

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan |3


mencapai tujuan komunikatif tersebut, penerjemahan harus
memperhatikan aspek budaya dan gaya bahasa BSa.

1.2 Perkembangan Penerjemahan Sebelum Abad Ke-20


Sebelum menjadi suatu disiplin yang dimulai pada abad
ke-20 (Venuti, 2004), kegiatan penerjemahan juga mengalami
perkembangan, dan perkembangan yang jelas terekam dimulai
sejak abad ke-17 (Munday, 2008: 25). Pada abad tersebut,
Cowley memperkenalkan penerjemahan bebas (imitasi) sebagai
teori penerjemahan. Teori ini memungkinkan seorang
penerjemah untuk melampaui makna asli yang terdapat pada
TSu; dengan demikian teori ini memberikan kesempatan kepada
seorang penerjemah untuk menghasilkan TSa yang terbaik
(Amos, 1973: 137).
Pendekatan penerjemahan bebas ini mendapat banyak
kritik dari para penerjemah lainnya, salah satunya adalah John
Dryden, yang uraian singkatnya tentang proses penerjemahan
memberi dampak besar pada teori dan praktik penerjemahan
selanjutnya (Dryden, 1992: 17). Dalam uraian tersebut, dia
mengelompokkan seluruh jenis penerjemahan kepada tiga
kategori: (1) metafrase, yaitu penerjemahan kata per kata atau
baris per baris yang menyerupai penerjemahan secara harfiah
atau literal, penerjemahan seperti ini tergolong kepada
penerjemahan yang setia kepada TSu; (2) parafrase, yaitu
penerjemahan melintang, di mana penerjemah hanya
mempertahankan makna yang terdapat pada TSu, tetapi kata-
kata ataupun frasa-frasa yang digunakannya tidak mengikuti
gaya bahasa pada TSu, penerjemahan seperti ini tidak setia
kepada TSu; dan (3) imitasi, yaitu penerjemahan yang
meninggalkan kata-kata dan makna yang terdapat pada TSu, dan
oleh karena itu, disebut juga dengan penerjemahan bebas.
Secara umum, Dryden dan para penerjemah lainnya di
abad ke-17 sangat bersifat preskriptif karena mereka
menetapkan apa-apa saja yang harus dilakukan seorang
penerjemah untuk menghasilkan terjemahan yang baik.

4| Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Penerjemah lainnya yang juga termasuk aliran preskriptif ini
adalah Etienne Dolet yang menetapkan lima prinsip utama
dalam menerjemahkan: (1) seorang penerjemah harus benar-
benar memahami arti dan materi dari penulis asli; meskipun
demikian, si penerjemah itu juga harus merasa bebas untuk
menjelaskan ketidakjelasan yang terdapat pada TSu; (2) seorang
penerjemah harus memiliki pengetahuan yang sempurna tentang
BSu dan BSa; (3) seorang penerjemah harus menghindari
penerjemahan kata per kata; (4) seorang penerjemah harus
menghindari kata-kata dalam bentuk Latin dan kata-kata yang
tidak biasa/lazim; dan (5) seorang penerjemah harus dapat
menggabungkan dan menghubungkan kata-kata dengan fasih
untuk menghindari kecanggungan bentuk dan makna yang
terdapat pada TSa (Dolet, 1540/1997).
Meskipun Dolet (1540/1997) menitikberatkan pada
reproduksi makna dengan menghindari penerjemahan secara
harfiah, namun orientasi penerjemahan mengarah kepada si
penerjemah. Sementara itu, di awal abad ke-18, penerjemahan
sudah mulai beralih dari penerjemahan yang berorientasi pada
penerjemah menjadi penerjemahan yang berorientasi pada
pembaca BSa (Tytler 1797: 14). Dia menciutkan lima prinsip
penerjemahan yang diusung oleh Dolet (1540/1997) menjadi
tiga prinsip utama yang disebutnya dengan tiga kaidah umum
penerjemahan: (1) penerjemahan harus menghasilkan salinan
ide-ide yang lengkap seperti yang terdapat pada teks aslinya; (2)
gaya dan cara penulisan harus memantulkan karakter yang sama
dengan yang asli; dan (3) penerjemahan harus mencerminkan
keaslian teks terjemahan dengan tidak menghilangkan ruh
penulis TSu di dalamnya.
Jika abad ke-17 penerjemahan menitikberatkan pada
penerjemahan bebas, dan pada abad ke-18 penerjemahan
menitikberatkan pada pemertahanan roh TSu pada TSa, maka
pada awal abad ke-19, penerjemahan membahas masalah teks
yang dapat atau tidak dapat diterjemahkan (translatability atau
untranslatability) dan adanya mitos dalam penerjemahan (Snell-

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan |5


Hornby, 2006). Pada awal abad tersebut, pakar di bidang
penerjemahan, Friedrich Schleiermacher, membedakan dua tipe
penerjemah yang menerjemahkan dua teks dengan jenis yang
berbeda pula. Pertama, dia menyebutnya dengan ‘Dolmetscher’,
yaitu orang yang menerjemahkan teks komersial. Tipe yang
kedua adalah “Übersetzer”, yaitu orang yang menerjemahkan
teks ilmiah dan kesusasteraan (Schleiermacher, 2004: 44). Pada
dasarnya, Schleiermacher mengadopsi penerjemahan secara
melintang yang sebelumnya juga diperkenalkan oleh Dryden
(1992) sebagai parafrase. Pendekatan penerjemahan secara
melintang yang diusung oleh Schleiermacher ini tentunya
mengandung konsekuensi, yaitu (i) jika penerjemah ingin
mengomunikasikan kesan yang sama yang dia terima dari TSu,
maka kesan ini juga akan tergantung pada tingkat pendidikan
dan pemahaman di antara para pembaca TSa, dan ini
kemungkinan berbeda dari pemahaman penerjemah sendiri; dan
(ii) bahasa terjemahan khusus mungkin diperlukan, misalnya
menggantikan suatu istilah dengan pilihan kata yang imajinatif
di suatu bagian TSa, akan tetapi di bagian lain dia harus
menggunakan pilihan kata yang biasa karena menggantikannya
dengan pilihan kata yang imajinatif menyebabkan TSa tidak
dapat menyampaikan kesan bahasa asing yang harus ada pada
TSa.
Kaidah penerjemahan yang diusulkan oleh
Schleiermacher ini sangat berpengaruh pada penerjemahan
sampai awal abad ke-20. Bahkan Kittel dan Polterman (1998:
424) mengklaim bahwa, secara praktis, semua teori terjemahan
modern – setidaknya penerjemahan yang melibatkan bahasa
Jerman – merujuk kepada hipotesis Schleiermacher. Di samping
itu, tipologi text yang diusung oleh Reiss (1976) juga sedikit
banyaknya dirujuk oleh hipotesis Schleiermacher ini.

1.3 Kajian Terjemahan


Penerjemahan yang dulunya hanya dianggap sebagai
proses pengalihan bahasa dari BSu ke dalam BSa telah

6| Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


berkembang menjadi suatu disiplin, yang dimulai sejak awal
abad ke-20 (Venuti, 2004: 1). Hal ini senada dengan pernyataan
Munday (2008: 5) yang menganggap terjemahan sebagai suatu
bidang kajian. Pendapat tersebut mengarahkan pemahaman kita
tentang terjemahan sebagai bidang studi, yang kemudian dikenal
sebagai kajian terjemahan.
Meskipun demikian, kajian tererjemahan sebagai suatu
disiplin ilmu berkembang dengan pesat sejak kurun waktu
antara tahun 1950-an dan 1960-an yang ditandai dengan
bermunculannya banyak penelitian yang hasilnya dituangkan ke
dalam artikel-artikel dan buku-buku yang berkenaan dengan
penerjemahan. Buku-buku dan artikel tersebut mengupas
konsep-konsep dan teori-teori penerjemahan dan melahirkan
model-model penerjemahan mutakhir pada masa itu
(Chesterman, 1989, Nord, 1997; Venutti, 2000; Munday, 2001,
2008). Sehubungan dengan kajian terjemahan sebagai suatu
disiplin, Baker (1998) mendefinisikan ‘kajian terjemahan”
sebagai disiplin akademik yang berkaitan dengan pembelajaran
penerjemahan. Sejak awal perkembangannya tersebut, kajian
terjemahan telah berevolusi sangat besar dalam beberapa dekade
terakhir (Bassnett & Trivedi, 1999).
Istilah “kajian terjemahan” diciptakan oleh James S.
Holmes, seorang dosen dan penerjemah sastra yang berbasis di
Amsterdam, dalam makalahnya yang berjudul, “The Name and
Nature of Translation Studies” (seperti yang dikutip dalam
Venuti, 2000: 183), yang awalnya disajikan pada Kongres
Internasional Ketiga Linguistik Terapan di Kopenhagen tahun
1972, tetapi berikutnya diterbitkan dalam bentuk buku pada
tahun 2004 (Venuti, 2004: 180-192). Dalam buku tersebut,
Holmes menggambarkan suatu pemetaan kajian dalam
penerjemahan sebagai suatu disiplin ilmu, yang disebutnya
sebagai “meta-pembahasan” pada kajian terjemahan. Pemetaan
tersebut, yang secara lebih jelas dapat di lihat pada Toury (1995:
10), memberikan dua cabang utama, kajian terjemahan murni
(pure translation studies) dan kajian terjemahan terapan

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan |7


(applied translation studies), yang harus diperhatikan dalam
setiap penelitian di bidang kajian terjemahan. Selengkapnya,
pemetaan kajian pada penerjemahan dapat dilihat pada Gambar
1.1.
Sehubungan dengan peta kajian terjemahan yang
diusulkan oleh Holmes (Toury, 1995: 10), Pym (1996)
menyarankan konsep kajian terjemahan murni sebagai suatu
kajian yang “mengutamakan skema konseptual dengan
mengidentifikasi dan menghubungkan banyak hal yang dapat
dilakukan dalam penelitian di bidang penerjemahan”. Sementara
itu, kajian terjemahan terapan mengacu pada kajian yang
“berevolusi secara dinamis”, yaitu melibatkan interdisipliner
yang terkait dengan kajian terjemahan.
Translation Studies

Pure Applie
d
Translator Translation Translation Translation
training aids policy criticism
Theoretical Descriptive

Product Process Function


oriented oriented oriented
General Partial

Medium Area Rank Text-Type Time Problem


restricted restricted restricted restricted restricted restricted

Gambar 1.1 Pemetaan kajian dalam penerjemahan oleh Holmes


(Toury, 1995: 10)

Selanjutnya Gambar 1.1 juga menampilkan sasaran dari


kajian terjemahan murni, yaitu (i) untuk menggambarkan
fenomena penerjemahan dan terjemahan, atau menyatakan apa
yang sebenarnya terjadi di dunia praktik penerjemahan, yang

8| Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


dikenal dengan descriptive translation studies atau kajian
terjemahan deskriptif (KTD); dan (ii) untuk menetapkan prinsip-
prinsip umum dalam penerjemahan di mana dengan cara
tersebut fenomena penerjemahan dan terjemahan dapat
dijelaskan dan diprediksi, atau yang dikenal dengan theoretical
translation studies atau kajian terjemahan teoretis (KTT).
KTD memiliki tiga fokus berbeda yang mencakup (1)
KTD yang berorientasi pada produk, yaitu kajian terjemahan
yang mengevaluasi hasil atau produk terjemahan. Menurut
Munday (2008: 10), KTD dapat melibatkan pendeskripsian atau
analisis pasangan TSu-TSa tunggal atau analisis komparatif
yang melibatkan beberapa TSa dari TSu yang sama. Di samping
itu, KTD dapat dipelajari dengan menggunakan analisis
diakronis (studi tentang perubahan dalam produk terjemahan
dari waktu ke waktu) (Holmes, 2004: 185); (2) KTD yang
berorientasi pada fungsi, yaitu kajian terjemahan yang
menggambarkan fungsi terjemahan dalam situasi sosiokultural
penutur BSa dengan lebih menekankan pada konteks daripada
teks. Berkaitan dengan bahan kajiannya, Munday (2008: 11)
menyatakan bahwa masalah yang mungkin diteliti pada bidang
KTD yang berorientasi pada fungsi termasuk teks apa yang
diterjemahkan, kapan dan di mana diterjemahkan, dan apa
pengaruh yang diberikan oleh teks yang diterjemahkan tersebut;
dan (3) KTD yang berorientasi pada proses, yaitu kajian
terjemahan yang berkaitan dengan psikologi penerjemahan. Di
bidang ini, fokus kajian terjemahan adalah mencari tahu apa
yang terjadi dalam pikiran seorang penerjemah saat
menerjemahkan teks. Hasil penelitian KTD selanjutnya dapat
diterapkan pada KTT untuk mengembangkan baik sebagai teori
umum penerjemahan (general) maupun sebagai teori parsial
penerjemahan (partial).
Teori umum penerjemahan membahas prinsip-prinsip
umum yang diturunkan dan diprediksi dari fenomena
penerjemahan. Teori ini mengusung prinsip-prinsip dan latar
belakang teoretis suatu kajian. Sementara itu, teori parsial

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan |9


penerjemahan dibatasi berdasarkan medium, cakupan, tingkatan,
jenis teks, waktu, dan masalah penerjemahan. Teori-teori yang
dibatasi berdasarkan mediumnya dibagi menurut penerjemahan
yang dilakukan oleh manusia atau mesin, ditambah dengan
apakah penerjemahan itu dilakukan secara lisan atau tulisan.
Selanjutnya, menurut cakupannya, teori penerjemahan dibatasi
oleh bahasa atau budaya tertentu. Berikutnya, berdasarkan
tingkatannya, teori penerjemahan dibatasi pada tingkatan
tertentu dari kata atau kalimat. Kemudian, menurut jenis
teksnya, teori penerjemahan dibatasi oleh jenis teks atau wacana
tertentu, seperti teks sastra, teks ilmiah, teks berita, dll.
Sementara itu, berdasarkan waktunya, teori penerjemahan
dibatasi oleh kerangka waktu dan periode tertentu. Terakhir,
berdasarkan masalahnya, teori penerjemahan dibatasi pada
masalah khusus seperti kesepadanan.
Selanjutnya, Gambar 1.1 juga menunjukkan kajian
terjemahan terapan mencakup pelatihan penerjemahan
(translator training), alat bantu penerjemahan (translation aids),
kebijakan dalam penerjemahan (translation policy), dan kritik
penerjemahan (translation criticism). Pelatihan penerjemah
dapat diterapkan pada metode pengajaran, teknik pengujian, dan
perencanaan kurikulum atau silabus mata kuliah atau bidang
studi penerjemahan. Sebagai contoh, Sofyan, Tarigan, dan Sinar
(2019) memasukkan ‘pelatihan penerjemah’ dalam bentuk
magang penerjemah (translator internship) sebagai salah satu
materi dalam pengembangan materi ajar mata kuliah Translation
as a Profession berbasis daring. Sementara itu, translation aids
berhubungan dengan alat bantu yang dapat digunakan baik pada
praktik penerjemahan maupun pada penelitian di bidang
penerjemahan. Pada praktik penerjemahan, perangkat lunak baik
dalam bentuk CAT (Computer Assisted Translation) yang salah
satunya adalah MT (Machine Translation) merupakan alat bantu
yang dapat digunakan untuk memudahkan proses penerjemahan.
Sementara itu, pada penelitian di bidang penerjemahan, alat
bantu yang digunakan merupakan instrumen yang digunakan

10 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


dalam proses pengumpulan data baik dalam bentuk perangkat
lunak seperti Translog (lihat Jakobsen, 1998; Hansen, 2002;
Sofyan, 2016, Sofyan & Tarigan, 2017a; Rosa, 2017) dan
Camtasia Studio (lihat Christensen, 2011; Castillo, 2015;
Sofyan, 2016; Rosa, 2017), maupun rekaman seperti Think
Aloud Protocols (TAP) yang merekam verbalisasi proses
penerjemahan (lihat Kussmaul & Tirkkonen-Condit, 1995;
Halverson, 2009; Jaaskelainen, 2009) dan kuesioner (lihat
Kourouni, 2012; Sofyan, 2016).
Bidang kajian terjemahan terapan berikutnya, kebijakan
dalam penerjemahan, berkontribusi kepada perumusan suatu
kebijakan yang melibatkan penerjemahan baik pada tingkat
sekolah, universitas, daerah, nasional, maupun internasional.
Kontribusi tersebut berbentuk saran ataupun masukan dalam
mendefinisikan tempat dan peran penerjemahan, terjemahan,
dan penerjemah dalam masyarakat pada umumnya. Sementara
itu, kritik penerjemahan menekankan pada evaluasi, ulasan, dan
penilaian kualitas terhadap suatu teks terjemahan. Meskipun
demikian, Holmes (2004: 182) mengklaim bahwa level kritik
penerjemahan saat ini masih sangat rendah, dan para akademisi
di banyak negara masih tidak terpengaruh oleh perkembangan
dalam bidang kajian terjemahan.

1.4 Tujuan dan Struktur Penulisan Buku Ini


Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memberikan
pengetahuan tentang konsep penerjemahan dan referensi bagi
setiap orang yang ingin melakukan penelitian di bidang kajian
terjemahan, khususnya penerjemahan dari bahasa Inggris ke
dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pada umumnya istilah
BSu dan TSu yang digunakan dalam buku ini merujuk kepada
bahasa Inggris, dan istilah BSa dan TSa merujuk ke dalam
bahasa Indonesia. Secara umum, isi buku ini merupakan
perpaduan antara ulasan literatur dan hasil-hasil penelitian yang
dilakukan oleh penulis sehingga semua contoh penerjemahan
yang diberikan pada buku ini merupakan hasil dari penelitian-

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 11


penelitian di bidang kajian terjemahan yang dilakukan oleh
penulis. Teks-teks sumber yang digunakan sebagai contoh
penerjemahan dalam buku ini diunduh dari sumber daring yang
dapat dipercaya, termasuk BBC dan National Geographic
Magazine. Sementara tingkat keterbacaan TSu diuji dengan
menggunakan rumusan SMOG (Flesch Reading Ease Score,
Flesch-Kincaid Grade Level, The Coleman-Liau Index, dan The
SMOG Index) yang mengungkapkan bahwa teks-teks sumber
yang digunakan cocok untuk diberikan kepada mahasiswa di
daerah yang memperlakukan bahasa Inggris sebagai bahasa
asing.
Buku ini mencakup pengertian dasar penerjemahan,
perkembangan kajian terjemahan, dan pemetaan penelitian
dalam kajian penelitian. Topik-topik tersebut sangat bermanfaat
baik bagi peneliti maupun individu yang ingin memahami
hakikat terjemahan dan penerjemahan. Secara lebih rinci,
struktur penulisan buku ini adalah sebagai berikut.
Bab 2 menjelaskan tentang lanjutan pemetaan kajian
terjemahan oleh Holmes yang disajikan pada Bab 1, yaitu kajian
terjemahan yang berorientasi pada produk. Secara lebih spesifik,
Bab ini menjelaskan isu-isu mutakhir dalam penelitian yang
berorientasi pada produk terjemahan seperti pergeseran
(translation shift), pemadanan makna, teknik penerjemahan,
foreinisasi dan domestikasi, model penerjemahan, dan penilaian
kualitas terjemahan. Di samping itu, penjelasan juga mencakup
alat pengumpul data yang memungkinkan untuk digunakan, baik
yang bersifat elektronik maupun cetak.
Bab 3 menjelaskan secara rinici tentang kajian
terjemahan yang berorientasi pada proses. Bab ini menjelaskan
isu-isu terkait dengan penelitian penerjemahan yang berbasis
proses, di antaranya proses mental yang terjadi pada
penerjemahan, strategi pembelajaran dalam proses
penerjemahan, swa-koreksi, pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daring, jeda, serta pengenalan beberapa instrumen yang
dapat membantu peneliti di bidang penerjemahan dalam

12 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


mengumpulkan data seperti Translog, Camtasia Studio, TAP,
dan kuesioner.
Bab 4 menjelaskan keterlibatan teori linguistik dalam
penerjemahan, dalam hal ini teori yang digunakan adalah teori
linguistik fungsional sistemik (LFS). Pemilihan LFS
berdasarkan pada kenyataan bahwa kegiatan penerjemahan
merupakan kegiatan yang melibatkan pembuatan makna dan
LFS merupakan teori linguistik yang memfokuskan kajiannya
pada makna melalui metafungsinya. Bab ini menjelaskan
bagaimana teori LFS digunakan baik dalam kajian terjemahan
yang berorientasi pada proses maupun yang berorientasi pada
produk. Beberapa hasil penelitian dalam bentuk jurnal disajikan
sebagai contoh penerapan teori LFS dalam penelitian di bidang
penerjemahan.
Bab 5 menjelaskan kesepadanan makna dalam
penerjemahan, yang merupakan kunci dari keberhasilan dalam
melakukan kegiatan penerjemahan. Bab ini menjelaskan hakikat
kesepadanan makna dan beberapa prinsip ataupun sudut
pandang tentang kesepadanan makna dalam penerjemahan.
Bab 6 menjelaskan tentang teknik penerjemahan.
Penjelasan tentang teknik penerjemahan ini diawali dengan
menyajikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi
penerjemah berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, baik
yang dilakukan penulis sendiri maupun para peneliti di bidang
penerjemahan lainnya. Berdasarkan masalah-masalah tersebut,
maka disajikanlah teknik-teknik penerjemahan yang dapat
digunakan sebagai metode pemecahan masalah penerjemahan.
Penjelasan ini juga dilengkapi dengan contoh teknik
penerjemahan tertentu yang berkontribusi kepada masalah
penerjemahan tertentu.
Bab 7 menjelaskan penilaian kualitas terjemahan.
Penjelasan pada Bab ini mencakup model-model penilaian
kualitas terjemahan yang mutakhir berdasarkan hasil-hasil
penelitian terbaru. Pada Bab ini juga dijelaskan isu-isu yang

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 13


berkenaan dengan penilaian kualitas terjemahan seperti
subjektivitas dan relativitas.
Bab 8 menjelaskan tentang perkembangan kajian
terjemahan yang tidak hanya berperan sebagai suatu disiplin
ilmu, tetapi juga sudah merambah ke dunia profesi. Bab ini
menjelaskan bagaimana bentuk profesionalisme dan etika dalam
penerjemahan.

14 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


BAB 2
KAJIAN TERJEMAHAN BERORIENTASI
PADA PRODUK

2.1 Penerjemahan sebagai Produk


Setiap kegiatan penerjemahan tentunya akan menghasilkan
suatu produk terjemahan yang disebut teks sasaran (TSa). Dengan
demikian, TSa merupakan hasil yang tampak dari suatu proses
penerjemahan. Di samping itu, TSa merupakan produk terjemahan
yang dapat dikonsumsi oleh pengguna jasa terjemahan.
Sebagai produk terjemahan, TSa harus dikemas menjadi
sebuah teks yang mengikuti gaya dan tata bahasa yang berlaku
pada TSa sehingga pembaca TSa tidak merasa asing dengan kata-
kata maupun susunan kata dalam TSa yang mereka baca. Bahkan,
TSa yang baik dapat membuat pembacanya tidak sadar bahwa teks
yang mereka baca adalah produk terjemahan.
Produk terjemahan merupakan hasil akhir dari proses
penerjemahan yang tidak dapat diperbaiki lagi sehingga seorang
penerjemah harus memastikan terlebih dahulu bahwa segala bentuk
kesalahan yang terdapat pada draf terjemahan sudah diperbaiki
sebelum mengambil keputusan untuk mengakhiri proses
penerjemahan yang dilakukannya. Oleh karena itu, produk
terjemahan harus bersifat error-free (bebas dari segala bentuk
kesalahan). Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,
penerjemahan merupakan representasi teks asli yang ditulis dalam
bahasa lain, maka TSa sebagai produk terjemahan harus mampu
merepresentasikan makna yang terdapat dalam TSu secara utuh.
Terlebih lagi jika produk terjemahan tersebut memiliki tingkat
kepentingan yang sangat tinggi dan berhubungan dengan hajat
orang banyak.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 15


Sebagai bentuk representasi dari TSu, produk terjemahan
tentunya dapat ditemukan dalam segala jenis dan bentuk teks.
Secara tradisional, produk terjemahan berupa teks sastra, agama,
politik, dan teknis. Genre yang sudah terdefinisi dan terstruktur
dengan baik ini telah meluas hingga mencakup konten komersial
(misalnya pemasaran, deskripsi produk, paten, dokumentasi
dukungan, dan komunikasi bisnis) serta berbagai genre teknis yang
lebih luas seperti penelitian ilmiah, rekam medis dan farmasi, dan
riwayat kesehatan pasien (Doherty, 2016: 956). Meskipun teks
terjemahan dalam bidang-bidang tersebut terus mengalami
pertumbuhan, namun sejak tahun 1990-an, sejalan dengan
perkembangan teknologi, jenis-jenis teks lainnya (khususnya yang
mengandung konten-konten digital) juga membutuhkan jasa
penerjemahan seperti situs web, perangkat lunak komputer,
dokumentasi teknis, permainan video, dan subtitle film.
Perkembangan jenis-jenis produk terjemahan seperti ini tentunya
membuat kajian terjemahan yang berorientasi pada produk juga
mengalami perkembangan yang pesat.

2.2 Penerjemahan yang Berorientasi pada Produk


Penerjemahan yang berorientasi pada produk menguji
produk terjemahan (TSa) yang sudah ada. Pengujian TSa dilakukan
berdasarkan kepada kesetaraan, pergeseran, atau masalah kualitas
lainnya. Secara lebih komprehensif, kajian terjemahan yang
berorientasi pada produk melibatkan penjelasan atau analisis dari
pasangan TSu-TSa tunggal atau analisis komparatif dari beberapa
versi TSa dari TSu yang sama. Kajian seperti ini, menurut Holmes
(2004: 185) dikategorikan sebagai kajian terjemahan yang
berorientasi pada produk dalam skala kecil karena hanya
melibatkan penerjemahan pada periode kebahasaan yang sama
(sinkronis). Di samping kajian yang bersifat sinkronis, kajian
terjemahan yang berorientasi pada produk ini juga dapat bersifat
diakronis, yaitu kajian terhadap produk terjemahan yang mengikuti
perkembangan bahasa dari satu periode ke periode lain.

16 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Kajian terjemahan yang berorientasi pada produk harus
dimulai dari fakta empiris, yaitu dari produk terjemahan itu sendiri.
Pernyataan ini didukung oleh Toury (2012: 20) yang menyatakan
bahwa produk terjemahan adalah fakta dari budaya BSa.
Pernyataan seperti ini tentu saja menentang fakta bahwa sampai
saat itu sebagian besar kajian terjemahan terkonsentrasi pada TSu
sebagai tolok ukur analisis evaluatif, sementara TSa hanya
dianggap sebagai reproduksi TSu semata. Oleh karena itu, Toury
berpendapat bahwa konteks yang membingkai produk terjemahan
adalah budaya sasaran (budaya yang berlaku pada BSa), dan TSa
harus selalu ditafsirkan sebagai hasil dari pembatasan dan pengaruh
konteks budaya BSa tersebut, atau sebagai penyebab terjadinya
perubahan penggunaan bahasa menjadi bahasa yang menggunakan
sistem penulisan dan tata bahasa yang sesuai dengan konteks
budaya pada BSa. Sebagai konsekuensinya, fokus perhatian pada
kajian terjemahan yang berorientasi pada produk beralih dari kajian
yang selalu membandingkan antara TSu dan TSa menjadi kajian
yang mempelajari tentang hubungan antara beberapa TSa serta
antara TSa dan konteks dan budaya yang berlaku pada BSa.
Pergeseran fokus kajian seperti yang disebutkan
sebelumnya merupakan suatu terobosan yang sangat positif
terhadap perkembangan kajian terjemahan yang berorientasi pada
produk mengingat TSu adan TSa berasal dari dua bahasa yang
berbeda yang tentunya memiliki budaya, gaya penulisan, dan tata
bahasa yang berbeda pula. Hal ini juga dimotivasi oleh fakta bahwa
kebanyakan dari penelitian yang melibatkan produk terjemahan
cenderung menyalahkan produk terjemahan yang telah dihasilkan
sebelumnya karena selalu menjadikan TSu sebagai tolak ukur
bagus tidaknya kualitas TSa. Sementara itu, fakta di lapangan
mengungkapkan bahwa kesalahan tersebut lebih sering dipicu oleh
masalah preferensial, di mana orang yang melakukan kajian
terhadap produk terjemahan tersebut lebih suka memilih kata
tertentu daripada kata lainnya meskipun memiliki makna yang
sama. Jika perselisihan seperti ini terus berlanjut, maka akan
memunculkan suatu anggapan bahwa produk terjemahan yang baik

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 17


hanya akan dihasilkan oleh orang yang melakukan penilaian itu
sendiri.
Pada dasarnya, setiap produk terjemahan tentu merupakan
hasil pemikiran dan analisis yang mendalam dari seorang
penerjemah, dan setiap penerjemah tentunya berusaha untuk sebaik
mungkin merepresentasikan makna yang terdapat pada TSu. Jika
anggapan ini dijadikan sebagai konsep yang melatarbelakangi
dilakukannya suatu kajian terhadap produk terjemahan, maka orang
yang melakukan kajian tersebut tidak perlu lagi membandingkan
TSa tersebut dengan TSu-nya. Dengan demikian, kajian hanya akan
difokuskan kepada produk itu sendiri, apakah TSa tersebut sudah
dituliskan dengan gaya penulisan dan tata bahasa yang berlaku
pada BSa, atau apakah terminologi-terminologi yang digunakan
dalam TSa tersebut sudah mencerminkan budaya BSa, atau apakah
TSa tersebut dapat dipahami oleh pembaca BSa. Hal berikutnya
yang memungkin untuk dikaji adalah jika suatu TSu ditemukan
memiliki lebih dari satu versi TSa. Untuk kasus seperti ini, kajian
yang mungkin dilakukan adalah membandingkan versi-versi TSa
tersebut untuk melihat versi TSa yang memiliki kualitas lebih baik.
Mengingat penerjemahan melibatkan sedikitnya dua bahasa
yang berbeda, maka para pakar di bidang kajian terjemahan yang
berorientasi pada produk menekankan pentingnya mengedepankan
unsur sosio-kultural dalam mengkaji produk terjemahan. Faktor
geografis dapat menjadi salah satu penyebab perbedaan sosio-
kultural antar penutur bahasa. Perhatikan terjemahan pada (1).
(1) TSu : as white as snow
TSa : seputih salju
Dalam melakukan kajian produk terjemahan seperti pada
(1), fokus kajian harus diarahkan kepada TSa dengan anggapan
bahwa TSa yang dibuat oleh penerjemah sudah mewakili makna
yang terdapat pada TSu. Bagi pembaca TSa, kata ‘salju’ membuat
mereka harus membayangkan hubungan makna kata tersebut
dengan referensinya. Hal ini dipicu oleh fakta bahwa pembaca BSa
secara geografis tinggal di daerah yang tidak pernah turun salju
sehingga mereka merasakan bahwa teks yang mereka baca tersebut

18 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


pastinya bukan merupakan suatu teks yang asli ditulis dalam
bahasa mereka. Produk terjemahan seharusnya tidak membuat
pembacanya mencari tahu lagi makna kata yang terdapat pada TSa
tersebut karena mereka dianggap sudah mengenal kata-kata yang
digunakan dalam bahasa mereka sendiri. Oleh karena itu,
penerjemahan TSu di atas harus dilakukan dengan mencari tahu
nama benda dalam budaya TSa yang merepresentasikan warna
putih. Dalam BSa, warna putih dapat direpresentasikan oleh kapas
sehingga terjemahan pada (1) dapat ditulis kembali menjadi seperti
yang terdapat pada (1a)
(1a) seputih kapas
Meskipun demikian, kata ‘kapas’ belum tentu selamanya
berfungsi sebagai diksi yang merepresentasikan warna putih karena
perubahan sosio-kultural masyarakat pada masa akan datang juga
dapat menyebabkan perubahan diksi tersebut. Oleh karena itu,
kajian terjemahan yang berorientasi pada produk akan terus
bergairah karena menawarkan bukti langsung daripada prasangka
persepsi (di mana pembaca harus membayangkan terlebih dahulu
hubungan makna ‘salju’ dengan warna ‘putih’).
Kajian terjemahan berorientasi pada produk seharusnya
mendiskreditkan konsep ekuivalensi tradisional, ideal, dan
preskriptif serta menggantinya dengan konsep fungsional-
relasional, empiris, dan deskriptif. Salah satu hubungan fungsional-
relasional yang harus tercipta dalam suatu produk terjemahan dapat
dilihat pada terjemahan (2) berikut ini.
(2) TSu : She likes apples.
TSa : Dia menyukai apel.
Secara ekuivalensi tradisional, TSa sudah merupakan
representasi TSu yang benar. Akan tetapi, karena tata bahasa yang
berlaku pada TSa tidak mengatur perbedaan gender untuk
pronomina pengganti orang ketiga tunggal, maka pemilihan kata
‘dia’ pada TSa (2) bukan merupakan keputusan yang tepat dan
tidak menampilkan penerapan konsep fungsional-relasional dalam
penerjemahan. Diksi yang tepat untuk konteks tersebut adalah

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 19


‘Perempuan itu’ sehingga terjemahan pada (2) dapat diperbaiki
menjadi kalimat seperti yang terdapat pada (2a).
(2a) Perempuan itu menyukai apel.
Berbeda dengan konteks pada terjemahan (2), terjemahan
pada (3) berikut ini tidak membutuhkan referensi ‘dia’ secara
eksplisit.
(3) TSu : She is wearing a new skirt.
TSa : Dia memakai rok baru.
Penggunaan pronomina ‘Dia’ pada terjemahan (3) sudah
tepat karena konteks TSa tidak membutuhkan TSa untuk
mengkhususkan pronomina tersebut berdasarkan gender. Kata ‘rok’
pada TSa sudah mengungkapkan bahwa ‘Dia’ pada TSa merujuk
kepada ‘seorang perempuan’.

2.3 Model-Model Penerjemahan


Kajian terjemahan yang berorientasi pada produk gencar
dalam menghasilkan model-model mutakhir dalam penerjemahan.
Kesemua model yang dikembangkan tersebut bertujuan untuk
menghasilkan produk terjemahan yang lebih berkualitas. Model-
model yang dikembangkan tersebut berbeda satu dengan lainnya
berdasarkan perbedaan pendekatan yang digunakan, teori linguistik
yang mendasarinya, dan bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Larson (1984) mengemukakan suatu model penerjemahan
yang berbasis kepada kesepadanan makna. Model yang diusulkan
oleh Larson dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1 Proses penerjemahan (Larson, 1984: 4)


20 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
Secara khusus, Larson (1984: 3) menegaskan bahwa
penerjemahan merupakan proses pengalihan makna, dan
pengalihan tersebut hanya mengubah bentuk bahasa dari BSu ke
BSa, sementara makna yang terdapat pada BSu harus
dipertahankan. Gambar 2.1 menjelaskan bahwa penerjemahan
harus dimulai dari penemuan makna yang terdapat pada BSu.
Selanjutnya, makna tersebut diungkapkan kembali dengan
menggunakan ungkapan yang berterima dalam BSa. Dengan
demikian, ungkapan yang disampaikan dalam BSa inilah yang
disebut dengan produk terjemahan.
Model Larson tersebut dikembangkan oleh Said (1994
dalam Suryawinata dan Hariyanto, 2003: 21) untuk menunjukkan
kompleksitas yang terjadi dalam proses penerjemahan seperti yang
terdapat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Proses penerjemahan Larson yang dikembangkan oleh


Said (1994)
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa proses penerjemahan
berlangsung secara internal (dalam pikiran penerjemah) dan
eksternal (terlihat secara fisik). Proses internal berhubungan dengan
bagaimana si penerjemah memahami makna dan mentransfer

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 21


makna tersebut ke dalam BSa. Sementara itu, proses eksternal
berhubungan dengan konteks budaya, konteks situasi, pemilihan
leksikon, dan struktur gramatika baik dalam BSu maupun BSa.
Selanjutnya, model penerjemahan lainnya diusulkan oleh
Volkova (2014) yang menamakannya model penerjemahan wacana
dan komunikasi seperti yang disajikan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Model penerjemahan wacana dan komunikasi

Model pada Gambar 2.3 adalah jenis model penerjemahan


yang memberikan berbagai fitur (parameter wacana komunikatif
yang relevan dengan terjemahan) untuk menyusun strategi
terjemahan. Konsep ini difokuskan pada bagaimana membangun
strategi penerjemahan dan oleh karena itu tidak menyediakan
strategi yang ditetapkan atau berupaya memberikan pedoman yang
bersifat universal. Model ini didasarkan pada serangkaian tingkat
yang saling terkait: tingkat tekstual, tingkat diskursif, dan tingkat
komunikatif. Dalam kerangka kerja ini, proses penerjemahan
bersifat siklik: keputusan dibuat pada setiap tingkat, dan saat proses
penerjemahan berlangsung, siklus selalu dapat diulang.
Berikutnya, model penerjemahan lainnya juga
dikembangkan oleh Sofyan dan Tarigan (2016). Mereka
menamakan model tersebut dengan model penerjemahan yang
berorientasi pada proses seperti yang tampak pada Gambar 2.4.

22 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Teks Sumber
(TSu)

Pemahaman Makna: Ambiguitas,


dan Konteks
Pemahaman TSu
Analisis Sintaksis: Struktural, dan
Leksikal

Penulisan Draf PROSES INTERNAL

Terminologi

Manajemen Sumber Kosakata


Swa-koreksi
Daring
Tata Bahasa

Keberterimaa
Draf TSa n
PROSES
EKSTERNAL
Teks Sasaran
(TSa)

Gambar 2.4 Model penerjemahan berorientasi pada proses

Deskripsi model penerjemahan berorientasi pada proses


seperti yang terdapat pada Gambar 2.4 dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Langkah pertama yang dilakukan adalah membaca dan
memahami TSu untuk dapat memahami makna seutuhnya yang
terdapat pada TSu. Dalam pemahaman makna, masalah yang akan
muncul terutama berhubungan dengan ambiguitas (dwimakna).
Maka, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, peran konteks
sangat diperlukan, yaitu untuk mengarahkan seorang penerjemah
kepada hanya satu makna yang harus dipahaminya. Pemahaman
terhadap TSu juga harus dilakukan dengan melakukan analisis
sintaksis. Analisis ini harus sampai kepada tataran struktural dan
leksikal TSu.
Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 23
Setelah memahami TSu, maka dilanjutkan dengan
penulisan draf terjemahan. Pada tahapan ini, penerjemah mulai
melakukan penulisan terjemahan berdasarkan pemahamannya
terhadap TSu. Dua proses awal ini disebut proses internal.
Selanjutnya draf terjemahan yang telah ditulis kemudian
direvisi melalui kegiatan swa-koreksi, revisi yang dilakukan oleh
penerjemah itu sendiri. Pada saat melakukan swa-koreksi,
kecakapan atau keahlian yang dibutuhkan adalah pengelolaan atau
manajemen sumber daring. Sumber daring ini digunakan untuk
melakukan swa-koreksi yang berhubungan dengan terminologi,
kosakata, tata bahasa, dan keberterimaan. Pada tahapan ini,
penerjemah harus memiliki kemampuan dalam mencari sumber
daring yang tepat untuk tujuan swa-koreksi tertentu.
Setelah dilakukan swa-koreksi, maka proses penerjemahan
ini menghasilkan suatu draf TSa. Panah dengan dua mata yang
menghubungkan antara swa-koreksi dengan draf TSa bermakna
bolak balik dalam artian setelah draf TSa selesai, penerjemah masih
dapat kembali melakukan swa-koreksi berkali-kali hingga sampai
kepada keputusan bahwa draf TSa tersebut telah sempurna.
Setelah penyempurnaan draf TSa, maka proses
penerjemahan ini menghasilkan TSa. Tiga proses terakhir dalam
model ini disebut proses eksternal.
Dengan menggunakan model penerjemahan seperti yang
dikembangkan dalam penelitian ini, maka diharapkan para
penerjemah baik penerjemah mahasiswa dan penerjemah
profesional dapat terbantu dalam usaha meningkatkan kualitas
produk terjemahannya.

2.4 Pendekatan Metodologi Penelitian pada Kajian


Terjemahan yang Berorientasi pada Produk
Penelitian di bidang kajian terjemahan yang berorientasi
pada produk dapat dilakukan dengan menerapkan dua pendekatan
metodologi penelitian, yaitu analisis wacana kritis (AWK) dan
linguistik korpus (LK).

24 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


2.4.1 Pendekatan Analisis Wacana Kritis dalam Kajian
Terjemahan
Penelitian-penelitian dalam kajian terjemahan yang
berorientasi pada produk tidak lagi difokuskan kepada penrjemahan
yang “setia” atau “tidak setia” kepada TSu. Akan tetapi, penelitian-
penelitian dalam kajian terjemahan yang banyak dilakukan
belakangan ini lebih difokuskan kepada unsur-unsur sosial, budaya,
dan ideologi yang terdapat dalam produk terjemahan (Bayani,
2016). Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh ideologi dalam
penerjemahan (Salemi, 2007). Fakta ini menunjukkan penggunaan
AWK sebagai pendekatan penelitian di bidang kajian terjemahan
yang berorientasi pada produk.
Penerapan analisis wacana (AW) sebagai pendekatan dalam
penelitian di bidang kajian terjemahan dimungkinkan karena
penerjemahan melibatkan bahasa dan produk setiap kegiatan
penerjemahan adalah teks atau wacana. Keterkaitan ini tergambar
dalam definisi AW yang disampaikan oleh Paltridge (2012) bahwa
AW mengkaji pola-pola bahasa pada teks-teks yang berbeda dan
mempertimbangkan hubungan antara bahasa dan konteks sosial dan
budaya di mana bahasa itu digunakan. Di samping itu, AW juga
mempertimbangkan gaya bahasa yang berbeda-beda yang
menghadirkan pandangan yang berbeda terhadap dunia dan
pemahaman yang berbeda pula. Lebih jauh lagi, AW mengkaji
bagaimana penggunaan bahasa dipengaruhi oleh hubungan antara
pengguna bahasa serta efek dari penggunaan bahasa terhadap
identitas dan hubungan sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa
pandangan seseorang terhadap dunia dan identitasnya dapat
dibangun melalui penggunaan wacana.
Integrasi AW dalam kajian terjemahan diawali dengan
munculnya teori fungsionalis terjemahan yang digagas oleh
Munday (2001). Teori ini bertujuan untuk menganalisis jenis teks,
fungsi bahasa, efek dari hasil terjemahan, dan siapa yang terlibat
dalam penerjemahan. Pada awalnya, penerapan AW dalam kajian
terjemahan dilakukan dengan mengadopsi model analisis register

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 25


yang digagas oleh Halliday (1978), terutama dalam menganalisis
fungsi pragmatis unsur linguistik yang terdapat pada TSu dan TSa.
Pada perkembangannya, AW berkembang menjadi AWK
yang merujuk kepada Fairclough (2001) yang penerapan
analisisnya didasari oleh teori Linguistik Fungsional Sistemik
(LFS) (Halliday, 1985). Dalam teori LFS, analisis register
dilakukan berdasarkan analisis tiga variabel seperti yang dapat
dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1 Variabel register dan realisasinya
Fungsi semantik Realisasi
Variabel register
wacana terkait leksikogramatika
Medan (Berkenaan Fungsi ideasional Unsur transitivitas
dengan apa dan (Merepresentasikan (partisipan, proses,
bagaimana pengalaman) sirkumstan)
pengalaman
direpresentasikan
dalam teks)
Pelibat (Berkenaan Fungsi antarpersona Struktur modalitas,
dengan hubungan (Bertukar pilihan pronomina,
antara pelibat dan pengalaman) leksis bahasa
ungkapan evaluatif
evaluatif)
Moda (Berkenaan Fungsi tekstual Tema-rema, struktur
dengan bentuk (Merangkai informasi, dan
komunikasi: pengalaman) kepaduan teks
tertulis atau lisan
dan formal atau
informal)

Medan wacana merupakan jawaban atas pertanyaan “Apa


yang sedang terjadi atau dibicarakan dalam teks?”. Di samping itu,
medan wacana juga mengacu kepada jawaban atas pertanyaan
seperti “Kapan, di mana, bagaimana, atau mengapa terjadinya
kejadian yang dibicarakan?”. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut merepresentasikan pengalaman yang merupakan fungsi

26 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


ideasional bahasa. Representasi pengalaman tersebut direalisasikan
oleh unsur-unsur transitivitas yang meliputi partisipan, proses, dan
sirkumstan. Selanjutnya, pelibat wacana merupakan jawaban atas
pertanyaan “Siapa yang sedang berbicara dan siapa sasarannya?”.
Jawaban atas pertanyaan tersebut menerangkan fungsi antarpersona
bahasa, yaitu dengan memperkenalkan hubungan antara pelibat dan
ungkapan evaluatif. Hubungan tersebut direalisasikan dengan
struktur modalitas tertentu, pilihan pronomina, dan leksis bahasa
evaluatif yang pada akhirnya dapat mengungkapkan identitas antar
pelibat yang saling bertukar pengalaman. Berikutnya, moda wacana
merupakan jawaban atas pertanyaan “Bagaimana gaya bahasa yang
dipergunakan (apakah melalui tulisan atau lisan; formal atau
informal) beserta akibat-akibat yang ditimbulkannya?”. Moda
wacana berkenaan dengan fungsi tekstual bahasa, yaitu bagaimana
unsur-unsur pengalaman (yang direalisasikan melalui tema dan
rema) dirangkai menjadi suatu teks yang padu. Pemilihan tema dan
rema dipengaruhi oleh struktur informasi yang dirangkai. Variabel-
variabel register inilah yang menjadi pisau bedah analisis
terjemahan yang berorientasi pada produk dengan menggunakan
pendekatan AW.
Selanjutnya, kategorisasi penelitian di bidang kajian
terjemahan yang berorientasi pada produk dengan menggunakan
AW sebagai pendekatan melalui analisis register dapat dilihat pada
Tabel 2.2. Kategorisasi ini diadaptasi dari Zhang, Hanting Pan, dan
Luo (2015).
Tabel 2.2 Kategorisasi penelitian di bidang penerjemahan dengan
menggunakan pendekatan AW (Diadaptasi dari Zhang dkk., 2015)
Kategori Level 1 Kategori Level 2 Kategori Level 3
Faktor Budaya Konteks budaya dan
ekstralinguistik terjemahan
Ideologi Kekuasaan, ideologi, dan
terjemahan
Faktor linguistik Dimensi Idiolek dan dialek
komunikatif penerjemah

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 27


Analisis genre dan
register
Dimensi Tindak tutur dan
pragmatik terjemahan
Implikatur
Koherensi dalam
terjemahan
Analisis naratif dan
terjemahan
Dimensi semiotik/ Tekstualitas dalam
Dimensi tekstual terjemahan
Kepaduan isi teks dalam
terjemahan
Pengalihan (shift) unsur
metafungsi bahasa dalam
terjemahan
Struktur tema dalam
terjemahan
Pola gerak tema dalam
terjemahan
Transitivitas dalam
terjemahan
Modalitas dalam
terjemahan
Semiotik dan
multimodalitas
Intertekstualitas
Appraisal dan sikap
penerjemah

Dimensi semiotik atau tekstual belakangan ini marak


digunakan dalam penelitian di bidang penerjemahan yang
berorientasi pada produk. Penelitian-penelitian tersebut
menggunakan berbagai jenis ragam teks untuk menemukan
kecenderungan jenis semiotik atau tekstual tertentu dalam suatu
28 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
bahasa tertentu berdasarkan hasil terjemahan. Analisis fungsi
tekstual dalam terjemahan yang direalisasikan melalui jenis tema
dan rema (Jalilifar, 2009; Sofyan & Rosa, 2014; Wang, 2014),
kebermarkahan dan ketidakbermarkahan tema (Sofyan & Tarigan,
2018; Suastini, Artawa, Yadnya, & Laksana, 2018), pola gerak
tema (Sofyan & Tarigan, 2017b; Rosa, 2019), dan kepaduan isi
teks terjemahan (Karoly, Deak, Meszaros, Abranyi, Laszkacs, &
Seresi, 2013) merupakan kajian-kajian yang banyak menarik
peneliti di bidang kajian terjemahan. Penelitian-penelitian tersebut
mengidentifikasi dan menginvestigasi bagaimana unsur fungsi
tekstual diterapkan dalam teks hasil terjemahan sehingga dapat
memunculkan keunikan-keunikan karakteristik tema dan rema
dalam BSa.

2.4.2 Pendekatan Linguistik Korpus dalam Kajian Terjemahan


Secara harfiah, korpus bermakna kumpulan dokumen
tertulis. Baker (1995) mendefinisikan korpus sebagai kumpulan
tulisan atau data baik yang sudah maupun belum diolah yang
dihasilkan oleh penulis tertentu. Namun, dengan perkembangan
teknologi saat ini, korpus dapat berupa kumpulan data biasa
maupun data digital dalam bentuk tertulis yang berisi berbagai jenis
informasi kebahasaan, mulai dari tataran kata, struktur, makna, dan
wacana, yang dapat dimanfaatkan untuk penelitian (Hizbullah, N.,
Fazlurrahman, & Fauziah, 2016). Perkembangan teknologi juga
menjadikan korpus tidak hanya berupa tulisan, tetapi dapat juga
berupa lisan seperti rekaman yang berisikan percakapan informal
bersemuka, percakapan lewat telepon, perkuliahan, wawancara,
debat dan diskusi (Setiawan, 2017).
Penelitian-penelitian kebahasaan yang menggunakan korpus
sebagai data disebut sebagai penelitian dengan menggunakan
pendekatan atau metode linguistik korpus (LK). Banyak penelitian
linguistik murni maupun terapan yang telah menggunakan LK
sebagai pendekatan ataupun metode penelitian, salah satunya kajian
terjemahan, dan secara lebih khusus kajian terjemahan yang
berorientasi pada produk dengan tujuan untuk mendeskripsikan

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 29


karakteristik-karaketeristik dalam teks hasil terjemahan (Robin,
Gotz, Pataky, & Szegh, 2017). Meskipun demikian, pendekatan LK
dapat juga diterapkan pada penelitian di bidang penerjemahan yang
berorientasi pada proses, seperti yang dilakukan oleh Serbina,
Niemietz dan Neumann (2015) dengan menggunakan alat perekam
ketikan (keystroke logging) dalam mengumpulkan data korpus
yang digunakan dalam proses penerjemahan.
Pada penelitian penerjemahan yang berorientasi pada
produk, terdapat tiga jenis korpus yang dapat digunakan (Baker,
1993). Jenis korpus yang pertama adalah korpus paralel. Jenis
korpus ini berisikan dua korpus, di mana korpus pertama
merupakan TSu dan korpus kedua merupakan teks hasil
terjemahannya (TSa). Korpus paralel cocok untuk pembelajaran
perilaku dan strategi dalam penerjemahan. Jenis korpus yang kedua
adalah korpus komparasi monolingual. Jenis korpus ini berisikan
teks asli dalam suatu bahasa dan teks hasil terjemahan dalam
bahasa yang sama. Korpus komparasi monolingual
mengakomodasi perbandingan teks terjemahan dan non-terjemahan
dalam suatu bahasa tertentu. Selanjutnya, jenis korpus yang ketiga
adalah korpus multilingual. Jenis korpus ini berisikan teks dalam
beberapa bahasa yang berbeda yang merupakan hasil terjemahan
dari teks yang sama. Korpus multilingual memfasilitasi penelitian
leksikografi dalam terjemahan dengan tujuan kesetaraan atau
ekuivalensi.
Keberterimaan LK sebagai pendekatan yang digunakan
dalam penelitian di bidang penerjemahan dilatarbelakangi
kemampuannya dalam menyediakan sumber data dan alat yang
memungkinkan para peneliti untuk menyelidiki dan menemukan
keteraturan perilaku linguistik di seluruh isi teks terjemahan secara
empiris (Zanettin, 2014). Sehubungan dengan jenis korpus yang
diajukan oleh Baker (1993), penelitian penerjemahan berbasis
korpus biasanya melibatkan perbandingan dua korpus atau sub-
korpus. Hal ini dilakukan dengan membandingkan dua korpus,
yaitu teks sasaran (TSa) dan teks sumbernya (TSu). Penelitian
seperti ini disebut dengan penelitian penerjemahan berbasis korpus

30 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


paralel. Sementara itu, penelitian penerjemahan yang
membandingkan TSa dengan TSa lainnya (dua sub-korpus) yang
dibangun dengan kriteria teks yang sama baik dalam bahasa yang
sama maupun dalam bahasa yang berbeda disebut dengan
penelitian penerjemahan berbasis komparasi monolingual maupun
multilingual.
Di samping tiga jenis yang telah diungkapkan di atas,
Hunston (2002) menambahkan dua jenis korpus lagi yang dapat
digunakan dalam kajian terjemahan, yaitu korpus umum dan
korpus khusus, yang dikembangkan berdasarkan jumlah cakupan
teks yang digunakan. Korpus umum merupakan korpus yang
dibangun dengan melibatkan sebanyak mungkin teks dari berbagai
jenis ragam dan ranah. Yuliawati (2018) menyatakan bahwa teks
tersebut dapat berasal dari bahasa lisan dan tulisan, ragam formal
dan non-formal, dan genre yang berbeda-beda (seperti fiksi, media,
dan teks akademik). Jenis korpus ini ukurannya lebih besar dari
korpus khusus dan biasanya digunakan sebagai dasar pembanding
untuk korpus khusus sehingga dikenal juga dengan istilah korpus
referensi. Korpus umum sering juga digunakan untuk memproduksi
materi refensi bagi pengajaran bahasa dan kajian terjemahan.
Sebaliknya, korpus khusus hanya melibatkan satu ragam atau jenis
teks tertentu saja, misalnya korpus yang hanya terdiri atas
kumpulan teks dari abstrak penelitian atau dari novel tertentu.
Tujuan penggunaan korpus khusus ini adalah memberikan sampel
penggunaan bahasa yang mewakili ragam atau jenis teks tertentu.
Penggunaan LK dalam penerjemahan memungkinkan
peneliti untuk menginvestigasi fitur-fitur terjemahan sehingga
dapat mengungkapkan gaya-gaya bahasa tertentu yang digunakan
seorang penerjemah, yang berkemungkinan besar berbeda dengan
gaya bahasa penerjemah lainnya. Menurut Hariyanto (2017), hal
tersebut terjadi karena faktor-faktor yang mempengaruhi
penciptaan terjemahan meninggalkan jejak di naskah hasilnya.
Dengan demikian, penggunaan korpus dapat mengidentifikasi
jejak-jejak tersebut.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 31


Penelitian di bidang penerjemahan dengan menggunakan
pendekatan ataupun metodologi LK tidak hanya menginvestigasi
kesepadanan makna dan konsistensi penggunaan ekuivalensi,
namun dapat juga menginvestigasi teknik penerjemahan yang
digunakan. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Gomez-
Castejon (2012) yang mengkaji teknik penerjemahan dari bahasa
Inggris ke bahasa Spanyol dengan menggunakan pendekatan LK.
Dia menyimpulkan bahwa penggunaan LK terbukti sangat
bermanfaat dalam menemukan teknik-teknik penerjemahan yang
digunakan oleh penerjemah.
Di samping itu, pendekatan LK dapat digunakan sebagai
alat pengukur akurasi hasil terjemahan, terutama yang berhubungan
dengan mesin penerjemah berbasis statistik (MPS). Akbar, Sujaini,
& Nyoto (2018) menggunakan LK untuk mengukur keakuratan
hasil terjemahan mesin penerjemah statistik dari bahasa Inggris ke
bahasa Indonesia. Pengujian tingkat akurasi MPS dilakukan dengan
dua cara, yaitu pengujian otomatis dengan menggunakan Bilingual
Evaluation Understudy (BLEU) dan pengujian manual dengan
melibatkan ahli bahasa Inggris. Pengujian akurasi MPS juga
dilakukan oleh Sujaini (2018) dalam penerjemahan dari bahasa
Indonesia ke bahasa Melayu dan dari bahasa Indonesia ke bahasa
Jawa. Berbeda dengan Akbar dkk. (2018) yang menggunakan
korpus komparasi monolingual, jenis korpus yang digunakan oleh
Sujaini (2018) adalah korpus paralel. Dari hasil kedua penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan korpus baik yang
bersifat paralel maupun komparasi dapat meningkatkan tingkat
keakuratan hasil terjemahan.
Dengan demikian, LK terbukti merupakan salah satu
pendekatan dan metodologi penelitian yang tepat untuk digunakan
dalam penelitian di bidang penerjemahan, khususnya penerjemahan
yang berorientasi pada produk. Penelitian-penelitian lainnya dapat
menggunakan jenis-jenis korpus lainnya dengan melibatkan
bahasa-bahasa yang lebih bervariasi. Korpus multilingual
memungkinkan seorang peneliti untuk mengkaji hasil terjemahan
dari TSu yang sama yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa.

32 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


2.5 Kesimpulan
Kajian terjemahan yang berorientasi pada produk mengkaji
tentang produk terjemahan untuk melihat keterwakilan makna TSu
dalam TSa. Keakuratan menjadi aspek yang sangat penting di
dalam produk terjemahan karena hasil terjemahan mewakili makna
yang ingin disampaikan dalam TSu. Oleh karena itu, banyak
penelitian-penelitian di bidang penerjemahan yang berorientasi
pada produk berusaha untuk menciptakan model-model yang
representatif untuk mengukur keakuratan hasil terjemahan.
Meskipun, beberapa aspek lainnya – seperti keterbacaan,
kealamiahan, dan keberterimaan hasil terjemahan – juga berperan
penting dalam menjaga kualitas produk terjemahan, keakuratan
menjadi aspek yang sangat menentukan kualitas produk
terjemahan.
Beberapa pendekatan dan metodologi dapat digunakan
dalam melakukan penelitian di bidang penerjemahan yang
berorientasi pada produk, namun dalam buku ini hanya dua
pendekatan yang disajikan. Kedua pendekatan tersebut – analisis
wacana (kritis) dan linguistik korpus – merupakan pendekatan yang
saat ini sangat cocok untuk diterapkan dalam penelitian di bidang
penerjemahan. Kedua pendekatan ini juga telah mengubah
paradigma penelitian terdahulu di bidang kajian yang berorientasi
pada produk yang dulunya cenderung mempermasalahkan hasil-
hasil terjemahan dengan adanya dua kubu dalam penerjemahan,
yaitu penerjemahan berbasis TSu dan penerjemahan berbasis TSa.
Di samping itu, kedua pendekatan tersebut dapat menghasilkan
teori-teori yang mengungkapkan karakter-karakter tertentu dari
bahasa yang terlibat dalam penerjemahan.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 33


34 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
BAB 3
KAJIAN TERJEMAHAN BERORIENTASI
PADA PROSES

3.1 Penerjemahan sebagai Proses


Produk terjemahan, yang merupakan fokus utama pada
kebanyakan penelitian sebelumnya, menyoroti penerjemahan
berdasarkan strategi, teknik, metode, ataupun pendekatan yang
digunakan penerjemah dalam menerjemahkan teks. Sehingga
penelitian-penelitian tersebut cenderung melahirkan isu-isu
kontroversial karena tidak ada satu pun teks terjemahan atau teks
sasaran (TSa) yang memenuhi kriteria terjemahan yang baik hanya
karena perbedaan teknik dan metode yang digunakan dalam proses
penerjemahan. Fenomena ini juga mengisyaratkan bahwa kualitas
terjemahan yang baik hanya dapat dicapai bila diterjemahkan oleh
si peneliti itu sendiri.
Selain itu, terlalu dini jika kita berdebat tentang produk
terjemahan tanpa mengetahui siapa yang berada di belakang produk
terjemahan tersebut, yaitu si penerjemah. Oleh karena itu, sangat
penting mempelajari apa yang terjadi di dalam pikiran penerjemah
saat menerjemahkan, atau apa yang terjadi di dalam “kotak hitam”
penerjemah (Toury, 1995). Mempelajari apa yang terjadi dalam
pikiran penerjemah (kotak hitam) adalah fokus perhatian dari
penelitian yang berorientasi pada proses penerjemahan. Dalam
beberapa dekade terakhir, penelitian pada kajian terjemahan telah
bergeser, dan lebih banyak mengarah kepada penelitian berbasis
proses penerjemahan.
Pada perkembangannya, penelitian berbasis proses
penerjemahan menunjukkan adanya tren-tren tertentu yang berbeda
dari dekade ke dekade. Penelitian berbasis proses penerjemahan

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 35


pada tahun 1980-an berhubungan dengan penelitian observasional
dalam prosedur pengalihan bahasa dari bahasa sumber (BSu) ke
bahasa sasaran (BSa) dengan menggunakan Think Aloud Protocol
(TAP) untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik pada proses
penerjemahan (Krings, 1987). Pada 1990-an, program keystroke
logging dikembangkan terutama untuk mendapatkan informasi atau
data tentang waktu jeda dan konsumsi waktu dalam menghasilkan
TSa (Alves & Goncalves, 2003; Dragsted, 2004; Hansen, 2006;
Jakobsen, 2006). Proses penerjemahan tersebut direkam dengan
menggunakan Translog (Jakobsen & Schou, 1999; Jakobsen, 2006)
untuk melacak aktivitas pengetikan dan waktu jeda. Dengan
pesatnya perkembangan teknologi, proses penerjemahan kemudian
direkam dan ditelusuri dengan menggunakan berbagai instrumen
seperti alat pelacakan mata (alat yang digunakan untuk mengamati
jejak proses penerjemahan dengan menempatkan arah tatapan).
Pada perkembangannya, penelitian berbasis proses penerjemahan
ini tidak hanya mengamati proses mental dalam pikiran
penerjemah, akan tetapi juga mengamati model membaca,
pengelolaan sumber daya, dan sikap dalam penerjemahan
(Kourouni, 2012).
Pergeseran fokus penelitian pada kajian terjemahan ini
membutuhkan sumbangan yang bersifat kolaboratif dari disiplin
ilmu lain (seperti kolaborasi dengan psikologi kognitif,
pembelajaran dan pengajaran bahasa, dll.) untuk menemukan
masalah, prosedur, dan proses penerjemahan sehingga terjadi
pergantian paradigma penelitian penerjemahan dari “apa” ke
“bagaimana” (Alves , 2003; Hansen, 2005; Jakobsen, 1999, 2002;
Tirkkonen-Condit dan Jaaskelainen, 2000). Beberapa peneliti di
bidang penerjemahan, serta mereka yang terlibat dalam pelatihan
penerjemah, mengakui bahwa dalam terjemahan, “proses sama
pentingnya dengan produk” (Davies, 2004). Dengan demikian,
tugas penting yang harus dilakukan para peneliti adalah
mengumpulkan data dari para penerjemah untuk menelusuri cara
atau pola penerjemahan yang digunakan untuk mencapai tujuan
terjemahan dan untuk mengetahui pola terbaik pada proses

36 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


penerjemahan (Lee-Jahnke, 2005). Fakta ini juga akan
mengungkapkan bahwa produk penerjemahan yang baik harus
melibatkan proses penerjemahan yang baik pula.

3.2 Penerjemahan yang Berorientasi pada Proses


Penelitian penerjemahan yang berorientasi pada proses
menggambarkan proses yang terjadi dalam pikiran penerjemah saat
menerjemahkan teks. Schubert (2009: 19) membagi proses
penerjemahan ke dalam proses internal dan proses eksternal. Proses
internal mengacu pada aktivitas mental yang terlibat dalam proses
penerjemahan dengan semua langkah dan keputusan yang tidak
dapat diobservasi langsung. Karena itu, proses internal, atau proses
mental menurut Göpferich (2008: 1), sering disebut sebagai “kotak
hitam penerjemah” (Toury, 1995). Sementara itu, proses eksternal
mengacu pada segala sesuatu dalam proses penerjemahan yang
dapat diamati oleh orang lain.
Selain itu, dalam kaitannya dengan proses mental, Vinay
dan Darbelnet (1995: 10) membagi proses mental menjadi proses
sadar dan bawah sadar. Untuk mempelajari proses mental dalam
kajian terjemahan harus ada upaya untuk mengikuti bagaimana
jalan pikiran seseorang bekerja secara sadar atau bawah sadar.
Proses sadar, menurut Göpferich (2008: 1), disebut sebagai proses
kognitif, berdasarkan proses tersebut akan tampak tujuan utama
dari penelitian penerjemahan yang berorientasi pada proses.
Sementara itu, proses bawah sadar disebut sebagai proses
metakognitif yang menggambarkan kemampuan seseorang dalam
merefleksikan proses mental itu sendiri (Christensen, 2011: 138).
Proses kognitif menurut Hutchins (2000: 1) adalah proses
yang terlibat dalam mengingat, pengambilan keputusan, inferensi,
penalaran, belajar, dan sebagainya. Oleh karena itu, kajian
terjemahan yang berorientasi pada proses kognitif berkontribusi
pada pengetahuan tentang bagaimana pikiran penerjemah bekerja
saat menerjemahkan teks yang kompleks (Risku, 2010: 94). Secara
spesifik, penerjemahan yang berorientasi pada proses kognitif dapat
dikategorikan sebagai serangkaian tahap dalam proses

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 37


penerjemahan meliputi: (1) pra-penyusunan draf, (2) penyusunan
draf, dan (3) pasca-penyusunan draf (Jakobsen, 2003: 72).
Dimitrova (2010: 406) menambahkan bahwa kegiatan
kognitif dalam penerjemahan bersifat kompleks, yaitu memahami
(segmen) teks dalam satu bahasa dan menghasilkan (segmen) teks
dalam bahasa lain dan juga membutuhkan proses transfer atau
pengalihan antara dua bahasa. Mengingat begitu kompleksnya
proses kognitif ini, penelitian pada penerjemahan yang berorientasi
pada proses dilakukan dengan beragam pendekatan teoretis,
terutama linguistik, khususnya psikolinguistik, kajian tentang
bilingualisme dan pemerolehan bahasa kedua, dan psikologi
kognitif. Pendapat Dimitrova tentang proses kognitif ini mengacu
pada Oxford (1990) yang menyatakan bahwa strategi kognitif
biasanya melibatkan identifikasi, retensi, penyimpanan, atau
pengambilan kata, frasa, dan unsur-unsur lain dari bahasa sasaran
(misalnya, menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk
memahami materi bahasa yang baru, menerapkan aturan tata
bahasa untuk konteks yang baru, atau mengelompokkan kosakata
sesuai dengan topiknya masing-masing).
Sementara itu, proses metakognitif, menurut Cohen dkk.
(1996: 3), merupakan proses yang berkenaan dengan pra-
perencanaan dan penilaian diri, perencanaan yang sedang
berlangsung, monitoring dan evaluasi, serta pascaevaluasi kegiatan
pembelajaran bahasa. Proses metakognitif memungkinkan para
penerjemah mengontrol proses penerjemahan dalam
mengoordinasikan upaya merencanakan, mengatur, dan
mengevaluasi kinerja bahasa target. Oleh karena itu, proses
metakognitif disebut juga sebagai proses eksternal (Oxford, 1990:
15). Dalam definisi yang luas, metakognisi adalah pengetahuan
atau proses kognitif yang mengacu pada pemantauan dan
pengendalian aspek kognisi, singkatnya, berpikir tentang kognisi.
Metakognisi dapat berlangsung sebelum atau setelah aktivitas
kognitif (Christensen, 2011: 138).
Selain proses kognitif dan metakognitif, proses sosial-
afektif juga terdapat dalam proses penerjemahan. Pada dasarnya,

38 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


menurut Cohen dkk. (1996: 3), proses ini berasal dari dua proses,
yaitu proses sosial dan proses afektif. Proses sosial termasuk
tindakan yang dilakukan oleh penerjemah untuk berinteraksi
dengan penerjemah lain atau dengan penutur asli (misalnya,
mengajukan pertanyaan untuk klarifikasi, membantu sesama
mahasiswa menyelesaikan tugas, atau bekerja sama dengan orang
lain). Melalui proses ini, tersirat bahwa penerjemah dapat bekerja
dengan baik dalam proses penerjemahan jika disertai bantuan dari
orang lain. Sementara itu, proses afektif berkaitan dengan motivasi
penerjemah, emosi, dan sikap (misalnya, proses dalam mengurangi
kecemasan, memotivasi diri sendiri, dan menghargai diri sendiri).

3.3 Pause pada Proses Penerjemahan


‘Pause’ secara literal dipadankan maknanya dengan kata
‘jeda’ atau ‘berhenti sejenak’ dalam bahasa Indonesia. Dalam
konteks komunikasi, jeda sering dianggap sebagai ketidaklancaran
baik dalam komunikasi secara lisan maupun tulisan. Akan tetapi,
jeda dalam konteks penerjemahan memainkan peranan penting,
khususnya dalam kajian terjemahan yang berorientasi pada proses,
sehingga menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji. Hal ini
dibuktikan dengan begitu banyaknya penelitian yang mengkaji
tentang jeda dalam proses penerjemahan dengan beragam topik,
seperti durasi atau lamanya jeda (Dragsted & Hansen, 2008; Alves
& Vale, 2009; Angelone, 2010; Jakobsen, 2011), alasan yang
memotivasi penerjemah untuk mengambil jeda (Dimitrova, 2005,
2010; Kumpulainen, 2015), dan kegiatan yang dilakukan
penerjemah selama jeda (Seguinot 1989; Jaaskelainen, 1999, 2000;
O'Brien 2006, 2009; Dragsted, 2012; Rosa, 2017; Rosa, Sinar,
Ibrahim-Bell & Setia, 2018).
Jeda sering juga dikaitkan dengan keragu-raguan yang
dialami oleh seorang penerjemah ketika melakukan proses
penerjemahan. Sehubungan dengan hal tersebut, Seguinot (1989:
31) mendefinisikan jeda sebagai “interupsi dalam penulisan atau
pengetikan draf terjemahan” dan keraguan sebagai “proses
penulisan atau pengetikan draf terjemahan yang sangat lambat”

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 39


berdasarkan penelitiannya yang secara eksklusif difokuskan pada
analisis fenomena jeda dan keragu-raguan. Sayangnya, dia tidak
menyebutkan bagaimana jeda itu diukur. Pengukuran yang
dimaksud berkaitan dengan frekuensi jeda, letak jeda, maupun
distribusi durasi jeda pada setiap tahapan dalam proses
penerjemahan.
Menanggapi hasil penelitian tersebut, O’Brien (2006)
melakukan penelitian dengan tujuan untuk menemukan di mana
seorang penerjemah biasanya mengambil jeda. Dia menemukan
bahwa jeda biasanya terjadi (i) di akhir kalimat atau paragraf; (ii) di
antara klausa independen; (iii) sebelum dan sesudah klausa
subordinat; (iv) sebelum frasa; (v) sebelum subjek dan predikat;
(vi) pada akhir baris; dan (vii) sebelum menuliskan atau ketika
sedang menuliskan kata-kata (O’Brien, 2006: 3). Hasil penelitian
ini mengisyaratkan bahwa jeda itu terjadi di hampir seluruh proses
penulisan atau pengetikan draf terjemahan. Oleh karena itu,
mengacu pada studi ini, jeda dalam proses penerjemahan dilihat
sebagai indikator proses kognitif, yang merupakan pusat
pembahasan dalam kajian penelitian penerjemahan berbasis proses
(Jakobsen, 1998, 2002; Alves, 2006). Seperti yang dikatakan oleh
Kumpulainen (2015: 48) bahwa penerjemahan dapat dianggap
sebagai tugas kognitif yang kompleks yang melibatkan
perencanaan dan penyelesaian masalah yang terkait dengan proses
antar bahasa dan antar budaya, dan tugas kognitif dalam proses
penerjemahan dimanifestasikan dalam jeda. Sejalan dengan
Kumpulainen, sebelumnya Krings (2001: 304) juga menyatakan
bahwa penelitian yang menghasilkan temuan yang berhubungan
dengan bahasa menunjukkan bahwa jeda merupakan sarana yang
sangat penting dalam pengidentifikasian batasan proses. Dia
menggunakan jeda sebagai penanda untuk mengidentifikasi
kegiatan penulisan pada tahap pascaediting.
Jeda sebagai indikator proses kognitif dalam penerjemahan
telah sering disebutkan dalam banyak literatur. Namun, perbedaan
muncul mengenai berapa lama waktu yang dihabiskan oleh seorang
penerjemah tanpa melakukan pengetikan draf terjemahan yang

40 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


dapat dianggap sebagai jeda. Penetapan durasi waktu ini sangat
penting mengingat apakah kegiatan pada jangka waktu tersebut
dapat dikategorikan sebagai jeda atau keragu-raguan. Bagi Krings,
durasi jeda adalah 1 detik, meskipun dia juga mengakui bahwa
durasi waktu ini masih bersifat arbitrer, namun dia meyakini bahwa
1 detik merupakan durasi yang cukup lama untuk mengidentifikasi
celah yang dapat dibedakan dalam aliran verbalisasi selama proses
penerjemahan, dan jeda dengan durasi sepanjang itu mudah
diidentifikasi secara akustik dan untuk direkam dengan
subjektivitas yang relatif dapat diandalkan (Krings, 2001: 210).
Angelone (2010) dan Gopferich (2010) mengadopsi durasi jeda
yang sama, yaitu 1 detik. Dragsted, Hansen, dan Sorensen (2009)
menganggap panjang jeda yang signifikan adalah 2,5 detik, dengan
kata lain, durasi kurang dari 2,5 detik belum dihitung sebagai jeda.
Namun, setahun kemudian ia melakukan penelitian lain yang
melaporkan bahwa durasi jeda adalah 1 detik (Dragsted, 2010).
Berdasarkan temuan dari para ahli yang disebutkan di atas, menurut
durasinya, jeda berdurasi minimal 1 detik. Penetapan ini juga
mendukung pernyataan Jakobsen (1998) yang mengatakan bahwa
durasi kurang dari 1 detik tidak dapat dikatakan sebagai jeda karena
durasi yang kurang dari 1 detik tersebut hanya dapat membedakan
kecepatan mengetik dan tidak dapat mengidentifikasi proses
kognitif yang sedang berlangsung.
Permasalahan berikutnya berkenaan dengan distribusi
durasi jeda yang dilakukan oleh penerjemah pada setiap tahapan
penerjemahan. Rosa dkk. (2018) yang melakukan penelitian
dengan melibatkan penerjemah profesional dan penerjemah
mahasiswa menemukan dua perlakuan yang unik oleh kedua
kelompok penerjemah tersebut dalam pengambilan jeda. Pertama,
berdasarkan total durasi jeda, tidak terdapat perbedaan antara kedua
kelompok penerjemah karena sebagian penerjemah profesional
menghabiskan total durasi yang lebih lama daripada penerjemah
mahasiswa, demikian juga sebagian penerjemah mahasiswa
menghabiskan total durasi yang lebih lama daripada penerjemah
profesional. Kedua, perbedaan yang mencolok adalah total durasi

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 41


waktu yang dihabiskan oleh kedua kelompok penerjemah tersebut
pada setiap tahap penerjemahan. Penerjemah mahasiswa
menghabiskan durasi jeda waktu pada tahap pre-drafting dan
drafting, sedangkan penerjemah profesional lebih banyak
menghabiskan durasi jeda pada tahap post-drafting atau
pascaediting. Hasil temuan ini mengindikasikan bahwa penerjemah
profesional lebih memprioritaskan editing, sementara penerjemah
mahasiswa lebih banyak mendapat kesulitan pada proses
pemahaman TSu dan pemadanan makna pada saat penulisan draf
terjemahan. Hasil temuan ini senada dengan Jakobsen (2002: 191)
yang meneliti bagaimana pembagian waktu yang digunakan oleh
penerjemah semi-profesional dan penerjemah profesional pada
setiap tahapan proses penerjemahan. Dia melaporkan bahwa, secara
rata-rata, penerjemah profesional mendedikasikan lebih banyak
waktu pada tahap pre-drafting dan post-drafting dan lebih sedikit
waktu pada tahap drafting daripada penerjemah semi-profesional.
Di samping itu, O’Brien (2006) juga menemukan bahwa
penerjemah mahasiswa mendedikasikan waktunya lebih banyak
pada tahap drafting. Panjangnya durasi jeda yang digunakan pada
tahap ini disebabkan kecenderungan penerjemah mahasiswa yang
melakukan editing atau revisi bersamaan dengan proses drafting.
Hal berikutnya yang menjadi perhatian para peneliti adalah
aktivitas yang dilakukan penerjemah pada saat mengambil jeda.
Rosa dkk. (2018) melaporkan bahwa perilaku penerjemah pada saat
mengambil jeda dapat menjadi instrumen pembeda antara
penerjemah profesional dan non-profesional (penerjemah
mahasiswa). Penerjemah mahasiswa melakukan jeda untuk
membaca dan memahami TSu. Secara lebih terperinci, mereka
melakukan jeda untuk dua tujuan: (i) untuk mencari solusi atas
kesulitan yang berkenaan dengan proses pemahaman TSu, dan (ii)
untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan penentuan
padanan makna yang tepat untuk kata atau istilah yang terdapat
pada TSu. Dengan demikian, penerjemah mahasiswa lebih banyak
dihadapkan kepada masalah yang berkenaan dengan penulisan draf
terjemahan. Sementara itu, penerjemah profesional melakukan jeda

42 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


untuk memperbaiki draf terjemahan yang sudah ditulisnya. Secara
terperinci, mereka melakukan jeda untuk dua tujuan: (i) untuk
memastikan apakah draf TSa mereka sudah alami; dan (ii) untuk
memastikan apakah struktur frasa dan kalimat dalam draf TSa
mereka sudah sesuai dengan tata bahasa yang berlaku pada BSa.
Dengan kata lain, penerjemah profesional pada umumnya tidak
mengalami masalah yang begitu berarti pada proses penulisan draf
terjemahan.
Hal selanjutnya adalah apakah frekuensi atau durasi jeda
berkontribusi kepada kualitas terjemahan. Hansen (2002) menguji
dua hipotesis tentang fenomena jeda dalam proses penerjemahan.
Hipotesis pertamanya adalah bahwa beberapa penerjemah
menunjukkan perilaku jeda tertentu dalam proses penerjemahan
yang tidak mengklasifikasikan tergantung pada arah bahasa yang
diterjemahkan. Hipotesis keduanya adalah bahwa tidak ada korelasi
antara posisi, durasi, dan jumlah jeda dengan kualitas produk
terjemahan. Dia membagi jeda ke dalam kelompok yaitu
orientierungspausen (jeda orientasi), kontrollpausen (jeda kontrol),
binnenpausen (jeda internal), dan monitoringpausen (jeda
pemantauan) (Hansen, 2002: 33). Dengan menggunakan Translog
dan pendekatan empiris, Hansen mengonfirmasi dua hipotesisnya
tersebut sebagai berikut: (1) penerjemah menunjukkan perilaku
jeda tertentu; dan (2) tidak ada korelasi antara terjadinya jeda dan
kualitas produk terjemahan. Temuan Hansen ini menegaskan
bahwa setiap penerjemah melakukan jeda dengan kegiatan yang
berbeda-beda, dan lama tidaknya durasi jeda yang mereka habiskan
tidak berpengaruh kepada kualitas hasil terjemahan.
Berdasarkan pembahasan di atas, jeda dalam proses
penerjemahan merupakan indikator proses kognitif, dan semakin
berat muatan proses kognitif maka semakin lama jeda yang
dilakukan oleh penerjemah. Meskipun demikian, proses kognitif
yang berat tersebut dapat dikurangi dengan menerapkan proses
sosial-afektif di mana para penerjemah dapat mencari sumber
referensi berbasis daring melalui koneksi Internet yang dapat
memecahkan masalah penerjemahan yang mereka hadapi.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 43


3.4 Swa-Koreksi dalam Proses Penerjemahan
Dalam proses penerjemahan, seorang penerjemah tidak
mungkin langsung dapat menghasilkan produk terjemahan yang
berkualitas tanpa adanya revisi atau yang dikenal juga dengan
istilah koreksi. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh si penerjemah
sendiri (self-correction) atau dilakukan oleh orang lain (biasanya
dilakukan oleh anggota tim penerjemah lain). Akan tetapi, dalam
konteks penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah mahasiswa
(student translator), koreksi dilakukan oleh penerjemah itu sendiri.
Menurut Robert (2008: 5), istilah ‘revisi’ atau ‘koreksi’ mengacu
baik untuk proses merevisi terjemahan sendiri atau untuk proses
merevisi terjemahan orang lain.
Istilah swa-koreksi digunakan oleh beberapa peneliti dalam
studinya termasuk Mizón dan Dieguez (1996) dan Malkiel (2009),
sedangkan istilah swa-revisi digunakan oleh beberapa peneliti lain
termasuk Mossop (2001) dan Carl dan Kay (2011). Malkiel (2009:
150) mendefinisikan swa-koreksi dengan contoh ketika penulis
atau penerjemah membuat penambahan, penghapusan, atau
perubahan dalam teks. Gagasan utama dari swa-koreksi adalah
membuat perubahan di dalam teks yang dilakukan oleh penerjemah
itu sendiri saat menerjemahkan. Sementara itu, Carl dan Kay
(2011: 9) menggunakan istilah ‘swa-revisi' yang merujuk kepada
salah satu tahapan dalam proses penerjemahan yaitu ketika
beberapa atau semua teks yang telah diterjemahkan dibaca kembali
oleh si penerjemah itu sendiri. Pada tahap ini, si penerjemah
mengoreksi apakah padanan kata pada BSa telah mewakili makna
yang terdapat pada kata BSu, atau apakah struktur kalimat pada
BSa telah berterima dan lazim digunakan oleh pembaca BSa, dan
lain sebagainya. Ketika melakukan swa-koreksi, kata dan kalimat
mungkin dirumuskan kembali atau diulang sehingga pemahaman
yang lebih baik dari isi ST dapat diperoleh. Seluruh kegiatan revisi
atau koreksi ini dilakukan dengan tujuan menghasilkan produk
terjemahan yang berkualitas.
Swa-koreksi tidak harus selalu dilakukan secara berurutan;
dengan kata lain, swa-koreksi tidak selalu mengikuti tiga tahap atau

44 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


tahap proses penerjemahan seperti yang disebutkan di atas, Asadi
dan Seguinot (2005) mengeksplorasi distribusi tahap swa-koreksi
yang berbeda selama kegiatan terjemahan. Dia berhasil
mengidentifkasi dua pendekatan yang berbeda yang dilakukan
penerjemah pada ketiga tahap dalam proses penerjemahan.
Pertama, sebagian penerjemah melakukan sebagian besar swa-
koreksi ketika menulis draf terjemahan, dan menyisakan sedikit
pekerjaan untuk dilakukan pada tahap post drafting. Hal ini
bermakna bahwa mereka lebih suka mengevaluasi dan membuat
perubahan yang mungkin dalam terjemahan mereka di awal
kegiatan penerjemahan. Kedua, sebagian penerjemah lainnya
memutuskan untuk mengabaikan sebagian besar revisi pada tahap
drafting, dan memfokuskan kegiatan pada penyelesaian penulisan
draf terjemahan secepat mungkin. Hal ini bermakna bahwa mereka
memutuskan untuk melakukan swa-koreksi terhadap terjemahan
mereka setelah draf terjemahan sepenuhnya selesai ditulis.
Sehubungan dengan urutan tahapan swa-koreksi, Kourouni
(2012: 196) mengusulkan tiga metode swa-koreksi yang meliputi:
(1) linear, metode ini memungkinkan penerjemah untuk melakukan
swa-koreksi secara runtut, dimulai dari judul, kalimat pertama, dan
selanjutnya sampai kalimat terakhir pada draf terjemahan; (2)
inline, metode ini tidak mengharuskan penerjemah melakukan swa-
koreksi secara runtut. Dengan metode ini, penerjemah melewatkan
atau meninggalkan proses swa-koreksi yang sedang dilakukan pada
baris tertentu karena tujuan tertentu untuk melakukan swa-koreksi
pada bagian lainnya dari draf terjemahan yang masih dalam satu
ide yang sama. Oleh karena itu, inline juga disebut metode swa-
koreksi secara horizontal; dan (3) multidirectional atau non-linear,
metode ini memungkinkan penerjemah untuk memulai swa-koreksi
dari bagian manapun pada draf terjemahan: apakah dari awal teks,
tengah teks, atau akhir teks. Dengan metode ini, penerjemah
memiliki kebebasan untuk menentukan bagian yang mana di dalam
draf terjemahan yang memerlukan tindakan swa-koreksi lebih awal.
Di samping itu, swa-koreksi dengan metode ini juga dapat

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 45


dilakukan berdasarkan urutan tingkat kepentingan bagian teks yang
diterjemahkan.
Berkenaan dengan jenisnya, swa-koreksi dapat dibagi
kepada tujuh jenis: substitusi, pengurangan, penambahan,
kapitalisasi, koreksi makna, koreksi tata bahasa, dan koreksi ejaan,

3.4.1 Substitusi
Substitusi merupakan jenis swa-koreksi di mana penerjemah
menggantikan kata, frasa, atau klausa yang telah digunakannya
pada draf terjemahan dengan kata, frasa, atau klausa yang lebih
berterima. Perhatikan terjemahan pada (1).
(1) TSu : You may have watched some of the
many parodies, like this video
combining the song with clips from the
film Downfall featuring an apoplectic
Adolf Hitler.
Draf Awal : Mungkin kamu telah menonton
beberapa dari sekian banyak parodi
seperti video ini yang
mengkombinasikan lagu dengan klip
dari film Downfall yang menampilkan
apopleksia dari Adolf Hitler.
Draf Akhir : Mungkin anda telah menonton
beberapa di antara sekian banyak
parodi, seperti video yang
menggabungkan antara lagu dengan
klip dari film Downfall yang
menampilkan kemurkaan Adolf
Hitler.
Penerjemahan TSu pada (1) menunjukkan terjadinya swa-
koreksi dalam bentuk substitusi sebanyak empat kali, di mana tiga
diantaranya disebabkan oleh preferensi penerjemah kepada diksi
tertentu. Hal ini terjadi ketika kata ‘kamu’ pada draf awal
terjemahan digantikan dengan ‘anda’ pada draf akhir yang

46 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


keduanya merupakan padanan literal dari kata BSu ‘you’.
Substitusi berdasarkan preferensi seperti ini tentu saja
mempengaruhi penggunaan padanan dari kata yang sama di seluruh
isi teks. Oleh karena itu, konsistensi diperlukan di mana
penerjemah harus konsisten dalam menggunakan kata ‘kamu’
setiap kali memadankan makna kata ‘you’ di semua kalimat dalam
TSa. Kasus yang sama terjadi ketika dia lebih suka menggunakan
kata ‘menggabungkan’ daripada ‘mengkombinasikan’ yang
digunakannya pada draf awal pertama. Sebenarnya, kedua kata
tersebut berterima dalam konteks BSa, dan dapat digunakan dalam
konteks apa pun; dengan kata lain, pembaca akan mengerti
membaca TSa yang berisi salah satunya. Selanjutnya, preferensi
juga terjadi dalam memilih kata ‘kemurkaan’ yang digunakan pada
draf awal terjemahan daripada ‘apopleksia’. Berbeda dengan alasan
pemilihan dua kata sebelumnya, preferensi yang terjadi pada
substitusi ‘apopleksia’ dengan kata ‘kemurkaan’ lebih disebabkan
oleh fakta bahwa kata ‘kemurkaan’ lebih akrab bagi pembaca TSa.
Selain disebabkan oleh preferensi, substitusi yang terjadi
pada terjemahan kalimat (1) berhubungan dengan keberterimaan
struktur frasa atau kalimat dalam BSa. Kata ‘dari’ yang digunakan
pada draf awal terjemahan digantikan dengan kata ‘di antara’ pada
draf akhir sebagai padanan makna kata BSu ‘of’ dalam frasa TSu
‘some of the many parodies’. Dalam BSa, kata ‘of’ dapat
dipadankan maknanya dengan kata dari’. Penggunaan kata ‘di
antara’ dimotivasi oleh kehadiran kata ‘some’ sebelum kata ‘of’
dan usaha untuk menghindari pengaruh atau interferensi struktur
dan gaya bahasa BSa dalam TSu. Dalam BSa, frasa ‘beberapa di
antara sekian banyak parodi’ lebih berterima daripada ‘beberapa
dari sekian banyak parodi’ sebagai padanan makna frasa TSu ‘some
of the many parodies’.

3.4.2 Pengurangan
Pengurangan merupakan jenis swa-koreksi di mana
penerjemah mengurangi atau menghilangkan unsur linguistik yang
sudah ditulisnya pada draf awal terjemahan. Unsur linguistik yang

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 47


dihilangkan ini dapat berupa imbuhan, kata, frasa, dan/atau klausa.
Perhatikan terjemahan pada (2) berikut ini.
(2) TSu : You may have even tried to teach
yourself Psy’s “Gangnam Style” horse
dance.
Draf Awal : Bahkan Anda mungkin telah mencoba
untuk belajar sendiri tarian kuda
kepunyaan Psy Gangnam Style.
Draf Akhir : Bahkan Anda mungkin telah mencoba
belajar sendiri tarian kuda Psy
Gangnam Style.
Pada proses penerjemahan kalimat (2) dapat dilihat bahwa
penerjemah melakukan swa-koreksi dengan menghilangkan dua
buah kata yang terdapat pada TSu, yaitu ‘untuk’ dan ‘kepunyaan’.
Faktor yang mendorong terjadinya pengurangan atau penghilangan
kedua tersebut adalah interferensi tata bahasa BSa. Draf awal
terjemahan pada (2) menunjukkan bahwa kata ‘untuk’ digunakan
sebagai padanan makna kata BSa ‘to’. Dalam tata bahasa BSa,
verba yang terletak setelah verba ’try’ (atau ‘tried’ dalam konteks
kalimat di atas) harus diubah ke dalam bentuk ‘to infinitive’,
sehingga membentuk frasa verba ‘tried to teach’. Hal yang harus
dipahami di sini adalah bahwa kata ‘to’ bukan berfungsi sebagai
kata yang harus dicari padanannya karena kata tersebut digunakan
untuk melengkapi kebutuhan tata bahasa yang berlaku dalam BSa.
Dengan demikian, kata yang perlu dicarikan padanannya pada
konteks kalimat (2) adalah verba ‘teach’.
Selanjutnya, swa-koreksi dengan menghilangkan kata
‘kepunyaan’ pada draf akhir terjemahan juga didasari atas tata
bahasa yang berlaku di TSu. Penggunaan kata ‘kepunyaan’ pada
draf awal dipengaruhi oleh tata bahasa BSu melalui pronomina
kepemilikan (‘s). Akan tetapi, pada BSa, bentuk kepemilikan tidak
selamanya harus dituliskan secara eksplisit. Misalnya, frasa “buku
Budi” sudah mengindikasikan buku kepunyaan Budi, atau “instansi
pemerintah” juga sudah mengindikasikan instansi kepunyaan

48 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


pemerintah. Dengan demikian, penghilangan kata ‘kepunyaan’
pada draf akhir terjemahan merupakan tindakan swa-koreksi yang
sangat tepat karena penghilangan tersebut sama sekali tidak
mengurangi makna yang terkandung dalam TSu. Frasa TSa ‘tarian
kuda Psy Gangnam Style’ sudah bermakna tarian kuda kepunyaan
Psy Gangnam Style. Berdasarkan dua contoh penghilangan di atas,
dapat disimpulkan bahwa swa-koreksi dengan penghilangan pada
umumnya bertujuan untuk menghilangkan interferensi gaya dan
tata bahasa BSu pada TSa.

3.4.3 Penambahan
Penambahan merupakan antonim dari jenis swa-koreksi
sebelumnya, yaitu pengurangan. Penambahan merupakan jenis
swa-koreksi di mana penerjemah menambahkan kata atau frasa
yang terlewatkan pada draf awal terjemahannya. Sama halnya
dengan pengurangan, penambahan pada dasarnya juga bertujuan
untuk meningkatkan keberterimaan TSa bagi pembaca BSa dan
memperbaiki tata bahasa TSa. Perhatikan contoh terjemahan pada
(3).
(3) TSu : Apple’s late CEO, Steve Jobs,
revolutionized the mobile-phone
market with the iPhone.
Draf Awal : Steve Jobs, CEO Apple, mengubah
pasar telepon genggam dengan iPhone.
Draf Akhir : Steve Jobs, mantan CEO Apple, telah
mengubah pasar telepon genggam
dengan iPhone.
Pada terjemahan (3) penerjemah melakukan swa-koreksi
dengan menambah kata yang sebelumnya tidak terdapat pada draf
awal. Swa-koreksi pertama dilakukan dengan menambah kata
‘mantan’ yang merupakan padanan makna dari kata TSu ‘late’.
Pemadanan kata tersebut sebelumnya terlewatkan pada draf awal.
Penambahan kata ‘mantan’ ini berpengaruh sangat signifikan
terhadap makna yang disampaikan TSa, karena dengan tidak

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 49


memasukkannya ke dalam TSa, pembaca TSa, khususnya mereka
yang tidak mengetahui fakta sebenarnya tentang CEO Apple, akan
beranggapan bahwa ‘Steve Jobs’ masih menjabat sebagai CEO
Apple. Di samping itu, penambahan yang dilakukan tidak untuk
menambah makna pada TSa, melainkan melengkapi makna yang
sebelumnya tidak terdapat dalam draf awal.
Swa-koreksi yang kedua adalah penambahan kata ‘telah’
pada draf akhir terjemahan (3). Penambahan yang dilakukan di sini
bertujuan untuk menekankan bahwa kejadian ‘mengubah pasar
telepon genggam dengan iPhone’ terjadi pada masa lampau. Hal ini
disebabkan oleh fakta bahwa tata bahasa BSa tidak mengenal kala
(tenses), sehingga salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
dengan menambahkan kata (baik kata keterangan waktu ataupun
kata yang mengandung makna ‘aspek’) yang dapat
mengungkapkan masa atau kala terjadinya suatu kegiatan atau
kejadian. Oleh karena itu, penambahan kata ‘telah’ pada konteks
tersebut tidak mengubah makna sebenarnya yang terkandung dalam
TSu.

3.4.4 Kapitalisasi
Kapitalisasi merupakan jenis swa-koreksi di mana
penerjemah memperbaiki penggunaan huruf kapital. Kapitalisasi
berhubungan dengan ketentuan yang mengatur apakah suatu kata
harus dituliskan dengan menggunakan huruf kapital atau tidak.
Meskipun tidak memainkan peran yang signifikan dalam
penyampaian makna, kesalahan dalam kapitalisasi berpengaruh
kepada kualitas hasil teks terjemahan, khususnya aspek yang
berhubungan dengan tata cara penulisan dalam BSa. Contoh swa-
koreksi dengan kapitalisasi dapat dilihat pada (4).
(4) TSu : Almost 1,800 People Have Died in
Seven Weeks in the Philippines’ War
on Drugs.
Draf Awal : Sekitar 1800 warga tewas dalam
seminggu di Fillipina akibat Perang
anti NARKOBA.
50 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
Draf Akhir : Sekitar 1800 warga tewas dalam
seminggu di Fillipina akibat perang
anti narkoba.
Pada terjemahan (4), kapitalisasi terjadi ketika pada draf
awal terjemahan, penerjemah menulis kata “Perang’ yang ditulis
dengan menggunakan huruf kapital pada awal kata. Penggunaan
huruf kapital pada kata tersebut tidak sesuai dengan aturan
kapitalisasi yang diatur dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia (PUEBI). Menurut PUEBI, kapitalisasi digunakan pada
13 konteks penggunaan kata: (1) sebagai huruf pertama awal
kalimat; (2) sebagai huruf pertama unsur nama orang, termasuk
julukan; (3) pada awal kalimat dalam petikan langsung; (4) sebagai
huruf pertama setiap kata nama agama, kitab suci, dan Tuhan,
termasuk sebutan dan kata ganti untuk Tuhan; (5) sebagai huruf
pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, keagamaan, atau
akademik yang diikuti nama orang, termasuk gelar akademik yang
mengikuti nama orang; (6) sebagai huruf pertama unsur nama
jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai
sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama
tempat; (7) sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan
bahasa; (8) sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, dan hari
besar atau hari raya; (9) sebagai huruf pertama nama geografi; (10)
sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur bentuk
ulang sempurna) dalam nama negara, lembaga, badan, organisasi,
atau dokumen, kecuali kata tugas, seperti di, ke, dari, dan, yang,
dan untuk; (11) sebagai huruf pertama setiap kata (termasuk unsur
kata ulang sempurna) di dalam judul buku, karangan, artikel, dan
makalah serta nama majalah dan surat kabar, kecuali kata tugas,
seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk, yang tidak terletak pada
posisi awal; (12) sebagai huruf pertama unsur singkatan nama
gelar, pangkat, atau sapaan; dan (13) sebagai huruf pertama kata
penunjuk hubungan kekerabatan, seperti bapak, ibu, kakak, adik,
dan paman, serta kata atau ungkapan lain yang dipakai dalam
penyapaan atau pengacuan (Tim Pengembang Pedoman Bahasa
Indonesia, 2016).
Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 51
Swa-koreksi dalam bentuk kapitalisasi juga terjadi pada
penulisan ‘NARKOBA’ (seluruh huruf ditulis dengan huruf
kapital) sebagai ekuivalen dari kata ‘Drugs’ dalam TSu pada draf
awal. Selanjutnya, pada draf akhir, kata tersebut dikoreksi dengan
cara mengganti seluruh huruf berikutnya dengan huruf kecil. Hal
ini dilakukan karena penggunaan huruf kapital pada kata
‘NARKOBA’ tidak sesuai dengan salah satu dari 13 kaidah
kapitalisasi di dalam PUEBI.

3.4.5 Koreksi Makna


Koreksi makna adalah swa-koreksi yang dilakukan untuk
memperbaiki makna yang kurang tepat pada draf awal terjemahan.
Koreksi berperan sangat penting dalam swa-koreksi karena pada
dasarnya penerjemahan harus mempertahankan makna yang
terdapat dalam TSu. Salah satu contoh swa-koreksi makna dapat
dilihat pada terjemahan (5)
(5) TSu : Each of these clashes defined an era of
Internet history.
Draf Awal : Masing-masing perselisihan ini
mendefinisikan era sejarah Internet.
Draf Akhir : Masing-masing perselisihan ini
mendefinisikan era tersendiri dalam
sejarah Internet.
Terjemahan pada (5) menunjukkan penerjemah melakukan
swa-koreksi makna dengan menambahkan kata ‘tersendiri’ pada
draf akhir terjemahannya. Swa-koreksi seperti ini tidak masuk ke
dalam swa-koreksi jenis penambahan karena kata yang
ditambahkan tidak dijumpai pada TSu; dengan kata lain,
penambahan ini merupakan pembuatan makna yang baru yang
disebabkan oleh konteks kalimat. Jika mempertahankan draf awal
‘Masing-masing perselisihan ini mendefinisikan era sejarah
Internet’, makna yang disampaikan adalah bahwa perselisihan itu
membuat definisi dari ‘era sejarah Internet’. Padahal makna yang
ingin disampaikan adalah terciptanya suatu era dalam sejarah

52 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Internet yang disebabkan oleh adanya perselisihan. Agar makna
yang sesungguhnya dapat disampaikan secara akurat, maka
ditambahkanlah kata ‘tersendiri’. Di samping itu, penambahan itu
juga harus diikuti oleh preposisi ‘dalam’ untuk membuat kalimat
itu menjadi berterima.
Swa-koreksi makna juga terjadi pada contoh terjemahan (6)
berikut ini.
(6) TSu : Samsung Electronics Co Ltd plans to
launch a program to sell refurbished
used versions of its premium
smartphones as early as next year, a
person with direct knowledge of the
matter told Reuters.
Draf Awal : Samsung Electronics Co. Ltd.
berencana untuk meluncurkan sebuah
program penjualan ponsel pintar
premium versi yang diperbaharui atau
direkondisikan secepatnya tahun depan,
ungkap orang dalam yang terlibat
langsung dalam hal tersebut kepada
Reuters.
Draf Akhir : Samsung Electronics Co. Ltd.
berencana untuk meluncurkan sebuah
program penjualan ponsel pintar
premium versi yang diperbaharui atau
direkondisikan secepatnya tahun depan,
ungkap orang dalam yang
mengetahui rencana tersebut secara
langsung kepada Reuters.
Pada terjemahan (6), swa-koreksi makna melibatkan
struktur ‘apa yang menerangkan apa (which modifies which)’. Draf
awal yang ditulisnya mengindikasikan bahwa ‘orang tersebut’
terlibat langsung dalam rencana yang dibicarakan, sementara itu,
pada draf akhir, dia menuliskan bahwa ‘orang tersebut’ bukan

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 53


terlibat dalam rencana, tetapi hanya mengetahui rencana itu dan
secara langsung melaporkannya kepada Reuters.

3.4.6 Koreksi Tata Bahasa


Koreksi tata bahasa merupakan jenis swa-koreksi di mana
penerjemah memperbaiki tata bahasa yang kurang tepat yang
terdapat pada draf awal terjemahan. Contoh swa-koreksi tata
bahasa pada proses penerjemahan dapat dilihat pada terjemahan
(7).
(7) TSu : The video depicts Psy’s comically inept
attempts to live large in Gangnam
style.
Draf Awal : Video tersebut mencertitakan tentang
usaha–usaha yang aneh dari Psy
serta lucu untuk hidup secara besar
pada gaya Gangnam.
Draf Akhir : Video ini menggambarkan usaha-
usaha Psy yang aneh dan lucu untuk
hidup dan besar dalam gaya hidup di
Gangnam.
Swa-koreksi tata bahasa yang terdapat pada draf awal
terjemahan pada (7) melibatkan frasa ‘usaha–usaha yang aneh dari
Psy serta lucu’. Struktur frasa ini terlihat aneh atau canggung dalam
tata bahasa BSa, yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa
draf awal pada (7) merupakan produk terjemahan. Sementara itu,
salah satu ciri dari terjemahan yang baik adalah bahwa pembaca
tidak menyadari bahwa teks yang sedang dibaca adalah produk
terjemahan. Oleh karena itu, swa-koreksi tata bahasa dilakukan
dengan mengikuti tata bahasa yang berlaku pada BSa. Hasil swa-
koreksi frasa pada draf awal tersebut adalah ‘usaha-usaha Psy yang
aneh dan lucu’.

54 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


3.4.7 Koreksi Ejaan
Koreksi ejaan adalah jenis swa-koreksi di mana penerjemah
memperbaiki ejaan yang salah yang dituliskannya pada draf awal.
Kesalahan ejaan yang terjadi pada draf terjemahan masih dapat
dimaklumi, tetapi jika kesalahan tersebut tidak dikoreksi sampai
akhir meskipun para penerjemah mengklaim bahwa kesalahan
ejaan lebih disebabkan oleh kesalahan pengetikan atau ‘typo’,
namun sekecil apapun kesalahan dalam penerjemahan tetap dapat
mempengaruhi kenyamanan pembaca TSa. Terjemahan pada (8)
berikut ini merupakan contoh swa-koreksi ejaan.
(8) TSu : Another 1,067 drug-related killings,
reportedly carried out by vigilantes,
are being investigated.
Draf Awal : Sementara 1.067 kematian lainnya
yang juga terkiat narkoba, dilaporkan
dilakukan oleh beberapa angota siaga,
masih dalam penyelisikan.
Draf Akhir : Sementara 1.067 kematian lainnya
yang juga terkait narkoba, dilaporkan
dilakukan oleh beberapa anggota
siaga, masih dalam penyelidikan.
Pada draf awal terjemahan pada (8), terdapat tiga kesalahan
ejaan, yaitu ‘terkiat’, ‘angota’, dan ‘penyelisikan’. Kesalahan ejaan
yang pertama berhubungan dengan penggunaan diftong. Dalam
bahasa Indonesia baik diftong ‘ia’ maupun ‘ai’ merupakan diftong
yang lazim digunakan. Akan tetapi, melihat kepada konteks
penggunaannya dalam kata, maka diftong yang tepat yang
seharusnya digunakan adalah ‘ai’ seperti yang terdapat pada draf
akhir terjemahan.
Berbeda dengan kesalahan ejaan pertama, swa-koreksi yang
dilakukan pada kesalahan ejaan kedua disebabkan oleh geminasi
atau ‘konsonan ganda’. Pada draf awal terjemahan, ejaan ‘angota’
ditulis dengan konsonan ’g’ tunggal. Swa-koreksi ejaan dilakukan

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 55


dengan menambah satu huruf ‘g’ lagi ke dalam kata tersebut
sehingga menghasilkan kata ‘anggota’ pada draf akhir.
Selanjutnya, kesalahan ejaan ketiga pada draf awal
terjemahan pada (8) berpengaruh signifikan kepada makna yang
disampaikan oleh TSa karena baik kata ‘penyelisikan’ pada draf
awal maupun ‘penyelidikan’ pada draf akhir merupakan kata yang
terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di dalam
KBBI, ‘penyelisikan’ berasal dari kata dasar ‘selisik’ yang
bermakna ‘menyingkap-nyingkap untuk mencari sesuatu’,
sedangkan ‘penyelidikan’ berasal dari kata ‘selidik’ yang bermakna
‘(dengan) teliti; (dengan) cermat’. Swa-koreksi yang dilakukan
tidak cukup hanya dengan melihat kata itu saja, akan tetapi harus
melihat konteks di mana kata tersebut digunakan. Berdasarkan
konteks yang terdapat pada TSu (8), maka ejaan kata yang tepat
adalah ‘penyelidikan’.
Semua ide yang diuraikan di atas telah membuktikan bahwa
swa-koreksi memainkan peran penting dalam membantu
penerjemah memperbaiki draf teks terjemahan mereka. Namun,
Ibarrola (2009: 189) menyatakan pandangan yang berbeda tentang
manfaat swa-koreksi. Dia mengatakan bahwa swa-koreksi menjadi
“kurang efektif” apabila penerjemah memiliki pengetahuan yang
terbatas tentang kesalahan yang dia buat dalam draf awal. Dengan
kata lain, penerjemah dengan pengetahuan terbatas ini tidak dapat
memperbaiki apapun karena dia tidak tahu bagian mana dari draf
awal terjemahan yang memerlukan swa-koreksi. Namun, untuk
penerjemah dengan pengetahuan yang baik dalam keterampilan
menulis dan dalam tata bahasa BSa, swa-koreksi merupakan
kegiatan yang sangat penting dan bermanfaat karena dia memiliki
kesempatan untuk membaca ulang draf awal terjemahannya dan
memberikan swa-koreksi untuk setiap kesalahan.
Ini sejalan dengan apa yang dilihat Malkiel (2009: 150)
bahwa swa-koreksi tidak selalu merupakan perubahan dari yang
salah menjadi benar, tetapi dapat menjadi yang sebaliknya.
Meskipun tujuan utama swa-koreksi adalah untuk meningkatkan
kualitas teks yang diterjemahkan, penerjemah terkadang mengubah

56 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


bentuk yang benar dalam draf awal menjadi yang salah pada draf
akhir. Namun, hal ini mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan
penerjemah tersebut terhadap struktur penulisan atau tata bahasa
BSa.
Oleh karena itu, kuantitas swa-koreksi yang dilakukan dan
lamanya waktu yang dihabiskan oleh penerjemah dalam melakukan
swa-koreksi tidak menunjukkan rendahnya kualitas produk
terjemahan (Kunzli, 2006; Rosa, 2017); bahkan penerjemah
profesional sekalipun menghabiskan lebih banyak waktu untuk
swa-koreksi daripada penerjemah mahasiswa (Carl dkk., 2010;
Rasmussen & Schjoldager, 2011). Gagasan-gagasan ini
menyarankan peran swa-koreksi yang tak tergantikan dalam proses
penerjemahan. Setiap kali terjemahan dilakukan, swa-koreksi harus
selalu dilakukan. Oleh karena itu, mempelajari swa-koreksi
bermanfaat untuk pengembangan teori, penemuan, dan inovasi
dalam kajian terjemahan, khususnya kajian terjemahan yang
berorientasi pada proses.

3.5 Pemanfaatan Sumber Daring dalam Proses Penerjemahan


Dalam proses penerjemahan, para penerjemah
membutuhkan bantuan untuk tujuan peningkatan terjemahan.
Bantuan tersebut dapat berupa sumber referensi baik dalam bentuk
cetak (seperti kamus, buku, dll.) maupun daring (seperti kamus
berbasis daring, mesin terjemahan, dll.). Jenis-jenis bantuan yang
digunakan oleh penerjemah dalam proses penerjemahan menarik
perhatian para peneliti untuk melakukan penelitian tentangnya.
Dalam penelitiannya, Alves (1997) menemukan bahwa jenis
bantuan dalam proses penerjemahan secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu bantuan internal dan
eksternal. Bantuan internal merupakan bantuan yang berasal dari
dalam diri si penerjemah sendiri, yaitu kekayaan kosakata dan
pengetahuan tata bahasa si penerjemah baik pada BSu maupun
BSa. Sementara itu, bantuan eksernal merupakan bantuan yang
berasal dari luar diri si penerjemah, seperti kamus dan bahan
referensi baik dalam bentuk cetak maupun daring.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 57


Seiring berkembangnya teknologi, penggunaan sumber
referensi daring lebih disukai karena efisiensi, efektivitas, dan
kepraktisannya. Byrne (2007: 33) berpendapat bahwa Internet
memiliki dampak yang jauh lebih besar pada penerjemahan baik
dari cara pengoperasiannya, alat-alat bantu penerjemahan yang
disediakannya, maupun industri yang berkembang di sekitarnya
yang membutuhkan jasa penerjemahan. Internet adalah penyedia
layanan daring di mana penerjemah dapat mengakses berbagai
layanan yang membantu mereka dalam proses penerjemahan.
Selain itu, penggunaan internet juga membawa penerjemah mencari
manfaat perkembangan teknologi dalam penerjemahan dan mencari
teknik yang lebih praktis yang memungkinkan mereka untuk
menerjemahkan lebih banyak dengan waktu yang lebih sedikit (El-
dali, 2011: 30).
Selain itu, dalam penelitiannya, Kourouni (2012)
menemukan bahwa pengelolaan sumber daring dalam proses
penerjemahan membantu penerjemah menerjemahkan teks lebih
cepat. Internet menyediakan beragam situs web tanpa batas yang
dapat digunakan sebagai sumber daring yang membantu proses
penerjemahan. Kourouni (2012: 204) mengklasifikasikan sumber
daring ke dalam empat kategori utama: (i) ensiklopedia, (ii) kamus
dwibahasa berbasis daring, (iii) kamus dwibahasa khusus, dan (iv)
portal yang menawarkan layanan mesin terjemahan gratis.
Sehubungan dengan jenis sumber daring yang digunakan,
Sofyan (2016: 196) mendata beberapa situs web yang digunakan
oleh penerjemah sebagai sumber daring yang membantu mereka
dalam proses penerjemahan seperti yang dirangkum pada Tabel
3.1.

58 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Tabel 3.1 Pemanfaatan sumber daring oleh penerjemah dalam
proses penerjemahan
Sumber Daring
Pre-drafting Drafting Post-drafting
Google Search; Wikipedia;
Google Translate;
reference.com; idiomatic
online dictionary;
kbbi.web.id;
Blog; Google kamusbahasainggris.com;
News Translate thefreedictionary.com;
dictionary. cambridge.org.;
kbbi.web.id;
badanbahasa
kemendikbud.go.id; e-
tutorial. dgip.go.id;

Informasi yang disajikan pada Tabel 3.1 menunjukkan


bahwa penerjemah dapat menggunakan sumber daring di setiap
tahap proses penerjemahan. Pada tahap pre-drafting, di mana
penerjemah berusaha untuk memahami makna yang terdapat pada
TSu, sumber daring yang dapat digunakan adalah blog ataupun
berita yang terkait dengan topik teks yang akan diterjemahkan.
Sementara itu, pada tahap drafting, Google Translate masih
menjadi idola karena kemampuannya menerjemahkan teks dalam
waktu yang sangat singkat, dan terlebih lagi karena layanan
terjemahan gratis yang ditawarkannya.
Tahap post-drafting merupakan puncak penggunaan
ataupun pemanfaatan sumber daring karena pada tahap ini
penerjemah melakukan editing berupa swa-koreksi terhadap draf
terjemahan yang telah ditulis. Penerjemah harus mampu mengelola
pemanfaatan sumber daring karena kekurangmampuan dalam
mengelolanya akan menyebabkan pemborosan waktu dalam proses
penerjemahan, yang pada akhirnya akan membuat proses

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 59


penerjemahan menjadi lebih lambat. Oleh karena itu, penerjemah
harus memiliki ketrampilan yang baik tentang pemanfaatan sumber
daring tertentu untuk masalah penerjemahan tertentu.
Dengan demikian, para penerjemah yang bergantung pada
sumber daring dalam melakukan penerjemahan harus berhati-hati
dalam pengelolaannya; dengan kata lain, mereka harus dapat
mengelola sumber daring yang mereka cari melalui layanan
Internet. Hirci (2013: 162) mengatakan bahwa penggunaan sumber
referensi daring yang tidak selektif sering kali mengarah pada
solusi terjemahan yang kurang tepat atau bahkan salah. Pernyataan
ini berarti bahwa penerjemah tidak tidak disarankan menjadikan
suatu hasil pencarian sumber daring yang ditemukan sebagai
otoritas absolut. Mereka harus dapat menyeleksi hasil pencarian
mana yang paling membantu dalam proses penerjemahan.
Untuk membantu permasalahan penggunaan sumber daring
yang kurang tepat seperti yang diutarakan oleh Hirci (2013),
Sofyan dan Tarigan (2017a) melakukan suatu penelitian dan
menemukan tiga masalah utama yang dihadapi oleh penerjemah
(yaitu idiom, kolokasi, dan tata bahasa) dalam proses penerjemahan
dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Temuan ini senada
dengan Arnold, Balkan, Meijer, Humphreys, dan Sadler (1994:
105) yang menyebutkan bahwa tiga masalah utama dalam proses
penerjemahan adalah (i) masalah makna ganda, (ii) masalah yang
muncul akibat perbedaan kata dan tata bahasa di antara kedua
bahasa, dan (iii) masalah idiom dan kolokasi. Dengan berhasilnya
mengidentifikasi masalah dalam proses penerjemahan, maka
diharapkan penggunaan sumber daring dalam proses penerjemahan
menjadi tepat arah.
Berdasarkan hasil temuan mereka, Sofyan dan Tarigan
(2017a) mengusulkan bagaimana cara pemanfaatan sumber daring
untuk ketiga masalah tersebut seperti yang dirangkum dalam Tabel
3.2.

60 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Table 3.2 Situs web sebagai sumber daring
Situs web yang digunakan untuk memecahkan masalah
penerjemahan yang berhubungan dengan
Terminologi
Tata Bahasa
Idiom Kolokasi
Google Terjemahan Google Terjemahan Harian Kompas
Kamus Lengkap Persamaan Kata VOA
Online dictionary.com Info Komputer,
Urban dictionary Merriam-Webster begawei.com
dictionary.com Badan Kamus KBBI
Merriam-Webster Pengembangan dan Kajian Pustaka
Wikipedia Pembinaan Bahasa Badan
TheFreeDictionary Kata Baku Pengembangan dan
Sinonim Kata dictionary.com Pembinaan Bahasa
Persamaan Kata Gema Nusantara
kamus idiom Kajian Pustaka

Informasi yang terdapat pada Tabel 3.2 menunjukkan


bahwa sumber daring dapat sepenuhnya digunakan sebagai bantuan
dalam menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapi selama
proses penerjemahan. Situs Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, sebagai contoh, menyediakan sumber referensi yang dapat
membantu pemecahan masalah yang berkaitan dengan kolokasi dan
tata bahasa karena situs tersebut memuat berbagai konten seperti
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, struktur bahasa
Indonesia, dan artikel-artikel yang menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Selanjutnya, Sinonim Kata, Persamaan Kata,
dan kamus idiom merupakan situs web yang sangat bermanfaat
dalam penyelesaian masalah idiom dalam penerjemahan dari
bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Situs-situs web yang
dituliskan pada Tabel 3.2 semuanya bersifat free access (dapat
diakses dengan bebas oleh siapapun).

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 61


3.6 Penggunaan Instrumen dalam Penelitian Penerjemahan
yang Berorientasi pada Proses
Dalam melakukan penelitian di bidang kajian yang
berorientasi pada proses, berbagai jenis instrumen baik yang
bersifat luring maupun daring dapat digunakan. Dalam buku ini,
tiga jenis instrumen diperkenalkan, yaitu Think Aloud Protocol
(TAP), Translog, dan Camtasia Studio.

3.6.1 Think Aloud Protocol (TAP)


Think Aloud Protocol (TAP) dalam proses penerjemahan
merupakan suatu teknik pengumpulan data yang menuntut
partisipan penelitian untuk memverbalisasi proses penerjemahan
yang terjadi di dalam otak mereka. Proses verbalisasi ini direkam,
selanjutnya hasil rekaman tersebut ditranskripkan, dan hasil
transkrip rekaman verbalisasi proses penerjemahan yang dilakukan
partisipan penelitian inilah yang dikenal dengan TAP. Dengan kata
lain, TAP membutuhkan alat perekam yang kompatibel. Pada
proses transkripsi, semua bentuk verbal yang dihasilkan oleh
partisipan penelitian harus dicatat, meskipun bentuk verbal tersebut
berbentuk filler (pengisi jeda, seperti ehmm… ah…, dll.). Hal ini
bermanfaat dalam penentuan lancar tidaknya proses penerjemahan
yang dilakukan oleh partisipan penelitian.
Penggunaan TAP dalam penelitian di bidang kajian
terjemahan dipicu oleh fakta bahwa penerjemahan pada dasarnya
merupakan proses pemecahan masalah (Bernardini, 2001: 244).
Beberapa hasil penelitian telah membuktikan bahwa TAP
memberikan kerangka kerja yang sangat menjanjikan untuk
mempelajari aspek kognitif tertentu yang terlibat dalam proses
penerjemahan. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian-
penelitian dalam bidang kajian terjemahan menghasilkan berbagai
pengetahuan yang sangat penting terkait dengan faktor-faktor
kognitif dan afektif yang terlibat dalam proses penerjemahan (lihat
Bernardini, 2001; Sofyan, 2016; Rosa, 2017).
Penggunaan TAP dalam pengumpulan data penelitian di
bidang penerjemahan berbasis proses dapat menjelaskan secara

62 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


rinci masalah-masalah yang dihadapi penerjemah ketika
melakukakan proses penerjemahan dan strategi-strategi atau teknik-
teknik yang digunakan dalam memecahkan masalah-masalah
tersebut. Di samping itu, TAP juga dapat menelusuri apakah
“waktu diam sejenak” yang dilakukan oleh penerjemah tergolong
kepada jeda (indikator proses kognitif) atau ketidaklancaran dalam
menerjemahkan.

3.6.2 Translog
Berbeda dengan TAP, Translog merupakan perangkat lunak
komputer yang dapat digunakan tanpa koneksi Internet (luring).
Translog merupakan alat keylogging yang digunakan untuk
merekam kegiatan pengetikan yang dilakukan oleh penerjemah
pada proses penerjemahan. Secara spesifik, program yang
dikembangkan oleh Jakobsen and Schou (1999) ini digunakan
untuk memperoleh data digital objektif proses penerjemahan.
Translog dapat merekam durasi jeda, koreksi atas kesalahan
penerjemahan pada draf awal, dan waktu yang digunakan dalam
penyelesaian proses penerjemahan.
Translog itu sendiri telah dikembangkan dengan fungsi
yang lebih canggih. Saat ini, ada dua versi Translog, dan yang
terbaru adalah versi Translog-II yang terdiri dari dua komponen
utama: Translog-II Supervisor dan Translog-II User. Dua
komponen ini tidak dijumpai pada versi Translog sebelumnya,
yaitu Translog 2000 dan Translog 2006. Translog-II Supervisor
digunakan untuk membuat file proyek (proses penerjemahan) dan
memainkan hasil proses penerjemahan yang direkam tersebut.
Translog-II User digunakan untuk pengumpulan data proses
penerjemahan yang dilakukan oleh partisipan penelitian.
Penggunaan Translog dalam pengumpulan data dapat
dikombinasikan dengan alat pengumpul lainnya, seperti TAP yang
telah dijelaskan pada sub-bab 3.6.1. Dengan demikian, selama
proses pengumpulan data dengan menggunakan Translog,
partisipan penelitian dapat berbicara untuk keperluan proses
verbalisasi proses penelitian karena Translog hanya dapat merekam

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 63


proses pengetikan terjemahan. Meskipun penggunaan Translog
dapat dilakukan tanpa koneksi Internet, namun disarankan selama
proses pengumpulan data, seluruh komputer yang digunakan oleh
partisipan penelitian terkoneksi ke Internet. Hal ini dimaksudkan
agar data proses penerjemahan yang dikumpulkan mengikuti
perkembangan teknologi di mana Internet berperan sangat penting
dalam proses penerjemahan. Gambar 3.1 berikut ini menampilkan
hasil rekaman proses penerjemahan dengan menggunakan
Translog.

Gambar 3.1 Tampilan hasil rekaman Translog

Berdasarkan hasil rekaman Translog pada Gambar 3.1,


penerjemah tidak melakukan proses penerjemahan yang umum
dilakukan. Dalam menerjemahkan teks, dia tidak memulainya
dengan tahap pre-drafting yang biasanya berisikan kegiatan
membaca dan memahami TSu. Hal ini dapat dibuktikan dari
rekaman Translog yang menunjukkan bahwa dia hanya
menghabiskan waktu 46 detik (34 detik + 12 detik) sebelum mulai
menulis draf terjemahan. Waktu yang digunakan hanya selama 46
detik tentu saja tidak cukup untuk membaca TSu dan
memahaminya. Selanjutnya, dia langsung masuk ke tahap drafting.
Sebelum selesai menulis keseluruhan draf terjemahannya, dia juga
64 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
melakukan swa-koreksi yang merupakan bagian kegiatan pada
tahap post-editing. Dengan demikian, penerjemah melakukan
proses penerjemahan secara zig-zag. Hal ini membuktikan bahwa
dia tidak melewati tahap-tahap penerjemahan secara linier.
Berdasarkan contoh yang disajikan pada Gambar 3.1, hal ini
meyakinkan kita bahwa Translog merupakan instrumen yang
sangat membantu dalam mengumpulkan data proses penerjemahan
secara objektif. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa hal
yang berkenaan dengan proses penerjemahan yang tidak dapat
direkam oleh Translog. Oleh karena itu, dalam pengumpulan data
dengan menggunakan Translog, peneliti juga harus
menggabungkannya dengan metode pengumpulan lainnya seperti
TAP dan Camtasia Studio (yang akan dibahas pada sub-judul
berikutnya).

3.6.3 Camtasia Studio


Camtasia Studio merupakan alat perekam monitor komputer
dalam bentuk perangkat lunak yang dipasangkan ke komputer dan
dapat digunakan tanpa koneksi internet (luring). Camtasia dapat
digunakan untuk melacak seluruh kegiatan penggunaan komputer
yang dilakukan oleh penerjemah selama proses penerjemahan baik
kegiatan yang bersifat luring maupun daring.
Hasil rekaman Camtasia berupa video profesional yang
dapat ditonton layaknya video-video rekaman lainnya. Hasil video
rekaman tersebut diputar ulang untuk melihat secara rinci
keseluruhan proses penerjemahan yang dilakukan. Peneliti dapat
memotong video rekaman tersebut berdasarkan kebutuhan analisis
data. Seperti yang dinyatakan sebelumnya Translog hanya dapat
merekam kegiatan pengetikan. Dengan demikian, jika peneliti ingin
mengetahui apa yang dilakukan oleh penerjemah ketika tidak
melakukan pengetikan, maka peneliti dapat melihat hal tersebut
melalui bantuan Camtasia Studio. Gambar 3.2 berikut ini
merupakan contoh potongan video hasil rekaman Camtasia Studio.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 65


Gambar 3.2 Kegiatan salin-rekat oleh penerjemah

Seperti yang tampak pada Gambar 3.2, penerjemah sedang


mengakses Internet dan masuk ke situs Google Terjemahan
(https://translate.google.co.id/). Selanjutnya, dia menyalin kalimat
judul pada TSu ‘Samsung Planning to Sell Refurbished
Smartphones” dan merekatkannya pada lembaran yang tersedia di
kolom BSu pada Google Terjemahan. Setelah itu, hasil terjemahan
Google Terjemahan disalin dan direkatkannya pada lembaran kerja
Translog di mana dia melakukan proses penerjemahan.
Berdasarkan penjelasan tentang penggunaan ketiga
instrumen yang dibahas di atas, maka ketiga instrumen tersebut
dapat digunakan sekaligus dalam pengumpulan suatu data proses
penelitian. Masing-masing instrumen tersebut memiliki keunggulan
dan kelemahan. Oleh karena itu, menggabungkan ketiganya
memungkinkan seorang peneliti mendapatkan data proses
penerjemahan yang benar-benar objektif.

3.7 Kesimpulan
Kajian terjemahan yang berorientasi pada proses
mempelajari proses penerjemahan yang sebenarnya terjadi di dalam
pikiran penerjemah, atau apa yang terjadi di dalam “kotak hitam”

66 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


penerjemah. Kajian ini menelusuri proses yang terjadi pada setiap
tahap penerjemahan – pra penerjemahan, penerjemahan dan
pascapenerjemahan – yang dilalui oleh penerjemah. Secara umum,
proses penerjemahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu proses
kognitif, metakognitif, dan sosial-afektif. Ketiga proses ini terjadi
pada setiap proses penerjemahan yang frekuensi keterlibatannya
berbeda-beda tergantung kepada si penerjemah itu sendiri.
Terdapat beberapa hal yang dapat diamati sekaligus menjadi
topik dalam penelitian penerjemahan yang berorientasi pada proses,
di antaranya waktu dan pause (jeda) dalam proses penerjemahan,
swa-koreksi, dan pemanfaatan sumber eksternal. Untuk
memperoleh data yang berkenaan dengan proses penerjemahan
tersebut, beberapa instrumen pengumpulan data dapat digunakan,
yaitu Think Aloud Protocol (TAP), Translog (alat keylogging), dan
Camtasia Studio (alat perekam monitor komputer). Di samping itu,
kuesioner dan wawancara juga dapat digunakan dalam
pengumpulan data. Penggunaan instrumen-instrumen ini
memungkinkan peneliti untuk melakukan triangulasi data agar
mendapatkan data yang representatif.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 67


68 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
BAB 4
PENERJEMAHAN DAN LINGUISTIK
FUNGSIONAL SISTEMIK

4.1 Penerjemahan dan Linguistik


Dalam perkembangan kajian terjemahan, menurut Hatim
(2001) dan Manfredi (2014), ada keterkaitan antara teori dan
praktik karena praktik penerjemahan tanpa latar belakang teoretis
cenderung ke arah latihan penerjemahan yang murni bersifat
subjektif, dan teori penerjemahan tanpa kaitan dengan praktik
hanyalah sebuah abstraksi. Keterkaitan antara teori dan praktik
dalam penerjemahan seperti ini merupakan salah satu kontribusi
utama Halliday untuk linguistik, yaitu keinginannya untuk
membangun jembatan antara teori linguistik dan praktik
profesional, termasuk dalam kajian terjemahan. Ketika berhadapan
dengan terjemahan, sangat diyakini bahwa kebutuhan
“menjembatani” tersebut bahkan lebih kuat, dan kemahiran dalam
dua bahasa, bahasa sumber (BSu) dan bahasa sasaran (BSa), jelas
tidak cukup untuk membuat seeorang menjadi penerjemah yang
andal. Hal ini juga diperkuat oleh kenyataan bahwa tidak semua
orang yang mahir dalam dua bahasa mampu menerjemahkan
dengan baik.
Penerapan teori lingustik dalam penerjemahan didasari fakta
bahwa penerjemahan melibatkan penggunaan bahasa, dan
linguistik merupakan kajian ilmiah tentang bahasa. Di samping itu,
Fawcett (2003) menegaskan bahwa banyak hal dalam
penerjemahan yang hanya dapat dijelaskan dengan menggunakan
teori linguistik. Dengan kata lain, seorang penerjemah yang tidak
memiliki pengetahuan linguistik yang baik diibaratkan bagaikan
seseorang yang bekerja tanpa peralatan yang lengkap. Sebelumnya,

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 69


dalam bukunya yang berjudul “A Linguistic Theory of
Translation”, Catford (1965: 1) menyatakan bahwa apapun teori
yang digunakan dalam penerjemahan harus berdasarkan teori
bahasa, yaitu teori linguistik umum.
Meskipun keterkaitan antara penerjemahan dengan
linguistik sangat jelas, namun ketegangan antara apakah teori
linguistik merupakan teori yang tepat untuk digunakan dalam
penerjemahan terus berlanjut. Hal ini diuangkapkan oleh Bell
(1989: xv) yang mengklaim bahwa ilmuwan di bidang kajian
terjemahan dan bidang linguistik masih bekerja sendiri-sendiri.
Demikian juga halnya dengan Pergnier (1993: 9) yang menyatakan
bahwa meskipun linguistik terus berkembang ke arah yang
membuatnya semakin relevan sebagai teori yang dapat
menyelesaikan masalah penerjemahan, masih ada juga para
ilmuwan penerjemahan yang ingin membebaskan kajian
terjemahan sepenuhnya dari kekuasaan linguistik. Bahkan Lederer
(1994: 87) meyakini bahwa masih banyak orang yang menolak
penerapan teori linguistik dalam kajian terjemahan.
Pertentangan ini menjadi hambatan sekaligus tantangan bagi
para linguis untuk meyakinkan semua orang bahwa teori linguistik
merupakan teori yang sangat relevan dalam mengatasi masalah
penerjemahan. Meskipun linguistik cukup jelas menawarkan solusi
pada kajian terjemahan, namun pada saat bersamaan, perlu dibuat
batasan disiplin ilmu yang jelas antara linguistik dan kajian
terjemahan. Pembatasan itu dapat berupa apakah kajian terjemahan
merupakan kegiatan yang sepenuhnya bersifat linguistik, atau
apakah kajian terjemahan ingin menggunakan teori linguistik
sebagai resep yang memberikan solusi siap pakai atas masalah
penerjemahan tertentu daripada menggunakan cara lain yang
bersifat nonlinguistik sebagai teknik pemecahan masalah umum
dari masalah penerjemahan tertentu.
Pembatasan yang disebutkan di atas dijelaskan lebih lanjut
oleh Fawcett (2003: 2) yang mengklaim bahwa hubungan linguistik
dengan kajian terjemahan diibaratkan seperti dua buah lipatan, di
mana salah satunya merupakan penerapan temuan-temuan dalam

70 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


penelitian linguistik pada praktik penerjemahan sehingga
menghasilkan teori linguistik penerjemahan, dan satu lipatan
lainnya merupakan penerapan temuan-temuan dalam penelitian
linguistik akan teori penerjemahan. Pembatasan komprehensif yang
diusulkan oleh Fawcett tersebut menegaskan pentingnya
keterlibatan teori linguistik dalam kajian terjemahan. Meskipun
demikian, satu hal yang sangat perlu dipertimbangkan adalah teori
linguistik yang digunakan harus benar-benar tepat sasaran, dalam
arti dapat memainkan perannya sebagai “pemberi solusi” pada
setiap masalah yang dihadapi penerjemah ketika melakukan
tugasnya.

4.2 Penerapan Teori LFS dalam Penerjemahan


Di tengah upaya menghasilkan teks terjemahan yang tidak
kaku (alami), justru sering timbul masalah yang berkenaan dengan
ketidakakuratan hasil terjemahan. Penambahan, pengurangan,
ataupun transposisi elemen bahasa merupakan hal yang lumrah
dilakukan dalam penerjemahan sepanjang tidak mengubah makna
yang terdapat dalam TSu. Oleh karena itu, segala bentuk
modifikasi yang dilakukan harus didasari oleh suatu pendekatan
atau referensi yang tepat. Tidak dapat disangkal bahwa pendekatan
linguistik berperan sangat penting dalam penerjemahan karena
penerjemahan merupakan praktik penggunaan bahasa dan linguistik
merupakan ilmu yang mempelajari bahasa secara sistematis.
Meskipun demikian, seorang penerjemah harus mampu memilih
teori linguistik yang tepat untuk digunakan dalam proses
penerjemahan. Salah satu teori linguistik yang sangat berkontribusi
dalam penerjemahan adalah linguistik fungsional sistemik (LFS)
karena LFS memusatkan kajiannya pada makna dan fungsi bahasa
dan menjadikan tata bahasa sebagai sumber pembuatan makna
(Hatim, 2001: 10).
Hubungan LFS dengan penerjemahan sebelumnya juga
telah disampaikan oleh Halliday (1992: 15) yang mengatakan
bahwa penerjemahan merupakan kegiatan pembuatan makna, dan
suatu kegiatan tidak akan disebut sebagai penerjemahan jika tidak

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 71


berhubungan dengan pembuatan makna. Setiap elemen bahasa
dalam penerjemahan mewakili makna yang berbeda-beda yang
berhubungan dengan fungsi bahasa, dan LFS merupakan teori
linguistik yang mengakomodir makna dan fungsi bahasa. Pada
tahun-tahun berikutnya, bermunculan berbagai penelitian-
penelitian di bidang penerjemahan yang menggunakan teori LFS
seperti Steiner (1998; 2004), Steiner dan Yallop (2001), Kim
(2007; 2009), Manfredi (2008; 2011; 2014), Rosa (2017; 2019),
dan Rosa, Sinar, Ibrahim-Bell, dan Setia (2017).
Makna dalam teori LFS direalisasikan ke dalam metafungsi
bahasa yang meliputi makna ideasional, antarpersona, dan tekstual
(Halliday & Matthiessen, 2004: 24). Seorang penerjemah harus
mampu memahami ketiga jenis makna tersebut dan
menyampaikannya kembali dalam bahasa yang berbeda (Manfredi,
2011: 51). Pilihan makna tersebut berdasarkan teori metafungsi
bahasa dalam LFS dapat dilihat pada Gambar 4.1.

MAKNA

Ideasional
Antarpersona Tekstual
(Eksperiensial dan Logis)

Gambar 4.1 Metafungsi bahasa (Halliday, 1994:36)

Ketiga makna yang merupakan turunan dari metafungsi


bahasa tersebut bekerja secara bersamaan dalam membangun suatu
TSa. Setiap jenis metafungsi bahasa direalisasikan dalam bentuk
leksikogramatika (sistem penggunaan kata) yang berbeda dan
digunakan oleh variabel tertentu dari konteks seperti yang disajikan
pada Tabel 4.1.

72 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Tabel 4.1 Variabel register, realisasi metafungsi, dan
leksikogramatika (Halliday, 1994)

LEKSIKOGRAMATIKA
SEMANTIK
KONTEKS (SISTEM PENGGUNAAN
(MAKNA)
KATA)
Field Ideasional: Transitivitas
- Eksperiensial Taksis; hubungan logis-
- Logis semantis
Tenor Antarpersona Modus
Modalitas
Sistem Appraisal
Mode Tekstual Struktur Tematis
Kohesi

Berdasarkan penjelasan di atas, makna ideasional – baik


yang digunakan untuk menyatakan makna eksperiensial
(pengalaman) maupun untuk menunjukkan hubungan logis antara
pengalaman tersebut – dipicu oleh field, yang menyangkut aktivitas
wacana dan direalisasikan dalam leksikogramatika dengan sistem
transitivitas (Partisipan, Proses, dan Sirkumstan) dan sistem taksis
dalam hubungan logis-semantis. Sementara itu, makna
antarpersona dipicu oleh variabel tenor dan direalisasikan dalam
leksikogramatika dengan sistem modus, modalitas, dan appraisal.
Sedangkan makna tekstual dipicu oleh modus wacana dan
direalisasikan dengan struktur perangkat kohesif, seperti struktur
tematis dan non-tematis, dan kohesi. Penjelasan masing-masing
makna metafungsi bahasa tersebut dijelaskan berikut ini.

4.2.1 Makna Ideasional


Halliday dan Matthiessen (2004: 30) menggunakan istilah
“menguraikan pengalaman” untuk menggambarkan makna
metafungsi ideasional karena metafungsi ideasional menguraikan
fenomena yang nyata di dunia dengan penekanan pada aspek
‘konstruksi’ dari kegiatan menguraikan pengalaman tersebut, yaitu

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 73


penciptaan struktur bahasa dalam menguraikan pengalaman.
Metafungsi ideasional merupakan sumber referensi gramatikal pada
tingkat klausa untuk menguraikan pengalaman melalui sistem
transitivitas. Oleh karena itu, transitivitas berkaitan dengan
penyampaian gagasan, yaitu merepresentasikan proses atau
pengalaman termasuk tindakan, peristiwa, dan keterhubungan
(Halliday, 1985: 53). Dengan memeriksa pola transitivitas dalam
teks, kita dapat menjelaskan bagaimana field situasi sedang
dikonstruksi, yaitu kita dapat menggambarkan apa yang sedang
dibicarakan dan bagaimana pergeseran dalam situasi itu dicapai
(Alaei & Ahangari, 2016: 203).
Setiap teks, termasuk teks terjemahan, tentu mengandung
makna ideasional yang diwujudkan melalui unsur transitivitas:
proses, partisipan, dan sirkumstan. Proses adalah unsur inti dalam
sistem transitivitas (Gerot & Wignell, 1994: 54) karena tanpa
kehadirannya tidak akan pernah ada klausa. Proses mengacu pada
verba semantik dan segala sesuatu yang diungkapkan melalui verba
tersebut seperti peristiwa, hubungan, fisik, mental, atau keadaan
emosi (Halliday, 1976: 159) . Ketika dimasukkan ke dalam sistem
semantik klausa, proses diklasifikasikan ke dalam enam jenis, yaitu
proses material, relasional, mental, verbal, behavioral, dan
eksistensial (Halliday, 1985: 53; Gerot &Wignell, 1994: 54).
Karena peran sentralnya dalam klausa, maka setiap jenis
proses menentukan jenis partisipannya secara eksklusif; dengan
kata lain, partisipan diikat oleh proses. Partisipan itu sendiri
direalisasikan oleh kelompok nomina. Proses material umumnya
mengikat dua partisipan yang disebut dengan aktor (Partisipan I)
dan gol (Partisipan II). Selain itu, diperlukan juga beberapa
partisipan tambahan lainnya, yaitu klien (untuk siapa/apa tindakan
dilakukan) dan resipien (penerima tindakan). Proses mental
mengikat dua partisipan: senser (Partisipan I) dan fenomena
(Partisipan II). Proses relasional yang menyatakan suatu keadaan
yang meliputi identifikasi, atributif, dan kepemilikan mengikat
partisipan yang berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Proses
identifikasi menggunakan token sebagai Partisipan I dan value

74 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


sebagai Partisipan II, proses atributif menggunakan karir
(Partisipan I) dan atributif (Partisipan II), sementara proses
kepemilikan menggunakan possessor dan possessed sebagai
Partisipan I dan Partisipan II.
Selain tiga proses utama yang diuraikan dalam paragraf
sebelumnya, proses verbal menggunakan penutur (Partisipan I)
dan lawan tutur (Partisipan II). Ada satu partisipan lain (Partisipan
III) yaitu tuturan (apa yang dikatakan oleh pembicara). Sementara
itu, proses behavioral umumnya hanya menggunakan satu
partisipan (pelaku); tetapi ada kemungkinan untuk menggunakan
satu partisipan lagi (perilaku). Selanjutnya, proses eksistensial
melibatkan konstruksi eksistensial yang diperkenalkan dengan
penggunaan “empty there” atau kata “there” yang tidak merujuk ke
tempat manapun yang terletak di awal klausa.
Unsur transitivitas lainnya, sirkumstan, digunakan untuk
menjawab pertanyaan seperti “kapan”, “di mana”, “mengapa”,
“bagaimana”, dll. Secara spesifik, sirkumstan dapat dibagi menjadi
7 kategori, yaitu sirkumstan waktu, tempat, cara, penyebab,
pengiring, materi, dan peran (Gerot & Wignell, 1994: 52-53).
Berdasarkan kategori tersebut, dapat dipahami bahwa sirkumstan
direalisasikan dalam kelompok adverbia.
Pada penerjemahan, jenis proses tersebut dapat berbeda
tergantung kepada bagaimana proses tersebut merepresentasikan
suatu peristiwa menurut budaya BSa. Perhatikan klausa pada (1)
berikut ini.
(1) He thought, “I will visit Italy next week”.
Analisis metafungsi ideasional klausa pada (1) dapat dilihat
pada (1a).
(1a) He thought
Senser Proses: Mental

“I will visit Italy next week”


Aktor Proses: Material Gol Sirk: Waktu

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 75


Klausa pada (1) merupakan klausa kompleks yang terdiri
atas dua klausa yang dijabarkan dan dianalisis menurut sistem
transitivitasnya pada (1a). Makna ideasional klausa pertama pada
(1a) direpresentasikan oleh verba thought yang mengikat satu
partisipan. Karena thought merepresentasikan proses mental, maka
partisipan yang diikatnya berperan secara semantis sebagai senser.
Sementara itu, makna ideasional klausa kedua direpresentasikan
oleh proses material will visit yang mengikat dua partisipan,
masing-masing I (Aktor) dan Italy (Gol). Satu unsur transitivitas
lainnya adalah sirkumstan waktu next week yang menerangkan
kapan proses “visit” dikerjakan.
Selanjutnya, perhatikan hasil terjemahan klausa (1) pada
(2).
(2) TSu : He thought, “I will visit Italy next week”.
TSa : Laki-laki itu berkata dalam hati, “Aku akan
pergi ke Italia minggu depan
Seperti yang tampak pada TSa (2), proses mental thought
bergeser perannya secara semantis menjadi proses verbal “berkata
dalam hati”. Pergeseran ini disebabkan oleh budaya BSa yang tidak
menggunakan padanan literal proses mental thought (yaitu
‘berpikir’) dalam konteks projeksi parataksis. Selanjutnya,
pergeseran jenis proses ini (dari mental menjadi verbal) juga
mengakibatkan pergeseran jenis partisipan yang diikatnya, yaitu he
(senser) berubah menjadi laki-laki itu (penutur). Partisipan he yang
secara literal sepadan dengan kata ‘dia’ dalam BSa, harus
dipertegas dengan mempertimbangkan kaidah tata bahasa yang
berlaku pada BSa. Dalam BSa, pronomina tidak
mempertimbangkan gender, sehingga ‘dia’ dapat merujuk kepada
entitas laki-laki dan perempuan. Karena he merupakan pronomina
orang ketiga tunggal laki-laki tertentu, maka padanan yang tepat
untuk he adalah ‘laki-laki itu’. Analisis TSa pada (2) dapat dilihat
pada (2a).
(2a) Laki-laki itu berkata dalam hati
Penutur Proses: Verbal

76 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


“Aku akan pergi ke Italia minggu depan”
Aktor Proses: Sirk: Sirk: Waktu
Material Tempat

Pada klausa kedua, pergeseran sistem transitivitas juga


terjadi di mana ‘ke Italia’ yang merupakan padanan kata ‘Italy’
dalam TSu tidak lagi diikat oleh proses ‘akan pergi’ yang
merupakan padanan frasa TSu ‘will visit’. Secara spesifik,
perubahan yang terjadi adalah dari partisipan menjadi sirkumstan.
Pada TSa, frasa adverbia ‘ke Italia’ berfungsi sebagai sirkumstan
tempat yang menerangkan “ke mana” partisipan ‘aku’ akan pergi.
Dengan demikian, pergeseran unsur transitivitas sangat ditentukan
oleh bagaimana unsur transitivitas tersebut berperan dan berfungsi
dalam tata bahasa BSa. Contoh penerjemahan pada (1) dan (2) di
atas juga mempertegas pentingnya peran makna ideasional dalam
penerjemahan.

4.2.2 Makna Antarpersona


Metafungsi antarpersona adalah modus interaksional bahasa
yang merepresentasikan makna yang berorientasi pada penutur dan
penerima (Halliday, 2002: 175). Metafungsi antarpersona melihat
bahasa sebagai “sumber untuk memainkan peran dan hubungan
antara pembicara dan lawan bicara sebagai makna” (Matthiessen,
Teruya, & Lam, 2010: 126). Dengan demikian, makna antarpersona
dapat diartikan sebagai makna yang dihasilkan oleh peran dan
hubungan antara pembicara dan lawan bicara.
Dalam metafungsi antarpersona, modus dan modalitas
adalah sistem utama. Dalam sistem modus, semua klausa utama
(mayor) dapat membuat pilihan modusnya sendiri dalam
menunjukkan fungsinya. Jaringan sistem modus pada klausa utama
disajikan pada Gambar 4.2.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 77


Gambar 4.2 Jaringan sistem modus
(Halliday & Matthiessen, 2014: 24)

Seperti yang tampak pada Gambar 4.2, klausa utama dapat


memilih antara menjadi klausa indikatif atau imperatif. Jika klausa
utama bersifat indikatif, maka klausa tersebut dapat bersifat
deklaratif atau interogatif. Jika bersifat deklaratif, klausa akan
dibentuk dengan struktur Subjek^Finit. Jika bersifat interogatif,
maka klausa dapat berupa klausa interogatif dengan atau tanpa kata
tanya. Dalam klausa interogatif tanpa kata tanya (yes/no
interrogative), struktur modus klausa tersebut adalah Finit^Subjek,
sedangkan dalam klausa interogatif dengan kata tanya (WH-
interrogative), struktur modus klausa tersebut adalah Kata
Tanya^Finit.
Di samping itu, Gambar 4.2 juga menunjukkan bahwa unsur
modus terdiri atas subjek dan finit. ‘Subjek’ adalah elemen dasar
sebuah klausa yang tidak dapat dinegosiasikan, sedangkan ‘finit’
membuat klausa tersebut dapat dinegosiasikan apakah menjadi
klausa positif atau negatif berdasarkan polaritas yang dapat didasari
oleh waktu dan/atau modalitas (Martin, Matthiessen, & Painter,
2010: 61). Selain subjek dan finit, modus juga dapat terdiri atas
modal ajung (adjunct) yang menambahkan makna dan berkaitan
dengan elemen modus termasuk polaritas dan modalitas,
temporalitas dan intensitas. Sementara itu, unsur klausa lainnya

78 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


(selain unsur modus) dalam metafungsi antarpersona merupakan
residu yang terdiri atas predikator dan/ atau komplemen dan/atau
ajung.
Dalam penerjemahan, suatu unsur modus pada TSu dapat
diterjemahkan ke dalam unsur modus yang berbeda pada TSa yang
disebabkan oleh perbedaan karakteristik leksikogramatika BSu dan
BSa. Ma dan Wang (2016: 39) menemukan bahwa modal could
dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan ke dalam berbagai jenis
modalitas dalam bahasa Mandarin, yaitu kemungkinan,
kecenderungan, kewajiban, dan kebiasaan. Ini berarti bahwa, dalam
penerjemahan, selalu ada kemungkinan untuk mengubah sistem
modus klausa. Contoh lainnya dapat dilihat pada (3).

(3) TSu : Will you join the event?


Finit Subjek Predikator Komplemen
Modus Residu

TSa : Apakah kamu akan mengikuti even tersebut?


Kata Subjek Finit Predikator Komplemen
Tanya
Modus Residu

Penerjemahan pada (3) menunjukkan sistem modus yang


berbeda antara TSu dan TSa. TSu dibentuk berdasarkan sistem
modus interogatif yang berlaku pada BSu, yaitu Finit^Subjek.
Akan tetapi, pada sistem modus interogatif yang berlaku pada BSa,
Subjek selalu mendahului Finit (Subjek^Finit), dan semua klausa
dengan modus interogatif harus menggunakan kata tanya, baik
dalam bentuk interogatif yang membutuhkan jawaban iya/tidak
maupun yang membutuhkan jawaban berupa informasi. Dengan
demikian, sistem modus interogatif TSa pada (3) adalah “Kata
Tanya^Subjek^Finit”. Dalam BSa, tidak semua klausa
menggunakan finit, dan finit dalam BSa identik dengan peran
“aspek”. Perhatikan terjemahan pada (4).

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 79


(4) TSu : Andi told the truth
Subjek Finit Predikator Komplemen
Modus Residu
TSa : Andi mengatakanhal yang sebenarnya
Subjek Predikator Komplemen
Modus Residu

Terjemahan pada (4) menunjukkan bahwa perbedaan sistem


modus pada TSu dan TSa disebabkan oleh pengaruh sistem modus
yang berlaku pada BSu dan BSa. Modus TSa yang terdiri dari
Subjek^Finit yang menandakan klausa deklaratif berubah menjadi
Subjek saja pada BSa. Kehadiran finit pada BSu dipicu oleh
pemberlakuan sistem kala (tenses), sementara dalam BSa, sistem
kala tidak diterapkan.

4.2.3 Makna Tekstual


Perhatian utama dari metafungsi tekstual adalah
pembentukan teks, yaitu menghubungkan potongan-potongan
makna menjadi suatu aliran makna yang kohesif (Halliday, 2002:
175). Makna tekstual adalah makna yang terealisasi dari unsur-
unsur leksikogramatika yang menjadi media terwujudnya sebuah
teks yang runtut dan yang sesuai dengan situasi tertentu pada saat
bahasa itu dipakai dengan struktur yang bersifat periodik (Martin,
1992: 10-13). Makna tekstual diungkapkan dengan ketertautan
leksikal, referensi, akumulasi penataan tema-rema pada tingkat
klausa, hipertema pada paragraf, dan struktur teks. Dengan
demikian, makna tekstual mempersoalkan bagaimana sebuah teks
itu ditata dan dimediakan sehingga tercipta sebagaimana wujudnya
(Wiratno, 2010: 142).
Makna tekstual dalam klausa diwujudkan melalui tema dan
rema; dengan kata lain, tema dan rema adalah realisasi dari
bagaimana makna pengalaman, logis, dan antarpersona ditata.
Perbedaan penataan gagasan dalam klausa memengaruhi makna
tematisnya. Contohnya, klausa “Dina menyiram bunga itu” dan

80 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


“Bunga itu disiram oleh Dina” menunjukkan makna pengalaman
dan antarpersona yang sama; yaitu, keduanya menunjukkan bahwa
“Dina” adalah Aktor, “menyiram” adalah Proses Material, dan
“bunga itu” adalah Gol; namun kedua klausa tersebut memiliki
makna tematis yang berbeda karena menunjukkan perbedaan
tatanan unsur klausa. Contoh tersebut menunjukkan bahwa
perbedaan tatanan unsur klausa berkontribusi pada perbedaan fokus
utama klausa.
Secara metafungsi tekstual, setiap klausa hanya dibagi ke
dalam dua bagian. Bagian pertama klausa dikenal sebagai tema
seperti yang dikatakan Halliday (1985: 39) bahwa tema adalah titik
awal klausa sebagai penyampai pesan yang menginformasikan
tentang apa yang berlaku pada klausa tersebut. Di samping itu,
Martin, Matthiensen, dan Painter (1997: 21-22) mendefinisikan
tema sebagai titik awal klausa sebagai penyampai pesan yang
menempati posisi awal dalam klausa. Definisi tersebut
mengisyaratkan bahwa bagian pertama dari klausa memiliki faktor
yang paling berpengaruh terhadap keseluruhan isi pesan dalam
klausa. Menempatkan kata yang sama di posisi klausa yang
berbeda memengaruhi cara pembaca memahami pesan dalam
klausa tersebut.
Sementara itu, bagian akhir dari klausa disebut rema yang
didefinisikan Eggins (1994: 275) sebagai bagian dari klausa di
mana tema dikembangkan. Selanjutnya, Martin dkk. (1997: 21-22)
mengategorikan rema sebagai unsur-unsur klausa yang mengikuti
tema. Jika tema klausa dapat diidentifikasi, maka rema dapat
dengan mudah dikenali. Rema berisi informasi yang mengontrol
pengembangan tema.
Hal yang sangat perlu untuk dipahami adalah bahwa,
meskipun memiliki kesamaan dengan subjek klausa, tema tidak
sama dengan unsur subjek klausa yang pada umumnya
dikategorikan sebagai grup nomina; demikian juga halnya dengan
rema yang juga tidak dapat disamakan dengan unsur predikatif
klausa seperti yang disajikan pada Tabel 4.2.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 81


Tabel 4.2 Penentuan tema dan rema klausa
Tema Rema
A man runs very quickly
The plane arrives at 9 p.m.
At 9 p.m. the plane arrives
Very seriously he listened to the teacher’s explanation
What he has done makes everybody surprised

Dari contoh di atas, jelas terlihat bahwa tema tidak


selamanya harus dibentuk dari unsur nomina saja; begitu juga
sebaliknya, rema tidak harus berupa unsur predikatif saja. Dua
klausa pertama pada contoh di atas memang menampilkan subjek
(nomina) yang berfungsi sebagai tema, akan tetapi tiga klausa
berikutnya menunjukkan bahwa tema juga dapat berupa frasa
preposisi, frasa adverbia, maupun klausa. Ketiga klausa tersebut
juga menampilkan bagaimana rema suatu klausa memiliki bentuk
yang bervariasi.
Makna tekstual yang beroperasi pada tataran teks berperan
sangat penting dalam menghasilkan teks terjemahan yang baik.
Penerapan fungsi tekstual pada proses penerjemahan membantu
dalam menyusun pesan dalam TSa sehingga makna keseluruhan
yang terdapat dalam TSu dapat disampaikan seutuhnya. Di
samping itu, dengan memperhatikan fungsi tekstual, masalah
kekakuan dan ketidakakuratan dalam hasil terjemahan juga dapat
teratasi.
Menurut jenisnya, tema dapat dikelompokkan kepada tiga
kategori: tema topikal (ideasional), antarpersona, dan tekstual.
Tema ideasional, yang juga dikenal dengan tema topikal,
merupakan tema yang berisikan unsur-unsur transitivitas, yaitu
partisipan, proses, atau sirkumstan. Tema topikal merupakan tema
yang wajib ada pada setiap klausa, meskipun terkadang bersifat
implisit. Tema topikal implisit terjadi ketika dua klausa yang
berdekatan dibentuk oleh tema yang sama. Meskipun demikian,
tema topikal hanya dapat satu kali muncul pada setiap klausa.
Tema topikal juga dapat dibagi kepada tema ‘unmarked (tak

82 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


bermarkah)’ dan ‘marked (bermarkah)’. Tema tak bermarkah
merupakan tema yang lazim digunakan sebagai subjek klausa, yang
berisikan unsur partisipan. Tema bermarkah merupakan tema yang
tak lazim sebagai subjek klausa, yang berisikan unsur proses
ataupun sirkumstan.
Selanjutnya, tema antarpersona merupakan tema yang
memainkan peran interaksi sosial klausa. Tema antarpersona
dibentuk dari unsur-unsur seperti vokatif, modus ajung, finit, dan
kata tanya. Tidak seperti tema topikal, tema antarpersona tidak
wajib ada pada setiap klausa, dan kehadirannya akan membentuk
tema ganda (klausa yang terdiri dari minimal dua jenis tema). Di
samping itu, tema antarpersona dapat digunakan lebih dari satu kali
dalam suatu klausa, dan posisinya selalu mendahului tema topikal.
Berikutnya, tema tekstual adalah jenis tema
menghubungkan klausa dengan konteksnya. Tema tekstual dapat
berupa kontinuatif, konjungsi, dan pronomina relatif. Tema tekstual
selalu berada pada bagian pertama dari jenis tema lainnya, baik
tema antarpersona maupun tema topikal. Sesuai dengan fungsinya,
tema tekstual memperlihatkan hubungan logis antara klausa-klausa
pembentuk teks.

4.3 Pola Gerak Tema


Kontribusi yang sangat besar dari makna tekstual dalam
penerjemahan adalah menjaga kepaduan isi teks terjemahan
melalui pola gerak tema (lihat Rosa, 2019). Dasar pemikiran pola
gerak tema adalah usaha untuk mencapai komunikasi yang efektif;
di mana pembaca dapat dengan mudah memahami isi pesan yang
terdapat dalam suatu teks. Menurut jenis informasinya, tema
mengandung makna informasi using (informasi yang telah
disebutkan sebelumnya di dalam teks yang sama); sementara itu,
rema berisikan informasi baru (informasi yang sama sekali belum
disebutkan di dalam teks yang sama). Keseimbangan pergerakan
antara tema dan rema klausa merupakan suatu unsur yang sangat
penting dalam menjaga kepaduan isi suatu teks terjemahan. Danes
(1974) dan Eggins (1994) membagi pola gerak tema kepada tiga

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 83


jenis: (i) pola gerak linier, (ii) pola gerak konstan, dan (iii) pola
gerak tema dengan hipertema.

4.3.1 Pola gerak linier


Pola gerak linier disebut juga dengan pola gerak zig-zag, di
mana rema pada klausa pertama menjadi tema pada klausa
berikutnya. Pola gerak tema ini dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Klausa 1 Tema Rema


Klausa 2 Tema Rema
Klausa 3 Tema Rema

Gambar 4.3 Pola gerak tema linier

Berdasarkan Gambar 4.3, jelas terlihat bahwa rema dalam


suatu klausa menjadi tema pada klausa berikutnya. Perhatikan
terjemahan pada (5).
(5) TSu : Communication is a process of transmitting a
message. The message can be delivered
through oral or written expression. People can
communicate without limitation of distance
and time through writing.
TSa : Komunikasi merupakan proses penyampaian
pesan. Pesan tersebut dapat disampaikan
secara lisan maupun tulisan. Melalui tulisan,
orang dapat berkomunikasi tanpa batasan jarak
dan waktu.
Kata-kata yang digarisbawahi pada terjemahan (5)
merupakan unsur-unsur tema pada setiap klausa. Dari kesemua
tema tersebut, terdapat perbedaan unsur tema pada klausa ketiga.
Pada TSu, tema klausa people yang sepadan maknanya dengan kata
‘orang’ pada TSa tidak lagi berfungsi sebagai tema. Justru yang
menjadi tema klausa ketiga pada TSa adalah ‘melalui tulisan’ yang

84 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


merupakan padanan through writing yang menempati posisi rema
pada TSu. Pergeseran dari tema ke rema atau rema ke tema inilah
yang disebut Rosa (2019) sebagai pergeseran pola gerak tema.
Pergeseran ini memungkinkan seorang penerjemah untuk
menghasilkan suatu produk terjemahan yang alami, dalam arti kata
sesuai dengan gaya penulisan yang berlaku pada BSa. Di samping
itu, pergeseran tersebut juga menunjukkan usaha untuk
menghasilkan TSa yang lebih padu.
Usaha penerjemah untuk meningkatkan kepaduan isi TSu
pada (5) tampak dengan menggantikan ‘orang’ dengan ‘melalui
tulisan’ sebagai tema. Hal ini disebabkan kata ‘orang’ merupakan
informasi yang baru yang seharusnya diletakkan pada posisi rema.
Sementara itu ‘melalui tulisan’ merupakan informasi using karena
telah disebutkan pada klausa sebelumnya. Penerapan pergeseran
pola gerak tema ini tidak mengubah makna dalam TSa baik
penghilangan maupun penambahan makna TSu karena pergeseran
ini bertujuan untuk memperbaiki makna tekstual TSa.

4.3.2 Pola gerak tema konstan


Pola gerak tema konstan memunculkan tema klausa pertama
pada tema di klausa-klausa berikutnya. Pola gerak tema ini dapat
dilihat pada Gambar 4.4 di bawah ini:

Tema 1 + Rema 1;

Tema 2 (= Tema 1) + Rema 2;

Tema 3 (= Tema 1 = Tema 2) + Rema 3;
Gambar 4.4 Pola gerak tema konstan

Gambar 4.4 menunjukkan penggunaan tema pada klausa-


klausa lanjutan merupakan tema yang sama yang terdapat pada
klausa pertama. Perhatikan contoh penggunaannya pada terjemahan
seperti yang terdapat pada (6).
(6) TSu : Oprah Winfrey was born in Mississippi on
January 29, 1954. When she was 19 years old,
Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 85
she became the first African-American news
anchor on WTVF-TV in Nashville. She began
The Oprah Winfrey Show, one of the most
popular talk show in the United States. She got
remarkable success in this program. She
finally formed a company and (she) bought her
own show.
TSa : Oprah Winfrey lahir di Mississippi pada
tanggal 29 Januari 1954. Ketika dia berusia 19
tahun, dia menjadi orang Afrika-Amerika
pertama yang menjadi pembawa berita di
WTVF-TV di Nashville. Dia memulai The
Oprah Winfrey Show, salah satu acara
bincang-bincang paling populer di Amerika
Serikat. Dia meraih kesuksesan luar biasa
dalam program ini. Dia akhirnya mendirikan
perusahaan untuk membeli hak siar acaranya
itu sendiri.
Terjemahan pada (6) menunjukkan bagaimana TSu dan TSa
dibentuk dengan menerapkan pola gerak tema konstan. Pada TSu,
semua klausa yang terdapat setelah klausa pertama dibentuk oleh
tema yang sama dengan unsur tema klausa pertama, yaitu Oprah
Winfrey. Meskipun tema pada klausa-klausa tersebut adalah ‘she’,
namun berdasarkan konteks TSu, she merujuk kepada Oprah
Winfrey. Pola yang sama juga terdapat pada TSa, di mana kata ‘dia’
yang menjadi tema pada klausa-klausa setelah klausa pertama juga
merujuk kepada ‘Oprah Winfrey’ yang merupakan tema klausa
pertama. Perbedaan yang tampak dari TSu dan TSa adalah
pergeseran pola gerak tema melalui pengurangan jumlah tema.
Pada TSa, dua klausa terakhir yang terdapat pada TSu digabungkan
menjadi satu klausa yang mengakibatkan pengurangan jumlah
tema.

86 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


4.3.3 Pola gerak tema dengan hipertema
Jenis pola tema ini mengacu kepada suatu tema yang umum,
di mana tema-tema pada klausa berikutnya merupakan bagian-
bagian yang lebih khusus dari tema tersebut. Pola tema ini dapat
dilihat pada Gmabar 4.5 di bawah ini.

Tema 1 + Rima 1;

[Hipertema] → Tema 2 + Rima 2;

Tema 3 + Rima 3; …

Gambar 4.5 Pola gerak tema dengan hipertema

Gambar 4.5 menampilkan suatu tema yang superior


(hipertema) atau dengan kata lain, tema-tema yang terdapat di
klausa-klausa berikutnya merupakan bagian-bagian yang lebih
kecil dari hipertema tersebut. Perhatikan terjemahan yang terdapat
pada (7).
(7) TSu : Ecuador is situated on the equator in the
northwest of South America. The economy is
based on oil and agricultural products. More
oil is produced in Ecuador than any other
South American country except Venezuela.
Bananas, coffee, and cocoa are grown there.
The people are mostly of Indian origin.
Several Indian languages are spoken there.
The currency is called the Sucre.
TSa : Ekuador terletak di garis khatulistiwa di barat
laut Amerika Selatan. Perekonomian di
Ekuador didasarkan pada minyak bumi dan
hasil pertanian. Minyak bumi lebih banyak
dihasilkan di Ekuador daripada di Negara-
negara Amerika Latin lainnya kecuali
Venezuela. Pisang, kopi, dan kakao tumbuh di

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 87


sana. Penduduk Ekuador kebanyakan berasal
dari suku Indian sehingga beberapa bahasa
Indian digunakan di sana. Mata uang yang
berlaku di Ekuador adalah Sucre.
Kata-kata yang digarisbawahi pada terjemahan (7)
merupakan unsur-unsur tema pada setiap klausa pembentuk TSu
dan TSa. Tema klausa pertama pada TSa ‘Ekuador’ merupakan
padanan makna dari tema pertama pada TSu Ecuador. Tema ini
sekaligus menjadi hipertema pada TSu karena tema-tema pada
klausa-klausa selanjutnya merupakan bagian-bagian dari hipertema
tersebut. ‘The economy’, ‘more oil’, ‘Bananas, coffee, and cocoa’,
‘several Indian languages’, dan ‘The currency’ merupakan bagian-
bagian dari Ekuador. Contohnya, The economy merujuk kepada
perekonomian di Ekuador dan more oil juga merujuk kepada
minyak bumi yang terdapat di Ekuador meskipun kata Ekuador
tidak terdapat di dalam tema-tema tersebut secara eksplisit.
Sementara itu, karena BSa tidak mengenal adanya artikel tertentu
tertentu maupun tidak tertentu (definite and indefinite article),
maka kata Ekuador juga dituliskan secara eksplisit sebagai bagian
dari tema. Contohnya, tema TSu The economy dipadankan
maknanya dengan ‘Perekonomian di Ekuador’, The people
dipadankan maknanya dengan ‘Penduduk Ekuador’, dan The
currency dipadankan maknanya dengan ‘Mata uang yang berlaku
di Ekuador’.
Pemadanan makna seperti yang ditampilkan di atas didasari
oleh penerapan teori pola gerak tema pada penerjemahan. Dengan
mengetahui jenis pola gerak tema yang terdapat pada TSu,
penerjemah dapat memilih padanan makna kata yang tepat untuk
digunakan pada TSa.

4.4 Pergeseran Metafungsi Bahasa pada Penerjemahan


Secara etimologi, ‘pergeseran’ berarti ‘perubahan’ atau
‘peralihan’. Dalam konteks penerjemahan, pergeseran dapat
dipahami sebagai perubahan yang terjadi dalam proses
penerjemahan yang dapat melibatkan perubahan leksikon, struktur,
88 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
atau gaya penulisan. Definisi aktual dari pergeseran pada
penerjemahan dapat dirujuk kepada Catford (1965: 73) yang
mendefinisikan pergeseran pada penerjemahan sebagai
penyimpangan dari korespondensi formal dalam proses
perpindahan dari BSu ke BSa. Dengan kata lain, pergeseran pada
penerjemahan terjadi jika padanan makna yang digunakan bukan
merupakan korespondensi formal dari unsur yang terdapat pada
BSu. Dengan menerapkan teori LFS, pergeseran dalam
penerjemahan, menurut Matthiessen (2001: 106-110), dapat
dikelompokkan kepada empat kategori: (i) pergeseran yang terjadi
pada zona gramatikal atau pada zona leksikal, yang karenanya
dapat disebut dengan pergeseran sederhana. Di antara kedua zona
tersebut, Hill-Madsen (2014: 136) lebih memilih pergeseran
sederhana ini sebagai pergeseran yang sangat relevan pada zona
leksikal; (ii) pergeseran yang dapat berupa intra-metafungsi
(pergeseran yang melibatkan unsur metafungsi yang sama) atau
antar-metafungsional (pergeseran yang melibatkan pergeseran dari
satu unsur metafungsi ke unsur metafungsi yang lain); (iii)
pergeseran yang dapat terjadi secara relasi paradigmatik
(pergeseran intra-sistemik) atau secara relasi sintagmatik; dan (iv)
pergeseran yang terjadi pada level struktur yang sama (pergeseran
intra-level) atau pergeseran yang melibatkan perbedaan level
struktur (pergeseran antar-level).
Di antara keempat jenis pergeseran yang diusulkan oleh
Matthiessen (2001), pergeseran yang dibahas pada sub-bab ini
adalah pergeseran yang melibatkan unsur metafungsi bahasa.
Pertama, pada metafungsi ideasional, pergeseran terjadi baik secara
intra-metafungsi maupun antar-metafungsi. Pergeseran intra-
metafungsi terbagi dalam 5 jenis, yaitu pergeseran (i) dari suatu
jenis proses ke jenis proses yang lain; (2) dari sirkumstan ke
partisipan, maupun sebaliknya; (3) dari Partisipan I ke Partisipan II,
maupun sebaliknya; (4) dari proses ke partisipan, maupun
sebaliknya; dan (5) dari proses ke sirkumstan, maupun sebaliknya.
Perhatikan contoh pergeseran intra-metafungsi pada terjemahan (8)
berikut ini.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 89


(8) TSu : as they were subject to attack to attack from
warring Indian Tribes like the Blackfeet.

as they were subject to attack …


Karir Atributif Atribut Sirkumstan

TSa : karena pada jalur tersebut mereka dapat


diserang oleh suku Indian lain seperti suku
Blackfeet
karena pada… mereka diserang suku… seperti…
Sirk. Gol Material Aktor Sirk.

Pada terjemahan (8), pergeseran intra-metafungsi yang


terjadi diawali dengan pergeseran dari proses Atributif TSu ‘were’
ke proses Material TSa ‘diserang’. Pergeseran jenis proses ini
sendiri dipicu oleh penggunaan sirkumstan TSu ‘to attack’. Dengan
demikian, pergeseran ini tidak akan memengaruhi makna asli yang
terdapat dalam TSu. Pemadanan makna sirkumstan TSu ‘to attack’
kepada proses material ‘diserang’ pada TSa tentunya menimbulkan
jenis pergeseran lainnya, yaitu pergeseran dari sirkumstan ke
proses. Pergeseran yang melibatkan proses ini juga tentunya
menyebabkan pergeseran pada unsur partisipan. ‘They’ yang
merupakan Partisipan I pada TSu berubah menjadi Partisipan II
pada TSa yang berperan sebagai Gol. Sementara itu, posisi
Partisipan I digantikan oleh sirkumstan TSu ‘Indian Tribes’ yang
dipadankan maknanya dengan ‘suku Indian lain’ yang berfungsi
sebagai Aktor pada TSa. Pergeseran ini disebut pergeseran dari
sirkumstan ke partisipan. Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa
penerjemahan suatu klausa dapat melibatkan lebih dari satu jenis
pergeseran intra-metafungsi.
Selanjutnya, pergeseran pada metafungsi ideasional juga
melibatkan pergeseran antar-metafungsi yang dibagi kepada 2
jenis, yaitu pergeseran (1) dari partisipan ke klausa, maupun
sebaliknya; dan (2) dari sirkumstan ke klausa, maupun sebaliknya.

90 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka pergeseran antar-metafungsi
tidak terjadi pada proses. Contoh pergeseran antar-metafungsi
ideasional dapat dilihat pada terjemahan (9).

(9) TSu : There they remained isolated and sheltered


from the world around them.
There they remained isolated… from …
Sirk. Karir Atributif Atribut Sirk.

TSa : Di daerah itu mereka tinggal dan terisolasi dari


dunia disekitarnya.
Di daerah itu mereka tinggal
Sirkumstan Aktor Material

dan terisolasi dari dunia disekitarnya.


behavioral Sirkumstan

Pada terjemahan (9) tampak bahwa klausa tunggal pada TSu


berubah menjadi klausa kompleks pada TSa. Hal ini
mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran antar-metafungsi.
Secara spesifik, pergeseran yang terjadi merupakan pergeseran dari
partisipan ke klausa. Dalam TSa, Partisipan isolated and sheltered
dipadankan maknanya dengan kata ‘terisolasi’ dalam TSa.
Pemadanan ini menyebabkan kata ‘terisolasi’ tersebut pada TSa
bergeser menjadi proses behavioral pada klausa berikutnya.
Kedua, pada jenis metafungsi antarpersona, pergeseran juga
terjadi dalam bentuk pergeseran intra-metafungsi dan antar-
metafungsi. Pergeseran intra-metafungsi antarpersona dibedakan ke
dalam 7 jenis, yaitu pergeseran (1) dari ajung ke komplemen,
maupun sebaliknya; (2) dari subjek ke komplemen, maupun
sebaliknya; (3) dari subjek ke predikator, maupun sebaliknya; (4)
dari subjek ke ajung, maupun sebaliknya; (5) dari finit ke ajung,
maupun sebaliknya; (6) dari predikator ke ajung, maupun
sebaliknya; dan (7) dari predikator ke komplemen, maupun
sebaliknya. Contoh penerapan pergeseran intra-metafungsi
antarpersona dapat dilihat pada terjemahan (10).
Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 91
(10) TSu : The widely-used trail would become known as
the Bannock Trail
…trail would become … as the Bannock Trail
Subjek Finit Predikator Komplemen
Modus Residu

TSa : Penggunaan gerobak seret sekarang dikenal


dengan sebutan Bannock.
…gerobak sekarang dikenal dengan …
Subjek Modus Predikator Komplemen
Ajung
Modus Residu

Jenis pergeseran intra-metafungsi antarpersona pada (10)


adalah pergeseran dari finit ke modus ajung. Finit TSu ‘would’
dipadankan maknanya dengan kata ‘sekarang’ yang berfungsi
sebagai modus ajung pada TSa. Sebenarnya, BSa memiliki padanan
lazim untuk kata TSu ‘would’, yaitu ‘akan’ yang juga dapat
berfungsi sebagai finit. Akan tetapi, dalam konteks TSu, kata
‘akan’ identik dengan proses yang akan terjadi pada masa yang
akan datang, sementara ‘would’ pada konteks di atas menyatakan
‘keakanan’ yang terjadi pada masa lampau. Atas dasar itulah,
pemilihan kata ‘sekarang’ menjadi lebih berterima pada pembaca
BSa karena meskipun penamaan jalur tersebut sudah dilakukan
pada masa lampau, namun nama tersebut masih berlaku sampai
sekarang. Selain pergeseran dari finit ke modus ajung, pada
terjemahan (10) tidak dijumpai lagi adanya pergeseran intra-
metafungsi antarpersona.
Selain pergeseran intra-metafungsi, pergeseran yang
melibatkan metafungsi antarpersona juga dapat berbentuk
pergeseran antar-metafungsi. Terdapat 4 jenis pergeseran
metafungsi antar-metafungsi antarpersona, yaitu pergeseran (1) dari
subjek ke klausa, maupun sebaliknya; (2) dari ajung ke klausa,
maupun sebaliknya; (3) dari kala ke modalitas, maupun sebaliknya;
dan (4) dari polar positif ke polar negatif, maupun sebaliknya.

92 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Contoh pergeseran antar-metafungsi dapat dilihat pada terjemahan
(11).

(11) TSu : The Yellowstone River Valley offered little


protection, for several hundred miles, for
travelers traveling down the Yellowstone
Valley including Indians
…Valley offered little... for several…
Subjek Finit Pred. Komp. Ajung
Modus Residu

as they were subject to attack from warring


Indian Tribes like the Blackfeet.
as they were subject to attack from…
Subjek Finit Komp. Ajung
Modus Residu

TSa : Lembah Sungai Yellowstone ((yang


terbentang beberapa ratus mil)) tidak
memberikan perlindungan maksimal bagi
penjelajah ((yang bepergian ke Lembah
Yellowstone)) termasuk suku Indian yang
rentan terhadap serangan suku Indian lain
seperti Blackfeet.
Lembah... tidak memberikan …maksimal bagi…
Subjek Polar Pred. Komp. Ajung
Modus Residu
,
Terjemahan pada (11) menunjukkan terjadinya beberapa
jenis pergeseran yang bersifat antar-metafungsi. Pergeseran
pertama adalah pergeseran dari klausa menjadi ajung. Klausa TSu
‘as they were subject to attack from warring Indian’ bergeser
menjadi ajung pada TSa ‘yang rentan terhadap serangan suku
Indian lain seperti Blackfeet’. Dengan sendirinya, sistem modus
yang dibangun pada TSu runtuh karena telah bergabung menjadi
bagian dari ajung. Selanjutnya, pergeseran antar-metafungsi

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 93


lainnya melibatkan pergeseran dari polar positif pada TSu menjadi
polar negatif pada TSa. Pergeseran bentuk polaritas ini disebabkan
oleh perbedaan sudut pandang penerjemah. TSu melihat
‘perlindungan’ dari level rendah ke level atas, sementara TSa
melihat ‘perlindungan’ dari level atas ke level rendah. Berdasarkan
hal tersebut, maka polar positif yang direpresentasikan oleh unsur
TSu ‘offered little protection’ bergeser ke polar negatif pada TSa
menjadi ‘tidak memberikan perlindungan maksimal’.
Ketiga, pada jenis metafungsi tekstual, pergeseran yang
terjadi juga bersifat intra-metafungsi dan antar-metafungsi.
Pergeseran intra-metafungsi tekstual dibagi ke dalam 4 jenis, yaitu
pergeseran (1) dari tema tunggal ke tema ganda, maupun
sebaliknya; (2) dari tema ke rema, maupun sebaliknya; (3) dari
tema bermarkah ke tema tak bermarkah, maupun sebaliknya; dan
(4) dari tema implisit menjadi tema eksplisit, maupun sebaliknya.
Terjemahan pada (12) berikut ini merupakan contoh pergeseran
intra-metafungsi tekstual.
(12) TSu : It was created upon a roll call vote
with 115 ayes, 65 nays and 60
abstaining on March 1, 1872.
Topikal
Tema Tunggal Rema
Tak Bermarkah

TSa : Undang- akhirnya terbentuk dari hasil pemungutan


suara dengan 115 ya, 65 tidak dan
60 abstain pada 1 Maret 1872
Topikal Tekstual
Tema Ganda Tak Rema
Bermarkah

Terjemahan pada (12) melibatkan pergeseran bersifat intra-


metafungsi tekstual dari tema tunggal ke tema ganda. Pada TSu,
tema hanya dibentuk oleh satu unsur tema topikal, yaitu ‘It’.
Sementara itu, pada TSa, terjadi penambahan tema tekstual dalam
bentuk konjungtif yang berfungsi untuk meningkatkan kepaduan

94 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


alur klausa dengan klausa-klausa sebelumnya. Tema ‘It’
dipadankan maknanya dengan ‘Undang-undang itu’ untuk
memberikan penegasan terhadap makna pronomina tersebut.
Selain pergeseran yang bersifat intra-metafungsi, terdapat
juga pergeseran yang bersifat antar-metafungsi yang dibagi ke
dalam 2 jenis, yaitu pergeseran (1) dari tema ke klausa, maupun
sebaliknya; dan (2) dari rema ke klausa, maupun sebaliknya.
Perhatikan terjemahan pada (13).
(13) TSu : and (they) lived in the area in peaceful
tranquillity until the early 1800s-
undisturbed by the presence of
white men.
Tekstual Topikal
Tema Ganda Tak Rema
Bermarkah

TSa : Selain itu, mereka juga mengklaim telah tinggal di


wilayah tersebut dengan nyaman,
tenang
Tekstual Topikal
Tema Ganda Tak Rema
Bermarkah

dan (mereka) tidak merasa terganggu dengan


adanya keberadaan orang berkulit
putih hingga awal tahun 1800-an.
Tekstual Topikal
Tema Ganda Tak Rema
Bermarkah

Pergeseran antar-metafungsi tekstual yang terjadi pada


terjemahan (13) adalah pergeseran dari rema ke klausa, meskipun
tidak terjadi perubahan dari segi jenis tema yang digunakan karena
kedua tema pada TSu sama-sama merupakan tema ganda tak
bermarkah. Bagian dari rema TSu yang dikembangkan menjadi
klausa pada TSa adalah ‘until the early 1800s- undisturbed by the
presence of white men’. Pergeseran ini dipicu fakta bahwa bagian
rema pada klausa TSu tersebut merupakan hasil dari pengurangan
Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 95
klausa yang ditandai dengan adanya konjungsi until dan grup verba
undisturbed. Dengan kata lain, pergeseran yang terjadi lebih
mengarah kepada “mengembalikan frasa kepada fungsi asalnya
sebagai klausa”. Dengan demikian, frasa yang merupakan bagian
dari rema TSu dibentuk menjadi klausa TSa dengan menggunakan
tema topikal implisit.
Contoh-contoh terjemahan pada (8) – (13) yang
menunjukkan adanya pergeseran metafungsi baik yang bersifat
intra-metafungsi maupun antar-metafungsi mengisyaratkan bahwa
penerjemahan seharusnya tidak dipengaruhi oleh sistem dan unsur
metafungsi bahasa yang terdapat pada BSu. Dengan demikian,
produk terjemahan yang dihasilkan benar-benar merefleksikan gaya
penulisan dan leksikogramatika yang berlaku pada BSa. Di
samping itu, produk terjemahan seperti ini tentunya membantu
pengungkapan karakteristik-karakteristik leksikogramatika yang
terdapat pada BSa yang independen dan bebas dari pengaruh gaya
dan struktur BSu.

4.5 Kesimpulan
Penerjemahan sebagai aktivitas yang melibatkan bahasa
tentunya tidak terlepas dari ilmu bahasa atau linguistik. Oleh
karena itu, penerjemahan sebaiknya menggunakan teori linguistik
yang dapat digunakan sebagai dasar menentukan pilihan kata
maupun struktur leksikogramatika dalam TSa. Teori linguistik yang
paling sesuai mengakomodasi kebutuhan penerjemahan adalah
teori linguistik fungsional sistematik (LFS) dengan fokus kajiannya
pada makna dan fungsi bahasa dan menjadikan tata bahasa sebagai
sumber pembuatan makna. Hal ini sejalan dengan penerjemahan
yang pada hakikatnya adalah proses pemertahanan makna dalam
bahasa yang berbeda.
Pilihan makna menurut LFS didasari atas teori metafungsi
bahasa yang merangkum seluruh hal yang dibutuhkan manusia
dalam menggunakan bahasa. Fungsi ideasional yang direalisasikan
melalui sistem transitivitas dan taksis, fungsi antarpersona yang
direalisasikan melalui sistem modus, dan fungsi tekstual yang

96 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


direalisasikan melalui sistem tema, membangun suatu TSa yang
sesuai dengan ciri khas tata bahasa pada BSa. Ketiga metafungsi
bahasa tersebut menggambarkan suatu pengalaman yang logis
dengan memperhatikan unsur kepaduan dalam menyajikan hasil
terjemahan. Dengan demikian, TSa yang dihasilkan menyampaikan
makna yang terdapat dalam TSu secara komprehensif dan padu.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 97


98 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
BAB 5
KESEPADANAN MAKNA DALAM
PENERJEMAHAN

5.1 Pendahuluan
Setiap bentuk praktik penerjemahan bertujuan
menghasilkan teks sasaran (TSa) yang memiliki kesepadanan
makna dengan teks sumbernya (TSu). Dengan demikian, pembaca
Tsa akan sampai pada pemahaman yang sama ketika dia membaca
TSa. Kesepadanan makna akan diperoleh jika seluruh informasi
yang terdapat dalam TSu tersampaikan secara utuh dalam TSa.
Sehingga penerjemahan dapat dipahami sebagai suatu proses
penulisan kembali suatu teks dalam bahasa yang berbeda.
Meskipun demikian, pemadanan makna tidak berarti bahwa
penerjemahan harus bersifat kaku, atau dengan kata lain harus
mengikuti tatanan kalimat yang terdapat dalam TSu secara utuh.
Kekakuan hasil terjemahan merupakan hal yang sering terjadi dan
mengakibatkan TSa sangat mudah dikenali sebagai teks hasil
terjemahan. Sementara itu, hasil terjemahan yang baik harus dapat
membuat pembaca merasa tidak asing dengan kata-kata atau gaya
bahasa yang digunakan pada teks tersebut, sehingga mereka tidak
menyadari bahwa teks yang sedang dibaca merupakan teks hasil
terjemahan.
Oleh karena itu, jumlah kata, klausa, ataupun kalimat yang
terdapat dalam TSa boleh saja berbeda dengan yang terdapat dalam
TSu, begitu juga halnya dengan peran dan fungsi kata yang
terdapat di dalamnya. Hal terpenting yang harus dipertahankan
adalah kesepadanan makna, sementara bagaimana makna tersebut
disampaikan merupakan kebebasan yang dimiliki penerjemah

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 99


sepanjang disampaikan menurut aturan atau tata bahasa yang
berlaku pada bahasa sasaran (BSa).

5.2 Kesepadanan Makna sebagai Pemertahanan Makna


Penerjemahan sebagai proses pengalihan bahasa dari BSu
ke BSa yang dilakukan melalui tulisan dengan mengutamakan
kesepadan makna sehingga hampir seluruh definisi tentang
penerjemahan menyinggung konsep kesepadanan makna meskipun
disampaikan dengan diksi maupun sudut pandang yang berbeda-
beda. Berbicara tentang kesepadanan makna tentunya tidak dapat
terlepas dari kontribusi signifikan John Cunnison Catford dan
Eugene Nida. Dilatarbelakangi keahlian linguistiknya, Catford
(1965) memandang kesepadanan sebagai properti formal atau
tekstual dari proses penerjemahan sehingga dia
mengelompokkannya ke dalam dua kategori: kesepadanan formal
dan kesepadanan tekstual. Salah satu kelemahan dari konsep
kesepadanan yang diusulkan oleh Catford ini adalah tidak ramah
terhadap penerjemahan teks yang mengandung unsur-unsur budaya
lokal, yang merupakan juga masalah yang banyak dihadapi para
penerjemah. Untuk hal tersebut, Catford menyebutnya sebagai
“sesuatu yang tidak dapat diterjemahkan (untranslatability)”, dan
mengusulkan istilah “transfer budaya” sebagai pengganti
“penerjemahan budaya”.
Melengkapi konsep kesepadanan formal yang diusung oleh
Catford, Nida (1964b, 1975) menawarkan konsep kesepadanan
dinamis yang dikenal dengan “closest natural equivalent (padanan
yang paling mendekati kealamiahan)”. Padanan (equivalent),
menurutnya, menekankan pada pesan yang terdapat dalam TSu
yang mendekati makna konsep kesepadanan formal; alamiah
(natural) menekankan pada TSa yang lebih menekankan pada
keberterimaan dan keterbacaan TSa pada pembaca BSa; dan paling
mendekati (closest) mengikat kedua orientasi sebelumnya
(berorientasi pada TSu atau TSa) berdasarkan penaksiran yang
tertinggi. Konsep closest yang ditawarkan oleh Nida inilah yang
menjadi inti dari konsep pemadanan dinamis dan konsep yang

100 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


paling berterima dalam teori-teori penerjemahan yang digunakan
sampai saat ini. Tujuannya adalah untuk menghasilkan teks
terjemahan yang, ketika dibaca, tidak seperti hasil terjemahan.
Meskipun demikian, dinamis tidak bermakna bahwa makna yang
dihasilkan bergeser dari makna sebenarnya yang terdapat dalam
TSu.
Untuk mencapai kesepadanan dinamis dituntut kemampuan
yang mumpuni dari seorang penerjemah dalam memahami TSu dan
menyampaikan makna tersebut secara utuh di dalam TSa. Hasil
terjemahan sangat ditentukan oleh kemampuan tata bahasa
(grammatical skill), keterampilan membaca (reading skill), dan
analisa wacana (discourse analysis) yang dimiliki penerjemah.
Ketiga kemampuan tersebut diyakini dapat mempengaruhi kualitas
terjemahan yang dihasilkan, yang dapat mengakomodasi
kedinamisan dalam pemadanan makna.
Secara lebih spesifik, Larson (1984: 3) menegaskan bahwa
pengalihan tersebut hanya mengubah bentuk bahasa dari BSu ke
BSa, sementara makna yang terdapat pada BSu harus
dipertahankan. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam
penerjemahan, struktur kalimat yang digunakan dalam BSa boleh
saja berbeda dengan BSu sepanjang keduanya menyampaikan
makna yang sama. Dengan kata lain, seseorang yang membaca
suatu teks terjemahan akan sampai kepada pemahaman yang sama
ketika membaca teks tersebut, baik dalam BSu maupun dalam BSa.
Proses pengalihan makna dalam penerjemahan dapat diilustrasikan
seperti yang terdapat pada Gambar 5.1.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 101


Gambar 5.1 Proses penerjemahan (Diadaptasi dari Larson, 1984: 4)

Gambar 5.1 menjelaskan bahwa penerjemahan harus


dimulai dari penemuan makna yang terdapat pada BSu.
Selanjutnya, makna tersebut diungkapkan kembali dengan
menggunakan ungkapan yang berterima dalam BSa. Dengan
demikian, ungkapan yang disampaikan dalam BSa inilah yang
disebut dengan produk terjemahan. Dengan demikian, model
penerjemahan yang diusulkan oleh Larson (1984) ini menegaskan
konsep pemadanan sebagai pemertahanan makna dalam TSa
terhadap pesan yang terdapat pada TSu.
Selanjutnya, pemertahanan makna yang dimaksud dalam
penerjemahan dapat disebut juga dengan usaha untuk
mempertahankan ‘kesepadanan’ makna dan fungsi yang terdapat
dalam BSu dan BSa (Newmark, 1988: 28; Bell, 1991: 19; Venuti,
2000: 5; Munday, 2008: 36). Kesepadanan, menurut Venuti (2000:
5), dapat dipahami sebagai keakuratan, kecukupan, kebenaran,
keterhubungan, dan ketepatan makna yang terdapat dalam BSu dan
BSa. Meskipun demikian, dalam penerjemahan tidak ada
kesepadanan penuh atau utuh yang terdapat dalam BSu dan BSa
(Jakobson, 2000: 114). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
penerjemahan merupakan proses mencari kesepadanan makna dan
fungsi yang terdapat dalam dua bahasa yang berbeda.
Di samping itu, unsur lain yang perlu diperhatikan dalam
penerjemahan adalah gaya bahasa. Menurut Nababan dkk. (2012:
20), gaya bahasa terjemahan merupakan salah satu aspek penting

102 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


yang butuh pertimbangan pada setiap penerjemahan. Gaya bahasa
sangat berpengaruh pada tingkat keterbacaan suatu teks terjemahan
sehingga gaya bahasa itu harus disesuaikan dengan ragam bahasa
yang terdapat dalam teks BSu. Seorang penerjemah harus dapat
menentukan gaya bahasa yang digunakannya dengan
mempertimbangkan beberapa hal seperti siapa yang akan
mengkonsumsi hasil terjemahannya, bagaimana gaya bahasa yang
digunakan dalam teks sumber, dan lain-lain (Duff, 1981: 7).
Lebih jauh lagi, Koller (1995: 192) memandang pemadanan
makna sebagai proses yang dibatasi oleh pengaruh perbedaan
bahasa, nonbahasa serta lingkungan/situasi antara BSu dan BSa dan
juga peran kondisi sejarah–budaya yang menjadi konteks
penciptaan teks dan terjemahannya sekaligus kondisi ketika dua
teks itu sampai ke pembaca. Relasi-relasi yang sepadan (ekuivalen)
bersifat relatif terhadap ‘ikatan ganda’, pertama pada teks sumber
dan kedua pada situasi komunikasi bagi pihak penerima. Satuan-
satuan teks sumber dilihat dari ‘kerangka-kerangka padanan’.
Sejalan dengan konsep tersebut, Koller (1995: 193)
merumuskan “kerangka padanan” dan menyatakan bahwa padanan
terjemahan dapat dicapai melalui salah satu tataran berikut:
a. Kata-kata BSu dan BSa memiliki fitur ortografis dan
fonologis yang serupa (padanan formal).
b. Kata-kata BSu dan BSa mengacu pada entitas atau
konsep yang sama (padanan referensial/denotatif).
c. Kata-kata BSu dan BSa mengandung asosiasi yang
sama atau mirip dalam pikiran para penutur kedua
bahasa itu (padanan konotatif).
d. Kata-kata BSu dan BSa digunakan dalam konteks yang
sama atau serupa pada masing-masing bahasa (padanan
tekstual-normatif).
e. Kata-kata BSu dan BSa memiliki efek yang sama
terhadap masing-masing pembaca dalam kedua bahasa
itu (padanan pragmatik/dinamik).
Konsep kesepadanan yang dirumuskan oleh Koller (1995)
ini melengkapi konsep-konsep kesepadanan yang dikemukakan

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 103


oleh para ahli sebelumnya (Catford, 1965; Nida, 1964b/1975;
Larson, 1984; Newmark, 1988) yang mempertimbangkan orientasi
BSu dan BSa.
Sehubungan dengan pendapat para ahli di atas, Xiabin
(2005) merangkum enam poin penting yang harus dipertimbangkan
dalam mencapai kesepadanan dalam penerjemahan. Pertama,
kesepadanan tidak berarti bahwa TSu merupakan satu-satunya
faktor yang signifikan. Namun, kesepadanan memang merupakan
faktor yang membedakan terjemahan dari tulisan. Kedua,
kesepadanan yang melibatkan dua bahasa atau lebih menghadirkan
lebih banyak hambatan, baik hambatan yang berhubungan dengan
bahasa maupun budaya; dan oleh karena itu, penerjemahan
menghadirkan lebih banyak tantangan daripada interpretasi yang
melibatkan hanya satu bahasa. Ketiga, kesamaan seutuhnya antara
TSu dan TSa merupakan hal yang tidak mungkin tercapai.
Keempat, jenis teks adalah faktor penting dalam memutuskan
tingkat kesepadanan di samping faktor-faktor lainnya seperti tujuan
terjemahan, tuntutan klien dan harapan pembaca BSa. Kelima,
istilah kesepadanan tidak pernah bersifat statis, yang menyerupai
nilai dalam ilmu ekonomi. Keenam, kesepadanan dan teknik untuk
mencapainya tidak dapat dipisahkan satu dan lainnya karena
mereka mewakili penerjemahan yang sesungguhnya.

5.3 Keterkaitan Budaya dalam Proses Pemadanan Makna


Berbicara tentang kesepadanan makna tentunya tidak
terlepas dari unsur budaya; oleh karena itu, pemahaman budaya
yang memadai sangat diperlukan dalam penerjemahan. Bahasa dan
budaya ibarat dua sisi koin mata uang yang tak terpisahkan:
mengganti unsur salah satu sisi koin berarti mengubah nilai mata
uang tersebut. Dengan demikian, pemadanan makna harus
mempertimbangkan unsur budaya yang berlaku pada BSa. Dengan
kata lain, pemadanan makna dari suatu bahasa ke dalam bahasa
yang berbeda berarti juga menerjemahkan budaya ke budaya yang
berbeda pula. Begitu pentingnya unsur budaya dalam penerjemahan

104 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


ditegaskan oleh Torop (2002: 593) yang menyatakan bahwa
penerjemahan tidak dapat terpisahkan dari konsep budaya.
Sebelumnya, Nord (1997: 17) menyatakan bahwa
penerjemahan harus mampu menciptakan terjadinya komunikasi
antar masyarakat yang berasal dari budaya berbeda. Penerjemahan
dapat menjembatani jurang pemisah antara perbedaan yang terjadi
akibat perbedaan tindakan verbal dan nonverbal, pengharapan,
pengetahuan, dan cara pandang dalam masyarakat yang berbeda
sehingga mereka dapat berkomunikasi secara efektif. Dengan
demikian, terkadang, seorang penerjemah tidak dapat melakukan
penerjemahan secara literal ketika hasil terjemahannya mungkin
kurang berterima pada budaya lain.
Lebih jauh lagi, penerjemahan yang melibatkan budaya
ataupun karya-karya sastra daerah, menurut Levy (2011: 23), dapat
dilihat dari dua perspektif: (i) komunikatif, yaitu menemukan
proses yang terlibat dalam mengomunikasikan ungkapan dari
penulis ke pembaca; dan (ii) representatif, yaitu memfokuskan
dengan apa yang diwujudkan dalam sebuah karya, dengan
hubungan antara isinya dan penulisnya, dan dengan hubungan
antara konten dan interaksi faktor kontekstualnya. Dengan
demikian, penerjemahan teks budaya harus mampu menyampaikan
makna seutuhnya yang terdapat dalam BSu ke BSa dan harus
mampu merepresentasikan nilai-nilai budaya yang terdapat di
dalamnya.
Pemadanan makna yang melibatkan unsur budaya menjadi
kesulitan tersendiri pada penerjemahan karena tidak ada dua
budaya bahasa yang persis sama. Perbedaan budaya BSu dan BSa
menyebabkan penerjemah berada dalam kondisi dilematis karena
dihadapkan pada pilihan antara mempertahankan budaya BSu atau
mengadaptasinya ke dalam BSa (Fadly, 2016: 133). Keadaan
tersebut digambarkan oleh Nida (2012) sebagai dua kutub
kesepadanan yang berseberangan dalam penerjemahan:
kesepadanan bentuk, yang berorientasi pada BSu, dan kesepadanan
dinamis, yang berorientasi pada BSa.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 105


Kesepadanan bentuk menekankan bahwa pesan yang
disampaikan dalam TSa harus sesuai sedekat mungkin dengan
unsur-unsur ataupun istilah-istilah budaya berbeda yang berlaku
pada budaya BSu (Nida, 2012: 144). Dengan kata lain,
kesepadanan bentuk menitikberatkan pada keakuratan dan
kebenaran pesan yang disampaikan pada TSa. Sementara itu,
kesepadanan dinamis lebih menitikberatkan pada kealamiahan
pesan yang terdapat pada TSa. Dengan demikian, kesepadanan
dinamis berusaha menggiring pembaca BSa untuk memahami TSa
berdasarkan budaya yang berlaku pada bahasa mereka sendiri tanpa
harus mengetahui esensi istilah-istilah tersebut yang sebenarnya
pada budaya BSu.
Konsep kesepadanan bentuk dan kesepadanan dinamis
tersebut mengarah kepada adanya ideologi dalam suatu
penerjemahan yang menurut Newmark (1988) didasari oleh dua
prinsip yang disebutnya sebagai prinsip V dalam penerjemahan
seperti yang terdapat pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2 Prinsip V dalam penerjemahan (Diadaptasi dari


Newmark, 1988)

Berdasarkan Prinsip V pada Gambar 5.2, konsep


kesepadanan dapat mengacu kepada dua ideologi, yaitu ideologi
yang menekankan pada BSu dan ideologi yang menekankan pada
BSa. Penerjemahan yang mengacu kepada BSu cenderung
memadankan makna dengan cara penerjemahan kata per kata,
penerjemahan literal, penerjemahan yang setia kepada TSu, dan

106 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


penerjemahan secara semantis. Sementara itu, pemadanan makna
yang mengacu kepada BSa cenderung dilakukan melalui adaptasi,
penerjemahan bebas, penerjemahan yang bersifat idiomatis, dan
penerjemahan dengan tujuan komunikatif. Perhatikan contoh
terjemahan pada (1) berikut ini.
(1) TSu : The defendant showed a little evidence.
TSa : a. Terdakwa itu menujukkan sedikit bukti.
b. Tak banyak bukti yang bisa ditunjukkan
oleh terdakwa itu.
Pada penerjemahan TSu (1) terdapat dua buah TSa yang
jika dihubungkan dengan Prinsip V Newmark (1988) akan
menjurus ke salah satu dari prinsip tersebut. TSa pada (1a)
merupakan contoh penerjemahan yang setia kepada TSu karena
lebih mengarah kepada penerjemahan literal. Sementara itu, TSa
pada (1b) merupakan contoh penerjemahan bebas di mana
penerjemah bebas mereproduksi makna TSu dengan gaya penulisan
yang berorientasi pada keberterimaan TSa bagi pembaca BSa. TSu
dibentuk dalam polar positif, sedangkan TSa pada (1b) dibentuk
dalam polar negatif. Meskipun demikian, TSa pada (1b) berhasil
menyampaikan makna TSu secara utuh.
Meskipun penerjemahan istilah budaya selalu
menghadirkan kesulitan tersendiri bagi penerjemah, Namun, dari
perspektif linguistik dan komunikatif, segala sesuatu yang dapat
dipahami oleh pikiran manusia harus mampu diekspresikan dalam
bahasa apa pun (Guerra, 2012). Di samping itu, karena apa pun
yang dapat diucapkan dalam satu bahasa dapat diekspresikan dalam
bahasa lain (Nida & Taber, 1982), dapat disimpulkan bahwa semua
ucapan atau ungkapan tentunya dapat diterjemahkan dari bahasa
tertentu ke bahasa lain mana pun. Oleh karena itu, terjemahan teks
apa pun, termasuk teks yang mengandung banyak istilah budaya
lokal, dapat diterjemahkan secara objektif. Bahkan, menurut Kade
(1981), sekalipun teks tersebut menunjukkan adanya kodifikasi
yang berbeda, secara historis kode-kode tersebut dapat
dikondisikan. Kemungkinan terjadinya hal tersebut dilatarbelakangi

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 107


fakta bahwa tidak semua komunitas bahasa berada pada tahap
evolusi yang sama.
Berdasarkan keterkaitan budaya dalam penerjemahan,
Newmark (1988) mengklasifikasikan kata-kata yang termasuk
istilah budaya ke dalam lima kategori: (i) ekologi, yang
berhubungan dengan flora, fauna, ikilm, dan kata-kata lainnya yang
termasuk ke dalam kategori ekoleksikon; (ii) materi budaya, yang
mencakup makanan tradisional, pakaian adat, rumah adat, nama
tempat, dan transportasi lokal; (iii) budaya sosial, yang mencakup
kebiasaan lokal seperti bekerja dan menghabiskan waktu luang; (iv)
organisasi, adat, kegiatan, prosedur, konsep, ataupun aliran
kepercayaan yang mencakup kegiatan seni, keagamaan, politik, dan
urusan administrasi lokal lainnya; dan (v) sikap dan kebiasaan yang
berlaku secara lokal.
Merasa terjadinya tumpang tindih pada kategori yang
disampaikan oleh Newmark (1988), maka Ku (2006)
menyederhanakan kategori istilah budaya ke dalam empat kategori,
yaitu (i) lingkungan, yang mencakup istilah-istilah yang digunakan
dalam ekologi setempat dan nama-nama tempat; (ii) warisan
budaya, yang mencakup kepercayaan agama, peristiwa bersejarah,
tokoh, upacara atau perayaan adat, cerita rakyat, rumah adat, dan
benda-benda bersejarah; (iii) budaya sosial, yang mencakup
persetujuan bersama atau konvensi, kepercayaan, kebiasaan, dan
organisasi sosial; dan (iv) budaya berbahasa, yang mencakup
ungkapan yang baku, idiom, hinaan, sindiran, dan lain-lainnya.
Budaya sangat erat hubungannya dengan ekologi lokal,
yang secara langsung juga memengaruhi bahasa dan
penggunaannya. Perbedaan ekologi atau lingkungan ini
menghadirkan masalah tersendiri dalam penerjemahan, karena
beberapa unsur ekologi yang ada di suatu budaya mungkin tidak
terdapat pada budaya lain. Sebagai contoh, pepatah merupakan
salah satu produk budaya yang sering menggunakan kata-kata yang
berhubungan dengan ekosistem (ekoleksikon) lokal yang ada di
suatu daerah. Pepatah “as white as snow” dalam bahasa Inggris
tentunya tidak dapat diterjemahkan secara harfiah menjadi “seputih

108 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


salju” dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan dalam geografi
Indonesia tidak dijumpai kata “salju”. Bahkan kata salju itu sendiri
diserap dari bahasa Arab “‫ ثلج‬or Tsaljun” yang makna sebenarnya
adalah “es”. Untuk menerjemahkan ungkapan tersebut, konsep
pemadanan referensial dapat digunakan, yaitu mengacu kepada
bagaimana referensi metafora untuk “putih” yang berlaku dalam
bahasa Indonesia. Kata yang tepat untuk dijadikan padanan kata
“snow” tersebut adalah “kapas”, sehingga ungkapan tersebut
sepadan dengan “seputih kapas” dalam bahasa Indonesia. Hal ini
bertujuan untuk memberikan esensi yang nyata terhadap warna
putih yang terdapat pada pepatah tersebut.
Penerjemahan yang melibatkan pemadanan istilah budaya
memang menghadirkan kesulitan tersendiri bagi penerjemah, akan
tetapi hal tersebut sekaligus juga menjadi isu yang menantang dan
menarik untuk dikaji oleh para peneliti di bidang kajian terjemahan.
Beberapa peneliti telah melakukan kajian-kajian terjemahan yang
melibatkan penerjemahan budaya dengan pendekatan yang
berbeda-beda. Lubis (2010), yang mengkaji penerjemahan teks
Mangupa dari bahasa Mandailing ke dalam bahasa Inggris,
melaporkan bahwa perbedaan budaya yang terdapat dalam kedua
bahasa tersebut menyebabkan beberapa istilah dan ungkapan
budaya Mandailing tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris.
Oleh karena itu, kata-kata tersebut harus dipinjam dengan
memberikan penjelasan makna pada glosarium, atau yang dikenal
dengan teknik deskripsi. Di samping itu, meskipun beberapa kata
memiliki padanan dalam bahasa Inggris, namun nuansa budaya
yang melekat pada kata-kata tersebut tidak dapat ditransfer ke
dalam bahasa Inggris dan maknanya juga harus dijelaskan pada
glosarium. Hal ini menunjukkan pentingnya teknik deskripsi dalam
mencari padanan istilah-istilah budaya.
Selanjutnya, Hasibuan, Lubis, Saragih, dan Muchtar (2018)
mengkaji teknik penerjemahan yang digunakan dalam
penerjemahan teks “Anak Na Dangol Ni Andung”, folklor suku
Mandailing di Sumatera Utara, ke dalam bahasa Inggris. Mereka
menemukan bahwa teknik penerjemahan harfiah dan peminjaman

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 109


merupakan dua teknik yang paling sering digunakan dalam hasil
terjemahan folklor tersebut. Peminjaman memang menjadi salah
satu alternatif yang tepat untuk digunakan dalam pemadanan
makna mengingat tidak adanya padanan beberapa istilah budaya
dalam BSa. Dilihat dari jumlah teknik yang digunakan dalam
memecahkan masalah ekuivalensi yang berhubungan dengan istilah
budaya, Hasibuan dkk. lebih sering menggunakan dua teknik
(kuplet) atau tiga teknik (triplet) sekaligus.
Berikutnya, Nurlela, Ganie, dan Sofyan (2018) mengkaji
penerjemahan “Hikayat Deli” dari bahasa Melayu Deli ke dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan menggunakan
linguistik fungsional sistemik (LFS). Mereka menemukan bahwa
terdapat banyak pergeseran unsur metafungsi bahasa (istilah yang
diusung oleh Rosa, 2017) pada penerjemahan tersebut. Pergeseran
tersebut pada umumnya disebabkan oleh ciri khas bahasa Melayu
Deli yang sering menggunakan proses sebagai modus dan tema,
sehingga proses sering mengawali klausa. Untuk penerjemahan
istilah-istilah budaya, adaptasi dan deskripsi merupakan dua teknik
yang paling sering digunakan dalam pemadanan makna yang
terdapat pada terjemahan Hikayat Deli tersebut.
Dengan demikian, budaya merupakan salah satu faktor
penting dalam proses pemadanan makna. Perbedaan budaya
menghadirkan perbedaan istilah baik yang berkenaan dengan istilah
adat lokal maupun ekosistem yang terdapat di dalam geografi suatu
budaya. Istilah “transfer budaya” yang diusulkan oleh Catford
(1965), kesepadanan dinamis (Nida, 1964b/2012), dan pendekatan
serta teknik penerjemahan tertentu berperan sangat penting dalam
menentukan padanan makna yang tepat. Dengan
mempertimbangkan hal-hal tersebut, perbedaan orientasi BSu dan
BSa tidak akan menimbulkan masalah, seperti yang dikatakan oleh
Nida (1964b/2012) bahwa pertimbangan padanan “yang paling
dekat” merupakan konsep yang mengutamakan hasil terjemahan
yang representatif.

110 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


5.4 Kesimpulan
Konsep kesepadanan dianggap sebagai inti dari proses
penerjemahan. Meskipun beberapa penelitian terakhir mengabaikan
masalah kesepadanan, hampir semua definisi terjemahan dan
penerjemahan yang dikemukakan oleh berbagai ahli mengandung
kata kesepadanan atau padanan. Kesepadanan yang dimaksud
adalah kesepadanan makna dan fungsi yang memberikan
kebebasan bagi penerjemah untuk memilih kata-kata maupun
struktur bahasa tertentu dalam menghasilkan teks terjemahan yang
baik. Oleh karena itu, kesepadanan itu bersifat dinamis seperti
halnya istilah nilai ekonomis suatu barang yang dapat berubah-
ubah sesuai dengan kebutuhan pasar. Hal ini mengisyaratkan
adanya fleksibilitas dalam pemilihan padanan makna yang tepat.
Meskipun konsep kesepadanan bentuk dan dinamis telah
menuntun proses penerjemahan untuk menghasilkan TSa yang
alami dan berterima, namun penerjemahan istilah budaya masih
belum dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penerjemahan
membutuhkan teknik-teknik ataupun pendekatan-pendekatan
tertentu. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan beberapa teknik
penerjemahan yang cukup berhasil menyelesaikan masalah
kesepadanan makna dalam menerjemahkan istilah budaya, yaitu
peminjaman, adaptasi, dan deskripsi. Akan tetapi, pada umumnya,
hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa dalam menyelesaikan
masalah padanan untuk istilah budaya lebih sering melibatkan dua
(kuplet) atau tiga teknik (triplet) sekaligus. Di samping itu, teori
LFS juga diyakini sebagai pendekatan yang tepat dalam
menerjemahkan istilah budaya, karena teori LFS bekerja
berdasarkan makna dan fungsi bahasa.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 111


112 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
BAB 6
TEKNIK PENERJEMAHAN

6.1 Pengertian Teknik Penerjemahan


Karena semakin tingginya kebutuhan masyarakat akan
produk terjemahan berkualitas, maka para penerjemah terus
berupaya untuk mengembangkan teknik-teknik mutakhir yang
dapat bekerja secara efektif dalam menerjemahkan. Pada dasarnya,
keinginan untuk menemukan teknik-teknik tersebut berawal dari
pertanyaan-pertanyaan yang timbul setelah melakukan
penerjemahan. “Bagaimana makna yang terdapat dalam TSu
terwakili dalam TSa?”, “Metode apa yang tepat untuk
menerjemahkan teks?”, atau “Strategi atau teknik yang tepat untuk
memecahkan masalah penerjemahan pada teks?” adalah beberapa
pertanyaan yang timbul dalam upaya menemukan teknik yang
tepat dalam penerjemahan.
Istilah teknik dalam penerjemahan beraloleksi dengan kata-
kata seperti prosedur ataupun metode penerjemahan. Meskipun
beberapa pakar dalam kajian terjemahan mendefinisikan ketiga
istilah tersebut secara eksklusif, namun secara teknis ketiga istilah
tersebut merujuk kepada entitas yang sama. Hal ini senada dengan
Mason (1994) yang tidak membedakan penggunaan istilah teknik,
prosedur, dan metode penerjemahan. Menurut Nida (1964a: 23),
teknik penerjemahan adalah teknik pencocokan atau penyesuaian
dengan tujuan untuk menghasilkan padanan makna yang tepat. Dia
melanjutkan bahwa fungsi dari teknik penerjemahan adalah untuk:
(1) memungkinkan penyesuaian bentuk pesan kepada persyaratan
tata bahasa yang berlaku pada BSa; (2) menghasilkan struktur
semantik yang setara; (3) memberikan padanan makna dengan gaya
bahasa yang sesuai; dan (4) memungkinkan untuk mencapai

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 113


kesepadanan yang bersifat komunikatif. Fungsi teknik
penerjemahan yang diusulkan oleh Nida tersebut mencakup kedua
kutub pada Prinsip V yang disebutkan oleh Newmark (1988). Poin
(1), (3), dan (4) yang disebut Nida (1964a) mengacu kepada
penerjemahan yang menekankan pada TSa, sementara poin (2)
mengacu kepada penerjemahan yang menekankan pada TSu.
Sejalan dengan Nida, Mason (1994: 63) mengatakan bahwa
teknik penerjemahan merupakan suatu metode yang diadopsi untuk
mencapai hasil terjemahan, yaitu sekumpulan cara yang digunakan
dalam menyelesaikan proses penerjemahan. Berkaitan dengan
beberapa istilah dalam memahami teknik penerjemahan, Molina
dan Hurtado Albir menggabungkan istilah-istilah tersebut dalam
mendefinisikan teknik penerjemahan. Molina dan Hurtado Albir
(2002: 499) mendefinisikan teknik penerjemahan sebagai prosedur
dalam menganalisis dan mengelompokkan bagaimana padanan
penerjemahan bekerja. Menurut mereka, teknik penerjemahan
memiliki lima karakteristik dasar yaitu: (i) berdampak pada hasil
terjemahan; (ii) diklasifikasikan oleh perbandingan dengan teks
aslinya; (iii) berdampak pada unit mikro dari teks; (iv) bersifat
diskursif dan kontekstual; dan (v) bersifat fungsional.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa
teknik penerjemahan merupakan cara yang dilakukan oleh
penerjemah dalam usaha menghasilkan produk terjemahan yang
baik. Meskipun demikian, cara-cara yang digunakan harus
memperhatikan keterwakilan makna TSu dalam TSa karena
penerjemahan merupakan proses representasi dan reproduksi
makna TSu dalam TSa. Penjelasan selanjutnya tentang jenis-jenis
teknik penerjemahan yang secara langsung dapat berkontribusi
kepada hasil terjemahan.

6.2 Klasifikasi Teknik Penerjemahan


Molina dan Hurtado Albir (2002: 501) merumuskan 18
teknik penerjemahan yang dapat dijadikan sebagai referensi, yaitu
adaptasi, penambahan, peminjaman, kalke, kompensasi, deskripsi,
kreasi diskursif, padanan lazim, generalisasi, amplifikasi linguistik,

114 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


kompresi linguistik, terjemahan harfiah, modulasi, partikularisasi,
reduksi, substitusi, transposisi, dan variasi. Teknik-teknik ini
merupakan penyederhanaan ataupun pemadatan dari 24 teknik
penerjemahan yang dikemukakan oleh Vinay and Darbelnet (1977),
yaitu peminjaman, kalke, literal, transposisi, transposisi
berseberangan, modulasi, ekuivalensi, adaptasi, kompensasi,
disolusi, konsentrasi, amplifikasi, ekonomi, penguatan, kondensasi,
eksplisitasi, implisitasi, generalisasi, partikularisasi, artikularisasi,
posisi berdampingan, gramatikalisasi, dan inversi. Dari 18 teknik
penerjemahan yang diusulkan oleh Molina dan Hurtado Albir
(2002), bab ini hanya menjelaskan 16 teknik penerjemahan yang
telah dibuktikan berpengaruh secara langsung kepada hasil
terjemahan. Sementara itu, 2 teknik penerjemahan lainnya tidak
dibahas karena lebih dekat dengan teknik yang digunakan dalam
penjurubahasaan (interpreting) sehingga kontribusinya tidak dapat
dilihat secara langsung pada praktik penerjemahan.

6.2.1 Adaptasi
Adaptasi merupakan suatu teknik dalam penerjemahan yang
mengganti istilah-istilah khas yang berlaku pada BSu dengan istilah
lain yang berterima dan dikenal dalam BSa. Perhatikan terjemahan
pada (1) berikut ini.
(1) TSu : He had breakfast at 6 p.m.
TSa : Dia berbuka puasa pada jam 6 sore.
Secara literal, breakfast dipadankan dengan kata ‘sarapan’
dalam BSa. Akan tetapi, ketika makna literal tersebut digunakan,
maka hasil terjemahan tersebut rancu dan tentunya tidak akurat
karena sangat mustahil jika orang menyantap sarapan (yang
seharusnya disantap di pagi hari) di sore hari. Dengan demikian,
proses penerjemahan yang terdapat pada (1) merupakan contoh
penerapan teknik adaptasi, di mana padanan makna yang diberikan
merupakan hasil adaptasi baik terhadap konteks linguistik maupun
nonlinguistik.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 115


6.2.2 Penambahan
Penambahan merupakan teknik penerjemahan yang
diidentifikasi dengan adanya penambahan detail informasi pada
TSa yang padanan maknanya tidak terdapat dalam TSu.
Penambahan ini dilakukan melalui parafrase eksplisit atau disebut
juga dengan eksplisitasi. Terjemahan pada (2) merupakan contoh
penerjemahan dengan menerapkan teknik penambahan.
(2) TSu : Be careful!
TSa : Hati-hati di jalan ya!
Ungkapan be careful merupakan bentuk klausa kopulatif
imperatif dalam BSu yang dibentuk dengan struktur “be +
adjective”. Secara literal, ungkapan tersebut diterjemahkan dengan
‘hati-hati’, yang jika digunakan akan menimbulkan ungkapan yang
tidak lazim dalam komunikasi antarpenutur BSa. Akan tetapi
dengan menambahkan kata-kata yang lain, seperti yang terdapat
pada TSa (2), maka hasil terjemahan tersebut terdengar akrab bagi
penutur BSu. Hal yang perlu dipahami dalam teknik penerjemahan
melalui penambahan ini adalah bahwa kata-kata yang ditambah
pada TSa harus merupakan kata-kata yang tidak ditemukan
padanannya pada TSu, seperti kata ‘jalan’ pada TSa yang tidak
memiliki padanan maknanya pada TSu.

6.2.3 Peminjaman
Peminjaman merupakan teknik dalam penerjemahan yang
mengambil sebuah kata atau ungkapan dari BSu baik secara
langsung maupun dengan penyesuaian. Peminjaman secara
langsung ini disebut peminjaman murni, sedangkan peminjaman
yang menggunakan penyesuaian sistem fonetik dan morfologis BSa
disebut peminjaman naturalisasi. Peminjaman sering digunakan
dalam penerjemahan kata-kata yang baru diperkenalkan dalam BSu
(neologisme), khususnya istilah-istilah yang berhubungan dengan
perkembangan teknologi mutakhir. Terjemahan pada (3)
merupakan contoh penerapan teknik peminjaman.
(3) TSu : Everybody can get the information in my blog.

116 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


TSa : Orang dapat memperoleh informasi tersebut di
blog saya.
TSa (3) menampilkan teknik peminjaman baik peminjaman
murni maupun naturalisasi. Pemadanan kata TSu ‘information’
dengan kata ‘informasi’ merupakan contoh penerapan teknik
peminjaman naturalisasi karena peminjamannya dilakukan melalui
proses penyesuaian secara fonologis dan morfologis. Dalam BSa,
sufiks -ation tidak dikenal karena BSu menggunakan sistem yang
menyamakan ejaan dengan pelafalan. Dengan demikian, sufiks
tersebut diadaptasikan ke dalam BSa menjadi sufiks “-asi” yang
biasa digunakan dalam proses naturalisasi kata yang berasal dari
bahasa Inggris. Sementara itu, penggunaan kata ‘blog’ pada TSa
merupakan contoh penerapan teknik peminjaman murni karena
peminjaman tersebut tidak mengubah ejaan maupun pelafalan kata
tersebut.

6.2.4 Kalke
Kalke merupakan teknik penerjemahan yang melibatkan
penerjemahan harfiah sebuah kata atau frasa BSu secara langsung
ke dalam BSa, baik dalam tataran leksikal maupun struktural.
Biasanya, penerapan kalke dibarengi dengan penerapan teknik
peminjaman murni ataupun naturalisasi. Akan tetapi, hal yang perlu
dipahami adalah bahwa kalke dapat juga diterapkan sebagai teknik
peminjaman tunggal tanpa melibatkan teknik penerjemahan
lainnya. Perhatikan contoh penerjemahan pada (4) dan (5) berikut
ini.
(4) TSu : The Directorate General of Taxation issued a
decree.
TSa : Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan surat
keputusan.
(5) TSu : There are two assistant referees on the field.
TSa : Ada dua asisten wasit di lapangan.
Penerjemahan TSu pada (4) menerapkan teknik kalke
karena frasa “Directorate General” dalam TSu dipadankan
maknanya dengan “Direktorat Jenderal” dalam TSa. Pemadanan

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 117


makna ini tidak mengubah makna dan letak strukturnya pada BSa.
BSa merupakan salah satu bahasa yang menggunakan struktur frasa
DM (diterangkan menerangkan) di mana inti frasa biasanya terletak
sebelum kata yang menerangkannya. Akan tetapi, struktur tersebut
tidak berlaku pada penerjemahan TSu (4) karena struktur yang
digunakan pada TSa persis sama dengan struktur TSu.
Teknik penerjemahan yang sama juga diterapkan pada
penerjemahan TSu (5), namun dengan sedikit perbedaan dari yang
terdapat pada penerjemahan TSu (4). Pada penerjemahan TSu (5)
ini, meskipun dibarengi dengan teknik peminjaman (asisten), salah
satu unsur frasa yang diterjemahkan dilakukan secara padanan
lazim (wasit). Frasa TSu ‘assistant referees’ dipadankan maknanya
dengan “asisten wasit” dalam TSa dengan mempertahankan
struktur BSu pada TSa. Inti frasa tersebut adalah wasit, yang dalam
struktur BSa biasanya terletak sebelum kata penjelas (modifier)
karena wasit adalah nama pekerjaan, sedangkan asisten berfungsi
sebagai penjelas tentang status wasit tersebut.

6.2.5 Kompensasi
Kompensasi merupakan teknik penerjemahan yang
memperkenalkan elemen informasi TSu atau efek stilistik yang
terdapat pada posisi lain dalam TSu karena hal tersebut tidak dapat
tercermin pada posisi yang sama pada TSa. Penerapan teknik
kompensasi ini dapat dilihat pada terjemahan (6).
(6) TSu : He bought a pair of scissors.
TSa : Dia membeli sebuah gunting.
Secara literal, frasa “a pair of scissors” diterjemahkan
menjadi “sepasang gunting” dalam TSa. Akan tetapi, ketika TSa
tersebut digunakan, maka pembaca TSa akan memahami ada dua
buah gunting karena sepasang berarti dua. Oleh karena itu, padanan
yang tepat untuk frasa TSu tersebut adalah ‘sebuah gunting’ seperti
yang tampak pada TSa (6). Contoh lainnya juga termasuk
memadankan makna kata BSu ‘heart’ (yang secara literal
bermakna ‘jantung’) dengan kata ‘hati’ dalam BSa pada konteks
kalimat “She stole my heart”. Kalimat tersebut tidak diterjemahkan

118 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


menjadi “Dia mencuri jantung saya”, melainkan “Dia mencuri hati
saya” karena adanya efek stilistik pada konteks kalimat tersebut.

6.2.6 Deskripsi
Deskripsi merupakan teknik penerjemahan yang diterapkan
dengan menggantikan istilah atau ungkapan dengan deskripsi
bentuk dan fungsinya. Biasanya teknik ini digunakan dalam
penerjemahan terminologi yang bersifat lokal yang mungkin tidak
ditemukan di tempat lain. Seperti yang dipahami dalam
penerjemahan bahwa seluruh pesan yang ada dalam TSu harus
terwakili pada TSa, meskipun kata tersebut hanya ditemukan di
daerah itu saja, dan di sinilah peran teknik deskripsi sangat
dibutuhkan. Perhatikan contoh penerapan teknik deskripsi pada
terjemahan (7).
(7) TSu : Nigerian people like farinha.
TSa : Orang Nigeria menyukai farinha, makanan
tradisional dari Nigeria yang terbuat dari ubi
kayu.
Kata TSa yang membutuhkan deskripsi pada penerjemahan
TSu (7) adalah ‘farinha’ karena kata tersebut hanya dikenal di
Nigeria. Di samping itu, konteks kalimat pada TSu juga tidak dapat
dijadikan sebagai acuan apakah ‘farinha’ itu merupakan suatu
kegiatan, makanan, permainan, atau lainnya. Ketika penerjemahan
hanya dilakukan dengan menerapkan teknik peminjaman murni,
maka hasil terjemahan tersebut tetap saja tidak dapat dipahami oleh
pembaca TSa. Deskripsi harus ringkas tapi jelas, dan dapat ditulis
di antara tanda koma seperti pada TSa (7) atau ditulis di antara
tanda kurung.

6.2.7 Kreasi Diskursif


Kreasi diskursif merupakan teknik penerjemahan yang
digunakan dengan menentukan padanan sementara yang tidak
terduga atau di luar konteks. Dengan kata lain, padanan tersebut
hanya berlaku pada teks yang sedang diterjemahkan tersebut atau

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 119


teks dengan genre yang sama dengan teks tersebut. Perhatikan
contoh penggunaan teknik kreasi diskursif pada (8).
(8) TSu : Suddenly, the mouse deer shouted loudly.
TSa : Tiba-tiba sang kancil berteriak dengan
kencang.
Kreasi diskursif terjadi pada pemadanan frasa TSu “The
mouse deer” dengan “sang kancil”. Pemadanan artikel ‘the’ dengan
‘sang’ hanya berlaku pada teks ini atau pada teks sejenisnya. Pada
konteks yang lain, penggunaan kata ‘sang’ sebagai padanan makna
artikel ‘the’ tentunya menjadi suatu lelucon. Contohnya,
penerjemahan frasa “the book on the table” menjadi “sang buku di
atas sang meja” membuat hasil terjemahan tersebut tak bermakna
dalam BSa, Contoh lainnya dapat dilihat pada (9).
(9) TSu : These charges shall be levied without
discrimination.
TSa : Pungutan ini harus dibebankan tanpa
diskriminasi.
Pada penerjemahan TSu (9), kata yang diterjemahkan
melalui teknik kreasi diskursif adalah modal ’shall’ yang secara
literal bermakna ‘akan’. Namun, pada konteks genre teks hukum
seperti yang terdapat pada (9), modal tersebut mengandung makna
deontik keharusan. Pemadanan seperti ini hanya berlaku pada teks
bergenre hukum; dengan kata lain, padanan tersebut tidak berlaku
pada penerjemahan teks umum.

6.2.8 Padanan Lazim


Padanan lazim merupakan teknik penerjemahan yang
menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah diakui/lazim
(berdasarkan kamus atau penggunaan bahasa sehari-hari). Dengan
kata lain, pemadanan lazim berorientasi pada bagaimana penutur
BSa menggunakan istilah atau ungkapan BSu meskipun terkadang
terjemahan tersebut secara literal bermakna berbeda. Perhatikan
terjemahan pada (10) berikut ini.
(10) TSu : You’re welcome.
TSa : Sama-sama.

120 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Jika dilihat secara kata per kata, maka kata-kata dalam TSa
sama sekali bukan padanan literal kata-kata pada TSu. Akan tetapi,
hal yang harus dipahami adalah konteks penggunaan ungkapan
You’re welcome pada BSa. Ungkapan tersebut merupakan respons
formal dari ucapan “Thank you” dalam BSu yang sepadan
maknanya dengan ungkapan “Terima kasih” dalam BSa. Dengan
demikian, konteks yang harus dipahami adalah bagaimana penutur
TSa merespons ungkapan terima kasih dalam bahasa mereka. Pada
umumnya, ungkapan yang digunakan dalam BSa untuk merespons
ungkapan terima kasih adalah “sama-sama”.

6.2.9 Generalisasi
Generalisasi merupakan teknik penerjemahan yang
menggunakan istilah-istilah yang lebih umum atau netral dalam
BSa. Hal tersebut dilakukan karena BSa tidak memiliki padanan
yang spesifik untuk istilah-istilah tersebut. Perhatikan terjemahan
pada (11) berikut ini.
(11) He lives in a flat.
Dia tinggal di apartemen.
Kata “flat” pada TSu (1) tidak memiliki padanan makna
yang spesifik dalam BSa yang dapat membedakannya dengan kata
yang sejenis dengannya seperti ‘apartemen’, sehingga kata
‘apartemen’ tersebut masih merupakan kata yang sering digunakan
untuk mewakili makna ‘flat’ yang sebenarnya. Kata ‘apartemen’ itu
sendiri merupakan kata pinjaman dari kata BSu “apartment” yang
sudah dipakai secara luas oleh penutur BSa.

6.2.10 Amplifikasi Linguistik


Amplifikasi linguistik merupakan teknik penerjemahan
yang dilakukan dengan menambah elemen-elemen linguistik.
Teknik ini sering digunakan dalam penerjemahan teks berbentuk
dialog. Perhatikan contoh penerapan teknik ini pada terjemahan
(12).
(12) TSu : Not at all.
Tidak, sama sekali tidak.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 121


“Not at all” merupakan respons yang menyatakan
persetujuan terhadap permintaan atau tawaran yang disampaikan
melalui ungkapan yang diawali dengan “Do/Would you mind?”.
Secara literal, ‘not at all’ dipadankan maknanya dengan ‘tidak
semuanya’, namun makna tersebut tidak dapat dipahami secara
komprehesif oleh pembaca TSa dalam konteks tersebut, sehingga
makna tersebut membutuhkan penambahan elemen-elemen
linguistik yang lain. Dengan menambah elemen linguistik “sama
sekali tidak”, maka makna yang disampaikan dapat dipahami
dengan baik. Contoh penerapan teknik amplifikasi lainnya dapat
dilihat pada (13).
(13) TSu : Upon receiving such a report, the flag State
shall investigate the matter and, if
appropriate, Ø take any action necessary to
remedy the situation.

TSa : Setelah menerima laporan demikian, Negara


bendera harus menyelidiki masalah itu dan,
apabila diperlukan, harus mengambil tindakan
yang diperlukan untuk memperbaiki keadaan.
(Diambil dari Pakpahan, 2016).

TSa pada (13) menggunakan dua makna modalitas yang


keduanya diwakili oleh kata ‘harus’ yang merupakan padanan
modal ‘shall’. Sementara itu, pada TSu, hanya ditemukan sebuah
modal ‘shall’ yang merupakan modifier untuk verba ‘investigate’,
sementara verba ‘take’ tidak didahului oleh modal ‘shall’. Hal ini
bermakna bahwa pada TSa telah terjadi penambahan elemen
linguistik yaitu modalitas ‘harus’. Penambahan elemen linguistik
pada (13) juga bermakna penambahan makna ‘ketegasan’ pada
kalimat TSa karena ‘harus’ merupakan kata yang berfungsi sebagai
modalitas deontik keharusan (Pakpahan, 2016: 86).

122 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


6.2.11 Kompresi Linguistik
Kompresi linguistik merupakan teknik penerjemahan yang
mengumpulkan dan menjadikan elemen-elemen linguistik dalam
teks. Tidak seperti teknik amplifikasi linguistik yang menambah
elemen linguistik, kompresi linguistik justru mengurangi elemen
linguistik dengan tetap mempertahankan makna asli yang terdapat
pada TSu. Terjemahan pada (14) berikut ini merupakan contoh
penerapan teknik kompresi linguistik.
(14) TSu : As far as I know.
TSa : Menurut saya.
Kompresi linguistik tampak ketika beberapa elemen
linguistik pada TSu (14) digabungkan pada TSa. Hal ini terjadi
karena secara literal, TSu yang bermakna ‘Sejauh yang saya tahu’,
merupakan struktur yang terdengar asing bagi penutur BSa, dan
mudah diprediksi sebagai produk terjemahan. Di samping makna
yang terdapat pada TSa (14) ‘Menurut saya’, makna lain yang
memungkinkan sebagai padanan TSu tersebut adalah
“Sepengetahuan saya”.

6.2.12 Terjemahan Harfiah/Literal


Terjemahan harfiah disebut juga dengan terjemahan literal.
Teknik terjemahan ini menerjemahkan sebuah ungkapan kata demi
kata. Dalam menggunakan teknik ini, seorang penerjemah tidak
mengaitkan terjemahannya dengan konteks. Teknik penerjemahan
ini sangat erat dengan penerjemahan yang bersifat setia kepada
TSa. Pelajari contoh terjemahan pada (15).
(15) TSu : Indonesia has so many islands that it has
never been able to fully count or name them.

TSa : a. Indonesia memiliki banyak pulau sehingga


tidak pernah dapat menghitung jumlahnya
secara utuh atau menamai mereka.

b. Banyaknya pulau di bawah kekuasaannya


membuat Indonesia tidak pernah dapat
menghitung jumlahnya secara utuh ataupun

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 123


memberikan nama untuk seluruh pulau
tersebut.
Contoh terjemahan pada (15) menyajikan dua versi TSa
sebagai hasil terjemahan satu TSu. Ketika dibaca dengan cermat,
maka kedua versi TSa tersebut menyampaikan makna yang sama,
namun terdapat perbedaan dalam cara menyajikan makna tersebut.
TSa pada (15a) dihasilkan dari penerapan teknik literal karena kata-
kata yang diterjemahkan dan susunan kata-kata tersebut benar-
benar mengikuti gaya penulisan yang terdapat pada TSu.
Sementara itu, TSa pada (15b) hanya mempertahankan makna TSu,
namun bagaimana makna tersebut dituliskan kembali pada TSa
tidak mengikuti gaya penulisan atau tata letak kata-kata pada TSu.
Penerjemahan literal ini cenderung menghasilkan hasil terjemahan
yang kaku yang berbasis kepada penerjemahan secara semantis
(Newmark, 1988).

6.2.13 Modulasi
Teknik terjemahan ini mengganti sudut pandang, fokus,
atau kategori kognitif dalam hubungannya dengan TSu; dalam
tataran leksikal atau struktural. Penerjemahan struktur aktif ke
dalam struktur pasif merupakan salah satu contoh penerapan teknik
modulasi. Jika dihubungkan dengan teori linguistik fungsional
sistemik (LFS), teknik modulasi ini mengubah elemen tema klausa
yang tentunya berpengaruh kepada penyusunan alur gagasan dalam
suatu teks. Perhatikan contoh terjemahan pada (16).
(16) TSu : The problem of this research is limited to the
type and function of translation models.

TSa : Penulis membatasi permasalahan penelitian ini


pada tipe dan fungsi model-model
penerjemahan.
TSu pada (16) menjadikan permasalahan penelitian sebagai
fokus kalimat, akan tetapi fokus kalimat pada TSa berubah menjadi
penulis; dengan kata lain, fokus TSu adalah “Apa yang dibatasi?”,
sedangkan fokus TSa adalah “Siapa yang membatasi?”. TSa pada

124 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


(16c) berikut ini juga merupakan alternatif lain dari penerjemahan
TSu pada (16).
(16c) Tipe dan fungsi model-model penerjemahan
merupakan permasalahan yang dibatasi pada
penelitian ini.
Pada (16c), fokus TSa berubah menjadi ‘tipe dan fungsi
model-model penerjemahan’. Hal ini dapat dibuktikan dengan
memunculkan pertanyaan untuk TSa pada (16c). Pertanyaan yang
sesuai untuk TSa tersebut adalah “Apa permasalahan yang dibatasi
pada penelitian ini?”. Perbedaan sudut pandang ini sah-sah saja
sepanjang tidak mengubah makna asli yang terdapat pada TSu.

6.2.14 Partikularisasi
Partikularisasi merupakan teknik terjemahan yang
menggunakan istilah yang lebih kongkret atau khusus. Teknik ini
bertolak belakang dengan teknik generalisasi. Perhatikan contoh
terjemahan pada (17).
(17) TSu : Traveling by air transport is more preferred.
TSa : Perjalanan dengan menggunakan pesawat
lebih disukai.
Frasa ‘air transport’ pada TSa (17) diterjemahkan dengan
kata ‘pesawat’ yang merupakan bentuk penerapan partikularisasi
karena sebenarnya masih ada beberapa kata lain yang termasuk ke
dalam kategori ini seperti helikopter dan jet. Akan tetapi, dengan
mempertimbangkan konteks TSu yang mengandung kata
‘traveling’, maka jenis transportasi udara (padanan literal dari kata
TSu ‘air transport’) yang paling tepat digunakan adalah ‘pesawat’.

6.2.15 Reduksi
Reduksi merupakan teknik penerjemahan yang
menekan/memadatkan fitur informasi TSu ke dalam TSa. Teknik
ini juga dapat disebut sebagai kebalikan dari teknik penambahan.
Kalau teknik penambahan memberikan tambahan detail informasi
pada TSa, reduksi justru mengurangi detail informasi TSu dalam
TSa. Perhatikan contoh terjemahan pada (18) berikut ini.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 125


(18) TSu : This house, according to some people, is full of
mistery.
TSa : Rumah itu penuh misteri.
Dilihat dari jumlah kata yang digunakan pada TSa, maka
konstruksi TSa jauh lebih pendek daripada TSu karena adanya
pengurangan detail informasi yang terdapat pada TSu. Bentuk
reduksi ini dilakukan karena ‘according to some people’ (dapat
dipadankan maknanya dengan ‘menurut beberapa orang’ dalam
BSa) tidak memberikan pengaruh kepada makna sebenarnya yang
terdapat pada TSa. Penerapan teknik reduksi dalam penerjemahan
dimaksudkan untuk menghasilkan teks yang ringkas dan padat
dengan tidak mengurangi makna yang terdapat pada TSu.

6.2.16 Transposisi
Teknik terjemahan ini mengganti kategori gramatikal.
Teknik ini juga disebut dengan teknik pergeseran kategori, struktur,
ataupun unit. Perhatikan contoh penerapan teknik nominalisasi ini
pada terjemahan (19).
(19) TSu : BPI chief executive Cezar Consing apologised
on Wednesday morning in an interview with a
local TV station.

TSa : Pimpinan eksekutif BPI, Cezar Consing,


menyatakan permintaan maafnya pada Rabu
pagi dalam sebuah wawancara di televisi lokal.
Teknik ini sangat dekat dengan nominalisasi, yaitu proses
pembentukan nomina yang berasal dari kategori gramatikal lain.
Bentuk nominalisasi yang terjadi pada TSa (19) adalah mengubah
fungsi verba TSu ‘apologised’ menjadi nomina ‘permintaan
maafnya’ pada TSa. Nominalisasi yang terdapat pada TSa (19)
merupakan suatu keputusan yang tepat karena (i) padanan makna
yang direalisasikan dalam bentuk nomina pada TSa ini tidak
mengubah ataupun mengurangi makna yang terdapat pada TSu,
dan (ii) bentuk frasa nomina yang dihasilkan pada TSa merupakan
bentuk yang lazim digunakan oleh penutur BSa.

126 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


6.3 Varian Tunggal, Kuplet, Triplet, dan Kuartet
Dalam menggunakan teknik penerjemahan, seorang
penerjemah dapat menggunakan beberapa varian, yaitu tunggal,
kuplet, triplet, dan kuartet. Varian teknik penerjemahan ini didasari
atas jumlah teknik penerjemahan yang digunakan dalam
menerjemahkan satu klausa atau tuturan. Berdasarkan tingkat
kesulitan dan kompleksitas klausa, penerjemah dapat memutuskan
untuk menggunakan satu teknik saja (varian tunggal) atau harus
memadukan dua teknik penerjemahan (kuplet), tiga teknik
penerjemahan (triplet), atau bahkan empat teknik penerjemahan
(kuartet) sekaligus.
Terjemahan pada (20) berikut ini merupakan contoh dari
penggunaan teknik varian tunggal (contoh diambil dari Rahesa RM
dan Rosa, 2020).
(20) TSu : But Snow White was still in a deep sleep.

TSa : Namun Putri Salju masih tertidur lelap.

Teknik terjemahan yang digunakan untuk menerjemahkan


TSu pada (20) adalah padanan lazim, dan merupakan satu-satunya
jenis teknik penerjemahan yang digunakan. Secara literal atau
harfiah, “Snow White” bermakna “Putih Salju”, namun penerjemah
memutuskan untuk menggunakan “Putri Salju” sebagai
padanannya. Pemilihan diksi ini didasari fakta bahwa cerita tentang
“Putri Salju” sudah diketahui oleh pembaca BSa, sehingga diksi
tersebut dianggap sebagai padanan yang sudah lazim digunakan.
Begitu juga halnya dengan pemadanan frasa “was still in a deep
sleep” yang lazim dipadankan dengan “masih tertidur lelap” dalam
BSa.
Berbeda dengan terjemahan pada (20), penerjemahan TSu
pada (21) melibatkan dua teknik penerjemahan (varian kuplet).
(21) TSu : Once upon a time, there was a beautiful
princess named Snow White.

TSa : Alkisah, ada seorang putri cantik yang


bernama Putri Salju.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 127


Ada dua teknik yang digunakan dalam menerjemahkan TSu
pada (21), yaitu kreasi diskursif dan padanan lazim. Pertama,
penggunaan kata “alkisah” sebagai padanan dari frasa TSu “once
upon a time” dilatarbelakangi oleh penggunaan teknik kreasi
diskursif karena kata tersebut tidak umum digunakan dalam
percakapan sehari-hari penutur BSa. Kata seperti itu hanya
digunakan dalam konteks tertentu, seperti dalam dongeng, cerita
pendek, dan drama. Alasan lainnya adalah BSa sudah memiliki
padanan yang tepat untuk frasa TSu tersebut, yaitu “pada zaman
dahulu”. Selanjutnya, kata “Snow White” diterjemahkan menjadi
“Putri Salju” dalam TSa melalui penggunaan teknik padanan lazim.
Hal ini disebabkan fakta bahwa “Putri Salju” sudah lazim
digunakan atau sudah dikenal luas oleh pembaca BSa. Kedua
teknik tersebut bersama-sama digunakan dalam TSa untuk
membangun padanan makna TSu.
Berikutnya, contoh penggunaan tiga teknik penerjemahan
(varian triplet) dapat dilihat pada (22).
(22) TSu : The princess knocked, but no one was home.

TSa : Sang putri mengetuk pintu, tetapi tidak ada


seorang pun di rumah.

Teknik penerjemahan pertama yang digunakan pada (22)


adalah kreasi diskursif. Keputusan penerjemah untuk menggunakan
frasa “Sang putri” sebagai padanan frasa TSu “The princess”
menunjukkan penggunaan teknik kreasi diskursif. Artikel TSu
“The” diterjemahkan “Sang” hanya dapat digunakan dalam konteks
seperti pada (22). Kata ini secara khusus digunakan dalam teks
dongeng atau fabel. Kata “Sang” tidak mungkin digunakan dalam
terjemahan umum. Sebagai contoh, sangat tidak lazim jika kita
memadankan frasa “The book” dengan frasa “Sang buku” dalam
bahasa Indonesia, sehingga padanan seperti itu tidak berterima
dalam bahasa Indonesia.
Teknik kedua yang digunakan pada terjemahan (22) adalah
amplifikasi atau penambahan. Dalam TSa, penerjemah

128 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


menambahkan kata “pintu” yang padanannya tidak ditemukan
dalam TSu. Keputusan untuk menambahkan kata tersebut
disebabkan oleh konteks di mana kata itu digunakan. Dalam
budaya BSu, kata “mengetuk” identik dengan tindakan “mengetuk
pintu”. Meskipun kata “pintu” tidak ditemukan pada TSu,
penerjemah memberikan tambahan makna tersebut pada TSa untuk
membuatnya lebih mudah dipahami.
Teknik ketiga yang digunakan dalam menerjemahkan TSu
pada (22) adalah padanan lazim. BSa telah memiliki padanan yang
lazim untuk kata “princess”, yaitu “puteri”. Dengan demikian,
penerjemah tidak perlu membuat terminologi baru dalam TSa
untuk mengakomodasi padanan makna kata “princess”.
Di samping ketiga varian tersebut, penerjemah juga dapat
menggunakan empat teknik sekaligus (varian kuartet) dalam
menerjemahkan sebuah kalimat seperti yang disajikan pada (23).
(23) TSu : The Dwarfs wanted to protect the beautiful
princess from the evil queen, so they invited
Snow White to live with them.

TSa : Para kurcaci ingin melindungi sang putri dari


ratu yang jahat, maka mereka mengajak Putri
Salju tinggal bersama mereka.

Teknik penerjemahan pertama yang digunakan pada (23)


adalah padanan lazim yang digunakan untuk menerjemahkan kata
TSu “Dwarfs” dan “Snow White”. Kata “Dwarf” secara harafiah
berarti “kerdil” dalam BSa, akan tetapi dalam konteks dongeng,
kata tersebut lazim dipadankan dengan kata “kurcaci” seperti yang
tampak pada TSa. Teknik ini juga digunakan dalam pemadanan
kata TSu “Snow White” dengan kata “Putri Salju” dalam TSa.
Teknik kedua yang digunakan pada (23) adalah kreasi
diskursif. Seperti yang terdapat pada terjemahan (22), kata “the”
dalam TSu diterjemahkan dengan kata “sang” dalam TSa.
Penggunaan kata “sang” pada TSu menerangkan secara khusus
putri yang mana yang sedang dibicarakan pada cerita tersebut.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 129


Teknik ketiga yang digunakan adalah reduksi atau
pengurangan makna. Kata “beautiful” dalam TSu (yang secara
harfiah bermakna “cantik” dalam BSa) dihilangkan maknanya pada
TSa sehingga tidak ditemukan padanan khusus untuk kata tersebut
dalam TSa. Keputusan penerjemah untuk menghilangkan makna
kata tersebut karena pada umumnya seorang putri yang diceritakan
dalam dongeng berparas cantik sehingga penerjemah merasa tidak
perlu lagi untuk memasukkan kata tersebut dalam TSa. Keputusan
penggunaan teknik reduksi seperti ini sudah tepat karena
penghilangan makna yang dilakukan tidak mempengaruhi makna
TSu yang disampaikan.
Teknik keempat yang digunakan adalah terjemahan harfiah
yang melibatakan penerjemahan frasa TSu seperti “wanted to
protect”, “evil queen”, dan “live with them”. Frasa-frasa tersebut
diterjemahkan berdasarkan makna kamus yang berlaku pada BSa.
Frasa “wanted to protect” yang dipadankan maknanya dengan
“ingin melindungi” merupakan hasil dari terjemahan kata-kata
“want” yang menurut kamus bermakna “ingin” dan “protect” yang
bermakna “melindungi”. Sementara kata “to” memang tidak
diterjemahkan karena kata tersebut merupakan kata yang lengket
pada kata “want” ketika diikuti oleh unsur kata verba.
Dari contoh-contoh yang disajikan pada (20) – (23) jelas
terlihat bahwa faktor utama yang mendasari penggunaan varian
tunggal, kuplet, ataupun triplet adalah tingkat kesulitan atau
kompleksitas klausa yang diterjemahkan. Sementara itu, panjang
atau pendeknya klausa ataupun banyak atau sedikitnya jumlah kata
dalam klausa bukan merupakan alasan utama pemilihan varian
teknik penerjemahan.

6.4 Kesimpulan
Teknik penerjemahan akan memandu seorang penerjemah
dalam memutuskan padanan yang tepat mewakili makna yang ingin
disampaikan TSu. Pada hakikatnya, setiap padanan makna TSu
yang disajikan pada TSa harus didasari teknik tertentu. Jenis dan
varian teknik penerjemahan memiliki peran penting dalam

130 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


menghasilkan terjemahan yang baik. Penggunaan teknik
penerjemahan sangat bergantung pada beberapa faktor, yaitu (i)
jenis teks; (ii) kedekatan antara bahasa-bahasa yang terlibat; (iii)
ketersediaan padanan makna pada BSa; dan (iv) tingkat kesulitan
dan kompleksitas klausa atau tuturan.
Penerjemahan yang baik tentunya merupakan penerjemahan
yang didasari atas keputusan pemilihan padanan makna yang
matang, dan hal tersebut sangat bergantung kepada pemilihan
teknik yang tepat untuk teks yang tepat pula. Hal ini
mengindikasikan bahwa tidak ada satu pun teknik penerjemahan
yang lebih baik (superior) dari teknik lainnya. Semua teknik
penerjemahan itu penting tergantung kepada empat faktor yang
disebutkan di atas.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 131


132 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
BAB 7
PENILAIAN KUALITAS TERJEMAHAN

7.1 Pengertian Penilaian Kualitas Terjemahan


Penilaian kualitas terjemahan dikenal dengan istilah
Translation Quality Assessment (TQA), dan maknanya dapat
dipadankan dengan istilah penilaian kualitas terjemahan (PKT)
dalam bahasa Indonesia. PKT merupakan salah satu jenis evaluasi
di bidang terjemahan. Sementara itu, evaluasi, menurut Scriven
(2007: 3), merupakan alat ukur yang digunakan untuk menentukan
kebernilaian, kepatutan, atau kebermaknaan sesuatu. Mesipun
demikian, definisi ini juga masih mengundang beragam pertanyaan,
seperti “Bagaimana kita mendefinisikan kebernilaian atau
kepatutan?”, atau “Apakah kebernilaian dan kepatutan tersebut
dilihat dari segi moral, keindahan, atau manfaat?”, atau “Apa
kriteria yang digunakan untuk mengatakan bahwa sesuatu itu baik,
sementara yang lainnya buruk?”. Berbagai pertanyaan ini telah
merangsang para peneliti untuk menjelaskan makna kata evaluasi
tersebut dengan memunculkan kriteria-kriteria yang tepat dan
ilmiah berdasarkan hasil temuan penelitiannya.
Berkaitan dengan PKT, kriteria yang pernah dibuat oleh ahli
penerjemahan selalu berbeda-beda, tergantung pada tujuan
penilaian dan pada kerangka teori yang diterapkan oleh ahli yang
menilai kualitas terjemahan tersebut. Oleh karena itu, definisi
terjemahan yang baik atau buruk dan sarana untuk menentukannya
masih menjadi perdebatan dan masih berlangsung hingga kini.
Salah satu jawaban atas pertanyaan “Bagaimana produk terjemahan
yang baik atau berterima?’ adalah bahwa terjemahan yang baik
harus seakurat mungkin, dan ketika dibaca, terjemahan tersebut
tidak seperti teks terjemahan (Newmark, 1991: 111). Pernyataan

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 133


Newmark tersebut mendukung pernyataan Larson (1984: 529)
tentang penilaian kualitas penerjemahan yang menurutnya dapat
dilihat dari tiga aspek: keakuratan (accuracy), kejelasan (clarity),
dan kealamiahan (naturalness). Keakuratan bermakna bahwa TSa
harus mewakili makna keseluruhan yang terdapat pada TSu – tidak
bertambah dan tidak berkurang. Selanjutnya, kejelasan
berhubungan dengan keterbacaan TSa oleh pembacanya sehingga
TSa tersebut dapat dipahami dengan mudah. Berikutnya,
kealamiahan berhubungan dengan struktur tata bahasa pada TSa.
Terkadang suatu TSa mengandung struktur kalimat yang asing
digunakan dalam BSa meskipun memiliki akurasi dan kejelasan
yang baik. Kealamiahan ini bertujuan agar pembaca dapat
membaca teks terjemahan seperti membaca teks pada bahasa
mereka sendiri. Ketiga aspek kualitas terjemahan ini jugalah yang
diadaptasi oleh Nababan dkk. (2012) dalam pengembangan PKT.
Berkaitan dengan keakuratan, Farahzad (1992: 274)
menyatakan ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam menilai
kualitas suatu teks terjemahan. Faktor pertama adalah keakuratan
dalam pengertian bahwa penerjemahan harus menyampaikan
informasi yang terdapat pada TSu secara benar dan utuh. Faktor
kedua adalah keselarasan dalam pengertian bahwa kalimat-kalimat
yang terdapat pada TSa harus seperti kalimat-kalimat pada
umumnya dalam BSa and harus benar menurut tata bahasa BSa. Di
samping kedua faktor tersebut, Khanmohammad dan Osanloo
(2009) menambahkan faktor budaya harus mendapat porsi
tersendiri dalam mengembangkan model PKT.
Meskipun demikian, ‘kekuratan’ yang disampaikan oleh
Larson (1984) dan Newmark (1991) masih merupakan konsep
relasional, yaitu kita harus bertanya ‘keakuratan’ tersebut
berdasarkan apa, atau dibandingkan dengan apa. Tolok ukur untuk
evaluasi tersebut biasanya merupakan TSu, dengan kata lain,
terjemahan yang akurat harus didasari pada reproduksi pesan yang
terdapat pada TSu (Schaffner, 1998: 1). Sebagai pengganti istilah
‘terjemahan yang baik’, beberapa ahli penerjemahan lebih memilih

134 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


untuk menggunakan istilah ‘terjemahan yang memadai secara
pragmatis’ atau ‘terjemahan yang sesuai berdasarkan fungsinya’.
Dalam menilai kualitas terjemahan, TSa dibandingkan
dengan TSu untuk melihat apakah TSa telah akurat, benar, tepat,
setia, atau reproduksi sebenarnya dari TSu. Perbandingan ini
melibatkan aspek kuantitatif, yaitu kecukupan transfer isi pesan dan
aspek kualitatif, yaitu akurat dalam denotasi dan konotasi, referensi
dan pragmatis (Newmark, 1991: 111). Ketika Newmark
menyebutkan “akurat secara pragmatis”, ia memperkenalkan aspek
tekstual dan aspek situasional. Kontribusi penting dari model ini
telah mengubah fokus penerjemahan sebagai reproduksi teks
menjadi penerjemahan sebagai produksi teks. Dasar prinsip ini
menunjukkan bahwa kita tidak menerjemahkan kata atau struktur
tata bahasa, tetapi menerjemahkan teks yang berkaitan dengan
situasi dan budaya serta untuk memenuhi fungsi tertentu
(Schaffner, 1998: 1). Dari pandangan di atas jelas terlihat bahwa
akurasi memainkan peranan yang paling penting dalam
menentukan terjemahan yang berkualitas.
Selanjutnya, Elmgrab (2013: 59) memperkenalkan lima
kriteria penilaian kualitas terjemahan, (i) kriteria frekuensi, yang
secara kuantitatif berorientasi dan menilai kesalahan dalam hal
jumlah terjadinya; (ii) kriteria umum, yaitu evaluasi yang dilakukan
berdasarkan pelanggaran atas aturan mayor atau minor. Kesalahan
mayor berhubungan dengan kegagalan menggunakan aturan tata
bahasa secara umum; (iii) kriteria kejelasan; yang menyatakan
bahwa kita lebih cenderung memahami TSa dengan bantuan makna
kata-kata tanpa struktur sintaksis daripada dengan bantuan struktur
sintaksis tanpa makna kata-kata; (iv) kriteria interpretasi, yang
berkaitan dengan seberapa jauh interpretasi penerjemah terhadap
TSu sehingga dia dapat menentukan apakah makna TSa telah
sesuai atau menyimpang dari makna TSu; dan (v) kriteria
kealamian, yang mencari domestikasi dari BSu ke BSa dan
keterhubungan budaya antara BSu dan BSa.
Meskipun demikian, model PTK yang disebutkan di atas
belum tercermin dalam aspek-aspek penilaian yang mendetail

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 135


sehingga timbul permasalahan betapa sulitnya menggradasi kualitas
terjemahan. Gradasi yang dimaksudkan di sini muncul karena
akurat dan tidak akurat bukan merupakan antonim mutlak sehingga
memungkinkan munculnya beberapa tingkatan. Para ahli (seperti
Nababan dkk. 2012) hanya membagi tiga tingkatan (akurat, kurang
akurat, dan tidak akurat). Akan tetapi, tiga tingkatan ini perlu
dikembangkan mengingat kategori ‘kurang akurat’ masih
memerlukan eksplorasi lebih jauh lagi, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas.

7.2 Model Penilaian Kualitas Terjemahan


Sampai saat ini, penilaian kualitas terjemahan (PKT) terus
mendapat perhatian yang serius dalam penelitian-penelitian di
bidang kajian terjemahan. Beberapa penelitian tentang teori PKT
(House, 1997; McAlester, 2000; Bowker, 2001; Melis & Hurtado
Albir, 2001; Williams, 2001; Garant & Garant, 2001; Waddington,
2001; Khanmohammad & Osanloo, 2009; Nababan dkk., 2012;
Sofyan & Tarigan, 2019) menghasilkan model-model evaluasi
kualitas terjemahan. Dalam penelitiannya tentang peniliaian
kualitas produk terjemahan dari bahasa ibu ke bahasa asing,
McAlester (2000: 230-231) menyatakan bahwa metode yang harus
digunakan dalam PKT harus bersifat tahan uji, sahih, objektif, dan
praktis.
Meskipun para pakar dalam kajian terjemahan yang
disebutkan di atas telah merancang dan mengembangkan berbagai
model PKT, masalah PKT tidak berhenti karena TSa tertentu
mungkin memiliki kualitas yang berbeda ketika dinilai oleh model
PKT yang berbeda. Ini masalah penting yang perlu mendapat
perhatian serius dan eksplorasi untuk mengetahui faktor-faktor
penyebab masalah tersebut. Berikut ini dijabarkan beberapa model
PKT serta keunggulan dan kelemahannya dan alternatif solusi
dalam mengatasi kelemahan tersebut.
7.2.1 Model PKT Hurtado Albir
Model PKT Hurtado Albir (1995) dikembangkan
berdasarkan analisis kesalahan (error analysis). Pada model PKT
136 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
ini, setiap kesalahan yang ditemukan (baik pada tata bahasa
maupun padanan kata) mendapat poin negatif yang dikelompokkan
kepada kesalahan mayor (-2 poin) dan kesalahan minor (-1 poin)
seperti yang disajikan pada Tabel 7.1.

Tabel 7.1 Model PKT Hurtado Albir


Nilai
No. Aspek yang Dinilai Kesalahan Kesalahan
Total
Minor (-1) Mayor (-2)
1 Pemadanan tidak sesuai
akibat kesalahan dalam
pemahaman TSu
a. Salah tafsir
b. Pemahaman TSu yang
salah
c. Makna yang salah
d. Penambahan
e. Penghilangan
f. Referensi ekstralinguistik
yang tidak terpecahkan
g. Kehilangan makna
h. Ketidaksesuaian variasi
linguistik (register, gaya
bahasa, dialek)
2 Pemadanan tidak sesuai
sehingga memengaruhi
kualitas kalimat-kalimat TSa
a. Ejaan
b. Tata Bahasa
c. Kata
d. Teks
e. Gaya Bahasa
3 Pemadanan tidak sesuai
sehingga memengaruhi
penyampaian makna dari
fungsi utama TSu
Total (100 – Total Nilai Kesalahan)

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 137


Berdasarkan informasi yang disajikan pada Tabel 7.1,
model PKT Hurtado Albir ini membagi aspek kesalahan
penerjemahan ke dalam tiga kategori utama, yaitu (1) pemadanan
yang tidak sesuai akibat kesalahan dalam pemahaman Tsu; (2)
pemadanan yang tidak sesuai sehingga memengaruhi kualitas
kalimat-kalimat Tsa; dan (3) pemadanan yang tidak sesuai sehingga
memengaruhi penyampaian makna dari fungsi utama Tsu.
Kesemua aspek ini berhubungan dengan kualitas pemadanan
makna TSu pada TSa yang dinilai berdasarkan kategori kesalahan
mayor (serius) dan kesalahan minor. Kesalahan mayor pada setiap
aspek yang dinilai akan diberikan pengurangan dua poin (-2), dan
kesalahan minor pada setiap aspek yang dinilai akan diberikan
pengurangan satu poin (-1). Di samping pengurangan poin, model
PKT ini juga memberikan penambahan nilai satu poin untuk setiap
pemadanan makna yang merefleksikan usaha pemecahan masalah
penerjemahan yang luar biasa. Seluruh nilai yang diberikan pada
kolom bagian kanan model PKT Hurtado Albir, baik nilai negatif
maupun positif, dijumlahkan, dan hasil penjumlahan inilah
merupakan hasil akhir nilai kualitas terjemahan.
Model PKT yang dikembangkan oleh Hurtado Albir (1995)
ini menunjukkan keterwakilan kualitas secara menyeluruh, tetapi
dalam mencapai nilai akhir kurang baik karena tidak
mempertimbangkan panjangnya teks. Hurtado Albir berusaha
menilai secara keseluruhan aspek yang dibutuhkan dalam
menghasilkan terjemahan yang berkualitas, akan tetapi penggunaan
poin yang diusulkan kurang dapat mengakomodir panjangnya teks
yang diterjemahkan. Penggunaan skor seperti itu akan
menimbulkan kecenderungan bahwa teks yang panjang mendapat
nilai minus yang lebih banyak daripada teks yang pendek. Dengan
demikian, perlu dipertimbangkan penilaian poin dengan
menggunakan persentase yang mengakomodir proses pemberian
poin tersebut.

138 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


7.2.2 Model PKT Waddington
Berbeda dengan model PKT Hurtado Albir yang
dikembangkan berdasarkan analisis kesalahan, model PKT
Waddington (2001) dikembangkan berdasarkan asas holistik,
dalam pengertian bahwa penilaian dilakukan berdasarkan kualitas
teks terjemahan untuk setiap aspek kualitas yang dinilai. Dalam
model PKT yang dikembangkannya, Waddington (2001: 314-315)
membuat skala 5 tingkatan untuk menilai kualitas terjemahan yang
dilengkapi dengan deskripsi kualitas terjemahan pada masing-
masing tingkatan tersebut. Model PKT yang dikembangkan oleh
Waddington ini dapat dilihat pada Tabel 7.2.

Tabel 7.2 Model PKT Waddington


Tingkat
Keakuratan pengalihan Kualitas pengungkapan
Tingkatan Penuntasan
makna TSu ke TSa makna TSu pada TSa
TSa
Tingkat 5 Informasi pada TSu Hampir seluruh isi TSa Berhasil
disampaikan secara utuh dibaca seperti asli
pada TSa; hanya revisi ditulis dalam langgam
minor yang diperlukan BSa, namun terdapat
untuk mencapai standar sedikit kesalahan pada
profesional. kata, tata bahasa, atau
ejaan.
Tingkat 4 Informasi TSu yang Sebagian besar isi TSa Hampir
disampaikan pada TSa dibaca seperti asli Berhasil
hampir lengkap; namun ditulis dalam langgam
terdapat sedikit BSa, terdapat beberapa
ketidakakuratan yang kesalahan pada kata,
tidak signifikan; tata bahasa, atau ejaan.
membutuhkan revisi untuk
mencapai standar
profesional.
Tingkat 3 TSa menyampaikan Bagian tertentu dari Cukup
gagasan umum TSu TSa dibaca seperti asli
dengan sejumlah ditulis dalam langgam
penyimpangan BSa, akan tetapi bagian
akurasinya; TSa perlu lainnya masih terkesan
revisi yang cukup untuk hasil terjemahan,
mencapai standar terdapat banyak
profesional. kesalahan pada kata,

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 139


tata bahasa, atau ejaan.
Tingkat 2 Proses penyampaian Hampir seluruh isi TSa Tidak
informasi terganggu oleh terkesan hasil Cukup
ketidakakuratan yang terjemahan dan terdapat
serius; TSa perlu revisi kesalahan beruntun
secara menyeluruh untuk pada kata, tata bahasa,
mencapai standar atau ejaan.
profesional.
Tingkat 1 TSa benar-benar gagal Tampak kurangnya Gagal
menyampaikan informasi kemampuan
TSu; TSa tidak dapat penerjemah dalam
diperbaiki. mengekspresikan
dirinya secara memadai
dalam Bsa

Tidak seperti model PKT yang diusung Hurtado Albir


(1995), model PKT yang dikembangkan oleh Waddington (2001)
bersifat holistik. Akan tetapi, model PKT ini belum mampu
mengungkapkan keterwakilan kualitas yang sama baiknya jika
dibandingkan dengan model yang analitik seperti yang
dikembangkan oleh Hurtado Albir (1995). Selain itu, kualitas
ekspresi tidak selalu hadir dalam kategori yang sama dengan
dengan kualitas akurasi seperti yang dirumuskan Waddington. Oleh
karena itu, nilai akurasi mungkin saja pada tingkat 3, tetapi kualitas
ekspresi pada tingkat 4. Jika hal ini terjadi, maka akan sulit
menghitung nilai akhir. Ini umumnya kelemahan model PKT yang
bersifat holistik. Misalnya, deskripsi kualitas “Hampir seluruh isi
TSa dibaca seperti teks asli yang ditulis dalam langgam BSa,
dengan sedikit kesalahan pada kata, tata bahasa, atau ejaan.”
tidak mengatur kualitas yang bagaimana yang mirip seperti TSa
yang asli tersebut. Seharusnya deskripsi umum ini diikuti oleh
penjelasan yang lebih detail sehingga gradasi kualitas yang
kompetitif dapat diperoleh. Meskipun demikian, penentuan
skor/poin yang ditawarkannya lebih baik dari penilaian Hurtado
Albir (1995) karena dapat mewakili panjang atau pendeknya teks
yang diterjemahkan.

140 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


7.2.3 Model PKT Nababan dkk.
Seperti model PKT yang dikembangkan oleh Waddington,
Model PKT yang dikembangkan oleh Nababan dkk. (2012) juga
bersifat holistik. Namun, berbeda dengan Waddington yang
membagi kualitas terjemahan kepada lima tingkatan, Nababan dkk.
membagi kualitas terjemahan hanya pada tiga tingkatan. PKT yang
dikembangkan oleh Nababan dkk. ini menekankan penilaian TSa
kepada tiga parameter atau aspek kualitas terjemahan, yaitu
keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Aspek keakuratan
mendapat bobot tertinggi (3), keberterimaan dengan bobot (2), dan
keterbacaan dengan bobot (1). Pembobotan ini juga tepat sasaran
karena aspek yang sangat berperan dalam produk terjemahan
adalah keakuratan. Hasil pembagian bobot nilai berdasarkan
masing-masing aspek inilah yang akan menjadi hasil akhir
penilaian kualitas suatu produk terjemahan yang dijabarkan dalam
skala nilai 1 sampai 3. Model PKT Nababan dkk. dapat dilihat pada
Tabel 7.3, Tabel 7.4, dan Tabel 7.5.

Tabel 7.3 Kategori keakuratan dalam model PKT Nababan dkk.

Kategori
Nilai Parameter Kualitatif
Terjemahan
Akurat 3 Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau
teks bahasa sumber dialihkan secara akurat ke dalam
bahasa sasaran; sama sekali tidak terjadi distorsi
makna
Kurang 2 Sebagian besar makna kata, istilah teknis, frasa,
Akurat klausa, kalimat atau teks bahasa sumber sudah
dialihkan secara akurat ke dalam bahasa sasaran.
Namun, masih terdapat distorsi makna atau
terjemahan makna ganda (taksa) atau ada makna
yang dihilangkan, yang mengganggu keutuhan pesan.
Tidak Akurat 1 Makna kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat atau
teks bahasa sumber dialihkan secara tidak akurat ke
dalam bahasa sasaran atau dihilangkan (deleted).

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 141


Tabel 7.4 Kategori keberterimaan dalam model PKT Nababan dkk.
Kategori
Nilai Parameter Kualitatif
Terjemahan
Berterima 3 Terjemahan terasa alamiah; istilah teknis yang
digunakan lazim digunakan dan akrab bagi pembaca;
frasa, klausa dan kalimat yang digunakan sudah
sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia
Kurang 2 Pada umumnya terjemahan sudah terasa alamiah;
Berterima namun ada sedikit masalah pada penggunaan istilah
teknis atau terjadi sedikit kesalahan gramatikal.
Tidak 1 Terjemahan tidak alamiah atau terasa seperti karya
Berterima terjemahan; istilah teknis yang digunakan tidak
lazim digunakan dan tidak akrab bagi pembaca;
frasa, klausa dan kalimat yang digunakan tidak
sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia.

Tabel 7.5 Kategori keterbacaan dalam model PKT Nababan dkk.


Kategori
Nilai Parameter Kualitatif
Terjemahan
Keterbacaan 3 Kata, istilah teknis, frasa, klausa, kalimat, atau
Tinggi teks terjemahan dapat dipahami dengan mudah
oleh pembaca.
Keterbacaan 2 Pada umumnya terjemahan dapat dipahami oleh
Sedang pembaca; namun ada bagian tertentu yang
harus dibaca lebih dari satu kali untuk
memahami terjemahan.
Keterbacaan 1 Terjemahan sulit dipahami oleh pembaca
Rendah

Setelah dilakukan penilaian berdasarkan aspek kualitas yang


mencakup keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan, maka
langkah selanjutnya adalah menjumlahkan seluruh angka hasil
penilaian dari ketiga aspek tersebut. Namun, harus diingat bahwa
bobot dari setiap aspek kualitas tersebut berbeda-beda seperti yang
disajikan pada Tabel 7.6.

142 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Tabel 7.6 Pembobotan nilai Model PKT Nababan dkk.
No. Aspek Kualitas Yang Dinilai Bobot Nilai Jumlah
1 Keakuratan 3
2 Keberterimaan 2
3 Keterbacaan 1
NILAI AKHIR

Berdasarkan pembobotan nilai yang dirumuskan pada Tabel


7.6, maka nilai akhir dari kualitas teks terjemahan dapat diperoleh
dengan penjumlahan berdasarkan rumusan seperti pada ((1).
(1) Total
Nilai=((3xKeakuratan)+(2xKeberterimaan)+(1xKeterbacaan)) /6
Berdasarkan rumus pada (1), jika hasil penilaian
menunjukkan angka 3 pada keakuratan, angka 2 pada
keberterimaan, dan angka 2 pada keterbacaan, maka nilai kualitas
terjemahan tersebut adalah seperti pada (2).
(2) Total Nilai =((3x3)+(2x2)+(1x2))/6
=(9+4+2)/6 = 15/6
=2,5
Dengan demikian, nilai kualitas terjemahan tersebut adalah
2,5. Nilai ini selanjutnya disesuaikan kembali dengan tiga
parameter yang disebutkan pada Tabel 7.3 – Tabel 7.5 untuk
memperoleh hasil bahwa terjemahan tersebut akurat, berterima, dan
dapat dipahami oleh pembaca TSa.
Seperti model PKT yang diusung Waddington (2001),
model PKT yang dikembangkan oleh Nababan dkk (2012) juga
bersifat holistik. Model yang diusung oleh Nababan memiliki
kesamaan dengan Waddington dengan mengusung penilaian
kualitas terjemahan secara holistik. Secara deskripsi kualitatif,
model Nababan sudah memberikan indikator-indikator kualitas
terjemahan yang lebih detail dibandingkan dengan Waddington,
meskipun belum sedetail model yang dikembangkan oleh Hurtado
Albir. Akan tetapi, pemberian skor dengan rentang 1 – 3
memberikan kesulitan tersendiri kepada para penilai kualitas
terjemahan karena sering dijumpai kualitas yang jauh berbeda

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 143


dengan selisih skor 1. Dengan demikian, pemberian nilai 1 – 3
perlu dikaji ulang untuk dapat lebih mencirikan perbedaan antara
kualitas terjemahan yang hampir memiliki kualitas yang sama.

7.2.4 Model PKT Sofyan dan Tarigan


Model PKT yang dikembangkan oleh Sofyan dan Tarigan
(2019) juga bersifat holistik. Namun terdapat perbedaan yang
ditujukan dengan melengkapi kelemahan-kelemahan yang terdapat
pada tiga model PKT yang telah dijelaskan sebelumnya. Model
PKT Sofyan dan Tarigan ini menambahkan fungsi teks sebagai
aspek yang juga menentukan kualitas produk terjemahan. Dengan
ditambahkannya aspek fungsi teks pada PKT, hal ini akan mengisi
kekosongan yang terdapat pada PKT dalam menilai kualitas TSa.
Model PKT Sofyan dan Tarigan (2019) dapat dilihat pada Tabel
7.7 berikut ini.

Tabel 7.7 Model PKT Sofyan dan Tarigan


Rentang
No Deskripsi Nilai
Skor
1 Keakuratan (30%)
Tidak ada masalah pemahaman yang dapat Skor:
diidentifikasi; pesan asli disampaikan
25-30
sepenuhnya kepada pembaca TSa; tidak ada Catatan:
penghilangan atau penambahan informasi.
Permasalahan hanya berhubungan dengan
kosakata yang paling khusus yang tidak
21-24 mempengaruhi pemahaman pembaca TSa;
terdapat beberapa penghilangan dan
penambahan informasi.
Informasi disampaikan kepada pembaca TL
dengan beberapa kesulitan karena
16-20 kesalahpahaman penerjemah pada beberapa
bagian TSu; terdapat banyak penghilangan dan
penambahan informasi.
Informasi yang disampaikan buruk; banyak
11-15
masalah serius dalam memahami TSu yang

144 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


mengganggu penyampaian pesan asli TSu;
TSa sulit dimengerti.
Pemahaman makna sangat buruk yang
mengganggu penyampaian pesan asli TSu;
1-10
Pembaca TSa tidak dapat memahami apa yang
ingin disampaikan penulis TSu.
2 Penemuan Padanan Makna (25%)
Semua unsur leksikal dan gramatikal dapat Skor:
20-25 dipahami; kosakata digunakan dengan tepat
sehingga TSa dibaca seperti teks layak terbit. Catatan:
TSa merefleksikan pemahaman yang baik
terhadap kosakata dan tata bahasa yang
15-19 digunakan; kosakata yang bersifat khusus
menimbulkan beberapa masalah dengan
munculnya padanan yang tidak sesuai.
TSa mengindikasikan pemahaman yang cukup
terhadap kosakata dan tata bahasa yang
digunakan meskipun masih dijumpai beberapa
10-14 kejanggalan; beberapa kosakata tidak tepat
digunakan; ada upaya untuk mengatasi
kesulitan dalam menemukan padanan,
persepsi, dan fitur linguistik lainnya.
Pemahaman kosakata dan tata bahasa
menunjukkan kejanggalan yang cukup
mencolok yang mengaburkan makna; terdapat
5-9
masalah dalam menggunakan pilihan kata
yang benar; kosakata yang bersifat khusus
tidak dapat dipadankan
Kosakata digunakan secara tidak tepat;
terdapat banyak kesalahan pada pemadanan
makna bahkan terhadap kosakata dan tata
1-4
bahasa yang digunakan sehari-hari; hasil
terjemahan secara keseluruhan tidak
bermakna.
3 Keterampilan Menerjemah (20%)
Penerjemah menunjukkan kemampuan dalam Skor:
17-20 menemukan solusi yang kreatif dalam
mengatasi masalah penerjemahan, penerjemah Catatan:

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 145


terampil dalam menggunakan sumber
referensi.
Penerjemah menunjukkan kemampuan yang
konsisten dalam menelaah dan mengatasi
13-16 masalah penerjemahan; ada sedikit kesalahan
minor, tidak ada kesalahan yang nyata dalam
penggunaan sumber referensi.
Penerjemah menunjukkan kemampuan yang
rata-rata dalam menelaah dan mengatasi
masalah penerjemahan; ada sedikit kesalahan
9-12
serius, TSa mencerminkan adanya
ketidaktepatan dalam penggunaan sumber
referensi.
Penerjemah merasa kesulitan dalam menelaah
dan mengatasi masalah penerjemahan; ada
5-8 beberapa kesalahan serius; TSa mencerminkan
banyak ketidaktepatan dalam penggunaan
sumber referensi.
Penerjemah tidak mampu mengatasi kesulitan
dalam menelaah dan mengatasi masalah
penerjemahan; hampir semua hasil terjemahan
1-4
mengandung kesalahan serius; TSa benar-
benar mencerminkan ketidaktepatan dalam
penggunaan sumber referensi.
4 Fungsi Teks (15%)
TSa memenuhi seluruh fungsi teks TSu; TSa Skor:
menunjukkan solusi yang terampil dalam
13-15
mencapai fungsi teks TSu; TSa sesuai dengan Catatan:
fungsi teks berdasarkan perspektif BSa.
TSa hampir memenuhi fungsi teks TSu; TSa
menunjukkan beberapa solusi dalam mencapai
10-12
fungsi teks TSu; TSa sesuai dengan fungsi teks
berdasarkan perspektif BSa.
TSa tidak konsisten memenuhi fungsi teks
TSu; TSa menggunakan struktur yang janggal
7-9 dalam mencapai fungsi teks TSu; TSa tidak
sepenuhnya sesuai dengan fungsi teks
berdasarkan perspektif BSa.

146 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


TSa tidak menunjukkan adanya upaya yang
nyata untuk mencapai fungsi teks TSu; TSa tidak
4-6
sesuai dengan fungsi teks berdasarkan perspektif
BSa.
Fungsi teks TSa bertolak belakang dengan fungsi
1-3 teks TSu; TSa tidak sesuai dengan fungsi teks
berdasarkan perspektif BSa.
5 Tata Bahasa dan Gaya Penulisan TSa (10%)
TSa tidak memerlukan perbaikan dari segi tata Skor:
bahasa dan gaya penulisan meskipun satu atau
9-10 dua ketidaktepatan dapat diamati; TSa Catatan:
mencerminkan penggunaan tata bahasa BSa yang
baik dan benar
TSa menunjukkan kemampuan manipulasi gaya
penulisan BSa seolah-olah teks ditulis asli dalam
BSa kecuali pada bagian-bagian yang sangat
7-8
sulit dipahami; TSa ditulis dalam tata bahasa
BSa yang benar; ada beberapa masalah tata
bahasa tetapi tidak memengaruhi isi pesan.
TSa mengandung penggunaan tata bahasa yang
janggal akibat penerapan teknik literal tetapi
tidak memengaruhi pemahaman secara
5-6 signifikan; TSa beberapa kali merefleksikan gaya
bahasa TSu; beberapa masalah tata bahasa
terlihat dan berdampak negatif dalam
penyampaian pesan.
TSa tampak aneh karena banyak menggunakan
tata bahasa yang tidak sesuai dengan BSa; TSa
terkesan tidak alami; ada edikit upaya yang
3-4 mencerminkan fitur gaya penulisan pada BSa;
ada bukti kesulitan yang jelas dalam mengikuti
gaya penulisan BSa; tata bahasa TSa sangat perlu
diperbaiki.
TSa menggunakan gaya penulisan dan tata
bahasa yang tidak sesuai dengan BSa; penulisan
1-2 TSa menunjukkan adanya masalah tata bahasa
serius yang sangat mengganggu penyampaian
pesan.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 147


Model yang dikembangkan oleh Sofyan dan Tarigan (2019)
ini menggunakan rentang nilai 0–100 yang sangat sesuai
diaplikasikan pada dunia akademis, khususnya di Indonesia.
Perbedaan model PKT berbasis fungsi teks ini berbeda dengan
model-model PKT lainnya, terutama dengan adanya deskripsi
kualitas yang sangat detail sehingga setiap nilai yang digunakan
dapat dipertanggungjawabkan alasan penggunaannya. Misalnya,
penentuan nilai 12 dan 14 terkadang dilatarbelakangi oleh intuisi si
penilai, akan tetapi ketika dipertanyakan mengapa nilai tersebut
berbeda hanya 2 angka, maka pertanyaan ini sangat sulit untuk
dijawab karena tidak adanya teori yang jelas. Akan tetapi, dengan
menggunakan model PKT ini, pertanyaan tersebut dapat dijawab
secara sistematis. Sebagai contoh, pada penilaian aspek
keterampilan menerjemah (translation skill) yang nilai
maksimumnya adalah 20, nilai 12 diperoleh jika TSa menunjukkan
bahwa penerjemah memiliki kemampuan yang rata-rata dalam
menelaah dan mengatasi masalah penerjemahan; meskipun
dijumpai kesalahan serius, jumlah kesalahan tersebut sangat minim.
Di samping itu, nilai tersebut juga menunjukkan bahwa TSa
mencerminkan adanya ketidaktepatan dalam penggunaan sumber
referensi. Sementara itu, nilai 14 diperoleh ketika TSa
menunjukkan kemampuan si penerjemah yang konsisten dalam
mengidentifikasi dan mengatasi masalah penerjemahan, tidak
terdapat kesalahan besar, sangat sedikit kesalahan kecil, dan tidak
terdapat kesalahan yang jelas dalam penggunaan bahan referensi.
Dengan demikian, sekecil apapun perbedaan nilai yang dihasilkan
dari PKT, maka perbedaan kualitas tersebut dapat diidentifikasi.
Keunggulan lainnya adalah bahwa model PKT ini juga
memperhatikan ketercapaian fungsi teks, yaitu tercapainya fungsi
TSu pada TSa. Jika TSu merupakan teks deskriptif yang berfungsi
untuk menggambarkan seseorang, suatu tempat, atau suatu benda,
maka penilaian TSa harus meengevaluasi apakah fungsi tersebut
tercapai pada TSa. Untuk aspek fungsi teks ini, nilai tertingginya
adalah 15. Artinya, fungsi teks berperan 15% dalam menghasilkan
kualitas TSa yang baik. Dengan kata lain, suatu TSa tidak akan

148 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


mungkin mencapai kesempurnaan kualitas jika teks tersebut gagal
mencapai fungsi teks yang berlaku di BSa. Seperti yang terdapat
pada Tabel 7.7, nilai tertinggi (13-15) hanya dapat dicapai jika TSa
memenuhi fungsi teks dari TSu; terdapat penemuan kreatif dan
solusi terampil untuk mencapai fungsi TSu; dan sesuai dengan
fungsi teks berdasarkan perspektif BSa. Dengan menggunakan
deskripsi kualitas seperti ini, maka fungsi TSa harus disesuaikan
dengan fungsi teks yang berlaku pada BSa.
Sama dengan model PKT lainnya, aspek yang mendapat
bobot penilaian tertinggi adalah keakuratan, yang berperan sebesar
30% dalam mencapai kualitas TSa yang terbaik. Artinya, nilai
maksimum yang diperoleh dari aspek keakuratan adalah 30. Nilai
tertinggi untuk keakuratan (25-30) diperoleh jika pada TSa tidak
terdapat masalah pemahaman yang dapat diidentifikasi; pesan asli
telah disampaikan sepenuhnya kepada pembaca BSa; dan tidak
terdapat penghilangan atau penambahan informasi.

7.3 Subjektivitas dan Relativitas dalam PKT


Subjektivitas dan relativitas merupakan dua masalah utama
yang memengaruhi hasil penilaian kualitas terjemahan.
Subjektivitas, yang merupakan antonim objektivitas, dalam
penilaian dapat dipahami sebagai suatu penilaian yang didasari atas
pandangan sendiri, tidak berdasarkan keadaan atau fakta yang
sebenarnya. Sementara relativitas dalam penilaian dapat dipahami
sebagai suatu keadaan yang relatif yang menunjukkan tidak ada
kebenaran yang absolut. Kebenaran itu bergantung kepada sudut
pandang seseorang dalam menilai sesuatu.
Subjektivitas dalam PKT memang sangat sulit dihindari,
seperti yang dikatakan oleh Almutairi (2018: ii) bahwa
subjektivitas dalam PKT tidak dapat dihilangkan. Demikian juga
House (1997) yang berkeyakinan bahwa sangat sulit memperoleh
hasil PKT yang benar-benar objektif. Isu subjektivitas ini mencuat
setelah mendapat banyak keluhan dari para peneliti kualitas
terjemahan yang menemukan bahwa teks yang sama yang dinilai
dengan menggunakan model PKT yang sama tetapi dinilai oleh

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 149


orang yang berbeda menunjukkan tingkat kualitas yang berbeda.
Hasil temuan ini tentunya menimbulkan asumsi akan hadirnya
subjektivitas dalam penilaian kualitas terjemahan. Bahkan, hal ini
dapat membuat para pakar di bidang kajian terjemahan berpendapat
bahwa tingkat kualitas suatu teks terjemahan bergantung kepada
siapa yang menilai teks terjemahan tersebut.
Subjektivitas juga berhubungan dengan rasa suka atau tidak
suka. Ketika orang yang menilai itu menyukai topik TSu yang
dinilainya, maka ada kecenderungan kualitas TSa itu baik; namun
jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka ada kemungkinan
kualitas TSa tersebut rendah. Meskipun ada peneliti di bidang
kajian terjemahan yang menemukan bahwa subjektivitas dalam
PKT sangat sulit dihilangkan, namun jika keadaan tersebut
berlanjut, akan ada kemungkinan untuk meragukan eksistensi
penerjemahan sebagai suatu disiplin karena tidak adanya teori yang
jelas dalam mengklasifikasi kualitas hasil terjemahan.
Di samping subjektivitas, relativitas juga menghantui upaya
dalam menilai kualitas terjemahan. Mossop (2001: 6) meyakini
bahwa tidak ada kualitas yang absolut dalam penerjemahan karena
relativitas sangat memengaruhi penilaian kualitas terjemahan.
Faktor utama yang menyebabkan terjadinya relativitas dalam PKT
adalah perbedaan sudut pandang terjemahan. Newmark (1988)
menampilkan adanya dua orientasi dalam penerjemahan, yaitu
penerjemahan yang berorientasi pada TSu dan penerjemahan yang
berorientasi pada TSa. Dua orientasi yang diungkapkan oleh
Newmark ini tentunya dapat berimplikasi kepada relativitas dalam
melakukan PKT. Jika penilaian yang dilakukan berbasis kepada
TSu, maka terjemahan yang berkualitas baik adalah terjemahan
yang setia kepada TSu, yang tentunya didominasi oleh
penerjemahan secara literal. Sebaliknya, jika penilaian yang
dilakukan berbasis kepada TSa, maka terjemahan yang berkualitas
baik adalah terjemahan yang tidak setia kepada TSu, yaitu
terjemahan yang selalu berusaha menyesuaikan gaya penulisan dan
tata bahasa yang berlaku pada BSa.

150 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Faktor kedua adalah model PKT yang digunakan. Salah satu
alasan pengembangan PKT yang dilakukan bersifat holistik adalah
untuk menghindari relativitas. Akan tetapi, beberapa model PKT
bersifat holistik yang dikembangkan masih meninggalkan celah
untuk berkembangnya relativitas dalam penilaian. Meskipun
model-model PKT tersebut telah memberikan deskripsi kualitas,
namun rentang skor masih membuka celah atas timbulnya
relativitas. Contohnya, pada rentang nilai 60–80, sangat sulit
menentukan nilai 61, 62, 63, dan seterusnya tanpa dasar yang jelas,
sehingga di rentang nilai inilah relativitas memainkan perannya.
Usaha nyata melalui inovasi-inovasi terbaik dibutuhkan
dalam mengatasi kedua permasalahan tersebut – subjektivitas dan
relativitas. Mengubah dua sudut pandang penerjemahan sangat sulit
mengingat kedua-duanya dilandasi oleh teori yang empiris. Untuk
itu, usaha yang sangat mungkin dilakukan adalah dengan
mengembangkan model PKT yang bebas dari unsur subjektivitas
dan relativitas. Meskipun sangat sulit menghilangkannya, upaya
tersebut dapat mengurangi atau meminimalisir keberadaannya.
Salah satu usaha inovatif telah dilakukan oleh Sofyan dan Tarigan
(2019) melalui model PKT yang dikembangkannya seperti yang
sudah ditampilkan pada Tabel 7.7. Model PKT yang dikembangkan
telah menghadirkan deskripsi kualitas untuk setiap tingkatan
kualitas terjemahan. Melalui deskripsi tersebut, subjektivitas dan
relativitas menjadi lebih kecil terjadi dalam PKT. Model PKT
tersebut juga memudahkan penilai mengidentifikasi adanya
subjektivitas dalam penilaian, yang jika muncul, maka proses
penilaian dapat diulang kembali.

7.4 Kesimpulan
Hasil terjemahan yang berkualitas merupakan tujuan dari
setiap praktik penerjemahan. Meskipun isu “kualitas” terus menjadi
topik perdebatan para ahli di bidang kajian terjemahan, kualitas
dapat dipahami sebagai hasil terjemahan yang baik, yaitu (i) hasil
terjemahan yang mewakili makna yang ingin disampaikan oleh
TSu; (ii) hasil terjemahan yang dikemas dalam bahasa yang baik

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 151


dan benar menurut tata bahasa dan gaya bahasa yang berlaku pada
BSa; dan (iii) hasil terjemahan yang dapat dipahami oleh pembaca
BSa. Dengan demikian, hakikat penerjemahan sebagai salah satu
media komunikasi yang menyampaikan informasi dapat
direalisasikan. Penerjemahan bukan hanya sekadar menghasilkan
suatu teks dalam bahasa lain yang berbeda, lebih dari itu
penerjemahan bertujuan untuk menyebarluaskan informasi yang
ada pada suatu bahasa tertentu ke seluruh dunia.
Oleh karena itu, para ahli dan peneliti di bidang kajian
terjemahan selalu berusaha mengembangkan model-model PKT
untuk dapat menilai kualitas hasil terjemahan seakurat dan
seobjektif mungkin. Meskipun demikian, subjektivitas dan
relativitas selalu menghantui penilaian kualitas terjemahan.
Sebagian ahli sepakat bahwa kedua masalah tersebut tidak dapat
dihilangkan sepenuhnya dalam proses PKT, dan hal terbaik yang
dapat dilakukan adalah mengurangi intensitas kemunculannya
dalam PKT. Salah satu cara yang ditawarkan untuk mengurangi
subjektivitas dan relativitas dalam PKT adalah dengan membuat
deskripsi kualitas sedetail mungkin. Keberadaan deskripsi kualitas
tersebut akan membatasi “ruang gerak” penilai untuk bersifat
subjektif dalam melakukan penilaian. Penggunaan skor atau angka
dalam PKT merupakan usaha yang baik dalam menilai kualitas
terjemahan, namun setiap skor yang diberikan harus didasari atas
deskripsi kualitas tertentu. Berbagai aspek memengaruhi kualitas
terjemahan, dan besarnya kontribusi setiap aspek tersebut berbeda-
beda. Sebagai contoh, para ahli dalam bidang kajian terjemahan
sepakat bahwa keakuratan merupakan aspek yang paling
berpengaruh dalam menilai kualitas terjemahan. Dengan demikian,
aspek akurasi harus memiliki bobot yang lebih besar daripada
aspek-aspek kualitas lainnya.

152 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


BAB 8
PENERJEMAHAN SEBAGAI PROFESI

8.1 Pendahuluan
Pada BAB 1 buku ini telah diperkenalkan penerjemahan
sebagai suatu disiplin ilmu dibuktikan dengan lahirnya teori-teori
terkait penerjemahan melalui artikel-artikel ilmiah dan buku-buku
teks yang berdasarkan hasil penelitian. Seiring dengan
perkembangan penerjemahan sebagai suatu disiplin ilmu yang
independen, penerjemahan saat ini tidak lagi hanya menjadi suatu
bidang kajian, akan tetapi telah merambat ke dunia profesional. Hal
ini merupakan kontribusi besar Halliday yang ingin menjembatani
antara teori linguistik dan profesionalisme dalam terjemahan
(Yallop, 1987: 347). Dengan demikian, penerjemahan telah
menjadi profesi yang dapat dijadikan sebagai mata pencaharian.
Penerjemahan yang selama ini dianggap hanya sekadar
mengalihkan bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa) dan
setiap orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa yang berbeda
dapat dikatakan sebagai seorang penerjemah merupakan suatu
anggapan yang keliru karena proses penerjemahan tidak
sesederhana itu. Gouadec (2007: xiii) menegaskan bahwa seorang
penerjemah harus memiliki kompetensi yang unggul, baik dalam
bahasa yang terlibat, bidang yang diterjemahkan, maupun keahlian
dalam menggunakan teknologi seperti penggunaan perangkat lunak
dalam penerjemahan. Di samping keahlian tersebut, Sofyan (2016)
juga menyatakan bahwa keahlian memanfaatkan sumber online
(daring) sangat membantu profesionalisme penerjemah.
Fakta yang disebutkan di atas belum tuntas ketika seorang
penerjemah ingin turun langsung sebagai seorang pebisnis di
bidang terjemahan. Sebagai pebisnis, seorang penerjemah harus

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 153


memiliki kemampuan dalam bidang manajemen (managerial skill)
terjemahan yang meliputi penentuan tarif, distribusi waktu
pengerjaan terjemahan, ruang lingkup pengerjaan terjemahan, dan
personel yang terlibat. Sebelum pembahasan lebih lanjut tentang
penerjemahan sebagai profesi, terlebih dahulu dibahas hakikat
profesionalisme dalam penerjemahan.

8.2 Profesionalisme dalam Dunia Penerjemahan


Profesionalisme berasal dari kata profesi yang dapat
dimaknai sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan
keahlian. Kata profesi sering disebutkan oleh kebanyakan orang
sebagai pekerjaan, sehingga sering kita dengar orang bertanya
“Apa profesi Anda?” yang merujuk kepada rasa ingin tahu terhadap
pekerjaan yang sedang digeluti oleh seseorang. Meskipun
demikian, kata profesi dan pekerjaan tidak bersinonim secara utuh
karena di dalam kata profesi tersirat makna keahlian dan tidak
semua orang yang bekerja memiliki keahlian pada pekerjaannya.
Keahlian yang dimaksud adalah keterampilan yang berlatar
belakang pada pengetahuan yang terukur tentang pekerjaan yang
dilakukannya. Begitu juga halnya dalam penerjemahan, seseorang
yang dapat menerjemahkan tidak dapat langsung dikatakan
berprofesi sebagai penerjemah.
Selanjutnya, kata profesi dibentuk secara derivasi menjadi
kata “profesional” yang berperan sebagai adjektiva. Kata
profesional menerangkan sifat seseorang dalam menjalankan
profesinya, sehingga dapat dimaknai sebagai seseorang yang ahli,
cakap, dan unggul dalam profesinya. Kata profesional sering
dibandingkan dengan kata “amatir” yang mangandung makna
kurang mahir dalam melakukan suatu pekerjaan atau melakukan
suatu pekerjaan hanya untuk menyalurkan kegemaran atau mengisi
waktu luang. Kedua kata ini mengisyaratkan bahwa tidak semua
orang yang melakukan suatu pekerjaan adalah orang yang
profesional dalam bidang tersebut. Banyak orang yang memiliki
kemampuan dalam dua bahasa (bahasa ibu dan bahasa asing)
senang melakukan kegiatan penerjemahan, seperti menerjemahkan

154 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


novel, teks (subtitle) film, berita, dll., meskipun mereka bukan
penerjemah profesional. Pada umumnya, mereka tidak
mengharapkan bayaran atas kegiatan penerjemahan yang
dilakukannya sehingga kekurangtepatan makna kerap terjadi pada
teks hasil terjemahannya. Akan tetapi, penerjemah profesional
adalah penerjemah berbayar, dan mereka harus dapat
mempertanggungjawabkan jika terdapat kekeliruan dalam hasil
terjemahannya.
Berikutnya, kata profesional dibentuk lagi secara derivasi
menjadi kata “profesionalisme” yang mengandung makna
kepakaran ataupun keahlian dalam suatu bidang profesi. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), profesionalisme
didefinisikan sebagai mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang
merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Sehingga
profesionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan sesorang
dalam menjalankan profesinya secara profesional. Dalam konteks
penerjemahan, profesionalisme bermakna keahlian dalam
menghasilkan suatu teks terjemahan bermutu yang kualitasnya
dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
Seseorang yang memiliki profesionalisme dalam
penerjemahan disebut sebagai penerjemah profesional. Penerjemah
profesional adalah ahli di bidang linguistik terapan yang memiliki
kemampuan untuk bekerja dengan bahasa, menulis dengan baik,
mengoperasikan bisnis, dan menjadikan penerjemahan sebagai
sumber pendapatan. Secara lebih rinci, karakteristik penerjemah
professional dapat dijabarkan sebagai berikut: Pertama,
penerjemah profesional memiliki tingkat pemahaman yang tinggi
terhadap bahasa asing dan aspek budayanya. Seorang penerjemah
tidak dapat dikatakan sebagai penerjemah profesional jika dia tidak
memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap teks yang akan
diterjemahkannya.
Kedua, penerjemah profesional mampu menggunakan
program-program atau perangkat-perangkat lunak (software) yang
dapat membantu tugas penerjemahannya, seperti CAT (computer
assisted translation) dan mesin penerjemah (machine translation).

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 155


Program-program tersebut memiliki dua fungsi utama: (1)
mengekstrak teks dari berbagai format (seperti MS Word, MS
PowerPoint, Adobe InDesign, file xml atau HTML, dan lain
sebagainya). Dengan cara ini, penerjemah dapat bekerja dengan
format yang sangat beragam dalam antarmuka yang unik; dan (2)
membuat basis data (atau memori terjemahan) dari semua
terjemahan yang pernah dilakukan. Cara ini berfungsi mempercepat
proses penerjemahan karena penerjemah dapat mengakses istilah-
istilah yang sudah pernah digunakannya sebelumnya.
Ketiga, penerjemah profesional memiliki latar belakang
pendidikan di bidang penerjemahan. Pendidikan yang dimaksud di
sini tidak harus pendidikan formal, pelatihan-pelatihan atau diklat
juga dapat dijadikan sebagai latar belakang pendidikan. Hal ini
penting karena penerjemahan memerlukan keahlian khusus yang
harus dipelajari dan dilatih. Di samping itu, faktor inilah yang
menegaskan bahwa tidak semua yang memiliki kemampuan dalam
dua bahasa dapat secara langsung menjadi seorang penerjemah.
Keempat, penerjemah profesional hanya menerjemahkan
teks dari bahasa asing ke bahasa ibu mereka. Para ahli meyakini
bahwa hasil terjemahan yang terbaik adalah penerjemahan ke
dalam bahasa ibu penerjemah. Hal ini dipengaruhi oleh tingginya
rasa berbahasa (sense of language) penerjemah terhadap bahasa
ibunya. Meskipun demikian, hal ini tidak bermakna bahwa
penerjemah profesional tidak dapat atau tidak mampu
menerjemahkan ke dalam bahasa asing. Mereka dapat
melakukannya jika mereka memiliki kompetensi yang sangat baik
dalam bahasa asing tersebut.
Kelima, penerjemah profesional tidak ahli dalam semua hal.
Maksudnya, penerjemah profesional mungkin saja atau bahkan
seharusnya memiliki pengetahuan yang cukup dalam beberapa
bidang, tetapi bukan pada semua bidang. Semakin tinggi tingkat
profesionalisme seorang penerjemah, semakin fokus dia pada suatu
bidang terjemahan tertentu, dan semakin fokus seorang penerjemah
pada bidang tertentu, maka semakin tinggi mutu terjemahan yang
dihasilkannya. Sebagai contoh, penerjemah profesional biasanya

156 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


mengambil spesialisasinya pada bidang tertentu, misalkan bidang
hukum, otomotif, pertanian, dan lain sebagainya. Sama halnya
dengan bidang ilmu kedokteran, semakin tinggi tingkat pendidikan
spesialisnya, maka semakin fokus dia pada bidang spesialisasi
tersebut.
Keenam, penerjemah profesional sepantasnya bergabung
dalam himpunan atau asosiasi penerjemah profesional tertentu. Di
Indonesia, penerjemah profesional bernaung di bawah Himpunan
Penerjemah Indonesia atau HPI. Di negara lain juga terdapat
asosiasi penerjemah profesional seperti Persatuan Penterjemah
Malaysia (PPM) di Malaysia, American Translators Association
(ATA) di Amerika Serikat, Suomen Kääntäjien ja Tulkkien Liitto
(SKTL) di Finlandia, National Union of Professional Interpreters
and Translators (NUPIT) di Inggris, dan lain-lain. Menjadi anggota
asosiasi terjemahan profesional adalah cara yang baik untuk
mendapatkan informasi terkini tentang teknik dan teknologi bidang
penerjemahan dan peluang kerja. Dengan bergabung pada asosiasi,
penerjemah mendapatkan gambaran profesionalisme yang
sebenarnya. Selain itu, asosiasi pada umumnya menyertakan
rekanannya dalam direktori sehingga klien dapat menghubungi
penerjemah untuk mendapatkan layanannya.
Ketujuh, penerjemah profesional memahami aspek-aspek
formal bahasa tulisan. Kekeliruan dalam memahami aspek formal
penulisan seperti aksen, ejaan, tanda baca, atau tata bahasa formal
dapat menyebabkan keraguan klien terhadap profesionalisme
penerjemah.

8.3 Etika Profesionalisme dalam Penerjemahan


Dalam praktik penerjemahan profesional, etika profesi
penerjemah merupakan hal yang harus dipertimbangkan oleh setiap
penerjemah. Etika dalam penerjemahan secara umum dibatasi
kepada peran profesional, tanggung jawab, dan hak-hak
penerjemah. Sehubungan dengan etika penerjemahan tersebut,
Chesterman (2001) mengemukakan empat model etika
penerjemahan, yaitu etika representasi, etika layanan, etika

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 157


komunikasi, dan etika berbasis norma yang berlaku. Etika
representasi didasarkan pada kesetiaan terhadap teks sumber (TSu).
Etika layanan dibuat atas dasar pandangan penerjemahan sebagai
layanan yang diberikan kepada klien, dan dalam pandangan ini
perilaku etika bermakna usaha dalam memenuhi cita-cita
memberikan layanan profesional. Sementara itu, etika komunikasi
tidak begitu mementingkan representasi TSu, melainkan dibangun
atas dasar prinsip komunikasi dan kerja sama yang memungkinkan.
Terakhir, etika berbasis norma dibangun atas dasar pendapat bahwa
norma menyandikan nilai-nilai etika yang berlaku pada waktu
tertentu dan dalam masyarakat tertentu. Oleh karena itu, perilaku
etis sama artinya dengan berperilaku sesuai dengan norma-norma
yang telah disepakati secara bersama-sama oleh suatu masyarakat
tertentu. Model etika yang diusulkan oleh Chesterman (2001) ini
secara umum didasarkan pada etika kebajikan yang menyatakan
bahwa kebajikan yang paling penting adalah komitmen untuk
menghasilkan terjemahan yang berkualitas terbaik.
Berbuat kebajikan seperti yang diungkapkan oleh
Chesterman (2001) tidak berarti bahwa kebajikan itu tak terbatas.
Pym (2012) meyakini bahwa ada pembatasan pada tanggung jawab
profesional seorang penerjemah. Dia mengatakan bahwa, secara
umum, tidak perlu penerjemah mengklaim komitmen apa pun
terhadap konten yang diterjemahkan karena mereka adalah
penerjemah, bukan penulis. Argumen tersebut didasarkan pada
teori pragmatik formal, yang menyatakan bahwa konten yang
terdapat pada suatu teks merupakan tanggung jawab penulis
aslinya, bukan tanggung jawab penerjemah. Meskipun demikian,
hal ini tidak berarti bahwa penerjemah tidak memiliki tanggung
jawab sama sekali atas teks yang diterjemahkannya. Penerjemah
memiliki tanggung jawab secara profesional yang, menurut Pym
(2012), mencakup tiga dimensi, yaitu tanggung jawab terhadap
konten teks, tanggung jawab terhadap klien, dan tanggung jawab
terhadap profesi. Ketiga tanggung jawab tersebut menggaungkan
pembatasan konvensional kode etik profesional penerjemahan.

158 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Di samping ketiga tanggung jawab yang masuk ke dalam
konvensional kode etik profesional penerjemahan tersebut, ada
beberapa etika yang harus dijalankan oleh penerjemah profesional.
Pertama, penerjemah profesional harus dapat menjaga rahasia
konten yang diterjemahkannya. Penerjemah barangkali mengetahui
informasi rahasia teks yang diterjemahkannya, baik itu rencana
keuangan perusahaan, paten farmasi, atau spesifikasi chip
komputer terbaru. Informasi tersebut dapat disalahgunakan oleh
penerjemah jika mereka tidak menjaga kode etik profesinya. Oleh
karena itu, penerjemah harus dapat menyimpan informasi tersebut
untuk dirinya sendiri, terlepas dari apakah mereka diminta untuk
menandatangani perjanjian kerahasiaan atau tidak. Selanjutnya,
kerahasiaan juga memiliki keterkaitan dengan aplikasi tertentu,
maka jika klien meminta agar tidak menggunakan perangkat daring
dalam penerjemahan, penerjemah harus bersedia menyanggupinya.
Hal ini karena data terjemahan akan tersimpan pada memori
aplikasi tertentu yang dapat menyebabkan kebocoran konten yang
bersifat rahasia yang terdapat pada teks yang sedang diterjemahkan
tersebut.
Kedua, penerjemah profesional harus memiliki komitmen
yang tinggi terhadap pekerjaannya. Penerjemah harus menghormati
kesepakatan yang telah dibuat. Jika seorang penerjemah telah
menyatakan persetujuannya melakukan suatu pekerjaan, maka dia
harus melakukannya. Dia tidak dibenarkan meninggalkan
pekerjaan tersebut, atau mengalihkannnya kepada pihak lain
dengan mengambil persentase keuntungan tanpa memberi tahu
klien bahwa sebenarnya penerjemahan tersebut dilakukan oleh
pihak lain. Klien berhak mengetahui siapa yang sebenarnya
melakukan penerjemahan itu. Jika klien memutuskan untuk
mempekerjakan seorang penerjemah tertentu, maka klien tersebut
memang hanya menginginkan penerjemah bersangkutan untuk
melakukan pekerjaan itu, bukan dilimpahkan kepada pihak lain.
Hal ini juga mengindikasikan bahwa pekerjaan menerjemahkan
harus dilandasi oleh kejujuran. Di samping itu, komitmen juga
berhubungan dengan keluangan waktu yang dimiliki oleh

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 159


penerjemah. Penerjemah tidak etis menerima pekerjaan jika dia
tidak memiliki waktu untuk mengerjakannya. Penerjemah juga
harus dapat menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan tenggat
waktu yang telah disepakati.
Ketiga, penerjemah profesional harus memiliki kompetensi
yang baik dalam bidang yang diterjemahkannya. Penerjemah tidak
etis menerima pekerjaan jika dia tidak memiliki kualifikasi atau
pengetahuan yang cukup dalam melakukannya. Penerjemah
sebaiknya menolak pekerjaan penerjemahan pada bidang tertentu
yang tidak dikuasainya terutama pengetahuan yang memadai
tentang pokok bahasan, terminologi, dan peristilahannya.
Keempat, penerjemah profesional harus mampu
mengakomodir permintaan klien. Penerjemah profesional harus
mampu melakukan pekerjaan yang diminta atau diinginkan klien.
Jika klien memberikan glosarium atau template tertentu, maka
penerjemah harus dapat memenuhi permintaan tersebut, terlepas
dari apakah template tersebut tidak disukai atau terdapat beberapa
glosarium yang kurang tepat. Begitu juga halnya dengan hasil
terjemahan, penerjemah harus dapat mengirim hasil terjemahan
berdasarkan format file tertentu yang diminta klien. Meskipun
demikian, komunikasi yang baik dengan klien juga dapat dilakukan
penerjemah jika terdapat beberapa hal yang perlu dikonfirmasi
seperti ketidaktepatan terminologi dalam glosarium yang diberikan.
Pada umumnya, klien akan menghargai dan mempertimbangkan
usulan atau saran yang diberikan penerjemah.
Kelima, penerjemah profesional harus bersifat netral. Dalam
konteks ini, netral dimaknai sebagai “menerjemahkan apa adanya”.
Penerjemah tidak diizinkan melibatkan pendapat pribadinya
sehingga mengakibatkan penambahan atau pengurangan makna
yang dapat merugikan pihak yang memiliki kepentingan pada teks
yang diterjemahkan. Khususnya dalam menerjemahkan teks bidang
hukum, tugas penerjemah hanya mengalihkan pesan TSu ke dalam
TSa, bukan menentukan pihak yang benar atau salah. Keberpihakan
dalam menerjemahkan teks jenis tersebut dapat berakibat pada

160 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


konsekuensi hukum yang diterima oleh pihak yang dirugikan dari
hasil terjemahan tersebut.
Singkatnya, etika penerjemahan profesional berhubungan
dengan sikap dan kompetensi yang dimiliki. Secara umum, etika
penerjemahan profesional bertujuan untuk memberikan layanan
terbaik kepada klien. Kerahasiaan konten, keakuratan terjemahan,
kejujuran melakukan pekerjaan, komitmen yang tinggi terhadap
pekerjaan, dan ketidakberpihakan penerjemah merupakan etika
yang harus dihormati dan dipatuhi oleh setiap penerjemah
profesional.

8.4 Kesimpulan
Di samping keberadaannya sebagai suatu disiplin ilmu,
penerjemahan juga berperan dalam dunia profesi. Penerjemahan
yang dulunya hanya dianggap suatu kegiatan sukarela telah beralih
kepada profesionalisme. Peralihan tersebut tentunya melahirkan
konsekuensi tertentu yang mengikat kedua belah pihak, yaitu
penerjemah dan pengguna jasa penerjemahan (klien). Dengan
demikian, di banyak daerah, khususnya perkotaaan yang
multikultural, banyak ditemukan orang yang berprofesi sebagai
penerjemah. Profesi sebagai penerjemah mampu menjamin
pemenuhan kebutuhan hidup.
Penerjemah profesional harus memiliki kemampuan
profesional dalam bidangnya. Mereka harus selalu memperbaharui
profesionalismenya dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
Seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, penerjemah
profesional sebaiknya menguasai program-program ataupun
perangkat-perangkat lunak, baik yang bersifat daring maupun
luring dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena itu, salah satu
kompetensi yang harus dimiliki penerjemah profesional adalah
latar belakang pendidikan di bidang penerjemahan, baik yang
bersifat formal maupun informal.
Selanjutnya, profesionalisme juga erat hubungannnya
dengan etika. Penerjemah profesional harus memiliki etika
penerjemahan profesional. Etika penerjemahan tentunya berkaitan

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 161


dengan yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh penerjemah
profesional. Mereka harus menjunjung tinggi kinerja dan bekerja
sesuai dengan etika tersebut. Dengan demikian, kepuasan yang
diperoleh penerjemah dan kliennya dapat terpenuhi, dan tujuan
penerjemahan pun dapat terealisasi.

162 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


DAFTAR PUSTAKA

Akbar, K., Sujaini, H., & Nyoto, R. D. (2018). Pengaruh domain


teks pada korpus terhadap akurasi mesin penerjemah
statistik. JUSTIN (Jurnal Sistem dan Teknologi Informasi),
6(4), 180-187.
Alaei, M. & Ahangari, S. (2016). A Study of ideational
metafunction in Joseph Conrad’s “Heart of Darkness”: A
critical discourse analysis. English Language Teaching,
9(4), 203-213.
Alves, F. (1997). A formação de tradutores a partir de uma
abordagem cognitiva: Reflexões de um projeto de ensino.
TradTerm, 4(2), 19-40.
Alves, F. (Editor). (2003). Triangulation translation: Perspectives
in process oriented research. Amsterdam/Philadelphia:
John Benjamins.
Alves, F. (2006). A Relevance-Theoretic approach to effort and
effect in translation: Discussing the cognitive interface
between inferential processing, problem-solving and
decision making. Prosiding the International Symposium on
New Horizons in Theoretical Translation Studies. Hong
Kong: The Chinese University, hal. 1-12.
Alves, F. & Gonçalves, J. L. V. R. (2003). A Relevance Theory
approach to the investigation of inferential processes in
translation. Dalam F. Alves (Editor), Triangulating
translation: Perspectives in process oriented research (hal.
3-24). Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Alves, F. & Vale, D. (2009). Probing the unit of translation in time:
Aspects of the design and development of a web application
for storing, annotating, and querying translation process
data. Across Languages and Cultures, 10(2), 251-273.
Amos, F. R. (1973). Early theories of translation. New York:
Octagon.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 163


Angelone, E. (2010). Uncertainty, uncertainty management and
metacognitive problem solving in the translation task.
Dalam G. Shreve & E. Angelone (Editor), Translation and
Cognition (hal. 17-40). Amsterdam/Philadelphia: John
Benjamins.
Arnold, D., Balkan, L., Humphreys, R. L., Meijer, S., & Sadler, L.
(1994). Machine translation: An introductory guide.
Manchester & Oxford: NCC Blackwell Ltd.
Asadi, P., & Séguinot, C. (2005). Shortcuts, strategies and general
patterns in a process study of nine professionals. Meta,
50(2), 522-547.
Baker, M. (1993). Corpus linguistics and translation studies:
implications and applications. Dalam M. Baker, Mona–
Francis & E. Gill–Tognini-Bonelli (Editor), Text and
technology: In honour of John Sinclair (hal. 233–250).
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Baker, M. (1995). Corpora in translation studies. An overview and
suggestion for future research. Target, 7(2), 223-245.
Baker, M. (1998). Translation studies. Dalam M. Baker (Editor),
Routledge encyclopedia of translation studies (hal. 277-
280). London & New York: Routledge,
Bassnett, S. & Trivedi, H. (1999) (Editor) Post-colonial
translation: Theory and practice. London: Routledge.
Bayani, Z. (2016). Applying critical discourse analysis in
translation of political speeches and interviews.
International Journal of Modern Language Teaching and
Learning, 1(2), 54-58.
Bell, R. T. (1991). Translation and translating: Theory and
practice. London: Longman.
Bernardini, S. (2001). Think-aloud protocols in translation
research: Achievements, limits, future prospects. Target,
13(2), 241-263.
Byrne, J. (2007). Translation and the internet: Changing the face of
an industry. Dalam I. Kemble (Editor), Translation

164 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


technologies & culture (hal. 23-34). Portsmouth: University
of Portsmouth.
Carl, M., Kay, M., & Jensen, K. T. H. (2010). Long distance
revisions in drafting and postediting. Dalam CICLing-2010,
Iasi, Romania.
Carl, M., & Kay, M. (2011). Gazing and typing activities during
translation: A comparative study of translation units of
professional and student translators. Meta: Translators’
Journal, 56(4), 952-975.
Castillo, L. M. (2015). Acquisition of translation competence and
translation acceptability: An experimental study.
Translation & Interpreting, 7(1), 72-85.
Catford. J. C. (1965). A linguistic theory of translation. Oxford:
Oxford University Press.
Chesterman, A. (1989). Readings in translation theory. Helsinki:
Finn Lectura.
Chesterman, A. (2001). Proposal for a Hieronymic oath. Dalam A.
Pym (Editor), The translator: Studies in intercultural
communication. Special issue: The return to ethics, 7(2),
139-154.
Chesterman, A. & Wagner, E. (2002). Can theory help translators?
A dialogue between the Ivory Tower and the Wordface.
Manchester; Northampton: St. Jerome Publishing.
Christensen, T. P. (2011). Studies on the mental processes in
translation memory-assisted translation – the state of the art.
Trans-kom, 4(2), 137-160.
Cohen, A. D., Weaver, S. J., & Li, T. Y. (1996). The impact of
strategies-based instruction on speaking a foreign language.
Laporan Penelitian yang tidak dipublikasikan. Minnesota:
University of Minnesota.
Danes, F. (1974). Functional sentence perspective and the
organization of the text. Dalam F. Danes, (editor), Papers
on functional sentence persepctive (hal. 106-128). Prague:
Academia.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 165


Davies, M. G. (2004), Multiple voices in the translation classroom.
Activities, tasks and projects. Amsterdam/Philadelphia:
John Benjamins.
Dimitrova, B. E. (2005). Expertise and explicitation in the
translation process. Amsterdam/Philadelphia: John
Benjamins.
Dimitrova, E. B. (2010). Translation process. Dalam Y. Gambierm
& L. van Doorslaer (Editor), Handbook of translation
studies. Volume I (hal. 406-411). Amsterdam/Philadelphia:
John Benjamins.
Doherty, S. (2016). The impact of translation technologies on the
process and product of translation. International Journal of
Communication, 10, 947–969.
Dolet, E. (1540). La manière de bien traduire d’une langue en
aultre, Paris: J. de Marnef. (Diterjemahkan oleh D. G. Ross)
dalam D. Robinson (1997). (Editor), How to translate well
from one language into another.
Dragsted, B. (2004). Segmentation in translation and translation
memory systems – An empirical investigation of cognitive
segmentation and effects of integrating a TM system into the
translation process. Copenhagen Working Papers in LSP 4.
Copenhagen: Samfundslitteratur.
Dragsted, B. (2012). Indicators of difficulty in translation –
Correlating product and process data. Across Languages
and Cultures, 13(1), 81-98.
Dragsted, B. & Hansen, I. G. (2008). Comprehension and
production in translation: A pilot study on segmentation and
the coordination of reading and writing processes. Dalam S.
Gopferich, A. L. Jakobsen, & I. M. Mees (Editor), Looking
at Eyes. Eye-Tracking Studies of reading and translation
processing (hal. 9-29). Copenhagen: Samfundslitteratur.
Dragsted, B., Hansen, I. G., & Sorensen, H. S. (2009). Experts
exposed. Dalam I. M. Mees, F. Alves, & S. Gopferich
(Editor), Methodology, technology and innovation in

166 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


translation process research (hal. 293-317). Copenhagen:
Samfundslitteratur.
Dryden, J. (1992). Metaphrase, paraphrase and imitation. Dalam R.
Schulte & J. Biguenet (editor), Theories of translation: An
anthology of essays from Dryden to Derrida (hal. 17–31).
Chicago: University of Chicago Press.
Duff, A. (1981). The third language: Recurrent problems of
translation into English. Oxford: Pergamon Press.
Eggins, S. (1994).An introduction to systemic functional linguistics.
London: Pinter.
Eggins, S. & Martin, J. R. (1997). Genre and registers of discourse.
Dalam T. A. van Dijk (Editor), Discourse as structure and
process (hal. 230-256). London: Sage Publications.
El-dali, H. M. (2011). Towards an understanding of the distinctive
nature of translation studies. Journal of King Saud
University: Languages and Translation, 23, 29-45.
Elmgrab, R. A. (2013). Evaluation of translation errors: Procedures
and criteria. IPEDR. 62(13), 58-65.
Fadly, A. (2016). Ideologi dalam penerjemahan budaya: analisis
pada novel terjemahan “Negeri 5 Menara” karya Ahmad
Fuadi. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 16(2), 132-
143.
Fairclough, N. (2001). Critical discourse analysis as a method in
social scientific research. Dalam R. Wodak & M. Meyer
(Editor). Methods of critical discourse analysis. London:
Sage.
Farahzad, F. (1992). Testing achievement in translation classes.
Dalam C. Dollerup & A. Loddergard (Editor), Teaching
translation and interpreting (hal. 271-278).
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Fawcett, P. (2003) The manipulation of language and culture in
film translation. Dalam M. Calzada Pérez (Editor) Apropos
of Ideology (hal. 145-163). Manchester: St. Jerome.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 167


Garant, J. & Garant, M. (2001). Case Study: Variation of
Assessment Practices in Translator education. Dalam P.
Kukkonen & R. Hartama-Heinonen (Editor), Missions,
visions, strategies, values (hal. 45-58). Helsinki: University
of Helsinki Press.
Gerot, L. & Wignell, P. (1994). Making sense of functional
grammar. Sydney: Gerd Stabler.
Gomez-Castejon, Ma A. (2012). Contrastive analysis and
translation study from a corpus linguistics perspective.
International Journal of English Studies, 12(2), 111-132.
Gopferich, S. (2008). Translationsprozessforschung: stand,
methoden, perspektiven. Tübingen: Narr.
Gopferich, S. (2010). The translation of instructive texts from a
cognitive perspective: Novices and professionals compared.
Dalam S. Gopferich, F. Alves, & I. M. Mees (Editor), New
approaches in translation process research (hal. 5-52).
Copenhagen: Samfundslitteratur.
Gouadec, D. (2007). Translation as a profession.
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Guerra, A. F. (2012). Translating culture: Problems, strategies and
practical realities. Art and Subversion, 1(3), 1-27.
Halliday, M. A. K. (1976). Anti-languages. American
Anthropologist, 78, 570-584.
Halliday, M. A. K. (1978). Language as social semiotic. The social
interpretation of language and meaning. London: Eward
Arnold Publishers.
Halliday, M. A. K. (1985). An introduction to functional grammar.
London: Arnold.
Halliday, M. A. K. (1992). Language theory and translation
practice. Rivista internazionale di tecnica della traduzione,
0, 15-25.
Halliday, M. A. K. (1994). An introduction to functional grammar.
Edisi Kedua. London: Arnold.

168 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Halliday, M. A. K. (2001). Towards a theory of good translation.
Dalam E. Steiner & C. Yallop (Editor) Exploring
translation and multilingual text production: Beyond
content (hal. 13-18). Berlin: Mouton de Gruyter.
Halliday, M.A.K. (2002). On grammar. Dalam J. J. Webster
(Editor). Volume 1 in the collected works of M.A.K.
Halliday. London: Continuum.
Halliday, M. A. K. & Matthiessen, C. M. I. M. (2004). An
introduction to functional grammar. Edisi Ketiga. London
dan New York: Routledge.
Halverson, S. (2009). Psycholinguistic and cognitive approaches.
Dalam M. Baker & G. Saldanha (Editor), Routledge
encyclopedia of translation studies (hal. 211-216.). London
and New York: Routledge.
Hansen, G. (2002). Zeit und qualität im übersetzungsprozess.
Dalam G. Hansen (Editor) Empirical translation studies:
Process and product (hal. 29-54). Copenhagen:
Samfundslitteratur.
Hansen, G. (2005). Storquellen in ubersetzungsprozessen:
Habilitationsschrift. Copenhagen: Samfundslitteratur.
Hansen, G. (2006). Retrospection methods in translator training
and translation research. Journal of Specialised Translation,
5, 2-41.
Hariyanto, S. (2017). Tren kajian terjemahan dan industri
terjemahan. JLT – Jurnal Linguistik Terapan, 7(1), 1-9.
Hasibuan, Z., Lubis, S., Saragih, A. & Muchtar, M. (2018). Study
of translation quality and techniques used in translating
Mandailing folklore Anak Na Dangol Ni Andung into
English. International Journal of English Language &
Translation Studies. 6(2). 62-68.
Hatim, B. (2001). Teaching and researching translation. Harlow:
Pearson Education.
Hill-Madsen, A. (2014). Derivation and transformation: Strategies
in lay-oriented intralingual translation. Disertasi Doktor

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 169


yang tidak dipublikasikan. Aarhus, Denmark: Aarhus
University.
Hirci, N. (2013). Changing trends in the use of translation
resources: The case of trainee translators in slovenia.
ELOPE, 10(2), 149-165.
Hizbullah, N., Fazlurrahman, & Fauziah, F. (2016). Linguistik
korpus dalam kajian dan pembelajaran bahasa Arab di
Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Bahasa Arab
(KONASBARA) II, 15 Oktober 2016, Malang, Indonesia,
hal. 385-393.
Holmes, J. S. (2004).The name and nature of translation studies.
Dalam L. Venuti (Editor), The translation studies reader.
Edisi Kedua (hal. 180-192). London dan New York:
Routledge.
House, J. (1997). Translation quality assessment: A model
revisited. Tubingen: Narr.
House, J. (2001). How do we know when a translation is good?.
Dalam E. Steiner & C. Yallop (Editor), Exploring
translation and multilingual text production: Beyond
content (hal. 127-160). Berlin: Mouton de Gruyter.
Hurtado Albir, A. (1995). La didáctica de la traducción. Evolución
y estado actual. Dalam P. Fernández. (Editor), X
Perspectivas de la Traducción (hal. 49-74). Valladolid:
Universidad de Valladolid.
Huston, S. (2002). Corpora in applied linguistics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Hutchins, E. (2000). Distributed cognition. Diakses pada tanggal 19
Desember 2019 dari http://files.meetup.com/410989/
DistributedCognition.pdf.
Ibarrola, A. L. (2009). Reformulation and self-correction: Testing
the validity of correction strategies in the classroom.
RESLA, 22, 189-215.

170 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Jaaskelainen, R. (1999). Tapping the process: An explorative study
of the cognitive and affective factors involved in translation.
Joensuu: University of Joensuu.
Jaaskelainen, R. (2000). Focus on methodology in think-aloud
studies on translating. Dalam S. Tirkkonen-Condit & R.
Jaaskelainen (Editor), Tapping and mapping the processes
of translation and interpreting (hal. 71-82). Amsterdam/
Philadelphia: John Benjamins.
Jaaskelainen, L. (2009). Think-aloud protocols. Dalam M. Baker &
G. Saldanha (Editor), Routledge encyclopedia of translation
studies (hal. 290-293). London and New York: Routledge.
Jakobsen, A. L. (1998). Logging time delay in translation. Dalam
G. Hansen (Editor) LSP texts and the process of translation
(hal. 73-101). Copenhagen Working Papers in LSP 1/1998.
Jakobsen, A. L. (1999). Logging target text production with
translog. Dalam G. Hansen (Editor), Probing the process in
translation: Methods and results (hal. 9-20). Copenhagen:
Samfundslitteratur.
Jakobsen, A. L. (2002). Translation drafting by professional
translators and by translation students. Dalam G. Hansen
(Editor), Empirical translation studies. process and product
(hal. 191-204). Copenhagen: Samfundslitteratur.
Jakobsen, A. L. (2003). Effects of think aloud on translation speed,
revision, and segmentation. Dalam F. Alves (Editor),
Triangulating translation. Perspectives in process oriented
research (hal. 69-95). Amsterdam/ Philadelphia: John
Benjamins.
Jakobsen, A. L. (2006). Research methods in translation –
Translog. Dalam K. P.H. Sullivan & E. Lindgren (Editor),
Computer keystroke logging and writing: Methods and
applications (hal. 95-105). Oxford: Elsevier.
Jakobsen, A. L. (2011). Tracking translators’ keystrokes and eye
movements with Translog. Dalam C. Alvstad, A. Hild, & E.
Tiselius (Editor), Methods and strategies of process

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 171


research (hal. 37-55). Amsterdam/Philadelphia: John
Benjamins.
Jakobsen, A. L. & Schou, L. (1999). Translog documentation.
Dalam G. Hansen (Editor), Probing the process in
translation: Methods and results (hal. 149-184).
Copenhagen: Samfundslitteratur.
Jalilifar, A. (2009). Thematic development in English and
translated academic texts. Journal of Language &
Translation, 10(1), 81-111.
Kade, O. (Editor). Probleme des übersetzungswissenschaftlichen
Textvergleichs. Leipzig: VEB Verlag Enzyklopädie.
Karoly, K., Deak, S. K., Meszaros, A. E., Abranyi, H., Laszkacs,
A., & Seresi, M. (2013). Cohesion and news translation: An
exploratory study of shifts of cohesion in the Hungarian–
English translation of news stories. Acta Linguistica
Hungarica, 60 (4), 365-407.
Khanmohammad, H. & Osanloo, M. (2009). Moving toward
objective scoring: A rubric for translation assessment. JELS,
1(1), 131-153.
Kim, M. (2007). Translation error analysis: A systemic functional
grammar approach. Dalam D. Kenny & K. Ryou (Editor),
Across boundaries international perspectives on translation
studies (hal. 161-175). Newcastle: Cambridge Scholars
Publishing.
Kim, M. (2009). Meaning-oriented assessment of translations: SFL
and its application to formative assessment. Dalam C.
Angelelli & H. E. Jacobson (Editor), Testing and
assessment in translation and interpreting studies: A call
for dialogue between research and practice (hal. 123-157).
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Kittel, H. & Poltermann, A. (1998). German tradition. Dalam M.
Baker (Editor), Routledge encyclopedia of translation
studies (hal. 418‐428). London: Routledge.

172 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Koller, W. (1995) The concept of equivalence and the object of
translation studies. Target, 7(2), 191-222.
Kourouni, K. (2012). Translating under time constraints in an
undergraduate context: A study of students’ products,
processes and learning styles. Disertasi Doktor yang tidak
dipublikasikan, Tarragona: Universitat Rovira I Virgili.
Krings, H. P. (2001). Repairing texts: Empirical investigations of
machine translation postediting processes. Kent: Kent State
University Press.
Ku, M. (2006). La traducción de los elementos lingüísticos
culturales (chino-espanol). Estudio de Sueno en las Estancia
Rojas. Disertasi Doktor yang tidak dipublikasikan.
Barcelona: Universitat Autonoma de Barcelona.
Kumpulainen, M. (2015). On the operationalisation of ‘pauses’ in
translation process research. Translation & Interpreting,
7(1), 47-58.
Kunzli, A. (2006). Translation revision - A study of the
performance of ten professional translators revising a
technical text. Dalam M. Gotti & S. Sarcevic (Editor),
Insights into specialized translation (hal. 195-214).
Bern/Frankfurt: Peter Lang.
Kussmaul, P. & Tirkkonen-Condit, S. (1995). Think-aloud protocol
analysis in translation studies. TTR: traduction,
terminologie, rédaction. 8(1), 177-199.
Larson, M. L. (1984). Meaning-based translation: A guide to cross-
language equivalence. Lanham Md: University Press of
America.
Lederer, M. (1994). La traduction aujourd’hui. Paris: Hachette.
Lee-Jahnke, H. (2005). New cognitive approaches in process-
oriented translation training. Meta, 50(2), 359-378.
Levy, J. (2011[1963]). The art of translation. (Diterjemahkan oleh
P. Corness, diedit oleh Z. Jettmarová). Amsterdam/
Philadelphia: John Benjamins.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 173


Lubis, S. (2010). Penerjemahan teks Mangupa dari bahasa
Mandailing ke dalam bahasa Inggris. Disertasi Doktor yang
tidak dipublikasikan. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Ma, Y. & Wang, B. (2016). A review of systemic functional
translation studies from an antarpersona perspective.
International Forum of Teaching and Studies, 12(1), 36-41.
Malkiel, B. (2009). From antonia to my antonia: Tracking self-
corrections with translog. Dalam S. Göpferich, A. L.
Jakobsen, & I. M. Mees (Editor), Behind the mind:
Methods, models and results in translation process research
(hal. 149-166). Copenhagen: Samfundslitteratur Press.
Manfredi, M. (2008). Translating text and context: Translation
studies and systemic functional linguistics. Vol. 1
translation theory. Bologna: Centro di StudiLinguistico-
Culturali (CeSLiC).
Manfredi, M. (2011). Systemic functional linguistics as a tool for
translation teaching: Towards a meaningful practice. Rivista
Internazionale di Tecnica della Traduzione, 13, 49-62.
Manfredi, M. (2014). Translating text and context: Translation
studies and systemic functional linguistics. Vol. II From
theory to practice. Bologna: Centro di StudiLinguistico-
Culturali (CeSLiC).
Martin, J. R. (1992). English text: System and structure.
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Martin, J. R., Matthiessen, C. M. I. M., & Painter, C. (2010).
Working with functional grammar. London: Arnold.
Martin, J. R., Matthiessen, C. M. I. M., & Painter, C. (2010).
Deploying functional grammar. Beijing: Commercial Press.
Mason, I. (1994). Techniques of translation revised: a text
linguistic review of borring and modulation. Dalam A.
Hurtado Albir (Editor), Estudis sobre la Traducció, Col.
Estudis sobre la Traducció, vol. 1 (hal. 61-72), Valencia:
Universitat Jaume I.

174 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Matthiessen, C. M. I. M. (2001). The environments of translation.
Dalam E. Steiner & C. Yallop (Editor), Exploring
translation and multilingual text production: Beyond
content (hal. 41-124). Berlin/New York: Morton de Gruyter,
Matthiessen, C., Teruya, K., & Lam, M. (2010). Key terms in
systemic functional linguistics. London dan New York:
Continuum.
McAlester, G. (2000). The evaluation of translation into a foreign
language. Dalam C. Schaffner & B. Adab (Editor).
Developing translation competence (hal. 229-241).
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Melis, M. M. & Hurtado Albir, A. (2001). Assessment in
translation studies: Research needs. Meta, 46(2), 272-287.
Mizón, M. I. & Diéguez, M. I. (1996). Self correction in translation
courses: A methodological tool. Meta, 41(1), 75-83.
Molina, L. & Hurtado Albir, A. (2002). Translation techniques
revisited: A dynamic and functionalist approach. Meta,
XLVII(4), 498-512.
Mossop, B. (2001). Revising and editing for translators.
Manchester, UK: St. Jerome Publishing,
Munday, J. (2001). Introducing translation studies: Theories and
applications. London: Routledge.
Munday, J. (2008). Introducing translation studies: Theories and
applications. Edisi Kedua. London: Routledge.
Nababan, M., Nuraeni, A. & Sumardiono. (2012). Pengembangan
model penilaian kualitas terjemahan. Kajian Linguistik dan
Sastra, 24(1), 39-57.
Newmark, P. (1988). A textbook of translation. London: Prentice
Hall.
Newmark, P. (1991). About translation. Bristol: Multilingual
Matters.
Nida, E. (1964a). Toward a science of translating. Leiden: E.J.
Brill.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 175


Nida, E. (1964b/2012). Principles of correspondence. Dalam L.
Venuti (Editor), The translation studies reader (hal. 141-
155). Edisi Ketiga. London dan New York: Routledge.
Nida, E. (1975). Language structure and translation. Stanford:
Stanford University Press.
Nida, E. & Taber, C. R. (1982). The theory and practice of
translation. Leiden: Brill.
Nord, C. (1997). A Functional typology of translations. Dalam A.
Trosborg (Editor), Text typology and translation (hal. 43-
66). Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Nurlela, Ganie, R., & Sofyan, R. (2018) Penerjemahan “Hikayat
Deli” ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris:
Pendekatan linguistik fungsional sistemik. Laporan
Penelitian yang tidak dipublikasikan. Medan: Universitas
Sumatera Utara.
O’Brien, S. (2006). Pauses as indicators of cognitive effort in post-
editing machine translation output. Across Languages and
Cultures, 7(1), 1-21.
O’Brien, S. (2009). Eye tracking in translation process research:
Methodological challenges and solutions. Dalam I. M.
Mees, F. Alves, & S. Gopferich (Eds.), Methodology,
technology and innovation in translation process research:
A tribute to Arnt Lykke Jakobsen (hal. 251-266).
Copenhagen: Samfundslitteratur.
Oxford, R. L. (1990). Language learning strategies: What every
teacher should know. New York: Newbury House/Harper
Collins.
Pakpahan, M. F. (2016). Terjemahan modal pada teks ‘United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS
1982)’ dalam bahasa Indonesia. Tesis Magister yang tidak
dipublikasikan. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Paltridge, B. (2012). Discourse analysis: An introduction. Edisi
Kedua. London: Bloomsbury Academic.

176 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Pergnier, M. (1993). Les fondements sociolinguistiques de la
traduction. Lille: Presses universitaires de Lille.
Pym, A. (1996). Ideologies of the expert in discourses on translator
training. Dalam M. Snell-Hornby & Y. Gambier (Editor),
Problems and trends in the teaching of interpreting and
translation (hal. 139-149). Misano: Istituto San Pellegrino.
Pym, A. (2012). On translator ethics: Principles for mediation
between cultures. Amsterdam/Philadelphia: John
Benjamins.
Rahesa RM, I. W. & Rosa, R. N. (2020). Translation techniques
used by English Department students of Universitas Negeri
Padang in translating a narrative text. E-Journal of English
Language & Literature, 9(2), 119-126.
Rasmussen, K. W. & Schjoldager, A. (2011). Revising translations:
A survey of revision policies in Danish translation
companies. Journal of Specialised Translation, 15(2011),
87-120.
Reiss, K. (1976). Texttyp und übersetzungsmethode: der operative
text. Kronberg: Scriptor Verlag.
Risku, H. (2010). A cognitive scientific view on technical
communication and translation. Do embodiment and
situatedness really make a difference?. Target, 22(1), 94-
111.
Ibarrola, A. L. (2009). Reformulation and self-correction: Testing
the validity of correction strategies in the classroom.
RESLA, 22, 189-215.
Robin, E., Gotz, A., Pataky, E., & Szegh, H. (2017). Translation
studies and corpus linguistics: Introducing the pannonia
corpus. Acta Univ. Sapientiae, Philologica, 9(3), 99-116.
Rosa, R. N. (2017). An analysis on translation and translating: SFL
language metafunctions in the translation of student and
professional translators. Disertasi Doktor yang tidak
dipublikasikan. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 177


Rosa, R. N. (2019). Thematic progression shifts in the translation
of student translators. Advances in Social Science,
Education and Humanities Research, 276, 241-247.
Rosa, R. N., Sinar, T. S., Ibrahim-Bell, Z., & Setia, E. (2017).
Metafunctional shifts in the translation of student and
professional translators. International Journal of Sciences:
Basic and Applied Research (IJSBAR), 35(2), 85-101.
Rosa, R. N., Sinar, T. S., Ibrahim-Bell, Z., & Setia, E. (2018).
Pauses by student and professional translators in translation
process. International Journal of Comparative Literature
and Translation Studies, 6(1), 18-28.
Salemi, F. (2007). An ideological approach to novel translation.
Tesis Magister yang tidak dipublikasikan. Iran: IAU.
Schleiermacher, F. (2004). On the different methods of translating.
Dalam L. Venuti (editor), The translation studies reader.
Edisi Kedua. (hal. 43–63). London dan New York:
Routledge.
Schubert, K. (2009). Positioning translation in technical
communication studies. The Journal of Specialised
Translation, 11, 17-30.
Scriven, M. (2007). The logic of evaluation. Dalam H. V. Hansen,
C. W. Tindale, J. A. Blair, R. H. Johnson, & D. M. Godden
(Editor), Dissensus and the search for common ground,
CD-ROM (hal. 1-16). Windsor, ON: OSSA.
Seguinot, C. (1989). The translation process. Toronto: H.G.
Publications.
Serbina, T., Niemietz, P., & Neumann, S. (2015). Development of
a keystroke logged translation corpus. Dalam C. Fantinuoli
& F. Zanettin (Editor), New directions in corpus-based
translation studies (hal. 11-34). Berlin: Language Science
Press.
Setiawan, T. (2017). Korpus dalam kajian penerjemahan. Prosiding
Seminar Nasional Perspektif Baru Penelitian Linguistik

178 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Terapan: Linguistik Korpus dalam Pengajaran Bahasa, 6
Juni 2017, Yogyakarta, hal. 1-14.
Snell-Hornby, M. (2006). The turns of translation studies.
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Sofyan, R. (2016). Translation process and translation quality: A
study of Indonesian student translators. Disertasi Doktor
yang tidak dipublikasikan. Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Sofyan, R., & Rosa, R. N. (2014). Using theme and rheme analysis
in Indonesian-English translation. Prosiding International
Conference on Empowering Local Wisdom in Support of
National Identity, Medan, Indonesia, hal. 779-787.
Sofyan, R. & Tarigan, B. (2016). Dampak proses penerjemahan
terhadap kualitas terjemahan. Laporan Penelitian yang
tidak dipublikasikan. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sofyan, R. & Tarigan, B. (2017a). Online resources management in
self-corrections and translation quality. International
Journal of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR),
35(2), 212-224.
Sofyan, R. & Tarigan, B. (2017b). Thematic progression in the
translation of student translators. Prosiding the 9th
International Conference on Language, Literature, Culture
and Education, Bangkok, Thailand, hal. 46-53.
Sofyan, R. & Tarigan, B. (2018). Theme markedness in the
translation of student translators. Indonesian Journal of
Applied Linguistics, 8(1), 235-243.
Sofyan, R. & Tarigan, B. (2019). Developing a holistic model of
translation quality assessment. Advances in Social Science,
Education and Humanities Research, 254, 266-271.
Sofyan, R., Tarigan, B., & Sinar, T.S. (2019). Developing online-
based TAP course materials. Advances in Social Science,
Education and Humanities Research, 301, 600-605.
Steiner, E. (1998). A register-based translation evaluation: an
advertisement as a case in point. Target, 10(2), 291-318.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 179


Steiner, E. (2004). Translated texts: Properties, variants,
evaluations. New York: Peter Lang.
Steiner, E. & Yallop, C. (2001) (Editor). Exploring translation and
multilingual text production: Beyond content. Berlin:
Mouton de Gruyter.
Suastini, N. W., Artawa, K., Yadnya, I. B. P., & Laksana, I K. D.
(2018). Translation and markedness. International Journal
of Comparative Literature & Translation Studies, 6(4), 28-
32.
Sujaini, H. (2018). Peningkatan akurasi penerjemah bahasa daerah
dengan optimasi korpus paralel. JNTETI, 7(1), 7-12.
Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia. (2016). Pedoman
umum ejaan bahasa Indonesia. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Tirkkonen-Condit, S. & Jaaskelainen, R. (Editor). (2000). Tapping
and mapping the process of translation: Outlooks on
empirical research. Amsterdam/Philadelphia: John
Benjamins.
Torop, P. (2002). Translation as translating as culture. Sign Systems
Studies, 30(2), 593-605.
Toury, G. (1995). Descriptive translation studies and beyond.
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Toury, G. (2012). Descriptive translation studies and beyond. Edisi
Revisi. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Tytler, A. F. (1797). Essay on the principles of translation.
Edinburgh: Cadell & Davies, dikutip dari J. Munday (2008).
Introducing translation studies: Theories and applications.
Edisi Kedua.
Venuti, L. (Editor). (2000). The translation studies reader. Edisi
Pertama. London dan New York: Routledge.
Venuti, L. (Editor). (2004). The translation studies reader. Edisi
Kedua. London dan New York: Routledge.

180 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


Vinay, J-P. & Darbelnet, J. (1977). Stylistique comparée du
français et de l’anglais. París: Didier: Georgetown
University Press.
Vinay, J. P., & Darbelnet, J. (1995). Comparative stylistics of
French and English. A methodology for translation (J. C.
Sager & M. J. Hamel, Terjemahan.). Amsterdam: John
Benjamins.
Volkova, T. (2014). Translation model, translation analysis,
translation strategy: an Integrated methodology. Procedia -
Social and Behavioral Sciences 154, hal. 301-304.
Waddington, C. (2001). Different methods of evaluating student
translations: The question of validity. Meta, 46(2), 311–25.
Wang, F. (2014). The application of thematic theory in translation.
Theory and Practice in Language Studies, 4(4), 778-785.
Williams, M. (2009). Translation quality assesment. Mutatis
Mutandis. 2(1), 3-23.
Wiratno, T. (2010). Realisasi makna tekstual pada artikel jurnal
ilmiah dalam bahasa Indonesia. Linguistik Indonesia, 28(2),
141-166.
Xiabin, H. (2005). Can we throw ‘equivalence’ out of the window?.
Translating Today Magazine, 4, 18-19.
Yallop, C. (1987). The practice and theory of translation. Dalam R.
Steele & T. Threadgold (Editor), Language topics: Essays
in honour of Michael Halliday (hal. 347-351), Vol. 1.
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Yallop, C. (2001). The construction of equivalence. Dalam E.
Steiner & C. Yallop (Editor), Exploring translation and
multilingual text production: Beyond content. Berlin/New
York: Mouton de Gruyter.
Yuliawati, S. (2018). Kajian penerjemahan berbasis korpus:
Paradigma baru dalam penelitian tentang penerjemahan.
Jurnal Penerjemahan, 5(1), 1-25.

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 181


Zanettin, F. (2014). Corpora in translation. Dalam J. House
(Editor). Translation: A multidisciplinary approach (hal.
178-199). London: Palgrave.
Zhang, M., Pan, H., Chen, X., & Luo, T. (2015). Mapping
discourse analysis in translation studies via bibliometrics: A
survey of international publications. Perspectives: Studies
in Translatology, 23(2), 223-239.

182 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


INDEKS

adaptasi, 107, 110, 111, 114, 115


afektif, 38, 39, 43, 62, 67
alami, 4, 16, 33, 39, 43, 71, 85, 100, 106, 111, 134, 135, 142, 147
amplifikasi, 114, 115, 121, 122, 123, 128
analisis, 9, 16, 18, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 33, 40, 65, 75, 76, 114,
136, 139, 167
analisis wacana, 25, 33
antarpersona, 26, 27, 72, 73, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 91, 92, 96, 174
bahasa, 1, 2, 3, 4, 6, 7, 10, 11, 12, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 24, 25,
26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 36, 38, 39, 40, 43, 46, 48, 49, 51, 54, 55,
56, 57, 58, 59, 60, 61, 69, 70, 71, 73, 77, 88, 89, 96, 97, 104, 106, 108,
109, 110, 111, 118, 128, 131, 134, 135, 136, 137, 139, 140, 141, 142,
147, 150, 151, 152, 155, 157, 167, 170, 174, 176, 179, 180, 181
bahasa Indonesia, 1, 2, 3, 11, 32, 39, 51, 55, 56, 60, 61, 109, 110, 128,
133, 142, 155, 176, 180
bahasa Inggris, 1, 2, 11, 12, 32, 60, 61, 79, 108, 109, 110, 117, 174,
176
bahasa sasaran, 1, 20, 36, 38, 69, 100, 141, 153
bahasa sumber, 1, 20, 36, 69, 141, 153
BSa, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 11, 17, 18, 19, 21, 22, 29, 36, 43, 44, 47, 48,
49, 50, 54, 56, 57, 69, 75, 76, 77, 79, 80, 85, 88, 92, 96, 97, 100, 101,
102, 103, 104, 105, 106, 107, 110, 113, 115, 116, 118, 120, 121, 123,
126, 127, 128, 129, 130, 131, 134, 135, 139, 140, 146, 147, 149, 150,
152, 153
BSu, 1, 2, 5, 6, 11, 21, 36, 44, 47, 48, 49, 57, 66, 69, 79, 80, 89, 96,
100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 110, 115, 116, 117, 120, 129, 135,
153
budaya, 4, 9, 17, 18, 19, 22, 25, 27, 40, 75, 76, 100, 103, 104, 105,
106, 107, 108, 109, 110, 111, 129, 134, 135, 155, 167
Camtasia, 11, 13, 62, 65, 67
Computer Assisted Translation, 10, 155
daring, 10, 12, 24, 43, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 65, 153, 159, 161

Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 183


data, 11, 12, 13, 29, 30, 36, 58, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 92, 115, 156,
159, 163, 166
deskripsi, 9, 16, 23, 29, 109, 110, 111, 114, 119, 139, 140, 143, 144,
148, 149, 151, 152
deskriptif, 9, 19, 148
dinamis, 8, 100, 101, 105, 106, 110, 111
disiplin ilmu, 7, 14, 36, 70, 153, 161
domestikasi, 12, 135
draf, 15, 23, 24, 38, 39, 40, 42, 43, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53,
54, 55, 56, 59, 63, 64, 165, 171
durasi, 39, 40, 41, 42, 43, 63
ejaan, 46, 51, 55, 56, 61, 117, 137, 139, 140, 157, 180
eksternal, 21, 22, 24, 37, 38, 57, 67
etika, 1, 14, 36, 39, 40, 44, 45, 47, 51, 65, 69, 157, 158, 159, 161, 162
formal, 26, 27, 29, 31, 89, 100, 103, 121, 156, 157, 158, 161
fungsional, 13, 19, 25, 26, 69, 71, 89, 96, 110, 114, 124, 176
generalisasi, 114, 115, 121, 125
glosarium, 109, 160
harfiah, 4, 5, 29, 108, 109, 115, 117, 123, 127, 130
hasil terjemahan, 1, 2, 25, 29, 30, 32, 33, 43, 66, 71, 76, 82, 97, 99,
101, 103, 105, 110, 114, 115, 116, 119, 120, 124, 139, 140, 145, 146,
150, 151, 152, 155
hipotesis, 6, 43
holistik, 139, 140, 141, 143, 144, 151
ideasional, 26, 27, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 82, 89, 90, 91, 96
ideologi, 25, 27, 106, 167, 177, 178
internal, 21, 23, 24, 37, 43, 57
jeda, 12, 36, 39, 40, 41, 42, 43, 62, 63, 67
kajian, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 24, 25, 27,
29, 31, 33, 35, 36, 37, 39, 40, 57, 61, 62, 66, 67, 69, 70, 71, 96, 109,
113, 136, 150, 151, 152, 169, 178, 181
kajian terjemahan, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20,
24, 25,27, 29, 31, 33, 35, 37, 39, 57, 62, 66, 70, 109, 136, 150, 152,
169
kajian terjemahan deskriptif, 9
kajian terjemahan teoretis, 9
184 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
kalke, 114, 1185, 117
kamus, 56, 57, 58, 59, 61, 120, 130, 155
kapitalisasi, 46, 50, 51, 52
keakuratan, 32, 33, 102, 106, 134, 139, 141, 142, 143, 144, 149, 152,
161
keberterimaan, 23, 24, 30, 33, 47, 49, 100, 107, 141, 142, 143
keputusan, 15, 19, 22, 24, 37, 117, 126, 128, 129, 130
kesepadanan, 10, 13, 20, 32, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106,
110, 111, 114
keterbacaan, 12, 33, 100, 103, 134, 141, 142, 143
klien, 3, 74, 104, 157, 158, 159, 160, 161, 162
kognitif, 36, 37, 38, 40, 41, 43, 62, 63, 67, 124
komitmen, 158, 159, 161
kompensasi, 114, 115, 118
kompetensi, 153, 156, 160, 161
kompresi, 115, 123
komunikatif, 3, 4, 22, 27, 105, 107, 114
kontekstual, 105, 114
korpus, 24, 29, 30, 31, 32, 33, 163, 170, 178, 179, 180, 181
kotak hitam, 35, 37, 66
kreasi diskursif, 114, 119, 120, 128, 129
kualitas, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 18, 20, 24, 33, 35, 43, 44, 50, 56, 57,
101, 113, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144,
148, 149, 150, 151, 152, 155, 158, 175, 179
kuartet, 127, 129
kuesioner, 11, 13, 67
kuplet, 110, 111, 127, 130
layanan, 58, 59, 60, 157, 158, 161
LFS, 13, 26, 71, 72, 89, 96, 110, 111, 124
linguistik fungsional sistemik, 13, 26, 69, 71, 110, 124, 176
literal, 4, 39, 47, 76, 105, 106, 107, 115, 116, 118, 120, 121, 122, 123,
124, 125, 127, 147, 150
Machine Translation, 10, 155, 164, 173, 176
makna, 1, 2, 3, 4, 5, 12, 13, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 29, 32,
33, 39, 42, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 53, 56, 59, 60, 71, 72, 73, 74, 76,
77, 78, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 88, 89, 90, 91, 92, 95, 96, 97, 99, 100,
Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 185
101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 113, 114, 115, 117,
118, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 133,
134, 135, 137, 138, 139, 141, 145, 151, 154, 155, 156, 158, 160, 181
masalah, 5, 9, 10, 13, 16, 17, 23, 33, 36, 40, 41, 42, 43, 60, 61, 62, 63,
70, 71, 82, 110, 111, 113, 122, 124, 125, 136, 138, 142, 144, 145, 146,
147, 148, 149, 151, 152
masalah penerjemahan, 10, 13, 43, 60, 61, 70, 113, 138, 145, 146, 148
mental, 12, 36, 37, 74, 75, 76, 165
mesin terjemahan, 57, 58
metafungsi, 13, 28, 72, 73, 74, 75, 77, 79, 80, 81, 8/8, 89, 90, 91, 92,
93, 94, 95, 96, 97
metakognitif, 37, 38, 67
metode, 10, 13, 29, 35, 45, 65, 113, 114, 136
metodologi, 24, 32, 33
modalitas, 26, 27, 28, 73, 77, 78, 79, 92, 122
model, 7, 12, 13, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 33, 36, 102, 124, 125, 134,
135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 148, 149, 151, 152,
157, 158, 170, 174, 175, 179, 181
modulasi, 115, 124
modus, 73, 77, 78, 79, 80, 83, 92, 93, 96, 110
naturalisasi, 116, 117
neologisme, 116
objektif, 63, 65, 66, 107, 136, 149, 152
padanan lazim, 92, 114, 118, 120, 127, 128, 129
partikularisasi, 115, 125
pemadanan, 12, 42, 49, 88, 90, 91, 99, 100, 101, 102, 105, 107, 109,
110, 117, 120, 127, 129, 137, 138, 145
pemetaan, 7, 8, 12
peminjaman, 109, 110, 111, 114, 115, 116, 117, 118
penambahan, 44, 46, 49, 50, 52, 53, 71, 85, 94, 114, 116, 122, 125,
128, 137, 138, 160
penelitian, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 16, 17, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 32,
33, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 57, 58, 60, 62, 63, 64, 66, 67, 71, 72,
111, 124, 125, 131, 133, 136, 153, 165, 176, 178, 179, 181, 186
penerjemah, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19,
20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41,
186 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa
42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,
62, 63, 64, 65, 66, 67, 69, 70, 71, 72, 75, 77, 79, 82, 83, 85, 88, 89, 90,
96, 99, 100, 101, 102, 103, 105, 108, 109, 110, 111, 113, 114, 115,
116, 117, 118, 119, 120, 121, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130,
131, 133, 134, 135, 138, 140, 144, 145, 146, 148, 152, 153, 154, 155,
156, 157, 160, 161, 162, 163, 167, 174, 176, 178, 179, 180, 181
penerjemah mahasiswa, 24, 41, 42, 44, 57
penerjemah profesional, 24, 41, 42, 43, 57, 155, 156, 157, 159, 160,
161, 162
Penerjemahan, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18,
19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 40,
42, 43, 45, 46, 48, 52, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67,
69, 70, 71, 72, 73, 77, 79, 82, 83, 88, 89, 90, 96, 99, 100, 101, 102,
103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 113, 114, 115, 116, 117,
118, 119, 120, 121, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 133,
134, 135, 138, 145, 146, 148, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157,
158, 159, 160, 161, 162, 167, 174, 176, 178, 179, 181
penerjemahan bebas, 4, 5, 107
penerjemahan murni, 187
penerjemahan terapan, 187
penerjemahan yang berorientasi pada produk, 16, 28, 30, 32, 33
penerjemahan yang berorientasi pada proses, 22, 30, 37, 38, 62, 67
pengurangan, 46, 47, 48, 49, 71, 86, 95, 126, 130, 138, 160
penilaian, 11, 12, 13, 14, 18, 38, 133, 134, 135, 136, 138, 139, 140,
141, 142, 143, 148, 149, 150, 151, 152, 175
PKT, 133, 134, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 148, 149,
150, 151, 152
pola gerak tema, 28, 29, 83, 84, 85, 86, 87, 88
praktik penerjemahan, 4, 8, 10, 69, 71, 99, 115, 151, 157
preferensi, 17, 46, 47
prinsip, 5, 9, 13, 106, 107, 114, 135, 158
produk, 9, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 24, 27, 28, 29, 30, 31, 32,
33, 35, 36, 37, 43, 44, 54, 57, 85, 96, 102, 107, 108, 113, 114, 123,
133, 134, 135, 136, 141
profesi, 153, 154, 161
profesionalisme, 14, 153, 154, 155, 156, 157, 161
Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 187
prosedur, 36, 108, 113, 114
proses, 1, 2, 4, 6, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 30, 35,
36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 48, 54, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63,
64, 65, 66, 67, 71, 73, 74, 75, 76, 77, 81, 82, 83, 84, 88, 89, 90, 91, 92,
96, 99, 101, 102, 103, 104, 105, 110, 111, 114, 115, 117, 126, 138,
140, 151, 152, 153, 156, 179
proses mental, 12, 36, 37, 74, 76
proses penerjemahan, 4, 10, 11, 12, 15, 21, 22, 24, 30, 35, 36, 37, 38,
39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 48, 54, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66,
67, 71, 82, 88, 100, 102, 111, 114, 115, 153, 156, 179
register, 25, 26, 27, 28, 73, 137, 167, 179
rekaman, 11, 29, 62, 64, 65
relativitas, 14, 149, 150, 151, 152
rema, 26, 27, 29, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 91, 94, 95, 96
representasi, 1, 2, 3, 15, 16, 18, 19, 26, 27, 74, 75, 76, 77, 94, 105,
114, 157, 158
reproduksi, 1, 2, 3, 5, 17, 107, 114, 134, 135
revisi, 24, 42, 44, 45, 139, 140, 165, 170, 171, 173, 175, 177, 180
shift, 12, 28, 172, 178
solusi, 42, 60, 70, 71, 115, 136, 145, 146, 149
sosial, 25, 38, 39, 43, 67, 83, 108
strategi, 12, 22, 30, 35, 38, 63, 113, 164, 165, 168,
subjektivitas, 14, 41, 149, 150, 151, 152
substitusi, 46, 47, 115
swa-koreksi, 12, 23, 24, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56,
57, 59, 65, 67
tahap, 24, 37, 40, 41, 42, 44, 45, 59, 64, 65, 67
TAP, 11, 13, 36, 62, 63, 65, 67, 179
teknik penerjemahan, 12, 13, 32, 109, 110, 111, 113, 114, 115, 116,
117, 118, 119, 120, 121, 123, 125, 127, 128, 129, 130, 131
teknologi, 16, 29, 36, 58, 64, 116, 153, 157, 161, 163
teks sasaran, 1, 15, 23, 30, 35, 99
teks sumber, 1, 12, 23, 30, 99, 103, 158
tekstual, 22, 26, 27, 28, 29, 72, 73, 80, 81, 82, 83, 85, 94, 95, 96, 100,
103, 105, 114, 135

188 | Rudy Sofyan - Rusdi Noor Rosa


tema, 26, 27, 28, 29, 71, 73, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 94, 95,
96, 97, 110, 124, 148
teori linguistik, 13, 20, 26, 69, 70, 71, 72, 96, 124, 153
teori penerjemahan, 4, 7, 10, 69, 71, 101
terjemahan, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18,
19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 39, 40,
41, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60,
61, 62, 64, 66, 69, 70, 71, 74, 76, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 99, 101, 102, 103, 104, 105, 107, 109,
110, 111, 113, 114, 115, 116, 118, 119, 120, 121, 123, 124, 125, 126,
127, 128, 129, 130, 131, 133, 134, 135, 136, 138, 139, 140, 141, 142,
143, 144, 145, 146, 149, 150, 1581, 152, 153, 154, 156, 157, 159, 160,
161, 167, 169, 175, 176, 179, 181
terminologi, 18, 23, 24, 61, 119, 129, 160, 173
Think Aloud Protocols, 11
transfer, 22, 38, 100, 109, 110, 135
transitivitas, 26, 27, 28, 73, 74, 75, 76, 77
Translog, 11, 13, 36, 43, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 171
transposisi, 71, 126
triplet, 110, 111, 127, 128, 130
TSa, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 11, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 24, 25, 30, 31,
33, 35, 36, 43, 47, 49, 50, 55, 56, 72, 76, 77, 79, 80, 82, 84, 85, 86, 87,
88, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 99, 100, 101, 102, 104, 106, 107,
109, 111, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124,
125, 126, 127, 128, 129, 130, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141,
143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 160
TSu, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 11, 12, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 24, 25, 26,
30, 32, 33, 42, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 59, 64, 66, 71, 76,
77, 78, 79, 80, 82, 84, 85, 86, 87, 88, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 99,
100, 101, 102, 104, 106, 107, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120,
121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 134, 135, 137, 138,
139, 140, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150
tulisan, 10, 27, 29, 31, 39, 84, 85, 100, 104, 157
tunggal, 2, 3, 9, 16, 19, 55, 76, 91, 94, 117, 127
varian, 127, 128, 129, 130, 180
variasi, 32, 82, 115, 137
Kajian Terjemahan: Panduan Praktik dan Penelitian Terjemahan | 189

Anda mungkin juga menyukai