Disusun Oleh :
Kelompok 3
C. Berdasarkan Isinya
Ada 5 macam paragraf berdasarkan isinya, yakni paragraf narasi,
paragraf deskriptif, paragraf eksposisi, paragraf argumentasi serta paragraf
persuasi.
1. Paragraf Narasi
Paragraf naratif digunakan untuk mengisahkan suatu kejadian atau
peristiwa sehingga pembaca dapat mengikuti peristiwa yang diceritakan
secara kronologis. Unsur yang paling penting pada sebuah paragraf naratif
adalah unsur peristiwa atau tindakan. Ciri-ciri paragraf narasi di antaranya
yaitu terdapat alur cerita, tokoh, setting dan konflik serta tidak memiliki
kalimat utama secara tetap.
Terdapat dua jenis-jenis paragraf narasi yaitu:
a. Paragraf narasi ekspositoris, berisikan rangkaian perbuatan yang
disampaikan secara informatif.
b. Paragraf narasi sugestif, mengisahkan suatu hasil rekaan, khayalan
atau imajinasi pengarang.
2. Paragraf Deskripsi
Paragraf deskripsi adalah paragraf yang menggambarkan suatu
objek dengan kata-kata yang mampu merangsang indra pembaca. Dalam
paragraf ini, penulis memberikan perincian-perincian secara detail dari
objek yang ditulisnya agar pembaca seolah-olah dapat melihat,
mendengar, dan merasakan apa yang dibaca. Ciri-ciri paragraf deskriptif
di antaranya yaitu menggambarkan suatu benda, tempat, atau suasana
tertentu, penggambaran dilakukan dengan melibatkan panca indra serta
menjelaskan ciri-ciri objek seperti warna, ukuran, bentuk dan keadaan
secara terperinci.
Dalam paragrafi deskripsi terdapat dua pola pengembangan paragraf yang
ada yaitu:
a. Pola spasial
b. Pola sudut pandang
3. Paragraf Eksposisi
Paragraf eksposisi adalah paragraf yang menjelaskan,
menyampaikan, mengajarkan, dan menerangkan suatu pokok pikiran
kepada pembaca. Paragraf ini bertujuan memberikan informasi,
penjelasan, keterangan, ataupun pemahaman tentang sesuatu objek atau
hal. Ciri-ciri paragraf eksposisi di antaranya yaitu memaparkan definisi
atau langkah-langkah dan metode tertentu, mengguakan gaya bahasa yang
informatif, menginformasikan sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh alat
indra serta umumnya menjawab pertanyaan apa, siapa, dimana, kapan,
mengapa dan bagaimana terkait suatu topik.
4. Paragraf Argumentasi.
Paragraf argumentasi merupakan paragraf yang berisi ide atau
gagasan dengan diikuti alasan yang kuat untuk menyakinkan pembaca
dengan isinya yang mengemukakan suatu pendapat yang diyakini.
Paragraf argumentatif bertujuan untuk mempengaruhi sikap dan pendapat
orang lain agar mereka itu percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan
apa yang diinginkan oleh penulis. Ciri-ciri paragraf argumentasi meliputi
penjelasan suatu pendapat agar pembaca yakin, memuat bukti-bukti yang
mendasari argumen tersebut berupa data, tabel, gambar dan sebagainya,
menggali sumber ide dari sebuah pengamatan dan penelitian serta terdapat
kesimpulan pada penutupnya.
5. Paragraf Persuasi
Paragraf persuasi adalah suatu bentuk paragraf yang bertujuan
membujuk, menghimbau, dan mempengaruhi pembaca agar mau berbuat
sesuatu sesuai dengan yang tertera pada paragrafnya. Penulis
menyertakan bukti data dan fakta untuk dapat mempengaruhi pembaca.
Ciri-ciri paragraf persuasi di antaranya yaitu idenya berasal dari pikiran
manusia, harus bisa menimbulkan kepercayaan pembaca, sebisa mungkin
menghindari konflik serta memerlukan fakta dan data yang akurat dan
faktual sesuai isi paragraf.
B. Kepaduan
Kepaduan paragraf dapat terlihat melalui penyusunan kalimat secara logis dan
melalui ungkapan/kata pengait antarkalimat. Urutan yang logis akan terlihat
dalam susunan kalimat-kalimat dalam paragraf itu. Dalam paragraf itu tidak
ada kalimat-kalimat yang sumbang atau keluar dari permasalahan yang
dibicarakan.
C. Kelengkapan
Kelengkapan sebuah paragraf dapat diwujudkan dengan terpenuhinya semua
unsur pembentuk sebuah paragraf yaitu:
- Gagasan utama
Merupakan tema atau ide yang menjadi dasar pengembangan suatu
paragraf.
- Kalimat Utama
Setelah mendapatkan ide atau gagasan utama, langkah selanjutnya adalah
menuangkan gagasan utama tersebut ke dalam sebuah kalimat utama. Jadi
dalam kalimat utama tersirat gagasan utama. Kita bisa meletakkan
kalimat utama di awal, di akhir ataupun di awal dan di akhir sebuah
paragraf.
- Kalimat Penjelas
Sebuah kalimat utama yang mengandung gagasan utama belum bisa
dikatakan sebuah paragraf, karena itu paragraf membutuhkan kalimat
penjelas. Kalimat penjelas ini berfungsi menjelaskan ide dari kalimat
utama sehingga menjadi jelas, rinci dan lengkap. Yang harus diperhatikan
dalam membuat kalimat penjelas adalah, jangan sampai kalimat penjelas
tersebut menyimpang dari ide pokok. Semua kalimat penjelas harus saling
mendukung gagasan utama.Dengan terpenuhinya semua unsur ini maka
sebuah paragraf akan menjadi paragraf yang baik.
2. Konjungsi Antarkalimat
Konjungsi antarkalimat harus secara tegas dibedakan dari konjungsi
intrakalimat. Di dalam konjungsi intrakalimat terdapat konjungsi
koordinatif dan konjungsi subordinatif. Konjungsi intrakalimat beroperasi
di dalam tataran kalimat itu. Berbeda dengan semuanya itu, konjungsi
antarkalimat beroperasi pada tataran yang berada di luar kalimat itu
sendiri.
Dengan demikian, harus dikatakan bahwa yang dihubungkan atau
dikaitkan itu adalah ide atau pikiran yang berada di dalam kalimat itu
dengan ide atau pikiran yang berada di luar kalimat tersebut. Konjungsi
tersebut menghubungkan antara ide yang ada dalam sebuah kalimat dan
ide yang berada di dalam kalimat yang lain, konjungsi demikian itu
disebut sebagai konjungsi antarkalimat.
Adapun konjungsi antarkalimat yang mengemban hubungan-
hubungan makna tertentu tersebut adalah sebagai berikut: ‘biarpun
demikian’, ‘biarpun begitu’, ‘sekalipun demikian’, ‘sekalipun begitu’,
‘walaupun demikian’, ‘walaupun begitu’, ‘meskipun demikian’,
‘meskipun begitu’, ‘sungguhpun demikian’, 'sungguhpun begitu’,
‘kemudian’, 'sesudah itu’, ‘setelah itu’, ‘selanjutnya’, ‘tambahan pula’,
‘lagi pula’, ’selain itu’, ‘seba1iknya’, 'sesungguhnya’, ‘bahwasanya’,
‘malahan’, ‘malah’, ‘bahkan’,’akan tetapi’, ‘namun’, ‘kecuali itu’,
‘dengan demikian’, ‘oleh karena itu’, ‘oleh sebab itu’, ‘sebelum itu’.
Lebih lanjut dapat ditegaskan bahwa konjungsi-konjungsi yang
disebutkan di depan itu dapat menandai hubungan-hubungan makan
berikut ini.
Hubungan makna pertentangan dengan yang dinyatakan pada
kalimat sebelumnya: biarpun begitu, biarpun demikian, sekalipun
demikian, sekalipun begitu, walaupundemikian, walaupunbegitu,
meskipun demikian, sungguhpun begitu, sungguhpundemikian,
sungguhpun begitu, namun,
Hubungan makna kelanjutan dari kalimat yang dinyatakan pada
kalimat sebelumnya: kemudian, sesudah itu, setelah itu, selanjutnya.
Hubungan makna bahwa terdapat peristiwa, hal, keadaan di luar dari
yang dinyatakan sebelumnya: tambahan pula, lagi pula, selain itu.
Hubungan makna kebalikan dari yang dinyatakan pada kalimat
sebelumnya: sebaliknya, berbeda dari itu, kebalikannya.
Hubungan makna kenyataan yang sesungguhnya: sesungguhnya,
bahwasanya, sebenarnya.
Hubungan makna yang menguatkan keadaan yang disampaikan
sebelumnya: malah, malahan, bahkan.
Hubungan makna yang menyatakan keeksklusifan dan
keinklusifan: kecuali itu.
Hubungan makna yang menyatakan konsekuensi: dengan demikian.
Hubungan makna yang menyatakan kejadian yang mendahului hal
yang dinyatakan sebelumnya : sebelum itu.
3. Konjungsi Korelatif
Konjungsi korelatif terdiri atas dua unsur yang dipakai berpasangan.
Bentuk berpasangan demikian itu bersifat idiomatis, jadi tidak bisa
dimodifikasi denganbegitu saja.
Contoh : antara...dan, dari...hingga, dari...sampai dengan, dari...sampai
ke, dari...sampai, dari....ke, baik...maupun, tidak hanya...tetapi juga,
bukan hanya...melainkan juga, demihian....sehingga, sedemikian
rupa...sehinga, apakah...atau, entah...entah, jangankan...pun.
B. Kata ganti
Pemakaian kata ganti (engkau, kau-, kamu, -mu, dia, beliau, dan
mereka) berguna untuk menghindari penyebutan nama orang berkali-kali.
Contoh:
Eli, Edo, Said, dan Pati adalah teman sekolah sejak SMA hingga perguruan
tinggi. Kini mereka sudah menyandang gelar dokter dari sebuah universitas
negeri di Bandung, Mereka merencanakan mendirikan suatu poliklinik
lengkap dengan apoteknya. Mereka menghubungi saya dan mengajak bekerja
sama, yaitu saya diminta menyediakan tempatnya karena kebetulan saya
memiliki sebidang tanah yang letaknya strategis. Saya menyetujui permintaan
mereka.
3.2 Wacana
3.2.1 Pengertian wacana
Wacana adalah rentetan kalimat yang saling berkaitan dan menghubungkan
proposisi yang satu dengan proposisi lainnya di dalam kesatuan makna (semantis)
antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Wacana merupakan satuan bahasa
terlengkap dan utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara
padu.
Wacana di dalam kebahasaan menempati hierarki teratas karena merupakan
satuan gramatikal tertinggi dan terbesar.Wacana dapat berupa kata, kalimat,
paragraf, atau karangan utuh yang lebih besar, seperti buku atau artikel yang
berisi amanat lengkap.Kata yang digunakan dalam wacana haruslah berpotensi
sebagai kalimat, bukan kata yang lepas konteks.Wacana amat bergantung pada
keutuhan unsur makna dan konteks yang melingkupinya.
Menurut Fatimah Djajasudarma (1994, h. 6-14) jenis wacana dapat dikaji dari
segi eksistensinya (realitasnya), media komunikasinya, cara pemaparannya, dan
jenis pemakaiannya.
B. Unsur-unsur Konteks
Mengutip pendapat Hymes, Brown (1993:89) menyebutkan bahwa
komponen-komponen tutur yang merupakan ciri-ciri konteks, ada delapan
macam, yaitu penutur (addresser), pendengar (addressee), pokok pembicaraan
(topic), latar (setting), penghubung bahasa lisan dan tulisan (channel),
dialek/stailnya (code), bentuk pesan (message), dan peristiwa tutur (speech
event).
1. Penutur (addresser) dan Pendengar (addressee)
Penutur dan pendengar yang terlibat dalam peristiwa tutur disebut
partisipan. Berkaitan dengan partisipan, yang perlu diperhatikan adalah latar
belakang (sosial, budaya, dan lain-lain). Mengetahui latar belakang partisipan
(penutur dan pendengar) pada suatu situasi akan memudahkan untuk
menginterpretasikan penuturnya. Makna wacana tertentu akan mempunyai
makna yang berbeda jika dituturkan oleh penuturyan yang berbeda latar
belakang, minat, dan perhatiannya. Perhatikan contoh di bawah ini.
Contoh:
Operasi harus segera diselenggarakan.
Maksud ujaran itu akan segera dapat dipahami manakala kita tahu si
penuturnya. Jika penuturnya seorang dokter, ujaran itu bermakna
‘pembedahan’; jika yang bertutur seorang ahli ekonomi, maknanya bisa jadi
‘dropping bahan makanan ke pasar’; jika yang berbicara penjahat, mungkin
artinya ‘ perampokan atau pencurian’; dan jika yang berbicara polisi,
maknanya berubah menjadi ‘razia’. Jadi makna wacana ditentukan oleh siapa
pebuturnya. Di samping itu, makna yang terkandung dalam wacana juga
sangat bergantung pada pendengarnya.
Contoh:
Kulitmu halus sekali
Jika ujaran itu diucapkan kepada anak perempuan berumur lima tahun
atau perempuan muda berumur dua puluh tahun atau seorang nenek yang
berumur tujuh puluh tahun, akan mempunyai pengertian yang berbeda-beda.
Kepada anak berumur lima tahun aau gadis dua puluh empat tahun, mungkin
ujaran itu dia tafsirkan sebagai pujian sedangkan jika pendengarnya nenek
berumur delapan puluh tahun maka akan itafsirkan sebagai penghinaan.
2. Topik Pembicaraan
Dengan mengetahui topik pembicaraan, pendengar akan sangat
mudah memahami isi wacana, sebab topik pembicaraan yang berbeda akan
menghasilkan bentuk wacana yang berbeda pula. Di samping itu, partisipan
tutur akan menangkap dan memahami makna wacana berdasarkan topic yang
sedang dibicarakan.
Contoh:
Kata banting
Dalam sebuah wacana akan bervariatif maknanya, bergantung pada
topik pembicaraannya. Dalm bidang eonomi mungkin berarti’ kemurahan
harga’; jika topiknya olah raga yudo tentulah maknanya’mengangkat
seseorang dan menjatuhkannya dengan cepat’.
3. Latar Perstiwa
Faktor lain yang mempengaruhi makna wacana adalah latar
peristiwa. Latar peristiwa dapat berupa tempat, keadaan psikologis partisipan,
atau semua hal yang melatari terjadinya peristiwa tutur. Tempat lebih banyak
berpengaruh pada peristiwa tutur lisan tatap muka sedangkan keadaan
psikologis partisipan disamping berpengaruh pada peristiwa tutur lisan juga
banyak berpengaruh pada peristiw tutur tulis. Di pasar, orang akan
menggunakan bahasa dengan di msjid atau gereja;dala situasi resmi berbeda
dengan situasi tidak resmi.
Contoh:
1. Seorang pembeli di pasar menawarbarang dengan menggunakan bentuk
wacana resmi dan baku.
Wahai, Nona! Berapa gerangan harga sekilo gula ini, Nona?
2. Seorang menteri ketika berpidato dalam situasi resmi. Menyambut
peringatan Hari Ibu, mengunakan bentuk wacana sebagai berikut.
Sodara, Sodara! Sampean tau to, hari ini hari ibu? Kalo nggak tahu,
ya kebacut gitu aja. Wong sekarang kita mempringatinya meskipun
dalam situasi krismon.
4. Penghubung
Penghubung adalah medium yang dipakai untuk menyampaikan
topik tutur. Untuk menyampaikan informasi, seorang penutur dapat
mepergunakan penghubung dengan bahasa lisan atau tulisan. Ujaran lisan
dapat dibedakan berdasarkan sifat hubungan partisipan tutur, yaitu langsung
dan tida langsung. Hubungan langsung terjadi dalam dialog tanpa perantara
sedangkan tidak langsung terjadi denan perantara misalnya telepon. Di
samping itu, ujaran lisan dapat pula dibedakan menjadi ragam resmi dan tidak
resmi.
Ujaran tulis merupakan sarana komunikai dengan menggunakan
tulisan sebagai perantaranya. Jenis sarana seperti ini dapat berwujud seperti
surat, pengumuman, undangan, dan sebagainya. Pemilihan penghubung
tergantung pada beberapa faktor, yaitu kepada siapa ia berbicara, dalam
situasi bagaimana (dekat atau jauh). Jika dekat tentu dapat secara lisan, tetapi
jika jauh harus secara tulisan.
5. Kode
Kode dapat dipilih antara salah satu dialek bahasa yang ada. Atau bisa
juga memakai salah satu register (ragam) bahasa yang paling tepat dalam hal
itu. Akanlah sangat ganjil jika ragam bahasa baku dipakai untuk tawar-
menawar barang di pasar. Juga terasa aneh jika ragam nonbaku dipakai
berkhotbah di masjid atau gereja.
6. Pesan
Pesan yang hendak disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan
bersifat fundamental dan penting. Banyak pesan yang tidak sampai kepada
pendengar karena. Jika pendengarnya bersifat umum dan dari berbagai
lapisan masyarakat maka harus dipilih bentuk pesan yang bersifat umum,
sebaliknya jika pendengarnya kelompok yang bersifat khusus atau hanya dari
satu lapisan masyarakat tertentu bentuk pesan haruslah bersifat khusus. Isi
dan bentuk pesan harus sesuai karena apabila keduanya tidak sesuai maka
pesan atau informasi yang disampaikan akan susah dicerna pendengar.
Contoh:
Menyampaikan informasi tentang ilmu pasti, harus berbeda dengan
menyampaikan uraian tentang sejarah.
7. Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur yang dimaksud disini adalah peristiwa tutur tertentu
yang mewadahi kegiatan bertutur. Misalnya pidato, sidang pengadadilan, dan
sebagainya. Hymes (1975:52) menyatakan bahwa peristiwa tutur sangat erat
hubungannya dengan latar peristiwa, dalam pengertian suatu peristiwa tutur
tertentu akan terjadi dalam konteks situasi tertentu. Sesuai dengan
konteksnsituasinya, suatu peristiwa tutur mungkin akan lebih tepat diantarkan
dengan bahasa yang satu sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih cocok
diantarkan dengan bahasa yang lain. Peristiwa tutur tersebut dapat
menentukan bentuk dan isi wacana yang akan dihasilkan. Wacana yang
dipersiapkan untuk pidato akan berbeda bentuk dan isinya dengan wacana
untuk seminar.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenal dan S. Amran Tasai. 2004. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta:
Akademika Pressindo.
Asep, A dkk. 2018. Kegiatan Belajar 2 Jenis-Jenis Paragraf. Teknik Penulisan. Surabaya:
UIN SA Press.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Penalaran Deduktif-Induktif dalam Wacana Bahasa
Indonesia. Bandung: Alqaprint.
Soedjito dan Mansur Hasan. 1994 Keterampilan Menulis Paragraf. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Suladi. 2014. Seri Penyuluhan Buku Bahasa Indonesia: Paragraf. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pemasyarakatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Wiyanto, A. 2004. Terampil Menulis Paragraf (Rev). Yogyakarta: Grasindo.