Anda di halaman 1dari 27

BAB III

PARAGRAF DAN WACANA

Disusun Oleh :
Kelompok 3

1. Anisah Husnul Khotimah (1831410040)


2. Ayniaturrohmah (1831410067)
3. Fariz Dandi Naufaldi (1831410044)
4. Siska Lutfi Arisanti Edison (1831410058)

PROGRAM STUDI D-III TEKNIK KIMIA


JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI MALANG
2020
3.1 Paragraf
3.1.1 Pengertian paragraf
Paragraf adalah gabungan dari beberapa kalimat yang saling berhubungan
dan memiliki keterkaitan antara kalimat satu dengan kalimat lainnya. Paragraf
mengandung satu ide pokok atau satu informasi yang masih berkaitan dengan isi
seluruh karangan. Atau dapat diartikan pula paragraf adalah bagian dari sebuah
karangan yang terdiri dari beberapa kalimat, yang berisikan tentang informasi
dari penulis untuk pembaca dengan pikiran utama sebagai pusatnya dan juga
pikiran penjelas sebagai pendukungnya. Paragaraf juga bisa disebut sebagai
penuangan ide dari penulis melalui beberapa kalimat yang berkaitan dan memiliki
satu tema.

3.1.2 Fungsi paragraf


Adapun fungsi dari paragraf secara umum adalah :
a. Memudahkan Menulis dan Membaca
Paragraf dapat mempermudah seorang penulis dalam menuangkan
gagasannya. Di samping itu, dengan adanya paragraf seorang pembaca
juga lebih mudah memahami ide pokok di dalam suatu tulisan bila
penulisannya dibuat dalam paragraf yang baik.
b. Mengekspresikan Gagasan
Paragraf dapat memberikan suatu gagasan atau perasaan melalui
rangkaian kalimat yang disusun sehingga menjadi membentuk suatu
kesatuan ide pokok.
c. Menandai Peralihan Gagasan Baru
Setiap tulisan terdiri dari beberapa paragraf dan di dalam setiap paragraf
tersebut terdapat gagasan yang berbeda. Sehingga jika terdapat paragraf
baru maka akan ada gagasan baru juga namun masih berhubungan dengan
ide pokok.
d. Membantu Pengembangan Topik
Pengembangan topik tulisan dalam bentuk yang lebih kecil akan lebih
mudah disampaikan melalui pembagian paragraf.
e. Mengendalikan Variabel
Paragraf juga memudahkan penulis untuk mengendalikan variabel di
dalam karangannya sehingga lebih mudah dimengerti.

3.1.3 Jenis paragraph


A. Berdasarkan Fungsi dan Tujuannya
Terdapat 3 macam paragraf berdasarkan fungsi dan tujuannya, yakni
paragraf pembuka, paragraf penghubung serta paragraf penutup.
1. Paragraf Pembuka
Paragraf pembuka berfungsi mengantarkan pembaca pada pokok
persoalan yang akan dikemukakan di dalam paragraf. Isi dari paragraf
pembuka adalah pengantar dari isi bacaan atau karya tulis yang dijabarkan
dengan lengkap pada paragraf-paragraf berikutnya.
2. Paragraf Penghubung
Paragraf penghubung adalah paragraf yang berada di tengah-tengah
sebuah karya tulis. Jenis paragraf penghubung berfungsi sebagai penghubung
antara paragraf pembuka dan paragraf penutup. Secara kuantitatif paragraf
penghubung adalah yang paling banyak jumlahnya, dan dapat juga paling
panjang kalimat-kalimat penjelasnya.. Segala sesuatu terkait inti dan wacana
dari sebuah karya ada pada paragraf penghubung.
3. Paragraf Penutup
Paragraf penutup adalah paragraf yang berada di akhir sebuah karya
tulis. Paragraf penutup berfungsi sebagai penutup sebuah karya tulis itu
sendiri. Paragraf penutup berisi simpulan dari apa yang telah dibicarakan atau
diuraikan. Sebagai penutup, paragraf ini dimaksudkan untuk dapat
mengakhiri sebuah karangan. Selain sebagai simpulan, paragraf penutup juga
dapat berisi penegasan kembali mengenai hal-hal yang telah dibicarakan di
muka.

B. Berdasarkan Letak Kalimat Utamanya


Ada 4 macam-macam paragraf berdasarkan letak gagasan
utamanya, yakni paragraf deduktif, paragraf induktif, paragraf campuran
serta paragraf ineratif.
1. Paragraf Deduktif
Kalimat topik dalam paragraf deduktif terletak di awal paragraf
yang kemudian diikuti oleh beberapa kalimat penjelas. Kalimat topik
paragraf deduktif bersifat umum yang kemudian dijelaskan secara rinci
dalam kalimat-kalimat penjelas yang bersifat khusus. Jadi, paragraf
deduktif ini dimulai dengan kalimat utama yang berisi pokok pikiran
utama, kemudian dilanjutkan oleh kalimat-kalimat penjelasnya.
2. Paragraf Induktif
Kalimat topik paragraf induktif terletak di akhir paragraf yang
sebelumnya dipenuhi kalimat-kalimat penjelas. Sebaliknya, dari jenis
paragraf deduktif, paragraf induktif dimulai dari kalimat-kalimat penjelas
yang bersifat khusus kemudian disimpulkan atau ditegaskan dalam
kalimat topik pada akhir paragraf. Jadi intinya, paragraf induktif diawali
oleh kalimat-kalimat penjelas dan kemudian diakhiri oleh kalimat utama
yang berisi pokok pikiran utama paragraf.
3. Paragraf Campuran
Paragraf campuran adalah gabungan antara paragraf deduktif dan
induktif. Jenis paragraf ini diawali oleh kalimat utama, lalu kemudian
diikuti oleh kalimat-kalimat penjelasnya dan terakhir diakhiri oleh
kalimat utama lagi. Artinya terdapat dua kalimat utama yang terletak di
awal paragraf dan ditegaskan kembali di akhir paragraf. Sementara bagian
tengah-tengahnya adalah kalimat-kalimat penjelasnya.
4. Paragraf Ineratif
Paragraf ineratif adalah kebalikan dari paragraf campuran. Jenis
paragraf ini diawali oleh kalimat-kalimat penjelas, kemudian diikuti oleh
kalimat utama paragraf dan kemudian dilanjutkan kembali dengan
kalimat-kalimat penjelas. Artinya letak kalimat utama yang mengandung
pokok pikiran utama paragraf ini terdapat di bagian tengah-tengah dari
sebuah paragraf.

C. Berdasarkan Isinya
Ada 5 macam paragraf berdasarkan isinya, yakni paragraf narasi,
paragraf deskriptif, paragraf eksposisi, paragraf argumentasi serta paragraf
persuasi.
1. Paragraf Narasi
Paragraf naratif digunakan untuk mengisahkan suatu kejadian atau
peristiwa sehingga pembaca dapat mengikuti peristiwa yang diceritakan
secara kronologis. Unsur yang paling penting pada sebuah paragraf naratif
adalah unsur peristiwa atau tindakan. Ciri-ciri paragraf narasi di antaranya
yaitu terdapat alur cerita, tokoh, setting dan konflik serta tidak memiliki
kalimat utama secara tetap.
Terdapat dua jenis-jenis paragraf narasi yaitu:
a. Paragraf narasi ekspositoris, berisikan rangkaian perbuatan yang
disampaikan secara informatif.
b. Paragraf narasi sugestif, mengisahkan suatu hasil rekaan, khayalan
atau imajinasi pengarang.

2. Paragraf Deskripsi
Paragraf deskripsi adalah paragraf yang menggambarkan suatu
objek dengan kata-kata yang mampu merangsang indra pembaca. Dalam
paragraf ini, penulis memberikan perincian-perincian secara detail dari
objek yang ditulisnya agar pembaca seolah-olah dapat melihat,
mendengar, dan merasakan apa yang dibaca. Ciri-ciri paragraf deskriptif
di antaranya yaitu menggambarkan suatu benda, tempat, atau suasana
tertentu, penggambaran dilakukan dengan melibatkan panca indra serta
menjelaskan ciri-ciri objek seperti warna, ukuran, bentuk dan keadaan
secara terperinci.
Dalam paragrafi deskripsi terdapat dua pola pengembangan paragraf yang
ada yaitu:
a. Pola spasial
b. Pola sudut pandang

Terdapat 2 jenis pola sudut pandang yaitu :

a. Sudut pandang subjektif, menggambarkan objek sesuai penafsiran


dan disertai opini penulis.
b. Sudut pandang objektif, menggambarkan objek apa adanya tanpa
opini penulis.

3. Paragraf Eksposisi
Paragraf eksposisi adalah paragraf yang menjelaskan,
menyampaikan, mengajarkan, dan menerangkan suatu pokok pikiran
kepada pembaca. Paragraf ini bertujuan memberikan informasi,
penjelasan, keterangan, ataupun pemahaman tentang sesuatu objek atau
hal. Ciri-ciri paragraf eksposisi di antaranya yaitu memaparkan definisi
atau langkah-langkah dan metode tertentu, mengguakan gaya bahasa yang
informatif, menginformasikan sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh alat
indra serta umumnya menjawab pertanyaan apa, siapa, dimana, kapan,
mengapa dan bagaimana terkait suatu topik.

Beberapa jenis paragraf eksposisi di antaranya yaitu:


a. Paragraf eksposisi definisi, paragraf yang memberikan penjelasan
informasi dengan menfokuskan pada karakteristik topik.
b. Paragraf eksposisi klasifikasi, paragraf yang membagi sesuatu dan
mengelompokkannya ke dalam kelompok kategori-kategori.
c. Paragraf eksposisi proses, paragraf yang menjelaskan langkah-
langkah dan metode sebagai petunjuk proses pembuatan, penggunaan
atau cara-cara tertentu.
d. Paragraf eksposisi ilustrasi, paragraf yang dikembangkan dengan
menggunakan gambaran sederhana atau bentuk konkret dari suatu ide
dan ilustrasi.
e. Paragraf eksposisi pertentangan, paragraf yang berisi tentang suatu
pertentangan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain.
f. Paragraf eksposisi berita, paragraf yang berisi pemberitaan mengenai
suatu kejadian, biasanya banyak ditemukan pada koran dan surat
kabar.
g. Paragraf eksposisi perbandingan, paragraf yang menerangkan ide atau
topik dalam kalimat utama dengan cara membandingkannya dengan
hal lain.
h. Paragraf eksposisi analisis, paragraf yang membagi masalah dari
gagasan utama menjadi beberapa sub-bagian yang dikembangkan
secara berurutan.

4. Paragraf Argumentasi.
Paragraf argumentasi merupakan paragraf yang berisi ide atau
gagasan dengan diikuti alasan yang kuat untuk menyakinkan pembaca
dengan isinya yang mengemukakan suatu pendapat yang diyakini.
Paragraf argumentatif bertujuan untuk mempengaruhi sikap dan pendapat
orang lain agar mereka itu percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan
apa yang diinginkan oleh penulis. Ciri-ciri paragraf argumentasi meliputi
penjelasan suatu pendapat agar pembaca yakin, memuat bukti-bukti yang
mendasari argumen tersebut berupa data, tabel, gambar dan sebagainya,
menggali sumber ide dari sebuah pengamatan dan penelitian serta terdapat
kesimpulan pada penutupnya.

Terdapat 3 jenis-jenis paragraf argumentasi yaitu:


a. Paragraf argumentasi pola analogi yang berupa penalaran induktif
dengan membandingkan dua hal yang banyak persamaannya.
b. Paragraf argumentasi pola generalisasi yang berupa penalaran induktif
dengan cara menarik kesimpulan secara umum berdasarkan data-data
yang ada.
c. Paragraf argumentasi pola hubungan sebab akibat yang dimulai
dengan mengemukakan fakta khusus yang menjadi sebab, hingga
pada kesimpulan yang menjadi akibat.

5. Paragraf Persuasi
Paragraf persuasi adalah suatu bentuk paragraf yang bertujuan
membujuk, menghimbau, dan mempengaruhi pembaca agar mau berbuat
sesuatu sesuai dengan yang tertera pada paragrafnya. Penulis
menyertakan bukti data dan fakta untuk dapat mempengaruhi pembaca.
Ciri-ciri paragraf persuasi di antaranya yaitu idenya berasal dari pikiran
manusia, harus bisa menimbulkan kepercayaan pembaca, sebisa mungkin
menghindari konflik serta memerlukan fakta dan data yang akurat dan
faktual sesuai isi paragraf.

3.1.4 Syarat-syarat paragraf


Untuk menulis paragraf yang baik diperlukan keterpaduan semua
persyaratan yang harus dimiliki oleh sebuah paragraf. Persyaratan itu antara
lain:
A. Kesatuan
Dalam sebuah paragraf terdapat hanya satu pokok pikiran. Oleh sebab itu,
kalimat-kalimat yang membentuk paragraf perlu ditata secara cermat agar
tidak ada satu pun kalimat yang menyimpang dari ide pokok. Jika ada kalimat
yang menyimpang dari ide pokok pikiran paragraf itu, paragraf menjadi tidak
berpautan, tidak utuh.
Contoh:
Jateng sukses. Kata-kata ini meluncur gembira dari pelatih regu Jateng setelah
selesai pertandingan final Kejurnas Tinju Amatir, Minggu malam, di Gedung
Olahraga Jateng, Semarang. Kota Semarang terdapat di pantai utara Pulau
Jawa, ibu kota Provinsi Jateng. Pernyataan itu dianggap wajar karena apa
yang diimpikan selama ini dapat terwujud, yaitu satu medali emas, satu
medali perak, dan satu medali perunggu. Hal itu ditambah lagi oleh pilihan
petinju terbaik yang jatuh ke tangan Jateng. Hasil yang diperoleh itu adalah
prestasi paling tinggi yang pernah diraih Jateng dalam arena seperti itu.

B. Kepaduan
Kepaduan paragraf dapat terlihat melalui penyusunan kalimat secara logis dan
melalui ungkapan/kata pengait antarkalimat. Urutan yang logis akan terlihat
dalam susunan kalimat-kalimat dalam paragraf itu. Dalam paragraf itu tidak
ada kalimat-kalimat yang sumbang atau keluar dari permasalahan yang
dibicarakan.

C. Kelengkapan
Kelengkapan sebuah paragraf dapat diwujudkan dengan terpenuhinya semua
unsur pembentuk sebuah paragraf yaitu:
- Gagasan utama
Merupakan tema atau ide yang menjadi dasar pengembangan suatu
paragraf.
- Kalimat Utama
Setelah mendapatkan ide atau gagasan utama, langkah selanjutnya adalah
menuangkan gagasan utama tersebut ke dalam sebuah kalimat utama. Jadi
dalam kalimat utama tersirat gagasan utama. Kita bisa meletakkan
kalimat utama di awal, di akhir ataupun di awal dan di akhir sebuah
paragraf.
- Kalimat Penjelas
Sebuah kalimat utama yang mengandung gagasan utama belum bisa
dikatakan sebuah paragraf, karena itu paragraf membutuhkan kalimat
penjelas. Kalimat penjelas ini berfungsi menjelaskan ide dari kalimat
utama sehingga menjadi jelas, rinci dan lengkap. Yang harus diperhatikan
dalam membuat kalimat penjelas adalah, jangan sampai kalimat penjelas
tersebut menyimpang dari ide pokok. Semua kalimat penjelas harus saling
mendukung gagasan utama.Dengan terpenuhinya semua unsur ini maka
sebuah paragraf akan menjadi paragraf yang baik.

3.1.5 Pengait paragraf


Pengait paragraf digunakan agar paragraf menjadi padu. Pengait pada paragraf
dapat berupa:
A. Konjungsi
Konjungsi atau kata penghubung merupakan kata yang bertugas
menghubungkan atau menyambungkan ide atau pikiran yang ada dalam
sebuah kalimat dengan ide atau pikiran pada kalimat yang lainnya.
Beberapa contoh konjungsi antara lain:
1. Konjungsi Intrakalimat
Konjungsi intrakalimat pada kalimat-kalimat sebuah paragraf dapat
menandai atau mengaitkan hubungan-hubungan berikut ini.
 Hubungan aditif (penjumlahan): dan, bersama, serta.
 Hubungan adversatif (pertentangan): tetapi, tapi, melainkan .
 Hubungan alternatif (pemilihan): atau, ataukah.
 Hubungan sebab: sebab, karena, lantaran, gara-gara.
 Hubungan akibat: hasilnya, akibatnya, akibat.
 Hubungan tujuan: untuk, demi, agar, biar, supaya.
 Hubungan syarat: asalkan, jika, kalau, jikalau.
 Hubungan waktu: sejak, sedari, ketika, sewaktu, waktu, saat, tatkala,
selagi, selama,seraya, setelah, sesudah, seusai, begitu, hingga.
 Hubungan konsesif: sungguhpun, biarpun, meskipun, walaupun,
sekalipun, kendatipun, betapapun.
 Hubungan cara: tanpa, dengan.
 Hubungan kenyataan: bahwa.
 Hubungan alat: dengan, tidak dengan, memakai, menggunakan,
mengenakan, memerantikan.
 Hubungan ekuatif (perbandingan positif, perbandingan
menyamakan): sebanyak, seluas, selebar, sekaya.
 Hubungan komparatif (perbandingan negatif, perbandingan
membedakan): lebih dari, kurang dari, lebih sedikit daripada, lebih
banyak daripada.
 Hubungan hasil: sampai, sehingga, maka, sampai-sampai.
 Hubungan atributif restriktif (hubungan): yang.
 Hubungan atributif tak restriktif (hubungan menerangkan tidak
mewatasi): yang (biasanya diawali dengan tanda koma).
 Hubungan andaian: andaikata, seandainya, andaikan, kalau saja,
jika saja, jikalau, jika, bilamana, apabila, dalam hal, jangan-jangan,
kalau-kalau.
 Hubungan optatif (harapan): mudah-mudahan, moga-moga, semoga,
agar.

2. Konjungsi Antarkalimat
Konjungsi antarkalimat harus secara tegas dibedakan dari konjungsi
intrakalimat. Di dalam konjungsi intrakalimat terdapat konjungsi
koordinatif dan konjungsi subordinatif. Konjungsi intrakalimat beroperasi
di dalam tataran kalimat itu. Berbeda dengan semuanya itu, konjungsi
antarkalimat beroperasi pada tataran yang berada di luar kalimat itu
sendiri.
Dengan demikian, harus dikatakan bahwa yang dihubungkan atau
dikaitkan itu adalah ide atau pikiran yang berada di dalam kalimat itu
dengan ide atau pikiran yang berada di luar kalimat tersebut. Konjungsi
tersebut menghubungkan antara ide yang ada dalam sebuah kalimat dan
ide yang berada di dalam kalimat yang lain, konjungsi demikian itu
disebut sebagai konjungsi antarkalimat.
Adapun konjungsi antarkalimat yang mengemban hubungan-
hubungan makna tertentu tersebut adalah sebagai berikut: ‘biarpun
demikian’, ‘biarpun begitu’, ‘sekalipun demikian’, ‘sekalipun begitu’,
‘walaupun demikian’, ‘walaupun begitu’, ‘meskipun demikian’,
‘meskipun begitu’, ‘sungguhpun demikian’, 'sungguhpun begitu’,
‘kemudian’, 'sesudah itu’, ‘setelah itu’, ‘selanjutnya’, ‘tambahan pula’,
‘lagi pula’, ’selain itu’, ‘seba1iknya’, 'sesungguhnya’, ‘bahwasanya’,
‘malahan’, ‘malah’, ‘bahkan’,’akan tetapi’, ‘namun’, ‘kecuali itu’,
‘dengan demikian’, ‘oleh karena itu’, ‘oleh sebab itu’, ‘sebelum itu’.
Lebih lanjut dapat ditegaskan bahwa konjungsi-konjungsi yang
disebutkan di depan itu dapat menandai hubungan-hubungan makan
berikut ini.
 Hubungan makna pertentangan dengan yang dinyatakan pada
kalimat sebelumnya: biarpun begitu, biarpun demikian, sekalipun
demikian, sekalipun begitu, walaupundemikian, walaupunbegitu,
meskipun demikian, sungguhpun begitu, sungguhpundemikian,
sungguhpun begitu, namun,
 Hubungan makna kelanjutan dari kalimat yang dinyatakan pada
kalimat sebelumnya: kemudian, sesudah itu, setelah itu, selanjutnya.
 Hubungan makna bahwa terdapat peristiwa, hal, keadaan di luar dari
yang dinyatakan sebelumnya: tambahan pula, lagi pula, selain itu.
 Hubungan makna kebalikan dari yang dinyatakan pada kalimat
sebelumnya: sebaliknya, berbeda dari itu, kebalikannya.
 Hubungan makna kenyataan yang sesungguhnya: sesungguhnya,
bahwasanya, sebenarnya.
 Hubungan makna yang menguatkan keadaan yang disampaikan
sebelumnya: malah, malahan, bahkan.
 Hubungan makna yang menyatakan keeksklusifan dan
keinklusifan: kecuali itu.
 Hubungan makna yang menyatakan konsekuensi: dengan demikian.
 Hubungan makna yang menyatakan kejadian yang mendahului hal
yang dinyatakan sebelumnya : sebelum itu.

3. Konjungsi Korelatif
Konjungsi korelatif terdiri atas dua unsur yang dipakai berpasangan.
Bentuk berpasangan demikian itu bersifat idiomatis, jadi tidak bisa
dimodifikasi denganbegitu saja.
Contoh : antara...dan, dari...hingga, dari...sampai dengan, dari...sampai
ke, dari...sampai, dari....ke, baik...maupun, tidak hanya...tetapi juga,
bukan hanya...melainkan juga, demihian....sehingga, sedemikian
rupa...sehinga, apakah...atau, entah...entah, jangankan...pun.

B. Kata ganti
Pemakaian kata ganti (engkau, kau-, kamu, -mu, dia, beliau, dan
mereka) berguna untuk menghindari penyebutan nama orang berkali-kali.
Contoh:
Eli, Edo, Said, dan Pati adalah teman sekolah sejak SMA hingga perguruan
tinggi. Kini mereka sudah menyandang gelar dokter dari sebuah universitas
negeri di Bandung, Mereka merencanakan mendirikan suatu poliklinik
lengkap dengan apoteknya. Mereka menghubungi saya dan mengajak bekerja
sama, yaitu saya diminta menyediakan tempatnya karena kebetulan saya
memiliki sebidang tanah yang letaknya strategis. Saya menyetujui permintaan
mereka.

C. Kata kunci (pengulangan kata yang dipentingkan)

3.2 Wacana
3.2.1 Pengertian wacana
Wacana adalah rentetan kalimat yang saling berkaitan dan menghubungkan
proposisi yang satu dengan proposisi lainnya di dalam kesatuan makna (semantis)
antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Wacana merupakan satuan bahasa
terlengkap dan utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara
padu.
Wacana di dalam kebahasaan menempati hierarki teratas karena merupakan
satuan gramatikal tertinggi dan terbesar.Wacana dapat berupa kata, kalimat,
paragraf, atau karangan utuh yang lebih besar, seperti buku atau artikel yang
berisi amanat lengkap.Kata yang digunakan dalam wacana haruslah berpotensi
sebagai kalimat, bukan kata yang lepas konteks.Wacana amat bergantung pada
keutuhan unsur makna dan konteks yang melingkupinya.

3.2.2 Fungsi wacana


Secara umum fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Fungsi
bahasa tersebut dikelompokkan kepada 2 kategori utama yaitu :
1. Fungsi Transaksional
2. Fungsi Interaksional
Brown dan Yule (1996: 1) menjelaskan fungsi transaksional bertujuan
untuk menyampaikan informasi faktual atau proposisional. Sedangkan fungsi
interaksional bertujuan untuk memantapkan dan memelihara hubungan sosial dan
sikap-sikap pribadi.
Wacana dengan unit konversasi memerlukan unsur komunikasi yang berupa
sumber (pembicara san penulis) dan penerima (pendengar dan pembaca). Semua
unsur komunikasi berhubungan dengan fungsi bahasa (Djajasudarma, 1994:15).
Fungsi bahasa meliputi :
1. Fungsi ekspresif, yang menghasilkan jenis wacana berdasarkan pemaparan
secara ekspositoris
2. Fungsi fatik (pembuka konversasi) yang menghasilkan dialog pembuka
3. Fungsi estetik, yang menyangkut unsur pesan sebagai unsur komunikasi
4. Fungsi direktif yang berhubungan dengan pembaca atau pendengar sebagai
penerima isi wacana secara langsung dari sumber.

Pada dasarnya pengenalan terhadap berbagai fungsi bahasa akan sangat


membantu dalam penelaahan wacana. Sebaliknya tanpa pengenalan terhadap
berbagai fungsi bahasa akan dapat menjadi halangan di dalam
menginterpretasikan sebuah wacana. Seorang penganalisis wacana di dalam
menganalisis sebuah wacana harus selalu mengaitkan bentuk-bentuk bahasa yang
digunakan dengan tujuan dan fungsi di mana dan untuk apa bahasa itu digunakan
dalam wacana tersebut.
Analisis wacana pada prinsipnya adalah analisis satuan-satuan bahasa di
atas kalimat yang digunakan dalamproses komunikasi. Untuk itu analisis tidak
dapat dibatasi pada pembentukan bahasa yang bebas dari tujuan dan fungsinya.
Karena itu, wacana berkaitan erat dengan fungsi bahasa.

3.2.3 Jenis wacana


Menurut Praptomo Baryadi (2001, h. 3 dalam Sumarlam, 2003, h. 15-20)
wacana dapat diklasifikasikan menjadi berbagai jenis menurut dasar
pengklasifikasiannya. Misalnya berdasarkan bahasanya, media yang dipakai
untuk mengungkapkan, jenis pemakaian, bentuk, serta cara dan tujuan
pemaparan.
Berdasarkan bahasa yang dipakai sebagai sarana untuk mengungkapkannya,
wacana dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Wacana bahasa nasional (Indonesia).
b. Wacana bahasa daerah (bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, dan sebagainya).
c. Wacana bahasa internasional (Inggris)
d. Wacana bahasa lainnya seperti bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan
sebagainya.
Berdasarkan media yang digunakannya, maka wacana dapat dibedakan atas:
a. Wacana tulis, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau
melalui media tulis. Untuk dapat menerima atau memahami wacana tulis
maka sang penerima atau pesapa harus membacanya.
b. Wacana lisan, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau
media lisan. Untuk dapat menerima dan memahami wacana lisan maka sang
penerima atau pesapa harus menyimak atau mendengarnya.
Berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya, wacana dapat dibedakan atas :
a. Wacana monolog (monologue discourse), yaitu wacana yang disampaikan
oleh seorang diri tanpa melibatkan orang lain untuk berpartisipasi secara
langsung.
b. Wacana dialog (dialogue discourse), yaitu wacana yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih secara langsung.
Berdasarkan bentuknya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga antara lain :
a. Wacana prosa yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa (Jawa:
gancaran).Wacana berbentuk prosa ini dapat berupa wacana tulis atau lisan.
Contoh wacana prosa tulis misalnya cerita pendek (cerpen), cerita
bersambung (cerbung), novel, artikel, dan undang-undang; sedangkan
contoh wacana prosa lisan misalnya pidato, khotbah, dan kuliah.
b. Wacana puisi yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi (Jawa:
geguritan). Seperti halnya wacana prosa, wacana puisi juga dapat berupa
wacana tulis maupun lisan. Puisi dan syair adalah contoh wacana tulis,
sedangkan puitisasi atau puisi yang dideklamasikan dan lagu-lagu
merupakan contoh jenis wacana lisan.
c. Wacana drama yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam
bentuk dialog baik berupa wacana tulis maupun wacana lisan. Bentuk
wacana drama tulis terdapat pada naskah drama atau sandiwara, sedangkan
bentuk wacana drama lisan terdapat pada pemakaian bahasa dalam peristiwa
pementasan drama, yakni percakapan antarpelaku dalam drama tersebut.
Berdasarkan cara dan tujuan pemaparannya pada umumnya wacana
diklasifikasikan menjadi lima macam yaitu wacana narasi, deskripsi, eksposisi,
argumentasi dan persuasi.
a. Wacana narasi atau wacana penceritaan disebut juga wacana penuturan yaitu
wacana yang mementingkan urutan waktu dituturkan oleh persona pertama
atau ketiga dalam waktu tertentu. Wacana narasi ini berorientasi pada pelaku
dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis.Jenis wacana narasi pada
umumnya terdapat pada berbagai fiksi.
b. Wacana deskripsi yaitu wacana yang bertujuan melukiskan,
menggambarkan atau memerikan sesuatu menurut apa adanya.
c. Wacana eksposisi atau wacana yang tidak mementingkan waktu dan pelaku.
Wacana eksposisi ini berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagian-
bagiannya diikat secara logis.
d. Wacana argumentasi adalah yang berisi dea tau gagasan yang dilengkapi
dengan data-data sebagai bukti dan bertujuan menyakinkan pembaca akan
kebenaran dea tau gagasannya. Wacana argumentasi ini ada yang pendek dan
ada pula yang panjang.Argumentasi yang pendek dapat terdiri atas satu
kalimat atau beberapa kalimat.
e. Wacana persuasi yaitu wacana yang bersifat ajakan atau nasihat biasanya
ringkas dan menarik serta bertujuan untuk mempengaruhi secara kuat pada
pembaca atau pendengar agar melakukan nasehat atau ajakan tersebut.

Menurut Fatimah Djajasudarma (1994, h. 6-14) jenis wacana dapat dikaji dari
segi eksistensinya (realitasnya), media komunikasinya, cara pemaparannya, dan
jenis pemakaiannya.

Berdasarkan realitasnya wacana ada dua yaitu :


a. Wacana verbal yaitu rangkaian kebahasaan verbal atau language exist
(kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktural bahasa, mengacu
pada struktur apa adanya.
b. Non verbal atau language likes mengacu pada wacana sebagai rangkaian non
bahasa, yakni rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna (bahasa
isyarat).

Berdasarkan media komunikasinya wacana dapat diklasifikasikan menjadi


wacana lisan dan wacana tulisan.
a. Wacana lisan wujudnya berupa sebuah percakapan struktural bahasa
mengacu pada struktur apa adanya.
b. Wacana tulisan yang berwujud sebuah teks atau bahan tertulis yang dibentuk
oleh lebih dari satu alinea yang merupakan wacana.
Berdasarkan pemaparannya, wacana meliputi :
a. Wacana naratif yaitu rangkaian tuturan yang menceritakan hal atau kejadian
(peristiwa) melalui penonjolan pelaku (persona I atau III).
b. Wacana deskripsi yaitu rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau
melukiskan sesuatu baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan
penuturnya.
c. Wacana prosedural yaitu rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu
berurutan dan secara kronlogis.
d. Wacana ekspositori yaitu tuturan yang bersifat menjelaskan sesuatu berisi
pendapat atau simpulan dari sebuah pandangan.
e. Wacana hortatori yaitu tuturan yang berisi ajakan atau nasehat.
f. Wacana dramatik yaitu menyangkut beberapa orang penutur dan sedikit
bagian naratif.
g. Wacana epistorari yaitu dalam surat-surat, dengan sistem dan bentuk
tertentu.
h. Wacana seremonial yaitu wacana yang berhubungan dengan upacara adat
yang berlaku, di masyarakat bahasa, berupa nasehat atau pidato pada upacara
perkawinan, kematian , syukuran.

Berdasarkan jenis pemakaiannya diklasifikasikan menjadi:


a. Monolog (satu orang penutur) yaitu wacana yang tidak melibatkan bentuk
tutur percakapan antara dua pihak yang berkepentingan.
b. Dialog (dua orang penutur) yaitu wacana yang berupa percakapan antara dua
pihak.
c. Polilog (lebih dari dua penutur) yaitu wacana yang melibatkan partisipan
pembicaraan di dalam konversasi.

3.2.4 Prinsip-prinsip wacana

Dalam pengertian wacana sebagai rentetan kalimat yang berkaitan sehingga


terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat itu. Kita mendapatkan prinsip-
prinsip wacana seperti kohesi dan koherensi, deiksis dan anafora.
A. Kohesi dan Koherensi
Kohesi merujuk ke perpautan bentuk, sedangkan koherensi pada perpautan
makna. Pada umumnya wacana yang baik memiliki kedua-duanya. Kalimat atau
kata yang dipakai itu berkaitan, dan pengertian yang satu menyambung
pengertian yang lain.
Contoh :
1. Pak Ali pergi ke kota. Pak Pardi naik bus PPD. Bu Thohir membeli sepatu
baru. Karena ada pajak impor, harga mobil rakitan dalam negeri juga ikut
naik. Mobil yang dibeli Parwati harganya 15 juta rupiah.
2. Pak Ali pergi ke kota naik bus PPD. Ia pergi membeli sepatu baru. Karena
ada pajak impor, maka harga sepatu buatan dalam negeri juga ikut naik,
sepatu yang dibeli Pak Ali itu harganya 150 ribu.
Pada contoh 1 Kita tidak menemukan kohesi karena antara kalimat yang satu
dan kalimat yang lain tidak dapat berpautan bentuk. Sebaliknya pada contoh 2
kita dapati kohesi. Wacana pada contoh ke 2 dimulai dengan Pak Ali kemudian
pada kalimat berikutnya Pak Ali disambung dengan kata “ia”. Tujuan
kepergiannya juga dinyatakan dan berpautan harga barang yang dibelinya
dengan pajak impor juga tampak dengan nyata. Karena ada kohesi macam itulah
maka wacana itu disebut koheren.
Meskipun kohesi dan koherensi umumnya berpautan, tidaklah berarti bahwa
kohesi harus ada agar wacana menjadi koheren. Misalnya pada percakapan di
bawah ini :
Bapak : Bu, tolong itu teleponnya diangkat
Ibu : Aduh, lagi tanggung nih.
B. Deiksis
Deiksis adalah gejala semantis yang terdapat dalam kata atau konstruksi
yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi
pembicaraan. Kata atau konstruksi seperti itu bersifat deiktis. Perhatikan kata
sekarang di bawah ini :
1. Kita harus berangkat sekarang
2. Harga barang semua naik sekarang
3. Sekarang pemalsuan barang terjadi di mana-mana
Pada kalimat 1 sekarang merujuk ke jam atau menit. Pada kalimat ke 2
cakupan waktunya lebih luas, mungkin sejak minggu lalu sampai ke hari ini.
Kalimat 3 cakupannya lebih luas lagi, mungkin berbulan-bulan dan tidak
mustahil bertahun-tahun pula.
C. Anafora
Anafora adalah peranti dalam bahasa untuk membuat rujuk silang atau dengan
hal atau kata yang telah dinyatakan sebelumnya. Peranti itu dapat berupa kata
ganti persona[6], seperti dia, mereka , nomina tertentu, konjungsi, keterangan
waktu, -alat, dan –cara.
Contoh :
1. Bu mastuti belum mendapat pekerjaan, padahal dia memperoleh ijazah
sarjana 2 tahun.
2. Pada tahun 1965 terjadi pemberontakan. Waktu itu hardi baru beumur 10
tahun. Dia masih duduk di kelas 3 sekolah dasar.
3. Jakarta merupakan kota metropolis. Di sana berbagai suku bangsa dapat
ditemukan. Mereka hidup bertetangga meskipun sehari-hari memakai
bahasa yang berlain-lainan.
Pada contoh nomor 1 kata dia beranafora dengan Bu Mastuti. Pada contoh
frasa waktu itu dan tahun 1965 di kalimat sebelumnya mempunyai hubungan
anaforis[7]. Demikian pula dia dengan Hardi. Pada contoh nomor 3 disana
anaforis dengan Jakarta, sedangakan mereka dengan berbagai suku bangsa.

3.2.5 Konteks wacana


A. Pengertian Konteks Wacana
Berbicara tentang wacana selalu berkaitan dengan konteks, seperti
dikatakan oleh Sudaryat (2009:141) bahwa konteks merupakan ciri-ciri alam di
luar bahasa yang menumbuhkan makna pada ujaran atau wacana (lingkungan
nonlinguistik dari wacana). Menurut Kleden dalam Sudaryat (2009:141)
menjelaskan bahwa konteks adalah ruang dan waktu yang spesifik yang dihadapi
seseorang atau kelompok orang. Konteks menjadi penting kalau dihayati secara
tektual sehingga menjadi terbuka untuk pembaca dan penafsiran oleh siapa saja.
Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi
lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa
konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks
linguistik adalah konteks yang berupa unsur-unsur bahasa. Konteks linguistik itu
mencakup penyebutan depan, sifat kata kerja, kata kerja bantu, dan proposisi
positif. Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur
bahasa. Konteks ekstralinguistik itu mencakup konteks ujaran yang meliputi
praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode.
Dalam menganalisis wacana sasaran utamanya bukan pada struktur
kalimat tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu
konteks linguistik ataupun konteks ekstralinguistik. Konsep konteks mencakup
pula dunia sosial dan psikologis yang dimanfaatkan oleh pemakai bahasa. Hal
tersebut melibatkan keyakinan dan praduga pemakai bahasa terhadap latar
temporal, sosial, spasial, aksi, tingkat pengetahuan, dan kepedulian dalam
interaksi sosial.
Oleh karena itu, apapun bentuk dan sifat wacana yang dipergunakan,
pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa
secara tepat dan menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain,
pengguna bahasa senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa baik
konteks linguistik maupun konteks ekstralinguistik.
Menurut Brown dan Yule (1983) dalam menganalisis wacana seharusnya
menggunakan pendektan pragmatik untuk memahami pemakaian bahasa. Unsur
bahasa yang paling jelas memerlukan informasi kontekstual adalah bentuk-
bentuk diektis, seperti di sisni, sekarang, saya, kamu, ini dan itu. Untuk
menafsirkan bentuk-bentuk deiksis, analisis wacana bahasa Indonesia perlu
mengetahui siapa penutur dan pendengarnya, waktu dan ujaran itu. Pada bagian
ini akan membahas beberapa konsep yang berkaitan dengan konteks wacana yang
diperlukan dalam analisis wacana., seperti praanggapan, implikatur, dan
informasi lama dan baru.
Menurut Halliday dan Hasan (1985:5) yang dimaksudkan konteks wacana
adalah teks yang menyertai teks lain. Pengertian hal yang menyertai teks itu
meliputi tidak hanya yang dilisankan dan tuliskan, tetapi termasuk pula kejadian-
kejadian nonverbal lainnya keseluruhan lingkungan teks itu.
Contoh:
1. Penutur adalah rekan dari Anton, sedangkan pendengar rekannya yang lain.
Ketika sore itu ada 3 orang remaja sedang berjalan di taman. Tiba-tiba
datanglah seorang preman menghampiri mereka denagn bermaksud untuk
memalak. Ada salah seorang dari remaja itu berani melawan pemalak
tersebut dan berhasil membuat pemalak itu kabur. Salah satu dari rekannya
berkata: “ Anton memang pemberani !”
2. Malam itu ada seorang laki-laki berjalan dengan dua rekannya yang
perempuan. Tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat. Merekapun berteduh di
emper sebuah toko. Tiba-tiba ada sekelebat bayangan putih. Tiba-tiba rekan
laki-lakinya itu langsung bersembunyi di balik rekan perempuannya. Salah
seorang rekan perempuannya berkata: “ Anton memang pemberani!”
Jadi, konteks wacana adalah konteks yang menyertai sebuah wacana,
yaitu: 1) tempat dan waktu (setting), pengguna bahasa (participants), topik
pembicaraan (content), tujuan (purpose), nada (key), media/saluran (channel).
Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks
ekstralinguistik.

B. Unsur-unsur Konteks
Mengutip pendapat Hymes, Brown (1993:89) menyebutkan bahwa
komponen-komponen tutur yang merupakan ciri-ciri konteks, ada delapan
macam, yaitu penutur (addresser), pendengar (addressee), pokok pembicaraan
(topic), latar (setting), penghubung bahasa lisan dan tulisan (channel),
dialek/stailnya (code), bentuk pesan (message), dan peristiwa tutur (speech
event).
1. Penutur (addresser) dan Pendengar (addressee)
Penutur dan pendengar yang terlibat dalam peristiwa tutur disebut
partisipan. Berkaitan dengan partisipan, yang perlu diperhatikan adalah latar
belakang (sosial, budaya, dan lain-lain). Mengetahui latar belakang partisipan
(penutur dan pendengar) pada suatu situasi akan memudahkan untuk
menginterpretasikan penuturnya. Makna wacana tertentu akan mempunyai
makna yang berbeda jika dituturkan oleh penuturyan yang berbeda latar
belakang, minat, dan perhatiannya. Perhatikan contoh di bawah ini.
Contoh:
Operasi harus segera diselenggarakan.
Maksud ujaran itu akan segera dapat dipahami manakala kita tahu si
penuturnya. Jika penuturnya seorang dokter, ujaran itu bermakna
‘pembedahan’; jika yang bertutur seorang ahli ekonomi, maknanya bisa jadi
‘dropping bahan makanan ke pasar’; jika yang berbicara penjahat, mungkin
artinya ‘ perampokan atau pencurian’; dan jika yang berbicara polisi,
maknanya berubah menjadi ‘razia’. Jadi makna wacana ditentukan oleh siapa
pebuturnya. Di samping itu, makna yang terkandung dalam wacana juga
sangat bergantung pada pendengarnya.
Contoh:
Kulitmu halus sekali
Jika ujaran itu diucapkan kepada anak perempuan berumur lima tahun
atau perempuan muda berumur dua puluh tahun atau seorang nenek yang
berumur tujuh puluh tahun, akan mempunyai pengertian yang berbeda-beda.
Kepada anak berumur lima tahun aau gadis dua puluh empat tahun, mungkin
ujaran itu dia tafsirkan sebagai pujian sedangkan jika pendengarnya nenek
berumur delapan puluh tahun maka akan itafsirkan sebagai penghinaan.
2. Topik Pembicaraan
Dengan mengetahui topik pembicaraan, pendengar akan sangat
mudah memahami isi wacana, sebab topik pembicaraan yang berbeda akan
menghasilkan bentuk wacana yang berbeda pula. Di samping itu, partisipan
tutur akan menangkap dan memahami makna wacana berdasarkan topic yang
sedang dibicarakan.
Contoh:
Kata banting
Dalam sebuah wacana akan bervariatif maknanya, bergantung pada
topik pembicaraannya. Dalm bidang eonomi mungkin berarti’ kemurahan
harga’; jika topiknya olah raga yudo tentulah maknanya’mengangkat
seseorang dan menjatuhkannya dengan cepat’.
3. Latar Perstiwa
Faktor lain yang mempengaruhi makna wacana adalah latar
peristiwa. Latar peristiwa dapat berupa tempat, keadaan psikologis partisipan,
atau semua hal yang melatari terjadinya peristiwa tutur. Tempat lebih banyak
berpengaruh pada peristiwa tutur lisan tatap muka sedangkan keadaan
psikologis partisipan disamping berpengaruh pada peristiwa tutur lisan juga
banyak berpengaruh pada peristiw tutur tulis. Di pasar, orang akan
menggunakan bahasa dengan di msjid atau gereja;dala situasi resmi berbeda
dengan situasi tidak resmi.
Contoh:
1. Seorang pembeli di pasar menawarbarang dengan menggunakan bentuk
wacana resmi dan baku.
Wahai, Nona! Berapa gerangan harga sekilo gula ini, Nona?
2. Seorang menteri ketika berpidato dalam situasi resmi. Menyambut
peringatan Hari Ibu, mengunakan bentuk wacana sebagai berikut.
Sodara, Sodara! Sampean tau to, hari ini hari ibu? Kalo nggak tahu,
ya kebacut gitu aja. Wong sekarang kita mempringatinya meskipun
dalam situasi krismon.
4. Penghubung
Penghubung adalah medium yang dipakai untuk menyampaikan
topik tutur. Untuk menyampaikan informasi, seorang penutur dapat
mepergunakan penghubung dengan bahasa lisan atau tulisan. Ujaran lisan
dapat dibedakan berdasarkan sifat hubungan partisipan tutur, yaitu langsung
dan tida langsung. Hubungan langsung terjadi dalam dialog tanpa perantara
sedangkan tidak langsung terjadi denan perantara misalnya telepon. Di
samping itu, ujaran lisan dapat pula dibedakan menjadi ragam resmi dan tidak
resmi.
Ujaran tulis merupakan sarana komunikai dengan menggunakan
tulisan sebagai perantaranya. Jenis sarana seperti ini dapat berwujud seperti
surat, pengumuman, undangan, dan sebagainya. Pemilihan penghubung
tergantung pada beberapa faktor, yaitu kepada siapa ia berbicara, dalam
situasi bagaimana (dekat atau jauh). Jika dekat tentu dapat secara lisan, tetapi
jika jauh harus secara tulisan.
5. Kode
Kode dapat dipilih antara salah satu dialek bahasa yang ada. Atau bisa
juga memakai salah satu register (ragam) bahasa yang paling tepat dalam hal
itu. Akanlah sangat ganjil jika ragam bahasa baku dipakai untuk tawar-
menawar barang di pasar. Juga terasa aneh jika ragam nonbaku dipakai
berkhotbah di masjid atau gereja.
6. Pesan
Pesan yang hendak disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan
bersifat fundamental dan penting. Banyak pesan yang tidak sampai kepada
pendengar karena. Jika pendengarnya bersifat umum dan dari berbagai
lapisan masyarakat maka harus dipilih bentuk pesan yang bersifat umum,
sebaliknya jika pendengarnya kelompok yang bersifat khusus atau hanya dari
satu lapisan masyarakat tertentu bentuk pesan haruslah bersifat khusus. Isi
dan bentuk pesan harus sesuai karena apabila keduanya tidak sesuai maka
pesan atau informasi yang disampaikan akan susah dicerna pendengar.
Contoh:
Menyampaikan informasi tentang ilmu pasti, harus berbeda dengan
menyampaikan uraian tentang sejarah.
7. Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur yang dimaksud disini adalah peristiwa tutur tertentu
yang mewadahi kegiatan bertutur. Misalnya pidato, sidang pengadadilan, dan
sebagainya. Hymes (1975:52) menyatakan bahwa peristiwa tutur sangat erat
hubungannya dengan latar peristiwa, dalam pengertian suatu peristiwa tutur
tertentu akan terjadi dalam konteks situasi tertentu. Sesuai dengan
konteksnsituasinya, suatu peristiwa tutur mungkin akan lebih tepat diantarkan
dengan bahasa yang satu sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih cocok
diantarkan dengan bahasa yang lain. Peristiwa tutur tersebut dapat
menentukan bentuk dan isi wacana yang akan dihasilkan. Wacana yang
dipersiapkan untuk pidato akan berbeda bentuk dan isinya dengan wacana
untuk seminar.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zaenal dan S. Amran Tasai. 2004. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta:
Akademika Pressindo.
Asep, A dkk. 2018. Kegiatan Belajar 2 Jenis-Jenis Paragraf. Teknik Penulisan. Surabaya:
UIN SA Press.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Penalaran Deduktif-Induktif dalam Wacana Bahasa
Indonesia. Bandung: Alqaprint.
Soedjito dan Mansur Hasan. 1994 Keterampilan Menulis Paragraf. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Suladi. 2014. Seri Penyuluhan Buku Bahasa Indonesia: Paragraf. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pemasyarakatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Wiyanto, A. 2004. Terampil Menulis Paragraf (Rev). Yogyakarta: Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai