Anda di halaman 1dari 11

Tiga Puisi Ibnu Qayyim al-Jauziyah

Kajian Struktur dan Isi

Hikmatul Aini Maftukhah dan Muhammad Luthfi

Program Studi Sastra Arab, FIB, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

Email: hikmatul.aini@ui.ac.id

Abstrak

Skripsi ini bertujuan mendeskripsikan struktur tipografi, gaya bahasa, dan makna yang terkandung di dalam
ketiga puisi Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
analisis yang dipusatkan pada analisis struktural dan semiotik. Hasil analisis pada penelitian ini mengindikasikan
setiap puisi memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri. Ketiga puisi ini memiliki pola bahr kaamil dengan
modifikasi tertentu zihaf dan illat. Puisi “Fii Binaai al-Jannah” merupakan penggambaran material-material
bangunan surga. Puisi “Fii Anhaari al-Jannah” menggambarkan keindahan sungai-sungai di surga. Puisi “Fii
Ṭa’aami Ahli al-Jannah” menggambarkan makanan lezat yang beraneka ragam di dalam surga. Puisi “Fii Binaai
al-Jannah”, “Fii Anhaari al-Jannah”, maupun “Fii Ṭa’aami Ahli al-Jannah” merupakan penggambaran dan
representasi mengenai kenikmatan surga yang dianalasis menggunakan teori semiotik dengan sistem penandaan.

Form and Content Study Three Poems of Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

Abstract

This research aims to describe the structure of typography, style, and meaning three poems written by Ibn
Qayyim al-Jauziyyah.The method that is used is analytical description, focusing on structural and semiotic
analysis. The results of the analysis in this study indicates that every poem has a unique and distinctive
characteristics. All of the poems have bahr kaamil pattern with certain modifications in its zihaf and ‘illat. “Fii
Binaai al-Jannah” (one of the poems) is a depiction of the materials used to build a heaven. “Fii Anhaari al-
Jannah” (the other poem) describes the beautiful rivers of paradise. “Fii Ṭa'aami al-Jannah” (another poem)
describes kind of delicious food available in heaven. All of the three poems, Fii Binaai al-Jannah, Fii Anhaari
al-Jannah, and Fii Ṭa'aami al-Jannah are the depiction and representation of the pleasures of heaven which are
analyzed using semiotic theory, and most of the poems used the kind of symbols.

Keywords: Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Arabic classic poetry, ‘Ilmu ‘aruuḍ, ‘ilmu balagah, and paradise.

Pendahuluan

Nama lengkap Ibnu Qayyim adalah Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’d bin Hariz
bin Makki, Zainuddin Az-Zur’i Ad-Dimasqi Al-Hambali. Nama panggilannya adalah Abu
Abdillah, sedangkan nama julukannya adalah Syamsuddin. Dia terkenal dengan nama Ibnu
Al-Qayyim Al-Jauziyah. Ia dikenal dengan nama Al-Jauziyah, karena ayahnya Syaikh Abu
Bakar bin Ayyuzb Az-Zar’i mendirikan sebuah madrasah Al-Jauziyah di Damaskus, sehingga
keturunannya terkenal dengan nama madrasah tersebut (Ilham dan Asmu’i, 2012: 822).
Ibnu Qayyim AL-Jauziyah lahir pada tahun 691 H/1292 M. Dia meninggal pada tahun 751 H
di Damaskus juga. Ia adalah seorang faqih dan mujtahid bermazhab Hambali. Dia mahir
dalam bidang bahasa Arab, ilmu kalam, nahwu, dan sebagainya. Dalam buku “60 Biografi
Ulama Salaf” karya Syaikh Ahmad Farid banyak pendapat para ulama yang memuji
kepiawaian Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam menuntut ilmu. Salah satunya Ibnu Katsir
mengatakan “Dia belajar ilmu agama, terutama dalam bidang tafsir, hadiṡ, dan ushul fiqih”.

Tiga puisi…, Hikmatul Aini Maftukhah, FIB UI, 2014


Dari Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim menyerap ilmu, menggantikan sang guru mengajar
sehingga dia mendapatkan tambahan ilmu yang luar biasa banyaknya, sehingga murid-
muridnya pun semakin banyak yang keluar masuk dari rumahnya siang maupun malam”
(Ilham dan Asmu’i, 2012: 823).
Dalam menimba ilmu pengetahuan, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah memulainya sejak ia berumur
tujuh tahun. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya jumlah guru yang didatangi olehnya.
Banyaknya ilmu yang didapatkan dari banyak guru juga menjadikannya memiliki banyak
murid, salah satunya yang terkenal hingga saat ini adalah Ibnu Katsir (Ilham dan Asmu’i,
2012: 830).
Banyaknya cabang ilmu yang dikuasai oleh Ibnu Qayyim, menjadikannya menghasilkan
banyak karya ilmiah, antara lain ilmu akidah Islam, ilmu sejarah, ilmu tafsir, ilmu fiqih, karya
sastra, dan lain sebagainya. Namun, dari sekian banyak karya ilmiah yang dituliskan olehnya
ilmu yang paling menonjol darinya adalah ilmu yang berkaitan dengan hati. Tidak jarang apa
yang diucapkan olehnya menjadi kata-kata indah dan membentuk sebuah syair indah. Hal ini
juga dibuktikan dari isi-isi buku yang dihasilkan terdapat syair-syair indah buah karyanya
yang merupakan hasil pemikiran dan perenungan yang mendalam. (Al-Kautsar, 2008: 18).
Tanpa sungkan dengan statusnya sebagai seorang ahli fiqih dan hadiṡ terkemuka, Ibnu
Qayyim dengan lancar bicara dan memperlihatkan kemampuannya yang tinggi di bidang syair
bernilai tinggi. Tidak hanya mengenai hati. Kepiawaian Ibnu Qayyim dalam menuliskan
berbagai macam buku mengenai iman dan Islam, ia juga menuliskan sebuah kitab qasidah
yang dikenal dengan Qasidah Nuuniyah yang berjudul Al-Kafiyatus Al-Syafiyah. Dalam kitab
tersebut terdapat banyak syair yang menjelaskan mengenai nikmat dan setiap bait berakhiran
huruf nun (‫)ﻥن‬.
Beberapa penjelasan di atas menjadi alasan mengapa penulis ingin mengangkat syair Ibnu al-
Qayyim sebagai bahan kajian. Menurut Abu al-Fadhl (1990) dalam Muzakki (2006) syair
berasal dari kata ‫ﺵشﻉعﺭر‬- ‫ﻱيﺵشﻉعﺭر‬- ‫ﺵشﻉعﺭرﺍا‬- ‫ ﺵشﻉعﻭوﺭرﺍا‬yang berarti mengetahui, merasakan, sadar,
mengomposisi, atau menciptakan sebuah syair. Akar kata tersebut mempunyai kemiripan
dengan pengertian poet dalam bahasa Yunani yang berarti membuat. Selain itu, puisi atau
sastra secara umum adalah instrumen yang membahasakan kelembutan jiwa para penyair.
Puisi juga memberi mereka inspirasi dalam memaknai gerakan-gerakan jiwa, sehingga lebih
dekat dengan perasaan-perasaan mereka, membantu memahami tanda-tanda alam, dan
menangkap makna-makna yang mendalam secara lahir dan batin manusia. keberadaannya
juga dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sosial kultural, tradisi, dan pengaruh-
pengaruh yang lain (Muzakki, 2006: 40). Bagi mereka, puisi juga merupakan hiburan jiwa. Di
kalangan ulama juga kita temukan hal yang sama. Beberapa di antara mereka bahkan
mewariskan kumpulan puisi. Misalnya, Imam Syafi’i dan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah.
Syair pertama yang ingin dikaji oleh penulis, yaitu Puisi tentang surga yang berjudul Fii
Binaai al-Jannah ,Fii Anhaari al-Jannah, Fii Ṭha’aami Ahli al-Jannah. Ketiga puisi tersebut
terdapat pada kitab Al-Kafiyatus Al-Syafiyah yang diterbitkan pada tahun 1425 H. Ibnu
Qayyim menulis syair yang menjelaskan tentang gambaran bangunan, makanan, dan sungai di
surga. Gambaran profil surga dengan jelas di pelupuk mata dan terlukis dalam untaian kata-
katanya. Dalam pengantar buku Tamasya ke Surga karya Ibnu Qayyim al—Jauziyah yang
diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, di zaman sekarang pembahasan surga sangat dibutuhkan
kehadirannya disebabkan begitu mendominasinya lorong-lorong kehidupan dan beragam
godaan-godaan maksiat yang merajalela.
Karya sastra Ibnu Qayyim ini termasuk dalam sastra Islam, karena pada periode ini dimulai
seiring munculnya dakwah Islam oleh Nabi Muhammad hingga periode kejatuhan Dinasti
Umayyah pada tahun 132 H/750 M. Hal tersebut menjadi bukti bahwa pada saat itu adalah
masa hidup Ibnu Qayyim. Sastra pada periode tersebut disebut sastra Umawiyy (Umairah:
2010: 474). Meskipun karya sastra Arab mengalami kemunduran pada zaman Umayyah,

Tiga puisi…, Hikmatul Aini Maftukhah, FIB UI, 2014


namun Ibnu Qayyim tetap mengembangkan karyanya yang banyak mengandung syair-syair
indah di dalam buku-bukunya. Karya dia lebih indah dikarenakan setiap huruf di akhir
katanya sama.
Melalui syair-syair indahnya, Ibnu Qayyim mengajak para pembaca untuk cinta kepada illahi
dan lebih mengenal Islam, baik ilmu fiqih, tafsir, hadiṡ, maupun lainnya. Akan tetapi belum
banyak yang meneliti tentang bentuk dan tema syair-syairnya itu. Hal tersebut menjadikan
penulis tidak mau ketinggalan untuk meneliti karya Ibnu Qayyim. Dalam skripsi ini, penulis
memilih karya sastra Ibnu Qayyim al-Jauziyah berupa dua puisi yang berjudul Fii Binaai al-
Jannah, Fii Anhaari al-Jannah, Fii Ṭa’aami Ahli al-Jannah. Penulis memilih puisi-puisi
tersebut karena puisi tersebut merupakan puisi Arab Klasik yang memiliki struktur bentuk, isi,
gaya bahasa dan pemilihan kata yang lebih teratur dibanding dengan puisi Arab Kontemporer.
Susunan larik dari puisi-pusi ini memiliki persamaan bentuk puisi klasik pada umumnya,
yaitu tersusun dua larik sejajar.
Ketiga puisi tersebut selintas memiliki kesamaan tema yaitu bertemakan nikmat. Tema
nikmat dapat dilihat dari beberapa kalimat dalam sajak masing-masing puisi. Contoh dalam
Fii Binaai al-Jannah terdapat beberapa kalimat yang mengindikasikan bahwa puisi ini
bertemakan surga:

‫ﻡمﺥخﺕتﻝلﻑفﺍاﻥن ﻥنﻭوﻉعﺍاﻥن ﻑفﺽضﺓة ـﺭرﻯى‬ ‫ﺐٍ ﻡمﻥن ﺍاﻝلﻝلﺏبﻥنﺍاﺕت ﻭوﺏبﻥنﺍاﺅؤﻩهﺍا‬


‫ﺃأﺥخـ ﻭو ﺫذﻫﮬﮪھ‬
‫ﺍاﻝلﻉعﻕقﻱيﺍاﻥن ﺥخﺍاﻝلﺹص ﺃأﻭو ﻑفﺽضﺓة ﺍاﻭو‬ ‫ﺟﺪٍ ﻭو ﻟﻟﺆٍ ﻡمﻥن ﻭوﻕقﺹصﻭوﺭرﻩهﺍا‬ ‫ﺯزﺑﺮ‬

• Wa binaauhaa binaatu min żahabin waukh-


raa fiḍḍatun au’aani mukhtalifaani
• Waqusuuruhaa min lu’lu’in wazibarjadin
au fiḍḍatun au khaaliși al-‘iqyaani

• Bangunannya terbuat dari bongkahan emas dan


sebagiannya dari perak, dua unsur yang berbeda
• Sedangkan istananya tersusun dari mutiara, sapphire,
permata biru, perak, serta emas murni
Puisi Fii Anhaari al-Jannah terdapat beberapa kalimat yang mengindikasikan bahwa puisi ini
bertemakan surga, seperti:
‫ﺍاﻝلﻑفﻱيﺽضﺍاﻥن ﻉعﻥن ﻡمﻡمﺱسﻙكﻩهﺍا ﺱسﺏبﺡحﺍاﻥن‬ ‫ﺝجﺭرﺕت ﺃأﺥخﺩدﻭوﺩد ﻍغﻱيﺭر ﻑفﻱي ﺃأﻥنﻩهﺍاﺭرﻩهﺍا‬
‫ﻥنﻕقﺹصﺍاﻥن ﻡمﻥن ﻨﻠﻟّﻬﮭﺮ ﻡمﺍا ﻭو ـﺝجﺭرﺓة‬ ‫ﻡمﻑفﺝجـ ﺵشﺍاﺅؤﻭوﺍا ﻙكﻡمﺍا ﺕتﺝجﺭرﻱي ﺕتﺡحﺕتﻩهﻡم ﻡمﻥن‬

• Anhaaruhaa fii gairi ukhduudin jarat


subhaana mumsikihaa ‘ani al-fayḍaani
• Min tahtihim tahrii kamaa syaauu mufaj-
jaratan wamaa linnahri min nuqsaani

• Sungai-sungai surga mengalir terus dan tidak pernah berhenti, Maha


Suci Tuhan Dzat Yang Maha Mengendalikan Banjir
• Di lembah-lembah tempat mereka tinggal mengalir air yang indah

Puisi Fii At-Ṭa’aami Ahli al-Jannah terdapat beberapa kalimat yang mengindikasikan bahwa
puisi ini bertemakan surga, seperti:
‫ﻥنﻑفﻭوﺱسﻩهﻡم ﺕتﺵشﺕتﻩهﻱيﻩه ﻡمﺍا ﻭوﻁطﻉعﺍاﻡمﻩهﻡم ﻭوﺱسﻡمﺍاﻥن ﻥنﺍاﻉعﻩهﻡم ﻁطﻱيﺭر ﻭوﻝلﺡحﻭوﻡم‬
‫ﺍاﻝلﺇإﻱيﻡمﺍاﻥن ﻝلﺫذﻱي ﻙكﻡمﻝلﺕت ﺵشﺏبﻉعﺓة ﻱيﺍا‬ ‫ﻡمﻥنﺍاﻩهﻡم ﺏبﺡحﺱسﺏب ﺷﺘّﻰ ﻭوﻑفﻭوﺍاﻙكﻩهﻩه‬

• Waṭa’aamuhum maa tasytahiihi nufuusuhum

Tiga puisi…, Hikmatul Aini Maftukhah, FIB UI, 2014


waluḥumu ṭayrin naa ‘ihim wasimaani
• Wafawaakihun syatta bihasbi munaahumu
yaa syub’atin kamalat liżii aliimaani
• Makanannya adalah apa yang diingini oleh hati, daging
burung yang berdaging
• Serta santapan buah melimpah, sungguh memberi
kepuasan bagi penghuni surga

Ketiga potongan sajak dari puisi-puisi tersebut dapat dilihat akhiran dari masing-masing baris
yang berakhiran sama, yaitu huruf ‫( ﻥن‬nun). Hal tersebut dapat diambil hipotesa bahwa kedua
puisi tersebut merupakan puisi klasik yang bertemakan nikmat. Hal ini menjadikan penulis
perlu menganalisa lebih dalam terhadap kedua puisi tersebut. Selain itu, belum ditemukan
penelitian terhadap ketiga puisi tersebut.
Dalam kesusastraan Arab, puisi yang bentuknya beraturan dan setiap barisnya memiliki
akhiran yang sama dengan baris lain bisa dilihat benar salahnya dengan menggunakan ilmu
‘Aruuḍ (‫)ﺍاﻝلﻉعﺭرﻭوﺽض‬. Ilmu ‘Aruuḍ berarti Ilmu untuk mengetahui benar atau rusaknya
pola/wazan puisi Arab tradisional dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Objek
kajian Ilmu ini adalah puisi arab tradisional, yaitu puisi arab yang masih terikat dengan pola
puisi. Sedangkan tujuan umum mempelajari ilmu ini adalah agar mampu membedakan antara
puisi dengan selain puisi dan untuk menghindari percampuran satu pola puisi dengan pola
lainnya serta menghindari terjadinya perubahan-perubahan yang dilarang. Ilmu ‘Aruuḍ
berguna untuk mempermudah seseorang dalam membaca teks-teks sastra kuno atau puisi-
puisi arab lama. (Lesmana, 2010: 91). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:706)
puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan
larik dan bait.
Puisi Arab klasik dengan susunan pola yang teratur sudah ada sejak zaman klasik, tepatnya
sejak zaman Jahiliyyah. Perjalanan puisi Arab cukup panjang, namun saat ini sudah jarang
ditemukan susunan puisi yang polanya beraturan. Puisi kontemporer lebih bebas dan
susunannya tidak teratur seperti puisi klasik.
Selain memiliki bentuk yang beraturan, pada puisi klasik juga terdapat keunikan gaya bahasa
yang terbagi dalam tiga unsur, yaitu bayan, ma’ani, dan badi’. Gaya bahasa tersebut
mempengaruhi keindahan puisi. Alasan lain yang mendorong penulis mengkaji puisi Ibnu
Qayyim adalah banyaknya ayat dalam kitab suci al-Quran yang membahas istana, sungai, dan
hidangan surga misal dalam QS. Al-Baqarah, At-Taubah, Az-Zukhruf, Al-Waqi’ah, Al-
Muṭaffifin, dan lainnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis mengasumsikan bahwa
bangunan, sungai, dan makanan di surga merupakan suatu kenikmatan yang ada di sana,
sesuai dengan apa yang dijelaskan di dalam al-Quran dan hadiṡ.
Keunikan-keunikan dalam puisi Arab karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah di atas menjadikan
penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut analisis bentuk puisi Ibnu Qayyim al-Jauziyah
khususnya dalam puisi yang berjudul Fii Binaai al-Jannah, Fii Anhaari al-Jannah, dan Fii
Ṭa’aami Ahli al- Jannah yang diambil dari kitab Al-Kafiyah al-ṣafiyah fi al-Intisar lil-Firqah
al-Najiyah karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Terdapat beberapa bahasan yang akan diuraikan dalam jurnal ilmiah ini. Bahasan yang
pertama akan memaparkan bentuk tiga puisi Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan menggunakan
pendekatan ‘ilmu ‘aruuḍ. Bahasan selanjutnya akan menjelaskan isi pada ketiga puisi tersebut
dengan menggunakan ‘ilmu balaagah dan teori semiotik.

Metode Penelitian

Tiga puisi…, Hikmatul Aini Maftukhah, FIB UI, 2014


Dalam menganalisis tiga puisi Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yaitu puisi berjudul Fii Binaai al-
Jannah, Fii Anhaari al-Jannah, Fii Ṭa’aami Ahli al-Jannah, metode yang digunakan penulis
adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta kemudian dilanjutkan dengan analisis (Ratna, 2004: 53). Penulis
juga menggunakan pendekatan strukturalisme-semiotik, yaitu pendekatan yang tidak hanya
melihat puisi-puisi dari segi struktur intrinsiknya saja, akan tetapi juga melihat puisi sebagai
suatu sistem tanda.
Strukturalisme-dinamik atau strukturalisme semiotik ini muncul untuk mengatasi kelemahan
strukturalisme klasik yang melepaskan dari sistem kebudayaan (Jabrohim, 2014: 85). Analisis
struktural memiliki tujuan untuk memaparkan sedalam mungkin agar menghasilkan makna
menyeluruh (A. Teeuw, 1988: 136). Sesuai dengan pendekatan dalam penelitian ini, dalam
menganalisis puisi digunakan aspek semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda yang
mempelajari sistem-sistem, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dan termasuk kategori studi kepustakaan
dengan langkah pengumpulan bahan, pengolahan data dan analisa data. Dalam penelitian ini,
penulis memperoleh data dari sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan topik yang
dibahas, baik dari buku, skripsi, jurnal, dan laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu.
Kemudian mengklasifikasikan data yang telah diperoleh dan meneliti data-data tersebut.
Data-data yang penulis jadikan sebagai bahan kajian penelitian ini diperoleh dari berbagai
sumber. Sumber utama dari kajian puisi tersebut adalah kitab Al-Kafiyah al-ṣafiyah fi al-
Intisar lil-Firqah al-Najiyah karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah.

Pembahasan
Tiga Puisi Ibnu Qayyim al-Jauziyah
‫ﺠَﻨﱠﺔِ ﺑِﻨَﺎءِ ﻓِﻲ‬
ْ‫ﺍا ﻟ‬
‫ﻥنِ ﻓِﻀﱠﺔٌ ـﺮَﻯى‬ ‫ﻋ َﺎ‬ ْ ‫ﻥنَِ ﻧَﻮ‬ ‫ﺨْﺘَﻠِﻔ ﺎ‬ ُ‫ﻣ‬ ‫ﺕتُ ﻭوَﺑ ِﻨَﺎﺅؤُﻫﮬﮪھَﺎ‬ ‫ﻦْ ﺍاﻟﻠّﺒِﻨ َﺎ‬ ِ‫ﺐٍ ﻣ‬
َ‫ﺧْـ ﻭوَ ﺫذَ ﻫﮬﮪھ‬ ُ‫ﺍا‬
‫ﺺِ ﺃأَﻭوْ ﻓِﻀّﺔٍ ﺃأَﻭو‬ ‫ﻥنِ ﺧَﺎ ﻟ‬ ‫ﺍاﻟْﻌِﻘْﻴﯿ َﺎ‬ ‫ﻭوَﻗُﺼُﻮْﺭرُﻫﮬﮪھَﺎ‬ ِ‫ﺯزِ ﺑَﺮْﺟَﺪٍ ﻭوَ ﻟُﺆْﻟُﺆٍ ﻣ‬
ْ‫ﻦ‬
ُ‫ﻥنِ ﺑِﻐَﺎﻳﯾَﺔِ ﺍاْﻟﺒِﻨَﺎءِ ﻧَﻈْﻢ‬ ‫ﺍاﻹِْﺗْﻘ َﺎ‬ ‫ﺕتٍ ﻭوَ ﺩدُﺭرﱢ ﻣِﻦ ﻭوﻛَﺬ ﺍا‬
َ‫ﻙك‬ ْ‫ﺑﻪﮫِ ﻳﯾ َﺎﻗُ ﻮ‬
ٌ‫ﻥنِ ﺑِﺬَﺍا ﺟَﺎ ﻥن‬ ‫ﻥنَِ ﺃأَﺛَﺮ َﺍا‬ ‫ﻣَﻘْ ﺒُﻮْﻻ‬ ْ‫ﻄﱢ ُﻴﯿ‬
‫ﻦ‬ ‫ﻚٌ ﻭوَ ﺍاﻟ‬ ْ‫ﺺٌ ﻣِ ﺴ‬ ِ‫ﻋْ ﻔﺮَ ﺃأَﻭوْ ﺧَﺎ ﻟ‬ َ‫ﺯز‬
‫ﻁطُ ﻓَﻬﮭُﻤَﺎ‬ َ‫ﻚَ ﺍا ﻟْﻤِﻼ‬ ِ‫ﻥنِ ﺍاﻟْﺒُﻨْﻴﯿَ ﻟِﺬَﺍا ﻟ‬
‫ﺎ‬ ‫ﺴَﺎ‬
ْ‫ﻦِ ﻟَ ﻴﯿ‬
ْ‫ﺑِﻤُﺨْﺘَﻠِﻔَ ﻴﯿ‬ َ‫ﺗُﻨْﻜِﺮْﻫﮬﮪھُﻤَﺎ ﻻ‬

Fii Binaai al-Jannah


• Wa binaauhaa al-labinaatu min żahabin waukh-
raa fiḍḍatun nau’aani mukhtalifaani
• Waquṣuuruhaa min lu’lu’in wazibarjadin
au fiḍḍatun au khaaliși al-‘iqyaani
• Wakażaka min żurrin wayaquutin bihi
naẓmu albinaai bigaayati al-itqaani
• Wa aṭṭiinu miskun khaaliṣun au za’faraa-
nun jaa biżaa atsaraani maqbuulaani
• Laisaa bimukhtalifayni laa tunkirhumaa
fahumaa almilaaṭa liżaalika albunyaani

Bangunan-bangunan Surga
• Bangunannya adalah bongkahan emas dan
sebagiannya dari perak, dua unsur yang berbeda
• Sedangkan istananya tersusun dari mutiara,
sapphire, permata biru, perak, serta emas murni

Tiga puisi…, Hikmatul Aini Maftukhah, FIB UI, 2014


• Demikian juga mutiara-mutiara yakut dan nilam
yang menghiasinya, sungguh susunan dengan kesempurnaan
yang tiada tara.
• Tanah liat dengan aroma kesturi dan shaffron,
dua aroma yang menyegarkan
• Tak ada yang meragukan keduanya, yang
merupakan adonan bangunan surga.

‫ﺠَﻨﱠﺔِ ﺍاَﻧْﻬﮭَﺎﺭرِ ﻓِﻲ‬


ْ‫ﺍا ﻟ‬
‫ﺤﺎ‬
َ‫ﻥن‬ ْ ‫ﺴﻤْﻬﮭﻜَِﺎ ﺳُﺒ‬ ِ ‫ُﻣ‬ ِ‫ﻦ‬
َ‫ﻥنِ ﻋ‬ ‫ﻀ َﺎ‬ َ ‫ﺍاﻟ ْﻔَﻴﯿ‬ ‫ﻲْ ﺃأَﻧ ْﻬﮭَﺎﺭرُﻫﮬﮪھَﺎ‬ ِ‫ﺃأُﺧْﺪُﻭوْﺩدٍ ﻏَﻴﯿْﺮِ ﻓ‬ ْ‫ﺕت‬
َ‫ﺟَ ﺮ‬
ً‫ﺠَﺮَﺓة‬
‫ﻦْ ﻟ ِﻠﻨﱠﻬﮭْﺮِ ﻣَﺎ ﻭوَ ـ‬ ِ‫ﻥنِ ﻣ‬ ‫ﺼ َﺎ‬ ُ ‫ﻧُﻘ‬ ِْ‫ﻱيْ ﺗَﺤْﺘِﻬﮭِﻢْ ﻦﻣ‬ ِ‫ﺠ ﺮ‬َ‫ْﺗ‬ ‫ﺷَﺎﺅؤُﻭوﺍا ﻤﻛََﺎ‬ ‫ﺠْـ‬َ‫ﻣُ ﻔ‬
ٌ‫ﻦَ ﺃأَﻧْﻬﮭَﺎﺭرٌ ﺛُﻢﱠ ـﺮ‬ ِ‫ﻥنِ ﻣ‬ ‫ﺍاﻷَْﻟْﺒ َﺎ‬ َ‫ﺼﱠﻰ ﻋَﺴ‬
ٌ‫ﻞ‬ ‫ﻣَﺎءٌ ﺛُﻢﱠ ُﻣَﻔ‬ ‫ﺧَﻤْـ ﺛﻢُﱠ‬
ِ‫ﻆِ ﻓِﻲ ﻤﻫﮬﮪھَُﺎ ﻟَ ﻜ‬
ْ‫ﻦ‬ ْ‫ﻥنِ ﺍاﻟﻠﱠ ﻔ‬ ‫ﺠْﺘَﻤِﻌ َﺎ‬ َ‫ﻳﯾ‬ َ‫ﻚَ ﻣَﺎ ﻭو‬
ِّ‫ﷲ‬ ْ‫ﺍاﻟَﻤَﻮَﺍاﺩدُ ﺗِ ﻠ‬ ِ‫ﻛﻬﮭَﺬﻩه‬
َ‫ﻙكٌ ﻭوَﻫﮬﮪھُﻮ‬
‫ﺷْﺘِﺮ َﺍا‬
‫ﺍا‬ َ‫ﻥنِ ﻗﺎﻡم‬‫ﺑِﺎﻷَْﺫذْﻫﮬﮪھ َﺎ‬ ‫ﺴِﻴﯿْﺮُ ﻭوﺑَ ﻴﯿْﻨَﻬﮭُﻤَﺎ ﻫﮬﮪھَﺬَﺍا‬ َ‫ﻳﯾ‬ ِ‫ﺗﺸَﺎﺑُﻪﮫ‬

Fii Anhaari al-Jannah


• Anhaaruhaa fii gairi ukhduudin jarat
subhaana mumsikihaa ‘ani al-fayḍaani
• Min tahtihim tahrii kamaa syaauu mufaj
jaratan wamaa linnahri min nuqsaani
• ‘Asalun muṣaffaa tsumma maaun tsumma kham-
run tsumma anhaarun min allabnaani
• Wallahi maa tilka almawaadu kahażihi
lakin humaafii allafẓi yajtami’aani
• Hażaa wa baynahumaa yasiiru tasyaabuhi
wa huwa sytiraakun qaama bil ażhaani
Sungai-sungai di Surga
• Sungai-sungai mengalir deras tak bermuara, Maha Suci
Dzat Yang membendung banjir
• Di bawah mereka mengalir deras sungai sesuka hati dan
tak akan surut
• Madu, air, anggur, dan susu deras mengaliri sungai
• Demi Allah demikian itulah keadaannya, namun
keduanya menyatu
• Keduanya mengalir saling menyerupai, inilah perpaduan
yang terekam oleh benak.

‫ﺠَﻨّﺔِ ﺍاَﻫﮬﮪھْﻞِ ﻁطَﻌَﺎﻡمِ ﻓِﻲ‬


ْ‫ﺍا ﻟ‬
‫ﺤُﻡمُْﻮ‬
‫ﻥنِ ﻧَﺎﻋِﻢٍ ﻁطَﻴﯿْﺮٍ ﻭوَ ﻟ‬ ‫ﺳِﻤ َﺎ‬ َ‫ﻭو‬ ْ‫ﺸْﺘَﻬﮭِﻴﯿْﻪﮫِ ﻣَﺎ ﻭوﻁطَﻌَﺎﻣُﻬﮭُﻢ‬ َ‫ﺳُﻬﮭُﻢْ ﺗ‬ ‫ﻧُﻔﻮ‬
‫ﺖْ ﻳﯾَﺎ‬ َ‫ﺷُﺒْﻌَﺔٌﻛﻤَ ﻠ‬ ‫ﻥنِ ﻟِﺬِﻱي‬ ‫ﺍاﻹِْﻳﯾْﻤ َﺎ‬ ٌ‫ﺷﱠﻰ ﻭوَﻓﻮَﺍاﻛِﻪﮫ‬ ‫ﺐِ َﺘ‬
ْ‫ﺤَ ﺴ‬ ِ‫ﻣ ُﻨَﺎﻫﮬﮪھﻢُ ﺑ‬
ْ‫ﻄﱢ ﻴﯿ‬
ُ‫ﺐ‬ ‫ﺡحِ ﻣﻊَ ﻭوَ ﺍاﻟ‬ ْ‫ﻥنِ ﻭوَﻣَﻊْ ﺭرُ ﻭو‬ ‫ﺤ َﺎ‬ ْ ‫ﺭرَﻳﯾ‬ ٌ‫ﺧَﻤْﺮٌ ﻟَﺤْﻢ‬ ‫ﻭوَﻓﻮَﺍاﻛِﻪﮫٌ ﺍاَﻟﻭوﺴﻨﱢَﺎ ﻭو‬
ُ‫ﻦَ ﺧُﺪﱠﻡمٍ ﺑِﺄَ ﻛ‬
‫ﻒﱢ‬ ِ‫ﻥنِ ﻣ‬ ‫ﺍاﻮِﻟْﺪ َﺍا‬ ‫ﺤ َﺎﻓُ ْﻬﮭُﻢ‬ َ ‫ﻭو‬
ِ‫ﺻ‬ َ‫ﻑفُ ﺫذَ ﻫﮬﮪھ‬
ٌ‫ﺐ‬ ْ‫ﻄُ ﻮ‬ َ‫ﻋَ ﻠَﻴﯿْﻬﮭِﻢُ ﺗ‬
ِ‫ﺲِ ﺷَﻬﮭْﻮَﺓةٍ ﻭوَ ﻥن‬ ْ‫ﻥنِ ﻓِﻲ ﻟِﻠﻨﱠ ﻔ‬ ‫ﺍاﻟْﻘُﺮ ْﺁآ‬ ْ ْ‫ﻞِ ِﻟﺇإَﻰ ﻭو َﺍاﻧ‬
‫ﻈُﺮ‬ ْ‫ﻟِﻠْﻌُﻴﯿُﻮ ﺍاﻟﻠﱠﺬَﺍاﺫذَﺓةِ ﺟَ ﻌ‬
‫ﺲِ ﺷَﻬﮭﻮَﺍاﺗِﻬﮭَﺎ‬ ْ‫ﻥنِ ﺑِﺎﻟﻨﱠ ﻔ‬ ‫ﻭوَﺍاﻷَْﻣْﺮ َﺍا‬ ْ‫ﻋُﻮ ﻟَﺬﱠﺓةٌ ﻣِﻬﮭﻨَْﺎ ﻟِﻠْﻌَ ﻴﯿ‬
ِ‫ﻦ‬ ْ‫ِﻟﺇإَﻰ ﺗَ ﺪ‬

‫ﺖِ ﻣَﺎ ﺳِﻮَﻯى ﺃأُﺧْﺮَﻯى‬


َ‫ﻥنِ ﻧَﺎ ﻟ‬
‫ﺍاﻟﻌَﻴﯿْﻨ َﺎ‬ َ‫ﻝلِ ﺳَ ﺒ‬
ُ‫ﺐ‬ ُ‫ﺐُ ﻭوَﻫﮬﮪھْﻮَ ﺍاﻟﺘ ﱠﻨَﺎ ﻭو‬
ِ‫ﻳﯾُﻮ ﺟ‬ ً‫ﻟَﺬﱠﺓة‬

Fii Ṭa’aami Ahli al-Jannah


• Waṭa’aamuhum maa tasytahiihi nufuusuhum
waluḥumu ṭayrin naa’imin wasimaani

Tiga puisi…, Hikmatul Aini Maftukhah, FIB UI, 2014


• Wafawaakihun syatta bihasbi munaahumu
yaa syub’atin kamalat liżii al-iimaani
• Laḥmun wakhamrun wa annisaa wafawaakihun
wa aṭṭaybu ma’a ruuḥi wama’ rayḥaani
• Waṣiḥaafuhum żahabun taṭuufu ‘alayhim
biakkufi khuddamin min alwildaani
• Wa unẓur ilaa ja’li allażażati lil’uyuu-
ni wasyahwatin linnafsi fii alqur’aani
• Lil’aynii minhaa lażżatun tad’uu ilaa
syahawaatihaa binnafsi wal’amraani
• Sababu attanaawuli wahuwa yuujibu lażżatan
ukhraa siwaa maa naalati al’aynaani
Hidangan Surga
• Hidangannya adalah sesuka hati, daging unggas segar merona
• Serta santapan buah melimpah, sungguh memberi kepuasan bagi
penghuni surga
• Daging, khamr, selir, buah, wangi kemangi hembus merebak
• Dayang muda berkeliling mengedarkan piring-piring emas keharibaan
penghuni
• Perhatikanlah pada penciptaan kenikmatan bagi mata dan syahwat bagi
jiwa dalam Al-Quran
• Setiap kedipan mata ada keinginan diri hendak berhasrat
• Kelezatan lainnya selain yang tampak oleh mata adalah alasan untuk
mencapai surga.

Analisis Struktur dan Isi Puisi


Puisi Fii Binaai al-Jannah
Puisi Fii Binaai al-Jannah ini merupakan puisi yang terdiri dari lima bait. Puisi ini memakai
bahr kaamil dengan Zihaf Iḍmaar 14 buah, Illat al-Qaṭ’ 5 buah, sedangkan sisanya 11 buah
yang tidak mengalami perubahan pola taf’ilat-nya. Qafiyat pada puisi ini adalah bagian dari
kata.
Unsur balagah yang paling dominan pada puisi Fii Binaai al-Jannah adalah ilmu ma’ani,
karena dengan unsur tersebut apa yang diungkapkan oleh penyair lebih mudah diterima oleh
pembaca. Hal ini dikarenakan penyair tidak menggunakan kata-kata yang mengandung arti
kiasan agar pengkajiannya terhindar dari kekeliruan dalam pengungkapan makna kata yang
dikehendaki. Unsur ma’ani yang terdapat pada puisi tersebut, yaitu: Faṣal Kamaal al-Ittiṣaal
(Kesinambungan yang Sempurna), Faṣal Syibhu Kamaal al-Ittisaaal, Waṣal (meng-aṭaf-kan),
Iṭnab żikrul khaṣ ba’dal ‘am (menyebutkan kata yang khusus setelah kata yang umum), Iṭnab
al-iḍah ba’dal-ibham (menyebutkan lafaz yang jelas maknanya setelah menyebutkan lafaz
yang maknanya tidak jelas). Ciri khas dari puisi ini adalah dengan faṣal yang
menghubungkan satu kalimat dengan kalimat lain tanpa menggunakan huruf waw sebagai
penanda bahwa isi dari semua masih ada satu kesinambungan.
Unsur balagah lainnya, yaitu badi’. Unsur tersebut adalah Saja’ (rima) yang terdapat pada
akhir setiap akhir kata. Kelima bait puisi Fii Binaai al-Jannah memiliki akhiran sama, yaitu
huruf ‫ ﻥن‬//nun// yang menjadikan puisi tersebut jauh lebih indah saat diucapkan. Kata-kata
terakhir dari masing-masing bait puisi tersebut adalah, ِ‫ﻥن‬
‫ ﺍاﻟْﺒُﻨْﻴﯿ َﺎ‬, ِ‫ﻥن‬
َ‫ ﻣَﻘْ ﺒُﻮْﻻ‬, ِ‫ﻥن‬
‫ ﺍاﻹِْﺗْﻘ َﺎ‬, ِ‫ﻥن‬
‫ ﺍاﻟْﻌِﻘْﻴﯿ َﺎ‬, ِ‫ﻥن‬
‫ﺨْﺘَﻠِﻔ َﺎ‬
ُ‫ ﻣ‬. Akan
tetapi kelima kata tersebut memiliki arti yang berbeda, yakni: “berbeda, emas murni,
kesempurnaan, menyegarkan, bangunan”. Pengarang puisi sengaja meletakkan kata-kata

Tiga puisi…, Hikmatul Aini Maftukhah, FIB UI, 2014


tersebut di akhir bait agar tercipta akhir yang indah. Saja’ adalah huruf akhir dua fashilah atau
lebih pada syair atau prosa lama.
Puisi Fii Binaai al-Jannah merupakan puisi dengan makna dan pesan mengenai kenikmatan
yang ada di surga. Nikmat tersebut adalah berupa perhiasan-perhiasan yang menjadi material
pembuat bangunan dan istana surga serta wewangian yang menyegarkan jiwa para
penghuninya. Kenikmatan itu ada karena balasan atas apa yang telah dikerjakan manusia
selama di dunia, sehingga material-material tersebut berupa perhiasan yang berharga yang
belum tentu dimiliki oleh setiap manusia semasa hidup di dunia.
Jenis tanda pada puisi tersebut yang digunakan adalah jenis simbol dan indeks pada kata-kata
yang memiliki makna ‘nikmat’. Jenis tanda yang paling sering digunakan adalah simbol
sesuai dengan konvensi sastra yang berdasarkan kesepakatan bahwa istana, emas, perak,
mutiara, dan perhiasan lainnya adalah bentuk kenikmatan.
Puisi Fii Anhaari al-Jannah
Puisi ini merupakan puisi yang terdiri dari lima bait. Puisi ini memakai bahr kaamil dengan
Zihaf Iḍmaar 17 buah, Zihaf Waqsun 1 buah, Illat al-Qaṭ’ 3 buah, Illat Hużuż 1 buah,
sedangkan sisanya 8 buah yang tidak mengalami perubahan pola taf’ilat-nya. Qafiyat pada
puisi ini adalah ‘bagian dari kata’.
Unsur balagah yang paling dominan pada puisi Fii Anhaari Al-Jannah adalah ilmu ma’ani,
karena dengan unsur tersebut apa yang diungkapkan oleh penyair lebih mudah diterima oleh
pembaca. Hal ini dikarenakan penyair tidak menggunakan kata-kata yang mengandung arti
kiasan agar pengkajiannya terhindar dari kekeliruan dalam pengungkapan makna kata yang
dikehendaki. Unsur ma’ani yang terdapat pada puisi tersebut, yaitu: Kalam Khabar jenis
ṭalabi (meyakinkan pembaca), Iṭnab żikrul khaṣ ba’dal ‘am (menyebutkan kata yang khusus
setelah kata yang umum), Waṣal ((meng-aṭaf-kan), Musawwah (kesesuaian makna sesuai
dengan kata-kata), Faṣal, Iṭnab żikrul khaṣ ba’dal ‘am (menyebutkan kata yang khusus
setelah kata yang umum). Unsur yang paling dominan adalah musawwah.
Unsur balagah lainnya, yaitu bayan, yaitu unusr majaz ‘aqli dan ṭibaq. Unsur selanjutnya
adalah unsur badi’. Jenis unsur saja’ yang terdapat pada puisi tersebut adalah Saja’ (rima)
yang terdapat pada akhir setiap akhir kata. Seperti halnya dengan puisi sebelumnya, puisi Fii
Anhaari Al-Jannah ini pada setiap akhir baitnya memiliki akhiran sama yaitu berupa huruf ‫ﻥن‬
//nun// yang termasuk dalam unsur saja’ sesuai dengan pengertiannya bahwa saja’ adalah
huruf akhir dua fashilah atau lebih pada syair. Kelima kata tersebut adalah ِ‫ﻥن‬ ‫ﻀ َﺎ‬
َ ‫ ﺍاﻟ ْﻔَﻴﯿ‬, ِ‫ﻥن‬
‫ﺼ َﺎ‬
ُ ‫ ﻧُﻘ‬, ِ‫ﻥن‬
‫ ﺍاﻷَْﻟْﺒ َﺎ‬,
‫ﺠْﺘَﻤِﻌ َﺎ‬
ِ‫ﻥن‬ َ‫ ﻳﯾ‬, ِ‫ﻥن‬
‫ ﺑِﺎﻷَْﺫذْﻫﮬﮪھ َﺎ‬. Akan tetapi kelima kata tersebut memiliki arti yang berbeda: “banjir”, “surut”,
“susu”, “menyatu”, dan “benak”. Pengarang puisi sengaja meletakkan kata-kata tersebut di
akhir bait agar tercipta akhiran yang indah. Masing-masing bait pada puisi ini mengandung
unsur saja’, karena pengarang menginginkan sebuah keindahan ungkapan. Hal ini juga
dibuktikan dalam semua puisi yang dibuat olehnya pada buku yang dijadikan penulis sebagai
sumber.
Puisi Fii Anhaari Al-Jannah merupakan puisi dengan makna dan pesan mengenai sungai di
surga beserta kenikmatannya. Nikmat tersebut adalah berupa jenis air yang mengalirinya,
yaitu: air tawar, anggur, madu, dan susu. Keempat jenis air tersebut ketika di dunia memiliki
manfaat masing-masing, sehingga Allah swt menganugerahkan untuk mereka di surga berupa
air yang mengaliri sungai.
Jenis tanda pada puisi tersebut yang digunakan adalah jenis simbol dan ikon pada kata-kata
yang memiliki makna ‘nikmat’. Jenis tanda yang paling sering digunakan adalah simbol
sesuai dengan konvensi sastra yang berdasarkan kesepakatan bahwa air, madu, susu, dan
anggur adalah simbol kenikmatan yang ada di dunia.

Puisi Fii Ṭa’aami Ahli al-Jannah

Tiga puisi…, Hikmatul Aini Maftukhah, FIB UI, 2014


Puisi ini merupakan puisi yang terdiri dari tujuh bait. Puisi ini memakai bahr kaamil dengan
Zihaf Iḍmaar 18 buah, Illat al-Qaṭ’ 7 buah, sedangkan sisanya 17 buah yang tidak mengalami
perubahan pola taf’ilat-nya. Qafiyat pada puisi ini adalah bagian dari kata.
Unsur balagah yang paling dominan pada puisi Fii Ṭa’aami Ahli al-Jannah adalah ilmu
ma’ani, karena dengan unsur tersebut apa yang diungkapkan oleh penyair lebih mudah
diterima oleh pembaca. Hal ini dikarenakan penyair tidak menggunakan kata-kata yang
mengandung arti kiasan agar pengkajiannya terhindar dari kekeliruan dalam pengungkapan
makna kata yang dikehendaki. Unsur ma’ani yang terdapat pada puisi tersebut, yaitu: Kalam
insya’ jenis ṭalabi amr, Iṭnab żikrul khaṣ ba’dal ‘am (menyebutkan kata yang khusus setelah
kata yang umum), Waṣal, Iṭnab żikrul khaṣ ba’dal ‘am (menyebutkan kata yang khusus
setelah kata yang umum), Iṭnab al-Iḍah Ba’dal-Ibham (menyebutkan lafaz yang jelas
maknanya setelah menyebutkan lafaz yang maknanya tidak jelas). Unsur yang paling
dominan adalah Iṭnab żikrul khaṣ ba’dal ‘am.
Unsur selanjutnya adalah unsur badi’. Jenis unsur saja’ yang terdapat pada puisi tersebut
adalah Saja’ (rima) yang terdapat pada akhir setiap akhir kata. Seperti halnya dengan puisi
sebelumnya, puisi Fii Anhaari Al-Jannah ini pada setiap akhir baitnya memiliki akhiran
sama yaitu berupa huruf ‫ ﻥن‬//nun// yang termasuk dalam unsur saja’ sesuai dengan
pengertian nya bahwa saja’ adalah huruf akhir dua fashilah atau lebih pada syair. Kelima
kata tersebut adalah ِ‫ﻥن‬ ‫ﺳِﻤ َﺎ‬
َ‫ﻭو‬ , ِ‫ﻥن‬
‫ ﺍاﻹِْﻳﯾْﻤ َﺎ‬, ِ‫ﻥن‬
‫ﺤ َﺎ‬
ْ ‫ ﺭرَﻳﯾ‬, ِ‫ﻥن‬
‫ ﺍاﻮِﻟْﺪ َﺍا‬, ِ‫ﻥن‬
‫ ﺍاﻟْﻘُﺮ ْﺁآ‬, ِ‫ﻥن‬
‫ ﺍاﻷَْﻣْﺮ َﺍا‬, ِ‫ﻥن‬
‫“ ﺍاﻟﻌَﻴﯿْﻨ َﺎ‬merona, iman,
wewangian, pelayan, janji, dan mata” . Pengarang puisi sengaja meletakkan kata-kata
tersebut di akhir bait agar tercipta akhiran yang indah seperti kedua puisi sebelumnya.
Puisi Fii Anhaari Al-Jannah merupakan puisi dengan makna dan pesan mengenai makanan
yang bisa dinikmati di surga. Nikmat tersebut adalah berupa kebebasan para penghuni surga
untuk menikmati makanan apa saja yang dikehendaki dengan dilayani oleh dayang-dayang.
Semua itu anugerah dari Allah swt atas kesempurnaan iman semasa hidup di dunia.
Jenis tanda pada puisi tersebut yang digunakan adalah jenis simbol dan indeks pada kata-kata
yang memiliki makna ‘nikmat’. Jenis tanda yang paling sering digunakan adalah simbol
sesuai dengan konvensi sastra yang berdasarkan kesepakatan bahwa emas, dayang, dan
kelezatan makanan adalah bentuk kenikmatan bagi penghuni surga.
Puisi Ibnu Qayyim Al-jauziyah merupakan puisi puisi yang lebih setia pada bahr kaamil
sebab ketiga puisi yang dianalisis oleh penulis semuanya termasuk dalam bahr tersebut. Dari
102 taf’ilat, ada 36 setia pada pola dasar, sedangkan 68 taf’ilat lainnya mengalami perubahan.
Perubahan tersebut adalahh 49 buah Zihaf Iḍmaar, 1 buah Zihaf Waqsun, 15 buah Illat al-
Qaṭ’, dan 1 buah Illat Hużuż. Banyaknya perubahan taf’ilat yang terdapat pada ketiga puisi
di atas menunjukkan bahwa puisi ini tidak setia dengan pola dasar. Puisi Fii Binaai al-Jannah
dari 30 taf’ilat hanya 11 buah yang setia dengan pola dasar bahr kaamil. Puisi Fii Anhaari Al-
Jannah dari 30 taf’ilat hanya 8 buah yang setia dengan pola dasar, sedangkan puisi Fii
Ṭa’aami Ahli al-Jannah dari 42 taf’ilat hanya 17 buah yang setia dengan pola dasar. Fii
Anhaari Al-Jannah lebih banyak memiliki banyak jenis perubahan pola, yaitu zihaf iḍmaar,
zihaf waqsun,illat al-qaṭ’, illat hużuż,
Tema sentral ketiga puisi dalam penelitian ini ialah mengenai kenikmatan surga, dengan
perincian hal-hal apa saja yang Allah swt anugerahkan kepada para ahli surga, yaitu berupa
bangunan yang indah, sungai yang indah, dan banyaknya jenis makanan yang tersedia. Puisi
Fii Binaai al-Jannah menggambarkan tentang bentuk bangunan dengan bermacam perhiasan
yang menghiasinya. Puisi Fii Anhaari Al-Jannah menggambarkan jenis sungai yang mengalir
di surga yang menjadikan penghuninya begitu menikmati, sedangkan puisi Fii Ṭa’aami Ahli
al-Jannah menggambarkan segala jenis makanan ahli surga yang kenikmatannya luar biasa
yang sebagian besar menggunakan tanda jenis simbol.

Tiga puisi…, Hikmatul Aini Maftukhah, FIB UI, 2014


Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu dan setelah melakukan analisis struktural-semiotik
terhadap tiga puisi kataya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yaitu: Fii Binaai al-Jannah ‘Bangunan
Surga’, Fii Anhaari Al-Jannah “Sungai-sungai di Surga’, dan Fii Ṭa’aami Ahli al-Jannah
‘Hidangan Surga’, penulis membuat kesimpulan sebagai berikut.
Puisi Ibnu Qayyim Al-jauziyah merupakan puisi puisi yang lebih setia pada bahr kaamil
sebab ketiga puisi yang dianalisis oleh penulis semuanya termasuk dalam bahr tersebut. Dari
102 taf’ilat, ada 36 setia pada pola dasar, sedangkan 68 taf’ilat lainnya mengalami perubahan.
Bentuk ketiga puisi tersebut adalah bentuk puisi yangs sesuai dengan kaidah puisi Arab klasik.
Pola ketiga puisi berbentuk Bahr Kaamil Taam, yang terdiri dari enam taf’ilat dengan pola
‫ ﻡمﺕتﻑفﺍاﻉعﻝلﻥن‬, ‫ ﻡمﺕتﻑفﺍاﻉعﻝلﻥن‬,‫ ﻡمﺕتﻑفﺍاﻉعﻝلﻥن‬//mutafaa’ilun, mutafaa’ilun, mutafaa’ilun// dengan kombinasi
zihaf dan ‘illat yang sesuai dengan pola/wazan tersebut. Pengarang menggunakan Bahr
Kaamil dengan alasan bahwa bahr tersebut mudah dalam membuatnya dan pembaca mudah
dalam memahaminya, karena taf’ilat dan harakat-nya sempurna. Selain itu, jenis bahr ini
tidak identik jenis puisi tertentu, akan tetapi cocok untuk segala jenis puisi, sehingga jenis
bahr ini banyak digunakan oleh penyair.
Tema sentral ketiga puisi dalam penelitian ini ialah mengenai nikmat, dengan perincian hal-
hal apa saja yang Allah swt anugerahkan kepada para ahli surga, yaitu berupa bangunan yang
indah, sungai yang indah, dan banyaknya jenis makanan yang tersedia. Puisi Fii Binaai al-
Jannah menggambarkan tentang bentuk bangunan dengan bermacam perhiasan yang
menghiasinya. Puisi Fii Anhaari Al-Jannah menggambarkan jenis sungai yang mengalir di
surga yang menjadikan penghuninya begitu menikmati, sedangkan puisi Fii Ṭa’aami Ahli al-
Jannah menggambarkan segala jenis makanan ahli surga yang kenikmatannya luar biasa
yang sebagian besar menggunakan tanda jenis simbol.
Pengarang cukup bagus dalam menyampaikan tema nikmat surga dalam ketiga puisi di atas.
Hal ini bisa dilihat dari unsur balagah yang paling dominan, yaitu ma’anii. Unsur tersebut
paling sering digunakan dalam mengungkapkan isi yang terkandung dalam ketiga puisi
dengan tujuan agar para pembaca lebih cepat memahami puisi dan menangkap pesan apa
yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca tanpa terkesan adanya makna yang
dilebih-lebihkan, namun menyampaikan sesuatu hal sesuai dengan keadaan aslinya.
Nikmat surga yang disampaikan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah merupakan balasan atas apa
yang telah dikerjakan manusia selama di dunia dan anugerah dari Allah swt atas
kesempurnaan iman semasa hidup di dunia. Jenis tanda pada ketiga puisi tersebut yang
digunakan adalah jenis simbol dan indeks pada kata-kata yang memiliki makna ‘nikmat’.
Jenis tanda yang paling sering digunakan adalah simbol sesuai dengan konvensi sastra yang
berdasarkan kesepakatan bahwa emas, dayang, dan kelezatan makanan adalah bentuk
kenikmatan bagi penghuni surga.

Saran
Penelitian ini diharapkan menjadi dasar bagi penelitian lanjutan terhadap puisi-puisi Ibnu
Qayyim al-Jauziyah yang memiliki keunikan tersendiri sebagaimana yang telah penulis
temukan dalam penelitian ini. semoga penelitian terhadap puisi Ibnu Qayyim al-Jauziyah
tetap berlanjut guna mendapatkan keunikan dan pesan yang terkandung di dalamnya serta
menambah khazanah kesusastraan Bahasa Arab.

Daftar Referensi
Audah, Ali. Konkorplansi Qur’an: Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur’an. Jakarta:
PT. Intermasa. 1991.

Tiga puisi…, Hikmatul Aini Maftukhah, FIB UI, 2014


Departemen Agama RI. Al-Qur’anul Karim Special for Woman. Bandung: Syamil
Qur’am SYGMA, 2007.
Hasyim, Ahmad. Jauharul Balaagah Fii al-Ma’aani wa al-Bayaan, wa al-Badii’. Beirut:
Dar Al-Kotob Al-‘Ilmiyah. 1971
Ilham, Masturi dan Asmu’i Taman. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
2012. Cetakan ke-tujuh. Terjemahan Min A’lam As-Salaf karya Ahmad Farid.
Jabrohim, Teori Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014, hal. 85.
Jarim, Ali dan Amin, Musthafa. Terjemahan Al-Balaghatul Waadhihah; Mujiyo
Nurkholis dan Bahrun Abu Bakar, penerjemah, Bandung: Penerbit Sinar Baru Algesindo.
2010.
Jauziyah, Ibnu Qayyim. Al-Kafiyah al-ṣafiyah fi al-Intisar lil-Firqah al-Najiyah. Beirut:
al-Maktaba al-Assrya. 2004.
2008
Kutha, Nyoman Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2004.
Lesmana, Maman. Kritik Sastra Arab dan Islam. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia. 2010.
Muzakki, Akhmad. Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Pradopo, Rahmat Djoko. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural
Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1990.
Selden, Raman. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Rachmat Djoko Pradopo,
penerjemah, Yogyakarta: Gadjah Mada University. 1991. Terjemahan A Readers Guide
to Contemporary Literary Theory.
Shofwan, M. Sholihuddin. Pengantar Memahami Nadzom Jauharul Maknun. Juz
pertama. Jombang: Darul-Hikmah. 2008.
Surga Kenikmatan yang Kekal, Mahir Ahmad Ash-Syufiy, 2007, Solo: Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri
Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya-Girimukti Pasaka. 1998
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. Ed. J. Milton Cowan. Beorut:
Librairie Du Liban. 1974.
• Jurnal
Yusuf, H. A. Alim, Abdurrahim Kurdi, dkk. An-nadwah al-‘ilmiyah al-‘Aalamiyah. Kairo:
Atase Pendidikan Nasional KBRI Kairo. 2010.

Tiga puisi…, Hikmatul Aini Maftukhah, FIB UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai