Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kejahatan semakin sering terjadi dizaman modern ini, salah satu kejahatan
yang sering terjadi adalah kasus pembunuhan, pembunuhan ini terjadi dengan
beberapa motif dan beberapa cara. Seperti kasus penganiayaan yang menyebabkan
kematian, kasus perampokan yang menyebabkan korban meninggal, kasus
bembunuhan dengan cara diracun dan kasus-kasus pembunuhan dengan cara
lainnya. Pembunuhan dalam hukum Islam merupakan suatu perbuatan yang

dilarang. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 33:

‫وم ا َف َق ْد َج َع ْلنَ ا لَِولِيِّ ِه‬ ِ ِ ِ


ً ُ‫س الَّيِت َح َّرَم اللَّهُ إاَّل ب احْلَ ِّق ۗ َوَم ْن قُت َل َمظْل‬
َ ‫الن ْف‬
َّ ‫َواَل َت ْقُتلُ وا‬

ُ ‫ف يِف الْ َقْت ِل ۖ إِنَّهُ َكا َن َمْن‬


‫ص ًورا‬ ْ ‫ُس ْلطَانًا فَاَل يُ ْس ِر‬
Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah
(membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan siapa saja yang
dibunuh secara zalim, maka sungguh. Kami telah memberi kekuasaan kepada
walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan.
Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.1
Hukuman bagi pelaku pembunuhan telah dijelaskan dalam Qur’an surat Al-

Baqarah ayat 178:

ۚ ٰ ‫ َوٱُأْلنىَث ٰ ِب ٱُأْلنىَث‬ ‫يَٰ َٓأهُّي َ ا ٱذَّل ِ َين َءا َمنُ و ۟ا ُك ِت َب عَلَ ْيمُك ُ ٱلْ ِق َص ُاص ىِف ٱلْ َق ْتىَل ۖ ٱلْ ُح ُّر ِب ٱلْ ُح ّ ِر َوٱلْ َع ْب دُ ِبٱلْ َع ْب ِد‬

ِ ‫فَ َم ْن ُع ِف َى هَل ُۥ ِم ْن َأ ِخي ِه ىَش ْ ٌء فَٱ ِت ّ َبا ٌۢع ِبٱلْ َم ْع ُر‬


‫ ْح َسٰ ٍن ۗ َذٰ كِل َ خَت ْ ِفي ٌف ِّمن َّ ِبرّمُك ْ َو َرمْح َ ٌة‬ ‫وف َوَأ َدٓا ٌء لَ ْي ِه‬
‫ِإ ِإِب‬
‫اب َأ ِل ٌمي‬ٌ ‫ۗ فَ َم ِن ٱ ْع َتدَ ٰى ب َ ْعدَ َذٰ كِل َ فَهَل ُۥ عَ َذ‬

1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Pustaka Abadi Bangsa, 2012),
hlm. 284

1
2

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu

(melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang

merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya,

perempuan dengan perempuan. Tetapi siapa saja yang memperoleh maaf

dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar

diat (tebusan) kepadanya dengan baik pula. Yang demikian itu adalah

keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa saja yang melampaui batas

setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.2

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami, bahwa Allah telah

mengharamkan untuk melakukan pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan

untuk membunuhnya, adapun hukuman bagi seseorang yang melakukan

pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh adalah

qishash. Jika pelaku mendapatkan pemaafan dari keluarga korban maka pelaku

diwajibkan membayar diyat kepada keluarga korban. Yang menjadi permasalahan

disini, adalah bagaimana hukuman bagi orang yang turut serta dalam tindak

pidana pembunuhan.

Ulama berbeda pendapat mengenai hukuman bagi pelaku turut serta dalam

tindak pidana pembunuhan. Diantara ulama yang berbeda pendapat mengenai

permasalahan ini adalah Imam Malik dan Imam Syafi’i. Menurut Imam Syafi’i

hukuman bagi pelaku turut serta dalam pembunuhan adalah ta’zir dan ditahan

(dipenjara) dijatuhi perbuat pelaku kitabnya yaitu Al-Umm:

2
Ibid., hlm. 26
3

‫س َم ا‬ ٍ ‫َي َحْب‬َّ ‫الر ُج ُل لِ َّلر ُج ِل َر ُجاًل أ‬ ِ ‫مِح‬ ِ ِ َّ ‫ال‬


َّ ‫س‬
َ َ‫ َو إ َذا َحب‬: - ُ‫ َر َهً اهلل‬- : )‫الش افع ُي‬ َ َ‫(ق‬
‫اع ِه لَهُ َو َرفَ َع حِلْيَتَ هُ َع ْن َح ْل ِق ِه‬
ِ ‫ضج‬ ِ ِ ٍ ِِ
َ ْ ِ‫َكا َن بكتَاف أ َْو َربْط الْيَ َديْ ِن أ َْو إِ ْم َساك ِه َما أ َْو إ‬
‫َف َقَتلَ هُ اآْل َخ ُر قُتِ َل بِ ِه الْ َقاتِ ُل َو اَل قَتِ َل َعلَى الَّ ِذي َحبَ َس هُ َو اَل َع ْق َل َو يُ َع َّزُر َو‬
.‫َن َه َذا مَلْ َي ْقتُ ْل َو إِمَّنَا حُيْ َك ُم بِالْ َقْت ِل َعلَى الْ َقاتِلِنْي َ َو َه َذا َغْي ُر قَات ٍل‬
3 ِ
َّ ‫حُيْبَس؛ أِل‬
ُ

Imam Syafi’i rahimahullahu berkata; “dan ketika seorang laki-laki menahan


(memegangi) seseorang laki-laki untuk orang lain, bagai manapun bentuk
penganiayaan nya apakah dengan mengikatnya atau memegang kedua tangannya
atau mengikatnya dan memegang kedua tangannya atau membaringakanya
(pelaku) kepada korban dan dia (pelaku) mengangkat janggutnya dari
kerongkongan. Lalu laki-laki ituh di bunuh oleh orang lain maka di bunuh orang
yang membunuhnya (di qishash) dengan sebeb membunuh korban dan tidak
dibunuh (tidak di qishash) orang yang memeganginya dan tidak ada denda
baginya dan dia di hukum ta’zir dan di tahan (penjara). Karna sesungguhnya
dalam perkara ini dia (orang yang menahan) bukan pembunuh dan apabila
menghukumi sebuah pembunuhan atas orang-orang yang membunuh maka orang
ini (orang yang menahan) bukan sebagi pembunuh.
Sedangkan menurut Imam Malik hukuman bagi pelaku turut serta dalam

tindak pembunuhan dengan hukuman qishash dan dipenjara selama satu tahun

pelaku sebagaimana jelaskan didalam kitab Al- Muwatta:

‫ اَنَّهُ اِ َّن‬. ُ‫ت َم َكنَ ه‬ ْ َ‫ َفي‬.‫الر ُج َل لِ َّلر ُج ِل‬


ُ ‫ض ِربُهُ َفيَ ُم ْو‬ ُ ‫الر ُج ِل مُيْ ِس‬
َّ ‫ك و‬ ٌ ِ‫قَ َال َمال‬
َّ ‫ ىِف‬،‫ك‬

‫اَْم َس َكهُ َوُه َو َي َرى اَنَّهُ يُِريْ ُد َقْتلَ هُ قُتِاَل بِ ِه مَجِ ْي ًع ا َو إِ َّن اَْم َس َكهُ َو ُه َو َي َرى أَنَّهُ إِمَّنَا‬

‫ َو‬،‫ فَاِنَّهُ يُ ْقتَ ُل الْ َقاتِ ُل‬،‫ اَل َي َرى اِنَّهُ َع َم َد لَِقْتلِ ِه‬.‫َّاس‬ ِ ِ ‫ض ِر‬
ُ ‫ب ب ه الن‬
‫الض َّر مِب‬
ُ ْ َ‫ب َا ي‬ َ َ ‫يُِريْ ُد‬

3
Abi Abdilah Muhammad bin Idris as-Syafi’i, al-Umm, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ijtima’iyah
t.t), hlm. 26.
4

‫ َو اَل يَ ُك ْو ُن َعلَْي ِه‬،ُ‫ َو يُ ْس َج ُن َس نَةً أِل َنَّهُ أ َْم َس َكه‬،‫َش َّد الْعُ ُق ْوبَ ِة‬
َ‫كأ‬ُ ‫ب الْ ُم ْم ِس‬
ُ َ‫َي َع اق‬
4
.‫الْ َقْت ُل‬

Imam Malik berkata, di dalam kasus seorang laki-laki yang menahan


(memegang) seseorang untuk seseorang, kemudian orang tersebut memukul orang
yang ditahan tersebut sehingga orang yang dipukul meninggal ditempat. Bahwa
sesunggnguhnya dalam perkara ini. Sesunguhnya orang yang menahannya dan
adapun orang yang menahannya itu tahu bahwa orang tersebut itu ingin
membunuh koraban, maka keduanya (yang menahan dan yang memukul) dibunuh
(qishash) dengan sebab kejadian ini semua”. Apabila dia menahannya dengan
beranggapan hanya ingin memukulnya sebagaimana orang lain memukulnya,
tampa berpikir ingin sengaja membunuhnya, maka dibunuh orang yang di tahan
tersebut oleh pembunuh, dan orang yang menahannya dikenakan hukuman berat
yaitu di penjara satu tahun karna menahannya, dan tidak di kenakan hukuman
mati.
Berdasarkan penjelasan diatas terdapat perbedaan pendapat antara Imam

Malik dan Imam Syafi’i mengenai hukuman bagi pelaku turut serta dalam tindak

pidana pembunuhan. Perbedaan ini dikarenakan rujukan dalam mengambil hukum

antara Imam Malik dan Imam Syafi’i berbeda dimana Imam Syafi’i dalam

menentukan suatu hukum Imam Syafi’i merujuk kepada Al-Qur’an, Sunnah, Ijma,

dan Qiyas. Ia tidak mengambil aqwalu al-shahabah (pendapat para sahabat

sebagai rujukan). Menurutnya pendapat sahabat itu adalah hasil ijtihad yang

mengandung kemungkinan salah dan benar. Ia pun meninggalkan praktek Istihsan

yang dianut Imam Malik dan Imam Hanafi.5

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk

mengkaji masalah perbedaan pendapat mengenai hukuman bagi pelaku turut serta

dalam tindak pidana pembunuhan secara lebih mendalam kedalam sebuah skripsi
4
Imam Anas Ibnu Malik, Almuwattha, (Libanon: Daar al kotob al Ilmiyah, 2006), hlm. 488-489.
5
S. praja juhaya, Filsafat Hukum Antar Mazhab -Mazhab Barat Dan Islam, (Sahifa, Bandung,
2015), hal. 46
5

yang berjudul “Studi Komparatif Tentang Metodologi Imam Imam Malik (93-

179) Dan Imam Syafi’i (150-204H) Dalam Menetapkan Hukum Pelaku Turut

Serta Dalam Tindak Pidana Pembunuhan”.

B. Rumusan Masalah

Dalam menentukan hukuman bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan, terdapat perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Syafi’i.

Menurut pandangan Imam Malik, hukum bagi pelaku turut serta dalam tindak

pidana pembunuhan dengan hukuman qishash dan hukuman penjara selama satu

tahun sedangkan menurut Imam Syafi’i, hukum bagi pelaku turut serta dalam

tindak pidana pembunuhan adalah di ta’zir dan ditahan (dipenjara) berdasarkan

perbuatan pelaku Berdasarkan dari rumusan masalah tersebut, maka dapat disusun

pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan

menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i?;

2. Bagaimana metode istinbat Imam Malik dan Imam Syafi’i mengenai

hukuman bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan?; dan

3. Bagaimana persamaan dan perbedaan pendapat Imam Malik dan Imam

Syafi’i mengenai hukuman bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan dan dihubungkan dengan tindak pidana pembunuhan dalam

kitab undang- undang hukum pidana di Indonesia?


6

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada pokok permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan

untuk:

1. Untuk mengetahui hukuman bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i;

2. Untuk mengetahui metode istinbat Imam Malik dan Imam Syafi’i mengenai

hukuman bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan.; dan

3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pendapat Imam Malik dan

Imam Syafi’i mengenai hukuman bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan dan dihubungkan dengan tindak pidana pembunuhan dalam

kitab undang- undang hukum pidana di Indonesia.

D. Kegunan Penelitian

Penelitian ini mempunyai kegunaan yaitu dapat memberi pemahaman lebih

luas kepada masyarakat mengenai bagimana hukuman bagi pelaku turut serta

dalam tindak pidana pembunuhan dan masyarakat dapat mengetahui bagaimana

perbandingan mengenai hukuman bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan, kemudian juga dapat mengetahui pendapat siapa yang paling kuat

diantara Imam Malik dan Imam Syafi’i, dalam permasalahan penjatuhan

hukuman kepada pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan.

E. Kerangka Pemikiran

1. Tinjauan Pustaka
7

Sebagaimana yang tertera didalam latar belakang masalah, tulisan ini

mengkaji perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Ibnu Imam syafi’i

mengenai hukum pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan.

Berdasarkan pencarian penelitian yang terkait dengan penelitian yang akan

penulis kaji, sejauh ini penulis menemukan karya tulis yang berkaitan dengan

topik yang hendak ditulis pada penelitian ini.

Skripsi Ahmad Kurniadi Zaini Fakultas Hukum Universitas Hassanudin

Makassar, dengan judul” Turut Serta Dalam Tindak Pidana Pembunuhan

Berencana (Studi Kasus Putusan Nomor 211/Pid.B/2011/PN. MKS)”, tahun 2011.

Skripsi ini meneliti mengenai putusan Pengadilan mengenai pelaku turut serta

dalam tindak pidana pembunuhan dimana pelaku langsung dan pelaku turut serta

dalam tindak pidana dijatuhi dengan hukuman yang berbeda-beda, dimana pelaku

asli atau pelaku langsung dihukumi dengan hukuman 10 tahun penjara, dan pelaku

turut serta dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan 2 tahun penjara. Hukuman ini

sesuai isi putusan dari Mahkamah Agung nomor 211/Pid.B/2011/PN.Mks.6

Skripsi Ahmad Farid Zamani dengan judul “Tindak Pidana Penyertaan

Pembunuhan Prespektif Hukum Islam, (analisis putusan Mahkamah Agung no.

595 K/Pid/2012), t 2012. Skripsi membahas mengenai substansi kasus tindak

pidana penyertaan pembunuhan yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung

nomor 959 K/Pid/2012 yang memvonis Supri Lubis, Daud Siregar dan Ucok

Lubis dengan 12 tahun penjara. Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa

6
Kurniadi Ahmad, Turut Serta Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Studi Kasus
Putusan Nomor 211/Pid.B/2011/PN. MKS, Fakultas Hukum Universitas Hassanudin Makassar:
2011
8

hukum Islam memandang penyertaan pembunuhan sebagai suatu bentuk

kejahatan. Prespektif hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut

menyatakan bahwasanya hukuman yang dijatuhkan oleh hakim agung tidak sesuai

dengan hukum Islam.7

Skripsi Emi Wulan Sari dengan judul “Tinjauan Yuridis Turut Serta

Melakukan Tindak Pidana Penganiayaan Oleh Anak (Studi Kasus Pusan Nomor

790/PID.B/2013/PN. Mks), tahun 2015. Skripsi ini menyimpulkan bahwa

penerapan hukum pidana materil pada pelaku turut serta melakukan tindak pidana

penganiayan yang dilakukan oleh terdakwa Muhamad Rizky Rival telah sesuai

dengan dengan Undang-Undang yang berlaku dimana putusan yang di jatuhkan

berdasarkan alat bukti berupa hasil visum dan keterangan para saksi. 8

Berdasarkan ketiga skripsi di atas, dapat digaris bawahi bahwa skripsi

tersebut hanya mengkaji masalah hukuman turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan dari segi hukum positif saja dan yang satu mengkaji antara hukum

positif dengan hukum Islam, tetapi tidak terlalu terperinci. Dengan demikian

menurut sepengetahuan saya belum ada yang membahas tentang hukuman turut

serta dalam pembunuhan yang murni mengkaji dari pandapat Imam Malik dan

Imam Syafi’i.

2. Kerangka Teori
7
Zamani Ahmad Farid Zamani, Tindak pidana penyertaan pembunuhan prespektif hukum Islam,
analisis putusan Mahkamah Agung no. 595 K/Pid/2012, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: 2012
8
Emi Wulan, Tinjauan Yuridis Turut Serta Melakukan Tindak Pidana Penganiayaan Oleh Anak
(Studi Kasus Pusan Nomor 790/PID.B/2013/PN. Mks), Fakultas Hukum Universitas Hassanudin
Makassar: 2015
9

Dalam proses membandingkan dua pendapat antara pendapat Imam Malik

dan Imam Syafi’i dalam hukum turut serta dalam tindak pidana pembunuhan

terdapat perbedaan pendapat mengenai hukuman bagi pelaku turut serta dalam

tindak pidana pembunuhan. Imam Malik menghukumi pelaku turut serta dalam

tindak pidana pembunuhan dengan hukuman qishash dan di penajara selama satu

tahun sedangkan Imam Syafi’i menghukumi pelaku dengan hukuman ta’zir dan

ditahan (penjara), penulis akan menganalisa perbedaan pendapat tersebut dengan

menggunakan landasan kaidah fiqhiyyah:

‫دها‬ ِ ‫مِب‬
َ ‫اَأل ُُم ْوُر ََقاص‬

Segala sesuatu sesuai dengan (niat) maksudnya.9

Kaidah ini didasarkan pada firman Allah SWT.

‫الد ْنيَا نُ ْؤتِ ِه‬ ِِ ِ ِ


َ ‫وت إِاَّل ب ِإ ْذن اللَّه كتَابًا ُم َؤجَّاًل ۗ َوَم ْن يُ ِرْد ثَ َو‬
ُّ ‫اب‬ ٍ ‫َوَما َك ا َن لَِن ْف‬
َ ُ‫س أَ ْن مَت‬
ِ ِ ِِ ِ ِ ِ
َ ‫اب اآْل خَرة نُ ْؤته مْن َها ۚ َو َسنَ ْج ِزي الشَّاك ِر‬
‫ين‬ َ ‫مْن َها َوَم ْن يُِرْد ثَ َو‬
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.
Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. 10(Q.S Ali
Imran:145)

Kemudian kaidah tersebut didasarkan pada sabda Nabi SAW:


9
Bodi Abdilah dan Beni Ahmad Saebani, Perbandingan Kaidah Fiqhiyah, (Bandung: Pustaka
Media, 2018), hlm. 164.
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Pustaka Abadi Bangsa,
2012), hlm. 101
10

‫اهلل َور ُس ولِِه‬ ٍ


ِ ‫امريء ما َنوى فَمن َكانَت ِهجرتُه إىل‬ ‫ات وإِمَّن ا لِ ُك ِّل‬
ِ َّ‫بالني‬
ُ َْ ْ ْ َ َ َ ‫إمَّنَا‬
ِّ ‫األعمال‬
ِ ٍ ِ ِ ِ َ‫اهلل ورسولِِه ومن َكان‬
ِ
ُ‫ت ه ْجَرتُهُ ل ُد ْنيَا يُصْيبُها أو امرأة َيْنك ُح َها ف ِه ْجَرتُه‬
ْ ْ َ ْ ُ َ ‫ف ِه ْجَرتُهُ إىل‬
ِ ‫إىل ما هاجر‬
‫إليه‬ ََ َ
Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-
Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena
mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang
ia tuju.” (HR Bukhari Muslim dan Umar bin Khaththab).11
Berdasarkan kaidah fiqhiyah tersebut bahwasanya niat yang terkandung

dalam hati sesorang dalam melakukan suatu amal perbuatan menjadi kriteria yang

menentukan nilai dan setatus hukum amal yang diperbuat oleh seseorang.

F. Langkah – Langkah Penelitian

Setiap penelitian memerlukan metode dan teknik pengumpulan data tertentu

sesuai dengan masalah yang diteliti. Penelitian adalah sarana yang digunakan oleh

manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan

demi kepentingan masyarakat luas.

1. Metode Penelitian

Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research),

maka semua kegiatan penelitian ini dipusatkan pada kajian terhadap data dan

buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan ini.

2. Sumber Data

Bodi Abdilah dan Beni Ahmad Saebani, Perbandingan Kaidah Fiqhiyah, (Bandung: Pustaka
11

Media, 2018), hlm. 164.


11

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari bahan primer, bahan sekunder

dan bahan tersier.

a. Bahan utama (primer) dalam hal ini peneliti mengambil sumber dari dua kitab

yang berbeda yaitu kitab karya Imam Malik Al-Muwaththa. Dan kitab karya

Imam Syafi’i Al-Umm. Data yang peneliti ambil hanyalah kutipan dari sebuah

pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i mengenai hukuman turut serta dalam

pembunuhan.

b. Bahan pendukung (sekunder) adalah data yang berasal dari karya tulis

seorang yang berkaitan dengan pendapat Imam Malik maupun Imam Syafi’i.

c. Ketiga, bahan tersier, yaitu dengan menggunakan bahan kamus yang dapat

membantu dalam menerjemahkan istilah-istilah asing dan buku-buku yang

berkaitan dengan skripsi ini.

3. Jenis penelitian

Penulisan penelitian ini dikategorikan dalam penelitian kepustakaan (library

research), yaitu sebuah penelitian yang menitik beratkan pada usaha pengumpulan

data dan informasi dengan bantuan segala material yang terdapat di dalam ruang

Perpustakaan maupun di luar Perpustakaan. Seperti buku-buku, majalah, naskah-

naskah, catatan-catatan, multimedia dan lain sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan data

Menggunakan proses studi kepustakaan dengan mengumpulkan, membaca,

menelaah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i.

5. Analisis Data
12

Setelah semua data terkumpul, selanjutnya akan diolah dan dianalisa dengan

menggunakan metode “Deskriptif Comparative” maksudnya, data hasil analisa

dipaparkan sedemikian rupa dengan cara membandingkan pendapat-pendapat

yang ada disekitar masalah yang dibahas. Baik yang memiliki nuansa pemikiran

yang sama atau bahkan yang sangat bertentangan.


13

BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG TURUT SERTA DALAM TINDAK

PIDANA PEMBUNUHAN

A. Pengertian dan Syarat-syarat Keturutsertaan dalam Tindak Pidana

Pembunuhan

Suatu jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya oleh

beberapa orang. Apabila diperbuat oleh beberapa orang bentuk-bentuk kerja sama

antara mereka tidak lebih dari empat:

1. Pembuat melakukan jarimah bersama-sama orang lain (memberikan

bagiannya dalam melaksanakan jarimah). Artinya secara kebetulan

melakukan bersama-sama.

2. Pembuat mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan

jarimah.

3. Pembuat menghasut (menyuruh) orang lain untuk melakukan jarimah.

4. Memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan

berbagai cara, tanpa turut berbuat.12

12
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), hlm.
136.

13
14

Para fuqaha didalam hukum pidana Islam, membedakan penyertaan ini dalam

dua bagian, yaitu: turut berbuat langsung (isytirak-mubasyir), orang yang

melakukannya disebut syarik mubasyir, dan turut berbuat tidak langsung (isytirak

ghairul mubasy irisytirak bit-tasabbubi), orang yang melakukannya disebut syarik

mutasabbib. Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah kalau orang pertama

menjadi kawan nyata dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan orang kedua

menjadi sebab adanya tindak pidana, baik karena janji-janji atau menyuruh,

menghasut atau memberi bantuan. Tetapi tidak ikut serta secara nyata dalam

melaksanakannya. Di sini akan dijelaskan lebih lanjut tentang dua pembagian

pernyataan yakni turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung.13

B. Perhatian Para Fuqaha Terhadap Masalah Keturutsertaan dalam

Tindak Pidana Pembunuhan

Harus dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masalah keturut sertaan para

fuqaha’ hanya mencermati masalah keturutsertaan langsung (isytirakmubasyir)

dari pada masalah keturutsertaan tidak langsung (isytirak bi-attasabbub). Hal ini

disebabkan dua hal berikut:

Sebab pertama, para fuqaha’ hanya memusatkan perhatian mereka terhadap

hukum-hukum pidana yang bentuk ukuran hukumannya telah ditentukan oleh

syara’, yaitu semua tindak pidana hudud dan qishash, karena keduanya adalah

tindak pidana yang bersifat tetap, tidak bisa dirubah. Selain itu, hukuman-

hukumannya telah ditetapkan, tidak bisa ditambah atau dikurangi.

13
Topo Santoso, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 124.
15

Adapun pada tindak pidana ta’zir para fuqaha kurang memperhatikannya dan

tidak menyusun hukuman-hukumanya secara khusus karana pada umumnya

tindak pidana-tindak pidana ta’zir tidak bersifat tetap dapat berubah berdasrkan
16

perubahan tempat dan waktu serta perbedaan sudut pandang.

Sebab kedua, kaidah (prinsip) umum dalam hukum Islam menetapkan bahwa

hukuman yang telah ditentukan hanya dijatuhkan kepada orang yang melakukan

tindak pidana secara langsung, bukan kepada pelaku tidak langsung. Kaidah ini

diterapkan oleh Imam Abu Hanifah dengan sangat teliti.

Para fuqaha yang lain mengecualikan kaidah tersebut pada tindak pidana

yang lain, yaitu tindak pidana pembunuhan dan pelukaan. Mereka beralasan

bahwa tindak pidana tersebut sesuai dengan tabiatnya dapat dilakukan dengan

langsung dan tidak langsung. Jika kaidah tersebut hanya diterapkan atas pelaku

langsung (onmiddellijke daders), hukuman yang telah ditentukan itu tidak bisa

dijatuhkan kepada pelaku tidak langsung, padahal ia juga turut melakukan unsur

material tindak pidana, seperti pelaku langsung. Akan tetapi, para fuqaha

membatasi pengecualian ini hanya kepada para pelaku langsung. Adapun para

pelaku tidak langsung tunduk terhadap kaidah umum tersebut.

Jadi, berdasarkan kaidah umum tersebut, pelaku tidak langsung penghasut,

misalnya apabila turut melakukan tindak pidana yang diancamkan hukuman

tertentu, ia tidak dikenai dengan hukuman tersebut sebab hukuman tersebut hanya

diancamkan kepada pelaku langsung. Artinya, keturutsertaan tidak langsung

termasuk tindak pidana ta’zir, baik pidananya itu hudud, qishash, maupun ta’zir.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami mengapa para fuqaha membahas

keturut sertaan langsung tanpa membahas secara khusus persoalan keturutsertaan

tidak langsung sebab pelaku langsung akan dijatuhi hukuman hudud dan qishash.

Berbeda dengan pelaku tidak langsung yang hanya dijatuhi hukuman ta’zir karena
17

perbuatannya itu dikategorikan pidana ta’zir meskipun keturutsertaan tidak

langsung itu dalam tindak pidana hudud dan qishash.

C. Syarat-syarat Umum Keturutsertaan dalam Tindak Pidana Pembunuhan

Untuk mengkategorikan keturutsertaan baik langsung maupun tidak langsung

sebagai tindak pidana, ada dua syarat umum yang harus terdapat didalamnya.

Pertama, pelaku lebih dari satu orang, jika pelaku hanya satu orang saja,

maka tidak ada istilah keturutsertaan langsung atau tidak langsung.

Kedua, para pelaku dihubungkan kepada suatu perbuatan yang dilarang yang

dijatuhi hukuman atas pelanggarannya. Jika perbuatan yang dihubungkan

kepadanya tidak demikian, berarti tidak ada tindak pidana dan tidk ada istilah

keturutsertaan14

D. Bentuk-bentuk Keturutsertaan dalam Tindak Pidana Pembunuhan

1. Keturut sertaan langsung

Pada dasarnya, keturut sertaan langsung baru terdapat apabila orang-orang

yang memperbuat jarimah-jarimah dengan nyata lebih dari satu orang atau yang

biasa disebut dikalangan sarjana-sarjana dengan “berbilangnya pembuat asli”

(made daders).

Turut berbuat langsung dapat terjadi, mana kala seorang melakukan sesuatu

perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah yang sudah

cukup disifati sebagai maksiat, yang dimaksudkan untuk melaksanakan jarimah

itu. Dengan istilah sekarang ialah apabila ia telah melakukan percobaan, baik

jarimah yang diperbuatnya itu selesai atau tidak, karena selesai atau tidaknya
14
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Terjemah. Ali Yafi, (Bogor: PT
Kharisma Ilmu, 1996), hlm. 36.
18

sesuatu jarimah tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai orang yang turut

berbuat langsung. Pengaruhnya hanya terbatas pada besarnya hukuman, yaitu

apabila jarimah yang diperbuatannya itu selesai, sedang jarimah itu berupa

jarimah had maka pembuat dijatuhi hukuman had, dan kalau tidak selesai maka

hanya dijatuhi hukuman ta'zir.15

Mayoritas fuqaha’ membedakan antara tanggung jawab pelaku langsung pada

kasus kebetulan (tawafuq) dan kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya

(tamalu’). Pada kasus “kebetulan”, setiap pelaku langsung hanya bertanggung

jawab atas perbuatannya sendiri dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan

orang lain. Contohnya, ada dua orang memukul seseorang dan salah satu diantara

dua orang tersebut (orang pertama) memotong tangannya, sedangkan yang kedua

memotong lehernya hingga mati. Jadi, orang yang pertama bertanggung jawab

atas pemotongn tangan korban, sedangkan orang yang kedua bertanggung jawab

atas pembunuhannya. Pidana seperti ini adalah pidana yang sudah direncanakan

(tamalu’), mereka berdua sama-sama bertanggung jawab atas pembunuhan itu.

Tawafuq bermakna niat dari orang-orang yang turut serta dalam tindak pidana

akan tetapi sebelumnya diantara para pelaku tidak ada kesepakatan untuk

melakukannya. Dengan kata lain, masing-masing pelaku berbuat karena dorongan

dari diri pribadi dan pikirannya yang timbul seketika itu.

Hal ini seperti kasus yang tejadi pada kerusuhan yang terjadi secara

spontanitas. Para pelaku kerusuhan itu berkumpul tanpa ada pemufakatan

(persepakatan) sebelumnya dan melakukan berdasarkan dorongan pribadi dan


15
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang,1993), hlm.
138-139.
19

pikirannya secara spontanitas. Karena itu, masing-masing dari mereka hanya

bertanggungjawab atas perbuatannya dan tidak menanggung akibat perbuatan

orang lain.

Dalam kasus tamalu’, para pelaku telah bersepakat untuk melakukan suatu

tindak pidana dan menginginkan hasil dari tindak pidana itu. Apabila dua orang

bersepakat untuk membunuh seseorang, kemudian keduanya pergi untuk

menjalankan aksinya, seseorang diantaranya mengikat korban, sedangkan yang

lain memukul kepalanya hingga mati, maka keduanya bertanggung jawab atas

pembunuhan tersebut.16

Menurut kebanyakan fuqaha ada perbedaan pertanggung jawaban antara

tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq, masing-masing peserta hanya bertanggung

jawab atas akibat perbuatannya sendiri dan tidak bertanggung jawab atas

perbuatan yang ditimbulkan oleh orang lain. Sedangkan pada tamalu, para peserta

harus mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatan mereka secara

keseluruhan. Jika korban sampai mati maka masing-masing peserta dianggap

sebaga pembunuh.

Menurut Imam Abu Hanifah antara tawafuq dengan tamalu sama saja

hukumannya, yaitu masing-masing pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya

sendiri. Jadi, dalam keadaan tamalu seperti contoh diatas, yang satu dipersalahkan

karena mengikat dan yang satu dipersalahkan karena memukuli. 17

a. Tersangka Dianggap sebagai Pelaku Langsung


16
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Terjemah. Ali Yafi,
(Bogor: PT Kharisma Ilmu, 1996), hlm. 37-38.
17
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang,1993),
hlm.140.
20

Tersangka dianggap sebagai pelaku langsung apabila ketika ia melakukan

suatu perbuatan, ia dianggap telah melakukan suatu tindakan pidana. Ia juga

dianggap sebagai pelaku langsung manakala ia melakukan suatu perbuatan yang

dianggap sebagai maksiat dengan maksud untuk melakukan tindak pidana, baik

melakukannya sampai selesai atau tidak.

Hal ini karena selesai atau tidak selesainya suatu tindak pidana tidak

berpengaruh terhadap pengkategorian seseorang sebagai pelaku langsung, namun

berpengaruh pada bentuk hukumannya. Jika suatu tindak pidana dilakukan sampai

selesai (sempurna) dan merupakan pidana hudud, yang wajib dijatuhkan atasnya

adalah pidana hudud. Jika tindak pidana itu tidak selesai (tidak sempurna), pelaku

hanya dijatuhi hukuman ta’zir. Adapun jika suatu tindak pidana termasuk tindak

pidana ta’zir, hukumannya adalah ta’zir, baik tindak pidana itu dilakukan sampai

selesai atau tidak.

b. Hukuman Bagi Para Pelaku Langsung.

Menurut hukum Islam, pada dasarnya banyaknya pelaku tindak pidana tidak

mempengaruhi besarnya hukuman yang pantas dijatuhkan atas mereka, yakni

seperti melakukan tindak pidana sendirian. Oleh karena itu, hukuman yang

dijatuhkan terhadap orang yang turut melakukan tindak pidana (pelaku penyerta)

adalah sama seperti orang yang melakukan tidak pidana secara sendirian

meskipun sedang bersama yang lainnya, mereka tidak melakukan seluruh

perbuatan yang membentuk tindak pidana itu.18

18
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Terjemah. Ali Yafi, (Bogor: PT
Kharisma Ilmu, 1996), hlm. 38-39.
21

1. Keturutsertaan Tidak Langsung

Yang dianggap turut berbuat tidak langsung ialah setiap orang yang

mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan

yang dapat dihukum, atau menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan

bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan

dan menyuruh serta memberi bantuan.

Dari keterangan tersebut kita mengetahui unsur-unsur turut berbuat tidak

langsung, yaitu:

a. Perbuatan yang dapat dihukum (jarimah).

b. Niatan dari orang yang turut berbuat, agar sikapnya itu perbuatan yang

dimaksudkan dapat terjadi.

c. Cara mewujudkan perbuatan tersebut yaitu mengadakan persepakatan, atau

menyuruh, atau membantu.

Berikut penjelasan dari unsur-unsur tersebut:

1) Adanya Perbuatan yang dapat di Hukum

Untuk terjadinya keturutsertaan, disyaratkan adanya perbuatan yang dapat

dijatuhi hukuman dan perbuatan tersebut harus terjadi meskipun tidak harus

sampai selesai sempurna. Oleh karena itu dalam percobaan tindak pidana (syuru’),

pelaku tidak langsung dapat dijatuhi hukuman. Demikian juga, untuk menjatuhkan

hukuman kepada pelaku tidak langsung tidaklah harus dijatuhi hukuman. Hal ini

karena terkadang pelaku langsung memiliki niat yang baik sehingga ia tidak

dijatuhi hukuman, tetapi pelaku tidak langsung tetap dijatuhi hukuman, atau
22

pelaku langsung diampuni karena ia masih dibawah umur atau gila sedangkan

pelaku tidak langsung tetap dijatuhi hukuman.

2) Adanya Niat dari Orang yang turut Berbuat

Dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, dimaksudkan oleh kawan

berbuat tidak langsung untuk terjadinya sesuatu jarimah tertentu. Kalau tidak ada

jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka ia dianggap turut berbuat pada setiap

jarimah yang teriadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya.

Kalau jarimah yang terjadi bukan yang dimaksudkannya, maka tidak ada

"turut-berbuat", meskipun karena persepakatan dan lain-lain itu sendiri ia bisa

dijatuhi hukuman.19

3) Cara Mewujudkan Perbuatan

Turut berbuat tidak langsung bisa terjadi dengan jalan sebagai beriuku:

a) Persepakatan

Adapun persepakatan baru bisa terjadi karena adanya saling

memahami dan kesamaan kehendak untuk melakukan tindak pidana.

Kalau tidak ada persepakat- an sebelumnya, tidak ada keturutsertaan.

Jadi, tidak ada keturut sertaan kalau sudah ada persepakatan

sebelumnya, tetapi bukan atas tindak pidana yang terjadi dan dikerjakan

bersama. Karena itu, apabila seseorang bersepakat dengan orang lain

untuk mencuri kerbau lalu pelakulangsung itu memukul pemilik kerbau

tersebut atau mencuri kerbau bukan milik korban yang dituju, dalam

kasus ini tidak ada persepakatan.

19
Ibid., hlm.144-145.
23

Untuk terjadinya keturutsertaan, suatu tindak pidana harus

merupakan akibat persepakatan. Jika seseorang (orang pertama)

bersepakat dengan orang lain (orang kedua) untuk membunuh orang

ketiga kemudian orang ketiga tersebut telah mengetahui apa yang akan

diperbuat terhadap dirinya, kemudian orang ketiga pergi ke tempat orang

kedua tersebut untuk membunuhnya terlebih dahulu, tetapi orang kedua

itu membunuh orang ketiga untuk membela diri, dalam kasus seperti ini,

orang kedua tidak bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut karena

pembunuhan itu tidak dianggap sebagai persepakatan, tetapi upaya

pembelaan diri.20

Imam Malik mempunyai teori yang berbeda dengan fuqaha

lainnya. Ia menganggap orang yang bersepakat dengan orang lain untuk

melakukan suatu tindak pidana dan orang tersebut menyaksikan tindak

pidana itu berlangsung, orang tersebut dianggap sebagai pelaku penyerta

langsung (made dader), bukan pelaku-tidak langsung. Demikianlah teori

Imam Malik mengenai pelaku tidak langsung secara mutlak, baik

sarana/cara mewujudkan perbuatan tidak langsung tersebut melalui

persepakatan, penghasutan atau bantuan.

b) Menghasut

Menghasut (Tahrid) adalah membujuk (menggerakkan) orang lain

untuk melakukan tindak pidana dan bujukan itu yang menjadi pendorong

dilakukannya tindak pidana tersebut. Apabila tidak ada bujukan atau


20
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,Terj. Ali Yafi, (Bogor: PT
Kharisma Ilmu, 1996), hlm. 41.
24

hasutan, niscaya tidak mungkin bujukan atau hasutan dikatakan sebagai

pendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana itu, baik hasutan

itu berpengaruh maupun tidak, karena menghasut itu sendiri adalah suatu

perbuatan maksiat dan perintah untuk melakukan kemungkaran.

Perintah (bujukan) dan atau pemaksaan untuk membunuh dapat

dianggap sebagai hasutan. Perbedaan antara perintah (bujukan) dan

pemaksaan perintah (bujukan) tidak memengaruhi kebebasan kehendak

orang yang diperintah untuk memilih sehingga ia bisa melaksanakan

tindak pidana itu atau meninggalkannya, sedangkan pemaksaan

mempengaruhi kebebasan kehendak orang tersebut. Artinya, ia hanya

bisa memilih antara melakukan tindak pidana atau menuai apa yang

diancamkan kepadanya dan bersabar atasnya.21

c) Membantu

Orang yang membantu orang lain dalam melakukan tindak pidana

dianggap meskipun sebelumnya ia tidak bersepakat untuk melakukan

tindak pidana tersebut. Misalnya, orang yang mengawasi jalan untuk

memudahkan pencurian atau pembunuhan bagi orang lain (pelaku), ia

dianggap sebagai orang yang memberi bantuan kepada pelaku.

Demikian pula dengan orang yang mengiring korban ke tempat kejadian

perkara kemudian ia meninggalkannya untuk kemudian dibunuh atau

dirampas oleh pelaku tindak pidana, ia juga dianggap sebagai orang

yang memberi bantuan kepada pelaku.

21
Ibid., hlm.43
25

Para fuqaha membedakan antara pelaku langsung atau asli

(mubasyir) dan pembantu (mu’in). Menurut mereka, mubasyir adalah

orang yang melakukan atau mencoba melakukan perbuatan yang

dilarang sedangkan muin adalah orang yang tidak melakukan atau

mencoba melakukan, tetapi hanya membantu perbuatan yang tidak ada

sangkut pautnya dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang. Karena

itu, ia tidak dianggap sebagai pelaku perbuatan tersebut.

Sementara itu, Imam Malik menganggap orang yang memberikan

bantuan sebagai pelaku langsung pada kasus pidana yang sudah

direncanakan dan ada persepakatan sebelumnya, jika orang yang

membantu tersebut hadir dan menyaksi kan tindak pidana di tempat

kejadian perkara atau berada didekatnya, dimana sekiranya ia dimintai

bantuan untuk melakukan pidana tersebut, ia tidak terlambat untuk

melakukannya. Akan tetapi, apabila tindak pidana itu dilakukan tanpa

ada persepakatan sebelumnya dan orang yang membantu tersebut hadir

ditempat kejadian perkara, tetapi ia tidak siap melakukan tindak pidana

sekiranya ia dimintai tolong untuk melakukannya, ia hanya dianggap

sebagai pelaku tidak langsung. Adapun para fuqaha lainnya menganggap

orang yang membantu tersebut sebagai pelaku tidak langsung pada

semua kasus apabila ia tidak melakukan tindak pidana secara langsung22

E. KeturutSertaan dalam Hukum Pidana di Indonesia

22
Ibid., hlm.44
26

Dalam hukum pidana Indonesia turut serta melakukan kejahatan ini diatur

dalam Bab 5 Pasal 55 sampai dengan Pasal 62 KUH Pidana. Dalam Pasal 55 di

jelaskan sebagi berikut:

Pasal 55. (1) dipadana sebagi pembuat (deder) suatu perbutan pidana:

Ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang

turut serta melakukan perbuatan;

Ke-2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan

menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,

ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana

atu keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan

perbuatan.

(2) terhadap penganjur haya perbuatan yang sengaja di anjurkan sajalah yang

di perhitungkan kan, berserta akibat-akibatnya.

Pasal 56. Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan:

Ke-1. Mereka yang sengaja memberi bantuan padawaktu kejahatan dilakuan;

Ke-2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan

untuk melakukan kejahatan.23

1. Jenis-jenis Penyertaan (Deelneming)

Bentuk-bentuk atau jenis penyertaan terdapat dalam Pasal 55 dan 56

KUHPidana sebagai berikut:


23
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta:Bumi Askara, 2014), hlm. 25.
27

1. Pelaku (pleger). Pleger adalah orang yang perbuatannya telah memenuhi

setiap unsur delik yang terdapat dalam pasal hukum pidana yang dilanggar.

Oleh karena itu, pada prinsipnya ia merupakan orang yang baik secara

sendiri maupun terkait dengan orang lain, telah dapat dijatuhi sanksi

pidana. Tentu saja jika pada saat melakukan perbuatan pidana tersebut, ia

dapat dibuktikan kesalahannya. Menurut doktrin hukum pidana pleger

dibedakan dengan dader. Pleger adalah orang yang menjadi pelaku dalam

penyertaan yang dapat dipidana yang sama dengan pembuat, sedangkan

dader adalah pembuat dari suatu perbuatan pidana atau orang yang

melaksanakan semua unsur rumusan delik dan pembuat yang mempunyai

kualifikasi sebagai terdakwa yang dibedakan dengan kualifikasi sebagai

pembantu. Sekalipun seorang pleger bukan seseorang yang turut serta

(deenemer), kiranya dapat dimengerti mengapa ia perlu disebut pelaku di

samping pihak-pihak lain yang turut serta atau terlibat dalam perbuatan

pidana yang ia lakukan akan dipidana bersama-sama dengannya sebagai

pelaku. Sedangkan cara penyertaan dilakukan dan tanggung jawab

terhadapnya juga turut ditentukan oleh keterkaitannya dengan perbuatan

pidana yang dilakukan oleh pelaku (utama). Dengan demikian, pleger

adalah orang yang memenuhi semua unsur delik, termasuk juga bila

dilakukan melalui orang-orang lain atau bawahan mereka.

2. Medepleger (turut serta). Van Hamel dan Trapmen mengatakan bahwa

yang dimaksud medepleger adalah apabila perbuatan masing-masing

peserta memuat semua anasir-anasir perbuatan pidana yang bersangkutan.


28

Moeljatno mengatakan bahwa medepleger adalah setidak-tidaknya mereka

itu semua melakukan unsur perbuatan pidana, dan ini tidak berarti bahwa

masing-masing harus melakukan bahkan tentang apa yang dilakukan

peserta/tak mungkin dilakukan karena hal ini tergantung pada masing-

masing keadaan, yang perlu ditekankan disini adalah dalam medepleger

terjadi kerjasama yang erat antara mereka pada waktu melakukan

perbuatan pidana.24 Berdasarkan dua pendapat ahli diatas dapat

disimpulkan bahwa medepleger adalah orang yang melakukan kesepakatan

dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara

bersama-sama pula ia turut beraksi dalam pelaksanaan perbuatan pidana

sesuai dengan yang telah disepakati. Dengan demikian, dalam penyertaan

bentuk turut serta ini, dua orang atau lebih yang dikatakan sebagai

medepleger tersebut semuanya harus terlibat aktif dalam suatu kerja sama

pada saat perbuatan pidana dilakukan. Ini berarti, di dalam medepleger

terdapat 3 (tiga) ciri penting yang membedakannya dengan bentuk

penyertaan lain. Pertama, pelaksanaan perbuatan pidana melibatkan dua

orang atau lebih. Kedua, semua yang terlibat, benar-benar melakukan kerja

sama secara fisik (saling membantu) dalam pelaksanaan perbuatan pidana

yang terjadi. Ketiga, terjadinya kerja sama fisik bukan karena kebetulan,

tetapi memang telah merupakan kesepakatan yang telah direncanakan

bersama sebelumnya.

24
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana,( Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 113.
29

3. Menyuruh lakukan (doen pleger). Menyuruh melakukan merupakan salah

bentuk penyertaan, yang didalamnya jelas terdapat seseorang yang

menyuruh orang lain melakukan suatu perbuatan pidana, dan orang lain

yang disuruh melakukan perbuatan pidana tersebut. Di dalam ilmu

pengetahuan hukum pidana, orang yang menyuruh lakukan biasanya

disebut sebagai orang midellijk dader atau mittelbar tate, yakni seorang

pelaku yang tidak secara langsung melakukan sendiri perbuatan pidana,

melainkan dengan perantara orang lain.25Doen Pleger adalah orang yang

menyuruh orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana, dimana

secara yuridis orang yang disuruh dan akhirnya secara nyata melakukan

perbuatan pidana tersebut harus merupakan orang yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana. Menurut penjelasan KUHP terdapat

dua unsur dalam doen plegen. Pertama, seseorang, yakni manusia, yang

digunakan sebagai alat oleh pembuat delik. Ini merupakan unsur pokok

dan khusus dari doen plegen. Kedua, orang yang dijadikan sebagai alat itu

merupakan sambungan atau kepanjangan tangan dari orang lain yang

menyuruh orang itu.26 Di dalam doen pleger terdapat dua ciri penting yang

membedakannya dengan bentuk-bentuk penyertaan lainnya. Pertama,

melibatkan minimal dua orang, dimana satu pihak bertindak sebagai actor

intelectualis, yaitu orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan

suatu tindak pidana, dan pihak yang lainnya bertindak sebagai actor

25
Lamintang dkk, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia,( Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm 609
26
Mahrus Ali, Hukum pidana Terorisme, Teori dan Praktik, (Gramata, Jakarta: Publishing, 2012),
hlm. 128
30

materialis, yaitu orang yang melakukan tindak pidana atas suruhan actor

intelectualis. Kedua, secara yuridis, actor materialis adalah orang yang

tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana yang

dilakukannya, karena dalam dirinya terdapat hal-hal yang merupakan

alasan pemaaf.27

4. Menganjurkan (uitlokker). Sebagaimana dalam bentuk menyuruh

lakukan, dalam uitlokkerpun terdapat dua orang atau lebih yang masing-

masing berkedudukan sebagai orang yang menganjurkan (actor

intelectualis) dan orang yang dianjurkan (actor materialis) Bentuk

penganjurannya adalah actor intelectualis menganjurkan orang lain (actor

materialis) untuk melakukan perbuatan pidana.28 Uitlokker adalah orang

yang menganjurkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana,

dimana orang lain tersebut tergerak untuk memenuhi anjurannya

disebabkan karena terpengaruh atau tergoda oleh upaya-upaya yang

dilancarkan penganjur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 ayat 1 ke-2

KUHP.

5. Pembantuan (medeplichtigen). Pembantu adalah orang yang sengaja

memberi bantuan berupa saran, informasi atau kesempatan kepada orang

lain yang melakukan tindak pidana, dimana bantuan tersebut diberikan

baik pada saat atau sebelum tindak pidana itu sendiri terjadi. Dikatakan

ada pembantuan apabila ada dua orang atau lebih, yang satu sebagai

pembuat (de hoofd dader), dan yang lain sebagai pembantu (de
27
Ibid, hal 128.
28
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana,( Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 128
31

medeplichtige). Dalam KUHP ajaran mengenai delik penyertaan dengan

bentuk pembantuan diatur di dalam Pasal 56 KUHP yang berbunyi:

“Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) suatu kejahatan: 1. mereka

yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2.

mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan”. Berdasarkan pasal diatas diketahui bahwa bentuk

bantuan dibedakan antara pemberian bantuan sebelum dilaksanakannya

kejahatan, dan pemberian bantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan

kejahatan. Bantuan seseorang kepada orang lain tidak mungkin terjadi

setelah tindak pidana itu sendiri dilakukan, karena kalau hal demikian yang

terjadi, maka orang itu tidak lagi disebut sebagai pembantu, tetapi sudah

merupakan pelaku tindak pidana secara sendiri.


BAB III

ANALISIS MENGENAI METODOLOGI IMAM MALIK DAN IMAM

SYAFI’I DALAM MENETAPKAN HUKUM PELAKU TURUT SERTA

DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

A. Hukum Turut Serta dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Imam

Malik Dan Imam Syafi’i

1. Hukum Turut Serta dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Imam

Malik

a. Biografi Imam Malik

Imam Malik memiliki nama lengkap yaitu Malik bin Anas bin Malik bin

Abi Amir bin Amru bin al-Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amru bin al-

Harits (Dzu Asbah) bin Auf bin Malik bin Zaid bin Syadad bin Zur’ah.

Keluarga Imam Malik berasal dari kampung Dzu Asbah, sebuah suku di

sekitar kota Himyar, di negara Yaman. Abu Amir kakek Imam Malik pindah

ke kota Madinah dimasa Nabi saw dengan maksud berhijrah dari tempat

lamanya dan menyambut seruan dakwah Islam. Abu Amir bertemu dengan

Nabi saw, sehingga para sejarawan memasukkannya ke dalam golongan

sahabat Nabi saw yang mulia.29

Imam Malik dilahirkan di kota Madinah, dari sepasang suami-istri Anas

bin Malik dan Aliyah binti Suraik, bangsa Arab Yaman. Ayah imam Malik

bukan Anas bin Malik sahabat Nabi, tetapi seorang tabi'in yang sangat minim

sekali informasinya. Buku sejarah hanya mencatat, bahwa ayah Imam Malik

29
Didi Mashudin, Amalan Ahli Madinah, (Bandung: Sagara Publishing,2013), hlm.16.
33

tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah, suatu tempat di padang pasir

sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah. Kakek Malik,

Abu Umar, datang ke Madinah dan bermukim di sana sesudah Nabi wafat.

Karenanya kakek Malik ini tidak termasuk golongan sahabat, tetapi masuk

golongan tabi’in.30

Mengenai kelahiran Imam Malik, menurut pendapat yang lebih shahih

Imam Malik lahir pada tahun 93 Hijriyah, yaitu pada tahun dimana Anas,

pembantu Rasulullah, meninggal. Para ahli tarikh berbeda pendapat, Yasin

Dutton menyatakan kemungkinan pada 93 H/711 M. Ibnu khalikan menyebut

95 H, ada pula yang menyatakan 90 H, 93 H, 94 H dan ada pula yang

menyatakan 97 H. Tetapi mayoritas ulama cenderung menyatakan beliau lahir

tahun 93 H pada masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik ibn Marwan dan

meninggal tahun 179 H. Jadi Imam Malik 13 tahun lebih muda dari rekannya

yang termasyhur, Imam Abu Hanifah.31

Imam Malik lahir dari kalangan orang berilmu dan tumbuh dewasa

melalui hari-hari yang sarat dengan pencarian ilmu. Maka tak heran jika ia

menjadi seorang alim yang cukup berwibawa bahkan dikagumi banyak orang

karena ilmu dan kepribadiannya. Imam Malik memiliki kecerdasan dan

kemampuan menghapal yang luar biasa. Ia telah hafal Al-Qur’an pada usia

muda. Lebih dari itu, ia mampu menghafal sampai tiga puluh buah hadits

Nabi yang didengarnya secara langsung dalam waktu yang cukup singkat.

30
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 1997), hlm. 46.
31
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2003), hlm.10.
34

Selain itu, ia bahkan terkenal sebagai orang yang banyak mempelajari fiqih

dan hadits Nabi SAW. Dari ulama Madinah.32

Mengenai guru-guru Imam Malik Abu al-Qasim Abdu al-Malik bin Zaid

bin Yasin ad-Daulaqi berkata dalam kitabnya ar Risalah al-Mushannafah fi

Bayani Subulis Sunnah al-Musyarrafah: “Imam Malik mengambil ilmu dari

900 orang guru, 300 diantaranya dari generasi tabi’in, dan 600 dari generasi

tabiut tabi’in. Guru yang dipilihnya adalah yang dia ridhai agamanya, ilmu

fiqihnya, konsistensinya terhadap syarat-syarat dalam meriwayatkan hadits,

mereka bisa dipercaya dalam meriwayatkannya, dan Malik tidak berguru

kepada orang yang tidak mengerti ilmu riwayat meskipun ia termasuk ahli

agama dan kebaikan33 Beberapa guru Imam Malik yang cukup terkenal

diantaranya adalah :

1) Rabi’ah ibn Abi Abd al-Rahman (w. tahun 139 H./753 M.). Merupakan

guru pertama Imam Malik yang banyak mempengaruhi perkembangan

pemikiran Imam Malik. Beliau terkenal dikenal dengan julukan al-Ray

karena beliau adalah seorang faqih yang banyak mengunakan ra’yu,

meskipun dalam penggunaan nya berbeda denngan para fuqaha Irak. Jika

fuqaha Irak mengunakan ra’yu mengembangkan hukum dengan

menggunkan jalan qiyas, sedangkan beliau menggunkan ra’yu dengan

cara memadukan essensi nash syara’ dengan nilai-nilai mashlahah.

2) Nafi (w. tahun 120 H/737M) merupakan guru Imam Malik yang

mendapat julukan sebagi Faqih Madinah. Akibat kedekatan Imam Malik

32
Didi Mashudin, Amalan Ahli Madinah, (Bandung: Sagara Publishing, 2013), hlm.16.
Jauhari Wildan, Biografi Imam Malik (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), hlm.10.
33
35

dengan Nafi ini, dikalangan jumhur muhadisin muncul sebutan silsilah

al-dzahab (matarantai emas), yakni rangkaian sanad hadits riwayat Imam

Malik dari Nafi dari Umar. Menurut Bibn 'Abd al-Barr, riwayat seperti

itu (Silsilah al- Dzahab) yang terdapat dalam kitab al-Muwaththa',

jumlahnya mencapai delapan puluh buah.

3) Abu Bakar ibn Muslim Bakar ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri (w.

tahun 124 H. atau tahun 741 M.) Dalam sejarah, beliau yang lebih

dikenal dengan sebutan ibn Syihab al-Zuhri, merupakan ulama besar

Hijaz dan Syam. Beliau adalah orang yang pertama membukukan hadits

Nabi SAW. atas perintah Khalifiah Umar ibn 'Abd 'Aziz. Dari ibn Syihab

al-Zuhri ini, Malik ibn Anas banyak sekali mewarisi ilmu hadits.

Disebutkan bahwa Imam Malik meriwayatkan hadits dari ibn Syihab al-

Zuhri sebanyak seratus tiga puluh buah.

4) Abu al-Zinad (w. tahun 131 H. atau tahun 745 M.). Dalam bidang hadits,

Abu Zinad disebut-sebut sebagai Amir al-Mu'minin fi al- Hadits

(penguasa dalam bidang hadits). Dalam al- Muwaththa', hadits riwayat

Imam Malik yang diterima dari Abu al-Zinad dari al-A'raj dari Abu

Hurairah berjumlah empat puluh lima buah.

5) Ibn Hurmuz. Guru yang seorang ini adalah orang yang paling lama

menempa terhadap pemikiran Imam Malik. Kepada beliaulah, Imam

Malik ibn lebih mengkhususkan diri berguru hingga tujuh tahun lamanya.

Hubungan Imam Malik dengan ibn Hurmuz cukup lekat hingga hal-hal

tertentu cukup terbuka bagi Imam Malik, dan tidak bagi yang lain nya.
36

Dalam salah sebuah riwayat Imam Malik berkata yang artinya:

“Biasanya saya datang pagi hari dan tidak pulang dari rumah ibn

Hurmuz sampai pada malam hari” Ibn Hurmuz adalah orang alim yang

cukup terkenal dengan ke-tawadhu-annya. Dan bukan suatu hal yang

mustahil pengaruh dari guru yang satu ini, sikap dan kepribadian Imam

Malik dikenal sebagai Imam Madzhab yang sangat rendah hati. Dalam

sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika Malik ibn Anas

mendengar gurunya berkata yang artinya: "Dalam setiap forum ilmu,

seseorang yang berilmu perlu berhati-hati dan perlu menyatakan: la

adri (saya tidak tahu), apabila ditanya tentang sesuatu yang memang ia

tidak tahu jawabannya" Perkataan gurunya itu benar-benar melekat pada

diri Imam Malik. Hal ini terbukti di dalam kitab al-Muwaththa banyak

dijumpai kata "la adri" yang disampaikan Imam Malik saat menghadapi

beberapa pertanyaan yang diajukan kepadanya.34

Mengenai murid-murid Imam Malik Muhammad Hadhari meringkas murid-

murid Imam Malik yang mengembangkan mazhabnya di Mesir, di antaranya:

1) Abu Muhammad Abdullah ibn Wahab ibn Muslim Al-Qursyl (w.197 H)

2) Abu Abdullah Abd Al-rahman ibn Al-Qasim (w. 191 H)

3) Asyhab ibn Abd Al-Aziz (140-204)

4) Abu Muhammad Abdullah ibn Abd Al-Hakam (w. 134 H)

5) Asbag ibn Al-Farj Al-Amwi.

34
Didi Mashudin, Amalan Ahli Madinah, (Bandung: Sagara Publishing, 2013), hlm.17-18.
37

6) Muhammad ibn Abdullah Ibn Abd Al-Hakam (182-264 H)

7) Muhammad ibn Ibrahim ibn Jiyad Al-Iskandari

Sementara para murid atau pengikut Mazhab Maliki yang mengembangkan di

Afrika Selatan, Andalusia, di antaranya:

1) Abu Al-Hasan ibn Jiyad At-Tunisi (w. 183 H)

2) Abu Abdullah Jiyad bin Abd Rahman Al-Qurtubi (w. 193 H)

3) Isa ibn Dinar Al-Qurtubi Al-Andalusi (w.212 H)

4) Asad ibn Al-Furat (w. 213 H)

5) Yahya ibn Yahya bin Katsir (w. 234 H)

6) Abd Malik ibn Hubaib bin Sulaiman (w. 237)

7) Sahnun Abd Salam bin Said At-Tanuhi (w.240 H)

Kemudian para murid atau pengikut yang mengembangkan mazhab Maliki di

Hijaz dan Irak, di antaranya;

1) Abu Marwan Abd Al-Milk ibn Abi Salamah (w. 212 H)

2) Ahmad ibn Al-Muadzal ibn Gailani Al-Abdi;

3) Abu Ishaq Ismail ibn Ishaq (w. 282 H). 35

Diantara karya-karya Imam Malik adalah: al-Muwatta‟, kitab, Aqdiyah,

Kitab Nujum, Hisab Madar al-Zaman, Manazil al-Qamar, kitab Manasik, kitab

Tafsir li Garib al-Qur’an, ahkam al-Qur’an, al-Mudawanah al-Kubra, Tafsir al-

Qur’an, kitab Masa‟ Islam, Risalah Ibn Matruf Gassam, Risalah ila al-Lais,

Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendektan Baru, (Bandung: Pustaka Setia,
35

2008), hlm.232.
38

Risalah ila Ibn Wahab. Namun dari semua karyanya tersebut yang sampai kepada

kita hanya dua yakni, Al-Muwattha‟ dan Al-Mudawwanah Al-Kubra.

Ada beberapa versi yang mengemukakan tentang latar belakang penyusunan

kitab Al-Muwatta‟. Menurut Noel J. Coulson,36 problem politik dan sosial

keagamaaanlah yang melatar belakangi penyusunan kitab Al-Muwattha‟. Kondisi

politik yang penuh konflik pada masa transisi Daulah Umayyah-Abasiyyah yang

melahirkan tiga kelompok besar (khowarij, Syi’ah, Keluarga Istana) yang

mengecam integrasi kaum Muslim. Disamping kondisi sosial keagamaan yang

berkembang penuh nuansa perbedaan. Perbedaan perbedaan pemikiran yang

berkembang (khususnya bidang hukum) yang berangkat dari metode nash disatu

sisi dan rasio disisi yang lain, telah melahirkan pluralis yang penuh konflik. Versi

lain menyatakan, penulisan al-Muwattha‟ dikarenakan adanya permintaan

Khalifah Ja’far al-Mansur atas usulan Muhammad ibn Muqaffa‟ yang sangat

prihatin dengan perbedaan fatwa dan pertentangan yang berkembang saat itu, dan

mengusulkan kepada Khalifah untuk menyusun undang-undang sebagai penengah

dan bisa diterima semua pihak. Khalifah Ja’far lalu meminta Imam Malik

menyusun kitab hukum sebagai kitab standar bagi seluruh wilayah Islam. Imam

Malik menerima usulan tersebut, namun ia keberatan menjadikannya sebagai

kitab standar atau kitab resmi negara. Sementara versi yang lain, selain terinisiasi

oleh Khalifah Ja’far al-Mansur sebenarnya Imam Malik sendiri memiliki

keinginan kuat untuk menyusun kitab yang memudahkan umat Islam memahami

agama.

Noel j. Coulson, Hukum Islam Dalam Prespektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad, ( Jakarta: P3M,
36

1987), hlm. 5
39

Imam Malik setelah lebih dari 60 tahun menjabat sebagai mufti di Madinah,

maka pada hari Ahad tanggal 10 Rabiul Awal tahun 179 H (798 M), Imam Malik

wafatlah dalam usia 87 tahun. Imam Malik wafat meninggalkan tiga orang putra

dan seorang putri yang nama-namanya ialah Yahya, Muhammad, Hammadah dan

Ummu Abiha.

b. Paradigma Pemikiran Ushul Fiqih Imam Malik

Paradigma pemikiran ushul fiqih Imam Malik pada dasarnya Imam Malik

tidak menulis secara sistematika pemikiran ushul fiqihnya. Akan tetapi para murid

Imam Malik yang menyusun pemikiran Imam Malik. Diantara murid Imam Malik

yang menyusun pemikiran Imam Malik adalah Qadhi’Iyad dalam kitabnya Al-

Mudarak, Sesungguhnya manhaj Imam Dar Al-Hijrah, pertama, ia mengambil

Kitabullah, jika tidak ditemukan dalam Kitabullah nashnya, ia mengambil As-

Sunnah (kategori As-Sunnah menurutnya, hadis-hadis mabidan fatwa sahabat),

amal Ahlu al-madinah, al-qiyas, al- mashlahah al-mursalah, sadd ads-dzarâi', al-

urf, dan al-'adât".

1) Al-Quran Dalam pandangan Malik, Al-Quran adalah di atas semua dalil-dalil

hukum. Ia menggunakan nash sharih (jelas) dan tidak menerima ta'wil.

Dzahir A1-Quran diambil ketika bersesuaian dengan takwil selama tidak

didapati dalil yang mewajibkan takwil. Imam Malik menggunakan mafbum a

l-Muwafaqat, yaitu fahwa al-kitab. Contohnya ayat Al-Quran:


40

ۖ ‫ين يَ أْ ُكلُو َن أ َْم ٰوَل الْيَت َٰم ٰى ظُْل ًم ا إِمَّنَ ا يَ أْ ُكلُو َن ىِف بُطُ وهِنِ ْم نَ ًارا‬ ِ َّ ِ
َ ‫إ َّن الذ‬

‫صلَ ْو َن َسعِ ًريا‬


ْ َ‫َو َسي‬

Ayat ini dapat dipahami bahwa larangan melebih-lebihkan dan mengurangi

dalam mengurusi harta anak yatim. Selain itu, Imam Malik menggunakan

mafhum al-mukhalafah, tanbih atas illat, isyarat (garinah). Imam Malik

mendahulukan Al-Quran selama tidak ada dalam As-Sunnah.

2) As-Sunnah Imam Malik mengambil sunnah yang mutawatir masybur

setingkat dibawah mutawatir, dan khabar ahad sebagian besar,

mendahulukan hadis ahad dari qiyas. Selain itu, Imam Malik menggunakan

hadis munqathi dan mursal selama tidak bertentangan dengan tradisi orang-

orang Madinah.

3) Amalan Ahlul Al-Madinah Al-'urf Imam Malik memegang tradisi Madinah

sebagai hujjah (dalil hukum) karena amalannya, dinukil langsung dari Nabi.

la mendahulukan amal Ahlu Al-Madinah ketimbang khabar ahad, sedangkan

para fuqaha tidak seperti itu.

4) Fatwa sahabat fatwa sahabat digunakan oleh Imam Malik karena sebagian

para sahabat melakukan manasik haji dengan Nabi. Oleh karena itu, qaul

shahabi digunakan sebab ia dinukil dari hadis. Bahkan, Imam Malik

mengambil juga fatwa para kibar at-tabiin meskipun derajatnya tidak sampai

ke fatwa sahabat, kecuali adanya ijma para Ahlul Madinah.


41

5) ljma Imam Malik paling banyak menyandarkan pendapatnya pada ijma

seperti tertera dalam kitabnya Al-Muwaththa kata-kata al-amrual-muitama'

alaih dan sebagainya. ljma Ahli Madinah pun dijadikan hujah, seperti

ungkapannya, Hadza huwa al-amru al-mujtama' alaihi indana, Asal amalan

Madinah tersebut berdasarkan Sunnah, bukan hasil ijtihad (fatwa).37

6) Qiyas mazhab Imam Malik pernah menerapkan penalaran deduktifnya sendiri

menegenai persoalan-persoalan yang tidak tercakup oleh sumber sumber yang

telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, ia sangat berhati-hati dalam

melakukannya karena adanya subyektifitas dalam bentuk penalaran seperti

itu.

7) Istislah (mashlahah mursalah) istislah adalah meninggalkan apa yang telah

ada karena suatu hal yang belum diyakini. Yang dimaksud dengan Maslahah

al-Mursalah adalah maslahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak

ada. Para ulama bersepakat bahwa Mashlahah al-Mursalah bisa dijadikan

sebagai dasar pengambilan hukum dengan memenuhi persyaratan

diantaranya, pertama, Maslahah itu harus benar-benar Mashlahah yang pasti

menurut penelitian, bukan hanya sekedar perkiraan sepintas kilas. Kedua,

Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat dan bukan hanya berlaku

pada orang tertentu yang bersifat pribadi. Ketiga, Mashlahah itu harus benar-

benar yang tidak bertentangan dengan ketentuan Nash atau Ijma.

8) Al-Istihsan adalah menentukan hukum dengan mengambil mashlahah sebagai

bagian dalil yang bersifat menyeluruh dengan maksud mengutamakan

Istidlalul Mursah dari pada Qiyas, sebab mengunakan istihsan itu, tidak
Dedi Supriyadi, Amalan Ahli Madinah, (Bandung: Sagara Publishing, 2013), hlm.166-171.
37
42

berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, tetapi

mendasarkan pada Maqashid al-Syari’ah secara keseluruhan.

9) Sadd al-Zara’i menutup jalan atau sebab yang menuju kepada hal-hal yang

dilarang. Dalam hal ini Imam Malik menggunakannya sebagai salah satu

dasar pengambilan hukum, sebab semua jalan atau sebab yang bisa

mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka sesuatu itu jika dilakukan

hukumnya haram.

Istishab tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan

datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah ada

dimasa lampau, maka sesuatu yang sudah diyakini adanya, kemudian datang

keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, maka

hukumnya tetap seperti hukum pertama yaitu tetap ada.38

c. Hukum Pelaku Turut Serta dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Imam

Malik

Dalam kasus keturut sertaan dalam tindak pidana pembunuhan Imam Malik

menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan brdasarkan niat

pelaku ketika pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan mengetahu

bahwa orang yang dia bantu akan membunuh si korban maka pelaku turut serta

dalam tindak pidana tersebut dihukumi qishash sedangkan ketika pelaku turut

serta tersebut tidak mengetahu bahwa orang yang ia bantu tersebut ingin

melakukan pembunuhan terhadap korban maka pelaku turut serta tersebut di

hukumi dengan hukuman berat dan dipenjara satu tahun karna menahan korban

Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 199
38
43

tersebut,sebagai mana penjelasan Imam Malik dalm kitab nya sebagaiman

penjelasan Imam Malik dalm kitab nya kitab Al- Muwatta:

‫ َان َّ ُه ِا َّن َا ْم َس َك ُه َو ُه َو يَ َرى‬. ‫ فَ َيرْض ِبُ ُه فَ َي ُم ْو ُت َم َكنَ ُه‬. ِ‫ ىِف َّالر ُجلِ يُ ْم ِس ُك و َّالر ُج َل ِل َّلر ُجل‬، ٌ ‫قَا َل َماكِل‬
‫ب بِ ِه‬ ْ َ‫ب مِب َ ا ي‬
ُ ‫ض ِر‬
ِ ِ
َ ‫اَنَّهُ يُِريْ ُد َقْتلَ هُ قُتاَل بِ ه مَجِ ْي ًع ا َو إِ َّن اَْم َس َكهُ َو ُه َو َي َرى أَنَّهُ إِمَّنَ ا يُِريْ ُد‬
َ ‫الض َّر‬
‫ َو‬،‫َش َّد الْعُ ُق ْوبَ ِة‬ ِ ِِ ِ ِ
َ‫كأ‬ُ ‫ب الْ ُم ْم ِس‬ ِ
ُ َ‫ َو َي َع اق‬،‫ فَانَّهُ يُ ْقتَ ُل الْ َقات ُل‬،‫ اَل َي َرى انَّهُ َع َم َد ل َقْتل ه‬.‫َّاس‬
ُ ‫الن‬
39
.‫ َو اَل يَ ُك ْو ُن َعلَْي ِه الْ َقْت ُل‬،ُ‫يُ ْس َج ُن َسنَةً أِل َنَّهُ أ َْم َس َكه‬

Imam Malik berkata, di dalam kasus seorang laki-laki yang menahan


(memegang) seseorang untuk seseorang, kemudian orang tersebut memukul orang
yang ditahan tersebut sehingga orang yang dipukul meninggal ditempat. Bahwa
sesunggnguhnya dalam perkara ini. Sesunguhnya orang yang menahannya dan
adapun orang yang menahannya itu tahu bahwa orang tersebut itu ingin
membunuh koraban, maka keduanya (yang menahan dan yang memukul) dibunuh
(qishash) dengan sebab kejadian ini semua. Apabila dia menahannya dengan
beranggapan hanya ingin memukul nya sebagaimana orang lain memukulnya,
tampa berpikir ingin sengaja mebunuhnya, maka dibunuh oleh pembunuh, dan
orang yang menahannya di kenakan hukuman berat yaitu di penjara satu tahun
karna menahannya, dan tidak di kenakan hukuman mati.
2. Hukum Turut serta Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Imam
Syafi’i
a. Biografi Imam Syafi’i

Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris

bin Abbas bin Utsman bin Syafi'i al-Hasyimi al-Muthalibi. Dia keturunan

bani Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, kakek buyut Nabi Muhammad Lahir

di Gaza, Syam (sekarang masuk wilayah Palestina.) pada penghujung Rajab

150 H, yang kebetulan bersamaan dengan tahun kelahiran Imam Ali ar-Ridha,

Imam kedelapan kaum Syi'ah. Pada tahun itu pula Imam Abu Hanifah wafat.

Imam Anas Ibnu Malik, Almuwaththa, (Libanon: Daar Al Khotob Al llmiyah, 2006), hlm. 488-
39

489.
44

Ayah Imam Syafi'i tinggal di Madinah, kemudian pindah karena sesuatu yang

membuatnya tidak nyaman di Madinah dan pergi ke kota Asqelon yang

berjarak sekitar farsakh dari kota Gaza dan menetap di kota itu hingga wafat.

Semasa hidupnya, ayah Imam Syafi'i dikenal sebagai sosok yang amat

bersahaja.

Sewaktu Imam Syafi'i berumur dua tahun, ibunya membawanya pindah

dari kota Gaza ke kota Mekah, yang tidak lain merupakan tanah tumpah darah

para leluhurnya. Syaf'i kecil lalu tumbuh berkembang di kota itu sebagai

seorang yatim dalam pangkuan ibunya. Semasa hidupnya, ibu Imam Syafi'i

adalah seorang perempuan yang ahli ibadah, sangat cerdas, dan dikenal

sebagai seorang perempuan yang berbudi luhur. Di kota Mekah, Imam Syafi'i

berhasil menghafal seluruh isi al-Qur an ketika usianya masih amat belia. Al-

Muzani meriwayatkan bahwa Imam Syafi'i pernah berkata, "Aku telah hafal

seluruh al-Qur an saat usia tujuh tahun, dan aku telah hafal al-Muwattha'

karya Imam Malik saat usiaku sepuluh tahun. " Konon, Imam Syaf'i berhasil

menghafal al-Muwaththa hanya dalam waktu sembilan malam.

Kemudian Imam Syafi'i belajar bahasa Arab kepada suku Hudzail yang

tinggal di pedalaman. Kala itu, suku Hudzail adalah salah satu suku yang

paling fasih berbahasa Arab. Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa Imam Syafi'i

menghafal banyak syair dari suku Hudzail dan tinggal bersama mereka di

kawasan pedalaman selama sepuluh tahun. Imam Syafi'i pernah menyatakan


45

tentang alasannya hidup di pedalaman, "Ada dua tujuanku melakukan itu,

pertama untuk belajar memanah, dan kedua untuk menuntut ilmu."40

Mengenai guru-guru Imam Syafi’i menurut Sirojudin Abbas, guru-guru

Imam Syafi'i dapat dipilah menjadi empat kelompok, sebagaimana Sirojudin

Abbas menghimpunnya, sebagai berikut:

1) Di Mekah, Imam Syafi'i berguru pada:

2) Sufyan Ibn Uyainah

3) Muslim Ibn Khalid Al-Zunji

4) Sa'id Ibn Salim Al-Qadah

5) Daud Ibn Abd Ar-Rahman Al-Athar

6) Abd Ar-Rahman Ibn 'Abd Al-Aziz Ibn Abi Daud.

7) Abdul Hamid bin Abdul Aziz

Sementara guru-guru Imam Syafi'i dari kalangan ulama Madinah adalah:

1) Malik Ibn Anas (Imam Mazhab Maliki)

2) Ibrahim Ibn Sa'd Al-Anshari

3) Abd Al-Aziz Muhammad Ad-Durawardi

4) Ibrahim Ibn Abi Yahya Al-Aslami

5) Muhammad Ibn Sa'id Ibn Abi Faudaik

6) Abd Allah Ibn Nafi.

Kemudian ulama Yaman yang dijadikan guru oleh Imam Syaf’i adalah:

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassar, terj. Muhamad Afif, (Jakarta: PT. Niaga
40

Swadaya, 2010), hlm.7-8.


46

1) Mutharraf Ibn Mazim;

2) Hisyam Ibn Yusuf;

3) Umar Ibn Abi Salamah (pembangun Mazhab Auzai)

4) Yahya Ibn Hasan (pembangun Mazhab Laits)

Dan adapun guru-guru Imam Syafi'i dari kalangan ulama Irak, adalah:

1) Waki bin Jarrah

2) Hummad bin Usamah

3) Ismail bin Ulyah

4) Abdul Wahab bin Abdul Madjid

5) Muhammad bin Hasan

6) Qadhi bin Yusuf

Secara garis besar, dalam menguasai fiqih Madinah, Imam Syafi'i berguru

langsung kepada Imam Malik; sedangkan dalam menguasai fiqih Irak, ia

berguru kepada Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani yang merupakan

pelanjut fiqih Hanafi. Di samping itu, Imam Syafi’i mempelajari fiqih Al-

Auza'i dari Umar bin Abi Salamah dan mempelajari fiqh Al-Laits kepada

Yahya lbn Hasan. Dengan modal penguasaan terhadap dua aliran ini, Imam

Syafi'i "benar-benar" menguasai kelemahan dan kekuatan mazhab

sebelumnya. Konsekuensinya, rasa hormat dan kagum tethadap Imam Syafi'I

tidak bisa terhindari oleh para murid dan pengikutnya. Oleh karena itu,

hampir sebagian mazhab Sunni bermazhab Syafi'i.41

Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab, (Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Pustaka


41

Setia,2008), hlm.236.
47

Adapun mengenai murid-murid Imam Syafi’i, dapat dibagi menjadi dua,

murid-murid Imam Syafi'i yang mengembangkan Mazhab Imam Syafi'i di

Baghdad dan di Mesir, adapun murid-murid Imam Syaf’i yang

mengembangka Mazhab Imam Syaf’i di Baghdad diantaranya:

1) Abu Ali Al-Hasan Ash-Shabah Al-Za'farani (w. 260 H);

2) Husein bin Ali Al-Kurabisyi (w. 240 H);

3) Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hanbali) (w. 240 H);

4) Abu Tsaur Al-Kalabi (w.240 H)

5) Ishak bin Rahuyah (w. 277 H)

6) Al-Rabi bin Sulaiman Al-Muradi (w. 270 H)

7) Abdullah bin Zubair Al-Humaidi (w. 219 H)

8) Ibn Hanbal Al-Buthi,

9) Al-Muzani,

10) Abu Ubaid Al-Qasim Ibn Salam Al-Luqawi.

Kemudian murid-murid Imam Syafi'i yang berada di Mesir, terutama para

murid yang mendengar dan menuliskan ajaran dan membantu Imam Syaf'i

dalam menyusun kitab, di antaranya:

1) Al-Buwaithi (w. 232 H)

2) Yahya Al-Muzani (w. 264 H)


48

3) Ar-Rabi bin Sulaiman Al-Jizi (w. 256 H)

4) Harmalah bin Yahya At-Tujibi (w. 243 H)

5) Yunus bin Abdil A'ala (w. 264 H)

6) Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 268 H)

7) Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 268 H)

8) Abu Bakar Al-Humaidi (w. 129 H)

9) Abdul Aziz bin Umar (w. 234 H)

10) Abu Utsman, Muhammad bin Syafi'i [anak kandung Imam Syafi'i] (w.

232 H)

11) Abu Hanifah Al-Aswani (w. 271 H)42

Kitab-kitab Imam Syafi’i yang diriwayatkan oleh para sabhabat beliau

terbagi menjadi dua jenis:

Pertama, kitab-kitab yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i.

Parasejarawan dan perawi menyebutkan kitab-kitab jenis pertama ini

diantaranya adalah, kitab Ar Risalah, Al Umm, Ikhtilaful Iraqiyyin, dan kitab

Ikhtilaful Ali Waabdullah, dan lainnya.

Kedua, Kitab-kitab yang dinisbatkan kepada para sahabat Imam Syafi’i.

Kitab-kitab ini merupakan ringkasan dari perkataan-perkataan beliau, seperti

Mukhtasar Al- Buwaithi dan Muktashar Al- Muzanni.


42
Ibid., hlm. 233.
49

b. Paradigma Pemikiran Ushul Fiqih Imam Syafi’i

Imam Syafi’i mengurutkan sumber ijtihad atau dalil- dalil hukum ke

dalam lima peringkat diantara nya:

1) Peringkat pertama adalah al-Qur'an dan As-Sunnah. Keduanya

menempati peringkat yang sama, karena As-Sunnah adalah penjelasan

Dari al-Qur'an dan sekaligus menjadi perinci (mufashshil) bagi ayat-ayat

al-Qur’an yang lebih sering bersifat umum (mujmal). Hadits yang sejajar

dengan al-Qur'an adalah hadits yang shahih. Adapun sunah yang

memiliki derajat ahad, tidak dapat menyamai kekuatan al-Qur'an dari

sisikualitasnya sebagai nash yang mutawatir, karena hadits ahad memang

tidak mutawatir. Sebuah hadits juga tidak boleh bertentangan dengan al-

Qur an.

2) Peringkat kedua adalah ijma ulama terhadap hukum-hukum yang tidak

terdapat penjelasannya di dalam al-Qur an atau hadits. Yang dimaksud

dengan ijma' di sini adalah ijma' para ahli fiqih yang menguasai ilmu

khusus (Fiqih) dan sekaligus menguasai beberapa ilmu umum. Jumhur

ulama memberikan pengertian bahwa ijma' adalah kesepakatan para

mujtahid dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya sang Nabi

pada masa tertentu terhadap sebuah hukum syariat.

3) Peringkat ketiga adalah pendapat para sahabat nabi dengan syarat tidak

ada yang menentang pendapat tersebut, dan juga tidak melanggar ucapan

sahabat lain.
50

4) Peringkat keempat adalah pendapat para sahabat yang paling mendekati

ketetapan al-Qur an, hadits, atau qiyas (analogi) ketika terjadi perbedaan

pendapat di antara mereka.

5) Peringkat kelima adalah qiyas terhadap sebuah perkara yang

berketetapan hukum dalam al-Qur'an, hadits, atau ijma' (konsensus).

Qiyas adalah menganalogikan sesuatu yang tidak terdapat dalam nash

untuk menghasilkan hukum syariat dengan sesuatu yang hukumnya

sudah terdapat dalam nash disebabkan adanya persamaan antara kedua

hal tersebut dari segi ilat hukum.43

c. Hukum Turut Serta dalam Tindak Pidana Pembunuhan menurut Imam

Syafi’i

Imam Syafi’i dalam menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pidana

secara langsung (syarik mubasyir) dalam tindak pedana pemunuhan, beliau

tidak membedakan antara pelaku turut serta pada kasus kebetulan (tawafuq)

dan padakasus yang sudah di rencanakan (tamalu) akan tetapi Imam Syafi’i

menghukumi pelaku sesuai apa yang ia kerjakan. Oleh karna itu Imam

Syafi’i menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan

dengan hukuaman ta’zir dan ditahan (penjara) karna pelaku turut serta dalam

tindak pidana pembunuhan tersebut hanya menahan saja atau hanya mebantu

memegangi si korban saja tanpa melakukan pemukulan yang menyebabkan

korban meningal. Oleh karna itu Imam Syafi’i menghukum pelaku tersebut

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syaf’I Al-Muyassar, Terj. Muhamad Afif, (Jakarta: PT. Niaga
43

Swadaya, 2010), hlm. 29-30.


51

dengan hukuman ta’zir dan di tahan (penjara), sebagiman bagimana

dijelaskan dalam kitabnya yaitu Al-Umm:

‫س َم ا‬ َّ ‫الر ُج ُل لِ َّلر ُج ِل َر ُجاًل أ‬


ٍ ‫َي َحْب‬ ِ ‫مِح‬ ِ ِ َّ ‫(قَ َال‬
َّ ‫س‬َ َ‫ َو إ َذا َحب‬: - ُ‫ َر َ هً اهلل‬- : )‫الش افع ُي‬
‫اع ِه لَ هُ َو َرفَ َع حِلْيَتَ هُ َع ْن َح ْل ِق ِه‬
ِ ‫ضج‬ ِ ِ ٍ ِِ
َ ْ ِ‫َك ا َن بكتَ اف أ َْو َربْ ط الْيَ َديْ ِن أ َْو إِ ْم َس اك ِه َما أ َْو إ‬
‫س؛‬ ‫ب‬ ‫حُي‬ ‫و‬ ‫ر‬‫ز‬َّ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ق‬
ْ ‫ع‬ ‫اَل‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫س‬ ‫ب‬ ‫ح‬ ‫ي‬ ِ َّ‫َف َقتلَه اآْل خ ر قُتِ ل بِ ِه الْ َقاتِل و اَل قَتِ ل علَى ال‬
‫ذ‬
ُ َ ْ َ ُ َ ُ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َُ َ َُ ُ َ
.‫َن َه َذا مَلْ َي ْقتُ ْل َو إِمَّنَا حُيْ َك ُم بِالْ َقْت ِل َعلَى الْ َقاتِلِنْي َ َو َه َذا َغْيُر قَات ٍل‬
44 ِ
َّ ‫أِل‬
Imam Syafi’i rahimahullahu berkata; dan ketika seorang laki-laki menahan
(memegangi) seseorang laki-laki untuk orang lain, bagai manapun bentuk
penganiayaan nya apakah dengan mengikatnya atau memegang kedua
tangannya atau mengikatnya dan memegang kedua tangannya atau
membaringakanya (pelaku) kepada korban dan dia (pelaku) mengangkat
janggutnya dari kerongkongan. Lalu laki-laki ituh di bunuh oleh orang lain
maka di bunuh orang yang membunuhnya (di qishash) dengan sebeb
membunuh korban dan tidak dibunuh (tidak di qishash) orang yang
memeganginya dan tidak ada denda baginya dan dia di hukum ta’zir dan di
tahan (penjara). Karna sesungguhnya dalam perkara ini dia (orang yang
menahan) bukan pembunuh dan apabila menghukumi sebuah pembunuhan atas
orang-orang yang membunuh maka orang ini (orang yang menahan) bukan
sebagi pembunuh.

B. Metode Istinbath Imam Malik Dan Imam Syafi’i Tentang Hukum Pelaku

Turut Serta Dalam Tindak Pidana Pembunuhan

1. Metode Istinbath Imam Malik tentang Hukum Pelaku Turut Serta

dalam Tindak Pidana Pembunuhan

Imam Malik dalam menentukan suatu hukum Imam Malik mengunakan

beberapa metode dalam mengambil sumber hukum, akan tetapi Imam Malik tidak
44
Abi Abdilah Muhammad bin Idris as-Syafi‟i, Al-Umm, Juz II, (Beirut: Dar Al- Kutub Al-
Ijtima’iyah t.t), hlm. 26.
52

menulis secara sistematika pemikiran ushul fiqihnya. Tetapi para murid Imam

Malik yang menyusun pemikiran Imam Malik. Diantara murid Imam Malik yang

menyusun pemikiran Imam Malik adalah Qadhi’Iyad dalam kitabnya Al-

Mudarak, Sesungguhnya manhaj Imam Dar Al-Hijrah, pertama, ia mengambil

Kitabullah, jika tidak ditemukan dalam Kitabullah nashnya, ia mengambil As-

Sunnah (kategori As-Sunnah menurutnya, hadis-hadis fatwa sahabat), amal Ahlu

al-madinah, al-qiyas, al- mashlahah al-mursalah, sadd ads-dzarâi', al-urf, dan

al-'adât".

a. Al-Quran Dalam pandangan Malik, Al-Quran adalah di atas semua dalil-dalil

hukum. Ia menggunakan nash sharih (jelas) dan tidak menerima ta'wil.

Dzahir A1-Quran diambil ketika bersesuaian dengan takwil selama tidak

didapati dalil yang mewajibkan takwil. Imam Malik menggunakan mafhum

al-Muwafaqat, yaitu fahwa al-kitab. Contohnya ayat Al-Quran:

ۖ ‫ين يَ أْ ُكلُو َن أ َْم ٰوَل الْيَت َٰم ٰى ظُْل ًم ا إِمَّنَ ا يَ أْ ُكلُو َن ىِف بُطُ وهِنِ ْم نَ ًارا‬ ِ َّ ِ
َ ‫إ َّن الذ‬

‫صلَ ْو َن َسعِ ًريا‬


ْ َ‫َو َسي‬

Ayat ini dapat dipahami bahwa larangan melebih-lebihkan dan

mengurangi dalam mengurusi harta anak yatim. Selain itu, Imam Malik

menggunakan mafhum al-mukhalafah, tanbih atas illat, isyarat (garinah).

Imam Malik mendahulukan Al-Quran selama tidak ada dalam As-Sunnah.

b. As-Sunnah Imam Malik mengambil sunnah yang mutawatir masybur

setingkat dibawah mutawatir, dan khabar ahad sebagian besar,


53

mendahulukan hadis ahad dari qiyas. Selain itu, Imam Malik menggunakan

hadis munqathi dan mursal selama tidak bertentangan dengan tradisi orang-

orang Madinah.

c. Amalan Ahlul Al-Madinah Al-'urf Imam Malik memegang tradisi Madinah

sebagai hujjah (dalil hukum) karena amalannya, dinukil langsung dari Nabi.

la mendahulukan amal Ahlu Al-Madinah ketimbang khabar ahad, sedangkan

para fuqaha tidak seperti itu.

d. Fatwa sahabat fatwa sahabat digunakan oleh Imam Malik karena sebagian

para sahabat melakukan manasik haji dengan Nabi. Oleh karena itu, qaul

shahabi digunakan sebab ia dinukil dari hadis. Bahkan, Imam Malik

mengambil juga fatwa para kibar at-tabiin meskipun derajatnya tidak sampai

ke fatwa sahabat, kecuali adanya ijma para Ahlu Madinah.

e. ljma Imam Malik paling banyak menyandarkan pendapatnya pada ijma

seperti tertera dalam kitabnya Al-Muwaththa kata-kata al-amru

al-muitama' alaih dan sebagainya. ljma Ahli Madinah pun dijadikan hujah,

seperti ungkapannya, Hadza huwa al-amru al-mujtama' alaihi indana, Asal

amalan Madinah tersebut berdasarkan Sunnah, bukan hasil ijtihad (fatwa).45

f. Qiyas mazhab Imam Malik pernah menerapkan penalaran deduktifnya sendiri

menegenai persoalan-persoalan yang tidak tercakup oleh sumber sumber yang

telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, ia sangat berhati-hati dalam

melakukannya karena adanya subyektifitas dalam bentuk penalaran seperti

itu.

Dedi Supriyadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Pustaka


45

Setia,2008), hlm.166-171.
54

g. Istislah (mashlahah mursalah) istislah adalah meninggalkan apa yang telah

ada karena suatu hal yang belum diyakini. Yang dimaksud dengan Maslahah

al-Mursalah adalah maslahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak

ada. Para ulama bersepakat bahwa Mashlahah al-Mursalah bisa dijadikan

sebagai dasar pengambilan hukum dengan memenuhi persyaratan

diantaranya, pertama, Maslahah itu harus benar-benar Mashlahah yang pasti

menurut penelitian, bukan hanya sekedar perkiraan sepintas kilas. Kedua,

Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat dan bukan hanya berlaku

pada orang tertentu yang bersifat pribadi. Ketiga, Mashlahah itu harus benar-

benar yang tidak bertentangan dengan ketentuan Nash atau Ijma.

h. Al-Istihsan adalah menentukan hukum dengan mengambil mashlahah sebagai

bagian dalil yang bersifat menyeluruh dengan maksud mengutamakan

Istidlalul Mursah dari pada Qiyas, sebab mengunakan istihsan itu, tidak

berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, tetapi

mendasarkan pada Maqashid al-Syari’ah secara keseluruhan.

i. Sadd al-Zara’i menutup jalan atau sebab yang menuju kepada hal-hal yang

dilarang. Dalam hal ini Imam Malik menggunakannya sebagai salah satu

dasar pengambilan hukum, sebab semua jalan atau sebab yang bisa

mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka sesuatu itu jika dilakukan

hukumnya haram.

j. Istishab tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan

datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah ada

dimasa lampau, maka sesuatu yang sudah diyakini adanya, kemudian datang
55

keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, maka

hukumnya tetap seperti hukum pertama yaitu tetap ada.46 .

Imam Malik dalam kasus orang yang mengikat sesorang untuk orang lain lalu

orang tersebut membunuh orang yang di ikat ini Imam Malik menghukumi pelaku

turut serta dalam tindak pidana pembunuhan berdasarkan niat pelaku ketika

pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan mengetahu bahwa orang yang

dia bantu akan membunuh korban maka pelaku turut serta dalam tindak pidana

tersebut dihukumi qishash karana Imam Malik menganggap pelaku sebagai

pelaku penyertaan secara langsung sedangkan ketika pelaku turut serta tersebut

tidak mengetahui bahwa orang yang ia bantu tersebut ingin melakukan

pembunuhan terhadap korban maka pelaku turut serta tersebut dianggap pelaku

langsung dan di hukumi dengan hukuman berat dan di penjara satu tahun karna

menahan korban. Metode Imam Malik dalam menghukumi pelaku turut serta

dalam tindak pembunuhan dalam kasusu membantu menahan korban untuk orang

lalu orang lain membunuh korban tersebut mengunkan dalil Al-Qur’an surat An-

Nisa 93

‫ب اللّهُ َعلَْي ِه َولَ َعنَ هُ َوأ ََع َّد لَهُ َع َذابًا‬ ِ ِ ِ ‫ومن ي ْقتل مؤِمن ا ُّمتع ِّم ًدا فَج زآؤه جهن‬
َ ‫َّم َخال ًدا ف َيه ا َو َغض‬
ُ َ َ ُُ َ َ ََ ً ُْ ْ ُ َ ََ

‫يما‬ ِ
ً ‫َعظ‬

Dan barangsiapa yang membunuh seorang yang beriman dengan sengaja


maka balasannya ialah Neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.”(QS,
An-Nisa 93)47

Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri (Cet.II; Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 199
46
56

Imam Malik dalam memahami Al-Quran yaitu mendahulukan lafadz zhahir

Al-Qur’an yakni melalu kajian makna yang tersurat dari ayat Al-Quran tersebut.

Oleh karna itu Imam Malik dalam memahmi ayat pembunuhan sengaja ini dengan

makan zhahir. Yaitu memahami makna sengaja di sinih dengan perbuat yang di

sengaja di perbuat berdasrkan niat melewan hukum dan menyebabkan kematian.

Oleh karna itu dalam kasus orang yang membantu menahan seseorang untuk

orang lain berdasarkan niat pelaku ketika pelaku turut serta berniat membunuh

korban maka pelaku di hukum dengan hukuman qishash karana disamakan

dengan pembembunuhan senggaja dan ketiak pelaku tidak ada niat membunuh

maka Imam Malik menghukumi pelaku tersebut dengan hukuman berat yaitu di

penjara karan membantu orang lain untuk membunuh korban.

Adapun landasan hukum Imam Malik boleh nya menghukum dua orang

karana membunuh satu orang adalah fatwa-fatwa sahabat Umar bin Khatab:

‫اح ٍد‬
ِ ‫ مَخْسةً أَو سبعةً بِرج ٍل و‬، ‫اب َقتَل َن َفرا‬
َ ُ َ َ َْ ْ َ ً َ
ِ َّ‫َن عُمر بْن اخْلَط‬ ِ ِِ
َ َ َ َّ ‫ أ‬، ‫َع ْن َسعيد بْ ِن الْ ُم َسيِّب‬
‫صْن َعاءَ لََقَت ْلُت ُه ْم مَجِ ًيعا‬ ِ َ َ‫َقَتلُوهُ َقْت َل ِغيلَ ٍة َوق‬
َ ‫ لَ ْو مَتَاأَل َ َعلَْيه أ َْه ُل‬: ‫ال عُ َم ُر‬
48

Dari Sa’id bin Al-Muassab bahwa Umar bin Khatab r.a telah membunuh lima
atau tujuh orang sebab membunuh seorang laki-laki dengan cara tipu muslihat,
dan Umar r.a berkata: Seandainya penduduk Ṣan’a ikut bersama-sama membunuh
anak itu, sungguh aku pasti akan menghukum bunuh mereka semua.

Menurut analisis penulis mengenai fatwa sahabat Umar bin Khatab ini

dimana Umar bin Khatab telah menghukum qiṣhaṣh terhadap beberapa orang
47
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Pustaka Abadi
Bangsa, 2012), hal. 93.
48
Imam Anas Ibnu Malik, Almuwattha, (Libanon: Daar al kotob al llmiyah, 2006), hlm.487
57

yang membunuh seorang yang ada di daerah Shan’a, dalam pembunuhan tersebut

terdapat unsur ghilah (tipu muslihat) dan unsur tamalu (perencanan).

2. Metode Istinbath Imam Syafi’i tentang Hukum Pelaku Turut Serta dalam

Tindak Pidana Pembunuhan

Imam Syafi’i dalam menentukan suatu hukum Imam Imam Syafi’i

mengurutkan sumber ijtihad atau dalil- dalil hukum ke dalam lima peringkat

diantara nya:

a. Peringkat pertama adalah al-Qur'an dan As-Sunnah. Keduanya menempati

peringkat yang sama, karena As-Sunnah adalah penjelasan Dari al-Qur'an

dan sekaligus menjadi perinci (mufashshil) bagi ayat-ayat al-Qur’an yang

lebih sering bersifat umum (mujmal). Hadits yang sejajar dengan al-Qur'an

adalah hadits yang shahih. Adapun sunah yang memiliki derajat ahad,

tidak dapat menyamai kekuatan al-Qur'an dari sisikualitasnya sebagai nash

yang mutawatir, karena hadits ahad memang tidak mutawatir. Sebuah

hadits juga tidak boleh bertentangan dengan al-Qur an.

b. Peringkat kedua adalah ijma ulama terhadap hukum-hukum yang tidak

terdapat penjelasannya di dalam al-Qur an atau hadits. Yang dimaksud

dengan ijma' di sini adalah ijma' para ahli fiqih yang menguasai ilmu

khusus (Fiqih) dan sekaligus menguasai beberapa ilmu umum. Jumhur

ulama memberikan pengertian bahwa ijma' adalah kesepakatan para

mujtahid dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya sang Nabi pada

masa tertentu terhadap sebuah hukum syariat.


58

c. Peringkat ketiga adalah pendapat para sahabat nabi dengan syarat tidak ada

yang menentang pendapat tersebut, dan juga tidak melanggar ucapan

sahabat lain.

d. Peringkat keempat adalah pendapat para sahabat yang paling mendekati

ketetapan al-Qur an, hadits, atau qiyas (analogi) ketika terjadi perbedaan

pendapat di antara mereka.

e. Peringkat kelima adalah qiyas terhadap sebuah perkara yang berketetapan

hukum dalam al-Qur'an, hadits, atau ijma' (konsensus). Qiyas adalah

menganalogikan sesuatu yang tidak terdapat dalam nash untuk

menghasilkan hukum syariat dengan sesuatu yang hukumnya sudah

terdapat dalam nash disebabkan adanya persamaan antara kedua hal

tersebut dari segi ilat hukum.49

Dalam kasus orang (pertama) yang membantu memegangi korban agar orang

kedua dapat membunuh korban. Imam Syafi’i menghukumi orang yang

memengangi tersebut dengan hukuman ta’zir dan ditahan karena Imam Syafi’i

mengap orang yang membunuh tersebut bukan lah pembunuhnya karna Imam

Syafi’i menghukumi pelaku perdasarkan perbuatan pelaku bukan berdasarkan niat

pelaku akan tetetapi berdaasrkan peruatan pelaku, sebagi mana di jelaskan oleh

Imam Syaf’i dalam kitab nya Al-Umm : Asy Syafi'i berkata "Ibrahim bin

Muhammad memberitakan ke pada kami dari Muhammad bin Ja 'far bin

Muhammad dari ayahnya dari neneknya ia berkata: "Didapati pada pegangan

pedang Rasulullah saw. tulisan (yang herbunyi):

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Asy-Syaf’I Al-Muyassar, Terj. Muhamad Afif (Jakarta: PT. Niaga
49

Swadaya, 2010), hlm. 29-30.


59

‫ض ا ِربِِه َو َم ْن َت َوىَّل َغْي َر َم َوالِْي ِه‬ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫إِ َّن أ َْع َدءَ الن‬
ُ ‫َّاس َعلَى اهلل الْ َقات ُل َغْي َر قَاتل ه َو الضَّا ِر‬
َ ‫ب َغْي َر‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ٍ ‫مِب‬
َ ‫َف َق ْد َك َفَر َا أَْنَزَل اهللُ َعلَى حُمَ َّمد‬

Sebesar besar manusia yang menjadi musuh Allah ialah orang-orang yang
membunuh orang yang bukan pembunuhnya dan pemukul orang yang bukan
pemukulnya, dan siapa yang mewalii orang yang bukan dibawah perwaliannya,
maka dia telah mengingkari dengan apa yang diturunkan oleh Allah kepada
Muhammad saw.

Ar Rabi' memberitakan kepada kami ia berkata, Asy Syafi'i memberitakan


kepada kami ia berkata, Sufyan bin Uyainah memberitakan kepada kami dari
Muhammad bin Ishaq ia berkata: "Saya berkata ke pada Abu Jafar Muhammad bin
Ali ra. mengenai apa yang terdapat di dalam lembaran tertulis yang ada pada
kerabat Rasulullah saw. lalu dia berkata "Di dalam lembaran itu tertutis "Allah
melaknat orang yang membunuh yang bukan pembunuhnva dan pemukul orang
yang bukan pemukulnya, barang siapa yang mewalii orang yang tidak dibawah
perwaliannya maka dia telah ingkar dengan apa yang diturunkan oleh Allah Yang
Maha Tinggi sebutan-Nya kepada Muhammad saw.50

Adapun landasan hukum Imam Syafi’i membolehkan menghukumi dua orang

karena membunuh satu orang adalah fatwa fatwa sahabat Umar bin Khatab:

ِ َّ‫َن عُم ر بْن اخْلَط‬


‫ مَخْ َس ةً أ َْو َس ْب َعةً بَِر ُج ٍل‬، ‫اب َقتَ َل َن َف ًرا‬ ِ ِِ
َ َ َ َّ ‫ أ‬، ‫َع ْن َس عيد بْ ِن الْ ُم َس يِّب‬
51
‫صْن َعاءَ لََقَت ْلُت ُه ْم مَجِ ًيعا‬ ِ َ َ‫اح ٍد َقَتلُوهُ َقْت َل ِغيلَ ٍة َوق‬
َ ‫ لَ ْو مَتَاأَل َ َعلَْيه أ َْه ُل‬: ‫ال عُ َمُر‬
ِ‫و‬
َ
50
Abi Abdilah Muhammad bin Idris as-Syafi‟I, al-Umm, ,penerjemah,Ismail Yakub Juz ix,
(Kuala Lumpur: Victory Agencie,198), hlm. 128.
51
Imam Anas Ibnu Malik, Almuwaththa, (Libanon: Daar Al Khotob Al llmiyah, 2006),
hlm.487
60

Dari Sa’id bin Al-Muassab bahwa Umar bin Khatab r.a telah membunuh lima
atau tujuh orang sebab membunuh seorang laki-laki dengan cara tipu muslihat,
dan Umar r.a berkata: Seandainya penduduk Ṣan’a ikut bersama-sama membunuh
anak itu, sungguh aku pasti akan menghukum bunuh mereka semua.

C. Persamaan dan Perbedaan Pendapat antara Imam Malik dan Imam


Syafi’i dalam Menetapkan Hukum Bagi Pelaku Turut Serta dalam
Tindak Pidana Pembunuhan

Hukum bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana Pembunuhan, terdapat

persamaan dan perbedaan pendapat diantara Imam Malik dan Imam Syafi’i,

adapun persamaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Syafi’i adalah sama-

sama menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pembunuhan dimana

persamaan pendapat ini dikarnakan Imam Malik dan Imam Syafi’i menggunkan

sumber hukum yang sama yaitu fatwa Umar bin Khatab dimana Umar bin Khatab

telah menghukum qiṣaṣ terhadap beberapa orang yang membunuh seorang yang

ada di daerah Shan’a, yang dimana dalam pembunuhan tersebut terdapat unsur

ghilah (tipu muslihat), adapun fatawa Umar ibn Khatab tersebut :

‫اح ٍد‬
ِ ‫ مَخْس ةً أَو س بعةً بِرج ٍل و‬، ‫اب َقتَ ل َن َف را‬
َ ُ َ ََْ ْ َ ً َ
ِ َّ‫َن عُم ر بْن اخْلَط‬ ِ ِِ
َ َ َ َّ ‫ أ‬، ‫َع ْن َس عيد بْ ِن الْ ُم َس يِّب‬

‫صْن َعاءَ لََقَت ْلُت ُه ْم مَجِ ًيعا‬ ِ َ َ‫َقَتلُوهُ َقْت َل ِغيلَ ٍة َوق‬
َ ‫ لَ ْو مَتَاأَل َ َعلَْيه أ َْه ُل‬: ‫ال عُ َم ُر‬

Dari Sa’id bin Al-Muassab bahwa Umar bin Khatab r.a telah membunuh
lima atau tujuh orang sebab membunuh seorang laki-laki dengan cara tipu
muslihat, dan Umar r.a berkata: “Seandainya penduduk Ṣan’a ikut bersama-sama
membunuh anak itu, sungguh aku pasti akan menghukum bunuh mereka semua.
61

Menurut analisis penulis mengenai fatwa sahabat Umar bin Khatab ini dimana

Umar bin Khatab telah menghukum qiṣaṣ terhadap beberapa orang yang

membunuh seorang yang ada didaerah Shan’a, dalam pembunuhan tersebut

terdapat unsur ghilah (tipu muslihat) dan unsur tamalu (perencanan)’ dimana para

pelaku turut serta dalam pembunuhan tersebut turut serta tersebut ikut membunuh

korban.

Dalam kasus turut serta yang dimana pelaku turut serta nya hanya membantu

memegangi korbannya saja tampa ikut memukul atau melukai korbannya

sehingga korban tersebut meninggal, Imam Malik dan Imam Syafi’i berbeda

pendapat. Imam Malik menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan dengan dua hukuman yaitu dengan hukuman qishash dan hukuman

berat dan di tahan atau di penjara dimana ketika pelaku turut serta dalam tindak

pidana pembunuhan mengetahu bahwa orang yang dia bantu akan membunuh si

korban maka pelaku turut serta dalam tindak pidana tersebut di hukumi qishash

sedangkan ketika pelaku turut serta tersebut tidak mengetahui bahwa orang yang

ia bantu tersebut ingin melakukan pembunuhan terhadap korban maka pelaku

turut serta tersebut dihukumi dengan hukuman berat dan di penjara satu tahun

kana menahan korban tersebut, sebagaimana penjelasan Imam Malik dalm kitab

nya. dalam kitab Al- Muwatta:

‫ َان َّ ُه ِا َّن َا ْم َس َك ُه َو ُه َو يَ َرى‬. ‫ فَ َيرْض ِبُ ُه فَ َي ُم ْو ُت َم َكنَ ُه‬. ِ‫ ىِف َّالر ُجلِ يُ ْم ِس ُك و َّالر ُج َل ِل َّلر ُجل‬، ٌ ‫قَا َل َماكِل‬
‫ اَل‬.‫َان َّ ُه يُ ِريْدُ قَ ْتهَل ُ قُ ِتاَل ِب ِه مَج ِ ْي ًعا َو َّن َا ْم َس َك ُه َو ه َُو يَ َرى َأن َّ ُه ن َّ َما يُ ِريْدُ الرَض َّ َب ِب َما يَرْض ِ ُب ِب ِه النَّ ُاس‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
62

‫ َو ي ُْس َج ُن َس نَ ًة َأِلن َّ ُه‬،‫ َو ي َ َع اقَ ُب الْ ُم ْم ِس ُك َأ َش َّد الْ ُع ُق ْوب َ ِة‬،‫ فَ ِان َّ ُه يُ ْقتَ ُل الْ َقا ِت ُل‬، ِ ‫يَ َرى ِان َّ ُه مَع َ دَ ِل َق ْتهِل‬
52
.‫ َو اَل يَ ُك ْو ُن عَلَ ْي ِه الْ َق ْت ُل‬،ُ‫َأ ْم َس َكه‬

Imam Malik berkata, di dalam kasus seorang laki-laki yang menahan


(memegang) seseorang untuk seseorang, kemudian orang tersebut memukul orang
yang ditahan tersebut sehingga orang yang dipukul meninggal ditempat. Bahwa
sesunggnguhnya dalam perkara ini. Sesunguhnya orang yang menahannya dan
adapun orang yang menahannya itu tau bahwa orang tersebut itu ingin membunuh
koraban, maka keduanya (yang menahan dan yang memukul) dibunuh (qishash)
dengan sebab kejadian ini semua”. Apabila dia menahan nya dengan beranggapan
hanya ingin memukul nya sebagaimana orang lain memukulnya, tanpa berpikir
ingin sengaja membunuhnya, maka dibunuh oleh pembunuh, dan orang yang
menahannya di kenakan hukuman berat dan di penjara satu tahun karna
menahannya, dan tidak di kenakan hukuman mati.
Imam Malik menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan dengan hukuman qishash dan hukuman penjara karena berdasarkan

dalil Al-Qur’an surat An-Nisa 93

‫ب اللّهُ َعلَْي ِه َولَ َعنَ هُ َوأ ََع َّد لَهُ َع َذابًا‬ ِ ِ ِ ‫ومن ي ْقتل مؤِمن ا ُّمتع ِّم ًدا فَج زآؤه جهن‬
َ ‫َّم َخال ًدا ف َيه ا َو َغض‬
ُ َ َ ُُ َ َ ََ ً ُْ ْ ُ َ ََ

‫يما‬ ِ
ً ‫َعظ‬

Dan barangsiapa yang membunuh seorang yang beriman dengan sengaja


maka balasannya ialah Neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.”(QS,
An-Nisa 93)53

Imam Malik dalam memahami Al-Quran yaitu mendahulukan lafadz zhahir

Al-Qur’an yakni melalu kajian makna yang tersurat dari ayat Al-Quran tersebut.

52
Imam Anas Ibnu Malik, Almuwattha, (Libanon: Daar Al Khotob Al llmiyah, 2006), hlm. 488-
489.
53
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Pustaka Abadi
Bangsa, 2012), hal. 93.
63

Oleh karena itu Imam Malik dalam memahami ayat pembunuhan sengaja ini

dengan makan zhahir. Yaitu memahami makna sengaja disini dengan perbuat

yang disengaja diperbuat berdasarkan niat melewan hukum dan menyebabkan

kematian. Oleh karna itu dalam kasus orang yang membantu menahan seseorang

untuk orang lain berdasarkan niat pelaku ketika pelaku turut serta berniat

membunuh korban maka pelaku di hukum dengan hukuman qishash

Imam Syafi’i menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pidana secara

pembunuhan dengan hukuman ta’zir dan ditahan (penjara) karena pelaku turut

serta dalam tindak pidana pembunuhan tersebut hanya menahan saja atau hanya

membantu memegangi si korban saja tanpa melakukan pemukulan yang

menyebabkan korban meninggal. Oleh karena itu Imam Syafi’i menghukumi

pelaku tersebut dengan hukuman ta’zir dan ditahan (penjara), sebagaimana

dijelaskan dalam kitabnya yaitu Al-Umm:

‫س َما َك ا َن‬ َّ ‫الر ُج ُل لِ َّلر ُج ِل َر ُجاًل أ‬


ٍ ‫َي َحْب‬ ِ ‫مِح‬ ِ ِ َ َ‫(ق‬
َّ ‫س‬َ َ‫ َو إ َذا َحب‬: - ُ‫ َر َهً اهلل‬- : )‫ال الشَّافع ُي‬
ِِ ‫حِل‬ ِ ِ ْ ِ‫اف أَو رب ِط الْي َدي ِن أَو إِمس اكِ ِهما أَو إ‬ ٍ ‫بِ ِكت‬
ُ‫ض َجاعه لَ هُ َو َرفَ َع ْيَتَ هُ َع ْن َح ْلق ه َف َقَتلَ ه‬ ْ َ َ ْ ْ ْ َ َْ ْ َ
‫َن َه َذا‬ َّ ‫اآْل َخ ُر قُتِ َل بِِه الْ َقاتِ ُل َو اَل قَتِ َل َعلَى الَّ ِذي َحبَ َسهُ َو اَل َع ْق َل َو يُ َعَّزُر َو حُيْبَس؛ أِل‬
ُ
.‫مَلْ َي ْقتُ ْل َو إِمَّنَا حُيْ َك ُم بِالْ َقْت ِل َعلَى الْ َقاتِلِنْي َ َو َه َذا َغْيُر قَات ٍل‬
54 ِ

Imam Syafi’i rahimahullahu berkata; “dan ketika seorang laki-laki menahan


(memegangi) seseorang laki-laki untuk orang lain, bagai manapun bentuk
penganiayaan nya apakah dengan mengikatnya atau memegang kedua tangannya
atau mengikatnya dan memegang kedua tangannya atau membaringakanya
(pelaku) kepada korban dan dia (pelaku) mengangkat janggutnya dari

54
Abi Abdilah Muhammad bin Idris as-Syafi‟i, Al-Umm, Juz II, (Beirut: Dar Al- Kutub Al-
Ijtima’iyah t.t), hlm. 26.
64

kerongkongan. Lalu laki-laki itu di bunuh oleh orang lain maka di bunuh orang
yang membunuhnya (di qishash) dengan sebeb membunuh korban dan tidak
dibunuh (tidak di qishash) orang yang memeganginya dan tidak ada denda
baginya dan dia di hukum ta’zir dan di tahan (penjara). Karna sesungguhnya
dalam perkara ini dia (orang yang menahan) bukan pembunuh dan apabila
menghukumi sebuah pembunuhan atas orang-orang yang membunuh maka orang
ini (orang yang menahan) bukan sebagai pembunuh.
Dalam kasus orang (pertama) yang membantu memegangi korban agar orang

kedua dapat membunuh korban. Imam Syafi’i menghukumi orang yang

memengangi tersebut dengan hukuman ta’zir dan ditahan karena Imam Syafi’i

mengap orang yang membunuh tersebut bukan lah pembunuhnya karna Imam

Syafi’i menghukumi pelaku perdasarkan perbuatan pelaku bukan berdasarkan niat

pelaku akan tetetapi berdaasrkan peruatan pelaku, sebagi mana di jelaskan oleh

Imam Syaf’i dalam kitab nya Al-Umm : Asy Syafi'i berkata "Ibrahim bin

Muhammad memberitakan ke pada kami dari Muhammad bin Ja 'far bin

Muhammad dari ayahnya dari neneknya ia berkata: "Didapati pada pegangan

pedang Rasulullah saw. tulisan (yang herbunyi):

‫ض ا ِربِِه َو َم ْن َت َوىَّل َغْي َر َم َوالِْي ِه‬ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫إِ َّن أ َْع َدءَ الن‬
ُ ‫َّاس َعلَى اهلل الْ َقات ُل َغْي َر قَاتل ه َو الضَّا ِر‬
َ ‫ب َغْي َر‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ٍ ‫مِب‬
َ ‫َف َق ْد َك َفَر َا أَْنَزَل اهللُ َعلَى حُمَ َّمد‬

Sebesar besar manusia yang menjadi musuh Allah ialah orang-orang yang
membunuh orang yang bukan pembunuhnya dan pemukul orang yang bukan
pemukulnya, dan siapa yang mewalii orang yang bukan dibawah perwaliannya,
maka dia telah mengingkari dengan apa yang diturunkan oleh Allah kepada
Muhammad saw.

Ar Rabi' memberitakan kepada kami ia berkata, Asy Syafi'i memberitakan


kepada kami ia berkata, Sufyan bin Uyainah memberitakan kepada kami dari
65

Muhammad bin Ishaq ia berkata: "Saya berkata ke pada Abu Jafar Muhammad bin
Ali ra. mengenai apa yang terdapat di dalam lembaran tertulis yang ada pada
kerabat Rasulullah saw. lalu dia berkata "Di dalam lembaran itu tertutis "Allah
melaknat orang yang membunuh yang bukan pembunuhnva dan pemukul orang
yang bukan pemukulnya, barang siapa yang mewalii orang yang tidak dibawah
perwaliannya maka dia telah ingkar dengan apa yang diturunkan oleh Allah Yang
Maha Tinggi sebutan-Nya kepada Muhammad saw.55

Adapun landasan hukum Imam Syafi’i membolehkan menghukumi dua orang

karena membunuh satu orang adalah fatwa fatwa sahabat Umar bin Khatab:

ِ َّ‫َن عُم ر بْن اخْلَط‬


‫ مَخْ َس ةً أ َْو َس ْب َعةً بَِر ُج ٍل‬، ‫اب َقتَ َل َن َف ًرا‬ ِ ِِ
َ َ َ َّ ‫ أ‬، ‫َع ْن َس عيد بْ ِن الْ ُم َس يِّب‬
56
‫صْن َعاءَ لََقَت ْلُت ُه ْم مَجِ ًيعا‬ ِ َ َ‫اح ٍد َقَتلُوهُ َقْت َل ِغيلَ ٍة َوق‬
َ ‫ لَ ْو مَتَاأَل َ َعلَْيه أ َْه ُل‬: ‫ال عُ َمُر‬
ِ‫و‬
َ
Dari Sa’id bin Al-Muassab bahwa Umar bin Khatab r.a telah membunuh lima
atau tujuh orang sebab membunuh seorang laki-laki dengan cara tipu muslihat,
dan Umar r.a berkata: Seandainya penduduk Ṣan’a ikut bersama-sama membunuh
anak itu, sungguh aku pasti akan menghukum bunuh mereka semua.

Dalam hukum pidana Indonesia hukuman bagi pelaku turut serta melakukan

kejahatan ini diatur dalam Bab 5 Pasal 57 KUH Pidana. Dalam Pasal 57di

jelaskan sebagi berikut:

1) Dalam hal pembantuan melakukan kejahatan, maksimum pidana pokok

terhadap kejahatan dikurangi sepertiganya.

55
Abi Abdilah Muhammad bin Idris as-Syafi‟I, al-Umm, ,penerjemah,Ismail Yakub Juz ix,
(Kuala Lumpur: Victory Agencie,198), hlm. 128.
56
Imam Anas Ibnu Malik, Almuwaththa, (Libanon: Daar Al Khotob Al llmiyah, 2006),
hlm.487
66

2) Bila kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan pidana tambahan bagi

kejahatannya sendiri.

4) Dalam menentukan pidana bagi si pembantu perbuatan kejahatan, yang

diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar

olehnya, beserta akibat-akibatnya. 57

Dalam pasal 57 KUH Pidana tersebut hukuman bagi peserta pembantu

tidak sama dengan pembuat. Pidana pokok untuk pembantu diancam lebih

ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat di dalam Pasal 57 ayat 1 dan ayat 2

KUHP di atas yang menyatakan bahwa maksimum pidana pokok untuk

pembantuan dikurangi sepertiga, dan apabila kejahatan yang dilakukan

diancamkan dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka

maksimum pidana pokok untuk pembantu adalah lima belas tahun penjara

Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (pembunuhan)

dalam bentuk pokok, dimuat dalam Pasal 338 KUHP yang rumusannya adalah:

“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.58

Adapun rumusan unsur-unsurnya, adalah sebagai berikut:

Unsur Objektif

57
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta:Bumi Askara, 2014), hlm. 25
58
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta:Bumi Askara, 2014), hlm. 25
67

1) Perbuatan menghilangkan nyawa

2) Objeknya yaitu nyawa orang lain

Unsur Subjektif

1) Dengan sengaja

Dengan demikian hukuman bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan dihukum dengan hukuman sepertiga dari hukuman pelaku langsung

jika pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman pidana penjara 15 tahun maka

pelaku turut serta dalam pembunuhan di hukumi dengan hukuman pidana penjara

5 tahun.

Imam Malik menghukumi pelaku turut seta dalam tindak berdasarkan niat

pelaku dengan hukuman qishash jika pelaku turut serta dalam pembunuhan

mengetahui orang yang ia bantu ingin membunuh korban dan hukuman penjara

jika ia tidak mengetahui orang yang ia bantu akan membunuh korban sedangkan

Imam Syafi’i menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan

berdasarkan perbuatan pelaku dengan hukuman ta’zir dan dipenjara.

Berdasarkan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tersebut pendapat yang

paling bersesuaian dengan hukum pidana di Indonesia adalah pendap Imam

Sayafi’i karana Imam Syafi’I menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan berdasarkan perbuatan pelaku dengan hukuman ta’zir dan dipenjara

dimana dalam hukum pidana di Indonesia pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan dihukum sepertiga dari hukman pelaku langsung.


68

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang penyusun lakukan maka dapat ditarik

kesimpulan:

1. Dalam kasus keturut sertaan dalam tindak pidana pembunuhan Imam

Malik menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan

dengan hukuman qishash jika pelaku turut serta tersebut mengetahu bahwa

orang yang ia bantu tersebut ingin membunuh korban dan jika pelaku turut

serta tersebut tidak mengetahu bahwa orang yang ia bantu ingin

membunuh korban maka pelaku turut serta tersebut di hukumi dengan

hukuman penjara selema satu tahun sedangkan Imam Syafi’i menhukumi

pelaku turut serta tersebut dengan hukuman ta’zir dan di tahan (di penjara)

2. Metode istimabat hukum yang di gunakan Imam Malik dalam menetapkan

hukuman bagi pelaku turut serta yaitu dengan memahami lafad zhahir
69

dalam memami ayat Al- Qur’an dan mengunakan Ftawa sahabat Umar bin

Khatab tentang pembunuhan tipu muslihat. Sedangkan Imam Syafi’i

dalam menentukan hukuman bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan mengunkan hadis dan Ftawa sahabat Umar bin Khatab

tentang pembunuhan tipu muslihat.

3. Persamaan antara Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam menetukan pelaku

turutserta dalam tindak pidana pembunuhan yaitu sama-sama menghukumi

pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan dengan hukuman

penjara. Perbedaan pendapat antara Imam Malik Dan Imam Syafi’i yaitu

Imam Malik menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan dengan hukuman qishash dan hukuman penjara sedangkan

Imam Syafi’i hanya menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pidana

dengan hukuman ta’zir dan dipenjara. Berdasarkan pendapat Imam Malik

dan Imam Syafi’i tersebut pendapat yang paling bersesuaian dengan

hukum pidana di Indonesia adalah pendap ImamN Sayafi’i karana Imam

Syafi’I menghukumi pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan

berdasarkan perbuatan pelaku dengan hukuman ta’zir dan dipenjara

dimana dalam hukum pidana di Indonesia pelaku turut serta dalam tindak

pidana pembunuhan di jatuhi hukuman sepertiga dari pelaku langsung.

B. Saran
70

Sehubungan dengan penulisan skripsi ini, maka penulis akan memberikan

saran-saran yang diharapkan akan berguna dan bermanfaat bagi kepentingan

masyarakat. Saran yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Untuk para hakim agar lebih mempertimbangkan dalam memutuskan

hukuman kepada tersangka karena para fuqaha memiliki metodelogi yang

berbeda dalam menentukan suatu hukum.

2. Dengan mengetahui metodologi Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam

menentukan hukum bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana pembunuhan

di harpkan kepada masarakat agar tidak terjadi saling menyalah nyalah kan

antar pedapat karna padadasarnya Imam Malik dan Imam Syafi’i memeliki

landasan hukum masing- masing dalam mentukan hukum bagi pelaku turut

serta dalam tindak pidana pembunnuhan.

Janganlah menjadikan suatu perbedaan pendapat sebagi alat untuk

menjatuhan antar individu atau kelompok dan janganlah menjadikan

perbedaan pendapat ini sebagai alat untuk memecah umat. Terutama dalam

permasalahan hukum bagi pelaku turut serta dalam tindak pidana

pembunuhan.
71

Anda mungkin juga menyukai