Anda di halaman 1dari 11

KOMUNIKASI TERAPEUTIK

1.  PENGERTIAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK


Komunikasi terapeutik adalah suatu pengalaman bersama antara perawat klien yang
bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien yang mempengaruhi perilaku pasien.
Hubungan perawat klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar bersama dan pengalaman
dengan menggunakan berbagai tekhnik komunikasi agar perilaku klien berubah ke arah
positif seoptimal mungkin. Untuk melaksanakan komunikasi terapeutik yang efektif perawat
harus mempunyai keterampilan yang cukup dan memahami tentang dirinya.
Teori komunikasi sangat sesuai dalam praktek keperawatan (Stuart dan Sundeen,
1987, hal. 111) karena :
1.      Komunikasi merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik. Dalam proses
komunikasi terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran.
2.      Maksud komunikasi adalah mempengaruhi perilaku orang lain. Berarti, keberhasilan
intervensi keperawatan bergantung pada komunikasi karena proses keperawatan ditujukan
untuk merubah perilaku dalam mencapai tingkat kesehatan yang normal.
3.      Komunikasi adalah berhubungan. Hubungan perawat dan klien yang terapeutik tidak
mungkin dicapai tanpa komunikasi.
Dalam membina hubungan terpeutik dengan klien, perawat perlu mengetahui proses
komunikasi dan keterampilan berkomunikasi dalam membantu klien memecahkan
masalahnya.
Elemen yang harus ada pada proses komunikasi adalah pengirim pesan, penerima
pesan, media dan umpan balik. Semua perilaku individu pengirim dan penerima adalah
komunikasi yang akan member efek pada perilaku. Pesan yang disampaikan dapat berupa
verbal dan nonverbal. Bermain merupakan cara berkomunikasi dan berhubungan yang baik
dengan klien anak.
Perawat dapat menyampaikan atau mengkaji secara nonverbal antara lain : Vokal;
nada, kualitas, keras ato lembut, kecepatan, yang semuanya menggambarkan suasana emosi.
1.      Gerakan; reflex, postur, ekspresi muka, gerakan yang berulang, atau gerakan-gerakan yang
lain. Khusus gerakan dan ekspresi muka dapat diartikan sebagai suasana hati.
2.      Jarak (space)
Jarak dalam berkomunikasi dengan orang lain menggambarkan keintiman.
3.      Sentuhan : dikatakan sangat penting, namun perlu mempertimbangkan aspek budaya dan
kebiasaaan.
Agar perawat dapat berperan efektif dalam terapeutik ia harus menganalisa dirinya :
kesadaran diri klarifikasi nilai, perasaan dan mampu menjadi model yang bertanggung jawab.
Seorang perawat tidak akan dapat mengetahui kondisi klien jika tidak ada kemampuan
menghargai keunikan klien.
Komunikasi terapeutik tidak dapat berlangsung sendirinya, tetapi harus di rencanakan,
di pertimbangkan dan di lakukan secara profesional. Pada saat pertama kali perawat
melakukan komunikasi terapeutik proses komunikasi umumnya berlangsung singkat,
canggung, semu dan seperti di buat-buat.hal ini akan lebih membantu untuk mempersepsikan
masing-masing hubungan pasien karena adanya kesempatan untuk mencapai hubungan antar
manusia yang positif sehingga akan mempermudah pencapaian tujuan terapeutik.

2.  FASE – FASE KOMUNIKASI TERAPEUTIK


1.    Tahap Persiapan (Prainteraksi)
Tahap Persiapan atau prainteraksi sangat penting dilakukan sebelum berinteraksi
dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada tahap ini perawat menggali perasaan dan
mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Pada tahap ini perawat juga mencari
informasi tentang klien. Kemudian perawat merancang strategi untuk pertemuan pertama
dengan klien. Tahap ini harus dilakukan oleh seorang perawat untuk memahami dirinya,
mengatasi kecemasannya, dan meyakinkan dirinya bahwa dia siap untuk berinteraksi dengan
klien (Suryani, 2005).
Tugas perawat pada tahap ini antara lain:
a.       Mengeksplorasi perasaan, harapan, dan kecemasan. Sebelum berinteraksi dengan klien, perawat perlu
mengkaji perasaannya sendiri (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Perasaan apa yang muncul sehubungan
dengan interaksi yang akan dilakukan. Apakah ada perasaan cemas? Apa yang dicemaskan? (Suryani,
2005).
b.      Menganalisis kekuatan dan kelemanhan sendiri. Kegiatan ini sangat penting dilakukan agar perawat
mampu mengatasi kelemahannya secara maksimal pada saat berinteraksi dengan klien. Misalnya seorang
perawat mungkin mempunyai kekuatan mampu memulai pembicaraan dan sensitif terhadap perasaan orang
lain, keadaan ini mungkin bisa dimanfaatkan perawat untuk memudahkannya dalam membuka
pembicaraan dengan klien dan membina hubungan saling percaya (Suryani, 2005).
c.       Mengumpulkan data tentang klien. Kegiatan ini juga sangat penting karena dengan mengetahui informasi
tentang klien perawat bisa memahami klien. Paling tidak perawat bisa mengetahui identitas klien yang bisa
digunakan pada saat memulai interaksi (Suryani, 2005).
d.      Merencanakan pertemuan yang pertama dengan klien. Perawat perlu merencanakan pertemuan pertama
dengan klien. Hal yang direncanakan mencakup kapan, dimana, dan strategi apa yang akan dilakukan
untuk pertemuan pertama tersebut (Suryani, 2005).

2. Tahap Perkenalan
Perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu atau kontak
dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada saat berkenalan, perawat harus memperkenalkan
dirinya terlebih dahulu kepada klien (Brammer dalam Suryani, 2005). Dengan
memperkenalkan dirinya berarti perawat telah bersikap terbuka pada klien dan ini diharapkan
akan mendorong klien untuk membuka dirinya (Suryani, 2005). Tujuan tahap ini adalah
untuk memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien saat
ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang lalu (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005).

Tugas perawat pada tahap ini antara lain:


a.       Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan, dan komunikasi terbuka. Hubungan saling
percaya merupakan kunci dari keberhasilan hubungan terapeutik (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005),
karena tanpa adanya rasa saling percaya tidak mungkin akan terjadi keterbukaan antara kedua belah pihak.
Hubungan yang dibina tidak bersifat statis, bisa berubah tergantung pada situasi dan kondisi (Rahmat, J
dalam Suryani 2005). Karena itu, untuk mempertahankan atau membina hubungan saling percaya perawat
harus bersikap terbuka, jujur, ikhlas, menerima klien apa adanya, menepati janji, dan menghargai klien
(Suryani, 2005).
b.      Merumuskan kontrak pada klien (Christina, dkk, 2002). Kontrak ini sangat penting untuk menjamin
kelangsungan sebuah interaksi (Barammer dalam Suryani, 2005). Pada saat merumuskan kontrak perawat
juga perlu menjelaskan atau mengklarifikasi peran-peran perawat dan klien agar tidak terjadi kesalah
pahaman klien terhadap kehadiran perawat. Disamping itu juga untuk menghindari adanya harapan yang
terlalu tinggi dari klien terhadap perawat karena karena klien menganggap perawat seperti dewa penolong
yang serba bisa dan serba tahu (Gerald, D dalam Suryani, 2005). Perawat perlu menekankan bahwa
perawat hanya membantu, sedangkan kekuatan dan keinginan untuk berubah ada pada diri klien sendiri
(Suryani, 2005).
c.       Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah klien. Pada tahap ini perawat mendorong
klien untuk mengekspresikan perasaannya. Dengan memberikan pertanyaan terbuka, diharapkan perawat
dapat mendorong klien untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya sehingga dapat mengidentifikasi
masalah klien.
d.      merumuskan tujuan dengan klien. Perawat perlu merumuskan tujuan interaksi bersama klien karena tanpa
keterlibatan klien mungkin tujuan sulit dicapai. Tujuan ini dirumuskan setelah klien diidentifikasi.
Fase orientasi, fase ini dilaksanakan pada awal setiap pertemuan kedua dan seterusnya, tujuan fase
ini adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien saat ini, dan
mengevaluasi hasil tindakan yang lalu. Umumnya dikaitkan dengan hal yang telah dilakukan bersama klien
(Cristina, dkk, 2002).

     3. Tahap Kerja
Tahap kerja ini merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik (Stuart, G.W
dalam Suryani, 2005). Pada tahap ini perawat dan klien bekerja bersama-sama untuk mengatasi masalah
yang dihadapi klien. Pada tahap kerja ini dituntut kemampuan perawat dalam mendorong klien
mengungkap perasaan dan pikirannya. Perawat juga dituntut untuk mempunyai kepekaan dan tingkat
analisis yang tinggi terhadap adanya perubahan dalam respons verbal maupun nonverbal klien.
Pada tahap ini perawat perlu melakukan active listening karena tugas perawat pada tahap kerja ini
bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien. Melalui active listening, perawat membantu klien untuk
mendefinisikan masalah yang dihadapi, bagaimana cara mengatasi masalahnya, dan mengevaluasi cara
atau alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih.
Perawat juga diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya dengan klien. Tehnik
menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan hal-hal penting dalam
percakapan, dan membantu perawat-klien memiliki pikiran dan ide yang sama (Murray, B & Judth dalam
Suryani, 2005). Tujuan tehnik menyimpulkan adalah membantu klien menggali hal-hal dan tema
emosional yang penting (Fontaine & Fletcner dalam Suryani, 2005)
4.  Tahap Terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dengan klien (Christina, dkk, 2002). Tahap ini
dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005).
Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat-klien, setelah terminasi sementara,
perawat akan bertemu kembali dengan klien pada waktu yang telah ditentukan.Terminasi akhir terjadi jika
perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara keseluruhan.

Tugas perawat pada tahap ini antara lain:


a.       Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan. Evaluasi ini juga disebut evaluasi
objektif. Dalam mengevaluasi, perawat tidak boleh terkesan menguji kemampuan klien, akan tetapi
sebaiknya terkesan sekedar mengulang atau menyimpulkan.
b.      Melakukan evaluasi subjektif. Evaluasi subjektif dilakukan dengan menanyakan perasaan klien setelah
berinteraksi dengan perawat. Perawat perlu mengetahui bagaimana perasaan klien setelah berinteraksi
dengan perawat. Apakah klien merasa bahwa interaksi itu dapat menurunkan kecemasannya? Apakah klien
merasa bahwa interaksi itu ada gunanya? Atau apakah interaksi itu justru menimbulkan masalah baru bagi
klien.
c.       Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindakan ini juga disebut sebagai
pekerjaan rumah untuk klien. Tindak lanjut yang diberikan harus relevan dengan interaksi yang akan
dilakukan berikutnya. Misalnya pada akhir interaksi klien sudah memahami tentang beberapa alternative
mengatasi marah. Maka untuk tindak lanjut perawat mungkin bisa meminta klien untuk mencoba salah
satu dari alternative tersebut.
d.      Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya. Kontrak ini penting dibuat agar terdapat kesepakatan
antara perawat dan klien untuk pertemuan berikutnya. Kontrak yang dibuat termasuk tempat, waktu, dan
tujuan interaksi.
Stuart G.W. (1998) dalam Suryani (2005), menyatakan bahwa proses terminasi perawat-klien
merupakan aspek penting dalam asuhan keperawatan, sehingga jika hal tersebut tidak dilakukan dengan
baik oleh perawat, maka regresi dan kecemasan dapat terjadi lagi pada klien. Timbulnya respon tersebut
sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat untuk terbuka, empati dan responsif terhadap kebutuhan
klien pada pelaksanaan tahap sebelumnya.

3 . TEHNIK-TEHNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK


1.      Bertanya
Bertanya (questioning) merupakan tehnik yang dapat mendorong klien untuk mengungkapkan
perasaan dan pikirannya. Tehnik berikut sering digunakan pada tahap orientasi.
a.       Pertanyaan fasilitatif dan nonfasilitatif
Pertanyaan fasilitatif (facilitative question) terjadi jika pada saat bertanya perawat sensitif terhadap pikiran
dan perasaan serta secara langsung berhubungan dengan masalah klien, sedangkan pertanyaan
nonfasilitatif (nonfacilitative question) adalah pertanyaan yang tidak efektif karena memberikan
pertanyaan yang tidak fokus pada masalah atau pembicaraan, bersifat mengancam, dan tampak kurang
pengertian terhadap klien (Gerald, D dalam Suryani, 2005).

b.      Pertanyaan terbuka dan tertutup


Pertanyaan terbuka (open question) digunakan apabila perawat membutuhkan jawaban yang banyak dari
klien. Dengan pertanyaan terbuka, perawat mampu mendorong klien mengekspresikan dirinya (Antai-
Otong dalam Suryani, 2005).
Pertanyaan tertutup (closed question) digunakan ketika perawat membutuhkan jawaban yang singkat.

c.       Inapropriate quantity question


Inapropriate quantity question yaitu pertanyaan yang kurang baik dari sisi jumlah pertanyaan, yang
mengakibatkan klien bingung dalam menjawab. Terlalu banyak pertanyaan merupakan tindakan yang tidak
tepat karena menimbulkan kebingungan klien untuk menjawab (Long, L dalam Suryani, 2005).

d.      Inapropriate quality question


Inapropriate quality question yaitu pertanyaan yang tidak baik diberikan pada klien dan biasanya dimulai
dengan kata “why” (mengapa). Why question ini dipertimbangkan tidak tepat karena :

1)      Terkesan menginterogasi, sehingga klien merasa seolah-olah diintimidasi (Sturat, G.W dalam Suryani,
2005). Hal ini bisa menghambat keterbukaan klien terhadap perawat.
2)      Tidak akan dapat menggali perasaan klien yang sebenarnya karena why question mengiring klien untuk
menjawab secara rasional atau mengemukakan alasan dari suatu perbuatan atau keadaan, bukan bagaimana
perasaanya terhadap kejadian (Gerald, D dalam Suryani, 2005).

2.      Mendengarkan
Mendengarkan (listening) merupakan dasar utama dalam komunikasi terapeutik (Keliat, Budi Anna,
1992). Mendengarkan adalah proses aktif (Gerald, D dalam Suryani, 2005) dan penerimaan informasi serta
penelaahan reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima (Hubson, S dalam Suryani, 2005).
         Selama mendengarkan, perawat harus mengikuti apa yang dibacakan klien dengan penuh perhatian.
Perawat memberikan tanggapan dengan tepat dan tidak memotong pembicaraan klien. Tunjukkan
perhatian bahwa perawat mempunyai waktu untuk mendengarkan (Purwanto, Heri, 1994).

3.      Mengulang
Mengulang (restarting) yaitu mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien. Gunanya untuk
menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti pembicaraan klien (Keliat, Budi
Anna, 1992). Restarting (pengulangan) merupakan suatu strategi yang mendukung listening (Suryani,
2005).

4.      Klarifikasi
Klarifikasi (clarification) adalah menjelaskan kembali ide atau pikiran klien yang tidak jelas atau
meminta klien untuk menjelaskan arti dari ungkapannya (Gerald, D dalam Suryani, 2005).
Pada saat klarifikasi, perawat tidak boleh menginterpretasikan apa yang dikatakan klien, juga tidak
boleh menambahkan informasi (Gerald, D dalam Suryani, 2005). Apabila perawat menginterpretasikan
pembicaraan klien, maka penilaiannya akan berdasarkan pandangan dan perasaannya. Fokus utama
klarifikasi adalah pada perasaan, karena pengertian terhadap perasaan klien sangat penting dalam
memahami klien.
5.      Refleksi
Refleksi (reflection) adalah mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan, dan isi pembicaraan
kepada klien. Hal ini digunakan untuk memvalidasi pengertian perawat tentang apa yang diucapkan klien
dan menekankan empati, minat, dan penghargaan terhadap klien (Antai-Otong dalam Suryani, 2005).
Tehnik-tehnik refleksi terdiri dari: (Keliat, Budi Anna, 1992)
a.       Refleksi visi, yaitu memvalidasi apa yang didengar. Klarifikasi ide yang diekspresikan klien dengan
pengertian perawat.
b.      Refleksi perasaan, yaitu memberi respon pada perasaan klien terhadap isi pembicaraan, agar klien
mengetahui dan menerima perasaanya.
Gunanya adalah untuk :
a.  Mengetahui dan menerima ide dan perasaan.
b.  Mengoreksi.
c.  Memberi keterangan lebih jelas.
Ruginya adalah :
a.  Mengulang terlalu sering dan sama.
b.  Dapat menimbulkan marah, iritasi, dan frustasi

6.      Memfokuskan
Memfokuskan (focusing) bertujuan memberi kesempatan kepada klien untuk membahas masalah inti
dan mengarahkan komunikasi klien pada pencapaian tujuan (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Dengan
demikian akan terhindar dari pembicaraan tanpa arah dan penggantian topik pembicaraan. Hal yang perlu
diperhatikan dalam mengguanakan metode ini adalah usahakan untuk tidak memutus pembicaraan ketika
klien menyampaikan masalah penting (Suryani, 2005).
7.      Diam
Tehnik diam (silence) digunakan untuk memberikan kesempatan pada klien sebelum menjawab
pertanyaan perawat. Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisasi
pikiran masing-masing (Stuart & Sundeen dalam Suryani, 2005). Tehnik ini memberikan waktu pada klien
untuk berfikir dan menghayati, memperlambat tempo interaksi, sambil perawat menyampaikan dukungan,
pengertian, dan penerimaannya. Diam juga memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya
sendiri dan berguna pada saat klien harus mengambil keputusan (Suryani, 2005).
8.      Memberi Informasi
Memberikan tambahan informasi (informing) merupakan tindakan penyuluhan kesehatan klien.
Tehnik ini sangat membantu dalam mengajarkan kesehatan atau pendidikan pada klien tentang aspek-
aspek yang relevan dengan perawatan diri dan penyembuhan klien. Informasi yang diberikan pada klien
harus dapat memberikan pengertian dan pemahaman tentang masalah yang dihadapi klien serta membantu
dalam memberikan alternatif pemecahan masalah (Suryani, 2005).
9.      Menyimpulkan
Menyimpulkan (summerizing) adalah tehnik komunikasi yang membantu klien mengeksplorasi poin
penting dari interaksi perawat-klien. Tehnik ini membantu perawat dan klien untuk memiliki pikiran dan
ide yang sama saat mengakhiri pertemuan. Poin utama dari menyimpulkan yaitu peninjauan kembali
komunikasi yang telah dilakukan (Murray, B & Judith dalam Suryani, 2005).
Manfaat dari menyimpulkan antara lain : (Suryani, 2005)
a.       Memfokuskan pada topik yang relevan.
b.      Menolong perawat dalam mengulang aspek utama interaksi.
c.       Membantu klien untuk merasa bahwa perawat memahami perasaannya.
d.      Membantu klien untuk dapat mengulang informasi dan membuat tambahan atau koreksi terhadap
informasi sebelumnya.
10.  Mengubah Cara Pandang
Tehnik mengubah cara pandang (refarming) ini digunakan untuk memberikan cara pandang lain
sehingga klien tidak melihat sesuatu atau masalah dari aspek negatifnya saja (Gerald, D dalam Suryani,
2005). Tehnik ini sangat bermanfaan terutama ketika klien berfikiran negatif terhadap sesuatu, atau
memandang sesuatu dari sisi negatifnya. Seorang perawat kadang memberikan tanggapan yang kurang
tepat ketika klien mengungkapkan masalah, misalnya menyatakan : “sebenarnya apa yang anda pikirkan
tidak seburuk itu kejadiannya”. Reframing akan membuat klien mampu melihat apa yang dialaminya dari
sisi positif (Gerald, D dalam Suryani, 2005) sehingga memungkinkan klien untuk membuat perencanaan
yang lebih baik dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.

11.  Eksplorasi
Eksplorasi bertujuan untuk mencari atau menggali lebih jauh atau lebih dalam masalah yang dialami
klien (Antai-Otong dalam Suryani, 2005) supaya masalah tersebut bisa diatasi. Tehnik ini bermanfaat pada
tahap kerja untuk mendapatkan gambaran yang detail tentang masalah yang dialami klien.

12.  Membagi Persepsi
Stuart G.W (1998) dalam Suryani (2005) menyatakan, membagi persepsi (sharing peception) adalah
meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan atau pikirkan. Tehnik ini digunakan ketika
perawat merasakan atau melihat ada perbedaan antara respos verbal dan respons nonverbal klien.

13.  Mengidentifikasi Tema
Perawat harus tanggap terhadap cerita yang disampaikan klien dan harus mampu manangkap tema
dari seluruh pembicaraan tersebut. Gunanya adalah untuk meningkatkan pengertian dan menggali masalah
penting (Stuart & Sadeen dalam Suryani, 2005). Tehnik ini sangat bermanfaat pada tahap awal kerja untuk
memfokuskan pembicaraan pada awal masalah yang benar-benar dirasakan klien.

14.  Humor
Humor bisa mempunyai beberapa fungsi dalam hubungan terapeutik. Florence Nightingale dalam
Anonymous (1999) dalam Suryani (2005) pernah mengatakan suatu pengalaman pahit sangat baik
ditangani dengan humor. Humor dapat meningkatkan kesadaran mental dan kreativitas, serta menurunkan
tekanan darah dan nadi.
Dalam beberapa kondisi berikut humor mungkin bisa dilakukan :
a.       Pada saat klien mengalami kecemasan ringan sampai sedang, humor mungkin bisa menurunkan
kecemasan klien.
b.      Jika relevan dan konsisten dengan sosial budaya klien.
c.       Membantu klien mengatasi masalah lebih efektif.

15.  Memberikan Pujian
Memberikan Pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis yang didapatkan klien ketika
berinteraksi dengan perawat. Reinforcement berguna untuk meningkatkan harga diri dan menguatkan
perilaku klien (Gerald, D dalam Suryani, 2005). Reniforcement bisa diungkapkan dengan kata-kata
ataupun melalui isyarat nonverbal.
2.4  FAKTOR-FAKTOR KOMUNIKASI TERAPEUTIK
Faktor – faktor penghambat dalam proses komunikasi terpeutik adalah : (Purwanto, Heri, 1994)
a.    Kemampuan pemahaman yang berbeda.
b.    Pengamatan/penafsiran yang berbeda karena pengalaman masa lalu.
c.    Komunikasi satu arah.
d.   Kepentingan yang berbeda
e.    Memberikan jaminan yang tidak mungkin
f.     Memberitahu apa yang harus dilakukan kepada penderita
g.    Membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi
h.    Menuntut bukti, tantangan serta penjelasan dari pasien mengenai tindakannya
i.      Memberikan kritik mengenai perasaan penderita
j.      Menghentikan/mengalihkan topik pembicaraan
k.    Terlalu banyak bicara yang seharusnya mendengarkan.
l.      Memperlihatkan sifat jemu, pesimis.

Faktor penghambat komunikasi : (Kariyoso, 1994)


a.    Kecakapan yang kurang dalam berkomunikasi
b.    Sikap yang kurang tepat
c.    Kurang pengetahuan
d.   Kurang memahami sistem sosial
e.    Prasangka yang tidak beralasan
f.     Jarak fisik, komunikasi menjadi kurang lancar bila jarak antara komunikator dengan reseptor berjauhan
g.    Tidak ada persamaan persepsi
h.    Indera yang rusak
i.      Berbicara yang berlebihan
j.      Mendominir pembicaraan, dan lain sebagainya

Faktor yang mempengaruhi komunikasi : (Suryani, 2005)


a)      Kredibilitas
Kredibilitas (credibility) terdapat dan berpengaruh pada sumber atau komunikator. Kredibilitas komunikasi
sangat mempengaruhi keberhasilan proses komunikasi, karena hal ini mempengaruhi tingakat kepercayaan
sasaran atau komunikasi terhadap pesan yang disampaikan.
b)      Isi pesan
Pesan yang disampaikan hendaknya mengandung isi yang bermanfaat bagi sasaran. Hasil komunikasi akan
lebih baik jika isi pesan besar manfaatnya bagi kepentingan sasaran.
c)      Kesesuaian dengan kepentingan sasaran
Kesesuaian dengan kepentingan sasaran (context) terdapat dan berperan pada pesan. Pesan yang
disampaikan harus berhubungan dengan kepentingan sasaran.
d)     Kejelasan
Kejelasan (clarity) terdapat dan berperan pada pesan. Kejelasan pesan yang disampaikan sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi.
e)      Kesinambungan dan konsistensi
Kesinambungan dan konsistensi (continuity and consistency) terdapat pada pesan. Pesan yang akan
disampaikan harus konsistensi dan berkesinambungan.
f)       Saluran
Saluran (channel) terdapat dan berperan pada media. Media yang digunakan harus disesuaikan dengan
pesan yang ingin disampaikan.
g)      Kapabilitas sasaran
Kapabilitas sasaran (capability of the audience) terdapat pada komunikan. Dalam menyampaikan pesan,
komunikator harus memperhitungkan kemampuan sasaran dalam menerima pesan.
h)      Psikologis (Rahmat, J dalam Suryani, 2005)
Seperti sikap, pengalaman hidup, motivasi, kepribadian, dan konsep.
i)        Sosial (Ellis, Gates & Kenwarthy dalam Suryani, 2005)
j)        Seperti usia, jenis kelamin, kelas sosial, suku, bahasa, kekuasaan, dan peran sosial.

4.  PROSES KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PERAWATAN


1.      Proses komunikasi : (Mubarak, Wahid Iqbal, dkk, 2007)
a.    Reference, stimulus yang memotifasi seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Dapat berupa pengalaman, ide atau tindakan.
b.    Pengirim/ sumber/ encorder, disebut juga komunikator. Bisa perorangan atau kelompok.
c.    Pesan/ berita, informasi yang dikirimkan. Dapat berupa kata-kata, gerakan tubuh atau
ekspresi wajah.
d.   Media/ saluran, alat atau sarana yang dipilih pengirim untuk menyampaikan pesan pada
penerima/ sasaran.
e.    Penerimaan/ sasaran/ decoder, kepada siapa pesan yang ingin disampaikan tersebut dituju.
f.     Umpan balik/ feed back/ respons, reaksi dari sasaran terhadap pesan yang disampaikan.

2.      Komunikasi Terapeutik dalam Perawatan.


a.    Pengkajian (Purwanto, Heri, 1994)
1)   Menentukan kemampuan seseorang dalam proses informasi.
2)   Mengevaluasi data tentang status mental pasien untuk menentukan batas intervensi.
3)   Mengevaluasi kemampuan pasien dalam berkomunikasi secara verbal.
4)   Mengobservasi apa yang terjadi pada pasien tersebut saat ini.
5)   Mengidentifikasi tingkat perkembangan pasien sehingga interaksi yang diharapkan bisa
realistik.
6)   Menentukan apakah pasien memperlihatkan sikap verbal dan nonverbal yang sesuai.
7)   Mengkaji tingkat kecemasan pasien sehingga dapat mengantisifasi intervensi yang
dibutuhkan.

b.   Diagnosa keperawatan (Potter & Perry, 1999)


1)   Analisa tertulis dari penemuan pengkajian.
2)   Sesi perencanaan tim kesehatan.
3)   Diskusi dengan klien dan keluarga untuk menentukan metoda implementasi.
4)   Membuat rujukan.

c.    Rencana tujuan (Purwanto, Heri,1994)


1)   Rencana asuhan tertulis (Potter & Perry, 1999).
2)   Membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
3)   Membantu pasien agar dapat menerima pengalaman yang pernah dirasakan.
4)   Meningkatkan harga diri pasien.
5)   Memberikan support karena adanya perubahan lingkungan.
6)   Perawat dan pasien sepakat untuk berkomunikasi secara lebih terbuka.

d.   Implementasi (Purwanto, Heri, 1994)


1)   Memperkenalkan diri kepada pasien.
2)   Memulai interaksi dangan pasien.
3)   Membantu pasien untuk dapat menggambarkan pengalaman pribadinya.
4)   Menganjurkan kepada pasien untuk dapat mengungkapkan perasaan kebutuhannya.
5)   Menggunakan komunikasi untuk meningkatkan harga diri pasien.

e.    Evaluasi (Purwanto, Heri, 1994)


1)   Pasien dapat mengembangkan kemampuan dalam mengkaji dan memenuhi kebutuhan
sendiri.
2)   Komunikasi menjadi lebih jelas, lebih terbuka dan berfokus pada masalah.
3)   Membantu menciptakan lingkungan yang dapat mengurangi tingkat kecemasan.

Anda mungkin juga menyukai