Anda di halaman 1dari 10

PERAN GENDER

hasan kawaguchi
17.00
sosiologi

Pengertian Peran Gender


Menurut Bem (1981), gender merupakan karakteristik kepribadian,
seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya dan
dikelompokkan menjadi 4 klasifikasi yaitu maskulin, feminim, androgini
dan tak terbedakan. Konsep Gender dan peran gender merupakan dua
konsep yang berbeda, gender merupakan istilah biologis, orang-orang
dilihat sebagain pria atau wanita tergantung dari organ-organ dan gen-
gen jenid kelamin mereka.
Sebaliknya menurut Basow (1992), peran gender merupakan istilah
psikologis dan kultural, diartikan sebagai perasaan subjektif seseorang
mengenai ke-pria-an (maleness) atau kewanitaan (femaleness).
Brigham (1986) lebih menekankan terhadap konsep stereotipe di dalam
membahas mengenai peran gender, dan menyebutkan bahwa peran
gender merupakan karakterisitik status, yang dapat digunakan untuk
mendukung diskriminasi sama seperti yang digunakan untuk mendukung
diskriminasi sama seperti ras, kepercayaan, dan usia.
Sementara peran gender sendiri sebagai sebuah karakteristik memiliki
determinan lingkungan yang kuat dan berkait dengan dimensi maskulin
versus feminim (Stewart & Lykes, dalam Saks dan Krupat, 1998). Ketika
berbicara mengenai gender, beberapa konsep berikut ini terlibat di
dalamnya:
1.    Gender role (peran gender), merupakan definisi atau preskripsi yang
berakar pada kultur terhadapa tingkah laku pri dan wanita.
2.   Gender identity (identitas gender), yaitu bagaimana seseorang
mempersepsikan dirinya sendiri dengan memperhatikan jenis kelamin dan
peran gender.
3.   Serta sex role ideology (ideologi peran-jenis kelamin), termasuk di
antaranya stereotipe-stereotipe gender, sikap pemerintah dalam kaitan
antara kedua jenis kelamin dan status-status relatifnya (Segall, Dosen,
Berry, & Poortiga, 1990). Kepentingan di dalam membedakan antara jenis
kelamin dan gender berangkat dari pentingnya untuk membedakan
antara aspek-aspek biologis dengan aspek-aspek sosial di dalam menjadi
pria atau wanita. Bahkan yang paling seringg terjadi adalah bahwa orang-
orang mengasumsikan kalau perbedaan kepribadian dan sikap yang
tampak antara pria dan wanita sangat berkaitan dengan perbedaan jenis
kelamin (Basow, 1992).
Jika menyamakan antara gender dapat mengarahkan keyakinan bahwa
perbedaan trait-trait dan tingkah laku antara pria dan wanita mengarah
langsung kepada perbedaan secara biologis. Sementara jika kita
membedakan konsep gender dan gender akan membantu kita untuk
menganalisis keterkaitan yang kompleks antara gender dan peran gender
secara umum. Ini yang membuat sangat penting untuk membedakan
antara gender dengan peran gender.
Unger (dalam Basow, 1992) menyebutkan bahwa dalam psikologi baru
mengenai gender dan peran gender, ke-pria-an dan ke-wanita-an lebih
sebagai kontruk sosial yang dikonfirmasikan melalui gaya gender dalam
penampilan diri dan distribusi antara pria dan wanita ke dalam peran-
peran dan status yang berbeda, dan diperhatikan oleh kebutuhan-
kebutuhan intrapsikis terhadap konsistensi diri kebutuhan untuk
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai sosial.
Oleh karena itu, peran gender dikonstruksikan oleh manusia lain. Bukan
secara biologis, dan konstruksi ini dibentuk oleh proses-proses sejarah,
budaya, dan psikologis (Basow, 1992). Kini lebih banyak digunakan istilah
peran gender daripada gender di dalam mempelajari tingkah laku pria
dan wanita di dalam suatu konteks sosial. Gender merupakan konstruksi
sosial.
Peran gender adalah pola tingkah laku yang dianggap sesuai untuk
masing-masing gender yang didasarkan pada harapan masyarakat.
Menurut Myers (1995), peran gender merupakan suatu set tingkah laku
yang diharapkan (berupa norma) untuk pria dan wanita, dikaitkan dengan
ciri-ciri feminim dan maskulin sesuai dengan yang diharapkan dalam
masyarakat.
Orientasi Peran Gender
Bem (dalam Basow, 1992) menyetakan bahwa terdapat dua model peran
gender di dalam menjelaskan mengenai maskulintas dan feminita, dalam
kaitannya dengan laki-laki dan perempuan, yaitu modell tradisional dan
model non tradisional (Nauly, 2003).
1.    Model tradisional memandang feminitas dan maskulinitas sebagai suatu
dikotomi. Model tradisional menyebutkan bahwa maskulinnitas, dan
feminitas merupakan titik-titik yang berlawanan pada sebuah kontinum
yang bipolar. Pengukuran yang ditujukan untuk  melihat maskulinitas dan
feminitas menyebutkan derajat yang tinngi dari maskulin yang
menunjukkan derajat yang rendah dari feminitas, begitu juga sebaliknya,
derajat yang tinggi dari feminitas menujukkan derajat yang rendah dari
maskulinitas (Nauly,2003).
Menurut pandangan model tradisional ini, penyesuaian diri yang
positif dihubungakan dengan kesesuaian antara tipe peran gender
dengan gender seseorang. Seorang pria akan memiliki penyesuaian
diri yang positif jika ia menunjukkan maskulinitas yang tinggi dan
feminitas yang rendah. Dan sebaliknya, seorang wanita yang
memiliki penyesuaian diri yang positif adalah wanita yang
menunjukkan feminitas yang tinggi serta maskulinitas yang rendah
(Nauly, 2003).
Model tradisional dengan pengukuran yang bersifat bipolar ini
memiliki konsekuensi, yaitu dimana individu-individu yang memiliki
ciri-ciri maskulinitas dan feminitas yang relatuf seimbang tidak akan
terukur, sehingga menimbulkan reaksi dengan dikembangkannya
model yang bersifat non tradisional (Nauly, 2003). Model ini dapat
digambarkan secara sederhana melalui gambar di dawah ini yang
menjelaskan konseptualisasi dan maskulinitas-feminitas sebagai
sebuah dimensi atau kontinum tinggal yang memiliki yang
berlawanan.

2.   Sedangkan nontradisional menyatakan bahwa maskulinitaas dan


feminitas lebih sesuai dikonseptualisasikan secara terpisah, dimana
masing-masing merupakan dimensi yang independen. Model yang ini
memandang feminitas dan maskulinitas bukan merupakan sebuah
dikotomi, hal ini menyebabkan kemungkinan untuk adanya
pengelompokan yang lain, yaitu androgini, yaitu laki-laki atau perempuan
yang dapat memiliki ciri-ciri maskulinitas sekaligus ciri-ciri ferminitas.
Model no tradisional ini dikembangkan sekitas tahun 1970-an oleh
sejumlah penulis (Bem, 1974) yang menyatakan bahwa maskulinitas dan
feminitas lebih sesuai dikonseptualisasikan secara terpisah, karena
masing-masing merupakan dimensi yang independen.
Model ini dapat dijelaskan secara sederhana melalui gambar di
bawah ini. Di sini dijelaskan bahwa konseptualisasi maskulinitas-
feminitas digunakan sebagai dimenti yang terpisah.
Berdasarkan pandangan ini, Sandra Bem (dalam Basow, 1992)
mengklasifikasikan tipe peran gender menjadi 4 bagian, yaitu:
a. Sex-typed: seorang yang mendapat skor tinggi pada
maskulinitas dan skor rendah pada ferminitas. Pada
perempuan, yang mendapatkan skor tinggi pada feminitas
dan mendapat skor rendah pada maskulinitas.
b. Cross-sex-typed: laki-laki yang mendapatkan tinggi pada
ferminitas dan skor pada maskulinitas. Sedangkan pada
perempuan, yang memiliki skor yang tinggi pada maskulinitas
dan skor yang redah pada feminitas.
c. Androginy: laki-laki dan perempuan yang mendapatkan skor
tinggi baik pada maskulinitas maupun feminitas.
d. Indifferentiated: laki-laki dan perempuan yang mendapat skor
rendah baik pada maskulinitas dan feminitas.
Berdasarkan konsep ini, Bem (dalam Santrock, 2003) kemudian
mengembangkan alat ukur yang disebut Bem sex role inventory (BSRI).
Alat tes ini terdiri dari 60 kata sifat, 20 diantaranya merupakan kata sifat
yang menunjukkan karakteristik maskulin (karakteristik instrumel), 20
kata sifat lainnya menujukkan karakteristik feminin (karakteristik
ekspresif) dan sisanya menunjukkan karakteristik yang tidak dengan
peran gender namun diharapkan oleh masyarakat untuk dimiliki oleh tiap
individu.
Melalui BSRI, individu diklasifikasikan dalam hal kepemilikan satu dari
empat orientasi tipe peran gender, yaitu:

1. Maskulin
2. Feminim
3. Androgini
4. Undifferentiated

Berdasarkan model nontradisional ini, terdapat semacam klasifikasi


kepribadian yang mulai banyak dibicarakan sebagai alternatif dari peran
yang bertolak belakang antara pria dan wanita, yaitu tipe androgini
(Naully, 2003). Adapun pengertian dari masing-masing peran gender
maskulin, feminin dan androgini adalah sebagai berikut:

1. Maskulin: menurut Hoyenga & Hoyenga (dalam Nauly, 2003) adalah


ciri-ciri yang berkaitan dengan gender yang lebih umum terdapat
pada laki-laki, atau suatu peran atau trait maskulin yang dibentuk
oleh budaya. Dengan demikian maskulin adalah sifat dipercaya dan
bentuk oleh budaya sebgai ciri-ciri yang ideal bagi laki-laki (Nauly,
2003). Misalnya asertif dan dominan dianggap sebagai trait
maskulin.
2. Feminin: feminin menurut Hoyenge & Hoyenga (dalam Nauly, 2003)
adalah ciri-ciri atau trait yang lebih sering atau umum terdapat
pada perempuan daripada laki-laki. Ketika dikombinasikan dengan
“stereotipikal”, maka ia mengacu ada trait yang diyakini lebih
berkaitan pada  perempuan daripada laki-laki secara kulturi pada
budaya atau subkultur tertentu. Berarti, feminin merupakan ciri-ciri
atau trait yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal
bagi perempuan (Nauly, 2003).
3. Androgini: selain pemikiran tentang maskulin dan feminitas sebagai
berada dalam suatu garis kontinum, dimana lebih pada satu
dimensi berarti kurang pada dimensi yang lain, ada yang
menyatakan bahwa individu-individu dapat menunjukkan sikap
ekspresif dan instrumental. Pemikiran ini memicu perkembangan
konsep androgini.
4. androgini adalah tingginya kehadiran karakterisitik maskulin dan
feminin yang diinginkan pada satu individu pada saat bersamaaan
(Bem, Spence & Helmrich, dalam Santrok, 2003). Individu yang
androgini adalah seorang laki-laki yang asertif (sifat maskulin) dan
mengasihi (sifat feminin), atau seorang perempuan yang dominan
(sifat maskulin) dan sensitif terdapat perasaaan orang lain (sifat
feminin). Beberapa penelitian menemukan bahwa androgini
baerhubungan dengan berbagai atribut yang sifatnya positif, seperti
self-esteem yang tinggi, kecemasan rendah, kreatifitas,
kemampuan parenting yang efektif (Bem, Spence dalam Hughes
&Noppe, 1985).
MATERI GENDER DALAM PERSPEKTIF PMII

Mendorong Kepemimpinan Perempuan


Nusantara
dan Gerakan Intelektual Perspektif Gender

Oleh Ririend Yuriend

Dalam perjalanan sejarah bangsa, gerakan perempuan mewarnai


perjuangan berdirinya bangsa Indonesia. Beberapa tokoh perempuan berada di
garis depan perjuangan melawan penjajah.  Pada masa mempertahankan
kemerdekaan tokoh-tokoh perempuan berpartisipasi dan menyebar di berbagai
bidang. Masa orde baru pergerakan perempuan menyelusup diantara instansi-
intansi dan mewarnainya dengan isu-isu keperempuanan. Pada masa
reformasi hingga saat ini, pergerakan perempuan justru semakin nyata dalam
menancapkan kukuhnya di dunia politik.

Gerakan perempuan Indonesia mencatat tanggal 22 Desember adalah


sebuah titik awal sebuah gerakan perempuan secara nasional. Gagasan itu
dicerna kaum perempuan yang aktif dalam gerakan Kebangkitan Nasional
1908. Gejolak rasa nasionalisme dibulatkan dalam bentuk Sumpah Pemuda
tahun 1928, kemudian ditindaklanjuti oleh Kongres Perempuan Indonesia
tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini diikuti oleh 30 organisasi
perempuan dari seluruh Indonesia. Pada waktu itu resolusi penting yang
dideklarasikan adalah “tuntutan terhadap upaya peningkatan kondisi
perempuan”.

Selayaknya kita mengambil spirit perjuangan perempuan Nusantara


terdahulu, seperti Cut Nyak Dien pernah memimpin perlawanan melawan
Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Pasukan
ini terus bertempur sampai kehancurannya pada Tahun 1901 karena tentara
Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Kemudian
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan
yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng
sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan
satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya
ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.
Perempuan lain yakni Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang
kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun
dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang
Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di
kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani. KOPRI belajar dari
kepemimpinan dan kegigihannya dalam membangun bangsa.

Bicara soal kepemimpinan perempuan ditingkatan mahasiswa, data dari


Kementrian Pemberdayaan Perempuan menunjukkan bahwa tingkat partisipasi
mahasiswi di organisasi kemahasiswaan tidak lebih dari 20% dari jumlah
seluruh aktitifis organisasi yang ada. Dari prosentase tersebut kebanyakan
mahasiswi hanya menduduki posisi kurang strategis seperti wakil bendahara,
bidang kewanitaan, atau seksi konsumsi dan administrasi jika dalam
kepanitiaan. Hanya sebagian kecil yang berada ditampuk kepemimpinan yang
tertinggi dalam struktur organisasi. Hanya sebagian kecil yang berada
ditampuk kepemimpinan yang tertinggi dalam struktur organisasi. Fakta ini
juga dapat dengan mudah kita lihat pada aksi-aksi mahasiswa, seperti aksi
mahasiswa tahun 1998 yang lalu. Aksi tersebut lebih banyak melibatkan
mahasiswa. dan jarang maju kedepan menjadi orator dilapangan. Kita dapat
bandingkan gerakan kaum ibu dengan gerakan mahasiswi dalam aksi
mahasiswa pada tahun yang sama, mereka mengambil inisiatif turun kejalan.
Dalam sejarah kepengurusan Senat atau pemerintahan Mahasiswa sulit
ditemukan seorang perempuan yang mampu berada di garis terdepan
pergerakan mahasiswa. Namun mulai reformasi bergulir banyak aktifis
perempuan yang menjadi garda depan dalam kepemimpinan, jumlah ini masih
sangat terbatas dan butuh perjuangan. 

Ada beberapa indikasi yang dapat kita lihat lemahnya kepemimpinan


perempuan yaitu dunia politik belum menjadi pilihan menarik bagi perempuan
kalangan intelektual.  Mahasiwi belum maksimal  dalam melakukan bargaining 
dengan para mahasiwa/laki-laki dalam hal pengambilan keputusan. Mahasiswi
cenderung menjadi objek daripada subjek gerakan mahasiswa. Mahasiswi
kebanyakan termasuk dalam golongan mahasiswa kutu buku atau
gaul/hedonis namun minus ideology.
Mahasiswa dan Gerakan Intelektual perspektif Gender

Dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa, mahasiswa adalah elemen


penting terhadap perubahan-perubahan yang radikal. Pada awal aband ke-12
dengan berdirinya Universitas Bologna di Paris. Lebih dikenal dengan
semboyan “Gaudeamuslgtiur, juvenes dum sumus” (kita gembira, selagi masih
muda). Sedangkan  di Indonesia, Gerakan mahasiswa dan pemuda dimulai
dengan Sumpah Pemuda 1928. Selanjutnya mahasiswa pada angkatan 66, 74
dan 98, mahasiswa sebagai The agent of sosial control sebagai pejuang
penyalur aspirasi rakyat. Peran mahasiswa berulang kali telah menjadi
tumpuan harapan demi sebuah kehidupan bernegara yang lebih baik.
Runtuhnya rezim orde lama menjadi orde baru dan orde baru menjadi
reformasi adalah hasil daya kritis mahasiswa yang mampu melihat kondisi
yang tidak ideal di masyarakat. Peran aktif mahasiswa sebagai kontrol sosial,
agen perubahan ini  diwujudkan melaui wadah-wadah organisasi mahasiswa
seperti PMII. 

Gerakan Mahasiswa adalah gerakan intelektual, gerakan ini bermuara


dari kalangan akademis kampus yang mengedepankan rasionalitas dalam
menyikapi permasalahan. Gerakan intelektual bermuara dari tiga hal:

Pertama, Tradisi membaca (Reading Tradition) adalah tradisi


pengembangan wacana, memperluas wawasan. Mahasiswa harus selalu
mengetahui perkembangan pengetahuan “Buku adalah Jendela Dunia”.
Membaca adalah pintu masuk awalanya pengetahuan. Tidak hanya berhenti
dalam membaca tetapi mahasiswa juga harus mampu mentransformasikannya
kepada masyarakat.  Kedua,  Membangun tradisi diskusi (Discussion
Tradition). Gerakan mahasiswa harus banyak membuka ruang diskusi dan
sharing. Ini adalah upaya membuka cakrawala pengetahuan dan mendorong
mahasiswa untuk selalu belajar dan belajar.  Ketiga, Tradisi menulis (Writing
Tradision) adalah gerbang intelektual. Menulis bisa bermacam-macam, menulis
karya ilmiah, ataupun memulis berita. Kritik social hari ini banyak
didengungkan melalui media dan perjuangan aktivis dapat melalui ini media.
Ini jauh efektif setelah gerakan melalui pengorganisiran massa. 

Gerakan Intelektual berbasis gender dimulai dari tiga tradisi tersebut


yakni, membaca, diskusi dan menulis. Tidak hanya membaca melalui literatur
semata tetapi juga membaca dan menganalisa kondisi sosial perempuan di
masyarakat. Selanjutnya mendiskusikan, menyususun strategi, menganalisa,
mendorong munculnya kebijakan yang sensitive terhadap gender dan
menulisnya sebagai upaya transformasi sosial. Ketiga tradisi ini harus
diperkuat dalam dunia gerakan kampus. Peran penting Mahasiswi dalam
organisasi kampus diantaranya:

1.    Dunia kampus adalah penghasil pemikiran-pemikiran yang jadi


sumbangsih peradaban bangsa. Hasil pemikiran-pemikiran mahasiswi tentu
menjadi sudut pandang tersendiri. Sumbangsih pemikiran dari dunia kampus
khususnya dari mahasiwi sendiri masih sangat langka kita temukan bagi
perubahan kondisi masyarakat, dan kaum perempuan khususnya.

2.    Potensi kedudukan strategis mahasiwa dimasyarakat yang dapat


masuk ke semua struktur sosial baik kelas atas (high class), menengah (middle
class), dan bawah (low class), adalah peluang bagi mahasiswi sebagai
mediator yang menyatukan berbagai kepentingan bersama dalam rangka
mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur.

3.    Mahasiswi adalah sumberdaya yang sangat potensil bagi gerakan


perempuan. Mahasiswi adalah calon-calon tokoh profesional dan intelektual
ketika di masyarakat. Pemilu yang lalu, ketika peran politik perempuan begitu
gencar di suarakan oleh para aktivis perempuan, dalam realisasinya terkendala
dalam sumber daya perempuan di dunia politik yang ternyata tak mencukupi.
Meskipun dari data tingkat pendidikan perempuan sudah cukup seimbang
antara tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki. Bahkan pengalaman di
bangku perkuliahan, kaum perempuan biasanya menonjol dalam nilai
akademis, namun dalam hal terjun ke dunia politik hal ini masih langka.
Ditambah lagi pengalaman mahasiswi dalam berpolitik ketika masih di dunia
kampus yang masih kurang memadai sebagai bekal berpolitik di masyarakat.

Peran strategis KOPRI dalam mengawal Gerakan Intelektual dan


Kepemimpinan Perempuan Nusantara

Wadah yang menaungi kader puteri PMII atau lebih dikenal dengan
KOPRI (Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri). Sejak berdiri
dalam kongres ketiga Tahun 1967, KOPRI merupakan wadah pemberdayaan
perempuan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi kader dan
mengawal isu-isu perempuan. Wadah ini bertujuan untuk meningkatkan
kualitas kader dan potensial kader puteri.  Sebuah  gerakan yang memliki
memiliki Paradigma Kritis Transformatif (PKT) dalam melihat realitas
kebangsaan dan berpijak pada Ahli sunnah Waljama’ah. Selain itu memandang
bahwa berbagai bentuk penindasan dan ketidak adilan terhadap perempuan
berakar pada adanya cara berfikir dan bertindak yang merendahkan martabat
dan kemanusiaan kaum perempuan. Oleh karena itu, harus ada perubahan cara
berfikir dan bertindak bersama secara sadar dan terorganisir untuk
menegakkan kembali martabat dan kemanusiaan tersebut melalui proses
penyadaran ditingkat mahasiswa dan semua elemen masyarakat.

Dengan adanya Kader perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam


Indonesia (PMII) di seluruh Indonesia, ini adalah sebuah potensi besar untuk
melahirkan kepemimpinan perempuan yang berkarakter, cerdas dan dan
visioner. Hal ini diperlukan kerja keras dan kerja cerdas Peningkatan Capacity
buiding melalui penataan kaderisasi dan pengawalan menjadi sangat penting.  

Pada periode 2011-2013, visi KOPRI PB PMII adalah membangun


sinegitas KOPRI dalam mengawal dan memperkuat kepemimpinan perempuan
Nusantara. Oleh karena itu KOPRI sebagai kawah candradimuka (tempat
pengkaderan, tempat penggodokan) pemimpin perempuan. Kerja ini dimulai
dengan penguatan sistem kaderisasi KOPRI dimulai dari Sekolah Kader KOPRI
(SKK) dengan tiga tahapan. SKK I  dilakukan setelah Masa penerimaan anggota
baru (Mapaba), SKK II setelah Pelatihan Kader Dasar (PKD) dan SKK III setelah
Pelatihan Kader Lanjut (PKL). Selain itu dilakukan juga Konsolidasi
Kepemimpinan di lima region yaitu, Sunda Kecil, Kalimantan, Indonesia Timur,
Sumatera dan Jawa. Konsolidasi ini bertujuan untuk memberikan penguatan
kepemimpinan bagi kader perempuan PMII yang ada di seluruh Indonesia.
Setelah purna Konsolidasi Regional dikukuhkan kembali dalam Konsolidasi
Nasional. Kerja-kerja ini dibingkai dengan nama Konsolidasi Kepemimpinan
Perempuan Nusantara. Karena gerakan Intelektual dan Kepemimpinan
perempuan Nusantara harus dilahirkan dari rahim PMII. Selain itu mengawal
proses penyadaran berkeadilan Gender dikalangan mahasiswa dan masyarakat
dan memperjuangkan lahirnya kebijakan yang berperspektif Gender
berlandaskan nilai-nilai keadilan dan penghargaan.

Salam Pergerakan…!!!

Anda mungkin juga menyukai