Anda di halaman 1dari 6

Muhammad Nur Rafli

17043020

Analisis Kasus Overdosis Digoxin

A. Latar Belakang

Seorang anak berusia dua bulan tidak sengaja mendapat overdosis obat di rumah sakit
Texas meskipun tujuh perawat kesehatan profesional meninjau urutan resep sebelum obat itu
diberikan kepada bayi. Jose Martinez Eric kecil dibawa ke klinik pasien rawat jalan dari
Hermann Hospital di Houston untuk melakukan pemeriksaan. Kemudian orangtuanya
menyadari bahwa bayi itu memiliki cacat septal ventrikel, digambarkan sebagai sebuah
lubang di bilik pemompa hatinya. Dia menunjukkan tanda-tanda awal gagal jantung
kongestif, kata dokter, dan gejala-gejala itu perlu dikendalikan oleh obat, Digoxin, yang akan
diberikan secara intravena selama tinggal beberapa hari.

Seiring berjalannya waktu, lubang itu akan menutup, dan jika tidak, operasi rutin dalam
satu tahun atau lebih akan memperbaiki keadaan. Pada sore hari jumat bahwa anak itu
diperiksa, dokter yang hadir mendiskusikan urutan Digoxin secara terperinci dengan petugas
rumah sakit. Pertama, dosis yang tepat ditentukan dalam mikrogram, berdasarkan berat badan
bayi, maka mikrogram dikonversi menjadi miligram. Mereka melakukan semua perhitungan
bersama, dua kali mereka memeriksa dan ditentukan bahwa dosis yang benar adalah 0,09
miligram, yang akan disuntikkan ke intravena.

Mereka melanjutkan diskusi membahas sejumlah tes yang juga perlu dilakukan, dan
petugas yang pergi untuk menulis daftar pesanan yang dihasilkan pada tabel bayi. Dengan
secarik pena yang fatal, petugas memerintahkan 0,9 miligram Digoxin bukannya 0,09. Daftar
selesai dibuat, petugas kembali ke dokter. Dokter yang menghadiri memindai daftar itu, dan
berkata tidak ada yang perlu ditambahkan. Kesalahan ini tidak diketahui.

Salinan perintah itu difaks ke apotek, dan salinan asli tindak lanjut dikirim melalui kurir.
Para apoteker yang bertugas membaca faks itu dan berpikir bahwa jumlah Digoxin terlalu
tinggi. Apoteker mengirim pesan pager ke petugas, dan kemudian meletakkan pesanan di atas
pot kopi farmasi, tempat tumpukan “penting” tidak resmi. Apa yang apoteker tidak tahu
adalah bahwa petugas telah pergi untuk hari itu dan tidak menerima pesan tersebut.
Beberapa waktu kemudian, salinan cadangan dari pesanan yang belum didokumentasikan
tiba di apotek. Kali ini seorang teknisi melihatnya dan mengisi botol dengan 0,9 miligram
Digoxin. Teknisi kemudian menetapkan pesanan dan botol bersama-sama di meja sehingga
apoteker dapat memeriksa pekerjaan.

Para apoteker memverifikasi bahwa pada resep cocok dengan dosis dalam botol, dan tidak
ingat mempertanyakan dosis. Pesanan digoxin itu dikirim ke lantai anak. Seorang perawat di
sana membawa botol, membaca dosis, dan khawatir bahwa itu salah. Dia mendekati petugas
yang dipanggil, tetapi tidak secara pribadi ikut dalam perhitungan obat dengan petugas.

Petugas mengeluarkan kalkulator, menghitung ulang, dan datang dengan 0,09, dosis yang
benar. Melihat dari kalkulator ke botol itu, petugas melihat sebuah “0” dan “9” pada
keduanya dan tidak menyadari perbedaan titik desimal.

Ada satu langkah yang tersisa. Mengikuti prosedur, perawat pertama meminta meminta
seorang perawat kedua untuk memverifikasi bahwa urutan pada tampilan adalah sama sama
dengan label pada botol itu. Dia melakukannya, dan itulah yang terbaca.

Pada pukul 9.35 malam, seorang perawat bermasalah memberi Jose Martinez Digoxin
dosis yang banyaknya 10 kali lebih banyak dari apa yang dimaksudkan. Butuh waktu 20
menit sampai seluruh dosis menitik melalui tabung IV-nya. Pukul 10 malam, bayi bayi mulai
muntah sambil minum botol, tanda pertama overdosis.

Digoxin bekerja dengan mengubah fluks ion di dalam hati, mengubah membran sel. Jika
terlalu banyak maka akan memungkinkan jantung dibanjiri kalsium, sehingga tidak bisa
mengerut. Ada pangkalnya, disebut Digibind, dan perawat, yang ketakutannya dikonfirmasi,
mengambilnya segera. Akan tetapi, bahkan ketika diberikan (secara) langsung, hal itu pun
sudah terlambat. Jose kecil meninggal karena kesalahan-kesalahan ini.

B. Pembahasan

Dalam kasus ini, resiko etika berperan dalam sebuah kemungkinan yang terjadi dalam
rumah sakit. Resiko Etika merupakan suatu kemungkinan dilanggarnya etika yang
disebabkan oleh ketidakmampuan perusahaan atau institusi dalam memenuhi harapan
stakeholder. Supaya suatu organisasi atau perusahaan tetap dapat bertahan hidup, perusahaan
dan professional wajib menjalankan manajemen resiko etika. Ragam resiko etika dalam
kaitannya dengan stakeholder:
Harapan stakeholder yang tidak dapat Resiko Etika
dipenuhi
Pemegang saham
 Adanya perilaku penggelapan dana dan  Kejujuran dan integritas.
asset.  Pertanggung jawaban
 Adanya konflik kepentingan dengan para yang dapat diprediksi.
eksekutif perusahaan  Kejujuran
 Tingkatan performa perusahaan yang tidak dan  pertanggungjawaban.
sesuai  Kejujuran dan Integritas.
 dengan keinginan para pemegang saham.
 Keakuratan dan transparasi laporan
keuangan.
Karyawan
 Keamanan Kerja  Kewajaran
 Pembedaan Keadilan
 Mempekerjakan anak dibawah umur dan  Keadilan dan perlakuan kasih
pemerasan tenaga buruh. sayang
Pelanggan
 Keamanan Produk  Keterbukaan.
 Performa Perusahaan  Kewajaran.
Lingkungan
 Terciptanya Polusi  Integritas dan
 Pertanggungjawaban.

Dengan adanya resiko etika tersebut, maka manajemen perlu menerapkan pengelolaan
atau manajemen yang berfokus pada pemenuhan kepentingan stakeholder. Dalam kasus di
atas, harapan stakeholder yang tidak dapat dipenuhi berkaitan dengan harapan pelanggan.
Dimana resiko keterbukaan dan kewajaran dalam standar kerja perusahaan yang menjadi poin
utamanya. Perusahaan tentunya memiliki standar operasional prosedur dalam setiap
pekerjaaannya. Namun terkadang hal tersebut tidak rutin dilakukan evaluasi dalam
pelaksanaaanya. Sehingga standar yang ada dapat mengancam resiko kewajaran dalam
performa perusahaan.

Dari uraian kasus di atas terdapat poin yang menjadi perhatian, yaitu bagaimana kasus ini
menyadari bahwa kita selalu berususan dengan kesalahan seperti masalah disiplin. Dalam
kasus yang terjadi, petugas yang pergi untuk menulis daftar pesanan yang dihasilkan pada
tabel bayi dengan secarik pena yang fatal, petugas memerintahkan 0,9 miligram Digoxin
bukannya 0,09. Dan kemudian ketika petugas tersebut meminta tanggapan dokter. Dokter
tersebut mengatakan tidak ada yang perlu ditambahkan. Dalam hal ini sikap skeptis yang
dilakukan oleh dokter menurut saya tidak sesuai. Hal ini karena segala keputusan yang
diambil oleh dokter melibatkan nyawa manusia. Tidak bisa dibayangkan jika sikap yang
diambil dokter ini dilakukan secara terus-menerus, dampak yang terjadi akan sangat besar.

Namun masalah bukan hanya terletak pada petugas dan dokter. Salinan perintah itu difaks
ke apotek, Para apoteker yang bertugas membaca faks itu dan berpikir bahwa jumlah Digoxin
terlalu tinggi. Apoteker mengirim pesan pager ke petugas, dan kemudian meletakkan pesanan
di atas pot kopi farmasi, tempat tumpukan “penting” tidak resmi. Apa yang apoteker tidak
tahu adalah bahwa petugas telah pergi untuk hari itu dan tidak menerima pesan tersebut.
Dalam hal ini apoteker tidak ada melakukan konfirmasi ulang kepada petugas. Dimana ketika
apoteker mencoba untuk memberikan pesan kepada petugas, dan petugas sedang tidak ada.
Seharusnya apoteker memberikan konfirmasi ke petugas dengan menanyakan hal yang sama
pada saat yang lain. Ini mungkin lebih mengarah ke bagaiman sistem informasi yang
diterapkan perusahaan. Namun hal ini seharusnya menjadi perhatian agar hal hal detail
seperti ini dapat terperhatikan oleh perusahaan.

Selain itu, ketika seorang perawat di sana membawa botol, membaca dosis, dan khawatir
bahwa itu salah. Dia mendekati petugas yang dipanggil, tetapi tidak secara pribadi ikut dalam
perhitungan obat dengan petugas. Petugas mengeluarkan kalkulator, menghitung ulang, dan
datang dengan 0,09, dosis yang benar. Melihat dari kalkulator ke botol itu, petugas melihat
sebuah “0” dan “9” pada keduanya dan tidak menyadari perbedaan titik desimal. Dalam hal
ini ketelitian dalam pekerjaan harus lebih diperhatikan. Perhatian terhadap sesuatu yang detail
seharusnya menjadi kemampuan dasar dari setiap pekerja. Selain itu, peran atasan maupun
rekanan penting untuk menekan human error ini. Jika rumah sakit memiliki alur sistem
informasi yang baik dan internal kontrol yang baik, maka human error seperti ini bisa
diminimalisir.

C. Saran

Melalui kasus tersebut, saya memberi supaya rumah sakit lebih cermat dalam mengatur
kontrol internal rumah sakit. Mereka harus memastikan bahwa budaya etis dan kediplinan
telah berjalan dengan efektif dalam rumah sakit. Selain itu setiap orang harus menyadari
seberapa penting posisinya akan mempengaruhi pengambilan keputusan. Seperti sikap
seorang dokter ketika dikonfirmasi mengenai tanggapan dosis oleh petugas. Sikap skeptis
boleh saja dimiliki, namun harus dilakukan pada kondisi yang tepat. Kemudian ketika
apoteker mencoba untuk memberikan pesan kepada petugas, dan petugas sedang tidak ada.
Seharusnya apoteker memberikan konfirmasi ke petugas dengan menanyakan hal yang sama
pada saat yang lain. Ini mungkin lebih mengarah ke bagaiman sistem informasi yang
diterapkan perusahaan. Namun hal ini seharusnya menjadi perhatian agar hal hal detail
seperti ini dapat terperhatikan oleh perusahaan. Dan terakhir ketika petugas yang tidak teliti
dalam memeriksa ulang dosis, ada baiknya setiap pekerjaan dilakukan dengan prinsip kehati-
hatian dan ketelitian, agar kesalahan yang kecil tidak menimbulkan dampak yang besar.

Dalam menerapkan manajemen resiko etika, terdapat beberapa tahapan yang dapat
dilakukan oleh para investigator perusahaan, yaitu:

1. Mengidentifikasi dan Menilai Resiko Etika

Identifikasi Penilaian resiko etika dibagi menjadi beberapa tahap:

a. Melakukan penilaian dan identifikasi para stakeholder perusahaan. Tahap ini


investigator manajemen membuat daftar mengenai siapa dan apa saja para stakeholder yang
berkepentingan beserta harapan mereka. Setelah mengetahui siapa saja para stakeholder dan
apa kepentingannya serta harapan mereka, maka manajemen dapat melakukan penilaian
dalam pemenuhan harapan stakeholder. Investigator hendaknya memiliki pemahaman
mengenai bentuk kepentingan stakeholder mana saja yang sensitif dan penting, dan kenapa
hal itu penting bagi stakeholder

b. Mempertimbangkan kemampuan aktivitas perusahaan dengan ekspektasi stakeholder,


dan menilai risiko ketidak sanggupan dalam memenuhi ekspektasi stakeholder atau menilai
adanya kemungkinan peluang untuk berprestasi lebih dari yang diharapkan. Saat
mempertimbangkan apakah ekspektasi telah terpenuhi, maka manajemen wajib membuat
perbandingan di antara input, output, kualitas relevan dan variabel kinerja lainnya.

c. Meninjau ulang perbandingan akitivitas dan ekspektasi perusahaan dari perspektif


dampak reputasi perusahaan. Reputasi tergantung pada empat faktor, yaitu kejujuran,
kredibilitas, reliabilitas, dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangka
kerja dalam melakukan perbandingan.

d. Melakukan pelaporan. Setelah tahap ketiga selesai, maka manajemen dapat


menyiapkan laporan kepada masing-masing stakeholder. Laporan tersebut harus dibuat
dengan mempertimbangkan kelompok stakeholder, produk atau jasa, tujuan perusahaan,
nilai-nilai hypernorm, dan elemen-elemen penentu reputasi.

2. Penerapan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder.
Pendekatan yang dapat diterapkan adalah berfokus pada kemungkinan apakah para
stakeholder tersebut bisa dengan mudah bekerja sama dengan perusahaan ataukah cenderung
sulit bekerja sama dan menjadi ancaman bagi perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai