Anda di halaman 1dari 5

FARMASIS YANG IDEAL Indonesia merupakan salah satu negara berkembang.

dimana farmasis atau apoteker di Indonesia tidak melaksanakan tugasnya dengan benar (ideal). bahkan masyarakat tidak mengenal apa itu farmasis dan apa tugas farmasis terutama di bidang kesehatan. masyarakat hanya tahu bahwa farmasis/apoteker adalah penjual obat di apotek dan orang yang meracik obat berdasarkan resep. Banyak farmasis yang berusaha untuk mengimplementasikan konsep pharmaceutical care di Indonesia, namun hal ini tidaklah mudah, karena pharmaceutical care merupakan inti dari filosofi profesi farmasi dan bagaimana mengaplikasikan filosofi tersebut dalam tataran praktek komunitas maupun klinik. kita tidak bisa menggunakan konsep filosofi dahulu, kebijakan dan praktek mengikuti karena ketiga aspek tersebut saling mempengaruhi terlaksanannya praktek farmasi yang ideal. Aplikasi Pharmaceutical Care dalam praktek klinik dan komunitas tanpa memahami filosofinya, akan menghasilkan praktek yang tidak ideal, tujuan untuk patient care bisa tidak tercapai karena farmasis/apoteker kurang memahami teori dan filosofi dari Pharmaceutical care. Tidak adanya proteksi berupa kebijakan dari pemerintah juga sangat mempengaruhi praktek farmasi klinik. farmasis/apoteker tidak akan bisa melakukan tugasnya sesuai dengan filosofi Pharmaceutical care jika tidak mempunyai wewenang dalam sistem pelayanan kesehatan secara umum. A. Tahap Konsep Pharmaceutical Care dalam Mewujudkan Farmasis yang Ideal Pengembangan konsep pharmaceutical care membutuhkan tahap-tahap yang terdiri dari tahap pre-contemplation, contemplation, preparation, action, dan maintenance. Dengan adanya tingkatan pharmaceutical care ini diharapkan para apoteker dapat memberikan pelayanan yang baik dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. 1. Pada tahap pertama adalah pre-contemplation merupakan salah satu tahapan yang penting untuk dilakukan dalam mengembangkan pharmaceutical care, Tahap pre-contemplation adalah tahap perenungan atau tahap untuk

memikirkan / merenungkan bagaimana memulai pharmaceutical care. Disini dimaksudkan agar kita sebagai apoteker memikirkan apa-apa saja cara pengobatan yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tertentu. 2. Tahapan selanjutnya yaitu contemplation, contemplation merupakan suatu tahapan yang dilakukan apoteker untuk mematangkan perencanaan yang telah dipikirkan pada tahap pre-contemplation. Pada tahap ini apoteker hal memikirkan hal apa saja yang masih kurang dan perlu ditambahkan dari tahap perenungan. Dengan dilakukan secara matang maka hasil pengobatan nantinya akan memuaskan pasien dan mengkatkan kualitas hidupnya. 3. Preparation merupakan tahap ketiga, dimana merupakan tahap persiapan. Pada tahap ini dilakukan persiapan mengenai segala hal yang diperlukan dalam melaksanakan pharmaceutical care. Pasien harus dijamin mendapatkan obat yang tepat dengan mutu baik, serta dengan dosis, waktu dan durasi yang tepat. Harus dipastikan bahwa produk obat berasal dari sumber yang dapat dipercaya, mutu sediaan baik secara organoleptis, dan tentunya belum kadaluarsa. Saat menyiapkan obat untuk pasien harus diperhatikan kondisi pasien agar pharmaceutical care yang dilakukan dapat tercapai dengan baik. 4. Tahap selanjutnya adalah action adalah tahap pelaksanaan (aksi) dari pharmaceutical care. Pada tahap ini dilakukan penerapan dari hasil rencana yang telah dirancang, dimana dilakukan pelaksanaan pelayanan kefarmasian dalam masyarakat. Pada tahap ini dilakukan semua perencanan pengobatan yang telah dirancang sebelumnya untuk mendapatkan terapi pengobatan yang maksimal. Selain itu sebagai apoteker kita haruslah menyampaikan informasi obat-obat yang digunakan seperti nama obat, kegunaan obat, aturan pakai, apa yang harus dilakukan jika terlupa minum obat, teknik penggunaan obat tertentu (contoh: inhaler, obat tetes), cara penyimpanan, berapa lama obat harus digunakan dan kapan obat harus ditebus lagi, kemungkinan timbulnya efek samping dan bagaimana cara mencegah atau meminimalkannya, meminta pasien/keluarga untuk melaporkan ke dokter

atau apoteker jika ada keluhan yang dirasakan pasien selama menggunakan obat. Proses pharmaceutical care dapat berlangsung dengan baik sehingga dapat memberikan bantuan untuk penyembuhan dan bahkan memperoleh kenyamanan dan peningkatan kualitas hidup pasien. 5. Maintenance, merupakan tahap akhir dari proses penerapan pharmaceutical care dimana pada tahap ini, apoteker sudah dapat melihat hasil dari pelayanan kefarmasian yang telah diterapkan. Apakah pengobatan yang diberikan berhasil atau tidak. Dilakukan juga pemantauan terhadap obat yang diberikan apakah terjadi efek samping atau tidak, terjadi efek toksik atau tidak. kepa Bila pengobatan tidak memberikan efek kepada pasien maka harus dilakukan evaluasi kegiatan pelayanan farmasi dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan dan sebagai bukti kinerja apoteker dalam melaksanakan asuhan kefarmasian. Sedangkan bila telah pengobatan telah tercapai maka tujuan kita sebagai apoteker untuk meningkatkan kualitas hidup pasien telah tercapai. B. Manifestasi Farmasis yang Ideal Farmasis yang idealnya harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian. Pada aplikasinya, baru segelintir yang melaksanakan dengan alasan real bahwa imbalan jasa untuk farmasis ideal itu belum sesuai. Anggaplah imbalan yang tidak sesuai tadi adalah faktor eksternal yang menjadikan realitanya tidak ideal. Mari tinjau dari sisi yang memberikan imbalan, bagaimana mungkin imbalan akan disesuaikan jika kinerja farmasis belum sesuai. Namun dari sisi farmasis, bagaimana kinerja akan sesuai jika imbalan tidak diperhitungkan. Dari ini semua, semua pihak menunggu. Menunggu ada satu pihak yang menjadi ideal. Pihak yang memberi imbalan menunggu farmasis muncul dengan kinerja yang ideal. Farmasis menunggu keseimbangan imbalan tadi, baru bisa bekerja ideal. Tidak bisa dipungkiri, sikap semua pihak yang seperti itu menjadi faktor penghambat perkembangan dunia kefarmasian di indonesia. Pribadi-pribadi yang menjunjung tinggi realitas dalam kondisi demikian akan langsung cepat banting stir ke arah yang lebih

menjamin, kemudian memilih menjadi profesi farmasi yang tidak bersentuhan langsung dengan pelayanan kefarmasian. Farmasis, berada di persimpangan. Antara realita dan idealita, pada koordinat tak terdefinisikan. Akibat posisinya inilah eksistensinya seakan samar oleh pandangan. Realita profesi farmasis yang seperti termarginalkan. Masih banyak masyarakat yang tidak tahu apa itu farmasis. Siapa itu farmasis. Dimana farmasis bisa ditemui. Apa gunanya ada farmasis. Mungkin karena belum banyak farmasis yang berani keluar dari balik loket penyerahan obat, tidak banyak farmasis yang sempat menemui klien secara langsung, tidak banyak farmasis yang berperan, tidak sedikit farmasis yang disorientasi profesi, belum banyak farmasis yang eksis. Jika berani menilik, yang membuat realita profesi farmasis seolah terasa pahit ini adalah farmasis sendiri. Fakta demikian baru satu contoh realita. Tapi tidaklah perlu membahas idealita yang termarginalkan, lalu realita yang tidak ideal, karena belum tentu solutif. Yang sebenarnya membuat farmasis tidak berani menjadi ideal adalah karena pemikiran-pemikiran realistis yang menjadikannya mengesampingkan seven stars of pharmacist. Terlalu banyak menyalahkan keadaan sehingga sering kali lupa introspeksi diri. Terlalu banyak berpikir tentang idealita namun tidak berdaya di bawah naungan realita. Tidak berani melakukan aksi dari diri sendiri, dari yang kecil, dan dari sekarang. Hal aneh yang membuat gregetan adalah masih banyak yang menunggu peraturan pemerintah yang sudah siap saji diterapkan. Idealnya begitu ada regulasi, langsung dilaksanakan. Namun nyatanya, farmasis pun tidak sedikit yang tidak tahu dengan regulasi, apalagi membuat langkah konkrit penerapannya. Kebingungan bagaimana harus memulai. Lalu mau menunggu sampai kapan? Sampai ada peraturan baru lagi? Penantian tanpa kejelasan ini menandakan Indonesia tidak benar-benar siap berusaha menjadi ideal. Lalu bagaimana idealitas akan ada jika guidelines-nya saja belum ideal, belum jelas, belum diterapkan, belum berani diterapkan, menjadi teori yang terus menunggu untuk diaplikasikan. Menunggu. Menunggu. Menunggu. Peraturan seolah hanya akan diterapkan untuk generasi baru, belum bisa

langsung pada generasi sekarang. Padahal harusnya disadari, bahwa ketika sampai pada generasi mendatang, waktu terus berjalan, generasi baru akan menjadi generasi terdahulu. Lalu menunggu lagi generasi lebih mendatang. Suatu hal yang lucu. Masihkah harus menunggu? Generasi baru mana yang ditunggu? Siapa sebenarnya yang harus berperan dalam perubahan? Perubahan memang menakutkan. Namun dari perubahanlah seonggok tanah liat menjadi mug cantik. Dari perubahanlah seekor ulat menjadi kupu-kupu indah. Dari perubahanlah paradigma baru kefarmasian lahir. Solusi dari fakta ini adalah farmasis generasi perubahan harus melakukan revolusi kualitas. Perbaikan dan peningkatan kualitas diri. Pelayanan kefarmasian yang ideal, peran farmasis yang dikenal, profesionalisme yang tidak abal-abal, hanya akan terlahir dari tangan-tangan yang ber-visi ideal dan menjadikannya aksi nyata. Saat teori menjadi aplikasi, saat pribadi-pribadi berorientasi pada karya dan keikhlasan, saat hati-hati kita menjadi peka dengan panggilan bangsa, panggilan kepada farmasis yang berperan, saat itulah tidak perlu lagi kita di persimpangan idealita dan realita. Semuanya akan menjadi realita yang ideal. Menjadi realita yang berada dalam kebaikan. Idealita dan realita, menjadi dua hal yang saling melengkapi; idealita menjadi realita, dan realita tidak bertentangan dengan idealita. Jika idealitas menuntut pada hal yang paripurna, berusahalah menjadi ideal, karena memang tidak ada yang demikian. Dengan berusaha mencapai idealita menjadikan profesi farmasis selalu mendekat pada perbaikan.

Anda mungkin juga menyukai