Anda di halaman 1dari 223

Scanned for Compos Mentis

PEMERIKSAAN KLINIS
NEUROLOGI PRAKTIS

Umum

Edisi Pertama

Editor
Riwanti Estiasari
Ramdinal Aviesena Zairinal
Wardah Rahmatul Islamiyah

Kolegium Neurologi Indonesia


Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
2018

Scanned for Compos Mentis


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini
dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin Kolegium Neurologi Indonesia.

Penelitian kedokteran dan pengalaman klinis senantiasa berkembang dan memperluas


pengetahuan kita baik dalam hal diagnostik maupun terapi. Para kontributor, edito r
dan penerbit buku ini telah berupaya keras untuk memastikan bahwa setiap informasi
yang terdapat dalam buku ini berasal dari sumber ilmiah yang terpercaya, dapat
diandalkan dan diterima dalam praktek kedokteran pada saat publikasi. Namun dengan
segala keterbatasan manusia ataupun perubahan dalam ilmu kedokteran, kontributor,
editor, penerbit maupun pihak lain yang turut terlibat dalam persiapan dan publikasi
buku ini tidak bertanggung jawab untuk kesalahan ataupun kelalaian yang diakibatkan
oleh penggunaan informasi yang terkandung dalam buku ini. Pembaca dianjurkan
mengonfirmasi kembali informasi yang terkandung dalam buku ini dengan sumber
lainnya. Kritik dan saran dapat disampaikan me/a lui bukupfneuro@gmail. com.

PEMERIKSAAN KLINIS
NEUROLOGI PRAKTIS
Umum

18x23
Halaman: i -xii I 1-210

Diterbitkan pertama kali oleh:


Kolegium Neurologi Indonesia
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
2018

Cetakan pertama :April, 2018

Dicetak pertama kali oleh:


PENERBIT KEDOKTERAN INDONESIA
Email. perkisa.indonesia@gmail.com

ISBN: 978-979-16414-5-6

ii
Scanned for Compos Mentis
TIM BUKU
Riwanti Estiasari
Tiara Aninditha
Dyah Tunjungsari
Ramdinal Aviesena Zairinal
Ade Wijaya
Rima Anindita Primandari
Eny Nurhayati
Dwi Astiny
Mirna Marhami Iskandar
Intan Nurul Azni
Mumfaridah

ILUSTRATOR
Uti Nilam Sari

FOTOGRAFER
Adrian Ridski Harsono

DESAIN SAMPUL
Kevin Mulya
Putri Auliya
Tiara Aninditha

,.r

iii
Scanned for Compos Mentis
KONTRIBUTOR

Al Rasyid Universitas Indonesia


Ahmad Yanuar Safri Universitas Indonesia
Andika Okparasta Universitas Sriwijaya
Astri Budikayanti Universitas Indonesia
Astuti Universitas Gadjah Mada
Audry Devisanty Wuysang Universitas Hasanuddin
Chairil Amin Batubara Universitas Sumatera Utara
Corry Novita Mahama Universitas Sam Ratulangi
Darma Imran Universitas Indonesia
Diah Kurnia Mirawati Universitas Sebelas Maret
Dewa Putu Gde Purwa Samatra Universitas Udayana
Hendra Permana Universitas Andalas
Henry Riyanto Sofyan Universitas Indonesia
I Putu Eka Widyadharma Universitas Udayana
Ika Marlia Universitas Syiah Kuala
Kartika Maharani Universitas Indonesia
Muhammad Kiki Iqbal Universitas Sumatera Utara
Mohammad Kurniawan Universitas Indonesia
Mas ita Universitas Sriwijaya
Melke Joanne Tumboimbela Universitas Sam Ratulangi
Mudjiani Basuki Universitas Airlangga
Muhammad Akbar Universitas Hasanuddin
Nur Astini Universitas Syiah Kuala
Paulus Anam Ong Universitas Padjajaran
Rakhmad Hidayat Universitas Indonesia
Ramdinal Aviesena Zairinal Universitas Indonesia
Ratih Vierda Octaviani Universitas Diponegoro
Ria Damayanti Universitas Brawijaya
Riwanti Estiasari Universitas Indonesia

iv
Scanned for Compos Mentis
Salim Harris Universitas Indonesia
Subagya Universitas Gadjah Mada
Suratno Universitas Sebelas Maret
Taufik Mesiano Universitas Indonesia
Tiara Aninditha Universitas Indonesia
Trianggoro Budisulistyo Universitas Diponegoro
Uni Gamayani Universitas Padjajaran
Wardah Rahmatul Islamiyah Universitas Airlangga
Widodo Mardi Santoso Universitas Brawijaya
Yuliarni Syafrita Universitas Andalas

v
Scanned for Compos Mentis
Sambutan
KETUA KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
atas perkenaan-Nya buku Pemeriksaan Klinis Neurologi Praktis Umum dan Khusus
telah berhasil diterbitkan ke hadapan pembaca.

Pemeriksaan klinis neurologi merupakan pemeriksaan klinis dengan karakteristik


yang khas dan memerlukan ketrampilan dalam melakukan pemeriksaan maupun
interpretasi hasilnya, yang dapat bersumber dari beberapa referensi. Pemeriksaan
ini sangat banyak jenisnya yang disesuaikan dengan gejala klinis dan teknik
pengerjaan yang juga dapat bervariasi.

Kolegium Neurologi Indonesia (KNI) mempunyai tugas menjaga baku mutu


pendidikan dokter spesialis neurologi di Indonesia, antara lain sebagai penyelenggara
ujian kompetensi nasional. Untuk itu diperlukan panduan persamaan persepsi
seluruh staf pendidik dan peserta didik di seluruh Indonesia mengenai pemeriksan
klinis neurologi, demi menghindari perbedaan penilaian yang bersifat subjektif dan
multiinterpretasi.

KNI telah menugaskan kepada tim buku pemeriksaan klinis neurologi praktis yang
terdiri dari perwakilan empat belas (14) program studi dokter spesialis neurologi di
seluruh Indonesia, Sekretaris Jenderal KNI dr. Taufik Mesiano, SpS .(K), serta Ketua
dan Sekretaris Komisi Kurikulum KNI -Dr. dr. Purwa Samatra, SpS (K) dan dr. Wardah
Islamiyah, SpS- bekerja sama dengan Departemen Neurologi FKUI untuk menyusun
buku ini. Dengan kerja sama yang baik, Alhamdulillah tim buku telah menyelesaikan
penyusunan buku ini.

Terimakasih tak terhingga kami haturkan kepada ketua Pengurus Pus at Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PP- PERDOSSI) Prof. Dr. dr. H. Moh. Hasan Machfoed,
SpS (K), M.S. yang telah mendukung dan membantu sehingga penyusunan buku ini
dapat terlaksana berjalan lancar, Dr. dr. Riwanti Estisari, SpS(K) selaku ketua tim
buku beserta seluruh anggotanya, dan ketua Departemen Neurologi FKUI/RSCM yang
telah bekerja keras dalam waktu singkat untuk mewujudkan harapan KNI.

vi
Scanned for Compos Mentis
Oleh karena itu, buku ini wajib digunakan oleh peserta didik maupun staf pendidik
agar tercapai kesamaan persepsi pada pelaksanaan ujian kompetensi Objective
Structured Clinical Examination (OSCE) Nasional. Namun demikian buku ini juga
dibuat secara praktis untuk memudahkan peserta didik program pendidikan
dokter umum dan dokter umum dalam memahami pemeriksaan neurologis secara
keseluruhan maupun yang bersifat khusus.

Akhir kata saya mengucapkan selamat kepada seluruh kontributor dan tim buku yang
telah bekerja sebaik-baiknya. Semoga hasil kerja ini menjadi amal baik dan ibadah di
sisi Allah SWT dan dapat meningkatkan mutu pendidikan dokter spesialis neurologi
di Indonesia. Aamin yaa Rabbal'aalamiin.

Jakarta, April 2018

dr. Diatri Nari Lastri. SpS(K)

Ketua Kolegium Neurologi Indonesia

vii
Scanned for Compos Mentis
Sambutan
KETUA UMUM PENGURUS PUSAT PERDOSSI

Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,

Salam sejahtera bagi kita semua.

Segala puji ke hadirat Allah SWT j Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
Rahmat, Taufik, dan Hidayah-Nya kepada kita semua.

Neurologi adalah ilmu kedokteran yang menangani gangguan sistem saraf, baik saraf
pusat maupun perifer. Sistem saraf adalah sistem yang mengatur seluruh mekanisme
biologis tubuh yang amat kompleks. Sistem ini diatur oleh otak yang mencakup
berbagai fungsi penting, antara lain:

• Sistem kesadaran (consciousness)


• Sistem limbik yang mengatur berbagai fungsi penting, seperti kognitif,
psikologis, perilaku, intelektual, memori, dan bahasa.
• Sistem pengontrol gerakan motoris yang meliputi: sistem piramidal, ekstra-
piramidal, reflektoris dan lain-lain.
• Sistem sensoris yang meliputi persepsi sensoris terhadap penglihatan,
pendengaran, sentuhan, rasa (taste), bau (smefO, dan keseimbangan.
• Sistem saraf otonom yang terdiri dari simpatis dan parasimpatis.
• Sistem saraf kranial dan perifer.

Uraian diatas mengindikasikan bahwa tidak ada satupun sistem pengaturan tubuh
yang berada di luar kendali otak, yang menunjukan vitalnya fungsi otak dalam
mengatur hidup seseorang.

Adapun gangguan (nuisance) danjatau penyakit (disease) neurologis dapat timbul


apabila satu atau lebih fungsi otak terganggu. Gangguan ini bermacam-macam
bentuknya, diantaranya stroke dan gangguan pembuluh darah otak, trauma kepala,
infeksi otak, tumor otak, kejang dan epilepsi, gangguan perilaku, gangguan neurologi
anak, gangguan neurogeriatri, nyeri, gangguan tidur, serta gangguan saraf kranial,
medula spinalis, dan saraftepi.

viii
Scanned for Compos Mentis
Diagnosis penyakit neurologis biasanya relatif lebih rumit dibandingkan dengan
penyakit lainnya yang umumnya hanya perlu satu diagnosis. Sebagai konsekuensi
dari berbagai sistem otak yang terganggu, yang satu dengan lainnya memiliki
bentuk klinis, lokasi lesi, dan penyebab yang berbeda-beda, maka ada empat
diagnosis khusus neurologis, yaitu: diagnosis klinis, topis, patologis, dan etiologis.
Diagnosis neurologis ditegakkan melalui 3 hal penting, yaitu: anamnesis terstruktur
yang sistematis, pemeriksaan neurologis yang komprehensif, dan pemeriksaan
penunjangyang relevan. Dalam hal akurasi diagnosis, ketiga hal ini memiliki kontribusi
yang sama pentingnya satu dengan lainnya dan meningkatkan keberhasilan terapi.
Saat ini ada 14 (em pat be las) pus at pendidikan neurologi di Indonesia. Masing-masing
pusat pendidikan bertangung jawab untuk memberikan pendidikan neurologis
yang baik kepada para mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)
yang diasuhnya. Materi pendidikan tentu saja menyangkut pemeriksaan neurologis,
diagnosis, dan manajemen penyakit-penyakit neurologis.
Karena adanya perbedaan pusat pendidikan, perbedaan materi, perbedaan staf
pengajar dan perbedaan fasilitas pendidikan, tentu saja para mahasiswa PPDS ini tidak
memiliki pemahaman I persepsi yang sama tentang pemeriksaan neurologis antara
satu pusat pendidikan dengan pusat pendidikan lainnya. Namun para mahasiswa
PPDS ini harus mengikuti ujian nasional yang dinilai oleh para penguji berbagai pusat
pendidikan. Sekalipun berbeda pusat pendidikan, para penguji ini memiliki persepsi
yang sama tentang materi yang diujikan termasuk pemeriksaan neurologis.

Kolegium Neurologi Indonesia (KNI) telah menangkap permasalahan tersebut


dan berupaya untuk meminimalkan kesenjangan yang ada. Bekerja sama dengan
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan kontributor
dari semua Prodi Neurologi di Indonesia, KNI menerbitkan Buku Pemeriksaan Klinis
Neurologi Praktis ini. Mengingat sangat bervariasinya pemeriksaan fisik neurologis,
maka buku ini dibuat menjadi dua, yaitu Pemeriksaan Klinis Neurologi Praktis Umum
dan Khusus.
Selain mempermudah mahasiswa PPDS mempersiapkan ujian nasional, buku
ini memiliki tujuan yang lebih luas, yaitu mengusahakan adanya standarisasi
pemeriksaan fisik I neurologis berskala Nasional. Upaya ini sesuai dengan salah

Scanned for Compos Mentis


satu misi PERDOSSI dalam menunjang proses pengembangan ilmu pengetahuan
setiap anggota maupun calon anggotanya.

Oleh karena itu, PP PERDOSSI menyambut gembira diterbitkannya Buku Pemeriksaan


Klinis Neurologi Praktis ini, semoga dapatdijadikan acuan oleh pusat-pusatpendidikan
Neurologi di Indonesia.

Wassalaamu' alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Prof. Dr: dr. Mob Hasan Machfoed. Sp.S(K). M.S

Ketua Umum PP PERDOSSI

Scanned for Compos Mentis


DAFTAR lSI

Kontributor iv

Sambutan Ketua Kolegium Neurologi Indonesia vi

Sambutan Ketua Umum PP PERDOSSI viii

1. Pemeriksaan Kesadaran 1

2. Pemeriksaan Tanda Rangsang Meningeal 34

3. Pemeriksaan Saraf Kranialis 40

4. Pemeriksaan Motorik 98

5. Pemeriksaan Sensorik 128

6. Pemeriksaan Keseimbangan dan Koordinasi 144

7. Pemeriksaan Otonom 157

8. Pemeriksaan Bruit 170

9. Pungsi Lumbal 175

Daftar Tilik Pemeriksaan Neurologi 185

Indeks 207

xi
Scanned for Compos Mentis
PEMERIKSAAN KESADARAN
Ramdinal Aviesena Zairinal, Tiara Aninditha, Nur Astini,
Masita, Astri Budikayanti

Kesadaran merupakan hal pertama yang harus dinilai oleh seorang dokter setiap
kali memeriksa pasien, bahkan lebih dahulu dari pada memeriksa tanda vital seperti
nadi dan pernapasan. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan yang signifikan
dalam aspek tata laksana dan prognosis an tara pasien yang sadar penuh dengan yang
mengalami gangguan kesadaran. Sebagai contoh, pasien yang menjadi tidak sadar
setelah mengalami bangkitan epileptik mempunyai tata laksana berbeda dengan
pasien yang kembali sadar penuh setelahnya. Pasien yang koma pascahenti jantung
(post cardiac arrest) tentu berbeda prognosisnya dengan yang kembali sadar setelah
tindakan resusitasi jantung paru.

Pemeriksaan kesadaran juga bertujuan untuk mengetahui diagnosis topis dan


etiologis, sehingga harus komprehensif dengan pemeriksaan fisik umum dan
neurologis lainnya. Memeriksa pasien dengan penurunan kesadaran membutuhkan
teknik khusus yang berbeda dengan pasien yang kooperatif dan sadar penuh. Oleh
karena itu, bab ini tidak hanya akan menjelaskan tentang pemeriksaan kesadaran,
tetapi juga pemeriksaan fisik umum dan neurologis yang secara khusus harus
diperiksa pada pasien yang tidak sadar.

Patofisiologi Gangguan Kesadaran


Struktur anatomi di otak yang berperan dalam mengatur kesadaran meliputi
ascending reticular activating system (ARAS), talamus, dan korteks hemisfer serebri
bilateral. Struktur ARAS merupakan kumpulan serabut saraf yang berasal dari
formasio retikularis di batang otak, terutama tegmentum paramedian mesensefalon
dan pons bagian atas. Serabut-serabut ini menerima input dari jaras-jaras sensorik
umum (raba, nyeri, suhu, posisi) dan khusus (penginderaan), untuk selanjutnya
berproyeksi ke inti-inti di talamus, kemudian ke seluruh korteks serebri (Gambar 1).

1
Scanned for Compos Mentis
Korteks serebri

ARAS di batang otak

Gam bar 1. Struktur Otak yang Berperan dalam Kesadaran

Korteks hemisfer serebri yang telah teraktivasi ini akan memproses semua informasi
sensorik, termasuk informasi dari lingkungan eksternal, menganalisis satu persatu
input yang sampai, sehingga pada akhirnya tersusun suatu kesadaran yang penuh.
Peran korteks serebri sebagai prosesor informasi ini berkaitan dengan fungsi
yang diembannya dalam hal fungsi luhur manusia, misalnya memori, bahasa, dan
visuospasial, serta penginderaan. Oleh karena itu, struktur ARAS dan korteks serebri
yang berfungsi normal akan menghasilkan seseorang yang sadar penuh dengan
keterjagaan, siklus bangun tidur yang baik, dan kewaspadaan terhadap lingkungan
eksternal.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kesadaran dapat didefinisikan sebagai kea d <~a n
sadar penuh (full awareness) seseorang terhadap dirinya dan hubungannya dengan
lingkungan eksternal. Seseorang yang sadar penuh memiliki keterjagaan di ri
sendiri (arousal) dan kewaspadaan terhadap rangsangan dari lingkungan eksternal
(alertness) yang baik. Dengan demikian, :~angguan kesadaran dapat disebabkan oleh
kelainan pada salah satu atau kedua fa ktor terse but.

2
Scanned for Compos Mentis
Faktor keterjagaan berhubungan dengan fungsi ARAS, talamus, dan jaras-jaras
penghubung yang mengontrol keseluruhan fungsi korteks serebri. Oleh karena
fungsinya mengatur siklus bangun tidur, maka gangguan kesadaran akibat faktor ini
akan bermanifestasi sebagai penurunan kesadaran tanpa ada siklus bangun tidur
sehari-hari dan tidak bisa berespons adekuat terhadap stimulus eksternal.
Di lain pihak faktor kewaspadaan berhubungan dengan hasil koordinasi fungsi dari
seluruh bagian korteks serebri yang pada kondisi normal akan menghasilkan fungsi
kognitif dan respons afektif seseorang yang sesuai dengan stimulus eksternal. Oleh
karena itu, gangguan kewaspadaan akan menunjukkan manifestasi klinis berupa
disorientasi, gangguan perilaku, agitasi, dan gangguan fungsi luhur lainnya. Syarat
yang harus diingat adalah faktor keterjagaan merupakan hal yang mutlak harus
diperiksa sebelum faktor kewaspadaan. Dengan demikian, fungsi kognitiftidak dapat
dinilai pada seseorang yang faktor keterjagaannya belum adekuat.
Penurunan kesadaran, sebagai salah satu bentuk gangguan kesadaran, dapat terjadi
hila terdapat gangguan (lesi) struktural atau fungsional pada struktur di otak yang
menyusun kesadaran, mulai dari ARAS hingga korteks serebri. Secara struktural
menurut letak lesinya, penurunan kesadaran dapat terjadi tidak hanya pada lesi difus
di korteks serebri atau otak secara keseluruhan, tetapi juga lesi fokal di supratentorial
atau infratentorial yang mengenai ARAS, talamus, dan jaras-jaras di antaranya,
misalnya jaras talamokortikal (Gambar 2).

Gambar 2. Lesi Struktural yang Menyebabkan Penurunan Kesadaran. a. Lesi di Batang Otak
yang Mengenai ARAS. b. Lesi Difus di Otak. c. Lesi Desak Ruang di Supratentorial
yang Mengenai ARAS dan Jaras Talamokortikal. d. Lesi Desak Ruang di
lnfratentorial yang Mengenai ARAS
I
!

I ..

Scanned for Compos Mentis


Sementara itu, lesi fungsional ditandai dengan adanya kelainan aktivitas metabolik
neuron di otak atau ketidakseimbangan kadar neurotransmiter. Kelainan aktivitas
metabolik dapat berupa antara lain, hipoksia dan iskemia global, hipoglikemia,
asidosis, dan defisiensi vitamin 81. Ketidakseimbangan kadar neurotransmiter
bisa dijumpai pacta kasus intoksikasi obat, sindrom serotonin, sindrom neuroleptik
maligna, atau status epileptikus nonkonvulsif. Diagnosis tapis dan etiologis dari
penurunan kesadaran akibat lesi struktural maupun fungsional dapat ditentukan
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik berikut ini.

Anamnesis
Pacta dasarnya, anamnesis ini bertujuan untuk memastikan apakah pasien benar-
benar mengalami penurunan kesadaran atau gangguan fungsi luhur. Hal ini
dilakukan secara alloanamnesis terhadap keluarga atau orang terdekat pasien untuk
menyamakan persepsi tentang penurunan kesadaran. Terkadang keluarga baru
menyadari bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran saat pasien tidak dapat
dibangunkan sama sekali. Atau sebaliknya keluarga hanya merasa pasien terlihat
lemas, namun sebenarnya sudah termasuk dalam kriteria penurunan kesadaran.

Setelah itu harus dipastikan awitan (onset), yaitu lamanya penurunan kesadaran,
yang ditentukan sejak pasien terakhir terlihat sadar penuh. Dari titik tersebut,
pemeriksa perlu menentukan apakah penurunan kesadarannya terjadi secara drastis
ke suatu tingkat kesadaran tertentu a tau bertahap progresif mulai dari bicara kacau,
disorientasi, hingga akhirnya tidak berespons sama sekali. Pacta kasus cedera kepala,
hal ini akan sangat menentukan diagnosis awal, seperti pacta penentuan cedera kepala
ringan, sedang, atau berat. Demikian pula pacta kecurigaan hematoma epidural, jika
didapatkan riwayat interval lusid, yaitu keadaan sadar sesaat di antara dua fase
penurunan kesadaran pascatrauma kepala. Keluarga yang mengantarkan pasien
dapat dimintakan informasi apakah pasien sempat mengalami kontak yang baik dan
mampu berespons yang sesuai dengan stimulus.

Anamnesis juga meliputi kondisi medis serta manifestasi lain yang bisa berhubungan
dengan penurunan kesadaran. Jika alloanamnesis tidak dapat dilakukan, maka
pemeriksa dapat melihat kartu tanda pengenal (KTP) atau data lain yang ada di
tubuh pasien yang berguna untuk mengetahui kondisi medis atau kerabat yang

4
Scanned for Compos Mentis
bisa dihubungi. Pada kasus orang terlantar atau belum teridentifikasi, diperlukan
anamnesis terhadap pengantar pasien, misalnya polisi atau dinas sosial.

Beberapa hal yang perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa benar pasien
mengalami penurunan kesadaran antara lain, apakah pasien cenderung banyak
tidur, tidak ada siklus bangun tidur seperti biasanya, bagaimana kontak dengan
orang sekitar, dan apakah masih menjalani aktivitas sehari-hari (bekerja, melayani
keluarga, mandi, makan). Pada penurunan kesadaran yang belum terlalu dalam,
pasien biasanya hanya mengalami perubahan kebiasaan dan aktivitas harian, bicara
tidak sesuai, atau kurang kontak dengan orang sekitarnya. Selanjutnya, penurunan
kesadaran yang cukup dalam biasanya cenderung tidur terus menerus, tidak
berespons ketika dipanggil, dan tidak bisa makan minum lagi.

Adapun pasien yang mengalami gangguan fungsi luhur biasanya salah mengenali
waktu dan tempat (disorientasi), perubahan perilaku agitasi atau cenderung diam,
sulit berkomunikasi, dan daya ingatnya menurun. Namun, pasien masih memiliki
siklus bangun tidur dan intensitas keluhannya berfluktuasi dalam satu hari.

Pemeriksa juga perlu menanyakan kondisi medis pasien, termasuk obat-obat yang
dikonsumsi pasien, sebelum penurunan kesadaran. Adanya keluhan sakit kepala
hebat dan defisit neurologis (misalnya, bicara pelo, mulut mencong, pandangan
dobel, kelemahan sesisi tubuh, dan kejang) yang menyertai penurunan kesadaran,
menunjukkan kemungkinan besar penyebab penurunan kesadaran adalah suatu
lesi intrakranial. Pasien dengan riwayat diabetes, gaga! ginjal, penyakit jantung,
atau periyakit kronik lainnya yang membuat pasien cenderung imobilisasi dan nafsu
makan menurun perlu dicurigai mengalami gangguan metabolik yang menyebabkan
penurunan kesadaran. Di samping itu, adanya riwayat depresi, konsumsi narkoba,
alkohol, atau gangguan psikatrik sebelumnya dapat mengarahkan kepada penurunan
kesadaran akibat intoksikasi ataupun gejala putus obat.

Pemeriksaan
Mengingat penurunan kesadaran termasuk keadaan gawat darurat, maka
pemeriksaan fisik harus dilakukan secara cepat, tepat, dan efektif. Hal ini meliputi
pemer:iksaan tingkat kesadaran diikuti pemeriksaan tanda vital, fisik secara
umum,::.ctan neurologis yang:• perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab dan
pemantauahnya. ·· ·

5
Scanned for Compos Mentis
Perneriksaan kesadaran
Secara garis besar, pemerikaan kesadaran dapat dibagi dalam 3 tahap, yaitu observasi,
stimulasi, dan dokumentasi. Tahap awal adalah melakukan observasi atau inspeksi
terhadap pasien mengenai keterjagaan dan kewaspadaannya terhadap lingkungan.
Pasien yang sadar penuh akan terlihat membuka mata spontan, memperhatikan objek
di sekitarnya, semua indera bekerja menerima input sensorik dari eksternal, bisa
melakukan gerakan volunter yang sesuai, dan bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Jika pasien tidak tampak seperti ini, maka masuk dalam tahap kedua, yaitu stimulasi.
Pada tahap ini, pemeriksa memberikan rangsangan secara bertahap dengan suara
(verbal) dan kemudian rangsangan nyeri. Pemeriksa wajib untuk memperhatikan
semua respons terbaik pasien yang muncul secara bersamaan saat diberi rangsangan. Jika
pasien tidak menunjukkan respons apapun setelah diberikan kedua rangsangan terse but
secara maksimal, maka pasien berada di tingkat kesadaran yang paling rendah. Langkah
selanjutnya adalah mendokumentasikan hasil pemeriksaan dengan baik untuk dijadikan
patokan (baseline) atau pantauan tindak lanjut penanganan pasien (Gam bar 3).

Observasi Stimulasi Dokumentasi

Gambar 3. Skema Tahapan Pemeriksaan Kesadaran

Penilaian gangguan kesadaran dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif,


yaitu:
I. Penilaian Kesadaran secara Kualitatif
Skala kualitatif sebaiknya digunakan oleh triase untuk menentukan tingkat
kegawatdaruratan pasien karena sangat mudah dilakukan. Selain itu, skala
ini dapat diajarkan pada masyarakat awam sebagai penolong pertama pada

6
Scanned for Compos Mentis
kegawatdaruratan (first responder). Oleh karena bersifat kualitatif, maka hasil
pemeriksaannya berupa kategori yang memiliki karakteristik masing-masing.
Salah satu pembagian kategori tingkat kesadaran yang sudah lama berkembang
di bidang neurologi adalah koma, stupor/sopor, somnolenjletargi, dan kompos
mentis (Tabell).

Selain itu, terdapat pula bentuk sederhana dari skala koma Glasgow yang
telah diadopsi dalam pengajaran Advanced Trauma Life Support (ATLS) atau
kursus bantuan hidup dasar (BHD), yaitu alert-voice-pain-unresponsive (AVPU).
Keunggulan dari penilaian kualitatif adalah kemudahan dalam aplikasinya dan
bisa digunakan secara luas, bahkan oleh orang awam yang terlatih. Di lain
pihak, kekurangannya adalah hasil penilaiannya tidak terukur dan tidak sensitif
terhadap sedikit perubahan tingkat kesadaran.

Secara garis besar, pemeriksaan kesadaran secara kualitatif dimulai dengan


melakukan observasi untuk melihat adanya gerakan atau respons spontan
dari pasien. Jika pasien tampak membuka mata spontan dan sadar akan
lingkungannya (bisa berkomunikasi dengan orang lain, berperilaku pantas, bisa
menuruti perintah orang lain), maka pasien tergolong kompos mentis atau alert.
Jika pasien memberikan respons terhadap suara, maka dinilai voice. Lebih jauh
lagi, pasien yang memberikan res pons terhadap rangsangan nyeri tergolong pain.
Jika tidak berespon terhadap suara dan rangsangan nyeri, maka pasien tergolong
unresponsive.

7
Scanned for Compos Mentis
Tabell. Tingkat Kesadaran secara Kualitatif

Tingkat Kesadaran Karakteristik


Hilangnya seluruh kesadaran ya ng ditan dai tidak adanya respons pasien
terhadap diri dan lingkungannya
Kama
Tidak memiliki siklus bangun tidur
Tidak ada gerakan motorik volunter
Hilangnya sebagian kesadaran
Sulit untuk dibangunkan
Stupor
Respons yang diberikan bersifat lam bat dan inadekuat
Sesaat setelah respons diberikan, pasien segera kembali tidak sadar
Tidak terlalu sulit dibangunkan
Pasien dapat waspada penuh hila dibangunkan dengan rangsangan suara
Somnolen
a tau nyeri, tetapi kembali tidak sadar saa t rangsangannya tidak ada lagi a tau
ditinggal sendirian
Kompos mentis Kondisi sadar penuh terhadap diri sendiri dan lingkungan eksternal

II. Penilaian Kesadaran secara Kuantitatif


Penilaian kesadaran secara kualitatif memiliki kelemahan berupa hasil penilaian
yang kasar, dan tidak sensitif mendeteksi adanya perburukan klinis, sehingga
pasien sering jatuh dalam kondisi buruk dan terlambat mendapat penanganan.
Oleh karen a itu, penelitian dilakukan untuk menemukan skala kesadaran yang bisa
mendeteksi secara dini perubahan tingkat kesadaran pasien. Skala ini harus valid,
dapat diukur (measureable) , mudah digunakan (bedside assessment), dan dapat
diandalkan (good reliability). Saat ini ada dua skala kesadaran secara kuantitatif
yang digunakan secara luas, yaitu skala koma Glasgow (SKG) dan full outline of
unresponsive (FOUR) score. Keduanya memiliki karakteristik masing-masing.
Namun, pada keadaan tanpa penyulit, penilaian SKG merupakan pemeriksaan
baku emas pada penurunan kesadaran dibandingkan dengan penilaian klinis,
metabolisme, gambaran radiologi, dan luaran.

Pada tahun 2005, terdapat publikasi penelitian yang menerangkan tentang


skala kesadaran baru, yaitu FOUR score. FOUR score memiliki keunggulan
dalam mendeteksi sindrom locked-in dan keadaan vegetatif. FOUR score juga
dapat menilai tingkat kesadaran lebih baik daripada SKG pada pasien yang

8
Scanned for Compos Mentis
terintubasi karena tidak ada penilaian respons verbal. Skala ini juga dapat
menilai proses herniasi otak yang terjadi, misalnya herniasi unkal yang ditandai
oleh pupil anisokor. Pada skala SKG yang terendah (koma), FOUR score dapat
mendeskripsikan lebih lanjut tingkat keparahannya dengan menilai usaha
be rna pas (respiratory drive) pasien.

A. Skala Koma Glasgow (SKG)


SKG terdiri dari tiga komponen penilaian, yaitu membuka mata (Eye) atau E,
respons motorik (Motoric) atau M, dan respons verbal (Verbal) atau V. Setiap
komponen memiliki rentang nilai yang berbeda-beda. Komponen E memiliki 4
tingkat penilaian (1-4), dan M sebanyak 6 tingkat penilaian (1-6), sedangkan
komponen V terdapat 5 tingkat penilaian (1-5). Dengan demikian, nilai minimal
adalah 3 (tidak ada respons) dan maksimal15 (normal). Nilai SKG kurang dari
15 sudah dianggap sebagai penurunan kesadaran. Skala ini sudah digunakan
sejak tahun 197 4, hanya terdapat sedikit perubahan pada tahun 2014 (Tabel2).

Tabel 2. Skala Koma Glasgow (SKG)

Komponen Tahun 1974 " Tahun 2014

Buka mata Spontan Spontan


Terhadap suara Terhadap suara
Terhadap nyeri Terhadap tekanan kuku jari
Tak ada respons Tak ada respons
Respons verbal Orientasi baik Orientasi baik
Disorientasi Disorientasi
Kata-kata inkoheren Kata-kata inkoheren
Suara yang tidak berbentuk kata-kata Suara yang tidak berbentuk kata-kata
Tak ada respons Tak ada res pons
Respons motorik Mematuhi perintah Mematuhi perintah
terbaik Melokalisasi nyeri Melokalisasi nyeri
Fleksor Fleksi normal
Fleksi abnormal (dekortikasi)
Postur ekstensor Ekstensi ( deserebrasi)
Tak ada respons Tak ada respons

9
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan SKG dilakukan segera setelah penilaian survei primer (jalan
napas, pernafasan, dan sirkulasi). Namun, nilai SKG akan lebih valid jika
pasien telah diatasi keadaan emergensi dan kelainan metabolisme sistemik
seperti hipoksia, hipovolemia, hipoglikemia, serta penghentian obat-obatan
yang berefek sedasi. Selanjutnya, pemeriksa melakukan pengecekan awal
adakah faktor-faktor atau kondisi medis tertentu yang mempengaruhi
kemampuan pasien dalam memberikan respons membuka mata, gerakan
motorik, atau berkomunikasi. Sebagai contoh, pasien dengan riwayat
gangguan pendengaran, gangguan fungsi luhur, dan kelumpuhan keempat
ekstremitas tentu memiliki keterbatasan dalam memberikan respons.
Jika ditemukan keadaan-keadaan tersebut, maka dapat dituliskan sebagai
keterangan tambahan. Pada pasien yang tidak menunjukkan respons terbaik
untuk ketiga komponen, maka perlu diberikan rangsangan bertahap, mulai
dari suara hingga fisikfnyeri, baru dilakukan penilaian SKG.
Untuk komponen E, nilai E4 diberikan pada pasien yang dapat membuka
mata secara spontan. Jika tidak dapat membuka spontan, maka harus
diberikan rangsangan suara dengan menyebutkan identitas pasien dan
meminta pasien untuk membuka matanya, jika perlu dengan suara yang
keras. Jika pasien membuka mata dengan rangsangan tersebut, maka
nilainya E3. Namun jika pasien masih belum berespons, selanjutnya
diberikan rangsangan nyeri pada kuku (nail tip) jari tangan selama
maksimal10 detik (Gambar 4). Rangsang nyeri tersebut diberikan dengan
intensitas bertahap mulai dari rendah hingga tinggi. Jika pasien membuka
mata dalam durasi 10 detik pemberian rangsangan nyeri tersebut, maka
nilainya E2. Adapun pasien yang tetap tidak membuka mata setelah
diberi rangsangan nyeri selama 10 detik dinilai E1. Pasien yang memiliki
keterbatasan untuk membuka mata, misalnya karena edema palpebra
atau cedera maksilofasial, tidak dapat diperiksa secara akurat dan dinilai
sebagai NT (not testable).
Pemeriksaan komponen Mdiperiksa dengan meminta pasien melakukan dua
gerakan berurutan (two-step action), yaitu menggenggam dan melepaskan
tangan pemeriksa. Contoh lain yang bisa dilakukan, terutama pada pasien
dengan kelumpuhan ekstremitas, adalah meminta pasien membuka mulut

Scanned for Compos Mentis


Gam bar 4. Rangsangan Nyeri pada Kuku Pasien

dan menjulurkan lidahnya. Nilai M6 diberikan jika pasien dapat menuruti


perintah tersebut.

Namun jika pasien tidak merespons perintah, maka diberikan rangsangan


nyeri dengan mencubit otot trapezius (Gambar Sa). Tangan kiri pemeriksa
diletakkan pada bahu kanan pasien. Ibu jari berada di sisi anterior dan
keempat jari lainnya di posterior bahu, kemudian diberikan tekanan
pada otot trapezius di atas tulang klavikula. Pemberian rangsangan nyeri
dilakukan selama maksimal 10 detik dengan intensitas nyeri bertahap
dari rendah ke tinggi, hingga muncul respons motorik terbaik. Jika pasien
bel urn berespons terhadap rangsang nyeri pada otot trapezius, rangsangan
nyeri dapat diberikan pada takik supraorbita (Gambar Sb). Hal ini
dilakukan dengan meletakkan tangan pemeriksa di dahi pasien dan ibu jari
pemeriksa menekan takik supraorbita. Rangsangan nyeri juga dilakukan
selama maksimal 10 detik dengan intensitas nyeri bertahap dari rendah
ke tinggi, hingga muncul respons motorik terbaik. Apabila pasien masih
belum memberikan respons terbaik pascarangsangan nyeri di trapezius
atau takik supraorbital, maka pemeriksa dapat memberikan rangsangan
nyeri pada sternum.

11
Scanned for Compos Mentis
a b
Gambar 5. Rangsangan Nyeri pacta (a) Otot Trapezius dan (b) Supraorbita

Pasien yang bisa menggerakkan tangannya hingga melewati klavikula untuk


melokalisasi nyeri diberi nilai MS. Jika pasien melakukan fleksi siku, tetapi
tidak sampai melewati klavikula, maka hal ini bisa merupakan fleksi normal
(M4) atau abnormal (M3). Pada fleksi normal (M4),lengan pasien melakukan
fleksi siku secara cepat untuk menjauhkan lengan dari tubuh. Selain itu,
bentuk gerakan fleksinya dapat bervariasi jika pemeriksaan diulang-ulang.
Pada fleksi abnormal (M3), atau disebut juga dekortikasi, gerakan fleksi
siku terjadi dengan lambat. Bentuk gerakannya juga akan tetap sama jika
pemeriksaan diulang-ulang (stereotipik). Gerakan fleksi ini disertai rotasi
lengan bawah, ibu jari mengepal, dan ekstensi dorsum pedis.

Pasien yang berespons dengan gerakan ekstensi lengan saat diberi


rangsangan nyeri memiliki nilai M2. Adapun pasien yang tidak
menunjukkan respons motorik sama sekali diberi nilai Ml. Jika pasien
memiliki keterbatasan dalam memberikan respons motorik, misalnya
dalam pengaruh pelumpuh otot, makakomponen (M) dinilai NT (not testable).

Komponen V diperiksa dengan mengobservasi kemampuan pasien berbicara


dengan orang di sekitarnya. Jika pasien tampak sedang tidak berbicara,
maka pemeriksa menanyakan tiga hal, yaitu nama pasien, tempat sa at pasien
berada, dan waktu dilakukannya pemeriksaan. Jika pasien tidak memberikan
respons terbaik sesuai dengan pertanyaan, maka diberikan rangsangan
nyeri pada ujung jari, otot trapezius, atau takik supraorbita dengan lama dan
intensitas seperti pada penilaian komponen M.

Nilai VS diberikan apabila pasien dapat menjawab namanya serta memiliki


orientasi waktu, tempat dan orang yang benar. Jika dalam percakapan

12
Scanned for Compos Mentis
pasien dapat mengeluarkan beberapa kalimat atau frase, tetapi tidak
menjawab sesuai pertanyaan pemeriksa dengan benar, maka nilainya V4.
Nilai V4 juga diberikan apabila pasien dapat menjawab pertanyaan dengan
benar namun orientasi terhadap tempat, waktu atau orang terganggu. Jika
pasien tidak berbicara secara wajar dan hanya mengeluarkan satu kata,
maka diberikan nilai V3. Jika pasien hanya mengerang dan tidak ada kata
yang bisa kita pahami, maka pasien dinilai V2. Adapun pasien yang sama
sekali tidak menunjukkan respons verbal diberi nilai Vl. Jika pasien tidak
dapat memberikan respons verbal perlu diperhatikan apakah terdapat suatu
kondisi yang menyebabkan keterbatasan, misalnya pasien yang terpasang
trakeostomi atau pipa endotrakea. Pada kondisi terse but, komponen V diberi
nilai NT (not testable).
Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan salah satu komponen
SKG tidak dapat diperiksa (NT), yaitu pengaruh obat anestetik dan sedatif,
intoksikasi obat atau alkohol, disfasia, demensia, gangguan kognitif atau
gangguan psikiatrik, faktor perbedaan bahasa dan budaya, dan paresis
ekstremitas. Pada kondisi tersebut, walaupun tidak terdapat respons
terbaik dari pasien, tidak boleh diberi nilai terendah (1) karena perbedaan
konsekuensinya yang signifikan. Sebagai contoh, pasien stroke yang
memiliki afasia global tidak dapat mengerti perintah pemeriksa (komponen
M) dan berbicara dengan orientasi yang benar (komponen V), tetapi masih
dapat membuka mata spontan. Ketika diberikan rangsangan nyeri, pasien
masih bisa melokalisasi nyeri. Hal ini tidak boleh dinilai sebagai E4MSV1,
melainkan E4 MNTVNrCafasia global). Begitupun pasien yang terintubasi atau
dengan ttakestomi, komponen V dapat ditulis sebagai Vtube'

B. Full Outline of Unresponsive (FOUR) Score


Skala ini digunakan pada pasien yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
pemeriksaan SKG, seperti pada keadaan sulit membuka mata (contoh pada
trauma fasial) atau kesulitan berkomunikasi akibat gangguan fungsi kognitif
(afasia), serta pada pasien dengan intubasi atau trauma fasial yang berat.

Scanned for Compos Mentis


FOUR score terdiri dari empat komponen, yaitu respons mata (E), motorik
(M), refleks batang otak (B), dan pernapasan (R). Setiap komponen memiliki
skala 0 hingga 4, sehingga jumlah skor minimal 0 (E 0 M0 B0 R0 ) dan maksimal
20 (E 4 M4 B4 R4), seperti pada tabel 3. Berbeda dengan SKG, skala ini tidak
menilai komponen respons verbal pasien.

Tabel3. FOUR Score


Komponen Nilai
Respons mata (E)
• Kelopak mata terbuka dan mengikuti objek, a tau mengedipkan mata terhadap perintah 4
• Kelopak mata terbuka, tetapi tidak mengikuti objek 3
• Kelopak mata tertutup, tetapi membuka dengan suara keras 2
• Kelopak mata tertutup, tetapi membuka dengan rangsangan nyeri 1
• Kelopak mata tetap tertutup, walau dengan rangsangan nyeri 0
Respons motorik (M)
• Memperagakan gerakan mengangkat ibu jari (thumbs-up), tangan, atau peace sign 4
• Melokalisasi rangsangan nyeri 3
• Respons fleksi terhadap rangsangan nyeri 2
• Respons ekstensi terhadap rangsangan nyeri 1
• Tidak ada respons terhadap rangsangan nyeri ATAU status mioklonik umum 0
Refleks batang otak (B)
• Terdapat refleks pupil dan refleks kornea 4
• Salah satu pupil dilatasi dan terfiksasi 3
• Tidak terdapat refleks pupil ATAU refleks kornea 2
• Tidak terdapat refleks pupil DAN refleks kornea 1
• Tidak ada refleks pupil, kornea, dan batuk 0
Pernapasan (R)
• Tidak terintubasi, pola napas teratur 4
• Tidak terintubasi, pola napas Cheyne-Stokes 3
• Tidak terintubasi, pernapasan ireguler 2
• Terintubasi, pasien bernapas di atas laju napas ventilator 1
• Terintubasi, pasien bernapas sesuai laju napas ventilator ATAU apnea 0

14
Scanned for Compos Mentis
Komponen respons mata diperiksa dengan menilai respons terbaik setelah
minimal 3 kali percobaan membangunkan pasien. Skor E4 diberikan jika
terdapat minimal salah satu dari kondisi di bawah ini:

• Pasien membuka mata spontan dan bisa mengikuti gerakan jari


pemeriksa atau objek tertentu
• Pasien dengan kelopak mata tertutup (misalnya akibat edema palpebra
atau trauma maksilofasial) yang ketika dibuka kelopak matanya oleh
pemeriksa, masih dapat mengikuti jari pemeriksa atau objek tertentu
• Pasien bisa mengedipkan matanya saat diperintah oleh pemeriksa

Jika pasien tidak dapat mengikuti gerakan jari pemeriksa atau objek
tertentu, maka skornya E3. Pasien yang baru membuka mata dengan
rangsangan suara keras diberi nilai skor E2. Jika pasien baru membuka
mata dengan rangsangan nyeri, maka diberi nilai El. Adapun skor EO berarti
tidak ada respons membuka mata saat diberi rangsangan nyeri (Gambar 6) .
Rangsangan nyeri dapat diberikan pada sendi temporomandibular (TMJ)
atau nervus supraorbital.

Komponen respons motorik (M) diperiksa dengan menilai respons


motorik terbaik pada ekstremitas atas . Skor M4 berarti pasien dapat
memperagakan gerakan mengangkat ibu jari, tangan mengepal, dan peace
sign. Jika pasien tidak dapat melakukan gerakan tersebut, maka pemeriksa
memberikan rangsangan nyeri di sendi temporomandibular (TMJ) atau
nervus supraorbital. Pasien yang bisa menyentuh tangan pemeriksa saat
diberi rangsangan nyeri terse but diberi skor M3 . Jika respons motorik hanya
berupa gerakan fleksi ekstremitas atas, maka skor yang diberikan M2. Skor
Ml diberikan pada pasien yang menunjukkan respons berupa gerakan
ekstensi ekstremitas atas. Pasien yang tidak menunjukkan respons apapun
memiliki skor MO (Gambar 6).

15
Scanned for Compos Mentis
• .>

E4

Gam bar 6. Deskripsi FOUR Score

Komponen refleks batang otak (B) dilakukan dengan menilai refleks pupil,
kornea, dan batuk. Khusus untuk refleks kornea, di samping pemeriksaan
yang biasa dilakukan dengan kapas, pemeriksaan juga dianjurkan dengan
cara meneteskan 2-3 tetes NaCI 0,9% steril pada kornea dari jarak 4-6inci
(10 -15cm). Skor 84 artinya pasien memiliki refleks pupil dan kornea yang
normal. Skor 83 diberikan pada pasien dengan salah satu pupil yang dilatasi
dan terfiksasi. Jika salah satu dari refleks pupil atau refleks kornea negatif,
maka skor yang diberikan 82. Jika kedua refleks terse but negatif, maka diberi

16

Scanned for Compos Mentis


skor Bl. Adapun skor BO berarti tidak ada semua refleks baik pupil, kornea,
maupun batuk (Gambar 6).

Komponen pernapasan (R) dinilai dengan menentukan pola napas pasien


dan apakah pasien terintubasi atau tidak. Pad a pasien yang tidak terintubasi,
pola napasnya dapat teratur (R4), Cheyne-Stokes (R3), atau ireguler (R2).
Pada pasien yang terintubasi, langkah selanjutnya adalah melihat tampilan
pola respirasi pada monitor ventilator. Jika pasien masih ada usaha
bernapas yang ditandai dengan frekuensi napas pasien di atas frekuensi
napas ventilator, maka skornya Rl. Adapun skor RO diberikan jika pasien
tidak memperlihatkan usaha bernapas atau dalam kondisi apnea. Sebaiknya
penilaian ini dilakukan pada keadaan PaC0 2 dalam batas normal (Gambar 6).

Pemeriksaan Tanda Vital


Pemeriksaan tanda vital pada penurunan kesadaran merupakan bagian dari
kegawatdaruratan dan dapat menentukan letak lesi dan tingkat keparahan
gangguan kesadaran. Adanya tanda vital yang abnormal harus segera diatasi
terlebih dahulusebelum melakukan pemeriksaan fisik lengkap atau penunjang.
Peningkatan tekanan darah biasanya mencerminkan kemungkinan etiologi stroke
atau peningkatan tekanan intrakranial. Pola napas abnormal juga dapat menjadi
petunjuk gangguan di daerah batang otak, seperti pernapasan Cheyne-Stokes,
hiperventilasi neurogenik sentral, apneusis, klaster dan ataksik, serta apnea (Tabel4 ).

Pemeriksaan suhu pasien juga dapat membantu menentukan etiologi penurunan


kesadaran. Pasien dengan infeksi intrakranial atau sepsis memiliki klinis demamj
hipertermia, sedangkan hipotermia dapat diakibatkan oleh hipoglikemia, dehidrasi,
renjatan, serta intoksikasi etanol atau zat sedatif. Kerusakan talamus juga dapat
menyebabkan perubahan suhu tubuh.

17
Scanned for Compos Mentis
Tabel 4. Pola Pernapasan Abno rmal pada Pasien Penurunan Kesadaran
Jenis Deskripsi Implikasi Klinis
Cheyne-Stokes Pola napas ditanda i dengan periode hiperpnea ya ng berselang-seling Dijumpai pada ensefalopati metabolik dan
dengan periode ap nea 10-20 detik. lesi padaforebrain ata u diensefalon.

Hiperventilasi Pola nap as yang disebabkan oleh terangsangnya kemoreseptor di Paling sering dijumpai pada ensefalopati
neuroge nik batang otak karen a beberapa keadaa n metabolik yang merubah nilai metabolik. Pada kondis i jarang, bisa
sentral pH [sepsis, kama hepatikum, atau as idos is metabolik) ata ulesi disebabkan oleh lesi di mesensefalon
intrakranial [infeksi intrakranial atau perd arahan subara knoid) .
Hipe rve ntilas i terjadi terus-me ne rus, bahkan saat tidur.

Apneusis Pola napas yang ditandai henti napas, selama 2-3 detik, saat puncak Terdapat les i di pons bilateral
inspiras i dan akhir ekspiras i [end-inspiratory pause dan end-expiratory
pause).

Klaster dan Pern apasan terengah-engah (gasping), dengan pola seperti roda gigi Lesi di perbatasan pons dan medula
ataksik berkelompokjklaster yang diselingi dengan henti napas. oblongata [pontomedullary junction)

D
1mn

Apnea Tidak ada inspirasi dan ekspi ras i Lesi di ventral respiratory g roup(VRG) yang
berada di ked ua s is i ventrolatera l medula
oblongata

Scanned for Compos Mentis


Pemeriksaan Fisik Umum
Pemeriksaan fisik umum bertujuan untuk mencari etiologi penurunan kesadaran
(Tabel 5). Hal ini dilakukan setelah tanda vital stabil, secara menyeluruh dari kepala
hingga ekstremitas bawah.

Tabel 5. Temuan Klinis yang Bermakna pada Penurunan Kesadaran


Sistem Temuan Klinis Kondisi Medis Terkait
Kepala dan leher Jejas, luka, bengkak, tanda Battle, Cedera kepa la
raccoon eyes
Kulit Bekas suntikan (needle track) Overdosis obat, HIV, hepatitis C
Sianosis Hipoksia, keracunan sianida, penyakit
jantung
Berwarna merah cerah (cherry red) Intoksikasi karbon monoksida
lkterik Ensefalopati hepatikum, hemolisis
Pucat Anemia, perdarahan hebat, renjatan,
sinkop vasomotor
Petekie Disseminated intravascular
coagulopathy (DIC), infeksi
meningokokus, alergi obat,
trombositopenia, emboli lemak
Ruam makulopapular Lupus eritematosus sistemik, toxic
shock syndrome
Lebam/ memar Trauma, koagulopati
Berkeringat Demam, hipoglikemia
Eritema,Jlushing Polisitemia, demam, intoksikasi
alkohol
Pant Edema paru Gaga! jan tung, edema paru
neurogenik, ensefalopati anoksik
Jantung Aritmia Stroke iskemik karena emboli
Murmur Endokarditis bakteri
Abdomen dan saluran Hematemesis melena Perdarahan saluran cerna,
cerna ensefalopati hepatikum
Inkontinensia alvi Kej ang dengan koma pasca-iktal
Saluran kemih Anuria, oliguria Ensefalopati uremikum
Hematuria Anemia, koagu lopati
Ekstremitas Asteriks is Ensefalopati hepatikum, ensefalopati
uremikum
Kedutan (twitching) Status epileptikus nonkonvulsif

19
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Neurologis
Semua pemeriksaan yang membutuhkan atensi pasien tidak dapat dilakukan pada
kasus penurunan kesadaran, antara lain pemeriksaan sensorik, keseimbangan, dan
koordinasi. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal, beberapa saraf kranial, dan
motorik masih dapat dikerjakan untuk mengetahui letak lesi penurunan kesadaran.

Pemeriksaan tanda rangsang meningeal bertujuan mencari adanya kaku kuduk


yang dapat menjadi tanda adanya iritasi meningen di daerah subaraknoid, misalnya
pada penyakit meningitis, perdarahan subaraknoid atau tumor di daerah meningen.
Selanjutnya, pemeriksaan saraf kranial meliputi pupil, gaze, dan refleks batang otak.
Adapun pemeriksaan motorik dilakukan untuk melihat respons motorik pasien
terhadap rangsangan nyeri.

A. Pemeriksaan Saraf Kranial


• Pupil
Pemeriksaan refleks pupil dapat menentukan letak lesi intrakranial yang
menyebabkan penurunan kesadaran (Gambar 7). Refleks ini memiliki
komponen aferen N.II dan eferen N.III. Hasil pemeriksaan pupil dikatakan
anisokor bila terdapat perbedaan diameter pupil ~ 2mm antara kiri dan
kanan. Selain gambaran berikut, terdapat pula gambaran pupil bereaksi
lambat (sluggish pupils) yang bisa terjadi akibat pengaruh obat penyekat
neuromuskular, tetes mata midriatik, atau penggunaan albuterol.

• Gaze dan Gerakan Ekstraokular


Pemeriksaan gaze diawali dengan memegang kedua kelopak mata pasien
agar tetap terbuka, kemudian diamati posisi kedua bola mata pada keadaan
netral. Adanya kelainan gaze berupa deviasi konjugat menandakan
kemungkinan lesi di frontal eye field (FEF) lobus fronta l atau pons.

20
Scanned for Compos Mentis
~ . .~
Eltk IHl difus (-11aupun mMabolik
ensefelojNitl, dll/:
ktcil dan reak••

Ol...,.falilc
kecll dan real<tU

P m -;
..~
besar, tedo sa!!l. h ippo•

'~
. .~\!) ~

MidbRin:
mldposlsl dan unllksesl

..~

-· ·

Gambar 7. Perubahan Pupil Pasien Berdasarkan Letak Lesi Intrakranial yang


Menyebabkan Penurunan Kesadaran

Lesi pada salah satu FEF lobus frontal dapat berupa lesi destruktif atau iritatif.
Lesi destruksi, misalnya karena stroke atau neoplasma, akan menimbulkan deviasi
konjugat ke arah ipsilateral lesi atau kontralateral sisi hemiparesis. Lesi iritatif,
misalnya kejang yang bersumber dari salah satu lobus frontal, akan menimbulkan
deviasi konjugat ke arah kontralateral lesi. Adapun lesi pada salah satu sisi pons
akan menimbulkan deviasi konjugat ke arah kontralateral lesi atau ipsilateral sisi
hemiparesis (Gambar 8).

Pemeriksaan gerakan bola mata dilakukan untuk mengevaluasi adanya fiksasi,


tracking pada suatu objek, roving eye movement, atau nistagmus yang dapat
menunjukkan lokasi lesi (Tabel 6).

21
Scanned for Compos Mentis
Gambar 8. Deviasi Konjugat Akibat beberapa Penyebab, seperti (a) Lesi Destruksi di Lobus
Frontal Kanan Menimbulkan Deviasi Konjugat ke Arah Kanan, (b) Kejang yang
Bersumber di Lobus Frontal Kanan Menimbulkan Deviasi Konjugat ke Arah Kiri, dan
(c) Lesi Destruksi di Pons Sisi Kanan Menimbulkan Deviasi Konjugat ke Arah Kiri

Tabel 6. Deskripsi Temuan Klinis pacta Pemeriksaan Gerak Bola Mata


Temuan Klinis Keterangan
Fiksasi Mata melihat ke suatu objek dan tidak bergerak dari posisi tersebut
Mata melihat ke suatu objek di sekitarnya, dan kemudian rna tanya me Jirik
Tracking
mengikuti gerakan objek tersebut
Roving eye movement Gerakan konjugat kedua bola mata yang pelan dan bolak-balik (to-and-fro)
Dapat ditemukan pada lesi di flokulus serebelum atau craniocervical
Down-beat nystagmus
junction
Up-beat nystagmus Dapat ditemukan pada lesi vermis serebelum dan medula oblongata
Gerakan kedua bola mata menyentak ke arah bawah dengan diikuti gerakan
Ocular bobbing
ke arah atas yang lam bat. Hal ini bisa disebabkan oleh lesi akut di pons

• Refleks Okulosefalik
Sebelum pemeriksaan, harus dipastikan dulu tidak terdapat cedera
vertebra servikal. Pemeriksa menahan kedua kelopak mata pasien tetap
terbuka, lalu menggerakkan kepala pasien secara cepat berotasi ke arah
horizontal dan vertikal. Hasil positif ditandai dengan gerakan kedua bola
mata ke arah berlawanan dari rotasi kepala. Misalnya, jika pasien menoleh

22
Scanned for Compos Mentis
ke kanan, maka kedua mata normal akan bergerak ke arah kiri. Adapun
hasil negatif apabila tidak ada gerakan bola mata saat kepala digerakkan.

• Refleks Okulovestibular
Komponen aferen refleks ini adalah N.VIII dengan eferen N.III dan N.VI.
Refleks ini dilakukan dengan sebelumnya memastikan patensi membran
timpani. Jika tidak ada ruptur membran, pemeriksa dapat mengalirkan air
dingin pada salah satu telinga. Posisi pasien saat tes kalori adalah elevasi
kepala 30°. Setiap telinga diirigasi dengan sekitar SOmL air dingin selama 1
menit. Tindakan dilakukan pula pada telinga sisi yang Jain dengan interval
selama 5 menit dari telinga sebelumnya. Hasil positif berupa nistagmus
fase cepat ke arah berlawanan dengan telinga yang diirigasi, disertai
deviasi konjugat lam bat ke sisi telinga yang diirigasi. Hal ini menunjukkan
lingkar refleks yang melalui mesensefalon dan pons dalam keadaan intak.
Adapun hasil negatif ditandai dengan tidak adanya gerakan bola mata
selama 1 menit observasi pascairigasi.

• Refleks Ancam
Refleks ini memiliki komponen aferen N.II dan eferen N.VII. Cara
pemeriksaannya adalah dengan memegang kedua kelopak mata pasien
agar tetap terbuka, kemudian tangan pemeriksa digerakkan secara
cepat ke dalam Japang pandang pasien hingga tampak seperti hampir
mengancam mata pasien. Hasil positif yang ditandai dengan kedipan
mata menunjukkan lingkar refleks melalui jaras penglihatan, area visual
di lobus oksipital hingga pons masih dalam keadaan intak. Adapun hasil
negatifberupa tidak adanya kedipan mata saat tangan pemeriksa bergerak
cepat ke arah mata pasien.

• Funduskopi
Pada pasien penurunan kesadaran, pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengevaluasi diskus optikus dan N. II. Dengan pemeriksaan ini, klinisi
dapat mengetahui adanya papil edema yang sering menjadi tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, komplikasi retinopati pada
hipertensi dan diabetes mellitus juga bisa terdeteksi pada penurunan
kesadaran yang dicurigai diakibatkan oleh stroke. Pada kasus perdarahan

23
Scanned for Compos Mentis
subaraknoid, gambaran yang ditemukan dapat berupa perdarahan
subhialoid.

• Refleks Kornea
Komponen aferen refleks kornea adalah N.V1 dan eferennya N.VII.
Pemeriksaan refleks kornea dilakukan dengan menyentuh kornea dengan
kapas (cotton swab) atau tetesan air. Hasil positif bila terdapat kedipan
mata saat kornea disentuh. Hal ini terjadi karena lingkar refleks yang
melalui pons masih intak. Hasil negatif menunjukkan tidak adanya gerakan
kelopak mata saat kornea disentuh.

• Refleks Muntah
Komponen aferen refleks ini adalah N.IX dan eferennya N.X. Pemeriksaan
refleks muntah dilakukan dengan memberikan rangsangan sentuhan
ke dinding faring posterior dengan spatula lidah atau kateter penghisap
(suction). Refleks ini akan positif bila lingkar refleks yang melalui medula
oblongata masih intak. Hasil positif ditandai dengan adanya reaksi muntah
pasien, begitupun sebaliknya.

• Refleks Batuk
Komponen aferen dan eferen refleks ini adalah N.X. Pemeriksaan ini
dilakukan pada pasien terintubasi dengan cara memasukkan kateter
penghisap ke dalam trakea melalui pipa endotrakeal atau trakeostomi
hingga setinggi karina, dan dilakukan penghisapan sebanyak 1 atau 2 kali.
Refleks ini akan positif bila lingkar refleks yang melalui medula oblongata
masih dalam keadaan intak. Hasil positif ditandai dengan adanya reaksi
batuk pasien, begitupun sebaliknya.

B. Pemeriksaan Motorik
Apabila pasien tidak dapat mengikuti perintah, pemeriksa dapat memberikan
rangsangan nyeri untuk menimbulkan respons motorik tertentu. Respons ini
dapat membantu pemeriksa menentukan letak lesi dan tingkat keparahan
penyakit. Beberapa respons motorik terse but dapat dilihat pada tabel berikut
ini (Tabel 7).

24
Scanned for Compos Mentis
Tabel 7. Respons Motorik pada Penurunan Kesadaran
Jenis respons Keterangan Implikasi
• Kerusakan otak (fokal atau
difus) yang tidak terlalu parah
Pasien bisa melokalisasi nyeri, misalnya
Respons tepat (moderate severity) .
mendorong tangan pemeriksa ke arah
(appropriate) • Koneksi motorik dan sensorik
menjauhi tubuh pasien
pada medula spinalis dan batang
otak masih intak.

Respons Pasien berespons tidak sesuai


menghindar rangsangan nyeri, misalnya: • Ada gangguan koneksi jaras
stereotipik • Fleksi pada jari, pergelangan tangan motorik dan sensorik pada
(stereotyped dan siku medula spinalis dan batang otak.
withdrawal • Triple flexion response (dorsofleksi • Dapat dijumpai pad a mati otak
response) kaki disertai fleksi lutut dan panggul)

Gerakan motorik ekstremitas dan otot


Postur unilateral/ Dapat ditemukan pada kelainan
wajah yang menunjukkan lateralisasi ke
asimetris metabolik atau lesi struktural difus
salah satu sisi ekstremitas

Gerakan motorik ekstremitas dan Lesi struktural intrakranial di


Postur simetris
otot wajah yang tidak menunjukkan hemisfer serebri kontralateral a tau
bilateral
lateralisasi ke salah satu sis i ekstremitas batang otak

• Fleksi siku, Sering ditemukan akibat lesi di


talamus secara langs ung, ata u lesi
Dekortikasi • Adduksi bahu,
desak ruang yang mengkompresi
• Ekstensi dan rotasi internal tungkai talamus

• Ekstensi siku Biasanya muncul saat herniasi


Desereberasi • Rotasi internal bal1U dan lengan atas serebri sudah mencapai
• Ekstensi dan rotasi internal tungkai mesensefalon

Tidak ada respons motorik pada kedua


Tidak ada respons Biasa ditemukan akibat lesi pons
ekstremitas dan otot wajah, tetapi masih
motorik atau medula oblongata
ada gerakan ekstraokular

25
Scanned for Compos Mentis
Pengetahuan mengenai korelasi antara letak lesi dan temuan klinis terkait
sangat penting untuk dikuasai oleh klinisi dan perawat, terutama dalam hal
pemantauan pasien penurunan kesadaran. Dengan demikian, setiap tenaga
medis bisa mendeteksi dini perbaikan atau perburukan pasien seperti pada
kasus herniasi serebri. Pada pasien penurunan kesadaran akibat proses
herniasi serebri dari kranial ke arah kaudal, terdapat temuan klinis khas yang
merepresentasikan tahapan-tahapan herniasi tersebut (Tabel 8).

Tabel 8. Temuan Klinis pada Beberapa Tahapan Herniasi Serebri

• Tahap awal
= mampu
Normal, kecuali pupil
Diensefalon Normal lokalisasi nyeri Cheyne-Stokes
ukuran kecil dan reaktif
• Tahap akhir =
dekortikasi
• Lesi bilateral = Pupil
ukuran sedang dan
Hiperventilasi
Mesensefalon terfiksasi Paresis N.lll Desereberasi
neurogenik sentral
• Lesi unilateral = pupil
anisokor

• Lesi di pons= pinpoint • Deviasi


• Lesi bilateral
• Proses herniasi = pupil konjugat
= Tidak ada
ukura n sedang dan ke arah
respons motorik
terfiksasi kontralateral
dan gerakan otot
Pons • Refleks kornea negatif lesi Apneusis
wajah
• Refleks okulosefalik • Oftalmoplegia
• Lesi unilatera l
negatif internuklear
=hemiparesis
• Refleks okulovestibular • One and half
alternans
negatif syndrome

• Pontomedullary
junction=
klaster dan
Medula • Refleks batuk negatif
ataksik
oblongata • Refleks muntah negatif
• Ventral
respiratory
group = apnea

26
Scanned for Compos Mentis
Kondisi Lain terkait Gangguan Kesadaran
Delirium
Delirium merupakan keadaan yang sering ditemukan pada pasien rawat inap. Kriteria
diagnosis delirium berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
edisi kelima (DSM-5), yaitu:

A. Terdapat gangguan atensi (misalnya sulit untuk fokus, mempertahankan, dan


mengalihkan atensi) dan kewaspadaan terhadap lingkungan eksternal (misalnya
disorientasi).
B. Gangguan berlangsung dalam jangka waktu pendek (beberapa jam hingga hari),
menunjukkan perubahan akutdari kondisi dasar (baseline) atensi dan kewaspadaan,
serta tingkat keparahannya cenderung berfluktuasi dalam satu hari.
C. Terdapat gangguan tambahan pacta aspek kognitif (misalnya defisit memori,
bahasa, dan visuospasial)
D. Gangguan pada poin B dan C tidak bisa dijelaskan oleh kelainan neurokognitif
yang sudah ada sebelumnya dan tidak terjadi dalam konteks penurunan kesadaran
yang parah, misalnya koma.
E. Adanya bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, a tau penunjang yang menunjukkan
bahwa gangguan ini merupakan konsekuensi fisiologis langsung dari kondisi medis
lain, intoksikasi a tau putus obat, paparan toksin, atau terkait beberapa etiologi.

Mengacu kepada kriteria tersebut, delirium merupakan bentuk perubahan kesadaran


yang memiliki karakteristik akut, berfluktuasi dalam satu hari, disertai gangguan
kognitif, dan berhubungan langsung dengan kondisi medis lainnya. Hal ini berbeda
dengan demensia yang berjalan lebih subakut atau kronik. Diagnosis delirium tidak
dapat diaplikasikan pada pasien dengan penurunan kesadaran yang culmp dalam.
Oleh sebab itu, untuk menentukan seorang pasien mengalami delirium, klinisi harus
memeriksa dan memantau kesadaran secara berkala dalam satu hari untuk mengetahui
perubahan kesadarannya dari jam ke jam. Jika kondisi klinis pasien tidak sesuai dengan
kriteria diagnosis di atas, maka delirium tidak dapat ditegakkan.

Psychogenic Unresponsiveness
Pasien yang tidak berespons terhadap rangsangan eksternal dapat pula disebabkan
oleh aspek psikis. Hal ini disebut psychQgenic unresponsiveness. Pada pasien tersebut
tidak ditemukan adanya lesi struktural a tau fungsional yang menyebabkan penurunan

27
Scanned for Compos Mentis
kesadaran. Dengan demikian, diagnosis baru dapat ditegakkan setelah mengeksklusi
semua penyebab organik. Dua kategori utama psychogenic unresponsiveness adalah
reaksi konversi dan katatonia.
Pada pasien reaksi konversi atau malingering, biasanya kelopak mata tertutup dan
tidak terpengaruh dengan lingkungan sekitar. Pasien cenderung menahan kedua mata
saat pemeriksa mencoba membuka matanya. Jika berhasil terbuka, maka secepatnya
mata terse but akan tertutup kembali. Pasien kadang membuka mata pada saat merasa
tidak sedang diawasi orang lain. Pernapasan biasanya normal, tetapi bisa saja pasien
bernapas secara berlebihan dan mengalami hiperventilasi. Pupil isokor dan reaktif,
kecuali jika pasien memakai sendiri obat tetes mata midriatik. Pada tes kalori, irigasi
air dingin pada salah satu telinga akan menimbulkan nistagmus fase cepat ke arab
berlawanan dengan sisi telinga yang diirigasi. Pada pemeriksaan motorik, terdapat
tahanan sesaat pada waktu ekstremitas digerakkan secara pasif dan mendadak,
tonus pasien normal, dan tidak terdapat refleks patologis. Jika salah satu lengannya
diangkat secara pasif dan dijatuhkan ke muka, maka pasien dengan reaksi konversi
akan menggerakkan lengannya menjauhi wajah. Hal ini berbeda dengan pasien koma
sesungguhnya yang akan menjatuhkan lengannya ke wajahnyasendiri.
Berbeda dengan reaksi konversi, katatonia dapat terjadi dalam dua kelompok, yaitu
retarded dan excited. Kelompok katatonia retarded sulit dibedakan dengan pasien
dengan tingkat kesadaran stupor akibat penyakit organik sistemik. Pasien biasanya
membuka mata spontan, tetapi tidak berkontak dengan lingkungan sekitarnya. Tanda
vital cenderungtakikardia (90-120 kali permenit), pernapasan normal, dan suhu tubuh
bisa meningkat 1,0-1,5°C. Pasien bisa tidak mengedipkan mata saat dilakukan refleks
ancam, tetapi masih menunjukkan respons optokinetik nistagmus (OKN). Refleks
okulosefalik dan okulovestibular dalam batas normal. Katapleksi dapat ditemukan
pada sekitar 30% pasien. Pada pemeriksaan motorik dapat ditemukan ekstremitas
kaku dan mempertahankan posisi tertentu, tanpa adanya refleks patologis. Gerakan
menyentak yang menyerupai khorea dan wajah menyeringai (grimacing) adalah
hal yang sering ditemukan pada kelompok pasien ini. Karakteristik khas lainnya
adalah ketika sudah membaik dan sadar penuh, pasien seringkali bisa menceritakan
kejadian-kejadian yang dialaminya saat "stupor".
Pada kelompok excited, gambaran klinis bisa menyerupai delirium. Pasien tampak
agitatifdan sulit diperiksa orientasi dan atensinya. Halusinasi dapat terjadi. Biasanya

Scanned for Compos Mentis


halusinasi visual murni ditemukan pada penyakit organik sedangkan halusinasi
auditorik murni pada penyakit psikologis. Adanya gerakan motorik yang stereotipik,
posturing, dan grimacing adalah ciri khas dari katatonia kelompok excited.

Keadaan Vegetatif dan Minimally Conscious State


Pasien yang mengalami kerusakan otak cukup hebat yang menyebabkan koma
memiliki beberapa kemungkinan luaran, antara lain sembuh dan kembali sadar
seperti biasa, meninggal, atau mengalami perbaikan sebagian dan tetap tidak sadar.
Secara temporal, keadaan koma jarang berlangsung lebih dari 2-4 minggu. Jika pasien
tidak kembali sa dar lebih dari rentang waktu terse but, maka pasien dapat jatuh dalam
keadaan vegetatif atau minimally conscious state.

Keadaan vegetatif adalah kondisi klinis hilangnya kesadaran terhadap diri dan
lingkungan, tetapi masih memiliki siklus bangun tidur. Hal ini disebabkan oleh fungsi
hipotalamus dan otonom batang otak yang tidak terganggu seluruhnya akibat kerusakan
otak (brain injury) yang progresif atau malformasi perkembangan sistem saraf.
Kriteria diagnosis keadaan vegetatif an tara lain:
A. Hilangnya kesadaran akan diri sendiri atau lingkungan dan ketidakmampuan
berinteraksi dengan orang lain
B. Hilangnya respons perilaku yang bersifat konsisten, volunter, bertujuan, atau bisa
diulang terhadap rangsangan visual, auditori, taktil, dan nyeri
C. Hilangnya fungsi pemahaman dan ekspresi bahasa
D. Keterjagaan yang bersifat intermiten, ditandai dengan adanya siklus bangun tidur
E. Masih terjaganya fungsi hipotalamus dan otonom batang otak yang
memungkinkan pasien masih bertahan hidup dengan bantuan perawatan
medis
F. Inkontinensia uri et alvi
G. Masih terjaganya refleks batang otak (pupil, kornea, okulosefalik, okulovestibular,
muntah) dan refleks spinal
Keadaan vegetatif dikatakan persisten (persistent vegetative statejPVS) jika muncul
setidaknya satu bulan pascakerusakan otak traumatik atau nontraumatik, atau
berlangsung selama minimal 1 bulan pada pasien gangguan metabolik, degeneratif,

Scanned for Compos Mentis


atau malformasi perkembangan sistem saraf. Adapun terminologi lain, yaitu
keadaan vegetatif permanen, memiliki arti bahwa kondisi pasien sudah ireversibel
dan kemungkinan pasien dapat kembali sadar penuh sangat kecil. Diagnosis PVS
didasarkan pada data klinis setelah melakukan pemeriksaan berulang dengan teliti
oleh dokter terlatih. Pemeriksaan penunjang bisa saja mendukung diagnosis PVS,
tetapi tetap aspek klinis yang menjadi dasar utama diagnosis.
Berbeda dengan keadaan vegetatif, minimally conscious state ditandai dengan adanya
respons terhadap lingkungan, misalnya menuruti perintah sederhana, mengikuti
objek di sekitar, atau mengeluarkan suara yang sulit dipahami. Kondisi ini dapat
merupakan bentuk perbaikan klinis dari keadaan vegetatif. Selanjutnya, pasien dapat
mengalami perubahan menjadi sindrom amnestik atau confusional syndrome, dan
kemudian akhirnya kembali sadar penuh.

Locked-in Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan kelumpuhan keempat anggota gerak dan saraf
kranial bagian bawah. Etiologi tersering adalah lesi di basis dan tegmentum
pons bagian tengah yang menimbulkan gangguan jaras motorik. Mengingat tidak
adanya komponen ARAS atau korteks serebri yang telibat pada sindrom ini, maka
perlu diingat bahwa pasien sebenarnya tidak mengalami penurunan kesadaran,
tetapi hanya tidak bisa memberikan respons maksimal kepada rangsangan yang
ada. Pasien biasanya masih bisa membuka mata spontan dan menggerakan bola
mata. Bentuk komunikasi yang bisa dilakukan dalam bentuk kedipan mata untuk
menjawab pertanyaan tertutup (ya atau tidak).

Mati Otak (Brain Death)


Saat ini banyak pemeriksaan klinis neurologis yang digunakan untuk menentukan
mati otak tidak diperoleh melalui metode berbasis bukti (evidence-based). Salah
satu metode yang dapat digunakan adalah panduan praktis yang dikeluarkan oleh
American Academy of Neurology tahun 2010 yang terdiri dari em pat tahapan, yaitu:
A. Evaluasi persyaratan
1. Penyebab koma yang paling mungkin sudah ditentukan dan bersifat ireversibel
2. Pasien yang akan ditentukan mati otak harus bebas dari pengaruh obat yang
mendepresi sistem saraf pusat dan pelumpuh ototjpenyekat neuromuskular.
Selain itu, pasien tidak ada gangguan elektrolit, asam basa, dan endokrin

30
Scanned for Compos Mentis
(misalnya gula darah) yang cukup berat dan masih bisa dikoreksi.
3. Suhu tubuh (core temperature) normal (>36°C)
4. Tekanan darah sistolik yang adekuat (:o::100mmHg, dengan atau tanpa
vasopresor)
5. Terdapat sumber daya (dokter) yang kompeten sesuai hukum yang berlaku

B. Evaluasi klinis neurologis


1. Koma
Pasien harus dalam tingkatan terendah berdasarkan skala GCS a tau FOURscore,
ditandai dengan keadaan yang tidak berespons terhadap semua rangsangan.
Mata tidak membuka pada saat rangsangan nyeri. Respons motorik yang
masih diperbolehkan hanya berupa refleks spinal.
2. Tidak ada refleks batang otak
• Tidak ada respons pupil terhadap cahaya
• Tidak ada pergerakan bola mata saat refleks okulosefalik dan tes kalori
• Refleks kornea negatif
• Tidak ada gerakan otot wajah
• Tidak ada refleks muntah 'dan batuk

3. Apnea
Pasien mati otak harus tidak memiliki usaha bemapas. Hal ini dievaluasi dengan tes
apneayangprinsipnya bertujuan meningkatkankadar PaC02 di atas nilai normal dan
melihat responsnya. Pada pasien normal, peningkatan PaC02 akan menimbulkan
usaha bemapas, sementara pasien mati otak tidak ada sama sekali pergerakan dada.
Sebelum melakukan tes apnea, beberapa persyaratan harus diperhatikan, antara
lain normotensi, normotermia, euvolemia, eukapnia (PaC02 35-45mmHg), tidak
hipoksia, dan tidak ada riwayat retensi C02 ( misalnya pada penyakit paru obstruktif
kronik). Adapun langkah-langkah prosedurnya sebagai berikut:
• Atur tekanan darah menjadi ;::100mmHg. Jika perlu, gunakan vasopresor
untuk mencapai target terse but.
• Preoksigenasi selama minimal 10 menit dengan 100% oksigen hingga !

mencapai target Pa0 2 >200mmHg. li '...."

·.···
!
• Turunkan frekuensi ventilasi menjadi 10 kali permenit hingga eukapnia.

Scanned for Compos Mentis


• Turunkan nilai positive end-expiratory pressure (PEEP) menjadi 5cmH 20.
• Jika saturasi oksigen berdasarkan pulse oximetry tetap >95%, maka
periksa analisis gas darab awal (baseline).
• Putuskan sambungan ventilator ke pasien
• Lakukan oksigenasi, misalnya dengan kateter melalui pipa endotrakeal,
dengan 100% oksigen dan aliran 6Lfmenit.
• Observasi dengan teliti adanya gerakan pernapasan pada dada dan perut,
termasukgasping pada pasien selama 8-10 menit.
• Hentikan tes apnea jika tekanan darab sistolik turun bingga <90mmHg. Tes
juga dibentikan bila saturasi oksigen <85% selama >30 detik. Pada kondisi
yang terakhir, prosedur tes apnea dapat diulang dengan menggunakan
T-piece, CPAP 10cmH20, dan 100% 0 2 12L/menit.
• Jika selama 8-10 menit tidak ada gerakan pernapasan, maka periksa
ulang analisis gas darab.
• Jika basil PaC0 2 ~60mmHg atau mengalami peningkatan >20mmHg dari
PaC02 awal, tanpa adanya usaba bernapas, maka tes apnea dinilai positif
dan mendukung ke diagnosis mati otak.
• Jika basilnya negatif, maka tes apnea dapat diulangi. Saat ini tidak ada
waktu yang spesifik untuk mengulagi tes apnea, tetapi paling tidak
dilakukan 6 jam kemudian.

C. Tes penunjang
Pada kondisi yang tidak memungkinan dilakukan tes apnea, atau terdapat basil
yang inkonsisten antara beberapa pemeriksaan klinis neurologis, pemeriksaan
penunjang dapat dikerjakan untuk membantu penentuan diagnosis mati otak.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalab EEG, angiografi
serebral, dan doppler transkranial.
D. Dokumentasi
Pasien yang telab melalui tes apnea dan basilnya positif akan dicatat waktu mati
otaknya saat terbukti PaC0 2 telab mencapai target. Sementara itu, pasien yang
dibentikan tes apnea akan dicatat waktu mati otaknya saat ada basil interpretasi
resmi dari pemeriksaan penunjang. Semua langkab yang dilakukan dari tabap

Scanned for Compos Mentis


pertama hingga ketiga harus didokumentasikan dalam rekam medis dan
ditandatangani oleh dokter yang bertanggung jawab.

Daftar Pustaka
1. Campbell WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005.
2. European Delirium Association dan American Delirium Society. The DSM -5 criteria, level
of arousal and delirium diagnosis: inclusiveness is safer. BMC Medicine. 2014;12:141.
3. McNarry AF, Goldhill DR. Simple bedside assessment of level of conciousness:
comparison of two simple assessment scales with the Glasgow coma scale. Anaesthesia.
2004;59(1):34-7.
4. Posner JB, Sa per CB, Schiff ND, Plum F. Pathophysiology of signs and symptoms of coma.
Dalam: Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F, editor. Plum and Posner's diagnosis of
stupor and coma. Edisi ke-4. Oxford: Oxford University Press; 2007. h.11-29.
5. Posner JB, Sa per CB, Schiff ND, Plum F. Examination of the comatose patient. Dalam:
Posner JB, Sa per CB, SchiffND, Plum F, editor. Plum and Posner's diagnosis of stupor and
coma. Edisi ke-4. Oxford: Oxford University Press; 2007. h. 38-42.
6. Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Psychogenicunresponsiveness. Dalam: Posner
JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F, editor.Psycogenic Plum and Posner's diagnosis of stupor
and coma. Edisi ke-4. Oxford: Oxford University Press; 2007. h. 299-304.
7. Teasdale G, Maas A, Lecky F, Manley G, Stocchetti N, Murray G. The Glasgow Coma Scale
at 40 years: standing the test of time. Lancet Neurol. 2014;13:844-54.
8. Wijdicks EFM, Bamlet WR, Maramattom BV, Manno EM, McClelland RL. Validation of a
new coma scale: the FOUR score. Ann Neurol. 2005;58:585-93.
9. Wijdicks EFM, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM. Evidance-based guideline update:
determining brain death in adults. Neurology. 2010;74(23):1911-18.
10. Teasdale G, Maas A, Lecky F, Manley G, Stocchetti N, Murray G. The Glasgow Coma Scale
at 40 years: standing the test of time. GCS at 40 [serial online]. [diunduh 28 Desember
2017]. Tersedia dari: www.glasgowcomascale.org.

I .··

Scanned for Compos Mentis


PEMERIKSAAN
TANDA RANGSANG MENINGEAL
Kartika Maharani, Ramdinal Aviesena Zairinal, Yuliarni Syafrita,
Melke joanne Tumboimbela, Darma Imran

Tanda rangsang meningeal (TRM) paling sering ditemukan pada iritasi selaput
meningen akibat inflamasi, infeksi, maupun perdarahan. Beberapa teknik
pemeriksaan fisik telah dikembangkan untuk mendeteksi adanya TRM. Prinsip
pemeriksaan TRM bertujuan untuk memberikan tekanan pada meningen dan radiks
saraf (nerve root) spinalis yang mengalami iritasi dan menjadi hipersensitif. Tekanan
tersebut akan menimbulkan reaksi kompensasi, bisa berupa suatu postur, kontraksi
otot yang bersifat protektif, atau gerakan tertentu yang meminimalisasi regangan
pada meningen dan radiks. Namun, reaksi kompensasi ini tidak selalu muncul dan
terkadang membingungkan penilaian pada beberapa kondisi seperti pasien usia
ekstrim (bayi atau geriatri), koma, dan pada kasus paralisis neuromuskular.

Pemeriksaan TRM terutama dilakukan pada kecurigaan infeksi susunan saraf pusat
(SSP), perdarahan subaraknoid yang menyebabkan iritasi meningen difus, atau
radikulopati yang ditandai dengan adanya inflamasi lokal pada radiks.

Anatomi
Meningen merupakan selaput yang meliputi bagian dalam kranium dan kanalis
vertebralis. Struktur ini juga melapisi otak dan medula spinalis. Meningen tersusun
atas 3 lapisan dengan urutan dari luar ke dalam, duramater, araknoid, dan piamater.

Duramater merupakan lapisan fibrosis yang kuat dan tebal serta terdiri atas 2 lapisan
yaitu lapisan meningeal dan lapisan periosteal. Kedua lapisan duramater yang meliputi
bagian dalam kranium ini melekat satu sama lain, tetapi terpisah pada saat mencapai
sinus venosus serebri untuk kemudian membungkus struktur sinus tersebut. Pada
tingkat vertebra spinalis kedua lapisan duramater tampak terpisah. Lapisan periosteal
meliputi kanalis vertebralis, sedangkan lapisan meningeal meliputi medula spinalis.

34
Scanned for Compos Mentis
Hal ini mengakibatkan ruang epidural di spinal lebih Iebar dan susunan seperti ini
tidak terlihat pada kranium.

Araknoid terletak di bawah lapisan meningeal duramater. Ruangan yang berada di


antara araknoid dengan piamater disebut sebagai ruang subaraknoid. Ruang ini
memiliki struktur seperti jaring laba-laba yang menghubungkan araknoid dengan
piamater. Pada permukaan otak dan medula spinalis, piamater dan araknoid
melekat erat seolah membentuk satu membran yang disebut leptomeningen. Ruang
subaraknoid ini dialiri oleh cairan, yaitu cairan serebrospinal (CSS).

Pemeriksaan
Kaku kuduk
Sebelum melakukan pemeriksaan kaku kuduk pemeriksa harus memastikan pasien
tidak mengalami cedera vertebra servikal atau lesi kompresi medula spinalis segmen
servikal. Jika ditemukan keadaan tersebut, maka pemeriksaan tidak boleh dilakukan.

Pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien berbaring terlentang tanpa banta!.


Pemeriksa meletakkan tangan kirinya pada bagian belakang kepala pasien
sedangkan tangan kanan pemeriksa menahan dada pasien. Leher pasien kemudian
difleksikan ke arah dada. Pemeriksa merasakan ada atau tidaknya tahanan (Gam bar
1). Tanda kaku kuduk positifbila terdapat tahanan pada leher atau pasien mengeluh
nyeri saat fleksi leher.

Gambar 1. Pemeriksaan Kaku Kuduk

35
Scanned for Compos Mentis
Apabila didapatkan kaku kuduk, pastikan tidak ada kekakuan pada leher (kaku leher)
dengan menggerakkan secara pas if kepala pasien ke sisi kanan dan kiri. Angkat bahu
pasien untuk mengetahui ada atau tidak adanya tahanan saat ekstensi leher. Pada
kaku leher, terdapat tahanan atau kekakuan pada gerakan leher ke kiri dan kanan.
Pada saat bahu pasien diangkat, kepala akan ikut terangkat karena otot leher kaku
dan berkontraksi. Kondisi kaku leher dapat ditemukan pada spondilosis servikalis,
tetanus dan distonia.

a b
Gam bar 2. Pemeriksaan untuk Mendeteksi Kaku Leher dengan Cara (a) Rotasi dan (b) Ekstensi Leher

Tanda Brudzinski
Tanda Brudzinski diperkenalkan oleh Joseph Brudzinski (1874-1917), seorang
dokter anak berkebangsaan Polandia. Brudzinski membuat 4 manuver untuk
mendeteksi meningitis pada anak yaitu the obscure cheek sign, symphyseal sign,
Brudzinski's reflex, dan yang paling populer Brudzinski's neck sign.

Pemeriksaan cheek sign dilakukan dengan memberikan tekanan pada kedua pipi
inferior arkus zigomatikus. Tanda ini positif bila terdapat fleksi pada siku dan
sentakan pada kedua lengan bawah. Symphyseal sign positif apabila pada penekanan
simfisis pubis terjadi fleksi pada kedua tungkai. Brudzinski's contralateral reflex sign
dilakukan dengan memfleksikan secara pasif sendi panggul dan lutut satu tungkai
pasien. Hasil pemeriksaan ini positif apabila terdapat fleksi dari sendi panggul
dan lutut tungkai kontralateral. Manuver Brudzinski yang paling terkenal adalah
Brudzinski's neck sign. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memfleksikan leher pasien,
kemudian perhatikan adanya fleksi pada sendi panggul dan lutut kedua tungkai.

36
Scanned for Compos Mentis
Tanda Kernig
Pemeriksaan tanda Kernig dilakukan dengan pasien pad a posisi berbaring terlentang.
Pada salah satu tungkai pasien, pemeriksa melakukan fleksi sendi panggul hingga
posisi paha menjadi vertikal, kemudian secara perlahan sendi lutut diekstensikan.
Tanda ini dikatakan positif bila pasien tidak dapat melakukan ekstensi lutut hingga
membentuk sudut >135° pada sendi panggul yang sudah fleksi (Gambar 3). Semua
gerakan fleksi dan ekstensi dilakukan secara pasif oleh pemeriksa. Pemeriksaan
dilakukan pada kedua tungkai (bilateral).

Gambar 3. Cara pemeriksaan Tanda Kernig

Baik tanda Kernig maupun Brudzinski memiliki sensitivitas yang rendah dalam
mendiagnosis meningitis. Apabila kedua tanda ini negatif, maka diagnosis
meningitis belum dapat disingkirkan. Kaku kuduk memiliki sensitivitas yang lebih
baik dalam mendiagnosis meningitis. Meskipun demikian, dalam menegakkan
diagnosis meningitis perlu diperhatikan informasi dari hasil pemeriksaan lainnya.
Hasil pemeriksaan TRM yang negatif pada pasien dengan kecurigaan meningitis
hendaknya tidak dijadikan patokan untuk tidak melakukan tindakan pungsi lumbal
ataupun pemeriksaan lainnya.

37
Scanned for Compos Mentis
Tanda Lasegue (straight leg-raising j SLR test)
Tanda Lasegue merupakan pemeriksaan klinis yang dilakukan pada kasus nyeri
punggung bawah. Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai adanya iritasi radiks
saraf. Namun demikian, pemeriksaan ini juga dapat memberikan hasil positif pada
kondisi inflamasi meningen.

Pemeriksaan tanda Lasegue dilakukan dengan mengangkat salah satu tungkai pasien
dengan sendi lutut ekstensi hingga mencapai sudut 45° (Gambar 4). kemudian
hasilnya dikatakan positif bila pasien mengalami nyeri radikular. Sumber literatur
lain menyebutkan bahwa pemeriksaan ini menunjukkan hasil yang positif dengan
batas sudut 70°.

Pada keadaan normal, sendi panggul dapat mengalami fleksi hingga membentuk sudut
90° antara paha dengan abdomen. Pada pasien dengan radikulopati, pemeriksaan
tanda Lasegue akan menimbulkan nyeri, sehingga lutut pasien akan fleksi sebelum
sendi panggulnya mengalami fleksi 90°. Jika pemeriksaan ini dilakukan ulang
pada tungkai kontralateral (crossed SLR test) , maka responsnya dapat normal atau
menimbulkan nyeri pada sisi kontralateral, yang berhubungan dengan gerakan radiks
spinalis kontralateral ke arah dinding anterior tulang vertebra. Hal ini dapat dijumpai
pada pasien dengan protrusi diskus intervertebralis sisi medial yang cukup besar.

Gambar 4. Pemeriksaan Tanda Lasegue

38
Scanned for Compos Mentis
Daftar Pustaka
1. Biller J, Gruener G, Brazis P. Examination of the patient who has a disorder of consciousness.
Dalam: Biller J, Gruener G, Brazis P, editor. DeMyer's the neurologic examination. Edisi ke-7.
Tiongkok: McGraw-Hill; 2017. h. 487-94.
2. Campbell WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005.1ndrawati LA, Wiratman W, Safri AY, Octaviana F, Hakim M.
Radikulopati. Dalam: Aninditha T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Edisi ke-1.
Jakarta: Departemen Neurologi FKUI RSCM; 2017. h. 701-2.
3. Campbell WW. DeJong's The Neurologic Examination. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2013.Kim JL. Tic disorders. Dalam: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker
RA, editor. Netter's Neurology. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. h. 529.
4. The Free Dictionary by Farlex. Meningismus. The Free Dictionary by Farlex [serial online].
[diunduh 1 April2018]. Tersedia dari: https:/ jmedical-dictionary.thefreedictionary.com/
meningismus.
5. Almazov I, Brand N. Meningismus is a commonly overlooked finding in tension-type
headache in children and adolescents. J Child Neurol. 2006;21(5):423-5.
6. Wikidiff. Meningismus vs meningism- what's the difference? [serial online]. [diunduh 1
April2018]. Tersedia dari: https:/ fwikidiff.comjmeningismjmeningismus.

Scanned for Compos Mentis


PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS
AI Rasyid, Mohammad Kurniawan, Andika Okparasta

Saraf kranialis merupakan bagian dari sistem saraf manusia yang memiliki
karakteristikyangunik. Sistem sarafkranialis memiliki fungsi sensorikdan motorik
yang hampir sama dengan sistem saraf spinalis. Perbedaannya terletak padajenis
fungsi motorik dan sensorik. Secara keseluruhan, saraf kranialis memiliki enam
fungsi motorik dan sensorik yang masing-masing dapat dikategorikan ke dalam
tiga fungsi motorik dan sensorik (Tabell).

Tabel 1. Fungsi Motorik dan Sensorik Saraf Kranialis


Jenis Fungsi
Fungsi motorik
Eferen somatik Mempersarafi otot skeletal
Mempersarafi otot-otot yang berasal dari arkus brakialis mesoderm, misalnya
Eferen brakialis
arkus brakialis pertama (N.V), kedua (N.Vll), ketiga
. ....... ................................................................
(N.lX) dan keempat (N.X)
. ...........................
Eferen viseral Mempersarafi kelenjar dan otot palos

Fungsi sensorik
Aferen viseral Menerima input sensorik dari organ bagian dalam
....................... ........................................... .... .,, ......... ,., ........ .
''"

Menerima input sensorik dari lingkungan luar (nyeri, suhu, raba, tekanan,
Aferen somatik
• • • n .. •..... n .... ... •• ~.i~~~~i.~ ?a~ proprioseptiQ . . ... ......... n • ..... ... • .. • • • n n nn n

Menerima input sensorik dari reseptor penginderaan (penghiduan,


Aferen spesial
penglihatan, pengecapan, pendengaran, keseimbangan)

Keenam fungsi motorik dan sensorik tersebut dimiliki oleh keduabelas saraf
kranialis . Setiap saraf kranialis dapat memiliki satu a tau beberapa fungsi motorik
danjatau sensorik (Tabel 2). Pengetahuan mengenai hal tersebut penting, karena
fungsi inilah yang akan dievaluasi melalui pemeriksaan fisik saraf kranialis.
Bila dihubungkan dengan anatominya yang hampir seluruhnya tersebar di

40
Scanned for Compos Mentis
sepanjang batang otak (Gam bar 1 dan 2), maka pemeriksaan saraf kranialis dapat
menentukan letak lesi yang akan membantu dalam penegakan dia~osis .

Tabel 2. Fungsi Motorik dan Sensorik Saraf Kranialis


Komponen
Nama Asal Fungsi
1 2 3 4 5 6
N.l (Olfaktorius) J Sel epitel olfaktorius Penghidu
N.ll (Optikus) J Retina Penglihatan
N.lll (Okulomotorius) J Inti nervus okulomotor Inervasi otot rektus (media l,
inferior, superior), oblikus inferio1;
dan levator palp ebra l
Inti Edinger-Westphal Otot s iliaris, otot sfingte r pupil

Propioreseptor di otot Propriose psi


ekstrao kular
N.IV (Troklearis) jJ Inti nervus troklearis Otot oblikus superior
~ Proprioseptor Propriosepsi
N.V (Trigeminus) Sel bipolar ganglion Sensasi wajah, bagian dalam hidung,
semilunaris dan rongga mulut
Inti motorik nervus Otot-otot pengunyah
trigeminus
Propiosepsi Propiosepsi
N.VI (Abdusens) Inti nervus abdusens Otot rektus lateralis
N.VII (Fasi alis) Inti nervus fasialis Otot ekspresi wajah, platysma, otot
stilohioid, otot digastrikus
Inti sa livatorius superior Kelenjar nasal dan lakrimal,
sublingualis dan submandibularis
J Ganglion geniku latum Pengeca pan 2/3 depanlidah
Ganglion gen ikulatum Telin ga lu ar, kanali s auditorius

N.Vlll J Ganglion vestibularis Keseimbangan


(Vestibulokoklearis) J Ganglion spiralis Pendengaran
N.!X (Glosofaringeus) Inti ambigus Otot stilofaringeus, otot-otot faring
Inti salivatorius inferior Kelenjar parotis
J Ganglion inferior Pengecapan 1/3 posterior lidah
(rasa pahit)
Ganglion superior Somatosensorik 1/3 posterior lidah
dan faring (refleks muntah)
Ganglion superior Telinga bagian tengah, tuba
eustachius

41
Scanned for Compos Mentis
Komponen
Nama Asal Fungsi
1 2 3 4 5 6
N.X (Vagus) .; : Inti ambigus Otot-otot taring dan faring
1../ Inti dorsalis nervus vagus Parasimpatis organ dalam toraks
dan abdomen
..j ~ Ganglion inferior Somatosensorik rongga abdomen
..j Sensorikepiglottis
..j Ganglion superior Somatosensorik dura mater, kanalis
auditorius
N.XI (Aseso rius) ..j Inti ambigus Otot-otot fa ring dan taring
..j Sel-sel kornu anterior Otot trapezius dan
medula spinalis sternokleidomastoid eus
N.XIl (Hipoglosus) ..j Inti nervus hipoglosus Otot-otot lidah

'l=eferen somatik; 2=eferen brakia/is; 3=eferen viseral; 4=aferen viseral; S=aferen somatik; 6=aferen spesial.

r -.---------111 Nukleus asesorius (otonomlk)


- Nukleus Edinger-Westphal

J,:-.--~r...--------- Ill Nukleus dari nervus okulomotor

~. -"'""";' _____ V Nukleus motorik dari


nervus trigerminal

~~+---- VI Nukleus dari nervus abdusen

i--..-,~----- Nukleus salivatorius superior

"---;:r------- Nukleus safivatorius inferior


;;.,.----- X Nukleus dorsalis dari nervus vagus

.41!!!!.--" - - - - - XII Nukleus dari nervus hipoglossal


Nukleus ambiguus

Xl _ _ _ ___J

Gam bar 1. Letak Inti Saraf Krani alis (Motorik dan Paras impatis)

42
Scanned for Compos Mentis
• - - - V Nukleus mesensefalik dan
traktus dari nervus trigermina l

V Nukleus sensori utama dari


nervus trigerminal

Ganglion trigerminal
(gasserian)

Nervus intermedius~/
(somatosensori.
rasa/taste) ~
VII
Nukleus spinalis dan trak1us
IX dari nervus trigerminal
X

Gambar 2. Letak Inti Saraf Kranialis (Sensorik)

Nervus Olfaktorius (N. I)


Anatomi
Fungsi penghidu difasilitasi oleh jaras yang terdiri dari epitel olfaktorius di dalam
hidung, N. I, bulbu dan traktus olfaktorius, serta area kortikal di lobus temporal.
Proses penghiduan diawali dengan impulssensorik berupa bau yang masuk ke
dalam hidung dan ditangkap oleh sel sensorik di epitel olfaktorius. Kemudi an,
impuls diteruskan keN. I (neuron ordo I) yang menembus dasar tengkorak di daerah
lamina kribriformis untuk bersinaps pertama kalinya dengan bulbus olfaktorius
dan selanjutnya membentuk traktus olfaktorius (neuron ordo II) yang terletak di
bawah korteks fronto basal (orbitofrontal) .

43
Scanned for Compos Mentis
Traktus olfaktorius bercabang menjadi dua, yaitu stria olfaktorius lateral dan medial.
Cabang lateral berjalan menuju amigdala, girus semilunaris, dan girus prepiriformis.
Dari area terse but, impuls sensorik diteruskan oleh neuron ordo III yang berproyeksi
ke bagian anterior girus parahipokampus (area Brodmann 28) yang selanjutnya
berproyeksi ke korteks serebri dan area asosiasi sistem penghidu. Di lain pihak, cabang
medial berjalan ke inti-inti area subkalosum dan komisura anterior, yang selanjutnya
berproyeksi ke sistem limbik dan hemisfer kontralateral (Gambar 3A dan B).

Bila memperhatikan jalannya inputsensorikdari proses di reseptor hingga interpretasi,


maka jaras penghiduan ini adalah satu-satunya jaras sensorik yang mencapai korteks
serebri tanpa melalui talamus. Hingga saat ini, hubungan antara area di otak terkait
penghiduan masih belum sepenuhnya diketahui.

Stria longitudi nal


Traktus habenulo-
a. lnterpendunkular
Stria medularis
darltalamus Nukleus
habenular

Nukleus interpedunkular

Bundle otak depan


(forebrain) media lis

Nukleus tegmentalis

Faslkulus longitudinal
dorsal

Area
prefiriform is

Bulbus olfaktorius Traktus olfaktorius


b. Stria olfaktori
medial

Stria olfaktori
lateral

limen insulae

Substantia perforata
anterior

Girus ambien

Girus semilunar

Gambar 3. Anatomi Jaras Penghiduan dari Potongan (a) Sagital dan (b) Aksial

44
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan
Pemeriksaan N. I bertujuan untuk mengevaluasi fungsi penghiduan. Sebelum
melakukan pemeriksaan, terdapat beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada
pasien, yaitu riwayat cedera kepala, kebiasaan merokok, riwayat infeksi saluran
napas atas, asupan makanan (misalnya defisiensi vitamin B6, B12, A, dan mineral
seng), radioterapi, pajanan toksin (cadmium, toluen) dan obat-obatan (levodopa,
antibiotik, amfetamin, kokain, propiltiourasil/PTU, kemoterapi). Pemeriksa juga
harus memastikan bahwa tidak terdapat obstruksi dan kelainan pada saluran hidung
yang dapat mengaburkan hasil pemeriksaan N. I.

Fungsi penghidu diperiksa dengan menggunakan zat yang tidak bersifat iritatif
(misal amonia) karen a dapat mengaburkan hasil pemeriksaan. Zat yang dianjurkan
untuk digunakan dalam pemeriksaan yaitu tembakau, kopi dan kayu manis atau
zat yang secara umum dikenal oleh pasien. Selain itu, pasta gigi dan sabun juga
dapat digunakan demi kemudahan saat pemeriksaan.
Untuk mengevaluasi N. I pasien harus berada dalam kondisi sadar penuh dan
kooperatif. Sebagai langkah awal, pasien diminta untuk memejamkan mata
dan menutup salah satu lubang hidungnya dengan menggunakan jari tangan.
Selanjutnya, pemeriksa mendekatkan zat yang diuji ke lubang hi dung lainnya yang
tidak tertutup. Pasien kemudian diminta untuk menghidu bau dan melakukan
identifikasi zat yang diuji. Langkah ini dilakukan pula pada lubang hidung lainnya.
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan terlebih dahulu pada lubang hidung yang
dicurigai terdapat kelainan.
Hasil dari pemeriksaan dapat berupa hilangnya sensasi penghidu total (anosmia) atau
perubahan interpretasi yang bisa berupa peningkatan (hiperosmia) atau penurunan
(hiposmia). Adapun jenis abnormalitas lainnya dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel3).

Tabel 3. Jenis Abnormalitas Penghiduan


Abnormalitas Penjelasan
Disosmia Gangguanjdefek penghiduan
Parosmia Distorsi penghiduan
Fantosmia Persepsi bahwa bau tersebut tidak nyata
Presbiosmia Penurunan fungsi penghiduan terkait proses penuaan
Kakosmia Interpretasi bau yang tidak pantas (bau busuk)
Koprosmia jenis kakosmia dengan interpretasi seperti bau feses
Agnosia olfaktorius Ketidakmampuan mengidentifikasibau yang tercium
Halusinasi olfaktorius Persepsi terhadap bau yang tidak ada zatnya

45
Scanned for Compos Mentis
Nervus Optikus (N. II)
Anatomi
Nervus optikus (N. II) merupakan bagian dari sistem penglihatan. Selain N. II, struktur
lain yang turut menyusun sistem ini adalah retina, kiasma optikus, traktus optikus,
corpus genikulatum lateral (CGL), radiasio optikus, dan korteks oksipital.
Retina mempunyai 2 jenis sel fotoreseptor yaitu fotoreseptor kerucut dan fotoreseptor
batang. Kedua jenis fotoreseptor ini berfungsi dalam mengkonversi energi cahaya
menjadi energi elektrokimia yang selanjutkan akan dihantarkan oleh neuron
hingga ke korteks oksipital. Fotoreseptor kerucut sensitif terhadap cahaya dan
terkonsentrasi di bagian posterior retina atau makula yang bagian sentralnya disebut
fovea. Fotoreseptor batang terkonsentrasi di bagian perifer retina dan penting untuk
penglihatan pada cahaya redup.
Pada segmen intrakranial, nervus optikus dari kedua mata bertemu membentuk
kiasma optikus yang terletak di ruang subaraknoid pada sisterna suprasella atau
regio suprasella. Kiasma optikus terletak superior dari diafragma sella dan hipofisis
serta berada di inferior dari ventrikel III dan hipotalamus serta berada di anterior dari
infundibulum. Pada kiasma optikus ini terjadi penyilangan dari sebagian jaras visual.
Setelah kiasma optikus, jaras visual terdiri dari traktur optikus yang terletak di atas
dan sekitar infundibulum dan dibawah ventrikel III dan kemudian berjalan menuju
CGL. CGL merupakan bagian dari talamus dan berada diatas sisterna ambiens. Pada
struktur ini, serabut dari traktur optikus (neuron ordo I) bersinaps dengan neuron
ordo II yang selanjutnya membentuk radiasio optikus. Radiasio optikus terbagi
menjadi 2 bagian, yaitu bagian superior di lobus parietal otak dan bagian inferior di
lobus temporal otak. Bagian inferior ini dalam perjalanannya membentuk lengkung
Meyer. Radiasio optikus superior membawa informasi visual dari lapang pandang
inferior kontralateral, sedangkan radiasio optikus inferior membawa infomasi visual
dari lapang pandang superior kontralateral. Korteks oksipital merupakan struktur
terminal dalam jaras visual. Regio oksipital yang berperan dalam pemrosesan informasi
visual primer adalah regio striatafkorteks striata. Regio striata ini merupakan area
Brodmann 17 dan terletak di girus kalkarina.

Scanned for Compos Mentis


Pemeriksaan
Pemeriksaan N. II secara sederhana terdiri dari pemeriksaan visus, lapang pandang,
buta warna, dan funduskopi. Sebelum melakukan pemeriksaan, pemeriksa dapat
menanyakan keluhan gangguan penglihatan kepada pasien, misalnya pandangan
buram saat melihat objek jarak de kat atau jauh, adakah bagian pandangan yang hilang,
atau kesulitan dalam membedakan warna. Keluhan-keluhan tersebut dapat dialami
pada salah satu mata atau keduanya. Dengan demikian, pemeriksaan N.II dilakukan
satu persatu pada salah satu mata secara bergantian.
Pemeriksa perlu mengingat bahwa gangguan penglihatan tidak hanya disebabkan
oleh lesi di sepanjang retina dan otak, tetapi bisa juga karena gangguan gerakan otot
ekstraokular atau lesi pada media refraksi. Jika pasien mengeluhkan pandangan
ganda pada saat melihat objek dengan jarak jauhjdekat, atau pada saat menuruni
anak tangga, maka hal ini mengarah kepada gangguan pada persarafan otot
ekstraokular. Lesi pada media refraksi diakibatkan kelainan pada kornea, aqueus
humor, lensa, atau vitreushumor. Oleh sebab itu, pemeriksaan N. II diawali dengan
inspeksi bola mata secara keseluruhan, termasuk struktur yang terletak anterior
terhadap retina.

I. Pemeriksaan Visus
Pemeriksaan visus dapat diawali dengan evaluasi secara umum dengan meminta
pasien membaca koran yang berjarak sekitar panjang lengan pasien. Pemeriksa
menutup salah satu mata dan pasien tetap boleh mengenakan kacamata (jika ada).
Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan menggunakan alat yang lebih objektif dengan
papan Snellen. Pasien diminta untuk membaca dan menyebutkan huruf-huruf di
papan Snellen pada jarak 6 meter, secara berurutan dari baris paling atas ke bawah
hingga akhirnya tidak dapat menyebutkan dengan benar atau tidak terlihat lagi.
Setiap baris memiliki nilai visus tertentu, mulai dari 6/60 sampai 6/3 (Gambar
4a). Bagi pasien anak atau dengan gangguan mental, huruf-huruf di papan Snellen
dapat diganti dengan karakter E pada beberapa posisi (Gam bar 4b).

47
Scanned for Compos Mentis
·--
A

Ep .. 1
.~-~
·- - - - -1
.
F .. 2

T 0
LPED
z .. 3

.. 4
"

~
E
mE
~· 1

2
PECFD .. 5
EDFCZP
3 wm ill\ 3

FELOPZD
- 6
... 7
I
E wE 3 1l\ 4

D EFPO T E C .. 8 m33WW .,.. 5


LI: TOtiPCT ... 9 E3WEffiE3 .... 6
J'1lPt.'rCI:O .. 10 I EW311W 3m e
"" 7
·· 11 8
...,._, II II •

~
a • II •• M

4a 4b

Gambar 4. Papan Snellen (a) untuk Pasien Secara Umum dan (b) untuk Anak atau Pasien
Gangguan Mental

Visus pasien ditentukan berdasarkan baris terbawah yang sebagian besar (>50%)
huruf-hurufnya masih bisa terbaca dengan benar oleh pasien. Jika hasilnya 6/6, maka
pasien memiliki visus normal karena masih dapat membaca huruf dengan jelas
pada jarak 6m (sama dengan individu normal) . Pasien yang hasil visusnya 6/30
tergolong abnormal karena pasien tersebut baru bisa membaca huruf dengan jelas
pada jarak 6m, sedangkan orang normal sudah bisa membacanya pada jarak 30m.

Pasien yang tidak dapat membaca huruf pada baris teratas dengan jelas harus
dilanjutkan pemeriksaan visusnya dengan teknik menghitung jari. Pasien
diminta menghitung jari pemeriksa yang berjarak mulai dari lm, kemudian
menjauh secara bertahap sampai akhirnya Sm. Dengan cara ini, visus ditentukan
berdasarkan jarak terjauh pasien masih bisa menghitung jari dengan benar.
Sebagai contoh, jika pasien masih bisa menghitung jari dengan benar sampai
jarak 3m, maka visusnya 3/60. Jika pasien tidak bisa menghitung jari pada jarak
lm, maka pemeriksa langsung melanjutkan pemeriksaannya dengan meminta
pasien untuk melihat lambaian tangannya. Pasien yang bisa melihat gerakan

48
Scanned for Compos Mentis
lambaian tangan memiliki visus 1/300, yang artinya pasien tersebut baru bisa
melihat objek pada jarak 1m, sedangkan orang normal sudah bisa melihatnya
pada jarak 300m. Jika pasien tidak mampu melihat lambaian tangan pemeriksa,
maka pemeriksaan visus dilakukan dengan meminta pasien untuk melihat
cahaya yang berasal dari penlight pemeriksa. Jika pasien juga tidak bisa melihat
cahaya, maka visusnya disebut NLP (no light perception).
Selain papan Snellen, visus juga dapat diperiksa menggunakan kartu baca Jaeger
atau kartu penapisan penglihatan Rosenbaum (Gambar Sa dan b). Kartu baca Jaeger
digunakan untuk mengevaluasi visus pada jarak pandang baca normal (30cm). Sarna
halnya dengan papan Snellen, kartu baca Jaeger memiliki nilai visus tertentu untuk
setiap baris bacaannya. Pasien diminta untuk membacakan alinea yang terdapat di
kartu baca tersebut secara sistematis dart atas ke bawah hingga tidak dapat membaca
lagi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada pasien usia Ianjut dengan kecurigaan
presbiopia. Berbeda dengan kartu baca Jaeger yang berisi alinea-alinea, kartu skrining
penglihatan Rosenbaum berisi angka, karakter E, dan simbol-simbol (0, X).

ROSENBAUM POCKET VISION SCREENER

95
874
&!843 26 16 -&
40 638 E W 5I X 0 0 t4 to ;l

8 1 4 5 a mw o x o to 1 -1-
63925 msa xox as+
• 1, I J I I al 8 It 0 I 0 8 3 •

5 2 ..

4 I -j-
3 ....

Coni Ia held In good llgh114 Indies flam aye, Roconl


vision for aaah aye llpalalaly - and wllholll
glaaaoo. Presbyopic patlanla allould road lllna - 1
119ment. Check ~·with g1aaaoo only.


PUPIL GAUGE (mm.) 8 9

•• ••• Sb
2a4se 7 ••

Sa
Gambar 5. (a) Kartu baca Jaeger dan (b) Kartu skrining penglihatan Rosenbaum

Scanned for Compos Mentis


Setiap hasil vis us yang telah dievaluasi dengan cara yang disebutkan di atas harus
dilengkapi dengan pemeriksaan pinhole (Gambar 6). Hal ini bertujuan untuk
mengoreksi faktor refraksi pasien. Jika terdapat gangguan refraksi, maka visus
pasien membaik setelah menggunakan pinhole. Adapun gangguan visus akibat
selain gangguan refraksi (misalnya, neuritis optik, papilledema, atrofi papil)
tidak akan membaik dengan penggunaan pinhole.

Gambar 6. Pemeriksaan Visus Menggunakan Pinhole

II. Pemeriksaan Lapang Pandang


Pemeriksaan lapang pandang paling sering menggunakan teknik konfrontasi.
Pemeriksa berhadapan dengan pasien pada jarak 50cm dengan ketinggian mata
yang sama. Mata pasien diminta untuk fokus ke mata pemeriksa, mata kanan
pasien melihat mata kiri pemeriksa, dan begitu pula sebaliknya. Pemeriksaan
dilakukan pada salah satu mata secara bergantian. Mata yang tidak diperiksa
harus ditutup. Sebagai contoh, jika mata kanan pasien yang ingin diperiksa,
maka pasien menutup mata kirinya dan pemeriksa menutup mata kanannya.
Selanjutnya, pemeriksa meletakkan jari telunjuknya sejauh mungkin dari
Ia pang pandangnya pada em pat arah mata angin, yaitu timur !aut (45°), barat
!aut (135°), barat daya (225°), dan tenggara (315°) (Gambar 7).

50
Scanned for Compos Mentis
Kuadran temporal Kuadran nasal Kuadran temporal
superior superior superior

Area
pus at

Kuadran nasal
Kuadran t emporal inferior Kuadran temporal
inferior inferior

Matakiri Mata kanan

Gambar 7. Arah Pemeriksaan Lapang Pandang

Jarak mata dengan jari telunjuk pemeriksa (X) harus sama dengan jarak jari
telunjuk pemeriksa dengan mata pasien (X') (Gambar 8). Pemeriksa kemudian
menggerakkan jari telunjuknya atau tangannya ke arah medial secara perlahan
sambil menanyakan apakah pasien bisa melihat gerakan jari telunjuk atau
gerakan tangan terse but. Jika pasien sudah bisa melihat jari atau gerakan tangan,
maka harus memberi tahu pemeriksa, misalnya dengan berkata "Ya".

Superior

Temporal -
I - Nasal

t
4Di:~: ~:o
1

/~' ~'/\____
A J
pemeriksaan ..:::···
< ~ ' ~
pada 4 kuadran.
Arah gerakan jari
menuju lapang pandang
sentral.

Gam bar 8. Pemeriksaan La pang Pan dang Teknik Konfrontasi

51
Scanned for Compos Mentis
Hasil pemeriksaan konfrontasi dapat menentukan letak lesijkelainan di
sepanjang jaras penglihatan dari anterior hingga ke lobus oksipital (Gambar
9) . Lesi di nervus optikus menimbulkan kebutaan monookular (buta total)
ipsilateral, sedangkan lesi di kiasma optikus menimbulkan gejala hemianopia
bitemporal (jika tepat di tengah kiasma) atau binasal (jika lesi di sekitar kanan
dan kiri kiasma). Lesi di traktus optikus menyebabkan hemianopia homonim
inkongruen kontralateral lesi. Lesi di radiasio optika memiliki karakteristik
berupa kuadranopia homonim kontralateral superior (bagian temporal
anterior) atau inferior (bagian parietaljoksipital). Adapun lesi di lobus
oksipital memiliki gejala hemianopia homonim kongruen kontralateral lesi
disertai macular sparing.

Sel batang
dan
kerucut

Epitellum
pigmen
ovea --Perlfer

.r---o •
Korteks visual

Traktus optikus

Badan Genlkulata
Lateral

Radiasi optik

. '

.; Area striata superior


Sulkus ka lkarina
J Area 17

Area striat a inferior

Gambar 9. Anatomi Jaras Visual dan Jenis Gangguan La pang Pandang

52
Scanned for Compos Mentis
Selain konfrontasi, lapang pandang juga dapat dinilai dengan memberikan
stimulus secara bersamaan pada kedua lapang pandang. Posisi pemeriksa
dengan pasien pada cara ini sama seperti konfrontasi. Pasien juga diminta
untuk tetap terfokus ke mata pemeriksa. Pasien membuka kedua mata dan
pemeriksa menggerakkan kedua jari telunjuk tangannya (sebagai stimulus)
di sisi temporal inferior kanan dan kiri pasien, pada jarak mendekati batas
lapang pandang pemeriksa. Selanjutnya pasien diminta untuk menyentuh jari
yang terlihat bergerak. Individu normal dapat menyentuh kedua jari tersebut,
sedangkan pasien hemineglect hanya dapat menyentuh salah satu jari saja.
Selanjutnya pemeriksaan serupa dilakukan pada sisi temporal superior kanan
dan kiri pasien. Selain itu, pemeriksaan juga dilakukan pada satu mata untuk
mengevaluasi secara bersamaan lapang pandang atas dan bawah sisi temporal
dan nasal pasien.

III. Pemeriksaan Buta Warna •


Buta warna merupakan kelainan yang bersifat genetik (X-linked) atau didapat.
Beberapa kondisi medis yang menyebabkan buta warna antara lain retinitis •
pigmentosa, alkoholisme, dan defisiensi vitamin A. Untuk mengetahui seseorang
mengalami buta warna, pertama-tama pemeriksa dapat meminta pasien
menyebutkan warna objek di sekitarnya, misalnya warna baju pemeriksa.
Pemeriksaan buta warna yang lebih formal dan kuantitatif adalah dengan
menggunakan kartu Ishihara.

IV. Pemeriksaan Fundus Mata


Pemeriksaan fundus mata secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan
oftalmoskop. Hasil pemeriksaan funduskopi dipengaruhi oleh diameter pupil.
Pupil yang dilatasi akan meningkatkan luas area yang dapat dilihat, sehingga
pemeriksa dapat lebih mudah mengevaluasi fundus mata. Pada beberapa
keadaan, tetes mata midriatik dapat digunakan untuk mendilatasi pupil. Namun,
hal ini perlu dihindari pacta pasien glaukoma akut dengan tekanan intraokular
meningkat dan keadaan yang membutuhkan pemantauan pupil secara ketat,
misalnya pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Kondisi penyakit
tertentu seperti katarak dapat mempersulit pemeriksaan fundus mata.

53
Scanned for Compos Mentis
Cara pemeriksaan fundus mata diawali dengan melepaskan kacamata pasien
dan pemeriksa, jika ada, kecuali bila terdapat gangguan refraksi yang parah.
Pencahayaan ruangan sedapat mungkin dibuat redup. Jika pemeriksa ingin
memeriksa fundus mata kanan pasien, maka pemeriksa menggunakan mata
kanan untuk melihat melalui oftalmoskop, dan begitu pula sebaliknya. Pada jarak
sekitar 30cm dari mata pasien, pemeriksa dapat memulai mengevaluasi fundus
mata dengan mengarahkan oftalmoskop ke pupil pasien dan melihat adanya red
reflex.

Selanjutnya pemeriksaan dilakukan dengan mendekatkan oftalmoskop ke mata


pasien, sehingga wajah pemeriksa berada sangat dekat dengan wajah pasien.
Pasien diminta untuk bernapas seperti biasa dan boleh mengedipkan matanya,
tetapi dianjurkan untuk tidak melirik. Perrieriksa dan pasien harus berada dalam
posisi senyaman mungkin (Gambar 10).

Gam bar 10. Posisi Pemeriksa dan Pasien saat Pemeriksaan Fundus Mata

Bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk duduk, maka pemeriksa


harus dapatmemeriksa pasien dalam posisi berbaring. Pemeriksa sebaiknya
menggunakan cahaya oftalmoskop yang tidak terlalu terang karena dapat
menyebabkan konstriksi pupil dan ketidaknyamanan bagi pasien. Cahaya
oftalmoskop sebaiknya juga tidak terlalu redup karena dapat mengakibatkan
kesalahan dalam interpretasi warna papil.

54
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan fundus mata dimulai dengan mengamati struktur-struktur yang
terlihat. Pemeriksa dapat mengatur kekuatan (dioptri) lens a oftalmoskop untuk
mendapatkan gambaran fundus mata yang lebih jelas dan terfokus. Struktur
pertama yang diidentifikasi adalah vena retina kemudian ditelusuri ke arah nasal
hingga menemukan diskus optik (papil). Pada keadaan normal, papil memiliki
bentuk bulat atau sedikit oval, berwarna jingga, dan batas nasalnya agak kabur
dibandingkan dengan batas temporal. Pemeriksa harus melaporkan bentuk,
warna, dan batas papil pada setiap pemeriksaan fundus mata.

Di dalam papil terdapat cup yang berada di tengah papil dan berwarna lebih
terang. Rasia diameter cup terhadap papil (cup-to-disc ratio) adalah 0,1 sampai
dengan 0,5. Pada pasien glaukoma, rasio ini meningkat dan cup terlihat lebih jelas
(prominent) dibandingkan normal.
Selain itu, pemeriksa juga mengevaluasi pembuluh darah arteri yang berdiameter
kecil dan halus serta vena yang berdiameter lebih besar dan lebih kontras.
Evaluasi ini dimulai dari papil dan ditelusuri hingga ke seluruh penjuru sisi nasal
dan temporal sejauh mungkin. Hal yang harus diperhatikan antara lain diameter
arteri dibandingkan dengan vena, adanya persilangan (crossing sign) antara
arteri dan vena, dan refleksi cahaya oftalmoskop pada arteri. Pemeriksa juga
perlu mengevaluasi jumlah arteri yang terdapat di dalam papil.

Pada sekitar 90% individu normal, terdapat pulsasi vena yang bisa ditemukan
di dalam papil. Gambaran ini tidak ditemukan pada keadaan peningkatan
tekanan intrakranial, sehingga sangat spesifik. Oleh karena itu, adanya
gambaran ini menunjukkan bahwa tekanan intrakranial dalam batas normal,
tetapi ketiadaan gambaran ini tidak selalu berarti bahwa terjadi peningkatan
tekanan intrakranial.

Struktur lain yang dievaluasi adalah makula yang berada di sisi temporal papil
dan berjarak sekitar dua kali diameter papil. Makula tampak lebih gelap dan
avaskular daripada gambaran retina di sekitarnya. Pada makula, terdapat fovea
sentralis yang merefleksikan cahaya saat pasien diminta melihat ke arah cahaya
oftalmoskop.

55
Scanned for Compos Mentis
Nervus Okulomotorius, Troklear dan Abdusens (N. III, IV, VI)
Anatomi
N. III, IV, dan VI secara kesatuan dapat disebut sebagai nervus okular motor. Perjalanan
nervus okular motor dimulai dari inti nervus di batang otak hingga orbita. Setelah
keluar dari batang otak, nervus okular motor akan melalui struktur-struktur secara
berurutan mulai dari ruang subaraknoid, menembus duramater dan memasuki sinus
kavernosus, lalu masuk ke intraorbita melalui fisura orbitalis superiorjapeks orbita,
dan berakhir di otot ekstraokular.
N. III terbagi atas 2 komponen yang memiliki fungsi berbeda. Komponen eferen
somatik (general somatic efferent) yang memberikan inervasi kepada otot levator
palpebra superior bilateral dan 4 otot penggerak bola mata (rektus inferior
ipsilateral, oblikus inferior ipsilateral, rektus medial ipsilateral dan rektus superior
kontralateral). Adapun otot penggerak bola mata sisanya yaitu otot oblikus superior
dan rektus lateral diinervasi oleh N.IV dan N.VI.

Pemeriksaan
I. Pemeriksaan Pupil
Langkah pertama pemeriksa melakukan inspeksi untuk menilai ukuran pupil.
Ukuran pupil dapat bervariasi sesuai dengan intensitas pencahayaan lingkungan
sekitar. Diameter pupil berukuran sekitar 3-4mm pada kondisi pencahayaan
normal. Pupil awalnya berukuran kecil saat baru lahir, dan akan membesar seiring
usia dewasa, hingga kemudian bisa mengecil pada usia lanjut. Pupil yang mengecil
dengan ukuran diameter kurang dari 2mm dinamakan miosis, sedangkan dilatasi
pupil dengan diameter lebih dari Smm dinamakan midriasis.
Selanjutnya, inspeksi dilakukan untuk menilai kesimetrisan pupil. Ukuran pupil
pada kedua mata pada umumnya sama. Perbedaan ukuran antara kedua mata
bisa disebabkan oleh gangguan refraksi, iritis, dan paralisis simpatis. Perbedaan
0,2Smm masih dapat ditangkap oleh penglihatan mata normal. Perbedaan ukuran
antara kedua pupil yang dianggap signifikan (anisokor) adalah 2:2mm. Perbedaan
diameter kurang dari 1mm ditemukan pada 15-20% individu normal. Beberapa
keadaan yang menyebabkan pupil anisokor dapat dilihat pada Gambar 11.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi pupil. Dalam keadaan normal,
pupil terletak pada bagian tengah dari iris. Pupil eksentrik, atau ektopia dari pupil

Scanned for Compos Mentis


dapat disebabkan oleh trauma atau iritis. Beberapa individu memiliki bilateral
eksentrik pupil.

Faktor Et.10Iogt. Cahaya Cahaya G I K · I


d te e ap estmpu an
re up rang
Anisokoria fisiologis
• • • • •• Asimetri relatif sama pad a
berbagai kondisi

••
Asimetri lebih jelas pada
Sindrom Horner kanan
• • • • keadaan gelap; pupil abnormal
tidak dapat berdilatasi

• ••
Asimetri lebih jelas pad a
Paresis nervus
okulomotorius kiri •• • keadaan terang ; pupil abormal
tidak dapat konstriksi

Gambar 11. Anisokoria Pupil pada Berbagai Keadaan

II. Pemeriksaan Refleks Pupil


A. Refleks Cahaya
Refleks cahaya melibatkan komponen aferen N. II dan eferen N. III. Sebagian
serabut aferen yang telah melalui nervus optikus, kiasma optikus, dan traktus
optikus, akan menuju area pretektum sesisi (ipsilateral). Selanjutnya, serabut
aferen ini akan menuju nukleus Edinger-Westphal pada kedua sisi, dan bersinaps
dengan serabut eferen dari N. III yang menginervasi otot sfingter pupil.

Refleks cahaya diperiksa dengan memberikan stimulus cahaya pada masing-


masing mata secara bergantian. Cahaya diberikan mulai dari arah samping
sam ping (oblik) hingga akhirnya menyorot salah satu pupil pasien yang
sebelumnya telah diminta untuk melihat jauh ke depan. Pemeriksa lalu
mengobservasi perubahan diameter pupil yang terjadi. Pasien tidak boleh
memfiksasi pandangan pada objek jarak dekat (misalnya hidung pemeriksa)
karena akan menimbulkan respons konstriksi pupil, sehingga hasil
pemeriksaan menjadi tidak akurat. Hasil pemeriksaan refleks cahaya dapat
berupa positif cepat (reaktif), lambat atau negatif.

Pemeriksaan refleks cahaya lain yang juga sangat penting adalah swinging
light test. Pemeriksaan ini untuk mendeteksi lesi pada N. II. Swinging light test
dilakukan dengan memberikan stimulus cahaya pada mata yang sehat selama

57
Scanned for Compos Mentis
3-5 detik sampai respons pupil stabil, kemudian cahaya penlight dialihkan
dengan cepat (penlight diayunkan) ke mata yang sakit. Adanya lesi N. II pada
mata yang sakit akan mengakibatkan seolah-olah mata tersebut menerima
cahaya dengan intensitas rendah, sehingga pupilnya akan berdilatasi. .
Selanjutnya, cahaya penlight diarahkan kembali ke mata yang sehat dan
kembali lagi ke mata yang sakit. Gerakan bolak-balik ini dilakukan berulang
kali sampai akhirnya akan terlihat jelas bahwa pupil pada mata yang sehat
akan mengalami konstriksi saat mendapat stimulus cahaya, sedangkan pupil
pada mata yang sakit akan berdilatasi. Respons ini dikenal juga sebagai pupil
Marcuss Gunn atau afferent pupillary defect (APD) atau relative afferent
pupillary defect (RAPD).
Bentuk kelainan pada pupil lainnya adalah pupil Argyll Robertson. Pupil
berukuran kecil1-2mm, ireguler dan terdapat light near dissociation. Apabila
pupil diberikan stimulus cahaya secara langsung, pupil tidak berkonstriksi.
Namun demikian, pupil masih mengalami konstriksi saat melihat objek jarak
dekat dan berdilatasi saat melihat jauh. Pupil Argyll Robertson umumnya
bilateral dan asimetri. Kelainan ini ditemukan pada kasus neurosifilis akibat
lesi pada periakuaduktus, area pretektum, dan bagian rostral mesensefalon
yang terletak dorsal dari nukleus Edinger-Westphal.

B. Refleks Akomodasi
Refleks akomodasi atau akomodasi-sinkinesis konvergens diperiksa dengan
meminta pasien menatap objek jarak jauh terlebih dahulu, kemudian
memindahkan pandangannya pada objek jarak dekat. Respons yang timbul
berupa penebalan lensa mata, konvergensi kedua mata, dan konstriksi pupil.
Konvergensi disebabkan oleh kontraksi simultan kedua otot rektus medialis.
J
Konstriksi pupil saat a~omodasi kadang-kadang terganggu pada kondisi
paralisis pascadifteri dan ensefalitis. Di lain pihak, konstriksi pupil saat
akomodasi tetap normal pada kondisi pupil Argyll Robertson.
C. Refleks Nyeri
Pupil berespons terhadap stimulus nyeri pada salah satu bagian dari tubuh.
Stimulus nyeri yang diberikan pada salah satu sisi kulit leher akan menimbulkan

Scanned for Compos Mentis


dilatasi pupil. Hal ini disebut refleks siliospinal, yang akan menghilang bila
terdapat lesi sera but saraf simpatis servikal.

Refleks nyeri lainnya adalah refleks okulosensori atau okulopupilari, berupa


respons konstriksi j dilatasi pupil yang diikuti konstriksi pupil setelah
pemberian stimulus nyeri di mata atau jaringan sekitarnya. Impuls aferen
dibawa oleh nervus trigeminus (V) dan impuls eferen dibawa oleh N. III. Selain
itu, rasa nyeri pada bagian bawah tubuh juga dapat menimbulkan reaksi
dilatasi pupil (paradoksikal pupil dari Byrne).

D. Refles Koklear atau Kokleopupilari


Dilatasi pupil sebagai respons dari suara yang keras.

E. Refleks Vestibular atau Vestibulopapilari


Dilatasi pupil sebagai respons dari stimulasi sistem labirin.

F. Refleks Galvanik
Stimulasi pada bagian pelipis akan menyebabkan konstriksi pupil.

G. Reflek Psikik.
Dilatasi pupil sebagai respons terhadap rasa takut, ansietas, konsentrasi
mental, dan orgasme.

Ukuran pupil juga dapat dipengaruhi oleh obat-obatan. Atropin, homatropin,


dan skopolamin bertindak sebagai midiriatik a tau melumpuhkan struktur yang
menginervasi saraf kolinergik postganglionik. Epinefrin, efedrin, amfetamin,
dan kokain bekerja mendilatasi pupil dengan menstimulas i struktur yang
menginervasi saraf adrenergik postganglionik.

III. Pemeriksaan Pergerakan Bola Mata


Pemeriksaan pergerakan bola mata dilakukan dengan meminta pasien mengikut
gerakan jari pemeriksa yang membentuk huruf H. Pemeriksa menggerakkan
jarinya perlahan sambil memperhatikan posisi kepala dan gerakan bola mata
pasien. Jika diperlukan pemeriksa dapat memfiksasi kepala pasien dengan
memegangnya agar pasien tidak menggerakkan kepalanya selama pemeriksaan.
Selain itu, pasien juga diminta untuk mengikut gerakan jari pemeriksa ke atas dan
ke bawah (gerakan arah vertikal).

59
Scanned for Compos Mentis
Sisi na~a l Sisi temporal

Obllk inferior Rektus superior

Rektus
medial
' ____3..
~lateral
Reklus

Obllk superior Rektus inferior

Gam bar 12. Fungsi dari Otot Ekstraokular pada Mata Kiri

IV. Pemeriksaan Kelopak Mata


Kelopak mata diperiksa dengan meminta pasien untuk membuka dan menutup mata
tanpa disertai tahanan. Ukuran dari fisura palpebra dicatat dan dihubungkan dengan
kontraksi pada otot frontalis. Paralisis dari levator superior palpebra menyebabkan
ptosis atau jatuhnya kelopak mata. Pada paresis N. Ill total maka akan dijumpai ptosis,
bola mata deviasi ke sisi lateral dan pupil midriasis (Gambar 13).

Gambar 13. Paralisis Nervus Okulomotorius Kiri Total (Ptosis, Pupil Dilatasi dan Bola Mata
Terdeviasi ke Arah Lateral Bawah)

60
Scanned for Compos Mentis
Posisi kelopak mata dapat dikatakan abnormal (retraksi) apabila pada posisi sentral
ada bagian sklera yang terlihat pada bagian atas limbus kornea. Pada penyakit
Parkinson, kedipan mata menjadi jarang dan dapat dijumpai retraksi kelopak.
Penyebab abnormalitas kelopak mata lainnya adalah hipertiroidisme.

Spasme kelopak mata dapat ditemukan pada kelainan psikogenik dan disertai
tremor halus pada kelopak (tanda Rosenbach) yang terlihat pada hipertiroidisme
dan histeria.

Nervus Trigeminus (N. V)


Anatomi
Nervus trigeminus (N. V) keluar dari sisi midlateral pons dengan serabut saraf
sensorik yang berukuran lebih besar dari serabut saraf motorik. Serabut saraf
sensorik berlanjut menjadi ganglion trigeminus (Gasseri) yang terletak di kavum
trigeminus, di basis fossa media. Ganglion ini memiliki tiga cabang, yaitu oftalmikus
(V1), maksilaris (V2), dan mandibularis (V3) , yang masing-masing secara berurutan
keluar dari tengkorak melalui fisura orbita superior, foramen rotundum, dan foramen
ovale. Adapun serabut saraf motorik berjalan dengan N. V3 (Gambar 14). Semua
komponen saraf sensorik dan motorik ini memiliki banyak cabang lagi setelah keluar
dari tengkorak (Tabel 4).

Nukleus ventral
posteromedial
Nucleus
mesensefalik

Traktus
mesensefatik
Divis I
oflalm1kus
Oivisi
maksilari s

Traktus asenden
sekunder ventral

NukletJs sensorik
utama

1//--------
/ ~
N"kleusda,;
radiks desenden
Taktll
general
TakUI
-.......--
dlskrlmlnatori

Gambar 14. Anatomi Nervus Trigeminus Sensorik dan Motorik

61
Scanned for Compos Mentis
Ventrikel ke-4
Pedunkula serebelar superior
Radiks mesensefalik dari
nervus V
Faslkulus longitudinal medial
Nukleus motorik dari
nervus v
Nukleus sensorlk utama dari
nervus V
Nukleus olivarlus superior
Lemniskus lateral
X Pedunkula serebelar medial
Traktus spinotalamikus

ll-- -:77'---- Nervus V

Gambar 15. Inti-inti Sensorik Nervus Trigeminus

Tabel4. Cabang Nervus Trigeminus


Cabang Sensorik Motorik
Lakrimalis
Frontalis
N.Vl
Nasosiliaris
Meningeal (tentorium serebelum)
Zigomatikus
Infraorbita
N.V2 Pterygopalatinum
Meningeal (fossa anterior dan media)

N.V3 Bukal Pterygoid medial


Auriulotemporal Nervus yang menginervasi otot tensor veli palatini
Lingual Nervus yang menginervasi otot tensor timpani
Maseterikus
Alveolar inferior
Temporalis profunda
Meningeal (fossa media dan anterior)
Pterygoid lateral
Nervus yang menginervasi otot mylohyoid
Nervus yang menginervasi otot digastrikus bagian
anterior

62
Scanned for Compos Mentis
Inti sensorik N. V merupakan inti nervus kranialis yang terbesar karena terletak di
sepanjang mesensefalon hingga ke arah kaudal dan dapat mencapai medula spinalis
segmen C2 . Inti ini memiliki tiga bagian yaitu mesensefalik, pons, dan traktus spinalis
(Gambar 15).

Inti mesensefalik terdiri dari neuron sensorik yang memproses informasi


proprioseptif dari otot-otot pengunyah. Selain itu, inti ini juga berhubungan dengan
inti motorik N. V untuk mengontrol gerakan mengunyah. Inti pons yang disebut juga
inti sensorik utama terletak di dekat area keluarnya N. V di pons. Fungsi utamanya
diduga berkaitan dengan penghantaran sensasi raba di wajah. Inti traktus spinalis
membentang dari pons ke arah kaudal, bergabung dengan substansia grisea medula
spinalis, hingga mencapai segmen C2 . Inti ini diduga lebih berperan dalam mengolah
impuls sensorik nyeri dan suhu daripada raba.

Ketiga cabang sensorik N. V menghantarkan impuls sensorik dari reseptor menuju


ganglion Gasseri dan kemudian masuk ke pons pada sisi midlateral. Di dalam pons,
beberapa serabut saraf sensorik bersinaps dengan inti sensorik utama dan inti traktus
spinalis. Selanjutnya, impuls sensorik diteruskan ke beberapa tujuan, yaitu formasio
retikularis, inti motorik N. V, dan talamus kontralateral melalui lemniskus trigeminus.
Impuls sensorik yang sudah sampai di talamus akan diteruskan ke korteks sensorik
ipsilateral.

Inti motorik N. V terletak pada pons bagian tengah (tegmentum pons), yaitu pada sisi
medial terhadap inti sensorik utama N. V. Inti ini mendapat sebagian besar input dari
cabang sensorik N. V. Selain itu, inti motorik N. V juga mendapat input dari nervus
sensorik kranialis lainnya melalui interneuron. Inti motorik ini sebagian kecil juga
mendapat input dari korteks presentralis kedua hemisfer yang mengatur gerakan
mengunyah volunter. Serabut saraf dari inti motorik N. V kemudian berjalan keluar dari
tengkorak bersama dengan cabang N. V3 dan memberikan cabang yang menginervasi
beberapa otot pengunyah, antara lain otot temporalis, maseter, pterigoid medial,
pterigoid lateral, dan milohioid.

Lesi upper motor neuron (UMN) N. V tidak mengakibatkan perubahan signifikan


pada otot-otot pengunyah karena inervasi bilateral dari kedua hemisfer serebri dan
berbagai input dari inti-inti batang otak lainnya. Lesi lower motor neuron (LMN) N. V
menyebabkan paralisis dan atrofi otot ipsilaterallesi, sehingga mempengaruhi fungsi
mengunyah.

63
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan
I. Pemeriksaan N. V Sensorik
Pemeriksaan sensorik, terutama modalitas raba dan nyeri, dilakukan dengan
cara sama seperti pemeriksaan sensorik pacta bagian tubuh lainnya. Sebelum
memeriksa, pemeriksa harus menanyakan keluhan baal atau gangguan sensasi
pacta wajah. Jika terdapat keluhan, maka perlu ditanyakan seluas apa kelainan
yang dirasakan dan deskripsi bentuk gangguan sensasinya (misalnya baal, rasa
panas, kesetrum, atau kesemutan). Dengan memperhatikan keluhan tersebut,
melalui pemeriksaan sensorik, diharapkan pemeriksa dapat menentukan apakah
gangguan sensorik bersifat organik atau nonorganik.

Pemeriksa dapat menggunakan kapas untuk sensasi raba dan tusuk gigi untuk
sensasi nyeri. Rangsangan raba atau nyeri diberikan pacta setiap distribusi cabang
N. V sensorik yaitu oftalmikus (dahi), maksilaris ( rahang atas, sudut nasolabialis ),
dan mandibularis (area dagu di bawah bibir) sisi kanan dan kiri wajah (Gambar
16). Pemeriksa sebaiknya menanyakan "Apakah sensasi pacta kedua sisi wajah
sama?", daripada "Apakah sensasi pacta sisi kiri berbeda dengan sisi kanan?".

Divisi
oftalmik

Segmen
servikal
ke-2

Divisi
maksila
Segmen
servikal
ke-3
Divisi
mandibula

Gambar 16. Distribusi Sensorik Nervus Trigeminus

Hasil pemeriksaan yang tidak konsisten dan melewati garis tengah wajah
mengarah kepada gangguan nonorganik. Bila masih terdapat refleks kornea pacta
pasien dengan keluhan baa! di dahi, maka hal ini mengarah ke faktor nonorganik.
Ada pun faktor organik yang disebabkan oleh lesi di sepanjang jaras N. V memiliki

64
Scanned for Compos Mentis
karakteristik khas pada setiap bagiannya (Tabel 5). Dengan demikian, hasil
pemeriksaan dapat membantu dalam menentukan letak lesi.

Tabel 5. Karakteristik Gangguan Sensorik Berdasarkan Letak Lesinya


Letak lesi Karakteristik
Supranuklear (talamus, lobus
parietal) Gangguan sensasi (semua modalitas) wajah sisi kontralaterallesi

Inti sensorik utama di pons Gangguan sensasi (raba) wajah sisi ipsilateral Iesi
Traktus spinalis Gangguan sensasi (nyeri) wajah sisi ipsilaterallesi
Disosiasi sensasi (perbedaan tingkat gangguan sensasi raba dan
Batang otak intrameduler
nyeri)
Batang otak ekstramedular Gangguan sensasi (raba dan nyeri), atau nyeri spontan
Ganglion Gasseri Gangguan sensasi (raba dan nyeri) wajah sisi ipsilaterallesi
Gangguan sensasi terbatas pada cabang tersebut wajah sisi
Cabang dari ganglion Gasseri
ipsilaterallesi

Lesi di atas inti N. V (supranuklear), misalnya di talamus atau korteks


somatosensorik primer lobus parietal akan menimbulkan gangguan sensorik
pada wajah sisi kontralaterallesi. Lesi di inti N. V ke perifer (infranuklear) akan
bermanifestasi gangguan sensorik wajah ipsilaterallesi.

II. Pemeriksaan N. V Motorik


Pemeriksaan N. V motorik memiliki beberapa tehnikyang pada dasarnya bertujuan
untuk mengetahui paresis unilateral atau bilateral. Paresis unilateral menandakan
adanya lesi yang melibatkan pons, ganglion Gasseri, atau radiks motorik N. V di
basis kranii. Paresis bilateral yang ditandai dengan ketidakmampuan menutup
mulut dapat mengarah kepada penyakit motor neuron atau miopati.

Tehnik pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah dengan meminta pasien
menggigit kuat-kuat dan pemeriksa meraba otot maseter dan pterigoid bilateral.
Jari pemeriksa sebaiknya diletakkan di tepi anterior otot tersebut sehingga jari
tersebut akan bergeser ke depan pada saat pasien menggigit. Adanya paresis
unilateral akan menimbulkan perbedaan tonjolan otot. Sisi paresis akan terlihat
lebih kecil. Pasien juga diminta untuk membuka mulutnya dan pemeriksa
mengamati adakah deviasi rahang ke arah sesisi lesi (ipsilateral).

65
Scanned for Compos Mentis
Cara lainnya dengan meminta pasien menggerakkan mandibula ke arah depan
dan belakang (maju mundur) dan kemudian diperhatikan kesimetrisan kiri
dan kanan saat bergerak. Bila terdapat paresis unilateral, maka sisi paresis
akan tertinggal saat gerakan maju dan mundur. Selain itu, pemeriksa juga dapat
meminta pasien menggigit spatula lidah dan mempertahankannya sekuat tenaga
dengan menggunakan gigi geraham bergantian sisi kanan dan kiri. Pemeriksa lalu
membandingkan hasil impresi pada spatula lidah yang dihasilkan dan tahanan
yang diberikan pasien saat spatula tesebut berusaha ditarik oleh pemeriksa.

III. Pemeriksaan Refleks N. V


Selain pemeriksaan sensorik dan motorik, terdapat pula beberapa pemeriksaan
refleks N.V, yaitu refleks kornea, refleks rahang Uaw reflex), dan refleks bersin.
Refleks kornea dilakukan dengan menyentuh kornea pasien dengan kapas dari
arah lateral dan diamati responsnya yang berupa kedipan pada kedua mata
(Gambar 17). Refleks ini diperantarai oleh N.V cabang oftalmikus (aferen) dan
N.Vll (eferen). Refleks kornea yang normal menandakan jaras N.Vl, N.VII dan
koneksi di antaranya di pons masih berfungsi baik. Adapun beberapa jenis
abnormalitas dari hasil refleks kornea dapat dilihat pacta Tabel 6.

Tabel 6. Pola Abnormalitas Refleks Kornea


Lesi Lokasi pemberian rangsangan Refleks kornea Langsung Refleks komea konsensual
N.V Mata yang mengalami lesi (-) (-)
Mata kontralaterallesi (+) (+)

N.Vll Mata yang mengalami lesi (-) (+)

Mata kontralaterallesi (+) (-)

66
Scanned for Compos Mentis
Gambar f7. Peme.riksaan Reflek·s Korrie-a

Refleks rahang diperiksa dengan meletakkan jari telunjuk pemeriksa di tengah


mandibula pasien dengan mulut setengah terbuka dan rahang dalam keadaan
rileks. Selanjutnya, pemeriksa mengetuk jari telunjuknya dengan palu refieks
(Gambar 18). Respons yang muncul berupa sentakan mandibula ke arah atas
(upward jerk). Refieks ini diperantarai oleh N. V sensorik (aferen) dan N. V
motorik (eferen) dengan pus at refleks di pons. Pad a individu normal, pemeriksaan
ini hanya berespons minimal atau negatif. Pemeriksaan ini berguna untuk
membedakan pasien yang mengalami hiperefleks generalisata (refleks rahang
positif disertai peningkatan refleks lainnya) atau terkait lesi servikal (refieks
rahang negatif).

Gambar 18. Refleks Rahang

67
Scanned for Compos Mentis
Refleks bersin dilakukan dengan cara memberikan rangsangan pada mukosa
hidung menggunakan kapas atau ujung tisu, sehingga pasien me rasa ingin bersin.
Refleks ini memiliki aferen N.Vl dan eferen N.V, VII, IX, X, dan saraf motorik dari
medula spinalis segmen servikal dan torakal. Pusat refleks ini berada di batang
otak dan medula spinalis servikal atas.

Nervus Fasialis (N. VII)


Nervus fasialis (N. VII) merupakan nervus kranialis yang memiliki fungsi motorik,
sensorik dan otonom. Fungsi motorik merupakan fungsi yang paling dominan dari
nervus ini. Komponen motorik mempersarafi otot-otot yang bertanggung jawab untuk
ekspresi wajah, kulit kepala dan telinga, serta otot-otot lainnya seperti otot platisma,
businator, stapedius, dan stilohioid. Fungsi sensorik utama adalah fungsi pengecapan
pada dua pertiga depan lidah. Fungsi sensorik lain meliputi sensasi eksteroseptif dari
gendang telinga dan kanalis auditorik eksterna, sensasi proprioseptif dari otot yang
dipersarafi oleh nervus fasialis serta sensasi viseral umum dari kelenjar liur, serta
mukosa hidung dan faring. Fungsi otonom adalah fungsi sekretorik parasimpatis
kelenjar liur, kelenjar lakrimal, serta mukosa rongga hidung dan mulut (Tabel 7).

Tabel 7. Fungsi Nervus Fasialis

Nervus Fungsi

Brankial motorik(eferen Mempersarafi otot ekspresi wajah, otot digastrik bagian posterior, dan
viseral khusus) otot stapedius

Viseral motorik Persarafan parasimpatis kelenjar lakrimal, submandibu lar, dan


(eferen viseral umum) sublingual,serta membran mukosa nasofaring dan palatum

Sensorik khusus
Sensasi pengecapan dua pertiga depan lidah dan palatum
(aferen khusus)
Sensorik umum
Sensasi umum (eksteroseptif) kulit konka dan area belakang telinga
(aferen somatik umum)

Secara anatomi, sistem persarafan motorik nervus fasialis terpisah dari sistem
sensorik dan parasimpatis. Persarafan supranuklear untuk otot yang mengatur
ekspresi wajah berasal dari sepertiga bawah girus presentralis kontralateral pada
area wajah homunkulus motorik. Dari girus presentralis, serabut saraf membentuk

68
Scanned for Compos Mentis
traktus kortikobulbar menuju inti N. VII di pons melalui korona radiata, genu kapsula
interna, dan pedunkulus serebri bagian medial. Otot wajah bagian dua pertiga
bawah mendapat kontrol persarafan yang dominan dari supranuklear kontralateral,
sedangkan sepertiga bagian atas mendapat kontrol persarafan bilateral (Gambar
19). Otot bagian bawah wajah juga mendapatkan persarafan kortikal yang lebih
banyak dibandingkan dengan otot wajah bagian atas dan dahi. Inti N. VII di pons
juga mendapatkan persarafan dari sistem ekstrapiramidal, yaitu ganglia basal dan
hipotalamus bilateral. Persarafan ini bertanggung jawab dalam mempertahankan
tonus otot wajah terkait dengan ekspresi wajah spontan, serta emosional.

Serebrum
klri

Gambar 19. Persarafan Nervus Fasialis

69
Scanned for Compos Mentis
Inti N. VII (nukleus fasialis) terletak di tegmentum pons sisi kaudal, anteromedial
dari traktus spinalis nukleus trigeminus, anterolateral dari nukleus abdusens, serta
posterior dari nukleus olivarius superior. Nukleus fasialis memiliki tiga subnukleus
yaitu lateral, intermedial, dan medial. Subnukleus lateralis diperkirakan mempersarafi
otot businator, subnukleus intermedial mempersarafi otot temporal, orbital,
dan zigomatikus, sedangkan subnukleus medial mempersarafi otot servikal dan
aurikularis posterior serta stapedius. Akson dari nukleus fasialis berasal dari bagian
dorsal nukleus dan berjalan secara dorsomedial, dan ke atas melingkari N. VI (Gam bar
20), membentuk genu internal nervus fasialis. N. VII keluar dari pons pada sisi lateral
di taut pontomedular, kaudal dari cabang N. V dian tara pedunkulus serebelar inferior
dan oliva, serta berdekatan dengan arteri serebelaris inferior anterior.

Nukleus
obdusen

Nukleus
sellvatorl
dan lakmnal
supeuor

Nukleus
faslalls
rnotorik

_ l ....._.

Ganglion genlkulata Motor roor

Gambar 20. Lokasi Anatomis Inti Nervus Fas ialis di Pons

Nervus intermedius merupakan komponen sistem persarafan sensorik dan otonom


dari N. VII. Nervus intermedius berjalan di antara nervus fasialis dan nervus
vestibulokoklearis melalui sudut serebelopontin dan kemudian berdampingan
dengan cabang utama N. VII memasuki kanalis fasialis. Nervus intermedius kemudian
bergabung dengan ganglion genikulatum membentuk cabang sera but sensorik yakni

70

Scanned for Compos Mentis


cabang aferen somatik umum dan cabang aferen viseral khusus. Cabang aferen somatik
umum menghantarkan impuls eksteroseptif dari area kanalis auditorik eksternal dan
membran timpani, sedangkan cabang aferen visual khusus menghantarkan impuls
sensorik pengecapan dari dua pertiga depan lidah.

Komponen otonom nervus intermedius terdiri dari sera but parasimpatik eferen viseral
umum yang mempersarafi kelenjar air mata dan mukosa hidung. Distal dari ganglion
genikulatum, nervus fasialis berjalan ke bawah melalui korda timpani sedikit di atas
foramen stilomastoid. Pacta cabang korda timpani ini, nervus intermedius terdiri dari
cabang sensorik aferen viseral khusus dan sera but parasimpatik preganglionik.

Serabut sensorik yang membawa impuls pengecapan melalui nervus lingualis ke


korda timpani dan ganglion genikulatum akan berakhir di nukleus traktus solitarius.
Traktus solitarius akan berhubungan dengan nukleus salivari superior dan inferior
yang akan mengirimkan impuls parasimpatik ke kelenjar saliva. Serabut sensorik
pengecapanjuga berhubungan dengan hipotalamus dan sistem olfaktori (Gambar 21).

Nervus petrosal
superfislal mayor

Ganglion otic

" - - - - Divisl temporofasial

" - - - - - - Divi si cervikofasial

Gambar 21. Skema Anatomi Nervus Fasialis

71
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan
Pasien dengan gangguan N. VII dapat memiliki keluhan pacta fungsi sensorik maupun
motorik. Keluhan dapat berupa asimetri wajah baik pada saat istirahat maupun
tersenyum. Pasien juga dapat mengeluhkan mulut mencong atau tertarik ke salah
satu sisi, atau bisa didapatkan gangguan dalam bersiul, meniup, dan meludah. Oleh
karena N. VII juga mempersarafi otot stapedius, maka pasien dengan lesi N. VII
sering kali mengeluhkan hiperakusis (pasien mengeluhkan suara yang terdengar
lebih nyaring atau keras di sisi telinga ipsilaterallesi N. VII) . Keluhan fungsi sensorik

-

dan otonom antara lain berupa gangguan pengecapan serta mukosa hidung atau
mulut menjadi kering. Pacta lesi N. VII sentral, kelemahan otot wajah hanya pada
dua pertiga sisi bawah. Hal ini dikarenakan wajah sepertiga atas mendapatkan
persarafan supranuklear bilateral. Di lain pihak, pacta lesi N. VII perifer, kelemahan
otot wajah terjadi pada sesisi wajah baik bagian atas maupun bawah (Gam bar 19).

Pemeriksaan N. VII cukup banyak oleh karena serabut saraf ini meliputi komponen
motorik, sensorik, dan otonom. Selain itu pemeriksaan ini bertujuan untuk
menentukan letak lesi dari perjalanan N.VII yang panjang. Pada akhir pemeriksaan
juga harus dapat disimpulkan kelainan N.VII ini bersifat sentral atau perifer karena
akan menentukan diagnosis topis dan tatalaksana.

I. Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan motorik N. VII diawali dengan inspeksi otot wajah pada keadaan
istirahat, saat pasien berbicara, dan saat mengekspresikan emosinya. Hal yang
perlu diperhatikan antara lain kesimetrisan wajah, tonus otot, atrofi otot maupun
gerakan involunter, seperti distonia, sinkinesia, tremor, tik, mioklonik, khorea,
atetosis, spasme hemifasial, dan blefarospasme. Kesimetrisan wajah dapat dinilai
dengan mengobservasi lipatan nasolabial, kerutan dahi, dan Iebar fisura palpebra.
Observasi gerakan wajah juga dapat dilakukan pada saat pasien melakukan
gerakan spontan seperti berbicara atau tersenyum. Pada anak gerakan spontan
ini dapat diobservasi pada saat anak menangis. Selain gerakan spontan, inspeksi
nervus fasialis dapat dilakukan dengan menginstruksikan pasien untuk melakukan
gerakan tertentu seperti menyeringai untuk menilai nervus fasialis bagian bawah
dan menutup mata dengan erat untuk menilai nervus fasialis bagian atas. Gerakan
lain adalah meminta pasien untuk mengangkat alis, menutup salah satu mata

72
Scanned for Compos Mentis
secara bergantian, menggembungkan pipi, mencucu, bersiul, tersenyum dan
mengkontraksikan otot dagu, atau mengancingkan gigi, serta meminta pasien
tersenyum secara spontan setelah bersiul.

Setelah inspeksi, pemeriksaan fisik nervus fasialis dapat dillanjutkan dengan


beberapa manuver tertentu. Pasien diminta memejamkan mata dengan sekuat
mungkin dan pemeriksa mencoba memberikan tahanan pada m. orbikularis
okuli untuk membuka mata pasien. Selain itu, pasien juga diminta untuk
menggembungkan pipinya, kemudian pemeriksa menekan kedua pipi pasien
dengan jari secara bersamaan hingga udara keluar dari mulut pasien. Pemeriksa
memperhatikan apakah udara keluar dari salah satu sudut mulut atau dari tengah
bibir (Gambar 22).

a b c
Gambar 22. Pemeriksaan motorik nervus fasialis. (a) Pasien diminta untuk memejamkan
mata dengan kuat (b) Pemeriksa memberikan tahanan pada m. orbikularis
okluli (c)Pasien menggembungkan pipi dan pemeriksa memberikan tahanan

Pada keadaan istirahat, wajah biasanya terlihat simetris. Asimetri wajah tanpa adanya
kelemahan otot wajah dapat merupakan suatu keadaan kongenital atau dapat juga
ditemukan pada orang tua karena bertambahnya garis wajah. Wajah dengan ekspresi
atau kedipan yang berkurang dapat ditemukan pada penyakit Parkinson. Keadaan ini
sering disebut sebagai muka topeng. Berkurangnya lipatan nasolabial dengan dahi
simetris menandakan lesi sentral (UMN), sedangkan berkurangnya lipatan nasolabial
yang disertai berkurangnya lipatan dahi ipsilateral menandakan lesi nervus fasialis
perifer {LMNJ. Hal ini dapat dijelaskan secara anatomis karena otot wajah bagian dua
pertiga bawah mendapat kontrol persarafan yang dominan berasal dari supranuklear

73
Scanned for Compos Mentis
kontralateral, sedangkan sepertiga atas otot wajah dan dahi mendapat kontrol
persarafan bilateral (Gambar 23). Posisi kelopak mata dan Iebar fisura palpebra
juga memiliki makna klinis yang penting. Melebarnya fisura palpebra unilateral
menandakan adanya lesi nervus fasialis yang mengakibatkan hilangnya tonus otot
orbikularis okuli. Keadaan ini harus dibedakan dengan ptosis pada mata kontralateral.

Lesi nervus fasialis Lesi


(Bell's palsy) supranuklear

Nukleus dari
nervus I asialis
1....----- - (nervus kranlal VII)

Nervus
fasialis

Gambar 23. Gangguan Persarafan Nervus Fasialis

II. Pemeriksaan Refleks


A. Refleks Orbikularis Okuli (Refleks Glabelar atau Refleks Nasopalpebral)
Perkusi dahi di area supraorbita, diatas glabela atau disekitar tepi orbita akan
menimbulkan kontraksi otot yang diikuti dengan menutupnya kedua mata
(Gambar 24). Respons persisten dari refleks ini dikenal sebagai tanda Myerson
yang dapat dijumpai pada pasien dengan penyakit Parkinson. Pada pasien
Parkinson tidak terjadi inhibisi setelah dilakukan beberapa kali ketukan pada
dahi sehingga mata terus berkedip.

74
Scanned for Compos Mentis
Tanda Chovstek Fenomena Bell

Refleks Auditoripalpebral
Gambar 24. Pemeriksaan Refleks Nervus Fasialis

B. Refleks Palpebra
Refleks ini berupa kontraksi dari m. orbikularis okuli dan menutupnya mata
sebagai hasil dari respons stimulus suara yang keras dikenal. Refleks palpebra
juga dikenal sebagai refleks auditori-palpebra, auro atau akustikopalpebra,
kokleopalpebra atau kokleoorbikularis (Gambar 24). Refleks menutup mata
juga terjadi pacta paparan cahaya dengan intensitas kuat yang disebut dengan
refleks visuopalpebra, visuoorbikularis, optikofasial, kedipan, atau menace
reflex. Menutupnya mata pacta saat diberikan stimulus nyeri pacta wajah
atau mata dikenal sebagai refleks trigeminofasial, trigeminopalpebra, atau
trigeminoorbikularis. Refleks palpebra juga dapat berupa menutupnya mata
sebagai responsterhadap stimulasi pacta palatum.

C. Refleks Orbikularis Oris


Refleks orbikularis oris dibangkitkan dengan cara melakukan perkusi pacta
bibir atas atau sisi hidung. Stimulus terse but akan mencetuskan kontraksi otot
yang mengakibatkan elevasi sudut mulut. Jika otot mentalis (levator menti)
juga terstimulasi, terjadi juga elevasi pacta sudut bibir bawah dan kerutan

75
Scanned for Compos Mentis
pada kulit dagu. Refleks ini dikenal sebagai refleks perioral, oral, bukal, atau
nasomental. Refleks ini merupakan refleks abnormal pada usia diatas 1 tahun
namun pada individu tertentumasih dapat merupakan varian normal. Refleks
yang berlebihan atau munculnya refleks rahang pada saat ketukan ringan bibir
bawah, serta munculnya refleks retraksi kepala pada saat ketukan ringan pada
bibir atas menandakan lesi kortikobulbar diatas nukleus fasialis (UMN).

D. Refleks Palpebra Okulogirik atau Fenomena Bell


Berupa gerakan bola mata ke arah atas ketika kelopak mata menutup. Refleks
ini merupakan refleks yang normal namun terlihat lebih jelas pada pasien
dengan paresis nervus fasialis perifer. Pada saat pasien diminta menutup mata,
maka mata pada sisi ipsilateral lesi tidak dapat menutup sempurna. Ketika
mata tersebut berusaha untuk menutup, bola mata akan bergerak ke arah
atas (Gambar 24). Refleks ini bertujuan untuk melindungi kornea agar tidak
mengalami iritasi. Refleks palpebra-okulogirik negatif pada pasien dengan
paralisis gaze keatas (upward gaze palsy).

E. Tanda Chovstek
Merupakan kontraksi spasme pada otot ipsilateral wajah yang timbul karena
pengetukan pada jalur keluar saraf fasial anterior di anterior telinga (Gambar
24). Hiperrefleksia dari tanda Chovstekjuga merupakan penanda lesi UMN.

Ill. Pemeriksaan Sensorik


Pemeriksaan fungsi sensorik N. VII terbatas pada pemeriksaan pengecapan
karena pemeriksaan eksteroseptif memiliki sedikit area di telinga, sehingga sulit
untu~ dilakukan. Prosedur pemeriksaan pengecapan biasanya menggunakan 4
substansi rasa yakni sukrosa (gula pasir, sakarin, atau aspartam) untuk rasa manis,
garam untuk rasa asin, dan asam sitrat untuk rasa asam. Selama pemeriksaan
lidah harus terjulur keluar karena jika lidah berada di dalam mulut, subtansi rasa
akan mudah terdispersi ke area lain. Lidah dan rongga mulut harus dibersihkan
sebelum pemeriksaan. Oleh karena pasien tidak dapat berbicara selama
pemeriksaan, instruksi sebelum dilakukan pemeriksaan harus jelas, misalnya
mengangkat tangan atau sinyal non-verballainnya. Substansi rasa diletakkan di

7tf;
Scanned for Compos Mentis
lidah dengan menggunakan stik aplikator di permukaan dorsal satu sisi lidah,
pada perbatasan antara sepertiga depan dan tengah lidah yang sensasinya paling
mudah dirasakan.
Pada paralisis N. VII tipe perifer, adanya gangguan pengecapan dapat
mengindikasikan letak lesi berada proksimal dari percabangan korda timpani.
Lesi yang terletak distal dari foramen stilomastoideus tidak mempengaruhi
fungsi pengecapan. Gangguan pengecapan dapat berupa ageusia (tidak mampu
mengecap rasa sama sekali), hipoageusia (berkurangnya sensasi pengecapan),
dan parageusia (persepsi pengecapan yang abnormal).

IV. Pemeriksaan Otonom Parasimpatis


Fungsi sekretorik biasanya dievaluasi dengan anamnesis dan observasi.
Pemeriksaan produksi air mata secara kuantitatif dapat dilakukan dengan tes
Schirmer (Gambar 25). Strip penyaring diletakkan di konjungtiva inferior selama
5 menit kemudian tepian batas air mata yang tersaring ke kertas strip diukur
dengan satuan milimeter. Tes Schirmer normal apabila setelah 5 menit, air mata
membasahi kertas saring sejauh 10-30mm. Hasil di bawah 10mm menunjukkan
adanya hiposekresi lakrimal, sedangkan hasil di atas 30mm menunjukkan
adanya hipersekresi akibat refleks lakrimal yang overaktif atau adanya gangguan
drainase lakrimal.
Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan refleks nasolakrimal yang ditandai oleh
peningkatan lakrimasi akibat stimulus mekanik atau kimiawi menggunakan
amonia di mukosa hidung. Gangguan salivasi dapat dinilai dengan anamnesis dan
observasi kekeringan mukosa mulut yangdinilai secara kualitatif.

1/1!
Scanned for Compos Mentis
Gambar 25. Tes Schirmer

Nervus Vestibulokoklearis/ Akustikus (N. VIII)


Gangguan sistem vestibulokoklear cukup sering terjadi dan memiliki penyebab
yang sangat beragam. Oleh karena itu, anamnesis harus dilakukan dengan lengkap.
Pertama-tama, pemeriksa harus mendapatkan interpretasi yang tepat mengenai
gejala yang dialami pasien. Apakah pasien mengeluhkan vertigo, mual, atau gejala
nonspesifik seperti goyang atau kepala terasa ringan, atau bahkan gejala yang
tidak mengarah kepada disfungsi nervus vestibulokoklear seperti pingsanjsinkop.
Anamnesis berikutnya adalah terkait gangguan pendengaran; apakah terdapat
gangguan pendengaran, apakah bersifat unilateral atau bilateral, jenis suara yang
sulit didengar {low-pitched, high -pitched, speech only, or speech with background
noiseJ;apakah terdapat tinitus, jenis tinitus (suara berdenging, berdenyut, atau suara
lain); apakah terdapat nyeri telinga atau sensasi telinga terasa penuh; serta gejala
yang sering menyertai vertigo seperti migrain.

Selanjutnya, pemeriksa harus dapat menggali apakah gejala bersifat terus menerus
atau hilang timbul. Jika hilang timbul, juga harus ditanyakan durasi gejala dan faktor-
faktor pencetus. Riwayat obat-obatan yang diminum juga harus ditanyakan karena
jenis obat-obatan tertentu dapat menginduksi vertigo seperti antikonvulsan, antibiotik,
antihipertensi, dan sedatif. Riwayat keluarga berupa migrain, kejang, penyakit Meniere,
dan otosklerosis juga perlu digali. Faktor risiko seperti gangguan psikiatrik (gangguan
cemas dan panik), faktor risiko vaskular; kanker; penyakit autoimun, keluhan neurologis
seperti migrain, stroke, kejang, dan multipel sklerosis juga perlu ditanyakan kepada
pasien. Anamnesis lain meliputi riwayat pembedahan di sekitar telinga, penyakit lain
yang diderita pasien seperti disfungsi tiroid, diabetes, maupun sifilis.

78
Scanned for Compos Mentis
Anatomi
Secara anatomis, nervus vestibulokoklearis (N.VIII) terdiri dari nervus vestibularis
dan nervus koklearis yang bertanggung jawab terhadap transmisi aferen dari telinga
dalam ke susunan saraf pusat (SSP).

Nervus Vestibularis
Nervus vestibularis mengkonduksikan impuls saraf dari sakulus dan utrikulus
sebagai sensor yang memberikan informasi mengenai posisi kepala. Nervus ini juga
mengkonduksi impuls saraf dari kanalis semisirkularis yang memberikan informasi
mengenai perubahan posisi kepala. Nervus vestibularis masuk ke anterior batang
otak di perbatasan antara pons dan medula oblongata (Gam bar 26).

Ampula dari duktus


semisirkularis lateral

Ampula dari duktus


semisirkularis superior

Pons

\
A vus koklear

us vestibular

Ampula dari duktus


semisirkularis posterior _ _ _ _ _ __ _ J

Gambar 26. Anatomi Nervus Vestibularis

Inti dari nervus vestibularis terdiri dari 4 nukleus yaitu nukleus vestibularis superior,
nukleus vestibularis inferior, nukleus vestibularis lateral, dan nukleus vestibularis
medial. Nukleus-nukleus ini menerima inputaferen dari organ keseimbangan di telinga
dalam melalui nervus vestibularis dan juga menerima input dari serebelum melalui

79
Scanned for Compos Mentis
pedunkulus serebelar inferior. Sistem eferen dari inti nervus vestibularis berjalan
ke serebelum melalui pedunkulus serebelar inferior dan ke medula spinalis melalui
nukleus vestibularis lateral serta membentuk traktus vestibulospinal. Jaras eferen
juga menuju ke N. III, N. IV, dan N. VI melalui fasikulus longitudinalis medial. Koneksi
ini memungkinkan terjadinya koordinasi antara sistem visual, organ keseimbangan,
dan otot. Nervus vestibularis juga memiliki jaras ke korteks serebri area vestibular di
girus postsentralis tepat diatas fisura lateralis (Gambar 27).

Serat ke nu kleus okulomotor,


troklear, dan abdusen

Fasikulus longit ud inal medial

Traktus ve stibulospinal dari


nukleus vestibularis lateral Pedunkulus
\\\1> - - - - - - - - cerebelar
inferior

Nervus
vestibular

Nervus
koklear

Ganglion
vestibular

Kanalis semisirkular,
utrikula,
dan sakula

Gambar 27. Anatomi Kontrol Supranuklear dan Inti Nervus Vestibularis

Nervus Koklearis
Nervus koklearis mengkonduksikan impuls berupa suara dari organ korti di koklea.
Nervus koklearis masuk ke pons bagian bawah di sisi lateral dari N. VII dan nervus
vestibularis. Di pons, nervus koklearis bercabang dua menjadi nukleus koklearis
posterior dan nukleus koklearis anterior.

Nukleus koklearis posterior dan anterior terletak di permukaan pedunkulus serebelar


inferior. Kedua nukleus ini memiliki akson (neuron orde 1) yang menuju ke nukleus

80
Scanned for Compos Mentis
posterior dari korpus trapezoid dan nukleus olivarius di pons, kemudian bercabang
menjadi akson-akson asendens yang membentuk traktus yang dikenal sebagai
lemniskus lateral. Saat mencapai mesensefalon, lemniskus lateral akan bersinaps di
nukleus kolikulus inferior atau korpus genikulatum medial, dan selanjutnya menuju
korteks auditorik primer (Gambar 28).

Korteks auditorik primer (area Broadmann 41 dan 42) termasuk girus Hesch!,
terletak di permukaan atas girus temporalis superior. Sistem anatomi pendengaran
juga memiliki jaras desendens dari korteks auditorik menuju organ korti. Jaras
desendens ini dipercaya berfungsi sebagai mekanisme umpan balik dan berperan
dalam menajamkan fungsi auditorik.

Korteks aud itor!

tempo rallsda rl girus


superior -~

~~

:l
Radiasi akustik dari
kapsul interna ~ ~\

~
Kolikulus
inferior dari
Badan genikulata
m edia l midbrain

Nukleus dari
lemniskus lateral

Nukleus
Lemniskus layteral koklear
posterior

Ventrikel ke-4

/ Pedunkula
cerebelar
Inferior

Nukleus
koklear
anterior

Nervus
koklea r

Ganglion
sp iralis
da rI
superior koklea

Nervus
Vestibularis

Koklea

Gambar 28. Anatomi Kontrol Supranuklear dan Inti Nervus Koklearis

81
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan
Pemeriksaan N. VIII terdiri atas pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan
keseimbangan. Pacta bab ini, pembahasan akan lebih difokuskan pacta pemeriksaan
auditorik, sedangkan pemeriksaan vestibular akan lebih banyak dibahas pacta bab
keseimbangan dan koordinasi.

Pacta pemeriksaan auditorik, pemeriksaan dilakukan pacta salah satu telinga secara
bergantian. Telinga yang tidak diperiksa ditutup dengan penyumbat telinga a tau dapat
dengan tangan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan garpu tala a tau dengan metode
sederhana seperti bunyi detik jam tangan atau gesekan jari. Sumber suara dijauhkan
secara perlahan, kemudian dicatat jarak terjauh yang masih bisa didengar oleh pasien
dan dibandingkan hasilnya dengan telinga sisi yang lain. Jika pendengaran salah satu
telinga berkurang, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan garpu tala.

Pacta pemeriksaan garpu tala, pastikan pasien mendengar suara getaran garpu tala
bukan merasakan getarannya. Pemeriksaan garpu tala terdiri dari tes Rinne dan
tes Weber. Kedua tes ini merupakan pemeriksaan awal untuk membedakan tuli
saraf dengan tuli konduktif pacta pasien dengan gangguan pendengaran atau tinitus
unilateral. Tes Rinne menggunakan garpu tala 128Hz, 256Hz, atau 512Hz. Tes Rinne
bertujuan untuk membandingkan hantaran bunyi melalui udara dengan tulang.
Pemeriksaan dilakukan dengan meletakkan garpu tala yang telah digetarkan pacta
prosesus mastoid (hantaran tulang) dan kemudian setelah pasien tidak lagi mendengar
suara getaran, garpu tala dipindahkan ke depan telinga (hantaran udara). Apabila
pasien masih mendengar suara garpu tala, maka hal ini menunjukkan hantaran udara
lebih baik dari hantaran tulang (Rinne positif atau normal) . Tes ini pacta pasien tuli
konduktif akan menunjukkan hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara (Rinne
negatif) . Di lain pihak, tuli sensorineural dijumpai basil tes Rinne positif.

Tes Weber dilakukan dengan meletakkan garpu tala yang telah digetarkan di verteks
kepala, kemudian pasien diminta untuk menentukan sisi telinga mana yang mendengar
suara llebih jelas (lateralisasi). Melalui tes ini, pasien tuli konduktif mengalami
lateralisasi ke telinga yang sakit, sedangkan tuli sensorineural ke telinga yang sehat.

Selain kedua tes tersebut, terdapat tes Schwabach yang mengevaluasi fungsi
pendengaran dengan prinsip dasar membandingkan konduksi udara dan tulang
pasien dengan pemeriksa (dianggap normal). Teknik pemeriksaannya dimulai dengan

82
Scanned for Compos Mentis
menggetarkan garputala dan ditempatkan di dekat telinga pasien. Pasien diminta
untuk mendengarkan bunyi garputala dan memberi isyarat kepada pemeriksa
jika bunyi sudah tidak terdengar lagi. Saat bunyi sudah tidak terdengar lagi oleh
pasien, garputala ditempatkan di dekat telinga pemeriksa. Bila bunyi garputala
masih terdengar oleh pemeriksa, maka dikatakan Schwabach lebih pendek untuk
konduksi udara. Selanjutnya, garputala digetarkan lagi dan ditempatkan di tulang
mastoid pasien. Pasien diminta untuk mendengarkan bunyi garputala hingga tidak
terdengar lagi, dan kemudian garputala ditempatkan di tulang mastoid pemeriksa.
Jika pemeriksa masih bisa mendengar bunyi garputala, maka dikatakan Schwabach
lebih pendek untuk konduksi tulang

a b
Gambar 29. Teknik Pemeriksaan (a) Tes Rinne dan(b) Tes Weber

Tabel 8. Interpretasi Tes Rinne dan Weber


Jenis Tuli Tajam pendengaran Tes Rinne' Tes Weber
Konduksi Menurun HT>H U (Rinne negatif) Lateralisasi ke telinga sakit
Sensorineural Menurun HU >HT (Rinne positif) Lateralisasi ke telinga sehat
'HT= Hantar·an Tulang; HU= Hantaran Udara.

Nervus Glosofaringeus (N. IX)


Nervus Glosofaringeus (N. IX) merupakan nervus kranialis yang memiliki fungsi
motorik, sensorik, dan otonom. Dalam menjalankan fungsinya, N. IX bekerja
sama dengan nervus Vagus (N. X). Sesuai dengan namanya, nervus ini terutama
mempersarafi area lidah dan faring. N. IX berperan dalam proses motorik menelan,

83
Scanned for Compos Mentis
proses sensorik umum dan pengecapan di sepertiga posterior lidah, persarafan
sensorik umum di area faring, tonsil, permukaan dalam dari membran timpani, hingga
kulit telinga luar, serta aferen viseral dari badan dan sinus karotis. Fungsi otonom dari
nervus ini adalah komponen parasimpatik yang mempersarafi kelenjar parotis.

Baik anamnesis maupun pemeriksaan klinis N. IX sulit untuk dilakukan karena


kebanyakan fungsi dari nervus ini bekerja bersama-sama dengan nervus kranialis
lainnya. Keluhan yang biasanya muncul dapat berupa gangguan men elan dan gangguan
sensasi pada mulut bagian belakangj faring. Keluhan rasa di posterior lidah seringkali
sulit terdeteksi secara anamnesis. Demikian pula halnya dengan fungsi otonom dan
aferen viseral yang seringkali sulit digali dari anamnesis. Data dari anamnesis juga
bisa didapatkan riwayat regurgitasi cairan. Suara serak dapat merupakan petanda
adanya kelemahan pita suara. Jika pasien mengalami tersedak oleh air liur saat bicara,
maka hal ini dapat menjadi petanda adanya kelemahan palatum dan faring.

Anatomi
Kontrol UMN N. IX berasal dari korteks motorik primer yang kemudian bersinaps
ke bagian rostral dari nukleus ambiguus di medula dorsolateral melalui traktus
kortikobulbar. Persarafan ini bersifat bilateral. N.lX berjalan ke posteromedial menuju
ke dasar ventrikel keempat, kemudian keluar dari medula diantara olivoinferior dan
pedunkulus serebelar inferior berdampingan dengan N. VII di sisi atasnya dan N. X
di sisi bawah. Nervus ini meninggalkan kranial melalui foramen jugularis di lateral
dan anterior dari N. X dan nervus aksesorius spinal. Setelah meninggalkan kranial,
N. IX masuk ke selubung karotis, dan berjalan ke arah bawah diantara vena jugularis
interna dan arteri karotis interna, melewati bagian bawah dari prosesus stiloideus,
dan kemudian berjalan diantara arteri karotis interna dan eksterna. Nervus ini lalu
menuju ke dinding faring lateral, kemudian masuk ke bawah otot hioglosus untuk
bercabang menjadi cabang terminalnya.

N. IX mempunyai 6 cabang terminal yaitu cabang timpanik, cabang karotis, cabang


faringeal, cabang muskular, cabang tons ilar, dan cabang lingual. Otot stilofaringeus
merupakan satu-satunya otot faring yang hanya dipersarafi olehN. IX dan X, sedangkan
otot-otot faring lain dipersarafi oleh N. IX dan X.
Nervus ini memberikan persarafan parasimpatik ke kelenjar parotis dan membran
mukosa di faring serta mulut bagian posterior dan inferior. Inti divisi parasimpatik

84
Scanned for Compos Mentis
berasal dari n ukleus saliva tori us inferior di batangotak. Melalui ganglion glosofaringeus
superior dan inferior serabut inti keluar membentuk nervus timpanik. Nervus ini
menuju rongga timpani melalui kanal kecil di bawah permukaan tulang temporal
(kanalikulus timpanik) yang berada diantara kanal karotis dan fosa jugularis. Nervus
timpanik membentuk pleksus timpanik di dalam ruang timpanik kemudian keluar
melalui foramen ovale dan bersinaps di ganglion otik. Serabut saraf postganglionik
bergabung dengan N. V3 kemudian menuju ke kelenjar parotis (Gambar 30).

-.----+ Nukleus saliva tori


inferio

' - - ' -- -:;--- Foram en jugularis


-!--'-;:--- --,.' - - - Ga nglion
Divisi mandibular
dari - - --f glossofaringeal
nervus kranial V superior

Foramen ovate

Kelenjar
parotls

Gambar 30. Anatomi Nervus Glosofaringeus

Neuron sensorik dari N. IX terletak di ganglion glosofaringeus superior dan inferior.


Salah satu fungsi sensorik terpenting adalah fungsi aferen viseral yang membawa
informasi dari badan dan sinus karotis yang terlibat dalam kontrol refleks denyut
jantung, tekanan darah, dan respirasi. Cabang karotis dari nervus glosofaringeus
membawa impuls dari baroreseptor sinus karotis dan kemoreseptor badan karotis
menuju foramen jugularis. Sera but saraf aferen viseral dari membran mukosa faring,
palatum, dan sepertiga posterior lidah melewati ganglion petrosus dan berakhir di

85
Scanned for Compos Mentis
nukleus dan traktus solitarius. Sensori pengecapan berakhir di bagian rostral dari
nukles gustatorik (nukleus solitarius dorsalis).

Pemeriksaan
Pemeriksaan diawali dengan melakukan inspeksi pacta area palatum dan faring. Ketika
terdapat kelemahan faring unilateral, garis tengah palatum dan uvula akan terdeviasi
menjauhi sisi yang mengalami kelemahan dan tertarik menuju sisi yang sehat.

Pemeriksaan klinis yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan sensasi nyeri dan
sentuhan pacta faring, regio tonsil dan palatum mole. Pemeriksaan pengecapan sulit
dan jarang dilakukan. Pemeriksaan motorik juga seringkali sulit untuk dapat menilai
fungsi nervus glosofaringeus karena fungsi motorik nervus ini bekerjasama dengan
nervus vagus kecuali pacta otot stilofaringeus. Satu-satunya defisit motorik yang dapat
terdeteksi adalah asimetri dari lengkung palatal, dimana sisi yang paresis memiliki
lengkung palatal yang lebih rendah.

Pemeriksaan N. IX lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan refleks muntah


(gag reflex) yang dapat dibangkitkan dengan menyentuh dinding faring atau palatum.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menyentuhkan spatula lidah, stik aplikator,
atau alat lain yang serupa ke area orofaring lateral atau salah satu sisi palatum mole
atau uvula. Respons selalu dibandingkan dengan sisi yang berlawanan. Refleks ini
juga dapat dimunculkan dengan menyentuh dasar lidah atau dinding faring posterior.
Komponen aferen refleks ini adalah N. IX, sedangkan komponen eferennya adalah N.
IX dan X. Pusat refleks ini terletak di medula oblongata (Gambar 31).

Respons motorik dari pemeriksaan refleks muntah adalah konstriksi dan elevasi dari
orofaring. Hal ini menyebabkan uvula dan garis tengah palatum akan terangkat dan
terjadi konstriksi faring. Pemeriksa kemudian membandingkan respons motorik pacta
kedua sisi. Ketika terdapat kelemahan faring unilateral, garis tengah palatum dan uvula
akan terdeviasi menjauhi sisi yang mengalami kelemahan dan tertarik menuju sisi yang
sehat. Deviasi ini biasanya akan sangatjelas terlihatsedangkan deviasi minimal dianggap
tidak signifikan secara klinis. Gangguan refleks muntah unilateral menunjukkan adanya
lesi LMN, karena persarafan supranuklearnya bersifat bilateral, sehingga lesi hemisfer
unilateral tidak akan menyebabkan kelumpuhan yang dapat terdeteksi.

86
Scanned for Compos Mentis
lnervasi kortikonuklear normal

ReflekGag

Loop sensorlk

Stimulus
pa latum mole
~ Nukleus
trigerminal spinalis
atau nukleus
traktus solitarius

Loop motorik
Konstriksi
faringeal

Membuka
rahang
( N. Kranial 10

N. Kranial 5
"'""\~
ambiguus

"'"'"
trigerminal
motorik

Dorongan lidah ( Nukleus hipoglossus


N. Kranial 12

Gambar 31. Lengkung Refleks Muntah

Nervus Vagus (N. X)


Pasien dengan kelainan N. X dapat mengalami disfagia (kesulitan menelan), sering
tersedak, ataupun disfonia (suara menjadi sengau atau serak) . Disfagia terutama
untuk zat yang berbentuk cairan. Selain itu pasien juga dapat mengeluhkan sesak
nafas dan mudah Ielah . Hal ini dikarenakan N. X mempersarafi otot faring dan laring.

Anatomi
N. X menjalankan fungsinya bersama dengan N. IX. N. X memiliki 3 inti yaitu nukleus
motorik, sensorik, dan para simpatik (Gambar 32).

87
Scanned for Compos Mentis
Nukleus motorik terletak di medula oblongata dan dibentuk dari nukleus ambigus.
Nukleus ini menerima persarafan kortikobulbar dari kedua hemisfer. Serabut saraf
eferen dari nukleus ini mempersarafi otot konstriktor faring dan otot intrinsik laring.

Nukleus sensorik adalah bagian bawah dari nukleus traktus solitarius. Sensasi
pengecapan akan dihantarkan dari akson perifer menuju ke ganglion inferior N. X,
kemudian menuju ke inti nukleus sensorik. Eferen dari nervus ini menyilang di medula
oblongata, kemudian naik ke kontralateral talamus dan nukleus hipotalamus. Dari
talamus, jaras sensorik ini melalui kapsula interna dan korona radiata dan berakhir
di girus postsentralis. Di lain pihak, sensasi umum masuk ke batang otak melalui
ganglion superior N. X dan berakhir di nukleus spinal N. V.

!/
Nukleus talamik
dan hipotalamik - - - - - - - - Jalur otonom
~ desenden
Dari nervus
glossofarlngeal Nukleus dorsal
(dari sinus ~-- parasimoatetik
karotid) dari nervus vagus

Pedunkula
cerebelar
inferior

Medulla - - Nervus vagus


oblongata

Ganglion superior
Nucleus ollvari darl nervus
Inferior vagus

Ganglion inferior
dari nervus
vagus

Gam bar 32. Anatomi Kontrol Supranuklear dan Inti Nervus Vagus

88
Scanned for Compos Mentis
Nukleus parasimpatik membentuk nukleus dorsal dari N. X dan berada di dasar
dari ventrikel empat, posterolateral dari nukleus hipoglosus. Nukleus ini menerima
aferen dari hipotalamus melalui jaras otonom desendens dan dari N. IX (refleks
sinus karotis ). Eferen dari sera but parasimpatis ini terdistribusi ke otot involunter
di bronkus, jantung, esofagus, lambung, usus besar, usus kecil, hingga sepertiga distal
dari kolon transversum (Gambar 33).

, . . - - - - - - Cabang faringeal

Ganglia sensorik
superior & inferior
dari nervus vagus

f ---11----- - Nervus laringeal


superior
Nervus vagus
kanan ~---- Nervus vagus kirl
Cabang kardiak -....___ _ _ _ Nervus laringeal
intern a
Nervus laringeal
rekuren kanan Nervus laringeal
eksterna

Cabang kardiak

Nervus laringeal
rekuren kiri
Jantung
Pleksus kardiak
Paru kanan Pleksus pulmonaris
anterior
Cabang celiac IJr;;::;;;(;;;_~==:::::=---!._- Pleksus esofageal
dari nervus
vagus kanan
------==-- -- --..._
~t.F.----";----- Pleksus vagus kiri

Liver l'l~':--4-=~- Aorta


Limpa

Pleksus celiac

Gambar 33. Distribusi Eferen Nervus Vagus

Pemeriksaan
Pemeriksaan klinis nervus vagus lain adalah inspeksi posisi palatum dan uvula pacta
saat istirahat dan fonasi. Pemeriksa juga dapat mengobservasi perubahan suara dan
kesulitan dalam menelan terutama menelan cairan. Perlu diperhatikan juga adanya
stridor yang dapat terjadi akibat gangguan persarafan motorik laring.

89
Scanned for Compos Mentis
Pada keadaan istirahat, kelemahan unilateral akan mengakibatkan asimetri palatum,
yang ditandai oleh palatum pada sisi yang lemah akan turun dan lengkung palatum di
sisi yang lemah akan berkurang kelengkungannya. Hal ini diakibatkan oleh kelemahan
otot levator veli palatini dan otot uvula. Pada saat fon asi (pasien diminta mengucapkan
"aaaaah"), rafe medial dan uvula akan terdeviasi ke sisi sehat dan arkus faring pada
sisi yang mengalami kelumpuhan akan tampak lebih turun (Gambar 34).

Pada pemeriksaan refleks muntah, refleks akan hilang pada saat sisi yang mengalami
kelainan distimulasi karena adanya interupsi dari jaras motorik refleks muntah. Pada
keterlibatan nervus vagus bilateral maka palatum tidak dapat elevasi saat fonasi, dan
refleks muntah akan hilang. Kualitas suara pasien akan menjadi sengau mirip dengan
suara penderita sum bing palatum.

Kelemahan
palatum

'Ah'

Uvula terdeviasl karena


tidak ada lawanan terhad ap
aksi otot pada sisi yang lain

Gam bar 34. Kelumpuhan Unilateral N. IX dan X

Nervus Aksesorius (N. XI)


Tidak banyak anamnesis yang dapat digali dari kelainan N. XI. Keluhan yang dapat
ditemukan antara lain gangguan posisi kepala dan posisi bahu, serta kelemahan otot
leher dan bahu.

Anatomi
N. XI merupakan nervus motorikyang dibentuk dari kumpulan radiks nervus kranialis
dan radiks spinalis. Radiks nervus kranialis dibentuk oleh akson-akson dari nukleus
ambigus. Inti N. XI menerima serabut kortikobulbar dari kedua hemisfer serebri.

90
Scanned for Compos Mentis
Serabut eferen dari inti ini keluar dari permukaan anterior medula oblongata di
antara oliva dan pedunkulus serebelar inferior. Sera but saraf N. XI kemudian berjalan
ke arah lateral pada fosa kranii posterior dan bergabung dengan serabut saraf dari
spinal. Keduanya kemudian bersatu dan meninggalkan tengkorak melalui foramen
jugularis. Setelah keluar dari tengkorak, serabut-serabut saraf ini kembali terpisah,
cabang kranial akan bergabung dengan N. X untuk mempersarafi otot palatum, faring
dan laring.

Radiks spinalis dari N. XI berasal dari akson di nukleus spinal yang terletak di anterior
kolumna grisea medula spinalis di 4 segmen servikal teratas. Nukleus spinal ini
menerima serabut kortikobulbar dari kedua hemisfer serebri. Radiks spinalis N. XI
keluar dari medula spinalis di pertengahan antara radiks anterior dan posterior medula
spinalis yang kemudian membentuk trunkus yang berjalan asendens menuju tengkorak
melalui foramen magnum. Serabut saraf ini kemudian berjalan lateral dan bergabung
dengan serabut saraf dari radiks kranialis melewati foramen jugularis. Serabut ini
kemudian kembali berpisah dan berjalan ke lateral bawah dan mempersarafi otot
sternokleidomastoideus dan otot trapezius (Gambar 35).

Svaraf menuju otot


sternokleidomastoideu s

Syaraf menuju - - - - --1


otot trapezl us

Gambar 35. Anatomi Nervus Aksesorius

91
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan
Pada inspeksi pemeriksa harus memperhatikan posisi kepala pasien. Kepala dapat
terjatuh ke depan atau bahkan ke belakang tergantung otot mana yang lebih terlibat,
sternokleidomastoideus atau trapezius. Pemeriksa juga harus secara cermat melakukan
inspeksi dan palpasi m. sternokleidomastoideus dan trapezius untuk menentukan tonus
dan volume otot, kesimetrisan kontur pada saat istirahat dan mendeteksi ada tidaknya
atrofi atau fasikulasi yang menandakan lesi nuklear atau infranuklear.
Untuk menilai kekuatan m. sternokleidomastoideus, pasien diminta untuk
menolehkan kepalanya secara maksimal ke satu sisi, kemudian diberikan tahanan
dan pasien diminta untuk menolehkan kepalanya kembali ke depan. Pada saat
manuver ini dilakukan, kontraksi m. sternokleidomastoideus dapat terlihat dengan
jelas dan dapat dirasakan (Gambar 36). Pemeriksaan m. sternokleidomastoideus
juga dapat dilakukan dengan meminta pasien melakukan fleksi kepala dan pemeriksa
memberikan tahanan pada dahi.
Pada pemeriksaan m. sternokleidomastoideus, saat pasien menolehkan kepala
melawan tahanan dan melakukan manuver fleksi kepala, kontraksi otot menjadi
lemah pada sisi yang mengalami gangguan. Fleksi kepala melawan tahanan akan
mengakibatkan deviasi kepala ke sisi otot yang mengalami kelemahan. Pada
kelemahan m. sternokleidomastoideus bilateral, pasien akan mengalami kesulitan
untuk melakukan anterofleksi leher.
Refleks sternokleidomastoideus dapat dimunculkan dengan mengetuk
m.sternokleidomastoideus pada daerah origonya di klavikula. Refleks yang
ditimbulkan berupa kontraksi m. sternokleidomastoideus. Refleks ini dimediasi
oleh N. XI dan nervus servikalis superior.

Scanned for Compos Mentis


Gam bar 36. Teknik Pemeriksaan Kekuatan Otot Sternokleidomastoideus

Pemeriksaan m. trapezius diawali dengan inspeksi kontur otot dan posisi bahu.
Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan meminta pasien mengangkat
bahu dan melawan tahanan yang diberikan pemeriksa (Gambar 37). Pada manuver
ini sebenarnya m. levator skapula yang lebih b ~myak berperan. Pemeriksaan
m.trapezius medial dan inferior dapat dilakukan dengan meminta pasien melakukan
abduksi lengan hingga posisi lengan horizontal dengan telapak tangan menghadap
ke atas kemudian pasien diminta untuk mendorong siku ke arah depan. Kekuatan
motorik harus selalu dibandingkan pada kedua sisi.

Gam bar 37. PemeriksaanOtot Trapezius

93
Scanned for Compos Mentis
Pada pemeriksaan nervus trapezius, atrofi m. trapezius dapat dilihat dengan adanya
depresi atau penurunan kontur bahu dan m. trapezius yang menjadi datar. Kelemahan
m. trapezius yang berat dapat menyebabkan bahu dan skapula menjadi turun dan
bagian atas skapula akan jatuh ke arah lateral dan bagian inferior akan ke arah medial.
Perubahan kedudukan skapula ini lebih jelas terlihat pada abduksi lengan. Pada
pemeriksaan kekuatan motorik, sisi yang mengalami kelainan akan menghasilkan
kontrasi otot yang lebih lemah.

Nervus Hipoglosus (N. XII)


Pasien dengan kelumpuhan N. XII akan mengeluhkan bicara pelojgangguan artikulasi
dalam berbicara dan kesulitan dalam memanipulasi makanan di dalam mulut. Pada
keadaan tertentu pasien juga dapat datang dengan keluhan kesulitan menelan dan
gangguan pernafasan akibat obstruksi dari lidah yang paresis. Selain keluhan diatas
pemeriksa juga perlu menanyakan onset dari keluhan, pola keluhan, dan gejala lain
yang menyertai untuk dapat membantu menentukan etiologi atau jenis kelainan yang
diderita oleh pasien.

Anatomi
N. XII merupakan sarafmotorikyang mempersarafi semua otot-otot intrinsik lidah dan
juga m. stiloglosus, hioglosus, dan genioglosus. Inti N. XII terletak dekat dengan garis
tengah dari medula oblongata tepat dibawah ventrikel empat. Inti N. XII menerima
persarafan dari kedua hemisfer serebri, tetapi otot genioglosus hanya menerima
dari hemisfer kontralateral. Serabut saraf N. XII kemudian akan keluar dari anterior
medula oblongata dan berjalan di antara oliva dan piramid. Saraf ini kemudian
melewati fosa kranii posterior dan keluar dari tengkorak melalui kanalis hipoglosus.
N. XII kemudian berjalan ke bawah diantara arteri karotis interna dan vena jugularis
interna hingga batas bawah dari otot digastrikus posterior dan kemudian bercabang
mempersarafi otot lidah (Gambar 38).

Scanned for Compos Mentis


Nervus linqualls

Otot s111Qglossus

Otot hioglo:ssus

Otot genlogl08$US

sarar k.e
OtO! QeniOgiOSSUS

Sarilf ke
otot llrohioid

Gam bar 38. Anatomi Nervus Hipoglossus

Pemeriksaan
Pemeriksaan klinis untuk menilai fungsi N. XII meliputi inspeksi bentuk lidah dan
evaluasi kekuatan lidah. Pemeriksa harus memperhatikan ada tidaknya atrofi papil,
gerakan abnormal seperti fasikulasi, dan ada tidaknya kelemahan atau gangguan
dalam melakukan gerakan cepat.
Teknik pemeriksaan diawali dengan inspeksi posisi dan bentuk lidah pad a saat istirahat
di dalam mulut maupun saat pasien diminta menjulurkan lidahnya, menggerakan
lidah keluar masuk rongga mulut, menggerakkan lidah dari sisi ke sisi, ke atas dan ke
bawah baik secara perlahan maupun secara cepat. Kekuatan motorik otot lidah dapat
diperiksa dengan meminta pasien menekan dinding dalam pi pi dengan menggunakan
ujung lidah, melawan tekanan yang diberikan pemeriksa dari sisi luar pipi dengan

95
Scanned for Compos Mentis
jari atau spatula lidah. Pemeriksa harus membandingkan kekuatan lidah di kedua sisi
dengan memeriksa kedua sisi secara bergantian.
Pada keadaan normal, lidah terletak di tengah rongga mulut dan cukup kuat me nahan
tekanan dari luar pipi. Jika terdapat kelemahan unilateral, pada saat lidah berada di
dalam mulut, lidah akan terdeviasi ke sisi yang sehat karena kerja m. stiloglosus pada
sisi yang sehat. Pada saat dijulurkan, lidah akan terdeviasi ke sisi yang lemah karena
kerja m. genioglosus sisi sehat.
Pada pemeriksaan motorik, adanya kelemahan unilateral mengakibatkan
ketidakmampuan lidah untuk melakukan deviasi ke sisi sehat pada saat terjulur. Hal ini
mengakibatkan pasien tidak dapat mendorong lidah ke arab dinding pipi sisi yang sehat.
Pasien dengan kelemahan juga akan kesulitan dalam melakukan gerakan lidah dengan
cepat. Pada kelemahan bilateral, lidah akan sulit dijulurkan atau tidak dapat dijulurkan
sama sekali.
Kelemahan otot wajah atau deviasi rahang seringkali mempersulit pemeriksa dalam
mengevaluasi deviasi lidah. Pada pasien dengan kelemahan otot wajah bagian
bawah yang signifikan, seringkali terjadi distorsi wajah yang dapat mengakibatkan
kesan deviasi lidah yang sebenarnya tidak ada. Lidah yang dijulurkan akan tampak
terdeviasi ke sisi wajah yang lemah karena kurangnya mobilitas dari sudut bibir di sisi
tersebut yang memberikan kesan lidah terdeviasi ke sisi tersebut. Manuver dengan
cara menarik sisi wajah yang mengalami kelemahan secara manual hingga wajah
tampak simetris dapat membantu dalam menilai deviasi lidah pada kasus ini.
Kelemahan N. XII tipe perifer akan terjadi apabila terdapat lesi di sepanjang perjalanan
nervus hipoglosus dari inti nervus di medula oblongata hingga organ efektor yaitu otot
lidah. Pada inspeksi lidah, akan ditemukan atrofi papil dimana lidah tampak berkerut
dan lebih kecil. Atrofi lidah unilateral juga dapat dikonfirmasi dengan palpasi lidah.
Pada atrofi yang berat, lidah tidak dapat dijulurkan (glosoplegia). Pada lesi perifer,
atrofi lidah seringkali disertai dengan fasikulasi dan atau tremor terutama saat lidah
dijulurkan. Tremor akan hilang pada saat kondisi lidah istirahat sedangkan fasikulasi
akan menetap. Gerakan involunter lain seperti distonia, khorea, tik, spasme, dan atetosis
juga dapat ditemukan dalam frekuensi yang lebih jarang (Gambar 39).

Scanned for Compos Mentis


A 8 c

Atrofi

Gam bar 39. A Paresis N. XII tipe sentral saat lidah berada di dalam mulut. B. Paresis
N. XII tipe sentral saat lidah terjulur. C. Paresis N. XII tipe perifer.

Daftar Pustaka
1. Snell RS. Snell's clinical neuroanatomy. Edisi ke-7. Lippincott Williams & Wilkins; 2001.
2. Campbel WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke -6. Lippincott William &
Wilkins; 2005.
3. Fuller G. Neurological examination made easy. Edisi ke-3. Churchill Livingstone; 2004.
4. Biller J, Gruener G, Brazis PW. DeMyer's the neurologic examination: a programmed text.
Edisi ke-7. McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2016.
5. Hain TC. Cranial nerve VJII : vestibulocochlear system. Textbook of Clinical Neurology.
Edisi ke-3. Elsevi~r Inc; 2007.
6. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai
Penerbit FKUI; 2006.

97
Scanned for Compos Mentis
PEMERIKSAAN MOTORIK

Salim Harris, Riwanti Estiasari, Ratih Vierda Octaviani


Chairil Amin Batubara

Sistem motorik pada manusia mengendalikan suatu sistem neuromuskular


yang kompleks. Sistem motorik mencakup area kortikal dan subkortikal, traktus
desendens (kortikobulbar, kortikospinal, kortikopontin, rubrospinal, retikulospinal,
vestibulospinal, dan tektospinal), substansia grisea dari medula spinalis, saraf eferen,
serebelum serta ganglia basal. Sis tern motorik juga dipengaruhi oleh urn pan balik dari
sistem sensorik dan saraf aferen sere bel urn.

Korteks
motoriK

Ganglia basal Serebelum

Talamus

NuKieus Rubra

Pons

NuKJeus
vestibularis
TraKtus
KortiKospinal
lateralis TraKtus
vestibulospinal

Tral<tus
rubrospinal

Medula spinalis

Gambar 1. Koneksi pada Sistem Motorik

98
Scanned for Compos Mentis
Anatomi
Pusat motorik terletak di korteks motorik pada girus presentral. Pada area premotor
dan korteks suplemen motorik, gerakan direncanakan dan dipersiapkan untuk
selanjutnya diteruskan menjadi gerakan volunter oleh girus presentral. Korteks
motorik primer juga menerima input dari sistem ekstrapiramidal dan serebelum.
Keduanya berkontribusi dalam menghaluskan gerakan (Gambar 1).

Serabut saraf meninggalkan korteks motorik sebagai jaras kortikospinal. Serabut ini
turun melalui korona radiata menuju kornu posterior kapsula interna. Selanjutnya
serabut motorik akan memasuki pedunkulus serebri yang membentuk basis dari
medula oblongata. Traktus kortikobulbar akan berakhir di bagian bawah midbrain atau
struktur lainnya pada inti-intinya. Serabut saraf traktus kortikospinal akan bergerak
turun dari pedunkulus dalam sebuah bendel yang kompak membentuk struktur
yang dikenal sebagai piramis di medula oblongata (Gambar 2). Pada bagian kaudal
medula, 90% serabut traktus kortikopsinal akan berdekusasio ke sisi kontralateral dan
meneruskan perjalanannya menuju ke medula spinalis sebagai traktus kortikospinal
lateralis. Sisanya (10%) akan berjalan ipsilateral sebagai traktus kortikospinal anterior.

Lutut
Panggul (hlp)
Ba1ang lubuh
(trunk) ---~.-,,

Tangan
Wajah
Udah

Kapsula
in1erna
Ganglia
basel
...

~ MIDBRAIN

T1aktus
kO<tlkobulbar ------1\ \ --------
5
~~~~k~ spinal

Traktus
kortlkosplnal -------~_..JAY ~~
J~ ~;.~;pinal
KORDA
SPINAUS
lateral

antMor

Gambar 2. Jaras Kortikospinal

99
Scanned for Compos Mentis
Dari medula spinalis, serabut motorik akan keluar melalui kornu anterior di bagian
ventral medula spinalis sebagai radiks saraf. Radiks-radiks ini akan bergabung
menjadi pleksus dan meneruskan diri sebagai saraf perifer. Sistem motorik akan
berakhir di otot sebagai eksekutor sebuah gerakan. Sebelum mencapai otot, sinyal
motorik terlebih dahulu melewati taut saraf otot. Komponen ini (dari kornu anterior
hingga otot) dikenal sebagai motor unit (Gambar 3). Gangguan sistem motorik dari
korteks serebri sampai dengan kornu anterior akan menyebabkan kelumpuhan
dengan tipe upper motor neuron (UMN). Sedangkan lesi setelah kornu anterior hingga
ke otot akan menimbulkan kelumpuhan tipe lower motor neuron (LMN).

Gangguan sistem motorik yang terbanyak dijumpai dalam praktek sehari-hari


adalah kelemahan atau paresis. Pola kelemahan ini sesuai dengan area yang
terganggu. Kelemahan pacta salah satu sisi tubuh atau disebut dengan hemiparesis
menggambarkan adanya lesi di kontralateral hemisfer. Kelemahan hanya pacta satu
ekstremitas disebut dengan monoparesis. Monoparesis dapat berupa kelumpuhan
UMN maupun LMN. Lesi pacta korteks motorik yang hanya melibatkan area lengan
dapat menimbulkan monoparesis dengan tipe UMN. Lesi pacta saraf perifer yang
melibatkan salah satu ekstremitas, contoh neuropati N. Radialis, dapat menyebabkan
monoparesis dengan tipe LMN. Kelemahan yang terjadi pada kedua tungkai disebut
dengan paraparesis, sedangkan jika melibatkan keempat ekstremitas disebut
tetraparesis atau kuadriparesis. Seperti halnya monoparesis, paraparesis dan
tetraparesis dapat berupa kelumpuhan UMN maupun LMN (Tabell).

Tabell. Perbedaan Gambaran Klinis Lesi UMN dan LMN


Komponen Upper Motor Neuron Lower Motor Neuron
Distribusi kortikospinal, hemipa-
Generalisata, dominan proksimal,
Distribusi kelemahan resis, kuadriparesis, paraparesis,
dominan distal, atau fokal
monoparesis, fasiobrakial
Distribusi gangguan Sesuai pola glove-stocking, saraf peri-
Sesuai pola sentral
sensorik fer, distribusi radiks, atau tidak ada
Meningkat (dapat menurun saat
Refleks tendon dalam Normal atau menurun
onset hiperakut)
Refleks superfisial Menurun Normal
Refleks patologis Ada Tidak ada
Fungsi sfingter Dapat terganggu Normal (kecuali lesi kauda ekuina)
Tonus otot Meningkat Normal atau menurun
Tanda sistem sarafpusat lain Mungkin ditemui Tidak ada

100
Scanned for Compos Mentis
Manifestasi klinis lainnya dari gangguan sistem motorik dapat berupa gangguan
berjalan, atrofi otot, hipertonus atau hipotonus juga gangguan gerak.

Untuk dapat melakukan pemeriksaan motorik dengan terarah diperlukan anamnesis


yang baik sehingga mendapatkan gambaran riwayat pola gangguan motorik yang
dialami pasien. Perkembangan gangguan motorik serta gejala penyertanya juga
merupakan informasi yang bermanfaat untuk memulai pemeriksaan motorik.

Pemeriksaan fungsi motorik terdiri atas penilaian kekuatan otot, pemeriksaan tonus
otot, dan juga observasi gangguan gerak. Pemeriksaan koordinasi dan gait, yang
menggambarkan fungsi serebelum, juga berhubungan dengan pemeriksaan fungsi
motorik. Proses yang terjadi pada koordinasi, postur dan gait lebih kompleks dan
melibatkan lebih banyak struktur di luar fungsi motorik, maka biasanya diperiksa
tersendiri.

Pemeriksaan Trofi Otot


Pada gangguan sistem motorik dapat terjadi perubahan trofi otot baik berupa atrofi
(hipotrofi) maupun hipertrofi otot. Pada atrofi otot volume otot berkurang dan
umumnya disertai dengan perubahan bentuk dan kontur otot. Atrofi otot dapat
ditemui pada lesi di kornu anterio1~ radiks, saraf perifer ataupun otot. Penyakit
taut saraf otot tidak mengakibatkan atrofi otot. Atrofi juga dapat diakibatkan oleh
imobilisasi (disuse atrophy), malnutrisi, penyakit endokrin (diabetes, hiperparatiroid,
dan lain-lain), serta proses penuaan.

Sedangkan hipertrofi otot adalah kondisi meningkatnya ukuran atau volume otot. Hal
ini bisa terjadi pada penggunaan otot yang berlebihan (fisiologis) ataupun karena
kondisi patologis. Kontraksi otot yang persisten dapat mengakibatkan hipertrofi.
Contohnya pada pasien distonia servikal, otot sternokleidomastoideus yang aktif
berkontraksi seringkali menjadi hipertrofi.

Bentuk lain dari perubahan trofi otot adalah pseudohipertrofi. Pada kondisi ini juga
terjadi peningkatan ukuran otot karena infiltrasi lemak namun sebenarnya tidak
terdapat penambahan ukuran ataupun jumlah serabut otot. Pseudohipertrofi dapat
dijumpai pada distrofi muskular terutama distrofi muskular Duchenne.

101
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan trofi ototdilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi dan pengukuran.
Inspeksi dilakukan dengan membandingkan kedua sisi tubuh. Perhatikan otot
wajah, bahu, juga ekstremitas. Pemeriksa meminta pasien untuk menjulurkan
kedua lengannya dengan posisi supinasi dan merapatkan kedua lengannya tersebut.
Perhatikan otot-o~ot kedua lengan tersebut dari tangan hingga ke bahu. Perhatikan
bagian palmar pada otot tenar, hipotenar dan interoseus. Otot normal akan teraba
kenyal dan kembali ke bentuk semula setelah ditekan. Otot yang hipertrofi akan teraba
lebih keras. Sedangkan pada pseudohipertrofi otot tampak membesar namun teraba
lembek. Untuk mengetahui atrofi otot terkadang diperlukan pengukuran dengan pita
ukur, terutama hila atrofi otot antar kedua sisi tidak terlalu berbeda. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan patokan yang sama pada sisi kanan dan kiri. Misalnya
untuk memeriksa atrofi otot lengan bawah, diukur 4cm di bawah olekranon kanan
dan kiri. Ekstremitas yang diukur harus berada pada posisi yang sama dan rileks.

Pemeriksaan Tonus Otot


Tonus otot adalah ketegangan otot pada saat rileks atau resistensi otot pada gerakan
pasif. Tonus otot pada kondisi istirahat ditentukan oleh impuls pada motor neuron y
di medula spinalis. Gamma motor neuron akan mengirimkan sinyalnya ke serabut
intrafusal dari gelendong otot. Gamma motor neuron di medula spinalis sendiri juga
dipengaruhi oleh impuls dari korteks motorik (Gam bar 4). Untuk memeriksa tonus otot,
pasien harus dalam kondisi rileks dan kooperatif. Pemeriksaan tonus otot bukanlah
pemeriksaan yang mudah dilakukan dan sangat bersifat subjektif. Pengalaman klinis
sangat menentukan kemampuan seseorang dalam menilai tonus otot.

Kumparan otot nuclear bag


Input
dengan akhlran annulospinal
sentral
(annulosp/nal-endong)
Traktus
plramidalis

Gambar 3. Motor Unit Gamba r 4. lmpuls Motor Ne uron y di Medula Spinalis

102
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan dimulai dengan melakukan palpasi pada otot. Perlu diingat bahwa
beberapa kondisi dapat memengaruhi penilaian tonus otot misalnya edema, spastisitas
karena nyeri dan pseudohipertrofi. Yang terpenting dari pemeriksaan tonus otot adalah
menentukan tahanan otot dengan gerakan pasif. Perhatikan juga fleksibilitas dan
rentang gerak. Gerakan pasif dilakukan dengan lam bat hingga cepat juga pada rentang
gerak parsial hingga maksimal. Pemeriksaan harus dilakukan pada kedua sisi.
Beberapa manuver pemeriksaan tonus yaitu:
I. Arm-Dropping Test
Lengan atas pasien difleksikan hingga lengan sejajar bahu. Kemudian lengan
dijatuhkan dan dibiarkan berayun. Pada keadaan spastik, akan terlihat gerakan
jatuh yang tertunda yang menyebabkan lengan seolah tertahan di udara. Pada
keadaan hipotonus, lengan tersebut jatuh lebih mendadak daripada normal.
Manuver yang sama juga dapat dilakukan pada tungkai.
II. Wartenberg Pendulum Test (Tes Pendulum Tungkai)
Pasien diminta duduk di tepi meja atau tempat tidur dengan tungkai rileks dan
terjuntai. Pemeriksa mengekstensikan kedua tungkai pasien dengan tinggi yang
sama kemudian melepaskannya atau dengan mendorong kedua tungkai yang
terjuntai tersebut ke belakang dengan tekanan yang setara. Pada kondisi normal
umumnya tungkai akan berayun-ayun dan lama kelamaan akan berhenti setelah
6 sampai 7 osilasi. Pada otot yang hipotonia, osilasi akan berlangung lebih lama.
Sebaliknya pada otot dengan rigiditas, ayunan tungkai akan menurun.
Selanjutnya pemeriksaan tonus otot dilanjutkan dengan melakukan gerakan
pasif pada ekstremitas dengan kecepatan yang lambat hingga cepat. Gerakan
pasif dilakukan pada kedua sisi pada beberapa persendian (Gam bar 5). Beberapa
abnormalitas yang dapat dijumpai yaitu:
A. Hipertonus. Secara luas dikenal 2 macam hipertonus yaitu spastisitas
dan rigiditas. Jenis hipertonus lainnya yang lebih jarang adalah paratonia
(Gegenhalten ).
• Spastisitas adalah resistensi atau tahanan yang diikuti dengan
kelenturan pada ekstremitas pasien yang digerakkan dengan cepat dan
secara pas if oleh pemeriksa. Pemeriksa akan merasakan tahanan seperti
pada saat menutup pisau lipat (clasp-knife spasticity). Fenomena pisau
lipat ini mengindikasikan adanya gangguan pada traktus piramidal.

Scanned for Compos Mentis


Gam bar 5. Pemeriksaan Tonus Tungkai Bawah

• Rigiditas adalah meningkatnya resistensi otot yang dirasakan pacta


seluruh rentang gerak ketika pemeriksa menggerakkan persendian
pasien secara perlahan. Resistensi otot dapat diumpamakan seperti
saat menekuk pipa timah (lead-pipe rigidity). Rigiditas pipa timah ini
mengindikasikan adanya lesi pacta sistem ekstrapiramidal. Bentuk
rigiditas lainnya adalah fenomena rod a gigi (cogwheel phenomenon).
Pemeriksa akan merasakan tahanan seperti roda gigi sepanjang rentang
gerak. Untuk memperjelas peningkatan tonus otot selama pemeriksaan,
pemeriksa dapat meminta pasien untuk melakukan gerakan aktif
lainnya. Contohnya pasien diminta menggelengkan kepala ke kiri dan ke
kanan selama pemeriksa memeriksa lengannya (Froment's maneuver).
• Paratonia (Gegenhalten) adalah resistensi otot pasien pacta saat
digerakkan secara pasif oleh pemeriksa yang setara baik kekuatan
maupun rentangnya dengan usaha pemeriksa. Semakin kuat pemeriksa
menariknya, semakin kuat tahanan yang dirasakan. Paratonia dapat
dijumpai pacta demensia atau pacta orang normal yang tidak dapat
merilekskan ototnya saat pemeriksaan tonus (paratonia-like resistance).

A. Hipotonus. Pacta hipotonus resistensi otot yang dirasakan oleh pemeriksa


berkurang pacta saat pemeriksa menggerakkan sendi pasien secara pasif.
Hipotonus dapat diakibatkan oleh lesi di susunan saraf perifer maupun
saraf pus at.

• Hipotonus akibat lesi di susunan saraf perifer (flaksid). Lesi di susunan


saraf perifer yang mengakibatkan impuls dari kornu anterior tidak
dapat mencapai otot akan mengakibatkan hipotonus.

104
Scanned for Compos Mentis
• Hipotonus akibat lesi di susunan saraf pusat. Salah satunya bisa
disebabkan karena lesi di serebelum. Pada lesi di serebelum hipotonus
tidak disertai dengan kelemahan. Selain itu lesi pada serabut aferen
gelendong otot juga dapat mengakibatkan hipotonus seperti pada tabes
dorsalis di mana terjadi kerusakan pada kolumna dorsalis dan radiks
posterior. Hipotonus juga dapat ditemukan pada fase syok spinal (spinal
shock) dari lesi UMN.

Pemeriksaan Kekuatan Motorik


Kelemahan atau paresis merupakan abnormalitas neurologis yang banyak ditemukan
dan seringkali memiliki pola tertentu yang dapat menggambarkan letak lesinya.
Pada prinsipnya pemeriksaan kekuatan motorik dilakukan dengan membandingkan
kekuatan antar otot termasuk dengan kekuatan otot pemeriksa. Pendekatan ini
disesuaikan dengan riwayat penyakit yang didapat pada saat anamnesis. Pada kasus
dengan kecurigaan lesi di korteks serebri maka sangatlah penting membandingkan
kekuatan otot homolog pada kedua sisi. Akan tetapi pada kasus lain misalkan
polimiositis, akan lebih bermanfaat apabila membandingkan kekuatan antara
otot distal dan proksimal. Demikian pula pada lesi di medula spinalis, apabila dari
anamnesis didapatkan kecurigaan lesi di daerah torakal, maka pemeriksaan kekuatan
motorik dilakukan dengan membandingkan kekuatan ekstremitas bawah dan atas.
Sebelum melakukan pemeriksaan kekuatan motorik, perhatikan kondisi fisik lainnya
yang dapat memengaruhi kekuatan motorik. Nyeri, edema, dislokasi, fraktur, otot yang
kontraktur, ankilosing sendi, histeria, malingering dan katatonia dapat memengaruhi
hasil pemeriksaan kekuatan motorik.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, pemeriksaan kekuatan motorik dilakukan
dengan memperhatikan gerakan spontan, posisi ekstremitas dan respons terhadap
rangsang nyeri. Pada pasien dengan hemiparesis dan kelumpuhan nervus fasialis,
rangsang nyeri akan membangkitkan gerakan pada satu sisi. Pemeriksaan juga dapat
dilakukan dengan memposisikan kedua tungkai pasien fleksi pada sendi lutut dengan
tumit tetap pada tempat tidur kemudian kedua tungkai pasien dilepaskan. Tungkai
yang mengalami paresis akan turun lebih cepat dan cenderung eksorotasi.
Kekuatan motorik diukur secara kuantitatif menggunakan skala Medical Research
Council (MRC) yang dikeluarkan di Inggris pada saat perang dunia ke II (Tabel 2).

Scanned for Compos Mentis


Tabel 2. Kekuatan Motorik berdasarkan Skala dari British Medical Research Council
0 Tidak ada kontraksi
1 Kontraksi minimal (sekejap) tetapi tidak mampu menggerakkan persendian
2 Mampu bergerak tetapi tidak mampu melawan gaya gravitasi
3 Mampu melawan gaya gravitasi tetapi tidak mampu melawan tahanan
4- Mampu melawan gaya gravitasi dan melawan tahanan ringan
4 Mampu melawan gaya gravitasi dan melawan tahanan sedang
4+ Mampu melawan gaya gravitasi dan melawan tahanan kuat
5 Kekuatan normal

Secara urn urn pemeriksaan kekuatan motorik dilakukan dengan memeriksa otot pada
area sendi bahu, siku, pergelangan tangan dan jari-jari tangan untuk ekstremitas
atas. Sedangkan untuk ekstremitas bawah dilakukan pada otot sendi panggul, lutut,
pergelangan kaki, dan jari-jari kaki.

Pemeriksaan Kekuatan Otot Ekstremitas Atas


Pemeriksaan kekuatan otot pada sendi bahu dilakukan dengan meminta pasien
melakukan gerakan abduksi lengan atas hingga setinggi bahu dan pemeriksa
memberikan tahanan dengan mendorong ke bawah (Gam bar 6). Gerakan ini terutama
menilai kekuatan otot deltoid yang dipersarafi oleh radiks CS dan C6. Pemeriksaan
juga dilakukan pada arah sebaliknya untuk menilai kekuatan aduksi lengan atas.

Gam bar 6. Pemeriksaan Kekuatan Otot pacta Sendi Bahu

Penilaian kekuatan otot pada sendi siku dilakukan dengan meminta pasien
memfleksikan sendi sikunya dan melakukan gerakan aduksi. Pemeriksa
memberikan tahanan dengan menarik pergelangan tangan pasien. Pemeriksaan

106
Scanned for Compos Mentis
ini menilai kekuatan otot bisep yang dipersarafi oleh radiks CS-C6 melalui nervus
muskulokutaneus (Gam bar 7a). Pemeriksaan juga dilakukan dengan arah sebaliknya
dengan meminta pasien mengekstensikan lengannya pada sendi siku dan pemeriksa
menahannya (Gambar 7b). Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot trisep yang
dipersarafi oleh radiks C6, C7, dan CB melalui nervus radialis.

a b
Gambar 7. Pemeriksaan Kekuatan Otot pada Sendi Siku: (a) Otot Bisep dan (b) Trisep

Penilaian kekuatan otot sendi pergelangan tangan dilakukan dengan meminta pasien
mengepal dan mengekstensikan tangannya. Pemeriksa memberikan tahanan pada
kepalan tangan pasien. Gerakan fleksi pada pergelangan tangan terutama diperankan
oleh otot ekstensor karpi radialis longus (C6-C7), ekstensor karpi radialis brevis, dan
ekstensor karpi ulnaris (C7-C8) (Gambar Ba). Pemeriksaan juga dilakukan untuk
menilai kekuatan fleksi pergelangan tangan. Pada pemeriksaan fleksi pergelangan
tangan otot yang dinilai adalah otot fleksor karpi radialis (C6-C7) dan fleksor karpi
ulnaris (C7-T1) (Gambar Sb).

107
Scanned for Compos Mentis
a b
Gambar 8. Pemeriksaan Kekuatan Otot Sendi Pergelangan Tangan: (a) Ekstensi dan (b) Fleksi

Pemeriksaan kekuatan jari tangan merupakan pemeriksaan yang sulit karen a susunan
otot dan persarafannya yang kompleks. Pemeriksaan dilakukan dengan meminta
pasien mengekstensikan jari-jari tangannya dan pemeriksa memberikan tahanan
dari arah sebaliknya. Pemeriksaan kekuatan jari juga dapat dilakukan dengan menilai
kekuatan genggaman tangan. Pasien diminta menggenggam jari telunjuk dan jari
tengah pasien dengan sekuat mungkin. Pemeriksa kemudian menarik jarinya dengan
kekuatan yang bertumpu pada ibu jari (Gambar 9).

Gambar 9. Pemeriksaan Kekuatan Jari Tangan

108
Scanned for Compos Mentis
Rangkuman pemeriksaan kekuatan motorik ekstremitas atas dapat dilihat pada Tabel3.
Tabel 3. Pemeriksaan Kekuatan Otot Ekstremitas Atas
Area Sendi Otot Saraf Pemeriksaan
Abduksi lengan atas setinggi bahu
Bahu Deltoid Radiks CS dan C6 Adduksi lengan atas (ara h
sebaliknya)
Radiks CS dan C6 melalui Fleksi sendi siku dan gerakan
Bisep
nervus muskulokutaneus adduksi
Siku
Radiks C6, C7, CB melalui Ekstensi sendi siku (arah
Trisep
nervus radial is sebaliknya)

Fleksor karpi rad ialis Radiks C6-C7 Mengepal dan memfleksikan


pergelangan tangan
Pergelangan
tangan
Ekstensor karpi radialis Radiks C6-C7 Mengepal dan mengekstensikan
( dorsofleksi) pergelangan tangan
Ekstensor karpi ulna ris Radiks C7-C8

Pemeriksaan Kekuatan Otot Ekstremitas Bawah


Pada pemeriksaan kekuatan otot sendi panggul, pasien diminta untuk memfleksikan
tungkainya pada sendi panggul dan pemeriksa memberikan tahanan dari arah yang
berlawanan (Gambar lOa). Fleksi sendi panggul terutama diperankan oleh otot
iliopsoas. Otot iliopsoas terdiri atas otot psoas (L1-L4) dan ilialms (L2-L4). Sedangkan
ekstensi pada sendi panggul diperankan oleh otot gluteus maksimus (LS-S2).
Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien mengekstensikan tungkai atasnya
pada sendi panggul dan pemeriksa memberikan tahanan (Gambar lOb). Pemeriksaan
juga dapat dilakukan dengan posisi pasien pronasi.

a
Gam bar 10. Pemeriksaan Kekuatan Otot Sendi Panggul dengan Memberi Tahanan
(a) ke Bawah dan (b) ke Atas

109
Scanned for Compos Mentis
Penilaian kekuatan sendi lutut dilakukan dengan menilai kemampuan fleksi dan
ekstensi. Fleksi sendi lutut merupakan hasil kontraksi otot hamstring (bisep femoris,
semimembranosus, semitendinosus) (LS, Sl-S2). Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan pasien pada posisi berbaring supinasi, pronasi maupun duduk. Tungkai
pasien diposisikan semifleksi dan pemeriksa berusaha mengekstensikannya dengan
menarik pergelangan kaki pasien (Gambar lla). Otot-otot fleksi lutut ini sangat kuat
sehingga cukup sulit untuk mengekstensikannya pada kekuatan normal.

Otot ekstensi lutut yang paling utama adalah kuadriseps femoris (L2-L4). Otot ini
tersusun atas 4 otot besa1~ yaitu rektus femoris, vastus lateralis, vastus medialis dan
vastus intermedius. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pasien pada posisi berbaring
supinasi ataupun duduk. Pasien diminta mengekstensikan sendi lututnya dan pemeriksa
memberikan tahanan (Gambar llb). Otot ekstensi lutut ini pada kondisi normal juga
sangat kuat.

a b
Gambar 11. Pemeriksaan Kekuatan Otot Sendi Lutut Dengan Menilai Kekuatan (a)
Fleksi dan (b) Ekstensi

Pemeriksaan kekuatan otot pergelangan kaki dapat dilakukan dengan gerakan


plantarfleksi dan dorsofleksi. Plantarfleksi terutama digerakkan oleh otot
gastroknemius dan soleus (Sl-S2). Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien
melakukan gerakan plantarfleksi dan pemeriksa memberikan tahanan (Gambar
12a). Dorsofleksi pergelangan kaki terutama diperankan oleh otot tibialis anterior
(L4-LS) (Gambar 12b).

110
Scanned for Compos Mentis
a
Gambar 12. Pemeriksaan Kelmatan Otot Sendi Pergelangan Kaki : (a) Plantarfleksi; (b) Dorsofleksi

Rangkuman pemeriksaan kekuatan motorik ekstremitas bawah dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pemeriksaan Kekuatan Otot Ekstremitas Bawah


Area Sendi Otot Saraf Pemeriksaan
Iliakus (L2-L4)
Iliopsoas Memfleksikan tungkai pada sendi panggul
Panggul Psoas (L1-L4)
Gluteus maksimus LS-S2 Mengekstensikan tungkai pada sendi panggul
Hamstring LS, S1-S2 Fleksi sendi lutut
Lutut
Kuadriseps femoris L2-L4 Ekstensi sendi lutut
Tibialis anterior L4-LS Dorsofleksi sendi pergelangan kaki
Pergelangan
kaki Gastroknemius dan
S1-S2 Plantarfleksi sendi pergelangan kaki
soleus

Pada kasus kelemahan ringan, paresis tidak selalu dapat terdeteksi dengan teknik
pemeriksaan di atas. Untuk itu diperlukan manuver lainnya seperti pronator drift
(Barre's sign). Pasien diminta menjulurkan kedua lengannya ke depan dengan posisi
tangan supinasi dan mata tertutup. Perhatikan selama 20 -30 detik (Gambar 13).
Apabila terdapat gangguan pada jaras kortikospinal maka salah satu lengan akan
mengalami penyimpangan dan cenderung pronasi.

Manuver lainnya adalah dengan melakukan knee-dropping test. Pasien berada dalam
posisi supinasi kemudian tungkai difleksikan pada sendi panggul dan lutut dengan
lutut membentuk sudut 45° serta telapak kaki tetap menempel di tempat tidur. Kedua
tungkai kemudian dilepaskan. Tungkai yang mengalami kelemahan akan turun lebih
cepat, lutut akan ekstensi dan eksorotasi.

111
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi hemiparesis ringan adalah
dengan manuver arm-roll. Pasien diminta untuk mengepalkan kedua tangannya,
mengangkat lengan bawah horizontal setinggi dada dengan posisi salah satu lengan
lebih tinggi. Selanjutnya pasien diminta untuk membuat gerakan berputar dengan
kedua lengannya sehingga kedua kepalan tangan akan saling mengitari. Apabila
terdapat kelemahan di salah satu lengan, maka lengan yang lemah akan cenderung
berputar lebih lamb at a tau tidak bergerak sedangkan sisi yang sehat terlihat bergerak
mengitari sisi yang lemah.

Gambar 13. Manuver Pronator Drift (Barre's Sign)

Pemeriksaan Refleks Tendon Dalam atau Muscle Stretch Reflex


Pemeriksaan refleks tendon dalam (RTD) merupakan bagian yang penting dan tidak
dapat dipisahkan dari pemeriksaan motorik. Pemeriksaan ini akan sangat membantu
menentukan jenis kelumpuhan. Pada lesi UMN, RTD umumnya akan meningkat dan
dapat disertai dengan adanya refleks patologis.

Refleks tendon dalam pada orang normal dapat sangat bervariasi. Pada individu
tertentu RTD sangat mudah dibangkitkan namun pada individu lain reaksi RTD sangat
lambat dan minimal. Umumnya pacta orang normal respons RTD pacta kedua sisi
setara. Memastikan kembali riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan lainnya sangat
penting sebelum memutuskan bahwa refleks terse but abnormal.

Untuk dapat melakukan pemeriksaan RTD dengan baik diperlukan latihan dengan teknik
yang benar. Selain itu jenis palu refleks juga ikut menentukan hasil pemeriksaan. Palu

112
Scanned for Compos Mentis
refleks dengan kualitas yang baik akan sangat membantu dalam membangkitkan RTD.
Kebanyakan Neurolog menggunakan palu refleks jenis Taylor (Tomahawk) (Gambar 14).

a b c
Gambar 14. jenis Palu Refleks (a) Tipe Tomahawk (b) Tipe Queen square (c) Tipe Babinski Telescopic

Sedapat mungkin pilihlah palu refleks yang memiliki bobot cukup berat. Memegang
palu refleks sebaiknya pada area dekat ujung gagang palu dan gunakan jari telunjuk
dan ibu jari. Saat mengayunkan palu refleks, biarkan palu bergerak di antara jari-jari
(Gambar 15). Jangan menggunakan ayunan siku saat memeriksa RTD. Ayunan palu
dilakukan dengan cepat, tepat dan kuat namun tidak berlebihan .

.
Gambar 15. Cara Mengayunkan Palu Refleks

113
Scanned for Compos Mentis
Pada saat pemeriksaan pasien diposisikan senyaman dan serileks mungkin. Saat
membandingkan refleks pada kedua sisi maka ekstremitas harus berada pada posisi
yang sama. Perhatian pasien sebaiknya dialihkan dan tidak dibiarkan melihat ke arah
area yang sedang diperiksa. Pengalihan perhatian dapat dilakukan dengan meminta
pasien melihat ke depan atau dengan melakukan manuver Jendrassik (Gambar 16).
Pasien diminta mengaitkan kedua tangannya dengan pandangan lurus ke depan.
Instruksikan pasien untuk menarik kedua tangan yang sating terkait itu pad a hitungan
ketiga bersamaan dengan pemeriksa mengetukkan palu refleksnya.

a b
Gambar 16. Pemeriksaan Refleks Patela dengan Manuver Jendrassik pada Posisi Duduk (a) dan
Berbaring (b)

Terdapat banyak jenis refleks tendon dalam, namum RTD yang rutin dilakukan pada
pemeriksaan neurologi adalah sebagai berikut:

TabelS. Refleks Tendon Dalam yang Rutin Dilakukan pada Pemeriksaan Neurologi
Refleks Level Segmen Medula Spinalis Saraf Perifer
Bisep CS-C6 Muskulokutaneus

Trisep C7-C8 Radialis

Brakioradialis CS-C6 Radialis


Dinding perut
TS-T12 Interkostal
profunda
Patela L3-L4 Femora lis

Achilles Sl Skiatikus

114
Scanned for Compos Mentis
Penentuan derajat respons RTD terkadang sangat bergantung pada penilaian
pemeriksa. Umumnya digunakan klasifikasi seperti berikut ini:

Tabel 6. Klasifikasi Derajat ResponsRTD


0 Negatif

1+ Menurun Masih dianggap normal namun sulit dibangkitkan, lam bat, hipoaktif

2+ Normal Responsnya cukup cepat dan tidal< disertai tanda patologis lainnya

3+ Meningkat Zona refleks meluas namun masih dikategorikan normal

Refleks sangat mudah dibangkitkan, zona refleks meluas, bisa disertai klonus,
4+ Hiperaktif
terdapat tanda patologis lainnya

Pelaporan hasil pemeriksaan RTD dapat dengan menuliskan hasilnya secara


berurutan kiri dan kanan seperti contoh berikut ini:

Refleks Bisep +2/+2


Refleks Trisep +2/+2
Refleks Patela +4/+4
Refleks Achilles +4/+4

Atau dengan menggunakan ilustrasi seperti pada Gam bar 17 berikut ini:

Kanan Kiri

1 3 3 1 f- Brakioradialis
3 3 f- Biseps
3 + + 3
f- Trisep

f- Patela
f- Achilles

f- Babinski

Gambar 17. Contoh Ilustrasi Hasil Pemeriksaan RTD

115
Scanned for Compos Mentis
I. 'Pemeriksaan Refleks Bisep
Pemeriksaan dilakukan dengan posisi lengan bawah pasien semifleksi dan sedikit
pronasi. Lengan pasien dapat diletakkan di atas paha pasien atau disangga
pada lengan pemeriksa. Pemeriksa meletakkan ibu jari atau jari telunjuknya di
atas tendon bisep yang akan diperiksa (Gambar 18). Tekan dengan lembut dan
ketukkan dengan palu refleks. Tekanan pada tendon bisep jangan terlalu kuat
karena akan mempersulit bangkitnya refleks.

Respons refleks berupa fleksi otot bisep disertai dengan supinasi telapak tangan.
Apabila refleks meningkat maka zona refleks akan meluas, bahkan hingga bisa
dibangkitkan dengan mengetuk area klavikula.

a b

Gambar 18. Pemeriksaan Refleks Bisep dengan Posisi (a) Duduk dan (b)Berbaring

II. Refleks Trisep


Refleks trisep diperiksa dengan mengetukkan palu refleks pada tendon trisep
yang terletak sedikit di atas insersinya pada olekranon. Siku pasien diposisikan
semifleksi dan lengan bawah disangga oleh pemeriksa atau pasien diminta
menggenggam siku kontralateralnya (Gambar 19).

116
Scanned for Compos Mentis
a b
Gambar 19. Pemeriksaan Refleks Trisep pada Posisi Duduk (a) dan (b) Berbaring

III. Refleks Brakioradialis


Pemeriksaan refleks brakioradialis dilakukan dengan memposisikan lengan
pasien semifleksi dan semipronasi. Ibu jari atau jari telunjuk pemeriksa
diletakkan pada prosesus stiloideus pasien, kemudia diketuk dengan palu
refleks (Gambar 20) . Respons yang muncul berupa fleksi siku dan sedikit
supinasi telapak tangan.

Gambar 20. Pemeriksaan Refleks Brakioradialis

IV. Refleks Dinding Perut Profunda


Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengetuk otot dinding perut pada beberapa
area. Pemeriksa sedikit menekan otot dinding perut pasien dengan jarinya
kemudian ketukjari pemeriksa dengan palu refleks (Gambar 21) .

117
Scanned for Compos Mentis
Respons yang timbul berupa kontraksi otot dinding perut dan deviasi umbilikus
ke arah ketukan. Refleks dinding perut profunda sangat jarang ditemukan pada
orang normal. Pada lesi jaras kortikospinal, refleks dapat ditemukan positif
disertai dengan menghilangnya refleks dinding perut superfisialis. Refleks ini
dipersarafi oleh nervus interkostal (divisi anterior, TS-T12), ilioinguinal dan
iliohipogastrik.

a b
Gambar 21. Pemeriksaan (a) Refleks Dinding Perut Profunda dan (b)Refleks Dinding Perut
Superfisialis

V. Refleks Patela
Pemeriksaan refleks patela dapat dilakukan dengan posisi pasien duduk
maupun berbaring. Ketukan dilakukan pada tendon patela dan respons yang
timbul adalah ekstensi lutut. Apabila pemeriksaan dilakukan pada posisi
pasien duduk, maka tangan kiri pemeriksa diletakkan di atas otot kuadriseps
femoris dan tangan kanan mengetukkan palu (Gambar 22). Dengan demikian
pemeriksa dapat merasakan kontraksi yang timbul. Bila pemeriksaan dilakukan
dengan posisi pasien berbaring maka pemeriksa perlu menyangga lutut pasien
agar sedikit fleksi. Pada reflkes yang meningkat zona refleks juga akan meluas
sehingga refleks dapat dibangkitkan dengan mengetukkan area supra ataupun
epipatela.

Seperti halnya pemeriksaan refleks lainnya, refleks patela harus dilakukan


dengan kondisi rileks. Apabila pasien tidak rileks maka perhatian pasien dapat
dialihkan dengan melakukan manuver Jendrassik (Gambar 16) .

118
Scanned for Compos Mentis
a b

Gam bar 22. Pemeriksaan Refleks Patela dengan (a) Posisi Duduk dan (b )Berbaring

VI. Refleks Achilles


Refleks Achilles diperiksa dengan mengetukkan palu refleks pacta tendon
Achilles di atas insersinya pada kalkaneus . Reaksi yang timbul berupa gerakan
plantarfleksi yang merupakan kontraksi dari otot gastroknemius, soleus dan
plantaris. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan posisi duduk maupun berbaring.
Tungkai pasien diabduksikan dan eksternal rotasi dengan lutut fleksi. Tangan kiri
pasien memegang plantar pasien sambil sedikit menariknya ke atas sedangkan
tangan kanan mengetukkan palu refleks pada tendon Achilles (Gambar 23). Zona
refleks akan meluas pada refleks yang meningkat dan dapat disertai dengan
klonus Achilles.

a b

Gambar 23 . Pemeriksaan Refleks Achilles pacta Posisi Berbaring dapat dilakukan dengan 2
Cara seperti Gambar (a) dan (b)

119
Scanned for Compos Mentis
Pacta saat melakukan pemeriksaan refleks, membandingkan respons refleks pacta
kedua sisi sangatlah penting. Hal ini dapat membantu menentukan apakah refleks
yang timbul meningkat atau tidak. Sehingga pada setiap pemeriksaan refleks selalu
dilakukan pada kedua sisi baru kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan refleks
berikutnya.

Pemeriksaan Refleks Patologis


Refleks patologis umumnya dikaitkan dengan lesi di traktus kortikospinal. Selain
itu refleks patologis juga dapat dijumpai pacta lesi ekstrapiramidal dan lesi di lobus
frontal.

I. Refleks Patologis pada Ekstremitas Bawah


Terbagi atas 2 kelompok berdasarkan respons yang timbul:

A. Respons berupa Dorsofleksi lbu Jari Kaki

1. Tanda Babinski
Pemeriksaan dilakukan dengan menggores kulit telapak kaki dari bagian
tumit, menyusuri bagian lateral plantar pedis kemudian menyusuri
metatarsal hingga di area di bawah ibu jari (Gambar 24). Apabila terdapat
lesi di traktus kortikospinal, tanda Babinski umumnya akan positifberupa
dorsofleksi ibu jari dan jari-jari lainnya akan abduksi.

Gambar 24. Pemeriksaan Tanda Babinski

120
Scanned for Compos Mentis
Pada orang normal, manuver Babinski ini juga akan menimbulkan respons
pada jari kaki berupa plantarfleksi terutama selain ibu jari.

Stimulus untuk membangkitkan tanda Babinski diberikan dengan


menggunakan ujung benda yang tumpul seperti tusuk gigi a tau ujung gagang
palu refleks. Sebaiknya gunakan palu Babinski atau palu Queen square.
Stimulus diberikan dengan tekanan dan kecepatan yang cukup.Tidak perlu
memberikan tekanan yang terlalu kuat hingga menyakiti pasien.

2. Tanda Chaddock
Pemeriksaan dilakukan dengan memberikan stimulus pada bagian
lateral kaki. Dimulai dari area di bawah malelolus lateralis menyusuri
bagian lateral kaki hingga ke jari kelingking (Gambar 25). Respons yang
ditimbulkan sama dengan tanda Babinski.

Gambar 25. Pemeriksaan Tanda Chaddock

3. Tanda Oppenheim
Refleks patologis ini diperiksa dengan menekankan buku jari telunjuk dan
jari tengah pemeriksa dari area infrapatela menyusuri anteromedial tibia
sampai ke pergelangan kaki pasien (Gambar 26).

121
Scanned for Compos Mentis
Gambar 26. Pemeriksaan Tanda Oppenheim

4. Tanda Schaffer
Pemeriksaan dilakukan dengan memberikan tekanan yang cukup kuat
pada tendon Achilles (Gambar 27).

Gambar 27. Pemeriksaan Tanda Schaeffer

5. Tanda Gordon
Pemeriksaan Gordon dilakukan dengan cara meremas otot
gastroknemius (Gambar 28).

Gambar 28. Pemeriksaan Tanda Gordon

122
Scanned for Compos Mentis
B. Respons berupa Plantarfleksi Jari Kaki

1. Tanda Rossolimo
Pemeriksaan dilakukan dengan mengetukkan palu refleks pada basis
plantar pedis (Gambar 29a). Respons yang timbul berupa plantarfleksi
jari-jari kaki.

a b

Gambar 29. Pemeriksaan Tanda (a)Rossolimo dan (b)Mendel Bechtrew

2. Tanda Mendel Bechtrew

Tanda ini dibangkitkan dengan mengetukkan dorsum pedis dengan palu


refleks. Respons yang timbul sama dengan Rossollimo (Gambar 29b).

II. Refleks Patologis pada Ekstremitas Atas


A. Refleks Menggenggam
Refleks ini merupakan bagian darifrontal release sign (FRS). FRS merupakan
refleks primitif yang secara normal muncul pada saat perkembangan sistem
saraf dan akan menghilang dengan semakin matangnya sistem saraf. Dengan
kata lain refleks ini normal apabila ditemukan pada bayi dan anak tetapi
merupakan tanda patologis bila didapatkan pada dewasa. Pada beberapa
kasus juga dapat ditemukan sebagai variasi normal pada proses penuaan.
Pemeriksaan dilakukan dengan meletakkan jari tangan pemeriksa pada

123
Scanned for Compos Mentis
telapak tangan pasien di antara ibu jari dan jari telunjuk. Respons yang akan
timbul berupa refleks menggenggam. Refleks ini dapat muncul pada lesi di
lobus frontal ataupun pada penyakit degeneratif serebral.

B. Refleks Palmomental
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggores telapak tangan pasien pada
bagian tenar dengan menggunakan objek yang tumpul. Respons yang muncul
berupa kontraksi otot mentalis dan orbikularis oris yang menyebabkan kulit
pipi sekitar mulut mengerut} kadang disertai elevasi sudut mulut.

C. Tanda Hoffmann-Tromner
Tanda Hoffmann diperiksa dengan cara} pemeriksa memegang tangan pasien
dalam posisi tangan dorsofleksi dan jari tengah difiksasi oleh pemeriksa di
antara jari telunjuk dan jari tengah atau antara ibu jari dan jari telunjuk.
Dengan ibu jarinya} pemeriksa menjentikkan kuku jari tengah pasien dengan
cepat (Gambar 30a).

b
Gambar 30. Pemeriksaan Tanda Hoffmann (a) dan Tromner (b)

Respons yang timbul berupa fleksi jari-jari tangan dan adduksi ibu jari
tangan.Tanda Tromner dilakukan dengan cara} pemeriksa memegang jari
tengah pasien sedemikian rupa sehingga tangan pasien menggantung} dan
dengan tangan pemeriksa lainnya} pemeriksa mengetuk jari tangan pasien
(Gambar 30).

Manifestasi klinis dari kelemahan motorik dapat berbeda-beda sesuai letak lesi.
Beberapa pola dan karakteristik dari kelemahan motorik tergantung pada topisnya
(Tabel 7).

124
Scanned for Compos Mentis
Tabel 7. Pola Kelemahan Sesuai Letak Lesi

Letak Lesi Distribusi Pola Kelemahan GSanggu~kn RTD Tanda yang Dapat Menyertai
enson
Teritori a. serebri Kontralateral, lengan dan Afasia, apraksia, gangguan
Ada i
media wajah > tungkai lapang pandang,gaze palsy
Gangguan sensoris kortikal
Teritori a. serebri Kontralateral, tungkai > pada tungkai kontralateral,
Ada i
anterior lengan dan wajah tanda-tanda lobus frontal,
dapat disertai inkontinensia
Kontralateral, wajah =
Kapsula interna Tidak i Tidak ada ("pure motor stroke")
lengan = tungkai
N. kranialis ipsilateral dan
Batang otak Ada i Bervariasi, tergantung level
tubuh kontralateral
Medula spinalis
Umumnya ada disfungsi
servikal (lesi Kedua lengan dan tungkai Ada i
defekasi dan mikturisi
transversal)
Medula spinalis
Umumnya ada disfungsi
torakal (lesi Kedua tungkai Ada i
defekasi dan mikturisi
transversal)
Dapat ditemukan disfungsi
Kedua tungkai, as imetris,
Kauda ekuina Ada defekasi dan mikturisi; kadang-
dengan pola multi pel radiks
kadang nyeri
Fokal dengan onset dini;
Atrofi, fasikulasi, paralisis
Kornu anterior umum dengan onset lebih Tidak i
bulbar
lama
Radiks Otot sesuai miotom Ada Nyeri
Sesuai distribusi pleksus, Biasanya Umumnya nyeri, terutama
Pleksus
komplit a tau parsial ada dengan "pleksitis" brakial
Biasanya Atrofi yang bervariasi; nyeri
Mononeuropati Otot yang diinervasi
ada bervariasi
Biasanya Nyeri bervariasi; atrofi muncul
Polineuropati Distal > proksimal
ada belakangan
Ptosis, oftalmoparesis,
Bulbal, ekstremitas
Taut saraf otot Tidak N kelemahan dipengaruhi fatig,
proksimal
kelemahan berfluktuasi
Jarang terdapat nyeri; banyak
Otot Proksimal > distal Tidak N
pola yang mungkin

Berdasarkan komponen pemeriksaan motorik, dapat ditentukan letak lesi


berdasarkan kumpulan kelainan yang didapat. Manifestasi kelainan motorik sesuai
letak lesi dapat dilihat pacta Tabel 8 berikut:

125
Scanned for Compos Mentis
Tabel 80 Manifestasi Klinis Lesi Pada Sistem Motorik

0 0 0 0 Gerakan Refleks
Level Kelemahan Tonus Trof1 Fasikulasi Ataks1a Refleks b 0

a norma 1 pato 1og1s

RadiksoSaraf peri- Fokal atau segmen-


-I hanya
Flaksid Atrofi +/- .j, fasikulasi
fer, pleksus tal
(jarang)
Terse bar a tau
Taut saraf otot proksimal atau Eutonus Eutrofi N
bulbar
Tersebar, proksimal Normal atau N, atrofi, pseu-
Otot N
atau distal flaksid dohipertrofi
Mono, hemi, para,
Traktus kortiko-
quadri/ tetrapa- Spastik N i +
spinal
res is

Ekstrapiramidal -I ringan Rigid N N +

N atau
Tremor
Serebelum Hipotonus N + pendu-
intensi
Jar

Lesi non-organik Pola tidak tentu N N N +/-

:0
0
· ' "' · SI.DJ;\Qld
(!
. *"
·~~--.
Scanned for Compos Mentis
Daftar Pustaka
1. Campbel WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2005.
2. Biller J, Gruener G, Brazis PW. Examination of the somatic motor system (excluding cranial
nerves). Dalam: Biller J, Gruener G, Brazis PW,editor. DeMyer's the neurologic examination.
Edisi ke-7. McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2016 h. 229-306.
3. Waxman SG. Clinical Neuroanatomy. Edisi ke-28. New York: Mc-Graw Hill;2017.
4. Baehr M, Frotscher M. Motor system. Dalam: Baehr M, Frotscher M, editor. Duus'topical
diagnosis in neurology. Edisi ke-5. Stuttgart: Thieme; 2012. h. 31-73.

Scanned for Compos Mentis


PEMERIKSAAN SENSORIK
Henry Riyanto Sofyan, Audry Devisanty Wuysang,
Ika Marlia, Ahmad Yanuar Safri

Keluhan terkait gangguan sistem sensorik yang dialami oleh pasien bersifat sangat
subjektif. Pasien mengungkapkan keluhannya dalam berbagai ungkapan yang
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan budaya daerahnya. Sehingga gangguan
sistem sensorik pasien bisa tergambarkan secara jelas atau sebaliknya tidak
terbayangkan sama sekali oleh dokter pemeriksa. Oleh karena itu, pemeriksaan
sistem sensorik sangat diperlukan untuk mengurangi unsur subjektivitas ini.

Terdapat beberapa urgensi dalam pemeriksaan sistem sensorik. Pacta konteks


pemeriksaan kesehatan secara umum, hal ini dilakukan sebagai penapisan gangguan
sistem sensorik. Selain itu, pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut
dan mengonfirmasi keluhan gangguan sensorik yang didapat dari anamnesis pasien.

Dalam praktik sehari-hari, akurasi hasil pemeriksaan sensorik sangat bergantung


kepada teknik pemeriksaan, kerjasama pasien, dan suasana lingkungan yang kondusif.
Teknik pemeriksaan yang kurang tepat akan memberikan hasil kurang akurat. Pasien
yang tidak kooperatif cenderung memberikan respons pemeriksaan seadanya dan
kurang membantu dokter pemeriksa. Faktor lingkungan yang bising dan tidak nyaman
membuat komunikasi dokter pasien dan interpretasi hasil pemeriksaan menjadi kabur.

Anatomi
Sistem sensorik di tubuh man usia terdiri dari reseptor, serabut saraf aferen, dan otak.
Setiap reseptor memiliki fungsi sesuai modalitas sensorik, misalnya sensasi nyeri, suhu,
raba, dan proprioseptif. Informasi yang telah diterima reseptor akan diteruskan oleh
sera but saraf aferen (neuron ordo 1) hingga bersinaps di medula spinalis (Gam bar 1).

128
Scanned for Compos Mentis
Korpuskula

Pacini \

Muscle
spind:e
Divisi med ial
dari radiks dorsa lis

Fasikulus gracilis

Fasikulus kutaneus

Korpuskula
takti l
Meissner I •, Traktus
spinotalamikus
ventral

Free sensory Horn anterior


ending dari neuron motorik

Divisi lateral da ri
ra diks dorsal

Gam bar 1. Terminasi Reseptor Sensorik pacta Medula Spinalis

Selanjutnya, neuron ordo 2 akan menghantarkan input sensorik menuju talamus


melalui jaras-jaras asenden yang spesifik untuk masing-masing modalitas. Modalitas
nyeri dan suhu akan dihantarkan melalui jaras spinotalamikus lateralis, sedangkan
raba dan tekan melalui jaras spinotalamikus anterior. Adapun proprioseptif dari
ekstremitas atas akan dihantarkan oleh fasikulus kuneatus dan ekstremitas bawah
oleh fasikulus grasilis. Neuron ordo 2 akan bersinaps di nukleus posterolateral ventral
di talamus, dan kemudian menuju girus post-sentralis untuk diinterpretasikan.

Pemeriksaan
Pasien dengan gangguan sistem sensorik biasanya mengeluhkan fenomena negatif
(rasa baal, tebal, dan kebas) atau fenomena positif (kesemutan, nyeri ditusuk-tusuk,
ditarik-tarik, dan rasa kesetrum).

129
Scanned for Compos Mentis
Dengan anamnesis yang lebih mendalam, pasien dapat mendeskripsikan gejalanya
dengan lebih seksama, misalnya "terasa seperti ditusuk-tusuk jarum", "kulit terasa
terlalu kencang", "ada rasa seperti tersengat listrik", "kulit terasa tebal di bagian jari-
jari kaki", dan lain sebagainya.
Gejala tersebut kemudian ditentukan distribusi dan penjalarannya, misalnya pada
bahu hingga lengan atas, pada jari-jari tangan, dan lain-lain. Daerah distribusi
dermatom dan sarafperifer serta penjalaran tersebutperlu diketahui dengan seksama
agar dapat dipantau perubahan selanjutnya (Gambar 2 dan 3).

~ n. oftalmlkus //~
C2
' _
1
- • ."~ n. maksitaris j n. trlgermlna11 / C2

C3 ~ - n. mandloolaris ~ C3

~ ~
./

C6

C7
ce

L1
S5
L2
S4
S3 L3

52 L4

S1 L5

Gambar 2. Segmen-Segmen Dermatom

130
Scanned for Compos Mentis
n. ulgotmlnalls n.. oksioh~ l major
C2-C3 '?(
n. olcaipllal minor (
C2
n. auflkular C'2~b~

n. et!rvlkalls
tr&nSWtsut
C2-C3

n.
f------ n. foma<•lis - - - - - -.Ir--a
n. petQneus (fibular) komunls - - - --a
n. perane<Js (flbolor) ouperfislol

Gam bar 3. Peta Distribusi Kutaneus Saraf Peri fer

Ada beberapa hal yang perlu diingat agar pemeriksaan sensorik dapat dikerjakan
dengan efektif. Pertama-tama, pasien harus diinformasikan mengenai deskripsi
singkat pemeriksaan, meliputi tujuan, alat yang digunakan, dan bentuk stimulus yang
akan diberikan, misalnya raba hal us, nyeri, suhu, atau getaran. Selanjutnya, pemeriksa
sebaiknya mendemonstrasikan stimulus yang akan diberikan kepada pasien sebelum
pemeriksaan yang sebenarnya.

Pemeriksaan sensorik sangat bergantung kepada atensi dan respons verbal pasien.
Oleh karena itu, pasien sebaiknya menutup mata selama pemeriksaan berlangsung.
Pemeriksaan sensorik juga sebaiknya tidak dilakukan pada pasien yang Ielah a tau sesak
napas, sehingga dapat mengaburkan hasil pemeriksaan. Bila pemeriksaan ini harus

131
Scanned for Compos Mentis
dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran atau yang tidak kooperatif, maka
pemeriksaan sensorik hanya terbatas pada yang tidak membutuhkan respons verbal
misalnya refleks kornea atau penilaian respons ketika diberi stimulus nyeri.

Saat stimulus diberikan, pemeriksa sebaiknya tidak memberikan sugesti pada


pasien dengan memberikan pertanyaan tertutup yang cenderung ke arah abnormal.
Menayakan "Apakah kedua sisi (kiri dan kanan) terasa sama?" akan lebih baik
dibandingkan jika menanyakan "Manakah yang lebih terasa, kanan a tau kiri?".

Untuk mencapai suatu diagnosis, stimulus dapat diberikan beberapa kali pada segmen
dermatom atau distribusi kutaneus saraf perifer yang berbeda-beda. Hal ini kadang
menjadi kendala bagi pemeriksa yang belum berpengalaman karena pemeriksaan
akan berjalan lama dan tidak efisien. Algoritma pada Gambar 4, dapat menjadi
panduan dalam menentukan langkah-langkah pemeriksaan sensorik.

Neu ropati perifer I

Lesi medullas~

Neu rop!lti perifer


Glove &
stocking?

Lesi t"lamus

Lesi kapsula
intema

Gam bar 4.Algoritma Pendekatan Klinis Gangguan Sensorik

132
Scanned for Compos Mentis
Tentunya pendekatan dalam melakukan pemeriksaan sensorik sangat dipengaruhi
oleh informasi yang didapat dari anamnesis . Pasien yang mengeluhkan gangguan
sensorik pada sesisi tubuh (hemihipestesi) akan mengindikasikan lesi di
intrakranial. Oengan demikian pemeriksaan sensorik yang dilakukan adalah
dengan membandingkan antara sisi tubuh kiri dan kanan dengan beberapa jenis
stimulus. Lain halnya jika dari anamnesis didapatkan keluhan sensorik pada kedua
tungkai dengan batas yang cukup jelas. Misalkan seseorang dengan riwayat trauma
mengeluhkan rasa baa! pada kedua tungkainya dari batas pusar hingga ke bawah.
Pada kasus ini tentunya pemeriksaan sensorik dilakukan dengan membandingkan
antara area tubuh bagian atas dan bawah hingga didapatkan batas (level)
sensoriknya pada tingkat dermatom tertentu . Pendekatan ini juga akan berbeda
apabila didapatkan keluhan yang mengarah kepada neuropati perifer. Seorang
penyandang diabetes mellitus (OM) dapat mengeluhkan kesemutan atau baa!
terutama pada jari-jari tangannya. Pemeriksaan sensorik pada kasus ini dilakukan
dengan membandingkan area distal dan proksimal. Pada kasus neuropati OM
umumnya gangguan sensorik lebih berat pada bagian distal. Contoh-contoh ini
menunjukkan pentingnya anamnesis untuk membantu pemeriksa dalam melakukan
pemeriksaan yang terarah .

Pada pemeriksaan sensorik pemeriksa sebaiknya memberikan stimulus dengan


irama yang tidak beraturan, sehingga pasien tidak dapat mengantisipasinya. Oalam
beberapa percobaan pemeriksaan sensorik, pasien bisa saja memberikan respons
terhadap stimulus, padahal tidak ada stimulus yang diberikan. Respons spontan ini
tidak bernilai diagnostik. Namun, pada sebagian kecil pasien, respons seperti ini
dapat muncul karena ada perlambatan hantaran input sensorik.

Pada bab pemeriksaan sensorik yang akan dibahas meliputi eksteroseptif (raba
hal us, nyeri, suhu), proprioseptif (posisi, vibrasi), dan fungsi sensorik serebral. Setiap
pemeriksaan tersebut menggunakan alat periksa yang mempunyai karakteristik
stimulus tertentu, misalnya kapas untuk stimulus raba halus, sedangkan tusuk gigi
dapat digunakan untuk stimulus nyeri. Oengan demikian, pemilihan alat periksa
harus tepat sesuai modalitas sensorik yang ingin dinilai. Setiap manuver berikut ini
harus dikerjakan setelah pemeriksa memperhatikan prasyarat yang telah dijelaskan
sebelumnya di bab ini.

133
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Raba Halus
Alat periksa yang bisa digunakan berupa gumpalan kapas, kertas tisu, bulu, sikat
lembut, atau bahkan sentuhan yang sangat halus dari ujung jari. Pasien diminta untuk
menutup mata. Pemeriksa menyentuh kulit pasien dengan alat periksa pada beberapa
area kulit dan meminta pasien untuk membandingkan sensasi yang dirasakan pada
area-area tersebut. Stimulus yang diberikan sebaiknya memiliki intensitas yang sama.

Pemeriksaan Rasa Nyeri


Alat periksa yang ideal digunakan pada pemeriksaan nyeri harus cukup tajam,
tetapi tidak sampai melukai kulit, dan hanya sekali pakai. Dalam praktik sehari-hari,
pemeriksa dapat menggunakan tusuk gigi atau spatula lidah kayu yang dipatahkan.
Seperti pada pemeriksaan raba halus, pada pemeriksaan rasa nyeri pasien diminta
menutup mata dan pemeriksa memberikan stimulus nyeri pada beberapa area kulit
dan pasien diminta membandingkan sensasi nyeri yang dirasakan antar area tersebut.
Pemeriksaan dengan meminta pasien membandingkan antara rasa tajam dan tumpul
juga dapat dilakukan. Area kulit yang diperiksa sebaiknya tidak berkulit tebal karena
dapat mengaburkan hasil pemeriksaan dan intensitas stimulus yang diberikan
sebaiknya sama kuat. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dari area yang "kurang rasa"
ke area yang normal atau dari area yang normal ke area yang "lebih rasa". Misalkan
seorang pasien mengeluhkan area kulit tertentu lebih baal dibandingkan area lainnya.
Maka pemeriksaan sensorik sebaiknya dimulai dari area yang hipestesi ke area yang
normal. Atau jika seorang pasien mengeluhkan hiperalgesia pada suatu area tertentu,
maka pemeriksaan dimulai dari area yang normal menuju ke area hiperalgesia.
Pemeriksaan Rasa Suhu
Alat periksa yang ideal untuk pemeriksaan suhu adalah dua tabung reaksi yang berisi
masing-masing air hangat (±40-45°C) dan dingin (±5-10°C). Permukaan luar tabung
harus kering. Pilihan lainnya adalah jari pemeriksa (stimulus hangat) atau gagang
garpu tala (stimulus dingin). Pemeriksa meminta pasien untuk mengidentifikasi
stimulus yang diberikan dalam beberapa detik saat kulit disentuh dengan stimulus
dinginfhangat. Langkah ini diulangi dengan stimulus yang berbeda dari sebelumnya
pada area yang sama. Oleh karena latensi normal untuk stimulus suhu lebih panjang
daripada raba halus atau nyeri, maka untuk pemeriksaan suhu diberikan jeda ±2
detik antar manuver.

1:J4
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Vibrasi
Alat periksa yang dipakai adalah garpu tala 128Hz atau 256Hz. Pemeriksa memegang
garpu tala pada bagian tangkainya (Gambar 5). Cara menggetarkan garpu tala adalah
dengan mengetukkannya ke sisi ulnar telapak tangan pemeriksa. Ujung tangkai garpu
tala ditaruh di area-area tonjolan tulangjsendi (Gam bar 6). Pasien diminta merasakan
getaran garpu tala (bukan merasakan sentuhan garpu tala) dan bila sudah tidak teras a
lagi pasien diminta mengatakan "ya". Pemeriksa merasakan getaran garpu tala yang
dipegangnya, apabila pemeriksa masih merasakan getaran garpu tala lebih dari 10
detik maka rasa vibrasi pasien dianggap tidak normal. Apabila pasien tidak merasakan
getaran garpu tala, pindahkan garpu tala ke sendi yang lebih proksimal atau sendi
homolog kontralateral. Minta pasien membandingkan keduanya. Pemeriksaan dapat
dilakukan pada beberapa tempattonjolan tulang, yaitu sendi interfalangeal proksimal
ibu jari kaki, sendi metatarsofalangeal, maleolus medial, tuberositas tibia, spina iliaka
anterior superior, ujung jari tangan, sendi interfalangeal, sendi metakarpofalangeal,
pergelangan tangan, siku, dan bahu.

Gambar 5. Cara Memegang Garpu Tala

135
Scanned for Compos Mentis
Gambar 6. Cara Meletakkan Ujung Garpu Tala pada Metatarsal lbu Jari Kaki.

Pemeriksaan Rasa Posisi dan Sikap


Pemeriksaan ini tidak membutuhkan alat pemeriksaan khusus. Rasa posisi diperiksa
dengan cara memegang ujung jari pasien dalam keadaan rileks dan tidak terganggu
jari-jari lainnya. Pemeriksa memegang sisi lateral dari jari yang diperiksa. Pasien
diberi contoh gerakan yang akan dilakukan oleh pemeriksa dan respons jawaban yang
diharapkan. Jika pasien sudah mengerti, pasien diminta untuk memejamkan matanya.
Pemeriksa menggerakkan jari pasien ke arah atas dan bawah, kemudian dihentikan
pada posisi tertentu. Pada keadaan jari terse but yang tidak bergerak, pasien diminta
mengidentifikasi posisi ujung jari tersebut, apakah ke arah atas atau bawah. Hal ini
dilakukan pada ekstrimitas atas dan bawah dan pada kedua sisi (Gambar 7).

a b
Gambar 7. Pemeriksaan Proprioseptifpada Ekstremitas Atas (a) dan Bawah (b)

136
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Sensasi Tekanan
Pemeriksaan sensasi tekanan dilakukan dengan menekan kulit hingga ke struktur
yang lebih dalam (otot, tendon, dan saraf) dengan menggunakan jari pemeriksa a tau
benda tumpul. Pada keadaan normal, pasien dapat merasakan dan melokalisasi
tekanan tersebut.

Pemeriksaan Sensasi Nyeri Dalam dan Nyeri Tekanan


Pemeriksaan sensasi nyeri dalam dilakukan dengan mencubit/meremas ototj
tendon, atau memberikan tekanan pada struktur saraf superfisialis, atau melakukan
hiperfleksi paksa pada sendi interfalangeal. Oleh karena manuver ini relatifmenyakiti
pasien, maka pemeriksaan dilakukan atas indikasi tertentu. Hilangnya sensasi nyeri
dalam ini merupakan tanda klasik tabes dorsalis akibat keterlibatan ganglion radiks
dorsalis atau kolumna dorsalis medula spinalis.

Tes Romberg
Sistem sensorik proprioseptif dapat juga dinilai dengan melakukan tes Romberg.
Teknik ini dapat dilihat pada bab Pemeriksaan Keseimbangan dan Koordinasi.

Pemeriksaan Sensorik Serebral


Fungsi sensorik serebral melibatkan area sensorik primer di korteks parietal dan area
sensorik asosiasi. Stimulus yang diterima oleh area sensorik primer akan diteruskan
ke area sensorik asosiasi untuk dikorelasikan dengan bagian otak yang lain, sehingga
interpretasi dan persepsi menjadi lebih tajam dan kompleks. Sebagai contoh, jika
seorang pasien diminta untuk memejamkan mata dan diberikan sebuah benda pada
telapak tangannya, maka pasien tidak hanya dapat merasakan adanya suatu benda,
tetapi juga dapat mengenali secara spesifik nama dan karakteristik benda tersebut.
Adapun modalitas sensorik kortikal yang mempunyai relevansi secara klinis meliputi
diskriminasi 2 titik, stereognosis, grafestesia, dan stimulasi ganda secara simultan
(atensi sensorik). Kerusakan pada lobus parietal akan mengakibatkan fungsi sensorik
kortikal kontra lateral terganggu.

I. Diskriminasi 2 Titik
Alat pemeriksaan yang digunakan adalah kaliper atau klip kertas yang dibentuk
menjadi hurufV. Pemeriksaan ini bertujuan untuk membedakan stimulasi 1

137
Scanned for Compos Mentis
atau 2 titik pada area kulit. Area yang dapat diperiksa meliputi wajah, ujung jari,
telapak tangan, dan daerah tulang tibial. Batas normal jarak diskriminasi 2 titik,
antara lain: ujung lidah lmm, bibir 2-3mm, ujung jari 2-4mm, dorsum falang
4-6mm, plantar manus 8-12mm, dorsum manus 20-30mm, dorsum pedis 30-
40mm, wajah 2-Smm; ujung jari 3-6mm; telapak tangan 10-15mm. Jika pasien
hanya dapat membedakan 2 titik dengan jarak yang lebih Iebar dari nilai normal,
maka hal ini mengindikasikan adanya gangguan di lobus parietal.

II. Stereognosis
Stereognosis adalah kemampuan pasien untuk mengidentifikasi bentuk benda
dengan cara menyentuh benda terse but. Pemeriksaan ini baru dapat dinilai secara
bermakna bila sensasi raba, nyeri, suhu, dan vibrasi pada tangan seluruhnya
dalam batas normal. Tangan juga sebaiknya tidak mengalami kelemahan motorik,
sehingga benda terse but dapat dimanipulasi dan digerak-gerakkan.

Pasien dalam keadaan mata tertutup diberikan sebuah benda yang umum
ditemukan sehari-hari (kunci, koin, tutup botol) di salah satu tangan. Pemeriksa
meminta pasien mengenali benda tersebut dan menyebutkan namanya. Bila
pasien tidak dapat mengenali, maka benda tersebut dipindahkan ke tangan
lainnya. Bila pasien tetap tidak bisa mengenali, maka pasien dapat diminta untuk
membuka matanya lalu mengenali benda tersebut. Pasien yang dapat mengenali
benda dengan melihat, tetapi tidak dengan meraba, disebut astereognosis.

Perbedaan astereognosis dengan agnosia taktil terletak pada bentuk manifestasi


dan letak lesinya. Agnosia taktil biasanya hanya terjadi pada salah satu sisi tubuh,
sedangkan astereognosis pada kedua sisi tubuh. Letak lesi agnosia taktil biasanya
spesifik pada lobus parietal kontralateral, sementara astereognosis lesinya lebih
bersifat difus.

III. Identifikasi Gambar (Grafestesia)


Grafestesia adalah kemampuan untuk mengenali huruf a tau angka yang dituliskan
di atas area kulit tertentu. Pemeriksa menuliskan bentuk huruf atau angka (1-10)
dengan jari pemeriksa a tau dengan ujung pena yang tertutup pada telapak tangan
atau telapak jari atau punggung kaki pasien dengan mata pasien tertutup. Pasien
diminta menyebutkan huruf atau angka yang ditulis oleh pemeriksa.

138
Scanned for Compos Mentis
IV. Stimulasi Ganda Secara Simultan (Atensi Sensorik)
Bagian tubuh yang homolog disentuh secara simultan, misalnya kedua tangan
disentuh bersamaan secara halus. Pasien diminta untuk menjawab sisi tubuh
mana yang disentuh. Pemeriksaan juga bisa dilakukan dengan menggunakan
tusuk gigi untuk membandingkan sensasi tajamjtumpulnya antara kedua sisi
tubuh. Pasien dengan lesi lobus parietal tidak dapat mengidentifikasi rabaan pada
sisi tubuh kontralaterallesi pada saat disentuh secara bersamaan. Fenomena ini
disebut sensory extinction / sensory inattention/ neglect.

Hasil pemeriksaan sensorik yang abnormal memiliki beberapa terminologi yang


harus dipahami maknanya masing-masing (Tabell). Hal ini diperlukan agar terdapat
keseragaman interpretasi antar pemeriksa.

Tabell. Terminologi dalam Abnormalitas Sensorik


Terminologi Definisi
Meningkatnya sensibilitas dan respon nyeri pada stimulus yang normalnya
Allodinia
tidak memberikan sensasi nyeri
Alloestesia (allestesia) Persepsi yang berbeda dari stimulus sensorik yang diberikan
Analgesia (alganestesia) Hilangnya sensibilitas nyeri
Hilangnya sensibilitas taktil spasial; ketidakmampuan untuk
Astereognosis
mengidentifikasi objek dengan merasakan objek tersebut
Tidak dapat mengenali angka (1-10) atau huruf yang dituliskan pada
Agrafestesia
telapak tangan, telapak ja ri, a tau punggung kaki
Anestesia · Hilangnya semua sensasi
Rasa tidak nyaman atau nyeri, apakah terjadi spontan a tau setelah stimulus
Disestesia normal yang tidak nyeri (misalnya, perasaan terbakar ketika disentuh);
seringkali diikuti parestesia
Hipoalgesia/ hipestesia Menurunnya sensibilitas nyeri
Meningkatnya sensibilitas nyeri; respon nyeri berlebihan pada stimulus
Hiperalgesia/hiperpatia
yang normalnya memberikan sensasi nyeri
Kinestesia Perasaan bergerak
Pallestesia Sensasi getar (menurun: hipopallestesia; menghilang: apallestesia)
Pengalaman sensasi spontan yang abnormal ketika tidak diberikan
Parestesia stimulasi yang spesifik (me rasa dingin, han gat, baa!, geli, terbakar, tertusuk,
tertindih, atau gatal)

139
Scanned for Compos Mentis
Melalui pemeriksaan sensorik pemeriksa dapat menentukan area tubuh yang
memiliki fungsi sensorik abnormal baik dalam distribusi dermatom, kutaneur saraf
perifer maupun berdasarkan letak lesi lainnya (Gambar 8-10) . Dengan demikian,
letak lesi dan kemungkinan penyebabnya dap at diidentifikasi (Tabel 2) .

Tabel 2. Gambaran Gangguan Sensorik, Lesi, dan Kemungkinan Penyebabnya


Karakteristik Klinis Letak Lesi Kemungkinan Penyebab
Gangguan sensorik lokal (tidak sesuai Nervusjreseptor
Lesi kulit, jaringan parut, lepra
distribusi dermatomal atau sarafperifer) pada ku lit
Mononeuropati (kompresi, tumor),
Diawali nyeri dan parestesi, diikuti Nervus perifer
mononeuritis multipleks (karena
defisit sensorik, sesua i letak lesi distal
vaskulitis, diabetes mellitus, dsb)
Polineuropati (diabetes mellitus,
Nervus perifer
Gangguan sensorik distal s imetris alkohol, toksisitas, efek obat, sindrom
distal
Guillain-Barre)
Nyeri pada proksimal tungkai, bilateral Nervus perifer,
Diabetes mellitus
si metris ata u asimetris pleksus lumbal
Defisit multi pel, baik sensorik maupun Trauma, kompres i, infeksi, iskemia,
Pleksus
motorik, pada satu ekstremitas tumor, gangguan metabolik

Herniasi diskus, herpes zoster, sindrom


Defisit unilateral atau bilateral,
Radiks Guillain-Ba rre, tumor, sindrom
monoradikuler a tau poliradikuler
paraneoplastik

Vaskular, tumor, inflamasi, sklerosis


Ataksia spinal, sind rom transeksi
Medula sp inalis multi pel, kelaina n herediter, penyakit
medula spinalis komp li t atau inkomplit
metabolik, trauma, malformasi
Hilangnya sensasi proprioseptik dan
Craniocervica/
vibrasi pada ekstremitas atas dan Tumor, impresi basilar
junction
trunkus, tanda Lhermitte
Defisit sensorik yang menyilang, a tau
Satang otak Vaskular, tumor, multipel sklerosis
disosiasi kontralateral
Parestesi dan defisit sensorik
ko ntralate ral, disertai nyeri dan Talamus Vaskular, tumor, multipel sklerosis
hilangnya sensasi vibrasi
Parestesia, defisit sensorik kontralateral
(astereognosis, gangguan sensas i
Korteks post-
proprioseptif dan diskriminasi dua titik, Vas kular, tumor, trauma
sentralis
ketidakmampuan melokalisir stimulus,
agrafestesia)

140
Scanned for Compos Mentis
a b c d

e f g h

Gambar 8. Pola Abnormalitas Sensorik (warna yang lebih gelap = abnormal);


a. Hemianalgesia/hemihipestesia total; b. Gangguan pada lateral medula
oblongata; c. Lesi transversal medula spinalis; d. Hemiseksi medula spinalis;
e. Analgesia Cuirasse; f. Glove and stocking anesthesia; g. Sacral sparing; h.
Saddle anesthesia

141
Scanned for Compos Mentis
a b c
Gam bar 9. Distribusi Gangguan Sensorik yang Umum Terjadi Pada Saraf Perifer di Tangan
(a) SarafMedianus, (b) Radialis, dan (c) Ulnaris
Warna Abu-abu menunjukkan daerah inervasi yang paling umum, dengan variasi
daerah inervasi yang lebih sempit (garis putus-putus dalam) atau lebih luas (garis
putus-putus luar)

rkl n1 IV

Tru~
Inferior
pleksui
br klalls

nbla s
anterior
Gam bar 10. Distribusi Gangguan Sensorik Sesuai Lesi Saraf Peri fer (Warna Lebih Gelap =
Abnorma l)

142
Scanned for Compos Mentis
Daftar Pustaka
1. Rohkamm R. Color atlas of neurology. Stuttgart: Thieme; 2004.
2. Schwartzman RJ. Neurologic examination. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2008.
3. Ross RT. How to examine the nervous system. Edisi ke-4. New Jersey: Humana Press Inc; 2006.
4. Goldberg S. The 4-minute neurologic exam. Florida: MedMaster.1987.
5. Biller J, Gruener G, Brazis PW. The patient's mental status and higher cerebral functions.
Dalam: Biller J, Gruener G, Brazis PW, editor. DeMyer's the neurologic examination. Edition
ke-6. McGraw-Hill Medical Pub; 2011. h. 439-0
6. Fuller G. Neurological examination made easy. Edisi ke-5. Gloucester: Elsevier; 2013.
7. Campbell WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott
Willian & Wilkins; 2012. h. 517,542
8. Ropper AH. Adams and Victor's principles of neurology. New York: McGraw-Hill Medical
Pub. Division; 2005.

.I

Scanned for Compos Mentis


PEMERIKSAAN
KESEIMBANGAN DAN KOORDINASI
Riwanti Estiasari, Wardah Rahmatul Islamiyah
Widodo Mardi Santoso

Keseimbangan merupakan gambaran integritas antara komponen susunan saraf


pusat dan perifer. Sehingga untuk dapat memiliki keseimbangan yang baik maka
keseluruhan aksis neurologi harus berfungsi baik. Fungsi keseimbangan dipengaruhi
oleh sistem vestibulat~ proprioseptif, dan visual. Gangguan terhadap salah satu dari
ketiga sistem ini, akan menyebabkan mekanisme kompensasi dari dua sistem yang
lain, tetapi pasien masih dapat mempertahankan kesimbangannya. Akan tetapi jika
kedua sistem terganggu, maka akan terjadi gangguan keseimbangan.

Anatomi
Sistem vestibular tersusun atas komponen perifer dan sentral. Sistem vestibular
perifer berfungsi untuk mendeteksi dan menghantarkan informasi tentang gerakan,
posisi kepala dan efek gaya gravitasi. Sistem vestibular perifer ini juga akan
mempengaruhi tonus otot. Reseptor keseimbangan terletak di telinga dalam dekat
dengan koklea. Dikenal 2 macam reseptor keseimbangan yaitu makula statika yang
berfungsi menghantarkan impuls statik yang berhubungan dengan gaya gravitasi dan
gerakan kepala. Makuta statika terletak di dalam utrikulus dan sakulus. Sedangkan
reseptor untuk impuls kinetik adalah krista ampularis yang terletak pada ampula
yang merupakan pangkal dari ketiga sirkulus semisirkularis.
Dari reseptortersebutimpuls keseimbangan akan dihantarkan ke ganglion vestibularis
atau ganglion Scarpa yang terletak dalam meatus akustikus internus. Dari ganglion
Scarpa, nervus vestibularis diproyeksikan ke nukleus vestibularis yang terletak pada
bagian dorsal pons dan medula di dekat lantai ventrikel 4. Nukleus vestibularis akan
mengintegrasikan sinyal dari organ vestibular perifer, medula spinalis, sere bel urn dan
sistem visual (Gambar 1).

144
Scanned for Compos Mentis
Sistem vestibular perifer
Utrikulus dan sakulus (Makula statika) Sistem visual Proprioseptif
Kanalis semisirkularis (Krista ampularis)

Serebelum Talamus
(integrasi dan
modulasi)
Nukleus vestibularis
Korteks
Vestibularis

N. 3,4,6 Medula Spinalis Form asio retikularis

(Vestibulo-okular (Vestibolospinal refleks) Mual muntah


refleks) Mempengaruhi postur tubuh Gangguan kesadaran
dan kepala

••
Gambar 1. Sistem Vestibularis

Nukleus vestibularis bersama dengan serebelum memainkan peran yang sangat


penting dalam mengatur keseimbangan dan tonus otot.

Serebelum akan mengirimkan impuls yang diterimanya ke korteks serebri melalui


jaras aferen. Jaras aferen serebelum terdiri atas jaras kortikopontoserebelar,
kortikoolivoserebelar, dan kortikoretikuloserebelar. Serabut eferen serebelum yang
berasal dari nukleus globosus dan nukleus emboliformis membawa sinyal dari
serebelum melalui traktus rubrospinal menuju ke medula spinalis ipsilateral. Jaras
ini ikut berperan dalam mengatur aktivitas motorik. Sera but eferen yang berasal dari
nukleus dentatus membawa impuls saraf ke talamus dan nukleus rubra. Sedangkan
sera but eferen yang berasal dari nukleus fastigial akan menuju ke medula spinalis dan
ikut mengatur tonus otot.

Gejala gangguan keseimbangan yang paling banyak ditemui adalah vertigo/dizziness.


Vertigo adalah sensasi berputar baik subjek yang berputar maupun lingkungannya
yang berputar. Vertigo dapat disebabkan oleh gangguan pada sistem vestibular
maupun nonvestibular. Pada gangguan sistem vestibular vertigo yang dirasakan
berupa sensasi berputar (true vertigo) sedangkan pada sistem nonvestibular sensasi
yang timbul seperti goyah, tidak stabil atau seperti akan jatuh.

145
Scanned for Compos Mentis
Vertigo vestibular sendiri dapat diakibatkan oleh gangguan pada sistem vestibular
perifer maupun sentral. Keduanya memiliki perbedaan gejala dan tanda. Vertigo
vestibular perifer umumnya memiliki onset yang akut, disertai gejala mual dan
muntah yang be rat serta seringkali disertai gangguan pendengaran. Pada pemeriksaan
fisik tidak didapatkan defisit neurologis. Berbeda dengan tipe perifer, pada vertigo
vestibular tipe sentral onset umumnya gradual kecuali vertigo yang disebabkan
oleh stroke. Gejala mual dan muntah bisa bervariasi namun biasanya tidak seberat
tipe perifer. Gangguan pendengaran jarang ditemui. Pada pemeriksaan fisik akan
didapatkan defisit neurologis.

Manifestasi klinis lainnya dari gangguan sistem vestibular adalah gangguan cara
berjalan atau gait. Gait yang abnormal tidak hanya disebabkan oleh gangguan
sistem vestibular tetapi juga gangguan pada serebelum, sistem piramidal
maupun ekstrapiramidal. Gait juga dipengaruhi oleh sistem kardiopulmonal dan
muskuloskeletal. Gangguan gait akan dibahas bersamaan dengan teknik pemeriksaan
gait berikut.

Pemeriksaan
Pemeriksaan Gait
Siklus berjalan normal terdiri atas 2 fase yaitu fase berdiri dan fase berayun. Fase
berdiri terbagi lagi menjadi 4 fase yaitu, kontak inisial, pembebanan, berdiri dan akhir
berdiri. Sedangkan fase berayun terdiri atas, pra-berayun, berayun inisial, berayun
dan akhir berayun (Gambar 2).

- -- -- Fase menapak - -- - ---+ - Fase mengayun - -

heel loading mid· terminal pre· toe-o ff mid· terminal


strike response s tance stance swing swing swing

Double Single Double Single


+ support-+ +----support - - - + support-+ - - - support - - -

Gambar 2. Siklus Berjalan Normal

146
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan gait meliputi cara pasien duduk tanpa dibantu, berdiri dari posisi
duduk, postur tubuh, cara berdiri ( rentang kaki), inisiasi berjalan, cara berjalan, Iebar
langkah, cara mengangkat kaki, kecepatan, ayunan Iengan,Jreezing dan cara berputar.

Pasien dengan gangguan serebelum akan memperlihatkan gait yang tidak seimbang,
tampak goyah dan canggung serta rentang kaki umumnya Iebar. Pasien juga tampak
berayun baik ke de pan, belakang maupun sam ping. Gerakan tungkai juga tidak teratur
dengan hentakan kaki saat melangkah yang bervariasi. Pasien ummnya tidak mampu
berjalan mengikuti garis lurus (tandem gait). Selama gerakan dapat terlihat tremor
dan osilasi. Ataksia serebelar akan terlihat baik pada kondisi mata terbuka maupun
tertutup.

Pad a gangguan proprioseptif pad a pemeriksaan dapat ditemukan gait ataksia sensori.
Gangguan proprioseptif mengakibatkan pasien tidak dapat menentukan posisi
ekstremitas bawah ataupun seluruh tubuhnya kecuali dengan bantuan visual (mata
terbuka ). Gangguan gait akan semakin terlihat apabila pasien berjalan di tempat gelap
atau diminta menutup matanya. Sehingga pada saat berjalan pasien terlihat sangat
berhati-hati. Mata pasien tertuju ke kedua kaki selama berjalan. Pada saat berjalan
pasien akan mengangkat tungkainya tinggi-tinggi kemudian seolah melempar
kakinya ke lantai dengan kuat untuk meningkatkan stimulus ke sistem proprioseptif.
Tumit akan mencapai lantai terlebih dahulu baru kemudian jari-jari kaki. Gerakan ini
menimbulkan suara double-tap.

Lesi yang mengenai jaras kortikospinal juga dapat menyebabkan gangguan berjalan
berupa gait hemiparesis spastik. Pasien akan berdiri dengan postur hemiparesis,
lengan fleksi, aduksi, rotasi internal dan tungkai ekstensi. Pada saat berjalan ayunan
tangan tidak ada atau minimal. Tungkai tetap ekstensi dan kaku sehingga saat
melangkah tungkai akan diseret. Pelvis pada sisi paresis akan dimiringkan lebih
tinggi sebagai usaha untuk mengangkat tungkai yang kaku tersebut. Pasien akan
mengayunkan tungkainya dengan gerakan semisirkular dengan sumbu pada pelvis
(sirkumduksi).

Pasien dengan miopati seperti pad a penyakit distrofi muskular, memiliki pol a berjalan
yang disebut waddling gait. Pasien berjalan dengan rentang kaki yang Iebar, tampak
rotasi pelvis yang berlebihan dan pinggul diayunkan dari satu sisi ke sisi lainnya
pada setiap langkah untuk memindahkan beban tubuh. Umumnya pasien mengalami

147
Scanned for Compos Mentis
kesulitan untuk berdiri dari posisi berbaring dan harus bertumpu pada lutut dan
pahanya (tanda Gower) (Gambar 3).

Gambar 3. Tanda Gower

Pemeriksaan Keseimbangan
I. Pemeriksaan Romberg
Pemeriksaan Romberg bertujuan terutama untuk mendiagnosis ataksia sensorik
dan mengetahui abnormalitas proprioseptif. Pemeriksaan Romberg hanya dapat
dilakukan pada pasien yang tidak memiliki kelemahan motorik pada ekstremitas
bawah, memiliki visus yang baik dan kooperatif selama pemeriksaan. Sebaiknya
selama pemeriksaan pasien tidak memakai alas kaki.

Pemeriksaan Romberg dilakukan dengan meminta pasien untuk berdiri pada


alas yang datar dengan kedua kaki rapat, lengan berada di sisi tubuh dan mata
terbuka. Lengan juga dapat disilangkan pada dada dengan tangan mendekap
bahu (Gam bar 4) . Pemeriksa berdiri di dekat pasien dengan kedua lengan terjulur
ke depan, sehingga jika pasien terjatuh pemeriksa dapat segera menangkapnya.
Observasi pasien dalam kondisi tersebut selama 20 detik. Perhatikan apakah
pasien bergoyang a tau jatuh. Kemudian mintalah pasien menutup kedua matanya
selama 30 detik. Perhatikan kemampuan pasien untuk mempertahankan
posisinya agar tetap tegak.

148
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan Romberg dipertajam.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta pasien berdiri dengan kedua
kaki berada pada 1 garis, ibu jari kaki berada di belakang tumit kaki lainnya.
Kedua lengan menyilang di dada dengan telapak tangan menghadap bahu
yang berlawanan. Pasien diminta melihat jauh ke depan. Lakukan pengamatan
dalam kondisi mata terbuka selama 20 detik. Kemudian lakukan pengamatan
yang sama dengan mata pasien tertutup selama 30 detik. Selama pemeriksaan
pemeriksa berada di dekat pasien dengan kedua lengan terjulur ke depan dan
tidak menyentuh pasien (Gambar 5).
Pasien gemuk dan lanjut usia akan mengalami kesulitan berdiri pada posisi
ini dalam jangka lama. Pada populasi ini agak sulit menginterpretasikan hasil
pemeriksaan Romberg dipertajam. Pemeriksaan Romberg dipertajam dengan
mata tertutup atau Eyes Closed Tandem Romberg (ECTR) lebih sulit. Pada
pemeriksaan ini akan menghilangkan input proprioseptif. Ketika dikombinasi
dengan mata tertutup, maka tinggal tersisa input vestibular. Oleh karena itu pada
pasien dengan gangguan vestibular bilateral berat tidak akan mampu melakukan
ECTR dalam waktu enam detik.
Interpretasi hasil pemeriksaan Romberg ditentukan dari kemampuan pasien
mempertahankan keseimbangan. Pasien dikatakan tidak dapat mempertahankan
keseimbangan apabila terhuyung dan kaki berubah posisi (untuk mencegah
dirinya jatuh) atau hila pasien benar-benar jatuh. Apabila pasien tidak dapat
mempertahankan keseimbangan sejak awal pemeriksaan Romberg dilakukan,
yaitu saat masih dengan mata terbuka maka kemungkinan terdapat gangguan
pada serebelum. Sedangkan apabila pasien masih dapat mempertahankan
keseimbangan dengan mata terbuka namun terjatuh dengan mata tertutup maka
kemungkinan letak lesi ada pada jaras proprioseptif.
Pada pasien dengan gangguan keseimbangan organik umumnya ibu jari kaki akan
fleksi seolah berusaha menggenggam lantai. Sedangkan pada pasien histrionik
posisi ibu jari kaki umumnya ekstensi

Scanned for Compos Mentis


Gambar 4. Pemeriksaan Romperg Gam bar 5. Pemeriksaan Romberg Dipertajam

II. Fukuda Stepping Test (FST)


Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi fungsi labirin. Untuk dapat
melakukan pemeriksaan ini pasien harus mampu mempertahankan keseimbangan
dengan mata terbuka dan tidak ada kelemahan motorik pada ekstremitas
bawah. Suasana ruang pemeriksaan sebaiknya tenang dan pencahayaan redup,
untuk mencegah pasien mempertahankan lokasinya dengan berpatokan pada
cahaya maupun suara. Sebelum dimulai pemeriksa memperagakan teknik
pemeriksaannya terlebih dahulu dan pastikan pasien memahami teknik terse but
dengan meminta pasien untuk mengerjakannya dengan mata terbuka.

Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien berdiri dengan kedua lengan


ekstensi dan terjulur ke depan (Gambar 6) . Selanjutnya pasien diminta berjalan
di tern pat sebanyak SO langkah dengan mata tertutup. Pasien menghitung dengan
suara keras untuk mempertahankan konsentrasi. Pemeriksa berdiri di dekat
pasien tanpa bersuara dan menjaga jikalau pasien terjatuh.
Hasil pemeriksaan dinyatakan abnormal apabila pasien jatuh atau posisi
berdiri mengalami deviasi >45° dari posisi awal. Pada pasien dengan gangguan

150
Scanned for Compos Mentis
vestibular umumnya akan berdeviasi ke arah lesi. Akan tetapi interpretasi hasil
pemeriksaan FST perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan keseimbangan dan
neurologis lainnya. Deviasi juga dapat ditemukan pada orang normal yang tidak
memiliki keluhan gangguan keseimbangan.

Gam bar 6. Fukuda Stepping Test

III. Past Pointing Test (PPT)


Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi fungsi serebelum dan atau
sistem vestibular. Sebelum melakukan pemeriksaan ini perlu dipastikan
terlebih dahulu bahwa pasien tidak mengalami paresis pada ekstremitas atas.
Selain itu pasien harus kooperatif dan memahami prosedur pemeriksaan.

Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien mengekstensikan lengannya


dengan posisi jari telunjuk ekstensi. Pasien kemudian mengarahkan jari
telunjuknya ke jari telunjuk pemeriksa. Gerakan dilakukan beberapa kali dengan
mata terbuka terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan mata tertutup.
Dengan mata tertutup pasien diminta mengekstensikan lengannya sampai di atas
kepala, kemudian turun kern bali dan menyentuhkan ujung jari telunjuknya ke jari
telunjuk pemeriksa (Gambar 7). Posisi jari tangan pemeriksa tidak berpindah-
pindah.

151
Scanned for Compos Mentis
Gam bar 7. Past Pointing Test

PPT dikatakan positif bila lengan pasien mengalami deviasi dari target (jari
pemeriksa) dan arah deviasi konsisten pada beberapa kali pengulangan. Pada
gangguan vestibular akut, sisi labirin yang normal akan mendorong lengan ke
arah sisi abnormal sehingga jari pasien tidak tepat mengenai targetnya. Deviasi
ini dapat ditemukan pada kedua lengan dengan arah yang sama. Sedangkan pada
vestibulopati setelah fase kompensasi terlewati, past pointing test akan negatif.
Pada gangguan serebelum lengan ipsilateral lesi akan mengalami ataksia dan
inkoordinasi. PPT hanya terganggu pada lengan ipsilaterallesi.

IV. Pemeriksaan Nistagmus


Pemeriksaan ini dapat membantu menentukan letak lesi pada sistem vestibular
perifer atau sentral.

Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien mengikuti gerakan jari pemeriksa


dengan deviasi gerakan bola mata maksimal 30°. Gerakan dilakukan ke arah
vertikal dan horizontal. Apabila mata melirik maksimal ke lateral dapat timbul
nistagmus fisiologis (end point nistagmus).

Pemeriksaan Koordinasi/ Fungsi Serebelum


Kemampuan koordinasi terutama diatur oleh serebelum. Serebelum berperan dalam
menyinergikan kontraksi otot dengan mengatur tonus otot dan koordinasi pada
gerakan volunter.

152
Scanned for Compos Mentis
Gangguan pada serebelum tidak menyebabkan kelemahan akan tetapi akan
mempengaruhi gerakan.
Pasien dengan gangguan serebelum biasanya mengeluhkan tremor, inkoordinasi,
kesulitan berjalan (Bait ataksia serebelum) juga kesulitan berbicara (disartria). Pada
pemeriksaan dapat ditemukan nistagmus, hipotonia juga dismetria.
Berikut ini akan dibahas beberapa teknik pemeriksaan serebelum yang meliputi tes
telunjuk hidung, tes tumit lutut, rapid alternating movement dan fenomena rebound.
Pemeriksaan koordinasi hanya dapat diinterpretasikan dengan baik pada pasien yang
tidak memiliki kelemahan pada ekstremitas yang akan diperiksa. Pemeriksa juga
perlu meyakinkan terlebih dahulu bahwa pasien memahami prosedur pemeriksaan
yang akan dilakukan.
I. Tes Telunjuk Hidung
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan pasien pada posisi duduk, berbaring
maupun berdiri. Pemeriksa memposisikan jari telunjuknya di depan pasien.
Pasien diminta mengekstensikan lengannya dengan jari telunjuk ekstensi
dan menyentuhkan ujung jari telunjuk tersebut pada jari telunjuk pemeriksa.
Kemudian pasien diminta menyentuhkan ujung jari telunjuknya ke ujung
hidungnya. Gerakan ini dilakukan beberapa kali. Pemeriksa dapat mengubah
letak jari telunjuknya pada berbagai kuadran, perlahan lalu cepat. Jarak jari
telunjuk pemeriksa dengan pasien juga dapat diubah-ubah dari dekat ke semakin
jauh (Gambar 8).
Perhatikan kehalusan gerakan, akurasi dan tremor yang terlihat. Apabila terdapat
tremor intensi, umumnya akan semakin terlihat pada saat jari pasien bergerak
semakin dekat dengan target.
Pada pasien dengan dismetria gerakan jari akan terhenti sebelum mencapai target
kemudian akan bergerak lagi berusaha mencapai target dengan gerakan perlahan
yang tidak stabil (hipometri). Pada hipermetri gerakan jari akan melampaui
target dengan kecepatan dan kekuatan yang berlebihan. Temuan dismetri akan
konsisten pada beberapa kali pengulangan.
Pada gangguan serebelum lengan ipsilateral lesi akan mengalami ataksia dan
inkoordinasi. Tes tunjuk hidung hanya terganggu pada lengan ipsilaterallesi.

Scanned for Compos Mentis


Gam bar 8. Tes Telunjuk Hidung

II. Tes Tumit Lutut


Pasien diminta berbaring supinasi, kemudian diminta untuk mengangkat
tungkainya dan meletakkan tumit kakinya pada lutut kontralateral lalu tumit
bergerak menyusuri tuberositas tibia menuju ke ibu jari. Gerakan dilakukan
beberapa kali (Gambar 9) .

Pasien dengan gangguan serebelum akan mengangkat kakinya lebih tinggi dan
gerakan terlihat lebih kasar dan tidak akurat. Tremor intensi juga dapat terlihat
pada pemeriksaan ini. Pada gangguan serebelum tungkai ipsilateral lesi akan
mengalami ataksia dan inkoordinasi.

Gambar 9. Pemeriksan Tumit Lutut

III. Rapid Alternating Movements (RAM)


Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi disdiadokokinesia.
Disdiadokokinesia adalah ketidakmampuan dalam menyeimbangkan kontraksi
dan relaksasi otot agonis dan antagonis dalam suatu gerakan. Terdapat beberapa

154
Scanned for Compos Mentis
teknik pemeriksaan RAM yang dapat dilakukan baik pada ekstremitas atas
maupun ekstremitas bawah. Pada bab ini hanya akan dibahas pemeriksaan RAM
pada ekstremitas atas.

Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien melakukan gerakan pronasi dan


supinasi telapak tangan secara bergantian dengan secepat mungkin. Tangan dapat
bertumpu pada paha atau pada palmar maupun dorsum manus kontralateral
(Gambar 10). Teknik lain dengan meminta pasien melakukan gerakan seperti
sedang memutar kenop dengan kedua tangannya secara bersamaan.

Pasien dengan gangguan serebelum akan mengalami kesulitan melakukan gerakan


tersebut. Perhatikan akurasi, kehalusan dan kecepatan gerakan. Bandingkan
gerakan tangan kanan dan kiri.

Apabila pada pemeriksaan didapatkan sisi tangan kanan pasien mengalami


kesulitan melakukan RAM atau lebih lambat dibandingkan sisi kiri maka disebut
disdiadokokinesia kanan.

Gambar 10. Rapid Alteranating Movement

IV. Fenomena Rebound


Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien memfleksikan siku dan
mengaduksikan lengan bawah ke arah balm. Telapak tangan supinasi dan dalam
posisi menggenggam. Pemeriksa menarik lengan bawah pasien pada pergelangan
tangannya dan pasien diminta melawannya (seperti gerakan panco). Lengan
pemeriksa lainnya diposisikan di depan wajah pasien. Pemeriksa secara tiba-tiba
melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan pasien (Gambar 11).

155
Scanned for Compos Mentis
Pad a fungsi serebelum yang normal pasien dapat segera mengendalikan kontraksi
lengannya sehingga tidak menghantam wajahnya. Pacta lesi di serebelum
pasien tidak dapat mengendalikan kontraksi lengannya sehingga lengan
dapat menghantam wajahnya. Hal ini terjadi akibat gangguan pacta hubungan
resiprokal antara otot agonis dan antagonis sehingga pacta saat resistensi
dihilangkan mendadak pacta otot antagonis, otot agonis tidak dapat merespons
dan menahannya dengan cepat.

Gambar 11. Fenomena Rebound

Daftar Pustaka
1. Campbel WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2005.
2. Biller J, Gruener G, Brazis PW. Examination for cerebellar dysfunction. Dalam: Biller J,
Gruener G, Brazis PW, editor. DeMyer's the neurologic examination. Edisi ke-7. McGraw-
Hill Medical Publishing Division; 2016.Zhang YB, Wang WQ. Reliability of the Fukuda
stepping test to determine the side of vestibular dysfunction . Journal of International
Medical Research. 2011;39(4):1432 -7.
3. Van-Gerpen JA. Office assessment of gait and station. Semin Neural: Thieme Medical
Publishers. 2011:31(1):078-84.
4. Johnson BG, Wright AD, Beazley MF, Harvey TC, Hillenbrand P, lmray CH. The sharpened
Romberg test for assessing ataxia in mild acute mountain sickness. Wilderness &
environmental medicine. 2005;16(2):62-6.

156
Scanned for Compos Mentis
PEMERIKSAAN SISTIM SARAF OTONOM
Taufik Mesiano, Trianggoro Budisulistyo, Corry Novita Mahama

Sistem saraf otonom adalah sistem saraf yang mengontrol otot palos dan kelenjar.
Sistem ini mengendalikan berbagai fungsi organ dan jaringan di dalam tubuh
termasuk otot jan tung, otot palos pembuluh darah, dan kelenjar endokrin. Sistem saraf
otonom mengatur berbagai fungsi vital manusia seperti respirasi, sirkulasi, digesti,
penyesuaian suhu, dan metabolisme. Bersama dengan sistem endokrin, sistem saraf
otonom berperan memelihara homeostasis tubuh. Kontrol yang dilakukan oleh sistem
ini berlangsung sangat cepat dan terse bar luas karena satu akson preganglionik dapat
bersinaps dengan beberapa neuron post-ganglionik, sedangkan kontrol endokrin
berlangsung lebih lambat dan memberikan pengaruhnya melalui harmon yang
bersirkulasi dalam aliran darah.

Sistem saraf otonom terdiri dari 3 divisi yaitu divisi simpatis (torakolumbal),
parasimpatis (kraniosakral), dan enterik. Fungsi otonom berada di luar kontrol
volunter dan sebagian besar tidak disadari. Divisi simpatis dan parasimpatis memiliki
perbedaan anatomis, neurotransmiter serta efek fisiologis. Kedua divisi ini bekerja
sama untuk mempertahankan keseimbangan suasana internal (Gambar 1).

Divisi simpatis disebut juga sebagai fightjalarmjcombat system. Aktivitas simpatis


bertujuan menyiapkan tubuh pada keadaan darurat. Pada aktivasi simpatis, terjadi
peningkatan denyut jantung/ takikardi, arteriola di kulit dan usus mengalami konstriksi
dan arteriola pada otot rangka berdilatasi serta tekanan darah meningkat. Selain itu,
saraf simpatis mengakibatkan pupil berdilatasi, bronkodilatasi, penurunan motilitas
usus, relaksasi otot detrusor vesika urinaria, kontraksi otot palos sfingter; serta
mengakibatkan ram but berdiri dan kulit berkeringat.

Divisi parasimpatis disebut juga sebagai flightjholidayjescape system. Aktivitas


parasimpatis bertujuan menyimpan dan memulihkan tenaga. Pada aktivasi

157
Scanned for Compos Mentis
parasimpatis, terjadi perlambatan denyut jantung/bradikardi, bronkokonstriksi,
peningkatan motilitas usus, kontraksi otot detrusor vesika urinaria, relaksasi otot palos
sfingter, peningkatan aktivitas kelenjar (salivasi dan lakrimasi), serta ereksi.

Anatomi
Sistem saraf otonom terdistribusi ke seluruh susunan saraf pusat (SSP) dan tepi.
Sistem ini mensuplai persarafan ke organ dalam seperti pembuluh darah, lambung,
usus, hati, ginjal, kandung kemih, alat kelamin, paru, pupil, otot mata, jantung, serta
kelenjar keringat, Judah, dan pencernaan.

Sistem saraf otonom mempunyai neuron aferen, konektor dan efektor. Impuls aferen
yang berasal dari reseptor viseral berjalan melalui jaras aferen ke SSP, tern pat impuls
tersebut diintegrasikan melalui neuron konektor di berbagai tingkat yang kemudian
berjalan melalui jaras eferen ke organ efektor viseral.

Reseptor vis era! terdiri dari kemoreseptor, baroreseptor, dan osmoreseptor. Reseptor
nyeri terdapat di viseral dan jenis stimulasi tertentu - seperti kekurangan oksigen
atau regangan - dapat menimbulkan nyeri hebat.

~
.::.:. ·~
·.: 0
0 .'!:::::
-LJ
Akson preganglion <0-
-.r:.
dengan miefin "' c:
angtlpis E ·-
·-"'
Ci5S
tO

pad a
neurotrans
miner dan
reseptor
Akson pregaOQiion pada organ
dengan miefln ACh Akson postganglion
yang tipis tanpamlelin e%~~r

Gam bar 1. Perbandingan Sistem Saraf Somatik dengan Sistem Saraf Otonom

158
Scanned for Compos Mentis
Serabut aferen sistem saraf otonom membawa sensasi yang disadari dan tidak
disadari dari viseral umum. Serabut kecil bermielin dan tak bermielin membawa
impuls dari reseptor viseral menuju badan sel di radiks dorsal dan ganglia saraf
kranial. Aferen viseral yang memasuki medula spinalis bersinaps di kornu dorsal dan
kolumna grisea intermediolateral. Sensasi dari viseral berjalan terutama di traktus
spinotalamik dan spinoretikular, tetapi beberapa aferen viseral, terutama yang
berkaitan dengan kontrol usus dan kandung kemih dibawa melalui kolumna posterior.
Sesudah bersinaps di talamus, serabut sensori viseral berproyeksi ke area korteks
yang terlibat dalam fungsi otonom. Serabut otonom aferen di nervus vagus bersinaps
di ganglion nodosa dan sebagian di ganglion petrosal nervus glosofaringeus. Aferen
vagal mentransmisikan impuls dari jantung, pembuluh darah, paru-paru dan saluran
cerna; aferen glosofaringeus membawa informasi dari sinus karotis. Aferen tersebut
bersinaps di nukleus traktus solitarius dan terlibat dalam refleks otonom.
Serabut eferen sistem saraf otonom tersusun oleh neuron preganglionik (tingkat
pertama) di dalam SSP yang berakhir di ganglion di luar SSP dan neuron post-
ganglionik (tingkat kedua) yang membawa impuls menuju tujuannya di viseral.
Badan sel neuron preganglionik terletak pada kolumna lateral substansia grisea
medula spinalis dan di dalam nukleus motorik nervus kranialis III, VII, IX, dan
X. Badan sel akson ini bersinaps dengan badan sel neuron post-ganglionik yang
berkumpul bersama dan membentuk ganglion di luar SSP (Gambar 2).

Scanned for Compos Mentis


Pleksus
celiac

Lam bung

Pleksus
mesenterika
superior

Pleksus
renal is

Kolon

Nervus
splanikus
minor

Korda spinalis /
Ganglia
vertebra lis
(trunkus
simpatetik) Kandung kemih

Pleksus
hiJ?oga.strik
mfenor

...,..__ __ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ Uretra

Gambar 2. Skema Sistem Saraf Otonom

Divisi Parasimpatis
Divisi parasimpatis terdiri atas serabut eferen viseral umum nervus kranial III, VII,
IX, X, dan bagian bulbar nervus XI (cabang kranial), bersama dengan sera but yang
be rasa! dari segmen S2-S4 medula spinalis (cabang spinal). Divisi parasimpatis
berjalan terpisah-pisah, tetapi karena karakteristik anatomi, kesamaan fungsi dan
respon farmako logi yang sama, mereka diklasifikasikan sebagai satu sistem.

160
Scanned for Compos Mentis
Serabut parasimpatis sakral muncul dari kolumna intermediolateral level S2-S4,
berjalan melalui nervus sakralis dan berkumpul di nervus splangnikus pelvik (nervi
erigentes), yang menuju ke pleksus pelvik dan cabang-cabangnya. Beberapa serabut
saraf preganglion berjalan dari pleksus ini menuju viseral pelvis, tetapi kebanyakan
serabut preganglion berlanjut ke ganglion kecil di atau de kat viseral, di mana serabut
post-ganglion mensuplai persarafan kandung kemih, kolon desendens, rektum, anus,
dan genitalia.

Divisi Simpatis
Divisi simpatis adalah bagian terbesar sistem saraf otonom yang didistribusikan
secara luas ke seluruh tubuh dan mempersarafi jantung, paru, otot pada sebagian
besar dinding pembuluh darah, folikel rambut dan kelenjar keringat, serta banyak
organ viseral abdominopelvik. Eferen sistem simpatis berjalan melalui medula
spinalis, trunkus simpatikus, pleksus serta ganglion regional.
Serabut preganglion divisi simpatis muncul dari kolumna intermediolateral segmen
Tl-L3 medula spinalis. Serabut tersebut keluar menuju radiks ventral dari saraf
segmental yang berkaitan. Serabut ini berakhir di rantai ganglion paravertebral,
pleksus vertebral dan ganglion kolateral, atau kadang di ganglion terminal. Serabut
post-ganglion selanjutnya menuju ke viseral. Serabut preganglion simpatis biasanya
pendek dan berakhir di ganglion. Satu serabut preganglion bersinaps dengan banyak
neuron post-ganglion (Gam bar 3).

Scanned for Compos Mentis


Kolumna
dorsalis

Kulit (otot
Pembuluh arektor pili Organ target
darah dan kelenjar (di abdomen)
keringat)

Gam bar 3. Trunkus Simpatik dan Jarasnya

Ganglion simpatis terbagi menjadi 2 pleksus paravertebral dan prevertebral.


Ganglion paravertebral berada di sepanjang kolumna vertebralis sedangkan
ganglion prevertebral berada di anterior kolumna vertebralis. Ganglion prevertebral
menginervasi viseral abdomen dan pelvis. Trunkus simpatikus memiliki 22 hingga
24 ganglion dan memanjang dari level C2 hingga koksigeus. Terdapat 3 ganglion
servikat 10-12 torakal, 4 lumbal, dan 4-5 sakral. Di daerah Ieber, trunkus ini terletak
di anterior prosesus transversus vertebra servikalis. Di torakal trunkus terletak di
anterior kaput kosta atau di samping korpus vertebra. Sedangkan di pelvis terletak
di sebelah anterior sakrum. Di bagian bawah kedua trunkus bergabung menjadi satu
membentuk sebuah ganglion yang disebut ganglion impar (Gambar 4).

162

Scanned for Compos Mentis


Trunkus
simpatetlk

Saraf-saraf
splanknlk
saktal

Gam bar 4. Anatomi Ganglion Lumbosakral dan Ganglion Impar dari Trunkus Simpatikus

Neurotransmiter
Asetilkolin merupakan neurotransmiter pada neuron preganglion simpatis dan
parasimpatis serta neuron post-ganglion parasimpatis. Semua neuron yang
melepaskan asetilkolin pada ujungnya disebut neuron kolinergik. Terdapat 2
tipe reseptor asetilkolin yaitu nikotinik dan muskarinik. Kebanyakan reseptor
asetilkolin post-ganglion adalah muskarinik. Mereka memediasi efek jantung dan
menyebabkan konstriksi pupil, sekresi lakrimal, saliva, bronkokonstriksi, dan ereksi.
Juga menstimulasi motilitas saluran cerna dan menyebabkan pengosongan kandung
kemih dan rektum.

Norepinefrin merupakan neurotransmiter pada sebagian besar ujung saraf


post-ganglion simpatis primer kecuali pada kelenjar keringat yang memiliki
neurontransmiter kolinergik. Ujung simpatis yang menggunakan norepinefrin
disebut ujung adrenergik. Terdapat 2 tipe reseptor adrenergik di dalam organ
efektor yaitu reseptor alfa dan reseptor beta. Reseptor alfa adrenergik memediasi
dilatasi pupil, vasokonstriksi, ejakulasi, dan juga mengontrol sfingter kandung kemih
interna dan rektum. Reseptor beta adrenergik mengontrol jantung, menyebabkan
vasodilatasi, bronkodilatasi, dan memediasi efek metabolik.

163
Scanned for Compos Mentis
Regulasi Sentral Sistem Saraf Otonom
Regulasi sistem saraf otonom berada di bawah kendali pusat yang lebih tinggi di
korteks serebri, terutama di amigdala, hipotalamus, bagian basal kortikal lobus
frontal, striatum ventral, batang otak, dan medula spinalis. Bagian dari susunan
saraf pusat yang terlibat dalam fungsi otonom disebut sebagai jaringan otonom
sentral. Neuron dari jaringan otonom sentral berhubungan dan membuat suatu unit
fungsional dengan hipotalamus sebagai pusat terpenting.

Pemeriksaan
Gangguan pada sistem saraf otonom memiliki gejala yang bervariasi. Dalam melakukan
anamnesis pemeriksa harus cermat menanyakan berbagai keluhan yang dapat terjadi
termasuk gangguan ortostasik (frekuensi denyut jan tung dan tekanan darah ), gangguan
suhu tubuh, gangguan berkeringat, gangguan lakrimasi, gangguan fungsi saluran
pencernaan dan kandung kemih, gangguan pertumbuhan, serta gangguan fungsi
seksual.

Gejala gangguan ortostatik meliputi dizziness atau lightheadedness, presinkop, sinkop,


palpitasi, gemetaran (tremulousness), kelelahan, serta konfusi I bingung. Keluhan
memberat dengan perubahan posisi dari berbaringlduduk ke berdiri. Misalnya,
pasien dapat merasakan gejala sensasi bergoyang atau seperti mau pingsan pada saat
berubah posisi dari berbaring I duduk ke berdiri. Gejala ortostatik juga memberat
setelah makan, mandi air panas, konsumsi alkohol, atau berolah raga.

Gangguan fungsi berkeringat dapat berupa anhidrosis atau hipohidrosis. Pasien akan
mengeluhkan area kulit yang lebih keringl kurang berkeringat dibandingkan bagian
tubuh yang lain. Gejala lain meliputi konstipasi, disfagia, mudah kenyang, anoreksia,
diare (terutama malam hari), kehilangan berat badan, disfungsi ereksi, gangguanl
gaga! ejakulasi, ejakulasi retrograd, retensi urin, urgensi berkemih, infeksi saluran
kemih berulang, dan inkontinensia urin atau alvi.

Mengingat banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi sistem otonom, maka


perlu diperhatikan bahwa sebelum dilakukan pemeriksaan fungsi otonom,
konsumsi kafeinl nikotin harus dihentikan 3-4 jam, alkohol 8 jam, obat-obatan
simpatomimetik (jika memungkinkan 24-48 jam), dan antikolinergik dalam 48
jam.

164
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan otonom tidak rutin dilakukan. Namun, pemeriksaan ini dapat
diutamakan pada pasien dengan gambaran fisik umum berupa akromegali,
dwarfisme, dan ketidakseimbangan endokrin atau imaturitas seksual yang mungkin
mengindikasikan abnormalitas hipotalamus, serta kelainan sistemik seperti diabetes
melitus. Pemeriksaan otonom juga harus diperiksa pada pasien dengan kelainan
neurologis tertentu seperti parkinson, lesi medula spinalis, neuropati, tetanus,
sindrom Guillain-Barre, dan multiple system atrophy.
Mengingat sistem otonom yang kompleks, sebenarnya tidak ada satu pemeriksaan
khusus yang dapat merefleksikan fungsi otonom pada cabang spesifik tertentu.
Sebagian besar pemeriksaan mengacu pada uji dasar fungsi otonom kardiovaskular
seperti tes ortostatik dan manuver valsava karena keduanya dapat menilai fungsi
simpatis dan parasimpatis sekaligus.

I. Pemeriksaan Perubahan Ortostatik pada Tekanan Darah dan Denyut


Jan tung
Pemeriksaan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan denyut jantung
merupakan uji dasar fungsi otonom kardiovaskular. Perubahan ortostatik adalah
perubahan tekanan darah dan denyut jantung pada posisi tertentu. Sebelum
pemeriksaan pasien harus berbaring atau duduk terlebih dahulu pada ruanga?yang
tenang serta suhu dan kelembaban yang netral selama 30 menit. Tes dengan tempat
tidur yang dapat ditegakkan (tilt table) akan memberikan hasil yang lebih akurat. Jika
pengukuran tekanan darah dilakukan dengan sfigmomanometer standar, cu.ffdiletakkan
sejajar dengan jantung untuk meminimalisasi efek hidrostatik pada pengukuran.
Tekanan darah dan denyut nadi diperiksa pada posisi berbaring dan setelah
berdiri untuk periode yang bervariasi. Pemeriksaan tekanan darah dan denyut
nadi secara tipikal ditentukan pada menit ke-1, 3, dan 5 setelah berdiri. Pada
keadaan normal, tekanan darah sistolik saat berdiri tidak menurun lebih dari
20mmHg, dan tekanan darah diastolik tidak menurun lebih dari 10mmHg.
Frekuensi denyut jantung juga tidak meningkat lebih dari 30 kali per menit di
atas baseline pada kondisi normal. Bila refleks otonom kardiovaskular terganggu,
refleks takikardi mungkin tidak terjadi. Pasien dengan sindrom takikardi postural
akan mengalami takikardi tanpa hipotensi ortostatik (peningkatan denyut nadi
lebih dari 30 kali per menit di atas baseline atau lebih dari 120 kali per menit).

165
Scanned for Compos Mentis
II. Pemeriksaan Tonus Vagal Jantung
Pemeriksaan tonus vagal jantung meliputi penilaian variabilitas denyut
jantung terhadap manuver valsava atau manuver menarik nafas dalam. Apabila
tidak terdapat variabilitas denyut jantung maka fungsi otonom kemungkinan
mengalami gangguan, apabila terdapat variabilitas, maka fungsi otonom mungkin
normal. Penilaian denyut jantung dapat dilakukan secara manual atau dengan
monitor denyut jan tung/ elektrokardiografi. Variabilitas frekuensi denyut jan tung
berdasarkan usia dapat dilihat pada tabell.

Tabell. Nilai Normal Variabilitas Denyut Jantung Berdasarkan Usia


Usia (tahun) 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75
Variabilitas denyut jantung

lstirahat 7 7 6 6 5 5 5 4 4 4 3 3
lnspirasi 11 10 9 8 7 6 5 5 4 3 3 2
Valsava 22 20 19 17 16 15 13 12 11 9 9 8
Berdiri 15 13 12 11 9 8 7 6 5 5 4 3

III. Pemeriksaan Fungsi Kandung Kemih


Pemeriksaan fungsi kandung kemih terdiri atas:
A. Pemeriksaan untuk melihat adanya distensi kandung kemih dengan palpasi
dan perkusi.
B. Pemeriksaan refleks anal internal. Pemeriksaan refleks anal internal dilakukan
dengan insersi jari tangan yang memakai sarung tangan ke dalam anus. Refleks
sfingter anal internal normal, bila terdapat kontraksi sfingter interna. Refleks
sfingter anal internal terganggu bila terdapat penurunan tonus sfingter dan
anus tidak menutup segera setelah jari tangan ditarik.
C. Pemeriksaan volume residu urin postvoid dengan kateterisasi a tau bladder scan.

Disfungsi kandung kemih neurogenik [neurogenic bladder) yaitu disfungsi


kandung kemih yang disebabkan oleh gangguan sistem saraf. Gejala yang timbul
dapat berupa frekuensi, urgensi, mikturisi, presipitasi, inkontinensia masif atau
dribbling, kesulitan memulai berkemih, retensi urin, dan kehilangan sensasi
berkemih.

166
Scanned for Compos Mentis
IV. Pemeriksaan Produksi Air Mata
Produksi air mata oleh glandula lakrimalis dapat dievaluasi dengan beberapa
cara. Tes Schirmer dilakukan dengan meletakkan satu strip kertas filter steril di
kantung konjungtiva bawah dan mengukur derajat kebasahan selama 5 menit.
Teknik pemeriksaan ini secara lebih rinci telah dibahas pada subbab nervus
fasialis.

V. Pemeriksaan Refleks Visual


Refleksi visual berupa refleks cahaya langsung dan konsensual serta refleks
akomodasi dibahas lebih detail pada pemeriksaan saraf kranialis.

VI. Fungsi Seksual


Perangsangan seksual dapat menyebabkan ereksi dan ejakulasi. Ereksi
merupakan fungsi parasimpatis yang dimediasi melalui S2-S4; sedangkan
ejakulasi merupakan fungsi simpatis yang dimediasi oleh saraf lumbal. Pada
neuropati otonom, terutama pada diabetes melitus, ejakulasi retrograd dapat
mendahului terjadinya impotensi. Hal ini terjadi karena sfingter vesika interna
tidak menutup, sehingga semen tidak keluar melalui uretra tetapi masuk ke
kandung kemih. Pasien dengan ejakulasi retrograd dapat mengeluhkan urin yang
berwarna seperti susu (Gambar 5).

Scanned for Compos Mentis


Visual

Auditori

Taktil
Lobus
limbik Olfaktori

Gustatori

Memori

lmaginatif

Pusat
ereksi
torako-
lumbar

Ektraseptif
con: stimulasi taktil
pada genitalia

lnteroseptif
Pusat
ereksi Usus
sakral
S2,3,4 Kandung kemih
Nervi splanknlk pelvik
(nervi erigentes)

Vasodilatasi

Peningkata!liran darah
melalui penis
-----------------l• (E
.
REKS1 (f J
.

Gambar 5. Persarafan Otonom Fungsi Seksual

VII. Pemeriksaan Fungsi Berkeringat


Salah satu pemeriksaan fungsi berkeringat adalah tes perspirasi
(t/6ermoregulatory sweat testingJ suatu tes objektif yang sering digunakan
pada kasus lesi medula spinalis untuk menentukan batas lesi dan memperkuat
hasil pemeriksaan dalam menentukan batas lesi medula spinalis.
Prinsip pemeriksaan ini, keringat akan bereaksi dengan amilum/ tepung yang
diberi yodium, sehingga menimbulkan warna biru.

168
Scanned for Compos Mentis
Cara pemeriksaan:
A. Bagian depan tubuh pasien (di bawah leher) ditaburi dengan tepung yang
mengandung yodium.
B. Pasien berbaring dalam ruangan yang diatur suhunya antara 45-sooc dan
kelembaban 35-40%.
C. Bila perlu, pasien diberikan obat antipiretik untuk mempercepat pengeluaran
keringat.
D. Setelah beberapa lama (30-60 menit, tidak lebih dari 70 menit), ruangan
dibuka dan dicatat bagian tubuh mana yang warna tepungnya tetap putih,
yang menandakan tidak adanya produksi keringat di daerah tersebut.

Penggunaan amilum/ tepung dapat diganti dengan bedak, di mana area tubuh
yang masih diselubungi bedak setelah pasien berkeringat merupakan area yang
abnormal.

Daftar Pustaka
1. Snell RS. Snell's clinical neuroanatomy. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2001.
2. Campbel WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2005.
3. Fuller G. Neurological examination made easy. Edisi ke-3. Gloucester: Churchill
Livingstone; 2004.
4. Janicki TI, Green A, Ialacci S, Chelimsky TC. Autonomic dysfunction in women with chronic
pelvic pain. Clin Auton Res. 2013;23(2):101-3.
5. Illigens BMW, Gibbons CH. Sweat testing to evaluate autonomic function. Clin Auton Res.
2009;19(2):79-87. http:/ fdoi.org/10.1007 fs10286-008-0506-8.
6. Zygmunt A, Stanczyk J. Methods of evaluation of autonomic nervous system function. Arch
med sci. AMS. 2010;6(1):11. : ~·-
7. O'Brien lA, O'Hare PAUL, Corrall RJ. Heart rate variability in healthy subjects: effect of age
and the derivation of normal ranges for tests of autonomic function. Heart. 1986;55(4):
348-54.

Scanned for Compos Mentis


PEMERIKSAAN BRUIT
Rakhmad Hidayat, Melke joanne Tumboimbela

Pemeriksaan bruit merupakan bagian dari pemeriksaan klinis neurologis yang


bertujuan untuk menilai fungsi neurovaskular. Bruit didefinisikan sebagai suara
aliran darah yang terdengar karena adanya turbulensi. Suara ini dapat didengar
melalui auskultasi dengan stetoskop, dan sebagian bruit dapat dideteksi melalui
palpasi sebagai thrill. Pemeriksaan bruit umumnya dilakukan di area kepala, seperti
area karotis, area temporal, area orbital, dan area mastoid. Bruit dapat terdengar
pada berbagai kondisi seperti malformasi arterivena, angioma, aneurisma, dan
neoplasma yang menekan pembuluh darah besar, serta adanya plak aterosklerosis
yang mengoklusi pembuluh darah.

Bruit di area leher paling sering terdengar pada daerah bifurkasio arteri karotis, area
karotis komunis proksimal dan fosa supraklavikular. Terdengarnya bruit di area ini
biasanya menunjukkan adanya oklusi pembuluh darah di area tersebut. Bruit juga
dapat terdengar pada pasien dengan sirkulasi hiperdinamik atau pada pasien dengan
peningkatan curah jantung seperti pada pasien dengan hipertiroidisme atau pasien
dalam hemodialisis. Pada anak-anak tanpa oklusi pembuluh darah serta orang tua
dengan aterosklerosis sedang-berat, bruit terkadang dapat terdengar di arteri karotis
ekstrakranial.
Pada oklusi pembuluh darah derajat ringan, biasanya bruit tidak terdengar. Pada
oklusi pembuluh darah yang berat, bruit hanya terdengar lemah karena aliran yang
terbatas pada area oklusi tersebut atau dapat terdengar bruit nada tinggi seperti
bunyi peluit. Bruit paling jelas terdengar pada oklusi pembuluh darah derajat sedang.
Pada oklusi total salah satu arteri karotis, bruit dapat terdengar di arteri karotis
kontralateral dari oklusi. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan aliran pada arteri
kontralateral terse but. Bruit karotis juga dapat terdengar hingga area mastoid.

170
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan
Pemeriksaan Bruit Karotis
Pemeriksaan bruit karotis, diawali dengan melakukan palpasi ringan pada area karotis
untuk mendeteksi adanya thrill. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dalam
posisi berbaring ataupun duduk. Jika pemeriksaan dilakukan pada posisi duduk,
pemeriksa berada di belakang pasien sehingga dapat melakukan palpasi dan auskultasi
secara optimal. Pasien diminta untuk duduk dengan pandangan lurus ke depan dan
pemeriksa melakukan auskultasi di area karotis dengan menggunakan stetoskop
sisi lonceng (bell). Secara simultan, tangan pemeriksa yang lain melakukan palpasi
pada area karotis kontralateral. Pasien kemudian diminta untuk menarik nafas
dalam dan menahan nafas. Manuver ini bertujuan untuk meminimalisasi suara
nafas yang dapat mengganggu pemeriksa mendengarkan suara bruit (Gambar 1).

Gam bar 1. Teknik Pemeriksaan Bruit Karotis

Bruit arteri karotis interna dapat dibedakan dari bruit arteri karotis eksterna
dengan melakukan beberapa manuver. Kompresi arteri fasialis atau arteri temporalis
superfisialis yang berasal dari arteri karotis eksterna ipsilateral akan menyebabkan
suara bruit arteri karotis interna menjadi bertambah kuat, sedangkan suara bruit
arteri karotis eksterna akan melemah.

Manuver lain untuk membedakan kedua jenis bruit ini adalah dengan meminta pasien
menahan nafas. Dalam keadaan menahan nafas, terjadi peningkatan tekanan

171
Scanned for Compos Mentis
karbon dioksida intra-arterial yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi pembuluh
darah yang akan meningkatkan intensitas bruit karotis interna sekitar 30 persen dan
menurunkan intensitas bruit yang berasal dari arteri karotis eksterna. Intensitas bruit
arteri karotis interna juga dapat meningkat dengan manuver kompresi pacta arteri
karotis komunis kontralateral (Tabell).

Tabell. Manuver pacta Pemeriksaan Bruit Karotis


Manuver Kompresi I
Manuver Manuver Kompresi
a. Fasialis dan a.
Menahan a. Karotis Komunis
Temporalis Superfisialis
Napas Kontralateral
Ipsilateral

Bruit karotis interna i


Bruit karotis eksterna !

Adanya murmur jan tung juga dapat ditransmisikan ke pembuluh darah besar sehingga
terdengar sebagai bruit. Seringkali sulit untuk membedakan bruit karotis dan murmur
jantung. Murmur jantung biasanya akan terdengar lebih jelas saat stetoskop digeser
mendekati prekordial. Selain itu, murmur jantung jarang menjalar hingga ke area
orbital, sedangkan bruit karotis seringkali dapat terdengar di area orbital.

Pemeriksaan Bruit Orbital


Terdengarnya bruit orbitaljokular biasanya menunjukkan adanya oklusi pembuluh
darah intrakranial. Penyebab tersering munculnya bruit orbital adalah stenosis
dari sifon karotis ipsilateral. Bruit orbital yang disebabkan oleh aneurisma akan
menghilang dengan manuver kompresi karotis.

Pemeriksaan bruit sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dengan pemeriksa


maupun pasien dalam kondisi rileks. Pacta pemeriksaan bruit orbital, biasanya
pasien diperiksa dalam keadaan duduk dan diminta untuk menutup kedua matanya.
Pemeriksa berhadapan dengan pasien meletakkan stetoskop sisi lonceng (bell) di
salah satu mata pasien yang tertutup. Tangan pemeriksa yang lain melakukan palpasi
pacta karotis kontralateral sekaligus sebagai fiksasi agar kepala pasien stabil. Pasien
kemudian diminta untuk membuka mata yang tidak diperiksa dan melihat atau
memfiksasi pandangannya ke objek tidak bergerak. Manuver ini dilakukan guna

172
Scanned for Compos Mentis
mengurangi tremor dari kelopak mata. Pasien kemudian diminta untuk menahan
nafas dan pemeriksa fokus mendengarkan bruit yang biasanya muncul pacta fase
sistolik siklus kardiovaskular (Gambar 2).

Gambar 2. Teknik Pemeriksaan Bruit Orbital

Pemeriksaan Bruit Supraklavikular


Bruit juga dapat terdengar di area supraklavikular. Pacta auskultasi supraklavikulai~
manuver menggerakan lengan akan meningkatkan intensitas bruit pacta area
supraklavikular dengan stenosis arteri subklavia. Gerakan pada lengan yang disuplai
oleh arteri yang mengalami stenosis akan menyebabkan peningkatan aliran darah ke
lengan sehingga terjadi peningkatan turbulensi di area stenosis yang akan terdengar
sebagai bruit yang meningkat pacta area supraklavikular. Bruit supraklavikular
dapat merupakan temuan normal pacta anak-anak dan remaja, bruit ini akan
menghilang dengan manuver hiperekstensi bahu. Pada individu dewasa, adanya bruit
supraklavikular dapat menunjukkan adanya stenosis arteri subklavia atau arteri
vertebralis.

173
Scanned for Compos Mentis
Daftar Pustaka
1. Campbel WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2005.
2. Fuller G. Neurological Examination Made Easy. Edisi ke-3. Gloucester: Churchill
Livingstone; 2004.
3. Kurtz KJ. Bruits and hums of the head and neck. Dalam: Walker HK, Hall WD, Hurst JW,
editor. Clinical methods: the history, physical, and laboratory examinations. Edisi ke-3.
Boston: Butterworths; 1990.
4. Diagnostic: evaluation of the carotid arteries. Health and public policy committee,
American college of physicians. Ann Intern Med. 1988;109(10):835-7.

Scanned for Compos Mentis


PUNGSI LUMBAL
Muhammad Akbar, Kartika Maharani, Melke joanne Tumboimbela,
Yuliarni Syafrita, Darma Imran

Pungsi lumbal merupakan salah satu prosedur medis tersering yang dikerjakan di
bidang neurologi. Konsep pungsi lumbal pertama kali diperkenalkan oleh Walter
Essex Wynter pada tahun 1889 yang melakukan pembuatan akses ke ruang subdural
untuk menurunkan tekanan intrakranial pada meningitis tuberkulosis. Pada tahun
1891, Heinrich lrenaeus Quincke menggunakan jarum untuk mengalirkan cairan otak
pada pasien dengan hidrosefalus, serupa dengan tindakan yang saat ini kita sebut
sebagai pungsi lumbal.

Pungsi lumbal adalah tindakan yang aman, tidak mahal, dan sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis. Pada kasus infeksi susunan saraf pusat, organisme penyebab
dapat diidentifikasi dari cairan serebrospinal (CSS). Selain itu uji sensitivitas antibiotik
juga dapat dilakukan dengan materi CSS. Pungsi lumbal juga memiliki manfaat
terapeutik seperti pemberian kemoterapi intratekal pada kasus keganasan dan antin
yeri pada kasus nyeri yang berat. Tindakan ini juga dapat membantu menurunkan
tekanan intrakranial dengan mengeluarkan sejumlah CSS secara berkala seperti pada
kasus meningitis kriptokokus.

Untuk dapat melakukan tindakan pungsi lumbal dengan aman, pemeriksa perlu
menguasai anatomi struktur tulang belakang dan sirkulasi CSS. Memahami indikasi,
kontraindikasi dan teknik yang tepat juga sangat penting untuk menjamin keamanan
tindakan tersebut dan menghindari terjadinya komplikasi. Pungsi lumbal sebaiknya
dikerjakan sedini mungkin, tetapi dengan tetap memperhatikan kondisi pasien dan
prioritas tindakan lainnya yang bersifat menyelamatkan nyawa.

Anatomi
Sesuai dengan namanya, pungsi lumbal merupakan tindakan pengambilan CSS di
daerah vertebra lumbal. Lokasi pungsi lumbal pada orang dewasa umumnya adalah

175
Scanned for Compos Mentis
pada celah intervertebra L3 -L4 atau L4-LS. Titik ini ditentukan dengan garis Tuffier
atau garis imajiner yang menghubungkan spina iliaka anterior superior (SIAS)
kanan dan kiri dan melewati prosesus spinosus vertebra L4 (Gambar 1) . Lokasi ini
dinilai cukup aman karena medula spinalis pada orang dewasa berakhir sebagai
konus med ul aris setinggi vertebra Ll. Pada anak, medula spinalis berakhir pada
level vertebra L2-L3, sehingga lokasi pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pada celah
intervertebra L4-LS.

Gambar 1. Posisi Lateral Dekubitus dan Penentuan Lokasi Pungsi

Perkiraan jarak dari kulit sampai ke ruang epidural adalah 45 -SSmm pada pasien
dengan berat badan yang relatif normal, sedangkan duramater terletak hingga
7mm lebih ke dalam. }arum spinal standar sepanjang 90mm harus dimasukkan dua
pertiganya untuk mencapai ligamentum flavum . CSS akan didapatkan sekitar 10mm
lebih ke dalam. Struktur yang ditembus jarum spinal adalah kulit, jaringan subkutan,
otot, ligamentum supraspinatus, jaringan tebal dari ligamentum infraspinatus, dan
ligamentum flavum, lalu masuk ke rongga epidural sebelum akhirnya masuk ke
rongga subaraknoid dan CSS dapat dialirkan (Gam bar 2).

176
Scanned for Compos Mentis
Ligamen
. - , - - - - - - posterior
- - --.- ,-•.----r- - .'
1
/ ~
• · : longitudinal
;.: ·: : .'

Otot
.:::::.::/
\ ::·>=~y intervertebralis
Ligamen Diskus
supraspinosus
Ligamen
intraspinosus
Ligamentum _ ___l,!,.JI:2::S:~~-::-::n .... ......
.... ··:

..,
Kauda Equina
flavum .
... . .. . ..
... ·.·.'-...·.
:

~~
\ Rongga
··~· ~ subaraknoid

Dura mater
ke duramater
Pleksus
vena vertebralis
internal posterior
Rongga epidural

Gambar 2. Lapisan yang Dilewati Saat Melakukan Pungsi Lumbal

CSS merupakan cairan yang diproduksi terutama oleh pleksus koroid yang terletak
pada ventrikel lateraL Laju produksi CSS pada keadaan normal sekitar 20mLjjam
atau SOOmLjhari. Melalui keseimbangan proses produksi dan absorpsi, volume total
CSS dipertahankan antara 90-lSOmL. Sebanyak 30mL CSS berada di sistema lumbalis,
sehingga pengambilan lOmL masih aman. CSS bersirkulasi menuju ventrikel tiga,
melewati akuaduktus Sylvii menuju ventrikel empat, melewati foramen Luschka
dan Magendie menuju rongga subaraknoid di sekeliling otak dan medula spinalis
(Gambar 3). CSS kemudian diabsorpsi melalui viii araknoid lalu menuju sinus dan
sirkulasi sistemik.

177
Scanned for Compos Mentis
fventrikel lateral CSS

-
dari pleksus ,_ . Venlrikel
koroidalis .J lateral

1
melalul
foramen
l nt ervent ~i k ul ar

,. Ventrikel ke-3
.

dari pleksus
'
CSS
,_. Ventrikel
koroidalis ke-3

melalui
akuaduktu s

Ventrfkel ke-4 l CSS


1 serebri

dari pleksus , _ . Ventnkel


ko ro id ~ ke-4
-
l melalui apertura
lateral dan median

Subaraknoid

darah
arterial l
Viii araknoid
dari sinus

1
venosus dura

darah vena

Jantung dan
paru

Gam bar 3. Alur Produksi dan Sirkulasi Cairan Serebrospinal

Indikasi dan Kontraindikasi


Secara umum indikasi pungsi lumbal adalah sebagai berikut:
1. Indikasi diagnostik: untuk memperoleh data pengukuran tekanan pembukaan,
perhitungan jumlah sel, kimia, sitologi, dan pemeriksaan bakteriologi.
2. lndikasi terapeutik: untuk drainase CSS dalam rangka menurunkan tekanan
intrakranial, pemberian obat anestesi spinal dan epidural, tata laksana nyeri
melalui blok saraf, dan pemberian obat antibiotik atau kemoterapi.

178
Scanned for Compos Mentis
Selain itu, pungsi lumbal juga dikerjakan pada pemeriksaan radiologi seperti
mielografi atau pemberian agen radioaktif pada sisternografi.
Kontraindikasi absolut pungsi lumbal adalah sebagai berikut:
1. Infeksi kulit a tau jaringan yang lebih dalam di lokasi prosedur
2. Tanda vital yang tidak stabil (syok dan gagal napas)

Selain itu, kontraindikasi relatif yang perlu dipertimbangkan adalah peningkatan


tekanan intrakanial yang disertai gejala dan tanda herniasi, gangguan koagulasi yang
ditandai dengan INR>1,4, trombosit <SO.OOO/mm3, alergi terhadap obat yang akan
disuntikkan, dan trauma medula spinalis akut.
Pada kasus tertentu, perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan computed
tomography (CT) scan/magnetic resonance imaging (MRI) sebelum pungsi lumbal
untuk asesmen risiko dan komplikasi. CT scan atau MRI kepala direkomendasikan
pada pasien dengan penurunan kesadaran yang disertai defisit fokal dengan ancaman
herniasi dan kecurigaan massa di fosa posterior.

Prosedur Pungsi Lumbal


Dalam mengerjakan tindakan pungsi lumbal, harus digunakan perlengkapan steril
untuk menurunkan risiko komplikasi infeksi dan kontaminasi spesimen. Tindakan
ini juga berhubungan dengan cairan tubuh pasien sehingga alat pelindung diri yang
lengkap juga sebaiknya dikenakan oleh operator. Perlengkapan yang dibutuhkan
untuk pungsi lumbal tercantum pada Tabell.

I
i

1'19
Scanned for Compos Mentis
Tabel 1. Perlengkapan Tindakan Pungsi Lumbal
Perala tan

Alat pelindung diri


Topipelindung
Masker
Apron plastik a tau (jika ada) baju tindakan steril

Peralatan
Sarung tangan steril
Kassa steril
Duk bolong steril
Tabung steril (untuk menampung cairan otak)
]arum suntik 3cc (untuk anestesi lokal)
]arum suntik Sec (untuk pengambilan darah)
]arum spinal no. 20-22G
Manometer steril (dapat diganti dengan blood set)
Three way stopcock
Pengukurfpenggaris (untuk pengukuran tekanan pembukaan)
Plester

Obat-obatan
Povidon iodin
Alkohol 70%
Lidokain 1 o/o (untuk anestesi lokal sebelum tindakan)
Midazolam 15 mg*

Lain-lain
Kantung pengiriman spesimen

Reagen Nonne & Pandy

*Diberikan pada pasien ya ng tidak kooperatif dengan memantau tand a vita l

Sebelum melakukan pungsi lumbal, pastikan kembali indikasi benar dan tidak ada
kontraindikasi pada pasien. Persetujuan harus diperoleh sebelum melakukan tindakan.
Pasien harus diinformasikan tentang komplikasi yang dapat terjadi. Pungsi lumbal
adalah prosedur aseptik, sehingga dapat dilakukan di ruang perawatan atau ruang
tindakan, kecuali pungsi lumbal terapeutik yang harus dilakukan di ruang khusus.

180
Scanned for Compos Mentis
Berikut urutan yang dikerjakan dalam tindakan pungsi lumbal:
1. Memastikan pasien atau keluarga pasien telah memahami tujuan dan risiko
komplikasi tindakan pungsi lumbal serta telah menandatangani surat
persetujuan tindakan.
2. Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan (Tabel1).
3. Mengatur posisi pasien
a. Pungsi lumbal dapat dikerjakan dalam posisi lateral dekubitus ataupun
duduk. Namun, posisi lateral dekubitus lebih direkomendasikan karena
akan memberikan hasil pengukuran tekanan pembukaan yang lebih akurat
dan menurunkan risiko komplikasi nyeri kepala pascapungsi (post lumbar
puncture headachefPLPH).
b. Pasien diminta berbaring dalam posisi lateral dekubitus, sedekat mungkin
dengan tepi tern pat tidur.
c. Kepala pasien difleksikan, lalu pasien diminta memfleksikan sendi lutut
dan panggul secara maksimal (knee-chest position) untuk melebarkan jarak
antar prosesus spinosus vertebra.
d. Hindari fleksi kepala ke arah lateral I laterofleksi dengan meletakkan bantal
di bawah kepala pasien.

4. Menentukan lokasi pungsi


Penentuan lokasi pungsi dilakukan dengan melakukan palpasi pada kedua SIAS
dan membuat garis imajiner dari SIAS yang memotong prosesus spinosus L4,
kemudian ditentukan lokasi pungsi di celah intervertebra L3-L4 atau L4-LS.
Titik potong terse but yang akan menjadi lokasi pungsi (Gam bar 1).
5. Tindakan pungsi lumbal
a. Setelah pasien diposisikan dan lokasi pungsi telah ditentukan, operator
mencuci tangan, lalu menggunakan alat pelindung diri berupa masker, dan
sarung tangan steril. Jika tersedia, dapat digunakan alat pelindung diri yang
lebih lengkap seperti kacamata pelindung, bot, dan baju tindakan steril.
b. Membersihkan area pungsi dengan povidon iodin dilanjutkan dengan
alkohol 70% dengan gerakan sirkular dan mengarah ke luar.
c. Pasang duk bolong steril pada area pungsi.
d. Anestesi lokal dengan lidokain 1% disuntikkan secara infiltratifke jaringan
subkutan.

Scanned for Compos Mentis


a. Pada lokasi yang telah ditentukan, tusukkan jarum spinal beserta stylet/
mandrin pada celah intervertebralis dengan sudut 15-30° ke arah kranial
secara perlahan. Posisi needle bevel up atau menghadap ke wajah operator.
Hal ini untuk menciptakan luka minimal pada duramater yang memiliki
posisi paralel dengan aksis spinal. Selama proses penusukan, usahakan agar
posisi jarum sejajar dengan lantai.
b. Dorong jarum spinal hingga menembus ligamentum flavum (menimbulkan
sensasi "pop"), lalu cabut mandrin dan perhatikan apakah ada aliran CSS.
Bila belum ada aliran, jarum spinal diputar untuk memastikan tidak ada
sumbatan. Bila cairan tetap tidak keluar, mandrin dipasang kembali dan
jarum spinal didorong lagi perlahan hingga ada aliran CSS. Apabila tetap
tidak ada cairan CSS, periksa kembali posisi pasien dan jarum.
c. Setelah CSS mengalir, masukkan kembali mandrin dan lakukan persiapan
pengukuran tekanan pembukaan. Siapkan dan pasang three way stopcock
dilanjutkan dengan manometer atau blood set lalu perhatikan aliran CSS.
Tunggu hingga CSS berhenti dan tampak undulasi kemudian ukur dengan
penggaris. Catat tekanan pembukaan yang didapat.
d. Tutup jalur CSS ke arah manometer atau blood set, lalu alirkan ke arah
tabung steril untuk menampung CSS hingga volume yang diperlukan.
e. Setelah volume cukup, tutup jalur ke arab tabung steril dan biarkan CSS
mengalir kembali ke arab manometer. Lakukan pengukuran tekanan
penutupan. Setelah selesai lepaskan three way stopcock dan cabut jarum
spinal secara perlahan.
f. Tutup luka pungsi dengan kasa steril yang telah dibubuhi povidon iodin.
g. Setelah tindakan selesai, pasien diminta berbaring selama 2-3 jam untuk
mengurangi kebocoran CSS.
h. Ambil darah sebanyak 3-SmL untuk pemeriksaan gula darah sewaktu.
i. Segera kirim spesimen yang telah diambil ke laboratorium.

Komplikasi
Pungsi lumbal adalah tindakan yang relatif aman. Namun, terdapat beberapa risiko
komplikasi yang dapat terjadi. Komplikasi terse but ialah:

182
Scanned for Compos Mentis
1. Nyeri kepala pascapungsi atau post lumbar puncture headache (PLPH)
Merupakan keluhan terseringyang dialami 10-30% pasien pascapungsi lumbal. Kondisi
ini disebabkan oleh kebocoran CSS dari dura disertai traksi dari struktur peka nyeri di
sekitar lokasi pungsi. Kriteria diagnosis PLPH meliputi nyeri kepala (umumnya di bagian
frontal atau oksipital), dirasakan dalam 24-48 jam setelah tindakan, dengan karakteristik
memberat saat posisi duduk atau berdiri dan membaik saat berbaring. Pemberian
analgetik dan kafein dapat mengurangi nyeri. Penggunaan jarum atraumatik dan posisi
bevel up dapat menurunkan risiko PLPH hingga 50%.
2. Infeksi
Komplikasi infeksi pascapungsi dapat berupa selulitis, abses kulit, abses epidural,
dan diskitis. Hal ini dapat terjadi akibat jarum spinal yang terkontaminasi. Akan
tetapi, komplikasi ini jarang terjadi dan dapat dihindari dengan pemakaian alat
dan prosedur yang steril, serta aplikasi teknik antisepsis yang tepat.
3. Perdarahan
Perdarahan serius jarang terjadi, tetapi perlu diwaspadai pada pasien dengan
koagulopati atau trombositopenia berat karena memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk mengalami perdarahan spinal. Kejadian perdarahan pascapungsi lumbal
dilaporkan sebanyak 2% dari pasien yang mendapatkan antikoagulan. Pada
pasien tanpa kecurigaan koagulopati, perdarahan spinal tetap perlu dicurigai
apabila terjadi paraparesis segera setelah pungsi lumbal.
4. Disestesia
Iritasi saraf atau radiks oleh jarum spinal dapat menyebabkan disestesia pada
ekstremitas bawah. Menarik jarum tanpa mandrin dapat menyebabkan aspirasi
jaringan saraf atau araknoid ke ruang epidural. Untuk mencegah komplikasi ini,
selalu pasang kembali mandrin sebelum menarik jarum.

5. Herniasi serebri
Herniasi serebri ialah komplikasi terberat pascapungsi lumbal. Kejadian ini dapat
diantisipasi dengan penilaian risiko sebelum tindakan, dan pada kasus tertentu
dapat dilakukan CT scan atau MRI sebelum tindakan.

183
Scanned for Compos Mentis
Daftar Pustaka
1. Brinker T, Stopa E, Morrison J, Klinge P. A new look at cerebrospinal fluid circulation. Fluid
Barriers CNS. 2014;11:10.
2. Sakka L, Coli G, Chazal J. Anatomy and physiology of cerebrospinal fluid. Eur Ann
Otorhinolaryng Head Neck. 2011;128(6):309-16.
3. Ropper AH, Samuels MA. Disturbances of cerebrospinal fluid and its circulation, including
hydrocephalus, pesudomotor cerebri, and low-pressure syndromes. Dalam: Ropper AH,
Samuels MA, editor. Adams and Victor's principles of neurology. Edisi ke-9. The McGraw
Hill Company; 2009. h. 591-611.
4. Ellenby MS, Tegtmeyer K, Lai S, Braner DAV. Lumbar puncture. N Engl JMed. 2006;355:e12.
5. van Crevel H, Hijdra A, de Gans J. Lumbar puncture and the risk of herniation: when should
we first perform CT?. J Neurol. 2002;249:129-37.
6. Butson B, Kwa P. Lumbar puncture. Emerg Med Aust. 2014;26(5):500-1.
7. Biller J, Gruener G, Brazis P. Ancillary neurodiagnostic procedures-lumbar puncture
and neuroimaging. Dalam: Biller J, Gruener G, Brazis P,. editor. DeMyer's the neurologic
examination. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2017. h. 531-5.
8. Turtzo LC. Cerebrospinal fluid acquisition and analysis in modern clinical practice. Dalam:
Irani DN, editor. Cerebrospinal fluid in clinical practice. Edisi ke-1. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2009. h. 55-62.
9. Doherty CM, Forbes RB. Diagnostic lumbar puncture. Ulster Med J. 2014;83(2):93-102.

Scanned for Compos Mentis


DAFTAR TILIK

PEMERIKSAAN NEUROLOGI

Observasi kondisi pasien dan lingkungannya yang bisa mengganggu penilaian


1. kesadaran, misalnya terpasang trakeostomi, pipa endotrakeal, memakai alat bantu
dengar, pelumpuh otot, lingkungan yang membahayakan, dan suara bising.
Pasien diberi rangsangan suara dengan cara memanggil, menanyakan namanya,
lokasi dan waktu saat pemeriksaan. Pasien juga diminta berjabat tangan. Bila
2.
terdapat kelumpuhan ekstremitas, maka pasien bisa diminta membuka mulut,
menjulurkan lidah, atau mengedipkan mata.
Perhatikan dan berikan nilai respons terbaik untuk komponen buka mata (E),
3.
motorik (M), dan verbal (V) setelah pasien diberi rangsangan suara.
Bila pasien masih bel urn membuka mata setelah diberi rangsangan suara (E), berikan
rangsangan nyeri pada kuku jari tangan pasien menggunakan pulpen atau penlight.
4.
lntensitas nyeri naik bertahap secara progresif hingga maksimallO detik a tau telah
mencapai respons terbaik.

Bila pasien tidak dapat mengikuti perintah pemeriksa (M), maka rangsangan nyeri
5. diberikan dengan cara mencubit otot trapezius. lntensitas rangsangan naik bertahap
secara progresifhingga maksimallO detik atau telah mencapai respons terbaik.

Bila pasien bel urn menunjukkan respons terbaik, tekan takik supraorbita dengan ibu
6. jari. Intensitas rangsangan naik bertahap secara progresif hingga maksimal 10 detik
atau telah mencapai respons terbaik.

Bila pasien bel urn juga menunjukkan respons terbaik maka pemeriksa memberikan
7.
rangsangan nyeri di sternum.

Perhatikan dan berikan nilai respons terbaik untuk komponen buka mata (E),
8.
motorik (M), dan verbal (V) setelah pasien diberi rangsangan nyeri

Pemeriksa mendokumentasikan hasil pemeriksaan GCS yang terdiri dari nilai


9.
respons terbaik untuk komponen buka mata (E), motorik (M), dan verbal (V)

185
Scanned for Compos Mentis
FOURSCORE

Menilai respons buka mata pasien diawali dengan inspeksi untuk melihat respons
terbaik, yaitu mata terbuka dan bisa mengikuti gerakan objek ATAU mengedipkan
1. mata sesuai perintah pemeriksa. Jika tidak seperti itu, maka pemeriksa memberi
rangsangan berupa suara keras. Jika masih belum membuka mata juga, maka
diberikan rangsangan nyeri di takik supraorbita atau sendi temporomandibular.

Menilai respons motorik pasien pacta ekstremitas atas dengan cara meminta pasien
untuk melakukan tiga gerakan, yaitu mengangkat ibu jari, membuat peace sign dengan
2. jari tangan, dan mengepalkan tangan. Jika pasien tidak dapat melakukan ketiga hal
tersebut, pemeriksa memberikan rangsangan nyeri di takik supraorbita atau sendi
temporomandibular.
Menilai refleks batang otak pasien dengan cara memeriksa refleks pupil dan kornea.
3. Jika tidak ditemukan kedua refleks tersebut, maka dilakukan pemeriksaan refleks
batuk.
Menilai pernapasan pasien yang diawali dengan inspeksi apakah pasien terintubasi
atau tidak. Pacta pasien yang tidak terintubasi, pemeriksa menilai pola pernapasan
4. pasien (regular, iregular, Cheyne-Stokes). Pacta pasien yang terintubasi, pemeriksa
membandingkan gelombang napas pasien dengan mesin ventilator dan menilai
adakah usaha napas pasien.
Mendokumentasikan hasil pemeriksaan FOUR score yang terdiri dari empat
5. komponen, yaitu buka mata (E), motorik (M), refleks batang otak (B), dan pernapasan
(R)

186
Scanned for Compos Mentis
KakuKuduk
1. Pasien diminta berbaring terlentang tanpa ban tal
2. Pemeriksa meletakkan tangan kirinya pada bagian belakang kepala pasien
3. Tangan kanan pemeriksa menahan dada pasien
4. Leher pasien kemudian difleksikan ke arah dada
5. Pemeriksa merasakan ada atau tidaknya tahanan

Brudzinski Neck Sign


1. Pasien berbaring terlentang tanpa ban tal
2. Pemeriksa meletakkan tangan kirinya pada bagian belakang kepala pasien
3. Tangan kanan pemeriksa menahan dada pasien
4. Leher pasien kemudian difleksikan ke arah dada
5. Pemeriksa memperhatikan adanya fleksi pada sendi panggul dan lutut kedua tungkai
6. Hasil pemeriksaan positifbila didapatkan fleksi pada sendi panggul dan lutut

Brodzinski Contralateral Reflex Sign


1. Pasien diminta berbaring terlentang
2. Pemeriksa memfleksikan sendi panggul dan lutut salah satu tungkai pasien
Pemeriksa memperhatikan fleksi dari sendi panggul dan lutut tungkai kontralateral
3.
(positif)

Kernigue
1. Pasien diminta berbaring terlentang
Pemeriksa melakukan fleksi pada salah satu sendi panggul pasien hingga posisi paha
2.
menjadi vertikal, kemudian secara perlahan sendi lutut diekstensikan
Tanda ini dikatakan positif hila lutut pasien tidak dapat diekstensikan dengan sudut
3.
>135° pada sendi panggul yang sudah fleksi
4. Lakukan pemeriksaan ini pada sisi kontralateral

Lasegue
1. Pasien diminta berbaring terlentang
Pemeriksa mengangkat salah satu tungkai pasien dengan sendi lutut ekstensi hingga
2.
mencapai sudtut 70°
Hasil pemeriksaan positif apabila timbul nyeri radikular pada saat tungkai
3.
diekstensikan dan tidak dapat mencapai sudut 70°
4. Lakukan pemeriksaan ini pada sisi kontralateral

187
Scanned for Compos Mentis
1. Pemeriksa memastikan tidak terdapat sumbatan atau kelainan pada lubang hidung
pasien.
2. Pasien diminta untuk memejamkan matanya
3. Pasien diminta untuk menutup salah satu lubang hidung dengan jari tangan.
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan terlebih dahulu pada lubang hi dung yang
dicurigai terdapat kelainan.
4. Pasien diminta untuk mencium bau-bauan tertentu melalui lubang hi dung yang
terbuka dan menyebutkan jenis bau yang terdeteksi
5. Pasien diminta untuk menyebutkan jenis bau yang terdeteksi
6. Pemeriksaan yang sama dilakukan pada lubang hi dung lainnya
Nervus Optikus (N. II)

Ketajaman Penglihatan (Visus)


1. Pemeriksa melakukan pengamatan atau inspeksi untuk mendeteksi adanya kelainan
pada mata bagian luar seperti kekeruhan pada lensa, jaringan parut atau kekeruhan
pada kornea, serta adanya peradangan pada mata.
2. Pasien diminta menutup salah satu mata dengan tangan atau dengan penutup mata.
3. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan atau tanpa kacamata atau lensa kontak
4. Pasien diminta untuk membaca dan menyebutkan huruf-hurufpada papan Snellen
yang berjarak 6m, secara berurutan dari baris paling atas ke bawah hingga akhirnya
tidak dapat menyebutkan dengan benar a tau tidak terlihat lagi.
5. Apabila pasien tidak dapat menyebutkan hurufpaling atas pada papan Snellen,
pemeriksaan dilanjutkan dengan menghitung jari pemeriksa.
6. Pemeriksa berdiri pada jarak 1, 2, 3, 4, dan 5m dari pasien.
7. Pasien diminta untuk menyebutkan jumlah jari pemeriksa yang diperlihatkan
kepadanya pada setiap meter jarak terse but.
8. Jika pasien tidak dapat menyebutkan jumlah jari pemeriksa pada jarak 1m,
pemeriksaan dilanjutkan dengan melihat lambaian tangan pemeriksa.
9. Ada pun pasien yang tidak dapat melihat lambaian tangan pemeriksa, pemeriksaan
visus dilakukan dengan meminta pasien melihat ada tidaknya cahaya yang berasal
dari penlight pemeriksa.
10. Pemeriksaan visus juga dapat dilakukan dengan kartu baca Jaeger atau kartu
skrining penglihatan Rosenbaum dengan meminta pasien menutup salah satu mata
lalu membaca kartu tersebut pada jarak baca (30cm).
11. Semua pemeriksaan visus di atas dilakukan lagi dengan menggunakan pinhole yang
diletakkan di depan mata pasien.
12. Pemeriksaan yang sama dilakukan pada mata lainnya.

188
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Konfrontasi
1. Pasien diminta duduk pacta jarak 50cm dari pemeriksa dengan ketinggian mata yang
sama dengan pemeriksa
2. Pasien diminta menutup salah satu mata dengan tangannya
Pemeriksa juga menutup matanya yang berhadapan dengan mata pasien (jika pasien
menutup mata kanan maka pemeriksa menutup mata kiri)
3. Pasien diminta melihat ke arah mata pemeriksa
4. Pemeriksa meletakkan jari telunjuknya sejauh mungkin dari Ia pang pandangnya pacta
em pat arah mata angin, yaitu timur !aut (45°), barat !aut (135°), barat daya (225°),
dan tenggara (315 °). Jarak pandang antara pemeriksa ke jarinya harus sama dengan
jarak pandang antara pasien ke jari pemeriksa.
5. Pemeriksa kemudian menggerakkan jari telunjuknya atau tangannya ke arah medial
secara perlahan-lahan sambil menanyakan apakah pasien bisa melihat gerakan jari
telunjuk a tau gerakan tangan terse but. Jika pasien sudah bisa melihat jari a tau gerakan
tangan pemeriksa, pemeriksa menghentikan gerakan ke medial dan mengubah posisi
gerakan tangannya.
6. Pemeriksaan yang sama dilakukan pacta mata lainnya
Pemeriksaan Buta Warna
1. Pasien diminta menyebutkan warna objek di sekitarnya, misalnya warna baju
pemeriksa (jika kartu Ishihara tidak tersedia)
2. Pasien diminta untuk menyebutkan angka yang terlihat pacta kartu Ishihara.
3. Pemeriksaan dilakukan pacta tiap mata secara bergantian
Pemeriksaan Fundus Mata dengan Oftalmoskop Direk
1. Ruangan pemeriksaan diredupkan atau digelapkan
2. Pemeriksaan dapat dilakukan pacta keadaan pasien duduk a tau berbaring
3. Pasien diminta untuk melepaskan kacamatanya (bila ada)
4. Pacta keadaan tertentu dapat digunakan midriatikum (perhatikan kontraindikasi
pemakaian midriatikum dan efek sam ping yang dapat ditimbulkannya)
5. Pemeriksa mendekatkan salah satu matanya ke oftalmoskop. Mata kanan pemeriksa untuk
memeriksa mata kanan pasien, mata kiri pemeriksa untuk memeriksa mata kiri pasien.
6. Pacta jarak sekitar 30cm dari mata pasien, pemeriksa dapat memulai mengevaluasi fundus
mata dengan mengarahkan oftalmoskop ke pupil pasien dan melihat adanya red reflex.
7. Pemeriksa mendekatkan oftalmoskop ke mata pasien, sehingga wajah pemeriksa
berada dekat dengan wajah pasien.
8. Pasien diminta untuk bernapas seperti biasa dan boleh mengedipkan matanya, tetapi
dianjurkan untuk tidak me Jirik.
9. Pemeriksa dapat mengatur kekuatan ( dioptri) lensa oftalmoskop untuk mendapatkan
gambaran fundus mata yang lebih jelas dan terfokus.
10. Pemeriksa mengidentifikasi pembuluh darah retina, kemudian menelusurinya ke
arah nasal hingga menemukan diskus optikus (papil).
11. Pemeriksa mengevaluasi keadaan fundus mata di seluruh sisi sejauh mungkin dan
menilai pembuluh darah retina, makula, dan gambaran retina lainnya.
12. Pemeriksaan yang sama dilakukan pacta mata lainnya.

189
Scanned for Compos Mentis
Nervus Okular (N. III, IV, dan VI)

Pemeriksaan Pupil
1. Pemeriksa melakukan inspeksi terhadap bentuk, posisi, kesimetrisan, dan ukuran
pupil pasien.
2. Pemeriksaan refleks cahaya langsung. Pasien diminta melihat jauh ke depan.
Pemeriksa menyorotkan cahaya ke arah pupil dan mengamati perubahan diameter
pupil yang terjadi.
3. Pemeriksaan refleks cahaya tidak langsung. Pemeriksa mengamati perubahan
diameter pupil pada mata yang tidak disorot cahaya ketika mata lainnya masih
mendapat so rotan cahaya langsung.
4. Pemeriksaan refleks akomodasi. Pemeriksa menggerakkan jari telunjuknya dari
jarak yang agak jauh dari wajah pasien mendekat ke arah wajah pasien. Pasien
diminta mengikuti gerakan jari pemeriksa tersebut. Perhatikan perubahan ukuran
pupil yang terjadi (respons normal pupil akan miosis)

Pemeriksaan Gerakan Bola Mata


1. Pemeriksa melakukan inspeksi posisi bola mata (perhatikan apakah kedudukan
bola mata simetris)
2. Pasien diminta mengikuti gerakan jari pemeriksa yang digerakkan mengikuti
bentuk huruf H serta ke arah atas dan bawah.
3. Pemeriksa mengamati ada tidaknya hambatan gerakan bo la mata se lama pasien
mengikuti gerakan jari pemeriksa.
4. Pemeriksaan konvergensi. Pemeriksa menggerakkan jari telunjuknya dari jarak
yang agak jauh dari wajah pasien mendekat ke arah wajah pasien.
5. Pasien diminta mengikuti gerakan jari pemeriksa tersebut. Perhatikan gerakan
konvergensi kedua mata pasien (pemeriksaan ini dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan akomodasi)
I
Kelopak Mata
1. Pemeriksa mengukur Iebar celah mata (fisura palpebralis) kanan dan kiri
2. Pasien diminta untuk melakukan gerakan menutup dan membuka mata tanpa
disertai tahanan dan pemeriksa mengamati ada tidaknya ptosis selama pemeriksaan.

190
Scanned for Compos Mentis
. .. ' '

Nervus Trigeminus (N. V)

Sensorik Nervus Trigeminus

1. Pasien dijelaskan terlebih dahulu prosedur yang akan dikerjakan


2. Mintalah pasien untuk menutup mata
3. Berikan rangsangan raba atau nyeri pada setiap distribusi sensorik cabang N.V
oftalmikus (dahi), maksilaris (rahang atas, sudut nasolabialis), dan mandibularis
(area dagu di bawah bibir) sisi kanan dan kiri wajah. Untuk sensasi raba dapat
menggunakan kapas dan sensasi nyeri menggunakan tusuk gigi
4. Tanyakan kepada pasien "Apakah sensasi pada kedua sisi wajah sama?"

Motorik Nervus Trigeminus


1. Pemeriksa meraba otot maseter dan pterigoid bilateral
2. Pasien diminta untuk menggigit atau mengunyah
3. Rasakan kontraksi otot terse but dan bandingkan kiri dan kanan
4. Pasien diminta untuk membuka mulut, amati ada tidaknya deviasi rahang.
5. Mintalah pasien menggerakkan rahang bawah ke arah depan dan belakang (maju
mundur) dan pemeriksa mengamati kesimetrisan rahang
6. Pasien diminta menggigit spatula lidah dengan gigi gerahamnya dengan sekuat
mungkin kemudian pemeriksa mencoba menarik spatula lidah terse but.
7. Bandingkan kekuatan kiri dan kanan. Bandingkan juga bekas gigitan pada spatula
lidah antara geraham kanan dan kiri

Refleks Kornea
1. Pemeriksa berdiri di sam ping a tau belakang pasien
2. Sentuhlah kornea mata pasien dengan kapas dari arah lateral. Respon normal
berupa kedipan pada kedua mata.

Refleks Rahang Uaw Reflex)


1. Pasien diminta untuk membuka mulut (tidak terlalu Iebar) dengan rileks
2. Pemeriksa meletakkan jari telunjuknya di tengah-tengah dagu pasien dan ketuk
dengan palu refleks
3. Perhatikan respons yang muncul berupa sentakan mandibula ke arah atas

191

Scanned for Compos Mentis


Nervus Fasialis (N.VII)

Motorik Nervus Fasialis


1. Pasien diminta untuk duduk/ berbaring dengan rileks
Pemeriksa mengamati otot-otot wajah pasien pada keadaan istirahat dan saat
berbicara. Pada saat inspeksi perlu diperhatikan kesimetrisan wajah, tonus otot,
2.
trofi otot maupun gerakan involunter. Diperhatikan juga kerutan dahi pada saat
istirahat.
3. Pasien diminta mengerutkan dahinya. Amati kerutan dahi yang terlihat
4. Mintalah·pasien untuk memejamkan mata sekuat mungkin.
5. Perhatikan apakah kedua mata dapat tertutup rapat
Berikan tahanan pada m. Orbikularis okuli dengan mendorong area alis ke arah
6.
atas dengan jari telunjuk
7. Perhatikan kekuatan otot dan bandingkan kiri dan kanan
Mintalah pasien untuk tersenyum Iebar, perhatikan kesimetrisan sudut bibir
8.
pasien dan sulkus nasolabialis.
9. Pasien diminta menggembungkan kedua pipinya
Pemeriksa menekan kedua pi pi pasien dengan jari telunjuk secara bersamaan
10.
hingga udara keluar dari mulut pasien
11. Perhatikan apakah terdapat kebocoran udara pada salah satu sisi/ sudut mulut
Pasien diminta mengatupkan rahang atas dan bawah dan menarik sudut bi-
12.
birnya untuk memunculkan m. platysma.

Sensorik Nervus Fasialis


1. Pasien dijelaskan terlebih dahulu prosedur yang akan dikerjakan
2. Mintalah pasien untuk menjulurkan lidahnya
Tahan lidah dengan jari telunjuk dan ibu jari (agar lidah tidak ditarik kembali ke
3.
dalam rongga mulut)
Pemeriksa meneteskan substansi rasa (manis, asam, pahit, asin) pada perbatasan
4.
antara sepertiga anterior, dan tengah lidah menggunakan stik aplikator.
Pasien diminta mengangkat tangannya (tidak perlu berbicara) ketika merasakan
5.
sesuatu rasa tertentu.
6. Pengujian dilakukan dalam kurun waktu 5-10 detik.

192
Scanned for Compos Mentis
Refleks Orbikularis Okuli (Refleks Nasopalbebral atau Refleks
Glabellar).
1. Pemeriksa berdiri di belakang pasien
2. Pemeriksa mengetuk tepi luar daerah supraorbital, glabella, daerah sekitar orbita,
atau dahi (hingga batas garis ram but) dengan jari telunjuknya

3. Saat mengetuk posisi tangan pemeriksa berada di atas area mata pasien
4. Perhatikan respons yang muncul (kedipan mata)

Tanda Chovstek

1. Pasien diminta untuk membuka mulutnya namun tidak terlalu lebar


Pemeriksa mengetukkan dengan ujung jari a tau palu refleks pada percabangan
2.
nervus fasialis di depan telinga.
3. Perhatikan respons yang muncul. Respons positifberupa gerakan pada bibir.

Nervus Koklearis (N.VIII)


Pasien dijelaskan terlebih dahulu langkah-langkah pemeriksaan yang akan
dikerjakan termasuk mencontohkan suara getaran garpu tala

Tes Rinne
1. Pemeriksa menggetarkan garpu tala 256 Hz atau 512 Hz kemudian diletakkan
pada prosesus mastoideus pasien (konduksi tulang)
2. Pasien diminta mendengarkan suara garpu tala dan setelah suara menghilang,
pasien diminta untuk mengangkat tangannya.
3. Pindahkan garpu tala ke depan telinga pasien (konduksi udara).
4. Tanyakan apakah pasien masih mendengar suara garpu tala

TesWeber
1. Pemeriksa menggetarkan garpu tala 256Hz atau 512Hz kemudian diletakkan di
garis tengah puncak kepala pasien (verteks)
2. Pemeriksa menanyakan kepada pasien pada telinga mana suara garpu tala
terdengar lebih keras

193
Scanned for Compos Mentis
Nervus Glosofaringeus dan Nervus Vagus (N. IX dan X)

Komponen motorik

1. Pasien diminta untuk membuka mulut


Lakukan inspeksi pada area palatum dan faring. Perhatikan apakah terdapat
2.
deviasi garis tengah palatum maupun uvula
3. Mintalah pasien untuk mengucapkan "aaaaaaaaah"
Perhatikan lengkung palatum dan posisi uvula. Lidah pasien dapat ditekan dengan
spatula lidah untuk visualisasi yang lebih baik

Refleks Muntah
1. Pasien diminta untuk membuka mulut
Pemeriksa memperhatikan lengkung langit-langit dan posisi uvula.Lidah pasien
2.
dapat ditekan dengan spatula lidah untuk visualisasi yang lebih baik
Sentuhlah bagian lateral oro faring, uvula, dasar lidah, dinding faring posterior a tau
3.
palatum mole dengan spatula lidah, stik aplikator, atau alat lain yang serupa
4. Perhatikan respons refleks muntah yang timbul
5. Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi

Nervus Aksesorius (N. XI) · .


Otot Sternokleidomastoideus
1. Pasien diminta untuk menolehkan kepalanya ke satu sisi hingga maksimal
2. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan memberikan tahanan pada dagu pasien
Selanjutnya pasien diminta untuk menoleh kembali ke arah depan sambil melawan
3.
tahanan yang diberikan oleh pemeriksa.
4. Tangan pemeriksa lainnya melakukan palpasi pada otot sternokleidomastoideus
5. Lakukan pemeriksaan pada kedua arah dan bandingkan kekuatan otot pasien

Otot Trapezius

1. Pemeriksa berdiri di belakang pasien


Amatilah leher, punggung dan bahu pasien. Diamati kesimetrisan, ukuran dan
2.
bentuk otot-ototnya.
Berikan tahanan dengan menekan kedua bahu pasien ke bawah dan mintalah
3.
pasien untuk mengangkat kedua bahunya ke atas dengan sekuat mungkin.
4. Bandingkan kekuatan bahu kiri dan kanan

194
Scanned for Compos Mentis
Nervus Hipoglosus (N. XII)
1. Pasien diminta untuk membuka mulut
2. Pemeriksa mengamati trofi, gerakan dan posisi lidah pasien
3. Mintalah pasien untuk menjulurkan lidahnya Jurus ke depan.
Perhatikan apakah lidah terdeviasi ke salah satu sisi, perhatikan juga apakah ter-
dapat atrofi papil, fasikulasi ataupun tremor.
5. Pasien diminta untuk menggerakkan lidah ke kiri, kanan, atas, dan ke bawah baik
secara perlahan maupun secara cepat.
6. Pasien diminta menekan dinding dalam pipi dengan menggunakan ujung lidah,
Jalu melawan tekanan yang diberikan pemeriksa dari sisi Juar pipi dengan jari
atau spatula lidah
7. Bandingkan kekuatan motorik lidah sisi kanan dan sisi kiri .

1. Pemeriksa melakukan inspeksi pada otot-otot pasien (wajah, bahu, ekstremitas)


Pasien diminta menjulurkan kedua Jengannya dalam posisi supinasi dan merapatkan
2.
kedualengannya
Perhatikan otot-otot kedua Jengan terse but dari tangan hingga ke bahu. Perhatikan
3.
pula otot tenar, hipotenar dan interoseus pada bagian palmar
Jika diperlukan pemeriksa dapat melakukan pengukuran dan membandingkannya
4.
dengan otot kontralateral
5 P 'k . ! d ·1 k k • d t t t ! k .
Tonus Otot
- - - - - ~~ -- - -
Arm-Dropping Test
1. Pemeriksa memfleksikan Jengan atas pasien hingga lengan pasien setinggi bahu
2. Lepaskan lengan pasien terse but dan biarkan berayun
3
. ..
Perhatikan ayunan lengan pasien. Bila terdapat hipotonus lengan tersebut jatuh
:
Wartenberg Pendulum test (Tes Pendulum Tungkai)
1. Pasien diminta duduk di tepi meja atau tempat tidur dengan tungkai rileks dan
terjuntai
2. Pemeriksa mengekstensikan kedua tungkai pasien dengan tinggi yang sama
kemudian melepaskannya atau mendorong kedua tungkai yang terjuntai tersebut
ke belakang dengan tekanan yang setara
3. Perhatikan ayunan tungkai pasien. Pada kondisi normal tungkai akan berayun-
ayun dan lama kelamaan akan berhenti setelah 6 sampai 7 osilasi.

195
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Tonus Umum Ekstremitas Atas
1. Pemeriksa menggerakkan pergelangan tangan pasien secara pas if dengan gerakan
fleksi, ekstensi dan rotasi
2. Gerakan dilakukan perlahan dan lama kelamaan menjadi cepat
3. Gerakan juga dilakukan pada sendi siku dan bahu
4. Rasakan ada tidaknya tahanan maupun rigiditas
5 L k k I .k I d k d

Pemeriksaan Tonus Umum Ekstremitas Bawah

1. Pemeriksa menggerakkan pergelangan kaki pasien secara pasif dengan gerakan


fleksi, ekstensi dan rotasi
2. Gerakan dilakukan perlahan dan lama kelamaan menjadi cepat
3. Gerakan juga dilakukan pada sendi lutut dan panggul
4. Rasakan ada tidaknya tahanan maupun rigiditas
• I • • • • I • I • • I •

Kekuatan Motorik Ekstremitas Atas

Pemeriksaan Kekuatan Otot Sendi Bahu


1. Pasien diminta melakukan gerakan abduksi lengan atas atas hingga sejajar bahu
2. Pemeriksa memberikan tahanan dengan mendorong lengan pasien ke arah bawah
dan pasien diminta menahan sekuat mungkin
3. Nilailah kekuatan otot pasien
4. Pemeriksaan juga dilakukan pad a arah sebaliknya (aduksi lengan atas)
5 L kuk I .k I d k d

Pemeriksaan Kekuatan Otot Sendi Siku


1 Pasien diminta memfleksikan sendi sikunya dan melakukan gerakan aduksi.
2. Pemeriksa memberikan tahanan dengan menarik pergelangan tangan pasien dan
mintalah pasien untuk menahan sekuat mungkin
3. Nilailah kekuatan otot pasien
4. Pemeriksaan juga dilakukan pada arah sebaliknya (ekstensi siku)
5 L kuk I .k d k d
Pemeriksaan Kekuatan Otot Sendi Pergelangan Tangan
'
1. Pasien diminta mengepalkan dan mengekstensikan kepalan tangannya
2. Pemeriksa memberikan tahanaan pada kepalan tangan pasien dengan
mendorongnya ke arah yang berlawanan. Mintalah pasien untuk menahan sekuat
mungkin
3. Nilailah kekuatan otot pasien
4. Pemeriksaan juga dilakukan untuk arah gerakan sebaliknya (fleksi pergelangan
tangan)
5. Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi

196

Scanned for Compos Mentis


Pemeriksaan Kekuatan Otot Sendi Jari Tangan
1. Pasien diminta mengekstensikan jari-jari tangannya
2. Pemeriksa memfiksasi dengan menggenggam pergelangan tangan pasien dengan
tangan kirinya.
3. Berikan tahanan dengan mendorong jari-jari tangan pasien ke bawah dan mintalah
pasien untuk menahan sekuat mungkin
4. Nilailah kekuatan otot pasien
5. Pemeriksaan juga dilakukan dengan arah gerakan sebaliknya (fleksi jari-jari tangan)
Lakukan a kedua sisi

1. Pasien diminta untuk memfleksikan tungkainya pada sendi panggul


2. Pemeriksa memberikan tahanan dari arah yang berlawanan (mendorong ke bawah)
dan pasien menahan sekuat mungkin
3. Nilailah kekuatan otot pasien
4. Pemeriksaan juga dilakukan dengan gerakan sebaliknya ( ekstensi tungkai)
5 L k k I .k I d k d

Pemeriksaan Kekuatan Otot Sendi Lutut


1. Pasien diminta memfleksikan lutunya
2. Pemeriksa berusaha mengekstensikannya dengan menarik pergelangan kaki pasien
dan pasien diminta menahan sekuat mungkin
3. Nilailah kekuatan otot pasien
4. Pemeriksaan juga dilakukan pada arah sebaliknya (pasien diminta mengekstensikan
lututnya)
5 p "k d "l k k I d k d

Pemeriksaan Kekuatan Otot Sendi Pergelangan Kaki


1. Pasien diminta untuk melakukan gerakan plantarfleksi
2. Pemeriksa memberikan tahanan dengan mendorong telapak kaki pasien ke arah
kranial
Nilailah kekuatan otot tersebut
dilakukan untuk

1. Pasien diminta menjulurkan kedua lengannya ke depan dengan posisi tangan supinasi
dan mata tertutup
2 Perhatikan perubahan posisi lengan pasien selama 20-30 detik
3. Apabila terdapat kelemahan, lengan yang lemah akan menyimpang dan cenderung
pro nasi.

197
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Knee-dropping Test
1. Pasien berada pada posisi supinasi
2. Tungkai pasien difleksikan pada sendi panggul dan lutut membentuk sudut 45°,
telapak kaki tetap men em pel di tern pat tidur.
3. Pemeriksa menahan kedua tungkai pasien agar tidak bergeser dan rapat
4. Lepaskan kedua tungkai pasien tersebut
5. Perhatikan gerakan pasiftungkai pasien. Tungkai yang lemah akan turun lebih cepat
d . lttkt 'd k t'
Pemeriksaan Arm Roll
1. Pasien diminta untuk mengepalkan kedua tangannya
2. Posisikan kedua lengan bawah pasien di depan dadanya dengan kepalan tangan
berada di dekat siku kontralateral
3. Pasien diminta memutar lengan bawahnya dengan sumbu pada siku sehingga kedua
lengan saling mengitari
4. Perhatikan ada tidaknya kelemahan pada salah satu lengan. Lengan yang lemah
cenderung berputar lebih lambat atau tidak bergerak sedangkan sisi yang sehat
t l"h t b .. k -.
't . I .. I ..h

Refleks Fisiologis

Pemeriksaan Refleks Bisep


1. Lengan bawah pasien diposisikan semifleksi dan sedikit pro nasi.
2. Pemeriksa meletakkan ibu jari atau jari telunjuknya di atas tendon biseps yang akan
diperiksa. Tekan dengan lembut, ketuk dengan palu refleks dan amati respons yang
timbul
3. Periksalah perluasan zona refleks dan tentukan derajat refleks
4 Lakuk I e 'k a I d k d
Pemeriksaan Refleks Trisep
1. Lengan pasien diposisikan semifleksi dengan lengan bawah diletakkan pada paha
pasien a tau disangga oleh pemeriksa atau tangan pasien memegang siku kontralateral
2. Ketuk palu refleks pada tendon trisep yang insersinya terletak sedikit di atas
olekranon. Amatilah res pons yang timbul
3. Periksalah perluasan zona refleks dan tentukan derajat refleks
4 L kuk I 'k I d k d

Pemeriksaan Refleks Brakioradialis


1. Lengan pasien diposisikan semifleksi dan semipronasi
2. Pemeriksa meletakkan ibu jari atau jari telunjuknya pada prosesus stiloideus pasien
dan mengetuknya dengan palu refleks
3. Amati respons refleks berupa fleksi siku dan sedikit supinasi telapak tangan
4. Periksalah perluasan zona refleks dan tentukan derajat refleks
5. Lakukan pemeriksaan pada kedua sisi

198
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Refleks Dinding Perut Profunda
1. Pasien dalam posisi berbaring terlentang
2. Pemeriksa sedikit menekan otot dinding perut pasien dengan jarinya
3. Ketukkan palu refleks pada din ding perut pasien dengan beralaskan jari pemeriksa
4. Lakukan pemeriksaan pada beberapa area perut pasien
5. Rasakan respons yang timbul pada dinding perut. Respons positif bila timbul
kontraksi otot dinding perut dan deviasi umbilikus ke arah ketukan.

Pemeriksaan Refleks Patella (berbaring)


1. Pasien diminta berbaring terlentang
2. Pemeriksa menyangga sendi lutut pasien dengan lengan kirinya agar lutut pasien
sedikit fleksi dan rileks
3. Ketukkan palu refleks pada tendon pate Ia pasien dan amati respons yang timbul
4. Periksalah perluasan zona refleks dan tentukan derajat refleks
5. Lakukan pemeriksaan pada kedua sisi

Pemeriksaan Refleks Patella (duduk dengan manuver Jendrassik)


1. Pasien diminta untuk duduk dengan kedua tungkai menggantung
2. Jelaskan pada pasien prosedur yang akan dikerjakan
3. Pasien diminta melihat ke arah depan dan mengaitkan kedua telapak tangannya
4. Pemeriksa meletakkan tangan kiri di atas otot quadrisep femoris pasien
5. Ketukkan palu refleks pada tendon patela pasien sambil memberi aba-aba agar
pasien menarik kedua tangannya yang saling terkait (bersamaan dengan ketukan
palu refleks ). Amati respons yang timbul
6. Periksalah perluasan zona refleks dan tentukan derajat refleks
7. Lakukan pemeriksaan pada kedua sisi
Pemeriksaan Refleks Achilles
1. Pasien diminta berbaring terlentang
2. Posisikan tungkai pasien abduksi, rotasi eksternal dan lutut fleksi
3. Tangan kiri pemeriksa memegang plantar pedis pasien samba! sedikit menekannya
ke atas
4. Tangan kanan pemeriksa mengetukkan palu refleks pada tendon Akiles (di atas
insersinya pada kalkaneus)
5. Amati respons refleks berupa gerakan plantar fleksi
6. Periksa ada tidaknya perluasan zona refleks dan tentukan derajat refleks
7. Lakukan pemeriksaan pada kedua sisi

199
Scanned for Compos Mentis
Refleks Patologis Pada Ekstremitas Bawah
--~~----------- -~~~-- ----- - ---- - - -- - -

Pemeriksaan Tanda Babinski


1. Pasien dalam posisi berbaring terlentang
2. Pemeriksa menggoreskan ujung palu refleks pada kulit telapak kaki pasien mulai dari
tumit, menyusuri sisi lateral dan metatarsal plantar pedis hingga berakhir di area
bawah ibu jari.
3. Respons positifberupa dorsifleksi ibu jari dan abduksi jari-jari lainnya

Pemeriksaan Tanda Chaddock


1. Pasien dalam posisi berbaring terlentang
2. Pemeriksa menggoreskan ujung palu refleks pada area di bawah maleolus lateral,
menyusuri sisi lateral punggung kaki hingga berakhir di jari kelingking
3. Respons positifberupa dorsifleksi ibu jari dan abduksi jari-jari lainnya
Pemeriksaan Tanda Oppenheim
1. Pasien dalam posisi berbaring terlentang
2. Pemeriksa menekan mulai dari area infrapatela menyusuri anteromedial tibia hingga
ke pergelangan kaki pasien dengan buku jari telunjuk dan jari tengah
3. Respons positifberupa dorsifleksi ibu jari dan abduksi jari-jari lainnya
Pemeriksaan Tanda Schaffer
1. Pasien dalam posisi berbaring terlentang
2. Berikan tekanan yang cukup kuat pada tendon Achilles pasien
3. Respons positifberupa dorsifleksi ibu jari dan abduksi jari-jari lainnya.
' Pemeriksaan Tanda Gordon
1. Pasien dalam posisi berbaring terlentang
2. Pemeriksa meremas otot gastroknemius pasien
3. Respons positifberupa dorsifleksi ibu jari dan abduksi jari-jari lainnya
Pemeriksaan Tanda Rossolimo
1. Pasien dalam posisi berbaring terlentang
2. Pemeriksa mengetukkan palu refleks pada basis plantar pedis pasien
3. Respons positifberupa plantarfleksi jari-jari kaki
Pemeriksaan Tanda Mendel-Bekhtrew
1. Pasien dalam posisi berbaring terlentang
2. Pemeriksa mengetukkan palu refleks pada dorsum pedis pasien
3. Respons positifberupa plantarfleksi jari-jari kaki

200
Scanned for Compos Mentis
Refleks Patologis,P~.d~.E~~
Pemeriksaan Refleks Menggenggam
1. Pemeriksa meletakkan jari tangannya pada telapak tangan pasien, di antara ibu jari
dan jari telunjuk pasien
2. Respons positifberupa gerakan menggenggam
Pemeriksaan Refleks Palmomental
1. Pemeriksa menggoreskan telapak tangan pasien pada bagian tenar menggunakan
benda tumpul
2. Respons positifberupa kontraksi otot mentalis dan orbikularis oris yang menyebabkan
pi pi sekitar mulut mengerut. Dapat pula disertai elevasi sudut mulut
Pemeriksaan Tanda Hoffman
1. Pemeriksa memegang tangan pasien dalam posisi pro nasi.
2. Pemeriksa memfiksasi jari tengah pasien dian tara jari telunjuk dan jari tengah a tau ibu
jari dan jari telunjuknya
3. Dengan ibu jarinya, pemeriksa menjentikkan kuku jari tengah pasien dengan cepat
4. Respons positifberupa fleksi jari-jari tangan dan aduksi ibu jari
Pemeriksaan Tanda Tromner
1. Pemeriksa memegang jari tengah pasien sehingga tangan pasien menggantung
2. Dengan tangan yang lainnya, pemeriksa mengetuk jari tengah tangan pasien dengan jarinya.
3. Respons positifberupa fleksi jari-jari tangan dan aduksi ibu jari

I •

Raba halus
1. Jelaskan kepada pasien prosedur yang akan dikerjakan
2. Pasien diminta memejamkan matanya
3. Usapkan kapas/ bulu/ tisu atau ujung jari pemeriksa pada area kulit pasien. Lakukan
pada beberapa area kulit sesuai tujuan pemeriksaan
4. Tanyakan pada pasien apakah stimulus yang diberikan pada beberapa area tersebut
dirasakan sama
Rasa Nyeri
1. Jelaskan kepada pasien prosedur yang akan dikerjakan
2. Pasien diminta memejamkan matanya
3. Tusukkan ujung tusuk gigi atau spatula lidah kayu yang dipatahkan pada area kulit
pasien. Lakukan pada beberapa area kulit sesuai tujuan pemeriksaan
4. Tanyakan pada pasien apakah stimulus yang diberikan pada beberapa area tersebut
dirasakan sama
5. Buanglah alat periksa setelah selesai melakukan pemeriksaan. Jangan menggunakan
alat periksa yang sama untuk beberapa pasien

201
Scanned for Compos Mentis
RasaSuhu
1. Jelaskan kepada pasien prosedur yang akan dikerjakan
2, Pasien diminta memejamkan matanya
3. Pemeriksa menyentuhkan stimulus dingin dan stimulus hangat secara bergantian
dengan jeda ± 2 detik pada beberapa area kulit pasien
4. Tanyakan pada pasien apakah stimulus yang diberikan pada beberapa area tersebut
dirasakan sama
5. Untuk stimulus dingin dapat digunakan tabung reaksi berisi air dingin (±S-10°C) atau
gagang garpu tala. Sedangkan untuk stimulus pan as dapat digunakan tabung rekasi yang
berisi air atau

1. Jelaskan kepada pasien prosedur yang akan dikerjakan


2. Pasien diminta memejamkan matanya
3. Getarkan garpu tala (128 atau 256Hz) dan letakkan pada area tonjolan tulang/ sendi
pasien
4. Pasien diminta merasakan getaran garpu tala (bukan merasakan sentuhan garpu tala)
dan bila sudah tidak terasa lagi pasien diminta mengatakan "ya"
5. Pemeriksa merasakan getaran garpu tala yang dipegangnya, apabila pemeriksa masih
merasakan getaran garpu tala lebih dari 10 detik maka rasa vibrasi pasien dianggap
tidak normal
6. Apabila pasien tidak merasakan getaran garpu tala, pindahkan garpu tala ke sendi
yang lebih proksimal atau sendi homolog kontralateral. Minta pasien membandingkan
keduanya
7. Pemeriksaan dapat dilakukan pada beberapa tempat tonjolan tulang, yaitu sendi
interfalangeal proksimal ibu jari kaki, sendi metatarsofalangeal, maleolus medial,
tuberositas tibia, spina iliaka anterior superior, ujung jari tangan, sendi interfalangeal,
sendi

1. Jelaskan kepada pasien prosedur yang akan dikerjakan


2. Pasien diminta memejamkan matanya
3. Pemeriksa memegang ujung jari tangan/ kaki pasien pada sisi lateralnya.
4. Jari tanganj kaki yang akan diperiksa tidak boleh bersentuhan dengan jari-jari di
sebelahnya
5. Pemeriksa menggerakkan jari tanganjkaki pasien ke arah atas dan bawah secara
berulang-ulang
6. Pasien diminta menyebutkan arah jari-jarinya pada setiap gerakan
~~~~~~~~aad!al at ekstremitas

1. Jelaskan kepada pasien prosedur yang akan dikerjakan


2. Pasien diminta memejamkan matanya
3. Pemeriksa menyentuhkan kedua ujung kaliper atau klip kertas (yang dibentuk hurufV)
pada area kulit tertentu
4. Kemudian stimulus diganti dengan hanya menyentuhkan salah satu ujung kaliper atau
klip kertas
5. Pasien diminta merasakan apakah dapat membedakan 2 titik atau 1 titik
6. Langkah tersebut diu lang pada beberapa area

202

Scanned for Compos Mentis


.. •• • • • ••
Pemeriksaan Romberg
1. Pasien diminta berdiri pada alas yang datar dengan kedua kaki rapat dan kedua lengan
berada di sisi tubuh atau menyilang di dada. Mata tetap terbuka.
2. Pasien sebaiknya tidak memakai alas kaki selama pemeriksaan
3. Pemeriksa berdiri di dekat pasien dengan kedua lengan terjulur ke depan agar dapat
segera menangkap jika pasien terjatuh.
4. Observasi selama 20 detik. Perhatikan apakah pasien bergoyang atau jatuh.
5. Pasien diminta memejamkan kedua matanya dengan posisi tubuh seperti pada poin 4.
6. Observasi selama 30 detik. Perhatikan kemampuan pasien untuk mempertahankan

1. Pasien diminta berdiri pada alas yang datar dengan kedua kaki berada pada 1 garis
dengan ibu jari kaki berada di belakang tumit kaki lainnya. Kedua lengan menyilang di
dada dan mata tetap terbuka
2. Pasien sebaiknya tidak memakai alas kaki selama pemeriksaan.
3. Pemeriksa berdiri di dekatpasien dengan kedua Jengan terjulur ke depan agar pemeriksa
dapat segera menangkap jika pasien terjatuh.
4. Observasi selama 20 detik. Perhatikan apakah pasien bergoyang atau jatuh ke salah satu
sisi.
5. Pasien diminta memejamkan kedua matanya dengan posisi tubuh seperti pada poin 4.
6. Observasi selama 30 detik. Perhatikan apakah pasien bergoyang atau jatuh ke salah satu
sisi.
Pemeriksaan Fukuda Stepping Test (FST)
1. Pasien diminta berdiri dan kedua lengan ekstensi serta terjulur ke depan.
2. Pasien sebaiknya tidak memakai alas kaki selama pemeriksaan.
3. Pemeriksa berdiri di de kat pasien dengan kedua lengan terjulur ke depan agar pemeriksa
dapat segera menangkap jika pasien terjatuh.
4. Pasien diminta berjalan di tempat dengan mata terbuka sebanyak 50 langkah dengan
mata tertutup sambil berhitung dengan suara keras
5. Perhatikan apakah pasien jatuh atau posisi berdiri mengalami deviasi >45° dari posisi
awal
Pemeriksaan Past Pointing Test (PPT)
1. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pasien pada posisi duduk maupun berdiri
2. Pasien diminta mengekstensikan lengannya ke atas dengan jari telunjuk ekstensi
3. Pemeriksa meletakkan jari telunjuknya di depan pasien
4. Kemudian pasien diminta mengarahkan jari telunjuknya ke jari telunjuk pemeriksa
dengan posisi Jengan tetap lurus
5. Pasien diminta melakukan gerakan terse but beberapa kali dengan mata terbuka
6. Gerakan diulang kern bali beberapa kali dengan mata tertutup
7. Perhatikan apakah terdapat deviasi jari pasien dari target (jari pemeriksa) dan
konsistensi arah deviasi pada beberapa kali pengulangan
8. Teknik yang sama dilakukan pada lengan lainnya.
9. Selama pemeriksaan jari pemeriksa tidak berpindah-pindah

203

Scanned for Compos Mentis


Pemeriksaan Nistagmus
1. Pemeriksa meletakkan satu jari di de pan mata pasien
2. Pasien diminta melirik mengikuti gerakan jari pemeriksa dengan deviasi gerakan bola
mata maksimal30°
Perhatikan apakah terdapat nistagmus.
sama dilakukan arah kanan-kiri

1. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pasien pada posisi duduk, berbaring, ataupun
berdiri.
2. Pemeriksa meletakkan jari telunjuk di depan pasien.
3. Pasien diminta mengekstensikan lengannya ke atas dengan jari telunjuk ekstensi.
4. Kemudian mintalah pasien menyentuhkan jari telunjuknya ke jari telunjuk pemeriksa,
lalu menyentuhkan ujung jari telunjuknya ke ujung hidungnya
5. Pasien diminta melakukan gerakan terse but beberapa kali dengan mata terbuka
6. Pemeriksa dapat mengubah letak jari telunjuknya pada berbagai kuadran, berbagai
jarak (dekatjjauh), dan berbagai kecepatan (perlahan lalu cepat).
Perhatikan kehalusan, akurasi, kecepatan gerakan, dan tremor yang terlihat
Teknik sama dilakukan

1. Pasien diminta berbaring terlentang


2. Mintalah pasien mengangkat tungkainya dan meletakkan tumit kakinya pada lutut
kontralateral
3. Kemudian mintalah pasien menggerakkan tumitnya menyusuri tuberositas tibia menuju
ke ibu jari kaki
4. Pasien diminta melakukan gerakan terse but beberapa kali
5. Perhatikan kehalusan, akurasi gerakan, dan tremor yang terlihat.
6 T k 'k ! d'l k k • d t : k . I .
Pemeriksaan Rapid Alternating Movements (RAM) Ekstremitas Atas
1. Pasien diminta menggerakkan kedua tangannya ke posisi pronasi diikuti supinasi,
berulang-ulang dan secepat mungkin
2. Gerakan dapat dilakukan dengan tangan bertumpu pada paha atau dorsum manus
3. Teknik lain adalah dengan meminta pasien menggerakkan tangannya seperti sedang
memutar kenop secara bersamaan.
Gerakan dilakukan beberapa kali
Perhatikan kehalusan akuras· dan "''"'"n"t"

1. Pasien diminta memfleksikan siku dan mengadduksikan lengan bawah ke arah bahu,
telapak tangan supinasi dan dalam posisi mengepal
2. Pemeriksa menarik lengan bawah pasien pada pergelangan tangannya dan pasien
diminta melawannya (seperti gerakan panco)
3. Pemeriksa secara tiba-tiba melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan pasien
4. Untuk melindungi pasien lengan pemeriksa lainnya diposisikan di depan wajah pasien
5. Perhatikan apakah pasien dapat segera mengendalikan kontraksi lengannya sehingga
tidak menghantam wajahnya.

204

Scanned for Compos Mentis


1. Pasien diminta untuk duduk atau berbaring. Jika posisi pasien duduk, pemeriksa
berada di belakang pasien. Jika pasien berbaring, pemeriksa berada di samping pasien
2. Pasien diminta untuk duduk dengan pandangan lurus ke depan
3. Lakukan palpasi ringan pada area karotis untuk mendeteksi adanya thrill.
4. Auskultasi di area karotis dengan menggunakan stetoskop sisi lonceng (bell).
5. Secara simultan, lakukan palpasi area karotis kontralateral dan minta pasien menahan
nafas beberapa saat (untuk meminimalkan suara nafas)
6. Lakukan hal serupa pada sisi kontralateral

Bruit orbita
1. Pasien diminta untuk duduk dan memejamkan mata
2. Letakkan stetoskop sisi lonceng (bell) pada salah satu mata pasien yang tertutup
3. Lakukan palpasi pada area karotis kontralateral dan sekaligus fiksasi posisi kepala
pasien.
4. Minta pasien untuk membuka mata yang sedang tidak diperiksa. Pandangan mata
difiksasi ke suatu objek yang diam
5. Minta pasien untuk menahan nafas beberapa saat
6. Dengarkan bruit yang biasanya muncul pada fase sistolik siklus kardiovaskular

.. I I I

Fungsi Berkeringat
1. Bagian depan tubuh (di bawah leher) pasien ditaburi dengan tepungyangmengandung
yodium.
2. Pasien berbaring dalam ruangan dengan suhu 45-50°C dan kelembaban 35-40%.
3. Bila perlu, pasien diberikan obat antipiretik untuk mempercepat pengeluaran keringat.
4. Setelah beberapa lama (30-60 menit, tidak lebih dari 70 menit), ruangan dibuka dan
dicatat bagian tubuh di mana tepung tetap putih, yang menandakan tidak adanya
produksi keringat di daerah tersebut.
5. Penggunaan tepung atau amillum dapat diganti dengan bedak.

205

Scanned for Compos Mentis


Pemeriksaan Pungsi Lumbal
1. Pastikan pasien atau keluarga pasien telah memahami tujuan, risiko dan komplikasi
tindakan pungsi lumbal dan telah menandatangani surat persetujuan tindakan
2. Siapkan alat dan bahan yang terdiri dari
* Alat pelindung diri (topi, masker, apron plastik atau baju tindakan)
* Sarung tangan steril
* Kassa steril
* Duk bolong steril
* Tabung steril
* }arum suntik 3cc (untuk anestei lokal), Sec (untuk pengambilan darah), dan
jarum spinal
* Manometer (dapat diganti dengan blood set)
* Three way stopcock
* Penggaris
* Plester
* Obat-obatan (povidone iodin, alkohol 70%, lidokain 1%)
2. Pasien diminta berbaring dalam posisi lateral dekubitus atau duduk
3. Kepala dan lutut pasien difleksikan maksimal untuk memperlebar jarak antar prosesus
spinosus vertebra.
4. Tentukan lokasi pungsi dengan membuat garis imajiner dari SIAS yang memotong pros-
esus spinosus L4. Titik potong tersebut yang akan menjadi Iokasi pungsi
5. Operator mencuci tangan lalu menggunakan alat pelindung diri
6. Bersihkan area pungsi dengan povidon iodin dilanjutkan dengan alkohol 70% dengan
gerakan sirkular dari dalam ke luar
7. Pasang duk bolong steril pacta area pungsi
8. Lakukan anestesi lokal dengan lidokain 1o/o, suntikkan infiltratif ke jaringan subkutan
9. Pacta lokasi pungsi, tusukkan jarum spinal beserta mandrin pacta celah intervertebralis den-
gan sudut 15-30° ke arah kranial secara perlahan. Posisi jarum bevel up atau menghadap ke
wajah operator.Selama proses penusukan usahakan posisi jarum sejajar dengan lantai
10. Dorong jarum spinal hingga menembus ligamentum flavum (ditandai dengan sensasi "pop')
11. Cabut mandrin dan perhatikan aliran CSS. Bila belum ada aliran, putar jarum spinal un-
tuk memastikan tidak ada sumbatan. Bila cairan tetap tidak keluar; mandrin dipasang
kembali dan jarum spinal didorong lagi perlahan hingga ada aliran CSS. Bila tetap tidak
ada, periksa kembali posisi pasien dan jarum.
12. Setelah CSS mengalir, masukkan kembali mandrin dan lakukan persiapan pengukuran
tekanan pembukaan. Pasang three way stopcock dilanjutkan dengan manometer atau
blood set lalu perbatikan aliran CSS. Tunggu bingga CSS berbenti dan tampak undulasi
kemudian ukur dengan penggaris. Catat tekanan pembukaan yang didapat.
13. Tutup jalur CSS ke arab manometer atau blood set, lalu alirkan ke arah tabung steril
untuk menampung CSS hingga memenubi volume yang diperlukan.
14. Setelah volume cukup, tutup jalur ke arab tabung steril dan biarkan CSS mengalir kern bali
ke arah manometer. Lakukan pengukuran tekanan penutupan. Setelah selesai, lepaskan
three way stopcock dan cabut jarum spinal secara perlahan.
15. Tutup luka pungsi dengan kassa steril yang telab dibububi povidon iodin
16. Pasien diminta berbaring selama 2-3 jam untuk mengurangi kebocoran CSS.
17. Ambil darah sebanyak 3-SmL untuk pemeriksaan gula darab sewaktu
18. Segera kirim spesimen yang telab diambil ke laboratorium

206
Scanned for Compos Mentis
D
Indeks Dekortikasi·9,12,25,26
A Delirium · 23, 28
Agrafestesia · 139 Desereberasi • 27, 28, 33
Alert-voice-pain-unresponsive (AVPU). · 7 Deviasi konjugat · 20, 21, 22, 23, 26
Allodinia · 139 Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disor-
ders edisi kelima (DSM-5) · 27
Alloestesia · 139
Disestesia · 139, 183
Analgesia· 139, 141
Disfagia · 87, 164
Anestesia · 139
Disfonia · 87
Anisokor • 20, 26, 56
Diskriminasi 2 Titik · 137, 138
APD·58
Disorientasi · 3, 4, 5, 9, 27
Apnea·14,17,26,31,32
Down-beat nystagmus · 22
Apneusis · 17, 26
ARAS · 1, 2, 3, 20 E
Argyll Robertson · 58 E1·10,15
Arm-Dropping Test· 103 E2 ·10,15
Arousal· 33 E3 ·10,15
Ascending reticular activating system · 1 E4 ·10,15
Astereognosis ·138,140 Eksteroseptif · 68, 71, 76, 133
Ataksik · 17, 26 Epidural· 4, 35, 176,178,183
Atrofi ·50, 63, 72, 92, 94, 95, 96, 101,102,125, 194 Eyes Closed Tandem Romberg· 149

B F
81·4,17 Fenomena Rebound· 153, 155, 156, 208
B2·16 Fiksasi · 21, 22, 173, 208
B3·16 Fleksi abnormal · 9, 12
B4·16 Froment's maneuver· 104
Barre's sign ·111,112,198 Frontal eye field (FEF) · 20
Brain Death • 30, 33 Frontal release sign · 123
Brudzinski's contralateral reflex sign · 36 Fukuda Stepping Test· 150, 151, 156, 206
Brodzinski's neck sign · 36 Fundus mata · 53, 54, 55, 189
Buta warna · 47, 53, 188 Funduskopi·23,47,53
FungsiSeksual·164,167,168
c
Cairan serebrospinal· 35,175 G
Cheek sign · 36 Gangguan ortostatik · 164
Cheyne-Stokes · 14, 17, 26, 185 Gangguan proprioseptif · 14 7
Clasp-knife spasticity· 103 Ganglion simpatis · 162
Cogwheel phenomenon · 104 Garpu tala · 82, 234, 135, 136, 193, 204
Crossed SLR test· 38 Gaze· 20, 76, 125
CSS ·See cairan serebrospinal · 35, 175 Gegenhalten · 103, 104
Glosoplegia · 96

Scanned for Compos Mentis


Glove and stocking anesthesia • 141
M
Grafestesia · 138
M1·12, 15
Guillain-Barre · 140, 165
M2 ·12, 15
H M3 ·12, 15
Hemihipestesi ·133, 141 M4·12, 15
Herniasi · 9, 25, 26, 140,179,183 Magendie · 177
Hiperalgesia · 139 Manuver arm-roll· 112
Hipertonus · 101, 103 Manuver Jendrassik ·114, 118 200
Hipertrofi · 101, 102 Marcuss Gunn ·58
Hiperventilasi neurogenik sentral· 14, 26 Mati Otak · 25, 30, 31
Hipestesia ·139 Menace reflex· 75
Hipotonus·101,103,104,105,195 Meningitis kriptokokus · 175
Minimally conscious state · 29, 30
K
Kaku kuduk · 20, 35, 37 N
Kaku leher · 36 Nervus Aksesorius · 84, 90, 91, 94
Kartu baca Jaeger· 49, 188 Nervus Fasialis · 41, 68, 70, 71
Kartu penapisan penglihatan Rosenbaum · 49 Nervus Glosofaringeus (N. IX) • 83
Katapleksi · 28 Nervus Hipoglosus · 42, 94, 96, 194
Katatonia · 28, 29, 105 Nervus Okulomotorius, Troklear dan Abdusens · 56
Kekuatan Motorik · 93, 94, 95, 105 Nervus Olfaktorius • 43, 187
Keterjagaan · 2, 3, 6, 29 Nervus Optikus · 46, 52, 57, 187
Kewaspadaan · 2, 3, 27 Nervus Trigeminus· 59, 61, 190
Kinestesia · 139 Nervus Vagus· 42, 83, 86, 87, 89
Klaster ·17, 26 Nervus Vestibulokoklearis · 70, 78, 79
Knee-dropping test· 111,198 Neuropati perifer · 133
Koma · 1, 7, 8, 9, 19, 27, 28, 29, 30,31 Nistagmus · 21, 23, 28, 152
Kompos mentis· 7, 8 No light perception · 49
Nonne·180
L NT · 10, 12, 13
Lead-pipe rigidity· 104
Lesi destruktif · 21 0
Lesi iritatif · 21 Ocular bobbing · 22
Letargi · 7 Optokinetik nistagmus · 28
Ligamentumflavum ·176, 182,210 Otot trapezius • 11, 12, 42, 91
Light near dissociation · 58
p
Locked-in Syndrome · 30
Pallestesia · 139
Lower motor neuron · 63,100
Pandy ·180
Luschka · 177
Papan Snellen · 41, 42

Scanned for Compos Mentis


Paratonia · 103, 104 Psychogenic unresponsiveness · 27
Parestesia · 139, 140 Pungsi lumbal · 175, 176, 177, 178, 179, 180, 209
Past Pointing Test· 151, 152, 206 Pupil ekse ntrik ·57
Penurun an kesadaran · 1, 3
R
Peace sign · 14, 15, 185
R1·17
Pemeriksaan Bruit Karotis · 171, 172
R2 ·17
Pemeriksaa n Bruit Orbital · 173
R3 ·17
Pemeriksaan Bruit Supraklav ikul ar · 174
R4 · 17
Pemeriksaan Fungsi Berkeringat · 168
Rangsang nyeri · 10
Pemeriksaan Fungsi Kandung Kemih · 166
RAPD ·58
Pemeriksaan gait· 146
Rapid Alternating Movements· 154, 207
Pemeriksaan Gait· 146
Reaksi konversi · 28
Pemeriksaan kese imbanga n dan koordi nasi · 137
Red refl ex· 54, 189
Pemeriksaan konfrontas i · 52, 188
Reflek Psikik · 59
Pemeriksaan Ia pang pa n dan g· SO, 51
Refleks Achilles· 115, 119, 200
Pemriksaan motorik · 20, 28, 72, 195
Refleks ako modas i · 58, 167, 190
Pemeriksaan otonom · 157, 164, 165, 209
Refleks Ancam · 23, 28
Pemeriksaan Produksi Air Mata · 77, 167
Refleks batang otak · 14, 16, 20, 26, 29
Pemeriksaan Pupil · 20, 56, 189
Refl eks Batuk · 24, 26, 185
Pemeriksaan Raba Halus · 134
Refl eks bersin · 66, 68
Pemeriksaan Rasa Nyeri · 134
Refl eks Bisep · 115, 116, 199
Pemeriksaan Rasa Posisi dan Sikap · 136
Pemeriksaan Rasa Suhu · 134 Refl eks Brakioradialis · 117, 199
Refleks cahaya · 57, 167, 189
Pemeriksaan Refleks Visual · 167
Refleks din ding perut profunda· 117, 118, 200
Pemeriksaan Romb erg · 148, 149, 205
Refl eks dind ing perut superfisialis · 118
Pemeriksaan sarafkranialis· 40
Pemeriksaan Sensasi Nyeri Dalam dan Nyeri Refleks Glabelar · 74
Tekanan · 137 Refl eks kornea · 14, 16, 26, 31, 64, 66,132,191
Pemeriksaan Sensasi Tekanan · 137 Refleks muntah · 26, 31, 41, 86,194
Pemeriksaan sensorik · 128 Refl eks Muntah · 24
Pemeriksaan Sensorik Serebral · 137 Refleks Naso palpebral · 74
Pemeriksaan tanda saraf meningeal· 20 Re fl eks nyeri · 58, 59
Pemeriksaan Tonus Otot · 10 2 Refleks Okulosefalik · 22, 226, 28, 31
Pemeriksaan Tonus Vagal jan tung · 166 Refleks okulosensori · 59
Pemeriksaan Trofi Otot · 101 Refleks Okuloves tibular · 23, 26
Pemeriksaan Vibras i · 134 Refleks Orbikularis Okuli · 7 4, 192
Pemeriksaan visus · 47 Refleks orbikularis oris· 75
Perdarahan subhialoid · 24 Re fl eks Palmomental · 124, 202
PLPH ·See post lumbar puncture headache · 181, 183 Refl eks palpebra· 75, 76
Post lumbar puncture headache· 18,1183 Refleks Patela · 115, 118, 119
Pronator drift· 111, 198 Refleks pupil· 14, 16, 20, 57, 185
Pseudohipertrofi · 101, 102, 103 Refleks rahang · 66, 67, 76, 191

209

Scanned for Compos Mentis


Refleks sfingter anal · 166 Tanda Gordon · 122, 202
Refleks tendon dalam · 100, 112, 114 Tanda Gower· 148
Refleks trigeminofasial · 75 Tanda Hoffmann-Tromner · 12 4
Refleks Trisep · 116, 117 Tanda Kernig · 37
Refleks Vestibular· 59 Tanda Lasegue · 38
Refleks visuopalpebra · 75 Tanda Mendel Bechtrew · 123
Refles Koklear · 59 Tanda Myerson· 74
Reseptor viseral · 158, 159 Tanda Oppenheim· 121, 122, 201
Respons menghindar ste reotipik · 25 Tanda rangsa ng meningeal· 20, 34
Respons motorik · 9, 11, 12, 13, 14, 15, 20, 24, 26, 31 Tanda Rossolimo · 123, 202
Responsverba l· 9, 13, 14,131,132 Tan da Schaffer· 122, 201
Rigiditas · 104 Tandemgait·147
Roving eye movement · 21, 22 Tendon Achilles· 119, 122, 201
Tersedak · 84
s Tes Rinn e · 82, 83
Sacral sparing· 141 Tes Romberg· 137
Saddle anesth esia· 141 Tes Schirmer· 77, 167
Sera but parasimpatis · 89, 161 Tes Telunjuk Hidung · 153, 154, 207
Sindrom locked-in · 8 Tes Tumit Lutut · 154, 207
Sistem saraf otonom · 157, 158, 159 Tes Weber · 82, 83, 193
Sistem vestibular · 144, 145 Three way stopcock· 1182, 210
Skala kom a Glasgow · 7, 8, 9 Tracking · 21, 22
Skala Medical Research Council· 105 Tuffier · 176
SKG · 8, 9, 10, 13, 14
Somnolen · 7, 8 u
Sopor· 7 Up-b eat nystagmus· 22
Spastisitas · 103 Upp er motor neuron · 63, 100
Stereognosis· 137, 138
Stereotyped withdrawal response· 25
v
V1 ·13,24,61,62,66
Stimulasi Ganda Secara Simultan · 137,139
V2 · 13, 61, 62
Straight leg-raising · 38
V3.· 13,61,62,63,84
Stupor· 7, 8, 28
V4 ·13
Swinging light test· 57
V5·12
Symphyseal sign· 36
Vegetatif · 8, 29, 30
T Vertigo vestibular· 146
Takik supraorbita · 11, 12, 185
Tanda Babinski· 120, 121
w
Wartenberg Pendulum Test · 103, 195
Tanda Brudzinski · 36
Tanda Chaddock· 121, 201

210
Scanned for Compos Mentis
Scanned for Compos Mentis

Anda mungkin juga menyukai