PEMERIKSAAN KLINIS
NEUROLOGI PRAKTIS
Umum
Edisi Pertama
Editor
Riwanti Estiasari
Ramdinal Aviesena Zairinal
Wardah Rahmatul Islamiyah
Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini
dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin Kolegium Neurologi Indonesia.
PEMERIKSAAN KLINIS
NEUROLOGI PRAKTIS
Umum
18x23
Halaman: i -xii I 1-210
ISBN: 978-979-16414-5-6
ii
Scanned for Compos Mentis
TIM BUKU
Riwanti Estiasari
Tiara Aninditha
Dyah Tunjungsari
Ramdinal Aviesena Zairinal
Ade Wijaya
Rima Anindita Primandari
Eny Nurhayati
Dwi Astiny
Mirna Marhami Iskandar
Intan Nurul Azni
Mumfaridah
ILUSTRATOR
Uti Nilam Sari
FOTOGRAFER
Adrian Ridski Harsono
DESAIN SAMPUL
Kevin Mulya
Putri Auliya
Tiara Aninditha
,.r
iii
Scanned for Compos Mentis
KONTRIBUTOR
iv
Scanned for Compos Mentis
Salim Harris Universitas Indonesia
Subagya Universitas Gadjah Mada
Suratno Universitas Sebelas Maret
Taufik Mesiano Universitas Indonesia
Tiara Aninditha Universitas Indonesia
Trianggoro Budisulistyo Universitas Diponegoro
Uni Gamayani Universitas Padjajaran
Wardah Rahmatul Islamiyah Universitas Airlangga
Widodo Mardi Santoso Universitas Brawijaya
Yuliarni Syafrita Universitas Andalas
v
Scanned for Compos Mentis
Sambutan
KETUA KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
atas perkenaan-Nya buku Pemeriksaan Klinis Neurologi Praktis Umum dan Khusus
telah berhasil diterbitkan ke hadapan pembaca.
KNI telah menugaskan kepada tim buku pemeriksaan klinis neurologi praktis yang
terdiri dari perwakilan empat belas (14) program studi dokter spesialis neurologi di
seluruh Indonesia, Sekretaris Jenderal KNI dr. Taufik Mesiano, SpS .(K), serta Ketua
dan Sekretaris Komisi Kurikulum KNI -Dr. dr. Purwa Samatra, SpS (K) dan dr. Wardah
Islamiyah, SpS- bekerja sama dengan Departemen Neurologi FKUI untuk menyusun
buku ini. Dengan kerja sama yang baik, Alhamdulillah tim buku telah menyelesaikan
penyusunan buku ini.
Terimakasih tak terhingga kami haturkan kepada ketua Pengurus Pus at Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PP- PERDOSSI) Prof. Dr. dr. H. Moh. Hasan Machfoed,
SpS (K), M.S. yang telah mendukung dan membantu sehingga penyusunan buku ini
dapat terlaksana berjalan lancar, Dr. dr. Riwanti Estisari, SpS(K) selaku ketua tim
buku beserta seluruh anggotanya, dan ketua Departemen Neurologi FKUI/RSCM yang
telah bekerja keras dalam waktu singkat untuk mewujudkan harapan KNI.
vi
Scanned for Compos Mentis
Oleh karena itu, buku ini wajib digunakan oleh peserta didik maupun staf pendidik
agar tercapai kesamaan persepsi pada pelaksanaan ujian kompetensi Objective
Structured Clinical Examination (OSCE) Nasional. Namun demikian buku ini juga
dibuat secara praktis untuk memudahkan peserta didik program pendidikan
dokter umum dan dokter umum dalam memahami pemeriksaan neurologis secara
keseluruhan maupun yang bersifat khusus.
Akhir kata saya mengucapkan selamat kepada seluruh kontributor dan tim buku yang
telah bekerja sebaik-baiknya. Semoga hasil kerja ini menjadi amal baik dan ibadah di
sisi Allah SWT dan dapat meningkatkan mutu pendidikan dokter spesialis neurologi
di Indonesia. Aamin yaa Rabbal'aalamiin.
vii
Scanned for Compos Mentis
Sambutan
KETUA UMUM PENGURUS PUSAT PERDOSSI
Segala puji ke hadirat Allah SWT j Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
Rahmat, Taufik, dan Hidayah-Nya kepada kita semua.
Neurologi adalah ilmu kedokteran yang menangani gangguan sistem saraf, baik saraf
pusat maupun perifer. Sistem saraf adalah sistem yang mengatur seluruh mekanisme
biologis tubuh yang amat kompleks. Sistem ini diatur oleh otak yang mencakup
berbagai fungsi penting, antara lain:
Uraian diatas mengindikasikan bahwa tidak ada satupun sistem pengaturan tubuh
yang berada di luar kendali otak, yang menunjukan vitalnya fungsi otak dalam
mengatur hidup seseorang.
viii
Scanned for Compos Mentis
Diagnosis penyakit neurologis biasanya relatif lebih rumit dibandingkan dengan
penyakit lainnya yang umumnya hanya perlu satu diagnosis. Sebagai konsekuensi
dari berbagai sistem otak yang terganggu, yang satu dengan lainnya memiliki
bentuk klinis, lokasi lesi, dan penyebab yang berbeda-beda, maka ada empat
diagnosis khusus neurologis, yaitu: diagnosis klinis, topis, patologis, dan etiologis.
Diagnosis neurologis ditegakkan melalui 3 hal penting, yaitu: anamnesis terstruktur
yang sistematis, pemeriksaan neurologis yang komprehensif, dan pemeriksaan
penunjangyang relevan. Dalam hal akurasi diagnosis, ketiga hal ini memiliki kontribusi
yang sama pentingnya satu dengan lainnya dan meningkatkan keberhasilan terapi.
Saat ini ada 14 (em pat be las) pus at pendidikan neurologi di Indonesia. Masing-masing
pusat pendidikan bertangung jawab untuk memberikan pendidikan neurologis
yang baik kepada para mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)
yang diasuhnya. Materi pendidikan tentu saja menyangkut pemeriksaan neurologis,
diagnosis, dan manajemen penyakit-penyakit neurologis.
Karena adanya perbedaan pusat pendidikan, perbedaan materi, perbedaan staf
pengajar dan perbedaan fasilitas pendidikan, tentu saja para mahasiswa PPDS ini tidak
memiliki pemahaman I persepsi yang sama tentang pemeriksaan neurologis antara
satu pusat pendidikan dengan pusat pendidikan lainnya. Namun para mahasiswa
PPDS ini harus mengikuti ujian nasional yang dinilai oleh para penguji berbagai pusat
pendidikan. Sekalipun berbeda pusat pendidikan, para penguji ini memiliki persepsi
yang sama tentang materi yang diujikan termasuk pemeriksaan neurologis.
Kontributor iv
1. Pemeriksaan Kesadaran 1
4. Pemeriksaan Motorik 98
Indeks 207
xi
Scanned for Compos Mentis
PEMERIKSAAN KESADARAN
Ramdinal Aviesena Zairinal, Tiara Aninditha, Nur Astini,
Masita, Astri Budikayanti
Kesadaran merupakan hal pertama yang harus dinilai oleh seorang dokter setiap
kali memeriksa pasien, bahkan lebih dahulu dari pada memeriksa tanda vital seperti
nadi dan pernapasan. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan yang signifikan
dalam aspek tata laksana dan prognosis an tara pasien yang sadar penuh dengan yang
mengalami gangguan kesadaran. Sebagai contoh, pasien yang menjadi tidak sadar
setelah mengalami bangkitan epileptik mempunyai tata laksana berbeda dengan
pasien yang kembali sadar penuh setelahnya. Pasien yang koma pascahenti jantung
(post cardiac arrest) tentu berbeda prognosisnya dengan yang kembali sadar setelah
tindakan resusitasi jantung paru.
1
Scanned for Compos Mentis
Korteks serebri
Korteks hemisfer serebri yang telah teraktivasi ini akan memproses semua informasi
sensorik, termasuk informasi dari lingkungan eksternal, menganalisis satu persatu
input yang sampai, sehingga pada akhirnya tersusun suatu kesadaran yang penuh.
Peran korteks serebri sebagai prosesor informasi ini berkaitan dengan fungsi
yang diembannya dalam hal fungsi luhur manusia, misalnya memori, bahasa, dan
visuospasial, serta penginderaan. Oleh karena itu, struktur ARAS dan korteks serebri
yang berfungsi normal akan menghasilkan seseorang yang sadar penuh dengan
keterjagaan, siklus bangun tidur yang baik, dan kewaspadaan terhadap lingkungan
eksternal.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kesadaran dapat didefinisikan sebagai kea d <~a n
sadar penuh (full awareness) seseorang terhadap dirinya dan hubungannya dengan
lingkungan eksternal. Seseorang yang sadar penuh memiliki keterjagaan di ri
sendiri (arousal) dan kewaspadaan terhadap rangsangan dari lingkungan eksternal
(alertness) yang baik. Dengan demikian, :~angguan kesadaran dapat disebabkan oleh
kelainan pada salah satu atau kedua fa ktor terse but.
2
Scanned for Compos Mentis
Faktor keterjagaan berhubungan dengan fungsi ARAS, talamus, dan jaras-jaras
penghubung yang mengontrol keseluruhan fungsi korteks serebri. Oleh karena
fungsinya mengatur siklus bangun tidur, maka gangguan kesadaran akibat faktor ini
akan bermanifestasi sebagai penurunan kesadaran tanpa ada siklus bangun tidur
sehari-hari dan tidak bisa berespons adekuat terhadap stimulus eksternal.
Di lain pihak faktor kewaspadaan berhubungan dengan hasil koordinasi fungsi dari
seluruh bagian korteks serebri yang pada kondisi normal akan menghasilkan fungsi
kognitif dan respons afektif seseorang yang sesuai dengan stimulus eksternal. Oleh
karena itu, gangguan kewaspadaan akan menunjukkan manifestasi klinis berupa
disorientasi, gangguan perilaku, agitasi, dan gangguan fungsi luhur lainnya. Syarat
yang harus diingat adalah faktor keterjagaan merupakan hal yang mutlak harus
diperiksa sebelum faktor kewaspadaan. Dengan demikian, fungsi kognitiftidak dapat
dinilai pada seseorang yang faktor keterjagaannya belum adekuat.
Penurunan kesadaran, sebagai salah satu bentuk gangguan kesadaran, dapat terjadi
hila terdapat gangguan (lesi) struktural atau fungsional pada struktur di otak yang
menyusun kesadaran, mulai dari ARAS hingga korteks serebri. Secara struktural
menurut letak lesinya, penurunan kesadaran dapat terjadi tidak hanya pada lesi difus
di korteks serebri atau otak secara keseluruhan, tetapi juga lesi fokal di supratentorial
atau infratentorial yang mengenai ARAS, talamus, dan jaras-jaras di antaranya,
misalnya jaras talamokortikal (Gambar 2).
Gambar 2. Lesi Struktural yang Menyebabkan Penurunan Kesadaran. a. Lesi di Batang Otak
yang Mengenai ARAS. b. Lesi Difus di Otak. c. Lesi Desak Ruang di Supratentorial
yang Mengenai ARAS dan Jaras Talamokortikal. d. Lesi Desak Ruang di
lnfratentorial yang Mengenai ARAS
I
!
I ..
Anamnesis
Pacta dasarnya, anamnesis ini bertujuan untuk memastikan apakah pasien benar-
benar mengalami penurunan kesadaran atau gangguan fungsi luhur. Hal ini
dilakukan secara alloanamnesis terhadap keluarga atau orang terdekat pasien untuk
menyamakan persepsi tentang penurunan kesadaran. Terkadang keluarga baru
menyadari bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran saat pasien tidak dapat
dibangunkan sama sekali. Atau sebaliknya keluarga hanya merasa pasien terlihat
lemas, namun sebenarnya sudah termasuk dalam kriteria penurunan kesadaran.
Setelah itu harus dipastikan awitan (onset), yaitu lamanya penurunan kesadaran,
yang ditentukan sejak pasien terakhir terlihat sadar penuh. Dari titik tersebut,
pemeriksa perlu menentukan apakah penurunan kesadarannya terjadi secara drastis
ke suatu tingkat kesadaran tertentu a tau bertahap progresif mulai dari bicara kacau,
disorientasi, hingga akhirnya tidak berespons sama sekali. Pacta kasus cedera kepala,
hal ini akan sangat menentukan diagnosis awal, seperti pacta penentuan cedera kepala
ringan, sedang, atau berat. Demikian pula pacta kecurigaan hematoma epidural, jika
didapatkan riwayat interval lusid, yaitu keadaan sadar sesaat di antara dua fase
penurunan kesadaran pascatrauma kepala. Keluarga yang mengantarkan pasien
dapat dimintakan informasi apakah pasien sempat mengalami kontak yang baik dan
mampu berespons yang sesuai dengan stimulus.
Anamnesis juga meliputi kondisi medis serta manifestasi lain yang bisa berhubungan
dengan penurunan kesadaran. Jika alloanamnesis tidak dapat dilakukan, maka
pemeriksa dapat melihat kartu tanda pengenal (KTP) atau data lain yang ada di
tubuh pasien yang berguna untuk mengetahui kondisi medis atau kerabat yang
4
Scanned for Compos Mentis
bisa dihubungi. Pada kasus orang terlantar atau belum teridentifikasi, diperlukan
anamnesis terhadap pengantar pasien, misalnya polisi atau dinas sosial.
Beberapa hal yang perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa benar pasien
mengalami penurunan kesadaran antara lain, apakah pasien cenderung banyak
tidur, tidak ada siklus bangun tidur seperti biasanya, bagaimana kontak dengan
orang sekitar, dan apakah masih menjalani aktivitas sehari-hari (bekerja, melayani
keluarga, mandi, makan). Pada penurunan kesadaran yang belum terlalu dalam,
pasien biasanya hanya mengalami perubahan kebiasaan dan aktivitas harian, bicara
tidak sesuai, atau kurang kontak dengan orang sekitarnya. Selanjutnya, penurunan
kesadaran yang cukup dalam biasanya cenderung tidur terus menerus, tidak
berespons ketika dipanggil, dan tidak bisa makan minum lagi.
Adapun pasien yang mengalami gangguan fungsi luhur biasanya salah mengenali
waktu dan tempat (disorientasi), perubahan perilaku agitasi atau cenderung diam,
sulit berkomunikasi, dan daya ingatnya menurun. Namun, pasien masih memiliki
siklus bangun tidur dan intensitas keluhannya berfluktuasi dalam satu hari.
Pemeriksa juga perlu menanyakan kondisi medis pasien, termasuk obat-obat yang
dikonsumsi pasien, sebelum penurunan kesadaran. Adanya keluhan sakit kepala
hebat dan defisit neurologis (misalnya, bicara pelo, mulut mencong, pandangan
dobel, kelemahan sesisi tubuh, dan kejang) yang menyertai penurunan kesadaran,
menunjukkan kemungkinan besar penyebab penurunan kesadaran adalah suatu
lesi intrakranial. Pasien dengan riwayat diabetes, gaga! ginjal, penyakit jantung,
atau periyakit kronik lainnya yang membuat pasien cenderung imobilisasi dan nafsu
makan menurun perlu dicurigai mengalami gangguan metabolik yang menyebabkan
penurunan kesadaran. Di samping itu, adanya riwayat depresi, konsumsi narkoba,
alkohol, atau gangguan psikatrik sebelumnya dapat mengarahkan kepada penurunan
kesadaran akibat intoksikasi ataupun gejala putus obat.
Pemeriksaan
Mengingat penurunan kesadaran termasuk keadaan gawat darurat, maka
pemeriksaan fisik harus dilakukan secara cepat, tepat, dan efektif. Hal ini meliputi
pemer:iksaan tingkat kesadaran diikuti pemeriksaan tanda vital, fisik secara
umum,::.ctan neurologis yang:• perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab dan
pemantauahnya. ·· ·
5
Scanned for Compos Mentis
Perneriksaan kesadaran
Secara garis besar, pemerikaan kesadaran dapat dibagi dalam 3 tahap, yaitu observasi,
stimulasi, dan dokumentasi. Tahap awal adalah melakukan observasi atau inspeksi
terhadap pasien mengenai keterjagaan dan kewaspadaannya terhadap lingkungan.
Pasien yang sadar penuh akan terlihat membuka mata spontan, memperhatikan objek
di sekitarnya, semua indera bekerja menerima input sensorik dari eksternal, bisa
melakukan gerakan volunter yang sesuai, dan bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Jika pasien tidak tampak seperti ini, maka masuk dalam tahap kedua, yaitu stimulasi.
Pada tahap ini, pemeriksa memberikan rangsangan secara bertahap dengan suara
(verbal) dan kemudian rangsangan nyeri. Pemeriksa wajib untuk memperhatikan
semua respons terbaik pasien yang muncul secara bersamaan saat diberi rangsangan. Jika
pasien tidak menunjukkan respons apapun setelah diberikan kedua rangsangan terse but
secara maksimal, maka pasien berada di tingkat kesadaran yang paling rendah. Langkah
selanjutnya adalah mendokumentasikan hasil pemeriksaan dengan baik untuk dijadikan
patokan (baseline) atau pantauan tindak lanjut penanganan pasien (Gam bar 3).
6
Scanned for Compos Mentis
kegawatdaruratan (first responder). Oleh karena bersifat kualitatif, maka hasil
pemeriksaannya berupa kategori yang memiliki karakteristik masing-masing.
Salah satu pembagian kategori tingkat kesadaran yang sudah lama berkembang
di bidang neurologi adalah koma, stupor/sopor, somnolenjletargi, dan kompos
mentis (Tabell).
Selain itu, terdapat pula bentuk sederhana dari skala koma Glasgow yang
telah diadopsi dalam pengajaran Advanced Trauma Life Support (ATLS) atau
kursus bantuan hidup dasar (BHD), yaitu alert-voice-pain-unresponsive (AVPU).
Keunggulan dari penilaian kualitatif adalah kemudahan dalam aplikasinya dan
bisa digunakan secara luas, bahkan oleh orang awam yang terlatih. Di lain
pihak, kekurangannya adalah hasil penilaiannya tidak terukur dan tidak sensitif
terhadap sedikit perubahan tingkat kesadaran.
7
Scanned for Compos Mentis
Tabell. Tingkat Kesadaran secara Kualitatif
8
Scanned for Compos Mentis
terintubasi karena tidak ada penilaian respons verbal. Skala ini juga dapat
menilai proses herniasi otak yang terjadi, misalnya herniasi unkal yang ditandai
oleh pupil anisokor. Pada skala SKG yang terendah (koma), FOUR score dapat
mendeskripsikan lebih lanjut tingkat keparahannya dengan menilai usaha
be rna pas (respiratory drive) pasien.
9
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan SKG dilakukan segera setelah penilaian survei primer (jalan
napas, pernafasan, dan sirkulasi). Namun, nilai SKG akan lebih valid jika
pasien telah diatasi keadaan emergensi dan kelainan metabolisme sistemik
seperti hipoksia, hipovolemia, hipoglikemia, serta penghentian obat-obatan
yang berefek sedasi. Selanjutnya, pemeriksa melakukan pengecekan awal
adakah faktor-faktor atau kondisi medis tertentu yang mempengaruhi
kemampuan pasien dalam memberikan respons membuka mata, gerakan
motorik, atau berkomunikasi. Sebagai contoh, pasien dengan riwayat
gangguan pendengaran, gangguan fungsi luhur, dan kelumpuhan keempat
ekstremitas tentu memiliki keterbatasan dalam memberikan respons.
Jika ditemukan keadaan-keadaan tersebut, maka dapat dituliskan sebagai
keterangan tambahan. Pada pasien yang tidak menunjukkan respons terbaik
untuk ketiga komponen, maka perlu diberikan rangsangan bertahap, mulai
dari suara hingga fisikfnyeri, baru dilakukan penilaian SKG.
Untuk komponen E, nilai E4 diberikan pada pasien yang dapat membuka
mata secara spontan. Jika tidak dapat membuka spontan, maka harus
diberikan rangsangan suara dengan menyebutkan identitas pasien dan
meminta pasien untuk membuka matanya, jika perlu dengan suara yang
keras. Jika pasien membuka mata dengan rangsangan tersebut, maka
nilainya E3. Namun jika pasien masih belum berespons, selanjutnya
diberikan rangsangan nyeri pada kuku (nail tip) jari tangan selama
maksimal10 detik (Gambar 4). Rangsang nyeri tersebut diberikan dengan
intensitas bertahap mulai dari rendah hingga tinggi. Jika pasien membuka
mata dalam durasi 10 detik pemberian rangsangan nyeri tersebut, maka
nilainya E2. Adapun pasien yang tetap tidak membuka mata setelah
diberi rangsangan nyeri selama 10 detik dinilai E1. Pasien yang memiliki
keterbatasan untuk membuka mata, misalnya karena edema palpebra
atau cedera maksilofasial, tidak dapat diperiksa secara akurat dan dinilai
sebagai NT (not testable).
Pemeriksaan komponen Mdiperiksa dengan meminta pasien melakukan dua
gerakan berurutan (two-step action), yaitu menggenggam dan melepaskan
tangan pemeriksa. Contoh lain yang bisa dilakukan, terutama pada pasien
dengan kelumpuhan ekstremitas, adalah meminta pasien membuka mulut
11
Scanned for Compos Mentis
a b
Gambar 5. Rangsangan Nyeri pacta (a) Otot Trapezius dan (b) Supraorbita
12
Scanned for Compos Mentis
pasien dapat mengeluarkan beberapa kalimat atau frase, tetapi tidak
menjawab sesuai pertanyaan pemeriksa dengan benar, maka nilainya V4.
Nilai V4 juga diberikan apabila pasien dapat menjawab pertanyaan dengan
benar namun orientasi terhadap tempat, waktu atau orang terganggu. Jika
pasien tidak berbicara secara wajar dan hanya mengeluarkan satu kata,
maka diberikan nilai V3. Jika pasien hanya mengerang dan tidak ada kata
yang bisa kita pahami, maka pasien dinilai V2. Adapun pasien yang sama
sekali tidak menunjukkan respons verbal diberi nilai Vl. Jika pasien tidak
dapat memberikan respons verbal perlu diperhatikan apakah terdapat suatu
kondisi yang menyebabkan keterbatasan, misalnya pasien yang terpasang
trakeostomi atau pipa endotrakea. Pada kondisi terse but, komponen V diberi
nilai NT (not testable).
Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan salah satu komponen
SKG tidak dapat diperiksa (NT), yaitu pengaruh obat anestetik dan sedatif,
intoksikasi obat atau alkohol, disfasia, demensia, gangguan kognitif atau
gangguan psikiatrik, faktor perbedaan bahasa dan budaya, dan paresis
ekstremitas. Pada kondisi tersebut, walaupun tidak terdapat respons
terbaik dari pasien, tidak boleh diberi nilai terendah (1) karena perbedaan
konsekuensinya yang signifikan. Sebagai contoh, pasien stroke yang
memiliki afasia global tidak dapat mengerti perintah pemeriksa (komponen
M) dan berbicara dengan orientasi yang benar (komponen V), tetapi masih
dapat membuka mata spontan. Ketika diberikan rangsangan nyeri, pasien
masih bisa melokalisasi nyeri. Hal ini tidak boleh dinilai sebagai E4MSV1,
melainkan E4 MNTVNrCafasia global). Begitupun pasien yang terintubasi atau
dengan ttakestomi, komponen V dapat ditulis sebagai Vtube'
14
Scanned for Compos Mentis
Komponen respons mata diperiksa dengan menilai respons terbaik setelah
minimal 3 kali percobaan membangunkan pasien. Skor E4 diberikan jika
terdapat minimal salah satu dari kondisi di bawah ini:
Jika pasien tidak dapat mengikuti gerakan jari pemeriksa atau objek
tertentu, maka skornya E3. Pasien yang baru membuka mata dengan
rangsangan suara keras diberi nilai skor E2. Jika pasien baru membuka
mata dengan rangsangan nyeri, maka diberi nilai El. Adapun skor EO berarti
tidak ada respons membuka mata saat diberi rangsangan nyeri (Gambar 6) .
Rangsangan nyeri dapat diberikan pada sendi temporomandibular (TMJ)
atau nervus supraorbital.
15
Scanned for Compos Mentis
• .>
E4
Komponen refleks batang otak (B) dilakukan dengan menilai refleks pupil,
kornea, dan batuk. Khusus untuk refleks kornea, di samping pemeriksaan
yang biasa dilakukan dengan kapas, pemeriksaan juga dianjurkan dengan
cara meneteskan 2-3 tetes NaCI 0,9% steril pada kornea dari jarak 4-6inci
(10 -15cm). Skor 84 artinya pasien memiliki refleks pupil dan kornea yang
normal. Skor 83 diberikan pada pasien dengan salah satu pupil yang dilatasi
dan terfiksasi. Jika salah satu dari refleks pupil atau refleks kornea negatif,
maka skor yang diberikan 82. Jika kedua refleks terse but negatif, maka diberi
16
17
Scanned for Compos Mentis
Tabel 4. Pola Pernapasan Abno rmal pada Pasien Penurunan Kesadaran
Jenis Deskripsi Implikasi Klinis
Cheyne-Stokes Pola napas ditanda i dengan periode hiperpnea ya ng berselang-seling Dijumpai pada ensefalopati metabolik dan
dengan periode ap nea 10-20 detik. lesi padaforebrain ata u diensefalon.
Hiperventilasi Pola nap as yang disebabkan oleh terangsangnya kemoreseptor di Paling sering dijumpai pada ensefalopati
neuroge nik batang otak karen a beberapa keadaa n metabolik yang merubah nilai metabolik. Pada kondis i jarang, bisa
sentral pH [sepsis, kama hepatikum, atau as idos is metabolik) ata ulesi disebabkan oleh lesi di mesensefalon
intrakranial [infeksi intrakranial atau perd arahan subara knoid) .
Hipe rve ntilas i terjadi terus-me ne rus, bahkan saat tidur.
Apneusis Pola napas yang ditandai henti napas, selama 2-3 detik, saat puncak Terdapat les i di pons bilateral
inspiras i dan akhir ekspiras i [end-inspiratory pause dan end-expiratory
pause).
Klaster dan Pern apasan terengah-engah (gasping), dengan pola seperti roda gigi Lesi di perbatasan pons dan medula
ataksik berkelompokjklaster yang diselingi dengan henti napas. oblongata [pontomedullary junction)
D
1mn
Apnea Tidak ada inspirasi dan ekspi ras i Lesi di ventral respiratory g roup(VRG) yang
berada di ked ua s is i ventrolatera l medula
oblongata
19
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Neurologis
Semua pemeriksaan yang membutuhkan atensi pasien tidak dapat dilakukan pada
kasus penurunan kesadaran, antara lain pemeriksaan sensorik, keseimbangan, dan
koordinasi. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal, beberapa saraf kranial, dan
motorik masih dapat dikerjakan untuk mengetahui letak lesi penurunan kesadaran.
20
Scanned for Compos Mentis
~ . .~
Eltk IHl difus (-11aupun mMabolik
ensefelojNitl, dll/:
ktcil dan reak••
Ol...,.falilc
kecll dan real<tU
P m -;
..~
besar, tedo sa!!l. h ippo•
'~
. .~\!) ~
MidbRin:
mldposlsl dan unllksesl
..~
-· ·
Lesi pada salah satu FEF lobus frontal dapat berupa lesi destruktif atau iritatif.
Lesi destruksi, misalnya karena stroke atau neoplasma, akan menimbulkan deviasi
konjugat ke arah ipsilateral lesi atau kontralateral sisi hemiparesis. Lesi iritatif,
misalnya kejang yang bersumber dari salah satu lobus frontal, akan menimbulkan
deviasi konjugat ke arah kontralateral lesi. Adapun lesi pada salah satu sisi pons
akan menimbulkan deviasi konjugat ke arah kontralateral lesi atau ipsilateral sisi
hemiparesis (Gambar 8).
21
Scanned for Compos Mentis
Gambar 8. Deviasi Konjugat Akibat beberapa Penyebab, seperti (a) Lesi Destruksi di Lobus
Frontal Kanan Menimbulkan Deviasi Konjugat ke Arah Kanan, (b) Kejang yang
Bersumber di Lobus Frontal Kanan Menimbulkan Deviasi Konjugat ke Arah Kiri, dan
(c) Lesi Destruksi di Pons Sisi Kanan Menimbulkan Deviasi Konjugat ke Arah Kiri
• Refleks Okulosefalik
Sebelum pemeriksaan, harus dipastikan dulu tidak terdapat cedera
vertebra servikal. Pemeriksa menahan kedua kelopak mata pasien tetap
terbuka, lalu menggerakkan kepala pasien secara cepat berotasi ke arah
horizontal dan vertikal. Hasil positif ditandai dengan gerakan kedua bola
mata ke arah berlawanan dari rotasi kepala. Misalnya, jika pasien menoleh
22
Scanned for Compos Mentis
ke kanan, maka kedua mata normal akan bergerak ke arah kiri. Adapun
hasil negatif apabila tidak ada gerakan bola mata saat kepala digerakkan.
• Refleks Okulovestibular
Komponen aferen refleks ini adalah N.VIII dengan eferen N.III dan N.VI.
Refleks ini dilakukan dengan sebelumnya memastikan patensi membran
timpani. Jika tidak ada ruptur membran, pemeriksa dapat mengalirkan air
dingin pada salah satu telinga. Posisi pasien saat tes kalori adalah elevasi
kepala 30°. Setiap telinga diirigasi dengan sekitar SOmL air dingin selama 1
menit. Tindakan dilakukan pula pada telinga sisi yang Jain dengan interval
selama 5 menit dari telinga sebelumnya. Hasil positif berupa nistagmus
fase cepat ke arah berlawanan dengan telinga yang diirigasi, disertai
deviasi konjugat lam bat ke sisi telinga yang diirigasi. Hal ini menunjukkan
lingkar refleks yang melalui mesensefalon dan pons dalam keadaan intak.
Adapun hasil negatif ditandai dengan tidak adanya gerakan bola mata
selama 1 menit observasi pascairigasi.
• Refleks Ancam
Refleks ini memiliki komponen aferen N.II dan eferen N.VII. Cara
pemeriksaannya adalah dengan memegang kedua kelopak mata pasien
agar tetap terbuka, kemudian tangan pemeriksa digerakkan secara
cepat ke dalam Japang pandang pasien hingga tampak seperti hampir
mengancam mata pasien. Hasil positif yang ditandai dengan kedipan
mata menunjukkan lingkar refleks melalui jaras penglihatan, area visual
di lobus oksipital hingga pons masih dalam keadaan intak. Adapun hasil
negatifberupa tidak adanya kedipan mata saat tangan pemeriksa bergerak
cepat ke arah mata pasien.
• Funduskopi
Pada pasien penurunan kesadaran, pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengevaluasi diskus optikus dan N. II. Dengan pemeriksaan ini, klinisi
dapat mengetahui adanya papil edema yang sering menjadi tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, komplikasi retinopati pada
hipertensi dan diabetes mellitus juga bisa terdeteksi pada penurunan
kesadaran yang dicurigai diakibatkan oleh stroke. Pada kasus perdarahan
23
Scanned for Compos Mentis
subaraknoid, gambaran yang ditemukan dapat berupa perdarahan
subhialoid.
• Refleks Kornea
Komponen aferen refleks kornea adalah N.V1 dan eferennya N.VII.
Pemeriksaan refleks kornea dilakukan dengan menyentuh kornea dengan
kapas (cotton swab) atau tetesan air. Hasil positif bila terdapat kedipan
mata saat kornea disentuh. Hal ini terjadi karena lingkar refleks yang
melalui pons masih intak. Hasil negatif menunjukkan tidak adanya gerakan
kelopak mata saat kornea disentuh.
• Refleks Muntah
Komponen aferen refleks ini adalah N.IX dan eferennya N.X. Pemeriksaan
refleks muntah dilakukan dengan memberikan rangsangan sentuhan
ke dinding faring posterior dengan spatula lidah atau kateter penghisap
(suction). Refleks ini akan positif bila lingkar refleks yang melalui medula
oblongata masih intak. Hasil positif ditandai dengan adanya reaksi muntah
pasien, begitupun sebaliknya.
• Refleks Batuk
Komponen aferen dan eferen refleks ini adalah N.X. Pemeriksaan ini
dilakukan pada pasien terintubasi dengan cara memasukkan kateter
penghisap ke dalam trakea melalui pipa endotrakeal atau trakeostomi
hingga setinggi karina, dan dilakukan penghisapan sebanyak 1 atau 2 kali.
Refleks ini akan positif bila lingkar refleks yang melalui medula oblongata
masih dalam keadaan intak. Hasil positif ditandai dengan adanya reaksi
batuk pasien, begitupun sebaliknya.
B. Pemeriksaan Motorik
Apabila pasien tidak dapat mengikuti perintah, pemeriksa dapat memberikan
rangsangan nyeri untuk menimbulkan respons motorik tertentu. Respons ini
dapat membantu pemeriksa menentukan letak lesi dan tingkat keparahan
penyakit. Beberapa respons motorik terse but dapat dilihat pada tabel berikut
ini (Tabel 7).
24
Scanned for Compos Mentis
Tabel 7. Respons Motorik pada Penurunan Kesadaran
Jenis respons Keterangan Implikasi
• Kerusakan otak (fokal atau
difus) yang tidak terlalu parah
Pasien bisa melokalisasi nyeri, misalnya
Respons tepat (moderate severity) .
mendorong tangan pemeriksa ke arah
(appropriate) • Koneksi motorik dan sensorik
menjauhi tubuh pasien
pada medula spinalis dan batang
otak masih intak.
25
Scanned for Compos Mentis
Pengetahuan mengenai korelasi antara letak lesi dan temuan klinis terkait
sangat penting untuk dikuasai oleh klinisi dan perawat, terutama dalam hal
pemantauan pasien penurunan kesadaran. Dengan demikian, setiap tenaga
medis bisa mendeteksi dini perbaikan atau perburukan pasien seperti pada
kasus herniasi serebri. Pada pasien penurunan kesadaran akibat proses
herniasi serebri dari kranial ke arah kaudal, terdapat temuan klinis khas yang
merepresentasikan tahapan-tahapan herniasi tersebut (Tabel 8).
• Tahap awal
= mampu
Normal, kecuali pupil
Diensefalon Normal lokalisasi nyeri Cheyne-Stokes
ukuran kecil dan reaktif
• Tahap akhir =
dekortikasi
• Lesi bilateral = Pupil
ukuran sedang dan
Hiperventilasi
Mesensefalon terfiksasi Paresis N.lll Desereberasi
neurogenik sentral
• Lesi unilateral = pupil
anisokor
• Pontomedullary
junction=
klaster dan
Medula • Refleks batuk negatif
ataksik
oblongata • Refleks muntah negatif
• Ventral
respiratory
group = apnea
26
Scanned for Compos Mentis
Kondisi Lain terkait Gangguan Kesadaran
Delirium
Delirium merupakan keadaan yang sering ditemukan pada pasien rawat inap. Kriteria
diagnosis delirium berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
edisi kelima (DSM-5), yaitu:
Psychogenic Unresponsiveness
Pasien yang tidak berespons terhadap rangsangan eksternal dapat pula disebabkan
oleh aspek psikis. Hal ini disebut psychQgenic unresponsiveness. Pada pasien tersebut
tidak ditemukan adanya lesi struktural a tau fungsional yang menyebabkan penurunan
27
Scanned for Compos Mentis
kesadaran. Dengan demikian, diagnosis baru dapat ditegakkan setelah mengeksklusi
semua penyebab organik. Dua kategori utama psychogenic unresponsiveness adalah
reaksi konversi dan katatonia.
Pada pasien reaksi konversi atau malingering, biasanya kelopak mata tertutup dan
tidak terpengaruh dengan lingkungan sekitar. Pasien cenderung menahan kedua mata
saat pemeriksa mencoba membuka matanya. Jika berhasil terbuka, maka secepatnya
mata terse but akan tertutup kembali. Pasien kadang membuka mata pada saat merasa
tidak sedang diawasi orang lain. Pernapasan biasanya normal, tetapi bisa saja pasien
bernapas secara berlebihan dan mengalami hiperventilasi. Pupil isokor dan reaktif,
kecuali jika pasien memakai sendiri obat tetes mata midriatik. Pada tes kalori, irigasi
air dingin pada salah satu telinga akan menimbulkan nistagmus fase cepat ke arab
berlawanan dengan sisi telinga yang diirigasi. Pada pemeriksaan motorik, terdapat
tahanan sesaat pada waktu ekstremitas digerakkan secara pasif dan mendadak,
tonus pasien normal, dan tidak terdapat refleks patologis. Jika salah satu lengannya
diangkat secara pasif dan dijatuhkan ke muka, maka pasien dengan reaksi konversi
akan menggerakkan lengannya menjauhi wajah. Hal ini berbeda dengan pasien koma
sesungguhnya yang akan menjatuhkan lengannya ke wajahnyasendiri.
Berbeda dengan reaksi konversi, katatonia dapat terjadi dalam dua kelompok, yaitu
retarded dan excited. Kelompok katatonia retarded sulit dibedakan dengan pasien
dengan tingkat kesadaran stupor akibat penyakit organik sistemik. Pasien biasanya
membuka mata spontan, tetapi tidak berkontak dengan lingkungan sekitarnya. Tanda
vital cenderungtakikardia (90-120 kali permenit), pernapasan normal, dan suhu tubuh
bisa meningkat 1,0-1,5°C. Pasien bisa tidak mengedipkan mata saat dilakukan refleks
ancam, tetapi masih menunjukkan respons optokinetik nistagmus (OKN). Refleks
okulosefalik dan okulovestibular dalam batas normal. Katapleksi dapat ditemukan
pada sekitar 30% pasien. Pada pemeriksaan motorik dapat ditemukan ekstremitas
kaku dan mempertahankan posisi tertentu, tanpa adanya refleks patologis. Gerakan
menyentak yang menyerupai khorea dan wajah menyeringai (grimacing) adalah
hal yang sering ditemukan pada kelompok pasien ini. Karakteristik khas lainnya
adalah ketika sudah membaik dan sadar penuh, pasien seringkali bisa menceritakan
kejadian-kejadian yang dialaminya saat "stupor".
Pada kelompok excited, gambaran klinis bisa menyerupai delirium. Pasien tampak
agitatifdan sulit diperiksa orientasi dan atensinya. Halusinasi dapat terjadi. Biasanya
Keadaan vegetatif adalah kondisi klinis hilangnya kesadaran terhadap diri dan
lingkungan, tetapi masih memiliki siklus bangun tidur. Hal ini disebabkan oleh fungsi
hipotalamus dan otonom batang otak yang tidak terganggu seluruhnya akibat kerusakan
otak (brain injury) yang progresif atau malformasi perkembangan sistem saraf.
Kriteria diagnosis keadaan vegetatif an tara lain:
A. Hilangnya kesadaran akan diri sendiri atau lingkungan dan ketidakmampuan
berinteraksi dengan orang lain
B. Hilangnya respons perilaku yang bersifat konsisten, volunter, bertujuan, atau bisa
diulang terhadap rangsangan visual, auditori, taktil, dan nyeri
C. Hilangnya fungsi pemahaman dan ekspresi bahasa
D. Keterjagaan yang bersifat intermiten, ditandai dengan adanya siklus bangun tidur
E. Masih terjaganya fungsi hipotalamus dan otonom batang otak yang
memungkinkan pasien masih bertahan hidup dengan bantuan perawatan
medis
F. Inkontinensia uri et alvi
G. Masih terjaganya refleks batang otak (pupil, kornea, okulosefalik, okulovestibular,
muntah) dan refleks spinal
Keadaan vegetatif dikatakan persisten (persistent vegetative statejPVS) jika muncul
setidaknya satu bulan pascakerusakan otak traumatik atau nontraumatik, atau
berlangsung selama minimal 1 bulan pada pasien gangguan metabolik, degeneratif,
Locked-in Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan kelumpuhan keempat anggota gerak dan saraf
kranial bagian bawah. Etiologi tersering adalah lesi di basis dan tegmentum
pons bagian tengah yang menimbulkan gangguan jaras motorik. Mengingat tidak
adanya komponen ARAS atau korteks serebri yang telibat pada sindrom ini, maka
perlu diingat bahwa pasien sebenarnya tidak mengalami penurunan kesadaran,
tetapi hanya tidak bisa memberikan respons maksimal kepada rangsangan yang
ada. Pasien biasanya masih bisa membuka mata spontan dan menggerakan bola
mata. Bentuk komunikasi yang bisa dilakukan dalam bentuk kedipan mata untuk
menjawab pertanyaan tertutup (ya atau tidak).
30
Scanned for Compos Mentis
(misalnya gula darah) yang cukup berat dan masih bisa dikoreksi.
3. Suhu tubuh (core temperature) normal (>36°C)
4. Tekanan darah sistolik yang adekuat (:o::100mmHg, dengan atau tanpa
vasopresor)
5. Terdapat sumber daya (dokter) yang kompeten sesuai hukum yang berlaku
3. Apnea
Pasien mati otak harus tidak memiliki usaha bemapas. Hal ini dievaluasi dengan tes
apneayangprinsipnya bertujuan meningkatkankadar PaC02 di atas nilai normal dan
melihat responsnya. Pada pasien normal, peningkatan PaC02 akan menimbulkan
usaha bemapas, sementara pasien mati otak tidak ada sama sekali pergerakan dada.
Sebelum melakukan tes apnea, beberapa persyaratan harus diperhatikan, antara
lain normotensi, normotermia, euvolemia, eukapnia (PaC02 35-45mmHg), tidak
hipoksia, dan tidak ada riwayat retensi C02 ( misalnya pada penyakit paru obstruktif
kronik). Adapun langkah-langkah prosedurnya sebagai berikut:
• Atur tekanan darah menjadi ;::100mmHg. Jika perlu, gunakan vasopresor
untuk mencapai target terse but.
• Preoksigenasi selama minimal 10 menit dengan 100% oksigen hingga !
·.···
!
• Turunkan frekuensi ventilasi menjadi 10 kali permenit hingga eukapnia.
C. Tes penunjang
Pada kondisi yang tidak memungkinan dilakukan tes apnea, atau terdapat basil
yang inkonsisten antara beberapa pemeriksaan klinis neurologis, pemeriksaan
penunjang dapat dikerjakan untuk membantu penentuan diagnosis mati otak.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalab EEG, angiografi
serebral, dan doppler transkranial.
D. Dokumentasi
Pasien yang telab melalui tes apnea dan basilnya positif akan dicatat waktu mati
otaknya saat terbukti PaC0 2 telab mencapai target. Sementara itu, pasien yang
dibentikan tes apnea akan dicatat waktu mati otaknya saat ada basil interpretasi
resmi dari pemeriksaan penunjang. Semua langkab yang dilakukan dari tabap
Daftar Pustaka
1. Campbell WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005.
2. European Delirium Association dan American Delirium Society. The DSM -5 criteria, level
of arousal and delirium diagnosis: inclusiveness is safer. BMC Medicine. 2014;12:141.
3. McNarry AF, Goldhill DR. Simple bedside assessment of level of conciousness:
comparison of two simple assessment scales with the Glasgow coma scale. Anaesthesia.
2004;59(1):34-7.
4. Posner JB, Sa per CB, Schiff ND, Plum F. Pathophysiology of signs and symptoms of coma.
Dalam: Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F, editor. Plum and Posner's diagnosis of
stupor and coma. Edisi ke-4. Oxford: Oxford University Press; 2007. h.11-29.
5. Posner JB, Sa per CB, Schiff ND, Plum F. Examination of the comatose patient. Dalam:
Posner JB, Sa per CB, SchiffND, Plum F, editor. Plum and Posner's diagnosis of stupor and
coma. Edisi ke-4. Oxford: Oxford University Press; 2007. h. 38-42.
6. Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Psychogenicunresponsiveness. Dalam: Posner
JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F, editor.Psycogenic Plum and Posner's diagnosis of stupor
and coma. Edisi ke-4. Oxford: Oxford University Press; 2007. h. 299-304.
7. Teasdale G, Maas A, Lecky F, Manley G, Stocchetti N, Murray G. The Glasgow Coma Scale
at 40 years: standing the test of time. Lancet Neurol. 2014;13:844-54.
8. Wijdicks EFM, Bamlet WR, Maramattom BV, Manno EM, McClelland RL. Validation of a
new coma scale: the FOUR score. Ann Neurol. 2005;58:585-93.
9. Wijdicks EFM, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM. Evidance-based guideline update:
determining brain death in adults. Neurology. 2010;74(23):1911-18.
10. Teasdale G, Maas A, Lecky F, Manley G, Stocchetti N, Murray G. The Glasgow Coma Scale
at 40 years: standing the test of time. GCS at 40 [serial online]. [diunduh 28 Desember
2017]. Tersedia dari: www.glasgowcomascale.org.
I .··
Tanda rangsang meningeal (TRM) paling sering ditemukan pada iritasi selaput
meningen akibat inflamasi, infeksi, maupun perdarahan. Beberapa teknik
pemeriksaan fisik telah dikembangkan untuk mendeteksi adanya TRM. Prinsip
pemeriksaan TRM bertujuan untuk memberikan tekanan pada meningen dan radiks
saraf (nerve root) spinalis yang mengalami iritasi dan menjadi hipersensitif. Tekanan
tersebut akan menimbulkan reaksi kompensasi, bisa berupa suatu postur, kontraksi
otot yang bersifat protektif, atau gerakan tertentu yang meminimalisasi regangan
pada meningen dan radiks. Namun, reaksi kompensasi ini tidak selalu muncul dan
terkadang membingungkan penilaian pada beberapa kondisi seperti pasien usia
ekstrim (bayi atau geriatri), koma, dan pada kasus paralisis neuromuskular.
Pemeriksaan TRM terutama dilakukan pada kecurigaan infeksi susunan saraf pusat
(SSP), perdarahan subaraknoid yang menyebabkan iritasi meningen difus, atau
radikulopati yang ditandai dengan adanya inflamasi lokal pada radiks.
Anatomi
Meningen merupakan selaput yang meliputi bagian dalam kranium dan kanalis
vertebralis. Struktur ini juga melapisi otak dan medula spinalis. Meningen tersusun
atas 3 lapisan dengan urutan dari luar ke dalam, duramater, araknoid, dan piamater.
Duramater merupakan lapisan fibrosis yang kuat dan tebal serta terdiri atas 2 lapisan
yaitu lapisan meningeal dan lapisan periosteal. Kedua lapisan duramater yang meliputi
bagian dalam kranium ini melekat satu sama lain, tetapi terpisah pada saat mencapai
sinus venosus serebri untuk kemudian membungkus struktur sinus tersebut. Pada
tingkat vertebra spinalis kedua lapisan duramater tampak terpisah. Lapisan periosteal
meliputi kanalis vertebralis, sedangkan lapisan meningeal meliputi medula spinalis.
34
Scanned for Compos Mentis
Hal ini mengakibatkan ruang epidural di spinal lebih Iebar dan susunan seperti ini
tidak terlihat pada kranium.
Pemeriksaan
Kaku kuduk
Sebelum melakukan pemeriksaan kaku kuduk pemeriksa harus memastikan pasien
tidak mengalami cedera vertebra servikal atau lesi kompresi medula spinalis segmen
servikal. Jika ditemukan keadaan tersebut, maka pemeriksaan tidak boleh dilakukan.
35
Scanned for Compos Mentis
Apabila didapatkan kaku kuduk, pastikan tidak ada kekakuan pada leher (kaku leher)
dengan menggerakkan secara pas if kepala pasien ke sisi kanan dan kiri. Angkat bahu
pasien untuk mengetahui ada atau tidak adanya tahanan saat ekstensi leher. Pada
kaku leher, terdapat tahanan atau kekakuan pada gerakan leher ke kiri dan kanan.
Pada saat bahu pasien diangkat, kepala akan ikut terangkat karena otot leher kaku
dan berkontraksi. Kondisi kaku leher dapat ditemukan pada spondilosis servikalis,
tetanus dan distonia.
a b
Gam bar 2. Pemeriksaan untuk Mendeteksi Kaku Leher dengan Cara (a) Rotasi dan (b) Ekstensi Leher
Tanda Brudzinski
Tanda Brudzinski diperkenalkan oleh Joseph Brudzinski (1874-1917), seorang
dokter anak berkebangsaan Polandia. Brudzinski membuat 4 manuver untuk
mendeteksi meningitis pada anak yaitu the obscure cheek sign, symphyseal sign,
Brudzinski's reflex, dan yang paling populer Brudzinski's neck sign.
Pemeriksaan cheek sign dilakukan dengan memberikan tekanan pada kedua pipi
inferior arkus zigomatikus. Tanda ini positif bila terdapat fleksi pada siku dan
sentakan pada kedua lengan bawah. Symphyseal sign positif apabila pada penekanan
simfisis pubis terjadi fleksi pada kedua tungkai. Brudzinski's contralateral reflex sign
dilakukan dengan memfleksikan secara pasif sendi panggul dan lutut satu tungkai
pasien. Hasil pemeriksaan ini positif apabila terdapat fleksi dari sendi panggul
dan lutut tungkai kontralateral. Manuver Brudzinski yang paling terkenal adalah
Brudzinski's neck sign. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memfleksikan leher pasien,
kemudian perhatikan adanya fleksi pada sendi panggul dan lutut kedua tungkai.
36
Scanned for Compos Mentis
Tanda Kernig
Pemeriksaan tanda Kernig dilakukan dengan pasien pad a posisi berbaring terlentang.
Pada salah satu tungkai pasien, pemeriksa melakukan fleksi sendi panggul hingga
posisi paha menjadi vertikal, kemudian secara perlahan sendi lutut diekstensikan.
Tanda ini dikatakan positif bila pasien tidak dapat melakukan ekstensi lutut hingga
membentuk sudut >135° pada sendi panggul yang sudah fleksi (Gambar 3). Semua
gerakan fleksi dan ekstensi dilakukan secara pasif oleh pemeriksa. Pemeriksaan
dilakukan pada kedua tungkai (bilateral).
Baik tanda Kernig maupun Brudzinski memiliki sensitivitas yang rendah dalam
mendiagnosis meningitis. Apabila kedua tanda ini negatif, maka diagnosis
meningitis belum dapat disingkirkan. Kaku kuduk memiliki sensitivitas yang lebih
baik dalam mendiagnosis meningitis. Meskipun demikian, dalam menegakkan
diagnosis meningitis perlu diperhatikan informasi dari hasil pemeriksaan lainnya.
Hasil pemeriksaan TRM yang negatif pada pasien dengan kecurigaan meningitis
hendaknya tidak dijadikan patokan untuk tidak melakukan tindakan pungsi lumbal
ataupun pemeriksaan lainnya.
37
Scanned for Compos Mentis
Tanda Lasegue (straight leg-raising j SLR test)
Tanda Lasegue merupakan pemeriksaan klinis yang dilakukan pada kasus nyeri
punggung bawah. Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai adanya iritasi radiks
saraf. Namun demikian, pemeriksaan ini juga dapat memberikan hasil positif pada
kondisi inflamasi meningen.
Pemeriksaan tanda Lasegue dilakukan dengan mengangkat salah satu tungkai pasien
dengan sendi lutut ekstensi hingga mencapai sudut 45° (Gambar 4). kemudian
hasilnya dikatakan positif bila pasien mengalami nyeri radikular. Sumber literatur
lain menyebutkan bahwa pemeriksaan ini menunjukkan hasil yang positif dengan
batas sudut 70°.
Pada keadaan normal, sendi panggul dapat mengalami fleksi hingga membentuk sudut
90° antara paha dengan abdomen. Pada pasien dengan radikulopati, pemeriksaan
tanda Lasegue akan menimbulkan nyeri, sehingga lutut pasien akan fleksi sebelum
sendi panggulnya mengalami fleksi 90°. Jika pemeriksaan ini dilakukan ulang
pada tungkai kontralateral (crossed SLR test) , maka responsnya dapat normal atau
menimbulkan nyeri pada sisi kontralateral, yang berhubungan dengan gerakan radiks
spinalis kontralateral ke arah dinding anterior tulang vertebra. Hal ini dapat dijumpai
pada pasien dengan protrusi diskus intervertebralis sisi medial yang cukup besar.
38
Scanned for Compos Mentis
Daftar Pustaka
1. Biller J, Gruener G, Brazis P. Examination of the patient who has a disorder of consciousness.
Dalam: Biller J, Gruener G, Brazis P, editor. DeMyer's the neurologic examination. Edisi ke-7.
Tiongkok: McGraw-Hill; 2017. h. 487-94.
2. Campbell WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005.1ndrawati LA, Wiratman W, Safri AY, Octaviana F, Hakim M.
Radikulopati. Dalam: Aninditha T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Edisi ke-1.
Jakarta: Departemen Neurologi FKUI RSCM; 2017. h. 701-2.
3. Campbell WW. DeJong's The Neurologic Examination. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2013.Kim JL. Tic disorders. Dalam: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker
RA, editor. Netter's Neurology. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. h. 529.
4. The Free Dictionary by Farlex. Meningismus. The Free Dictionary by Farlex [serial online].
[diunduh 1 April2018]. Tersedia dari: https:/ jmedical-dictionary.thefreedictionary.com/
meningismus.
5. Almazov I, Brand N. Meningismus is a commonly overlooked finding in tension-type
headache in children and adolescents. J Child Neurol. 2006;21(5):423-5.
6. Wikidiff. Meningismus vs meningism- what's the difference? [serial online]. [diunduh 1
April2018]. Tersedia dari: https:/ fwikidiff.comjmeningismjmeningismus.
Saraf kranialis merupakan bagian dari sistem saraf manusia yang memiliki
karakteristikyangunik. Sistem sarafkranialis memiliki fungsi sensorikdan motorik
yang hampir sama dengan sistem saraf spinalis. Perbedaannya terletak padajenis
fungsi motorik dan sensorik. Secara keseluruhan, saraf kranialis memiliki enam
fungsi motorik dan sensorik yang masing-masing dapat dikategorikan ke dalam
tiga fungsi motorik dan sensorik (Tabell).
Fungsi sensorik
Aferen viseral Menerima input sensorik dari organ bagian dalam
....................... ........................................... .... .,, ......... ,., ........ .
''"
Menerima input sensorik dari lingkungan luar (nyeri, suhu, raba, tekanan,
Aferen somatik
• • • n .. •..... n .... ... •• ~.i~~~~i.~ ?a~ proprioseptiQ . . ... ......... n • ..... ... • .. • • • n n nn n
Keenam fungsi motorik dan sensorik tersebut dimiliki oleh keduabelas saraf
kranialis . Setiap saraf kranialis dapat memiliki satu a tau beberapa fungsi motorik
danjatau sensorik (Tabel 2). Pengetahuan mengenai hal tersebut penting, karena
fungsi inilah yang akan dievaluasi melalui pemeriksaan fisik saraf kranialis.
Bila dihubungkan dengan anatominya yang hampir seluruhnya tersebar di
40
Scanned for Compos Mentis
sepanjang batang otak (Gam bar 1 dan 2), maka pemeriksaan saraf kranialis dapat
menentukan letak lesi yang akan membantu dalam penegakan dia~osis .
41
Scanned for Compos Mentis
Komponen
Nama Asal Fungsi
1 2 3 4 5 6
N.X (Vagus) .; : Inti ambigus Otot-otot taring dan faring
1../ Inti dorsalis nervus vagus Parasimpatis organ dalam toraks
dan abdomen
..j ~ Ganglion inferior Somatosensorik rongga abdomen
..j Sensorikepiglottis
..j Ganglion superior Somatosensorik dura mater, kanalis
auditorius
N.XI (Aseso rius) ..j Inti ambigus Otot-otot fa ring dan taring
..j Sel-sel kornu anterior Otot trapezius dan
medula spinalis sternokleidomastoid eus
N.XIl (Hipoglosus) ..j Inti nervus hipoglosus Otot-otot lidah
'l=eferen somatik; 2=eferen brakia/is; 3=eferen viseral; 4=aferen viseral; S=aferen somatik; 6=aferen spesial.
Xl _ _ _ ___J
Gam bar 1. Letak Inti Saraf Krani alis (Motorik dan Paras impatis)
42
Scanned for Compos Mentis
• - - - V Nukleus mesensefalik dan
traktus dari nervus trigermina l
Ganglion trigerminal
(gasserian)
Nervus intermedius~/
(somatosensori.
rasa/taste) ~
VII
Nukleus spinalis dan trak1us
IX dari nervus trigerminal
X
43
Scanned for Compos Mentis
Traktus olfaktorius bercabang menjadi dua, yaitu stria olfaktorius lateral dan medial.
Cabang lateral berjalan menuju amigdala, girus semilunaris, dan girus prepiriformis.
Dari area terse but, impuls sensorik diteruskan oleh neuron ordo III yang berproyeksi
ke bagian anterior girus parahipokampus (area Brodmann 28) yang selanjutnya
berproyeksi ke korteks serebri dan area asosiasi sistem penghidu. Di lain pihak, cabang
medial berjalan ke inti-inti area subkalosum dan komisura anterior, yang selanjutnya
berproyeksi ke sistem limbik dan hemisfer kontralateral (Gambar 3A dan B).
Nukleus interpedunkular
Nukleus tegmentalis
Faslkulus longitudinal
dorsal
Area
prefiriform is
Stria olfaktori
lateral
limen insulae
Substantia perforata
anterior
Girus ambien
Girus semilunar
Gambar 3. Anatomi Jaras Penghiduan dari Potongan (a) Sagital dan (b) Aksial
44
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan
Pemeriksaan N. I bertujuan untuk mengevaluasi fungsi penghiduan. Sebelum
melakukan pemeriksaan, terdapat beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada
pasien, yaitu riwayat cedera kepala, kebiasaan merokok, riwayat infeksi saluran
napas atas, asupan makanan (misalnya defisiensi vitamin B6, B12, A, dan mineral
seng), radioterapi, pajanan toksin (cadmium, toluen) dan obat-obatan (levodopa,
antibiotik, amfetamin, kokain, propiltiourasil/PTU, kemoterapi). Pemeriksa juga
harus memastikan bahwa tidak terdapat obstruksi dan kelainan pada saluran hidung
yang dapat mengaburkan hasil pemeriksaan N. I.
Fungsi penghidu diperiksa dengan menggunakan zat yang tidak bersifat iritatif
(misal amonia) karen a dapat mengaburkan hasil pemeriksaan. Zat yang dianjurkan
untuk digunakan dalam pemeriksaan yaitu tembakau, kopi dan kayu manis atau
zat yang secara umum dikenal oleh pasien. Selain itu, pasta gigi dan sabun juga
dapat digunakan demi kemudahan saat pemeriksaan.
Untuk mengevaluasi N. I pasien harus berada dalam kondisi sadar penuh dan
kooperatif. Sebagai langkah awal, pasien diminta untuk memejamkan mata
dan menutup salah satu lubang hidungnya dengan menggunakan jari tangan.
Selanjutnya, pemeriksa mendekatkan zat yang diuji ke lubang hi dung lainnya yang
tidak tertutup. Pasien kemudian diminta untuk menghidu bau dan melakukan
identifikasi zat yang diuji. Langkah ini dilakukan pula pada lubang hidung lainnya.
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan terlebih dahulu pada lubang hidung yang
dicurigai terdapat kelainan.
Hasil dari pemeriksaan dapat berupa hilangnya sensasi penghidu total (anosmia) atau
perubahan interpretasi yang bisa berupa peningkatan (hiperosmia) atau penurunan
(hiposmia). Adapun jenis abnormalitas lainnya dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel3).
45
Scanned for Compos Mentis
Nervus Optikus (N. II)
Anatomi
Nervus optikus (N. II) merupakan bagian dari sistem penglihatan. Selain N. II, struktur
lain yang turut menyusun sistem ini adalah retina, kiasma optikus, traktus optikus,
corpus genikulatum lateral (CGL), radiasio optikus, dan korteks oksipital.
Retina mempunyai 2 jenis sel fotoreseptor yaitu fotoreseptor kerucut dan fotoreseptor
batang. Kedua jenis fotoreseptor ini berfungsi dalam mengkonversi energi cahaya
menjadi energi elektrokimia yang selanjutkan akan dihantarkan oleh neuron
hingga ke korteks oksipital. Fotoreseptor kerucut sensitif terhadap cahaya dan
terkonsentrasi di bagian posterior retina atau makula yang bagian sentralnya disebut
fovea. Fotoreseptor batang terkonsentrasi di bagian perifer retina dan penting untuk
penglihatan pada cahaya redup.
Pada segmen intrakranial, nervus optikus dari kedua mata bertemu membentuk
kiasma optikus yang terletak di ruang subaraknoid pada sisterna suprasella atau
regio suprasella. Kiasma optikus terletak superior dari diafragma sella dan hipofisis
serta berada di inferior dari ventrikel III dan hipotalamus serta berada di anterior dari
infundibulum. Pada kiasma optikus ini terjadi penyilangan dari sebagian jaras visual.
Setelah kiasma optikus, jaras visual terdiri dari traktur optikus yang terletak di atas
dan sekitar infundibulum dan dibawah ventrikel III dan kemudian berjalan menuju
CGL. CGL merupakan bagian dari talamus dan berada diatas sisterna ambiens. Pada
struktur ini, serabut dari traktur optikus (neuron ordo I) bersinaps dengan neuron
ordo II yang selanjutnya membentuk radiasio optikus. Radiasio optikus terbagi
menjadi 2 bagian, yaitu bagian superior di lobus parietal otak dan bagian inferior di
lobus temporal otak. Bagian inferior ini dalam perjalanannya membentuk lengkung
Meyer. Radiasio optikus superior membawa informasi visual dari lapang pandang
inferior kontralateral, sedangkan radiasio optikus inferior membawa infomasi visual
dari lapang pandang superior kontralateral. Korteks oksipital merupakan struktur
terminal dalam jaras visual. Regio oksipital yang berperan dalam pemrosesan informasi
visual primer adalah regio striatafkorteks striata. Regio striata ini merupakan area
Brodmann 17 dan terletak di girus kalkarina.
I. Pemeriksaan Visus
Pemeriksaan visus dapat diawali dengan evaluasi secara umum dengan meminta
pasien membaca koran yang berjarak sekitar panjang lengan pasien. Pemeriksa
menutup salah satu mata dan pasien tetap boleh mengenakan kacamata (jika ada).
Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan menggunakan alat yang lebih objektif dengan
papan Snellen. Pasien diminta untuk membaca dan menyebutkan huruf-huruf di
papan Snellen pada jarak 6 meter, secara berurutan dari baris paling atas ke bawah
hingga akhirnya tidak dapat menyebutkan dengan benar atau tidak terlihat lagi.
Setiap baris memiliki nilai visus tertentu, mulai dari 6/60 sampai 6/3 (Gambar
4a). Bagi pasien anak atau dengan gangguan mental, huruf-huruf di papan Snellen
dapat diganti dengan karakter E pada beberapa posisi (Gam bar 4b).
47
Scanned for Compos Mentis
·--
A
Ep .. 1
.~-~
·- - - - -1
.
F .. 2
T 0
LPED
z .. 3
.. 4
"
~
E
mE
~· 1
2
PECFD .. 5
EDFCZP
3 wm ill\ 3
FELOPZD
- 6
... 7
I
E wE 3 1l\ 4
~
a • II •• M
4a 4b
Gambar 4. Papan Snellen (a) untuk Pasien Secara Umum dan (b) untuk Anak atau Pasien
Gangguan Mental
Visus pasien ditentukan berdasarkan baris terbawah yang sebagian besar (>50%)
huruf-hurufnya masih bisa terbaca dengan benar oleh pasien. Jika hasilnya 6/6, maka
pasien memiliki visus normal karena masih dapat membaca huruf dengan jelas
pada jarak 6m (sama dengan individu normal) . Pasien yang hasil visusnya 6/30
tergolong abnormal karena pasien tersebut baru bisa membaca huruf dengan jelas
pada jarak 6m, sedangkan orang normal sudah bisa membacanya pada jarak 30m.
Pasien yang tidak dapat membaca huruf pada baris teratas dengan jelas harus
dilanjutkan pemeriksaan visusnya dengan teknik menghitung jari. Pasien
diminta menghitung jari pemeriksa yang berjarak mulai dari lm, kemudian
menjauh secara bertahap sampai akhirnya Sm. Dengan cara ini, visus ditentukan
berdasarkan jarak terjauh pasien masih bisa menghitung jari dengan benar.
Sebagai contoh, jika pasien masih bisa menghitung jari dengan benar sampai
jarak 3m, maka visusnya 3/60. Jika pasien tidak bisa menghitung jari pada jarak
lm, maka pemeriksa langsung melanjutkan pemeriksaannya dengan meminta
pasien untuk melihat lambaian tangannya. Pasien yang bisa melihat gerakan
48
Scanned for Compos Mentis
lambaian tangan memiliki visus 1/300, yang artinya pasien tersebut baru bisa
melihat objek pada jarak 1m, sedangkan orang normal sudah bisa melihatnya
pada jarak 300m. Jika pasien tidak mampu melihat lambaian tangan pemeriksa,
maka pemeriksaan visus dilakukan dengan meminta pasien untuk melihat
cahaya yang berasal dari penlight pemeriksa. Jika pasien juga tidak bisa melihat
cahaya, maka visusnya disebut NLP (no light perception).
Selain papan Snellen, visus juga dapat diperiksa menggunakan kartu baca Jaeger
atau kartu penapisan penglihatan Rosenbaum (Gambar Sa dan b). Kartu baca Jaeger
digunakan untuk mengevaluasi visus pada jarak pandang baca normal (30cm). Sarna
halnya dengan papan Snellen, kartu baca Jaeger memiliki nilai visus tertentu untuk
setiap baris bacaannya. Pasien diminta untuk membacakan alinea yang terdapat di
kartu baca tersebut secara sistematis dart atas ke bawah hingga tidak dapat membaca
lagi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada pasien usia Ianjut dengan kecurigaan
presbiopia. Berbeda dengan kartu baca Jaeger yang berisi alinea-alinea, kartu skrining
penglihatan Rosenbaum berisi angka, karakter E, dan simbol-simbol (0, X).
95
874
&!843 26 16 -&
40 638 E W 5I X 0 0 t4 to ;l
8 1 4 5 a mw o x o to 1 -1-
63925 msa xox as+
• 1, I J I I al 8 It 0 I 0 8 3 •
5 2 ..
4 I -j-
3 ....
•
PUPIL GAUGE (mm.) 8 9
•• ••• Sb
2a4se 7 ••
Sa
Gambar 5. (a) Kartu baca Jaeger dan (b) Kartu skrining penglihatan Rosenbaum
50
Scanned for Compos Mentis
Kuadran temporal Kuadran nasal Kuadran temporal
superior superior superior
Area
pus at
Kuadran nasal
Kuadran t emporal inferior Kuadran temporal
inferior inferior
Jarak mata dengan jari telunjuk pemeriksa (X) harus sama dengan jarak jari
telunjuk pemeriksa dengan mata pasien (X') (Gambar 8). Pemeriksa kemudian
menggerakkan jari telunjuknya atau tangannya ke arah medial secara perlahan
sambil menanyakan apakah pasien bisa melihat gerakan jari telunjuk atau
gerakan tangan terse but. Jika pasien sudah bisa melihat jari atau gerakan tangan,
maka harus memberi tahu pemeriksa, misalnya dengan berkata "Ya".
Superior
Temporal -
I - Nasal
t
4Di:~: ~:o
1
/~' ~'/\____
A J
pemeriksaan ..:::···
< ~ ' ~
pada 4 kuadran.
Arah gerakan jari
menuju lapang pandang
sentral.
51
Scanned for Compos Mentis
Hasil pemeriksaan konfrontasi dapat menentukan letak lesijkelainan di
sepanjang jaras penglihatan dari anterior hingga ke lobus oksipital (Gambar
9) . Lesi di nervus optikus menimbulkan kebutaan monookular (buta total)
ipsilateral, sedangkan lesi di kiasma optikus menimbulkan gejala hemianopia
bitemporal (jika tepat di tengah kiasma) atau binasal (jika lesi di sekitar kanan
dan kiri kiasma). Lesi di traktus optikus menyebabkan hemianopia homonim
inkongruen kontralateral lesi. Lesi di radiasio optika memiliki karakteristik
berupa kuadranopia homonim kontralateral superior (bagian temporal
anterior) atau inferior (bagian parietaljoksipital). Adapun lesi di lobus
oksipital memiliki gejala hemianopia homonim kongruen kontralateral lesi
disertai macular sparing.
Sel batang
dan
kerucut
Epitellum
pigmen
ovea --Perlfer
.r---o •
Korteks visual
Traktus optikus
Badan Genlkulata
Lateral
Radiasi optik
. '
52
Scanned for Compos Mentis
Selain konfrontasi, lapang pandang juga dapat dinilai dengan memberikan
stimulus secara bersamaan pada kedua lapang pandang. Posisi pemeriksa
dengan pasien pada cara ini sama seperti konfrontasi. Pasien juga diminta
untuk tetap terfokus ke mata pemeriksa. Pasien membuka kedua mata dan
pemeriksa menggerakkan kedua jari telunjuk tangannya (sebagai stimulus)
di sisi temporal inferior kanan dan kiri pasien, pada jarak mendekati batas
lapang pandang pemeriksa. Selanjutnya pasien diminta untuk menyentuh jari
yang terlihat bergerak. Individu normal dapat menyentuh kedua jari tersebut,
sedangkan pasien hemineglect hanya dapat menyentuh salah satu jari saja.
Selanjutnya pemeriksaan serupa dilakukan pada sisi temporal superior kanan
dan kiri pasien. Selain itu, pemeriksaan juga dilakukan pada satu mata untuk
mengevaluasi secara bersamaan lapang pandang atas dan bawah sisi temporal
dan nasal pasien.
53
Scanned for Compos Mentis
Cara pemeriksaan fundus mata diawali dengan melepaskan kacamata pasien
dan pemeriksa, jika ada, kecuali bila terdapat gangguan refraksi yang parah.
Pencahayaan ruangan sedapat mungkin dibuat redup. Jika pemeriksa ingin
memeriksa fundus mata kanan pasien, maka pemeriksa menggunakan mata
kanan untuk melihat melalui oftalmoskop, dan begitu pula sebaliknya. Pada jarak
sekitar 30cm dari mata pasien, pemeriksa dapat memulai mengevaluasi fundus
mata dengan mengarahkan oftalmoskop ke pupil pasien dan melihat adanya red
reflex.
Gam bar 10. Posisi Pemeriksa dan Pasien saat Pemeriksaan Fundus Mata
54
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan fundus mata dimulai dengan mengamati struktur-struktur yang
terlihat. Pemeriksa dapat mengatur kekuatan (dioptri) lens a oftalmoskop untuk
mendapatkan gambaran fundus mata yang lebih jelas dan terfokus. Struktur
pertama yang diidentifikasi adalah vena retina kemudian ditelusuri ke arah nasal
hingga menemukan diskus optik (papil). Pada keadaan normal, papil memiliki
bentuk bulat atau sedikit oval, berwarna jingga, dan batas nasalnya agak kabur
dibandingkan dengan batas temporal. Pemeriksa harus melaporkan bentuk,
warna, dan batas papil pada setiap pemeriksaan fundus mata.
Di dalam papil terdapat cup yang berada di tengah papil dan berwarna lebih
terang. Rasia diameter cup terhadap papil (cup-to-disc ratio) adalah 0,1 sampai
dengan 0,5. Pada pasien glaukoma, rasio ini meningkat dan cup terlihat lebih jelas
(prominent) dibandingkan normal.
Selain itu, pemeriksa juga mengevaluasi pembuluh darah arteri yang berdiameter
kecil dan halus serta vena yang berdiameter lebih besar dan lebih kontras.
Evaluasi ini dimulai dari papil dan ditelusuri hingga ke seluruh penjuru sisi nasal
dan temporal sejauh mungkin. Hal yang harus diperhatikan antara lain diameter
arteri dibandingkan dengan vena, adanya persilangan (crossing sign) antara
arteri dan vena, dan refleksi cahaya oftalmoskop pada arteri. Pemeriksa juga
perlu mengevaluasi jumlah arteri yang terdapat di dalam papil.
Pada sekitar 90% individu normal, terdapat pulsasi vena yang bisa ditemukan
di dalam papil. Gambaran ini tidak ditemukan pada keadaan peningkatan
tekanan intrakranial, sehingga sangat spesifik. Oleh karena itu, adanya
gambaran ini menunjukkan bahwa tekanan intrakranial dalam batas normal,
tetapi ketiadaan gambaran ini tidak selalu berarti bahwa terjadi peningkatan
tekanan intrakranial.
Struktur lain yang dievaluasi adalah makula yang berada di sisi temporal papil
dan berjarak sekitar dua kali diameter papil. Makula tampak lebih gelap dan
avaskular daripada gambaran retina di sekitarnya. Pada makula, terdapat fovea
sentralis yang merefleksikan cahaya saat pasien diminta melihat ke arah cahaya
oftalmoskop.
55
Scanned for Compos Mentis
Nervus Okulomotorius, Troklear dan Abdusens (N. III, IV, VI)
Anatomi
N. III, IV, dan VI secara kesatuan dapat disebut sebagai nervus okular motor. Perjalanan
nervus okular motor dimulai dari inti nervus di batang otak hingga orbita. Setelah
keluar dari batang otak, nervus okular motor akan melalui struktur-struktur secara
berurutan mulai dari ruang subaraknoid, menembus duramater dan memasuki sinus
kavernosus, lalu masuk ke intraorbita melalui fisura orbitalis superiorjapeks orbita,
dan berakhir di otot ekstraokular.
N. III terbagi atas 2 komponen yang memiliki fungsi berbeda. Komponen eferen
somatik (general somatic efferent) yang memberikan inervasi kepada otot levator
palpebra superior bilateral dan 4 otot penggerak bola mata (rektus inferior
ipsilateral, oblikus inferior ipsilateral, rektus medial ipsilateral dan rektus superior
kontralateral). Adapun otot penggerak bola mata sisanya yaitu otot oblikus superior
dan rektus lateral diinervasi oleh N.IV dan N.VI.
Pemeriksaan
I. Pemeriksaan Pupil
Langkah pertama pemeriksa melakukan inspeksi untuk menilai ukuran pupil.
Ukuran pupil dapat bervariasi sesuai dengan intensitas pencahayaan lingkungan
sekitar. Diameter pupil berukuran sekitar 3-4mm pada kondisi pencahayaan
normal. Pupil awalnya berukuran kecil saat baru lahir, dan akan membesar seiring
usia dewasa, hingga kemudian bisa mengecil pada usia lanjut. Pupil yang mengecil
dengan ukuran diameter kurang dari 2mm dinamakan miosis, sedangkan dilatasi
pupil dengan diameter lebih dari Smm dinamakan midriasis.
Selanjutnya, inspeksi dilakukan untuk menilai kesimetrisan pupil. Ukuran pupil
pada kedua mata pada umumnya sama. Perbedaan ukuran antara kedua mata
bisa disebabkan oleh gangguan refraksi, iritis, dan paralisis simpatis. Perbedaan
0,2Smm masih dapat ditangkap oleh penglihatan mata normal. Perbedaan ukuran
antara kedua pupil yang dianggap signifikan (anisokor) adalah 2:2mm. Perbedaan
diameter kurang dari 1mm ditemukan pada 15-20% individu normal. Beberapa
keadaan yang menyebabkan pupil anisokor dapat dilihat pada Gambar 11.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi pupil. Dalam keadaan normal,
pupil terletak pada bagian tengah dari iris. Pupil eksentrik, atau ektopia dari pupil
••
Asimetri lebih jelas pada
Sindrom Horner kanan
• • • • keadaan gelap; pupil abnormal
tidak dapat berdilatasi
• ••
Asimetri lebih jelas pad a
Paresis nervus
okulomotorius kiri •• • keadaan terang ; pupil abormal
tidak dapat konstriksi
Pemeriksaan refleks cahaya lain yang juga sangat penting adalah swinging
light test. Pemeriksaan ini untuk mendeteksi lesi pada N. II. Swinging light test
dilakukan dengan memberikan stimulus cahaya pada mata yang sehat selama
57
Scanned for Compos Mentis
3-5 detik sampai respons pupil stabil, kemudian cahaya penlight dialihkan
dengan cepat (penlight diayunkan) ke mata yang sakit. Adanya lesi N. II pada
mata yang sakit akan mengakibatkan seolah-olah mata tersebut menerima
cahaya dengan intensitas rendah, sehingga pupilnya akan berdilatasi. .
Selanjutnya, cahaya penlight diarahkan kembali ke mata yang sehat dan
kembali lagi ke mata yang sakit. Gerakan bolak-balik ini dilakukan berulang
kali sampai akhirnya akan terlihat jelas bahwa pupil pada mata yang sehat
akan mengalami konstriksi saat mendapat stimulus cahaya, sedangkan pupil
pada mata yang sakit akan berdilatasi. Respons ini dikenal juga sebagai pupil
Marcuss Gunn atau afferent pupillary defect (APD) atau relative afferent
pupillary defect (RAPD).
Bentuk kelainan pada pupil lainnya adalah pupil Argyll Robertson. Pupil
berukuran kecil1-2mm, ireguler dan terdapat light near dissociation. Apabila
pupil diberikan stimulus cahaya secara langsung, pupil tidak berkonstriksi.
Namun demikian, pupil masih mengalami konstriksi saat melihat objek jarak
dekat dan berdilatasi saat melihat jauh. Pupil Argyll Robertson umumnya
bilateral dan asimetri. Kelainan ini ditemukan pada kasus neurosifilis akibat
lesi pada periakuaduktus, area pretektum, dan bagian rostral mesensefalon
yang terletak dorsal dari nukleus Edinger-Westphal.
B. Refleks Akomodasi
Refleks akomodasi atau akomodasi-sinkinesis konvergens diperiksa dengan
meminta pasien menatap objek jarak jauh terlebih dahulu, kemudian
memindahkan pandangannya pada objek jarak dekat. Respons yang timbul
berupa penebalan lensa mata, konvergensi kedua mata, dan konstriksi pupil.
Konvergensi disebabkan oleh kontraksi simultan kedua otot rektus medialis.
J
Konstriksi pupil saat a~omodasi kadang-kadang terganggu pada kondisi
paralisis pascadifteri dan ensefalitis. Di lain pihak, konstriksi pupil saat
akomodasi tetap normal pada kondisi pupil Argyll Robertson.
C. Refleks Nyeri
Pupil berespons terhadap stimulus nyeri pada salah satu bagian dari tubuh.
Stimulus nyeri yang diberikan pada salah satu sisi kulit leher akan menimbulkan
F. Refleks Galvanik
Stimulasi pada bagian pelipis akan menyebabkan konstriksi pupil.
G. Reflek Psikik.
Dilatasi pupil sebagai respons terhadap rasa takut, ansietas, konsentrasi
mental, dan orgasme.
59
Scanned for Compos Mentis
Sisi na~a l Sisi temporal
Rektus
medial
' ____3..
~lateral
Reklus
Gam bar 12. Fungsi dari Otot Ekstraokular pada Mata Kiri
Gambar 13. Paralisis Nervus Okulomotorius Kiri Total (Ptosis, Pupil Dilatasi dan Bola Mata
Terdeviasi ke Arah Lateral Bawah)
60
Scanned for Compos Mentis
Posisi kelopak mata dapat dikatakan abnormal (retraksi) apabila pada posisi sentral
ada bagian sklera yang terlihat pada bagian atas limbus kornea. Pada penyakit
Parkinson, kedipan mata menjadi jarang dan dapat dijumpai retraksi kelopak.
Penyebab abnormalitas kelopak mata lainnya adalah hipertiroidisme.
Spasme kelopak mata dapat ditemukan pada kelainan psikogenik dan disertai
tremor halus pada kelopak (tanda Rosenbach) yang terlihat pada hipertiroidisme
dan histeria.
Nukleus ventral
posteromedial
Nucleus
mesensefalik
Traktus
mesensefatik
Divis I
oflalm1kus
Oivisi
maksilari s
Traktus asenden
sekunder ventral
NukletJs sensorik
utama
1//--------
/ ~
N"kleusda,;
radiks desenden
Taktll
general
TakUI
-.......--
dlskrlmlnatori
61
Scanned for Compos Mentis
Ventrikel ke-4
Pedunkula serebelar superior
Radiks mesensefalik dari
nervus V
Faslkulus longitudinal medial
Nukleus motorik dari
nervus v
Nukleus sensorlk utama dari
nervus V
Nukleus olivarlus superior
Lemniskus lateral
X Pedunkula serebelar medial
Traktus spinotalamikus
62
Scanned for Compos Mentis
Inti sensorik N. V merupakan inti nervus kranialis yang terbesar karena terletak di
sepanjang mesensefalon hingga ke arah kaudal dan dapat mencapai medula spinalis
segmen C2 . Inti ini memiliki tiga bagian yaitu mesensefalik, pons, dan traktus spinalis
(Gambar 15).
Inti motorik N. V terletak pada pons bagian tengah (tegmentum pons), yaitu pada sisi
medial terhadap inti sensorik utama N. V. Inti ini mendapat sebagian besar input dari
cabang sensorik N. V. Selain itu, inti motorik N. V juga mendapat input dari nervus
sensorik kranialis lainnya melalui interneuron. Inti motorik ini sebagian kecil juga
mendapat input dari korteks presentralis kedua hemisfer yang mengatur gerakan
mengunyah volunter. Serabut saraf dari inti motorik N. V kemudian berjalan keluar dari
tengkorak bersama dengan cabang N. V3 dan memberikan cabang yang menginervasi
beberapa otot pengunyah, antara lain otot temporalis, maseter, pterigoid medial,
pterigoid lateral, dan milohioid.
63
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan
I. Pemeriksaan N. V Sensorik
Pemeriksaan sensorik, terutama modalitas raba dan nyeri, dilakukan dengan
cara sama seperti pemeriksaan sensorik pacta bagian tubuh lainnya. Sebelum
memeriksa, pemeriksa harus menanyakan keluhan baal atau gangguan sensasi
pacta wajah. Jika terdapat keluhan, maka perlu ditanyakan seluas apa kelainan
yang dirasakan dan deskripsi bentuk gangguan sensasinya (misalnya baal, rasa
panas, kesetrum, atau kesemutan). Dengan memperhatikan keluhan tersebut,
melalui pemeriksaan sensorik, diharapkan pemeriksa dapat menentukan apakah
gangguan sensorik bersifat organik atau nonorganik.
Pemeriksa dapat menggunakan kapas untuk sensasi raba dan tusuk gigi untuk
sensasi nyeri. Rangsangan raba atau nyeri diberikan pacta setiap distribusi cabang
N. V sensorik yaitu oftalmikus (dahi), maksilaris ( rahang atas, sudut nasolabialis ),
dan mandibularis (area dagu di bawah bibir) sisi kanan dan kiri wajah (Gambar
16). Pemeriksa sebaiknya menanyakan "Apakah sensasi pacta kedua sisi wajah
sama?", daripada "Apakah sensasi pacta sisi kiri berbeda dengan sisi kanan?".
Divisi
oftalmik
Segmen
servikal
ke-2
Divisi
maksila
Segmen
servikal
ke-3
Divisi
mandibula
Hasil pemeriksaan yang tidak konsisten dan melewati garis tengah wajah
mengarah kepada gangguan nonorganik. Bila masih terdapat refleks kornea pacta
pasien dengan keluhan baa! di dahi, maka hal ini mengarah ke faktor nonorganik.
Ada pun faktor organik yang disebabkan oleh lesi di sepanjang jaras N. V memiliki
64
Scanned for Compos Mentis
karakteristik khas pada setiap bagiannya (Tabel 5). Dengan demikian, hasil
pemeriksaan dapat membantu dalam menentukan letak lesi.
Inti sensorik utama di pons Gangguan sensasi (raba) wajah sisi ipsilateral Iesi
Traktus spinalis Gangguan sensasi (nyeri) wajah sisi ipsilaterallesi
Disosiasi sensasi (perbedaan tingkat gangguan sensasi raba dan
Batang otak intrameduler
nyeri)
Batang otak ekstramedular Gangguan sensasi (raba dan nyeri), atau nyeri spontan
Ganglion Gasseri Gangguan sensasi (raba dan nyeri) wajah sisi ipsilaterallesi
Gangguan sensasi terbatas pada cabang tersebut wajah sisi
Cabang dari ganglion Gasseri
ipsilaterallesi
Tehnik pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah dengan meminta pasien
menggigit kuat-kuat dan pemeriksa meraba otot maseter dan pterigoid bilateral.
Jari pemeriksa sebaiknya diletakkan di tepi anterior otot tersebut sehingga jari
tersebut akan bergeser ke depan pada saat pasien menggigit. Adanya paresis
unilateral akan menimbulkan perbedaan tonjolan otot. Sisi paresis akan terlihat
lebih kecil. Pasien juga diminta untuk membuka mulutnya dan pemeriksa
mengamati adakah deviasi rahang ke arah sesisi lesi (ipsilateral).
65
Scanned for Compos Mentis
Cara lainnya dengan meminta pasien menggerakkan mandibula ke arah depan
dan belakang (maju mundur) dan kemudian diperhatikan kesimetrisan kiri
dan kanan saat bergerak. Bila terdapat paresis unilateral, maka sisi paresis
akan tertinggal saat gerakan maju dan mundur. Selain itu, pemeriksa juga dapat
meminta pasien menggigit spatula lidah dan mempertahankannya sekuat tenaga
dengan menggunakan gigi geraham bergantian sisi kanan dan kiri. Pemeriksa lalu
membandingkan hasil impresi pada spatula lidah yang dihasilkan dan tahanan
yang diberikan pasien saat spatula tesebut berusaha ditarik oleh pemeriksa.
66
Scanned for Compos Mentis
Gambar f7. Peme.riksaan Reflek·s Korrie-a
67
Scanned for Compos Mentis
Refleks bersin dilakukan dengan cara memberikan rangsangan pada mukosa
hidung menggunakan kapas atau ujung tisu, sehingga pasien me rasa ingin bersin.
Refleks ini memiliki aferen N.Vl dan eferen N.V, VII, IX, X, dan saraf motorik dari
medula spinalis segmen servikal dan torakal. Pusat refleks ini berada di batang
otak dan medula spinalis servikal atas.
Nervus Fungsi
Brankial motorik(eferen Mempersarafi otot ekspresi wajah, otot digastrik bagian posterior, dan
viseral khusus) otot stapedius
Sensorik khusus
Sensasi pengecapan dua pertiga depan lidah dan palatum
(aferen khusus)
Sensorik umum
Sensasi umum (eksteroseptif) kulit konka dan area belakang telinga
(aferen somatik umum)
Secara anatomi, sistem persarafan motorik nervus fasialis terpisah dari sistem
sensorik dan parasimpatis. Persarafan supranuklear untuk otot yang mengatur
ekspresi wajah berasal dari sepertiga bawah girus presentralis kontralateral pada
area wajah homunkulus motorik. Dari girus presentralis, serabut saraf membentuk
68
Scanned for Compos Mentis
traktus kortikobulbar menuju inti N. VII di pons melalui korona radiata, genu kapsula
interna, dan pedunkulus serebri bagian medial. Otot wajah bagian dua pertiga
bawah mendapat kontrol persarafan yang dominan dari supranuklear kontralateral,
sedangkan sepertiga bagian atas mendapat kontrol persarafan bilateral (Gambar
19). Otot bagian bawah wajah juga mendapatkan persarafan kortikal yang lebih
banyak dibandingkan dengan otot wajah bagian atas dan dahi. Inti N. VII di pons
juga mendapatkan persarafan dari sistem ekstrapiramidal, yaitu ganglia basal dan
hipotalamus bilateral. Persarafan ini bertanggung jawab dalam mempertahankan
tonus otot wajah terkait dengan ekspresi wajah spontan, serta emosional.
Serebrum
klri
69
Scanned for Compos Mentis
Inti N. VII (nukleus fasialis) terletak di tegmentum pons sisi kaudal, anteromedial
dari traktus spinalis nukleus trigeminus, anterolateral dari nukleus abdusens, serta
posterior dari nukleus olivarius superior. Nukleus fasialis memiliki tiga subnukleus
yaitu lateral, intermedial, dan medial. Subnukleus lateralis diperkirakan mempersarafi
otot businator, subnukleus intermedial mempersarafi otot temporal, orbital,
dan zigomatikus, sedangkan subnukleus medial mempersarafi otot servikal dan
aurikularis posterior serta stapedius. Akson dari nukleus fasialis berasal dari bagian
dorsal nukleus dan berjalan secara dorsomedial, dan ke atas melingkari N. VI (Gam bar
20), membentuk genu internal nervus fasialis. N. VII keluar dari pons pada sisi lateral
di taut pontomedular, kaudal dari cabang N. V dian tara pedunkulus serebelar inferior
dan oliva, serta berdekatan dengan arteri serebelaris inferior anterior.
Nukleus
obdusen
Nukleus
sellvatorl
dan lakmnal
supeuor
Nukleus
faslalls
rnotorik
_ l ....._.
70
Komponen otonom nervus intermedius terdiri dari sera but parasimpatik eferen viseral
umum yang mempersarafi kelenjar air mata dan mukosa hidung. Distal dari ganglion
genikulatum, nervus fasialis berjalan ke bawah melalui korda timpani sedikit di atas
foramen stilomastoid. Pacta cabang korda timpani ini, nervus intermedius terdiri dari
cabang sensorik aferen viseral khusus dan sera but parasimpatik preganglionik.
Nervus petrosal
superfislal mayor
Ganglion otic
71
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan
Pasien dengan gangguan N. VII dapat memiliki keluhan pacta fungsi sensorik maupun
motorik. Keluhan dapat berupa asimetri wajah baik pada saat istirahat maupun
tersenyum. Pasien juga dapat mengeluhkan mulut mencong atau tertarik ke salah
satu sisi, atau bisa didapatkan gangguan dalam bersiul, meniup, dan meludah. Oleh
karena N. VII juga mempersarafi otot stapedius, maka pasien dengan lesi N. VII
sering kali mengeluhkan hiperakusis (pasien mengeluhkan suara yang terdengar
lebih nyaring atau keras di sisi telinga ipsilaterallesi N. VII) . Keluhan fungsi sensorik
-
•
dan otonom antara lain berupa gangguan pengecapan serta mukosa hidung atau
mulut menjadi kering. Pacta lesi N. VII sentral, kelemahan otot wajah hanya pada
dua pertiga sisi bawah. Hal ini dikarenakan wajah sepertiga atas mendapatkan
persarafan supranuklear bilateral. Di lain pihak, pacta lesi N. VII perifer, kelemahan
otot wajah terjadi pada sesisi wajah baik bagian atas maupun bawah (Gam bar 19).
Pemeriksaan N. VII cukup banyak oleh karena serabut saraf ini meliputi komponen
motorik, sensorik, dan otonom. Selain itu pemeriksaan ini bertujuan untuk
menentukan letak lesi dari perjalanan N.VII yang panjang. Pada akhir pemeriksaan
juga harus dapat disimpulkan kelainan N.VII ini bersifat sentral atau perifer karena
akan menentukan diagnosis topis dan tatalaksana.
I. Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan motorik N. VII diawali dengan inspeksi otot wajah pada keadaan
istirahat, saat pasien berbicara, dan saat mengekspresikan emosinya. Hal yang
perlu diperhatikan antara lain kesimetrisan wajah, tonus otot, atrofi otot maupun
gerakan involunter, seperti distonia, sinkinesia, tremor, tik, mioklonik, khorea,
atetosis, spasme hemifasial, dan blefarospasme. Kesimetrisan wajah dapat dinilai
dengan mengobservasi lipatan nasolabial, kerutan dahi, dan Iebar fisura palpebra.
Observasi gerakan wajah juga dapat dilakukan pada saat pasien melakukan
gerakan spontan seperti berbicara atau tersenyum. Pada anak gerakan spontan
ini dapat diobservasi pada saat anak menangis. Selain gerakan spontan, inspeksi
nervus fasialis dapat dilakukan dengan menginstruksikan pasien untuk melakukan
gerakan tertentu seperti menyeringai untuk menilai nervus fasialis bagian bawah
dan menutup mata dengan erat untuk menilai nervus fasialis bagian atas. Gerakan
lain adalah meminta pasien untuk mengangkat alis, menutup salah satu mata
72
Scanned for Compos Mentis
secara bergantian, menggembungkan pipi, mencucu, bersiul, tersenyum dan
mengkontraksikan otot dagu, atau mengancingkan gigi, serta meminta pasien
tersenyum secara spontan setelah bersiul.
a b c
Gambar 22. Pemeriksaan motorik nervus fasialis. (a) Pasien diminta untuk memejamkan
mata dengan kuat (b) Pemeriksa memberikan tahanan pada m. orbikularis
okluli (c)Pasien menggembungkan pipi dan pemeriksa memberikan tahanan
Pada keadaan istirahat, wajah biasanya terlihat simetris. Asimetri wajah tanpa adanya
kelemahan otot wajah dapat merupakan suatu keadaan kongenital atau dapat juga
ditemukan pada orang tua karena bertambahnya garis wajah. Wajah dengan ekspresi
atau kedipan yang berkurang dapat ditemukan pada penyakit Parkinson. Keadaan ini
sering disebut sebagai muka topeng. Berkurangnya lipatan nasolabial dengan dahi
simetris menandakan lesi sentral (UMN), sedangkan berkurangnya lipatan nasolabial
yang disertai berkurangnya lipatan dahi ipsilateral menandakan lesi nervus fasialis
perifer {LMNJ. Hal ini dapat dijelaskan secara anatomis karena otot wajah bagian dua
pertiga bawah mendapat kontrol persarafan yang dominan berasal dari supranuklear
73
Scanned for Compos Mentis
kontralateral, sedangkan sepertiga atas otot wajah dan dahi mendapat kontrol
persarafan bilateral (Gambar 23). Posisi kelopak mata dan Iebar fisura palpebra
juga memiliki makna klinis yang penting. Melebarnya fisura palpebra unilateral
menandakan adanya lesi nervus fasialis yang mengakibatkan hilangnya tonus otot
orbikularis okuli. Keadaan ini harus dibedakan dengan ptosis pada mata kontralateral.
Nukleus dari
nervus I asialis
1....----- - (nervus kranlal VII)
Nervus
fasialis
74
Scanned for Compos Mentis
Tanda Chovstek Fenomena Bell
Refleks Auditoripalpebral
Gambar 24. Pemeriksaan Refleks Nervus Fasialis
B. Refleks Palpebra
Refleks ini berupa kontraksi dari m. orbikularis okuli dan menutupnya mata
sebagai hasil dari respons stimulus suara yang keras dikenal. Refleks palpebra
juga dikenal sebagai refleks auditori-palpebra, auro atau akustikopalpebra,
kokleopalpebra atau kokleoorbikularis (Gambar 24). Refleks menutup mata
juga terjadi pacta paparan cahaya dengan intensitas kuat yang disebut dengan
refleks visuopalpebra, visuoorbikularis, optikofasial, kedipan, atau menace
reflex. Menutupnya mata pacta saat diberikan stimulus nyeri pacta wajah
atau mata dikenal sebagai refleks trigeminofasial, trigeminopalpebra, atau
trigeminoorbikularis. Refleks palpebra juga dapat berupa menutupnya mata
sebagai responsterhadap stimulasi pacta palatum.
75
Scanned for Compos Mentis
pada kulit dagu. Refleks ini dikenal sebagai refleks perioral, oral, bukal, atau
nasomental. Refleks ini merupakan refleks abnormal pada usia diatas 1 tahun
namun pada individu tertentumasih dapat merupakan varian normal. Refleks
yang berlebihan atau munculnya refleks rahang pada saat ketukan ringan bibir
bawah, serta munculnya refleks retraksi kepala pada saat ketukan ringan pada
bibir atas menandakan lesi kortikobulbar diatas nukleus fasialis (UMN).
E. Tanda Chovstek
Merupakan kontraksi spasme pada otot ipsilateral wajah yang timbul karena
pengetukan pada jalur keluar saraf fasial anterior di anterior telinga (Gambar
24). Hiperrefleksia dari tanda Chovstekjuga merupakan penanda lesi UMN.
7tf;
Scanned for Compos Mentis
lidah dengan menggunakan stik aplikator di permukaan dorsal satu sisi lidah,
pada perbatasan antara sepertiga depan dan tengah lidah yang sensasinya paling
mudah dirasakan.
Pada paralisis N. VII tipe perifer, adanya gangguan pengecapan dapat
mengindikasikan letak lesi berada proksimal dari percabangan korda timpani.
Lesi yang terletak distal dari foramen stilomastoideus tidak mempengaruhi
fungsi pengecapan. Gangguan pengecapan dapat berupa ageusia (tidak mampu
mengecap rasa sama sekali), hipoageusia (berkurangnya sensasi pengecapan),
dan parageusia (persepsi pengecapan yang abnormal).
1/1!
Scanned for Compos Mentis
Gambar 25. Tes Schirmer
Selanjutnya, pemeriksa harus dapat menggali apakah gejala bersifat terus menerus
atau hilang timbul. Jika hilang timbul, juga harus ditanyakan durasi gejala dan faktor-
faktor pencetus. Riwayat obat-obatan yang diminum juga harus ditanyakan karena
jenis obat-obatan tertentu dapat menginduksi vertigo seperti antikonvulsan, antibiotik,
antihipertensi, dan sedatif. Riwayat keluarga berupa migrain, kejang, penyakit Meniere,
dan otosklerosis juga perlu digali. Faktor risiko seperti gangguan psikiatrik (gangguan
cemas dan panik), faktor risiko vaskular; kanker; penyakit autoimun, keluhan neurologis
seperti migrain, stroke, kejang, dan multipel sklerosis juga perlu ditanyakan kepada
pasien. Anamnesis lain meliputi riwayat pembedahan di sekitar telinga, penyakit lain
yang diderita pasien seperti disfungsi tiroid, diabetes, maupun sifilis.
78
Scanned for Compos Mentis
Anatomi
Secara anatomis, nervus vestibulokoklearis (N.VIII) terdiri dari nervus vestibularis
dan nervus koklearis yang bertanggung jawab terhadap transmisi aferen dari telinga
dalam ke susunan saraf pusat (SSP).
Nervus Vestibularis
Nervus vestibularis mengkonduksikan impuls saraf dari sakulus dan utrikulus
sebagai sensor yang memberikan informasi mengenai posisi kepala. Nervus ini juga
mengkonduksi impuls saraf dari kanalis semisirkularis yang memberikan informasi
mengenai perubahan posisi kepala. Nervus vestibularis masuk ke anterior batang
otak di perbatasan antara pons dan medula oblongata (Gam bar 26).
Pons
\
A vus koklear
us vestibular
Inti dari nervus vestibularis terdiri dari 4 nukleus yaitu nukleus vestibularis superior,
nukleus vestibularis inferior, nukleus vestibularis lateral, dan nukleus vestibularis
medial. Nukleus-nukleus ini menerima inputaferen dari organ keseimbangan di telinga
dalam melalui nervus vestibularis dan juga menerima input dari serebelum melalui
79
Scanned for Compos Mentis
pedunkulus serebelar inferior. Sistem eferen dari inti nervus vestibularis berjalan
ke serebelum melalui pedunkulus serebelar inferior dan ke medula spinalis melalui
nukleus vestibularis lateral serta membentuk traktus vestibulospinal. Jaras eferen
juga menuju ke N. III, N. IV, dan N. VI melalui fasikulus longitudinalis medial. Koneksi
ini memungkinkan terjadinya koordinasi antara sistem visual, organ keseimbangan,
dan otot. Nervus vestibularis juga memiliki jaras ke korteks serebri area vestibular di
girus postsentralis tepat diatas fisura lateralis (Gambar 27).
Nervus
vestibular
Nervus
koklear
Ganglion
vestibular
Kanalis semisirkular,
utrikula,
dan sakula
Nervus Koklearis
Nervus koklearis mengkonduksikan impuls berupa suara dari organ korti di koklea.
Nervus koklearis masuk ke pons bagian bawah di sisi lateral dari N. VII dan nervus
vestibularis. Di pons, nervus koklearis bercabang dua menjadi nukleus koklearis
posterior dan nukleus koklearis anterior.
80
Scanned for Compos Mentis
posterior dari korpus trapezoid dan nukleus olivarius di pons, kemudian bercabang
menjadi akson-akson asendens yang membentuk traktus yang dikenal sebagai
lemniskus lateral. Saat mencapai mesensefalon, lemniskus lateral akan bersinaps di
nukleus kolikulus inferior atau korpus genikulatum medial, dan selanjutnya menuju
korteks auditorik primer (Gambar 28).
Korteks auditorik primer (area Broadmann 41 dan 42) termasuk girus Hesch!,
terletak di permukaan atas girus temporalis superior. Sistem anatomi pendengaran
juga memiliki jaras desendens dari korteks auditorik menuju organ korti. Jaras
desendens ini dipercaya berfungsi sebagai mekanisme umpan balik dan berperan
dalam menajamkan fungsi auditorik.
~~
:l
Radiasi akustik dari
kapsul interna ~ ~\
~
Kolikulus
inferior dari
Badan genikulata
m edia l midbrain
Nukleus dari
lemniskus lateral
Nukleus
Lemniskus layteral koklear
posterior
Ventrikel ke-4
/ Pedunkula
cerebelar
Inferior
Nukleus
koklear
anterior
Nervus
koklea r
Ganglion
sp iralis
da rI
superior koklea
Nervus
Vestibularis
Koklea
81
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan
Pemeriksaan N. VIII terdiri atas pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan
keseimbangan. Pacta bab ini, pembahasan akan lebih difokuskan pacta pemeriksaan
auditorik, sedangkan pemeriksaan vestibular akan lebih banyak dibahas pacta bab
keseimbangan dan koordinasi.
Pacta pemeriksaan auditorik, pemeriksaan dilakukan pacta salah satu telinga secara
bergantian. Telinga yang tidak diperiksa ditutup dengan penyumbat telinga a tau dapat
dengan tangan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan garpu tala a tau dengan metode
sederhana seperti bunyi detik jam tangan atau gesekan jari. Sumber suara dijauhkan
secara perlahan, kemudian dicatat jarak terjauh yang masih bisa didengar oleh pasien
dan dibandingkan hasilnya dengan telinga sisi yang lain. Jika pendengaran salah satu
telinga berkurang, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan garpu tala.
Pacta pemeriksaan garpu tala, pastikan pasien mendengar suara getaran garpu tala
bukan merasakan getarannya. Pemeriksaan garpu tala terdiri dari tes Rinne dan
tes Weber. Kedua tes ini merupakan pemeriksaan awal untuk membedakan tuli
saraf dengan tuli konduktif pacta pasien dengan gangguan pendengaran atau tinitus
unilateral. Tes Rinne menggunakan garpu tala 128Hz, 256Hz, atau 512Hz. Tes Rinne
bertujuan untuk membandingkan hantaran bunyi melalui udara dengan tulang.
Pemeriksaan dilakukan dengan meletakkan garpu tala yang telah digetarkan pacta
prosesus mastoid (hantaran tulang) dan kemudian setelah pasien tidak lagi mendengar
suara getaran, garpu tala dipindahkan ke depan telinga (hantaran udara). Apabila
pasien masih mendengar suara garpu tala, maka hal ini menunjukkan hantaran udara
lebih baik dari hantaran tulang (Rinne positif atau normal) . Tes ini pacta pasien tuli
konduktif akan menunjukkan hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara (Rinne
negatif) . Di lain pihak, tuli sensorineural dijumpai basil tes Rinne positif.
Tes Weber dilakukan dengan meletakkan garpu tala yang telah digetarkan di verteks
kepala, kemudian pasien diminta untuk menentukan sisi telinga mana yang mendengar
suara llebih jelas (lateralisasi). Melalui tes ini, pasien tuli konduktif mengalami
lateralisasi ke telinga yang sakit, sedangkan tuli sensorineural ke telinga yang sehat.
Selain kedua tes tersebut, terdapat tes Schwabach yang mengevaluasi fungsi
pendengaran dengan prinsip dasar membandingkan konduksi udara dan tulang
pasien dengan pemeriksa (dianggap normal). Teknik pemeriksaannya dimulai dengan
82
Scanned for Compos Mentis
menggetarkan garputala dan ditempatkan di dekat telinga pasien. Pasien diminta
untuk mendengarkan bunyi garputala dan memberi isyarat kepada pemeriksa
jika bunyi sudah tidak terdengar lagi. Saat bunyi sudah tidak terdengar lagi oleh
pasien, garputala ditempatkan di dekat telinga pemeriksa. Bila bunyi garputala
masih terdengar oleh pemeriksa, maka dikatakan Schwabach lebih pendek untuk
konduksi udara. Selanjutnya, garputala digetarkan lagi dan ditempatkan di tulang
mastoid pasien. Pasien diminta untuk mendengarkan bunyi garputala hingga tidak
terdengar lagi, dan kemudian garputala ditempatkan di tulang mastoid pemeriksa.
Jika pemeriksa masih bisa mendengar bunyi garputala, maka dikatakan Schwabach
lebih pendek untuk konduksi tulang
a b
Gambar 29. Teknik Pemeriksaan (a) Tes Rinne dan(b) Tes Weber
83
Scanned for Compos Mentis
proses sensorik umum dan pengecapan di sepertiga posterior lidah, persarafan
sensorik umum di area faring, tonsil, permukaan dalam dari membran timpani, hingga
kulit telinga luar, serta aferen viseral dari badan dan sinus karotis. Fungsi otonom dari
nervus ini adalah komponen parasimpatik yang mempersarafi kelenjar parotis.
Anatomi
Kontrol UMN N. IX berasal dari korteks motorik primer yang kemudian bersinaps
ke bagian rostral dari nukleus ambiguus di medula dorsolateral melalui traktus
kortikobulbar. Persarafan ini bersifat bilateral. N.lX berjalan ke posteromedial menuju
ke dasar ventrikel keempat, kemudian keluar dari medula diantara olivoinferior dan
pedunkulus serebelar inferior berdampingan dengan N. VII di sisi atasnya dan N. X
di sisi bawah. Nervus ini meninggalkan kranial melalui foramen jugularis di lateral
dan anterior dari N. X dan nervus aksesorius spinal. Setelah meninggalkan kranial,
N. IX masuk ke selubung karotis, dan berjalan ke arah bawah diantara vena jugularis
interna dan arteri karotis interna, melewati bagian bawah dari prosesus stiloideus,
dan kemudian berjalan diantara arteri karotis interna dan eksterna. Nervus ini lalu
menuju ke dinding faring lateral, kemudian masuk ke bawah otot hioglosus untuk
bercabang menjadi cabang terminalnya.
84
Scanned for Compos Mentis
berasal dari n ukleus saliva tori us inferior di batangotak. Melalui ganglion glosofaringeus
superior dan inferior serabut inti keluar membentuk nervus timpanik. Nervus ini
menuju rongga timpani melalui kanal kecil di bawah permukaan tulang temporal
(kanalikulus timpanik) yang berada diantara kanal karotis dan fosa jugularis. Nervus
timpanik membentuk pleksus timpanik di dalam ruang timpanik kemudian keluar
melalui foramen ovale dan bersinaps di ganglion otik. Serabut saraf postganglionik
bergabung dengan N. V3 kemudian menuju ke kelenjar parotis (Gambar 30).
Foramen ovate
Kelenjar
parotls
85
Scanned for Compos Mentis
nukleus dan traktus solitarius. Sensori pengecapan berakhir di bagian rostral dari
nukles gustatorik (nukleus solitarius dorsalis).
Pemeriksaan
Pemeriksaan diawali dengan melakukan inspeksi pacta area palatum dan faring. Ketika
terdapat kelemahan faring unilateral, garis tengah palatum dan uvula akan terdeviasi
menjauhi sisi yang mengalami kelemahan dan tertarik menuju sisi yang sehat.
Pemeriksaan klinis yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan sensasi nyeri dan
sentuhan pacta faring, regio tonsil dan palatum mole. Pemeriksaan pengecapan sulit
dan jarang dilakukan. Pemeriksaan motorik juga seringkali sulit untuk dapat menilai
fungsi nervus glosofaringeus karena fungsi motorik nervus ini bekerjasama dengan
nervus vagus kecuali pacta otot stilofaringeus. Satu-satunya defisit motorik yang dapat
terdeteksi adalah asimetri dari lengkung palatal, dimana sisi yang paresis memiliki
lengkung palatal yang lebih rendah.
Respons motorik dari pemeriksaan refleks muntah adalah konstriksi dan elevasi dari
orofaring. Hal ini menyebabkan uvula dan garis tengah palatum akan terangkat dan
terjadi konstriksi faring. Pemeriksa kemudian membandingkan respons motorik pacta
kedua sisi. Ketika terdapat kelemahan faring unilateral, garis tengah palatum dan uvula
akan terdeviasi menjauhi sisi yang mengalami kelemahan dan tertarik menuju sisi yang
sehat. Deviasi ini biasanya akan sangatjelas terlihatsedangkan deviasi minimal dianggap
tidak signifikan secara klinis. Gangguan refleks muntah unilateral menunjukkan adanya
lesi LMN, karena persarafan supranuklearnya bersifat bilateral, sehingga lesi hemisfer
unilateral tidak akan menyebabkan kelumpuhan yang dapat terdeteksi.
86
Scanned for Compos Mentis
lnervasi kortikonuklear normal
ReflekGag
Loop sensorlk
Stimulus
pa latum mole
~ Nukleus
trigerminal spinalis
atau nukleus
traktus solitarius
Loop motorik
Konstriksi
faringeal
Membuka
rahang
( N. Kranial 10
N. Kranial 5
"'""\~
ambiguus
"'"'"
trigerminal
motorik
Anatomi
N. X menjalankan fungsinya bersama dengan N. IX. N. X memiliki 3 inti yaitu nukleus
motorik, sensorik, dan para simpatik (Gambar 32).
87
Scanned for Compos Mentis
Nukleus motorik terletak di medula oblongata dan dibentuk dari nukleus ambigus.
Nukleus ini menerima persarafan kortikobulbar dari kedua hemisfer. Serabut saraf
eferen dari nukleus ini mempersarafi otot konstriktor faring dan otot intrinsik laring.
Nukleus sensorik adalah bagian bawah dari nukleus traktus solitarius. Sensasi
pengecapan akan dihantarkan dari akson perifer menuju ke ganglion inferior N. X,
kemudian menuju ke inti nukleus sensorik. Eferen dari nervus ini menyilang di medula
oblongata, kemudian naik ke kontralateral talamus dan nukleus hipotalamus. Dari
talamus, jaras sensorik ini melalui kapsula interna dan korona radiata dan berakhir
di girus postsentralis. Di lain pihak, sensasi umum masuk ke batang otak melalui
ganglion superior N. X dan berakhir di nukleus spinal N. V.
!/
Nukleus talamik
dan hipotalamik - - - - - - - - Jalur otonom
~ desenden
Dari nervus
glossofarlngeal Nukleus dorsal
(dari sinus ~-- parasimoatetik
karotid) dari nervus vagus
Pedunkula
cerebelar
inferior
Ganglion superior
Nucleus ollvari darl nervus
Inferior vagus
Ganglion inferior
dari nervus
vagus
Gam bar 32. Anatomi Kontrol Supranuklear dan Inti Nervus Vagus
88
Scanned for Compos Mentis
Nukleus parasimpatik membentuk nukleus dorsal dari N. X dan berada di dasar
dari ventrikel empat, posterolateral dari nukleus hipoglosus. Nukleus ini menerima
aferen dari hipotalamus melalui jaras otonom desendens dan dari N. IX (refleks
sinus karotis ). Eferen dari sera but parasimpatis ini terdistribusi ke otot involunter
di bronkus, jantung, esofagus, lambung, usus besar, usus kecil, hingga sepertiga distal
dari kolon transversum (Gambar 33).
, . . - - - - - - Cabang faringeal
Ganglia sensorik
superior & inferior
dari nervus vagus
Cabang kardiak
Nervus laringeal
rekuren kiri
Jantung
Pleksus kardiak
Paru kanan Pleksus pulmonaris
anterior
Cabang celiac IJr;;::;;;(;;;_~==:::::=---!._- Pleksus esofageal
dari nervus
vagus kanan
------==-- -- --..._
~t.F.----";----- Pleksus vagus kiri
Pleksus celiac
Pemeriksaan
Pemeriksaan klinis nervus vagus lain adalah inspeksi posisi palatum dan uvula pacta
saat istirahat dan fonasi. Pemeriksa juga dapat mengobservasi perubahan suara dan
kesulitan dalam menelan terutama menelan cairan. Perlu diperhatikan juga adanya
stridor yang dapat terjadi akibat gangguan persarafan motorik laring.
89
Scanned for Compos Mentis
Pada keadaan istirahat, kelemahan unilateral akan mengakibatkan asimetri palatum,
yang ditandai oleh palatum pada sisi yang lemah akan turun dan lengkung palatum di
sisi yang lemah akan berkurang kelengkungannya. Hal ini diakibatkan oleh kelemahan
otot levator veli palatini dan otot uvula. Pada saat fon asi (pasien diminta mengucapkan
"aaaaah"), rafe medial dan uvula akan terdeviasi ke sisi sehat dan arkus faring pada
sisi yang mengalami kelumpuhan akan tampak lebih turun (Gambar 34).
Pada pemeriksaan refleks muntah, refleks akan hilang pada saat sisi yang mengalami
kelainan distimulasi karena adanya interupsi dari jaras motorik refleks muntah. Pada
keterlibatan nervus vagus bilateral maka palatum tidak dapat elevasi saat fonasi, dan
refleks muntah akan hilang. Kualitas suara pasien akan menjadi sengau mirip dengan
suara penderita sum bing palatum.
Kelemahan
palatum
'Ah'
Anatomi
N. XI merupakan nervus motorikyang dibentuk dari kumpulan radiks nervus kranialis
dan radiks spinalis. Radiks nervus kranialis dibentuk oleh akson-akson dari nukleus
ambigus. Inti N. XI menerima serabut kortikobulbar dari kedua hemisfer serebri.
90
Scanned for Compos Mentis
Serabut eferen dari inti ini keluar dari permukaan anterior medula oblongata di
antara oliva dan pedunkulus serebelar inferior. Sera but saraf N. XI kemudian berjalan
ke arah lateral pada fosa kranii posterior dan bergabung dengan serabut saraf dari
spinal. Keduanya kemudian bersatu dan meninggalkan tengkorak melalui foramen
jugularis. Setelah keluar dari tengkorak, serabut-serabut saraf ini kembali terpisah,
cabang kranial akan bergabung dengan N. X untuk mempersarafi otot palatum, faring
dan laring.
Radiks spinalis dari N. XI berasal dari akson di nukleus spinal yang terletak di anterior
kolumna grisea medula spinalis di 4 segmen servikal teratas. Nukleus spinal ini
menerima serabut kortikobulbar dari kedua hemisfer serebri. Radiks spinalis N. XI
keluar dari medula spinalis di pertengahan antara radiks anterior dan posterior medula
spinalis yang kemudian membentuk trunkus yang berjalan asendens menuju tengkorak
melalui foramen magnum. Serabut saraf ini kemudian berjalan lateral dan bergabung
dengan serabut saraf dari radiks kranialis melewati foramen jugularis. Serabut ini
kemudian kembali berpisah dan berjalan ke lateral bawah dan mempersarafi otot
sternokleidomastoideus dan otot trapezius (Gambar 35).
91
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan
Pada inspeksi pemeriksa harus memperhatikan posisi kepala pasien. Kepala dapat
terjatuh ke depan atau bahkan ke belakang tergantung otot mana yang lebih terlibat,
sternokleidomastoideus atau trapezius. Pemeriksa juga harus secara cermat melakukan
inspeksi dan palpasi m. sternokleidomastoideus dan trapezius untuk menentukan tonus
dan volume otot, kesimetrisan kontur pada saat istirahat dan mendeteksi ada tidaknya
atrofi atau fasikulasi yang menandakan lesi nuklear atau infranuklear.
Untuk menilai kekuatan m. sternokleidomastoideus, pasien diminta untuk
menolehkan kepalanya secara maksimal ke satu sisi, kemudian diberikan tahanan
dan pasien diminta untuk menolehkan kepalanya kembali ke depan. Pada saat
manuver ini dilakukan, kontraksi m. sternokleidomastoideus dapat terlihat dengan
jelas dan dapat dirasakan (Gambar 36). Pemeriksaan m. sternokleidomastoideus
juga dapat dilakukan dengan meminta pasien melakukan fleksi kepala dan pemeriksa
memberikan tahanan pada dahi.
Pada pemeriksaan m. sternokleidomastoideus, saat pasien menolehkan kepala
melawan tahanan dan melakukan manuver fleksi kepala, kontraksi otot menjadi
lemah pada sisi yang mengalami gangguan. Fleksi kepala melawan tahanan akan
mengakibatkan deviasi kepala ke sisi otot yang mengalami kelemahan. Pada
kelemahan m. sternokleidomastoideus bilateral, pasien akan mengalami kesulitan
untuk melakukan anterofleksi leher.
Refleks sternokleidomastoideus dapat dimunculkan dengan mengetuk
m.sternokleidomastoideus pada daerah origonya di klavikula. Refleks yang
ditimbulkan berupa kontraksi m. sternokleidomastoideus. Refleks ini dimediasi
oleh N. XI dan nervus servikalis superior.
Pemeriksaan m. trapezius diawali dengan inspeksi kontur otot dan posisi bahu.
Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan meminta pasien mengangkat
bahu dan melawan tahanan yang diberikan pemeriksa (Gambar 37). Pada manuver
ini sebenarnya m. levator skapula yang lebih b ~myak berperan. Pemeriksaan
m.trapezius medial dan inferior dapat dilakukan dengan meminta pasien melakukan
abduksi lengan hingga posisi lengan horizontal dengan telapak tangan menghadap
ke atas kemudian pasien diminta untuk mendorong siku ke arah depan. Kekuatan
motorik harus selalu dibandingkan pada kedua sisi.
93
Scanned for Compos Mentis
Pada pemeriksaan nervus trapezius, atrofi m. trapezius dapat dilihat dengan adanya
depresi atau penurunan kontur bahu dan m. trapezius yang menjadi datar. Kelemahan
m. trapezius yang berat dapat menyebabkan bahu dan skapula menjadi turun dan
bagian atas skapula akan jatuh ke arah lateral dan bagian inferior akan ke arah medial.
Perubahan kedudukan skapula ini lebih jelas terlihat pada abduksi lengan. Pada
pemeriksaan kekuatan motorik, sisi yang mengalami kelainan akan menghasilkan
kontrasi otot yang lebih lemah.
Anatomi
N. XII merupakan sarafmotorikyang mempersarafi semua otot-otot intrinsik lidah dan
juga m. stiloglosus, hioglosus, dan genioglosus. Inti N. XII terletak dekat dengan garis
tengah dari medula oblongata tepat dibawah ventrikel empat. Inti N. XII menerima
persarafan dari kedua hemisfer serebri, tetapi otot genioglosus hanya menerima
dari hemisfer kontralateral. Serabut saraf N. XII kemudian akan keluar dari anterior
medula oblongata dan berjalan di antara oliva dan piramid. Saraf ini kemudian
melewati fosa kranii posterior dan keluar dari tengkorak melalui kanalis hipoglosus.
N. XII kemudian berjalan ke bawah diantara arteri karotis interna dan vena jugularis
interna hingga batas bawah dari otot digastrikus posterior dan kemudian bercabang
mempersarafi otot lidah (Gambar 38).
Otot s111Qglossus
Otot hioglo:ssus
Otot genlogl08$US
sarar k.e
OtO! QeniOgiOSSUS
Sarilf ke
otot llrohioid
Pemeriksaan
Pemeriksaan klinis untuk menilai fungsi N. XII meliputi inspeksi bentuk lidah dan
evaluasi kekuatan lidah. Pemeriksa harus memperhatikan ada tidaknya atrofi papil,
gerakan abnormal seperti fasikulasi, dan ada tidaknya kelemahan atau gangguan
dalam melakukan gerakan cepat.
Teknik pemeriksaan diawali dengan inspeksi posisi dan bentuk lidah pad a saat istirahat
di dalam mulut maupun saat pasien diminta menjulurkan lidahnya, menggerakan
lidah keluar masuk rongga mulut, menggerakkan lidah dari sisi ke sisi, ke atas dan ke
bawah baik secara perlahan maupun secara cepat. Kekuatan motorik otot lidah dapat
diperiksa dengan meminta pasien menekan dinding dalam pi pi dengan menggunakan
ujung lidah, melawan tekanan yang diberikan pemeriksa dari sisi luar pipi dengan
95
Scanned for Compos Mentis
jari atau spatula lidah. Pemeriksa harus membandingkan kekuatan lidah di kedua sisi
dengan memeriksa kedua sisi secara bergantian.
Pada keadaan normal, lidah terletak di tengah rongga mulut dan cukup kuat me nahan
tekanan dari luar pipi. Jika terdapat kelemahan unilateral, pada saat lidah berada di
dalam mulut, lidah akan terdeviasi ke sisi yang sehat karena kerja m. stiloglosus pada
sisi yang sehat. Pada saat dijulurkan, lidah akan terdeviasi ke sisi yang lemah karena
kerja m. genioglosus sisi sehat.
Pada pemeriksaan motorik, adanya kelemahan unilateral mengakibatkan
ketidakmampuan lidah untuk melakukan deviasi ke sisi sehat pada saat terjulur. Hal ini
mengakibatkan pasien tidak dapat mendorong lidah ke arab dinding pipi sisi yang sehat.
Pasien dengan kelemahan juga akan kesulitan dalam melakukan gerakan lidah dengan
cepat. Pada kelemahan bilateral, lidah akan sulit dijulurkan atau tidak dapat dijulurkan
sama sekali.
Kelemahan otot wajah atau deviasi rahang seringkali mempersulit pemeriksa dalam
mengevaluasi deviasi lidah. Pada pasien dengan kelemahan otot wajah bagian
bawah yang signifikan, seringkali terjadi distorsi wajah yang dapat mengakibatkan
kesan deviasi lidah yang sebenarnya tidak ada. Lidah yang dijulurkan akan tampak
terdeviasi ke sisi wajah yang lemah karena kurangnya mobilitas dari sudut bibir di sisi
tersebut yang memberikan kesan lidah terdeviasi ke sisi tersebut. Manuver dengan
cara menarik sisi wajah yang mengalami kelemahan secara manual hingga wajah
tampak simetris dapat membantu dalam menilai deviasi lidah pada kasus ini.
Kelemahan N. XII tipe perifer akan terjadi apabila terdapat lesi di sepanjang perjalanan
nervus hipoglosus dari inti nervus di medula oblongata hingga organ efektor yaitu otot
lidah. Pada inspeksi lidah, akan ditemukan atrofi papil dimana lidah tampak berkerut
dan lebih kecil. Atrofi lidah unilateral juga dapat dikonfirmasi dengan palpasi lidah.
Pada atrofi yang berat, lidah tidak dapat dijulurkan (glosoplegia). Pada lesi perifer,
atrofi lidah seringkali disertai dengan fasikulasi dan atau tremor terutama saat lidah
dijulurkan. Tremor akan hilang pada saat kondisi lidah istirahat sedangkan fasikulasi
akan menetap. Gerakan involunter lain seperti distonia, khorea, tik, spasme, dan atetosis
juga dapat ditemukan dalam frekuensi yang lebih jarang (Gambar 39).
Atrofi
Gam bar 39. A Paresis N. XII tipe sentral saat lidah berada di dalam mulut. B. Paresis
N. XII tipe sentral saat lidah terjulur. C. Paresis N. XII tipe perifer.
Daftar Pustaka
1. Snell RS. Snell's clinical neuroanatomy. Edisi ke-7. Lippincott Williams & Wilkins; 2001.
2. Campbel WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke -6. Lippincott William &
Wilkins; 2005.
3. Fuller G. Neurological examination made easy. Edisi ke-3. Churchill Livingstone; 2004.
4. Biller J, Gruener G, Brazis PW. DeMyer's the neurologic examination: a programmed text.
Edisi ke-7. McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2016.
5. Hain TC. Cranial nerve VJII : vestibulocochlear system. Textbook of Clinical Neurology.
Edisi ke-3. Elsevi~r Inc; 2007.
6. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai
Penerbit FKUI; 2006.
97
Scanned for Compos Mentis
PEMERIKSAAN MOTORIK
Korteks
motoriK
Talamus
NuKieus Rubra
Pons
NuKJeus
vestibularis
TraKtus
KortiKospinal
lateralis TraKtus
vestibulospinal
Tral<tus
rubrospinal
Medula spinalis
98
Scanned for Compos Mentis
Anatomi
Pusat motorik terletak di korteks motorik pada girus presentral. Pada area premotor
dan korteks suplemen motorik, gerakan direncanakan dan dipersiapkan untuk
selanjutnya diteruskan menjadi gerakan volunter oleh girus presentral. Korteks
motorik primer juga menerima input dari sistem ekstrapiramidal dan serebelum.
Keduanya berkontribusi dalam menghaluskan gerakan (Gambar 1).
Serabut saraf meninggalkan korteks motorik sebagai jaras kortikospinal. Serabut ini
turun melalui korona radiata menuju kornu posterior kapsula interna. Selanjutnya
serabut motorik akan memasuki pedunkulus serebri yang membentuk basis dari
medula oblongata. Traktus kortikobulbar akan berakhir di bagian bawah midbrain atau
struktur lainnya pada inti-intinya. Serabut saraf traktus kortikospinal akan bergerak
turun dari pedunkulus dalam sebuah bendel yang kompak membentuk struktur
yang dikenal sebagai piramis di medula oblongata (Gambar 2). Pada bagian kaudal
medula, 90% serabut traktus kortikopsinal akan berdekusasio ke sisi kontralateral dan
meneruskan perjalanannya menuju ke medula spinalis sebagai traktus kortikospinal
lateralis. Sisanya (10%) akan berjalan ipsilateral sebagai traktus kortikospinal anterior.
Lutut
Panggul (hlp)
Ba1ang lubuh
(trunk) ---~.-,,
Tangan
Wajah
Udah
Kapsula
in1erna
Ganglia
basel
...
•
~ MIDBRAIN
T1aktus
kO<tlkobulbar ------1\ \ --------
5
~~~~k~ spinal
Traktus
kortlkosplnal -------~_..JAY ~~
J~ ~;.~;pinal
KORDA
SPINAUS
lateral
antMor
99
Scanned for Compos Mentis
Dari medula spinalis, serabut motorik akan keluar melalui kornu anterior di bagian
ventral medula spinalis sebagai radiks saraf. Radiks-radiks ini akan bergabung
menjadi pleksus dan meneruskan diri sebagai saraf perifer. Sistem motorik akan
berakhir di otot sebagai eksekutor sebuah gerakan. Sebelum mencapai otot, sinyal
motorik terlebih dahulu melewati taut saraf otot. Komponen ini (dari kornu anterior
hingga otot) dikenal sebagai motor unit (Gambar 3). Gangguan sistem motorik dari
korteks serebri sampai dengan kornu anterior akan menyebabkan kelumpuhan
dengan tipe upper motor neuron (UMN). Sedangkan lesi setelah kornu anterior hingga
ke otot akan menimbulkan kelumpuhan tipe lower motor neuron (LMN).
100
Scanned for Compos Mentis
Manifestasi klinis lainnya dari gangguan sistem motorik dapat berupa gangguan
berjalan, atrofi otot, hipertonus atau hipotonus juga gangguan gerak.
Pemeriksaan fungsi motorik terdiri atas penilaian kekuatan otot, pemeriksaan tonus
otot, dan juga observasi gangguan gerak. Pemeriksaan koordinasi dan gait, yang
menggambarkan fungsi serebelum, juga berhubungan dengan pemeriksaan fungsi
motorik. Proses yang terjadi pada koordinasi, postur dan gait lebih kompleks dan
melibatkan lebih banyak struktur di luar fungsi motorik, maka biasanya diperiksa
tersendiri.
Sedangkan hipertrofi otot adalah kondisi meningkatnya ukuran atau volume otot. Hal
ini bisa terjadi pada penggunaan otot yang berlebihan (fisiologis) ataupun karena
kondisi patologis. Kontraksi otot yang persisten dapat mengakibatkan hipertrofi.
Contohnya pada pasien distonia servikal, otot sternokleidomastoideus yang aktif
berkontraksi seringkali menjadi hipertrofi.
Bentuk lain dari perubahan trofi otot adalah pseudohipertrofi. Pada kondisi ini juga
terjadi peningkatan ukuran otot karena infiltrasi lemak namun sebenarnya tidak
terdapat penambahan ukuran ataupun jumlah serabut otot. Pseudohipertrofi dapat
dijumpai pada distrofi muskular terutama distrofi muskular Duchenne.
101
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan trofi ototdilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi dan pengukuran.
Inspeksi dilakukan dengan membandingkan kedua sisi tubuh. Perhatikan otot
wajah, bahu, juga ekstremitas. Pemeriksa meminta pasien untuk menjulurkan
kedua lengannya dengan posisi supinasi dan merapatkan kedua lengannya tersebut.
Perhatikan otot-o~ot kedua lengan tersebut dari tangan hingga ke bahu. Perhatikan
bagian palmar pada otot tenar, hipotenar dan interoseus. Otot normal akan teraba
kenyal dan kembali ke bentuk semula setelah ditekan. Otot yang hipertrofi akan teraba
lebih keras. Sedangkan pada pseudohipertrofi otot tampak membesar namun teraba
lembek. Untuk mengetahui atrofi otot terkadang diperlukan pengukuran dengan pita
ukur, terutama hila atrofi otot antar kedua sisi tidak terlalu berbeda. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan patokan yang sama pada sisi kanan dan kiri. Misalnya
untuk memeriksa atrofi otot lengan bawah, diukur 4cm di bawah olekranon kanan
dan kiri. Ekstremitas yang diukur harus berada pada posisi yang sama dan rileks.
102
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan dimulai dengan melakukan palpasi pada otot. Perlu diingat bahwa
beberapa kondisi dapat memengaruhi penilaian tonus otot misalnya edema, spastisitas
karena nyeri dan pseudohipertrofi. Yang terpenting dari pemeriksaan tonus otot adalah
menentukan tahanan otot dengan gerakan pasif. Perhatikan juga fleksibilitas dan
rentang gerak. Gerakan pasif dilakukan dengan lam bat hingga cepat juga pada rentang
gerak parsial hingga maksimal. Pemeriksaan harus dilakukan pada kedua sisi.
Beberapa manuver pemeriksaan tonus yaitu:
I. Arm-Dropping Test
Lengan atas pasien difleksikan hingga lengan sejajar bahu. Kemudian lengan
dijatuhkan dan dibiarkan berayun. Pada keadaan spastik, akan terlihat gerakan
jatuh yang tertunda yang menyebabkan lengan seolah tertahan di udara. Pada
keadaan hipotonus, lengan tersebut jatuh lebih mendadak daripada normal.
Manuver yang sama juga dapat dilakukan pada tungkai.
II. Wartenberg Pendulum Test (Tes Pendulum Tungkai)
Pasien diminta duduk di tepi meja atau tempat tidur dengan tungkai rileks dan
terjuntai. Pemeriksa mengekstensikan kedua tungkai pasien dengan tinggi yang
sama kemudian melepaskannya atau dengan mendorong kedua tungkai yang
terjuntai tersebut ke belakang dengan tekanan yang setara. Pada kondisi normal
umumnya tungkai akan berayun-ayun dan lama kelamaan akan berhenti setelah
6 sampai 7 osilasi. Pada otot yang hipotonia, osilasi akan berlangung lebih lama.
Sebaliknya pada otot dengan rigiditas, ayunan tungkai akan menurun.
Selanjutnya pemeriksaan tonus otot dilanjutkan dengan melakukan gerakan
pasif pada ekstremitas dengan kecepatan yang lambat hingga cepat. Gerakan
pasif dilakukan pada kedua sisi pada beberapa persendian (Gam bar 5). Beberapa
abnormalitas yang dapat dijumpai yaitu:
A. Hipertonus. Secara luas dikenal 2 macam hipertonus yaitu spastisitas
dan rigiditas. Jenis hipertonus lainnya yang lebih jarang adalah paratonia
(Gegenhalten ).
• Spastisitas adalah resistensi atau tahanan yang diikuti dengan
kelenturan pada ekstremitas pasien yang digerakkan dengan cepat dan
secara pas if oleh pemeriksa. Pemeriksa akan merasakan tahanan seperti
pada saat menutup pisau lipat (clasp-knife spasticity). Fenomena pisau
lipat ini mengindikasikan adanya gangguan pada traktus piramidal.
104
Scanned for Compos Mentis
• Hipotonus akibat lesi di susunan saraf pusat. Salah satunya bisa
disebabkan karena lesi di serebelum. Pada lesi di serebelum hipotonus
tidak disertai dengan kelemahan. Selain itu lesi pada serabut aferen
gelendong otot juga dapat mengakibatkan hipotonus seperti pada tabes
dorsalis di mana terjadi kerusakan pada kolumna dorsalis dan radiks
posterior. Hipotonus juga dapat ditemukan pada fase syok spinal (spinal
shock) dari lesi UMN.
Secara urn urn pemeriksaan kekuatan motorik dilakukan dengan memeriksa otot pada
area sendi bahu, siku, pergelangan tangan dan jari-jari tangan untuk ekstremitas
atas. Sedangkan untuk ekstremitas bawah dilakukan pada otot sendi panggul, lutut,
pergelangan kaki, dan jari-jari kaki.
Penilaian kekuatan otot pada sendi siku dilakukan dengan meminta pasien
memfleksikan sendi sikunya dan melakukan gerakan aduksi. Pemeriksa
memberikan tahanan dengan menarik pergelangan tangan pasien. Pemeriksaan
106
Scanned for Compos Mentis
ini menilai kekuatan otot bisep yang dipersarafi oleh radiks CS-C6 melalui nervus
muskulokutaneus (Gam bar 7a). Pemeriksaan juga dilakukan dengan arah sebaliknya
dengan meminta pasien mengekstensikan lengannya pada sendi siku dan pemeriksa
menahannya (Gambar 7b). Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot trisep yang
dipersarafi oleh radiks C6, C7, dan CB melalui nervus radialis.
a b
Gambar 7. Pemeriksaan Kekuatan Otot pada Sendi Siku: (a) Otot Bisep dan (b) Trisep
Penilaian kekuatan otot sendi pergelangan tangan dilakukan dengan meminta pasien
mengepal dan mengekstensikan tangannya. Pemeriksa memberikan tahanan pada
kepalan tangan pasien. Gerakan fleksi pada pergelangan tangan terutama diperankan
oleh otot ekstensor karpi radialis longus (C6-C7), ekstensor karpi radialis brevis, dan
ekstensor karpi ulnaris (C7-C8) (Gambar Ba). Pemeriksaan juga dilakukan untuk
menilai kekuatan fleksi pergelangan tangan. Pada pemeriksaan fleksi pergelangan
tangan otot yang dinilai adalah otot fleksor karpi radialis (C6-C7) dan fleksor karpi
ulnaris (C7-T1) (Gambar Sb).
107
Scanned for Compos Mentis
a b
Gambar 8. Pemeriksaan Kekuatan Otot Sendi Pergelangan Tangan: (a) Ekstensi dan (b) Fleksi
Pemeriksaan kekuatan jari tangan merupakan pemeriksaan yang sulit karen a susunan
otot dan persarafannya yang kompleks. Pemeriksaan dilakukan dengan meminta
pasien mengekstensikan jari-jari tangannya dan pemeriksa memberikan tahanan
dari arah sebaliknya. Pemeriksaan kekuatan jari juga dapat dilakukan dengan menilai
kekuatan genggaman tangan. Pasien diminta menggenggam jari telunjuk dan jari
tengah pasien dengan sekuat mungkin. Pemeriksa kemudian menarik jarinya dengan
kekuatan yang bertumpu pada ibu jari (Gambar 9).
108
Scanned for Compos Mentis
Rangkuman pemeriksaan kekuatan motorik ekstremitas atas dapat dilihat pada Tabel3.
Tabel 3. Pemeriksaan Kekuatan Otot Ekstremitas Atas
Area Sendi Otot Saraf Pemeriksaan
Abduksi lengan atas setinggi bahu
Bahu Deltoid Radiks CS dan C6 Adduksi lengan atas (ara h
sebaliknya)
Radiks CS dan C6 melalui Fleksi sendi siku dan gerakan
Bisep
nervus muskulokutaneus adduksi
Siku
Radiks C6, C7, CB melalui Ekstensi sendi siku (arah
Trisep
nervus radial is sebaliknya)
a
Gam bar 10. Pemeriksaan Kekuatan Otot Sendi Panggul dengan Memberi Tahanan
(a) ke Bawah dan (b) ke Atas
109
Scanned for Compos Mentis
Penilaian kekuatan sendi lutut dilakukan dengan menilai kemampuan fleksi dan
ekstensi. Fleksi sendi lutut merupakan hasil kontraksi otot hamstring (bisep femoris,
semimembranosus, semitendinosus) (LS, Sl-S2). Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan pasien pada posisi berbaring supinasi, pronasi maupun duduk. Tungkai
pasien diposisikan semifleksi dan pemeriksa berusaha mengekstensikannya dengan
menarik pergelangan kaki pasien (Gambar lla). Otot-otot fleksi lutut ini sangat kuat
sehingga cukup sulit untuk mengekstensikannya pada kekuatan normal.
Otot ekstensi lutut yang paling utama adalah kuadriseps femoris (L2-L4). Otot ini
tersusun atas 4 otot besa1~ yaitu rektus femoris, vastus lateralis, vastus medialis dan
vastus intermedius. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pasien pada posisi berbaring
supinasi ataupun duduk. Pasien diminta mengekstensikan sendi lututnya dan pemeriksa
memberikan tahanan (Gambar llb). Otot ekstensi lutut ini pada kondisi normal juga
sangat kuat.
a b
Gambar 11. Pemeriksaan Kekuatan Otot Sendi Lutut Dengan Menilai Kekuatan (a)
Fleksi dan (b) Ekstensi
110
Scanned for Compos Mentis
a
Gambar 12. Pemeriksaan Kelmatan Otot Sendi Pergelangan Kaki : (a) Plantarfleksi; (b) Dorsofleksi
Rangkuman pemeriksaan kekuatan motorik ekstremitas bawah dapat dilihat pada Tabel 4.
Pada kasus kelemahan ringan, paresis tidak selalu dapat terdeteksi dengan teknik
pemeriksaan di atas. Untuk itu diperlukan manuver lainnya seperti pronator drift
(Barre's sign). Pasien diminta menjulurkan kedua lengannya ke depan dengan posisi
tangan supinasi dan mata tertutup. Perhatikan selama 20 -30 detik (Gambar 13).
Apabila terdapat gangguan pada jaras kortikospinal maka salah satu lengan akan
mengalami penyimpangan dan cenderung pronasi.
Manuver lainnya adalah dengan melakukan knee-dropping test. Pasien berada dalam
posisi supinasi kemudian tungkai difleksikan pada sendi panggul dan lutut dengan
lutut membentuk sudut 45° serta telapak kaki tetap menempel di tempat tidur. Kedua
tungkai kemudian dilepaskan. Tungkai yang mengalami kelemahan akan turun lebih
cepat, lutut akan ekstensi dan eksorotasi.
111
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi hemiparesis ringan adalah
dengan manuver arm-roll. Pasien diminta untuk mengepalkan kedua tangannya,
mengangkat lengan bawah horizontal setinggi dada dengan posisi salah satu lengan
lebih tinggi. Selanjutnya pasien diminta untuk membuat gerakan berputar dengan
kedua lengannya sehingga kedua kepalan tangan akan saling mengitari. Apabila
terdapat kelemahan di salah satu lengan, maka lengan yang lemah akan cenderung
berputar lebih lamb at a tau tidak bergerak sedangkan sisi yang sehat terlihat bergerak
mengitari sisi yang lemah.
Refleks tendon dalam pada orang normal dapat sangat bervariasi. Pada individu
tertentu RTD sangat mudah dibangkitkan namun pada individu lain reaksi RTD sangat
lambat dan minimal. Umumnya pacta orang normal respons RTD pacta kedua sisi
setara. Memastikan kembali riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan lainnya sangat
penting sebelum memutuskan bahwa refleks terse but abnormal.
Untuk dapat melakukan pemeriksaan RTD dengan baik diperlukan latihan dengan teknik
yang benar. Selain itu jenis palu refleks juga ikut menentukan hasil pemeriksaan. Palu
112
Scanned for Compos Mentis
refleks dengan kualitas yang baik akan sangat membantu dalam membangkitkan RTD.
Kebanyakan Neurolog menggunakan palu refleks jenis Taylor (Tomahawk) (Gambar 14).
a b c
Gambar 14. jenis Palu Refleks (a) Tipe Tomahawk (b) Tipe Queen square (c) Tipe Babinski Telescopic
Sedapat mungkin pilihlah palu refleks yang memiliki bobot cukup berat. Memegang
palu refleks sebaiknya pada area dekat ujung gagang palu dan gunakan jari telunjuk
dan ibu jari. Saat mengayunkan palu refleks, biarkan palu bergerak di antara jari-jari
(Gambar 15). Jangan menggunakan ayunan siku saat memeriksa RTD. Ayunan palu
dilakukan dengan cepat, tepat dan kuat namun tidak berlebihan .
.
Gambar 15. Cara Mengayunkan Palu Refleks
113
Scanned for Compos Mentis
Pada saat pemeriksaan pasien diposisikan senyaman dan serileks mungkin. Saat
membandingkan refleks pada kedua sisi maka ekstremitas harus berada pada posisi
yang sama. Perhatian pasien sebaiknya dialihkan dan tidak dibiarkan melihat ke arah
area yang sedang diperiksa. Pengalihan perhatian dapat dilakukan dengan meminta
pasien melihat ke depan atau dengan melakukan manuver Jendrassik (Gambar 16).
Pasien diminta mengaitkan kedua tangannya dengan pandangan lurus ke depan.
Instruksikan pasien untuk menarik kedua tangan yang sating terkait itu pad a hitungan
ketiga bersamaan dengan pemeriksa mengetukkan palu refleksnya.
a b
Gambar 16. Pemeriksaan Refleks Patela dengan Manuver Jendrassik pada Posisi Duduk (a) dan
Berbaring (b)
Terdapat banyak jenis refleks tendon dalam, namum RTD yang rutin dilakukan pada
pemeriksaan neurologi adalah sebagai berikut:
TabelS. Refleks Tendon Dalam yang Rutin Dilakukan pada Pemeriksaan Neurologi
Refleks Level Segmen Medula Spinalis Saraf Perifer
Bisep CS-C6 Muskulokutaneus
Achilles Sl Skiatikus
114
Scanned for Compos Mentis
Penentuan derajat respons RTD terkadang sangat bergantung pada penilaian
pemeriksa. Umumnya digunakan klasifikasi seperti berikut ini:
1+ Menurun Masih dianggap normal namun sulit dibangkitkan, lam bat, hipoaktif
2+ Normal Responsnya cukup cepat dan tidal< disertai tanda patologis lainnya
Refleks sangat mudah dibangkitkan, zona refleks meluas, bisa disertai klonus,
4+ Hiperaktif
terdapat tanda patologis lainnya
Atau dengan menggunakan ilustrasi seperti pada Gam bar 17 berikut ini:
Kanan Kiri
1 3 3 1 f- Brakioradialis
3 3 f- Biseps
3 + + 3
f- Trisep
f- Patela
f- Achilles
f- Babinski
115
Scanned for Compos Mentis
I. 'Pemeriksaan Refleks Bisep
Pemeriksaan dilakukan dengan posisi lengan bawah pasien semifleksi dan sedikit
pronasi. Lengan pasien dapat diletakkan di atas paha pasien atau disangga
pada lengan pemeriksa. Pemeriksa meletakkan ibu jari atau jari telunjuknya di
atas tendon bisep yang akan diperiksa (Gambar 18). Tekan dengan lembut dan
ketukkan dengan palu refleks. Tekanan pada tendon bisep jangan terlalu kuat
karena akan mempersulit bangkitnya refleks.
Respons refleks berupa fleksi otot bisep disertai dengan supinasi telapak tangan.
Apabila refleks meningkat maka zona refleks akan meluas, bahkan hingga bisa
dibangkitkan dengan mengetuk area klavikula.
a b
Gambar 18. Pemeriksaan Refleks Bisep dengan Posisi (a) Duduk dan (b)Berbaring
116
Scanned for Compos Mentis
a b
Gambar 19. Pemeriksaan Refleks Trisep pada Posisi Duduk (a) dan (b) Berbaring
117
Scanned for Compos Mentis
Respons yang timbul berupa kontraksi otot dinding perut dan deviasi umbilikus
ke arah ketukan. Refleks dinding perut profunda sangat jarang ditemukan pada
orang normal. Pada lesi jaras kortikospinal, refleks dapat ditemukan positif
disertai dengan menghilangnya refleks dinding perut superfisialis. Refleks ini
dipersarafi oleh nervus interkostal (divisi anterior, TS-T12), ilioinguinal dan
iliohipogastrik.
a b
Gambar 21. Pemeriksaan (a) Refleks Dinding Perut Profunda dan (b)Refleks Dinding Perut
Superfisialis
V. Refleks Patela
Pemeriksaan refleks patela dapat dilakukan dengan posisi pasien duduk
maupun berbaring. Ketukan dilakukan pada tendon patela dan respons yang
timbul adalah ekstensi lutut. Apabila pemeriksaan dilakukan pada posisi
pasien duduk, maka tangan kiri pemeriksa diletakkan di atas otot kuadriseps
femoris dan tangan kanan mengetukkan palu (Gambar 22). Dengan demikian
pemeriksa dapat merasakan kontraksi yang timbul. Bila pemeriksaan dilakukan
dengan posisi pasien berbaring maka pemeriksa perlu menyangga lutut pasien
agar sedikit fleksi. Pada reflkes yang meningkat zona refleks juga akan meluas
sehingga refleks dapat dibangkitkan dengan mengetukkan area supra ataupun
epipatela.
118
Scanned for Compos Mentis
a b
Gam bar 22. Pemeriksaan Refleks Patela dengan (a) Posisi Duduk dan (b )Berbaring
a b
Gambar 23 . Pemeriksaan Refleks Achilles pacta Posisi Berbaring dapat dilakukan dengan 2
Cara seperti Gambar (a) dan (b)
119
Scanned for Compos Mentis
Pacta saat melakukan pemeriksaan refleks, membandingkan respons refleks pacta
kedua sisi sangatlah penting. Hal ini dapat membantu menentukan apakah refleks
yang timbul meningkat atau tidak. Sehingga pada setiap pemeriksaan refleks selalu
dilakukan pada kedua sisi baru kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan refleks
berikutnya.
1. Tanda Babinski
Pemeriksaan dilakukan dengan menggores kulit telapak kaki dari bagian
tumit, menyusuri bagian lateral plantar pedis kemudian menyusuri
metatarsal hingga di area di bawah ibu jari (Gambar 24). Apabila terdapat
lesi di traktus kortikospinal, tanda Babinski umumnya akan positifberupa
dorsofleksi ibu jari dan jari-jari lainnya akan abduksi.
120
Scanned for Compos Mentis
Pada orang normal, manuver Babinski ini juga akan menimbulkan respons
pada jari kaki berupa plantarfleksi terutama selain ibu jari.
2. Tanda Chaddock
Pemeriksaan dilakukan dengan memberikan stimulus pada bagian
lateral kaki. Dimulai dari area di bawah malelolus lateralis menyusuri
bagian lateral kaki hingga ke jari kelingking (Gambar 25). Respons yang
ditimbulkan sama dengan tanda Babinski.
3. Tanda Oppenheim
Refleks patologis ini diperiksa dengan menekankan buku jari telunjuk dan
jari tengah pemeriksa dari area infrapatela menyusuri anteromedial tibia
sampai ke pergelangan kaki pasien (Gambar 26).
121
Scanned for Compos Mentis
Gambar 26. Pemeriksaan Tanda Oppenheim
4. Tanda Schaffer
Pemeriksaan dilakukan dengan memberikan tekanan yang cukup kuat
pada tendon Achilles (Gambar 27).
5. Tanda Gordon
Pemeriksaan Gordon dilakukan dengan cara meremas otot
gastroknemius (Gambar 28).
122
Scanned for Compos Mentis
B. Respons berupa Plantarfleksi Jari Kaki
1. Tanda Rossolimo
Pemeriksaan dilakukan dengan mengetukkan palu refleks pada basis
plantar pedis (Gambar 29a). Respons yang timbul berupa plantarfleksi
jari-jari kaki.
a b
123
Scanned for Compos Mentis
telapak tangan pasien di antara ibu jari dan jari telunjuk. Respons yang akan
timbul berupa refleks menggenggam. Refleks ini dapat muncul pada lesi di
lobus frontal ataupun pada penyakit degeneratif serebral.
B. Refleks Palmomental
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggores telapak tangan pasien pada
bagian tenar dengan menggunakan objek yang tumpul. Respons yang muncul
berupa kontraksi otot mentalis dan orbikularis oris yang menyebabkan kulit
pipi sekitar mulut mengerut} kadang disertai elevasi sudut mulut.
C. Tanda Hoffmann-Tromner
Tanda Hoffmann diperiksa dengan cara} pemeriksa memegang tangan pasien
dalam posisi tangan dorsofleksi dan jari tengah difiksasi oleh pemeriksa di
antara jari telunjuk dan jari tengah atau antara ibu jari dan jari telunjuk.
Dengan ibu jarinya} pemeriksa menjentikkan kuku jari tengah pasien dengan
cepat (Gambar 30a).
b
Gambar 30. Pemeriksaan Tanda Hoffmann (a) dan Tromner (b)
Respons yang timbul berupa fleksi jari-jari tangan dan adduksi ibu jari
tangan.Tanda Tromner dilakukan dengan cara} pemeriksa memegang jari
tengah pasien sedemikian rupa sehingga tangan pasien menggantung} dan
dengan tangan pemeriksa lainnya} pemeriksa mengetuk jari tangan pasien
(Gambar 30).
Manifestasi klinis dari kelemahan motorik dapat berbeda-beda sesuai letak lesi.
Beberapa pola dan karakteristik dari kelemahan motorik tergantung pada topisnya
(Tabel 7).
124
Scanned for Compos Mentis
Tabel 7. Pola Kelemahan Sesuai Letak Lesi
Letak Lesi Distribusi Pola Kelemahan GSanggu~kn RTD Tanda yang Dapat Menyertai
enson
Teritori a. serebri Kontralateral, lengan dan Afasia, apraksia, gangguan
Ada i
media wajah > tungkai lapang pandang,gaze palsy
Gangguan sensoris kortikal
Teritori a. serebri Kontralateral, tungkai > pada tungkai kontralateral,
Ada i
anterior lengan dan wajah tanda-tanda lobus frontal,
dapat disertai inkontinensia
Kontralateral, wajah =
Kapsula interna Tidak i Tidak ada ("pure motor stroke")
lengan = tungkai
N. kranialis ipsilateral dan
Batang otak Ada i Bervariasi, tergantung level
tubuh kontralateral
Medula spinalis
Umumnya ada disfungsi
servikal (lesi Kedua lengan dan tungkai Ada i
defekasi dan mikturisi
transversal)
Medula spinalis
Umumnya ada disfungsi
torakal (lesi Kedua tungkai Ada i
defekasi dan mikturisi
transversal)
Dapat ditemukan disfungsi
Kedua tungkai, as imetris,
Kauda ekuina Ada defekasi dan mikturisi; kadang-
dengan pola multi pel radiks
kadang nyeri
Fokal dengan onset dini;
Atrofi, fasikulasi, paralisis
Kornu anterior umum dengan onset lebih Tidak i
bulbar
lama
Radiks Otot sesuai miotom Ada Nyeri
Sesuai distribusi pleksus, Biasanya Umumnya nyeri, terutama
Pleksus
komplit a tau parsial ada dengan "pleksitis" brakial
Biasanya Atrofi yang bervariasi; nyeri
Mononeuropati Otot yang diinervasi
ada bervariasi
Biasanya Nyeri bervariasi; atrofi muncul
Polineuropati Distal > proksimal
ada belakangan
Ptosis, oftalmoparesis,
Bulbal, ekstremitas
Taut saraf otot Tidak N kelemahan dipengaruhi fatig,
proksimal
kelemahan berfluktuasi
Jarang terdapat nyeri; banyak
Otot Proksimal > distal Tidak N
pola yang mungkin
125
Scanned for Compos Mentis
Tabel 80 Manifestasi Klinis Lesi Pada Sistem Motorik
0 0 0 0 Gerakan Refleks
Level Kelemahan Tonus Trof1 Fasikulasi Ataks1a Refleks b 0
N atau
Tremor
Serebelum Hipotonus N + pendu-
intensi
Jar
:0
0
· ' "' · SI.DJ;\Qld
(!
. *"
·~~--.
Scanned for Compos Mentis
Daftar Pustaka
1. Campbel WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2005.
2. Biller J, Gruener G, Brazis PW. Examination of the somatic motor system (excluding cranial
nerves). Dalam: Biller J, Gruener G, Brazis PW,editor. DeMyer's the neurologic examination.
Edisi ke-7. McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2016 h. 229-306.
3. Waxman SG. Clinical Neuroanatomy. Edisi ke-28. New York: Mc-Graw Hill;2017.
4. Baehr M, Frotscher M. Motor system. Dalam: Baehr M, Frotscher M, editor. Duus'topical
diagnosis in neurology. Edisi ke-5. Stuttgart: Thieme; 2012. h. 31-73.
Keluhan terkait gangguan sistem sensorik yang dialami oleh pasien bersifat sangat
subjektif. Pasien mengungkapkan keluhannya dalam berbagai ungkapan yang
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan budaya daerahnya. Sehingga gangguan
sistem sensorik pasien bisa tergambarkan secara jelas atau sebaliknya tidak
terbayangkan sama sekali oleh dokter pemeriksa. Oleh karena itu, pemeriksaan
sistem sensorik sangat diperlukan untuk mengurangi unsur subjektivitas ini.
Anatomi
Sistem sensorik di tubuh man usia terdiri dari reseptor, serabut saraf aferen, dan otak.
Setiap reseptor memiliki fungsi sesuai modalitas sensorik, misalnya sensasi nyeri, suhu,
raba, dan proprioseptif. Informasi yang telah diterima reseptor akan diteruskan oleh
sera but saraf aferen (neuron ordo 1) hingga bersinaps di medula spinalis (Gam bar 1).
128
Scanned for Compos Mentis
Korpuskula
Pacini \
Muscle
spind:e
Divisi med ial
dari radiks dorsa lis
Fasikulus gracilis
Fasikulus kutaneus
Korpuskula
takti l
Meissner I •, Traktus
spinotalamikus
ventral
Divisi lateral da ri
ra diks dorsal
Pemeriksaan
Pasien dengan gangguan sistem sensorik biasanya mengeluhkan fenomena negatif
(rasa baal, tebal, dan kebas) atau fenomena positif (kesemutan, nyeri ditusuk-tusuk,
ditarik-tarik, dan rasa kesetrum).
129
Scanned for Compos Mentis
Dengan anamnesis yang lebih mendalam, pasien dapat mendeskripsikan gejalanya
dengan lebih seksama, misalnya "terasa seperti ditusuk-tusuk jarum", "kulit terasa
terlalu kencang", "ada rasa seperti tersengat listrik", "kulit terasa tebal di bagian jari-
jari kaki", dan lain sebagainya.
Gejala tersebut kemudian ditentukan distribusi dan penjalarannya, misalnya pada
bahu hingga lengan atas, pada jari-jari tangan, dan lain-lain. Daerah distribusi
dermatom dan sarafperifer serta penjalaran tersebutperlu diketahui dengan seksama
agar dapat dipantau perubahan selanjutnya (Gambar 2 dan 3).
~ n. oftalmlkus //~
C2
' _
1
- • ."~ n. maksitaris j n. trlgermlna11 / C2
C3 ~ - n. mandloolaris ~ C3
~ ~
./
C6
C7
ce
L1
S5
L2
S4
S3 L3
52 L4
S1 L5
130
Scanned for Compos Mentis
n. ulgotmlnalls n.. oksioh~ l major
C2-C3 '?(
n. olcaipllal minor (
C2
n. auflkular C'2~b~
n. et!rvlkalls
tr&nSWtsut
C2-C3
n.
f------ n. foma<•lis - - - - - -.Ir--a
n. petQneus (fibular) komunls - - - --a
n. perane<Js (flbolor) ouperfislol
Ada beberapa hal yang perlu diingat agar pemeriksaan sensorik dapat dikerjakan
dengan efektif. Pertama-tama, pasien harus diinformasikan mengenai deskripsi
singkat pemeriksaan, meliputi tujuan, alat yang digunakan, dan bentuk stimulus yang
akan diberikan, misalnya raba hal us, nyeri, suhu, atau getaran. Selanjutnya, pemeriksa
sebaiknya mendemonstrasikan stimulus yang akan diberikan kepada pasien sebelum
pemeriksaan yang sebenarnya.
Pemeriksaan sensorik sangat bergantung kepada atensi dan respons verbal pasien.
Oleh karena itu, pasien sebaiknya menutup mata selama pemeriksaan berlangsung.
Pemeriksaan sensorik juga sebaiknya tidak dilakukan pada pasien yang Ielah a tau sesak
napas, sehingga dapat mengaburkan hasil pemeriksaan. Bila pemeriksaan ini harus
131
Scanned for Compos Mentis
dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran atau yang tidak kooperatif, maka
pemeriksaan sensorik hanya terbatas pada yang tidak membutuhkan respons verbal
misalnya refleks kornea atau penilaian respons ketika diberi stimulus nyeri.
Untuk mencapai suatu diagnosis, stimulus dapat diberikan beberapa kali pada segmen
dermatom atau distribusi kutaneus saraf perifer yang berbeda-beda. Hal ini kadang
menjadi kendala bagi pemeriksa yang belum berpengalaman karena pemeriksaan
akan berjalan lama dan tidak efisien. Algoritma pada Gambar 4, dapat menjadi
panduan dalam menentukan langkah-langkah pemeriksaan sensorik.
Lesi medullas~
Lesi t"lamus
Lesi kapsula
intema
132
Scanned for Compos Mentis
Tentunya pendekatan dalam melakukan pemeriksaan sensorik sangat dipengaruhi
oleh informasi yang didapat dari anamnesis . Pasien yang mengeluhkan gangguan
sensorik pada sesisi tubuh (hemihipestesi) akan mengindikasikan lesi di
intrakranial. Oengan demikian pemeriksaan sensorik yang dilakukan adalah
dengan membandingkan antara sisi tubuh kiri dan kanan dengan beberapa jenis
stimulus. Lain halnya jika dari anamnesis didapatkan keluhan sensorik pada kedua
tungkai dengan batas yang cukup jelas. Misalkan seseorang dengan riwayat trauma
mengeluhkan rasa baa! pada kedua tungkainya dari batas pusar hingga ke bawah.
Pada kasus ini tentunya pemeriksaan sensorik dilakukan dengan membandingkan
antara area tubuh bagian atas dan bawah hingga didapatkan batas (level)
sensoriknya pada tingkat dermatom tertentu . Pendekatan ini juga akan berbeda
apabila didapatkan keluhan yang mengarah kepada neuropati perifer. Seorang
penyandang diabetes mellitus (OM) dapat mengeluhkan kesemutan atau baa!
terutama pada jari-jari tangannya. Pemeriksaan sensorik pada kasus ini dilakukan
dengan membandingkan area distal dan proksimal. Pada kasus neuropati OM
umumnya gangguan sensorik lebih berat pada bagian distal. Contoh-contoh ini
menunjukkan pentingnya anamnesis untuk membantu pemeriksa dalam melakukan
pemeriksaan yang terarah .
Pada bab pemeriksaan sensorik yang akan dibahas meliputi eksteroseptif (raba
hal us, nyeri, suhu), proprioseptif (posisi, vibrasi), dan fungsi sensorik serebral. Setiap
pemeriksaan tersebut menggunakan alat periksa yang mempunyai karakteristik
stimulus tertentu, misalnya kapas untuk stimulus raba halus, sedangkan tusuk gigi
dapat digunakan untuk stimulus nyeri. Oengan demikian, pemilihan alat periksa
harus tepat sesuai modalitas sensorik yang ingin dinilai. Setiap manuver berikut ini
harus dikerjakan setelah pemeriksa memperhatikan prasyarat yang telah dijelaskan
sebelumnya di bab ini.
133
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Raba Halus
Alat periksa yang bisa digunakan berupa gumpalan kapas, kertas tisu, bulu, sikat
lembut, atau bahkan sentuhan yang sangat halus dari ujung jari. Pasien diminta untuk
menutup mata. Pemeriksa menyentuh kulit pasien dengan alat periksa pada beberapa
area kulit dan meminta pasien untuk membandingkan sensasi yang dirasakan pada
area-area tersebut. Stimulus yang diberikan sebaiknya memiliki intensitas yang sama.
1:J4
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Vibrasi
Alat periksa yang dipakai adalah garpu tala 128Hz atau 256Hz. Pemeriksa memegang
garpu tala pada bagian tangkainya (Gambar 5). Cara menggetarkan garpu tala adalah
dengan mengetukkannya ke sisi ulnar telapak tangan pemeriksa. Ujung tangkai garpu
tala ditaruh di area-area tonjolan tulangjsendi (Gam bar 6). Pasien diminta merasakan
getaran garpu tala (bukan merasakan sentuhan garpu tala) dan bila sudah tidak teras a
lagi pasien diminta mengatakan "ya". Pemeriksa merasakan getaran garpu tala yang
dipegangnya, apabila pemeriksa masih merasakan getaran garpu tala lebih dari 10
detik maka rasa vibrasi pasien dianggap tidak normal. Apabila pasien tidak merasakan
getaran garpu tala, pindahkan garpu tala ke sendi yang lebih proksimal atau sendi
homolog kontralateral. Minta pasien membandingkan keduanya. Pemeriksaan dapat
dilakukan pada beberapa tempattonjolan tulang, yaitu sendi interfalangeal proksimal
ibu jari kaki, sendi metatarsofalangeal, maleolus medial, tuberositas tibia, spina iliaka
anterior superior, ujung jari tangan, sendi interfalangeal, sendi metakarpofalangeal,
pergelangan tangan, siku, dan bahu.
135
Scanned for Compos Mentis
Gambar 6. Cara Meletakkan Ujung Garpu Tala pada Metatarsal lbu Jari Kaki.
a b
Gambar 7. Pemeriksaan Proprioseptifpada Ekstremitas Atas (a) dan Bawah (b)
136
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Sensasi Tekanan
Pemeriksaan sensasi tekanan dilakukan dengan menekan kulit hingga ke struktur
yang lebih dalam (otot, tendon, dan saraf) dengan menggunakan jari pemeriksa a tau
benda tumpul. Pada keadaan normal, pasien dapat merasakan dan melokalisasi
tekanan tersebut.
Tes Romberg
Sistem sensorik proprioseptif dapat juga dinilai dengan melakukan tes Romberg.
Teknik ini dapat dilihat pada bab Pemeriksaan Keseimbangan dan Koordinasi.
I. Diskriminasi 2 Titik
Alat pemeriksaan yang digunakan adalah kaliper atau klip kertas yang dibentuk
menjadi hurufV. Pemeriksaan ini bertujuan untuk membedakan stimulasi 1
137
Scanned for Compos Mentis
atau 2 titik pada area kulit. Area yang dapat diperiksa meliputi wajah, ujung jari,
telapak tangan, dan daerah tulang tibial. Batas normal jarak diskriminasi 2 titik,
antara lain: ujung lidah lmm, bibir 2-3mm, ujung jari 2-4mm, dorsum falang
4-6mm, plantar manus 8-12mm, dorsum manus 20-30mm, dorsum pedis 30-
40mm, wajah 2-Smm; ujung jari 3-6mm; telapak tangan 10-15mm. Jika pasien
hanya dapat membedakan 2 titik dengan jarak yang lebih Iebar dari nilai normal,
maka hal ini mengindikasikan adanya gangguan di lobus parietal.
II. Stereognosis
Stereognosis adalah kemampuan pasien untuk mengidentifikasi bentuk benda
dengan cara menyentuh benda terse but. Pemeriksaan ini baru dapat dinilai secara
bermakna bila sensasi raba, nyeri, suhu, dan vibrasi pada tangan seluruhnya
dalam batas normal. Tangan juga sebaiknya tidak mengalami kelemahan motorik,
sehingga benda terse but dapat dimanipulasi dan digerak-gerakkan.
Pasien dalam keadaan mata tertutup diberikan sebuah benda yang umum
ditemukan sehari-hari (kunci, koin, tutup botol) di salah satu tangan. Pemeriksa
meminta pasien mengenali benda tersebut dan menyebutkan namanya. Bila
pasien tidak dapat mengenali, maka benda tersebut dipindahkan ke tangan
lainnya. Bila pasien tetap tidak bisa mengenali, maka pasien dapat diminta untuk
membuka matanya lalu mengenali benda tersebut. Pasien yang dapat mengenali
benda dengan melihat, tetapi tidak dengan meraba, disebut astereognosis.
138
Scanned for Compos Mentis
IV. Stimulasi Ganda Secara Simultan (Atensi Sensorik)
Bagian tubuh yang homolog disentuh secara simultan, misalnya kedua tangan
disentuh bersamaan secara halus. Pasien diminta untuk menjawab sisi tubuh
mana yang disentuh. Pemeriksaan juga bisa dilakukan dengan menggunakan
tusuk gigi untuk membandingkan sensasi tajamjtumpulnya antara kedua sisi
tubuh. Pasien dengan lesi lobus parietal tidak dapat mengidentifikasi rabaan pada
sisi tubuh kontralaterallesi pada saat disentuh secara bersamaan. Fenomena ini
disebut sensory extinction / sensory inattention/ neglect.
139
Scanned for Compos Mentis
Melalui pemeriksaan sensorik pemeriksa dapat menentukan area tubuh yang
memiliki fungsi sensorik abnormal baik dalam distribusi dermatom, kutaneur saraf
perifer maupun berdasarkan letak lesi lainnya (Gambar 8-10) . Dengan demikian,
letak lesi dan kemungkinan penyebabnya dap at diidentifikasi (Tabel 2) .
140
Scanned for Compos Mentis
a b c d
e f g h
141
Scanned for Compos Mentis
a b c
Gam bar 9. Distribusi Gangguan Sensorik yang Umum Terjadi Pada Saraf Perifer di Tangan
(a) SarafMedianus, (b) Radialis, dan (c) Ulnaris
Warna Abu-abu menunjukkan daerah inervasi yang paling umum, dengan variasi
daerah inervasi yang lebih sempit (garis putus-putus dalam) atau lebih luas (garis
putus-putus luar)
rkl n1 IV
Tru~
Inferior
pleksui
br klalls
nbla s
anterior
Gam bar 10. Distribusi Gangguan Sensorik Sesuai Lesi Saraf Peri fer (Warna Lebih Gelap =
Abnorma l)
142
Scanned for Compos Mentis
Daftar Pustaka
1. Rohkamm R. Color atlas of neurology. Stuttgart: Thieme; 2004.
2. Schwartzman RJ. Neurologic examination. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2008.
3. Ross RT. How to examine the nervous system. Edisi ke-4. New Jersey: Humana Press Inc; 2006.
4. Goldberg S. The 4-minute neurologic exam. Florida: MedMaster.1987.
5. Biller J, Gruener G, Brazis PW. The patient's mental status and higher cerebral functions.
Dalam: Biller J, Gruener G, Brazis PW, editor. DeMyer's the neurologic examination. Edition
ke-6. McGraw-Hill Medical Pub; 2011. h. 439-0
6. Fuller G. Neurological examination made easy. Edisi ke-5. Gloucester: Elsevier; 2013.
7. Campbell WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott
Willian & Wilkins; 2012. h. 517,542
8. Ropper AH. Adams and Victor's principles of neurology. New York: McGraw-Hill Medical
Pub. Division; 2005.
.I
Anatomi
Sistem vestibular tersusun atas komponen perifer dan sentral. Sistem vestibular
perifer berfungsi untuk mendeteksi dan menghantarkan informasi tentang gerakan,
posisi kepala dan efek gaya gravitasi. Sistem vestibular perifer ini juga akan
mempengaruhi tonus otot. Reseptor keseimbangan terletak di telinga dalam dekat
dengan koklea. Dikenal 2 macam reseptor keseimbangan yaitu makula statika yang
berfungsi menghantarkan impuls statik yang berhubungan dengan gaya gravitasi dan
gerakan kepala. Makuta statika terletak di dalam utrikulus dan sakulus. Sedangkan
reseptor untuk impuls kinetik adalah krista ampularis yang terletak pada ampula
yang merupakan pangkal dari ketiga sirkulus semisirkularis.
Dari reseptortersebutimpuls keseimbangan akan dihantarkan ke ganglion vestibularis
atau ganglion Scarpa yang terletak dalam meatus akustikus internus. Dari ganglion
Scarpa, nervus vestibularis diproyeksikan ke nukleus vestibularis yang terletak pada
bagian dorsal pons dan medula di dekat lantai ventrikel 4. Nukleus vestibularis akan
mengintegrasikan sinyal dari organ vestibular perifer, medula spinalis, sere bel urn dan
sistem visual (Gambar 1).
144
Scanned for Compos Mentis
Sistem vestibular perifer
Utrikulus dan sakulus (Makula statika) Sistem visual Proprioseptif
Kanalis semisirkularis (Krista ampularis)
Serebelum Talamus
(integrasi dan
modulasi)
Nukleus vestibularis
Korteks
Vestibularis
••
Gambar 1. Sistem Vestibularis
145
Scanned for Compos Mentis
Vertigo vestibular sendiri dapat diakibatkan oleh gangguan pada sistem vestibular
perifer maupun sentral. Keduanya memiliki perbedaan gejala dan tanda. Vertigo
vestibular perifer umumnya memiliki onset yang akut, disertai gejala mual dan
muntah yang be rat serta seringkali disertai gangguan pendengaran. Pada pemeriksaan
fisik tidak didapatkan defisit neurologis. Berbeda dengan tipe perifer, pada vertigo
vestibular tipe sentral onset umumnya gradual kecuali vertigo yang disebabkan
oleh stroke. Gejala mual dan muntah bisa bervariasi namun biasanya tidak seberat
tipe perifer. Gangguan pendengaran jarang ditemui. Pada pemeriksaan fisik akan
didapatkan defisit neurologis.
Manifestasi klinis lainnya dari gangguan sistem vestibular adalah gangguan cara
berjalan atau gait. Gait yang abnormal tidak hanya disebabkan oleh gangguan
sistem vestibular tetapi juga gangguan pada serebelum, sistem piramidal
maupun ekstrapiramidal. Gait juga dipengaruhi oleh sistem kardiopulmonal dan
muskuloskeletal. Gangguan gait akan dibahas bersamaan dengan teknik pemeriksaan
gait berikut.
Pemeriksaan
Pemeriksaan Gait
Siklus berjalan normal terdiri atas 2 fase yaitu fase berdiri dan fase berayun. Fase
berdiri terbagi lagi menjadi 4 fase yaitu, kontak inisial, pembebanan, berdiri dan akhir
berdiri. Sedangkan fase berayun terdiri atas, pra-berayun, berayun inisial, berayun
dan akhir berayun (Gambar 2).
146
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan gait meliputi cara pasien duduk tanpa dibantu, berdiri dari posisi
duduk, postur tubuh, cara berdiri ( rentang kaki), inisiasi berjalan, cara berjalan, Iebar
langkah, cara mengangkat kaki, kecepatan, ayunan Iengan,Jreezing dan cara berputar.
Pasien dengan gangguan serebelum akan memperlihatkan gait yang tidak seimbang,
tampak goyah dan canggung serta rentang kaki umumnya Iebar. Pasien juga tampak
berayun baik ke de pan, belakang maupun sam ping. Gerakan tungkai juga tidak teratur
dengan hentakan kaki saat melangkah yang bervariasi. Pasien ummnya tidak mampu
berjalan mengikuti garis lurus (tandem gait). Selama gerakan dapat terlihat tremor
dan osilasi. Ataksia serebelar akan terlihat baik pada kondisi mata terbuka maupun
tertutup.
Pad a gangguan proprioseptif pad a pemeriksaan dapat ditemukan gait ataksia sensori.
Gangguan proprioseptif mengakibatkan pasien tidak dapat menentukan posisi
ekstremitas bawah ataupun seluruh tubuhnya kecuali dengan bantuan visual (mata
terbuka ). Gangguan gait akan semakin terlihat apabila pasien berjalan di tempat gelap
atau diminta menutup matanya. Sehingga pada saat berjalan pasien terlihat sangat
berhati-hati. Mata pasien tertuju ke kedua kaki selama berjalan. Pada saat berjalan
pasien akan mengangkat tungkainya tinggi-tinggi kemudian seolah melempar
kakinya ke lantai dengan kuat untuk meningkatkan stimulus ke sistem proprioseptif.
Tumit akan mencapai lantai terlebih dahulu baru kemudian jari-jari kaki. Gerakan ini
menimbulkan suara double-tap.
Lesi yang mengenai jaras kortikospinal juga dapat menyebabkan gangguan berjalan
berupa gait hemiparesis spastik. Pasien akan berdiri dengan postur hemiparesis,
lengan fleksi, aduksi, rotasi internal dan tungkai ekstensi. Pada saat berjalan ayunan
tangan tidak ada atau minimal. Tungkai tetap ekstensi dan kaku sehingga saat
melangkah tungkai akan diseret. Pelvis pada sisi paresis akan dimiringkan lebih
tinggi sebagai usaha untuk mengangkat tungkai yang kaku tersebut. Pasien akan
mengayunkan tungkainya dengan gerakan semisirkular dengan sumbu pada pelvis
(sirkumduksi).
Pasien dengan miopati seperti pad a penyakit distrofi muskular, memiliki pol a berjalan
yang disebut waddling gait. Pasien berjalan dengan rentang kaki yang Iebar, tampak
rotasi pelvis yang berlebihan dan pinggul diayunkan dari satu sisi ke sisi lainnya
pada setiap langkah untuk memindahkan beban tubuh. Umumnya pasien mengalami
147
Scanned for Compos Mentis
kesulitan untuk berdiri dari posisi berbaring dan harus bertumpu pada lutut dan
pahanya (tanda Gower) (Gambar 3).
Pemeriksaan Keseimbangan
I. Pemeriksaan Romberg
Pemeriksaan Romberg bertujuan terutama untuk mendiagnosis ataksia sensorik
dan mengetahui abnormalitas proprioseptif. Pemeriksaan Romberg hanya dapat
dilakukan pada pasien yang tidak memiliki kelemahan motorik pada ekstremitas
bawah, memiliki visus yang baik dan kooperatif selama pemeriksaan. Sebaiknya
selama pemeriksaan pasien tidak memakai alas kaki.
148
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan Romberg dipertajam.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta pasien berdiri dengan kedua
kaki berada pada 1 garis, ibu jari kaki berada di belakang tumit kaki lainnya.
Kedua lengan menyilang di dada dengan telapak tangan menghadap bahu
yang berlawanan. Pasien diminta melihat jauh ke depan. Lakukan pengamatan
dalam kondisi mata terbuka selama 20 detik. Kemudian lakukan pengamatan
yang sama dengan mata pasien tertutup selama 30 detik. Selama pemeriksaan
pemeriksa berada di dekat pasien dengan kedua lengan terjulur ke depan dan
tidak menyentuh pasien (Gambar 5).
Pasien gemuk dan lanjut usia akan mengalami kesulitan berdiri pada posisi
ini dalam jangka lama. Pada populasi ini agak sulit menginterpretasikan hasil
pemeriksaan Romberg dipertajam. Pemeriksaan Romberg dipertajam dengan
mata tertutup atau Eyes Closed Tandem Romberg (ECTR) lebih sulit. Pada
pemeriksaan ini akan menghilangkan input proprioseptif. Ketika dikombinasi
dengan mata tertutup, maka tinggal tersisa input vestibular. Oleh karena itu pada
pasien dengan gangguan vestibular bilateral berat tidak akan mampu melakukan
ECTR dalam waktu enam detik.
Interpretasi hasil pemeriksaan Romberg ditentukan dari kemampuan pasien
mempertahankan keseimbangan. Pasien dikatakan tidak dapat mempertahankan
keseimbangan apabila terhuyung dan kaki berubah posisi (untuk mencegah
dirinya jatuh) atau hila pasien benar-benar jatuh. Apabila pasien tidak dapat
mempertahankan keseimbangan sejak awal pemeriksaan Romberg dilakukan,
yaitu saat masih dengan mata terbuka maka kemungkinan terdapat gangguan
pada serebelum. Sedangkan apabila pasien masih dapat mempertahankan
keseimbangan dengan mata terbuka namun terjatuh dengan mata tertutup maka
kemungkinan letak lesi ada pada jaras proprioseptif.
Pada pasien dengan gangguan keseimbangan organik umumnya ibu jari kaki akan
fleksi seolah berusaha menggenggam lantai. Sedangkan pada pasien histrionik
posisi ibu jari kaki umumnya ekstensi
150
Scanned for Compos Mentis
vestibular umumnya akan berdeviasi ke arah lesi. Akan tetapi interpretasi hasil
pemeriksaan FST perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan keseimbangan dan
neurologis lainnya. Deviasi juga dapat ditemukan pada orang normal yang tidak
memiliki keluhan gangguan keseimbangan.
151
Scanned for Compos Mentis
Gam bar 7. Past Pointing Test
PPT dikatakan positif bila lengan pasien mengalami deviasi dari target (jari
pemeriksa) dan arah deviasi konsisten pada beberapa kali pengulangan. Pada
gangguan vestibular akut, sisi labirin yang normal akan mendorong lengan ke
arah sisi abnormal sehingga jari pasien tidak tepat mengenai targetnya. Deviasi
ini dapat ditemukan pada kedua lengan dengan arah yang sama. Sedangkan pada
vestibulopati setelah fase kompensasi terlewati, past pointing test akan negatif.
Pada gangguan serebelum lengan ipsilateral lesi akan mengalami ataksia dan
inkoordinasi. PPT hanya terganggu pada lengan ipsilaterallesi.
152
Scanned for Compos Mentis
Gangguan pada serebelum tidak menyebabkan kelemahan akan tetapi akan
mempengaruhi gerakan.
Pasien dengan gangguan serebelum biasanya mengeluhkan tremor, inkoordinasi,
kesulitan berjalan (Bait ataksia serebelum) juga kesulitan berbicara (disartria). Pada
pemeriksaan dapat ditemukan nistagmus, hipotonia juga dismetria.
Berikut ini akan dibahas beberapa teknik pemeriksaan serebelum yang meliputi tes
telunjuk hidung, tes tumit lutut, rapid alternating movement dan fenomena rebound.
Pemeriksaan koordinasi hanya dapat diinterpretasikan dengan baik pada pasien yang
tidak memiliki kelemahan pada ekstremitas yang akan diperiksa. Pemeriksa juga
perlu meyakinkan terlebih dahulu bahwa pasien memahami prosedur pemeriksaan
yang akan dilakukan.
I. Tes Telunjuk Hidung
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan pasien pada posisi duduk, berbaring
maupun berdiri. Pemeriksa memposisikan jari telunjuknya di depan pasien.
Pasien diminta mengekstensikan lengannya dengan jari telunjuk ekstensi
dan menyentuhkan ujung jari telunjuk tersebut pada jari telunjuk pemeriksa.
Kemudian pasien diminta menyentuhkan ujung jari telunjuknya ke ujung
hidungnya. Gerakan ini dilakukan beberapa kali. Pemeriksa dapat mengubah
letak jari telunjuknya pada berbagai kuadran, perlahan lalu cepat. Jarak jari
telunjuk pemeriksa dengan pasien juga dapat diubah-ubah dari dekat ke semakin
jauh (Gambar 8).
Perhatikan kehalusan gerakan, akurasi dan tremor yang terlihat. Apabila terdapat
tremor intensi, umumnya akan semakin terlihat pada saat jari pasien bergerak
semakin dekat dengan target.
Pada pasien dengan dismetria gerakan jari akan terhenti sebelum mencapai target
kemudian akan bergerak lagi berusaha mencapai target dengan gerakan perlahan
yang tidak stabil (hipometri). Pada hipermetri gerakan jari akan melampaui
target dengan kecepatan dan kekuatan yang berlebihan. Temuan dismetri akan
konsisten pada beberapa kali pengulangan.
Pada gangguan serebelum lengan ipsilateral lesi akan mengalami ataksia dan
inkoordinasi. Tes tunjuk hidung hanya terganggu pada lengan ipsilaterallesi.
Pasien dengan gangguan serebelum akan mengangkat kakinya lebih tinggi dan
gerakan terlihat lebih kasar dan tidak akurat. Tremor intensi juga dapat terlihat
pada pemeriksaan ini. Pada gangguan serebelum tungkai ipsilateral lesi akan
mengalami ataksia dan inkoordinasi.
154
Scanned for Compos Mentis
teknik pemeriksaan RAM yang dapat dilakukan baik pada ekstremitas atas
maupun ekstremitas bawah. Pada bab ini hanya akan dibahas pemeriksaan RAM
pada ekstremitas atas.
155
Scanned for Compos Mentis
Pad a fungsi serebelum yang normal pasien dapat segera mengendalikan kontraksi
lengannya sehingga tidak menghantam wajahnya. Pacta lesi di serebelum
pasien tidak dapat mengendalikan kontraksi lengannya sehingga lengan
dapat menghantam wajahnya. Hal ini terjadi akibat gangguan pacta hubungan
resiprokal antara otot agonis dan antagonis sehingga pacta saat resistensi
dihilangkan mendadak pacta otot antagonis, otot agonis tidak dapat merespons
dan menahannya dengan cepat.
Daftar Pustaka
1. Campbel WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2005.
2. Biller J, Gruener G, Brazis PW. Examination for cerebellar dysfunction. Dalam: Biller J,
Gruener G, Brazis PW, editor. DeMyer's the neurologic examination. Edisi ke-7. McGraw-
Hill Medical Publishing Division; 2016.Zhang YB, Wang WQ. Reliability of the Fukuda
stepping test to determine the side of vestibular dysfunction . Journal of International
Medical Research. 2011;39(4):1432 -7.
3. Van-Gerpen JA. Office assessment of gait and station. Semin Neural: Thieme Medical
Publishers. 2011:31(1):078-84.
4. Johnson BG, Wright AD, Beazley MF, Harvey TC, Hillenbrand P, lmray CH. The sharpened
Romberg test for assessing ataxia in mild acute mountain sickness. Wilderness &
environmental medicine. 2005;16(2):62-6.
156
Scanned for Compos Mentis
PEMERIKSAAN SISTIM SARAF OTONOM
Taufik Mesiano, Trianggoro Budisulistyo, Corry Novita Mahama
Sistem saraf otonom adalah sistem saraf yang mengontrol otot palos dan kelenjar.
Sistem ini mengendalikan berbagai fungsi organ dan jaringan di dalam tubuh
termasuk otot jan tung, otot palos pembuluh darah, dan kelenjar endokrin. Sistem saraf
otonom mengatur berbagai fungsi vital manusia seperti respirasi, sirkulasi, digesti,
penyesuaian suhu, dan metabolisme. Bersama dengan sistem endokrin, sistem saraf
otonom berperan memelihara homeostasis tubuh. Kontrol yang dilakukan oleh sistem
ini berlangsung sangat cepat dan terse bar luas karena satu akson preganglionik dapat
bersinaps dengan beberapa neuron post-ganglionik, sedangkan kontrol endokrin
berlangsung lebih lambat dan memberikan pengaruhnya melalui harmon yang
bersirkulasi dalam aliran darah.
Sistem saraf otonom terdiri dari 3 divisi yaitu divisi simpatis (torakolumbal),
parasimpatis (kraniosakral), dan enterik. Fungsi otonom berada di luar kontrol
volunter dan sebagian besar tidak disadari. Divisi simpatis dan parasimpatis memiliki
perbedaan anatomis, neurotransmiter serta efek fisiologis. Kedua divisi ini bekerja
sama untuk mempertahankan keseimbangan suasana internal (Gambar 1).
157
Scanned for Compos Mentis
parasimpatis, terjadi perlambatan denyut jantung/bradikardi, bronkokonstriksi,
peningkatan motilitas usus, kontraksi otot detrusor vesika urinaria, relaksasi otot palos
sfingter, peningkatan aktivitas kelenjar (salivasi dan lakrimasi), serta ereksi.
Anatomi
Sistem saraf otonom terdistribusi ke seluruh susunan saraf pusat (SSP) dan tepi.
Sistem ini mensuplai persarafan ke organ dalam seperti pembuluh darah, lambung,
usus, hati, ginjal, kandung kemih, alat kelamin, paru, pupil, otot mata, jantung, serta
kelenjar keringat, Judah, dan pencernaan.
Sistem saraf otonom mempunyai neuron aferen, konektor dan efektor. Impuls aferen
yang berasal dari reseptor viseral berjalan melalui jaras aferen ke SSP, tern pat impuls
tersebut diintegrasikan melalui neuron konektor di berbagai tingkat yang kemudian
berjalan melalui jaras eferen ke organ efektor viseral.
Reseptor vis era! terdiri dari kemoreseptor, baroreseptor, dan osmoreseptor. Reseptor
nyeri terdapat di viseral dan jenis stimulasi tertentu - seperti kekurangan oksigen
atau regangan - dapat menimbulkan nyeri hebat.
~
.::.:. ·~
·.: 0
0 .'!:::::
-LJ
Akson preganglion <0-
-.r:.
dengan miefin "' c:
angtlpis E ·-
·-"'
Ci5S
tO
pad a
neurotrans
miner dan
reseptor
Akson pregaOQiion pada organ
dengan miefln ACh Akson postganglion
yang tipis tanpamlelin e%~~r
Gam bar 1. Perbandingan Sistem Saraf Somatik dengan Sistem Saraf Otonom
158
Scanned for Compos Mentis
Serabut aferen sistem saraf otonom membawa sensasi yang disadari dan tidak
disadari dari viseral umum. Serabut kecil bermielin dan tak bermielin membawa
impuls dari reseptor viseral menuju badan sel di radiks dorsal dan ganglia saraf
kranial. Aferen viseral yang memasuki medula spinalis bersinaps di kornu dorsal dan
kolumna grisea intermediolateral. Sensasi dari viseral berjalan terutama di traktus
spinotalamik dan spinoretikular, tetapi beberapa aferen viseral, terutama yang
berkaitan dengan kontrol usus dan kandung kemih dibawa melalui kolumna posterior.
Sesudah bersinaps di talamus, serabut sensori viseral berproyeksi ke area korteks
yang terlibat dalam fungsi otonom. Serabut otonom aferen di nervus vagus bersinaps
di ganglion nodosa dan sebagian di ganglion petrosal nervus glosofaringeus. Aferen
vagal mentransmisikan impuls dari jantung, pembuluh darah, paru-paru dan saluran
cerna; aferen glosofaringeus membawa informasi dari sinus karotis. Aferen tersebut
bersinaps di nukleus traktus solitarius dan terlibat dalam refleks otonom.
Serabut eferen sistem saraf otonom tersusun oleh neuron preganglionik (tingkat
pertama) di dalam SSP yang berakhir di ganglion di luar SSP dan neuron post-
ganglionik (tingkat kedua) yang membawa impuls menuju tujuannya di viseral.
Badan sel neuron preganglionik terletak pada kolumna lateral substansia grisea
medula spinalis dan di dalam nukleus motorik nervus kranialis III, VII, IX, dan
X. Badan sel akson ini bersinaps dengan badan sel neuron post-ganglionik yang
berkumpul bersama dan membentuk ganglion di luar SSP (Gambar 2).
Lam bung
Pleksus
mesenterika
superior
Pleksus
renal is
Kolon
Nervus
splanikus
minor
Korda spinalis /
Ganglia
vertebra lis
(trunkus
simpatetik) Kandung kemih
Pleksus
hiJ?oga.strik
mfenor
...,..__ __ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ Uretra
Divisi Parasimpatis
Divisi parasimpatis terdiri atas serabut eferen viseral umum nervus kranial III, VII,
IX, X, dan bagian bulbar nervus XI (cabang kranial), bersama dengan sera but yang
be rasa! dari segmen S2-S4 medula spinalis (cabang spinal). Divisi parasimpatis
berjalan terpisah-pisah, tetapi karena karakteristik anatomi, kesamaan fungsi dan
respon farmako logi yang sama, mereka diklasifikasikan sebagai satu sistem.
160
Scanned for Compos Mentis
Serabut parasimpatis sakral muncul dari kolumna intermediolateral level S2-S4,
berjalan melalui nervus sakralis dan berkumpul di nervus splangnikus pelvik (nervi
erigentes), yang menuju ke pleksus pelvik dan cabang-cabangnya. Beberapa serabut
saraf preganglion berjalan dari pleksus ini menuju viseral pelvis, tetapi kebanyakan
serabut preganglion berlanjut ke ganglion kecil di atau de kat viseral, di mana serabut
post-ganglion mensuplai persarafan kandung kemih, kolon desendens, rektum, anus,
dan genitalia.
Divisi Simpatis
Divisi simpatis adalah bagian terbesar sistem saraf otonom yang didistribusikan
secara luas ke seluruh tubuh dan mempersarafi jantung, paru, otot pada sebagian
besar dinding pembuluh darah, folikel rambut dan kelenjar keringat, serta banyak
organ viseral abdominopelvik. Eferen sistem simpatis berjalan melalui medula
spinalis, trunkus simpatikus, pleksus serta ganglion regional.
Serabut preganglion divisi simpatis muncul dari kolumna intermediolateral segmen
Tl-L3 medula spinalis. Serabut tersebut keluar menuju radiks ventral dari saraf
segmental yang berkaitan. Serabut ini berakhir di rantai ganglion paravertebral,
pleksus vertebral dan ganglion kolateral, atau kadang di ganglion terminal. Serabut
post-ganglion selanjutnya menuju ke viseral. Serabut preganglion simpatis biasanya
pendek dan berakhir di ganglion. Satu serabut preganglion bersinaps dengan banyak
neuron post-ganglion (Gam bar 3).
Kulit (otot
Pembuluh arektor pili Organ target
darah dan kelenjar (di abdomen)
keringat)
162
Saraf-saraf
splanknlk
saktal
Gam bar 4. Anatomi Ganglion Lumbosakral dan Ganglion Impar dari Trunkus Simpatikus
Neurotransmiter
Asetilkolin merupakan neurotransmiter pada neuron preganglion simpatis dan
parasimpatis serta neuron post-ganglion parasimpatis. Semua neuron yang
melepaskan asetilkolin pada ujungnya disebut neuron kolinergik. Terdapat 2
tipe reseptor asetilkolin yaitu nikotinik dan muskarinik. Kebanyakan reseptor
asetilkolin post-ganglion adalah muskarinik. Mereka memediasi efek jantung dan
menyebabkan konstriksi pupil, sekresi lakrimal, saliva, bronkokonstriksi, dan ereksi.
Juga menstimulasi motilitas saluran cerna dan menyebabkan pengosongan kandung
kemih dan rektum.
163
Scanned for Compos Mentis
Regulasi Sentral Sistem Saraf Otonom
Regulasi sistem saraf otonom berada di bawah kendali pusat yang lebih tinggi di
korteks serebri, terutama di amigdala, hipotalamus, bagian basal kortikal lobus
frontal, striatum ventral, batang otak, dan medula spinalis. Bagian dari susunan
saraf pusat yang terlibat dalam fungsi otonom disebut sebagai jaringan otonom
sentral. Neuron dari jaringan otonom sentral berhubungan dan membuat suatu unit
fungsional dengan hipotalamus sebagai pusat terpenting.
Pemeriksaan
Gangguan pada sistem saraf otonom memiliki gejala yang bervariasi. Dalam melakukan
anamnesis pemeriksa harus cermat menanyakan berbagai keluhan yang dapat terjadi
termasuk gangguan ortostasik (frekuensi denyut jan tung dan tekanan darah ), gangguan
suhu tubuh, gangguan berkeringat, gangguan lakrimasi, gangguan fungsi saluran
pencernaan dan kandung kemih, gangguan pertumbuhan, serta gangguan fungsi
seksual.
Gangguan fungsi berkeringat dapat berupa anhidrosis atau hipohidrosis. Pasien akan
mengeluhkan area kulit yang lebih keringl kurang berkeringat dibandingkan bagian
tubuh yang lain. Gejala lain meliputi konstipasi, disfagia, mudah kenyang, anoreksia,
diare (terutama malam hari), kehilangan berat badan, disfungsi ereksi, gangguanl
gaga! ejakulasi, ejakulasi retrograd, retensi urin, urgensi berkemih, infeksi saluran
kemih berulang, dan inkontinensia urin atau alvi.
164
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan otonom tidak rutin dilakukan. Namun, pemeriksaan ini dapat
diutamakan pada pasien dengan gambaran fisik umum berupa akromegali,
dwarfisme, dan ketidakseimbangan endokrin atau imaturitas seksual yang mungkin
mengindikasikan abnormalitas hipotalamus, serta kelainan sistemik seperti diabetes
melitus. Pemeriksaan otonom juga harus diperiksa pada pasien dengan kelainan
neurologis tertentu seperti parkinson, lesi medula spinalis, neuropati, tetanus,
sindrom Guillain-Barre, dan multiple system atrophy.
Mengingat sistem otonom yang kompleks, sebenarnya tidak ada satu pemeriksaan
khusus yang dapat merefleksikan fungsi otonom pada cabang spesifik tertentu.
Sebagian besar pemeriksaan mengacu pada uji dasar fungsi otonom kardiovaskular
seperti tes ortostatik dan manuver valsava karena keduanya dapat menilai fungsi
simpatis dan parasimpatis sekaligus.
165
Scanned for Compos Mentis
II. Pemeriksaan Tonus Vagal Jantung
Pemeriksaan tonus vagal jantung meliputi penilaian variabilitas denyut
jantung terhadap manuver valsava atau manuver menarik nafas dalam. Apabila
tidak terdapat variabilitas denyut jantung maka fungsi otonom kemungkinan
mengalami gangguan, apabila terdapat variabilitas, maka fungsi otonom mungkin
normal. Penilaian denyut jantung dapat dilakukan secara manual atau dengan
monitor denyut jan tung/ elektrokardiografi. Variabilitas frekuensi denyut jan tung
berdasarkan usia dapat dilihat pada tabell.
lstirahat 7 7 6 6 5 5 5 4 4 4 3 3
lnspirasi 11 10 9 8 7 6 5 5 4 3 3 2
Valsava 22 20 19 17 16 15 13 12 11 9 9 8
Berdiri 15 13 12 11 9 8 7 6 5 5 4 3
166
Scanned for Compos Mentis
IV. Pemeriksaan Produksi Air Mata
Produksi air mata oleh glandula lakrimalis dapat dievaluasi dengan beberapa
cara. Tes Schirmer dilakukan dengan meletakkan satu strip kertas filter steril di
kantung konjungtiva bawah dan mengukur derajat kebasahan selama 5 menit.
Teknik pemeriksaan ini secara lebih rinci telah dibahas pada subbab nervus
fasialis.
Auditori
Taktil
Lobus
limbik Olfaktori
Gustatori
Memori
lmaginatif
Pusat
ereksi
torako-
lumbar
Ektraseptif
con: stimulasi taktil
pada genitalia
lnteroseptif
Pusat
ereksi Usus
sakral
S2,3,4 Kandung kemih
Nervi splanknlk pelvik
(nervi erigentes)
Vasodilatasi
Peningkata!liran darah
melalui penis
-----------------l• (E
.
REKS1 (f J
.
168
Scanned for Compos Mentis
Cara pemeriksaan:
A. Bagian depan tubuh pasien (di bawah leher) ditaburi dengan tepung yang
mengandung yodium.
B. Pasien berbaring dalam ruangan yang diatur suhunya antara 45-sooc dan
kelembaban 35-40%.
C. Bila perlu, pasien diberikan obat antipiretik untuk mempercepat pengeluaran
keringat.
D. Setelah beberapa lama (30-60 menit, tidak lebih dari 70 menit), ruangan
dibuka dan dicatat bagian tubuh mana yang warna tepungnya tetap putih,
yang menandakan tidak adanya produksi keringat di daerah tersebut.
Penggunaan amilum/ tepung dapat diganti dengan bedak, di mana area tubuh
yang masih diselubungi bedak setelah pasien berkeringat merupakan area yang
abnormal.
Daftar Pustaka
1. Snell RS. Snell's clinical neuroanatomy. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2001.
2. Campbel WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2005.
3. Fuller G. Neurological examination made easy. Edisi ke-3. Gloucester: Churchill
Livingstone; 2004.
4. Janicki TI, Green A, Ialacci S, Chelimsky TC. Autonomic dysfunction in women with chronic
pelvic pain. Clin Auton Res. 2013;23(2):101-3.
5. Illigens BMW, Gibbons CH. Sweat testing to evaluate autonomic function. Clin Auton Res.
2009;19(2):79-87. http:/ fdoi.org/10.1007 fs10286-008-0506-8.
6. Zygmunt A, Stanczyk J. Methods of evaluation of autonomic nervous system function. Arch
med sci. AMS. 2010;6(1):11. : ~·-
7. O'Brien lA, O'Hare PAUL, Corrall RJ. Heart rate variability in healthy subjects: effect of age
and the derivation of normal ranges for tests of autonomic function. Heart. 1986;55(4):
348-54.
Bruit di area leher paling sering terdengar pada daerah bifurkasio arteri karotis, area
karotis komunis proksimal dan fosa supraklavikular. Terdengarnya bruit di area ini
biasanya menunjukkan adanya oklusi pembuluh darah di area tersebut. Bruit juga
dapat terdengar pada pasien dengan sirkulasi hiperdinamik atau pada pasien dengan
peningkatan curah jantung seperti pada pasien dengan hipertiroidisme atau pasien
dalam hemodialisis. Pada anak-anak tanpa oklusi pembuluh darah serta orang tua
dengan aterosklerosis sedang-berat, bruit terkadang dapat terdengar di arteri karotis
ekstrakranial.
Pada oklusi pembuluh darah derajat ringan, biasanya bruit tidak terdengar. Pada
oklusi pembuluh darah yang berat, bruit hanya terdengar lemah karena aliran yang
terbatas pada area oklusi tersebut atau dapat terdengar bruit nada tinggi seperti
bunyi peluit. Bruit paling jelas terdengar pada oklusi pembuluh darah derajat sedang.
Pada oklusi total salah satu arteri karotis, bruit dapat terdengar di arteri karotis
kontralateral dari oklusi. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan aliran pada arteri
kontralateral terse but. Bruit karotis juga dapat terdengar hingga area mastoid.
170
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan
Pemeriksaan Bruit Karotis
Pemeriksaan bruit karotis, diawali dengan melakukan palpasi ringan pada area karotis
untuk mendeteksi adanya thrill. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dalam
posisi berbaring ataupun duduk. Jika pemeriksaan dilakukan pada posisi duduk,
pemeriksa berada di belakang pasien sehingga dapat melakukan palpasi dan auskultasi
secara optimal. Pasien diminta untuk duduk dengan pandangan lurus ke depan dan
pemeriksa melakukan auskultasi di area karotis dengan menggunakan stetoskop
sisi lonceng (bell). Secara simultan, tangan pemeriksa yang lain melakukan palpasi
pada area karotis kontralateral. Pasien kemudian diminta untuk menarik nafas
dalam dan menahan nafas. Manuver ini bertujuan untuk meminimalisasi suara
nafas yang dapat mengganggu pemeriksa mendengarkan suara bruit (Gambar 1).
Bruit arteri karotis interna dapat dibedakan dari bruit arteri karotis eksterna
dengan melakukan beberapa manuver. Kompresi arteri fasialis atau arteri temporalis
superfisialis yang berasal dari arteri karotis eksterna ipsilateral akan menyebabkan
suara bruit arteri karotis interna menjadi bertambah kuat, sedangkan suara bruit
arteri karotis eksterna akan melemah.
Manuver lain untuk membedakan kedua jenis bruit ini adalah dengan meminta pasien
menahan nafas. Dalam keadaan menahan nafas, terjadi peningkatan tekanan
171
Scanned for Compos Mentis
karbon dioksida intra-arterial yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi pembuluh
darah yang akan meningkatkan intensitas bruit karotis interna sekitar 30 persen dan
menurunkan intensitas bruit yang berasal dari arteri karotis eksterna. Intensitas bruit
arteri karotis interna juga dapat meningkat dengan manuver kompresi pacta arteri
karotis komunis kontralateral (Tabell).
Adanya murmur jan tung juga dapat ditransmisikan ke pembuluh darah besar sehingga
terdengar sebagai bruit. Seringkali sulit untuk membedakan bruit karotis dan murmur
jantung. Murmur jantung biasanya akan terdengar lebih jelas saat stetoskop digeser
mendekati prekordial. Selain itu, murmur jantung jarang menjalar hingga ke area
orbital, sedangkan bruit karotis seringkali dapat terdengar di area orbital.
172
Scanned for Compos Mentis
mengurangi tremor dari kelopak mata. Pasien kemudian diminta untuk menahan
nafas dan pemeriksa fokus mendengarkan bruit yang biasanya muncul pacta fase
sistolik siklus kardiovaskular (Gambar 2).
173
Scanned for Compos Mentis
Daftar Pustaka
1. Campbel WW. DeJong's the neurologic examination. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2005.
2. Fuller G. Neurological Examination Made Easy. Edisi ke-3. Gloucester: Churchill
Livingstone; 2004.
3. Kurtz KJ. Bruits and hums of the head and neck. Dalam: Walker HK, Hall WD, Hurst JW,
editor. Clinical methods: the history, physical, and laboratory examinations. Edisi ke-3.
Boston: Butterworths; 1990.
4. Diagnostic: evaluation of the carotid arteries. Health and public policy committee,
American college of physicians. Ann Intern Med. 1988;109(10):835-7.
Pungsi lumbal merupakan salah satu prosedur medis tersering yang dikerjakan di
bidang neurologi. Konsep pungsi lumbal pertama kali diperkenalkan oleh Walter
Essex Wynter pada tahun 1889 yang melakukan pembuatan akses ke ruang subdural
untuk menurunkan tekanan intrakranial pada meningitis tuberkulosis. Pada tahun
1891, Heinrich lrenaeus Quincke menggunakan jarum untuk mengalirkan cairan otak
pada pasien dengan hidrosefalus, serupa dengan tindakan yang saat ini kita sebut
sebagai pungsi lumbal.
Pungsi lumbal adalah tindakan yang aman, tidak mahal, dan sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis. Pada kasus infeksi susunan saraf pusat, organisme penyebab
dapat diidentifikasi dari cairan serebrospinal (CSS). Selain itu uji sensitivitas antibiotik
juga dapat dilakukan dengan materi CSS. Pungsi lumbal juga memiliki manfaat
terapeutik seperti pemberian kemoterapi intratekal pada kasus keganasan dan antin
yeri pada kasus nyeri yang berat. Tindakan ini juga dapat membantu menurunkan
tekanan intrakranial dengan mengeluarkan sejumlah CSS secara berkala seperti pada
kasus meningitis kriptokokus.
Untuk dapat melakukan tindakan pungsi lumbal dengan aman, pemeriksa perlu
menguasai anatomi struktur tulang belakang dan sirkulasi CSS. Memahami indikasi,
kontraindikasi dan teknik yang tepat juga sangat penting untuk menjamin keamanan
tindakan tersebut dan menghindari terjadinya komplikasi. Pungsi lumbal sebaiknya
dikerjakan sedini mungkin, tetapi dengan tetap memperhatikan kondisi pasien dan
prioritas tindakan lainnya yang bersifat menyelamatkan nyawa.
Anatomi
Sesuai dengan namanya, pungsi lumbal merupakan tindakan pengambilan CSS di
daerah vertebra lumbal. Lokasi pungsi lumbal pada orang dewasa umumnya adalah
175
Scanned for Compos Mentis
pada celah intervertebra L3 -L4 atau L4-LS. Titik ini ditentukan dengan garis Tuffier
atau garis imajiner yang menghubungkan spina iliaka anterior superior (SIAS)
kanan dan kiri dan melewati prosesus spinosus vertebra L4 (Gambar 1) . Lokasi ini
dinilai cukup aman karena medula spinalis pada orang dewasa berakhir sebagai
konus med ul aris setinggi vertebra Ll. Pada anak, medula spinalis berakhir pada
level vertebra L2-L3, sehingga lokasi pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pada celah
intervertebra L4-LS.
Perkiraan jarak dari kulit sampai ke ruang epidural adalah 45 -SSmm pada pasien
dengan berat badan yang relatif normal, sedangkan duramater terletak hingga
7mm lebih ke dalam. }arum spinal standar sepanjang 90mm harus dimasukkan dua
pertiganya untuk mencapai ligamentum flavum . CSS akan didapatkan sekitar 10mm
lebih ke dalam. Struktur yang ditembus jarum spinal adalah kulit, jaringan subkutan,
otot, ligamentum supraspinatus, jaringan tebal dari ligamentum infraspinatus, dan
ligamentum flavum, lalu masuk ke rongga epidural sebelum akhirnya masuk ke
rongga subaraknoid dan CSS dapat dialirkan (Gam bar 2).
176
Scanned for Compos Mentis
Ligamen
. - , - - - - - - posterior
- - --.- ,-•.----r- - .'
1
/ ~
• · : longitudinal
;.: ·: : .'
Otot
.:::::.::/
\ ::·>=~y intervertebralis
Ligamen Diskus
supraspinosus
Ligamen
intraspinosus
Ligamentum _ ___l,!,.JI:2::S:~~-::-::n .... ......
.... ··:
~·
..,
Kauda Equina
flavum .
... . .. . ..
... ·.·.'-...·.
:
~~
\ Rongga
··~· ~ subaraknoid
Dura mater
ke duramater
Pleksus
vena vertebralis
internal posterior
Rongga epidural
CSS merupakan cairan yang diproduksi terutama oleh pleksus koroid yang terletak
pada ventrikel lateraL Laju produksi CSS pada keadaan normal sekitar 20mLjjam
atau SOOmLjhari. Melalui keseimbangan proses produksi dan absorpsi, volume total
CSS dipertahankan antara 90-lSOmL. Sebanyak 30mL CSS berada di sistema lumbalis,
sehingga pengambilan lOmL masih aman. CSS bersirkulasi menuju ventrikel tiga,
melewati akuaduktus Sylvii menuju ventrikel empat, melewati foramen Luschka
dan Magendie menuju rongga subaraknoid di sekeliling otak dan medula spinalis
(Gambar 3). CSS kemudian diabsorpsi melalui viii araknoid lalu menuju sinus dan
sirkulasi sistemik.
177
Scanned for Compos Mentis
fventrikel lateral CSS
-
dari pleksus ,_ . Venlrikel
koroidalis .J lateral
1
melalul
foramen
l nt ervent ~i k ul ar
,. Ventrikel ke-3
.
dari pleksus
'
CSS
,_. Ventrikel
koroidalis ke-3
melalui
akuaduktu s
Subaraknoid
darah
arterial l
Viii araknoid
dari sinus
1
venosus dura
darah vena
Jantung dan
paru
178
Scanned for Compos Mentis
Selain itu, pungsi lumbal juga dikerjakan pada pemeriksaan radiologi seperti
mielografi atau pemberian agen radioaktif pada sisternografi.
Kontraindikasi absolut pungsi lumbal adalah sebagai berikut:
1. Infeksi kulit a tau jaringan yang lebih dalam di lokasi prosedur
2. Tanda vital yang tidak stabil (syok dan gagal napas)
I
i
1'19
Scanned for Compos Mentis
Tabel 1. Perlengkapan Tindakan Pungsi Lumbal
Perala tan
Peralatan
Sarung tangan steril
Kassa steril
Duk bolong steril
Tabung steril (untuk menampung cairan otak)
]arum suntik 3cc (untuk anestesi lokal)
]arum suntik Sec (untuk pengambilan darah)
]arum spinal no. 20-22G
Manometer steril (dapat diganti dengan blood set)
Three way stopcock
Pengukurfpenggaris (untuk pengukuran tekanan pembukaan)
Plester
Obat-obatan
Povidon iodin
Alkohol 70%
Lidokain 1 o/o (untuk anestesi lokal sebelum tindakan)
Midazolam 15 mg*
Lain-lain
Kantung pengiriman spesimen
Sebelum melakukan pungsi lumbal, pastikan kembali indikasi benar dan tidak ada
kontraindikasi pada pasien. Persetujuan harus diperoleh sebelum melakukan tindakan.
Pasien harus diinformasikan tentang komplikasi yang dapat terjadi. Pungsi lumbal
adalah prosedur aseptik, sehingga dapat dilakukan di ruang perawatan atau ruang
tindakan, kecuali pungsi lumbal terapeutik yang harus dilakukan di ruang khusus.
180
Scanned for Compos Mentis
Berikut urutan yang dikerjakan dalam tindakan pungsi lumbal:
1. Memastikan pasien atau keluarga pasien telah memahami tujuan dan risiko
komplikasi tindakan pungsi lumbal serta telah menandatangani surat
persetujuan tindakan.
2. Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan (Tabel1).
3. Mengatur posisi pasien
a. Pungsi lumbal dapat dikerjakan dalam posisi lateral dekubitus ataupun
duduk. Namun, posisi lateral dekubitus lebih direkomendasikan karena
akan memberikan hasil pengukuran tekanan pembukaan yang lebih akurat
dan menurunkan risiko komplikasi nyeri kepala pascapungsi (post lumbar
puncture headachefPLPH).
b. Pasien diminta berbaring dalam posisi lateral dekubitus, sedekat mungkin
dengan tepi tern pat tidur.
c. Kepala pasien difleksikan, lalu pasien diminta memfleksikan sendi lutut
dan panggul secara maksimal (knee-chest position) untuk melebarkan jarak
antar prosesus spinosus vertebra.
d. Hindari fleksi kepala ke arah lateral I laterofleksi dengan meletakkan bantal
di bawah kepala pasien.
Komplikasi
Pungsi lumbal adalah tindakan yang relatif aman. Namun, terdapat beberapa risiko
komplikasi yang dapat terjadi. Komplikasi terse but ialah:
182
Scanned for Compos Mentis
1. Nyeri kepala pascapungsi atau post lumbar puncture headache (PLPH)
Merupakan keluhan terseringyang dialami 10-30% pasien pascapungsi lumbal. Kondisi
ini disebabkan oleh kebocoran CSS dari dura disertai traksi dari struktur peka nyeri di
sekitar lokasi pungsi. Kriteria diagnosis PLPH meliputi nyeri kepala (umumnya di bagian
frontal atau oksipital), dirasakan dalam 24-48 jam setelah tindakan, dengan karakteristik
memberat saat posisi duduk atau berdiri dan membaik saat berbaring. Pemberian
analgetik dan kafein dapat mengurangi nyeri. Penggunaan jarum atraumatik dan posisi
bevel up dapat menurunkan risiko PLPH hingga 50%.
2. Infeksi
Komplikasi infeksi pascapungsi dapat berupa selulitis, abses kulit, abses epidural,
dan diskitis. Hal ini dapat terjadi akibat jarum spinal yang terkontaminasi. Akan
tetapi, komplikasi ini jarang terjadi dan dapat dihindari dengan pemakaian alat
dan prosedur yang steril, serta aplikasi teknik antisepsis yang tepat.
3. Perdarahan
Perdarahan serius jarang terjadi, tetapi perlu diwaspadai pada pasien dengan
koagulopati atau trombositopenia berat karena memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk mengalami perdarahan spinal. Kejadian perdarahan pascapungsi lumbal
dilaporkan sebanyak 2% dari pasien yang mendapatkan antikoagulan. Pada
pasien tanpa kecurigaan koagulopati, perdarahan spinal tetap perlu dicurigai
apabila terjadi paraparesis segera setelah pungsi lumbal.
4. Disestesia
Iritasi saraf atau radiks oleh jarum spinal dapat menyebabkan disestesia pada
ekstremitas bawah. Menarik jarum tanpa mandrin dapat menyebabkan aspirasi
jaringan saraf atau araknoid ke ruang epidural. Untuk mencegah komplikasi ini,
selalu pasang kembali mandrin sebelum menarik jarum.
5. Herniasi serebri
Herniasi serebri ialah komplikasi terberat pascapungsi lumbal. Kejadian ini dapat
diantisipasi dengan penilaian risiko sebelum tindakan, dan pada kasus tertentu
dapat dilakukan CT scan atau MRI sebelum tindakan.
183
Scanned for Compos Mentis
Daftar Pustaka
1. Brinker T, Stopa E, Morrison J, Klinge P. A new look at cerebrospinal fluid circulation. Fluid
Barriers CNS. 2014;11:10.
2. Sakka L, Coli G, Chazal J. Anatomy and physiology of cerebrospinal fluid. Eur Ann
Otorhinolaryng Head Neck. 2011;128(6):309-16.
3. Ropper AH, Samuels MA. Disturbances of cerebrospinal fluid and its circulation, including
hydrocephalus, pesudomotor cerebri, and low-pressure syndromes. Dalam: Ropper AH,
Samuels MA, editor. Adams and Victor's principles of neurology. Edisi ke-9. The McGraw
Hill Company; 2009. h. 591-611.
4. Ellenby MS, Tegtmeyer K, Lai S, Braner DAV. Lumbar puncture. N Engl JMed. 2006;355:e12.
5. van Crevel H, Hijdra A, de Gans J. Lumbar puncture and the risk of herniation: when should
we first perform CT?. J Neurol. 2002;249:129-37.
6. Butson B, Kwa P. Lumbar puncture. Emerg Med Aust. 2014;26(5):500-1.
7. Biller J, Gruener G, Brazis P. Ancillary neurodiagnostic procedures-lumbar puncture
and neuroimaging. Dalam: Biller J, Gruener G, Brazis P,. editor. DeMyer's the neurologic
examination. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2017. h. 531-5.
8. Turtzo LC. Cerebrospinal fluid acquisition and analysis in modern clinical practice. Dalam:
Irani DN, editor. Cerebrospinal fluid in clinical practice. Edisi ke-1. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2009. h. 55-62.
9. Doherty CM, Forbes RB. Diagnostic lumbar puncture. Ulster Med J. 2014;83(2):93-102.
PEMERIKSAAN NEUROLOGI
Bila pasien tidak dapat mengikuti perintah pemeriksa (M), maka rangsangan nyeri
5. diberikan dengan cara mencubit otot trapezius. lntensitas rangsangan naik bertahap
secara progresifhingga maksimallO detik atau telah mencapai respons terbaik.
Bila pasien bel urn menunjukkan respons terbaik, tekan takik supraorbita dengan ibu
6. jari. Intensitas rangsangan naik bertahap secara progresif hingga maksimal 10 detik
atau telah mencapai respons terbaik.
Bila pasien bel urn juga menunjukkan respons terbaik maka pemeriksa memberikan
7.
rangsangan nyeri di sternum.
Perhatikan dan berikan nilai respons terbaik untuk komponen buka mata (E),
8.
motorik (M), dan verbal (V) setelah pasien diberi rangsangan nyeri
185
Scanned for Compos Mentis
FOURSCORE
Menilai respons buka mata pasien diawali dengan inspeksi untuk melihat respons
terbaik, yaitu mata terbuka dan bisa mengikuti gerakan objek ATAU mengedipkan
1. mata sesuai perintah pemeriksa. Jika tidak seperti itu, maka pemeriksa memberi
rangsangan berupa suara keras. Jika masih belum membuka mata juga, maka
diberikan rangsangan nyeri di takik supraorbita atau sendi temporomandibular.
Menilai respons motorik pasien pacta ekstremitas atas dengan cara meminta pasien
untuk melakukan tiga gerakan, yaitu mengangkat ibu jari, membuat peace sign dengan
2. jari tangan, dan mengepalkan tangan. Jika pasien tidak dapat melakukan ketiga hal
tersebut, pemeriksa memberikan rangsangan nyeri di takik supraorbita atau sendi
temporomandibular.
Menilai refleks batang otak pasien dengan cara memeriksa refleks pupil dan kornea.
3. Jika tidak ditemukan kedua refleks tersebut, maka dilakukan pemeriksaan refleks
batuk.
Menilai pernapasan pasien yang diawali dengan inspeksi apakah pasien terintubasi
atau tidak. Pacta pasien yang tidak terintubasi, pemeriksa menilai pola pernapasan
4. pasien (regular, iregular, Cheyne-Stokes). Pacta pasien yang terintubasi, pemeriksa
membandingkan gelombang napas pasien dengan mesin ventilator dan menilai
adakah usaha napas pasien.
Mendokumentasikan hasil pemeriksaan FOUR score yang terdiri dari empat
5. komponen, yaitu buka mata (E), motorik (M), refleks batang otak (B), dan pernapasan
(R)
186
Scanned for Compos Mentis
KakuKuduk
1. Pasien diminta berbaring terlentang tanpa ban tal
2. Pemeriksa meletakkan tangan kirinya pada bagian belakang kepala pasien
3. Tangan kanan pemeriksa menahan dada pasien
4. Leher pasien kemudian difleksikan ke arah dada
5. Pemeriksa merasakan ada atau tidaknya tahanan
Kernigue
1. Pasien diminta berbaring terlentang
Pemeriksa melakukan fleksi pada salah satu sendi panggul pasien hingga posisi paha
2.
menjadi vertikal, kemudian secara perlahan sendi lutut diekstensikan
Tanda ini dikatakan positif hila lutut pasien tidak dapat diekstensikan dengan sudut
3.
>135° pada sendi panggul yang sudah fleksi
4. Lakukan pemeriksaan ini pada sisi kontralateral
Lasegue
1. Pasien diminta berbaring terlentang
Pemeriksa mengangkat salah satu tungkai pasien dengan sendi lutut ekstensi hingga
2.
mencapai sudtut 70°
Hasil pemeriksaan positif apabila timbul nyeri radikular pada saat tungkai
3.
diekstensikan dan tidak dapat mencapai sudut 70°
4. Lakukan pemeriksaan ini pada sisi kontralateral
187
Scanned for Compos Mentis
1. Pemeriksa memastikan tidak terdapat sumbatan atau kelainan pada lubang hidung
pasien.
2. Pasien diminta untuk memejamkan matanya
3. Pasien diminta untuk menutup salah satu lubang hidung dengan jari tangan.
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan terlebih dahulu pada lubang hi dung yang
dicurigai terdapat kelainan.
4. Pasien diminta untuk mencium bau-bauan tertentu melalui lubang hi dung yang
terbuka dan menyebutkan jenis bau yang terdeteksi
5. Pasien diminta untuk menyebutkan jenis bau yang terdeteksi
6. Pemeriksaan yang sama dilakukan pada lubang hi dung lainnya
Nervus Optikus (N. II)
188
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Konfrontasi
1. Pasien diminta duduk pacta jarak 50cm dari pemeriksa dengan ketinggian mata yang
sama dengan pemeriksa
2. Pasien diminta menutup salah satu mata dengan tangannya
Pemeriksa juga menutup matanya yang berhadapan dengan mata pasien (jika pasien
menutup mata kanan maka pemeriksa menutup mata kiri)
3. Pasien diminta melihat ke arah mata pemeriksa
4. Pemeriksa meletakkan jari telunjuknya sejauh mungkin dari Ia pang pandangnya pacta
em pat arah mata angin, yaitu timur !aut (45°), barat !aut (135°), barat daya (225°),
dan tenggara (315 °). Jarak pandang antara pemeriksa ke jarinya harus sama dengan
jarak pandang antara pasien ke jari pemeriksa.
5. Pemeriksa kemudian menggerakkan jari telunjuknya atau tangannya ke arah medial
secara perlahan-lahan sambil menanyakan apakah pasien bisa melihat gerakan jari
telunjuk a tau gerakan tangan terse but. Jika pasien sudah bisa melihat jari a tau gerakan
tangan pemeriksa, pemeriksa menghentikan gerakan ke medial dan mengubah posisi
gerakan tangannya.
6. Pemeriksaan yang sama dilakukan pacta mata lainnya
Pemeriksaan Buta Warna
1. Pasien diminta menyebutkan warna objek di sekitarnya, misalnya warna baju
pemeriksa (jika kartu Ishihara tidak tersedia)
2. Pasien diminta untuk menyebutkan angka yang terlihat pacta kartu Ishihara.
3. Pemeriksaan dilakukan pacta tiap mata secara bergantian
Pemeriksaan Fundus Mata dengan Oftalmoskop Direk
1. Ruangan pemeriksaan diredupkan atau digelapkan
2. Pemeriksaan dapat dilakukan pacta keadaan pasien duduk a tau berbaring
3. Pasien diminta untuk melepaskan kacamatanya (bila ada)
4. Pacta keadaan tertentu dapat digunakan midriatikum (perhatikan kontraindikasi
pemakaian midriatikum dan efek sam ping yang dapat ditimbulkannya)
5. Pemeriksa mendekatkan salah satu matanya ke oftalmoskop. Mata kanan pemeriksa untuk
memeriksa mata kanan pasien, mata kiri pemeriksa untuk memeriksa mata kiri pasien.
6. Pacta jarak sekitar 30cm dari mata pasien, pemeriksa dapat memulai mengevaluasi fundus
mata dengan mengarahkan oftalmoskop ke pupil pasien dan melihat adanya red reflex.
7. Pemeriksa mendekatkan oftalmoskop ke mata pasien, sehingga wajah pemeriksa
berada dekat dengan wajah pasien.
8. Pasien diminta untuk bernapas seperti biasa dan boleh mengedipkan matanya, tetapi
dianjurkan untuk tidak me Jirik.
9. Pemeriksa dapat mengatur kekuatan ( dioptri) lensa oftalmoskop untuk mendapatkan
gambaran fundus mata yang lebih jelas dan terfokus.
10. Pemeriksa mengidentifikasi pembuluh darah retina, kemudian menelusurinya ke
arah nasal hingga menemukan diskus optikus (papil).
11. Pemeriksa mengevaluasi keadaan fundus mata di seluruh sisi sejauh mungkin dan
menilai pembuluh darah retina, makula, dan gambaran retina lainnya.
12. Pemeriksaan yang sama dilakukan pacta mata lainnya.
189
Scanned for Compos Mentis
Nervus Okular (N. III, IV, dan VI)
Pemeriksaan Pupil
1. Pemeriksa melakukan inspeksi terhadap bentuk, posisi, kesimetrisan, dan ukuran
pupil pasien.
2. Pemeriksaan refleks cahaya langsung. Pasien diminta melihat jauh ke depan.
Pemeriksa menyorotkan cahaya ke arah pupil dan mengamati perubahan diameter
pupil yang terjadi.
3. Pemeriksaan refleks cahaya tidak langsung. Pemeriksa mengamati perubahan
diameter pupil pada mata yang tidak disorot cahaya ketika mata lainnya masih
mendapat so rotan cahaya langsung.
4. Pemeriksaan refleks akomodasi. Pemeriksa menggerakkan jari telunjuknya dari
jarak yang agak jauh dari wajah pasien mendekat ke arah wajah pasien. Pasien
diminta mengikuti gerakan jari pemeriksa tersebut. Perhatikan perubahan ukuran
pupil yang terjadi (respons normal pupil akan miosis)
190
Scanned for Compos Mentis
. .. ' '
Refleks Kornea
1. Pemeriksa berdiri di sam ping a tau belakang pasien
2. Sentuhlah kornea mata pasien dengan kapas dari arah lateral. Respon normal
berupa kedipan pada kedua mata.
191
192
Scanned for Compos Mentis
Refleks Orbikularis Okuli (Refleks Nasopalbebral atau Refleks
Glabellar).
1. Pemeriksa berdiri di belakang pasien
2. Pemeriksa mengetuk tepi luar daerah supraorbital, glabella, daerah sekitar orbita,
atau dahi (hingga batas garis ram but) dengan jari telunjuknya
3. Saat mengetuk posisi tangan pemeriksa berada di atas area mata pasien
4. Perhatikan respons yang muncul (kedipan mata)
Tanda Chovstek
Tes Rinne
1. Pemeriksa menggetarkan garpu tala 256 Hz atau 512 Hz kemudian diletakkan
pada prosesus mastoideus pasien (konduksi tulang)
2. Pasien diminta mendengarkan suara garpu tala dan setelah suara menghilang,
pasien diminta untuk mengangkat tangannya.
3. Pindahkan garpu tala ke depan telinga pasien (konduksi udara).
4. Tanyakan apakah pasien masih mendengar suara garpu tala
TesWeber
1. Pemeriksa menggetarkan garpu tala 256Hz atau 512Hz kemudian diletakkan di
garis tengah puncak kepala pasien (verteks)
2. Pemeriksa menanyakan kepada pasien pada telinga mana suara garpu tala
terdengar lebih keras
193
Scanned for Compos Mentis
Nervus Glosofaringeus dan Nervus Vagus (N. IX dan X)
Komponen motorik
Refleks Muntah
1. Pasien diminta untuk membuka mulut
Pemeriksa memperhatikan lengkung langit-langit dan posisi uvula.Lidah pasien
2.
dapat ditekan dengan spatula lidah untuk visualisasi yang lebih baik
Sentuhlah bagian lateral oro faring, uvula, dasar lidah, dinding faring posterior a tau
3.
palatum mole dengan spatula lidah, stik aplikator, atau alat lain yang serupa
4. Perhatikan respons refleks muntah yang timbul
5. Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi
Otot Trapezius
194
Scanned for Compos Mentis
Nervus Hipoglosus (N. XII)
1. Pasien diminta untuk membuka mulut
2. Pemeriksa mengamati trofi, gerakan dan posisi lidah pasien
3. Mintalah pasien untuk menjulurkan lidahnya Jurus ke depan.
Perhatikan apakah lidah terdeviasi ke salah satu sisi, perhatikan juga apakah ter-
dapat atrofi papil, fasikulasi ataupun tremor.
5. Pasien diminta untuk menggerakkan lidah ke kiri, kanan, atas, dan ke bawah baik
secara perlahan maupun secara cepat.
6. Pasien diminta menekan dinding dalam pipi dengan menggunakan ujung lidah,
Jalu melawan tekanan yang diberikan pemeriksa dari sisi Juar pipi dengan jari
atau spatula lidah
7. Bandingkan kekuatan motorik lidah sisi kanan dan sisi kiri .
195
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Tonus Umum Ekstremitas Atas
1. Pemeriksa menggerakkan pergelangan tangan pasien secara pas if dengan gerakan
fleksi, ekstensi dan rotasi
2. Gerakan dilakukan perlahan dan lama kelamaan menjadi cepat
3. Gerakan juga dilakukan pada sendi siku dan bahu
4. Rasakan ada tidaknya tahanan maupun rigiditas
5 L k k I .k I d k d
196
1. Pasien diminta menjulurkan kedua lengannya ke depan dengan posisi tangan supinasi
dan mata tertutup
2 Perhatikan perubahan posisi lengan pasien selama 20-30 detik
3. Apabila terdapat kelemahan, lengan yang lemah akan menyimpang dan cenderung
pro nasi.
197
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Knee-dropping Test
1. Pasien berada pada posisi supinasi
2. Tungkai pasien difleksikan pada sendi panggul dan lutut membentuk sudut 45°,
telapak kaki tetap men em pel di tern pat tidur.
3. Pemeriksa menahan kedua tungkai pasien agar tidak bergeser dan rapat
4. Lepaskan kedua tungkai pasien tersebut
5. Perhatikan gerakan pasiftungkai pasien. Tungkai yang lemah akan turun lebih cepat
d . lttkt 'd k t'
Pemeriksaan Arm Roll
1. Pasien diminta untuk mengepalkan kedua tangannya
2. Posisikan kedua lengan bawah pasien di depan dadanya dengan kepalan tangan
berada di dekat siku kontralateral
3. Pasien diminta memutar lengan bawahnya dengan sumbu pada siku sehingga kedua
lengan saling mengitari
4. Perhatikan ada tidaknya kelemahan pada salah satu lengan. Lengan yang lemah
cenderung berputar lebih lambat atau tidak bergerak sedangkan sisi yang sehat
t l"h t b .. k -.
't . I .. I ..h
Refleks Fisiologis
198
Scanned for Compos Mentis
Pemeriksaan Refleks Dinding Perut Profunda
1. Pasien dalam posisi berbaring terlentang
2. Pemeriksa sedikit menekan otot dinding perut pasien dengan jarinya
3. Ketukkan palu refleks pada din ding perut pasien dengan beralaskan jari pemeriksa
4. Lakukan pemeriksaan pada beberapa area perut pasien
5. Rasakan respons yang timbul pada dinding perut. Respons positif bila timbul
kontraksi otot dinding perut dan deviasi umbilikus ke arah ketukan.
199
Scanned for Compos Mentis
Refleks Patologis Pada Ekstremitas Bawah
--~~----------- -~~~-- ----- - ---- - - -- - -
200
Scanned for Compos Mentis
Refleks Patologis,P~.d~.E~~
Pemeriksaan Refleks Menggenggam
1. Pemeriksa meletakkan jari tangannya pada telapak tangan pasien, di antara ibu jari
dan jari telunjuk pasien
2. Respons positifberupa gerakan menggenggam
Pemeriksaan Refleks Palmomental
1. Pemeriksa menggoreskan telapak tangan pasien pada bagian tenar menggunakan
benda tumpul
2. Respons positifberupa kontraksi otot mentalis dan orbikularis oris yang menyebabkan
pi pi sekitar mulut mengerut. Dapat pula disertai elevasi sudut mulut
Pemeriksaan Tanda Hoffman
1. Pemeriksa memegang tangan pasien dalam posisi pro nasi.
2. Pemeriksa memfiksasi jari tengah pasien dian tara jari telunjuk dan jari tengah a tau ibu
jari dan jari telunjuknya
3. Dengan ibu jarinya, pemeriksa menjentikkan kuku jari tengah pasien dengan cepat
4. Respons positifberupa fleksi jari-jari tangan dan aduksi ibu jari
Pemeriksaan Tanda Tromner
1. Pemeriksa memegang jari tengah pasien sehingga tangan pasien menggantung
2. Dengan tangan yang lainnya, pemeriksa mengetuk jari tengah tangan pasien dengan jarinya.
3. Respons positifberupa fleksi jari-jari tangan dan aduksi ibu jari
I •
Raba halus
1. Jelaskan kepada pasien prosedur yang akan dikerjakan
2. Pasien diminta memejamkan matanya
3. Usapkan kapas/ bulu/ tisu atau ujung jari pemeriksa pada area kulit pasien. Lakukan
pada beberapa area kulit sesuai tujuan pemeriksaan
4. Tanyakan pada pasien apakah stimulus yang diberikan pada beberapa area tersebut
dirasakan sama
Rasa Nyeri
1. Jelaskan kepada pasien prosedur yang akan dikerjakan
2. Pasien diminta memejamkan matanya
3. Tusukkan ujung tusuk gigi atau spatula lidah kayu yang dipatahkan pada area kulit
pasien. Lakukan pada beberapa area kulit sesuai tujuan pemeriksaan
4. Tanyakan pada pasien apakah stimulus yang diberikan pada beberapa area tersebut
dirasakan sama
5. Buanglah alat periksa setelah selesai melakukan pemeriksaan. Jangan menggunakan
alat periksa yang sama untuk beberapa pasien
201
Scanned for Compos Mentis
RasaSuhu
1. Jelaskan kepada pasien prosedur yang akan dikerjakan
2, Pasien diminta memejamkan matanya
3. Pemeriksa menyentuhkan stimulus dingin dan stimulus hangat secara bergantian
dengan jeda ± 2 detik pada beberapa area kulit pasien
4. Tanyakan pada pasien apakah stimulus yang diberikan pada beberapa area tersebut
dirasakan sama
5. Untuk stimulus dingin dapat digunakan tabung reaksi berisi air dingin (±S-10°C) atau
gagang garpu tala. Sedangkan untuk stimulus pan as dapat digunakan tabung rekasi yang
berisi air atau
202
1. Pasien diminta berdiri pada alas yang datar dengan kedua kaki berada pada 1 garis
dengan ibu jari kaki berada di belakang tumit kaki lainnya. Kedua lengan menyilang di
dada dan mata tetap terbuka
2. Pasien sebaiknya tidak memakai alas kaki selama pemeriksaan.
3. Pemeriksa berdiri di dekatpasien dengan kedua Jengan terjulur ke depan agar pemeriksa
dapat segera menangkap jika pasien terjatuh.
4. Observasi selama 20 detik. Perhatikan apakah pasien bergoyang atau jatuh ke salah satu
sisi.
5. Pasien diminta memejamkan kedua matanya dengan posisi tubuh seperti pada poin 4.
6. Observasi selama 30 detik. Perhatikan apakah pasien bergoyang atau jatuh ke salah satu
sisi.
Pemeriksaan Fukuda Stepping Test (FST)
1. Pasien diminta berdiri dan kedua lengan ekstensi serta terjulur ke depan.
2. Pasien sebaiknya tidak memakai alas kaki selama pemeriksaan.
3. Pemeriksa berdiri di de kat pasien dengan kedua lengan terjulur ke depan agar pemeriksa
dapat segera menangkap jika pasien terjatuh.
4. Pasien diminta berjalan di tempat dengan mata terbuka sebanyak 50 langkah dengan
mata tertutup sambil berhitung dengan suara keras
5. Perhatikan apakah pasien jatuh atau posisi berdiri mengalami deviasi >45° dari posisi
awal
Pemeriksaan Past Pointing Test (PPT)
1. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pasien pada posisi duduk maupun berdiri
2. Pasien diminta mengekstensikan lengannya ke atas dengan jari telunjuk ekstensi
3. Pemeriksa meletakkan jari telunjuknya di depan pasien
4. Kemudian pasien diminta mengarahkan jari telunjuknya ke jari telunjuk pemeriksa
dengan posisi Jengan tetap lurus
5. Pasien diminta melakukan gerakan terse but beberapa kali dengan mata terbuka
6. Gerakan diulang kern bali beberapa kali dengan mata tertutup
7. Perhatikan apakah terdapat deviasi jari pasien dari target (jari pemeriksa) dan
konsistensi arah deviasi pada beberapa kali pengulangan
8. Teknik yang sama dilakukan pada lengan lainnya.
9. Selama pemeriksaan jari pemeriksa tidak berpindah-pindah
203
1. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pasien pada posisi duduk, berbaring, ataupun
berdiri.
2. Pemeriksa meletakkan jari telunjuk di depan pasien.
3. Pasien diminta mengekstensikan lengannya ke atas dengan jari telunjuk ekstensi.
4. Kemudian mintalah pasien menyentuhkan jari telunjuknya ke jari telunjuk pemeriksa,
lalu menyentuhkan ujung jari telunjuknya ke ujung hidungnya
5. Pasien diminta melakukan gerakan terse but beberapa kali dengan mata terbuka
6. Pemeriksa dapat mengubah letak jari telunjuknya pada berbagai kuadran, berbagai
jarak (dekatjjauh), dan berbagai kecepatan (perlahan lalu cepat).
Perhatikan kehalusan, akurasi, kecepatan gerakan, dan tremor yang terlihat
Teknik sama dilakukan
1. Pasien diminta memfleksikan siku dan mengadduksikan lengan bawah ke arah bahu,
telapak tangan supinasi dan dalam posisi mengepal
2. Pemeriksa menarik lengan bawah pasien pada pergelangan tangannya dan pasien
diminta melawannya (seperti gerakan panco)
3. Pemeriksa secara tiba-tiba melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan pasien
4. Untuk melindungi pasien lengan pemeriksa lainnya diposisikan di depan wajah pasien
5. Perhatikan apakah pasien dapat segera mengendalikan kontraksi lengannya sehingga
tidak menghantam wajahnya.
204
Bruit orbita
1. Pasien diminta untuk duduk dan memejamkan mata
2. Letakkan stetoskop sisi lonceng (bell) pada salah satu mata pasien yang tertutup
3. Lakukan palpasi pada area karotis kontralateral dan sekaligus fiksasi posisi kepala
pasien.
4. Minta pasien untuk membuka mata yang sedang tidak diperiksa. Pandangan mata
difiksasi ke suatu objek yang diam
5. Minta pasien untuk menahan nafas beberapa saat
6. Dengarkan bruit yang biasanya muncul pada fase sistolik siklus kardiovaskular
.. I I I
Fungsi Berkeringat
1. Bagian depan tubuh (di bawah leher) pasien ditaburi dengan tepungyangmengandung
yodium.
2. Pasien berbaring dalam ruangan dengan suhu 45-50°C dan kelembaban 35-40%.
3. Bila perlu, pasien diberikan obat antipiretik untuk mempercepat pengeluaran keringat.
4. Setelah beberapa lama (30-60 menit, tidak lebih dari 70 menit), ruangan dibuka dan
dicatat bagian tubuh di mana tepung tetap putih, yang menandakan tidak adanya
produksi keringat di daerah tersebut.
5. Penggunaan tepung atau amillum dapat diganti dengan bedak.
205
206
Scanned for Compos Mentis
D
Indeks Dekortikasi·9,12,25,26
A Delirium · 23, 28
Agrafestesia · 139 Desereberasi • 27, 28, 33
Alert-voice-pain-unresponsive (AVPU). · 7 Deviasi konjugat · 20, 21, 22, 23, 26
Allodinia · 139 Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disor-
ders edisi kelima (DSM-5) · 27
Alloestesia · 139
Disestesia · 139, 183
Analgesia· 139, 141
Disfagia · 87, 164
Anestesia · 139
Disfonia · 87
Anisokor • 20, 26, 56
Diskriminasi 2 Titik · 137, 138
APD·58
Disorientasi · 3, 4, 5, 9, 27
Apnea·14,17,26,31,32
Down-beat nystagmus · 22
Apneusis · 17, 26
ARAS · 1, 2, 3, 20 E
Argyll Robertson · 58 E1·10,15
Arm-Dropping Test· 103 E2 ·10,15
Arousal· 33 E3 ·10,15
Ascending reticular activating system · 1 E4 ·10,15
Astereognosis ·138,140 Eksteroseptif · 68, 71, 76, 133
Ataksik · 17, 26 Epidural· 4, 35, 176,178,183
Atrofi ·50, 63, 72, 92, 94, 95, 96, 101,102,125, 194 Eyes Closed Tandem Romberg· 149
B F
81·4,17 Fenomena Rebound· 153, 155, 156, 208
B2·16 Fiksasi · 21, 22, 173, 208
B3·16 Fleksi abnormal · 9, 12
B4·16 Froment's maneuver· 104
Barre's sign ·111,112,198 Frontal eye field (FEF) · 20
Brain Death • 30, 33 Frontal release sign · 123
Brudzinski's contralateral reflex sign · 36 Fukuda Stepping Test· 150, 151, 156, 206
Brodzinski's neck sign · 36 Fundus mata · 53, 54, 55, 189
Buta warna · 47, 53, 188 Funduskopi·23,47,53
FungsiSeksual·164,167,168
c
Cairan serebrospinal· 35,175 G
Cheek sign · 36 Gangguan ortostatik · 164
Cheyne-Stokes · 14, 17, 26, 185 Gangguan proprioseptif · 14 7
Clasp-knife spasticity· 103 Ganglion simpatis · 162
Cogwheel phenomenon · 104 Garpu tala · 82, 234, 135, 136, 193, 204
Crossed SLR test· 38 Gaze· 20, 76, 125
CSS ·See cairan serebrospinal · 35, 175 Gegenhalten · 103, 104
Glosoplegia · 96
209
210
Scanned for Compos Mentis
Scanned for Compos Mentis