Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.

N
DENGAN GANGGUAN RASA AMAN DAN NYAMAN
DI RUANG IBNU SINA RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Disusun Oleh :

1. Danang Wiro Kusumo (P1905006)


2. Desi Ratnadilah (P1905007)
3. Dias Syaima Husniyah (P1905010)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Tujuan Umum dan Khusus
C. Manfaat
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Kata hernia berarti penonjolan suatu kantong peritoneum, suatu organ atau
lemak praperitoneum melalui cacat kongenital atau akuisita (dapatan). Hernia
terdiri atas cincin, kantong, dan isi hernia (Sabiston D, C.2010). Pada hernia
abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan
muskuloaponeurotik dinding perut.
Hernia inguinalis adalah kondisi prostrusi (penonjolan) organ intestinal
masuk ke rongga melalui defek atau bagian dinding yang tipis atau lemah dari
cincin inguinalis. Materi yang masuk lebih sering adalah usus halus, tetapi bisa
juga merupakan suatu jaringan lemak atau omentum (Erickson K, M. 2009).

B. Etiologi
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab
yang didapat (Sjamsuhidajat, R. 2011). Lebih banyak terjadi pada lelaki daripada
perempuan. Berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan pintu masuk
hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantong
dan isi hernia. Selain itu, diperlukan faktor yang dapat mendorong isi hernia
melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar. Pada orang sehat ada tiga
mekanisme yang dapat mencegah terjadinya hernia inguinalis, yaitu kanalis
inguinalis yang berjalan miring, adanya struktur otot oblikus internus abdominis
yang menutup anulus inguinalis internus ketika berkontraksi, dan adanya fasia
transversa yang kuat sehingga menutupi trigonum hasselbach yang umumnya
hampir tidak berotot.
Proses mekanisme ini meliputi saat otot abdomen berkontraksi terjadi
peningkatan intraabdomen lalu m. oblikus internus dan m. tranversus
berkontraksi, serabut otot yang paling bawah membentuk atap mioaponeurotik
pada kanalis inguinalis. Konjoin tendon yang melengkung meliputi spermatic cord
yang berkontraksi mendekati ligamentum inguinale sehingga melindungi fasia
transversalis. Kontraksi ini terus bekerja hingga ke depan cincin interna dan
berfungsi menahan tekanan intraabdomen. Kontraksi m.transversus abdominis
menarik dan meregang crura anulus internus, iliopubic tract, dan fasia
transversalis menebal sehingga cincin menutup seperti spincter (Shutter
Mechanism).
Pada saat yang sama m. oblikus eksternus berkontraksi sehingga
aponeurosisnya yang membentuk dinding anterior kanalis inguinalis menjadi
teregang dan menekan cincin interna pada dinding posterior yang lemah.
Gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hernia.

C. Manifestasi Klinis
Sebagian besar hernia inguinalis adalah asimtomatik, dan kebanyakan
ditemukan pada pemeriksaan fisik rutin dengan palpasi benjolan pada annulus
inguinalis superfisialis atau suatu kantong setinggi annulus inguinalis profundus
(Sabiston D, C.2010). Pada umumnya keluhan pada orang dewasa berupa
benjolan di lipat paha yang timbul pada waktu mengedan. Batuk atau mengangkat
benda berat, dan menghilang waktu istirahat baring.
Pada bayi dan anak-anak adanya benjolan yang hilang timbul di lipat paha
biasanya diketahui oleh orang tua. Jika hernia terjadi pada anak atau bayi,
gejalanya terlihat anak sering gelisah, banyak menangis, dan kadang-kadang perut
kembung, harus dipikirkan kemungkinan terjadi hernia strangulata. Pada inspeksi
diperhatikan keadaan asimetri pada kedua sisi lipat paha, skrotum atau labia
dalam posisi berdiri dan berbaring. Pasien diminta mengedan atau batuk
sehingga adanya benjolan atau keadaan asimetri dapat dilihat. Palpasi dilakukan
dalam keadaan ada benjolan hernia, di raba konsistensinya dan dicoba mendorong
apakah benjolan dapat direposisi. Setelah benjolan tereposisi dengan jari telunjuk
atau jari kelingking pada anak-anak. Cincin hernia dapat diraba, dan berupa
anulus inguinalis yang melebar (Sjamsuhidajat, R. 2011).
Gambaran klinis yang penting dalam penilaian hernia inguinalis meliputi tipe,
penyebab, dan gambaran. Hernia inguinais direct, isi hernia tidak terkontrol oleh
tekanan pada cincin internal, secara khas menyebabkan benjolan ke depan pada
lipat paha, tidak turun ke dalam skrotum. Hernia inguinalis indirect, isi hernia
dikontrol oleh tekanan yang melewati cincin internal, seringkali turun ke dalam
skrotum, inguinalis indirek) dan untuk menutupi defek pada fasia di dinding
inguinal. Perbaikan tradisional didekati jaringan asli menggunakan jahitan
permanen.
D. Patofisiologi
Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus. Pada bulan ke-8 dari
kehamilan, terjadinya desensus testikulorum melalui kanalis inguinalis.
Penurunan testis itu akan menarik peritoneum ke daerah skrotum sehingga terjadi
tonjolan peritoneum yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonea. Bila bayi
lahir umumnya prosesus ini telah mengalami obliterasi, sehingga isi rongga perut
tidak dapat melalui kanalis tersebut. Tetapi dalam beberapa hal sering belum
menutup, karena testis yang kiri turun terlebih dahulu dari yang kanan, maka
kanalis inguinalis yang kanan lebih sering terbuka. Dalam keadaan normal, kanal
yang terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan. Bila prosesus terbuka sebagian,
maka akan timbul hidrokel. Bila kanal terbuka terus, karena prosesus tidak
berobliterasi maka akan timbul hernia inguinalis lateralis kongenital. Biasanya
hernia pada orang dewasa ini terjadi karena lanjut usia, karena pada umur yang
tua otot dinding.
Rongga perut dapat melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan
jaringan tubuh mengalami proses degenerasi. Pada orang tua kanalis tersebut telah
menutup, namun karena daerah ini merupakan lokus minoris resistansi, maka
pada keadaan yang menyebabkan tekanan intraabdominal meningkat seperti,
batuk kronik, bersin yang kuat dan mengangkat barangbarang berat dan
mengejan, maka kanal yang sudah tertutup dapat terbuka kembali dan timbul
hernia inguinalis lateralis karena terdorongnya sesuatu jaringan tubuh dan keluar
melalui defek tersebut. Akhirnya menekan dinding rongga yang telah melemas
akibat trauma, hipertropi prostat, asites, kehamilan, obesitas, dan kelainan
kongenital.
E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Abdomen
Dapat menyatakan adanya kengerasan material pada apendiks (fekalit), ileus
terlokalisis.
2. Urinalisis
Munculnya bakteri yang mengidentifikasi infeksi
3. Elektrolit
Ketidakseimbangan akan menunggu fungsi organ, misalnya penurunan kalium
akan mempengaruhi kontraktilitin otot jantung, mengarah kepada penurunan
curah jantung
4. AGD (Analisa Gas Darah)
Mengevaluasi status pernafasan terakhir
5. ECG (Elektrocardiograf)
Penemuan akan sesuatu yang tidak normal membutuhkan prioritas perhatian
untuk memberikan anastesi.
6. Pemeriksaan laboratorium
7. Pemeriksaan darah lengap
8. USG
Untuk memperoleh gambaran bagian dalam organ perut dan panggul
9. CT Scan
Untuk memeriksa organ – organ bagian dalam rongga perut
10. MRI
Untuk mendeteksi adanya robekan pada otot perut, meskipun tidak terlihat
tonjolan.
G. Komplikasi
Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia, isi
hernia dapat tertahan dalam kantong hernia pada hernia reponibel.
Hal ini dapat terjadi kalau isi hernia terlalu besar, misalnya terdiri atas
omentum, organ ekstraperitoneal. Di sini tidak timbul gejala klinis kecuali berupa
benjolan. Isi hernia dapat pula terjepit oleh cincin hernia sehingga terjadi hernia
inkaserata yang menimbulkan gejala obstruksi usus yang sederhana. Bila cincin
hernia sempit, kurang elastis, atau lebih kaku seperti pada hernia femoralis dan
hernia obturatoria, maka lebih sering terjadi jepitan parsial. Jarang terjadi
inkaserasi retrograd, yaitu dua segmen usus terjepit didalam kantong hernia dan
satu segmen lainnya berada dalam rongga peritoneum seperti huruf “W”. Jepitan
cincin hernia akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan isi hernia. Pada
permulaan, terjadi bendungan vena sehingga terjadi edema organ atau struktur di
dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia. Timbulnya edema yang
menyebabkan jepitan cincin hernia makin bertambah sehingga akhirnya peredaran
darah jaringan terganggu (strangulasi). Isi hernia menjadi nekrosis dan kantong
hernia akan berisi transudat berupa cairan serosanguinus. Apabila isi hernia
terdiri atas usus, dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat menimbulkan abses
lokal, fistel atau peritonitis jika terjadi hubungan dengan rongga perut
(Sjamsuhidajat, R. 2011).

H. Penatalaksanaan
a. Herniotomi
Herniotomi adalah tindakan membuka kantong hernia, memasukkan
kembali isi kantong hernia ke rongga abdomen, serta mengikat dan
memotong kantong hernia. Herniotomi dilakukan pada anak-anak
dikarenakan penyebabnya adalah proses kongenital dimana prossesus
vaginalis tidak menutup (Sjamsuhidajat, R. 2011).
b. Herniorafi
Herniorafi adalah membuang kantong hernia di sertai tindakan bedah
plastik untuk memperkuat dinding perut bagian bawah di belakang kanalis
inguinalis. Herniorafi dilakukan pada orang dewasa karena adanya
kelemahan otot atau fasia dinding belakang abdomen (Muttaqin A dan Sari
K. 2011).
c. Hernioplasti Hernioplasti adalah tindakan memperkecil anulus inguinalis
internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.

I. Basic Promoting Physiology Of Health


1. Pengertian
Nyeri merupakan keadaan ketika individu mengalami sensasi ketidakn
yaman dalam merespons suatu rangsangan yang tidak menyenangkan (Lynda
Juall, 2012).
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jarigan aktual atau potensial, atau
yang digambarkan sebagai keruakan (International Association for the Study
of Pain) yang tiba-tiba atau lambat dengan intensitas ringan hingga berat,
dengan berakirnya dapat diatisipasi atau diprekdisi, dan dengan durasi kurang
dari 3 bulan ( NANDA, 2018).
Nyeri kronis adalah pengalaman sensori dan emosional tidak
menyenangkan tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jarigan
aktual atau potensial, atau yang digambarkan sebagai keruakan (International
Association for the Study of Pain) yang tiba-tiba atau lambat dengan intensitas
ringan hingga berat, tejadi konstan atau berulag yang berakhirnya tidak dapat
diantisipasi atau diprediksi, dan durasi lebih dari 3 bulan (NANDA, 2018).
Dari beberapa pengertian dari nyeri adalah suatu keadaan yang tidak
menyenangkan akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut saraf
dalam tubuh ke otak yang diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis, dan emosional
yang berlangsung kurang dari 3 bulan (Nyeri Akut) dan lebih dari 3 bulan
(Nyeri Kronis).

2. Fisiologi
Seseorang mengalami nyeri karena ada suatu proses fisiologis yang terjadi.
Proses fisiologis nyeri digambarkan sebagai nosisepsi. Proses ini dimulai dari
rangsangan sampai timbulnya persepsi nyeri. Menurut Urden, Stacy, & Lough
(2009); Kozier et al. (2010); Price & Wilson (2005), ada empat proses yang
terlibat dalam nosisepsi:
1. Transduksi
Transduksi adalah  proses rangsangan yang mengganggu  sehingga
menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri (Price & Wilson 2005).
Selama fase transduksi, stimulus berbahaya memicu pelepasan
neurotransmiter seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin,
substansi P. Neurotransmiter ini menstimulasi nosiseptor dan memulai
transmisi nosiseptif. Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan
menghambat prostaglandin (Kozier, et al. 2010).
2. Transmisi
Transmisi adalah proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi
melewati saraf perifer sampai ke terminal medula spinalis dan jaringan
neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke otak (Price &
Wilson 2005). Transmisi meliputi tiga segmen. Selama segmen yang
pertama, impuls nyeri dari serabut saraf tepi dihantarkan ke medula
spinalis. Substansi P bertindak sebagai sebuah neurotransmiter yang
meningkatkan pergerakan impuls menyeberangi sinaps saraf dari neuron
aferen primer ke neuron ordo kedua di kornu dorsalis medula spinalis. Dua
tipe serabut nosiseptor menyebabkan transmisi ini ke kornu dorsalis
medula spinalis: serabut C yang mentransmisikan nyeri tumpul yang
berkepanjangan, dan serabut A-delta yang mentransmisikan nyeri tajam
dan lokal. Segmen kedua adalah transmisi dari medula spinalis dan
asendens, melalui traktus spinotalamus, ke batang otak dan talamus
(Kozier, et al. 2010). Spinotalamus terbagi menjadi dua jalur khusus:
jalur neospinothalamic (NS) dan jalurpaleospinothalamic (PS). Umumnya,
serabut A-delta mengirimkan impuls nyeri ke otak melalui jalur NS dan
serabut C menggunakan jalur PS (Urden, et al. 2009). Segmen ketiga
melibatkan transmisi sinyal antara talamus ke korteks sensorik somatik
tempat terjadinya persepsi nyeri (Kozier, et al. 2010).
3. Persepsi
Persepsi adalah pengalaman subjektif yang dihasilkan oleh aktivitas
transimisi nyeri (Price & Wilson 2005). Impuls nyeri ditrasnmisikan
melalui spinotalamus menuju ke pusat otak dimana persepsi ini terjadi.
Sensasi nyeri yang ditransmisikan melalui neospinothalamic (NS) menuju
talamus, dan sensasi nyeri yang ditransmisikan
melalui paleospinothalamic (PS) menuju batang otak, hipotalamus, dan
talamus. Bagian dari central nervous system (CNS) ini berkontribusi
terhadap persepsi awal nyeri. Proyeksi ke sistem limbik dan korteks frontal
memungkinkan ekspresi dari komponen afektif nyeri. Proyeksi ke korteks
sensorik yang terletak di lobus parietal memungkinkan pasien untuk
menggambarkan pengalaman sensorik dan karakteristik nyerinya, seperti
lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. Komponen kognitif nyeri melibatkan
beberapa bagian korteks serebral. Ketiga komponen ini menggambarkan
interpretasi subjektif dari nyeri. Sama dengan proses subjektif tersebut,
ekspresi wajah dan gerakan tubuh tertentu merupakan indikator perilaku
nyeri yang terjadi sebagai akibat dari proyeksi serabut nyeri ke korteks
motorik di lobus frontal (Urden, et al. 2009).
4. Modulasi
Modulasi seringkali digambarkan sebagai sistem desendens, proses
keempat ini terjadi saat neuron di batang otak mengirimkan sinyal
menuruni kornu dorsalis medula spinalis. Serabut desendens ini
melepaskan zat seperti opiod endogen, serotonin, dan norepinefrin, yang
dapat menghambat naiknya impuls berbahaya di kornu dorsalis. Namun,
neurotransmiter ini diambil kembali oleh tubuh, yang membatasi kegunaan
analgesiknya. Klien yang mengalami nyeri kronik dapat diberi resep
antidepresan trisiklik, yang menghambat ambilan kembali norepineprin
dan serotonin. Tindakan ini meningkatkan fase modulasi yang membantu
menghambat naiknya stimulus yang berbahaya (Kozier, et al.2010).  

Respons refleks yang bersifat protektif juga bisa terjadi dengan adanya
persepsi nyeri. Serabut A-delta mengirim impuls-impuls sensorik ke
medula spinalis, selanjutnya impuls tersebut akan bersinapsis dengan
neuron motorik spinal. Impuls-impuls motorik tersebut dihantarkan ke
sepanjang serabut-serabut eferen kembali ke otot perifer yang dekat area
stimulasi, selanjutnya terjadi kontraksi otot yang merupakan reaksi
perlindungan terhadap nyeri (Potter & Perry 2009).
Reflek terhadap simulus nyeri (Kozier, et al.2010)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi


Dikatakan bahwa nyeri merupakan sensasi subyektif yang tidak
menyenangkan. Bersifat subyektif karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-
faktor yang dimaksud diantaranya seperti yang disebutkan oleh Kozier et al. (2010)
adalah kebudayaan, usia, lingkungan dan individu pendukung, pengalaman masa lalu,
makna nyeri, dan ansietas. Selain faktor di atas Potter & Perry (2005) juga
mengatakan jenis kelamin, keletihan dan gaya koping seseorang merupakan salah satu
faktor yang dapat berpengaruh terhadap nyeri. Berikut penjelasannya:
1. Pengalaman nyeri sebelumnya
Memang benar beranggapan bahwa orang yang berkali-kali mengalami nyeri atau
mengalami nyeri yang berkepanjangan akan lebih mampu mentoleransi nyeri
dibandingkan dengan orang yang jarang mengalami pengalaman nyeri. Namun,
hal itu tidak berlaku bagi sebagian orang. Semakin sering seseorang mengalami
nyeri, semakin takut ia akan peristiwa yang dapat menimbulkan nyeri berikutnya.
Seseorang mungkin kurang mampu mentoleransi nyeri; yaitu, dia ingin
pengobatan segera, sebelum nyerinya memberat. Reaksi ini lebih mungkin terjadi
jika orang tersebut pernah mengalami nyeri yang sangat hebat di masa lalu.
Setelah seseorang mengalami nyeri hebat, ia tahu betapa hebatnya rasa nyeri itu.
Sebaliknya, orang yang tidak pernah mengalami nyeri hebat mungkin tidak takut
dengan nyeri tersebut.
2. Ansietas
Walaupun pada umumnya diyakini bahwa kecemasan meningkatkan persepsi
nyeri, itu tidak sepenuhnya benar. Kecemasan mungkin akan meningkatkan
persepsi nyeri seseorang. Sebagai contoh, seorang pasien yang 2 tahun
sebelumnya dirawat karena mengalami kanker payudara dan sekarang mengalami
nyeri pinggul mungkin takut bahwa hal itu mengindikasikan terjadinya metastasis.
Pada kasus ini, kecemasan mungkin akan meningkatkan persepsi nyeri.
Kecemasan yang tidak berhubungan dengan nyeri akan mengalihkan perhatian
seseorang terhadap nyeri dan seseungguhnya mengurangi nyeri yang dirasakan.
Sebagai contoh, seorang ibu yang dirawat di rumah sakit dengan komplikasi dari
pembedahan abdomen dan mencemaskan anaknya. Nyeri mungkin akan
berkurang karena lebih mencemaskan anaknya.
3. Budaya
Respon seseorang terhadap nyeri berbeda antara seseorang dengan budaya yang
satu dengan yang lainnya.  Semasa anak-anak, orang belajar dari sekitar mereka
apakah respons terhadap nyeri dapat diterima atau tidak. Sebagai contoh, seorang
anak mungkin belajar bahwa nyeri akibat cedera karena olahraga tidak separah
dengan nyeri akibat kecelakaan berkendara. Seperti halnya juga seorang laki-laki
tidak boleh mengeluh nyeri, sedangkan perempuan boleh mengeluh nyeri.
4. Jenis kelamin
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara wanita dengan laki-laki dalam
merespon nyeri, akan tetapi lebih mengarah kepada budaya.
5. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
bagaimana mengatasinya.
6. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa keletihan menyebabkan sensasi
nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping sehingga terbentuk
siklus nyeri-letih-nyeri.
7. Gaya Koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptif akan menyulitkan seseorang mengatasi
nyeri.
8. Lingkungan dan individu pendukung
Lingkungan yang asing seperti rumah sakit dengan kebisingan dan aktivitasnya,
dapat menambah persepsi nyeri. Selain itu, individu yang tidak mempunyai
individu pendukung dapat merasakan nyeri hebat, sebaliknya orang yang memiliki
individu pendukung di sekitarnya merasakan sedikit nyeri.
J. Pengkajian Keperawatan
a. Perilaku non verbal
Beberapa perilaku non verbal yang dapat kita amati antara lain ekspresi wajah,
gemeretak gigi, menggigit bibir bawah, dll.
b. Kualitas
Deskripsi menolong orang mengkomunikasikan kualitas dan nyeri. Anjurkan
pasien menggunakan bahasa yang dia ketahui.
c.  Factor presipitasi
Beberapa factor presipitasi yang meningkatkan nyeri antara lain  lingkungan,
suhu ekstrim, kegiatan yang tiba-tiba
d.  Intensitas
Nyeri dapat berupa ringan, sedang, berat atau tak tertahankan, atau dapat
menggunakan skala dari 0-10.
e.  Waktu dan lama
Perawat perlu mengetahui, mencatat kapan nyeri mulai, berapa lama,
bagaimana timbulnya, juga interval tanpa nyeri, kapan nyeri terakhir timbul.
f. Hal yang perlu dikaji lainnya adalah karakteristik nyeri (PQRST)
P (provokatif) : factor yang mempengaruhi gawat dan ringannya nyeri
Q (quality) : seperti apa nyeri tersebut (tajam, tumpul, atau tersayat)
R (region) : daerah perjalanan nyeri
S (Skala nyeri) : keparahan/ intensitas nyeri
T (time) : lama/waktu serangan/ frekuensi nyeri.
g. kaji riwayat nyeri
a) Lokasi
Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik minta klien untuk
menunjukkan area nyerinya, bisa dengan bantuan gambar. Klien bisa
menandai bagian tubuh yang mengalami nyeri.
b) Intensitas nyeri
Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan
terpercaya untuk menetukan intensitas nyeri pasien.
c) Kualitas nyeri
Terkadang nyeri bisa terasa seperti dipukul-pukul atau ditusuk-
tusuk.Perawat perlu mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk
menggambarkan nyerinya.Sebab informasi berpengaruh besar pada
diagnosis dan etiologi nyeri.
d) Pola
Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan kekambuhan atau interval
nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa
lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang, dan kapan nyeri terakhir
muncul.
e) Faktor presipitasi
Terkadang, aktivitas tertentu dapat memicu munculnya nyeri sebagai
contoh, aktivitas fisik yang berat dapat menimbulkan nyeri dada. Selain
itu, factor lingkungan ( lingkungan yang sangat dingin atau sangat panas),
stressor fisik dan emosionaljuga dapat memicu munculnya nyeri.
f) Gejala yang menyertai
Gejala ini meliputi mual, muntah, pusing, dan diare.Gejala tersebut dapat
disebabkan awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri. Pengaruh pada
aktivitas sehari-hari.Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi
aktivitas harian klien akan membantu perawat memahami perspektif klien
tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri
adalah tidur, napsu makan, konsentrasi, pekerjaan, hubungan interpersonal,
hubungan pernikahan, aktivitas dirumah, aktivitas diwaktu senggang serta
status emosional. 
g) Sumber koping
Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam menghadapi
nyeri.Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh pengalaman nyeri
sebelumnya atau pengaruh agama atau budaya. 
h) Respon afektif
Respon afektif klien terhadap nyeri bervariasi, bergantung pada situasi,
derajat, dan durasi nyeri, interpretasi tentang nyeri, dan banyak factor
lainnya.Perawat perlu mengkaji adanya perasaan ansietas, takut, lelah,
depresi, atau perasaan gagal pada klien.
h. kaji respon perilaku dan fisiologis
- Respon non verbal : ekspresi wajah, misal menutup mata rapat-rapat
atau membuka mata lebar-lebar, menggigit bibir bawah.
- Respon perilaku : menendang-nendang, membalik-balikkan tubuh di
atas kasur, dll
- Respon fisiologis : TTV, diaphoresis, dilatasi pupil akibat
tersimulasinya sistem syaraf simpatis

K. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut b.d Agen cidera Biologis, Kimiawi, fisik
2. Ansietas b.d konflik tentang tujuan hidup, stressor, ancaman pada kasus terkini
3. Resiko infeksi area pembedahan b.d luka insisi
4. Nyeri kronik

L. Rencana Keperawatan
a. Diagnosa I : Nyeri Akut
NOC :
Kontrol Nyeri
 Mengenali kapan nyeri terjadi
 Meggunakan tindakan penguragan nyeri tanpa analgesik
 Menggambarkan faktor penyebab
 Menggunakan analgesik yang direkomendasikan
 Melaporkan nyeri yang terkontrol
Tingkat Nyeri
 Ekspresi nyeri wajah
 Mengeluarkan keringat
 Menggosok area yang terkena dampak
NIC :
Pemberian Analgesik
 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri sbelum
mengobati pasien
Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri pasien
 Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi
Rasional : untuk mngetahui obat, dosis dan frekuensi yang masuk secara
benar
 Cek adanya riwayat alergy
Rasional : untuk mengetahui ada tidaknya alergy obat pada pasien
 Monitor TTV
Rasional : tanda vital untk mengetahui keadaan umum pasien
 Pemilihan rute intravena daripada intramuskular untuk injeksi pengobatan
yang sering
Rasional : untuk mengetahui injeksi intravena obat yang masuk untuk
mengurangi rasa nyeri
Manajemen Nyeri
 Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan penangan nyeri degan tepat
(penggunakan teknik nonfarmakologi)
Rasional : untuk mengajarkan pasien apabila nyeri timbul
 Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, dan kualitas, faktor pencentus nyeri
Rasional : untuk mengetahui skala nyeri yang timbul
b. Diagnosa II : Ansietas
NOC :
Tingkat Kecemasan
 Tidak dapat beristirahat
 Rasa cemas yang disampaikan secara lisan
 Peningkatan tekanan darah
Kontrol Kecemasan Diri
 Mengurangi penyebab kecemasa
 Mencari informasi mengurangi kecemasan
 Menggunakan teknik relaksasi untukmengurangi kecemasan

NIC :
Pengurangan kecemasan
 Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan
Rasional : untuk memberikan kenyamanan teraupetik kepada klien
 Dorong keluarga untuk mendampingi klien dengan cara yang tepat
Rasional : untuk memotivasi dan keluarga aka lebih dekat pada pasien
 Kaji TTV
Rasional : untuk mengetahui keadaan umum pasien
Terapi relaksasi
 Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi serta jenis relaksasi yang
tersedia ( misalnya ; musik, otot progresif, meditasi, relaksasi rahang )
Rasional : untuk menginformasikan kepada pasien dan keluarga dengan
teknik relaksasi da jenis-jenis relaksasi
 Dorong pasien untuk mengambil posisi yang nyaman dengan pakaian
longgar dan tutup mata
Rasional : untuk memposisikan pasien agar lebih nyaman dan bisa lebih
fokus
c. Diagnosa III : Resiko Infeksi
NOC :
Keparahan Infeksi
 Kemerahan tidak ada
 Demam berkurang
Pemulihan Pembedahan : Segera Setelah Operasi
 Tekanan darah sistol dengan batasnormal
 Tekanan darah diaskol dengan batas normal
 Tekanan nadi
 Subu tubuh
 Tingkat kesadaran
NIC :
Kontrol infeksi
 Bersihkan lingkungan yang baik dengan baik setelah digunakan untuk
setiap pasien
 Anjurkan pasien untuk mencuci tangan dengan tepat
Perlindungan infeksi
 Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
 Periksakondisi setiap sayatan bedah atau luka
 Anjurkan untuk istirakat

d. Diagnosa IV : Nyeri Kronik


NOC :
 Tingkat kenyamanan
 Tingkat depresi
 Pengendalian diri terhadap depresi
 Nyeri
 Pengendalian diri
NIC :
 Pemberian analgesic
Rasional : penggunan agen farmakologis untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri
 Mobilitas perilaku
Rasional : meningkatkan perubahan perilaku
 Restrukturisasi kognitif
Rasional : mendorong pasien untuk mengubah distrorsi pola pikir dan
memandang diri sendiri serta dunia secara lebih realistis
 Peningkatan koping
Rasional : membantu pasien untuk beradaptasi dengan presepsi stressor,
perubahan, atau ancaman yang menghambat pemenuhan tuntutan peran
hidup.
 Manajemen medikasi
Rasional : memfasilitasi penggunaan obat resep atau obat bebas secara
aman dan efektif
 Manajemen alam perasaan
Rasional : memberikan keamanan, stabilisasi, pemulihan, dan
pemeliharaan pada pasien yang mengalami disfungsi alam perasaan baik
depresi maupun peningkatan alam perasaan
 Manajemen nyeri
Rasional : menghilangkan nyeri atau menurunkan nyeri ketingkat yang
lebih nyaman yang dapat ditoleransi oleh pasien.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. N DENGAN GANGGUAN RASA AMAN


DAN NYAMAN: NYERI DI RUANG IBNU SINA RS PKU MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA

Hari atau Tanggal : Rabu, 9 Oktober 2019


Jam : 08.00 WIB
Pengkaji : Danang, Desi, Dias
Ruang : Ibnu Sina
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 12 tahun
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SD
Alamat : Yogyakarta
No.CM : xxxxxx
Diagnostik Medis : Hernia Inguinalis Lateralis Bilateral
B. IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB
Nama : Ny. K
Usia : 34 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Yogyakarta
C. RIWAYAT KESEHATAN
1. Riwayat Kesehatan Pasien
a. Keluhan Utama
Klien mengatakan nyeri post operasi.
P: luka bekas operasi jika tersentuh atau bergerak
Q: seperti ditusuk-tusuk
R: daerah luka post operasi
S: skala 6
T: hilang timbul, lamanya sekitar 2 menit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu klien mengatakan datang ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada
tanggal 8 Oktober 2019 karena ada benjolan di bagian perut, diatas alat kelamin
sebelah kanan dan kiri. Sehingga ibu klien membawa anaknya berobat untuk
mendapatkan penanganan dan pemeriksaan lebih lanjut.
c. Pengaruh Penyakit terhadap Pasien
Ibu klien mengatakan bahwa anaknya merasakan benjolannya nyeri bila ditekan.
d. Apa yang diharapkan pasien dari pelayanan kesehatan
Ibu klien mengatakan anaknya ingin cepat sembuh sehingga dapat beraktifitas dan
bersekolah kembali seperti semula. Semoga pelayanan yang diberikan dari rumah
sakit optimal sehingga anaknya cepat sembuh.
e. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Ibu klien mengatakan bahwa tidak ada penyakit keturunan dari keluarganya. Klien
dan keluarga mengatakan tidak mempunyai riwayat alergi obat dan makanan. Ibu
klien mengatakan klien tidak atau belum pernah melakukan pembedahan dan
belum pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya dengan penyakit yang sama.

2. Riwayat Kesehatan Keluarga


Genogram

3. Pengkajian Biologis
a. Rasa Aman dan Nyaman
b. Aktivitas
c. Istirahat dan Tidur
d. Cairan
e. Nutrisi
f. Eliminasi
g. Pernafasan
h. Kardiovaskuler
i. Personal Hygiene
j. Sex
4. Pengkajian Psikososial dan Spiritual
a. Psikososial
b. Hubungan Sosial
c. Spiritual

D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
a. Kesadaran
Kesadaran composmentis dengan GCS: E4 M5 V6
b. Kondisi pasien secara umum
Klien terlihat meringis kesakitan akibat luka post operasi, klien hanya tertidur
ditempat tidur.
c. Tanda-tanda vital
Suhu : 36,3 º C
Nadi : 98 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
d. Pertumbuhan Fisik
Tinggi badan: 156 cm
Berat badan : 45 kg
Postur tubuh: tinggi
2. Pemeriksaan Cepalo Kaudal
a. Kepala
Bentuk mesocephal, tidak ada luka, bersih, rambut hitam tebal.
b. Mata
Lengkap, mata tidak anemis, bersih, tidak ada lesi, sklera tidak ikterik, reaksi
penerimaan cahaya baik, pupil isokor, tidak ada kemerahan.
c. Telinga
Normal, simetris, bersih, tidak ada lesi, fungsi normal, tidak menggunakan alat
bantu dengar.
d. Hidung
Fungsi normal, tidak ada sekret, dapat bernafas spontan, tidak ada pernafasan
cuping hidung.
e. Mulut
Dapat berbicara dengan jelas, mukosa bibir kering, bersih.
f. Leher
Tidak terdapat pembesaran kelenjar thyroid dan JVP, tidak ada nyeri telan.
g. Dada
Paru-paru
Inspeksi : Simetris, tidak ada luka
Palpasi : Pengembangan paru simetris, tidak ada massa
Perkusi : Suara sonor
Auskultasi : Suara Vesikuler
Jantung

1. Abdomen
I : Tidak ada ascites, tidak ada luka
A : Bising usus 15x/menit
P : Tympani
P : Tidak ada nyeri tekan
2. Ekstremitas
Kekuatan otot 4433, ada edema dikedua ekstremitas bawah, terpasang infus di
tangan kiri.
3. Kulit / Integumen
Tidak ada kelainan kulit, CRT < 3 detik.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan EKG
Hasil : Sinus Rhythm abnormal right superior axis deviation R-S transition zone inv
leads displaced to the left low limb lead voltage.
HR 68/min, Intervals : RR 886 ms, P 102 ms, PR 156 ms, QRS 86 ms, QT 374 ms,
QTC 398 ms.
2. Laboratorium
Hasil pemeriksaan : 07 Oktober 2019 Jam : 19:13 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Lekosit 10.6 H 4-10 mm3 E-Impedance
Hitung jenis
Basofil 2H 0-1 % E-Impedance
Eosinofil 2 1-3 % E-Impedance
Neutrofil 6S 50-70 % E-Impedance
Limfosit % 20 20-40 % E-Impedance
Monosit % 11 H 2-8 % E-Impedance
Eritrosit 5.08 44-59 mm3 Cyanmet HB
Hemoglobin 13.2 12.0-17.0 g/dl Kalkulasi
Hematokrit 40 39-52 % Kalkulasi
MCV 78.0 77-91 fl Kalkulasi
MCH 26.0 27-34 pg Kalkulasi
MCHC 33.4 32-36 g/dl Kalkulasi
RDW 10.7 11-16 % Kalkulasi
Trombosit 338 150-450 mm3 E-Impedance
MPV 5.5 7-11 fl Platelet Graph
PPT 16.8 11.0-15.0 detik Optik
Kontrol PPT 14.4 detik Optik
APTT 28.0 25.0-35.0 detik Optik
Kontrol APTT 25.5 detik Optik
KIMIA KLINIK
Glukosa sewaktu 105 H 60-100 mg/dl Hexokinase
HEMATOLOGI
HBSAg Rapid Negatif Negatif Rapid
F. TERAPI MEDIS
1. Oksigen nasal kanul 3 lpm
2. Nebulizer Pulmicom / 8 jam
3. Infus Asering 20 tpm
4. Injeksi MP ½ vial / 12 jam
5. Injeksi esome 1 vial
6. Ambroxol syr 3x1 cth

G. ANALISA DATA
No. Symptom Etiologi Problem
1. DS : Klien mengatakan sesak nafas Penumpukan sekret Bersihan jalan
sudah 3 hari disertai dengan nafas tidak efektif
batuk namun sekret tidak bisa
keluar.
DO : - Klien tampak sesak
TD : 115/78 mmHg
N : 68x/ menit
R : 22x/ menit
S : 37ºC
- Terpasang oksigen nasal
kanul 3 Lpm
- Pemeriksaan fisik paru
terdengar auskultasi Ronchi.

2. DS : Klien mengatakan selama sakit Suplay oksigen Intoleransi


aktivitas terbatas hanya tiduran tidak adekuat aktifitas
karena sesak.
DO : - TD : 115/78 mmHg
N : 68x/menit
R : 22x/menit
S : 37ºC
- Tangan kiri terpasang infus
asering 20 tpm

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN PRIORITASNYA


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d penumpukan sekret
2. Intoleransi aktifitas b/d suplay oksigen tidak adekuat

I. RENCANA KEPERAWATAN
No. DX TUJUAN & KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
1. Setelah dilakukan tindakan Respiratory 1. Mengetahui
keperawatan selama 3 jam Monitoring tingkat gangguan
masalah bersihan jalan nafas tidak 1. Pantau TTV, yang terjadi dan
efektif dapat teratasi dengan suara nafas mengetahui
kriteria hasil : tambahan, dan permasalahan
a. Sekret dapat keluar retraksi otot jalan nafas.
b. Klien tidak batuk / batuk dada. 2. Posisi
berkurang 2. Berikan posisi memaksimalkan
semi fowler dan ekspansi paru dan
pemberian menurunkan
oksigen nasal upaya
kanul pernapasan.
3. Ajarkan klien 3. Dapat
untuk batuk membantu
efektif dan menjatuhkan
anjurkan asupan. sekret yang ada
4. Kolaborasi dijalan nafas dan
pemberian mengoptimalkan
nebulizer sesuai keseimbangan
indikasi. cairan.
4. Memberikan
suplay oksigen
dan mengurangi
sesak nafas.

2. Setelah dilakukan tindakan Activity Therapy


keperawatan selama 3 jam 1. Kaji tanda-tanda 1. Mengetahui
diharapkan masalah intoleransi vital keadaan umum
aktifitas dapat teratasi dengan 2. Lakukan klien.
kriteria hasil : pemeriksaan EKG 2. Memberikan
a. Klien dapat melakukan saat aktifitas / gambaran yang
aktifitas secara bertahap istirahat. akurat mengenai
b. Klien dapat beraktifitas 3. Anjurkan pasien kondisi jantung
dan edukasi selama istirahat /
keluarga untuk aktifitas
melakukan sktifitas 3. Melatih
atau latihan fisik kekuatan dan
secara teratur sesuai irama jantung
dengan kondisi. selama aktifitas
4. Kolaborasi 4. Memberikan
pemberian obat terapi sesuai
dengan dokter. kebutuhan pasien
(Oksigen nasal (Suplay oksigen).
kanul).
1. 1.

J. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


Hari / No.Dx IMPLEMENTASI EVALUASI TTD
Tanggal
Senin, 29 1 - Memantau TTV, S : Klien
Oktober suara nafas tambahan mengatakan
2018 dan retraksi otot dada. masih sesak
- Memberikan posisi nafas dan
semi fowler dan batuk
pemberian oksigen O :
nasal kanul 3 lpm A : Masalah
- Mengajarkan klien bersihan
untuk batuk efektif jalan nafas
dan menganjurkan belum
asupan cairan teratasi
adekuat. P : - Lanjutkan
- Melakukan nebulizer intervensi
pulmicom -Pantau
bersihan jalan
2 nafas
- Mengkaji Tanda-
tanda vital pre dan S : Klien
post aktifitas mengatakan
masih sesak
- Menganjurkan pasien untuk
untuk latihan fisik beraktifitas.
secara teratur. O:
A : Masalah
- Memasang oksigen intoleransi
nasal kanul 3Lpm aktifitas belum
teratasi.
P : Lanjutkan
intervensi
Bantu ADL
Pantau
kemampuan
aktifitas.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai