N
DENGAN GANGGUAN RASA AMAN DAN NYAMAN
DI RUANG IBNU SINA RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Disusun Oleh :
A. Latar Belakang
B. Tujuan Umum dan Khusus
C. Manfaat
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Kata hernia berarti penonjolan suatu kantong peritoneum, suatu organ atau
lemak praperitoneum melalui cacat kongenital atau akuisita (dapatan). Hernia
terdiri atas cincin, kantong, dan isi hernia (Sabiston D, C.2010). Pada hernia
abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan
muskuloaponeurotik dinding perut.
Hernia inguinalis adalah kondisi prostrusi (penonjolan) organ intestinal
masuk ke rongga melalui defek atau bagian dinding yang tipis atau lemah dari
cincin inguinalis. Materi yang masuk lebih sering adalah usus halus, tetapi bisa
juga merupakan suatu jaringan lemak atau omentum (Erickson K, M. 2009).
B. Etiologi
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab
yang didapat (Sjamsuhidajat, R. 2011). Lebih banyak terjadi pada lelaki daripada
perempuan. Berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan pintu masuk
hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantong
dan isi hernia. Selain itu, diperlukan faktor yang dapat mendorong isi hernia
melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar. Pada orang sehat ada tiga
mekanisme yang dapat mencegah terjadinya hernia inguinalis, yaitu kanalis
inguinalis yang berjalan miring, adanya struktur otot oblikus internus abdominis
yang menutup anulus inguinalis internus ketika berkontraksi, dan adanya fasia
transversa yang kuat sehingga menutupi trigonum hasselbach yang umumnya
hampir tidak berotot.
Proses mekanisme ini meliputi saat otot abdomen berkontraksi terjadi
peningkatan intraabdomen lalu m. oblikus internus dan m. tranversus
berkontraksi, serabut otot yang paling bawah membentuk atap mioaponeurotik
pada kanalis inguinalis. Konjoin tendon yang melengkung meliputi spermatic cord
yang berkontraksi mendekati ligamentum inguinale sehingga melindungi fasia
transversalis. Kontraksi ini terus bekerja hingga ke depan cincin interna dan
berfungsi menahan tekanan intraabdomen. Kontraksi m.transversus abdominis
menarik dan meregang crura anulus internus, iliopubic tract, dan fasia
transversalis menebal sehingga cincin menutup seperti spincter (Shutter
Mechanism).
Pada saat yang sama m. oblikus eksternus berkontraksi sehingga
aponeurosisnya yang membentuk dinding anterior kanalis inguinalis menjadi
teregang dan menekan cincin interna pada dinding posterior yang lemah.
Gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hernia.
C. Manifestasi Klinis
Sebagian besar hernia inguinalis adalah asimtomatik, dan kebanyakan
ditemukan pada pemeriksaan fisik rutin dengan palpasi benjolan pada annulus
inguinalis superfisialis atau suatu kantong setinggi annulus inguinalis profundus
(Sabiston D, C.2010). Pada umumnya keluhan pada orang dewasa berupa
benjolan di lipat paha yang timbul pada waktu mengedan. Batuk atau mengangkat
benda berat, dan menghilang waktu istirahat baring.
Pada bayi dan anak-anak adanya benjolan yang hilang timbul di lipat paha
biasanya diketahui oleh orang tua. Jika hernia terjadi pada anak atau bayi,
gejalanya terlihat anak sering gelisah, banyak menangis, dan kadang-kadang perut
kembung, harus dipikirkan kemungkinan terjadi hernia strangulata. Pada inspeksi
diperhatikan keadaan asimetri pada kedua sisi lipat paha, skrotum atau labia
dalam posisi berdiri dan berbaring. Pasien diminta mengedan atau batuk
sehingga adanya benjolan atau keadaan asimetri dapat dilihat. Palpasi dilakukan
dalam keadaan ada benjolan hernia, di raba konsistensinya dan dicoba mendorong
apakah benjolan dapat direposisi. Setelah benjolan tereposisi dengan jari telunjuk
atau jari kelingking pada anak-anak. Cincin hernia dapat diraba, dan berupa
anulus inguinalis yang melebar (Sjamsuhidajat, R. 2011).
Gambaran klinis yang penting dalam penilaian hernia inguinalis meliputi tipe,
penyebab, dan gambaran. Hernia inguinais direct, isi hernia tidak terkontrol oleh
tekanan pada cincin internal, secara khas menyebabkan benjolan ke depan pada
lipat paha, tidak turun ke dalam skrotum. Hernia inguinalis indirect, isi hernia
dikontrol oleh tekanan yang melewati cincin internal, seringkali turun ke dalam
skrotum, inguinalis indirek) dan untuk menutupi defek pada fasia di dinding
inguinal. Perbaikan tradisional didekati jaringan asli menggunakan jahitan
permanen.
D. Patofisiologi
Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus. Pada bulan ke-8 dari
kehamilan, terjadinya desensus testikulorum melalui kanalis inguinalis.
Penurunan testis itu akan menarik peritoneum ke daerah skrotum sehingga terjadi
tonjolan peritoneum yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonea. Bila bayi
lahir umumnya prosesus ini telah mengalami obliterasi, sehingga isi rongga perut
tidak dapat melalui kanalis tersebut. Tetapi dalam beberapa hal sering belum
menutup, karena testis yang kiri turun terlebih dahulu dari yang kanan, maka
kanalis inguinalis yang kanan lebih sering terbuka. Dalam keadaan normal, kanal
yang terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan. Bila prosesus terbuka sebagian,
maka akan timbul hidrokel. Bila kanal terbuka terus, karena prosesus tidak
berobliterasi maka akan timbul hernia inguinalis lateralis kongenital. Biasanya
hernia pada orang dewasa ini terjadi karena lanjut usia, karena pada umur yang
tua otot dinding.
Rongga perut dapat melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan
jaringan tubuh mengalami proses degenerasi. Pada orang tua kanalis tersebut telah
menutup, namun karena daerah ini merupakan lokus minoris resistansi, maka
pada keadaan yang menyebabkan tekanan intraabdominal meningkat seperti,
batuk kronik, bersin yang kuat dan mengangkat barangbarang berat dan
mengejan, maka kanal yang sudah tertutup dapat terbuka kembali dan timbul
hernia inguinalis lateralis karena terdorongnya sesuatu jaringan tubuh dan keluar
melalui defek tersebut. Akhirnya menekan dinding rongga yang telah melemas
akibat trauma, hipertropi prostat, asites, kehamilan, obesitas, dan kelainan
kongenital.
E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Abdomen
Dapat menyatakan adanya kengerasan material pada apendiks (fekalit), ileus
terlokalisis.
2. Urinalisis
Munculnya bakteri yang mengidentifikasi infeksi
3. Elektrolit
Ketidakseimbangan akan menunggu fungsi organ, misalnya penurunan kalium
akan mempengaruhi kontraktilitin otot jantung, mengarah kepada penurunan
curah jantung
4. AGD (Analisa Gas Darah)
Mengevaluasi status pernafasan terakhir
5. ECG (Elektrocardiograf)
Penemuan akan sesuatu yang tidak normal membutuhkan prioritas perhatian
untuk memberikan anastesi.
6. Pemeriksaan laboratorium
7. Pemeriksaan darah lengap
8. USG
Untuk memperoleh gambaran bagian dalam organ perut dan panggul
9. CT Scan
Untuk memeriksa organ – organ bagian dalam rongga perut
10. MRI
Untuk mendeteksi adanya robekan pada otot perut, meskipun tidak terlihat
tonjolan.
G. Komplikasi
Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia, isi
hernia dapat tertahan dalam kantong hernia pada hernia reponibel.
Hal ini dapat terjadi kalau isi hernia terlalu besar, misalnya terdiri atas
omentum, organ ekstraperitoneal. Di sini tidak timbul gejala klinis kecuali berupa
benjolan. Isi hernia dapat pula terjepit oleh cincin hernia sehingga terjadi hernia
inkaserata yang menimbulkan gejala obstruksi usus yang sederhana. Bila cincin
hernia sempit, kurang elastis, atau lebih kaku seperti pada hernia femoralis dan
hernia obturatoria, maka lebih sering terjadi jepitan parsial. Jarang terjadi
inkaserasi retrograd, yaitu dua segmen usus terjepit didalam kantong hernia dan
satu segmen lainnya berada dalam rongga peritoneum seperti huruf “W”. Jepitan
cincin hernia akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan isi hernia. Pada
permulaan, terjadi bendungan vena sehingga terjadi edema organ atau struktur di
dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia. Timbulnya edema yang
menyebabkan jepitan cincin hernia makin bertambah sehingga akhirnya peredaran
darah jaringan terganggu (strangulasi). Isi hernia menjadi nekrosis dan kantong
hernia akan berisi transudat berupa cairan serosanguinus. Apabila isi hernia
terdiri atas usus, dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat menimbulkan abses
lokal, fistel atau peritonitis jika terjadi hubungan dengan rongga perut
(Sjamsuhidajat, R. 2011).
H. Penatalaksanaan
a. Herniotomi
Herniotomi adalah tindakan membuka kantong hernia, memasukkan
kembali isi kantong hernia ke rongga abdomen, serta mengikat dan
memotong kantong hernia. Herniotomi dilakukan pada anak-anak
dikarenakan penyebabnya adalah proses kongenital dimana prossesus
vaginalis tidak menutup (Sjamsuhidajat, R. 2011).
b. Herniorafi
Herniorafi adalah membuang kantong hernia di sertai tindakan bedah
plastik untuk memperkuat dinding perut bagian bawah di belakang kanalis
inguinalis. Herniorafi dilakukan pada orang dewasa karena adanya
kelemahan otot atau fasia dinding belakang abdomen (Muttaqin A dan Sari
K. 2011).
c. Hernioplasti Hernioplasti adalah tindakan memperkecil anulus inguinalis
internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.
2. Fisiologi
Seseorang mengalami nyeri karena ada suatu proses fisiologis yang terjadi.
Proses fisiologis nyeri digambarkan sebagai nosisepsi. Proses ini dimulai dari
rangsangan sampai timbulnya persepsi nyeri. Menurut Urden, Stacy, & Lough
(2009); Kozier et al. (2010); Price & Wilson (2005), ada empat proses yang
terlibat dalam nosisepsi:
1. Transduksi
Transduksi adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga
menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri (Price & Wilson 2005).
Selama fase transduksi, stimulus berbahaya memicu pelepasan
neurotransmiter seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin,
substansi P. Neurotransmiter ini menstimulasi nosiseptor dan memulai
transmisi nosiseptif. Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan
menghambat prostaglandin (Kozier, et al. 2010).
2. Transmisi
Transmisi adalah proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi
melewati saraf perifer sampai ke terminal medula spinalis dan jaringan
neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke otak (Price &
Wilson 2005). Transmisi meliputi tiga segmen. Selama segmen yang
pertama, impuls nyeri dari serabut saraf tepi dihantarkan ke medula
spinalis. Substansi P bertindak sebagai sebuah neurotransmiter yang
meningkatkan pergerakan impuls menyeberangi sinaps saraf dari neuron
aferen primer ke neuron ordo kedua di kornu dorsalis medula spinalis. Dua
tipe serabut nosiseptor menyebabkan transmisi ini ke kornu dorsalis
medula spinalis: serabut C yang mentransmisikan nyeri tumpul yang
berkepanjangan, dan serabut A-delta yang mentransmisikan nyeri tajam
dan lokal. Segmen kedua adalah transmisi dari medula spinalis dan
asendens, melalui traktus spinotalamus, ke batang otak dan talamus
(Kozier, et al. 2010). Spinotalamus terbagi menjadi dua jalur khusus:
jalur neospinothalamic (NS) dan jalurpaleospinothalamic (PS). Umumnya,
serabut A-delta mengirimkan impuls nyeri ke otak melalui jalur NS dan
serabut C menggunakan jalur PS (Urden, et al. 2009). Segmen ketiga
melibatkan transmisi sinyal antara talamus ke korteks sensorik somatik
tempat terjadinya persepsi nyeri (Kozier, et al. 2010).
3. Persepsi
Persepsi adalah pengalaman subjektif yang dihasilkan oleh aktivitas
transimisi nyeri (Price & Wilson 2005). Impuls nyeri ditrasnmisikan
melalui spinotalamus menuju ke pusat otak dimana persepsi ini terjadi.
Sensasi nyeri yang ditransmisikan melalui neospinothalamic (NS) menuju
talamus, dan sensasi nyeri yang ditransmisikan
melalui paleospinothalamic (PS) menuju batang otak, hipotalamus, dan
talamus. Bagian dari central nervous system (CNS) ini berkontribusi
terhadap persepsi awal nyeri. Proyeksi ke sistem limbik dan korteks frontal
memungkinkan ekspresi dari komponen afektif nyeri. Proyeksi ke korteks
sensorik yang terletak di lobus parietal memungkinkan pasien untuk
menggambarkan pengalaman sensorik dan karakteristik nyerinya, seperti
lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. Komponen kognitif nyeri melibatkan
beberapa bagian korteks serebral. Ketiga komponen ini menggambarkan
interpretasi subjektif dari nyeri. Sama dengan proses subjektif tersebut,
ekspresi wajah dan gerakan tubuh tertentu merupakan indikator perilaku
nyeri yang terjadi sebagai akibat dari proyeksi serabut nyeri ke korteks
motorik di lobus frontal (Urden, et al. 2009).
4. Modulasi
Modulasi seringkali digambarkan sebagai sistem desendens, proses
keempat ini terjadi saat neuron di batang otak mengirimkan sinyal
menuruni kornu dorsalis medula spinalis. Serabut desendens ini
melepaskan zat seperti opiod endogen, serotonin, dan norepinefrin, yang
dapat menghambat naiknya impuls berbahaya di kornu dorsalis. Namun,
neurotransmiter ini diambil kembali oleh tubuh, yang membatasi kegunaan
analgesiknya. Klien yang mengalami nyeri kronik dapat diberi resep
antidepresan trisiklik, yang menghambat ambilan kembali norepineprin
dan serotonin. Tindakan ini meningkatkan fase modulasi yang membantu
menghambat naiknya stimulus yang berbahaya (Kozier, et al.2010).
Respons refleks yang bersifat protektif juga bisa terjadi dengan adanya
persepsi nyeri. Serabut A-delta mengirim impuls-impuls sensorik ke
medula spinalis, selanjutnya impuls tersebut akan bersinapsis dengan
neuron motorik spinal. Impuls-impuls motorik tersebut dihantarkan ke
sepanjang serabut-serabut eferen kembali ke otot perifer yang dekat area
stimulasi, selanjutnya terjadi kontraksi otot yang merupakan reaksi
perlindungan terhadap nyeri (Potter & Perry 2009).
Reflek terhadap simulus nyeri (Kozier, et al.2010)
K. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut b.d Agen cidera Biologis, Kimiawi, fisik
2. Ansietas b.d konflik tentang tujuan hidup, stressor, ancaman pada kasus terkini
3. Resiko infeksi area pembedahan b.d luka insisi
4. Nyeri kronik
L. Rencana Keperawatan
a. Diagnosa I : Nyeri Akut
NOC :
Kontrol Nyeri
Mengenali kapan nyeri terjadi
Meggunakan tindakan penguragan nyeri tanpa analgesik
Menggambarkan faktor penyebab
Menggunakan analgesik yang direkomendasikan
Melaporkan nyeri yang terkontrol
Tingkat Nyeri
Ekspresi nyeri wajah
Mengeluarkan keringat
Menggosok area yang terkena dampak
NIC :
Pemberian Analgesik
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri sbelum
mengobati pasien
Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri pasien
Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi
Rasional : untuk mngetahui obat, dosis dan frekuensi yang masuk secara
benar
Cek adanya riwayat alergy
Rasional : untuk mengetahui ada tidaknya alergy obat pada pasien
Monitor TTV
Rasional : tanda vital untk mengetahui keadaan umum pasien
Pemilihan rute intravena daripada intramuskular untuk injeksi pengobatan
yang sering
Rasional : untuk mengetahui injeksi intravena obat yang masuk untuk
mengurangi rasa nyeri
Manajemen Nyeri
Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan penangan nyeri degan tepat
(penggunakan teknik nonfarmakologi)
Rasional : untuk mengajarkan pasien apabila nyeri timbul
Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, dan kualitas, faktor pencentus nyeri
Rasional : untuk mengetahui skala nyeri yang timbul
b. Diagnosa II : Ansietas
NOC :
Tingkat Kecemasan
Tidak dapat beristirahat
Rasa cemas yang disampaikan secara lisan
Peningkatan tekanan darah
Kontrol Kecemasan Diri
Mengurangi penyebab kecemasa
Mencari informasi mengurangi kecemasan
Menggunakan teknik relaksasi untukmengurangi kecemasan
NIC :
Pengurangan kecemasan
Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan
Rasional : untuk memberikan kenyamanan teraupetik kepada klien
Dorong keluarga untuk mendampingi klien dengan cara yang tepat
Rasional : untuk memotivasi dan keluarga aka lebih dekat pada pasien
Kaji TTV
Rasional : untuk mengetahui keadaan umum pasien
Terapi relaksasi
Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi serta jenis relaksasi yang
tersedia ( misalnya ; musik, otot progresif, meditasi, relaksasi rahang )
Rasional : untuk menginformasikan kepada pasien dan keluarga dengan
teknik relaksasi da jenis-jenis relaksasi
Dorong pasien untuk mengambil posisi yang nyaman dengan pakaian
longgar dan tutup mata
Rasional : untuk memposisikan pasien agar lebih nyaman dan bisa lebih
fokus
c. Diagnosa III : Resiko Infeksi
NOC :
Keparahan Infeksi
Kemerahan tidak ada
Demam berkurang
Pemulihan Pembedahan : Segera Setelah Operasi
Tekanan darah sistol dengan batasnormal
Tekanan darah diaskol dengan batas normal
Tekanan nadi
Subu tubuh
Tingkat kesadaran
NIC :
Kontrol infeksi
Bersihkan lingkungan yang baik dengan baik setelah digunakan untuk
setiap pasien
Anjurkan pasien untuk mencuci tangan dengan tepat
Perlindungan infeksi
Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Periksakondisi setiap sayatan bedah atau luka
Anjurkan untuk istirakat
3. Pengkajian Biologis
a. Rasa Aman dan Nyaman
b. Aktivitas
c. Istirahat dan Tidur
d. Cairan
e. Nutrisi
f. Eliminasi
g. Pernafasan
h. Kardiovaskuler
i. Personal Hygiene
j. Sex
4. Pengkajian Psikososial dan Spiritual
a. Psikososial
b. Hubungan Sosial
c. Spiritual
D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
a. Kesadaran
Kesadaran composmentis dengan GCS: E4 M5 V6
b. Kondisi pasien secara umum
Klien terlihat meringis kesakitan akibat luka post operasi, klien hanya tertidur
ditempat tidur.
c. Tanda-tanda vital
Suhu : 36,3 º C
Nadi : 98 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
d. Pertumbuhan Fisik
Tinggi badan: 156 cm
Berat badan : 45 kg
Postur tubuh: tinggi
2. Pemeriksaan Cepalo Kaudal
a. Kepala
Bentuk mesocephal, tidak ada luka, bersih, rambut hitam tebal.
b. Mata
Lengkap, mata tidak anemis, bersih, tidak ada lesi, sklera tidak ikterik, reaksi
penerimaan cahaya baik, pupil isokor, tidak ada kemerahan.
c. Telinga
Normal, simetris, bersih, tidak ada lesi, fungsi normal, tidak menggunakan alat
bantu dengar.
d. Hidung
Fungsi normal, tidak ada sekret, dapat bernafas spontan, tidak ada pernafasan
cuping hidung.
e. Mulut
Dapat berbicara dengan jelas, mukosa bibir kering, bersih.
f. Leher
Tidak terdapat pembesaran kelenjar thyroid dan JVP, tidak ada nyeri telan.
g. Dada
Paru-paru
Inspeksi : Simetris, tidak ada luka
Palpasi : Pengembangan paru simetris, tidak ada massa
Perkusi : Suara sonor
Auskultasi : Suara Vesikuler
Jantung
1. Abdomen
I : Tidak ada ascites, tidak ada luka
A : Bising usus 15x/menit
P : Tympani
P : Tidak ada nyeri tekan
2. Ekstremitas
Kekuatan otot 4433, ada edema dikedua ekstremitas bawah, terpasang infus di
tangan kiri.
3. Kulit / Integumen
Tidak ada kelainan kulit, CRT < 3 detik.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan EKG
Hasil : Sinus Rhythm abnormal right superior axis deviation R-S transition zone inv
leads displaced to the left low limb lead voltage.
HR 68/min, Intervals : RR 886 ms, P 102 ms, PR 156 ms, QRS 86 ms, QT 374 ms,
QTC 398 ms.
2. Laboratorium
Hasil pemeriksaan : 07 Oktober 2019 Jam : 19:13 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Lekosit 10.6 H 4-10 mm3 E-Impedance
Hitung jenis
Basofil 2H 0-1 % E-Impedance
Eosinofil 2 1-3 % E-Impedance
Neutrofil 6S 50-70 % E-Impedance
Limfosit % 20 20-40 % E-Impedance
Monosit % 11 H 2-8 % E-Impedance
Eritrosit 5.08 44-59 mm3 Cyanmet HB
Hemoglobin 13.2 12.0-17.0 g/dl Kalkulasi
Hematokrit 40 39-52 % Kalkulasi
MCV 78.0 77-91 fl Kalkulasi
MCH 26.0 27-34 pg Kalkulasi
MCHC 33.4 32-36 g/dl Kalkulasi
RDW 10.7 11-16 % Kalkulasi
Trombosit 338 150-450 mm3 E-Impedance
MPV 5.5 7-11 fl Platelet Graph
PPT 16.8 11.0-15.0 detik Optik
Kontrol PPT 14.4 detik Optik
APTT 28.0 25.0-35.0 detik Optik
Kontrol APTT 25.5 detik Optik
KIMIA KLINIK
Glukosa sewaktu 105 H 60-100 mg/dl Hexokinase
HEMATOLOGI
HBSAg Rapid Negatif Negatif Rapid
F. TERAPI MEDIS
1. Oksigen nasal kanul 3 lpm
2. Nebulizer Pulmicom / 8 jam
3. Infus Asering 20 tpm
4. Injeksi MP ½ vial / 12 jam
5. Injeksi esome 1 vial
6. Ambroxol syr 3x1 cth
G. ANALISA DATA
No. Symptom Etiologi Problem
1. DS : Klien mengatakan sesak nafas Penumpukan sekret Bersihan jalan
sudah 3 hari disertai dengan nafas tidak efektif
batuk namun sekret tidak bisa
keluar.
DO : - Klien tampak sesak
TD : 115/78 mmHg
N : 68x/ menit
R : 22x/ menit
S : 37ºC
- Terpasang oksigen nasal
kanul 3 Lpm
- Pemeriksaan fisik paru
terdengar auskultasi Ronchi.
I. RENCANA KEPERAWATAN
No. DX TUJUAN & KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
1. Setelah dilakukan tindakan Respiratory 1. Mengetahui
keperawatan selama 3 jam Monitoring tingkat gangguan
masalah bersihan jalan nafas tidak 1. Pantau TTV, yang terjadi dan
efektif dapat teratasi dengan suara nafas mengetahui
kriteria hasil : tambahan, dan permasalahan
a. Sekret dapat keluar retraksi otot jalan nafas.
b. Klien tidak batuk / batuk dada. 2. Posisi
berkurang 2. Berikan posisi memaksimalkan
semi fowler dan ekspansi paru dan
pemberian menurunkan
oksigen nasal upaya
kanul pernapasan.
3. Ajarkan klien 3. Dapat
untuk batuk membantu
efektif dan menjatuhkan
anjurkan asupan. sekret yang ada
4. Kolaborasi dijalan nafas dan
pemberian mengoptimalkan
nebulizer sesuai keseimbangan
indikasi. cairan.
4. Memberikan
suplay oksigen
dan mengurangi
sesak nafas.
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA